HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil A. Percobaan 1
Berdasarkan hasil pengamatan pada uji kisaran dosis estradiol-17P pada induk udang putih dipemleh hasil seperti pada Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa kematian 100 % terjadi pada pemberian dosis 1,00 pg/g dan 0 3 0 pg/g bobot tubuh.
Kematian pada perlakuan 1,00 pg!g terjadi 2-6 jam setelah
pemberian, sedangkan pada perlakuan 0,50 pg/g kematian terjadi antara 6-1 2 jam setelah pemben'an. Tanda klinis kematian adalah udang berenang terus dm berputar berkeliling di dalam bak kemudian ke dasar setelah itu mati. Tanda klinis ini terjadi sejak awal penyuntikan hormon. Kematian pada perlakuan 0,10 @g Induk yang hidup mengalami
dan 0,25 Clg/g terjadi pada saat molting.
perkembangan gonad, tetapi hanya 1 ekor dari masing-masing perlakuan 0,10 pg/g dan 0,25 pglg yang mampu berkembang hingga TKG 111. Tabel 1 Tingkat kematian (mortalitas) dan perkembangan gonad induk udang setelah 5 hari penyuntikan Jumlah Tingkat Perkembangan Gonad Perlakuan Induk (ekor) Mortalitas (%) I I1 I11 IV olio ~ d g 7 14,3 3 2 1 025 ~ d g
7
42,9
2
1
1
0950 ~ g / g
7
100
-
-
1 900
7
100
-
-
-
Konsentrasi hormon
Pemberian hormon estradiol-17P melalui penyuntikan dapat meningkatkan kandungan estradiol-17P dalam tubuh induk udang putih (L. Vannamei). Hal ini terlihat pada peningkatan konsentrasi estradiol-17p dalam hemolim (Gambar 3). Konsentrasi hormon pada induk yang diberi perlakuan umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok induk tanpa perlakuan pemberian homon (kontrol) (P4,05). Konsentrasi hormon estradiol-17J3 rata-rata dalam hemolim induk udang pada awal pengamatan adalah
*
164,2 pg/ml.
Pada hari ke-3
konsentrasi hormon estradiol-17P pada perlakuan 0,05, 0,10 dan 0,25 pg/g bobot tubuh meningkat menjadi 608,7 17,718,442 dan 806,117 pg/ml. Setelah hari ke-3 konsentrasi estradiol-17P dalam hemolim cenderung inenurun hingga akhir pengamatan. Pada akhir pengamatan, konsentasi estradiol-17P dalam hemolim relatif sama. Konsentrasi hormon estradiol-17P dalam hemolim pada kontrol berfluktuasi, cenderung naik tetapi tidak berbeda (P>0,05) dengan kisaran konsentrasi 252,548-438,955 pg/ml.
1
hari ke
Gambar 3 Konsentrasi hormon estradiol-17P dalam hemolim induk udang L. vannamei dengan beberapa perlakuan dosis penyuntikan hormon estradiol-17P.
Perkembangan Gonad Pada studi ini, induk yang telah diablasi dan diberi hormon estradiol-17P maupun yang tidak diberi hormon mengalami perkembangan gonad. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan indeks maturasi selama pemeliharaan (Gambar 4).
6
7
8
9
10
11
12
Hari ke-
Gambar 4 Indeks maturasi pada berbagai perlakuan dosis hormon estradiol-17(3
Kematangan gonad induk mulai terjadi pada hari ke-7 dan 8 serta mencapai maksimum pada hari ke-1 1 dan 12. Persentase makslmum induk yang mencapai TKG 111 dan IV, yang ditunjukkan dengan nilai indeks maturasi pada kontrol (dosis 0,00 pg/g bobot tubuh) adalah 37,5%, sedangkan pada penyuntikan estradiol-17p dosis 0,05 pg/g, 0,10 pg/g d a 0,25 ~ ~ pglg adalah 44,44%, 75,00% dan 66,67%. Dibandingkan dengan kontrol, nilai indeks maturasi pada perlakuan dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g relatif lebih tinggi (P
Hari ke-11 pada kontrol dan perlakuan dosis 0,05 pg/g terjadi
percepatan perkembangan gonad sehingga komposisi TKG antar perlakuan relatif sama. Pada hari ke-12, meskipun pada perlakuan dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g menunjukkan pergeseran komposisi ke TKG I V yang lebih besar tetapi tidak siknifikan. Pada grafik kecepatan perkembangan gonad (Gambar 6), penyuntikan dosis 0,10 pglg dan 0,25 pg/g bobot tubuh memberikan respon waktu yang diperlukan untuk mencapai TKG I dan I1 lebih cepat dibandingkan dengan kontrol (P<0,05), sedangkan pada dosis 0,05 pg/g tidak berbeda nyata (P>0,05). Untuk mencapai TKG I pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g diperlukan waktu 4 dan 5 hari, sedangkan pada kontrol dan dosis 0,05 pg/g diperlukan waktu 8 hari. Untuk mencapai TKG I1 diperlukan waktu 6-7 hari pada dosis 0,10 pglg dan 0,25 pg/g, sedangkan pada kontrol dan dosis 0,05 pg/g adalah 10-11 hari. Pada semua perlakuan, tidak terdapat perbedaan waktu yang nyata untuk mencapai TKG 111 dan IV ( P>0,05). Pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g, TKG 111 dicapai dalam waktu 9 hari sedangkan pada kontrol dan dosis 0,05 pglg diperlukan waktu 11 hari. Perbedaan waktu ini semakin mengecil saat mencapai TKG IV. Waktu yang
perlukan untuk mencapai TKG IV pada kontrol dan dosis 0,05 pg/g adalah 12 hari sedangkan pada dosis 0,10 pglg dan 0,25 pg/g diperlukan waktu 1 1,5 hari.
