HASIL DAN PEMBAHASAq 1. Indeks Keanekaragaman Jenis Indeks keanekaragaman jen is untuk vegetasi tingkat pohon dan permudaaan yang diperoleh dari lima Iokasi penelitian adalah seperti tercantum pada tabel 1. Tabel 1. No 1 2 3 4 5
Nilai indeks keanekaragaman jenis vegetasi pohon dan permudaan pada lima lokasi hutan kerangas yang diamati.
Tipe Hutan
Tiang
Pohon
Pancang
Semai
E5 R' H' Keranxas R' H' E5 R' H' R' E5 H' E5 0.85 8.97 3.24 Tipel 11.57 3.86 0.59 9,95 3,40 0.66 6.72 2,89 0,66 0.85 3.39 Tipe 2 3.74 9,53 0.70 9.70 9,72 3,30 0.63 6,56 2.74 0.43 Tipe 3 1,23 2.70 1.38 3.22 752 1.38 5.45 2.77 0.78 4.26 0.48 2.21 0,57 5.55. 2.84 Tipe 4 3,10 0,64 4.58 2.01 0,64 2.51 2.42 1.70 0.60 0.00 0.49 Tim 5 0.56 1.58 0.56 0.83 1.73 0.00 0.60 1.49 1.93 0.00 Keterangan : R' = indeks kekayaan jenis Margalef, H' = indeks kelimpahanjenis Shanon-Wiener, E5 = indeks kernerataan jenis dari Modified Hill's Ratio
.
Indeks kekayaan dan kelimpahan jenis vegetasi pohon dan permudaan pada hutan kerangas tipe 1 dan tipe 2 memiliki nilai lebih tinggi bila dibandingkan dengan tipe 3 , 4 dan 5. Nilai indeks kemerataan jenis tertinggi pada tingkat pohon,tiang, dan pancang adalah tipe 3 dan terendah tipe 5. Adapun nilai indeks kemerataan jenis tertinggi pada tingkat semai adalah tipe 5 dan terendah adalah tipe 2 Sedangkan nilai indeks keanekaragaman jenis untuk tingkatan vegetasi tumbuhan bawah adalah seperti tercantum pada tabel 2 berikut : Tabel 2. Nilai indeks keanekaragaman jenis vegetasi dari berbagai tumbuhan bawah pada lima lokasi hutan kerangas yang diamat). No
Tipe Hutan
Semak
herba.
Anmrek
~akis
Rotan,
palma
kecit
Liana
H'
E5
R'
H'
E5
1.44
1,73
2.79
Kerangas
R'
H'
E5
R'
H'
E5
R'
1
Tipe 1
2.53
1.50
0.64
2.01
1.68
1.46
2.53
2
Tipe 2
2,73
1.49
0.44
1.67
1.33
2,34
2.46
2.06 1,86
0.85 0.56
1.12
1.52
2,74
3
Tipe 3
1.56
1.79
0,85
0.82
1.17
0.99
1.22
0.70
0.91
1.06
1.38
4
Tipe 4
1,96
2.04
0,80
0.47
1.04 0.62
0.75
0.54
1.04
0.98
0.80
1.04
1.17
5
0.00 0.99 1.38 0.77 Tipe5 0.00 0.00 0.00 0,00 0.00 0.00 0.00 0.00 Keterangan : R'= indeks kekayaan jenis Margalef H' = indeks kelimpahan jenis Shanon-Wiener,ES = indeks kcmeratamjenis dari Modified Hill's Ratio
.
Kecenderungan yang sama juga ditampilkan pada tabel 2,
di mana indeks
keanekaragaman jenis (kekayaan jenis dan kelimpahan jenis) untuk tingkat vegetasi tumbuhan bawah pada hutan kerangas tipe 1 dan tipe 2 memiliki nilai lebih tinggi bila dibandingkan dengan tipe 3, 4 dan 5. Kemerataan jenis tertinggi untuk vegetasi semaklherbdpakis adalah tipe 3, untuk vegetasi rotan kemerataan tertinggi pada tipe 4. Sedangkan hutan kerangas tipe 5 memiliki nilai indeks keanekaragarnan jenis terendah. Tipe 1 dan 2 yang mewakili komunitas kerangas pada tanah bergelombang dan relatif tidak terganggu, tipe 3 mewakili komunitas kerangas pada tanah bergelombang yang mengalami gangguan lebih besar dari tipe 4.
Kemudian tipe 4 mewakili
komunitas kerangas pada tanah datar yang mengalami gangguan lebih kecil dari tipe 3. Sedangkan tipe 5 mewakili komunitas kerangas pada tanah datar yang mengalami gangguan paling tinggi , Konsep keanekaragaman yang disajikan dalam hasil penelitian ini tergolong ke dalam kelompok keanekaragaman komposisi, di mana variabel yang dikaji adalah pada tingkatan jenislspesies dalam suatu tegakan (Crow et al, 1994). Keanekaragaman jenis dari suatu komunitas tidak cukup diterangkan oleh kekayaan jenis, tetapi juga oleh kelimpahan relatif (relatif abudance) dari masinge
masing populasi yang selanjutnya akan memberikan gambaran mengenai ekuitabilitas. Keanekaragaman lebih besar bilamana ekuitabilitasnya lebih besar, yaitu jika populasipopulasi itu merata satu sama yang lain dalam kelimpahannya. Jika hanya beberapa jenis saja yang melimpah, sedangkan yang lain sangat jarang (ekuitabilitas rendah) maka keanekaragaman jenis tersebut adalah rendah (Soeriaatmadja, 1985).
Indeks kekayaan jenis (R') merupakan suatu indeks yang memberikan penjelasan tentang jumlah jenis dari sejumlah individu yang terdapat pada suatu komunitas tertentu. Indeks kemerataan jenis (E5) merupakan suatu indeks yang menjelaskan derajat kemerataan kelimpahan individu antara spesies yang diamati, indeks kemerataan jenis dapat digunakan sebagai petunjuk tentang terdapatnya spesies yang sangat mendominasi suatu komunitas. Sedangkan indeks kelimpahan jenis (H') merupakan suatu indeks yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Dalam ha1 ini, nilai yang diberikan suatu indeks kelimpahan jenis adalah berbanding lurus dengan nilai indeks kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Penjelasan yang menyangkut indeks keanekaragaman jenis
dapat diambil
contohnya pada tingkat pohon. Nilai indeks kekayaan jenis (R') yang dihasilkan dari tipe 1 berbeda dengan tipe 2 (tipe 1 kemerataan jenis adalah sama (E5
=
=
11,57; tipe 2
0'85).
=
9'70)' sedangkan nilai
Hal ini berdampak pada nilai yang
didapatkan dari indeks kelimpahan jenis (H') yang berbeda dari kedua tipe tersebut (tipe 1 = 3,86; tipe 2 = 3,74), karena nilai indeks kelimpahan jenis yang diperoleh merupakan kombinasi dari indeks kekayaan jenis dan kemerataan jenis.
Nilai
kemerataan tertinggi yang ditunjukan oleh tipe 3 (E5 = 1,23) menunjukan tidak terdapatnya spesies pohon yang begitu mendominasi. Pada tipe 4 yang memiliki nilai indeks kemerataan rendah (E5 = 0,57) terdapat spesies yang begitu dominan yaitu Shoreapachyphylla. Selanjutnya nilai R', H', dan E5 = 0 yang ditunjukan pada tipe 5 memberikan penjelasan bahwa terdapat 1 pohon (Combretocarpus rotundatus) yang sangat dominan pada hutan kerangas tipe 5.
Variasi nilai indeks keanekaragaman pada berbagai tingkatan vegetasi (pohon, perrnudaan dan tumbuhan bawah) yang terjadi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan karakteristik tempat tumbuh dan aktifitas yang berlangsung di dalam komunitas hutan tersebut. Bruenig (1995) yang menyatakan bahwa keanekaragaman spesies berhubungan dan dibatasi kondisi tanah di mana terdapat zone perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus. Selain itu, aktivitas yang terjadi pada suatu hutan juga
relatif berpengaruh terhadap kondisi
keanekaragaman yang ditampilkan. Seperti contoh: tipe 3 (komunitas kerangas tanah bergelombang yang relatif terganggu), sebagai suatu lahan bekas tebangan yang kemudian dilanjutkan dengan penebangan ilegal dengan penyaradan sistem kuda-kuda mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap kondisi keanekaragaman yang ada bila dibandingkan dengan tipe .-
-
1 dan tipe 2 (terutama dilihat dari nilai indeks kekayaan dan kelimpahan jenis yang diberikan). Contoh lain adalah tipe 5 (Hutan lindung Liang Anggang), sebagai suatu tipe hutan kerangas yang relatif berbeda dibandingkan dengan tipe-tipe
lainnya dan
mengalami tingkat kerusakan yang relatif lebih tinggi sehingga memiliki nilai indeks keanekaragaman tersendiri. Untuk tingkat pohon, anggrek dancrotan, nilai indeks keanekaragamannya rotan
=
=
0 (tingkat pohon terdapat 1 jenis pohon, vegetasi anggrek dan
tidak ditemukan).
Padahal sebelumnya berdasarkan hasil pengamatan
Masrufah (1990), Efansyah (1991) pada lokasi ini terdapat berbagai jenis vegetasi tingkat pohon, anggrek serta rotan.
Sebagai suatu indeks yang merupakan kombinasi antara indeks kekayaan dan indeks kemerataan jenis, indeks kelimpahan jenis merupakan indeks yang dianggap -
-
ideal untuk menerangkan keanekaragaman jenis suatu komunitas. Hasil yang ditampilkan pada tabel 1 dan 2 memberikan penjelasan bahwa nilai indeks kelimpahan jenis tingkat pohon, permudaan, anggrek, rotan, dan liana adalah lebih tinggi pada tipe 1 dan 2 dibandingkan dengan tipe 3, 4, dan tipe 5. Sedangkan untuk tingkat semak kelimpahan jenis lebih tinggi pada tipe 4 dan 3 dibandingkan tipe 1,2, dan tipe 5. Perubahan indeks keanekaragarnan jenis akan senantiasa terjadi sebagai akibat dari karakteristik biologis dari hutan yang senantiasa mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu perubahan kondisi keanekaragaman jenis dapat pula terjadi dan dalam tempo yang lebih cepat sebagai akibat dari aktifitas manusia atau gejala alam lain yang mempengaruhi vegetasi dan kondisi lahan secara keseluruhan.
2. Dominansi Spesies Tingkat Pohon dan Permudaan. Dominansi yang dikemukakan dalam penelitian ini merupakan
gambaran
mengenai kondisi pohon dan permudaan dari berbagai tipe hutan kerangas yang ditampilkan dalam bentuk indeks nilai penting. Dominansi spesies tingkat pohon dan permudaan hutan kerangas tipe 1 tercantum C
dalam table 3, di mana jenis yang ditampilkan adalah beberapa jenis yang memiliki nilai Indeks Nilai Penting (INP) > 10 %.
Tabel 3. Indeks Nilai Penting beberapa jenis pohon dan permudaan yang terdapat pada hutan kerangas tipe 1. INP
Jenis
No.
No.
Jenis
INP
'
%
%
1 2 3 4 5 6
Bangkirai (Hopeadyeri) Kempas (Komparsia malaccensis) Rasak (Vatica ressak) Draya (Myristicomarimu) Kerundung (Canarium apertrrm) Jambu b I I ~ n g(Eugeniainophylh)
1
Rangasan (Mehorrhm wallichii) Reket (Nepheliumeriopetalum) Rasak (Vaficaressak)
20.22 13.52 12.22 11.88 10.56 10.05
1 2 3 4 5 6 7
Rasak (Vatica re.wk) Draya (Myristicamaxima) Melalin (Madhucabetides) Jambu b u ~ n (Eugenia g inophylla) Bmnsulan (Memecyloncostaturn) Kerundung (Canarium apertum) Banitan (Mezzettiapurvjflora)
63.75 22.87 20,lO 14.44 13.1 1 13,M 10.87
1 2 3 4 5 6
Rasak (Vatica m s a k ) Melalin (Madhucabetiodes) Putat (Baringtoniamcemosa) Jambu bumng (Eugeniainophylla) Dnya (Myrisricamaxima) Bangkirai (Hopeadyeri)
26.72 23.51 17.27 14.32 13.43 12,07
%
2 3
.
