20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Komposisi Vegetasi Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Mueller-Dombois& Ellenberg 1974). Komposisi vegetasi dalam suatu ekosistem akan menjadi satu fungsi dari beberapa faktor, seperti habitat, waktu dan tumbuhan setempat. Perbedaan komposisi vegetasi berdasarkatan tipe habitat dapat dilihat pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan di tiga tipe hutan kerangas (Gambar 3). Hasil rekapitulasi spesies dari ketiga tipe hutan kerangas tersebut diperoleh sebanyak 224 spesies dan 72 famili tumbuhan dari berbagai habitus dan tingkat pertumbuhan pohon
Jumlah spesies
(semai, pancang dan pohon). 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
157 135
Rimba 31
Bebak padang
Lokasi
Gambar 3 Jumlah spesies di tiga lokasi hutan kerangas. Famili tumbuhan yang anggotanya banyak ditemukan yaitu Myrtaceae (27 spesies), Clusiaceae (15 spesies), Rubiaceae (13 spesies), Euphorbiaceae (14 spesies) dan Fabaceae (8 spesies). Spesies-spesies dari Myrtaceae cenderung teradaptasi dengan baik di lahan yang kritis seperti di hutan kerangas sehingga mendominasi komunitas (MacKinnon et al. 1996). Beberapa spesies dari Myrtaceae juga sebagai tumbuhan pionir, misalnya keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), jemang (Rhodamnia cinerea) dan sekudong pelandok (Syzygium buxifolium). Selain kelima famili di atas, juga ditemukan Annonaceae,
21
Nepenthaceae, Droseraceae, Sapotaceae dan famili lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Perbedaan tipe ekosistem memengaruhi jumlah spesies dan individu yang ditemukan. Rimba merupakan ekosistem alami yang tumbuh di atas tana darat, yaitu lahan dengan jenis tanah podsol (tana teraja) dan letaknya relatif lebih tinggi atau di lingkungan lembab/basah (tana amau) (Fakhrurrazi 2001). Lokasi Rimba terletak pada 02046.833’ LS dan 108007.761’ BT. Spesies tumbuhan di Rimba didominasi oleh spesies klimaks dan nomaden. Sedikitnya spesies pionir disebabkan oleh tingginya mortalitas pionir-pionir akhir dan berangsur digantikan oleh spesies-spesies yang tahan naungan yang dapat tumbuh di bawah tajuk pionir akhir (Irwanto 2006). Beberapa spesies pionir yang diperoleh di Rimba yaitu keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’an (Melastoma polyanthum) dan sengkelut (Lycopodium cernuum). Spesies tumbuhan yang ditemukan di Bebak didominasi oleh spesies nomaden, yaitu spesies yang dapat tumbuh pada ekosistem yang baru terbuka dan subklimaks seperti singkang (Syzygium lineatum) dan kabal (Lithocarpus blumeanus). Posisi Bebak terletak tidak berjauhan dengan Rimba yaitu pada 02050.274’ LS dan 108009.450’ BT. Bebak merupakan hutan suksesi yang tumbuh di atas lahan milik masyarakat, bekas perladangan sahang (Piper nigrum). Jumlah spesies penyusun Bebak lebih sedikit daripada Rimba karena faktor umur ekosistem yang lebih muda daripada Rimba. Menurut Odum (1993) semakin tua umur sebuah ekosistem, maka keanekaragaman spesiesnya semakin tinggi dan lebih stabil. Komposisi vegetasi penyusun Padang paling sedikit diantara Rimba dna Bebak. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik Padang yang ekstrim dan sangat terbuka, sehingga hanya spesies yang toleran terhadap sinar matahari dan mampu beradaptasi pada kondisi miskin unsur hara yang dapat hidup disana. Spesiesspesies pionir banyak dijumpai di Padang, seperti kucai padang (Fimbrystilis sp.), kerupit padang (Panicum sp.) dan sengkelut (Lycopodium cernuum). Namun, juga ditemukan satu spesies klimaks yaitu belangeran (Shorea belangeran) pada tingkat semai. Hal ini disebabkan karena ekosistem Padang berbatasan langsung dengan Rimba dengan posisi 02050.282’ LS dan 108009.208’ BT, sehingga
22
dimungkinkan adanya penyebaran biji oleh angin. Menurut Whitten et al. (1984), di ekosistem padang Bangka dan Belitung didominasi oleh pohon kecil seperti Baeckia frutescens dan Malaleuca cajuputi. Pada lokasi penelitian, sapu padang (Baeckia frutescens) tidak mendominasi. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kepadatan rumput di Padang, sehingga persaingan unsur hara cukup tinggi baik intraspecies maupun interspecies. 5.1.1 Komposisi semai, semak/perdu, herba , liana, rotan dan pandan Hasil analisis vegetasi semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan yang dilakukan pada 100 plot pengamatan di Rimba, diperoleh 119 spesies tumbuhan yang terdiri dari 72 spesies semai, 6 spesies semak/perdu, 12 spesies herba, 27 spesies liana dan 2 spesies rotan. Spesies tumbuhan yang paling dominan di Rimba yaitu samak (Syzygium lepidocarpa) dengan INP 20,20% dan kerapatan 13.475 ind/ha (Tabel 5). Tabel 5 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
INP (%)
1.
Samak
Syzygium lepidocarpa
Myrtaceae
20,20
2.
Betor Padi
Calophyllum depressinervosum
Clusiaceae
16,23
3.
Singkang
Syzygium lineatum
Myrtaceae
11,24
4.
Kelebantuian
Syzygium euneura
Myrtaceae
10,20
5.
Sisilan
Syzygium rostratum
Myrtaceae
7,95
Dominasi spesies dari famili Myrtaceae terlihat pada tabel di atas. Hal ini disebabkan oleh kemampuan adaptasi beberapa anggota famili Myrtaceae pada lahan hutan kerangas yang miskin hara. Dalam penelitian Brunig (1974) yang meneliti hutan kerangas di Sarawak, juga diperoleh anggota famili Myrtaceae yang relatif banyak. Kelima spesies diatas merupakan spesies dari tingkat semai. Keberadaan semak/perdu, herba sebagai spesies pionir tidak mendominasi, karena kondisi ekosistem di Rimba relatif sudah mencapai klimaks. Spesies tumbuhan dengan INP terendah terdiri dari beberapa spesies diantaranya
girak
(Symplocos
adenophylla),
menterasan
(Memecylon
olygoneurum) dan libut (Edospermum diadenum) yaitu 0,14%. Rentang nilai INP tertinggi dan terendah cukup besar, dan hal ini menunjukkan penguasaan spesies dengan INP teringgi di Rimba relatif tinggi dari 119 spesies yang ada disana.
