I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia memiliki sekitar 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan nusantara. Potensi lestari sumberdaya perikanan yang terkandung di dalamnya diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, meliputi berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Terumbu karang yang masih utuh juga memberikan nilai pemandangan yang sangat indah. Keindahan tersebut merupakan potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal (Dahuri et al., 1996). Indonesia memiliki keanekaragaman terumbu karang yang sangat tinggi, dimana ditemukan 75 genera yang terdiri dari 350 spesies (Borel-Best et al., 1989 diacu dalam Supriharyono, 2007). Ekosistem terumbu karang sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik. Nilai ekonomi terumbu karang yang terdapat di Indonesia dari kegiatan perikanan, perlindungan pantai, pariwisata sekitar 1,6 milyar dolar AS (Burke et al., 2002). Disisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan ekosistem terumbu karang di beberapa wilayah perairan telah berlangsung secara berlebihan, sehingga cenderung mengalami kerusakan yang parah (Edwards dan Gomez, 2007; Dahuri et al., 1996). Secara umum kerusakan terumbu karang disebabkan oleh
gangguan alam dan kegiatan manusia. Kegiatan manusia yang dapat
mengancam terumbu karang antara lain kegiatan penangkapan ikan dan
2
pariwisata. Kunzmann (2001) mengatakan bahwa lebih dari 60% ekosistem terumbu karang dunia terancam oleh kegiatan penangkapan ikan dan pariwisata. Hasil pengamatan terhadap 324 lokasi terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 43% terumbu karang rusak atau bahkan dapat dianggap berada diambang kepunahan, sedangkan yang masih sangat baik hanya sekitar 6,48% (Soekarno, 1995). Selanjutnya Sjafrie (2011) melaporkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dari 985 stasiun yang tercatat sampai dengan tahun 2008 menunjukkan hanya 5,48% terumbu karang di Indonesia dalam keadaan sangat baik. Secara garis besar kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh enam faktor utama, yaitu (1) penambangan karang (coral mining) untuk keperluan bahan bangunan, pembuatan jalan, dan bahan hiasan; (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak; (3) kegiatan wisata bahari yang kurang memperhatikan pelestarian sumberdaya laut; (4) pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan-kegiatan ekonomi (pembangunan) di darat dan di laut; (5) kekeruhan dan sedimentasi akibat pengelolaan lahan atas (upland areas) yang tidak
atau
kurang
mengindahkan
kaedah-kaedah
ekologis
(pelestarian
lingkungan); dan (6) sebab-sebab alamiah, termasuk pemanasan global yang telah mengakibatkan ”coral bleaching”(Dahuri et al., 1996). Selanjutnya Burke et al. (2002) melaporkan, bahwa 25% terumbu karang di di Asia Tenggara termasuk Indonesia terancam akibat pembangunan di wilayah pesisir, 7% terancam akibat pencemaran laut, 21% terancam akibat sedimentasi dan pencemaran dari darat, 64% terancam akibat penangkapan berlebihan, 56% terancam akibat penangkapan ikan dengan cara yang merusak. Kabupaten Bintan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 240 pulau-pulau kecil serta memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang sangat potensial. Luas wilayah Kabupaten Bintan sekitar 87.777,84 km² yang sebagian besar wilayahnya (98,51%) merupakan perairan laut serta memiliki garis pantai sepanjang 728 km. Jumlah penduduk Kabupaten Bintan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 122.677 jiwa. Sektor perikanan merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian masyarakat, dimana pada tahun 2007
3