11.09 2 1.68 14,46
Yo
Berdasarkan tabel 3 ditemukan jenis yang selalu dominan di setiap tingkatan vegetasi pada hutan kerangas tipe 1 adalah Rasak (Vatica ressak) dari jenis Dipterocarpaceae, selanjutnya Draya (Myrisfica maxima), dan Jambu burung (Eugenia
inophyEla) dari non-Dipterocarpaceae. Pada tipe ini secara keseluruhan terdiri dari 26,lO % jenis Dipterocarpaceae. Dominansi spesies tingkat pohon dan permudaan hutan kerangas tipe 2 tercantum dalarn table 4. Tabel 4. Indeks Nilai Penting beberapa jenis pohon dan permudaan yang terdapat pada hutan kerangas tipe 2. No.
Jenis
I
INP
I No. 1
INP
Jenis
1
YO
Kapur naga (CallophylIumpulcherimum) Bangkirai (Hopea dyeri) Meranti batu (Shoreafanuotrthy) Jambu bumng (EugeniainophyJJa) Menggambir (Trigonopleuramalayana) 1 Gembor babi (Cryptmrya impresa) ' Kempas (Komparsia malaccensis)
Rasak (Vatica ressak) Draya (Myristicamaxima) Kemndung (Canmiurn uperrurn) Melalin (Madhucabetides) Salum (Scorodocarpus borneensis) Meranti batu (Shoreafanuowthy) Jambu bumng (Eugeniainophyla) Delon (Callophyllumsp.)
ye
.
dilanjutkan ...
,'
-
lanjutan tabel 4. %
Draya (Myrrsticamaxima) Rasak (Vatica ressak) Jambu burung (Eugenia inophylla) Malajihing (Hydnocatpw sp.)
1 2
3 4
Yo
24.71
1
16.06
2
12,86
3
10.24
4
Rasak (Vatica ressak) Draya (Myristrcamaxima) Kapur naga (Callophyllwnpulcherimum)' Jambu burung (Eugenia inophylla) Melalin (Madhuca betides)
5
46.16 18.70 1427 10.79 10.27
Kecenderungan yang serupa dengan hutan kerangas tipe 1 juga terjadi pada tipe ,.
2, di mana berdasarkan tabel 4 ditemukan bahwa jenis Jambu burung (Eugenia inophylla) selalu hadir dominan dalam tiap tingkat pertumbuhan. Sedangkan jenis Draya (Myristica maxima) , Rasak (Vatica ressak) hadir dominan pada tingkat tiang sarnpai tingkat semai. Pada tipe ini secara keseluruhan terdiri dari 28,33 % jenis Dipterocarpaceae. Dominansi spesies tingkat pohon dan permudaan hutan kerangas tipe 3 tercantum dalam table 5. Tabel 5. No. 1
2 3 4 5
6 7 8
1 2 3 4 5
Indeks Nilai Penting beberapa jenis pohon dan permudaan yang terdapat pada hutan kerangas tipe 3. Jenis
Melalin (Madhuca betides) Jambu burung (Eugenia inophylla) Aput (Dipeterocarpusgrandiflorus) Draya (Myrstica maxima) Lampung beras (Shorea purv~fi>lia) Merapat (Combretocatpur rotundatus ) Kapur naga (CaNophyNumpulcherimtrm) Lambin (Tarriefiapemkensis) Rasak (Vaficaressak) Draya (Myristica maxima) Jambu burung (Eugenia inophylla) Putat (Baringtonia racemosa) Tamporo (Dillenia eximia)
INP Yo 32,48 20.04 1927 18.64 17,52 11.96 11,67 10.50 Yo 23.96 16.86 1 1.98 11.98 11.98
No. 1 2
3 4 5 6
7 8
Jenis Rasak (Vatica ressak) Melalin (Madhuca betides) Nyatoh (Palaquiwn xanthochymum) Jambu burung (Eugenia inophyla) Draya (,4@:.vfica maxima) Langsat burung (Docrides rmtrata) Lubui (Gonrothnlamur sp.) Kayu bulan -(Endospermummalaceme)
INP Yo 38,99 37.53 35.45 3 1.44
2 1,22 18.66 11.99 11.20 %
1 2 3 4 5
Jamhu bumng (Eugenia iyphylla) Melalin (Madhuca betiodes) Kayu bulan (Endospermummalacense) Rangasan (Melanorrhoe wallichii) Putat (Barrngton~aracemosa)
@uo 15,97 15.50 15.17 14.59
Berdasarkan tabel 5, jenis yang selalu hadir dominan dalam tiap tingkat pertumbuhan adalah Jambu burung (Eugenia inophylla). Beberapa jenis lain yang
tarnpil lebih dominan pada hampir tiap tingkatan vegetasi di hutan kerangas tipe 3 adalah jenis Draya (Myristica maxima), dan Melalin (Madhuca betiodes).
Secara
keseluruhan pada tipe ini terdapat 22,58 % jenis dari golongan Dipterocarpacea. Dominansi spesies tingkat pohon dan permudaan hutan kerahgas tipe 4 teicantum dalam table 6 . Tabel 6. Indeks Nilai Penting beberapa jenis pohon dan permudaan yang terdapat pada hutan kerangas tipe 4. No.
Jenis
-.
INP
No.
Jenis
INP
%
1 2 3 4 5 6 7
Masupang (Shoreapachypylla) Erat (Crataxylon arborescens) Palawan merah (Tristania obovaia) Kuranji (Diuliumlaurimum) Rasak (Varica ressok) Uar (Eugenia ridleyi) Palawan putih (Tristania e( stellata)
1 2 3 4 5 6
Jambu burung (Eugenia inophylla) Manggis hutan (Garcinia hombroniona) Kapur naga (Callophyllumpulcherimum) Nyatoh (Palquium xanthochymum) Masupang (Shoreapachypylla) Erat (Craroxylonarborescem)
128.09 36.18 24.53 16.97 16.55 13.5 1 1 1,67
% 35,3 1 35.3 1 34.65 14.9 1 11,84 10,75
Yo
6 7 8
R a ~ (Vuticu k ressak) Erat (Craioxylonarborescens) Jambu burung (Eugenia inophylla) Kapur naga (Crrllophyllumpulcherimum) Masupang (Shorcapachypylla) Nyatoh (Paltryiriumxanlhochymum) Bmnsulan (Memecyloncostarum) Cemara (Dacrydium beccarri)
1 2 3 4 5
Jambu burung (Eugenia inophylla) Kapur naga (Callophyllurnpulcherimwn) Masupang (Shoreapachypylla) Rangasan (Melanorrhor wallichii) Palawan rnerah (Tristania obovata)
1 2
3 4 5
52.32 32.55 3030 28.58 15.49 14.86 13.42 11.36
% 59.20 46,02 2221 18.47 10.55
Pada tabel 6, dapat dilihat jenis-jenis yang dominan pada tiap tingkatan vegetasi di hutan kerangas tipe 4 adalah Masupang (Shoreapachypylla) , tingkat pohon sampai pancang adalah jenis Erat (Cratoxylonarborescens), tingkat tiang sampai semai adalah jenis Kapurnaga (Callophyllum pulcherimum), dan
Jambu burung (Eugenia 6
inophylla). Pada tipe ini termasuk 14 % golongan Dipterocarpaceae. Dominansi spesies tingkat pohon dan permudaan hutan kerangas tipe 5 tercantum dalam table 7.
Tabel 7. Indeks Nilai Penting beberapa jenis pohon dan permudaan yang terdapat pada hutan kerangas tipe 5. Jenis
No.
INP
No.
Jenis
INP
% 1
Merapat (Combretocurpus rofundarw)
300,OO
%
1
Merapat (Combretocarpusrotundatus)
257.14
2
Galam (Mululeuca cujupufi)
32.14
3
Belangeran (Shoreu belungerun)
10.71
Erat (Crcrloxylonurborescens)
4 1.93
%
%
1
Galam (Maluleucu cajupufi)
61.70
1
2
Erat (Crutoxylonurborescens)
44.59
2
Karambu hatap (Bueckea,fiutescenv)
34,Ol
3
Bati-bati (Adina minutiforu)
34.07
3
Galam (Mululeucucujupufi)
33.60
4
Memanggisan (Gurciniacelebicu)
17,19
4
Bati-bati (Adinu minut!floru)
33.09
5
Merapat (Combretocutpusrotundurw)
1 5,50
5
Memanggisan (Gurciniu celebicu)
21.02
6
Belangeran (Shoreu belungerun)
15.47
6
Merapat (Combretocatpusrorumbfus)
12.50
Berdasarkan
hasil
yang
ditampilkan
pada
tabel
7, jenis
Merapat
(Combretocarpus rotundatus) merupakan jenis pohon yang mendominasi hutan kerangas tipe 5 pada tingkat pohon dan tiang, dan selalu dominan pada setiap tingkatan vegetasi. Jenis Dipterocarpaceae secara keseluruhan hanya terdapat 1 jenis (10%). Hasil pengamatan, karena tingginya tingkat gangguanlkerusakan yang terjadi pada tipe hutan ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk kearah tipe hutan "Padang". Indeks nilai penting itu sendiri merupakan suatu bentuk gambaran struktur tegakan secara horisontal seperti yang dikemukakan oleh Husch et al. (1982). Bila dihubungkan dengan pendapat Crow et al. (1994), dominansi yang dikemukakan di sini merupakan tipe keanekaragaman yang dicirikan oleh distribusi horisontal dan C
ukuran tumbuhan. Selain itu dominansi dari suatu spesies pada tiap tingkatan vegetasi dapat memberikan petunjuk daya survival suatu jenis dalam suatu komunitas hutan. Jenis-jenis yang selalu dominan pada tiap tingkatan vegetasi relatif dapat dikatakan memiliki daya survival tinggi.
Dalam kaitannya dengan suatu pengelolaan hutan, spesies yang selalu dominan pada tiap tingkatan vegetasi mempunyai peluang yang besar untuk tetap terjaga kelestariannya, seperti contoh : Rasak (Vatica ressak) pada tipe 1, Jambu burung (Eugenia inophylla) pada tipe 2, dan tipe 3, Masupang (Shoreapachyphylla) pada tipe 4, dan Merapat (Combretocarpus rotundatus) pada tipe 5. Rehabilitasi perlu dilakukan terhadap jenis-jenis yang dominan pada suatu tingkatan vegetasi tetapi kurang dominan pada tingkatan vegetasi lain.
Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga
keanekaragaman dari spesies pohon dan permudaan pada suatu komunitas hutan. Dominansi dalam suatu tipe hutan dapat bersifat ekstrim, bila dalam kawasan tersebut hanya terdapat satu atau beberapa spesies yang begitu mendominasi. Akan suatu tipe hutan tetapi dalam ha1 ini ekstrim atau tidaknya dominansi yang terjadi pada ... belum memiliki batasan yang cukup jelas. Batasan itu sendiri bisa muncul apabila kita membandingkan dominansi yang terjadi pada suatu tipe hutan dengan tipe hutan lainnya. Seperti contoh : tipe 5 (Hutan lindung Liang Anggang) dan tipe 4 (Wisata Alarn Trinsing) untuk tingkat pohon, tipe 5 (Hutan lindung Liang Anggang) untuk tingkat ,tiang, tipe 3 (PT. Austral Byna) dan tipe 5 (Hutan lindung Liang.Anggang) untuk tingkat pancang, serta untuk tingkat semai pada tipe 4 (Wisata Alarn Trinsing); tipe-tipe hutan tersebut bila dibandingkan dengan tipe hutan lainnya dalam penelitian C
ini, maka relatif memiliki dominansi yang ekstrim (tabel lampiran 1- 20). Tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 merupakan tipe hutan yang mewakili tipe hutan kerangas dengan kondisi lahan bergelombang (tanah cekung), sedangkan tipe 4 dan 5 merupakan tipe hutan kerangas dengan kondisi lahan datar (plate). Kartawinata (1976)
mengemukakan bahwa terdapat perbedaan kondisi vegetasi
yang begitu mencolok
antara hutan kerangas pada tanah cekung dan tanah datar datar, di mana pada kondisi lahan bergelombang
yang letaknya sering berpadu dengan
dengan hutan
Dipterocarpaceae campuran sehingga relatif banyak memiliki jenis-jenis dari golongan Dipterocarpaceae.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bruenig (1972)
menyangkut hutan kerangas dengan kondisi tanah bergelombang. Hutan kerangas yang berkembang pada jenis tanah datar relatif lebih sedikit memiliki jenis-jenis dari golongan Dipterocarpaceae.