23
Tingginya heterogenitas spesies di Rimba ditunjukkan dengan ditemukannya 23 spesies dalam satu plot berukuran 2 x 2 m2 (Gambar 4). Data seluruh nilai penting semai, semak/ perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 3
Gambar 4 Plot ditemukannya jumlah spesies tumbuhan terbanyak. Hasil analisis vegetasi di Bebak diperoleh 110 spesies tumbuhan yang terdiri dari 61 spesies semai, 9 spesies semak/perdu, 16 spesies herba, 22 spesies liana, 1 spesies rotan dan 1 spesies pandan. Nilai penting tertinggi yaitu pulas (Guioa pleuropteris) sebesar 12,57% dengan kerapatan 3.600 ind/ha dan kelebantuian (Syzygium euneura) sebesar 12,09% dengan kerapatan 3.025 ind/ha (Tabel 6). Salah satu spesies dengan nilai penting terkecil yaitu pansi (Elaeocarpus palembanicus) 0,15% dan kerapatan 25 ind/ha. Beberapa liana yang ditemukan yaitu akar ibu (Lygodium microphyllum), akar kuaya (Dalbergia rostrata) dan akar geruntang tangga (Salacia oblongifolia). Data seluruh nilai penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 6 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Bebak No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
INP (%)
1.
Pulas
Guioa pleuropteris
Sapindaceae
12,57
2.
Kelebantuian
Syzygium euneura
Myrtaceae
12,09
3.
Tenam
Psychotria viridiflora
Rubiaceae
11,21
4.
Jemang
Rhodamnia cinerea
Myrtaceae
10,28
5.
Seru
Schima wallichii
Theaceae
9,42
Hasil analisis vegetasi di Padang diperoleh 31 spesies tumbuhan yang terdiri dari 8 spesies semai, 3 spesies semak/perdu, 16 spesies herba dan 2 spesies
24
liana. Nilai penting tertinggi sebesar 51,14% yaitu kucai padang (Fimbristylis sp.) dengan kerapatan 85.250 ind/ha (Tabel 7) dan seluruh data nilai penting semai, semak/ perdu, herba dan liana, rotan dan pandan di Padang dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 7 Indeks Nilai Penting semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di Padang No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Lokal Kucai Padang Jenis C Kerupit Padang Drosera Rumput Padang bola
Nama Ilmiah Fimbristylis sp. Eriocaulon sp. Panicum sp. Drocera burmanii Rhynchospora aurea
Famili Cyperaceae Eriocaulaceae Poaceae Droceraceae Cyperaceae
INP (%) 51,14 32,67 27,53 19,71 15,23
Pada plot pengamatan ditemukan salah satu insentivora unik yaitu drosera dengan INP 19,71%. Spesies ini seringkali terabaikan dan sangat jarang ditemukan di tempat lain, berwarna merah menyala di lantai Padang (Gambar 5a). Selain drosera juga ditemukan salah satu spesies Nepenthes yaitu Nepenthes gracilis yang tumbuh di lantai Padang maupun merambat di semak (Gambar 5b). Spesies ini seringkali ditemukan di lahan-lahan teraja seperti di Padang. Ekosistem Padang memang merupakan habitat dari Nepenthes sp. dan Drosera sp. (Whitmore 1984). Mansur (2007) menyebutkan bahwa spesies ini memiliki toleransi tinggi terhadap intensitas cahaya tinggi dan dapat juga tumbuh pada tempat-tempat yang terlindungi.
A
B
Gambar 5 Drosera burmanii yang sudah berbunga (a), Nepenthes gracilis yang tumbuh berkelompok di lantai Padang (b). Pada saat pengamatan, kondisi tanah yang kering tidak membatasi kehidupan Drosera burmanii. Drosera burmanii tumbuh secara berkelompok di Padang (Gambar 6). Pada kondisi tanah yang lembab dan berair pun, drosera
25
dapat hidup dengan baik (LIPI 2002). Sesuai dengan asas minimun Liebig yang dinyatakan tahun 1840 (Odum 1993) dijelaskan bahwa kemampuan hidup suatu spesies pada satu keadaan ekosistem tertentu dipengaruhi oleh kecukupan minimum bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan.
Gambar 6 Drosera burmanii yang tumbuh berkelompok. Jumlah spesies dan individu semai, semak/perdu, herba, liana, rotan dan pandan di tiga tipe hutan kerangas relatif bervariasi. Khusus di Rimba dan Bebak, jumlah spesies yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh letak Rimba yang berbatasan langsung dengan Bebak, sehingga penyebaran biji-biji beberapa spesies tumbuhan di Bebak dapat tumbuh di Rimba dan sebaliknya untuk spesies yang bersifat nomaden. Sedangkan di Padang, jumlah spesies relatif sedikit, namun nilai INP dari 31 speises yang diperoleh sangat tinggi dibandingkan Rimba dan Bebak. Pertumbuhan kucai padang (Fimbristylis sp.) hampir menutupi seluruh lantai Padang. Spesies ini merupakan pionir yang sudah sangat lama hidup di Padang. Menurut masyarakat sekitar, asal terbentuknya Padang yaitu akibat proses kebakaran hebat yang terjadi pada zaman dahulu (ratusan tahun yang lalu). Kebakaran tersebut disebabkan oleh api yang dihasilkan akibat gesekan pohonpohon di hutan kerangas yang sangat rapat akibat hembusan angin musim kemarau panjang. Sisa kebakaran hutan yaitu berupa hamparan padang rumput yang tidak dapat dikembalikan menjadi hutan lagi (Gambar 7).
26
Gambar 7 Ekosistem padang. Padang sebagai satu kesatuan ekosistem juga dijadikan lokasi bagi pelanduk untuk mencari makan, saat tumbuhan hutan berbuah (musim bua utan). Salah satu buah yang digemari pelanduk yaitu sekudong pelandok (Syzygium buxifolium) (Gambar 8a). Rasa buahnya seperti rasa jambu air, namun agak sepat dan kering. Selain sekudong pelandok, Gambar 8b juga merupakan spesies tumbuhan yang buahnya enak dimakan yaitu kedindiman (Syzygium incarnatum).
