62
4. JASA EKOSISTEM HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Kerangas adalah suatu tipe lahan yang dicirikan dengan tanah podsol yang miskin hara dengan material tanah yang kaya akan pasir kuarsa, pH rendah dan kerap memiliki lapisan gambut di atas permukaan tanah atau berupa gambut berlumpur yang tergenang. Kerangas terutama ditemukan di Kalimantan dan Sumatera, biasanya ditemukan pada ketinggian 0-800 m dpl. Proporsi terbesar kerangas terdapat di seluruh wilayah Kalimantan (Bruenig, 1974), Berdasarkan hasil observasi lapangan dan tinjauan literatur (Onrizal, 2005; Miyamoto et al. 2007), keberadaan dan luasan hutan kerangas semakin berkurang. Fenomena ini menuntut upaya penanganan dan pengelolaan untuk mencegah dan merehabilitasi kerusakan hutan kerangas. Tindakan penanganan dan pengelolaan perlu dilandasi oleh alasan yang kuat dan prinsip agar mendapatkan
dukungan
besar
dari
berbagai
pihak
dalam
upaya
mempertahankan, merehabilitasi dan mengelola hutan kerangas Mengidentifikasikan peran komunitas hutan kerangas terhadap lingkungan (jasa ekosistem) menjadi penting karena akan menjadi bahan acuan tentang pentingnya mengelola dan mempertahankan keberadaan hutan kerangas. Identifikasi peran komunitas hutan kerangas sejalan dengan paragdigma baru dalam konservasi biodiversitas yang berbasis pada pemanfaatan berkelanjutan dari sumberdaya hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ulang secara komprehensif peran hutan kerangas terhadap lingkungan secara umum. Lingkungan yang dimaksud mencakup lingkungan fisik-kimia, biologi dan lingkungan sosialekonomi. Pengindentifikasian peran hutan kerangas diharapkan akan menjadi informasi yang bermanfaat luas bagi stimulus konservasi hutan kerangas. B. Metode Penelitian 1) Lokasi Penelitian Obyek penelitian ini adalah hutan kerangas. Lokasi penelitian berada di hutan kerangas desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dan 3 lokasi referensi: i) Arboretum Nyaru Menteng Kota Palangkaraya,
ii)
Pasirputih-Lenggana
Kabupaten
Kotawaringin
Timur
Kalimantan Tengah, dan iii) Tanjung-Muara Kelanis Kalimantan SelatanKalimantan Tengah.
63
2) Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui wawancara semi terstruktur (Rahayu et al. 2008) dan penggunaan referensi literatur. Wawancara dilakukan terhadap langsung berbagai pihak seperti penduduk, Dinas Kehutanan, Aparat Desa, Dinas Pertambangan, Badan Pertanahan Nasional
dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah. 3) Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dalam bentuk narasi yang berisikan
data
kualitatif
dan
kuantitatif.
Deskripsi
yang
didapatkan
mengindikasikan peran hutan kerangas terhadap lingkungan fisik-kimia, biologi dan lingkungan sosial ekonomi. C. Hasil dan Pembahasan Jasa ekosistem dalam penelitian ini diidentifikasikan melalui peranan hutan kerangas terhadap lingkungan, yaitu lingkungan fisik-kimia, biologi dan sosialekonomi. Uraian berikut memberikan penjelasan tentang peran hutan kerangas terhadap lingkungan: 1) Peran hutan kerangas terhadap lingkungan fisik-kimia Desa Guntung Ujung yang berbatasan dengan hutan kerangas selama ini menjadi sumber air permukaan tanah bersih bagi desa-desa lain pada musim kemarau. Selain sebagai reservoir air, hutan kerangas Desa Guntung Ujung juga berfungsi sebagai daerah penyangga dalam mencegah banjir
bagi kawasan
budidaya tanaman pertanian (Gambar 4.1). Fungsi hutan kerangas sebagai daerah penyangga sekarang menjadi tidak maksimal, salah satunya disebabkan oleh kerusakan hutan kerangas. Hasil observasi lapangan dalam kurun waktu 10
tahun terakhir diketahui bahwa
bencana banjir menjadi langganan daerah sekitar yang merupakan pusat produksi pertanian padi sawah seperti Desa Tambak Sirang, Desa Malintang, Kayu Bawang, kota kecamatan Gambut.