Beberapa peneliti telah
menemukan ha1 serupa terhadap jenis-jenis vegetasi pohon dan permudaan yang terdapat pada hutan kerangas pada tanah datar (Bruenig (1972, 1999, Kartawinata
(1 976), Indrawan (1979), Riswan [1985), Whitmore (1 085)). Bila dihubungkan dengan tipe hutan Dipterocarpaceae, penguasaan jenis-jenis dari golongan Dipterocarpaceae dalam hutan kerangas adalah relatif lebih kecil. Effendi (1982) melaporkan bahwa dalam kelompok Hutan Meratus Hulu Satui --
Kalimantan Selatan (hutan Dipterocarpaceae) terdapat 49 % jenis Dipterocarpaceae pada areal bekas tebangan, dan sekitar 79 % untuk areal yang belum ditebang. Selanjutnya Syahrin (1983) juga mengemukakan bahwa hutan Dipterocarpaceae yang berada di daerah Muara Teweh Kalimantan Tengah mengandung 56,8 1 % untuk areal sesudah tebangan dan 81,77 % vegetasi pohon untuk areal sebelum penebangan dari golongan Dipterocarpaceae. Dari berbagai tipe hutan kerangas yang dikemukakan, munculnya jenis
Combretocarpus rotundatus sebagai spesies yang begitu dominan pada tipe 5
merupakan fenomena yang menarik.
Keberadaan jenis ini sebagai spesies dominan
diduga sebagai akibat dari beberapa faktor-faktor berikut (Klepper et al., 1990) : 1.
Merupakan jenis yang tahan api Vre-resisten/ species/Jire tolerant species)
2. Dapat berkembang pada tanah dengan lapisan gambut tebal sampai tidak terdapat lapisan gambut, pada jenis tanah miskin hara dan pH rendah dengan life survival yang relatif tinggi.
3. Kebakaran yang sering terjadi berulang-ulang telah membatasi jenis yang kurang tahan api (less Jire resistent spesies) sehingga membuat jenis-jenis yang tahan api bisa bertahan (Combretocarpus rotundatus dan Malaleuca cajuputi). 4.
Kondisi tajuk yang tipis dari jenis vegetasi yang tahan api, menjadikan kondisi hutan terbuka yang mengakibatkan iklim mikro menjadi lebih panas dan kering yang selanjutnya dapat membatasi perkembangan jenis lainnya.
Adanya gangguan yang begitu tinggi berakibat pada munculnya jenis Combretocarpus rotundatus sebagai jenis yang dominan menjadi lebih jelas lagi bila kita merujuk catatan yang dikemukakan Kartawinata (1976), dan Whitmore (1985) mengenai jenis Cratoxylon arborescens (less Jire resistent species) yang dulunya mendominasi hutan kerangas pada tipe 5, sekarang tersisa pada tingkatan vegetasi pancang dan semai (tabel lampiran 15,19 ). Kebakaran mendukung terbentuknya Jire tolerant species untuk berkembang menggantikan jenis-jenis yang sebelumnya ada pada lahan yang tidak terganggu. Pohon-pohon yang termasuk ke dalam Jire tolerant species biasanya melakukan pola
.
adaptasi dengan salah satu ciri adalah tebalnya kulit pohon yang dimiliki (Nasi et al., 2002). Karakteristik tersebut terlihat pada jenis Merapat (Combretocarpus rotundatus) yang berkembang begitu dominan pada hutan kerangas tipe 5. Pada suatu habitat yang mengalami perubahan akibat adanya gangguan (seperti penebangan, deforestrasi, hama penyakit, kebakaran, dan lain-lain), maka tumbuhan yang ada akan mengadakan reaksi untuk merubah lingkungan sehingga berada pada kondisi yang cocok bagi spesies yang telah ada atau lebih cocok pada individuindividu yang baru. Sehingga reaksi ini memegang peranan penting dalam pergantian spesies (Shukla dan Chandel, 1982 dalam Kusmana dan Istomo, 1995). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dominansi suatu spesies yang terjadi pada tiap tingkatan vegetasi dalam suatu tipe hutan terbentuk melalui integrasi antara faktor kondisi vegetasi secara menyeluruh (pertumbuhan dan perkembangan,interaksi dengan tumbuhan lain, proses regenerasi ,distribusi, dan lain-lain), kondisi lahan serta aktifitas yang terjadi pada tipe hutan yang bersangkutan.
3. Pola Sebaran Spasial Vegetasi Tingkat Pohon
Pola sebaran spasial vegetasi pohon dan tiang yang dikemukakan adalah untuk e
lima jenis tingkat pohon dengan dominansi tertinggi dan lima jenis tingkat pohon dengan dominansi terendah. Untuk lokasi penelitian tipe 8, pola sebaran spasial dari kelima jenis pohon dengan dominansi tertinggi dan lima jenis tingkat pohon dengan dominansi terendah adalah seperti tercantum dalam tabel 8.
Tabel 8. Daftar jenis-jenis pohon beserta pola sebaran spasialnya dari jenis yang memiliki dominansi tertinggi dan terendah pada hutan kerangas tipe 1. IP
Jenh
No
1
Bangkirai (Hopea dyeri)
2
Kempas (Kompu.~.viu muluccenvis)
3
Rasak (Vaticu reusuk)
4
Draya (Myriuticumuximu)
5
Kerundung (Canuriumupertum)
Pola
1P
Jenis
195%)
-0,003
acak
1
Brunsulan (Memecylon cmtatum)
0
acak
0.1 1
acak
2
Puntik (Mudhrrcubetis)
0
acak
acak
3
lpil (Intsicr hij~rgu)
0
acak
-0.255
acak
4
Aci (Gurciniu sp.)
0
acak
0,493
acak
5
Kapatunjung (Litsea sp)
0
,.
Keterangan : IP = Nilai dari Standarisasi Indeks Moroshita (taraf signifikansi
x2= 95 %)
Gambaran yang didapat dari tabel 8, pada tipe hutan kerangas 1 menunjukkan bahwa dari sepuluh jenis yang terpilih kecenderungan pola sebaran spasial yang terbentuk pada vegetasi pohon adalah bersifat acak, hanya jenis Kerundung (Canarium apertum) yang hampir memberikan pola sebaran yang mengelompok
.
Untuk lokasi penelitian tipe 2, pola sebaran spasial dari kelima jenis pohon dengan dominansi tertinggi dan lima jenis tingkat pohon dengan dominansi terendah adalah seperti tercantum dalam tabel 9 berikut : Tabel 9. Daftar jenis-jenis pohon beserta pola spasialnya dari jenis yang memiliki dominansi tertinggi dan terendah pada hutan kerangas tipe 2. No
I
.-
-
IP
Jenu I
I
I
Kapurnaga (Callophyllumpulcherimum)
2
Bangkirai (Hopea dyeri)
3
Meranti batu (Shoreufonvotrthyi )
I
0.366
Pola I
1
Soasial
Acak
No 1
I
5
1 Menggambir (Trigomp~eummuh?yanu) 1
IP
Jeni
195%)
I
1 I I
11 1 1I :I
4
Jambu burung (Eugenia inophyllu )
195%)
Bambreng(~,fagueIia~)
0,416
Acak
Getah no. 1 (Paluquiumgutta )
0
A
Mansira (Ilcx sp.)
0,296
(
Acak
4
c
( Malindang (Shreu splendi&)
1:
Poh Svasial
Acak
I
0,5 18 1 kelomwk I 5 Bmnsulan OWemecvlon c o ~ u m ) Keterangan : IP = Nilai dari Standarisas~Indeks Moroshita (taraf signifikansi x2= 95 %)
Berdasarkan hasil yang tercantum pada tabel 9, pada tipe hutan kerangas 2 sebagian besar pola sebaran spasial yang dimiliki adalah menyebar secara acak, dengan pengecualian pada jenis Menggambir (Trigonopleura malayana) yang
Hasil yang ditampilkan pada tabel 11 menunjukan bahwa pola spasial dari jenis --
-
pohon yang ada sebagian besar memiliki pola spasial acak, sedangkan jenis yang memiliki pola sebaran spasial berkelompok adalah Erat (Cratoxylon arborescens). Untuk lokasi penelitian tipe 5, pola spasial dari beberapa jenis pohon yang ada adalah seperti tercantum dalam tabel 12. Tabel 12. Daftar jenis pohon beserta pola sebaran spasialnya dari jenis yang memiliki dominansi tertinggi dan terendah hutan kerangas tipe 5.
1
Merapat (Combretocarpus rotundatus)
seragarn
-0.504
Keterangan . IP = Nilai dari Standarisasi Indeks Moroshita (taraf signifikansi X*= 95 %)
Berdasarkan hasil seperti yang ditampilkan tipe hutan kerangas 5 menunjukan bahwa jenis pohon Merapat (Combretocarpus rotundatus) yang mendominasi lahan hutan kerangas tipe 5 secara keseluruhan memiliki pola sebaran spasial yang seragam. Tabel 13 berikut merupakan suatu gambaran menyangkut perbandingan antara pola spasial beberapa spesies tingkat pohon yang terdapat pada tipe-tipe hutan kerangas. Tabel 13. Pola sebaran spasial beberapa spesies tingkat pohon dari masingmasing tipe hutan kerangas yang di amati. Aput (DrpterocarpwgrandPonu) IP (95%) 2 Aci (Garcmrasp) IP (95%) 3 Bangkirai (Hopeadyeri) IF' (95%) 4 Bambreng (Shoreafaguetiana) IP (95%) 5 Brunsulan (Memecylon costatum) IP (95%) 6 , Bajan kelep (Drpterocarpusconferfus)
,
7
8
Cemara (Dacryiium beccarii) IP 195%) Draya (Myristicamaxima) IP (95%)
acak 0.152
acak 0 acak 0 acak -0,003
1
acak 0 ,
,
acak 0,416 acak 0 acak 0 acak
acak 0,158 C
acak 0 ,
,
acak 0 acak -0,255
acak 0.3
acak -0,158
dilanjutkan...