A
B
Gambar 8 Buah sekudong pelandok (a), buah kedindiman (b). 5.1.2 Komposisi pancang Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada 100 plot di Rimba diperoleh 93 spesies tumbuhan. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini menunjukkan piramida penambahan spesies yang terbalik, sehingga dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Rimba. Berkurangnya spesies pada tingkat pancang dapat disebabkan oleh tergantinya spesies-spesies pionir yang sudah tidak tahan naungan, sehingga tidak mampu tumbuh hingga tingkat pancang.
27
Spesies tingkat pancang di Rimba yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu betor belulang (Calophyllum lanigerum) sebesar 17,27% dengan kerapatan 900 ind/ha. Spesies tingkat pancang dengan INP terkecil yaitu mendaran (Palaquium ridleyi) 0,15% dengan kerapatan 4 ind/ha (Tabel 8). Total kerapatan pancang di Rimba lebih tinggi dari pada di Bebak yaitu 8.804 ind/ha, sedangkan di Bebak 7.932 ind/ha. Data nilai penting pancang di Rimba dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 8 Nilai penting tingkat pancang di Rimba No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
INP (%)
1. Betor Belulang
Calophyllum lanigerum
Clusiaceae
17,27
2. Kelebantuian
Syzygium euneura
Myrtaceae
10,82
3. Meleman
Psychotria malayana
Rubiaceae
10,76
4. Jemang
Rhodamnia cinerea
Myrtaceae
10,75
5. Pelawan Kiring
Tristaniopsis obovata
Myrtaceae
10,59
Lima nilai penting tertinggi tingkat pancang yang diperoleh relatif merata. Hal ini menunjukkan dominasi lima spesies tersebut di Rimba relatif seimbang dan rapat. Jumlah spesies yang cukup banyak juga didukung dengan jumlah individu yang banyak. Hal inilah yang memberikan kenampakan Rimba relatif rapat dan didominasi tegakan yang kurus-kurus. Ciri-ciri hutan kerangas menurut MacKinnon et al. (1996) yaitu memiliki pohon-pohon yang kecil dan kurus. Salah satu spesies tingkat pancang tersebut adalah pelawan kiring (Tristaniopsis obovata). Spesies ini sangat mudah dikenali di lokasi penelitian, karena memiliki batang yang berwarna merah dan kulit batang yang mengelupas (Gambar 9a). Kayu pelawan kiring cukup keras dan sering dimanfaatkan sebagai kayu pagar (Gambar 9b).
A
B
Gambar 9 Pelawan kiring (a), kondisi rimba yang didominasi pancang (b).
28
Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Bebak diperoleh 76 spesies. Jumlah pancang yang diperoleh lebih banyak dari pada jumlah semai. Hal ini juga menunjukkan
piramida
penambahan
spesies
yang
terbalik,
sehingga
dimungkinkan terjadi kepunahan beberapa spesies di Bebak. Spesies tingkat pancang yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu kiras (Garcinia hombroniana) sebesar 21,50% dengan kerapatan 1.292 ind/ha, jemang (Rhodamnia cinerea) dengan INP 18,11% dengan kerapatan 800 ind/ha (Tabel 9). Data nilai penting pancang di Bebak dapat dilihat pada Lampiran 7. Beberapa spesies tingkat semai masih tetap ditemukan hingga tingkat pancang, seperti kelebantuian (Syzygium euneura), jemang (Rhodamnia cinerea) dan seru (Schima wallichii). Spesies tumbuhan atau pohon tahunan juga mulai ditemukan misalnya durian (Durio zibethinus), cempedak (Artocarpus integer) dan jering (Archidendron pauciflorum). Menurut McNaughton dan Wolf(1990) menyebutkan bahwa suksesi sekunder pada lahan bekas pertanian akan didominasi oleh spesies tumbuhan semusim selama satu atau dua tahun sampai mereka digantikan oleh tumbuhan yang memiliki siklus hidupnya lebih panjang. Tabel 9 Nilai penting tingkat pancang di Bebak No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
INP (%)
1.
Kiras
Garcinia hombroniana
Clusiaceae
21,50
2.
Jemang
Rhodamnia cinerea
Myrtaceae
18,11
3.
Kelebantuian
Syzygium euneura
Myrtaceae
11,05
4.
Samak
Syzygium lepidocarpa
Myrtaceae
10,86
5.
Seru
Schima wallichii
Theaceae
10,81
Tutupan vegetasi di Bebak relatif lebih terbuka dibandingkan Rimba (Gambar 10). Hal ini juga disebabkan oleh jumlah pancang Bebak lebih sedikit dari pada di Rimba. Selain itu juga disebabkan oleh pemilihan Bebak yang digunakan adalah Bebak yang baru berumur 10 tahun, sehingga proses suksesi masih berlangsung. Berdasarkan observasi di lapangan, Bebak yang berumur 30 tahun sudah hampir mirip dengan Rimba, baik dari spesies maupun kenampakan formasi yang relatif rapat. Namun belum dilakukan kajian lebih lanjut terkait Bebak berumur selain 10 tahun.
