PERANAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA-PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)
TESIS
Oleh
ANNISA SATIVA 067005082/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
PERANAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA-PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ANNISA SATIVA 067005082/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
Judul Tesis
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: : :
PERANAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA-PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN) Annisa Sativa 067005082 Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof . Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Lulus Tanggal : 06 Agustus 2008
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
Telah diuji pada Tanggal 06 Agustus 2008
PANITIA PENGUJI TESIS KETUA ANGGOTA
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH : 1. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M. Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr.T. Keizerina Devi Anwar, SH, CN, M. Hum
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
ABSTRAK
Pemutusan Hubungan Kerja yang lebih dikenal dengan istilah PHK merupakan awal dari hilangnya mata pencaharian bagi pekerja/buruh karena kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Para pekerja/buruh beserta keluarganya akan merasakan derita akibat PHK tersebut. Dampak PHK ini, sangat kompleks dan cenderung menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu, mekanisme dan prosedur PHK telah diatur sedemikian rupa, agar pekerja/buruh yang di PHK tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-hak normatifnya sesuai dengan ketentuan. Selama ini (dari tahun 1957), penanganan perselisihan PHK ditangani oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) dibawah naungan Departemen Ketenagakerjaan. Akan tetapi, sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penanganannya dialihkan ke Pengadilan Negeri, dimana Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tersebut berada. Sebelum permasalahan perselisihan hubungan industrial ini dibawa ke PHI, terlebih dahulu telah dilakukan perundingan secara bipartit atau tripartit. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini meliputi faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya PHK, kompensasi yang diberikan kepada pekerja/buruh yang di PHK berdasarkan putusan hakim PHI dan peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif analisis dengan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Tesis ini menggunakan metode pendekatan kasus, yang kajian pokoknya adalah pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu keputusan. Sumber-sumber penelitian hukum yang digunakan, terdiri dari: bahan hukum primer berupa aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundangundangan dan putusan-putusan hakim, bahan sekunder berupa buku-buku teks, hasilhasil penelitian, majalah, jurnal-jurnal ilmiah dan pendapat sarjana, serta bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, yang dalam hal ini peneliti menetapkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai tempat melakukan penelitian lapangan tersebut. Keseluruhan data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisi secara kualitatif dan diolah menggunakan metode induktif dan deduktif sehingga pada akhirnya diperoleh solusi dari permasalahan dalam penelitian ini. Berdasarkan putusan-putusan hakim PHI mengenai PHK yang diteliti dalam tesis ini, ada beberapa faktor penyebab terjadinya PHK tersebut, antara lain: 1. Adanya kinerja yang tidak baik; 2. Adanya penolakkan dari pekerja/buruh untuk menandatangani surat kontrak; 3. Karena kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh;
i
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
4. Adanya tuntutan dari pekerja/buruh untuk diangkat menjadi pegawai tetap; 5. Adanya efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan yang menyebabkan terjadinya PHK. PHK selalu memiliki akibat hukum, baik terhadap pengusaha maupun terhadap pekerja/buruh itu sendiri. Akibat hukum dimaksud adalah bentuk pemberian kompensasi upah kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya terputus dengan pengusaha. Berdasarkan putusan-putusan yang dianalisis dalam tesis ini, dasar pertimbangan hakim PHI dalam pemberian kompensasi upah kepada pekerja/buruh yang di PHK adalah adanya perbuatan melawan hukum, maka hakim memutuskan pembayaran upah yang wajib dipenuhi oleh pihak pengusaha harus sesuai dengan ketentuan UMP/UMK di Sumatera Utara, kemudian dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan kekurangan-kekurangan upah pekerja/buruh, pengusaha juga berkewajiban untuk membayarkannya. Peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK terlihat dalam setiap putusannya. Kepastian hukum dapat berarti keharusan adanya suatu peraturan. Walaupun peraturan-peraturan mengenai hukum ketenagakerjaan tidak terhimpun dalam suatu kodifikasi, peraturan tersebut tetap dapat memberikan suatu kepastian hukum. Terkecuali Undang-Undang tidak ada mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya (sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004). Kepastian hukum dapat juga berarti memberikan perlindungan terhadap individu yang disewenang-wenangkan oleh individu lain. Pelaksanaan PHK ini seharusnya mengikuti prosedur hukum sesuai ketentuan perundang-undangan sehingga pada akhirnya tidak menimbulkan perselisihan yang berakhir sampai ke pengadilan.
Kata-Kata Kunci : Peranan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial, Pemutusan Hubungan Kerja, dan Kepastian Hukum.
ii
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
ABSTRACT
Severance of work relations which is more known as laid-off (PHK) is the beginning of the loosing of job that will result in suffering for the workers and their families. The impact of laid-off is very complex and tends to result in dispute; therefore, the mechanism and procedure of laid-off has been regulated in such a way that the worker who have been laid-off will still get appropriate protection and their normative rights in accordance with the existing stipulation. From 1957 to present, any laid-off based dispute is handle by Central/Regional Labor Dispute Settlement Committee (P4D/P4P) under the auspices of the Department of Manpower. But, since the issuance of Law No. 2/2004 on Industrial Relation Dispute Settlement, its handling is transferred to the court of first instance (PN) where the Industrial Relation Court (PHI) is located. Before, the problem industrial relation dispute had been taking to PHI, for the first were obtained negotiation according to bipartite or tripartite. The problem looked at in this study includes the factors that cause the incident of laid-off (PHK), compensation given to the laid-off workers based on the decision made by the PHI judge, and role of PHI judge giving legal certainty to the laid-off cases. This analytical descriptive study with qualitative normative juridical research method employs the case approach method. The data for this study were obtained through collecting primary legal materials such as legal regulations found in several legal system or regulation of legislation and the decision made by the judges; secondary legal materials such as text books, research finding, magazines, scientific journals and scholars’ opinions; and tertiary legal materials such as legal materials that give a lead of significant explanation to the primary and secondary legal materials. The data in the form of legal materials were obtained through library research and field research conducted in the Industrial Relation Court (PHI). The data obtained were qualitatively analyzed and processed using deductive and inductive methods that the solution to the problems in this study was finally achieved. Based on the decisions about the laid-off made by judges of Industrial Relation Court, several causal factors of laid-off incident studied are among other things: 1. Poor performance; 2. Workers refuse to sign the work agreement; 3. Workers have made serious mistakes; 4. Workers demand to be promoted permanent employees; and 5. Company makes efficiency that result in the incident of being laid-off. Being laid-off always has its legal consequence either to the entrepreneur or to the workers themselves. Legal consequence is defined as the form of salary compensation payment to the workers whose work relation to the entrepreneur is terminated. Based on decisions analyzed in this study, the basic considerations taken by the judges of Industrial Relation Court is paying the salary compensation to the
iii
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
laid-off workers are if they have done something against the law. The judge decides that the payment of salary which has to be paid by the entrepreneur must be in accordance with the amount of the provincial and district minimum wage (UMP/UMK) in North Sumatera, then it is calculated based on the stipulation stated in Article 156 of Law No. 13/2003, and the entrepreneur is also obliged to pay the workers’ salary which are not yet fully paid. The role of judges of Industrial Relation Court in providing legal certainty to the cases of laid-off seen any decision they made. Legal certainty can mean there must be a regulation. Even though the regulations of Law of Manpower are not compiled in a codification, the regulations can still give a legal certainty. Unless the laws are regulated, the judges must find the law for it (according to Article 16 (1) of Law No. 4/2004). Legal certainty can also mean to protect an individual arbitrarily treated by the other individual. The implementation of laid-off should follow the legal procedure which is in accordance with the existing legislation that it will not eventually result in the dispute which ends in the court.
Key words: Role of Industrial Relation Court Judge, Severance of Work Relation, Legal Certainty
iv
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan judul: ”PERANAN
PENGADILAN
MEMBERIKAN PEMUTUSAN PEMUTUSAN
HUBUNGAN
KEPASTIAN HUBUNGAN HUBUNGAN
HUKUM
KERJA
(STUDI
INDUSTRIAL TERHADAP
PERKARA
TERHADAP
KERJA-PENGADILAN
DALAM
PUTUSAN
HUBUNGAN
INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)”. Penulisan tesis merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan material maupun bantuan moril. Oleh karena itu pada kesempatan baik ini, saya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P., Lubis, DTM&H, Sp. A (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister; 2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairunnisa B., M. Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa program magister ilmu hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku pembimbing I
v
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
sekaligus menjadi komisi penguji, yang telah memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis; 4. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku pembimbing II sekaligus menjadi komisi penguji, yang dengan penuh perhatian memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis; 5. Dr. Mahmul Siregar, SH, M. Hum selaku pembimbing III sekaligus menjadi komisi penguji, yang dengan penuh perhatian memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini; 6. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku dosen penguji penulis; 7. Dr. T. Keizerina Devi Anwar, SH, CN, M.Hum, selaku dosen penguji penulis; 8. Bapak dan Ibu Dosen pengajar serta seluruh staf pegawai di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 9. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan, Bapak Ibnu Affan, SH, yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini dengan memberikan sejumlah putusan-putusan pengadilan yang penulis analisis didalam tesis ini; 10. Panitera Muda Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan, yang telah membantu penulis dalam memberikan data-data yang dibutuhkan dalam tesis ini;
vi
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
11. Teristimewa untuk Orang tua penulis, Chalik Yahya, SH dan Cut Elfina Abdoellah, SH yang telah mencurahkan segenap kasih sayang, dan selalu memberikan do’a kepada penulis; 12. Adik-adikku Muhammad Harris, dan Alyssa Fitri yang selalu memberikan do’a dan membantu menyemangati penulis dalam menyelesaikan tesis ini; 13. Seseorang yang selama ini telah setia mendampingi, selalu memberi doa dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini (Zulkifli Sitorus, SH); 14. Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2002 dan Civitas Akademika Program Studi Ilmu Hukum (Reguler) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara stambuk 2006 yang tidak dapat penulis disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi dan tesis ini; Akhir kata, semoga segala bantuan dan bimbingan yang penulis terima, dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang memerlukan dan mengembangkannya, khusus dalam hukum perburuhan.
Medan, 15 Juli 2008 Penulis,
Annisa Sativa
vii
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Annisa Sativa
Tempat/Tgl. Lahir
: Medan, 19 Juli 1984
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Karya Wisata Komp. Johor Indah Permai 1 Blok C No. 3 Medan 20144
PENDIDIKAN FORMAL - Sekolah Dasar Swasta Al-Azhar Medan dari tahun 1990 s/d 1996. - Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Medan dari tahun 1996 s/d 1999. - Sekolah Menengah Umum Kemala Bhayangkari 1 Medan dari tahun 1999 s/d 2002. - Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dari tahun 2002 s/d 2006 - Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) dari tahun 2006 s/d sekarang.
viii
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK……………………………………………………………………
i
ABSTRACT………………………………………………………………….
iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
v
RIWAYAT HIDUP………………………………………………………….
viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
ix
DAFTAR TABEL……………………………………………………………
xii
DAFTAR ISTILAH………………………………………………………….
xiii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................
xv
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................
1
A. Latar Belakang...............................................................................
1
B. Rumusan Masalah..........................................................................
16
C. Tujuan Penelitian............................................................................
17
D. Manfaat Penelitian..........................................................................
17
E. Keaslian Penulisan..........................................................................
18
F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional.................................
19
1. Kerangka Teori............................................................................
19
2. Landasan Konsepsional...............................................................
31
G. Metode Penelitian...........................................................................
33
1. Jenis Dan Sifat Penelitian............................................................
33
2. Pendekatan Penelitian..................................................................
35
3. Sumber Data................................................................................
35
4. Teknik Pengumpulan Data..........................................................
36
5. Analisis Data...............................................................................
37
ix
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
BAB II : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA........................................
39
A. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha.................................................................................
39
B. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Dari Pekerja/ Buruh........................................................................................
43
C. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum......................................................................................
45
D. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial....................................................................................
47
BAB III : KOMPENSASI SEBAGAI PEMENUHAN HAK NORMATIF PEKERJA/BURUH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN................................................................................
55
A. Batasan Kompensasi....................................................................
55
B. Komponen Kompensasi Yang Diberikan Kepada Pekerja/ Buruh...........................................................................................
58
C. Dasar Perhitungan Kompensasi...................................................
63
D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Kompensasi Upah Kepada Pekerja/Buruh........................................................
77
BAB IV : PERANAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KASUS-KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.......
85
A. Gambaran Umum Mengenai Pengadilan Hubungan Industrial.....
85
B. Kedudukan Dan Peranan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial....................................................................................... C. Peranan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Kasus-Kasus
x
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
92
Pemutusan Hubungan Kerja........................................................
101
D. Analisis Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan.................
107
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................
119
A. Kesimpulan.................................................................................
119
B. Saran.............................................................................................
121
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
123
xi
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
2.
Judul
Halaman
Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial di PN Medan Tahun 2006-2007.....................................
86
Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial di PN Medan Tahun 2008...............................................
87
xii
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
DAFTAR ISTILAH
Actor Autoratif Begriff Blue Collar
: Pelaku : Mempunyai Otoritas : Pengertian-Pengertian Baru : Orang-Orang yang Melakukan Pekerjaan Kasar, seperti: kuli. Tukang dan mandor : Pendekatan Kasus
Case Approach Convention Concorning Freedom of Association and Protection of the Right to Organise : Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi Decision Making : Membuat Keputusan Delegated Legislation : Pelimpahan Dari Badan Legislatif Dienstverhoeding : Hubungan Kerja Dikhotomi : Pemisahan Doctrinal Research : Penelitian Doktrinal Ekstensif : Memperluas Force Majeur : Keadaan Memaksa Food And Beverages : Tata Hidangan Inferior Court : Peradilan Tingkat Pertama In natura; In kind : Pembagian Catu (bagian yang sudah ditentukan Banyaknya) Ius Curia Novit : Hakim Mengetahui Hukumnya Iustitia, Ius, Recht : Keadilan Jurisdiction : Yurisdiksi Labour : Pekerja/Buruh Labour Force : Kelompok Usia Kerja yang Potensial Untuk Bekerja Law Applying : Melaksanakan Hukum Law Enforcement : Penegakan Hukum Law Making : Membuat Hukum Legal Problem Identification : Mengidentifikasi Permasalahan Hukum Legal Problem Solving : Menyelesaikan Permasalahan Hukum Legges, Wetten : Kaidah-Kaidah Lex, Wet : Undang-Undang Gesetzliches Unrecht : Ketidakadilan Dalam Undang-Undang Yang Resmi Berlaku Library Research : Penelitian Kepustakaan Market Dicipline : Disiplin Pasar Moral Hazard : Aji Mumpung (Kesempatan Yang Datang di Waktu Bersamaan)
xiii
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
Multi Union Overlapping Overeenkomst Pra Employment Rapport du Droit, Inbreng Van Recht
: Lebih dari 1 (satu) Organisasi Pekerja/Buruh : Tumpang Tindih : Persetujuan, Perjanjian : Tenaga Kerja Pada Waktu Sebelum Bekerja
: Hakikat Hukum ialah Membawa Aturan Yang Adil dalam Masyarakat Ratio Decidendi/Reasoning : Pertimbangan Pengadilan Untuk Sampai Kepada Suatu Keputusan Rechtconstructie : Konstruksi Hukum Rechthandhaving : Mempertahankan Hukum Rechtvinding : Menemukan Hukum Regere : Memimpin Restriktif : Membatasi Reward : Penghargaan Single Union : 1 (satu) Organisasi Pekerja/Buruh Sliding Scale : Secara Landai Spannungs-Verhaltnis : Ketegangan Satu Sama Lain Stakeholders : Pemangku Kepentingan Superior Court : Peradilan Yang Lebih Tinggi Uebergesetzliches Recht : Keadilan Di Luar Undang-Undang Unfair Labour Practices : Itikad Yang Tidak Baik Verbintenis : Perikatan, Perhutangan, Perjanjian Volonte Generale : Kehendak Rakyat Bersama White Collar : Orang-Orang yang Melakukan Pekerjaan Halus, seperti: Karyawan/Pegawai
xiv
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
DAFTAR SINGKATAN APINDO Bimtek Dirjen Disnaker DPRD FBSI HIP Inpres ILO Jamsostek Keppres Kepmen KHM KUH Perdata LSM MA P4D P4P PA PAMUD Parpol Permen Permenaker PHI PHK PHL PKB PKWT PKWTT PN PNS PP PPHI PTTUN RS S1 SP/SB s/d UU
: Asosiasi Pengusaha Indonesia : Bimbingan Teknis : Direktur Jendral : Dinas Ketenagakerjaan : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Federasi Buruh Seluruh Indonesia : Hubungan Industrial Pancasila : Instruksi Presiden : International Labour Organization : Jaminan Sosial Tenaga Kerja : Keputusan Presiden : Keputusan Menteri : Kebutuhan Hidup Minimum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Lembaga Swadaya Masyarakat : Mahkamah Agung : Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah : Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat : Pengadilan Agama : Panitera Muda : Partai Politik : Peraturan Menteri : Peraturan Menteri Tenaga Kerja : Pengadilan Hubungan Industrial : Pemutusan Hubungan Kerja/Pengakhiran Hubungan Kerja : Perjanjian Harian Lepas : Perjanjian Kerja Bersama : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu : Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu : Pengadilan Negeri : Pegawai Negeri Sipil : Peraturan Pemerintah : Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara : Rumah Sakit : Strata Satu : Serikat Pekerja/Serikat Buruh : Sampai Dengan : Undang-Undang
xv
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
UMK UMP UMR vs WNI
: Upah Minimum Kota : Upah Minimum Propinsi : Upah Minimum Regional : Versus (Lawan) : Warga Negara Indonesia
xvi
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang memerlukan penghasilan agar dapat membeli, memperoleh atau membiayai
segala
benda
atau
sarana
yang
diperlukan
dan
juga
untuk
mempertahankan segala kekayaan dan sarana yang telah dimiliki atau secara rutin dapat digunakan untuk memenuhi segala keperluan hidupnya. Dalam usaha untuk mendapatkan penghasilan guna dapat memenuhi berbagai keperluan hidupnya itulah setiap orang pasti akan memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantumambantu atau saling tukar bantu dalam memberikan segala sesuatu yang telah dimiliki dan saling memberikan segala sesuatu yang masih diperlukan dari orang lain. 1 Seseorang yang kurang memiliki modal atau penghasilan memerlukan pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan kepadanya, sehingga ia dapat memenuhi segala keperluannya, setidaknya sebatas kemampuannya. Sebaliknya seseorang yang telah tergolong orang yang mampu dan bila pun ia dapat dikatakan telah memiliki segala sesuatu yang diinginkannya, namun jelas ia pun tidak mampu memelihara, merawat atau mempertahankannya seorang diri.
1
A. Ridwan Halim dan Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 1.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
2
Tenaga kerja memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai tujuan pembangunan. Sejalan dengan itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan
harkat
dan
martabat
kemanusiaan. 2
Pembangunan
ketenagakerjaan
diselenggarakan atas asas keterpaduan dan kemitraan. 3 Oleh karena itu, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk : 1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; 2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; 3. Memberikan
perlindungan
bagi
tenaga
kerja
dalam
mewujudkan
kesejahteraan; 4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
2
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif Dan Operasional, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hal. 1. 3 Lihat, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenegakerjaan yang berbunyi “Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional sektoral pusat dan daerah”, bahwa penjelasan dari Pasal tersebut asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
3
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh. Hubungan kerja yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini adalah suatu perikatan kerja yang bersumber dari perjanjian, tetapi tidak mencakup perikatan kerja yang bersumber dari undang-undang. Ketentuan perjanjian kerja yang ada hubungan kerja atau ketenagakerjaan bukan merupakan bagian dari hukum perjanjian, oleh karena itu dikatakan bahwa ketentuan perjanjian kerja bukan hukum pelengkap. Hal ini berarti ketentuan perjanjian kerja bersifat memaksa artinya ketentuan perjanjian kerja dalam hukum ketenagakerjaan tersebut wajib ditaati atau diikuti. 4 Soepomo memberikan definisi mengenai hubungan kerja, yaitu : 5 “Suatu hubungan antara seorang buruh dan seorang majikan, dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha mempekerjakan pekerja dengan buruh dengan memberi upah”. Hubungan kerja terjadi apabila seseorang (karyawan, pekerja, atau pegawai) menyediakan keahlian dan tenaganya untuk orang lain (majikan atau pimpinan)
4
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 70, bahwa para pihak dalam perjanjian kerja tidak dapat membuat perjanjian kerja yang menyimpang dari ketentuan peraturan undang-undang ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan bersifat memaksa yaitu tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat perjanjian kerja adalah merupakan bagian hukum ketenagakerjaan, bukan bagian dari hukum perjanjian. Hukum perjanjian yang mengatur ketentuan umum, sepanjang tidak diatur oleh hukum ketenagakerjaan berlaku dalam perjanjian kerja, tetapi bila undang-undang ketenagakerjaan telah mengaturnya maka ketentuan tersebut bersifat memaksa, artinya tidak dapat dikesampingkan. 5 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 1.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
4
sebagai imbalan sejumlah uang. Hubungan kerja tersebut harus dilakukan secara teratur dan terus-menerus, untuk membedakannya dengan keadaan bahwa seorang kontraktor bebas membuat perjanjian hanya untuk suatu pekerjaan tertentu, kemudian ia pergi dan menjual jasanya di tempat lain. Pekerjaan itu dapat dilakukan selama jangka waktu tertentu dan tidak tertentu, lama atau singkat, atau sampai suatu pekerjaan tertentu itu diselesaikan; tetapi pada umumnya pihak-pihak lebih terikat secara teratur. Sebuah perusahaan dapat mempekerjakan beberapa direkturnya sendiri dengan membuat suatu perjanjian kerja dan menjadi anggota serikat buruh. Jika terjadi suatu perselisihan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), maka serikat buruhlah yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap para pekerjanya. 6
Hubungan kerja ini pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh pekerja/buruh dan majikan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang telah dibuat oleh majikan dengan serikat buruh yang ada pada perusahaannya.
