BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2008, sekitar 7,6 juta orang meninggal karena kanker dari 58 juta kematian di dunia. Lebih dari 70% kasus kematian kanker terjadi di negara berkembang dan negara miskin, yang sumber daya pencegahan (preventif), diagnosa dan terapi kanker sangat terbatas atau bahkan tidak tersedia. Menurut perkiraan, kematian yang disebabkan oleh kanker akan terus meningkat dengan asumsi 9 juta orang pada tahun 2015 dan 11,4 juta orang pada tahun 2030 (Anonim, 2008 b). Di Indonesia, khusus pada wanita terdapat lima jenis kanker tertinggi, yakni kanker leher rahim, payudara, indung telur, dan rektum dimana kanker payudara merupakan penyebab utama kematian akibat kanker (Anonim, 2008a). Kanker payudara merupakan salah satu tumor solid yang responsif terhadap kemoterapi, sehingga kemoterapi menjadi salah satu terapi utama dalam pengobatan kanker payudara (Anonim, 2003). Mual muntah merupakan efek samping dari kemoterapi yang paling sering dilaporkan, menakutkan dan memberikan pengaruh yang bermakna pada pasien terutama dalam kehidupan sehari- hari, kualitas hidup pasien dan kepatuhan pada kemoterapi. Untuk mengatasi hal tersebut, pasien kanker yang menjalani kemoterapi umumnya menggunakan antiemetik sebagai profilaksis (Michaud, 2008).
1
2
Mual dan muntah yang ditimbulkan kemoterapi, Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting (CINV) adalah salah satu efek samping kemoterapi yang paling
mencemaskan
bagi
pasien
kanker,
karena
dapat
menyebabkan
ketidaknyamanan parah dan mempengaruhi kualitas hidup. Probabilitas menderita CINV bergantung pada beberapa faktor, beberapa terkait langsung dengan obat yang digunakan dan yang lain bergantung pada pasien. Dalam faktor bergantung pasien, jenis kelamin, usia, motion sickness, hipermual muntah gravidarum dan asupan alkohol telah diidentifikasikan sebagai determinan utama (Hawkin, 2009). Suatu pedoman untuk mengukur potensi emetogenik dari obat dan kombinasi diterbitkan pada 1997. Sitostatik dibagi menjadi lima kategori menurut persentase pasien dengan mual muntah yang ditimbulkan obat. Suatu model untuk menghitung potensi emetogeneik dari kombinasi obat kemoterapetik juga diberikan. Pada 2004, satu panel ahli memodifikasi klasifikasi. Empat kategori dimasukkan: obat dengan potensi emetogenik tinggi, sedang, rendah dan minimal. Harus dicatat bahwa ada jumlah pasien yang signifikan yang menerima terapi yang menggabungkan beberapa obat sitostatik bukannya monoterapi. Salah satu persoalan yang harus dipecahkan adalah penilaian potensi emetogenik dari kombinasi ini. Sebelum menentukan obat antiemetik yang digunakan, penting untuk mengetahui obat kemoterapi yang digunakan termasuk dalam kelompok yang mana
menurut
kemampuannya
dalam
menimbulkan
muntah
(bersifat
emetogenik), dibagi menjadi 4 kelompok yaitu sangat emetogenik, emetogenik
3
sedang, emetogenik rendah dan emetogenik minimal. Disebut sangat emetogenik bila lebih dari 90% pasien mengalami muntah, sedang bila 30-90% pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami muntah,
rendah bila 10-30%
pasien mengalami muntah, dan minimal bila kurang dari 10% pasien mengalami muntah.(Hawkin, 2009) Pada tahun-tahun terakhir, molekul baru yang telah memperbaiki kontrol mual muntah yang ditimbulkan oleh kemoterapi telah diperkenalkan. Untuk alasan ini, American Society of Clinical Oncology (ASCO), National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dan Europian Society for Medical Oncology
(ESMO).
mempertimbangkan
penting
untuk
mengkaji
dan
memperbaharui Pedoman Klinis sebelumnya yang diterbitkan pada tahun sebelumnya untuk memasukkan perkembangan baru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di salah satu rumah sakit Yogyakarta periode 2010-2011, dari 36 kasus efek samping yang ditemukan pasca kemoterapi terdapat 50%, 57% dan 100% berupa kasus mual dan muntah baik kasus ringan, sedang, tinggi, maupun sangat tinggi. Kejadian mual saja terjadi sebanyak 11 kasus (31%), muntah saja 0 kasus, serta mual dan muntah 10 kasus (28%). Total kejadian mual dan muntah 50% pada kemoterapi risiko sedang, 57% pada risiko tinggi, dan 100% pada risiko sangat tinggi. Melihat tingginya angka kejadian mual muntah tersebut, maka diperlukan penatalaksanaan mual dan muntah yang tepat sesuai dengan evaluasi permasalahan yang mendasar, yaitu : profil kejadian mual dan muntah pasca kemoterapi, pemilihan dan penggunaan
4
golongan serta jenis obat anti mual dan muntah, kerasionalan terapi yang diberikan, dan outcome terapi yang didapatkan. Penatalaksanaan mual dan muntah yang tidak tepat dapat menghambat proses
kemoterapi
ini,
menurunkan
tingkat
kesembuhan
kanker,
serta
menimbulkan mual dan muntah tipe antisipatori yang berat (Tehuteru, 2007). Kenyataan yang terjadi menggambarkan bahwa evaluasi tersebut masih banyak diabaikan sehingga menghasilkan penatalaksanaan yang kurang tepat dan pelayanan farmasi yang kurang maksimal. Berdasarkan masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang evaluasi pola penggunaan antiemetik pada penatalaksanaan mual muntah pasca kemoterapi untuk penyakit kanker payudara pada pasien rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode taun 2012.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pola penggunaan kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik yang diberikan terhadap pasien kanker payudara rawat inap yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta perioe tahun 2012? 2. Bagaimanakah pola penggunaan antiemetik yang diberikan untuk mengatasi mual dan muntah setelah menjalani kemoterapi kanker payudara berdasarkan tingkat emetogenisitas kemoterapi yang diberikan.? 3. Apakah penggunaan antiemetik yang digunakan pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2012 sudah sesuai berdasarkan standar dari
5
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) 2012 dan dari Europian Society for Medical Oncology (ESMO) 2010?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola penggunaan kemoteapi yang diberikan berdasarkan tingkat emetogenik terhadap pasien kanker payudara rawat inap yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2012. 2. Mengetahui pola penggunaan obat antiemetik yang diberikan untuk mengatasi mual dan muntah setelah menjalani kemoterapi kanker payudara berdasarkan tingkat emetogenisitas kemoterapi yang diberikan. 3. Mengetahui kesesuaian pemilihan antiemetik yang digunakan pada pasien kanker payudara berdasarkan standar dari National Comprehensive Cancer Network (NCCN) 2012 dan dari Europian Society for Medical Oncology (ESMO) 2010.