29
Gambar 10 Hutan kerangas sekunder (Bebak) yang relatif terbuka. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Padang diperoleh 3 spesies tumbuhan. Spesies tingkat pancang yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 88,46% (Tabel 10) dengan kerapatan 20 ind/ha sama dengan kerapatan pelawan kiring (Tristaniopsis obovata). Nilai kerapatan spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Ekosistem padang memang didominasi oleh tumbuhan bawah. Kondisi tumbuhan di Padang relatif kurus dan kering karena kurangnya unsur hara. Tabel 10 Nilai penting tingkat pancang di Padang No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
INP (%)
1. Pelawan kiring
Tristaniopsis obovata
Myrtaceae
55,13
2. Gelam
Malaleuca leucadendron
Myrtaceae
56,41
3. Sekuncong
Leptospermum flavescens
Myrtaceae
88,46
Sekuncong (Leptospermum flavescens) merupakan jenis pohon kecil di Padang yang ditemukan pada tingkat pancang. Spesies ini cocok dijadikan tanaman bonsai karena tidak terlalu besar. Daunnya yang kecil-kecil dan agak tajam merupakan bentuk adaptasi morfologi terhadap kondisi ekosistem yang ekstrim untuk mengurangi penguapan. 5.1.3 Komposisi pohon Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Rimba diperoleh 51 spesies tumbuhan dari 22 famili. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada tingkat semai dan pancang. Tingkat pohon didominasi oleh spesies dari Myrtaceae (23,5%). Namun spesies tingkat pohon yang memiliki nilai penting tertinggi dari famili Theaceae yaitu seru (Schima wallichii) dengan INP sebesar 53,36% dan kerapatan 105 ind/ha (Tabel 11). Spesies ini merupakan spesies yang sering dijumpai pada
30
hutan dataran tinggi di pulau Jawa. Spesies lain yang juga memiliki INP di atas 50% yaitu samak (Syzygium lepidocarpa) dengan kerapatan 144 ind/ha. Nilai penting spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Salah satu spesies tumbuhan khas hutan kerangas yaitu gerunggang (Cratoxylon glaucum) dengan INP sebesar 15,02%. Spesies ini juga merupakan spesies yang dominan ditemukan di hutan kerangas Taman Nasional Bako, Malaysia Timur (Katagiri et al. 1991). Tabel 11 Nilai penting tingkat pohon di Rimba No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
INP (%)
1. Seru
Schima walichii
Theaceae
53,36
2. Samak
Syzygium lepidocarpa
Myrtaceae
52,15
3. Jemang
Rhodamnia cinerea
Myrtaceae
16,07
4. Gerunggang
Cratoxylon glaucum
Clusiaceae
15,02
5. Betor Padi
Calophyllum depressinervosum
Clusiaceae
14,69
Berdasarkan kelas diameter, pohon di Rimba didominasi oleh kelas diameter 10 ≤ 20 cm yaitu 74,53% dari 683 individu pohon yang ditemukan atau 509 ind/ha (Gambar 11). Menurut Onrizal (2004), distribusi kelas diameter dari tegakan hutan kerangas Taman Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat yang tertinggi yaitu 2 ≤ 10 cm (6010 ind/ha), sedangkan 10 ≤ 20 cm
memiliki
kerapatan 670 ind/ha. Hal ini juga ditemukan di hutan kerangas Kalimantan Timur yang memiliki pohon berdiameter 10 cm dengan kerapatan 454 – 750 ind/ha (Riswan 1982 diacu dalam MacKinnon et al. 1996).
Gambar 11 Sebaran pohon di Rimba yang jarang.
31
Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Bebak diperoleh 35 spesies tumbuhan dari 18 famili. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada tingkat semai dan pancang. Tingkat pohon juga didominasi oleh spesies dari Myrtaceae (17,64%). Nilai penting tertinggi tingkat pohon dari famili Theaceae yaitu seru (Schima wallichii) dengan INP sebesar 103,00% dengan kerapatan 109 ind/ha (Tabel 12). Nilai penting spesies lainnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel 12 Nilai penting tingkat pohon di Bebak No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
INP (%)
1.
Seru
Schima wallichii
Theaceae
103,00
2.
Jering
Archidendron pauciflorum
Fabaceae
48,18
3.
Samak
Syzygium lepidocarpa
Myrtaceae
15,48
4.
Medang kalong
Cinnamomum parthenoxylon
Lauraceae
13,10
5.
Mensira
Ilex cymosa
Aquifoliaceae
12,37
Seru (Schima wallichii) memiliki rentang kecocokan tempat tumbuh yang cukup lebar dari ketinggian 100 – 1600 mdpl (Boojh & Ramakrishnan 1982). Spesies ini juga termasuk spesies pionir sekaligus spesies klimaks, sehingga mampu tumbuh dengan baik di Rimba maupun Bebak (Vaidhayakarn & Maxwell 2010). Pertumbuhan seru (Schima wallichii) relatif cepat pada lahan yang baru terbuka, sehingga seru sangat mudah ditemukan di dalam maupun di luar kawasan hutan dengan warna pucuk daunnya kemerah-merahan. Bunga seru sangat mudah dikenali di permukaan tanah (Gambar 12). Menurut Sahoo dan Lalfakawma (2010), semakin banyak pohon induk semakin banyak anakannya dan kemampuan survival Schima wallichii pada lahan yang terganggu lebih tinggi daripada lahan yang tidak terganggu.
Gambar 12 Bunga seru (Schima wallichii).
32
Di Bebak juga ditemui jering (Archidendron pauciflorum) yang merupakan spesies tumbuhan yang sudah biasa dibudidayakan. Spesies lain yang ditemukan yaitu Mensira (Ilex cymosa) yang biasanya berada di komunitas yang agak terbuka, dan cukup baik beradaptasi terhadap api (Whitmore 1984). Pohon yang tumbuh di Padang memiliki kayu yang sangat keras, kering dan sangat jarang ditemukan. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Padang diperoleh 2 spesies tumbuhan. Spesies tingkat pohon yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu sekuncong (Leptospermum flavescens) sebesar 180,60% dengan kerapatan 2 ind/ha dan prepat (Combretocarpus rotundatus) sebesar 119,40% dengan kerapatan 1 ind/ha. Kedua spesies tersebut hanya ditemukan di satu plot pengamatan (Lampiran 11). Sedikitnya tingkat pohon di Padang semakin menunjukkan tingkat kerawanan ekosistem ini sebagai sebagai penyangga ekosistem. Permukaan batang sekuncong (Leptospermum flavescens) sangat keras dan kering yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan (Gambar 13). Kondisi tanah yang asam dan miskin hara tidak mendukung kelangsungan hidup spesies-spesies lain yang ditemukan pada tingkat semai hingga tingkat pancang maupun pohon. Namun hal ini memang merupakan ciri khas dari ekosistem padang.