6
S.B. Marsh dan J. Soulsby dialih bahasa oleh Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian,(Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 314, bahwa suatu persekutuan tidak mempunyai kepribadian hukum tersendiri, karena walaupun seorang sekutu itu digaji, ia bukanlah seorang pekerja. Pekerja sering juga menjadi agen dari majikannya, jika mereka berhubungan dengan pihak ketiga atas nama majikannya. Jadi, seorang penjual barang itu mungkin kedua-duanya sebagai pekerja dan sebagai agen. Pekerjaan itu adalah suatu perjanjian, dan syarat-syarat perjanjian ini baik secara tegas maupun secara diam-diam selalu menjadi dasar hubungan antara majikan dan pekerja. Sebaliknya, karena alasan-alasan sosial, ekonomi, dan politik, pemerintah telah meningkatkan campur tangannya dalam menangani masalah hubungan kerja dalam waktu 150 tahun terakhir ini. Dewasa ini banyak hak dan kewajiban pihak-pihak diatur dengan undang-undang. Menganggap pekerjaan itu semata-mata sebagai suatu perjanjian akan merupakan hal yang sangat keliru.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
5
Demikian juga dengan perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha. 7
Adanya hubungan kerja ini maka lahirlah perjanjian kerja. Istilah perjanjian sebenarnya tidak dikenal dalam KUH Perdata, yang ada ialah perikatan atau verbintenis (Pasal 1233 KUH Perdata) dan persetujuan atau overeenkomst (Pasal 1313 KUH Perdata). Beberapa ahli hukum juga berbeda pendapat dalam menggunakan istilah-istilah tersebut. Di Indonesia istilah verbintenis diterjemahkan dalam 3 (tiga) arti, yaitu: perikatan, perhutangan dan perjanjian, sedangkan istilah overeenkomst diterjemahkan dalam 2 (dua) arti, yaitu : perjanjian dan persetujuan. Definisi perjanjian kerja adalah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan dengan upah selama waktu tertentu. 8 Perjanjian kerja diatur dalam Bab IX Undang-Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. Dalam Pasal 1 Angka 14 UndangUndang Ketenagakerjaan Tahun 2003 disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah
7
Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 51, bahwa perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Hal ini dikarenakan dengan perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan yang dibuat dan ditaati secara baik akan dapat menciptakan suatu ketenangan kerja, jaminan kepastian hak dan kewajiban baik bagi pihak pekerja/buruh maupun pengusaha/majikan. 8 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 28, bahwa prinsip yang menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah perintah dengan menerima upah. Jadi, apabila seseorang telah mengikatkan diri di dalam suatu perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja di bawah perintah orang lain. Hal ini yang disebut ahli hukum sebagai “hubungan kerja” atau dienstverhoeding.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
6
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka di dalam perjanjian kerja harus dipenuhi 3 (tiga) unsur, sebagai berikut: 1. Ada orang di bawah pimpinan orang lain. Dalam perjanjian kerja, adanya unsur perintah dalam perjanjian kerja, kedudukan kedua belah pihak tidaklah sama yaitu pihak yang satu kedudukannya diatas (pihak yang memerintah), sedang pihak lain kedudukannya di bawah (pihak yang diperintah). Kedudukan yang tidak sama ini disebut hubungan subordinansi serta ada yang menyebutnya hubungan kedinasan; 2. Penunaian kerja maksudnya melakukan pekerjaan. Di sini tidak dipakai istilah melakukan pekerjaan sebab istilah tersebut mempunyai arti ganda. Istilah melakukan pekerjaan dapat berarti persewaan tenaga kerja atau penunaian kerja. Dalam persewaan tenaga kerja yang tersangkut dalam kerja adalah tenaga manusia, sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang dari sudut ekonomi. Dalam penunaian kerja, yang tersangkut dalam kerja adalah manusia itu sendiri sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang dari sudut sosial ekonomis; 9
9
Lihat, A. Ridwan Halim dan Sri Subiandini Gultom, Op.Cit, hal. 8, bahwa yang menjadi masalah sentral dalam hukum ketenagakerjaan maupun hukum ekonomi adalah hal imbalan kerja atau segala hak yang diperoleh seseorang karena ia bekerja membantu orang lain tertentu. Dengan perkataan lain, imbalan kerja tentu tidak akan ada bila yang bersangkutan tidak bekerja sebagaimana
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
7
3. Adanya upah, hal ini diatur dalam Pasal 1 Angka 30 Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003 adalah
Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dengan dipenuhinya 3 (tiga) unsur tersebut, maka perjanjian yang memenuhi 3 (tiga) unsur adanya perintah, pekerjaan dan upah disebut perjanjian kerja. Adapun pihak yang memerintah disebut pengusaha/pemberi kerja, sedangkan pihak yang diperintah disebut pekerja/buruh. 10 Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar, seperti kuli, tukang, dan mandor yang melakukan pekerjaan kasar (blue collar), sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai karyawan/pegawai (white collar). 11
Pembedaan tersebut membawa
konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak oleh pemerintah Belanda yang
yang dikehendaki oleh yang memberi imbalan tersebut. Bagi hukum ketenagakerjaan, permasalahan ini dapat dikatakan merupakan masalah sentral karena jelas merupakan hak dari buruh atau pekerja/karyawan yang melaksanakan pekerjaan atau tugas yang diemban untuk menerimanya dan kewajiban majikan atau pihak yang memberi pekerjaan/tugas untuk memberikannya. 10 F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), hal. 9 11 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 21, bahwa blue collar merupakan sebutan bagi orang-orang yang melakukan pekerjaan kasar, sedangkan white collar merupakan sebutan bagi orang-orang yang melakukan pekerjaan ”halus” yang tidak pernah bergelut dengan pekerjaan-pekerjaan kasar. Biasanya orang-orang yang termasuk white collar ini adalah para pekerja (bangsawan) yang bekerja di kantor dan orangorang Belanda beserta Timur Asing lainnya.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
8
berupaya untuk memecah belah orang pribumi. Akan tetapi setelah merdeka, perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar tersebut tidak ada lagi. Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu Kongres Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) II tahun 1985. Alasannya dikarenakan istilah buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain, yakni majikan. Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam peraturan ketenagakerjaan yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 . Bagi pekerja/buruh, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan awal hilangnya mata pencaharian, berarti pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Oleh sebab itu, istilah PHK bisa menjadi momok bagi setiap pekerja/buruh karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan hidupnya dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Mengingat fakta dilapangan bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Semakin ketatnya persaingan, angkatan kerja terus bertambah dan kondisi dunia usaha yang selalu fluktuatif, sangatlah wajar jika pekerja atau buruh selalu khawatir dengan ancaman PHK tersebut. Berdasarkan data (tahun 2001 s/d 2005), perkara-perkara PHK dari 25 (dua puluh lima) Kabupaten/Kota se-Propinsi Sumatera Utara kurang lebih 500-700
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
9
perkara yang ditangani oleh 3 (tiga) majelis. penanganan Perkara-perkara ini notabene bagi Pengadilan Negeri karena masih merupakan hal baru dalam menangani masalah ketenagakerjaan yang multi kompleks. 12 Sehubungan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung menimbulkan perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hakhaknya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan pekerja tersebut dalam bahasa Belanda disebut arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan perlindungan buruh atau perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat dilindungi dari perlakuan pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada umumnya posisi pekerja masih lemah, sehingga perlindungan kerja dan keselamatan kerja akan dapat mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan, kesehatan, kedisiplinan pekerja yang berada di bawah pimpinan pengusaha. 13
12
Thoga M. Sitorus, Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia Dan Daerah (Pasca Reformasi), (Medan: Bina Media Perintis, 2007), hal. 75, bahwa permasalahan ketenagakerjaan yang multi kompleks ini meliputi: masalah pengangguran, kesempatan kerja, Upah Minimum Propinsi (UMP), investasi, masalah kepentingan, unjuk rasa, pelanggaran norma, pekerja kontrak (out sourcing), hubungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, konvensi ILO, gerakan SP/SB dan lain-lain yang kesemuanya terkait dengan masalah PHK. 13 Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hubungan Pekerja Dengan Pengusaha, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1991), hal. 46, bahwa perlindungan dan keselamatan pekerja ini dikelola oleh Bidang Pembinaan Norma-Norma Perlindungan Kerja dalam 3 Sub. Dit Dalam Departemen Tenaga Kerja, yaitu : a. Pembinaan dan Pengawasan Perundang-undangan; b. Norma-Norma Kerja; c. Tunjangan kecelakaan. Dan untuk Bidang Pembinaan Norma-Norma Keselamatan Kerja, Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja, dikelola oleh 3 Sub. Dit, yaitu :
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
10
Adanya
kehadiran
organisasi
pekerja/buruh
dimaksudkan
untuk
memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Hal ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya. Sebagai implementasi dari amanat ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang, maka pemerintah telah meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 mengenai dasar-dasar hak berorganisasi dan berunding bersama. 14
a. b. c.
Tenaga Uap dan Tenaga Listrik; Tenaga Mekanik; Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. 14 Lalu Husni, Op. Cit, hal. 24, bahwa didalam memori penjelasan atas UU Nomor 18 Tahun 1956 tentang persetujuan konvensi organisasi mengenai berlakunya dasar-dasar daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama berbunyi : ”Semenjak tanggal 12 Juli 1950, Indonesia adalah anggota Organisasi Perburuhan Internasional. Salah satu kewajiban dari Indonesia sebagai anggota Organisasi Perburuhan Internasional menurut Pasal 19 ayat (5) dari anggaran dasar organisasi tadi ialah meratifisir konvensi-konvensi yang telah diterima oleh Konfrensi Perburuhan Internasional dan yang isinya dapat (sudah) dilaksanakan di Indonesia. Menurut Pasal 120 UUDS Republik Indonesia ratifikasi demikian harus dilakukan dengan Undang-Undang (yaitu pemerintah bersamasama dengan DPR). Konvensi-konvensi yang sekarang dianggap mengikat Indonesia (berjumlah 4 (empat) konvensi, yaitu konvensi Nomor 19, 27, 29 dan 45) semuanya telah diratifisir oleh Pemerintah Belanda dahulu. Semenjak Indonesia menjadi anggota dari Organisasi Perburuhan Internasional, Indonesia belum pernah meratifisir suatu konvensi. Kalau diingat bahwa negara-negara tetangga Indonesia, seperti India dan Pakistan yang dalam banyak hal keadaannya hampir serupa dengan negara Indonesia, telah meratifisir lebih dari 20 konvensi, maka jelaslah bahwa dalam hal ini Indonesia banyak ketinggalan. Rencana Undang-Undang untuk meratifisir konvensi Nomor 98 mengenai berlakuknya hak-hak dassar untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama dapat dianggap sebagai langkah pertama dalam menyusul ketinggalan ini. Maksud dari konvensi ini adalah a. Menjamin kebebasan untuk masuk atau tidak masuk serikat buruh; b. Melindungi buruh terhadap campur tangan majikan dalam hal ini; c. Melindungi serikat buruh terhadap campur tangan majikan dalam mendirikan, cara kerja, serta mengurus organisasinya, khususnya mendirikan organisasi di bawah pengaruh majikan atau yang disokong dengan cara lain oleh majikan; d. Menjamin penghargaan hak berorganisasi; dan
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
11
Sejalan dengan babak baru pemerintahan Indonesia yakni era reformasi yang menuntut pembaharuan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah melalui Keppres Nomor 83 Tahun 1998 telah mengesahkan konvensi International Labour Organisation (ILO) Nomor 87 Tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi (Convention Concorning Freedom of Association and Protection of the Right to Organise). Pemerintah Indonesia telah merespon secara positif konvensi ILO yang telah diratifikasi. Hal ini terbukti dari rumusan substansi pengaturan dalam Undang-Undang serikat pekerja/serikat buruh yang sangat aspiratif (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000). Seiring dengan kebebasan pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya, maka tugas yang diemban oleh serikat pekerja/serikat buruh semakin berat, yakni tidak saja memperjuangkan perlindungan,
hak-hak
pembelaan
normatif dan
pekerja/buruh,
mengupayakan
tetapi
juga
peningkatan
memberikan kesejahteraan
e. Menjamin perkembangan serta penggunaan badan perundingan suka rela untuk mengatur syarat-syarat dan keadaan-keadaan kerja dengan perjanjian perburuhan. Dalam perundang-undangan Indonesia, hak setiap orang untuk mendirikan serikat buruh dan masuk kedalamnya untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingannya, dijamin dalam Pasal 29 UUDS. Selanjutnya Undang-Undang tentang Perjanjian Perburuhan antara serikat buruh dan majikan menyatakan tidak sah sesuatu aturan yang mewajibkan seorang majikan supaya hanya menerima atau menolak buruh atau mewajibkan seorang buruh supaya hanya bekerja atau tidak bekerja pada majikan dari suatu golongan, baik berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena keyakinan politik atau anggota dari suatu perkumpulan. Bahwasanya serikat buruh harus dibentuk secara sukarela, jadi bebas tekanan majikan, dinyatak an pada Pasal 1 dan Peraturan Menteri Perburuhan tentang Pendaftaran Serikat Buruh. Hak untuk berorganisasi dalam pelbagai perjanjian perburuhan dihargai dengan memberikan pelbagai kelonggaran kepada petugas-petugas tertentu dari serikat buruh untuk melakukan pekerjaan serikat buruh dalam waktu kerja, untuk mengunjungi kongres disediakannya ruang oleh majikan untuk kepentingan serikat buruh dan sebagainya. Dalam tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan yang kini berlaku, cukup dijamin perkembangan serta penggunaan bahan perundingan sukarela sehingga perantaraan oleh badan-badan pemerintah baru diberikan setelah ternyata bahwa perundingan sukarela itu menemui kegagalan. Berhubung dengan telah dilaksanakannya asas-asas konvensi Nomor 98 di negara Indonesia, maka konvensi tersebut dapat diratifisir”. (Termasuk Lembaran Negara Nomor 1050)
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
12
pekerja/buruh terutama jika pekerja/buruh terlibat perselisihan yang mengakibatkan terjadinya PHK. 15 PHK terjadi jika pengusaha menghadapi hal-hal : 1. Kesalahan pekerja yang tidak dapat dipertanggung jawabkan lagi; 2. Perusahaan tersebut mengalami penurunan perkembangannya (di ambang kebangkrutan). Pekerja dapat pula mengadakan PHK dengan alasan : 1. Karena keinginannya sendiri untuk meminta berhenti dari pekerjaannya; 2. Karena keinginan sendiri disebabkan pindah domisili atau mencari lapangan kerja lain atau karena memasuki dinas militer dan lain-lain. Harapan pemerintah agar PHK tidak dilakukan oleh pengusaha terhadap buruhnya, tercantum dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan : 1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terusmenerus; 2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; 15
Ibid, hal. 29.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
13
3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; 4. Pekerja/buruh menikah; 5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; 6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam 1 (satu) perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB; 7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB; 8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; 9. Karena perbedaan pahan, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan; 10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Walaupun lazimnya PHK dilakukan oleh pengusaha terhadap buruhnya, tetapi dalam kehidupan dunia usaha ini tidak jarang pula terjadi bahwa pihak buruh melakukan PHK dengan alasan yang seharusnya menjadi cambuk bagi pengusaha, seperti misalnya karena merasa kesal atau tidak tahan menghadapi pengusaha yang berperilaku kurang baik, sering merendahkan derajatnya, menerima perintah kerja secara terus-menerus tanpa adanya waktu untuk mengaso yang justru tindakantindakan atau perilaku pengusaha yang demikian sangat bertentangan dengan nilainilai Pancasila. Sebaliknya di pihak pengusaha enggan pula untuk melakukan PHK, karena buruh yang telah ada dapat dikatakan sebagai buruh yang telah mempunyai
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
14
pengalaman dalam pelaksanaan kerja di perusahaannya, misalnya baru 1 (satu) atau 2 (dua) bulan, pembinaan terhadap mereka sekedar untuk lebih memantapkan produktivitas kerjanya. Memberhentikan pekerja/buruh yang telah bekerja beberapa bulan di perusahaannya hanya dilakukan karena keterpaksaan, dikarenakan buruh yang bersangkutan walaupun telah sering dinasihati, diberi peringatan, tetap tidak mau mengubah sikap dan perilakunya yang kurang baik, sehingga selalu mengesalkan pengusaha. Hanya saja dalam melakukan PHK karena adanya keterpaksaan tersebut, maka pengusaha yang baik akan tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan atau hukum yang berlaku. Penanganan perselisihan PHK selama ini (dari tahun 1957) ditangani oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) di bawah naungan Departemen/Instansi Ketenagakerjaan, sedangkan berdasarkan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang ditetapkan tanggal 14 Januari 2005, penanganannya dialihkan ke PN. Adapun kasus-kasus yang ditangani adalah kasus-kasus PHK di daerah yang tidak selesai di tingkat perantara. Oleh P4D, kasus-kasus tersebut disidangkan dengan memanggil pihak-pihak yang berselisih, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB). 16 Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, disebutkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan Pengadilan Khusus yang berada 16
Thoga M. Sitorus, Op. Cit, hal. 73.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
15
pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55). Pada Pasal 51 ayat (1) disebutkan untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini dibentuk PHI pada setiap PN Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang di daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan. Untuk Propinsi Sumatera Utara ditetapkan pertama kali adalah Kota Medan. PN seluruh Indonesia sudah melakukan persiapan-persiapan, termasuk PN Medan yang telah mempersiapkan tempat/ruang persidangan di PN dan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi Hakim dari pengadilan dan Hakim Ad-Hoc yang terdiri dari unsur SP/SB dan Organisasi Pengusaha (APINDO) yang telah dilaksanakan di Jakarta, kerjasama Mahkamah Agung (MA) dan Depnakertrans. Untuk PN Medan sementara ditetapkan 3 (tiga) majelis dan mengangkat Panitera Muda dan Panitera Pengganti dari P4D Sumut sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Apabila para pihak yang berselisih melakukan upaya penyelesaian melalui pengadilan, maka di dalam Pasal 55 UU Nomor 2 tahun 2004 yang berhak memeriksa, mengadili dan memutuskan perselisihan hubungan industrial adalah PHI yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus ditegaskan dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004, meliputi : 17
17
Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
16
1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; 2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; 3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan PHK; 4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar SP/SB dalam 1 (satu) perusahaan. Dengan dasar alasan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang Peranan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan Pemutusan Hubungan Kerja-Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan). B. Rumusan Masalah Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini, maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang diidentifikasi tersebut. 18 Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukankan sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, antara lain :
18
Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), hal. 35, Bahwa masalah penelitian merupakan suatu pertanyaan yang mempersoalkan keberadaan suatu variable atau mempersoalkan hubungan antara variable pada suatu fenomena. Variabel merupakan suatu arti yang dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Untuk membedakan antara manusia dalam wujud pria dan wanita dengan manusia dalam wujud yang lulus SD, SMU atau Sarjana, diberikan suatu arti pada wujud pertama di atas sebagai ”jenis kelamin” (variabel pertama) dan kedua sebagai tingkat pendidkan (variabel kedua). Jenis kelamin dan tingkat pendidkan adalah 2 (dua) variabel yang berbeda.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
17
1. Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya PHK? 2. Bagaimana kompensasi yang diberikan terhadap pekerja/buruh yang di PHK berdasarkan putusan hakim PHI? 3. Bagaimana peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya PHK. 2. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan hakim PHI dalam memutuskan kompensasi yang akan diberikan kepada pekerja/buruh yang di PHK. 3. Untuk mengetahui peran hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK. D. Manfaat Penelitian Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu :
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
18
”..........to discover answers to question throught the application of scientific procedures. These procedures have been developed in order to increase the likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and will be reliable and unbiased.” 19 Dengan terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat secara teoritis maupun manfaat secara akademis. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terutama dalam bidang Hukum Perburuhan yang kelak penelitian ini dapat bermanfaat bila timbul suatu perselisihan. Dalam tataran kegunaan praktis, hasil penelian ini dapat memberikan masukan bagi para pelaku usaha/pengusaha/majikan dalam mengambil tindakan PHK dapat mengantisipasi dengan baik agar semua yang menjadi hak pekerja/buruh dapat terpenuhi dan di kemudian hari memungkinkan untuk tidak menimbulkan perselisihan perburuhan. E. Keaslian Penulisan Berdasarkan informasi dan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara baik untuk program studi ilmu hukum maupun program studi 19
Calire Seltz et.al: 1977, seperti dikutip oleh Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 9.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
19
kenotariatan, bahwa belum pernah
dilakukan penelitian mengenai Peranan
Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan Pemutusan Hubungan Kerja-Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan). Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Dalam setiap masyarakat, hukum buatan orang itu akan berkembang untuk mengontrol hubungan-hubungan yang terjadi antara anggota-anggotanya. Peraturanperaturan esensial kalau masyarakat bekerja, dan peraturan-peraturan itu akan dijumpai dalam semua bentuk kegiatan yang bergantung kepada suatu bentuk kerjasama dalam permainan, dalam sekolah, dalam kelompok. Peraturan-peraturan muncul dalam bermacam-macam cara, walaupun dalam kebanyakan hal harus sudah terjadi persetujuan antara paling sedikit beberapa anggota masyarakat bahwa peraturan-peraturan itu diinginkan. Apabila seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat melaksanakan peraturan-peraturan, maka
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
20
peraturan-peraturan tersebut akan memperoleh status sebagai ”hukum” dalam arti kata diterima secara umum. 20 Apabila pemerintah yang sah mengeluarkan suatu peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis sehingga seorang yang tidak patuh terhadap peraturan tersebut dapat dikritik kelakuannya, bahkan dapat dituntut hukuman melalui pengadilan. Hal tersebut dikatakan bahwa hukum bersifat normatif. 21 Hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah (legges, wetten) yang mengatur hidup bersama, yang dibuat oleh instansi yang berwenang dan berlaku sebagai norma. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia dan masyarakat. Berangkat dari situ maka menjalankan hukum tidak dapat dilakukan secara matematis atau dengan cara yang disebut ”mengeja pasal-pasal undang-undang”. Dengan meneruskan pendapat Radburch, maka dalam hukum tidak hanya ada 1 (satu) logika, yaitu logika hukum, melainkan juga logika filosofis dan sosial. Ketiga-tiganya akan selalu berada dalam persaingan satu sama lain. 22
20
S. B. Marsh dan J. Soulsby, Op.Cit, hal 1. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 45, bahwa hukum bersifat normatif tampak dalam perumusan kaidah-kaidah hukum. Bila hukum itu diakui sebagai normatif, diakui bahwa hukum itu mewajibkan dan harus ditaati. Ketaatan itu tidak dapat disamakan dengan ketaatan suatu perintah. Hukum ditaati bukan karena terdapat suatu kekuasaan dibelakangnya, melainkan karena mewajibkan yang merupakan hakikat hukum tersebut. 22 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Krisis Tentang Pergulatan Manusia Dan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2007), hal.87. 21
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
21
Dalam sistem hukum yang disebut kontinental, hukum terjalin dengan prinsipprinsip keadilan, hukum adalah Undang-Undang yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran filsafat tradisional dimana pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan.