laniutan tabel 13. 9 10 11
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
30 31 32 33 34 35
Erat (Cratarylonarborescens) IP (95%) Getah no I (Palaqurumgutta) IP (95%) Ipll (lntsra byuga) IP (95%) Jambu burung (Eugenra rnophylla ) IP (95%) Kempas (Kompsra malaccen.\~.\) IP (95%) Kenmdung (Canmum apertum) IP (95%) Kuranjl (Dralrumlaurrmum) IP (95%) Kapurnaga (CoNophyllumpulcherrmum) IP (95%) Kapatunjung (Lrrsea sp ) IP (95%) Lamlang (Madhuca crassrpes) IP (95%) Lampung beras (Shoreaparvrfolra) lP (95%) Melal~n(Madhucabetrodes) IP (95%) Madang (Acfmodaphnesp) IP (95%) Merant1 batu (Shoreafoxwotrthyr) IP (95%) Menggamblr (Trrgonopleuramalayam) IP (95%) Merapat (Combretocarpus rotundatus) IP (95%) Manslra ( I l a sp ) IP (95%) Mallndang (Shoreasplendrda) IP (95%) Masupang (Shoreapachyphylla) IP (95%) Nyatoh (Palaqurumxanthochymwn) IP 195%) Pun& (Madhuca bet~s) IF' (95%) Palawan merah (Tristanraobovata) IP (95%) P ~ r a m (Parartocarpur ~s trrandrus) IP (95%) Rasak (Vatrca ressak) IP (95%) T~wadakbanyu (Arlocurpuc teysmanrr) IP (95%) Terantang (Camnospenna rnacrophylla) IP (95%)
acak 0,044 acak 0 acak 0 kelompok 0,583 acak 0.1 1 acak 0,493
acak 0,293 acak 0 acak 0 acak -0.08 acak 0 acak 0 acak -0,136 acak -0.06 acak -0.08
acak 0.152 acak 0
acak 0.296 acak -0,191 acak -0.218 acak 0 acak 0,366
kelompok 0,589
acak -0.23 acak 0
acak 0
acak 0 acak -0.08
acak 0,383
-
kelompok 0,505 acak -0.15 acak 0.044
acak 0.254 kelompok 0.5 18 acak -0,136 acak 0 acak 0
acak 0 acak -0.158 acak 0.27 1
acak 0
acak 0 acak 0
acak 0
acak 0,238 acak 0,219 acak 0
acak 0,415
acak 0.1
acak -0.15
acak 0.044
acak 0.41 1
acak 0 acak 0
Keterangan : Tipe 1 = Areal hutan kerangas PT. WIKI (sekitartebangan tahun 199311994) Tipe 2 = Areal hutan kerangas PT. WIKI (belum ada penebangan) Tipe 3 = Areal hutan kerangas PT. Austral Byna (tebangan tahun198711988) Tipe 4 = Areal hutan kerangas Kawasan Wisata Alam Trinsing Tipe 5 = Areal hutan kerangas Hutan lindung Liang Anggang
acak 0.226 acak 0 acak 0,238
=ragam -0.504
Kecenderungan yang didapatkan dari hasil yang ditampilkan pada tabel 13 adalah bahwa secara umum pola spasial beberapa jenis pohon adalah acak. Dari tabel 13 dapat juga memberikan gambaran bahwa pola spasial dari suatu jenis pohon dapat
berbeda dari suatu tipe hutan dengan tipe hutan lainnya. h
Secara umum adalah tidak mudah menentukan alasan apa yang melatarbelakangi terbentuk pola spasial suatu spesies, karena tergantung kondisi biologis spesies yang bersangkutan dan sejarah perkembangan populasi yang di amati (Poole, W.R., 1974). Pola spasial vegetasi tingkat pohon yang ditunjukkan pada berbagai tipe hutan yang diamati adalah cenderung berbentuk acak baik untuk jenis Dipterocarpaceae maupun non-Dipterocarpaceae. Rosalina (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar jenis flora khususnya di daerah tropis, pola sebarannya adalah umumnya acak. Selanjutnya Bruenig (1995) mengemukakan pula bahwa terbentuknya pola acak suatu jenis dikarenakan jenis tersebut dalam proses hidupnya dapat bertahan dan beriangsung relatif baik tanpa persyaratan khusus dalam ha1 cahaya dan hara. Pola acak yang terbentuk lebih cenderung sebagai akibat dari perilaku non selektif dari spesies pohon yang ada. Pola -
-
sebaran acak menunjukan hubungan mutual repulsion yaitu kehadiran suatu individu dalam suatu unit areal menurunkan peluang individu lainnya pida unit areal yang sama. (Ludwig and Reynolds, 1988). Armesto et al. (1992) dalam Niyama et al. (1999) mengemukakan bahwa celah yang terbentuk akibat suatu kerusakan yang relatif besar meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random.
.
Pola sebaran yang tidak acak (mengelompok/seragam) biasanya ditemui akibat adanya keteraturan sebagai akibat adanya kendala atau faktor pembatas terhadap keberadaan jenis tertentu atau kesesuaian jenis dari populasi tertentu terhadap lingkungan (Rosalina,
1996). Menurut Ludwig and Reynold (1988), pola
mengelompok terjadi sebagai akibat individu akan ~nengelompokpada habitat yang lebih sesuai dengan tuntutan hidupnya. Pola sebaran mengelompok menunjukan -
keterkaitan mutual yaitu kehadiran suatu individu dalam suatu unit areal menaikan peluang individu lainnya pada unit areal yang sama. Selain itu pola sebaran mengelompok diakibatkan oleh heterogenitas faktor-faktor lingkungan dari ternpat tumbuh, variasi dari individu di dalam populasi dapat merupakan resultante dari model reproduktif, dan kesesuaian tempat tumbuh atau tapak. Pada tipe-tipe hutan yang diamati, jenis-jenis yang distribusinya mengelompok pada tingkat pohon terjadi pada spesies dari golongan non-Dipterocarpaceae. Suatu ha1 yang berbeda dibandingkan dengan tipe hutan Dipterocarpacea yang menunjukkan pola mengelompok untuk golongan Dipterocarpacea dan acak untuk jenis-jenis yang berasal dari golongan non-Dipterocarpaceae (Marsono dan Setyono, 1980). Pada tipe 1 ditemukan jenis Kerundung (Canarium apertum) harnpir mendekati pola sebaran berkelompok, dan jenis ini termasuk golongan yang dbminan pada tipe 1. Hampir mengelompoknya jenis ini pada tipe 1 menunjukan bahwa jenis Kerundung berkembang dan tumbuh baik pada tapak-tapak tertentu.
Diduga juga ha1 ini
berhubungan dengan keberhasilan perkembangan dan regenerasinya yang berada tidak jauh dari induknya. Ini dapat dilihat dari ukuran bijinya yang relatif berat dan bentuk
bijinya yang tak bersayap. Kurangnya pemangsa terhadap biji-biji yang dihasilkan diduga juga mendukung keberhasilan perkembangan jenis ini pada kawasan tipe hutan kerangas 1. Selain itu bila kita tinjau dari asosiasinya, pada lokasi tipe 1 jenis ini berasosiasi negatif dengan jenis rotan yang memiliki pola sebaran mengelompok. Seperti diketahui bahwa terbentuknya asosiasi negatif antara
kedua spesies ini
menunjukan bahwa keduanya memiliki kebutuhan yang berbeda akan sumberdaya. Terdapatnya faktor pembatas atau perilaku selektif yang menyebabkan terjadinya hubungan asosiasi negatif antara rotan dengan kerundung (Canarium apertum) dapat mempengaruhi terbentuknya pengelompok kedua jenis ini secara tersendiri pada kondisi tapak tertentu. Alasan-alasan yang dikemukakan di sini diduga merupakan salah satu penyebab terbentuknya pola sebaran spasial dari jenis kerundung (Canarium apertum) hampir mengelompok. Sehingga penyebab terbentuknya pola sebaran yang hampir mengelompok tersebut merupakan dapat dikatakan merupakan resultante dari
.
model reproduktif, dan kesesuaian tempat tumbuh atau tapak. Pada tipe 2 pola mengelompok ditunjukan oleh jenis Menggambir (Trigopleura malayana).
Sebagai suatu spesies yang tergolong
pioneer (dari farnili
Euphorbiaceae), jenis ini termasuk yang mendominasi pada tipe 2. Suatu jenis pioneer yang dapat berkembang baik umumnya membentuk kelompok dalam suatu kondisi lingkungan tempat tumbuh tertentu. Sedangkan jenis Bangkirai (Hopea dyeri) yang hampir membentuk pola mengelompok merupakan golongan Dipterocarpaceae yang memiliki kecenderungan untuk mengelompok pada kondisi lahan tipe 2.
,.
Pola sebaran acak yang diperlihatkan pada tipe 3 diduga dipengaruhi oleh tingkat gangguan yang terjadi pada tipe 3. Seperti diketahui celah yang terbentuk akibat suatu t,
kerusakan yang relatif besar meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random. Sebaran mengelompok terjadi pada jenis Erat (Cratoxylon arborescens) pada tipe 4. Temuan ini serupa denkan yang dikemukakan Indrawan (1979) tentang jenisjenis vegetasi pohon yang menyebar mengelompok dengan jenis tanah pasir dan gambut pada hutan kerangas di HPH PT. Kayon TC. Kalimantan Tengah. Munculnya jenis Cratoxylon arborescens dengan pola sebaran mengelompok pada hutan kerangas tipe 2 cenderung lebih disebabkan karena jenis ini merupakan pioneer species yang dalam proses perkembangannya dominan menggantikan kedudukan dari jenis Shorea
pachyphylla yang telah hilang. Sementara itu satu-satunya spesies pohon yang menyebar secara seragam adalah jenis Combretocarpus rotundatus yang terdapat pada tipe 5. Sebagai suatu jenis yang secara keseluruhan menguasai tingkat pohon pada tipe 5, Combretocarpus rotundatus memiliki daya survival yang begitu tinggi pada kondisi lahan dengan tingkat gangguan tinggi. Penguasaan secara menyeluruh mengakibatkan terbentuknya pola seragam dari jenis Combretocarpus rotundatus. Informasi yang didapatkan dari pola spasial yang terbentuk 8ada tipe-tipe hutan kerangas ini memberikan petunjuk bahwa dalam suatu sistem pengelolaan hutan harus memperhatikan bentuk dari pola sebaran spasial suatu spesies serta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola sebaran spasial tersebut. .-
-
Dari segi bentuk pola
sebaran spasial, individu dengari pola spasial mengelompok bila mendapat gangguan
'
akan lebih cepat punah bila dibandingkan dengan individu yang menyebar random. Selain itu pengelompokan yang terjadi juga memerlukan suatu bentuk habitat tertentu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola sebaran spasial seperti proses reproduksi dan regenerasi, kompetisi, topografi, kebutulian hara dan cahaya, merupakan variabel penting yang harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan hutan. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan dalam manajemen di antaranya adalah dengan menjaga kelestarian p o h ~ ninduk, mengurangi halangan bagi carrier dalam proses dispersal, mengurangi kompetisi, terpenuhinya kebutuhan hara dan cahaya. Intinya adalah bagaimana agar kita dapat memadukan syarat-syarat pertumbuhan yang membatasi keberadaan suatu spesies. Pola sebaran mengelompok dari suatu jenis yang djtemukan ternyata berbeda antara tipe hutan yang satu dengan tipe hutan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa -
-
perbedaan kondisi habitat dapat membedakan pola sebaran suatu spesies (tabel 13). Sehingga pada tiap lokasi tindakan pengelolaan yang dilakukan terhadap pola spasial yang terbentuk akan berbeda.
4. Hubungan Pola Spasial Spesies Pohon Tertentu dengan Celah Kanopi, Kemiringan Lahan dan Keberadaan Tumbuhan Bawah
Dalam penelitian ini asosiasi yang ditentukan adalah bagaimana bentuk hubungan pola spasial spesies pohon dengan celah kanopi, kemiringan lahan dan tumbuhan bawah.
Hubungan pola spasial spesies pohon dengan celah kanopi,
kemiringan lahan dan tumbuhan bawah ditentukan dengan uji signifikansi 90-95 %.
x2 pada
taraf
,
Hubungan asosiasi antara pola spasial suatu spesies pohon tertentu dengan celah kanopi, kemiringan lahan dan keberadaan tumbuhan bawah untuk tiap-tiap lokasi -
-
-
penelitian adalah seperti tercantum dalam tabel 14. Tabel 14.
Hubungan pola spasial spesies tertentu tingkat pohon terhadap celah kanopi, kemiringan lahan dan keberadaan turnbuhan bawah.
Berdasarkan hasil yang didapatkan seperti tercantum daltlm tabel 14, pola spasial spesies pohon tertentu pada suatu kondisi lahan tertentu pula memiliki hubungan dengan celah kanopi, kemiringan lahan dan keberadaan tumbuhan bawah. Nilai
x2 terkoreksi
yang ditampilkan pada tabel 14 menunjukan bahwa besarnya
kemungkinan asosiasi yang terbentuk.
Dalam suatu komunitas terdapat sejumlah faktor-faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi distribusi, keanekaragaman, interaksi atau asosiasi dari suatu spesies. Asosiasi tersebut dapat bersifat positif, negatif atau tidak terdapat asosiasi (Ludwig and Reynolds, 1988). Bentuk hubungan asosiasi beberapa spesies dengan pola spasial tertentu terhadap celah kanopi, kemiringan lahan dan tumbuhan bawah kecenderungan yang terjadi adalah asosiasi negatif dan tidak terdapat asosiasi.