Gambar 13 Kondisi batang pohon sekuncong (Leptospermum flavescens) yang keras dan kering. Secara umum dapat dilihat adanya perbedaan spesies yang mendominasi di setiap tipe hutan kerangas dan pada setiap tingkat pertumbuhan. Spesies tingkat
33
semai yang mendominasi di Rimba yaitu samak (Syzygium lepidocarpa), spesies ini bukan spesies yang mendominasi pada tingkat pancang dan pohon. Demikian juga yang terjadi di Bebak dan Padang. Pada tingkat pohon di Rimba dan Bebak didominasi seru (Schima wallichii). Berdasarkan Mosaic Theory, komposisi dan dominansi vegetasi di suatu ekosistem akan mengalami perubahan di masa depan (Richards 1952 diacu dalam Hikmat 2005). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat survival suatu spesies tehadap dinamika eksosistem baik secara fisik maupun biotik serta gangguan dari luar. 5.1.4 Keanekaragaman spesies tumbuhan (H’) Nilai keanekaragaman spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon di Rimba lebih tinggi daripada di Bebak dan Padang yaitu 3,73 dan 3,09 (Gambar 14). Semakin klimaks sebuah ekosistem maka akan diikuti dengan bertambahnya jumlah spesies yang dapat hidup disana pada tingkat semai dan hanya spesiesspesies tertentu saja yang dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, penurunan nilai keanekaragaman dari tingkat semai menuju tingkat pohon dapat terjadi. Nilai keanekaragaman tingkat semai di Rimba lebih kecil daripada di Bebak, yaitu 3,86 sedangkan di Bebak 4,03. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah individu setiap spesies di Rimba tidak terdistribusi secara merata (Ludwig & Reynolds 1988). Nilai keanekaragaman semai, pancang dan pohon di Padang sangat rendah dibandingkan Bebak dan Rimba yaitu 2,34; 1,07 dan 0,67. Menurut Wells (1976) diacu dalam McNaughton dan Wolf (1990) menyebutkan bahwa
Nilai indeks keanekaragaman
beberapa spesies mempunyai kemampuan berkoloni yang cepat di tegakan pionir. 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Rimba Bebak Padang
Semai
Pancang
Pohon
Tingkat pertumbuhan
Gambar 14 Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan di hutan kerangas.
34
Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh bervariasi berdasarkan tipe hutan dan tingkat pertumbuhan. Menurut Kissinger (2002) perubahan indeks keanekaragaman jenis terjadi sebagai akibat dari karakteristik biologis dari hutan yang selalu mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu, perubahan keanekaragaman juga dapat terjadi dalam waktu yang cepat sebagai akibat dari aktivitas manusia atau gejala alam lainnya. 5.1.5
Kekayaan spesies tumbuhan (R) Nilai kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai di Rimba dan Bebak tidak
berbeda jauh. Nilai kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai di Rimba yaitu 14,35, sedangkan di Bebak 14,44 (Gambar 15). Perbedaan yang tidak signifikan ini juga dapat disebabkan oleh kemiripan tipe ekosistem. Bebak merupakan hutan sekunder bekas ladang yang sudah ditinggalkan selama 10 tahun, sehingga jumlah spesies yang terdapat disana juga cukup banyak, terutama spesies pionir. Menurut Wells (1976) diacu dalam McNaughton dan Wolf (1990) menyebutkan bahwa beberapa spesies mempunyai kemampuan berkoloni yang cepat di tegakan pionir. Faktor yang memengaruhi nilai kekayaan spesies yaitu total jumlah individu semua spesies. Semakin besar total jumlah individu semua spesies yang ditemukan pada suatu ekosistem maka nilai kekayaan akan semakin kecil, dengan pembanding ekosistem kedua memiliki jumlah spesies yang sama namun jumlah total individu semua spesies lebih kecil (Ludwig & Reynolds 1988). Pada ekosistem padang, kekayaan spesies tumbuhan tingkat semai, pancang dan pohon paling kecil, berturut-turut 3,27; 0,78 dan 0,91. Jumlah spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon selain sedikit juga memiliki jumlah individu yang sedikit. Pada tingkat pancang hanya diperoleh 3 spesies dengan jumlah individu sebanyak 52 ind/ha. Sedangkan pada tingkat pohon hanya diperoleh 2 spesies dengan jumlah individu sebanyak 3 ind/ha. Jumlah ini relatif sangat kecil dan memberikan ciri hutan kerangas khusus atau Padang memiliki kekayaan spesies tingkat pancang dan pohon yang sangat rendah.
35
16 Nilai indeks kekayaan
14 12 10 8
Rimba
6
Bebak
4
Padang
2 0 Semai
Pancang
Pohon
Tingkat pertumbuhan
Gambar 15 Indeks kekayaan spesies tumbuhan di hutan kerangas. 5.1.6
Kemerataan spesies tumbuhan (E) Nilai kemerataan spesies tumbuhan tingkat semai di Bebak paling tinggi
dari pada di Rimba dan Padang. Sedangkan nilai kemerataan spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon tertinggi yaitu di Padang. Tingkat pohon di Padang hanya diperoleh sebanyak dua spesies dengan jumlah individu sebanyak tiga individu. Hal ini menyebabkan nilai kemerataan spesies tumbuhan tingkat pohon di Padang lebih tinggi yaitu 0,97 (Gambar 16). Pada ekosistem Rimba, nilai kemerataan spesies tumbuhan tingkat pohon yaitu 0,78. Hal ini disebabkan oleh jumlah individu dari 51 spesies pohon, hanya 14 spesies tumbuhan yang jumlah individunya di atas rata-rata, sisanya di bawah
Nilai indeks kemerataan
rata-rata. 1.2 1 0.8 0.6
Rimba
0.4
Bebak
0.2
Padang
0 Semai
Pancang
Pohon
Tingkat pertumbuhan
Gambar 16 Indeks kemerataan spesies tumbuhan di hutan kerangas.
36
5.1.7
Kesamaan komunitas tumbuhan (IS) Indeks kesamaan komunitas tumbuhan antara Rimba dan Bebak yaitu
58%; antara Rimba dan Padang yaitu 13 %; dan antara Bebak dan Padang sebesar 12% (Gambar 17). Nilai yang diperoleh ini menunjukkan adanya spesies tumbuhan yang sama di setiap ekosistem. Tingginya jumlah spesies yang sama di Rimba dan Bebak dapat disebabkan oleh jarak antara Bebak dan hutan alam yang tidak terlalu jauh, sehingga masih sangat dimungkinkan adanya penyebaran biji oleh agen penyebar biji maupun agen penyerbuk. Kondisi habitat yang hampir sama juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesamaan spesies pada kedua lokasi tersebut.