64
Kawasan budidaya tanaman pertanian (areal penggunaan lain/APL)
Hutan Kerangas Gambar 4.1 Hutan Kerangas Desa Guntung Ujung sebagai penyangga kawasan budidaya pertanian (Sumber: Landsat 2007). Kumpulan tegakan hutan kerangas memiliki sifat aerodinamika dan sebagai pengatur cuaca yang menjaga kestabilan udara di dalam dan sekitar hutan kerangas. Hamparan bentang lahan pertanian yang terbuka dan datar terlindungi dari angin dengan adanya hutan kerangas yang berfungsi sebagai penyangga. Rusaknya hutan kerangas diduga menjadi salah satu penyebab kerapnya terjadi angin puting beliung yang melanda kawasan pertanian dan pemukiman masyarakat dalam kurun waktu ± 10 tahun ini.
Sebagian besar
masyarakat Desa Guntung Ujung mengemukakan bahwa cuaca sudah tidak senyaman dulu ketika masih banyak pepohonan di hutan kerangas. Onrizal (2004) mengemukakan bahwa hutan kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum mengandung bioamassa total 904,4 ton/ha dan kandungan karbon total 176,1 ton/ha. Kandungan biomassa tersebut meliputi kandungan biomassa tegakan pohon sebesar 874,9 t/ha atau setara dengan kandungan karbon 169,2, t/ha, kandungan biomassa tumbuhan bawah, serasah dan perakaran sebesar 29,5 ton/ha atau setara dengan kandungan karbon 6,9 ton/ha. Berbagai uraian tentang peran hutan kerangas menunjukkan bahwa secara fisik hutan kerangas merupakan penyangga bagi lingkungan sekitarnya. Penyangga yang dimaksud tidak sekedar penyangga air tetapi juga sebagai penyangga terhadap kondisi cuaca yang ekstrim. Pengaruh hutan kerangas terhadap lingkungan kimia ditunjukkan bahwa hutan kerangas merupakan penyimpan karbon. Selain sebagai penyimpan, melalui proses fisiologis, tegakan hutan kerangas juga merupakan penyerap emisi karbon.
65
2) Peran hutan kerangas terhadap lingkungan biologi Vegetasi yang tumbuh di hutan kerangas relatif terbatas dan memiliki karakter khusus sebagai bentuk adaptasi terhadap karakter tempat tumbuh yang terbatas. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang relatif rendah dari hutan kerangas dibandingkan hutan Dipterocarpaceae campuran, berdampak pada rendahnya keanekaragaman jenis fauna di dalam hutan kerangas.
Walaupun
demikian, keberadaan hutan kerangas tetap menjadi habitat bagi beberapa jenis satwa. Berdasarkan hasil penelitian dan referensi literature, berbagai jenis mamalia, primata, reftilia dan burung hidup dan berkembang di hutan kerangas (Smith R.G. 1999; Azlan dan Lading. 2006). Keberadaan hutan kerangas yang menjadi habitat satwa akan menjaga kestabilan
rantai
makanan
yang
terjadi.
Rusaknya
habitat
kerangas
menyebabkan ketidakmampuan hutan untuk menyediakan sumber pakan bagi satwa. Berdasarkan informasi dari masyarakat Desa Guntung Ujung, semenjak tegakan hutan kerangas rusak, hama seperti babi hutan (Sus barbatus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kerap memasuki perkampungan dan merusak tanaman pertanian. Berbagai jenis burung pemakan serangga terdapat di hutan kerangas, dengan komposisi jenis yang lebih beragam di hutan kerangas sekunder atau old growth dibandingkan hutan kerangas terbuka. Fenomena yang terjadi semenjak rusaknya hutan kerangas, serangan hama (golongan serangga) semakin meningkat menyerang tanaman pertanian. Hutan kerangas dapat digunakan sebagai lokasi program konservasi. Hutan kerangas Arboretum Nyaru Menteng merupakan lokasi Pusat Reintroduksi orang utan (Pongo pigmeus). Primata yang statusnya dilindungi seperti Kelasi (Presbitys rubicunda) dan Owa (Hylobates muelleri), banyak terdapat di hutan kerangas Arboretum Nyaru Menteng. Hutan kerangas dikenal sebagai habitat yang kondusif bagi berbagai jenis anggrek. Kehadiran jenis anggrek seperti Bulbophyllum becarii, B. schefferi, B.lobbi, Coelogyne zurowetzii, Dipodium poludosum hutan kerangas (Kissinger 2002).