Dari tabel 13 terlihat bahwa
kecenderungan bentuk hubungan asosiasi negatif lebih banyak terjadi pada spesies pohon dengan dominansi terkecil (jarang terdapat) dan dengan sebaran random. Bruenig (1 998) mengemukakan bahwa jenis yang jarang (rare species) biasanya berada pada kondisi tapak tertentu atau membentuk pola asosiasi tertentu. Dalam hubungannya dengan celah, kerusakan yang besar dapat mengakibatkan suatu spesies menyebar secara random (Niyama et al., 1999). Sedangkan jenis Kerundung (Canarium apertum) dengan pola harnpir mengelompok berasosiasi negatif dengan jenis
rotan yang memiliki pola
mengelompok. Terbentuknya asosiasi negatif ini adalah karena kedua spesies ini memiliki kebutuhan yang berbeda akan sumberdaya, atau dengan mengelompok atau harnpir mengelompoknya pola sebaran rotan dan Canariuh apertum berarti terdapatnya faktor pembatas atau perilaku yang selektif dari keduanya sehingga menyebabkan terjadinya hubungan negatif. Terbentuknya hubungan asosiasi negatif dengan nilai
x2terkoreksi yang begitu
besar (13.245) pada beberapa jenis pohon terhadap kemiringan lahan menunjukan
'
bahwa begitu kecilnya kemungkinan jenis-jenis pohon tersebut dapat berkembang baik pada kemiringan > 30' dalarn tipe hutan kerangas 1. Pada kondisi kemiringan yang besar kondisi hara dan ketersedian air menjadi berkurang, ha1 ini berimplikasi pada terbatasnya kemampuan suatu spesies untuk dapat tumbuh pada kondisi tersebut (Enoki, et al. 1996; Niyama, et al. 1999; Tokuchi, et al. 1999). Pada kasus pola spasial spesies pohon yang seragam (Combretocarpus rotundatus), terbentuknya asosiasi negatif merupakan implikasi dari perilaku yang selektif atau faktor pembatas yang dimiliki atau dialarni pohon dan tumbuhan bawah. Hubungan asosiasi negatif yang terbentuk memberikan petunjuk bahwa perlunya menghindari kondisi habitat yang berdampak negatif terhadap keberadaan jenis-jenis tertentu. Berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian ini dapat dinyatakan bahwa dalam suatu komunitas atau tipe hutan tertentu terdapat hubungan antara pola spasial spasial spesies pohon dengan celah kanopi, kemiringan lahan dan tumbuhan bawah. Faktor-faktor yang membatasi pola sebaran spasial antara lain tingkah laku, suhu hubungan timbal balik dengan organisme lain, serta faktor fisik dan kimia lainnya (Krebs, 1978). Manokaran et al. (1992) dalam Niyama et al. (1999) menyatakan bahwa pola spasial spesies pohon tergantung pada tofografi, kelembaban tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi. 5. Struktur Tegakan Vegetasi Tingkat Pohon dan Tiang
Struktur tegakan yang tercermin dari hubungan antara kelas diameter dengan jumlah pohon perhektar dan luas bidang dasar adalah seperti tertera pada tabel 15.
Tabel 15. Sebaran pohon perkelas diameter dan luas bidang dasar tingkat pohon dan tiang dari tipe-tipe hutan kerangas.
7
-
60 70 cm > 70 cm LUAS BIDANG DASAR
1
3.64 3.64 Tipe 1
Vegetasi tingkat tiang mfka
5,06
Vegetasi tingkat potion m2/ha
18,18
3.18 2.73 Tipe 2 5,46 18.17
4.55
9.09
0
0 Tipe 3
4.5 Tipe 4
0
4,73
5.98
1 1,26
13.62
Tipe 5
421 5,62
Pada tabel 15 terlihat bahwa tipe 4 memiliki jumlah dan luas bidang dasar tingkat tiang yang paling tinggi. Hal ini merupakan ha1 yang umum terjadi pada hutan kerangas tanah datar yang relatif memiliki tingkat tiang yang tinggi. Kemudian tipe 5 memiliki jumlah pohon rendah dengan luas bidang dasar terendah. Suatu bentuk hutan kerangas yang sudah mengarah pada terbentuknya hutan "Padang" memiliki jumlah pohon yang sedikit dan tersebar pada ukuran diameter kecil. Bila dihubungkan dengan keberadaan anakan, besarnya jumlah anakan dari jenisjenis pioneer yang mengkolonisasi daerah-daerah terbuka
pada tipe 5 merupakan
petunjuk tingginya tingkat kerusakan yang dialami. Pumpping energi tinggi dari spesies pioneer membuatnya mampu bertahan pada habitat terganggu.
Dilihat dari jumlah
jenis anakan, pada daerah-daerah terganggu memiliki jumlah jenis anakan yang sedikit. Penjelasan mengenai gambaran struktur tegakan dari tipe-tipe hutan kerangas
-
dalam bentuk diagram profil tertera dalam lampiran 42 46. Kondisi struktur tegakan pada masing-masing tipe-tipe hutan kerangas yang dalam ha1 ini dijelaskan melalui hubungan antara kelas diameter pohon dengan jumlah pohon perhektar diperlihatkan pada gambar 5.
10.- 20
20.- 30
30.- 40
40.- SO
60.- 60
SO.-70
>70
Tipe 4 = Sekitar kawasan Wisata Alarn Trinsing Tipe 5 = Kawasan hutan lindung Liang Anggang Diameter (em)
Gambar 5.
Diameter (em)
Grafik hubungan antara sebaran pohon dalam kelas diameter terhadap jumlah pohon perhektar pada masing-masing hutan kerangas yang diamati
Pada gambar 5 terlihat struktur tegakan yang ditampilkan pada masing-masing tipe hutan kerangas adalah berbentuk "J" terbalik.
Struktur tegakan
berbentuk J
terbalik ini serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Miyamoto et al. (1998) dalam penelitiannya di hutan Kerangas yang terdapat di desa Lahei Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Bentuk kurva ini sesuai dengan yang digambarkan oleh Daniel et al; (1987) untuk hutan yang tidak seumur, di mana dikemukakan bahwa hutan tidak seumur umumnya paling sedikit memiliki tiga kelas yang berbeda dan biasanya mempunyai kesenjangan dalam distribusi kelas diameter. Pola kurva J terbalik menunjukkan bahwa jumlah pohon (kerapatan pohon) tersebar lebih banyak pada pohon dengan kelas diameter terkecil dan jumnlahnya menurun kurang lebih sebanding dengan bertambahnya ukuran, sehingga akhirnya hanya tersebar sedikit pada pohon-pohon yang berukuran lebih besar.
Daniel et al.
(1995) menyatakan bahwa pola tersebut terbentuk karena tegakan seumur mempunyai reproduksi yang tidak menentu, serta perbedaan kecepatan tumbuh pohon pada setiap kelas umur sesuai dengan ketersediaan cahaya dan hara. Kondisi struktur tegakan pohon yang terbentuk diyakini mempengaruhi keberadaan dan kondisi dari permudaan dan tumbuhan bawah ying terdapat dilantai ' hutan (Jones, 2002).
Selanjutnya Kohyama (1993) mengemukakan bahwa kondisi
struktur tegakan berperan memelihara keanekaragaman jenis yang ada dalam komunitas hutan.
6. Perbedaan Kondisi Komunitas Tumbuhan pada Hutan Kerangas Perbedaan antara kondisi komunitas hutan kerangas yang diamati ditentukan dengan pendekatan berikut : 1)
Perbandinpan struktur te~akan[besarnya diameterlplot dan volume/plot) Berdasarkan uji beda nilai tengah antara kondisi struktur tegakan tingkat pohon
pada tiap-tiap tipe hutan kerangas didapatkan perbedaan sebagai berikut : 1. Antara tipe 1, tipe 2 : tidak terdapat perbedaan yang signifikan menyangkut kondisi besarnya diameterlplot dan volume/plot. 2. Antara tipe 1,2 >< tipe 3, tipe 4, dan tipe 5
: terdapat perbedaan yang
signifikan menyangkut kondisi besarnya diarneterlplot dan volumelplot. 3. Antara tipe 3 >< tipe 4
: tidak
terdapat perbedaan yang signifikan
menyangkut kondisi besarnya diameterlplot dan volumelplot 4. Antara tipe 3 >< tipe 5; tipe tipe 4 >< tipe 5
: terdapat perbedaan yang
signifikan menyangkut kondisi besarnya diameterlplot dan volumelplot Berdasarkan hasil uji beda nilai tengah yang dilakukan terhadap variabel besaran diameter dan volume tingkat pohon yang diberikan masing-masing tipe hutan kerangas, maka tipe 1 dan tipe 2 yang memiliki tingkat gangguan relatif lebih kecil ternyata tidak berbeda secara signifikan dalam ha1 besaran diameter dan volume. Sementara itu antara tipe 3 dan 4 sebagai suatu tipe hutan kerangas tingkat gangguannya lebih besar (dibanding tipe 1 dan 2) membentuk pola tersendiri dalam besaran diameter dan volume yang diberikan. Terakhir adalah tipe 5 dengan tingkat gangguan yang paling kompleks menunjukkan besaran diameter dan volume yang berbeda baik terhadap tipe 1 dan 2 --.
maupun tipe 3 dan 4.
2)
Nilai indeks kesamaan Berdasarkan nilai indeks kesamaan Jaccard yang diperoleh, perbandingan indeks
kesamaan antara masing-masing tipe hutan kerangas pada berbagai tingkat pertumbuhan adalah seperti tercantum dalam tabel 16 - 19. Tabel 16.
Nilai indeks kesamaan tingkat pohon dan tiang dari masing-masing tipe hutan kerangas.
Tabel 16 merupakan hasil dari perhitungan nilai indeks kesamaan untuk tingkat pohon dan tiang. Nilai indeks kesamaan yang tertinggi adalah perbandingan antara tipe -
-
1 dengan tipe 2. Sedangkan tipe 5 merupakan tipe yang memberikan nilai indeks kesamaan terkecil bila dihubungkan dengan hutan kerangas tipe lainnya. Nilai indeks kesamaan tingkat pancang dan semai dari masing-masing tipe hutan kerangas yang dibandingkan adalah tercantum dalarn tabel 17 berikut : Tabel 17.
Nilai indeks kesamaan tingkat pancang masing tipe hutan kerangas.
dan semai dari masing-
Berdasarkan hasil yang ditampilkan dalam tabel I7 menunjukan bahwa nilai indeks kesamaan yang tertinggi adalah perbandingan antara tipe 1 dengan tipe 2. -
-
Sedangkan tipe 5 merupakan tipe yang memberikan nilai indeks kesamaan terkecil bila dihubungkan dengan hutan kerangas tipe lainnya. Nilai indeks kesamaan pada tingkat anggrek dan liana ditunjukan dalam tabel 18. Tabel 18.
Nilai indeks kesamaan tingkat anggrek dan liana dari mashg-masing tipe hutan kerangas.
Hasil yang ditampilkan pada tabel 18 memberikan nilai indeks kesamaan tertinggi tingkatan vegetasi anggrek dan liana adalah antara hutan kerangas tipe 1 dengan tipe 2. Sedangkan tipe 5 bila dihubungkan dengan tipe lainnya adalah tidak memiliki nilai indeks kesamaan (IS = 0). Tabel 19 berikut merupakan hasil dari nilai indeks kesamaan pada tingkatan vegetasi semak,herba/paku dan rotadpalma kecil . Tabel 19. Nilai indeks kesamaan tingkat semaklherba dan rotanlpalma kecil dari masing-masing tipe hutan kerangas.
Indeks kesamaan yang ditampilkan pada tabel 19 menunjukan bahwa antara tipe 1 dan tipe 2 memiliki indeks kesamaan tertinggi untuk tingkat semak/herba/paku dan rotanlpalma kecil.
Untuk tingkat semak/herba/paku nilai terendah adalah indeks
kesamaan antara tipe 5 dengan tipe 1, sedangkan pada tingkat vegetasi rotadpalma kecil tipe 5 bila dihubungkan dengan tipe lainnya adalah memiliki nilai indeks kesamaan paling kecil (IS = 0). Nilai indeks kesamaan merupakan suatu ukuran derajat kesamaan jenis yang dimiliki oleh komunitas yang dibandingkan. Nilai yang diberikan berkisar antara 0 - 1, di mana jika nilai indeks kesamaan semakin mendekati 1 maka kedua komunitas yang dibandingkan memiliki kesamaan spesies yang cukup tinggi, sedangkan bila nilainya mendekati 0 maka kedua komunitas yang dibandingkan sedikit atau tidak memiliki spesies yang sama. Berdasarkan hasil nilai indeks kesamaan yang diperoleh adalah relatif rendah dengan nilai terbesar untuk tingkat pohon (0,71), tiang (0,46), pancang (0,46), semai (0,45), liana (0,73), anggrek (0,79), rotan (0,66 ), dan semak (0,64). Nilai indeks kesamaan yang paling tinggi tersebut terbentuk dari perbandingan antara hutan kerangas
-tipe 1 dengan tipe 2 (terlihat pada tingkat pohon, liana, anggrek, rotan dan semak). Variasi indeks kesarnaan terjadi pada tipe lainnya. Sedangkan tipe 5 memiliki indeks kesamaan yang kecil bila dibandingkan dengan tipe lainnya. Hal ini menunjukan bahwa begitu bervariasinya kondisi vegetasi yang terbentuk pada hutan-hutan kerangas.