23
Pengertian hukum ini sesuai dengan
yang ada pada orang-orang Indonesia bahwa hakikat hukum adalah menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil. Hakikat hukum ialah membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht). 24 Memasuki era reformasi tahun 1998 terjadi perubahan yang sangat mendasar di bidang ketenagakerjaan, diawali dengan diratifikasinya oleh Indonesia konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 1998. Sebelumnya pada masa orde baru tidak terdapat kebebasan berserikat karena hanya dikenal 1 (satu) organisasi pekerja /buruh (single union), menjadi lebih dari 1 (satu) organisasi pekerja/buruh (multi union) pada masa reformasi.
25
Dengan diberikannya kebebasan
23
Theo Huijbers, Op. Cit, hal. 71, bahwa hukum bersifat etis, sebab harus digabungkan dengan keadilan, seperti yang sudah dikemukakan oleh para tokoh filsafat Yunani : Sokrates, Plato dan Aristoteles, yang kemudian dipertahankan dalam sistem hukum Romawi yang membedakan antara hukum sebagai ius dan hukum sebagai lex. Hukum Romawi itu dengan tanggapan-tanggapan fundamentalnya menjadi sumber utama hukum perdata Eropa Kontinental. Apabila telah ditetapkan secara prinsipil bahwa undang-undang hanya dapat disebut hukum dan karenanya mewajibkan, bila sungguh-sungguh adil, jangan ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap orang pada tiap-tiap saat dapat menilai Undang-Undang sebagai tidak adil, dan karenanya tidak sah. Menurut para pemikir yang menuntut supaya Undang-Undang adil untuk dapat disebut hukum, selalu harus diandaikan bahwa Undang-Undang yang dibentuk oleh instansi yang berwenang adalah adil dan sah,asal saja dasarnya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. 24 Ibid, hal. 77. 25 Thoga M. Sitorus, Op.Cit, hal. 2.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
22
berserikat dan menyampaikan pendapat secara terbuka (transparan), hal yang tabu pada masa lalu, para pekerja merasa telah memiliki kembali haknya untuk berserikat, maka berdirilah SP/SB di Indonesia bagaikan jamur di musim hujan. Kondisi perekonomian yang terpuruk telah memaksa pemerintah dan dunia usaha untuk lebih kreatif dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif agar mampu membuka peluang investasi baru dan atau mempertahankan/memajukan usaha-usaha yang telah ada. Melalui berbagai regulasi, pemerintah telah menciptakan perangkat hukum bagi berkembangnya investasi melalui dunia usaha. Di sisi lain, pengusaha juga berupaya untuk menangkap setiap peluang bisnis yang ada, baik melalui pemanfaatan berbagai kemudahan usaha yang diberikan pemerintah maupun melalui upaya-upaya internal, misalnya melakukan efisiensi untuk menghemat biaya operasional. Menurut Erman Rajagukguk, bahwa penyebab lain krisis ekonomi selain sistem hukum adalah disebabkan penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau sikap aji mumpung (moral hazard) di berbagai sektor baik ekonomi, politik dan permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam.
26
Untuk membuat
sistem hukum yang efektif harus ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard yang berarti sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi. Kalau diperhatikan lebih jauh hukum yang melandasi pembangunan ekonomi masih kurang berfungsi dan 26
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato disampaikan pada Dies Natalis dan Perigatan Tahun Emas Universitas Indonesia, Depok, Tanggal 5 Februari 2000, hal. 6.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
23
menyebabkan kurang memberi kepastian hukum. Hukum yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen akan memberikan keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri. Faktor pendidikan baik moral maupun akademis adalah sangat penting untuk memperbaiki budaya hukum di negara berkembang, misalnya Indonesia. Serangkaian peraturan yang merupakan sumber hukum yang berkaitan dengan hukum perburuhan/hukum ketenagakerjaan bukannya terkodifikasi dalam satu buku, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam era tahun 2000-an ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan
yang
dapat
dikategorikan
sebagai
sumber
hukum
ketenagakerjaan, antara lain : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279); 27
27
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.3, bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini mencabut 15 (lima belas) ordonansi, yaitu: a. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); b. Ordonansi tanggal 17 desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Mo. 647);
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
24
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang ini mencabut : a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
c. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-Anak dan Orang Muda di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); d. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk mengatur Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun1936 Nomor 208); e. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); f. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-Anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8); g. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2); h. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 589a); i. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8); j. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); k. Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) di Perusahaan Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); l. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); m. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); n. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan o. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
25
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686); Selain peraturan-peraturan tersebut, ada lagi sumber hukum tertulis yang datangnya dari para pihak yang terikat dalam hubungan kerja, yaitu : 1. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan; 2. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak; 3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dengan
pengusaha
atau
beberapa
pengusaha
atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak. 28 Salah satu regulasi yang banyak mendapat sorotan adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun Undang-Undang tersebut sebagian besar merupakan pembaharuan atau perpanjangan dari Undang-Undang 28
Ibid, hal. 6.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
26
Ketenagakerjaan yang lama, namun karena memuat beberapa ketentuan baru banyak mengundang perdebatan menyangkut kepentingan buruh dan pengusaha. Masalah ketenagakerjaan ini tak kalah penting karena merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial ekonomi dan selalu menarik untuk dibahas karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, dimana lebih kurang 50 % penduduk Indonesia masuk dalam kategori angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian besar diantaranya masuk kelompok usia kerja yang potensial untuk bekerja (labour force). 29 Antara majikan/pengusaha dengan pekerja/buruh membuat suatu perjanjian kerja yang mana perjanjian ini mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini disadari karena dengan perjanjian kerja yang dibuat dan ditaati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu ketenangan kerja dan memberikan jaminan kepastian hak serta kewajiban bagi para pihak. Pada dasarnya setiap perjanjian harus memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan, adanya kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. Perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan para pihak atau salah satu pihak tidak mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya, jika dibuat tanpa adanya pekerjaan yang 29
Sehat Damanik, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai Penuntun Untuk Merencanakan-Melaksanakan Bisnis Outsourcing Dan Perjanjian Kerja, (Jakarta: DSS Publishing, 2007), hal.1.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
27
diperjanjikan dan pekerja yang diperjanjikan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Berdasarkan jangka waktunya perjanjian kerja dibagi menjadi 2 (dua) macam: 1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Perjanjian kerja ini diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 60 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian kerja ini tersurat pada Pasal 1603 q ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa lamanya hubungan kerja tidak ditentukan baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam peraturan perundangundangan atau pula menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tertentu. Selanjutnya PKWTT dinyatakan dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam kehidupan sehari-hari PHK antara pekerja/buruh dengan pengusaha dapat
terjadi
karena
telah
berakhirnya
waktu
tertentu
yang
telah
disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, meninggalnya pekerja/buruh atau karena sebab lainnya. Dalam praktek, PHK terjadi karena berakhirnya waktu yang
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
28
telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha) karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. 30 Berbeda halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak lebih-lebih pekerja/buruh yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha, karena PHK bagi pihak pekerja/buruh akan memberi pengaruh psikologis, ekonomis dan finansial, sebab : 1. Dengan adanya PHK, bagi pekerja/buruh telah kehilangan mata pencaharian; 2. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak mengeluarkan biaya (biaya keluar masuk perusahaan, disamping biaya-biaya lain seperti surat-surat untuk keperluan lamaran dan fotokopi surat-surat lain); 3. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya. Jika PHK terjadi disebabkan karena adanya perselisihan, maka peranan SP/SB sangat besar untuk melindungi buruh dan menangani perselisihan yang terjadi
30
Zaeni Asyhadie, Op.Cit, hal. 177.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
29
di perusahaan. 31 Apabila terjadi perselisihan industrial, setiap pengusaha dan pekerja atau SP/SB bersama-sama harus menyelesaikan perselisihan
dengan jalan
musyawarah untuk mencapai mufakat. Adanya pelanggaran terhadap hak normatif pekerja/buruh, SP/SB dapat mengadukan hal tersebut kepada Disnaker guna dilaksanakannya perundingan. Namun, jika ternyata melalui perundingan yang telah dilakukan tidak mencapai kesepakatan, pihak yang berselisih dapat menempuh jalur penyelesaian melalui pengadilan atau jalur di luar pengadilan. Kalau ditinjau dari segi hukum terutama yang menyangkut ketertiban, keamanan dan ketenangan kerja dalam perusahaan, baik bagi buruh maupun bagi pengusaha adanya SP/SB dalam perusahaan adalah sangat bermanfaat. Bagi pekerja/buruh adanya SP/SB ini merupakan kemanunggalan suara buruh dalam perusahaan, kemanunggalan usaha dan perbuatan yang tertib dan teratur agar perlindungan dan perbaikan dapat tercapai dengan penuh keberhasilan, sedangkan bagi pengusaha, adanya SP/SB ini pada hakekatnya sangat menguntungkan karena dapat membantu dalam penyusunan lembaga musyawarah untuk mencapai kesepakatan kerja. 32 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tidak mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 merupakan hukum formal atau cara penyelesaian perselisihan 31
Thoga. M. Sitorus, Op.Cit, hal. 73. G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hal. 202. 32
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
30
PHK di perusahaan swasta. Undang-Undang tersebut baru dicabut dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 hanya mengatur masalah PHK di perusahaan swasta, sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut dalam Pasal 150 ditentukan bahwa ketentuan mengenai PHK yang diatur dalam Undang-Undang tersebut meliputi PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan terjadi PHK terhadap pekerja/buruh, maka timbul permasalahan lain yaitu mengenai upah. Upah merupakan salah satu perwujudan riil dari pemberian kompensasi. Bagi perusahaan, upah adalah perwujudan dari kompensasi yang paling besar diberikan kepada tenaga kerja. Apabila terjadi perselisihan PHK, penanganannya berada di PHI. Lembaga peradilan perburuhan/hubungan industrial ini menjadi penting karena realitas menunjukkan perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha sulit dihindari. Untuk itulah kehadiran lembaga PHI yang berada dalam wilayah kekuasaan kehakiman yang
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
31
dapat menyelesaikan sengketa sesuai dengan prinsip peradilan cepat, murah dan biaya ringan sangat didambakan. 33 Hakim memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan. Untuk dapat menyelesaikan suatu sengketa atau perkara, hakim harus mengetahui terlebih dahulu secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya dapat diketahui dari proses pembuktian. Setelah suatu peristiwa dinyatakan terbukti, hakim harus menemukan hukum dari peristiwa yang disengketakan. 34 2. Landasan Konsepsional Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami istilah atau konsep yang dipergunakan, maka dapat diberikan definisi operasional sebagai berikut : a. PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. 35 b. Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan majikan/pengusaha dengan objeknya pekerjaan. 36
33
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di Luar Pengadilan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 26. 34 Ibid, hal. 116. 35 Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 36 Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Bagi Pekerja Untuk Mempertahankan hak-haknya), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 67.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
32
c. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. 37 d. Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat 1 (satu) yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang berkedudukan di Kabupaten/Kota dengan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota tersebut. 38 e. Kompensasi adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada para tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 39 f. Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 40 g. Hakim adalah hakim karier PN yang ditugasi pada PHI. 41 h. Hakim Ad-Hoc adalah hakim Ad-Hoc pada PHI atau hakim Ad-Hoc pada MA yang pengangkatannya atas ususl SP/SB dan organisasi pengusaha. 42
37
Lalu Husni, Op. Cit, hal.16. Ibid, hal. 11. 39 Siswanto Sastrohadiwiryo, Op.Cit, hal. 181. 40 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. 41 Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. 38
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
33
i. Hakim Kasasi adalah hakim agung dan hakim Ad-Hoc pada MA yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap PHI.43 j. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, pekerja/buruh
membela
serta
serta
meningkatkan
melindungi
hak
kesejahteraan
dan
kepentingan
pekerja/buruh
dan
keluarganya. 44 k. Perundingan Bipartit adalah Forum komunikasi dan konsultasi mengenai halhal yang berkaitan dengan hubungan industrial di 1 (satu) perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. 45 l. Perundingan Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah. 46 G. Metode Penelitian
42
Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. 44 Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. 45 Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 46 Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 43
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
34
1.
Jenis dan Sifat Penelitian Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan penelitian yang bersifat
deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan mengenai ketenagakerjaan dan perselisihan perburuhan serta berusaha untuk memaparkan bagaimana peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap perkara PHK dengan menganalisis dari putusan-putusan PHK yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan. 47
Dalam
penelitian
yuridis
normatif
yang
dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum. Ronald Dworkin menyebut penelitian semacam ini sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang
47
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
35
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decides by the judge through judicial process). 48
2.
Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan
tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Tesis ini sendiri akan menggunakan metode pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok didalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu keputusan. 49 3. Sumber Data 48
Pendapat Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip dari Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1. 49 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 94, menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum bersifat preskriftif. Di dalam hukum Indonesia yang menganut civil law sistem, ratio decidendi tersebut dapat dilihat pada konsiderans ”Menimbang” pada ”Pokok Perkara”. Tidak dapat disangkal bahwa tindakan hakim untuk memberikan alasan-alasan yang mengarah kepada putusan merupakan tindakan yang kreatif. Ratio tersebut bukan tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada. Ratio dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan yang didasarkan atas fakta itu.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
36
Adapun sumber-sumber penelitian hukum yang digunakan didalam tesis ini, terdiri dari : 1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 2. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah dan pendapat sarjana yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum dan bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian dilakukan dengan cara: a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini, seperti : buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
37
b. Penelitian Lapangan (field research), yaitu mengumpulkan data pendukung mengenai kasus-kasus PHK yang telah putus di
Pengadilan Hubungan
Industrial pada lingkungan Pengadilan Negeri Medan. Dalam hal ini, peneliti menetapkan Pengadilan Hubungan Industrial sebagai tempat melakukan penelitian lapangan tersebut. 5. Analisis Data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif, kemudian diolah dengan menggunakan metode induktif dan deduktif sehingga pada akhirnya diperoleh solusi dari permasalahan dalam penelitian ini. Adapun langkah-langkah tersebut: 1.
Mengumpulkan peraturan perundang-undangan dengan melakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang PHK dan peranan seorang hakim kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut
sehingga
menghasilkan
klasifikasi
tertentu
sesuai
dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tetap mengacu kepada putusan PHI tersebut; 2.
Mencari doktrin, asas-asas atau prinsip-prinsip hukum dalam perundangundangan;
3. Membuat kategori dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari konsep-konsep yang lebih umum;
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
38
4. Mencari hubungan antara kategori-kategori tersebut dan menjelaskan hubungannya antara satu dengan yang lainnya; 5. Setelah dilakukan analisis dari langkah-langkah diatas, maka dapatlah ditarik kesimpulan.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
39
BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
A. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan dan saling patuh atau taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat mereka mulai menjalin kerja bersama. Dengan adanya keterikatan bersama antara para tenaga kerja berarti masing-masing pihak memiliki hak dan memiliki kewajiban. Demikian pula sebaliknya, apabila terjadi PHK berarti manajer tenaga kerja dituntut untuk memenuhi hak dan kewajiban terhadap tenaga kerja sesuai dengan kondisi pada saat terjadi kontrak kerja. 50 Bagi setiap pekerja/buruh, pengakhiran atau PHK bisa jadi sebuah mimpi buruk. Setiap pekerja/buruh sedapat mungkin mengupayakan agar dirinya tidak sampai kehilangan pekerjaan. PHK dapat berarti awal dari sebuah penderitaan.
50
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Op. Cit, hal. 305, bahwa kontrak kerja antara manajer tenaga kerja dapat secara tertulis maupun tidak tertulis. Dapat pula ditentukan dalam jangka waktu tertentu maupun tidak ditentukan berapa lama tenaga kerja tersebut harus bekerja pada suatu perusahaan.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
40
Namun demikian, suka atau tidak suka, pengakhiran hubungan kerja sesungguhnya adalah sesuatu yang cukup dekat dan sangat mungkin serta wajar terjadi dalam konteks
hubungan
kerja,
hubungan
antara
majikan
(pengusaha)
dengan
pekerja/buruh. 51 Seseorang pengusaha di dalam mengembangkan usahanya selalu berkeinginan agar perusahaan yang dimiliki dapat berjalan dengan baik dan sukses, hal ini dapat terlaksanan apabila produksi barang-barang yang dihasilkan dapat diminati dan laku terjual di pasaran dengan harga relatif murah dan kualitas baik. Salah satu keberhasilan yang didapat adalah adanya kerjasama yang baik antara pengusaha selaku pimpinan dengan para pekerja/buruh. Kondisi demikian tidak mudah terlaksana terus-menerus karena setiap pekerja/buruh ada yang patuh dan taat pada pimpinan dan ada juga yang tidak mematuhi perintah yang diberikan.52 Setiap orang mempunyai tujuan dan motivasi yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaan. Bagi mereka yang tidak patuh atau menentang perusahaan dapat diberikan teguran atau sanksi bahkan yang lebih tegas diputuskan hubungan kerjanya. Secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh perusahaan disebabkan:
51
Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, (Jakarta: Praninta Offset, 2007), hal.
1. 52
Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Panduan Bagi Pengusaha, Pekerja, Dan Calon Pekerja, Cetakan 1, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hal. 106.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
41
1. Perusahaan mengalami kemunduran sehingga perlu rasionalisasi atau pengurangan jumlah pekerja/buruh. Dalam hal PHK dengan alasan rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerja/buruh dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 151 ayat (1) ditentukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah, berupaya mengusahakan agar tidak terjadinya PHK. Dalam hal, upaya tersebut telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan SP/SB atau dengan pekerja/buruh, apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota SP/SB; 2. Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan, baik kesalahan yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau PKB (kesalahan ringan), maupun kesalahan pidana (kesalahan berat). 53
53
Ibid, hal. 107, bahwa terhadap pekerja/buruh yang telah melakukan kesalahan berat, pengusaha dapat melakukan PHK, dengan alasan : a. Pekerja/buruh telah melakukan penipuan, pencurian, penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. Pekerja/buruh mabuk, meminum minuman keras yang dapat memabukkan, memakai atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang; g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam hukuman pidana penjara 5 (lima ) tahun atau lebih.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
42
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena alasan telah melakukan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang penggantian hak. 54 Dalam hal PHK dengan alasan rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerja/buruh dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam Pasal 151 Ayat 1 dietntukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, SP/SB dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. 55 Apabila upaya tersebut telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib di rundingkan oleh pengusaha dan SP/SB atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota SP/SB. Apabila perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja.buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga PPHI yang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Permohonan penetapan PHK diajukan secara tertulis kepada PHI disertai alasan yang menjadi dasarnya. Permohonan tersebut akan diterima apabila rencana PHK tersebut
Adapun kesalahan berat tersebut harus didukung dengan bukti: a. Pekerja/buruh tertangkap tangan; b. Ada pengakuan pekerja/buruh yang bersangkutan; c. Bukti-bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. 54 Lihat dalam Pasal 156 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, bahwa uang penggantian hak mencakup: a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 % (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB. 55 Zaeni Asyhadie, Op. Cit, hal.180.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
43
dirundingkan oleh pengusaha dan SP/SB atau dengan pekerja/buruh, apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota SP/SB. Selama putusan PHI belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, atau pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. 56 B. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Dari Pekerja/buruh Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak pengusaha, karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh dipaksakan untuk terusmenerus bekerja bilamana ia sendiri tidak mengkehendakinya. Dengan demikian PHK oleh pekerja/buruh ini, yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan kerjanya adalah pekerja/buruh tersebut. Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga PPHI, dalam hal pengusaha melakukan perbuatan: 57 1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; 2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
56 57
Ibid, hal. 182. Lalu Husni, Op. Cit, hal. 186.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
44
3. Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)bulan berturut-turut atau lebih; 4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; 5. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang diperjanjikan; atau 6.
Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan atau
kesusilaan
pekerja/buruh,
sedangkan
pekerjaan
tersebut
tidak
dicantumkan pada perjanjian kerja. Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga PPHI, dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 4. Selain uang penggantian hak, pekerja/buruh diberikan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB. Pekerja atau buruh yang mengundurkan diri tersebut harus memenuhi syarat: 58 1.
Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2.
Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
58
Ibid, hal. 187.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
45
3.
Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
C. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum Selain PHK oleh pengusaha, pekerja/buruh, hubungan kerja juga dapat putus atau berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya. Pekerja/buruh tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang PHK demi hukum dapat terjadi dalam hal: 1.
Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak memperoleh uang penggantian hak dan juga diberikan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
2. PHK dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa mengajukan gugatan kepada PHI; 3. Perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja;
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
46
4. Perusahaan tutup, dimana perusahaan mengalami kerugian secara terusmenerus selama 2 (dua) tahun sehingga perusahaan terpaksa harus ditutup atau keadaan memaksa (force majeur), pengusaha dapat melakukan PHK; 5. Pengusaha juga dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan bermaksud hendak melakukan efisiensi. Dalam hal rasionalisasi ini, pekerja/buruh yang akan diputuskan hubungan kerjanya, harus diperhatikan: a. Masa kerja; b. Loyalitas; dan c. Jumlah tanggungan keluarganya. 6. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit; 7. Dalam hal hubungan kerja berakhir, karena pekerja/buruh meninggal dunia; 8. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun; 9. Pekerja/buruh mangkir (tidak masuk kerja) selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
47
mengundurkan diri. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah tersebut harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh tidak masuk kerja; 10. PHK oleh pekerja/buruh, meskipun dalam praktik, PHK oleh pekerja/buruh sangat jarang atau bahkan tidak mungkin ada, namun yuridis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh pekerja/buruh ini dimungkinkan. 59 D. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial PHK merupakan awal dari seorang buruh dari berakhirnya mempunyai pekerjaan ataupun permulaan dari berakhirnya kemampuan prestasi untuk membiayai keperluan hidup sehari-hari bagi diri sendiri dan keluarganya. Jika setiap orang berhak atas pekerjaan, orang tersebut setelah mendapat pekerjaan harus berhak pula terus bekerja, artinya tidak diputuskan hubungan kerjanya, pada esok harinya setelah ia mendapat pekerjaan. Oleh karena itu seharusnya tidak ada pemberhentian pekerja/buruh sama sekali. Akan tetapi, kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa PHK tidak mungkin dapat dicegah seluruhnya.60 Ada beberapa alasan dan kondisi tertentu yang menyebabkan dapat berakhirnya putusnya hubungan kerja, baik yang terletak pada diri pekerja/buruh maupun pengusaha. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/buruh adalah bahwa PHK dimaksud dikehendaki oleh pengusaha karena
59
Zaeni Asyhadie, Op. Cit, hal. 194. Halili Toha dan Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara Majikan Dan Buruh, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hal. 61. 60
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
48
terdapat peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan pekerja/buruh, dimana peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan pekerja tersebut dapat berakibat diakhirinya hubungan kerja. Peristiwa hukum tersebut dimaksud bisa dalam bentuk pelanggaran pekerja/buruh terhadap ketentuan perundang-undangan, peraturan perusahaan atau PKB yang didalamnya secara tegas menyebutkan bahwa pelanggaran dapat berakibat putusnya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. 61 Adapun yang menjadi faktor penyebab yang mengakibatkan terjadinya PHK dari pihak pekerja/buruh adalah: 62 1. Secara sukarela pindah pekerjaan yang lebih baik atau karena alasan lain; 2. Secara sukarela karena tidak adanya kepuasan kerja; 3. Membuat ulah agar hubungan kerjanya diputuskan karena tidak adanya kepuasan kerja; Dari pihak pengusaha, adapun yang menjadi penyebab terjadi PHK, antara lain: 1. Pelanggaran disiplin oleh pekerja; 2. Mempunyai itikad yang tidak baik (unfair labour practices); 3. Akibat perselisihan antara pekerja dan pengusaha; 61
Edy Sutrisno Sidabutar, Op. Cit, hal. 12. John Suprihanto, Hubungan Industrial Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2002), hal. 118. 62
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
49
4. Terjadinya perubahan tata kerja perusahaan; 5. Keadaan perusahaan; dan 6. Secara tidak langsung, kebijaksanaan pemerintah dalam hal-hal tertentu mengakibatkan PHK. Apabila ditelaah dari putusan-putusan hakim mengenai PHK, maka ada beberapa penyebab terjadinya PHK tersebut, seperti: 1.
Adanya kinerja yang tidak baik. Alasan PHK ini terdapat pada perkara antara sdri. Juni Susi Manulang, A.md vs Yayasan Perguruan Darma Agung (YPDA-Medan) dengan Nomor Perkara 92/G/2006/PHI Medan, tanggal 20 November 2006. PHK dilakukan oleh YPDA-Medan (tergugat) terhadap sdri. Juni Susi Manulang A.md (penggugat) dikarenakan alasan kinerja sdri.Juni yang sudah tidak bagus lagi, walaupun telah dilakukan mutasi ke beberapa pekerjaan. Akan tetapi, tidak juga merubah kinerja sdri. Juni tersebut menjadi lebih baik. Dalam hal ini, sdri. Juni menganggap YPDA telah berlaku sewenang-wenang dengan memberhentikan dirinya secara tiba-tiba tanpa ada surat peringatan terlebih dahulu dan YPDA juga memangkas hak normatifnya. Dalam kasus ini, telah dicoba melakukan upaya perdamaian, tetapi YPDA tidak ada menyediakan suatu lembaga penyelesaian perburuhan. Sdri. Juni telah berupaya mengadukan hal ini ke Disnaker untuk melakukan perundingan tripartit. Akan tetapi, tergugat (YPDA) tidak pernah hadir, oleh
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
50
sebab itu Disnaker mengeluarkan anjuran. Setelah anjuran dikeluarkan dan lewat batas waktu 10 (sepuluh) hari, tergugat tidak pernah hadir, maka sesuai dengan Pasal 13 Ayat 2 jo. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, sdri. Juni dapat mengajukan gugatan ke PHI pada PN Medan; 2.
Penolakkan dari pekerja/buruh untuk menandatangani surat kontrak. Yang menjadi penyebab PHK tersebut terdapat dalam perkara antara sdri. Mastalina (karyawan PT. Kotak Indah Makmur) vs sdr. Jauhari Wijaya (Acai), selaku Direktur PT. Kotak Indah Makmur dengan Nomor Perkara 101/G/2006/PHI Medan tanggal 30 November 2006. Penggugat telah bekerja di perusahaan tergugat sejak tanggal 22 februari 2002 s/d 17 Juli 2006 (4 tahun 5 bulan). Pada tanggal 19 Mei 2006, penggugat mengajukan cuti melahirkan kepada tergugat dan tergugat mengatakan bahwa selama cuti melahirkan, penggugat tidak mendapatkan gaji dan upah cuti melahirkan. Setelah lewat masa waktu 1,5 bulan usai melahirkan, penggugat berniat untuk kembali bekerja. Akan tetapi, pada keesokan harinya tanggal 18 Juli 2006, tergugat tiba-tiba memanggil penggugat dan mengatakan bahwa kalau ingin bekerja lagi, penggugat harus menandatangani surat kontrak. Tentu saja, penggugat menolaknya, kemudian tergugat mengusir penggugat dan tidak diperkenankan untuk bekerja kembali. Kemudian pada tanggal 31 Juli 2006, penggugat melalui kuasanya melanjutkan perselisihan ini ke Disnaker kota Medan. Kemudian pihak mediator memanggil para pihak, tetapi sampai 2
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
51
(dua) kali panggilan, tergugat tidak pernah hadir. Kemudian mediator memanggil kembali tergugat dan melakukan perundingan namun tidak mendapat hasil yang baik. Disnaker pun mengeluarkan anjuran yang menganjurkan agar tergugat membayar kekurangan upah, mempekerjakan kembali penggugat dan membayar upah cuti melahirkan. Pihak penggugat menolak anjuran tersebut karena didalam anjuran tersebut tidak disebutkan kewajiban pengusaha untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 3.
Adanya kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh. Yang menjadi alasan penyebab terjadinya PHK tersebut terdapat dalam perkara sdr. Jhonser Hutasoit (satpam PT. Nusa Candra Perkasa) vs sdr. Alwan (Pimpinan PT. Nusa Candra Perkasa) dengan Nomor Perkara 110/G/2006/PHI Medan tertanggal 27 Desember 2006. Penyebab terjadinya PHK terhadap sdr. Jhonser Hutasoit
dikarenakan penggugat disangka telah melakukan
perbuatan mencuri barang-barang milik perusahaan dan dituduh ikut serta sebagai anggota komplotan pencuri barang-barang perusahaan. Tetapi ada kemungkinan yang lain bahwa penggugat, pada saat tugas jaga tertidur, sehingga akibat kelalaiannya menimbulkan kerugian bagi tergugat dengan hilangnya barang-barang tersebut. Penggugat tidak terima alasan tergugat memberhentikannya dan menanggap tergugat telah bertindak sewenang-
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
52
wenang secara sepihak melakukan PHK, karena PHK dilakukan secara tibatiba tanpa ada surat peringatan dan skorsing terlebih dahulu. Penggugat berusaha menyelesaikan permasalahan ini secara bipartit, akan tetapi tidak dapat diselesaikan. Kemudian penggugat berupaya mengajukan hal ini ke Disnaker untuk dilakukannya tripartit. Disnaker mengeluarkan suatu anjuran yang menyatakan penggugat tidak bersalah dan mengharuskan tergugat membayar semua hak-hak normatif penggugat. Anjuran tersebut ternyata ditolak salah satu pihak, maka sesuai dengan Pasal 14 Ayat 1 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004, maka penyelesaian perselisihan dapat diajukan ke PHI pada PN Medan; 4.
Adanya tuntutan untuk diangkat menjadi pekerja tetap. Alasan ini terdapat dalam perkara antara sdri. Rahmita Arifa (Waitress) vs Tiara Medan Hotel dengan Nomor Perkara 139/G/2006/PHI Medan tertanggal 13 Februari 2007. Penggugat menuntut agar dipekerjakan menjadi pekerja tetap karena sifat dari pekerjaannya adalah pekerjaan pokok, yaitu pada bagian tata hidangan (food and beverages service) dan ia telah melalui masa percobaan selama 3 (tiga) bulan. Dalam ketentuan PKB disebutkan bahwa bagi pekerja yang lulus masa percobaan harus diangkat menjadi pekerja tetap. Hal ini ditolak oleh tergugat dengan alasan bahwa diantara penggugat dan tergugat telah ada PKWT, dan penggugat merupakan pekerja kontrak. Penggugat telah bekerja di Tiara Medan Hotel dari tahun 2002 sampai 2006 dengan perpanjangan kontrak
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
53
setiap 3 (tiga) bulan sekali dan pekerjaan penggugat telah berakhir pada tanggal 1 November 2006. Sejak saat itu, upah penggugat tidak dibayar lagi oleh tergugat. Dalam hal ini, telah dilakukan bipartit, akan tetapi tidak mencapai kesepakatan sehingga dilakukannya tripartit. Dengan melalui SP/SB, penggugat membuat pengaduan kepada Disnaker Medan dengan harapan
adanya
penyelesaian
hubungan
kerja.
Kemudian
Disnaker
memanggil penggugat dan tergugat untuk mengadakan sidang pertama, tetapi tergugat tidak hadir. Sidang dilaksanakan setelah panggilan kedua dan Disnaker membuat surat anjuran yang menyatakan bahwa PHK terhadap penggugat adalah putus demi hukum Akan tetapi, penggugat menolak anjuran dimaksud dan menyampaikan masalah ini pada PHI. 5.
Efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan. Penyebab terjadinya PHK ini terdapat dalam Perkara antara sdr. Hwang Jang Suk menjabat sebagai Project Manager PT. Victor Jaya Raya (penggugat) vs Heppy Tiurlina Marbun, Helesa Debata Raja, Irma, Bernike Hutagaol, Lina Hutagaol, Dedi Harianto, Rasmita Br. Ginting Saragih, Rosmanisa Br. Purba, Suriati Br. Tarigan dan Nurkaya Br. Nainggolan selaku pekerja harian lepas (PHL) di lapangan golf PT. Victor Jaya Raya dengan
Nomor Perkara 147/G/2007/PHI Medan
tanggal 07 Januari 2007. PT. Victor Jaya Raya telah dialihkan dari PT. Bank Sumut, akan tetapi para PHL tersebut tidak ikut diserahkan oleh manajemen terdahulu kepada penggugat, kemudian penggugat melakukan penyegaran
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
54
sistem manajemen dengan melakukan seleksi terhadap beberapa tenaga kerja sehingga bagi yang tidak memenuhi kriteria dilakukan PHK oleh penggugat dengan memberikan hak-haknya berdasarkan perhitungan masa kerja sejak saat pengalihan perusahaan dari PT. Bank Sumut kepada penggugat.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
55
BAB III KOMPENSASI SEBAGAI PEMENUHAN HAK NORMATIF DARI PEKERJA/BURUH
A. Batasan Kompensasi Masalah kompensasi selain sensitif, karena menjadi pendorong seseorang untuk bekerja juga berpengaruh terhadap moral dan disiplin tenaga kerja. Oleh karena itu, setiap perusahaan atau organisasi manapun seharusnya dapat memberikan kompensasi yang seimbang dengan beban kerja yang dipikul tenaga kerja. Dengan demikian, tujuan pembinaan tenaga kerja adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang berdaya guna dan berhasil dapat terwujud. 63 Pemahaman mengenai kompensasi disini tidak sama dengan upah. Upah merupakan salah satu perwujudan riil dari pemberian kompensasi. Bagi suatu perusahaan, upah adalah perwujudan dari kompensasi yang paling besar diberikan kepada tenaga kerja. Pengertian kompensasi selain terdiri atas upah, dapat berupa tunjangan in natura, fasilitas perumahan, fasilitas kendaraan, tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan, pakaian seragam (tunjangan pakaian), dan sebagainya yang dapat dinilai dengan uang serta cenderung diberikan secara tetap. Jadi, kompensasi adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada para 63
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Op. Cit, hal. 181.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
56
tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu perwujudan dari kompensasi adalah gaji dan upah. Penentuan besarnya gaji dan upah berkaitan dengan kualitas pegawai yang dimiliki perusahaan, sebab ada anggapan bahwa hubungan erat antara besar-kecilnya penghasilan yang diperoleh pegawai dengan kualitas pegawai tersebut. 64 Di samping kualitas pegawai, pemberian gaji atau upah berkaitan juga dengan rasa keadilan antara para pegawai di dalam suatu perusahaan maupun antar pegawai di dalam beberapa perusahaan. Pandangan lama menyatakan bahwa kenaikan gaji atau upah secara otomatis akan dibarengi dengan kenaikan produktivitas. Kenyataannya tidak demikian, kadang terjadi kenaikan produktivitas karena adanya kenaikan gaji atau upah, akan tetapi terkadang juga hal itu tidak terjadi. Gaji atau upah bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Tingkat ketrampilan karyawan dan teknologi yang digunakan merupakan 2 (dua) faktor penting lain yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Faktor-faktor lain seperti sikap manajemen, cara memperlakukan pekerja, lingkungan fisik dan psikologis serta aspek-aspek lain dari budaya perusahaan juga mempengaruhi produktivitas pekerja. 65 Pandangan lainnya adalah bahwa antara imbalan dan prestasi kerja atau kinerja tidak ada hubungannya secara langsung, namun demikian kiranya tidak ada 64
F. Winarni dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji Dan Upah ,(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), hal. 7. 65 Ibid, hal. 8.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
57
orang yang bekerja hanya untuk mencari kesenangan saja atau bahkan hanya merupakan ibadah dan bukan untuk mendapatkan uang. Apabila para pekerja yang baik tidak diberikan imbalan yang cukup dan adil, pekerja akan mendapatkan kekecewaan
menjadi
tidak
produktif
dan
kualitas
kinerjanya
menurun,
kemungkinannya mereka akan meninggalkan perusahaan tersebut. Imbalan pada dasarnya adalah biaya tenaga kerja yang harus dikendalikan dan setiap terjadi peningkatan besarnya imbalan, seharusnya disertai dengan dengan peningkatan jumlah penghasilan perusahaan. Imbalan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada gaji dan upah. Imbalan mencakup semua pengeluaran perusahaan untuk pekerja dan diterima atau dinikmati pekerja, baik secara langsung, rutin maupun tidak langsung. 66
66
Ibid, hal. 10, bahwa Pengertian imbalan menurut Konvensi ILO adalah upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan secara langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitannya dengan hubungan kerja. Komponen imbalan yang diterima secara langsung, rutin atau periodik oleh pekerja disebut imbalan langsung. Contoh yang termasuk imbalan langsung adalah a. b.
c. d.
Upah atau gaji pokok merupakan jumlah imbalan yang dianggap layak bagi seorang pegawai atau karyawan untuk memenuhi penghidupannya selama 1(satu) bulan; Tunjangan tunai sebagai tambahan upah/gaji adalah segala pembayaran tambahan oleh pengusaha kepada karyawan berupa tunai dan diberikan secara rutin atau periodik setiap bulan atau setiap minggu. Fungsi tunjangan ini sebenarnya sebagai tambahan dari upah/gaji pokok; Tunjangan hari raya keagamaan adalah tambahan upah/ gaji yang diberikan saat menjelang hari raya keagamaan; Bonus adalah pemberian pendapatan tambahan bagi pekerja yang hanya diberikan setahun sekali, bila syarat-syarat tertentu dipenuhi, antara lain: 1) Bonus hanya dapat diberikan bila perusahaan memperoleh laba selama setahun fiskal yang berlalu, karena bonus biasanya diambil dari keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan; 2) Bonus tidak diberikan secara merata kepada semua karyawan. Besarnya bonus dikaitkan dengan prestasi kerja individu. Karyawan kelompok manajer ke atas
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
58
Dalam praktek, perusahaan umumnya cenderung menghindarkan pemberian komponen upah yang bersifat rutin atau tetap dalam jumlah besar. Hal ini dimaksudkan, agar jika dikemudian hari terjadi PHK, pengusaha tidak terbebani untuk menyediakan dana kompensasi dalam jumlah besar. 67 B. Komponen Kompensasi Yang Diberikan Kepada Pekerja/Buruh Kompensasi yang diberikan kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya terputus dengan perusahaan, terdiri dari: 68 1. Uang pesangon; 2. Uang penghargaan masa kerja; dan 3. Uang penggantian hak, yang meliputi: a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; biasanya menerima langsung secara pribadi dari anggota direksi atasan manajer tersebut; e. Insentif, dimana beberapa perusahaan memilih program insentif untuk prestasi individu, sedangkan yang lainnya memilih pemberian penghargaan untuk prestasi kelompok. Komisi seringkali diberikan kepada pekerja apabila kuota atau target penjualan tercapai; f. Segala jenis pembagian catu (in natura/in kind) yang diterima rutin. Selain imbalan yang diterima secara rutin, ada komponen imbalan yang tidak diterima secara rutin atau periodik, yang diterima “nanti” atau “bila terjadi sesuatu” pada pekerja yang disenut imbalan tidak langsung, contohnya: a. Fasilitas/kemudahan seperti transportasi, pemeliharaan kesehatan, dll; b. Upah/gaji yang tetap diterima pekerja selama ia menjalankan cuti dan izin meninggalkan pekerjaan; c. Bantuan dan santuan untuk musibah; d. Bantuan biaya pendidikan Cuma-Cuma; e. Iuran Jamsostek yang dibayarkan perusahaan; f. Iuran dana pensiun yang dibayarkan perusahaan; dan g. Premi Asuransi jiwa. 67 Edy Sutrisno Sidabutar, Op. Cit, hal. 44 68 Ibid, hal. 44
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
59
b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja. Penggantian
perumahan, pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 % (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; c. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB (misalnya uang pisah); d. Uang pisah yang besarannya sesuai yang di atur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB. Dalam kasus atau kondisi tertentu, adakalanya pekerja/buruh berhak untuk mendapakan keseluruhan komponen kompensasi diatas. Namun, adakalanya pula pekerja/buruh hanya mendapakan 1 (satu) atau 2 (dua) saja dari ke- 4 (keempat) komponen kompensasi tersebut atau bahkan sama sekali tidak dapat. Pemberian pesangon maupun penghargaan masa kerja dipengaruhi oleh masa kerja pekerja/buruh. Artinya sudah berapa lama pekerja/buruh tersebut bekerja pada perusahaan akan berpengaruh dalam pemberian pesangon dan pengharagaan masa kerja, bilamana terjadi PHK. Selanjutnya mengenai ketentuan komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima diatur dalam Pasal 157 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 terdiri dari:
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
60
1. Upah Pokok; dan 2. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh. Komponen pengupahan tersebut merupakan salah satu sarana dari Hubungan Industrial Pancasila (HIP), oleh karena itu, ada beberapa kriteria dalam menentukan pengupahan, antara lain: 69 1. Struktur upah perlu disederhanakan dan diupayakan agar upah pokok lebih besar dari tunjangan lainnya; 2. Idealnya diperlukan penentuan komponen upah secara umum yang dapat digunakan untuk setiap pekerjaan dan keperluan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Republik Indonesia (RI) Nomor PER 01/MEN/1990 yang dimaksud upah minimum adalah 69
John Suprihanto, Op. Cit, hal. 112, bahwa dalam kenyataannya hak tersebut sukar dilakukan karena perbedaan prinsip-prinsip penggunaanya, karena itu diperlukan perkataan komponen upah menurut keperluannya masing-masing, yaitu : a. Untuk keperluan perhitungan upah pada waktu tidak masuk kerja dengan hak upah, antara lain upah lembur, pensiun, tunjangan hari tua atau bonus tahunan, cuti tahunan, sakit di Rumah Sakit (RS), dsb sebagai bahan pertimbangan pemerintah; b. Mengingat bahwa di Indonesia klasifikasi jabatan belum dilaksanakan secara meluas sehingga bagi perusahaan tertentu tidak ada sistem yang jelas dalam menentukan jumlah pengupahan, maka wage differentials dilaksanakan sebagai rintisan jangka panjang terlaksananya standar klasifikasi jabatan dan metode penilaian jabatan.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
61
upah pokok ditambah dengan tunjangan tetap dengan kebutuhan pokok serendahrendahnya 75 % dari upah minimum. Pengertian upah pokok seperti diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI Nomor SE-07/MEN/1990 adalah imbalan dasar yang diberikan secara tetap untuk tenaga
kerja dan keluarganya serta
dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, misalnya mingguan atau bulanan, tanpa dikaitkan dengan kehadiran atau prestasi/produktivitas tertentu. Untuk mencapai ratio upah terendah dan tertinggi yang lebih seimbang dan memadai secara bertahap jarak terendah dan tertinggi perlu didekatkan, antara lain dengan cara: 70 1. Diberlakukan skala upah secara landai (sliding scale); 2. Diadakan pertimbangan antara upah pokok dan tunjangan; dan 3. Peninjauan upah minimum secara konsisten. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah Sundulan dari Direktur Jendral (Dirjen) Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Nomor B.407/N/BW/1995 tanggal 18 Juni 1995, bahwa pemberian UMR perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 71
70 71
Ibid, hal. 113. B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Op. Cit, hal. 194.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
62
1. Dengan adanya kenaikan UMR, tidak boleh dilakukan pergeseran tunjangan tidak tetap (yang sebelumnya telah diberikan) menjadi tunjangan tetap dengan tujuan untuk memenuhi UMR; 2. Tunjangan-tunjangan yang selama ini telah diberikan, tetap menjadi hak tenaga kerja dan harus tetap diberikan; 3. Khusus mengenai tunjangan transport, meskipun diberikan sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam komponen upah. Akan tetapi, apabila terjadi perselisihan karena upah sundulan, maka dapat dipecahkan dengan cara: 1. Mencari persentase kenaikan antara golongan penerima upah secara berurutan; 2. Menghitung upah baru yang dilakukan dengan cara menambah upah lama dengan persentase kenaikan dikalikan upah baru. Apabila melihat dari putusan-putusan hakim PHI pada PN Medan terhadap kasus-kasus PHK, bahwa pada umumnya komponen kompensasi yang diputuskan oleh hakim tetap berdasarkan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, yang meliputi uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Akan tetapi, uang penggantian hak disini, hakim menentukan dengan uang penggantian hak perumahan dan perobatan sebesar 15 % dari uang pesangon dan/atau
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
63
uang penghargaan masa kerja. Dalam beberapa putusan hakim juga menambahkan kekurangan-kekurangan upah dari pekerja yang dipangkas oleh majikannya, seperti pada perkara Nomor 92/G/2006/PHI Medan, perkara Nomor 147/G/2007/PHI Medan, dan perkara Nomor 101/G/2006/PHI Medan, tetapi khusus perkara ini ada ditambahkan upah cuti melahirkan. Selanjutnya dalam perkara Nomor 110/G/2006/ PHI Medan hakim juga menambahkan upah yang dibayar selama skorsing dan juga selama berjalannya proses persidangan. Akan tetapi pada perkara Nomor 139/G/2006/PHI Medan, penggugat hanya menuntut upah setiap bulannya sampai ada putusan dari PHI. C. Dasar Perhitungan Kompensasi Tujuan utama didirikannya perusahan (swasta) oleh pemiliknya adalah memperoleh laba. Walaupun demikian perusahaan tetap diharapkan memperhatikan kepentingan keseluruhan stakeholder, yaitu: pemegang saham, manajemen, karyawan, pelanggan, supplier, pemerintah dan masyarakat. Disamping itu, memenangkan persaingan juga merupakan suatu hal yang tidak boleh diabaikan perusahaan. Berkaitan dengan itu, semua volume, biaya dan harga adalah 3 (tiga) variabel yang memainkan peranan penting dalam memperoleh laba dan memenangkan persaingan. Variabel biaya akan mempunyai dampak yang lebih cepat mempengaruhi laba dibandingkan variabel volume dan harga, sebab penghematan biaya se-Rupiah akan
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
64
langsung berdampak pada tambahan keuntungan yang sama. Oleh karena itu, struktur dan tingkat biaya operasional menjadi perhatian setiap perusahaan. 72 Pekerja melihat gaji/upah dalam kerangka hidup layak bagi diri dan keluarganya, dan untuk itu pekerja bersedia memberikan jasa pada pemberi kerja dengan mengharapkan peningkatan gaji/upah, perkembangan karier, dan rasa aman akan hari depannya. Perusahaan didirikan pada dasarnya untuk mencari untung, perusahaan akan berusaha meningkatkan penjualan, mengatur strategi harga dan menekan biaya operasional keseluruhan, termasuk biaya tenaga kerja, dengan mengikuti mekanisme pasar tenaga kerja. Bagi industri tertentu yang padat karya, kenaikan upah/gaji pekerja langsung mempunyai dampak besar kepada keuntungan perusahaan secara keseluruhan. 73 Pemerintah mengharapkan tercapainya keseimbangan dan perkembangan yang optimal, di antara kepentingan pekerja dan perusahaan serta keseluruhan stakeholders. Mengingat pasar tenaga kerja yang menempatkan pekerja dalam posisi lemah, maka disinilah peran utama pemerintah menjaga keseimbangan agar jangan sampai gaji/upah turun pada tingkat yang tidak manusiawi. Pemerintah menetukan konsep dan besarnya upah minimum sebagai patokan dasar yang harus diikuti perusahaan dalam pengupahan.