ditemukan melimpah di
B. beccarii (Gambar 4.2) merupakan jenis
anggrek berdaun besar yang tumbuh secara epifit, menyukai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya rendah. Jenis ini keberadaannya relatif melimpah di beberapa tipe hutan kerangas sekunder atau old growth yang kondisi tanahnya relatif basah atau tergenang periodik. Informasi ini memberikan peluang bagi
66
upaya konservasi anggrek yang unik seperti Bulbophylum beccarii di hutan kerangas.
Gambar 4.2 Bulbophylum beccarii. Tanah hutan kerangas relatif kaya akan mikoriza. Rendahnya kandungan hara dan lambatnya dekomposisi bahan organik di permukaan tanah hutan kerangas terbantukan dengan kehadiran mikoriza. Berdasarkan persentase kehadiran per jenis atau famili, endomikoriza lebih banyak terdapat di hutan kerangas. Perbandingan keberadaan jenis mikoriza pada 15 famili tumbuhan, ektomikhoriza
hanya
terdapat
pada
3
famili
tumbuhan
(banyak
jenis
Dipterocarpaceae dan Fagaceae, serta satu jenis dari Myrtaceae), sedangkan endomikoriza (arbuskular mikoriza)
terdapat pada
13 famili tumbuhan yang
terdapat di hutan kerangas. Berdasarkan tingkat kehadiran dari tiap jenis tumbuhan, tercatat dari 22 jenis tumbuhan yang ditemukan 20 jenis memiliki simbiosis dengan mikoriza dalam penyerapan haranya. Terdapat
17 jenis
tumbuhan yang memiliki arbuscular mycorrhiza (AM) dan 2 jenis tumbuhan yang memiliki ectomychorhiza (EM), serta 1 jenis (Tristania beccarii dari family Myrtaceae) yang memiliki AM dan EM. Pada beberapa kasus kehadiran AM dan EM secara bersamaan terjadi pada jenis lain dari family Myrtaceae seperti Eucalyptus sp., Ixora sp. dan Syzygium sp. (Moyorsoen et al. 2001). Berbagai uraian yang telah dikemukan tentang peran hutan kerangas terhadap lingkungan biologi menunjukkan pembuktian bahwa hutan kerangas merupakan habitat yang kondusif dari berbagai komponen biologi di atas permukaan dan di dalam tanah. Keberadaan berbagai komponen biologi ini merupakan bagian dari kekayaan plasma nutfah dan menjaga kestabilan ekosistem.
67
3) Peran hutan kerangas terhadap lingkungan sosial-ekonomi Hutan kerangas di lokasi penelitian utama sejak lama dikenal sebagai penghasil kayu bagi masyarakat sekitar.
Beberapa jenis kayu yang pernah
dihasilkan adalah dari jenis belangiran (Shorea belangiran), irat (Cratoxylon arborescens), merapat (Combretocarpus rotundatus), palawan (Tristaniopsis obovata), bintangur (Callophylum sp.) alaban (Vitex pubescens) dan galam (Melaleuca cajuputi). Hutan kerangas Liang Anggang yang formasi tanahnya lumpur bergambut pernah sebagai penghasil kayu dari jenis belangiran yang diameter pohonnya mencapai ≥ 100 cm. Gambar 4.3 merupakan sisa kayu rebah dari jenis belangiran yang membuktikan bahwa hutan kerangas Liang Anggang dulunya merupakan penghasil kayu bagi masyarakat.