. .
..
3. Analisa ordinasi tdxdap kondis~v e p e t d dan hnah pada huPendekatan ordinasi terhadap kondisi vegetasi dan tanah dapat digunakan dalam upaya membandingkan antara tipe-tipe hutan kerangas yang diamati.
Secara terpisah
hasil analisa ordinasi dengan Principal Component Analysis terhadap kondisi pohon, permudan dan tumbuhan bawah. Sedangkan variabel yang digunakan dalam analisa ini adalah nilai indeks keanekaragaman jenis, jumlah jenis, jumlah individu, besarnya luas bidang dasar, tinggi, diameter dan volume (ernpat terakhir khusus diperuntukan pada tingkat pohon dan tiang). Berikut adalah hasil kuantitatif dari analisa PCA terhadap varibel pohon, dan permudaan yang tertera dalam tabel 20. Tabel 20.
I
PCA terhadap kedudukan masing-masing tipe hutan berdasarkan variabel pohon dan permudaan
TRJGKATVEGETASI Principal Component Eixen value
Proporsi
1
POHON PC-I PC-I1 9,40 2,lO 0,72 0,16
I
TIANG PC-I PC-I1 8,29 3,90 0.59 0.28
I
PANCANG PC-I PC-I1 3,46 1,12 038 0,19
-
-
1
. SEMAI PC-I PC-I1 4,16 1,07 0,69 0.18
-
- -
- I
TMin 1 0,14 1 0.50 1 0,33 1 0,07 1 1 1 I Keterangan : N/ha=jumlah individu perhektar, R'=kekayaan jenis, H'=kelimpahan jenis, E5= kemerataan, JJS = jumlah jenis, Ibdsiha = luas bidang dasar perhektar, v/ha = volume perhektar, DMT = ukuran rata-rata diameter, TRT = tinggi rata-rata, TMax-TMin= pohon tertinggi-terendah
Selanjutnya gambaran menyangkut kedudukan tipe-tipe hutan berdasarkan kondisi pohon dan permudaan adalah ditarnpilkan pada gambar 6-7. Gambar 6 berikut merupakan hasil analisa ordinasi terhadap kondisi vegetasi tingkat pohon dan tiang.
Gambar 6. Hasil analisa ordinasi kondisi pohon clan tiang di lokasi penelitian. Hasil yang ditampilkan pada gambar 6 memberi petunjuk bahwa pada tingkat -
-
pohon kedudukan tipe 1 dengan tipe 2 yang lebih mendekati sumbu PC-I (+), tipe 3 dengan tipe 4 yang lebih mendekati sumbu PC-I1 (+), dan tipe 5 yang mendekati sumbu PC-I (-). Pada tingkat tiang kedudukan tipe 1, tipe 2 berada pada posisi yang relatif seimbang antara sumbu PC-I dan PC-I1 (++), sementara itu tipe 3 berada sedikit jauh dari kelompok 1 dan 2. Sedangkan untuk masing-masing tipe 4 berada pada sumbu PCI (+) dan PC-I1 (-), serta tipe 5 yang mendekati sumbu PC-I (-). Pada tingkat pancang dan semai, hasil analisa ordinasi tertera pada gambar 7.
Gambar 7. Hasil analisa ordinasi kondisi pancang dan semai di lokasi penelitian. Hasil yang ditampilkan pada gambar 7 menunjukan bahwa bahwa pada tingkat pancang kedudukan tipe 1 dan tipe 2 pada sumbu PC-I dan PC-I1 (++), tipe 3 dengan tipe 4 pada PC-I (-) dan PC-I1 (+), serta tipe 5 berada pada sumbu PC-I dan PC-I1 (--).
Pada tingkat semai kedudukan tipe 1 lebih mendekati sumbu PC-I (+), tipe 2 juga mendekati pada PC-I (+) dan sedikit pada mendekati sumbu PC-I1 (+), tipe 3 mendekati sumbu PC-I1 (-), tipe 4 mendekati sumbu PC-I1 (-), dan tipe 5 berada di antara PC-I (-) dan PC-I1 (+). Selanjutnya hasil kuantitatif dari analisa PCA terhadap varibel tumbuhan bawah tertera dalam tabel 2 1. Tabel 21.
PCA terhadap kedudukan masing-masing tipe hutan berdasarkan variabel tumbuhan bawah
Tingkat vegetasi Principal Component Eigen value Proporsi Komulatif
SEMAK PC-I PC-I1
LIANA PC-I1 PC-I
ROTAN PC-I PC-I1
ANGGREK PC-I1 PC-I
3,2312,18 0,54]0,36 0,90
8,29 0,59
4,OO 0,67
4,34
I
I
3,90 0,28 0,87
I
1,18 0,20 0,87
I
1,09 0,18
0,73 0,91
Keterangan : Nlha = jumlah individu perhektar, R' = kekayaan jenis, H' = kelimpahan jenis, E5 = kemerataan, JJS =jumlah jenis
Garnbar 8 berikut merupakan hasil analisa ordinasi terhadap kondisi vegetasi semak dan liana.
Gambar 8. Hasil analisa ordinasi kondisi semak dan liana di lokasi penelitian.
Hasil yang ditampilkan pada gambar 8 menunjukan bahwa pada vegetasi semak kedudukan tipe 1 dan tipe 2 yang lebih mendekati sumbu PC-I (+) dan sedikit pada PCI1 (-) , tipe 3 berada antara PC-I (-) dan PC-I1 (+), tipe 4 yang mendekati pada sumbu PC-I1 (+), serta tipe 5 berada antara sumbu PC-I dan PC-I1 (--). Adapun untuk vegetasi liana kedudukan tipe 1 dan 2 b,efada pada sumbu PC-I (+) dan PC-I1 (-), tipe 3 dan 4 berada pada PC-I dan PC-I1 (++) dengan nilai ordinat sumbu PC-I lebih rendah dari kelompok tipe 1 dan tipe 2, kemudian tipe 5 yang kedudukannya lebih mendekati pada sumbu PC-I (-). Pada vegetasi tingkat rotan dan anggrek, hasil analisa ordinasi tertera pada garnbar
9 berikut :
Gambar 9.
Hasil analisa ordinasi terhadap kondisi rotan dan anggrek di lokasi penelitian.
Hasil yang ditampilkan pada gambar 9 memberikan gambaran pada vegetasi rotan kedudukan tipe 1 berada mendekati sumbu PC-I (+), tipe 2 berada pada PC-I (+) dan PC-I1 (-), tipe 3 kedudukannya seperti tipe 2 dengan ordinat yang lebih rendah, tipe 4 berada pada PC-I (-) dan PC-I1 (+), sedangkan tipe 5 berada pada PC-I dan PC-I1 (--). Untuk vegetasi anggrek kedudukan tipe 1,dan tipe 2 lebih mendekati sumbu PC-I (+) -
dan sedikit pada sumbu PC-I1 (-), tipe 3 kedudukannya berada di antara sumbu PC-I (+)
i
dan PC-I1 (-), tipe 4 mendekati sumbu PC-I (-) dan PC-I1 (+), sedangkan tipe 5 lebih mendekati pada sumbu PC-I (-) dan sedikit pada PC-I1 (-). Berdasarkan hasil analisa ordinasi terhadap kondisi pohon dan perrnudaan seperti yang tertera dalam tabel 21. Untuk tingkat pohon, nilai eigenvalue sebesar 9,40 pada PC-I memberikan pengertian bahwa berdasarkan variabel-variabel pohon 72 % kondisi dari tipe-tipe hutan kerangas yang diarnati dapat diterangkan oleh PC-I. Sedangkan nilai
eigenvalue
sebesar 2,10 pada PC-I1 memberikan pengertian bahwa berdasarkan
variabel-variabel pohon 16 % kondisi dari tipe-tipe hutan kerangas yang diamati dapat diterangkan oleh PC-11. Jadi dengan menggabungkan antara garis PC-I dan PC-I1 seperti pada gambar hasil analisa ordinasi memberikan pengertian bahwa
secara
komulatif berdasarkan variabel-variabel pohon 88 % kondisi dari tipe-tipe hutan kerangas yang diamati dapat diterangkan oleh gabungan PC-I dan PC-11. Besarnya prosentasi kondisi tingkat vegetasi lainnya pada tipe-tipe hutan kerangas yang dapat -
-
dijelaskan melalui garis PC-I dan PC-I1 (Principal Component I & 11) untuk masingmasing tingkatan vegetasi adalah sebagai berikut : vegetasi tingkat tiang pancang
=
=
87%,
77%, semai = 87%, liana = 87,15%, anggrek= 90,51 %, rotan = 86,27 %,
semak = 90,19 %. Adapun nilai eigenvector dari masing-masing variabel yang digunakan dalam a
analisa ordinasi kondisi vegetasi dari tipe-tipe hutan mencerminkan korelasi (r) antara variabel terhadap terbentuknya sumbulgaris PC yang terbentuk. Semakin besar nilai positif maupun negatif yang terlihat pada eigenvector maka semakin besar peranan dari variabel dalam menentukan titik ordinat yang terbentuk pada garis PC.
Dalam deskripsi hasil analisa ordinasi variabel vcgctasi (gambar 6 - 9), kedekatan suatu titik terhadap sumbu tertentu (PC-I dan PC-11) merupakan suatu bentuk hubungan keeratan antara suatu tipe hutan terhadap sumbu tertentu. -
-
Sehingga dalam
interpretasinya suatu titiwordinat yang mendekati sumbu tertentu, maka titik tersebut terbentuknya lebih banyak dipengaruhi oleh sumbu dari PC yang terdekat. Dengan demikian berdasarkan kedudukan tipe-tipe hutan dalarn analisa ordinasi .* dengan variabel pohon, permudaan dan tumbuhan bawah, interpretasi dari tipe-tipe hutan kerangas yang diamati dicirikan dengan hal-ha1 berikut (tabel 22-23): Tabel 22. Karakteristik dari masing-masing tipe hutan berdasarkan kondisi pohon dan permudaan.
Keterangan : Niha=jumlah individu perhektar, R'=kekayaan jenis, H'=kelimpahan jenis, E5= kemerataan, JJS = jumlah jenis, Ibdsha = luas bidang dasar perhektar, v h a = volume perhektar, DMT = ukuran rata-rata diameter, TRT = tinggi rata-rata, TMax-TMin= pohon tertinggi-terendah
Sedangkan karakteristik dari masing-masing tipe hutan berdasarkan tumbuhan bawah tertera pada tabel 23.
Tabel 23.
Karakteristik dari masing-masing tipe hutan berdasarkan kondisi tumbuhan bawah
jumlah jenis
Pendekatan teknik ordinasi juga dapat dilakukan dengan menggabungkan semua tingkatan vegetasi yang ada ke dalam satu analisa. Selain itu teknik ordinasi juga dilakukan terhadap tipe lahan, dalam ha1 ini variabel yang dianalisa adalah sifat kimia tanah, struktur tanah, kondisi celah, tinggi dari permukaan laut (hasil analisa sifat tanah terlampir dalam lampiran 41).
Berikut adalah hasil kuantitatif dari analisa PCA
terhadap varibel vegetasi dan lahan yang tertera dalam tabel 24. Tabel 24.
PCA terhadap kedudukan masing-masing tipe hutan berdasarkan variabel kondisi vegetasi dan variabel kondisi lahan
lanjutan tabel 24
jenis, KTK = Kapasitas Tukar Kation, KKB = Kejenuhan basa.
Berikut ini ditampilkan hasil analisa ordinasi terhadap kondisi vegetasi secara keseluruhan dan kondisi lahan.