Hari Ke-6
ow;,
om;,
Hari ke-7
0
0im
om1&
om'Mg
oldm
on&
C-PmWhQ
Hari ke-8
Hari ke-9
Hari ke- 1 1
Hari ke- 10
odo~,
oorl~g
01blp.g
oam
Dcsa-=
Hari ke- 12 Gambar 5 Diagram keragainan perkernbangan gonad L. vannamei hari ke-6 sld 12 pada perlakuan dosis estradiol-17$, 0,00 pg/g (kontrol) , 0 , 0 5 pg/g, 0,10 pg/g dan 0,25 pglg bobot tubuh.
I
I1
111
IV
TKG
Gambar 6 Kecepatan perkembangan gonad pada penyuntikan dosis estradiol178,0,00 p d g (kontrol) ,0,05 pdg, 0,10 p d g dan 025 p d g bobot tubuh. Analisis histologi gonad menunjukkan bahwa pada TKG I, di dalam gonad terdapat b h l sel telur (oogonia) dan sel telur tahap pre-vitelogenesis dengau diameter berkisar 19,2 - 57,6 pm. Pada tahap pravitelogenesis, sel telur (oosit) telah tampak nukleus dan beberapa nukleolus dalam nukleoplasma. Nukleolus umumnya berada di bagian tepi nukleus. Keberadaan nukleolus tampak seinakm jelas pada perbesaran lOOOx (Gambar. 8.A). Pada TKG I1 (Gambar 7.B), selain terdapat oosit pravitelogenesis juga terdapat oosit tahap awal vitelogenesis. Pada tahap ini ukuran sitoplasma jauh lebih besar dibandingkan dengan tahap sebelurnnya. Diameter oosit berkisar
antara 76,6
-
%,0 pm, tetapi fi-ekuensi terbanyak pada diameter 86,8 pm.
Sitoplasma mulai terisi ole11 butiran-butiran kuning telw sehingga tampak terjadi perubahan m
a oosit. Pemberian hornon estradiol-17$ dengan dosis 0,10 pglg
dan 0,25 pg/g bobot tubuh memberikan respon peningkatan proporsi jumlah tipe oosit awal vitelogenesis yang lebih besar dibanding kontrol. Proporsi jumlah tipe oosit awal vitelogenesis pada kontrol adalah 33%, sedangkan pada dosis 0,05 pg/g, 0,10 pg/g dm 0,25 pg/g adalah 39O/6,53% dan 48%. Pada TKG I11 terdapat tiga tipe telw yaitu pravitelogenesis, awal vitelogenesis dan akhir vitelogenesis. Pada fase akhir vitelogenesis, nukleus masih tampak tetapi nukleolus sudah tidak tampak lagi. Selain itu teriihat butiranbutiran besar protein yang merupakan gabungan dari butiran-butiran protein kecil yang menyebar di dalam sitoplasma. Diameter oosit fase ini berkisar antara 105,6-
153,O pm. Perbedaan respon perlakuan terjadi pada proporsi jumlah oosit tipe akhir vitelogenesis. Proporsi oosit tipe akhir vitelogenesis pada kontrol dan
perlakuan estradiol-17$ dosis 0,05 pg/g adalah 23%, sedangkan pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pglg masing-masing adalah 37% dm 35%.