D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : 1. Salah satu sumber informasi yang dapat digunakan untuk pengobatan dalam kasus mual dan muntah pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito. 2. Salah satu bahan pertimbangan ataupun acuan dalam pemberian dan peningkatan mutu pelayanan medik terutama pengobatan dalam hal
6
penatalaksanaan kasus mual muntah pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi.
E. Tinjauan Pustaka 1. Kanker Payudara a. Definisi Kanker Payudara merupakan tumor ganas yang berada di sel-sel payudara, tumor ganas ini dapat tumbuh dan berkembang di sekitar jaringan dan juga dapat bermetastasis. Penyakit ini sering terjadi pada wanita, namun tidak jarang juga ditemukan pada pria. Payudara wanita terdiri dari lobulus (kelenjar penghasil susu), ducts (tabung kecil yang membawa susu dari lobulus ke puting), dan stroma (jaringan lemak dan jaringan ikat yang mengelilingi ducts dan lobulus, pembuluh darah dan pembuluh limfatik). Kebanyakan kanker payudara mulai muncul pada sel-sel yang melapisi ducts (ductal cancers), beberapa pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers), dan sejumlah kecil pada jaringan lainnya. b. Jenis-jenis kanker payudara Ada beberapa jenis kanker payudara, namun ada beberapa yang jarang ditemukan kasusnya. Pada beberapa kasus tumor payudara salah satunya dapat merupakan suatu kombinasi dari jenis-jenis kanker payudara atau campuran dari invasif dan kanker in situ. 1). Duktal karsinoma in situ (ductal carcinoma in situ) Karsinoma duktal in situ (DCIS, juga dikenal sebagai intraduktal karsinoma) adalah jenis yang paling umum dari non- invasif kanker
7
payudara. DCIS berarti sel-sel kanker berada didalam duktus tetapi belum menyebar melalui dinding duktus ke jaringan payudara di sekitarnya. Sekitar 1 dari 5 kasus baru, merupakan kanker payudara yang disebabkan karena DCIS. Mammogram merupakan cara yang terbaik untuk mendeteksi terdapatnya DCIS pada stage awal. 2). Lobular karsinoma in situ (lobular carsinoma in situ), bukan merupakan kanker, biasa disebut dengan pre-cancer. 3). Invasif duktal karsinoma (invasive ductal carcinoma) Jenis ini adalah jenis yang paling umum dari kanker payudara. Invasif (infiltrating) duktal karsinoma (IDC) muncul awal pada saluran air susu (milk duct) menerobos dinding duktus dan tumbuh kedalam jaringan lemak payudara. Pada titik ini memungkinkan terjadinya penyebaran (metastasis) ke bagian lain dari tub uh melalui sistem limfatik dan aliran darah. Sekitar 8 dari 10 kanker payudara invasif adalah infiltrasi karsinoma duktal. 4). Invasif lobular karsinoma (invasive lobular carcinoma) Lobular karsinoma invasif (ILC) awal mulai terlihat dalam kelenjar penghasil air susu (lobules). Seperti halnya IDC, ILC juga dapat menyebar (metastasis) ke bagian lain dari tubuh. Invasif lobular karsinoma lebih sulit untuk dideteksi oleh mammogram. 5). Jenis kanker payudara yang kurang umum Kanker payudara inflamasi (Inflammatory breast cancer), biasanya tidak terdapat benjolan atau tumor. IBC membuat kulit pada payudara terlihat
8
merah dan terasa hangat. Hal ini juga dapat memberikan kulit pada payudara terlihat tebal seperti kulit jeruk. Para dokter tahu bahwa perubahan ini bukan disebabkan oleh peradangan atau infeksi, tetapi di karenakan oleh sel-sel kanker yang memblokir pembuluh getah bening di kulit. Payudara yang terkena bisa menjadi lebih besar atau lebih kencang, lembut, atau gatal. Pada tahap awal, IBC sering disalahartikan dengan infeksi pada payudara atau mastitis karena di anggap sebagai infeksi yang kemudian diberikan antibiotik. Karena tidak terdapatnya benjolan, sulit terdeteksi oleh mammogram, hal tersebut yang menyebabkan sulit untuk dideteksi sedini mungkin. Jenis kanker payudara ini cenderung memiliki risiko yang tinggi untuk menyebar dan merupakan prognosis dari kanker duktal invasif. c. Epidemiologi dan Etiologi Insiden kanker payudara meningkat dengan bertambahnya umur. Sebuah statistik menunjukan bahwa 1 dari 8 wanita akan mengalami kanker payudara selama masa hidup mereka. Hal tersebut sering disalahartikan oleh wanita yang menganggap bahwa 1 dalam 8 wanita itu didiagnosa menderita kanker payudara setiap tahun. Risiko seorang wanita terkena kanker payudara sebelum usia 40 tahun adalah sekitar 1 dari 233, dan lebih dari setengah risiko terjadi setelah usia 60 tahun. Hubungan antara usia dan kejadian kanker payudara sangat relevan ketika membahas faktor risiko atau faktor selain usia yang dapat meningkatkan seorang wanita kemungkinan terjangkit kanker payudara. Risiko relatif (RR) terkena kanker payudara pada wanita tiap individu dalam kelompok risiko biasanya dikalikan dengan
9
kemungkinan seorang wanita terkena kanker payudara selama hidupnya, angka ini didefinisikan sebagai risiko seumur hidup kumulatif, namun risiko terkena kanker payudara tergantung pada usia. d. Faktor risiko Kebanyakan wanita memiliki satu atau lebih faktor risiko kanker payudara, namun pada penyakit ini, banyak wanita dengan kanker payudara tidak memiliki faktor risiko yang jelas. Bahkan seorang wanita dengan faktor risiko kanker payudara, sulit untuk tahu persis berapa banyak faktorfaktor yang mungkin telah berkontribusi. Ada berbagai jenis faktor risiko. Beberapa faktor, seperti usia seseorang atau ras merupakan faktor usia yang tidak dapat diubah. Faktor risiko yang terkait dengan
perilaku pribadi, seperti merokok, konsumsi
alkohol dan diet merupakan faktor resiko yang bisa dapat diubah atau dimodifikasi. Beberapa faktor dapat mempengaruhi risiko lebih dari yang lain, dan risiko untuk kanker payudara dapat berubah seiring waktu, karena faktor- faktor seperti penuaan atau gaya hidup. Faktor risiko yang tidak dapat di ubah antara lain : a). Jenis kelamin (Gender) Wanita merupakan faktor risiko utama terkenanya kanker payudara. Pria dapat terkena kanker payudara, tetapi sekitar 100 kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini mungkin karena pria memiliki sedikit hormon estrogen dan progesteron yang dapat meningkatkan pertumbuhan sel kanker payudara di bandingkan wanita.