Gambar 10. Hasil analisa ordinasi terhadap kondisi vegetasi dan tanahllahan di lokasi penelitian. Keterangan : Tipe 1 (T-1) = PT WIKI : sekitar tebangan tahun 199311994 ~ 6 2 (T-2) e = PT WIKI : belum ada blok tebangan Tipe 3 (T-3) = PT Austral Byna : areal tebangan tahun 198711988 Tipe 4 (T-4) = Sekitar kawasan wisata alam Trinsing Tipe 5 (T-5) = Hutan lindung Liang Anggang, Banjarbaru Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada gambar 10 untuk kondisi vegetasi secara keseluruhan kedudukan tipe 1 lebih mengarah pada sumbu PC-I1 (+), tipe 2 lebih mengarah pada sumbu PC-I (+), tipe 3 berada antara sumbu PC-I (-) dan PC-I1 (+), tipe
4 berada antara PC-I (+) dan PC-I1 (-), sedangkan tipe lima lebih mengarah pada sumbu PC-I (-). Adapun hasil analisa kondisi tanah pada lokasi penelitian tipe 1 sedikit lebih mengarah pada PC-I (+) dibanding sumbu PC-I1 (-), tipe 3 berada di antara sumbu PC-I (+) dan PC-I1 (-), tipe 2 lebih mengarah pada PC-I1 (-) dibanding PC-I (-), tipe 4 lebih
mengarah pada PC-I1 (+) dibanding PC-I (-), dan tipe 5 mendekati PC-I (-). Berdasarkan hasil dalam tabel 24, besarnya karakterisitik vegetasi maupun tanah yang dapat diterangkan oleh PC-I dan PC-I1 adalah terlihat dari proporsi komulatif yang berasal dari nilai eigenvalue yang dihasilkan.
Kondisi
tipe hutan yang dapat
diterangkan oleh variabel vegetasi sebesar 88%, dan oleh variabel tanah sebesar 87%. Dengan memadukan antara nilai eigenvector yang dihasilkan masing-masing variabel dengan kedudukan suatu titik dalam gambaran hasil ordinasi yang diberikan, karakteristik dari tipe-tipe hutan berdasarkan variabel vegetasi atau lahan tertera dalam
Tabel 25.
Tiae hutan T;.... 1
Karakteristik dari masing-masing tipe hutan berdasarkan kondisi vegetasi dan berdasarkan kondisi tanah.
1 Variabel Veeetasi I Dicirikan dengan H' liana, R' anggrek, E5 rotan, Niha rotan, H' rotan, Niha pancang, JJS tiang, R'pohon,
Keterangan : Niha = jumlah individu perhektar, R'= kekayaan jenis, H' = kelimpahan jenis, E5 = ke merataan, JJS jumlah jenis, KTK = Kapasitas Tukar Kation.
=
Karakteristik vegetasi maupun tanah yang mencirikan suatu tipe hutan merupakan dibentuk oleh variabel-variabel
yang memberikan pengaruh
besar terhadap
terbentuknya sumbu pada PC-I dan PC-I1 . Berdasarkan keterangan yang ditunjukan oleh variabel vegetasi adalah terjadi variasi yang mencirikan suatu tipe hutan, di mana hutan kerangas tipe 1 dan 2 (mewakili komunitas tidak terganggu) relatif memiliki kemiripan yang besar dibanding dengan tipe lain yang relatif terganggu. Sedangkan berdasarkan hasil ordinasi terhadap variabel tanah terlihat bahwa antara tipe 1 dan tipe 3 memiliki kemiripan sifat tanah akan tetapi tidak halnya akan karakteristik vegetasi yang diberikan. Hal ini memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa gangguan yang dialami suatu tipe hutan relatif akan memberikan perubahan karakteristik vegetasi yang ditampilkan. Pendekatan ordinasi yang dilakukan baik pada tingkat pohon, permudaan, tumbuhan bawah dan variabel vegetasi secara keseluruhan dapat memberikan penjelasan yang baik terhadap karakteristik vegetasi yang ada pada masing-masing hutan kerangas. Hal ini dapat dilihat dari nilai eigenvalue yang diberikan (> 70%).
7. Komposisi Floristik dan Kondisi Tanah pada Hutan Kerangas Kondisi vegetasi dari suatu hutan kerangas dapat diterangkan melalui komposisi floristik (tabel lampiran 1-38). Dari tabel lampiran 1- 20 dapat dilihat bahwa jumlah jenis pohon dan perrnudaan bervariasi antara tipe-tipe yang diamati. Variasi juga terjadi pada jumlah jenis tumbuhan bawah (tabel lampiran 21-38). Kartawinata (1980), Riswan (1982, 1987) mengemukakan . bahwa komposisi floristik hutan kerangas sangatlah bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam hubungannya dengan kehadiran suatu jenis, Wood (1965) dalam Bruenig (1973)
mengemukakan bahwa spesies yang menjadi indikator utama suatu tipe hutan kerangas tertentu dapat tidak hadir pada tipe hutan kerangas yang lain. Bruenig (1972) melaporkan bahwa dari seluruh hutan kerangas yang terdapat di Serawak terdapat 844 jenis pohon, dan 220 jenis di antaranya terdapat juga di hutan Selanjutnya Kartawinata (1980) mengatakan bahwa terdapat lebih
Dipterocarpaceae.
dari 200 jenis pohon, semak, herba, dan tanaman parasit yang telah terekam dalam suatu tipe hutan kerangas di Kalimantan. Pada kondisi yang belum mengalami gangguan, Bruenig (1972) mengungkapkan bahwa tipe hutan kerangas dengan tanah podsolik putih kelabu dapat memiliki 69 - 75 spesies tingkat pohon. Sementara itu di Kalimantan Barat pada hutan kerangas tanah datar dengan jenis tanah humus podsol serta telah mengalami gangguan, Hadisaputro dan Said (1988) melaporkan terdapat 12 jenis pohon pada tingkat tiang dan 28 jenis untuk tingkat tiang. Kondisi tumbuhan bawah juga berperan dalam menentukan karakteristik suatu tipe , hutan kerangas. Nephenteceae,
Pada hutan kerangas tanah datar umumnya banyak mengandung akan tetapi sedikit mengandung liana dan rotanlpalma kecil bila
dibanding dengan hutan kerangas tanah cekung. Pada hutan-hutan kerangas yang rusak keberadaan liandperambat juga menurun. Selain karena kondisi hara, kelembaban, dan *
tinggi tempat liandperambat tergantung dengan pohon inangnya.
Lima akan
rusaklhilang jika pohon tempatnya merambat juga hilanglrusak, jadi
sangat
berhubungan dengan kondisi struktur tegakan hutan (Balfour and Bond, 1993; Kadavul and Parthasarathy, 1999). Selain itu pada hutan kerangas yang terbuka kehadiran tumbuhan paku seperti Gleichenia linearis adalah sangat umum.
Dari beberapa jenis tumbuhan bawah yang ditemukan, terdapat beberapa jenis tumbuhan bawah yang sering terdapat pada hutan kerangas seperti : Nephentes spp., Melastoma spp., Pandanus spp., Collogyne spp., Bulbophylum spp., Dendrobium spp., dan Rourea sp. Sutisna (1976) dalam Kartawinata (1976) di Gunung Pasir Semboja melaporkan bahwa jenis anggrek yang hadir dalam hutan kerangas di antaranya adalah. marga Eria, Coelogyne, Renanthera, Dendrobium, Bulbophyllum, Liparis dan Sarcochyllus. Bila dihubungkan dengan kondisi tanah antara tipe 1, tipe 2, tipe 3 yang berupa tanah podsolik putih kelabu dengan tipe 4, tipe 5 yang berupa tanah podsol/spodosol, maka dapat dikatakan bahwa tipe 1,2,3 terletak dalam kondisi yang lebih baik. Dalam kondisi yang baik adakalanya vegetasi hutan kerangas menyerupai hutan hujan Dipterocarpacea dengan kanopinya tertutup, jenis-.jenis liana, palma atau rotan banyak dijumpai di bawah tajuk pohon (Whitmore, 1986). Bruenig (1973) menemukan bahwa dalam ha1 jurnlah jenis, kerangas yang berada -
-
pada tipe tanah podsolik putih kelabu memiliki jumlah jenis yang lebih besar dibandingkan yang berkembang pada tanah podsol atau humus podsol. Tinjauan kondisi vegetasi yang relatif penting dalam upaya kita agar dapat memberikan perhatian lebih terhadap kondisi hutan kerangas adalah aspek etnobotany yang terkandung di dalamnya. Terdapat beberapa vegetasi pohon dan tumbuhan bawah yang bermanfaat langsung
untuk kepentingan manusia, di antaranya : Baeckea
fiutescens, Cratoxylon arborescens, Eugenia spp., Euricoma latifolia, Gonystilus velutinus, Morinda speciosa untuk jenis pohon, dan jenis Arcangelisia jlava, Ficus
deltoidea, Luvunga eleuternndra, Stenochlsna palustris, Tetrasera indica, Vitis thyrszjlora untuk jenis tumbuhan bawah. Beralih ke kondisi tanah yang terdapat dalam hutan kerangas (tabel lampiran 41). --
Berdasarkan hasil analisa tanah yang dilakukan, kondisi tanah yang terdapat pada hutan kerangas adalah kurang subur dan rapuh (rentan mengalami penurunan sifat tanah). Karakteristik yang umum ditemukan adalah kandungan pasir yang tinggi, kandungan silikat (SO2) tinggi, tanah sangat asam dengan pH yang rendah ( berkisar 3,4 - 4,8 untuk pH H20, dan 3,l - 4,4 untuk pH KCl), kandungan unsur hara dan KTK rendah. Kondisi tanah ini relatif sama dengan apa yang didapatkan Djuwansyah (2000) pada tipe hutan kerangas di desa Lahei Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Dengan begitu tingginya kadar Si02 dari segi kandungan mineral menunjukan bahwa begitu tanah banyak mengandung kuarsa. Hal ini menandakan tingginya porositas yang ada pada tanah ini, dan berdampak pada mekanisme pencucian (leaching) yang begitu tinggi. \
Sementara itu C/N yang ada relatif bervariasi dengan urutan tingkatan dari tertinggi ke rendah rata-rata C/N pada masing-masing tipe yang di amati adalah : tipe 4 (33), tipe
5 (19,5), tipe 1 (14), tipe 2 (12,5), dan tipe 3 (12). Variasi yang terjadi adalah lebih diakibatkan karena perbandingan kandungan bahan organik dan liat antara jenis tanah podsol/humus podsol dengan podsolik putih kelabu. Dalam kaitannya dengan keterbatasan kondisi tanah, suatu mekanisme tersendiri terbentuk pada hutan kerangas dengan ditemukannya insectivorous pitcher plants seperti Nephentes spp. Jumlah dan jenis Nepenthes spp. yang terdapat pada tipe hutan kerangas yang satu dengan lainnya amat bervariasi (Marlis and Merbach, 2002).
Tumbuhan karnivora ini merupakan jawaban dari rendahnya unsur hara yang terkandung dalam tanah (Loucks, 2001; Fernando, 1999).
Dari hasil observasi juga
ditemukan beberapa spesies yang berimbiose dengan golongan serangga yang dapat dilihat terbentuknya sarang semut atau sarang anai-anai (Dicuspiditermes nemorosus). Semua itu merupakan suatu bentuk mekanisme proses yang dilakukan spesies tertentu untuk terus bertahan dan memperbaiki masukan unsur hara yang didapat.
8. Hubungan Kondisi Vegetasi dan Faktor-faktor Lingkungan di Hutan Kerangas Hubungan kondisi vegetasi dan faktor lingkungan tercermin dalam nilai
eigenvector yang dihasilkan dalam analisa ordinasi kedudukan tipe-tipe hutan kerangas yang menggunakan variabel vegetasi dan lahan.