tercatat sebanyak 8.243 RTP, sebagian besar (96,3%) bergerak di bidang penangkapan ikan (BPS Kabupaten Bintan, 2007). Wilayah pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem terumbu karang seluas 17.394,83 ha, mangrove 6.774,86 ha, padang lamun 1.334, 327 ha dan rumput laut 1.156,11 ha yang tersebar hampir merata di sepanjang pesisir Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil (DKP, 2007). Luas ekosistem terumbu karang Kabupaten Bintan ini meliputi 43,5% dari luas ekosistem terumbu karang di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu 39.978 ha (Zieren et al., 1997). CRITCCOREMAP II - LIPI (2007) melaporkan bahwa di perairan Pulau Bintan dan sekitarnya ditemukan 14 famili dan 78 jenis karang dengan kondisi buruk sampai sedang. Ekosistem perairan laut dan sumberdaya yang dikandungnya harus dijaga kelestarian dan harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, untuk itu perlu ada usaha melalui konservasi. Menurut Dight et al. (1999), bahwa Kawasan Konservasi Laut mempunyai potensi untuk berperan jauh lebih besar terhadap keberhasilan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan di wilayah terumbu karang dan ekosistem-ekosistem lain yang berhubungan. Selanjutnya Halim (1998) mengatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi laut diperlukan zonasi tertentu untuk menunjang mata pencaharian masyarakat, maupun kegiatan lainnya sesuai dengan azas kelestarian. Pengelolaan yang dilakukan harus didasari pada tiga aspek konservasi, yaitu perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah dan pelestarian ekosistem. Menurut Statistik Ditjen PHPA 1997/91998 Indonesia memiliki 374 unit kawasan konservasi dengan luas total 21.711.464,25 ha. Kawasan-kawasan tersebut terdiri dari 347 unit kawasan konservasi daratan dengan luas 17.170.856,90 ha dan 27 unit kawasan konservasi laut seluas 4.54.607,35 ha. Kawasan konservasi darat terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, Taman Buru, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan kawasan konservasi laut terdiri dari Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Cagar Alam Laut dan Suaka Margasatwa Laut (Manulang, 1999). Sebagai upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang dan pemanfaatan
sumberdaya
hayati
yang
terkandung
di
dalamnya
secara
4
berkelanjutan di Kabupaten Bintan, pemerintah pada tahun 2006 telah menetapkan kawasan pesisir timur Pulau Bintan sebagai salah satu lokasi COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program) Fase II.
Secara administrasi lokasi Coremap ini berada pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang meliputi empat desa (Kelurahan Kawal, Desa Gunung Kijang, Desa Malang Rapat dan Desa Teluk Bakau) dan Kecamatan Bintan Pesisir satu desa yaitu Desa Mapur. Selanjutnya pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Bintan telah menetapkan kawasan pesisir timur Pulau Bintan ini sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dengan SK Bupati Bintan No. 261/VIII/2007 dengan luas kawasan 116.000 ha. Meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Bintan baik di daratan maupun di perairan pesisir telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya perairan pesisir termasuk ekosistem terumbu karang di KKLD. Saat ini terdapat berbagai institusi, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun swasta yang mengelola bagian-bagian wilayah pesisir KKLD Kabupaten Bintan secara sendirisendiri dengan mekanisme yang tumpang tindih. Kegiatan pembangunan di daratan meliputi kegiatan pertambangan, industri, pariwisata (hotel dan restoran), permukiman, dan pertanian. Sementara itu kegiatan pembangunan di perairan pesisir meliputi pelabuhan, dan transportasi laut, penangkapan ikan, dan pariwisata bahari. Semua kegiatan pembangunan tersebut belum menunjukkan keterpaduan sebagaimana persyaratan pembangunan wilayah pesisir sebagai suatu ekosistem yang kompleks Dalam
konteks
pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
secara
berkelanjutan tidak bisa terlepas dari pengelolaan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur memerlukan suatu perencanaan pengelolaan yang terpadu yang melibatkan banyak stakeholders. Mengingat bahwa aspek keberlanjutan merupakan aspek kunci dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan mengandung berbagai dimensi yang cukup kompleks, maka perlu dikaji aspek keberlanjutan dalam pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
secara
komprehensif
dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang khususnya di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.