Indeks Kesamaan Komunitas (%)
70
Rimba dan Bebak, 58
60 50 40 30
Rimba dan Padang, 13
20
Bebak dan Padang, 12
10 0
Lokasi
Gambar 17 Indeks kesamaan komunitas. 5.1.8 Status konservasi Hutan kerangas merupakan kawasan yang bernilai konservasi tinggi (Konsorsium Revisi HCVF Toolkit Indonesia 2008). Hal ini didukung oleh keberadaan spesies-spesies di hutan kerangas dan termasuk dalam spesies yang dilindungi menurut IUCN Red List 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, dan CITES (Tabel 13). Tabel 13 Status konservasi spesies yang diperoleh No
Nama Lokal
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Belangeran Ketakong 1 Ketakong 2 Ketakong 3 Ketakong 4 Perepat
Nama Ilmiah Shorea belangeran Nepenthes gracilis Nepenthes ampullaria Nepenthes rafflesiana Nepenthes reinwardtiana Combretocarpus rotundatus
IUCN CR LC LC LC LC VU
Status Konservasi CITES PP No 7 Tahun 1999 Tidak dilindungi App. II Dilindungi App. II Dilindungi App. II Dilindungi App. II Dilindungi Tidak dilindungi
37
Hasil analisis vegetasi juga diperoleh belangeran (Shorea belangeran). Spesies ini termasuk dalam kategori CR (Critically endangered) dalam IUCN Red List tahun 2010 yang berarti kritis dan terancam punah. Kayu belangeran merupakan salah satu jenis kayu komersil. Selain belangeran (Shorea belangeran), spesies lain yang termasuk dalam status konservasi VU (Vulnerable/Rawan) IUCN Red List tahun 2010 adalah prepat (Combretocarpus rotundatus). Jumlahnya masih berisiko rendah dari kepunahan. Spesies-spesies yang dilindungi menurut PP Nomor 7 Tahun 1999 yaitu dari famili Nepenthaceae, diantaranya Nepenthes gracilis, Nepenthes ampularia, Nepenthes rafflesiana dan Nepenthes reinwardtiana. Keempat spesies nepenthes tersebut juga termasuk dalam kategori LC (Least Concern/Kurang diperhatikan) menurut IUCN Red List tahun 2010. Beberapa spesies nepenthes tersebut relatif masih mudah dijumpai baik Rimba, Bebak maupun Padang. Spesies nepenthes yang relatif melimpah yaitu Nepenthes gracilis dan Nepenthes ampularia. Namun keempat spesies nepenthes yang diperoleh tetap memerlukan perhatian khsuus dari pemerintah, karena termasuk dalam kategori Appendix II CITES. Menurut Mardiastuti dan Soehartono (2003) spesies yang termasuk dalam kategori Appendix II CITES merupakan spesies yang ada pada saat ini tidak termasuk ke dalam kategori terancam punah, namun memiliki kemungkinan untuk terancam punah jika perdagangan tidak diatur. Perdagangan terhadap jenis yang termasuk Appendiks II dapat diperbolehkan, selama Management Authority dari negara pengekspor megeluarkan izin ekspor 5.2 5.2.1
Keanekaragaman Tumbuhan Obat Karakteristik responden Jumlah responden yang diwawancarai terkait hasil analisis vegetasi yang
diperoleh yaitu sebanyak 25 orang. Wawancara dihentikan ketika sudah tidak ada lagi perbedaan khasiat obat yang diperoleh. Karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu didominasi oleh masyarakat yang berusia di atas 50 tahun yaitu sebanyak 68% (Gambar 18), berlatar pendidikan sekolah dasar sebanyak 84% (Gambar 19) dan memiliki pekerjaan utama sebagai buruh harian sebanyak
38
84% (Gambar 20). Beberapa responden yang bekerja sebagai buruh harian juga merangkap pekerjaan lain, misalnya sebagai dukun kampung dan peramu obat tradisional. Namun pekerjaan ini bersifat sosial dan sukarela, bukan mata pencaharian. Jumlah responden didominasi oleh responden laki-laki yaitu 68% dan responden wanita sebanyak 32% dengan nama responden terlampir (Lampiran 12).
4% 24%
20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun
4% 68%
50 tahun ke atas
Gambar 18 Persentase usia responden. Masyarakat peramu obat masih mengambil tumbuhan obat langsung dari hutan. Pekerjaan ini dijalankan turun-temurun sesuai dengan pengetahuan yang telah diwariskan. Responden yang diklasifikasikan sebagai peramu adalah orang yang bermata pencaharian sebagai penjual obat tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan obat. Pada kenyataannya kemampuan meramu obat juga dimiliki oleh beberapa responden lainnya yang bermata pencaharian sebagai buruh harian. Sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai buruh harian perkebunan kelapa sawit dan karet yang ada di sekitar hutan. Masuknya perkebunan kelapa sawit dan karet selain mengurangi ketersediaan hutan, juga mengubah pola kehidupan masyarakat sekitar. Sebelum masuknya perkebunan sawit, masyarakat masih menggantungkan hidup dari kawasan hutan. Jam harian masyarakat banyak dihabiskan di rumah atau di hutan. Setelah masuknya perkebunan kelapa sawit, masyarakat menjadi buruh harian dengan pekerjaan yang beragam seperti menebas, mengisi polibag, mendangir,
39
memupuk dan lainnya. Gambar 19 menunjukkan persentase pekerjaan responden yang diperoleh saat pengambilan data. 4% 4% 8% Buruh harian Peramu Ibu rumah tangga Wiraswasta 84%
Gambar 19 Persentase pekerjaan responden. Tingkat pendidikan terakhir responden didominasi oleh tingkat SD. Responden mengaku bahwa bukan hanya karena ketidakmampuan ekonomi untuk sekolah, tetapi juga karena kurangnya motivasi untuk melanjutkan sekolah. Tempat tinggal yang jauh dari sekolah lanjutan juga semakin mengurungkan keinginan mereka untuk bersekolah. Pada saat seperti ini, masyarakat hanya melihat kekayaan perkebunan yang sudah merusak hutan mereka. Aksesibilitas menuju lokasi penelitian sudah diaspal. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di sana belum ada aliran listrik dari PLN sehingga masyarakat tetap mempersiapkan genset di rumah-rumah mereka.
8% 8% SD SMP/MTs SMA 84%
Gambar 20 Persentase pendidikan terakhir responden.
40
5.2.2
Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan famili Spesies tumbuhan obat yang diperoleh dari 224 spesies tumbuhan yang
ditemukan yaitu sebanyak 101 spesies. Sebanyak 83,17% spesies tumbuhan obat dari Rimba, 69,31% dari Bebak dan 9,90% dari Padang. Tumbuhan obat tersebutdiklasifikasikan ke dalam 50 famili yang dapat dilihat pada Lampiran 13.Enam famili tersebut diantaranyayaitu Myrtaceae (11 spesies), Rubiaceae (10 spesies), Clusiaceae (6 spesies), Fabaceae (5 spesies), Euphorbiaceae (5 spesies) dan Apocynaceae (5 spesies) (Gambar 21).