Gambar 7 Perkembangan gonad udang putih (L. vannamei). Histologi dilakukan dengan perwarnaan hematoxilin-eosin. A. TKG I, B. TKG 11, C. TKG 111dan D. TKG IV. pre (pravitelogenesis),oog (oogonia), Av (awal vitelogenesis), Ahv (akhir vitelogenesis), n (nukleus), nu (nukleolus) SF (sel folikel), CRs (cortical rods). Tipe oosit yang terdapat pada TKG IV yaitu pravitelogenesis, akhir vitelogenesis dan oosit matang dan hanya sebagian kecil yang masih dalam tahap awal vitelogenesis. Pada oosit yang matang, butiran-butiran besar protein di dalam sitoplasma semakin besar dan banyak. Oosit matang dicirikan dengan munculnya protein cortical rods (CRs) (Gambar 8.D). Selain itu inti mulai melebur dan beberapa sudah tidak tampak lagi. Diameter oosit berkisar antara 201,6 - 2 11,2 pm. Pemberian estradiol-17$ berpengaruh terhadap peningkatan jumlah oosit matang. Proporsi oosit matang pada pemberian estradiol-17$ dosis 0,05 pg/g,
dosis 0,10 ~ g / gdm 0,25 pg/g masing-masing adalah 22%, 30% dan 26%, sedangkan pada kontrol sebesar 20%.
Gambar 8 Perkembangan sel telur (oosit) pada L. vannamei. A. Pravitelogenesis, B. Awal vitelogenesis, C. Akhir vitelogenesis, dan D. Matang, n (nukleus), nu (nukleolus), st (sitoplasma), CRs (cortical rods), prot @rot. kuning telur). Tabel 2 Sebaran oosit pada berbagai perlakuan dosis hormon estradiol-17P (n=3) Tipe Oosit Pravitelogenesis(%)
Awal vitelogenesis (%) Akhir vitelogemsis (%) Matang (%)
kontrol
I
n
111
100
67
34
33"
44 23'
0,05 &g I 11 III 23 100 61 31 8 3Y 46 49 23"
45
0,10 &g 0,25 &g I n III IV I rr m 100 47 21 19 100 52 25 53b 42 5 4xb 40 37b 46 3jh
20"
22'
3ob
IV
IV 24 9
rv 23 8 42 26b
Ket. Perbedam h m f menunjukkan berbeda nyata (W0,05)
Diameter oosit Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-Smirmov, diameter oosit pada semua perlakuan menyebar normal (P < 0,05) (Gambar 9). Kisaran diameter oosit setiap tahap perkembangan gonad pada semua perlakuan relatif sama. Hal ini ditunjukkan dengan rentang kurva yang tidak jauh berbeda. Adanya perbedaan pengaruh perlakuan terhadap ukuran oosit terlihat cukup nyata pada TKG I dan 11.
Gambar 9 Sebaran fiekuensi diameter oosit pada TKG dan waktu (t) tertentu.
Hal ini ditunjukkan dengan puncak kurva sebaran normal diameter oosit yang lebih bergeser ke kanan. Selain itu frekuensi diameter oosit >60 pm pada perlakuan 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g lebih tinggi dibanding kontrol dan perlakuan dosis 0,05 pg/g bobot tubuh. Rata-rata diameter oosit TKG I pada kontrol, perlakuan 0,05 pglg, 0,10 pg/g dan 0.25 pglg masing-masing adalah 39.45 pm, 38,88 pm, 45,50 pm dan 46.70 pm. Perlakuan dosis 0.10 pglg dan 0 2 5 pglg memberikan peningkatan diameter telur yang lebih besar (P < 0,Ol). Hal yang sama juga terjadi saat TKG 11, rata-rata diameter cwsit pada perlakuan dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g relatif lebih besar (69,64 pm dan 65,86 pm)dibanding denpn kontrol dan perlakuan dosis 0,05 p@g bobot tubull (57.3 1 pm dan 56.64 pm). Pada TKG 111, perbedaan rata-rata diameter oosit menurun tetapi masih cukup siknifikan (P=0,058). Pada TKG IV, rata-rata diameter oosit di semua perlakuan tidak berbeda nyata, tetapi frekuensi diameter oosit >200 pm pada perlakuan dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g lebih tinggi dibanding kontrol dan perlakuan dosis 0,05 clglg. B. Percobaan 2
Penyuntikan estradiol-17j3 meningkatkan kandungan estradiol-17P dalam hemolim induk udang (Gambar 10). Sesaat sebelum penyuntikan, kandungan estradiol-17f3 rata-rata dalain hemoliin adalah 472,4 13 pg/ml. Tiga hari setelah penyuntikan, kandungan estradiol-17P dalam hemolim pada perlakuan satu dan dua meningkat menjadi 699,181 pdml dan 707,299 pg/ml, sedangkan kontrol hanya 509,694 pglml. Hari ke-6 konsentrasi estradiol-17$ menurun. Pada kontrol menurun menjadi 328,575 pg/ml dan pada perlakuan satu dan dua menurun menjadi 618,574 pglml dan 567,599 pg/ml. Penyuntikan ulang pada perlakuan dua dengan dosis yang sama pada awal perlakuan rnenyebabkan konsentrasi estradiol-17P meningkat menjadi 709,724 pglml. Konsentrasi hormon estradiol178 pada perlakuan satu relatif stabil dan menurun pada hari ke-12. Pada kontrol, konsentrasi estradiol-17j3 naik menjadi 389,323 pglml dan relatif stabil hingga hari ke- 12. Penyuntikan tunggal estradiol-17$ dengan dosis 0,10 pg/g bobot tubuh memberikan respon terhadap peningkatan GSI (P<0,05). Penyuntikan ganda
dengan dosis yang sama memberikan respon peningkatan GSI yang lebih tinggi dibanding penyuntikan tunggal dan kontrol (P<0,05). f3aik penyuntikan tunggal maupun ganda tidak memberikan perbedaan respon yang nyata terhadap peningkatan HSI (Tabel 3). Pemberian estradiol-17P juga tidak meinberikan respon berbeda pada perhunbuhan spesifik (P>0,05). Tingkat kelangsungan hidup pada semua perlakuan dan kontrol adalah 100%.