72
F. Winarni dan G. Sugiyarso, Op. Cit, hal. 13. Ibid, hal. 14, bahwa dalam keadaan seperti itu, perusahaan cenderung menekan biaya di segala aspek termasuk biaya tenaga kerja. Dalam keadaan jumlah pencari kerja masih jauh lebih banyak dari kesempatan kerja yang tersedia, maka perusahaan lebih leluasa dalam mencari pekerja dengan upah rendah dan pekerja selalu berada dalam posisi lemah. 73
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
65
Upah minimum telah ditetapkan pada tahun 1996, namun sampai sekarang, masih ada yang menafsirkan upah minimum propinsi (UMP), dahulu disebut UMR sebagai upah standar, sehingga setiap kali ditetapkan UMP selalu mengundang protes yang datang dari kalangan organisasi, pekerja/buruh, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak menyetujui atau menolak besarnya UMP yang ditetapkan dengan alasan terlalu kecil atau tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup pekerja beserta keluarganya. 74 Sesuai dengan ketentuan Permen Nomor 01/MEN/1999 jo. Kepmen Nomor 226/MEN/2000 tentang upah minimum dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa setiap tahun pemerintah dalam hal ini Pemerintah Propinsi menetapkan UMP dengan tujuan kesejahteraan atau upah yang diterima pekerja/buruh tidak merosot atau lebih rendah dari perkembangan harga-harga di pasar dan inflasi atau dengan kata lain,upah yang diterima pekerja/buruh sesuai dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) seorang pekerja/buruh. Berdasarkan Permen Nomor 01/MEN/1999, dinyatakan bahwa UMP hanya berlaku bagi seorang pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sedangkan dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, besarnya dirundingkan secara bipartit antara pengusaha dengan SP/SB untuk disepakati dan sebagai standar untuk menetapkan upah yang hasilnya dimuat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan PKB. Bagi perusahaan yang belum berdiri SP/SB, diharapkan supaya pekerja
74
Thoga M. Sitorus, Op. Cit, hal. 52.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
66
membentuk tim 5 – 10 orang mewakili para pekerja untuk berunding dengan pihak pengusaha dan sesuai dengan prinsip hubungan industrial, pengusaha sebagai mitra pekerja harus secara terbuka menerima permintaan pekerja untuk berunding. 75 Pemberian kompensasi sebagai akibat dari berakhirnya hubungan kerja, dipengaruhi oleh masa kerja pekerja/buruh yang di PHK. Menurut ketentuan Pasal 156 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004, dasar penetapannya adalah sebagai berikut: 76 1. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, mendapatkan uang pesangon 1 (satu) bulan upah; 2. Masa kerja 1 (satu) atau lebih namun kurang dari 2 (dua) tahun, mendapatkan uang pesangon sebesar 2 (dua) bulan upah; 3. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih kurang dari 3 (tiga) tahun, mendapatkan uang pesangon sebesar 3 (tiga) bulan upah; 4. Masa Kerja 3 (tiga) tahun atau lebih namun kurang dari 4 (empat) tahun, mendapatkan uang pesangon sebesar 4 (empat) bulan upah; 5. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih namun kurang dari 5 (lima) tahun, mendapatkan uang pesangon, sebesar 5 (lima) bulan upah;
75 76
Ibid, hal. 56. Lihat, Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
67
6. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih namun kurang dari 6 (enam) tahun, mendapatkan uang pesangon sebesar 6 (enam) bulan upah; 7. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih namun kurang dari 7 (tujuh) tahun, mendapatkan uang pesangon sebesar 7 (tujuh) bulan upah; 8. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, mendapatkan uang pesangon sebesar 9 (sembilan) bulan upah; 9. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, mendapatkan uang pesangon sebesar 9 (sembilan) bulan upah. Untuk pemberian uang penghargaan masa kerja (Pasal 156 Ayat (2)), ketentuannya adalah: 1. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih namun kurang dari 6 (enam) tahun, mendapatkan uang penghargaan kerja sebesar 2 (dua) bulan upah; 2. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih namun kurang dari 9 (sembilan) tahun mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 3 (tiga) bulan upah; 3. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih namun kurang dari 12 (dua belas) tahun, mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 4 (empat) bulan upah;
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
68
4. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, namun kurang dari 15 (lima belas) tahun mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 5 (lima) bulan upah; 5. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih namun kurang dari 18 (delapan belas) tahun, mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 6 (enam) bulan upah; 6. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih namun kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 7 (tujuh) bulan upah; 7. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih namun kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 8 (delapan) bulan upah; 8. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 10 (sepuluh) bulan upah. Untuk pemberian uang penggantian hak yang seharusnya diterima diatur dalam Pasal 156 Ayat 4, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; 2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
69
3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 % (lima belas persen) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; 4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pemberian kompensasi bagi pekerja/buruh yang hubungan kerjanya terputus dengan perusahaan, diatur dengan memperhatikan alasan-alasan PHK, baik alasan yang terletak pada diri pekerja/buruh atau yang terletak pada diri pengusaha itu sendiri. Terhadap putusan-putusan PHI pada Pengadilan Negeri Medan terhadap kasus-kasus PHK yang dibahas dalam tesis ini, maka hakim menggunakan dasar perhitungan kompensasi sesuai dengan yang diatur oleh Undang-Undang dengan tetap mengacu pada Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Adapun dasar perhitungan kompensasi upah yang dikabulkan hakim didalam putusan-putusannya, antara lain: 1. Pada Perkara Nomor 92/G/2006/PHI Medan, penggugat (Juni Susi Manulang A.md) yang telah bekerja selama 5 tahun 4 bulan mulai dari tanggal 6 Februari 2001 s/d 15 Februari 2006, dengan upah sebesar Rp 450.000,-/bulan yang bertentangan dengan UMP Sumatera Utara tahun 2005 dan Upah Minimum Kota (UMK) 2006, dimana UMP tahun 2005 sebesar Rp 600.000,-/bulan dan UMK
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
70
tahun 2006 sebesar Rp 750.000,-/bulan. Maka kekurangan upah penggugat selama tahun 2005 adalah Rp 150.000,-/bulan dan untuk tahun 2006 sebesar Rp 300.000,/bulan. Maka sesuai dengan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, majelis hakim memberikan putusan agar tergugat membayar hak-hak normatif penggugat, dengan perincian sebagai berikut: a. Uang Pesangon, dimana masa kerja penggugat 5 tahun 4 bulan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Ayat 2 Huruf F yang menyebutkan ”Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah”, maka: 6 x Rp 750.000,- x 2 = Rp 9.000.000,b. Uang Penghargaan Masa Kerja, berdasarkan ketentuan Pasal 156 Ayat 3 Huruf A bahwa ”masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah”, maka: 2 x Rp 750.000,- = Rp 1.500.000,c. Uang penggantian hak, dalah hal ini penggantian perumahan serta perobatan sebesar 15 % dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, yakni: uang pesangon + Uang Penghargaan masa kerja (Rp 9.000.000,- + Rp. 1.500.000,- = Rp 10.500.000,-), maka: 15 % x Rp 10.500.000,- = Rp 1.575.000,d. Kekurangan upah tahun 2005 adalah 12 bulan x Rp 150.000,- = Rp 1.800.000,e. Kekurangan upah tahun 2006 adalah 6 bulan x Rp 300.000,- = Rp 1.800.000,-
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
71
f. Oleh karena itu keseluruhan hak penggugat yang harus dibayar tergugat adalah Rp 9.000.000 + Rp 1.500.000,- + Rp 1.575.000,- + Rp 1.800.000,- + Rp 1.800.000,- = Rp 15.675.000,2. Perkara Nomor 101/G/2006/PHI Medan, penggugat adalah Mastalina yang bekerja mulai tanggal 22 Februari 2002 s/d 17 Juli 2006 dengan masa kerja 4 tahun 5 bulan, menerima upah terakhir pada pertengahan Mei 2006 sebanyak Rp 21.500,-/hari atau setara dengan Rp 537.500/bulan.. Kemudian Mastalina di PHK secara sepihak oleh Direktur perusahaan tempat ia bekerja setelah ia tidak mau menandatangani kontrak. Penggugat (Mastalina) membawa persoalan ini ke PHI dan menuntut perusahaan untuk membayar hak-haknya. Maka majelis hakim memutuskan kompensasi yang harus dibayarkan tergugat adalah a. Uang Pesangon 5 x Rp 750.000,- x 2 = Rp 7.500.000,b. Uang penghargaan masa kerja 2 x Rp 750.000,- = Rp 1.500.000,c. Uang penggantian hak perumahan dan perobatan 15 % x Rp 9.000.000,d. Uang cuti hamil/melahirkan 3 x Rp 750.000,e. Kekurangan upah tahun 2005 (12 bulan) sebesar 12 x Rp 62.500,- = Rp 750.000,f. Kekurangan upah tahun 2006 (5 bulan) sebesar 5 x Rp 212.500,- = Rp 1.062.500,-
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
72
g. Maka jumlah keseluruhannya adalah Rp 14.412.500,3. Perkara Nomor110/G/2006/PHI Medan, penggugat Jhonseri Hutasoit mulai bekerja pada bulan Oktober 1999 s/d Januari 2006 dengan masa kerja lebih kurang 7 (tujuh) tahun dengan gaji Rp 750.000,-/bulan, maka berdasarkan putusan hakim PHI, besar kompensasi upah yang diberikan akibat PHK oleh perusahaan berdasarkan Pasal 156, antara lain: a. Uang Pesangon, dengan masa kerja 7 (tujuh) tahun, maka berdasarkan Pasal 156 Ayat 2 Huruf H ”masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah, maka: 6 x Rp 750.000,- x 2 = Rp 12.000.000,b. Uang penghargaan masa kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Ayat 3 Huruf B ”masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah, maka: 3 x Rp 750.000,- = Rp 2.250.000,c. Uang penggantian hak perumahan dan perobatan adalah Rp 12.000.000,- + Rp 2.250.000,- = Rp 14.250.000,-, maka: 15 % x Rp 14.250.000,- = Rp Rp 2.137.500,d. Selama Skorsing, upah bulan Januari 2006 = Rp 750.000,e. Upah selama proses persidangan berjalan, bulan Februari s/d Desember 2006 adalah 11 bulan x Rp 750.000,- = Rp 8.250.000,-
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
73
f. Total yang harus dibayar oleh tergugat adalah Rp 25.387.500,4. Perkara Nomor 139/G/2006/PHI Medan, dengan penggugat (Ramnita Arifa) yang merupakan pekerja kontrak, yang mulai bekerja tanggal 1 Juli 2002 s/d 31 Oktober 2006 (kurang lebih 4 tahun 3 bulan), dengan upah terakhir Rp 795.000,/bulan. Penggugat hanya menggugat tergugat untuk membayar upah setiap bulan sampai selesainya proses persidangan, dimana putusan hakim jatuh pada tanggal 13 Februari 2007, maka perhitungannya: a. Untuk bulan November 2006 s/d Desember 2006 adalah Rp 795.000,- + Rp 795.000.000 = Rp 1.590.000,b. Untuk bulan Januari 2007 s/d Februari 2007 dengan UMK tahun 2007 sebesar Rp 820.000,-,maka upah yang dibayarkan sebesar Rp 1.640.000,c. Total yang harus dibayar tergugat adalah Rp 3.230.000,5. Pada Perkara Nomor 147/G/2007/PHI Medan, adalah mengenai perselisihan hubungan industrial antara Hwang Jang Suk yang menjabat sebagai Project Manager pada PT. Victor Jaya Raya yang berkedudukan sebagai penggugat dengan 10 orang PHL sebagai tergugat. Di dalam posita gugatan penggugat tidak disebutkan secara rinci dalil mengenai penyebab terjadinya PHK terhadap tergugat dan didalam petitumnya tidak secara eksplisit menyebutkan hak-hak yang harus diterima oleh tergugat, akan tetapi maksud penggugat disini melakukan PHK sehubungan dengan terjadinya pengalihan perusahaan dan penyegaran
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
74
sistem manajemen. Rata-rata masa kerja tergugat di atas 6 (enam) tahun, maka menurut Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Kepmenaker RI Nomor 100 Tahun 2004, status dari para pekerja adalah pekerja tetap dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat tidak dapat dikatakan terputus kerena terjadinya pengalihan manajemen dan tidak dilakukan terlebih dahulu proses PHK pada saat pengalihan tersebut. Hal ini mengacu pada Pasal 163 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Akan tetapi hubungan kerja ini putus karena penggugat melakukan efisiensi. Selama ini para pekerja hanya menerima upah sebesar Rp 525.000,/bulan. Untuk itu, maka sesuai dengan Pasal 156, penggugat diwajibkan untuk membayar upah terhadap 10 orang pekerja yang di PHK ditambah dengan kekurangan upah selama 2 (dua) tahun terakhir serta upah dar bulan Juli 2007 s/d Desember 2007. UMP Sumatera Utara tahun 2005 adalah Rp 640.000,-, UMK tahun 2006 adalah Rp 750.000,- dan UMK tahun 2007 sebesar Rp 820.000,- . Adapun perincian upah yang diberikan kepada pekerjanya, sebagai berikut: a. Heppy Tiurlina Marbun, dengan masa kerja 9 tahun 10 bulan, diberikan uang pesangon sebesar 9 x Rp 820.000,- x 2 = Rp 14.760.000,-, uang penghargaan masa kerja 4 x Rp 820.000,- = Rp 3.280.000,-, uang penggantian perumahan dan perobatan 15 % x Rp 18.040.000,-, kekurangan upah tahun 2005 (6 bulan) adalah UMR 2005 – Upah pekerja = Rp 640.00,- - Rp 525.000,- = Rp 115.000,- x 6 = Rp 690.000, kekurangan upah tahun 2006 (12 bulan) = Rp
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
75
1.500.000,-, kekurangan upah tahun 2007 (6 bulan) = Rp 1.170.000,-, upah bulan Juli s/d Desember 2007 (6 bulan) = 6 x Rp 820.000,- = Rp 4.920.000,-. Jadi jumlah keseluruhannya adalah Rp 29.026.000,b. Helesa Debata Raja, dengan masa kerja 6 tahun 10 bulan, menerima uang pesangon = 7 x Rp 820.000,- x 2 = Rp 11.480.000,-, uang penghargaan masa kerja 3 x Rp 820.000,,- + Rp 2.460.000,-, uang penggantian perumahan dan perobatan 15 % x Rp 13.940.000,- = Rp 2.091..000,-, kekurangan upah tahun 2005 = Rp 690.000,-, kekurangan upah tahun 2006 = Rp 1.500.000,-, kekurangan upah tahun 2007 = Rp 1.171.000,-, upah bulan Juli s/d Desember 2007 6 x Rp 820.000,- = Rp 4.920.000. Jumlah keseluruhannya adalah Rp 24.311.000,c. Irma, masa kerja 6 tahun 10 bulan, maka komponen upah yang diberikan kepadanya sama dengan keseluruhan hak normatif daripada Helesa Debata Raja sebesar Rp 24.311.000,d. Bernike Hutagaol, Lina Hutagaol, Rasmita Br. Ginting Saragih, Rosmanisa Br. Purba dan Nurkaya Br. Nainggolan, masa kerjanya 9 tahun 11 bulan terkecuali bagi Nurkaya dengan masa kerja 11 tahun, memperoleh hak-hak normatifnya sama besar dengan yang diperoleh oleh Heppy Tiurlina Marbun, yaitu sebesar Rp 29.026.000,-
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
76
e. Dedi Harianto, masa kerja 8 bulan akan memperoleh uang pesangon sebesar 1 x Rp 820.000,- x 2 = Rp 1.640.000,-, uang penggantian perumahan dan perobatan 15 % x Rp 1.640.000,-, kekurangan upah tahun 2006 (2 bulan) = Rp 250.000,-, kekrangan upah tahun 2007 (6 bulan) = Rp 1.170.000,-, upah bulan Juli s/d Desember 2007 = 6 x Rp 820.000,- = Rp 4.920.000,-. Jadi total upah yang diperolehnya sebesar Rp 8.226.000,f. Suriati Br. Tarigan, masa kerja 8 tahun 9 bulan memperoleh upah pesangon 9 x Rp 820.000,- x 2 = Rp 14.760.000,-, upah penghargaan masa kerja 3 x Rp 820.000,- = Rp 2.460.000,-, uang penggantian perumahan dan perobatan 15 5 x Rp 17. 220.000,- = Rp 2.583.000,-, kekurangan upah tahun 2005 (6 bulan) = Rp 690.000, kekurangan upah tahun 2006 (12 bulan)
= Rp 1.500.000,-,
kekurangan upah tahun 2007 (6 bulan) = Rp 1.170.000,-, upah bulan Juli s/d Desember tahun 2007 = 6 x Rp 820.000,- = Rp 4.920.000. Maka upah yang akan dieproleh sebesar Rp 28.083.000,g. Jadi, apabila dijumlahkan maka rekapitulasi yang harus dibayarkan tergugat kovensi/penggugat
rekonpensi
(PT.