10
b). Penuaan (Aging) Risiko
terkenanya
kanker
payudara
meningkat
seiring
bertambahnya usia. Sekitar 1 dari 8 kanker payudara invasif ditemukan pada wanita berusia kurang dari 45 tahun, sementara sekita 2 dari 3 kanker payudara invasif ditemukan pada wanita usia 55 tahun atau lebih. c). Faktor genetik Sekitar 5% sampai 10% dari kasus kanker payudara dianggap turun menurun dari kecacatan gen (mutasi) yang diwarisi dari orang tua atau keluarga. Penyebab paling umum dari kanker payudara herediter adalah mutasi yang diwariskan dalam gen BRCA1 dan BRCA2. Dalam sel normal, gen ini membantu mencegah kanker dengan membuat protein yang menjaga agar sel-sel tumbuh abnormal. Jika telah mewarisi salinan mutasi gen dari orang tua, risiko terkena kanker payudara tinggi. Risiko mungkin sampai 80% untuk anggota dari beberapa keluarga dengan mutasi BRCA. Kanker ini cenderung terjadi pada wanita yang lebih muda dan lebih sering mempengaruhi kedua payudara dibandingkan kanker pada wanita yang tidak lahir dengan salah satu mutasi gen. Wanita dengan mutasi ini diwariskan juga memiliki peningkatan risiko untuk terjangkit kanker lainnya, terutama kanker ovarium. Mutasi gen lain juga dapat menyebabkan kanker payudara yang diwariskan, namun jarang meningkatkan risiko kanker payudara sebanyak gen BRCA dan jarang menyebabkan kanker payudara yang diwariskan.
11
d). Ras dan etnis Perempuan kulit putih sedikit lebih mungkin terkena kanker payudara daripada wanita Afrika-Amerika, dan wanita Afrika-Amerika lebih mungkin meninggal karena kanker ini. Pada wanita di bawah 45 tahun, kanker payudara lebih sering terjadi pada wanita Afrika-Amerika. Asia, perempuan Hispanik, dan penduduk asli Amerik a memiliki risiko lebih rendah menderita dan meninggal akibat kanker payudara. e). Dense breast tissue Payudara terdiri dari jaringan lemak, jaringan fibrosa, dan jaringan kelenjar (glandular tissue). Seseorang dikatakan memiliki jaringan payudara yang padat apabila memiliki lebih banyak jaringan kelenjar dan jaringan kurang berserat dan lemak. Wanita dengan payudara padat memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara dibandingkan wanita dengan payudara yang tidak padat. Jaringan payudara yang padat juga bisa membuat mammogram menjadi kurang akurat. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi kepadatan payudara, seperti usia, status menopause, penggunaan obat-obatan (seperti terapi hormon menopause), kehamilan, dan genetika. e. Diagnosis Kanker payudara kadang baru ditemukan setelah gejala muncul, namun banyak wanita dengan kanker payudara dini tidak memiliki gejala. Inilah sebabnya mengapa melakukan tes skrining dianjurkan, sebelum timbul gejala sangat berat. Jika memiliki salah satu dari gejala kanker payudara seperti yang dijelaskan di bawah ini, dokter biasanya akan
12
menggunakan satu atau lebih metode untuk mengetahui apakah penyakit itu hadir. Jika kanker ditemukan, tes lain akan dilakukan untuk menentukan stadium (tingkat) dari kanker. Meluasnya
penggunaan
screening
mammogram
telah
meningkatkan jumlah kanker payudara yang dapat ditemukan sebelum kanker tersebut menimbulkan gejala apapun. Beberapa kasus kanker payudara yang tidak ditemukan oleh mammogram, baik itu karena tes tersebut tidak dilakukan atau karena mammogram tidak dalam kondisi ideal. Gejala yang paling umum dari kanker payudara adalah benjolan baru atau massa. Sebuah massa, tanpa adanya rasa yang begitu sakit dan memiliki tepi yang tidak teratur lebih memungkinkan untuk menjadi kanker. Kemungkinan
tanda-tanda
lain
dari
kanker
payudara
meliputi
pembengkakan seluruh atau sebagian dari payudara, iritasi kulit atau dimpling, payudara atau puting terasa nyeri, retraksi puting, kemerahan, scaliness, atau terjadi penebalan puting susu atau kulit payudara, nipple discharge. Kadang kanker payudara dapat menyebar ke kelenjar getah bening di bawah lengan atau di sekitar tulang selangka dan menyebabkan benjolan atau pembengkakan, bahkan sebelum tumor asli berada dalam jaringan payudara berukuran cukup besar untuk dapat dirasakan.