--c- Suntik 2x
0
3
6
9
12
Hari ke-
Gambar 10 Konsentrasi estradiol-17P dalam hemolim induk L. vannamei dengan perlakuan penyuntikan horrnon estradiol- 178 dosis 0,10 pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda. Tabel 3 Nilai gonado somatic index (GSI) dan hepato somatic index (HSI) L. vannamei pada perlakuan pemberian estradiol-170 dosis 0,10 pg/g dengan penyuntikan tunggal dan ganda Periakuan
GSI (%) A d Akhir
HSI (%) Awai Akhir
Bobot (g) awal akhir
0 oosit
(pm)
A GSI
AHSI
SGR
Kontrol 0,809 0.994 1,780 2,032 38,6 39,O 14.56" 0,185" 0,252 0,090a I x Suntik 0,795 1,110 1,751 2,071 39,2 39,6 16.02a 0,316~ 0,3201 0,092a 2 x Suntik 0,803 1,256 1,780 2,155 38,l 38,6 23.97b 0,453' 0,37Sa 0,09Sa Ket. Huruf yang berbeda pada kolom yang sarna menunjukkan berbeda nyaia (P<0,05), SR pada semua perlakuan dan kontrol addab 100%.
Penyuntikan ganda estradiol-17$ terhadap induk L. vannumei meningkatkan rata-rata diameter oosit dibandingkan dengan kontrol (P<0,05), tetapi pada penyuntikan tunggal tidak berbeda (P>0,05).
Rata-rata diameter oosit pada
kontrol, penyuntikan tunggal d m ganda masing-masing adalah 14,56, 16,02 dm Berdasarkan pengamatan histologi, pada awal perlakuan umumnya gonad belurn berkembang (Gambar ll.a).
Gonad berisi lapisan germinal yang
merupakan bakal sel oogonia. Pada akhu perlakuan (12 h), baik kontrol maupun perlakuan mengalami perkembangan gonad. Pada kontrol, umumnya di
dalam ovari masih banyak terdapat oogonia yang belum berkembang (Gambar 11.a), sedangkan pada induk yang diberi penyuntikan estradiol-17$ (tunggal dan ganda), oogonia pada bagian tengah ovari telah berkembang menjadi oosit. Pada umumnya oosit masih berada pada tahap pravitelogenesis. Dibandingkan dengan penyuntikan tunggal, penyuntikan ganda memberikan respon perkembangan gonad yang lebih besar. Pada perlakuan penyuntikan ganda, beberapa oosit telah berkembang ke tahap awal vitelogenesis.
Gambar 11 Kondisi umum gonad pada induk L. vannamer dengan perlakuan pemberian hormon estradiol-I 7P dosis 0,10 pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda. a. Kondisi gonad sebelum perlakuan (perbesaran 1OOx dan 400x), b. Kondisi setelah perlakuan pada kontrol(200x), c. Kondisi pada perlakuan penyuntikan tunggal(200x), dan d. Kondisi pada perlakuan penyuntikan ganda. (200~).Oog (oogonia), pre (pravitelogenesis), Av ( awal vitelogenesis) Berdasarkan kurva sebaran fiekuensi diameter oosit (Gambar 12), tampak pada perlakuan penyuntikan tunggal tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kisaran diameter oosit relatif sama yaitu antara 4,8-28,s pm, walaupun gekuensi diameter oosit pada selang 16-24 pm lebih besar tetapi tidak siknifikan. Kisaran diameter oosit pada penyuntikan ganda adalah 9,6-48,O pin. Tatnpak pada gambar, kurva normal diameter oosit pada penyuntikan ganda lebih lebar dengan puncak lebih ke kanan. Hal ini menunjukkan bahwa gonad mempunyai kisaran ukuran yang lebih lebar dengan ukuran rata-rata diameter yang lebih besar.