Apocynaceae
Famili
Euphorbiaceae Fabaceae Clusiaceae Rubiaceae Myrtaceae 0
2
4
6 8 Jumlah spesies
10
12
Gambar 21 Jumlah tumbuhan obat berdasarkan enam famili tertinggi. Myrtaceae merupakan famili yang memiliki berbagai macam spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat, seperti jemang (Rhodamnia
cinerea),
gelam
(Malaleuca
leucadendron),
keremuntingan
(Rhodomyrtus tomentosa), keleta’an (Melastoma polyanthum) dan sekudong pelandok (Syzygium buxifolium). Secara ekologi, beberapa spesies Myrtaceae merupakan spesies pionir sehingga lebih cepat tumbuh di daerah kritis. Salah satunya yaitu keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa) yang memiliki manfaat sebagai obat dan fungsi ekologis yang tinggi. Spesies ini dapat tumbuh di areal bekas tambang timah (Gambar 22). Menurut Pratiwi (2010) keberadaan keremuntingan di lahan bekas tambang timah dapat dijadikan sebagai pionir untuk meningkatkan unsur hara tanah dan pencegah erosi. Keremuntingan juga telah terbukti memiliki kandungan antioksidan yang berguna bagi tubuh (Putra et al., 2009). Keremuntingan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat sakit perut dan penurun tekanan darah
41
tinggi. Daun keremuntingan diseduh dan diminum airnya. Heyne (1987a) menyebutkan bahwa daun keremuntingan yang ditumbuk berguna untuk menyembuhkan luka-luka.
Gambar 22 Keremuntingan di lahan bekas tambang timah. Keleta’an (Melastoma polyanthum) berguna sebagai obat sakit gigi dan gusi bengkak. Penggunaannya yaitu dengan merebus daun keleta’an kemudian airnya digunakan untuk berkumur. Manfaat lain dari spesies ini yaitu sebagai obat luka bakar dan menyembuhkan buang air berdarah (Heyne 1987a). Spesies dari famili Rubiaceae biasa dikenal kopi-kopian yang memiliki ciri khas yaitu pada buahnya terdapat aroma yang nikmat (Lubis 2008). Pada kondisi habitat yang ekstrim, tumbuhan akan memproduksi metabolit sekunder yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi yang subur. Spesies dari famili ini di antara, yaitu meleman (Psychotria malayana), akar rurutan (Gynochtodes coriacea),
akar
segendai
(Coptosapelta
tomentosa),
tempala
(Timonius
flavescens) dan sereting (Prismatomeris tetrandra). Potensi tumbuhan obat di hutan kerangas belum banyak diungkapkan oleh peneliti-peneliti. Menurut Nurrohman (2011) diperoleh 38 spesies tumbuhan berguna di HCV PT Agro Lestari Mandiri Kalimantan Barat dengan tipe hutan kerangas. Menurut Widyaninggar (2011) diperoleh 152 spesies tumbuhan berguna di HCV PT Sawit Kapuas Kencana dengan tipe hutan kerangas. Hasil yang didapat keduanya menyebutkan bahwa spesies yang diperoleh di hutan kerangas lebih sedikit daripada hutan dataran rendah. Menurut Ditjen POM (1991) diacu dalam Zuhud et al. (1994), persentase penyebaran tumbuhan obat di Indonesia diperoleh dari 6 tipe hutan di Indonesia,
42
antara lain hutan hujan dataran rendah (49,4%), hutan mangrove (3,9%), hutan pantai (5,6%), hutan savana (6,1%), hutan musim (13,9%) dan hutan hujan pegunungan (21,1%). Sebanyak 16 spesies tumbuhan obat di hutan kerangas yang diperoleh dalam penelitian ini sudah terdokumentasi sebagai tumbuhan obat menurut Zuhud et al. (1994), misalnya Baeckea frutescens, Cratoxylon formosum, Curculigo latifolia dan Rhodamnia cinerea. 5.2.3
Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan habitus Persentase keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan habitus yaitu
sebanyak 45% pohon, 30% liana dan 14% perdu (Gambar 23). Salah satu spesies pohon yang berkhasiat sebagai obat diantaranya yaitu pohon butun (Cratoxylon formosum). Pohon ini memiliki duri pada batangnya yang masih muda (Gambar 24a). Daun yang menempel di ujung duri batang tersebut berkhasiat sebagai obat bisul dan sasak isi (koreng di badan). Kegunaan lain dari spesies ini yaitu kulit batangnya sebagai obat sakit perut, getahnya sebagai obat kudis dan daunnya untuk obat luka bakar (Adriyanti et al. 2003).
3%
8% 30%
Liana Perdu Pohon Semak
45%
14%
Herba
Gambar 23 Persentase tumbuhan obat berdasarkan habitus. Potensi liana yang sering digunakan sebagai obat oleh masyarakat, diantaranya akar kayu bau (Artabotrys suaveolens) sebagai obat masuk angin, panas dalam dan salah satu dari 44 ramuan setelah melahirkan; akar sariawan (Connarus semidecandrus) sebagai obat sariawan; dan akar banar (Smilax barbata) sebagai obat maag dan salah satu dari 44 ramuan setelah melahirkan
43
(Gambar 24b). Sesuai dengan potensi liana yang diperoleh yaitu terbanyak kedua setelah pohon. Masyarakat mengenal liana berkayu maupun liana yang tidak berkayu dengan sebutan akar. Pada habitus herba, semak dan perdu digunakan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada pohon dan liana. Hal ini dapat disebabkan karena potensi habitus ini memang tidak mendominasi dalam komunitas hutan.
A
B
Gambar 24 Beberapa spesies tumbuhan obat: (a) Butun (Cratoxylon formosum), (b) Akar banar (Smilax barbata). 5.2.4
Keanekaragaman digunakan
tumbuhan
obat
berdasarkan
bagian
yang
Bagian tumbuhan obat yang banyak digunakan adalah akar dan daun. Sebanyak 49 spesies dimanfaatkan bagian akarnya sebagai obat atau sekitar 45% dan 35 spesies dimanfaatkan daunnya sebagai obat atau sekitar 35% (Gambar 25). Potensi lainnya yaitu bunga, buah, batang, air kantung dan herba. Hal ini sesuai dengan potensi habitus yang ada disana, yaitu liana atau akar dalam bahasa setempat. Batang Buah 13% 3% Bunga 2%
Air kantung Herba 3% 2%
Akar 45% Daun 32%
Gambar 25 Persentase tumbuhan obat berdasarkan bagian yang dimanfaatkan.