Gambar 4.3 Sisa kayu rebah dari pohon belangiran (Shorea belangeran) Pemanfaatan kayu oleh masyarakat masih berlangsung di hutan kerangas Liang Anggang. Pemanenan jenis kayu merapat untuk pertukangan dan kayu galam untuk kebutuhan kayu bakar dilakukan masyarakat hingga saat ini. Trend pemanfaatan kayu sekarang relatif menggunakan kayu ―Galih‖ ((istilah untuk log kayu terutama dari jenis belangiran, nipa dan merapat yang tertimbun lama dalam tanah dan masih layak untuk dimanfaatkan untuk kayu gergajian), yang mana pemanfaatannya relatif untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Peran hutan kerangas sebagai penghasil kayu juga terjadi di lokasi referensi baik yang terdapeat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. belangiran (S.belangeran) dan irat (Cratoxylon arborescen) merupakan jenis kayu yang banyak dipanen dari hutan kerangas oleh masyarakat Kabupaten Kotawaring Timur dan Palangkaraya. Kedua jenis ini kayu ini digunakan sebagai kayu pertukangan baik untuk kebutuhan sendiri atau dijual. Jenis merapat (C.rotundatus) dan belangiran (S.belangeran) merupakan jenis kayu pertukangan yang dipanen dari hutan kerangas oleh masyarakat Tanjung-Muara Kelanis. Kayu alau (Dacridium beccarii) merupakan jenis kayu pertukangan yang sampai
68
saat ini masih dipanen dari hutan kerangas oleh masyarakat di Palangkaraya dan Kabupaten Barito Timur. masyarakat
Kabupaten
Hutan kerangas juga sebagai penyedia kayu bagi Barito
Utara,
terutama
untuk
jenis
kayu
irat
(C.arborescens) dan masupang (Shorea velunosa) yang digunakan untuk membuat sirap atau kayu pertukangan. Selain hasil hutan kayu, di lokasi utama penelitian (Desa Guntung Ujung), sejak tahun 1996-an kawasan hutan kerangas merupakan penghasil utama daun rambuhatap atau jungrahab (Baeckea frutescens) yang dijual penduduk kepada pedagang pengumpul. Pemanfaatan jenis tanaman ini juga menghasilkan pendapatan ekonomi langsung bagi masyarakat. Pemungutan daun rambuhatap yang dimulai sejak tahun 1995-an merupakan mata pencaharian tambahan utama bagi penduduk selama menunggu antara musim tanam dan musim panen padi sawah. Gambar 4.4 merupakan deskripsi tumbuhan rambuhatap.
Gambar 4.4 Rambuhatap atau jungrahab (Baeckea frutescens) sebagai salah satu contoh tumbuhan obat dari hutan kerangas Rambuhatap merupakan jenis tumbuhan yang dikenal sebagai komponen penting dari bahan yang digunakan dalam industri jamu. Sandra dan Kemala (1994) mengemukakan bahwa permintaan simplisia jenis tumbuhan ini mengalami trend kenaikan aan jenis ini permintaan sebesar 20,55 % per tahun. Berdasarkan hasil penelitian permintaan simplisia rambuhatap tahun 2000 mencapai 4.839 ton. Soediarto et al dalam Sandra dan Kemala (1994) mengemukakan bahwa secara total pemanfaatan simplisia rambuhatap oleh industri jamu di Jawa Tengah frekuensinya mencapai 41 jamu. Fenomena yang terjadi pada kasus penjualan daun Rambuhatap atau adalah para pedagang pengumpul membelokkan informasi tentang manfaat tumbuhan ini hanya untuk kebutuhan industri obat nyamuk bakar. Pembelokan informasi ini dilakukan agar mereka bisa mendapatkannya dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal kepada pihak yang membutuhkannya.
69
Pemanenan yang berlebihan menyebabkan kelangkaan Rambu Hatap yang dapat dipanen. Kelangkaan tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan kemampuan setiap KK dalam memanen Rambu Hatap dari 100-120 kg/hari daun kering menjadi hanya 30-50 kg/hari.