Kisaran dan rata-rata diameter oosit perlakuan penyuntikan ganda relatif lebih besar dibanding kontrol dan perlakuan penyuntikan tunggal (P<0,05). 1
r--
i
i
1 %
38
: 11. 1
I3.V
IOLI
IW
I. 14 10 6
2 0
8
16
24
3
40
48
- d l Cl t r a r )
Gambar 12 Sebaran fiekuensi diameter oosit induk L. vannamei tanpa ablasi dengan perlakuan penyuntikan hormon estradiol- 17$ do& 0,10 pg/g bobot tubuh melalui penyuntikan tunggal dan ganda. Karakteristik protein vitelogenin (Vg) dan protein kuning telur (Vt) Fraksinasi protein hemolim, protein kuning telur dan hepatopankreas dilakukan dengan ultrasentrifuse. Berdasarkan analisis N-PAGE, diperoleh karakteristik protein seperti pada Gambar 13. Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa pada hepatopankreas dan hemolim dideteksi tipe protein yang sama, masing-masing terdiri dari 2 unit. Pada ovari terdeteksi sebuah unit protein yang diduga merupakan protein vitelogenin.
Perkiraan bobot protein tidak dapat
ditentukan karena bobot marker protein jauh lebih rendah. Pada hemolim jantan tidak terdeteksi adanya protein yang sama seperti pada ovari, hepatopankreas dan hemolim betina.
Gambar 13 Analisis N-PAGE (5% gel poliakrilamid dengan pewarna amido black). M (marker), ovari (I), hemolim betina TKG 1 (2), hemolim betina TKG I11 (3), hemolim betina TKG I11 dengan penyuntikan estradiol-17P (4), hemolim jantan (9,hepatopankreas betina (6).
Gambar 14 SDS-PAGE (7,5% gel poliakrilamid dengan pewarna coomasie brillian! blue). M (marker), ovari (1 ), hemolim Mina TKG 1 (2), hemolim betina TKG 111 (3), hemolim betina TKG I11 dengan penyuntikan estradiol-17$ (4), hemolim jantan (9,hepatoankreas betina (6). Karakteristik protein hemolim induk yang diberi estradiol-17$ maupun yang tidak diberi, tidak menunjukkan perbedaan baik pada ketebalan pita maupun jumlah pita yang muncul. Berdasarkan analisis dengan SDS-PAGE (Gambar 14), pada ovari induk betina (lane I), terdapat 5 sub unit protein dengan perkiraan bobot 95, 98, 109
kDa dan dua sub unit protein dengan bobot > 118 kDa. Pada hemolim (lane 2,3, dan 4) dan hepatopankreas (lane 6) terdapat dua sub unit utama dengan perkiraan bobot
95 dan 98 kDa, pada hemolim induk jantan (lane 5) tidak terdeteksijteberadaan protein jenis tersebut. Pembahasan
Pada penelitian pendahuluan, pemberian estradiol-17$ dengan dosis 0,5 pg/g dan 1,O pg/g menyebabkan kematian pada induk L. vannamei sedangkan pada dosis 0,l pg/g dan 0,25 pg/g induk relatif toleran dan gonad dapat berkembang normal.
Pada hewan tingkat tinggi, estradiol-l7$ tidak hanya berperan dalam reproduksi, tetapi juga berpengaruh pada sistem kerja otot polos. Otot-otot polos menjadi lebih aktif dan mudah terangsang akibat pengaruh langsung estradiol-17$ terhadap produksi prostaglandin yang berperan dalam kontraksi otot polos (Riani 2000). Produksi prostaglandin juga terdapat pada udang penaeid (Tahara dan Yano 2003).