5
1. 2. Perumusan Masalah Penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di perairan pesisir Pulau Bintan termasuk di KKLD dapat dibedakan ke dalam dua faktor, yaitu (1) kegiatan pembangunan di wilayah daratan (external factors) yang meliputi : kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan pertambangan bauksit, granit, dan pasir darat; pencemaran dari industri, domestik, hotel dan restoran serta pertanian, dan (2) kegiatan pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya di dalam perairan itu (internal factors) yang meliputi; penambangan karang (coral mining), penggunaan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak dalam penangkapan ikan di kawasan terumbu karang; pelabuhan dan transportasi laut serta kegiatan wisata yang berkaitan dengan pemanfaatan keindahan terumbu karang (Bapedalda Kabupaten Kepulauan Riau, 2002). Saat ini kegiatan pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir Bintan Timur yang menjadi lokasi KKLD adalah kegiatan pertambangan, perikanan, pelabuhan dan transportasi laut, pariwisata bahari, hotel dan restoran serta sebagai kawasan industri akan berdampak terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang. Jumlah industri di wilayah pesisir Bintan Timur baik industri besar maupun industri kecil dan menengah sampai tahun 2008 sebanyak 8 industri. Kegiatan pertambangan
meliputi
pertambangan
bauksit,
granit
dan
pasir
darat.
Pertambangan bauksit tersebar pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 459,96 ha; pertambangan granit pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 111,22 ha dan pertambangan pasir darat pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 132,20 ha. Disamping itu wilayah pesisir Bintan Timur merupakan kawasan pengembangan wisata di Kabupaten Bintan yang menyebabkan tumbuhnya hotel dan restoran. Jumlah hotel di wilayah pesisisr Bintan Timur pada tahun 2008 tercatat sebanyak 6 (enam) hotel dengan jumlah kamar 400 unit. Sedangkan jumlah restoran sebanyak 22 buah dengan jumlah tempat duduk 911 kursi (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Meningkatnya kegiatan pembangunan di Bintan akan berdampak terhadap meningkatknya jumlah limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Menurut Hughes et al. (1999), bahwa pembuangan limbah industri dan domestik akan meningkatkan nutrien dan racun di lingkungan terumbu karang serta dapat menyebabkan pertumbuhan alga yang berlebihan. Limbah kaya nutrisi dari
6
pembuangan atau dari sumber lain sangat mengganggu karena dapat menyebabkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga akan mendominasi terumbu karang hingga akhirnya melenyapkan karang. Sementara itu kegiatan pertambangan di Bintan akan meningkatkan kekeruhan air dan sedimentasi di perairan. Partini (2009) menemukan bahwa laju sedimentasi pada ekosistem terumbu karang Bintan Timur berkisar 4,00 – 78,24 mg/cm2/hari (ringan – berat). Kondisi ini berkorelasi negatif terhadap tutupan karang dan berkorelasi positif terhadap indeks mortalitas karang. CRITC-COREMAP II - LIPI (2007) melaporkan bahwa kondisi terumbu karang di KKLD Bintan berada dalam kategori buruk sampai sedang. Tutupan karang hidup pada beberapa lokasi bervariasi, diantaranya di perairan pantai Trikora tutupan karang hidup berkisar 5 – 61,90% dengan rerata persentase tutupan karang hidup 25,27%, Pulau Gyn dan Pulau Numbing tutupan karang hidup berkisar 5 – 42,11% dengan rerata tutupan karang hidup 21,88 %. Penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di KKLD ini adalah akibat penangkapan ikan dengan cara destruktif (bahan peledak dan sianida, dan bubu), pencermaran (dari pertambangan, domestik, hotel dan restoran), pariwisata bahari (penyelaman, penambatan kapal) dan pengambilan batu karang untuk bangunan (Coremap II Bintan, 2008). Selanjutnya CRITIC Bintan (2009) melaporkan bahwa masih ditemukan penurunan persentase tutupan karang hidup pada beberapa titik pemantauan pada periode 2008 sampai 2009 di lokasi KKLD ini. Lokasi yang mengalami penurunan persentase tutupan karang hidup adalah di Desa Malang Rapat dari 17,5 % menjadi 16,35 %, Desa Teluk Bakau dari 59,6% menjadi 52,8 % dan Desa Kawal dari 42,19% menjadi 36,8 %. Penurunan tutupan karang hidup ini diduga akibat kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan penambangan bauksit, granit dan pasir darat. Dampak terhadap ekosistem terumbu karang akan mengakibatkan kerugian ekonomi, berupa pendapatan nelayan turun, hilangnya potensi sumberdaya alam yang seharusnya dimanfaatkan. Kerugian ekologi berupa penurunan populasi biota karang, kerusakan karang, sedangkan kerugian sosial adalah hilangnya kesempatan kerja, serta terjadinya konflik sosial. Oleh karena itu perlu pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan yang dapat menjamin kelestariannya.