Victor
Jaya
Raya)
sebesar
259.087.000,-
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
Rp
77
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Kompensasi Upah Kepada Pekerja/Buruh PHK adalah masalah sehari-hari yang seringkali terjadi di sekeliling masyarakat. Dalam berbagai kasus, PHK menjadi penyulut konflik hubungan industrial antara kaum pekerja/buruh dan pengusaha. Konflik di seputar PHK tersebut seringkali berawal dari kurangnya pemahaman dari kedua belah pihak mengenai mekanisme pengambilan keputusan yang fair bagi kepentingan masing-masing. Konflik antara pekerja/buruh dan pengusaha biasanya terpusat pada aspek normatif seperti besarnya uang pesangon yang layak, uang penghargaan masa kerja dan ganti rugi yang kesemuanya merupakan bagian dari komponen upah yang riil. 77 PHK selalu memiliki akibat hukum, baik terhadap pengusaha maupun terhadap pekerja/buruh itu sendiri. Akibat hukum dimaksud adalah bentuk pemberian kompensasi upah kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya terputus dengan pengusaha. Bagi pengusaha, ada kewajiban untuk memberikan kompensasi upah kepada pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya, sebaliknya pekerja/buruh berhak untuk mendapatkan kompensasi upah yang dimaksud. Namun demikian, tidak selamanya PHK selalu diikuti dengan pemberian kompensasi upah kepada pekerja/buruh. Adakalanya pekerja/buruh tidak mendapatkan kompensasi apapun atas terputusnya hubungan kerja dengan pengusaha, misalnya pekerja/buruh yang
77
Lihat, Petunjuk Pelaksanaan PHK, Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep150/Men/2000.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
78
hubungan kerjanya diakhiri dalam masa percobaan atau hubungan kerjanya didasarkan pada PKWT. 78 Apabila permasalahan PHK ini sampai ke pengadilan, maka pengadilan tidak boleh untuk menolak, memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada/kurang jelas (sesuai dengan Pasal 16 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004). Hakim berkewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Pertimbangan hakim adalah pertimbangan hukum yang merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara. 79 Kemudian diikuti analisis, hukum apa yang diterapkan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu, pertimbangan melakukan argumentasi yang objektif dan rasional, pihak mana yang mampu membuktikan dalil gugatan atau dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil argumentasi itulah, hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan yang tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan
78
Edy Sutrisno Sidabutar, Op. Cit, hal. 43. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian Dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 809, bahwa Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan undang-undang pembuktian : a. Apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan materiil; b. Alat bukti pihak mana yang telah mencapai batas minimal pembuktian; c. Dalil gugatan apa saja dan dalil gugatan apa saja yang terbukti; d. Sejauh mana kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak. 79
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
79
hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan. Menilik dari putusan-putusan yang dianalisis dalam tesis ini, maka terhadap kompensasi upah yang harus diberikan pengusaha kepada pekerja/buruh akibat terjadinya
PHK,
hakim
berusaha
bertindak
adil
dalam
pertimbangan-
pertimbangannya yang dituangkan dalam pokok perkara, sehingga dapat mencapai dasar penyelesaian sengketa. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim tersebut antara lain: 1. Adanya perbuatan melawan hukum. Dalam perkara No. 92/G/2006/ PHI Medan, bahwa yang terjadi adalah PHK sepihak yang dilakukan oleh tergugat terhadap penggugat dengan alasan kinerja yang tidak baik. PHK yang dilakukan oleh tergugat secara sepihak tidak memberikan hak-hak penggugat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Majelis hakim berpendapat berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa perbuatan tergugat yang telah melakukan PHK terhadap penggugat dengan kesalahan yang tidak dapat dibuktikan secara hukum bertentangan dengan ketentuan Pasal 151 jo. Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan pembayaran upah selama penggugat bekerja tidak sesuai dengan ketentuan UMP dan UMK Sumatera Utara. Perbuatan tergugat merupakan perbuatan melawan hukum sehingga dalam putusannya hakim menyatakan telah terjadinya PHK dan mewajibkan tergugat untuk
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
80
membayarkan segala hak-hak normatif penggugat sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan membayar sisa upah penggugat yang dipangkas oleh tergugat; 2. PHK terhadap penggugat terjadi dikarenakan penggugat menolak untuk menandatangani surat perjanjian kontrak yang disodorkan oleh tergugat dan selama masa cuti hamil/melahirkan penggugat tidak menerima upah dari tergugat. Majelis hakim dalam perkara No. 101/G/2006/ PHI Medan berpendapat bahwa pembayaran upah penggugat oleh tergugat tidak sesuai dengan ketentuan UMP dan UMK di Sumatera Utara dimana dalam pertimbangannya juga, masa kerja penggugat sendiri sudah dapat dikatakan bahwa status penggugat adalah pekerja tetap dengan PKWTT (sesuai dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Kepmenaker RI Nomor 100 Tahun 2004). Hakim juga menyatakan bahwa tergugat harus membayar upah penggugat selama cuti hamil/melahirkan (diatur dalam Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Oleh karena telah terjadinya PHK, maka hakim memutuskan hak-hak penggugat yang harus dibayarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan menambahkan upah selama cuti hamil/melahirkan, dan kekurangankekurangan upah tahun 2005 dan 2006; 3. Adanya perbuatan yang melawan hukum juga terjadi dalam perkara No.110/G/2006/PHI Medan, bahwa PHK dilakukan oleh tergugat terhadap
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
81
penggugat secara sepihak dan sewenang-wenang tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku dengan alasan penggugat telah melakukan kesalahan berat, yaitu pencurian. Tergugat meminta ganti rugi kepada penggugat, menskorsing penggugat tanpa pembayaran upah dan tidak mengizinkan penggugat untuk masuk kerja lagi tanpa ada pembayaran upah sampai ia dapat mengganti kerugian atas barang-barang yang hilang. PHK ini dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukumnya, sebab tidak adanya pemberian surat peringatan terlebih dahulu. Di dalam persidangan bukti-bukti yang mengarah kepada kesalahan berat yang telah dilakukan oleh penggugat tidaklah cukup kuat, sehingga apa yang dituduhkan oleh tergugat tidak terbukti serta permintaan tergugat ganti kerugian terhadap barang-barang yang hilang bertentangan dengan ketentuan Pasal 88 Ayat (3) Huruf G Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Pasal 20 PP Nomor 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah. Hakim mewajibkan kepada tergugat untuk membayar hakhak penggugat sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ditambah upah selama penggugat diskorsing; 4. Adanya kesalahan sistem pemagangan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 11 jo. Pasal 12 jo. Pasal 13 jo. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), kemudian berdasarkan Pasal 21 jo. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwasanya perjanjian pemagangan harus dibuat secara tertulis, dan
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
82
pemagangan yang dilaksanakan oleh tergugat terhadap penggugat adalah tidak sah, maka sesuai dengan Pasal 22 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, status pekerja berubah menjadi pekerja tetap. Selain itu, perjanjian kontrak kerja yang dibuat antara tergugat dengan penggugat bertentangan dengan Pasal 59 Ayat 1, 2 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Kep-100/Men/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan PKWT, karena pekerjaan yang dilaksanakan penggugat adalah merupakan pekerjaan yang bersifat tetap dan pembaharuannya tanpa melewati masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan demikian perjanjian antara keduanya batal demi hukum dan status penggugat menjadi pekerja tetap. Hal ini terdapat dalam perkara No. 139/G/2006/PHI Medan. Perbuatan tergugat tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu dalam pertimbangannya hakim mewajibkan kepada tergugat untuk mempekerjakan kembali penggugat ke tempat semula dengan status sebagai pekerja tetap dengan membayar upah penggugat sejak bulan November 2006 yang dibayarkan oleh tergugat sebelumnya; 5. Penggugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak membayar upah tergugat tidak sesuai dengan ketentuan UMP dan UMK di Sumatera Utara (bertentangan dengan Pasal 90 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) dimana masa kerja para tergugat rata-rata di atas 6 (enam) tahun dan telah bekerja secara terus-menerus, maka menurut Pasal 59
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
83
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Kepmenaker RI Nomor 100 Tahun 2004, maka status kerja tergugat haruslah menjadi pekerja tetap/PKWTT. Hal ini terdapat dalam perkara No. 147/G/2007/PHI Medan. PHK yang dilakukan oleh penggugat terhadap tergugat yang berstatus sebagai PHL di Lapangan Golf PT. Victor Jaya Raya beralasan bahwasanya manajemen PT. Victor Jaya Raya telah dialihan dari PT. Bank Sumut. Penggugat melakukan penyegaran sistem manajemen dengan melakukan seleksi terhadap beberapa tenaga kerja, sehingga bagi yang tidak memenuhi kriteria dilakukan PHK oleh penggugat dengan memberikan hak-haknya dengan perhitungan masa kerja sejak saat pengalihan perusahaan dari Bank Sumut kepada penggugat. Berdasarkan acara pembuktian dan hadirnya saksisaksi, bahwa para tergugat telah bekerja di PT. Victor Jaya Raya dengan sebagian besar pekerjanya bekerja sejak tahun 1996, manajemen PT. Victor Jaya Raya telah dialihkan dari PT. Bank Sumut kepada penggugat berdasarkan perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris. Para tergugat menerima upah dari penggugat dibawah ketentuan UMP/Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Kemudian hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat tidak dapat dikatakan putus oleh karena terjadinya pengalihan manajemen perusahaan, hal ini disebabkan tidak ada dilakukannya proses PHK terlebih dahulu pada saat terjadinya pengalihan tersebut sehingga bertentangan dengan Pasal 163 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Oleh karena terbukti bahwa penggugat telah melakukan PHK terhadap tergugat bukan karena
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
84
disebabkan adanya pengalihan manajemen perusahaan, akan tetapi pihak penggugat melakukan efisiensi (Pasal 164 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Maka berdasarkan pertimbangan tersebut, hakim mewajibkan penggugat membayar hak-hak tergugat sesuai ketentuan Pasal 156 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 ditambah dengan kekurangan upah 2 (dua) tahun terakhir serta upah dari bulan Juli s/d Desember 2007.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
85
BAB IV PERANAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KASUS-KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA A. Gambaran Umum Mengenai Pengadilan Hubungan Industrial Setelah hampir 50 tahun (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957) tentang penanganan perselisihan hubungan industrial atau PHK ditangani P4D dibawah naungan Disnakertrans. Selanjutnya dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, penangannya beralih ke PHI (peradilan khusus) yang berada pada lingkungan peradilan umum yang berlaku mulai tanggal 14 Januari 2005, namun dengan alasan tertentu, ditunda 1 (satu) tahun menjadi tanggal 14 Januari 2006, berdasarkan Perpu RI Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Pencanangan berlakunya UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 telah dilakukan Ketua MA RI di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 14 Januari 2004. 80 Berdasarkan data PHI Medan, Sumatera Utara adapun Perkara-Perkara yang masuk sebanyak:
80
Thoga M. Sitorus, Op.Cit, hal. 83.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
86
Tabel 1 : Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial di PN Medan Tahun 2006-2007 Tahun
Gugatan Yang Masuk
Gugatan Yang Diputus
Sisa Gugatan
2006
142 Berkas
89 Berkas
53 Berkas
2007
208 Berkas
186 Berkas
75 Berkas
Sumber : Panitera Muda PHI Pada PN Medan, data diperoleh pada tanggal 15 April 2007.
Pada tahun 2006, gugatan yang masuk di PHI Medan sebanyak 142 berkas, dimana selama tahun 2006 tersebut, gugatan yang diputus hanya sebanyak 89 berkas. Sisanya sebanyak 53 berkas masih dalam proses penyelesaian. Kemudian sisa gugatan ini digabungkan dengan gugatan yang masuk pada tahun 2007 sehingga menjadi 208 berkas. Sepanjang tahun 2007, gugatan yang telah diputus sebanyak 186 berkas, sehingga sisa gugatan yang masih dalam tahap penyelesaian sebanyak 75 berkas. Khusus untuk data Perkara-Perkara PHI tahun 2008, perhitungan data masih berupa data per-bulan, yakni:
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
87
Tabel 2 : Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial di PN Medan Tahun 2008 Tahun
2008
Bulan
Gugatan Yang Masuk
Gugatan Yang Diputus
Sisa Gugatan
Januari
12 Berkas
33 Berkas
54 Berkas
Februari
13 Berkas
11 Berkas
56 Berkas
Maret
15 Berkas
11 Berkas
60 Berkas
Sumber : Panitera Muda PHI Pada PN Medan, data diperoleh pada tanggal 15 April 2007.
Memasuki tahun 2008 ini, perhitungan gugatan perselisihan hubungan industrial di PHI Medan masih per-bulan. Dimana pada akhir tahun 2007, sisa gugatan yang masih dalam proses penyelesaian sebanyak 75 berkas. Pada bulan Januari 2008, gugatan yang masuk ke PHI medan sebanyak 12 berkas. Kemudian gugatan ini dikalkulasikan dengan jumlah sisa gugatan tahun 2007, sehingga menjadi 87 berkas. Gugatan yang diputus pada bulan Januari 2008, sebanyak 33 berkas dan sisanya 54 berkas. Pada bulan Februari 2008, gugatan yang masuk di PHI Medan sebanyak 13 berkas. Sama seperti perhitungan bulan sebelumnya, jumlah tersebut dikalkulasikan dengan jumlah sisa gugatan pada bulan Januari 2008, sehingga berjumlah 67 berkas. Akan tetapi, pada bulan Februari 2008 ini, gugatan yang telah diputus hanya sebanyak 11 berkas. Jadi bersisa 56 berkas yang masih dalam proses penyelesaian. Memasuki bulan Maret 2008, gugatan yang masuk di PHI Medan sebanyak 15 berkas. Jumlah ini ditambahkan dengan jumlah sisa gugatan yang masih dalam proses
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
88
penyelesaian di bulan Februari sehingga berjumlah 71 berkas. Pada bulan Maret ini, gugatan yang diputus hanya sebanyak 11 berkas, sehingga menyisakan 60 berkas yang masih di proses. Sisa gugatan ini, selanjutnya akan dikalkulasikan dengan gugatan pada bulan berikutnya. PHI dalam menjalankan kewenangannya dilengkapi dengan Fungsionaris Pengadilan. Yang dimaksud dengan Fungsionaris Pengadilan adalah orang-orang atau mereka yang kedudukan atau jabatan dan tugasnya membuat pengadilan itu berfungsi sebagaimana mestinya, atau dengan kata lain, fungsionaris pengadilan ialah para pejabat yang oleh negara telah diserahi tugas untuk menjadi penyelenggara atau pelaksana fungsi pengadilan sebagaimana mestinya. 81 Misi utama dari fungsionaris pengadilan adalah harus dapat berusaha dan menjamin agar pengadilan dalam fungsinya dapat mencapai dan mencerminkan: 1. Keadilan, yang dalam hal ini merupakan keserasian antara: a. Kepastian hukum dan kesebandingan atau kesetaraan hukum; b. Proteksi hukum dan restriksi hukum; c. Penggunaan hak (sampai pada batas maksimal) dan pelaksanaan kewajiban (mulai dari batas minimal ke atas);
81
A. Ridwan Halim, Pokok-Pokok Peradilan Umum Di Indonesia Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 5.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
89
2. Kewibawaan hukum, yang dalam hal ini merupakan keserasian antara keketatan hukum dan keluwesan hukum; 3. Perkembangan hukum, yang merupakan keserasian antara modernisasi hukum dan restorasi hukum; 4. Efisiensi dan efektivitas hukum merupakan keserasian antara unifikasi hukum dan diferensiasi/pluralisme hukum; 5. Kesejahteraan kehidupan masyarakat merupakan keserasian antara kebendaan dan keakhlakan. 82 Yang menjadi fungsionaris PHI pada PN, sesuai dengan Pasal 60 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 terdiri dari Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti. Sebagai organ pengadilan, hakim memegang peranan penting dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Demikian halnya dengan hakim pada PHI. Hakim pada PHI merupakan hakim karier pada PN yang ditugasi pada PHI dan hakim Ad-Hoc merupakan hakim yang pengangkatannya atas usul SP/SB dan organisasi pengusaha. Hakim PHI diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua MA (Pasal 61 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). Hakim ad-Hoc PHI diangkat dengan Keppres atas usul Ketua MA. Calon hakim Ad-Hoc diajukan oleh Ketua MA dan nama yang disetujui menteri atas usul
82
Ibid, hal. 6, sebagaimana dikutip dari buku Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Filsafat Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: CV. Rajawali, 1982).
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
90
SP/SB atau organisasi pengusaha. Untuk dapat diangkat menjadi hakim Ad-Hoc pada PHI dan hakim Ad-Hoc pada MA harus memenuhi syarat (Pasal 64 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004) sebagai berikut: 83 1. Warga Negara Indonesia (WNI); 2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945; 4. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun; 5. Badan sehat sesuai dengan keterangan dokter; 6. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; 7. Berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1), kecuali bagi hakim AdHoc pada MA syarat pendidikan sarjana hukum, dan; 8. Berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2004 mengatur tentang tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim Ad-Hoc PHI dan hakim Ad-Hoc MA. 84 Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai Anggota Lembaga Tertinggi Negara, Kepala Daerah/Kepala Wilayah, Lembaga legislatif tingkat daerah, Pegawai Negeri Sipil 83
Lalu Husni, Op. Cit, hal. 89. Lihat, Kumpulan Keputusan Dan Peraturan Terkait Dengan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Semarang: Effhar, 2006), hal. 105-121, yang terdiri dari 15 Pasal. 84
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
91
(PNS), Anggota TNI/Polri, Pengurus Partai Politik (Parpol), Pengacara, Mediator, Konsiliator, Arbiter, atau Pengurus SP/SB atau pengurus organisasi pengusaha. Jika ada seorang hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud di atas, maka jabatannya sebagai hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan. Dengan memperhatikan persyaratan untuk dapat menjadi hakim Ad-Hoc pada PHI, maka tidak terlalu sulit untuk menemukan sumber daya manusia yang akan direkrut untuk menjadi hakim Ad-Hoc. Dalam pengadilan, kepaniteraan juga merupakan salah satu bagian yang penting khususnya dalam penyelenggaraan administrasi pengadilan maupun jalannya persidangan. Kepaniteraan adalah suatu badan atau lembaga dalam pengadilan yang bertugas untuk menyelenggarakan kegiatan administratif/tulis-menulis/pencatatanpencatatan dalam melaksanakan tugas pengadilan sehari-hari. 85 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur hal ini mulai Pasal 74 sampai dengan Pasal 80. Pada setiap PN yang telah ada PHI dibentuk Sub-Kepaniteraan PHI yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda. Dalam melaksanakan tugasnya Pamud dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti. Sub-Kepaniteraan mempunyai tugas: 86 1. Menyelenggarakan administrasi PHI, dan; 2. Membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara. 85
A. Ridwan Halim, Op. Cit, hal. 13, bahwa antara susunan staf panitera pada PN dan pada PT terdapat sedikit perbedaan, yakni jurusita, yang hanya terdapat pada staf panitera PN dan tidak terdapat pada susunan staf PT. 86 Lalu Husni, Op. Cit, hal. 31.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
92
Buku perkara sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak dan jenis perselisihan. Sub-Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan. Untuk pertama kali Pamud dan Panitera Pengganti PHI diangkat dari PNS instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Persyaratan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian Pamud dan Panitera Pengganti PHI diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 77 Ayat 2). Panitera pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara. Kemudian berita acara tersebut nantinya akan ditandatangani oleh Hakim, Hakim AdHoc dan Panitera Pengganti. B. Kedudukan Dan Peran Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Keberadaan peradilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan keberadaan peradilan, dan menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili, yang disebut yurisdiksi (jurisdiction) ataupun kompentensi maupun kewenangan mengadili. Permasalahan kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor, seperti faktor instansi pemerintah yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Perkara yang
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
93
menjadi kewenangan peradilan yang lebih tinggi. Sengketa harus diselesaikan lebih dahulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan banding atau kasasi dan sebaliknya. 87 Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, kewenangan perselisihan yang timbul antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau SP/SB, jatuh menjadi yurisdiksi absolut PHI yang bertindak: 1. Sebagai pengadilan khusus; 2. Kewenangannya memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial; 3. Organisasinya dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri. Sebagai organ pengadilan, hakim memegang peranan penting dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 memerintahkan hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal ini menegaskan bahwa hakim berperan dan bertindak sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. 88
87 88
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 179. Ibid, hal. 798.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
94
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 31), dimana dalam kedudukannya hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum (Pasal 32). 89 Berdasarkan Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia dan Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 16 Ayat 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 yang telah menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan ini menentukan fungsi hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum, sedangkan pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk merumus berdasarkan sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. 90 Tugas hukum adalah untuk meramu 2 (dua) dunia yaitu ideal dan kenyataan yang selalu bertentangan. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena pada hakekatnya masyarakat tidak dapat menunggu sampai ditentukan adanya suatu persesuaian yang ideal antara keduanya itu. Secara implisit berdasarkan pendapat dari para sarjana, yang menjadi tujuan hukum adalah kepastian hukum, keadilan dan 89 90
Lihat, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Chainur arrasjid, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: Yani Corporation, 1988), hal 97.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
95
kegunaan. Peran hakim adalah melaksanakan tujuan hukum itu sendiri, yang nantinya setiap putusan-putusan hakim merupakan pelaksanaan konkrit dari tujuan hukum tersebut. 91 Sehubungan dengan hal ini, adapun yang menjadi peran dari hakim khususnya hakim PHI, antara lain: 1. Adanya kebutuhan hukum untuk memenuhi kekosongan dalam pengaturan, muncullah tuntutan yang lebih praktis sifatnya, yaitu keharusan adanya peraturan, yaitu dengan memberikan kepastian hukum. Peran hakim dalam memberikan kepastian hukum terlihat dalam penerapan hukumnya. Dalam arti kata, bahwa setiap perbuatan yang merupakan perbuatan yang termasuk perbuatan melawan hukum, disesuaikan dengan pelanggaran terhadap isi-isi pasal. Dalam setiap putusan-putusan PHI ini adanya pemangkasanpemangkasan terhadap upah pekerja/buruh oleh pengusaha, pertimbangan hakim, hal ini merupakan perbuatan melawan hukum. Maka untuk lebih memberi rasa kepastian hukum terhadap buruh atau pekerja, hakim mewajibkan kepada pihak pengusaha untuk memenuhi hak-hak normatif dari pekerja/buruh yang terlewatkan, baik itu upah karena terjadinya PHK, upah pekerja/buruh yang dipangkas selama ia bekerja maupun kompensasikompensasi lainnya. Hal ini tentunya sudah diatur dalam pasal-pasal UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, khususnya mengenai upah yang harus dibayarkan terdapat dalam Pasal 156. Kepastian hukum berarti bahwa dengan
91
Ibid, hal. 8.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
96
adanya hukum, setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa hak dan kewajibannya. Manfaatnya adalah terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat; 2. Dalam memberikan rasa keadilan, dimana konsep keadilan menurut bangsa Indonesia tertuang dalam Pancasila yang merupakan filsafat bangsa. Di dalam literatur Indonesia, banyak pendapat yang mengatakan Pancasila sebagai filsafat.