Estradiol- 17P dan prostaglandin yang dihasilkan akan bekerja sinergi menghasilkan kontraksi otot yang bertambah kuat. Berdasarkan ha1 tersebut, diduga pemberian estradiol-17P dengan dosis > 0.5 pg/g bobot tubuh induk menyebabkan kontraksi yang kuat (tidak normal) pada organ-organ yang mempunyai otot polos seperti alat pernafaan dan peredaran darah sehingga mengakibatkan terjadinya kematian. Selain itu estradiol-170 berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas N ~ + - K + - A T P(Gosh ~s~
dan Ray 1992). Enzim ini berperan penting dalam osmoregulasi. Aktivitas ~a+-K*ATPase akan meningkat saat kondisi hipersalin, sehingga peningkatan aktivitas enzim akibat pemberian estradiol-17$ akan menyebabkan gangguan osmoregulasi yang dapat menyebabkan kematian. Pada dosis optimum, estramol-17$ akan berperan dalam proses vitelogenesis, sehingga gonad dapat berkembang. Atas dasar hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dosis estradiol-17$ yang cukup aman bagi induk udang putih adalah 5 0,25 pglg bobot tubuh. Pemberian hormon estradiol-17$ melalui penyuntikan cukup efektif dalam meningkatkan kandungan estradiol-17P dalam tubuh induk udang putih. Estradiol17P yang disuntikkan ke dalam tubuh udang akan tersirkulasi dalam hemolim sehingga kandungan estradiol-17P menjadi lebih tinggi. Selain itu, di dalam hemolim induk juga terdapat estradiol-17$ endogenous atau dari pakan yang dimakan (Okumura dan Sakiyama 2004). Hal ini didasarkan atas keberadaan estradiol- 17P pada hemolim kelompok induk yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Proses biosintesis estradiol-17P di dalam tubuh udang belum diketahui secara pasti. Biosinteis estradiol-17$ juga terdapat pada beberapa krustase lainya seperti
Macrobrachrum rosenberg~r(Ghosh dan Ray 1993), Penaeus monodon (Fairs et al. 1990), dan Pandanus kesslerr (Quinitio et al. 1991). Pada vertebrata, estradiol- 17$ diproduksi dalarn sel granulosa dari sel folikel ovari, sehingga keberadaan sel folikel ovari pada udang diyakini juga menjadi tempat sintesis estradiol-l7$. Hal ini diungkapkan oleh Yano (1998) bahwa estradiol-17$ disintesis dalam sel folikel ovari udang. Kemampuan ovari udang untuk mensintesis estradiol-17$ ditunjukkan dengan adanya aktivitas beberapa enzim yang berperan dalam sintesis estradiol-17f3 antara lain 17a-Hidroksilase, C17-20liase, 17P-Hidroksisteroid dehidrogenase (17$-HSD)
dan aromatase (Sumavielle et ul. 2003). Kandungan estradiol-l7$ dalam hemolim tidak berbeda nyata selama perkembangan gonad, ha1 ini disebabkan estradiol-17P bukan hormon utama dalam perkembangan gonad udang putih. Menurut Laufer (1997) hormon utama yang berperan dalam vitelogeneis L. vunnamer adalah methyl furnesoute (MF). Menurut Yano (1998), estradiol-17$ berperan sebagai perangsang
vitelogenesis dalam ovari (vrtellogenesrs sirmulutrng ovuriun ltormone-VSOH). Fluktuasi yang terjadi dan tupang tindih grafik kandungan estradiol-17$ dalam hemolim (Gambar 3) disebabkan tiap tahap sampling dilakukan pada individu yang berbeda, sedangkan setiap individu mernpunyai kemampuan sintesis estradiol-17$ yang berbeda-beda. Keadaan ini menyebabkan variasi kandungan estradiol-17$ yang cukup tingg, baik antar individu alam perlakuan maupun antar individu antar perlakuan. Pada akhir pengamatan terjadi penurunan konsentrasi estradiol-17$ di semua perlakuan. Hormon steroid yang telah sampai ke organ target dan berperan sebagaimana fungsinya, akan dimetabolisme atau mengalami proses inaktivasi. Pada mamalia proses inaktivasi hormon steroid terjadi pada ginjal dan hati oleh kelompok enzim glukoronosiltransferase dan sulfotransferase. Pada ikan salmon terdapat enzim karbonil reduktase yang berperan dalam inaktivasi 17, 20$-P dan 5a serta 5$dihidroksitestosteron. Metabolit hormon steroid akan diekskresi melalui insang (dalam bentuk steroid bebas), empedu (bentuk glukoronid-steroid terkonjugasi) dan urin (bentuk sulfat) (Young et ul. 2005). Berdasarkan ha1 tersebut diduga penurunan konsentrasi estradiol-17$ pada tubuh udang juga akibat proses inaktivasi atau metabolisme estradiol-17b dalam tubuh, tetapi enzim yang berperan dalam proses metabolisme atau inaktivasi belurn diketahui. Pemberian estradiol-17$ pada induk udang putih yang telah mengalami ablasi memberikan respon positif terhadap perkembangan gonad. Secara urnurn jika dibandingkan dengan kontrol, pemberian estradiol-17$ pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g bobot tubuh menyebabkan perkembangan gonad lebih cepat. Hal ini
terlihat dari indeks kematangan yang lebih tinggi pada akhir pengamatan. Estradiol17$ larut dalam lemak dan dapat langsung masuk ke &lam sel serta berikatan
dengan reseptornya dalam inti. Komplek steroid dan reseptor tersebut menyebabkan peningkatan ekspresi gen pengendali sintesis Vg (Tiu dan Chan 2005), kemudian meningkatkan aktivitas RNA dan pembentukan mRNA yang selanjutnya meningkatkan sintesis protein. Berdasarkan pengamatan Ghosh dan Ray (1992), secara in vitro pemberian hormon estradiol-17P mempercepat sintesis energi melalui transport ion dan pengaktifan metabolisme hepatopankreas. Meningkatnya metabolisme hepatopankreas diduga akan mempercepat sintesis Vg yang kemudian ditransfer ke oosit. Pada udang penaeid, estradiol-17P akan merangsang seI-seI folikel ovari untuk melakukan vitelogenesis. Selain itu estradiol-17$ diduga juga memberikan feedback positif terhadap sintesis serotonin yang akan merangsang sekresi GSH oleh ganglion toraks (Yano 1998). Analisis lebih lanjut pada kecepatan perkembangan gonad tiap individu menunjukkan bahwa pengaruh penyuntikan estradiol-17$ tampak berbeda sangat nyata pada awal perkembangan gonad yaitu pada TKG 1 dan 11. Hal ini juga tampak pada perbedaan Qameter oosit yang siknifikan antar perlakuan. Ini menunjukkan bahwa
estradiol-178
berperan
penting
pada
tahap
awal
vitelogenesis
@revitellogenesis). Pada penelitian sebelumnya oleh Tsukimura dan Kanemoto
(199 1), pemberian hormon steroid (17-a-Kidroksiprogesteron) terhadap oosit L. vannanzei secara in vitro mampu merangsang terjadinya endogenous vitellogenesis.