13
2. Kemoterapi a. Definisi Kemoterapi Kata kemoterapi mengandung arti yaitu penggunaan obat untuk menangani suatu penyakit, tetapi kebanyakan orang sekarang menyebut bahwa kemoterapi merupakan penggunaan suatu obat untuk menangani kanker. Ada 2 terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kemoterapi pada penyakit kanker, yaitu terapi antineoplastik (yang berarti suatu senyawa anti kanker) dan terapi sitotoksik (yang berarti memiliki sifat untuk membunuh sel) (ACS, 2013). Kemoterapi pada kanker sendiri merupakan penggunaan obat antikanker, baik itu dengan obat tunggal maupun dengan kombinasi beberapa obat, secara intra vena atau lewat mulut, menangani kanker dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan tumor maupun untuk menghancurkan sel kanker melalui berbagai macam mekanisme aksi. b. Penggunaan Kemoterapi Meskipun memiliki berbagai efek samping, kemoterapi yang digunakan untuk terapi definitif maupun sebagai terapi adjuvan pada kanker banyak direkomendasikan, terutama untuk penyakit kanker stadium lanjut. Pada banyak pasien kanker, penggunaan obat sitotoksik untuk kemoterapi bertujuan untuk mengurangi gejala kanker, serta meningkatkan kualitas hidup dengan tingkat survival yang lebih panjang, meskipun dengan outcome klinik yang tidak bermakna (Morgan et al., 2004). Terdapat
3
tujuan
yang
menggunakan kemoterapi, yaitu :
dari
pengobatan
kanker
dengan
14
1. Cure Apabila
memungkinkan,
kemoterapi
digunakan
untuk
menyembuhkan kanker, yang berarti bahwa kanker menghilang dan tidak timbul lagi meskipun tanpa pengobatan. Pengobatan kemoterapi dengan tujuan ini biasanya jarang tercapai dikarenakan butuh waktu lama bagi pasien untuk benar-benar sembuh dari penyakit kankernya. 2. Control Apabila tidak memungkinkan, tujuan dari kemoterapi yang dilakukan adalah untuk mengontrol penyakit, yang berarti bahwa pengobatan kemoterapi adalah untuk memperkecil ukuran dari sel tumor dan/atau hanya untuk menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sel kanker saja. Dalam berbagai kasus, sel kanker tidak dapat sepenuhnya hilang, sehingga perlu untuk dikontrol sebagaimana penyakit kronik, seperti diabetes atau gangguan jantung. Dan di beberapa kasus lainnya, sel kanker dapat menghilang untuk beberapa waktu, tetapi dapat timbul lagi. 3. Palliation Apabila sel kanker sudah mencapai stadium lanjut, kemoterapi dapat digunakan untuk mengurangi gejala yang diakibatkan oleh kanker. Terapi dengan tujuan ini digunakan bukan untuk mengobati penyakit kanker itu sendiri, tetapi untuk meningkatkan kualitas hid up dari pasien.
15
Selain itu, kemoterapi juga seringkali digunakan bersamaan dengan terapi lainnya. Hal ini juga membuat kemoterapi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant atau neoadjuvant. 1. Adjuvant chemotherapy Terapi kemoterapi ini digunakan biasanya setelah proses operasi untuk menghilangkan sel kanker. Kemoterapi yang digunakan untuk menghilangkan sel kanker yang mungkin masih tersisa dan tidak terlihat setelah proses pengambilan sel kanker dengan operasi. Selain itu juga kemoterapi juga dilakukan setelah terapi radiasi pada penyakit kanker. Sebagai contoh adalah adjuvant hormone therapy yang dilakukan setelah terapi radiasi untuk kanker prostat. 2. Neoadjuvant Chemoterapy Kemoterapi dilakukan sebelum dilakukan terapi operasi atau radiasi untuk menghilangkan sel kanker. Kemoterapi dilakukan untuk memperkecil ukuran dari sel tumor, sehingga lebih mudah dihilangkan dan dibuang dengan dengan operasi. Selain itu, memperkecil ukuran dari sel tumor dengan terapi neoadjuvan ini juga dapat mempermudah proses terapi dengan radiasi. Neoadjuvant
chemoterapy
dapat
membunuh sebagian kecil dari sel kanker yang tidak dapat dilihat pada hasil scan atau x-rays (ACS, 2013). c. Kemoterapi pada Kanker Payudara Pada kasus kanker payudara, kemoterapi seringkali digunakan sebagai adjuvan maupun neoadjuvan, yang pada banyak kasus memberikan efek yang paling baik bila digunakan secara kombinasi dengan terapi lain
16
seperti terapi hormon dan operasi, terutama pada kasus kanker payudara stadium dini, tergantung pada stadium dan karakteristik kanker payudara yang diderita oleh pasien. Kemoterapi juga digunakan untuk menangani kanker payudara yang sudah mengalami metastase ke daerah lain, seperti lymph node, serta kanker payudara kambuhan (NCCN, 2006). Tabel I. Agen Kemoterapi yang sering digunakan pada kasus kanker payudara berdasarkan American Cancer Society (ACS) dan National Cancer Comprehensive Network (NCCN) 2006
FAC/CAF FEC/CEF AC EC TAC A? CMF E? CMF CMF AC x 4 A? T? C FEC? T
Kemoterapi Adjuvant Kemoterapi Adjuvant untuk Tumor HER-2 Negatif fluorouracil/doxorubicin/cyclophosphamide cyclophosphamide/epirubicin/fluorouracil doxorubicin/cyclophosphamide dengan atau tanpa paclitaxel epirubicin/cyclophosphamide docetaxel/doxorubicin/cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil doxorubisin dilanjutkan dengan cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil epirubicin dilanjutkan dengan cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil doxorubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan paclitaxel 4x, setiap 2 minggu ditambah dengan filgrastim doxorubicin dilanjutkan dengan paclitaxel dan dilanjutkan kembali dengan cyclophosphamide, setiap 2 minggu ditambah dengan filgrastim fluorouracil/epirubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan docetaxel Kemoterapi Adjuvant untuk Tumor HER-2 Positif
Adjuvant : AC? T + Trastuzumab Neoadjuvant : T + Trastuzumab ? CEF + Trastuzumab
Doxorubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan paclitaxel dengan trastuzumab Paclitaxel ditambahkan dengn trastuzumab dan dilanjutkan cyclophosphamide/epirubicin/fluorouracil ditambah trastuzumab