92
Konsep keadilan dalam Pancasila dirumuskan dalam sila ke-2 dan
ke-5. Makna adil dalam sila ke-2 ini, pertama kali dijabarkan dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1978, yang kemudian dicabut dengan TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Dalam rumusannya, sikap adil digambarkan sebagai sikap bermartabat, sederajat, saling mencintai, sikap tepa selira, tidak sewenangwenang, mempunnyai nilai kemanusiaan, membela kebenaran dan keadilan serta saling menghormati, sedangkan makna adil dalam sila ke-5 adalah gotong-royong, keseimbangan antara hak dan kewajiban, memiliki fungsi sosial hak milik dan hidup sederhana. Konsep-konsep keadilan tersebut berdasarkan pandangan bangsa Indonesia yang intinya adalah keadilan sosial. Keadilan sosial tidak saja menjadi landasan kehidupan berbangsa, tetapi
92
Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan, Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2004), hal 61, bahwa beberapa sarjana berpendapat: a. Notonagoro mengatakan “Pancasila dalam Negara Republik Indonesia sebagai dasar Negara dalam pengertian filsafat”; b. Drijakara menyebut “Pancasila sebagai dalil-dalil filsafat”; c. Soediman Kartohadiprojo mengatakan “Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia”; dan d. Ruslan Abdul Gani menyebutkan “Pancasila adalah filsafat Negara yang lahir sebagai collective ideology dari seluruh bangsa Indonesia”.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
97
sekaligus menjadi pedoman pelaksanaan dan tujuan yang akan dicapai dengan hukum. Hal ini merupakan langkah yang menentukan untuk mencapai Indonesia yang adil dan makmur. Dalam lapangan hukum ketenagakerjaan, langkah pertama ke arah tersebut adalah pelaksanaan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945. Oleh karena itu, terhadap pembentuk Undang-Undang diberi tugas untuk membentuk hukum yang mengatur bagaimana mewujudkan cita-cita hukum tersebut, misalnya dalam menentukan upah minimum dengan mencari suatu kriteria sebagai tolok ukur dari prinsip adil atau tidak adil menurut hukum, sehingga jelas makna dari penetapan tersebut. Di dalam setiap putusan hakim PHI, komponen upah menjadi penentu nilai keadilan bagi pekerja/buruh tersebut, sebab ketidakadilan sering kali dilakukan oleh pihak pengusaha yang sewenang-wenang menetapkan upah minimum yang harus diterima pekerja/buruh. Oleh karena itu, dalam setiap putusannya, hakim PHI berusaha menciptakan rasa keadilan bagi pekerja/buruh tersebut dengan mewajibkan kepada pengusaha untuk membayar upah pekerja/buruhnya sesuai dengan ketentuan UMP/UMK yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, peran hakim PHI dalam penegakan hukum tidak kalah pentingnya. Penegakan hukum sebagai bentuk konkrit penerapan hukum sangat mempengaruhi secara nyata perasaan hukum, kepuasan hukum, manfaat hukum, kebutuhan dan keadilan hukum secara individual atau sosial. Wewenang membentuk hukum tidak hanya diberikan pada cabang kekuasaan legislatif, tetapi juga kepada kekuasaan administrasi negara (eksekutif) dalam
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
98
bentuk peraturan administrasi negara atau peraturan yang dibuat berdasarkan pelimpahan dari badan legislatif (delegated legislation). Demikian pula pembentukan hukum melalui hakim. Hakim-hakim bukan sekedar Bouche de la loi atau spreekbuis van de wet (mulut atau corong peraturan), tetapi menjadi penterjemah atau pemberi makna melalui penemuan hukum (rechtvinding) atau konstruksi hukum (rechtconstructie). 93 Dalam melaksanakan tugasnya, hakim sebagai kekuasaan yang merdeka harus bebas dari segala campur tangan pihak manapun juga, baik intern mapun ekstern, sehingga hakim dapat dengan tenang memberikan putusan yang seadil-adilnya. Adakah hakim masa kini dalam menegakkan hukum dan keadilan dapat bertindak sesuai dengn idealisme yang menjadi tujuannya ? Hakim sebagai manusia kerap terlibat berbagai masalah dalam masyarakat, sosiologis maupun ekonomis. Hubungan ini terasa begitu erat baik dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat maupun sebagai penegak hukum. 94 Membicarakan mengenai penegakan hukum atau menegakan hukum (law enforcement) hendaknya didahului dengan tinjauan bersama terhadap fungsi membuat hukum (law making), dan
93
Bagir Manan, Sistim Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), hal. 3. 94 Wahyu Affandi, Hakim Dan Penegakan Hukum, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 13, bahwa tidak jarang suatu putusan hakim (terutama di daerah) mendapat pengaruh, baik yang merupakan saran-saran maupun tekanan-tekanan halus, sehingga tidak jarang menimbulkan sedikit ketegangan, padahal keinginan itu sendiri jika diikuti bertentangan dengan perasaan keadlian masyarakat. Mencari hakim yang ideal dalam kondisi sekarang, ibarat mencari jarum di tengah padang pasir nan luas, betapa tidak, dedikasi hakim yang begitu luhur selalu terbentur pada ketergantungan fasilitas yang diterimanya dan kurang lancarnya administrasi peradilan serta birokrasi yang ketat, yang menyebabkan sebagian besar hakim (di daerah) bersikap apatis dalam arti mereka sudah cukup puas dengan tugas seadanya.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
99
fungsi menjalankan atau melaksanakan hukum (law applying). Dalam kenyataannya, fungsi membuat, menjalankan dan melaksanakan hukum berjalan tumpang tindih (overlapping). Hukum yang dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti, demikian pula sebaliknya tidak ada hukum yang dapat dijalankan kalau hukumnya tidak ada. Agar hukum dapat dijalankan atau ditegakkan harus terlebih dahulu ada hukum. Hakim diwajibkan dan dilarang menolak, memeriksa dan memutus dengan alasan hukum tidak jelas atau tidak ada, ini haruslah dilihat sebagai suatu keadaan istimewa. Hakim wajib memutus menurut atau berdasarkan hukum. Dalam kekosongan hukum, hukum tidak jelas, hakim wajib menemukan hukum sebagai dasar memutus bukan atas dasar lain. 95 Kekuasaan menegakan hukum (yudikatif), yaitu fungsi mempertahankan hukum (rechthandhaving) terhadap peristiwa pelanggaran atau kemungkinan pelanggaran hukum atau perbuatan melawan atau kemungkinan perbuatan melawan hukum. Hal ini tidak dimaksudkan hanya sebagai tindakan mempertahankan hukum dalam arti represif semata, tetapi mencakup juga tindakan preventif. 96 Apabila penegakan hukum tersebut tersirat dari adanya perbuatan melawan hukum, maka didalam setiap putusan-putusan PHI Medan mengenai perselisihan hubungan industrial terlihat peran hakim dalam rangka menegakan hukum tercantum dalam 95
Bagir Manan, Op.Cit, hal. 30. Ibid, hal. 33, bahwa penegakan hukum secara preventif dapat dilakukan dengan sistem kontrol, supervisi, memberi kemudahan dan penghargaan (reward) bagi mereka yang menjalankan atau mentaati hukum. Penegakan hukum secara preventif ini mengandung makna menegakkan hukum dari kemungkinan terjadi pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum. Itulah sebabnya dalam pengertian penegakan hukum dimasukkan juga pengertian perbuatan melanggar atau melawan hukum. 96
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
100
konsiderans pertimbangannya menyatakan setiap perbuatan tergugat yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi khusus dalam perkara Nomor 147/G/2007/PHI Medan, penggugatnya (pengusaha) yang melakukan perbuatan melawan hukum . Intinya masalah penegakan hukum oleh pengadilan sangat tergantung pada sejauh mana putusan yang ditetapkan oleh hakim memenuhi rasa keadilan para pihak yang berperkara dan sejauh mana asas keadilan telah diterapkan dengan sungguh-sungguh; 3. Hukum harus menuju kearah barang apa yang berguna, artinya hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi individu. Berdasarkan teori utilitis, hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah sebanyak-banyaknya (the greatest good of greatest number). Jika diperhatikan, apa yang dirumuskan oleh teori ini, hanya memperhatikan hal-hal yang berfaedah/berguna dengan tidak mempertimbangkan hal-hal yang konkrit. Apabila hal ini yang ditonjolkan tentu saja akan menggeser nilai keadilan. Peran hakim PHI dalam memberikan suatu kefaedahan/kegunaan memang tidak terlalu besar, hal ini nantinya dapat menyebabkan terjadinya pergeseran nilai. Apabila mengacu pada putusan-putusan hakim PHI, tentu yang dapat diambil sebagai sesuatu yang berguna adalah bahwa setiap putusan yang telah memberikan kepastian
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
101
hukum dan memberikan rasa keadilan bagi tiap-tiap individu tentunya mampu memberikan solusi terbaik bagi penyelesaian sengketa hubungan industrial. C. Peranan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Kasus-Kasus PHK Hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya. Satjipto Rahardjo memberi gambaran terperinci sebagai berikut: 97 ”Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusi tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan”. Dengan melihat hukum sebagai karya, Radburch menyebutnya sebagai nilainilai dasar hukum. Nilai-nilai dasar hukum itu meliputi: 1. Keadilan; 2. Kegunaan; 3. Kepastian Hukum. Sekalipun ketiga-tiganya merupakan nilai dasar dari hukum, namun diantara ketiganya terdapat suatu ketegangan satu sama lain (spannungs-verhaltnis). Hal ini dikarenakan ketiga nilai-nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda-beda satu sama lain, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan.
97
Chainur Arrasjid, Op. Cit, hal. 18, sebagaimana dikutip dari Satjipto Rahadjo.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
102
Sesuai konteks yang sedang dibicarakan, maka mengutip pendapat Utrecht bahwa tujuan hukum adalah kepastian hukum, dimana tuntutan dari kepastian hukum adalah hukum harus dapat berjalan sesuai dengan ketentuannya, sebab kepastian hukum dalam hubungan antar manusia itu harus diutamakan. Tuntutan kepastian hukum ini merupakan tuntutan yang lebih praktis, yaitu keharusan adanya peraturanperaturan. Keharusan akan adanya peraturan-peraturan dalam masyarakat merupakan syarat terpokok untuk adanya kepastian hukum, sehingga ia merupakan kategori tersendiri yang tidak bersumber dari ideal atau kenyataan. Hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan keluarganya, masyarakat dengan agamanya dan lain-lain sangat kompleks atau bermacam-macam. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan hubungan konkrit bagaimana yang terdapat dalam suatu masyarakat. Hubungan konkrit itu, mempunyai segi-segi yang beraneka warna. Hukum tidak hanya berdasarkan ide-ide keadilan saja, tetapi ia harus dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan, sehingga sedapat mungkin harus dapat memisahkan antara dunia ideal dan kenyataan. Di sisi lain, anggota masyarakat tidak dapat menunggu terciptanya hukum yang sedemikian itu, melainkan masyarakat juga menginginkan agar terdapat peraturan-peraturan yang dapat menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain. 98
98
Ibid, hal. 19.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
103
Pada hakekatnya, seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi atau yang sedang diadilinya. Dengan kata lain, bahwa hakim harus dapat menyesuaikan ketentuan Undang-Undang dengan halhal yang konkrit didalam masyarakat., karena ketentuan Undang-Undang tidaklah dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum, maka harus ada kodifikasi, yaitu merupakan suatu usaha untuk membukukan peraturan-peraturan yang tidak tertulis menjadi peraturan yang tertulis dan peraturan-peraturan yang tertulis yang ada kedalam suatu buku secara sistematis. Artinya adalah untuk meniadakan hukum berada diluar kitab Undang-Undang dengan tujuan untuk mewujudkan agar terdapat kepastian hukum sebanyak-banyaknya dalam masyarakat. 99 Dalam hukum ketenagakerjaan sendiri, serangkaian peraturan tersebut tidak terkodifikasi dalam satu buku, seperti KUH Perdata, tetapi tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Dalam era tahun 2000-an, ada 3 (tiga) peraturan perundangundangan yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum ketenagakerjaan, antara lain: 100 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang SP/SB;
99 100
Ibid, hal. 100. Zaeni Asyhadie, Loc.Cit, hal. 3.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
104
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mencabut 15 ordonansi; dan 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, yang mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964. Menurut Gustav Radburch, pada hakekatnya tidak ada Undang-Undang yang sempurna, terkadang justru ada ketidakadilan dalam Undang-Undang yang resmi berlaku (gesetzliches unrecht), tetapi sebaliknya ada pula keadilan di luar UndangUndang (uebergesetzliches recht). 101 Apabila terjadi hal yang demikian, maka hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, berfungsi sebagai penemu dan dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Walaupun hakim ikut menemukan hukum dan dapat menciptakan peraturan-peraturan sendiri dalam mengadili suatu perkara khususnya hukum tidak atau kurang jelas mengatur peristiwa hukum yang terjadi dalam perkara yang sedang diadilinya tersebut. Hal ini tidaklah berarti bahwa hakim dapat dikatakan sebagai pembuat Undang-Undang, tetapi hanya sebagai penemu kaedah hukum dalam masyarakat, agar ia dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Perundang-undangan mencoba memberikan jawaban atas kebutuhan konkrit masyarakat dan sekaligus mengupayakan kepastian dan ketertiban. Namun, harus diperhatikan bahwa kepastian dari perundang-undangan ini dapat dilemahkan, baik 101
Sebagaimana dikutip dari M. Solly Lubis, dalam Diktat Teori Hukum, hal. 27.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
105
oleh kekaburan hukum maupun perubahan hukum itu sendiri. 102 Konsep kepastian hukum mencakup sejumlah aspek yang saling mengkait. Salah satu aspeknya adalah perlindungan yang diberikan kepada individu terhadap kesewenang-wenangan individu lain. Kepercayaan akan kepastian hukum yang seharusnya dapat dikaitkan individu berkenaan dengan apa yang dapat diharapkan individu akan dilakukan penguasa, termasuk juga kepercayaan akan konsistensi putusan-putusan hakim atau administrasi (pemerintah). Peran hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK terlihat dalam setiap putusannya, dimana seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya kepastian hukum itu merupakan suatu keharusan adanya suatu peraturan. Walaupun peraturan-peraturan mengenai hukum ketenagakerjaan tidak terhimpun dalam suatu kodifikasi, peraturan tersebut tetap dapat memberikan suatu kepastian hukum. Terlihat dalam setiap konsiderans ”mengingat” setiap perundang-undangan selalu berpedoman pada peraturan-peraturan yang sebelumnya, sehingga kiranya kepastian hukum itu masih ada. Dalam memutuskan suatu perkara, hakim tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, kecuali bila tidak ada pengaturan hukumnya. Disini hakim berusaha untuk menemukan hukumnya sendiri.
102
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 208.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
106
Apabila menganalisa lebih lanjut dari putusan-putusan hakim PHI yang telah ada, peran hakim dalam memberikan kepastian hukum dalam kaitan memberikan perlindungan terhadap individu yang disewenang-wenangkan oleh individu lain (berdasarkan konteks sebelumnya), baik itu dalam perkara No. 92/G/2006/PHI Medan, perkara No. 101/G/2006/PHI Medan, perkara No. 110/G/2006/PHI Medan, perkara No. 139/G/2006/PHI Medan, dan perkara No. 147G/2007/PHI Medan dapat dilihat dalam putusan akhirnya, bahwa setiap tindak-tanduk individu yang telah melewati batas dari apa yang seharusnya, maka hakim berupaya untuk mengabulkan tuntutan dari individu yang terlanggar hak-haknya. Ini berarti adalah akibat dari perbuatan individu yang salah. Akan tetapi, ada pengecualian terhadap pengabulan setiap tuntutan dari individu tersebut. Hakim tidak dapat memutuskan lebih atau kurang dari yang dituntut oleh yang bersangkutan. Kepastian hukum tidak selalu menghasilkan keadilan. Kepastian hukum mungkin saja berguna untuk memastikan seberapa jauh bobot yang dapat diberikan terhadap kepastian hukum kasus tertentu, dengan membandingkannya
terhadap
pertimbangan-pertimbangan
lain
yang
dapat
melemahkan bobot atau nilai kepastian hukum. Bobot argumentasi untuk kepastian hukum dalam kasus yang berbeda satu sama lain akan beragam sesuai dengan ukuran yang pada gilirannya akan berubahubah sesuai waktu dan tempat terjadinya kasus tersebut. Argumen-argumen yuridis yang berbeda-beda akan dipergunakan dan berbagai macam metode penemuan
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
107
hukum akan diterapkan. Hal ini dikarenakan agar setiap putusan akhir pengadilan tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga dilandaskan pada pertimbangan keadilan. 103 Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa komponen upah dapat menjadi penentu nilai keadilan bagi pekerja/buruh tersebut. Pihak pengusaha sering kali sewenang-wenang dalam menetapkan upah minimum yang harus diterima pekerja/buruh tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hakim mewajibkan kepada pengusaha untuk membayar upah pekerja/buruhnya sesuai dengan ketentuan UMP/UMK yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini merupakan salah satu kunci hakim dalam putusannya untuk menonjolkan rasa keadilan tersebut. D. Analisis Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan Hakim memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan. Yang tak kalah penting, peranan hakim juga sangat besar dalam memberikan suatu kepastian hukum. Dalam suatu perkara, hakim dapat memutuskan hal-hal bagi kedua belah pihak dengan melihat dari pembuktian. Setelah terbukti, hakim menemukan hukum dalam perkara yang disengketakan tersebut. Pada hakekatnya, hakim harus memecahkan atau menyelesaikan setiap peristiwa konkrit, kasus atau konflik yang dihadapinya. Ia harus tahu, mencari atau
103
Ibid, hal. 211.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
108
menemukan hukumnya untuk diterapkan pada kasusnya. 104 Sebagai prototype penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem peradilan negara-negara Kontinental termasuk Indonesia. Di sini, hakim bebas, tidak terikat pada putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai perkara sejenis. Hakim berpikir deduktif dari bunyi Undang-Undang (umum), menuju peristiwa khusus dan akhirnya sampai pada putusan. Ada kiranya dasar hukum positif dalam penemuan hukum, seperti dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum RI. Merdeka disini berarti bebas. Jadi kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Asas kebebasan peradilan ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil. Kebebasan hakim ini memberi wewenang kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa. Dalam kepustakaan, dikenal beberapa aliran penemuan hukum, antara lain: 1. Aliran Legisme Pada abad pertengahan timbullah aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata 104
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 39.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
109
penerapan Undang-Undang pada peristiwa yang konkrit (Pasal 20, 21 Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia/ Stb. 1847-23). Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah geometri yuridis. 105 Hukum dan Undang-Undang adalah identik dan yang dipentingkan disini adalah kepastian hukum; 2. Aliran Begriffsjurisprudenze Ketidakmampuan pembentuk Undang-Undang meremajakan Undang-Undang pada waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif kepada hakim. Dari hakim diharapkan seberapa dapat menyesuaikan Undang-Undang pada keadaan baru. Yurisprudensi mulai memperoleh peranan sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan memperoleh kembali peranannya sebagai sumber hukum. 106 Khas bagi aliran ini ialah bahwa hukum dilihat sebagai suatu sistem tertutup yang mencakup segala-galanya yang mengatur semua perbuatan sosial. 105
Van Apeldoorn, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal.43, bahwa senada dengan aliran ini adalah ajaran Trias Politica dari Montesquieu yang mengatakan bahwa pembentukan hukum semata-mata adalah hak istimewa dari pembentuk Undang-Undang, sedangkan kebiasaan bukanlah sumber hukum. Ajaran Kedaulatan Rakyat dari Rousseau juga mengatakan bahwa kehendak rakyat bersama (volonte generale) adalah kekuasaan tertinggi. Undang-Undang sebagai pernyataan kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber hukum. Selain itu ajaran Kedaulatan Negara dari Krabbe, menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum dan yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak. 106 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 97, bahwa dalam pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jering (1818-1890), yang menekankan pada sistematik hukum. Setiap Putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan kesatuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka ketentuan Undang-Undang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal ialah apanila sistem yang ada itu berbentuk suatu piramida dengan pada puncaknya suatu asas utama. Berangkat dari situlah dapat dibuat pengertian-pengertian baru (begriff). Kemudian dikembangkanlah sistem asas-asas dan pengertian-pengertian umum yang digunakan untuk mengkaji Undang-Undang.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
110
Pendekatan hukum secara
ilmiah dengan sarana-sarana pengertian yang
diperhalus ini merupakan dorongan timbulnya positivisme hukum, juga memberikan argumentasi-argumentasi yang berasal dari ilmu hukum dan dengan demikian objektif sebagai dasar putusan-putusan. Pasal-pasal yang tidak sesuai dengan sistem dikembangkan secara ilmiah dan diterapkan interpretasi restriktif. 107 Begriffsjurisprudenz ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi Undang-Undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam Undang-Undang. Untuk memadukan aliran-aliran tersebut muncullah aliran baru yang dipergunakan sekarang ini, yang berpendapat bahwa sumber hukum adalah UndangUndang, peradilan dan kebiasaan. Undang-Undang merupakan peraturan umum yang tidak mungkin mencakup segalanya, banyak hal-hal yang tidak tercakup dalam Undang-Undang. Kekosongan ini dapat diisi oleh peradilan/hakim. Selain itu juga masih ada hukum yang hidup dalam masyarakat, yakni hukum kebiasaan. Setelah hakim mengetahui duduk perkara melalui proses pembuktian, perkara dianggap selesai dan dilanjutkan dengan pemberian putusan. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, 107
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. Cit, hal. 67, bahwa semua metode penafsiran Undang-Undang, kecuali yang gramatikal dapat menyimpang dari maksud kata-kata secara gramatikal. Metode penafsiran ekstensif maupun restriktif dapat berakibat bahwa ketentuan dapat diberi arti dengan daya kerja yang lebih jauh daripada apabila ditafsirkan hanya secara gramatikal dan dapat berakibat bahwa suatu ketentuan diberi daya berlakuk yang lebih terbatas daripada yang diberikan oleh kata-kata itu sendiri. Inilah yang disebut penafsiran yang bersifat memperluas (ekstensif) dan penafsiran yang bersifat membatasi (resktriktif).