Hormon 17-a-Hidroksiprogesteron merupakan prekursor testosteron dan dengan bantuan enzim aromatase akan dikonversi menjadi estradiol-17P. Adanya aktifitas 17$-HSD dan aromatase pada ovari dan hepatopankreas udang dikemukakan oleh Summavielle er al. (2003). Pada awal perkembangan gonad, estradiol-17P akan merangsang sel folikel ovari dalam sintesis prekursor Vg yang akan digunakan dalam proses vitelogenesis (Yano 1 998). Protein tersebut diduga merupakan komponen protein cortical rods (CRs) yang muncul pada akhir vitelogenesis. Yamano et al. (2004) menyatakan bahwa protein CRs disintesis pada awal perkembangan ovari,
meskipun pembentukan stmkturnya terjadi pada oosit matang. Tidak terlihatnya perbedaan kecepatan perkembangan gopad pada TKG 111 d m IV diduga terkait dengan menurunnya konsentrasi estradiql-li'f) dabm &uh ihduk
akibat metabolisme. Turunnya kandungan estradiol-17$ dalam hemolim diduga menyebabkan kerja hormon terhadap organ target tidak optimal. Baclaski (2001) menyatakan bahwa hormon yang berperan besar pada tahap vitelogenesis sekunder (TKG I11 dan IV) L. vatanamei adalah nzetlzylfarnesotae (MF). Kandungan MF pada saat vitelogenesis sekunder meningkat pesat, ha1 ini diduga menyebabkan respon pemberian estradiol-l7P menjadi tidak terlihat. Meskipun pada TKG tidak terlihat adanya perbedaan waktu perkembangan gonad, tetapi ukuran oosit oosit pada perlakuan 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g relatif lebih besar dibanding kontrol dan perlakuan 0,05 pg/g.
Hal ini menunjukkan bahwa estradiol-l7$ juga berperan dalam
vitelogenesis sekunder meskipun peranannya tidak sebesar saat awal vitelogenesis. Pemberian estradiol-178 pada dosis 0,10 pg/g dan 0,25 pg/g bobot tubuh juga marnpu meningkatkan persentase oosit matang pada TKG IV (Tabel 2). Peningkatan presentase ini diduga terkait dengan kesiapan oosit saat memasuki tahap vitelogenesis sekunder (exogenous vitellogenesis). Tejadinya vitelogenesis primer (endogenous vitellogenesis) akibat rangsangan estradiol-17$ meningkatkan persentase oosit yang siap memasuki tahap vitelogenesis sekunder. Terjadinya vitelogenesis primer akan meningkatkan komponen protein CRs yang merupakan penciri oosit matang (Yamano ef al., 2004). Atas dasar tersebut diduga bahwa estradiol-17$ merangsang ovari untuk mensintesis CRs. Tidak adanya perbedaan waktu dan ukuran oosit pada TKG IV disebabkan pada tahapan ini pertambahan diameter oosit mulai menurun, yang terjadi adalah proses pembentukkan struktur CRs yang diperlukan saat pemijahan. Pola perkembangan sel telur pada kelompok induk antar perlakuan relatif sama. Pada setiap tahap perkembangan gonad terdapat sel telur dengan beberapa fase perkembangan yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa perkembangan oosit L. vunnamel berlangsung kontinyu. Hal yang sama juga terjadi pada udang windu (Ismail, 1992). Hasii ini dikuatkan pemyataan Quackenbush (2001) bahwa pada udang penaeid, proses oogenesis tej a d kontinyu sepanjang hidupnya. Penyuntikan ganda estradiol-170 dengan dosis 0,10 pg/g bobot tubuh pada induk L. vannamei tanpa ablasi mampu meningkatkan GSI dan rata-rata diameter
telur. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pemberian estradiol-17f3 mampu merangsang erzdogenous v~telogerzesrspada oosit. Pemaparan gonad pada estradiol178 akan memberikan respon perkembangan yang lebih tinggi, tetapi perkembangan gonad belum mampu mencapai tahap matang. Perkembangan hanya mencapai tahap
TKG I. Respon ini menunjukkan bahwa reseptor estradiol-17$ telah ada pada induk non-reproduktif
Pada udang windu respon akan lebih tinggi pada induk yang