Pada beberapa kasus, kemoterapi bekerja dengan baik apabila diberikan dalam bentuk kombinasi lebih dari 1 jenis agen kemoterapi. Pemberian kemoterapi dilakukan dalam beberapa siklus, dimana di tiap siklusnya kemoterapi diikuti dengan fase istirahat (rest period). Pemberian
17
kemoterapi dilakukan biasanya tiap 2-3 minggu, tetapi dapat juga pada tiap pasien, tergantung pada kombinasi obat yang diberikan. Untuk kanker payudara stadium dini, pengobatan kemoterapi dilakukan biasanya hingga 36 bulan, sedangkan untuk kanker payudara stadium lanjut, lama terapi dapat berjalan lebih lama (ACS, 2012). d. Bahaya dan Efek Samping Obat Kemoterapi Kebanyakan obat kemoterapi berbahaya bagi orang sehat. Hal ini membuat penggunaan obat kemoterapi perlu untuk diperhatikan dan diperketat, baik itu dalam hal penggunaannya maupun penyimpanannya dikarenakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya gangguan akibat kontak seseorang dengan senyawa sitotoksik tersebut, termasuk juga bagi para praktisi kesehatan. Obat kemoterapi sendiri berbahaya karena dapat menyebabkan berbagai hal, antara lain dapat mengakibatkan perubahan DNA secara abnormal (efek mutagenik), mengakibat gangguan pada janin dan embrio yang menyebabkan kelahiran yang abnormal (efek teratogenik), mengakibatkan
terjadinya
suatu
kanker
(efek
karsinogenik),
serta
mengakibatkan terjadinya iritasi dan gangguan pada kulit. Penggunaan kemoterapi untuk pengobatan pada pasien sendiri baru dapat ditegakkan apabila sudah ada kepastian bahwa seseorang positif menderita kanker melalui suatu proses diagnosis yang mendalam (ACS, 2013). Beberapa efek samping yang terjadi, yang efeknya tergantung dari tipe obat yang digunakan, dosis obat, serta lama terapi yang dilakukan, antara lain :
18
1. Efek pada sel darah Kemoterapi mengakibatkan gangguan pembentukan sel darah di bone marrow, yang mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah sel darah yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai gangguan, seperti risiko terjadinya infeksi (akibat gangguan pembentukan sel darah putih), anemia (akibat gangguan pembentukan sel darah merah), serta kerentanan terjadinya luka dan pendarahan (akibat gangguan pembentukan platelet) (ACS, 2012). 2. Efek pada pertumbuhan rambut Kemoterapi dapat mengakibatkan kerontokan rambut (alopecia). Tidak semua obat dapat mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut, dan lainnya dapat mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut hingga terjadi kebotakan. Efek kerontokan rambut ini seringkali terjadi pada 2-3 minggu setelah terapi dimulai, meskipun dalam beberapa kasus hal ini dapat terjadi hanya dalam beberapa hari setelah terapi dimulai. Rambut tersebut dapat kembali tumbuh setelah terapi selesai, namun seringkali tumbuh dengan tekstur dan warna rambut yang berbeda dari sebelumnya (ACS, 2012). 3. Efek pada Sistem Pencernaan Beberapa
agen
kemoterapi
dapat
mempengaruhi
sistem
pencernaan dan mengakibatkan beberapa gangguan seperti mulut kering dan terasa pahit, perubahan pada nafsu makan, mual muntah, serta diare dan konstipasi. Efek samping mual dan muntah merupakan salah satu
19
efek samping yang sering terjadi pada penggunaan kemoterapi. Mual dan muntah termasuk ke dalam early side-effects, dimana efek samping ini seringkali terjadi dalam rentang waktu 1 -24 jam setelah pemberian agen kemoterapi, meskipun juga kadang terjadi pada waktu lebih dari 24 jam setelah pemberian agen kemoterapi. Agen sitotoksik ini mengakibatkan terjadinya efek mual dan muntah karena mengakibatkan terjadinya stimulasi pada reseptor mual- muntah yaitu chemoreceptor trigger zone (CTZ). Tingkat risiko terjadinya efek samping mual muntah pada pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti emetic risk dari agen kemoterapi dan regimen yang digunakan, faktor spesifik dari pasien, serta pola mual muntah setelah pemberian agen kemoterapi yang spesifik dan regimennya (Dipiro et al, 2009). 4. Efek pada kulit dan jari Pada penggunaan beberapa agen kemoterapi juga dapat mengakibatkan terjadinya efek pada kulit seperti kulit kemerahan, gatal, mengelupas, kering, dan timbulnya jerawat. Selain itu pada beberapa agen kemoterapi juga dapat mengakibatkan kulit menjadi lebih sensitif, terutama terhadadap sinar matahari. Beberapa obat kemoterapi, seperti capecitabine dan doxorubicin, dapat mengakibatkan iritasi pada telapak tangan dan kaki, yang disebut dengan hand-foot syndrome. Sindrom ini ditandai dengan beberapa gejala seperti mati rasa, geli, dan kemrahan. Dan semakin parah, gejala yang
20
dapat timbul antara lain tangan dan kaki menjadi bengkak dan terasa nyeri. 5. Efek pada siklus menstruasi dan fertilitas Pada beberapa wanita, terutama pada wanita yang masih muda, perubahan waktu menstruasi merupakan salah satu efek samping dari kemoterapi yang seringkali terjadi. Menopause yang prematur serta infertilitas dapat terjadi bahkan bersifat permanen. Sedangkan pada wanita yang berusia lanjut dapat mengakibatkan terjadinya menopause yang lebih dini, serta meningkatkan risiko terjadinya kerapuhan tulang dan osteoporosis. Sedangkan
pada
pria,
agen
kemoterapi
juga
dapat
mengakibatkan gangguan pada testis yang jua dapat mengakibatkan terjadinya infertilitas. Hal ini dikarenakan agen kemoterapi tersebut dapat menurunkan jumlah sperma yang dihasilkan serta motilitas sperma tersebut. 6. Neuropathy Beberapa obat kemoterapi, seperti paclitaxel yang digunakan untuk mengobati kanker payudara, dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem saraf. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya gejala seperti rasa nyeri, rasa terbakar dan geli, dan sensitif terhadap dingin atau panas.