7
Menurut Ariani (2006) bahwa permasalahan yang mendasar sebagai penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Bintan Timur adalah (1) kemiskinan masyarakat dan kesulitan adaptasi pada mata pencaharian alternatif, (2) keserakahan pemilik modal, (3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan (4) kebijakan pemerintah yang belum memberikan perhatian pada pengelolaan kualitas lingkungan di wilayah pesisir Bintan Timur. Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan pembangunan di daratan yang paling berpengaruh terhadap tutupan karang hidup adalah pembukaan lahan yang menyebabkan kekeruhan dan sedimentasi di ekosistem terumbu karang. Disamping itu LIPI (2009) melaporkan bahwa kesulitan dalam koordinasi antar sektor juga merupakan kendala dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini. Kegiatan pembangunan yang masih sektoral dan berorientasi ekonomi semata, sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Trimades – P2O LIPI (2010) melaporkan bahwa di wilayah pesisir Bintan Timur potensi konflik pemanfaatan antara stakeholders cukup tinggi, terutama antara masyarakat nelayan dengan pengusaha wisata, dan antara nelayan dengan nelayan. Solusi dari permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang kompleks tersebut di atas memerlukan suatu pendekatan yang bersifat multidimensi sehingga konsep pembangunan berkelanjutan pada sumberdaya pesisir termasuk terumbu karang dapat diwujudkan. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur yang selama ini masih bersifat sektoral dan belum didasarkan atas pertimbangan multi sektoral dan multi dimensi. Kondisi ini telah menimbulkan kerugian ganda yang berupa hilangnya penerimaan negara, kerusakan lingkungan dan masalah sosial. Pertanyaan penelitian terkait dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana kondisi ekosistem terumbu karang saat ini? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang tersebut? 2) Bagaimana status keberlanjutan ekosistem terumbu karang saat ini? 3) Bagaimana pengelolaan saat ini dan bagaimana skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan? 4) Bagaimana strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan?
8
1. 3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membangun disain pengelolaan ekosistem
terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Guna mewujudkan tujuan tersebut maka penelitian diarahkan untuk memperoleh tujuan operasional sebagai berikut : 1) Menganalisis kondisi terumbu karang dan kualitas lingkungan perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2) Menganalisis status keberlanjutan ekosistem terumbu karang. 3) Mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 4) Menyusun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 1.4. Kerangka Pemikiran Ekosistem terumbu karang merupakan sub sistem dari ekosistem wilayah pesisir, sehingga secara geografis terkait dengan wilayah daratannya. Ekosistem terumbu karang memiliki interaksi yang dinamis dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan perairan maupun lingkungan daratan. Oleh karena itu ekosistem terumbu karang tergolong kedalam ekosistem terbuka, sehingga dinamika lingkungannya akan berdampak terhadap kondisi terumbu karang. Ekosistem terumbu karang di perairan pesisir Pulau Bintan termasuk di KKLD dipengaruhi dua faktor, yaitu (1) kegiatan pembangunan di wilayah daratan (external factors) yang meliputi : kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan pertambangan bauksit, granit, dan pasir darat; pencemaran dari industri, domestik, hotel dan restoran serta pertanian, dan (2) kegiatan pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya di dalam perairan itu (internal factors) yang meliputi; penambangan karang (coral mining), penggunaan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak dalam penangkapan ikan di kawasan terumbu karang dan kegiatan wisata yang berkaitan dengan pemanfaatan keindahan terumbu karang. Kegiatan-kegiatan tersebut telah menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan perlu pengelolaan. Ekosistem terumbu karang memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang
9
menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik. Menyadari peran strategis ekosistem terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungannya maka pemerintah menempatkan terumbu karang sebagai ekosistem yang dilindungi. Namun demikian, pola pembangunan yang sektoral di wilayah pesisir dan semata berorientasi ekonomi telah menimbulkan pengelolaan yang distorsi. Selanjutnya fungsi ekosistem terumbu karang sebagai kawasan lindung menjadi terancam karena tekanan antropogenik yang tinggi. Beragamnya aktivitas di kawasan ekosistem terumbu karang dengan pola pengelolaan yang tidak jelas menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya kerusakan lingkungan biofisik, potensi konflik dan ancaman degradasi sosial ekonomi. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya harus dibangun atas dasar pertimbangan daya dukung dan prinsip keberlanjutan. Pengelolaan terumbu karang dapat dilakukan melalui pengendalian terhadap faktor-faktor penyebab kerusakan karang. Pengendalian terhadap faktor eksternal atau kegiatan di daratan dapat dilakukan melalui pengurangan jumlah limbah dan sedimen yang masuk ke perairan. Sedangkan pengendalian faktor internal atau kegiatan di dalam perairan adalah dengan pengaturan dan pengawasan terhadap penangkapan ikan yang merusak dan pariwisata bahari serta pelarangan menambang batu karang. Implementasi strategi pemanfaatan yang berbasis daya dukung dan keberlanjutan ialah kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang harus berbasis pada keterpaduan wilayah dan dimensi. Keterpaduan antara kawasan perairan pesisir dengan daerah daratan (upland), antara stakeholder dalam sistem tersebut dan antara berbagai dimensi seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan harus menjadi dasar dalam pengelolaan. Oleh karena itu dibutuhkan desain pengelolaan ekosistem yang berorientasi pada keberlanjutan. Prinsip penting pengelolaan berkelanjutan ialah adanya keterpaduan wilayah, keterpaduan kebutuhan dan keterpaduan para pihak. Dengan demikian melalui desain pengelolaan yang dibangun atas dasar landasan tersebut maka ekosistem terumbu karang diyakini dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakatnya secara berkelanjutan. Gambar 1 menunjukkan kerangka pikir penelitian.
10
Desain
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
11
1. 5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam implementasi kebijakan dan desain sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 2. Sebagai bahan masukan bagi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan terutama di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. 3. Sebagai bahan pengembangan konsep dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 1.6 Kebaruan (Novelty) Sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik menyangkut pengelolaan ekosistem terumbu karang, analisis keberlanjutannya, maupun lokasi penelitian dilaksanakan. Dari penelitian-penelitian tersebut belum ada yang menganalisis secara multidimensi dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di Kabupaten Bintan. Adapun penelitian yang terkait yang telah dilakukan adalah : -
Ariani (2006) meneliti tentang pengaruh kegiatan pembangunan pada ekosistem terumbu karang (studi kasus: efek sedimentasi di wilayah pesisir timur Pulau Bintan).
-
Partini (2009) meneliti tentang efek sedimentasi terhadap terumbu karang di pantai timur Kabupaten Bintan.
-
Febrizal (2009) melakukan penelitian tentang kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Kabupaten Bintan dan alternatif pengelolaannya.
-
Alustco (2009) melakukan kajian kualitas tutupan karang hidup dan kaitannya dengan Acthaster planci di Kabupaten Bintan.
-
Apriliani (2009) meneliti tentang strategi rehabilitasi terumbu karang untuk pengembangan pariwisata bahari di Pulau Mapur Kabupaten Bintan Kepulauan Riau.
12
Berdasarkan hasil kajian-kajian tersebut ditemukan kebaruan (novelty) baik dilihat dari segi pendekatan metode yang digunakan maupun hasil penelitian. •
Dari segi pendekatan metode, penelitian ini menerapkan beberapa metode analisis yang dilaksanakan secara komprehensif (PCA, Rap-Insus COREMAG, Analisis Prospektif) dalam membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.
•
Dari segi hasil penelitian, dihasilkan konsep baru pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur yang mengintegrasikan faktor-faktor yang sifatnya spesifik dalam pengelolaan terumbu karang.