gonadnya telah berkembang karena jurnlah reseptor lebih tinggi (Riani, 2000). Kernungkinan lain adanya pengaruh esradiol pada induk non-reproduktif adalah terjadinya efek farmakologi dimana estradiol-17$ berikatan dengan reseptor nonspesifik seperti reseptor ekdison (Okumura clan Sakiyama 2004). Tidak berkembangnya gonad hingga tahap m a m g dduga akibat adanya aktivitas GIH dan MOIH yang dihasilkan organ-)< pada tangkai mata. Hal ini dikuatkan berdasarkan uji in vitro, bahwa pemberian estradiol-l7$ menyebabkan peningkatan ukuran oosit yang cukup nyata, tetapi saat dilakukan in vivo pada induk non-ablasi, perbedaan respon menjadi tidak terlihat (Tsukimura 200 1). Hasil N-PAGE menunjukkan pada hepatopankreas dan hemolim dideteksi tipe protein yang sama, masing-masing terdiri dari 2 unit. Pada ovari terdeteksi sebuah unit protein yang diduga merupakan protein Vt. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Vasquez-Boucard et a/. (2003) dan Garcia-Orozco (2002) menunjukkan bahwa protein Vt pada ovari terdapat dua unit yaitu Vtl dan Vt2. Perkiraan bobot protein tidak dapat ditentukan karena bobot marker protein jauh lebih rendah sehingga tidak terlihat. Menurut Quackenbush (2001), bobot protein Vt berkisar antara 300-500 kDa. Berdasarkan analisis SDS-PAGE, pada ovari terdeteksi 5 sub unit protein dengan bobot 95, 98, 109 dan 2 sub unit >I18 m a . Protein tersebut diduga merupakan komponen dari Vt. Protein dengan bobot 95 dan 98 kDa merupakan komponen terbesar, ha1 ini ditunjukkan dengan ketebalan pita yang diperoleh. Jurnlah sub unit yang diperoleh tidak berbeda dengan Quackenbush (2001) yang menyatakan bahwa protein Vt L. vanamel terdiri dari 5 sub unit, tetapi terdapat perbedaan pada bobot molekul masing-masing sub unit.
Menurutnya bobot
komponen protein Vt adalah 158, 103,97,95 dan 76 kDa. Hal berbeda diungkapkan
oleh Vazques-Boucard
et
al. (2003) yang mengdentifikasi 6 sub unit dengan
perkiraan bobot 160, 140, 100, 95, 90 dan 60 kDa Perbedaan ini diduga karena perbedaan metode dan teknik separasi protein.
Selain itu juga diduga akibat
denaturasi protein selarna penyimpanan. Selain di ovari, sintesis prekursor Vt (Vg) juga
terjadi di hepatopankreas (Quackenbush 2001). Analisis SDS-PAGE
menunjukkan bahwa pada hepatopankreas disintesis dua sub unit protein dengan perkiraan bobot 95 dan 98 kDa. Protein ini selanjutnya ditransfer ke oosit melalui hemolim sehingga pada hemolim terdeteksi sub unit protein yang sama. Pada hemolim jantan tidak terdeteksi adanya protein yang sama seperti pada ovari, hepatopankreas dan hemolim betina. Pada udang penaeid belurn diketahui apakah sintesis Vg juga terjadi pada jantan. Pada fase juvenil individu jantan Macrobrachiurn rosenbergii ldeteksi keberadaan protein Vg, tetapi protein tersebut
tidak terdeteksi saat dewasa. Hal ini diduga terkait dengan berkembangnya kelenjar androgen pada jantan h e dewasa (Souty-Grosset 1997). Pada percobaan ini, matode yang digunakan untuk menganalisis karakteristik vitelogenin belum cukup sensitif
untuk mendeteksi keberadaan protein hemolim pada individu jantan. Selain itu, tujuan penelitian tidak difokuskan pada karakteristik protein Vg tetapi pada percepatan sintesis Vg. Karakteristik protein hemolim induk yang diberi estradol17J3 maupun yang tidak diberi, tidak menunjukkan perbedaan baik pada ketebalan pita maupun jumlah pita yang muncul. Hormon estradiol-178 menyebabkan peningkatan ekspresi gen dan sintesis protein vitelogenin. Berdasarkan ha1 tersebut diduga metode yang digunakan belum cukup sensitif untuk dapat membedakan kecepatan sintesis Vg.