21
7. Gangguan pada Jantung Obat-obat seperti doxorubicin dapat mengakibatkan gangguan pada jantung. Hal ini terutama apabila penggunaan agen kemoterapi tersebut dengan dosis tinggi dan durasi yang panjang. 8. Efek samping lain Efek samping lain yang mungkin terjadi antara lain peningkatan terjadinya risiko leukemia, gangguan memori dan konstentrasi, reaksi alergi, gangguan penglihatan dan pendengaran, kerusakan jaringan (ekstravasasi), serta gangguan ginjal dan liver. e. Chemoterapy-Induced Nausea Vomiting Nausea atau mual muntah mungkin merupakan manifestasi dari berbagai keadaan, termasuk kehamilan, mabuk perjalanan. obstruksi saluran pencernaan, ulkus peptikum, toksisitas obat, infark miokard, gagal ginjal, dan hepatitis. Pada kemoterapi kanker, mual dan muntah yang diinduksi oleh obat dapat terjadi secara teratur sehingga antisipasi muntah terjadi jika penderita kembali untuk berobat sebelum penderita diberi obat kemoterapi. Bila muntah tidak dapat dikontrol, perasaan tidak enak yang menyertai muntah yang diinduksikan oleh obat dapat menyebabkan penderita menolak untuk melalkukan kemoterapi. Mekanisme fisiologik yang menyebabkan terjadinya mual dan muntah ini belum seluruhnya diketahui. Koordinasi aktivitas gerakan yang kompleks dari lambung dan otot-otot abdomen terletak di “pusat muntah”, yang berlokasi di dalam formasi retikularis di medulla. Pusat muntah
22
menerima masukan dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang berlokasi di lantai ventrikel keempat, apparatus vestribular, dan daerah-daerah lain. CTZ memberikan respon terhadap ransangan kima, seperti obat kemoterapi kanker, yang jelas terbukti melalui aktivitas reseptor dopamine atau serotonin (Tehuteru, 2007). Sumber yang dapat menjadi input ke pusat muntah antara lain : a) Chemtherapy trigger zone yang mengandung reseptor dopamine D2, reseptor serotonin 5-HT3, reseptor opioid, reseptor asetilkolin, dan reseptor substansi P. Stimulasi dari reseptor yang berbeda tersebut dapat merangsang pusat muntah melalui jalan yang berbeda. b) Sistem vestibular yang memberikan sinyal ke otak melalui saraf otak keVIII (vestibulocochlearis). Sistem ini berperan pada gejala muntah yang disebabkan oleh mabuk perjalanan (motion sickness) dan berkaitan denagn reseptor muskarinik dan reseptor histamine H1. c) Saraf otak ke-X (vagus) diaktivasi bila daerah faring terangsang sehingga menimbulkan reflex muntah. d) Sistem
saraf
usus
dan
vagus
merupakan
input
dari
sistem
gastrointestinal. Iritasi dari mukosa gastrointestinal karena kemoterapi, radiasi, distensi usus, dan gastroenteritis dapat mengaktivasi reseptor 5HT, melalui jalur ini. e) Susunan saraf pusat mempunyai peran pada muntah yang berkaitan dengan gangguan psikiatrik dan stress.
23
Selain itu, mual juga didefinisikan sebagai perasaan tidak enak berhubungan dengan saluran makan bagian atas dan biasanya diikuti dengan rasa ingin muntah dan pucat, berkeringat, salivasi, dan takikardi. Muntah adalah keluarnya isi lambung melalui mulut, banyak ditemukan pada 4070% penderita kanker stadium lanjut. Penyebabnya antara lain : a) Iritasi faring dan obstruksi parsial atau komplet saluran cerna (akibat kanker usus/di luar usus seperti asite, hepatomegali, tumor pancreas, konstipasi, peregangan kapsul organ visera). b) Metabolik : hiperkalsemia, gagal ginjal, hati, dan hiponatremia. c) Infeksi
berat
(infeksi
candida,
herpes,
lesimukosal
infeksi
cytomegalovirus dan infeksi sistemik yang lain). d) Obat : kemoterapi, opioid, digoxin, antibiotik, radioterapi, dan seterusnya. e) Gangguan sistem vestribuler : infiltrasi keganasan, obat (aspirin, platinum). f) Pusat kortikal : faktor psikologis (kecemasan), bau, rasa kecap, peningkatan tekanan intrkarnial, iritasi meningal. Kategori utama obat-obat antiemetik termasuk anti- histamin H1, fenotiazin, metoklopramid, dan ondansetron. Antihistamin dengan aktivitas antiemetik yang baik (seperti difenhidramin, hidrosizin) mempunyai efek anti muskarinik dan sedative yang jelas. Nampaknya mungkin kedua kerja ini dan efek penghambat H1
24
yang menambah efektivitas antiemetik. Obat-obat ini terutama efektif untuk mual dan muntah yang berkaitan dengan mabuk perjalanan, mungkin karena depresi spesifik konduksi jalur vestibuloserebelar. Obat-obat antikolinergik, khususnya skopolamin, juga digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan. Fenotiazin menghambat reseptor dopamine dalam CTZ juga pada daerah lain di otak. Prokloperazin dan prometazin sering digunakan sebagai antiemetik. Walaupun hampir semua fenotiazin mempunyai beberapa aktivitas antiemetik, penggunaannya dibatasi oleh derajat sedasi yang berhubungan dengan kerja antiemetik.Gejala ekstrapiramidal, khususnya distonia, dapat
menjadi
berat
bila
dosis
besar
digunakan
untuk
menghentikan mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi. Distonia biasanya dapat dipulihkan dengan pemberian 50 mg difenhidramin intravena. Metoklopramid juga bekerja sebagai anatagonis dopamin dan telah digunakan untuk mencegah serta mengobati mual dan muntah. Ondansetron, penghambat 5-HT3 juga diakui penggunaannya dalam pencegahan mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi dan yang terjadi pasca operasi. Turunan mariyuana, level neutropenia dalam tubuh nilainya dapat bervariasi termasuk tetrahidrokanabinol (THC, dronabinol) sendiri adalah antiemetik yang efektif pada beberapa penderita, termasuk beberapa di antara mereka yang tidak efektif terhadap antiemetik lain. Dronabinol disetujui untuk indikasi ini. Mekanisme kerja obat ini tidak diketahui tetapi tampaknya melibatkan reseptor dalam chemoreceptor trigger zone. Kortikosteroid