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
111
diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak. 108 Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah mengkonstatasi peristiwa konkrit, yang sekaligus merumuskan peristiwa konkrit, mengkualifikasi peristiwa konkrit serta mengkonstitusi.109
Penemuan hukum
merupakan proses atau rangkaian kegiatan yang bersifat kompleks, yang dimulai sejak acara jawab-menjawab sampai dijatuhkannya putusan. Prosedur penemuan hukum pada pemeriksaan perkara PHI sama seperti pemeriksaan perdata, dimana penggugat dapat mengajukan gugatan yang berisi peritiwa konkrit yang dijawab oleh tergugat dalam jawabannya yang berisi konkrit pula. Sering terjadi peristiwa konkrit yang diajukan oleh tergugat dalam jawabannya ada yang sama atau ada yang tidak sama dengan peristiwa konkrit yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya, maka hakim perlu mengetahui apa yamg sekiranya menjadi sengketa kedua belah pihak. Untuk itu perlu diadakannya acara jawab-menjawab diantara kedua belah pihak. Hakim harus memperoleh kepastian tentang sengketa atau peristiwa konkrit yang terjadi. Peristiwa konkrit tersebut dikonstatasi atau dirumuskan, akan tetapi yang dikonstatasi hanya peristiwa hukum yang relevan saja yang harus dibuktikan. 108
Lalu Husni, Op. Cit, hal. 117. Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 79, bahwa mengkualifikasi peristiwa konkrit berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit tersebut dan mengkonstitusi berarti memberi hukum atau hukumannya. Pada dasarnya semua itu tidak ubahnya dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu legal problem identification, legal problem solving, dan decision making. 109
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
112
Kapankah suatu peristiwa konkrit itu relevan ? peristiwa yang relevan adalah peristiwa yang penting bagi hukum, yang berarti peristiwa yang dapat dicakup oleh hukum dan dapat ditundukkan oleh hukum. 110 Peristiwa relevan tersebut nantinya dapat mempengaruhi penyelesaian perkara. Untuk mengetahui peristiwa yang relevan ini, terlebih dahulu harus mengetahui peraturan hukumnya. Tanpa wawasan, intuisi dan penilaian hakim, lingkaran proses dalam mencari hukum dan peristiwa yang relevan tidak
dapat dipecahkan dan pengambilan
keputusan tidak dapat dimulai. Jadi, dengan pengetahuan dan penguasaan tentang hukum, maka konstatasi peristiwa konkritnya dimungkinkan. Oleh karena itu hakim harus menguasai peraturan hukum, bahkan hakim dianggap mengetahui hukumnya (ius curia novit). 111 Secara mikro kebebasan hakim dibatasi oleh kehendak pihak-pihak yang bersangkutan, Pancasila, UUD 1945, Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hakim terutama dalam perkara perdata pada dasarnya terikat pada apa yang dikemukakan oleh para pihak. Ia tidak dapat memutuskan lebih atau kurang dari yang dituntut oleh yang bersangkutan. 112
Hakim
PHI
berpedoman
pada
hal
tersebut. Hakim berusaha menemukan hukum dan tidak dapat memutuskan lebih atau kurang dari yang dituntut oleh pihak yang bersengketa. Dari perkara-perkara PHK yang dianalisis dalam tesis ini, kepastian hukum yang diberikan oleh hakim, dalam 110
Ibid, hal. 81. Ibid, hal. 82. 112 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 47. 111
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
113
reasoning-nya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 serta perundang-undangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. Mengenai hakim tidak dapat memutuskan lebih atau kurang dari yang dituntut pihak yang bersengketa, dapat terlihat jelas dalam persoalan kompensasi upah yang harus dibayarkan oleh hakim. Dalam praktiknya, pihak yang di PHK atau buruh sering menuntut lebih hak-hak normatifnya. Sesuai dengan kebebasan hakim dalam arti mikro, hakim PHI tidak begitu saja memenuhinya, hakim berpedoman pada Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk menemukan hukumnya, terbukti pada saat acara pembuktian dan jawab-menjawab diantara kedua belah pihak, dan hakim PHI menemukan fakta-fakta hukumnya. Berawal dari hal tersebut, akhirnya hakim dapat memutuskan perkara tersebut. Dalam pertimbangan-pertimbangannya, hakim PHI dalam putusan yang penulis analisa, terlebih dahulu mengungkapkan fakta-fakta hukum dari persidangan yang telah berjalan. Kemudian fakta-fakta tersebut yang menjadi dasar pertimbangan hakim yang telah mencerminkan kepastian hukum. Analisis penulis mengenai adanya kepastian hukum terhadap putusan-putusan hakim PHI tersebut, antara lain : 1. Berdasarkan perkara No. 92/G/2006/PHI Medan bahwa PHK yang dilakukan oleh tergugat terhadap penggugat tidak sah dan tidak dapat dibuktikan secara hukum. PHK terjadi akibat kinerja yang tidak baik, akan tetapi hal ini tidak dapat terbukti.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
114
Sebab adanya pemutasian terhadap penggugat disertai alasan kinerja yang sangat baik. PHK terhadap penggugat ini dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Tidak ada pemberian surat peringatan terlebih dahulu. Proses penyelesaian tripartit telah diupayakan, tetapi tergugat tidak pernah hadir. Hal ini tentunya merupakan perbuatan melawan hukum. Hakim PHI berpendapat hal tersebut bertentangan dengan Pasal 151 jo. 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Selain itu, mengenai upah penggugat yang dibayarkan oleh tergugat selama ini, tidak sesuai dengan ketentuan UMP di Sumatera Utara. Adapun kepastian hukum yang diberikan oleh hakim PHI terhadap perkara tersebut memang benar adanya, dimana penulis berpendapat bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 151 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK hanya dapat terjadi setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sedangkan dalam perkara tersebut tergugat tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan perundingan terlebih dahulu mengenai PHK terhadap penggugat. Tentu saja PHK ini dapat batal demi hukum (Ketentuan Pasal 155 ayat 1); 2. Dalam perkara No. 101/G/2006/PHI Medan, PHK terjadi akibat penolakkan penggugat untuk menandatangani surat kontrak. Proses mediasi pernah diupayakan, akan tetapi tidak mencapai kesepakatan. PHK yang dilakukan tergugat terhadap penggugat tidak sah, sebab tidak memenuhi syarat-syarat terjadinya PHK. Selama penggugat bekerja, upah yang diterimanya tidak sesuai
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
115
dengan UMP di Sumatera Utara, hal ini bertentangan dengan Pasal 90 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan tentunya merupakan perbuatan melawan hukum. Hakim PHI dalam putusannya membenarkan hal tersebut. Oleh karena telah terjadinya PHK, maka kewajiban tergugatlah untuk membayar hakhak normatif dari penggugat sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003; 3. Dalam perkara No. 110/G/2006/PHI Medan, bahwa bukti-bukti yang diajukan tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa penggugat telah melakukan kesalahan berat dan ia juga tidak terbukti turut serta maupun terlibat atas hilangnya barang-barang milik perusahaan. Permintaan tergugat ganti rugi kepada penggugat sebelumnya tidak pernah diperjanjikan secara tertulis, oleh karena itu, perbuatan tergugat bertentangan dengan Pasal 88 Ayat 3 huruf (g) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Pasal 20 PP Nomor 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah. Perbuatan tergugat yang melarang penggugat untuk masuk bekerja tanpa pembayaran upah bertentangan dengan Pasal 93 Ayat 2 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 dan perbuatan tergugat yang telah menskorsing penggugat tanpa pembayaran upah bertentangan dengan Pasal 155 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kesemua perbuatan tergugat tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka PHK yang dilakukan oleh tergugat tidak sah, karena dalil-dalil bantahannya tidak terbukti dan penggugat berhak atas pembayaran hak-hak normatifnya;
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
116
4. Pada Perkara No. 139/G/2006/PHI Medan, sistem pemagangan yang dilaksanakan oleh tergugat terhadap penggugat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 11 jo. Pasal 12 jo. Pasal 13 jo. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan seharusnya perjanjian pemagangan dibuat secara tertulis. Pada kenyataannya, tidak ada dibuat secara tertulis, dan tentunya bertentangan dengan Pasal 21 jo. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dimana seharusnya status pekerja berubah menjadi pekerja tetap. Kemudian perjanjian kontrak yang dibuat kedua belah pihak bertentangan dengan Pasal 59 Ayat 1 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Kepmen Nomor 100/Men/VI/2004 tentang pelaksanaan PKWT. Oleh karena itu, pada putusan akhirnya hakim menyatakan bahwa PKWT yang dibuat kedua belah pihak batal demi hukum dan penggugat dapat dipekerjakan kembali ke posisi semula dan statusnya pekerja tetap; 5. Pada Perkara No. 147/G/2007/PHI Medan, PHK terjadi dengan kualifikasi efisiensi bukan karena pengalihan manajemen perusahaan dan penggugat wajib membayar hak-hak tergugat sesuai dengan Pasal 164 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan melihat masa kerja para tergugat rata-rata diatas 6 (enam) tahun, maka berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Kepmen Nomor 100 Tahun 2004, status tergugat adalah pekerja tetap/PKWTT bukan lagi PHL. Akan tetapi, mengenai kompensasi upah yang wajib dibayarkan penggugat, harus sesuai dengan ketentuan UMP di Sumatera Utara, sebab selama para tergugat bekerja, upah yang dibayarkan penggugat tidak sesuai dengan UMP.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
117
Oleh karena itu, kekurangan-kekurangan upah sebelumnya harus dibayarkan. Dalam perkara ini, karena nilai gugatannya lebih dari Rp 150.000.000,- maka pembebanan biaya perkara dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara sesuai dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Akan tetapi, dalam persoalan mengenai kepastian hukum ini ada pertimbangan sulit mengenai hal tersebut. Apabila nilai suatu kepastian hukum itu lebih ditonjolkan, tentu saja akan menggeser nilai kegunaan dan nilai keadilan. Sebaliknya
apabila
memperhatikan
hal-hal
yang
berguna
dan
tidak
mempertimbangkan hal-hal yang konkrit, maka akan menggeser nilai kepastian dan keadilan. Adanya dominasi keadilan, mengandung resiko bahwa kepastian hukum akan terlalu jauh dikorbankan. Untuk itu haruslah diperhatikan problema penemuan hukum bebas oleh hakim. 113 Oleh karena itu, kesimpulan akhir dari penulis berdasarkan putusan-putusan hakim PHI pada PN Medan, bahwa kepastian hukum tidak dapat tercapai hanya dengan menelaah setiap peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam hal ini, permasalahan pokok yang harus dipecahkan adalah masalah kemasyarakatan yang konkrit. Apabila dari peristiwa-peristiwa konkrit tersebut ada yang tidak diatur oleh
113
Herlien Budiono, Op. Cit., hal. 216, bahwa belian mengutip pendapat dari Van Oven (J.C. van Oven, Wet en Rechtszekerheid, 1948, Nederlands Juristenblad, p. 1-4) ook wiarda (G.J.. wiarda, Drie typen van rechtsvinding, 1963, hal. 37) yang berbicara tentang gerak pendulum yang berpindahpindah dari dan antara keadilan dan keapstian hukum. Gerakan pendulum tersebut, bermakna bahwa pada akhrnya semua akan dapat diatasi dengan sendirinya. Van Oven juga mengatakan bahwa jaminan terbaik dari kepastian hukum tidak terletak pada terikatnya hakim pada bunyi Undang-Undang, tetapi justru pada kebebasan hakim.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
118
suatu peraturan, maka tugas hakimlah untuk menemukan hukumnya. Undang-Undang sendiri lebih mengarah kepada usulan penyelesaian sebagai pedoman untuk menemukan hukum, hal ini disebabkan karena Undang-Undang bukanlah satusatunya sumber hukum.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
119
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Ada beberapa alasan dan kondisi tertentu yang menyebabkan dapat berakhirnya putusnya hubungan kerja, baik yang terletak pada diri pekerja/buruh maupun pengusaha. Apabila melihat dari putusan-putusan hakim PHI mengenai kasuskasus PHK, maka ada beberapa penyebab terjadinya PHK tersebut, antara lain: a.
Adanya Kinerja yang tidak baik;
b.
Adanya penolakkan pekerja/buruh untuk menandatangani surat kontrak;
c.
Karena kesalahan berat yang dilakukan pekerja/buruh;
d.
Adanya tuntutan dari pekerja/buruh untuk diangkat menjadi pekerja tetap;
e.
Adanya efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan yang menyebabkan terjadinya PHK.
2. PHK selalu memiliki akibat hukum, baik terhadap pengusaha maupun terhadap pekerja/buruh itu sendiri. Akibat hukum dimaksud adalah bentuk pemberian kompensasi upah kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya terputus dengan pengusaha. Berdasarkan putusan-putusan yang dianalisis dalam tesis ini, maka terhadap kompensasi upah yang harus diberikan pengusaha kepada pekerja/buruh
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
120
akibat terjadinya PHK, hakim berusaha bertindak adil dalam pertimbanganpertimbangannya yang dituangkan dalam ”pokok perkara”, sehingga dapat mencapai dasar penyelesaian sengketa. Yang menjadi dasar pertimbangan hakim PHI dalam pemberian kompensasi upah kepada pekerja/buruh yang di PHK adalah adanya perbuatan melawan hukum,maka majelis hakim memutuskan pembayaran upah yang wajib dipenuhi oleh pihak pengusaha harus sesuai dengan ketentuan UMP/UMK di Sumatera Utara, kemudian dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Terhadap kekurangan-kekurangan upah pekerja/buruh, pengusaha juga berkewajiban untuk membayarkannya. Untuk perkara No. 101/G/2006/PHI Medan, pengusaha harus membayar upah cuti/melahirkan pekerjanya dan dalam perkara No. 110/G/2006/ PHI Medan, pengusaha wajib membayar upah pekerja selama ia diskorsing. Akan tetapi, terhadap perkara No. 139/G/2006/PHI Medan, pemberian kompensasi yang diputuskan oleh hakim adalah sisa upah pekerja/buruh setelah ia di PHK, kemudian
hakim memutuskan
agar
pengusaha
mempekerjakan
kembali
pekerjanya tersebut. 3. Peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK terlihat dalam setiap putusannya. Kepastian hukum dapat berarti keharusan adanya suatu peraturan. Walaupun peraturan-peraturan mengenai hukum ketenagakerjaan tidak terhimpun dalam suatu kodifikasi, peraturan tersebut tetap dapat memberikan suatu kepastian hukum. Terkecuali Undang-Undang tidak ada
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
121
mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya (sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004). Selain itu, kepastian hukum dapat juga berarti memberikan perlindungan terhadap individu yang disewenang-wenangkan oleh individu lain. Dalam perkara No. 92/G/2006/PHI Medan, perkara No. 101/G/2006/PHI Medan, perkara No. 110/G/2006/PHI Medan, perkara No. 139/G/2006/PHI Medan, dan perkara No. 147/G/2007/PHI Medan dapat dilihat dalam putusan akhirnya, bahwa setiap tindak-tanduk individu yang sewenang-wenang, seperti salah satunya ialah PHK secara sepihak tanpa membayarkan
hak-hak
nomatif
pekerja,
maka
hakim
berupaya
untuk
mengabulkan tuntutan dari individu (pekerja/buruh) yang terlanggar, walaupun ada ketentuan hakim PHI tidak dapat memutuskan lebih atau kurang dari apa yang dituntut olehnya. B. Saran 1. Diharapkan bagi pengusaha agar tidak lagi melakukan pemberhentian pekerja atau PHK secara sewenang-wenang. Sebagaimana diketahui pelaksanaan PHK, ada prosedur hukumnya yang harus dilalui terlebih dahulu. Dengan melalui prosedur yang seharusnya, maka persoalan PHK ini tidak perlu diperpanjang sampai ke pengadilan. 2. Putusan hakim PHI mengenai pemberian kompensasi kepada pekerja/buruh yang di
PHK
oleh
pengusaha
sesuai
dengan
ketentuan
Undang-Undang
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
122
Ketenagakerjaan dalam Pasal 156. Selain itu jumlah kompensasi upah telah disesuaikan dengan ketentuan UMP/UMK di Sumatera Utara. Akan tetapi, terhadap 2 putusan hakim, yakni dalam Perkara No. 92/G/2006/PHI Medan mengenai ketentuan UMP/UMK 2005 di Sumatera Utara berbeda dengan ketentuan UMP/UMK 2005 dalam perkara No. 147/G/2007/PHI Medan, dimana UMP/UMK 2005 dalam perkara No. 92/G/2006/PHI Medan sebesar Rp 600.000,/bulan,
sedangkan
ketentuan
UMK/UMP
2005
dalam
perkara
No.
147/G/2007/PHI Medan sebesar Rp 640.000,-/bulan. Diharapkan bagi hakim PHI untuk lebih teliti lagi, sebab hal ini bisa saja menimbulkan kebingungan bagi pihak-pihak yang membaca putusan-putusan tersebut, bisa saja hal tersebut disebabkan karena salah pengetikan ataupun jumlahnya yang keliru. 3. Hendaknya peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum dapat terlaksana dalam setiap putusan-putusannya. Akan tetapi, diharapkan dalam putusan juga terdapat nilai keadilan dan kemanfaatan, sehingga pada akhirnya dapat menjadi suatu sistem penegakan hukum yang individu didalamnya adalah seorang hakim.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
123
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Affandi, Wahyu, Hakim Dan Penegakan Hukum, Bandung: Alumni, 1984. Anwar, Saiful, Sendi-Sendi Hubungan Pekerja Dengan Pengusaha, Medan: Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1991. Arrasjid, Chainur, Pengantar Ilmu Hukum, Medan: Yani Corporation, 1988. Asikin, Zainal, dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT. RajaGarfindo Persada, 1994. Asyhadie, Zaeni, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007. Budiono, Herliene, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Damanik, Sehat, Hukum Acara Perburuhan, Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 Disertai Contoh Kasus, Jakarta: DSS Publishing, 2006. -------------------, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Sebagai Penuntun Untuk Merencanakan-Melaksanakan Bisnis Outsourcing Dan Perjanjian Kerja, Jakarta: DSS Publishing, 2007. Djumialdji, F.X., Perjanjian Kerja, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005. Halim, A. Ridwan & Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987. Halim, A. Ridwan, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Perkara Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
124
Husni,
Lalu, Pengantar Hukum RajaGrafindo Persada, 2001.
Ketenagakerjaan
Indonesia,
Jakarta:
PT.
----------------, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di Luar Pengadilan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Kartasapoetra, G., dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985. Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, Bandung: PT. Alumni, 2003. Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003. Manan, Bagir, Sistim Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta: FH UII Press, 2005. Marsh, S.B. & J. Soulsby, alih bahasa Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Alumni, 2006. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. Mertokusumo, Sudikno & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993. ----------------------------, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006. M. Sitorus, Thoga, Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia Dan Daerah (Pasca Reformasi), Medan: Bina Media Perintis, 2007. Nasution, Bahder Johan, Hukum Ketenagakerjaan, Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung: CV. Mandar Maju,2004. Prinst, Darwan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Bagi Pekerja Untuk Mempertahankan Hak-Haknya), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994. Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Krisis Tentang Pergulatan Manusia Dan Hukum, Jakarta: Kompas, 2007. Rusli, Hardijan, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
125
Sastrohadiwiryo, B. Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif dan Operasional, Jakarta: PT. Bina Aksara, 2005. Sidabutar, Edy Sutrisno, Pedoman Penyelesaian PHK, Jakarta: Praninta Offset, 2007. Soekanto, Soerdjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986. Soekanto, Soerdjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Djambatan, 2001. Suprihanto, John, Hubungan Industrial Sebuah Pengantar, Yogyakarta: BPFEYogyakarta, 2002. Toha, Halili dan Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara Majikan Dan Buruh, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. Winarni, F., dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji Dan Upah, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006.
B. Makalah Nasution, Bismar, ”Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum”, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.
Rajagukguk, Erman, ”Peranan Hukum Di Indonesia Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Pidato disampaikan pada Dies Natalis Dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (UI), Depok, Tanggal 5 Februari 2000.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
126
C. Diktat Kuliah Lubis, M. Solly, ”Teori Hukum”, Diktat diberikan pada mata kuliah Teori Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, 2006.
D. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata/Burgerlijk Wetboek) Republik, Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Republik, Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Republik,
Indonesia,
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan Republik, Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Covention Nomor 81 Concerning Labour Inspection In Industry And Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan) Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Republik, Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Yang Diterima Oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor KEP-105/MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor KEP-171/MEN/2000 tentang Perbaikan Penulisan Pada Pasal 1 Angka 12 dan Pasal 18 Ayat (1) Huruf g, h dan i Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Penyelesaian Pemutusan Hubungan
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.
127
Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan Kumpulan Keputusan Dan Peraturan Terkait Dengan Penyelesaian Hubungan Industrial, terdiri atas: Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Nomor KEP.01A/DPHI/I/2005, Keputusan Menteri Mo. KEP.92/MEN/VI/2004, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER. 01/MEN/XII/2004, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/I/2005, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004, Semarang: Effhar Offset,2006.
Peranan pengadilan hubungan industrial dalm memberikan kepastian hukum terhadap perkara pemutusan hubungan kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negri medan). USU e-Repository © 2008.