Faktor-faktor lingkungan di sini
dibatasi pada variabel sifat kimia tanah, struktur tanah, kemiringan iahan, prosentase celah, tinggi dari permukaan laut. Berdasarkan hasil yang didapat menyangkut hubungan antara kondisi tumbuhan dan faktor lingkungan ,secara umum terdapat hubungan antara faktor-faktor lingkungan. (sifat fisik dan kimia tanah, kemiringan lahan, prosentase celah dalarn tegakan, tinggi dari permukaan laut) dengan kondisi tumbuhan yang terdapat dalam hutan kerangas. Akan tetapi faktor lingkungan yang paling dominan berhubungan dengan
kondisi
tumbuhan dalam suatu komunitas kerangas adalah kondisi tanah terutama sifat kimia
Adapun sifat kimia yang lebih banyak berkorelasi dengan terbentuknya karakteristik vegetasi seperti yang tertera dalam tabel 24 sebelumnya, meliputi : C-organik, C/N, KTK, Kejenuhan Basa, AI~', pH, dan kandungan SO2.
Bentuk hutan kerangas berbeda dengan hutan Dipterocarpaceae walaupun mengalami kondisi iklim yang sarna (Whitmore, 1986). Selanjutnya Kartawinata (1976) menyatakan bahwa perbedaan yang terjadi antara kondisi hutan kerangas di
\.
tanah datar dan di pegunungan yang mengalami kondisi iklim serupa, menandakan ',
bahwa faktor iklim tidak berperanan, tetapi tampaknya faktor tanah seperti kemasamnn yang berpengaruh.
. ..
Kandungan SiO2 yang begitu dominan, kemasaman yang tinggi, kandungan hara rendah, serta proses leaching yang begitu intensif merupakan karakter utama tanah yang terdapat pada hutan kerangas (Djuwansyah, 2000). Variasi yang terjadi dalam ha1 kondisi komunitas tumbuhan yang terbentuk pada beberapa tipe hutan kerangas diduga berhubungan dengan kandungan bahan organik dan liat yang ada (Bruenig, 1995). Dalam suatu tipe hutan kerangas, nilai C/N yang tinggi menandakan bahwa sebagian besar bahan organik pada tanah masih belum hancur (Kartawinata, 1976). 8
Bila dihubungkan dengan ketersediaan hara maka ha1 ini jelas kurang menguntungkan, bagi penyerapan unsur hara tumbuhan yang ada di atasnya. Prosentase kejenuhan basa merupakan gambaran dari kapasitas tukar kation yang ditempati oleh ion basa (Ca, Mg, K, Na). Prosentase kejenuhan basa yang relatif rendah pada tanah kerangas menunjukan bahwa besarnya kandungan kation ~ 1 dan ~ If, ' oleh karenanya pH rendah. Dari berbagai hasil penelitian terungkap bahwa tingginya A1 -
dapat mengakibat keracunan tanaman dan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan akar primer, menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu a k a , serta mengakibatkan daya tembus akar ke tanah yang lebih dalam. Mekanisme ini tentu
92
saja akan berpengaruh terhadap terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan vegetasi secara keseluruhan. Dalam rangka menggali informasi mengenai kondisi tumbuhan dan faktor-faktor lingkungan yang berlangsung dalam suatu komunitas tumbuhan (dalam ha1 ini kerangas), diperlukan suatu pendekatan yang menggunakan indikator penting dalam proses pengkajian tersebut. Pendekatan itu dapat dilakukan melalui keadaan sebaran jenis pohon dalam suatu kondisi vegetasi dan lahan tertentu. Keberadaan spesies-spesies pohon dalam komunitas hutan kerangas merupakan suatu ha1 penting yang dapat memberikan informasi mengenai karakteristik yang .-
dimiliki suatu komunitas
hutan kerangas.
Analisa ordinasi terhadap keberadaan
beberapa spesies pohon berdasarkan variabel-variabel kondisi lahan dan vegetasi, hasil tersebut berisikan penjelasan tentang bagaimana kedudukan beberapa spesies pohon tertentu di dalam komunitas hutan kerangas ditentukan pula dalam penelitian ini (gambar 12). Variabel yang dianalisa meliputi sifat kimia tanah, struktur tanah, kondisi celah, tinggi dari permukaan laut, serta karakteristik dari kondisi pohon dan keberadaan tumbuhan bawah. Berikut ini ditampilkan hasil kuantitatif dari analisa PCA terhadap sebarai beberapa jenis pohon di hutan kerangas yang tertera dalam tabel 26.
Tabel 26. PCA terhadap sebaran beberapa jenis pohon di hutan kerangas Sebaran beberapa jenis pohon Principal Component
PC-I
PC-I1
Principal Component
PC-I
PC-I1
Eigen value
10,58
7,34
Proporsi
0,39
0,27
Variabel
Eigenvector
1'C - I
PC-11
PC-I
PC-11
Jumlah suatu individu dalam plot
-0,12
0,19
KTK Mg
0,23
0,24
Prosentase celah
-0,06
0,18
KTK K
0,Ol
0.30
Komulatif Variabel
0.66 Eigenvector
Berdasarkan hasil yang ditampilkan dalam tabel 26, variabel-variabel yang ditampilkan merupakan variabel terpilih yang pemilihannya berdasarkan nilai dari eigenvector yang diberikan
Gambar 1 1 berikut merupakan hasil analisa ordinasi terhadap kedudukan beberapa jenis pohon yang terdapat pada hutan kerangas:
Gambar 1 1. Kedudukan beberapa jenis pohon di hutan kerangas berdasarkan hasil analisa ordinasi variabel vegetasi dan lahadtanah. Keterangan : J-l = Combrelocorpus rotundatus J-2 = Kompossio mallocensis J-3 = CoNophyNumpulcherimum J-4 = Poloquiwngulto J-5 = Eugenia inophyllo J-6 = Cratarylon arborescens J-7 = Shore0 pochVpyIIo J-8 = Trtstanioobovato J-9 = Trtstanionioingayi J- I 0- Votico ressak J-1 I= J-2, J-3, J-5. J-10, Hopea dyeri, h@r&tico maxima
J-12= J-2, J-I0 J-13= J-6.1-7 J-14- J-5, J-6, J-9 J-15= J-2, J-3, J-10
J- 16= J-5, J- 10, Myrstico maximo J-17- J-3, J-5, Myrisrico maxima J-18= J-6, J-7, J-8 J-19= J-4, J-5, Myristica maximo J-20- J-7, J-8, J-10 J-2 1= J-3, J- 10, Myrislica waxittiu. Dipterocarpus confertus
J-22= J-2.1-5, J-10, Hopea dyeri J-23= J- I, J-2, J-3, J- 10, tiopea dyeri
J-24.. J-3, J-5, J-10, W s t i c o marima Dipterocatpus confirm
J-25= J-1.1-5, J-7. J-8, Dacrdium kccarii
J-26- J-I, J-5, J-10, Hopeo dyeri
J-27= J-2, J-3, J-5. Hopeo dyeri, Myristico maximo
J-28= J-2, J-3,J-5,J-6, Hopeo dyeri J-2% J-2, J-3, J-9, J- 10, Hopeo dyeri
J-30= J-I. J-2, J-3, J-5, J-6,)-10, Hopeo &ri
.Mjvistico maxirnu
1-3 I = J- I, J-2,J-9, J- 10. tlopea dyeri
Myristico maximo, lnlsio bijugu Dipterouvpus corlferm J-323 J-2, J-9, J-10. Hopeo &ri. Myr&tico maxima, lnkio buuga Dipterocaipusrohmbtus, Mclanorrhoe wollichii, Nepheliwn mufobile
hfyristico maximo
Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada gambar 11 serta dengan memadukannya dengan hasil kuantitatif yang diberikan, sebaran jenis pohon itu dapat dibagi di sini menjadi 8 kelompok. Di mana tiap kelompok mempunyai karakteristik kondisi habitat masing-masing yang menerangkan keberadaaannya. Karaktekteristik kondisi habitat yang menerangkan keberadaan sebaran beberapa jenis pohon tercantum dalam tabel 27.
Tabel 27. Karakteristik tempat tumbuh dari sebaran beberapa jenis pohon di hutan kerangas. Karakteristik kondisi tempat tumbuh dari sebaran beberapa jenis pohon jenis pohon Kelompok 1
Dicirikan dengan penguasaan suatu 'enis tertentu dalam plot, S i q , Celah, CM = tinggi; sementara itu altitude, rata-rata kemiringan. kendungan A&, d m iumlah ienis = rendah
Kelompok 2
Dicirikan dengan S i a , Celah, CM = tinggi; Altitude, rata-rata kemiringan, AI", dan jumlah jenis = rendah
Kelompok 3
Dicirikan dengan penguasaan jenis tertentu dalam plot, Si02, Celah, CM berada pada kondisi rata-rata
Kelompok 4
Dicirikan dengan penguasaan jenis tertentu dalam plot, SiOz = tinggi
Kelompok 5
Dicirikan dengan C-organik, CM, P-tersedia, KTK, H+, KTK Ca, KTK Mg = tinggi ,KKB = rendah
Kelompok 6
Dicirikan dengan C-organik, Cm, P-tersedia, KTK, H+, KTK Ca, KTK Mg berada pada kondisi rata-rata
Kelompok 7
Dicirikan dengan A13+, altitude, kandungan liat = tinggi
Kelompok 8
Dicirikan dengan KKB = tinggi; KTK,KTK K, KTK Mg,KTK Ca, H* = rendah
.'
Bentuk informasi yang dihasilkan melalui analisa PCA menyangkut sebaran pohon pada beberapa tipe hutan kerangas adalah seperti tergambar pada gambar 11. Kedudukan dari beberapa jenis pohon yang dapat diterangkan melalui analisa ordinasi
PC-I dan PC-I1 pada gambar 12 adalah sebesar 66 %. Pengelompokan yang terjadi dari sebaran jenis-jenis pohon seperti pada gambar I 1 menunjukan bahwa terdapatnya kebutuhan akan lingkungan biotik maupun abiotik ' yang berbeda dari tiap jenis yang ada. Selain itu informasi lain yang di dapat dari gambar 11 serta masih terkait dengan hubungan kondisi vegetasi dan faktor lingkungan adalah terlihat dari bagaimana kondisi suatu habitat (terganggu atau tidak terganggu) dapat mempengarfii sebaran suatu jenis pohon.
Berdasarkan
gambaran tersebut
dapat
dilihat
begitu
dominannya
Combretocarpus rotundatus di lahan dengan kerusakan relatif tinggi yang tercermin dari tingginya prosentase celah yang diberikan, sehingga membentuk tegakan yang seragam. Selain itu Combretocarpus rotundatus inerupakan suatu jenis yang hampir dapat ditemukan di setiap kondisi, menyusul kemudian jenis Cratoxylon arborescens,
dan Eugenia inophylla. Informasi lain yang didapatkan adalah sebaran dari beberapa P
jenis pohon tertentu dapat memiliki karakteristik keruangan tersendiri dan dapat pula memiliki karakteristik keruangan mengelompok secara bersamaan. Dari kedua pendekatan yang telah disebutkan, maka dalam suatu komunitas hutan kerangas terdapat faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi terbentuknya kondisi tumbuhan yang ada. Untuk analisa ordinasi menggunakan variabel vegetasi dan lahan kecenderungan yang terjadi adalah kondisi tumbuhan lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia tertentu dari tanah, sedangkan prosentase celah yang ada lebih terlihat hubungannya terhadap sebagian dari kondisi semak, tingkat tiang, dan pohon. Sedangkan kemiringan dan altitude hubungannya hanya terlihat pada sebagian karakteristik tiang dan pohon. Untuk pendekatan analisa ordinasi menggunakan variabel sebaran jen is pohon berdasarkan karakteristik tempat tumbuh, sebaran jenis pohon yang ada dipengaruhi oleh karakter dari pohon itu sendiri, altitude, kandungan liat, N-organik, C-organik, C/N, K-tersedia, P-tersedia, KTK, KTK K, KTK Ca, KTK Mg, A13',
H ' , Kejenuhan
Basa, SiOz, dan prosentase celah sebagai cerminan dari keterbukaan hutan. Dengan demikian berdasarkan kedua pendekatan analisa ordinasi di atas, variabel lingkungan yang senantiasa hadir berhubungan dengan kondisi vegetasi adalah sifat kimia tanah yakni : C-organik, C/N, Kejenuhan Basa, All', Si02, dan kandungan unsur hara seperti terdeteksi melalui KTK, KTK K, Ca, dan Mg, serta prosentase celah dan tinggi dari permukaan laut.