25
bersifat antiemetik, tetapi mekanisme kerjanya tidak diketahui. Akhirnya, sedatif- hipnotik, seperti benzodiazepin, sering digunakan untuk mengontrol antisipasi mual dan muntah. Berikut ini adalah potensi emetogenik dari sitoplastik dan kombinasinya (SEOM, 2010) : a) Kemoterapi sangat emetogenik (>90% pasien muntah). Level 4. a. Cisplatin,
metchlorethamine,
streptozotocin, cyclophosphamide
>1500 mg/m2 b. Carmusin, dacarbazine c. Cytostatic oral : Hexamethylmelamine, procarbazine b) Kemoterapi emetogenik sedang (30-90% pasien muntah) Level 3. a. Oxaliplatin, Cytarabine (>1 g/m2 ) b. Antracyclines, ronotecan c. Cytostatic oral: Cylophosphamide, etoposide, temozolomide, vinoelbine, imatinib c) Kemoterapi emetogenik rendah (10-30% pasien muntah) level 2. a. Taxanes,
mitoxantrone,
methotrexate,
mitomycin
topotecan, C,
gemcitabine,
bortezomib, cetuximab, trastuzumab b. Cytostatic oral: Capecitabine, fludarabine
etoposide,
pemetrexed,
cytarabine,
5-Fu,
26
d) Kemoterapi emtogenik minimal (<10% pasien muntah). Level 1. a. Bleomycin, busulfan, 2-clorodeoxiadenosi- na, fluradarabine, vinca alkaloids, bevacizumab b. Cytostatic oral: Chlorambuci, hydroxyurea, methotrecate, gefitinib Potensi dari emetogenik kombinasi ditentukan oleh obat dengan potensi emetogenik paling tinggi. Penggunaan obat pada level 3 meningkatkan level emetogenik dari kombinasi (FAC, FEC, AC, TAC), sedangkan untuk penggunaan obat pada leve l 1 dan 2 tidak mengubah level emetogenik dari kombinasi (SEOM, 2010) 3. Golongan obat antiemetik Penanganan mual muntah yang terkait dengan obat kemoterapi didasarkan pada penggunaan obat yang menghambat atau pengantagonis sinyal dari beberapa neurotransmitter yang terlibat dalam proses tersebut. Obat yang digunakan sebagai antiemetik dapat didefinisikan sebagai berikut (Paul, 2008) : a. Antagonis reseptor serotonin (5-HT3 -reseptor antagonis) Saat ini 5-HT3 -reseptor anatagonis yang secara luas sudah digunakan antara lain ondansetron, granisetron, dolasetron, tropisetron, dan agen terbaru yaitu palonosetron. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapi untuk pencegahan potensial emetik dari agen kemoterapi menengah sampai tinggi. Dalam penelitian terbaru, telah ditunjukkan ekuivalensi terapeutik pada ke-empat 5-HT3 -reseptor anatgonis lama yang didukung dengan metode meta-analisis. Obat-obatan ini memiliki efek samping yang kecil. Percobaan
27
klinis pada 5-HT3 -reseptor antagonis lama (missal : granisetron, ondansetron), menunjukkan efikasi yang rendah untuk muntah tipe tertunda pada mual dan muntah akibat kemoterapi dibandingkan dengan muntah tipe akut. Agen ini menunjukkan sedikit aktivitas bila digunakan untuk pencegahan muntah tipe tertunda yang diinduksi oleh cisplatin. Tahun 2003, 5-HT3 -reseptor antagonis baru, palonosetron, ditemukan. Berbeda dengan golongan 5-HT3 -reseptor antagonis lain, obat ini memiliki waktu paruh yang lebih lama (kira-kira 40 jam) dan secara substansial afinitasnya dalam meningkat 5-HT3 -reseptor lebih besar. a) Generasi pertama : ondanstron, granisetron, dolasetron, tropisetron. b) Generasi kedua : palonosetron. Tabel II. Antagonis reseptor serotonin (SEOM, 2010) obat
pemberian
Dosis
Intravena
8 mg atau 0,15 mg/kg
Oral
24 mg HEC, 16 mg MEC
Intravena
1 mg atau 0,01 mg /kg
Oral
2 mg
Intravena
100 mg atau 1,8 mg/kg
Oral
100 mg
Intravena
5 mg
Oral
5 mg
Intravena
0,25 mg
Ondansetron
Granisetron
Dolasetron
Tropisetron Palonosetron
Pengenalan antagonis reseptor serotonin pada CINV memperbaiki angka kontrol mual muntah akut pada kemoterapi emetogenik tinggi dan sedang. Agen generasi pertama ekuivalen dalam kemanjuran dan toksisitas
28
ketika digunakan pada dosis yang direkomendasikan. Namun demikian, obat ini tidak menunjukkan manfaat yang serupa dalam mengendalikan mual muntah yang bersifat lambat. b. Penghambat Neurokinin-1 Aprepitan adalah antagonis-1 reseptor neurokinin (NK1) yang menghambat pengikatan reseptor ini dengan subtansi P, dan terkait mengurangi mual muntah. Beberapa percobaan klinis telah menunjukkan superioritas kombinasi yang mencakup aprepitan, antagonis reseptor serotonin dan steroid untuk mengendalikan mual muntah akut dan lambat yang terkait dengan kemoterapi yang sangat emetogenik. Tabel III. Penghambat Neurokinin-1 dan steroid pada terapi mual dan muntah yang ditimbulkan oleh kemoterapi (SEOM, 2010) Obat
Dosis
Aprepitant (mual muntah akut) Aprepitan (mual muntah lambat) Dexamethasone :
Hari 1: 125 mg/oral Hari 2 & 3: 80 mg/oral
HEC (mual muntah akut)
Hari 1: 12 mg Jika tidak dihubungkan dengan aprepitant 20 mg
HEC (mual muntah lambat)
Hari 2-4: 8 mg/24h atau 4 mg/12 h Jika tidak dihubungkan dengan aprepitant 8 mg/12 h
MEC (mual muntah akut) Hari 1: 8 mg MEC (mual muntah lambat) Hari 2-3: 8 atau 4 mg/12 mg/24 hg HEC, (highly emetogenic chemotherapy) kemoterapi sangat emetogenik; MEC, (moderately emetogenic chemotherapy) kemoterapi emetogenik sedang.