44
Beberapa spesies tumbuhan dimanfaatkan akarnya yaitu akar banar (Smilax barbata), akar kayu bau (Artabortrys suaveolens) dan akar ketumpu (Maesa ramentacea). Masyarakat setempat sering menggunakan akar kayu bau (Artabortrys suaveolens) sebagai obat masuk angin dan panas dalam dengan cara meminum air rebusan akarnya. Kegunaan lain spesies ini juga disampaikan Heyne (1987b), yaitu sebagai obat kolera. Bagian yang digunakan adalah ekstrak daunnya yang memberikan cairan aromatis yang hangat. Daun juga merupakan bagian tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat. Salah satunya yaitu daun medang belilin (Cryptocarya densiflora) sebagai obat sakit kepala dan penurun demam panas. Penggunaannya yaitu dengan merendam beberapa helai daun medang belilin di mangkok, kemudian remas daunnya. Remasan daun akan menghasilkan lendir yang bersifat dingin dan tidak lengket, kemudian usapkan pada bagian kepala atau bagian badan lainnya. Cara seperti ini biasa dikenal masyarakat dengan sebutan uras. Pemanfaatan bagian batang meliputi air batang, getah batang, kulit batang. Air dari batang gelam (Malaleuca leucadendron) dapat digunakan sebagai obat panas dalam atau batuk dengan cara meminum air batangnya langsung. Menurut Heyne (1987b) bagian yang digunakan sebagai obat dari spesies ini yaitu bagian daun-daun dan bunganya, yaitu dapat dijadikan minyak rambut. Cara pembuatannya yaitu merendam dan mengasap daun serta bunganya dengan kemenyan. Manfaat bagian batang lainnya, yaitu getah batang betor padi (Calophyllum depressinervosum) dapat dibuat minyak oles untuk menghilangkan gatal-gatal. Menurut Purnawan (2003) spesies ini dimanfaatkan oleh masyarakat Dayak sebagai obat tradisional dalam mengobati penyakit kencing berdarah. Seluruh bagian tumbuhan Calophyllum baik akar, buah, daun, batang, kulit kayu maupun kayunya dipergunakan dalam terapi penyembuhan beberapa penyakit, misalnya penyakit kulit dan nyeri encok. 5.2.5
Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan jenis penyakit Hasil wawancara masyarakat diperoleh 24 spesies tumbuhan obat
digunakan sebagai ramuan sehabis melahirkan, 29 spesies tumbuhan digunakan untuk mengobati kelompok penyakit sistem ketahanan tubuh, misalnya demam,
45
masuk angin dan panas dalam. Penyakit kulit, telinga, mata dan wajah (25 spesies), sistem syaraf (5 spesies), sistem peredaran darah (1 spesies), sistem reproduksi (3 spesies), sistem pernapasan (6 spesies), sistem pencernaan (26 spesies), sistem kerangka dan otot (7 spesies) dan kelompok penyakit lain-lain (23spesies) (Gambar 26). Ramuan jamu setelah melahirkan
Kelompok penyakit
Sistem ketahanan tubuh Kulit, telinga, mata dan wajah Sistem syaraf Sistem peredaran darah Sistem reproduksi Sistem pernafasan Sistem pencernaan Sistem kerangka dan otot Lain-lain 0
5
10
15 20 25 Jumlah spesies
30
35
Gambar 26 Jumlah spesies tumbuhan obat berdasarkan kelompok penyakit. Salah satu jenis kelompok penyakit sistem pencernaan yaitu lever atau biasa dikenal dengan sakit kuning. Sengkelut (Lycopodium cernuum) diketahui seluruh bagian tumbuhan ini sebagai obat sakit kuning dengan cara direbus dan diminum airnya. Zuhud et al. (2003) menyebutkan bahwa spesies ini berkhasiat sebagai penyegar, penurun tekanan darah dan peluruh air seni. Kelompok jenis penyakit lain-lain meliputi penawar racun binatang, cacing kremi, pemanis kecapan, menghilangkan kebiasaan buang air kecil saat tidur, pusar besar, koreng gana, anak kecil sering nguliat dan lainnya. Keanekaragaman jenis penyakit ini sesuai dengan kearifan lokal masyarakat dalam menggunakan tumbuhan obat dari hutan. Beberapa spesies kantong semar (Nepenthes spp.) dimanfaatkan sebagai obat mata dan menghentikan kebiasaan mengompol pada anak kecil. Keliangauan (Curculigo latifolia) biasa digunakan untuk menghilangkan rasa pahit di lidah ketika sakit (pahit kecapan) dengan memakan buahnya yang sudah matang karena rasanya yang sangat manis dan tetap melekat rasa manisnya.
46
5.2.6 Pemanfaatan tumbuhan obat Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Desa Kelubi sudah dilakukan secara turun temurun. Hal ini masih dipegang oleh masyarakat sekitar hutan. Beberapa penyakit yang sering diderita oleh mereka yaitu pegal, sakit kepala dan panas dalam. Spesies tumbuhan obat yang digunakan ada yang diambil langsung dari hutan dan ada juga yang diambil dari pekarangan. Tumbuhan obat dapat digunakan dalam bentuk segar maupun yang sudah dikeringkan. Penyimpanan bagian tumbuhan obat yang biasa digunakan dilakukan dengan cara pengeringan. Salah satu bagian tumbuhan obat yang biasa disimpan dalam bentuk kering yaitu akar. Cara pengawetan akar tumbuhan obat dilakukan dengan memotong kecil akar dan kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering, akar tersebut disimpan dalam kardus, plastik, karung atau keranjang yang terbuat dari pandan lais (Pandanus furcatus). Menurut Prayetno (2010) bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apa pun juga, berupa bahan yang dikeringkan disebut simplisia. Pemanfaatan tumbuhan obat tidak hanya untuk kebutuhan pribadi, namun juga diperjualbelikan. Penjualan simplisia dilakukan oleh beberapa orang yang memang bekerja sebagai penjual obat tradisional. Semua jenis simplisia dijual dengan harga Rp10.000 per bungkus (Gambar 27). Simplisia tersebut dijual kepada orang-orang yang sudah menjadi langganan dan sebagian disimpan untuk pembeli yang datang ke rumah.
Gambar 27 Simplisia akar kayu bau (Artabotrys suaveolens) siap dijual.