c. Kortikosteroid Dexamethasone,
meskipun
mekanisme
aktivitasnya
sebagai
antiemetik tidak diketahui dengan pasti, memiliki peranan penting dalam mual dan muntah yang ditimbulkan oleh kemoterapi.
29
Beberapa percobaan telah menunjukkan kemanjuran yang lebih tinggi dari obat ini dalam kombinasi dengan agen lain dibanding sebagai monoterapi pada mual muntah akut dan lambat dan ini dapat diterapkan pada kemoterapi emetogenik tinggi dan sedang. Dosis yang diberikan untuk pencegahan mual muntah akut berkisar dari 12 mg, ketika digabungkan dngan aprepitan sebelum kemoterapi emetogenik tinggi, sampai 8 mg sebelum kemoterapi emetogenik sedang. Untuk terapi mual muntah lambat, dosis dexamethasone yang digunakan pada hari 2 dan 3 adalah 8 mg. d. Obat antiemetik dengan potensi antiemetik rendah a) Metoklopramid, fenothiazine, butyrofenon Karena penghambatan reseptor dopaminnya, obat ini memiliki properti antiemetik. Fenothiazin dan butyrofenon memiliki indeks terapeutik yang sempit sebagai antiemetik karena efek samping seperti sedasi dan efek ekstrapiramidal. Metokloropramid pada dosis rendah memiliki efek seperti antagonis reseptor dopamin dan pada dosis yang lebih tinggi bertindak sebagai antagonis dari reseptor serotonin. Ini tidak menyebabkan sedasi, tetapi kegunaannya sebagai antiemetik terbatas dengan adanya akthisia, reaksi ekstrapiramidal dan ketergantungan dosis. b) Benzodiazepin Kegunaan benzodiazepin sebagai antiemetik dibatasi pada mual muntah antisipatif. Dalam situasi ini, reduksi kecemasan yang dihasilkan
30
oleh pemberian kemoterapi memberi kontribusi pada penurunan kejadian emetik. Obat yang umum digunakan adalah lorazepam. Manajemen
mual
muntah
yang
ditimbulkan
oleh
kemoterapi sesuai dengan tingkatan dari emetogenisitasnya, antara lain (ESMO, 2010) : 1. Antiemetik untuk terapi dengan potensi emetogenik yang tinggi (>90%) a. Dengan aprepitant a) Aprepitant PO atau Fosaprepitant IV b) Ondansetron 8-16 mg IV atau 8-24 mg PO c) Deksametason 12 mg IV atau PO b. Tanpa aprepitant a) Salah satu antagonis serotonin (diutamakan Ondansetron 8-24 mg IV atau 16-24 mg PO dan deksametason 20 mg IV atau PO 2. Antiemetik pada terapi dengan potensi emetogenik sedang (30-90%) a. Dengan aprepitant a) Aprepitant PO atau Fosaprepitant IV b) Ondansetron 8-16 mg IV atau 8-24 mg PO c) Deksametason 12 mg IV atau PO b. Tanpa aprepitant Salah satu antagonis serotonin (diutamakan Ondansetron 8-24 mg IV atau 16-24 mg PO dan deksametason 20 mg IV atau PO
31
3. Antiemetik untuk terapi dengan potensi emetogenik rendah (10-30%), dapat diberikan deksametason 4-20 mg iv/po, atau fenotiazin, atau metoklopramid 10-40 mg iv/po, atau ondansetron PO 4. Antiemetik pada terapi dengan potensi emetogenik minimal (<10%), tidak direkomendasikan untuk terapi utama Dapat dicatat bahwa nilai yang mendasari dari obat antiemetik adalah pencegahan. Bila kejadian emetik terjadi, hasil terapeutik dari obat yang sama ini adalah paling ringan. Bukti dalam situasi ini tidak dibuat dari studi pasien secara acak.
F. Keterangan Empirik Dengan
dilakukannya
penelitian
ini
dapat
diketahui
gambaran
karakteristik pasien, pola penggunaan kemoterapi, dan pola penggunaan antiemetik sebagai terapi pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi, dengan mengetahui hal- hal tersebut dapat mengetahui kesesuaian penggunaan antiemetik baik keseuaian indikasi, kesesuaian obat, kesesuaian dosis, dan outcome pasien pasca kemoterapi yang telah diberikan antiemetik dalam premedikasinya berdasarkan guideline dari National Comprehensive Cancer Network (NCCN) 2012 dan dari Europian Society for Medical Oncology (ESMO) 2010. pada pasien kemoterapi kanker payudara rawat inap yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2012.