Pelaksanaan pemanenan rambu hatap
umumnya berlangsung selama 2 bulan. Kelangkaan barang yang dapat dipanen juga menyebabkan terjadinya peningkatan harga jual daun Rambu Hatap, dari Rp 300,- menjadi Rp 2500,-/kg berat daun kering. Selain rambu hatap, bahan tanaman lain yang dijual adalah buah galam. Jumlah penjualannya relatif kecil dibandingkan daun rambu hatap karena periodisitas musim berbuah dan tegakan galam yang semakin jarang ditemukan. Harga jual dari buah galam sekarang adalah Rp 6.000,-/kg. Masyarakat selama ini tidak punya kesempatan dan pengetahuan untuk dapat berkreasi dan berinovasi untuk meningkatkan nilai tambah produk. Sejak dimulainya usaha penjualan daun Rambu Hatap (1996) sampai sekarang, masyarakat masih berperan sebagai pengumpul bahan mentah yang selanjutnya dijual kepada pedagang pengumpul (tengkulak). Intervensi dari luar berupa pembelokan informasi nilai guna Rambu Hatap, keterbatasan kesempatan dan pengetahuan dalam upaya meningkatkan nilai tambah Rambu Hatap menjadikan nilai manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat dari jenis tumbuhan ini rendah. Rendahnya nilai ekonomi semakin memperlemah motivasi individu sehingga mempersepsikan keberadaan Rambu Hatap tidak terlalu penting. Hal ini menjadi suatu pembelajaran bahwa belum tereksplorasinya nilai tambah (added value) dari keragaman biodiversitas hutan kerangas menyebabkan keterbatasan penerapan pemanfaatan berkelanjutan potensi biodiversitas berbasis bioprospeksi di hutan kerangas Keterbatasan
pemanfaatan
berkelanjutan
Rambu
Hatap
mencakup
pemanenan yang sifatnya musiman dan tergantung stok di alam, proses pengeringan yang tergantung cuaca, monopoli pembelian bahan alam, fasilitasi yang belum terwujud dari pemerintah dan nilai jual yang rendah. Keterbatasan ini menyebabkan kegiatan tersebut menjadi pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan memanfaatkan Rambu Hatap tidak lagi menjadi pilihan utama penduduk setempat. Mereka sekarang lebih memilih pekerjaan sampingan di luar desa. Hal ini ditunjukkan dari berkurangnya jumlah penduduk yang memanen Rambu Hatap dari tahun ke tahun.
70
Industri jamu dan pengolahan bahan alam yang berkembang di Kalimantan Selatan belum menggunakan bahan yang berasal dari hutan kerangas. Beberapa usaha masyarakat di Kalimantan Selatan yang relatif banyak memanfaatkan hasil hutan Dipterocarpaceae campuran (≤ 50%) terbatas pada pengolahan jamu dan bahan alam yang skala industri rumah tangga. Industri jamu dan pengolahan bahan alam dengan skala produksi relatif lebih besar belum banyak menggunakan bahan baku yang berasal dari hutan. Pemanfaatan bahan baku dari hutan Dipterocarpaceae Campuran dataran rendah hanya berkisar 10% dari total jenis bahan baku yang digunakan oleh salah satu perusahaan jamu (PT.Sarigading, 2009). Beberapa pengusaha mengutarakan permasalahan ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan menjadi kendala utama penggunaan bahan baku dari hutan. Menurut pendapat mereka, perlu adanya pelaksanaan program khusus agar ketersedian bahan baku yang berasal dari hutan dapat berkelanjutan Sungai kecil dan danau-danau alami yang terdapat di hutan kerangas dulunya merupakan sumber ikan air tawar lokal seperti pentet (Clarias sp.), papuyu (Anabas testudineus), haruan (Channa striatus), mihau (Channa punctuatus), kapar (Belontia hasselti). Keberadaan kerangas sebagai habitat bagi ikan-ikan lokal dulunya merupakan sumber pangan penting bagi masyarakat sekitar hutan kerangas. Fenomena yang terjadi sekarang menunjukkan keberadaan ikan-ikan lokal tersebut mulai langka seiring dengan semakin rusaknya lingkungan hutan kerangas. Hutan kerangas yang didominasi tumbuhan galam juga menjadi habitat bagi lebah madu. Lebah madu yang dihasilkan dari hutan galam memiliki citra rasa yang khas (berasa ―mint‖). Alyadi dan Yusof (2002) melaporkan bahwa madu yang dihasilkan dari pohon galam mengandung gallic, caffeic, dan benzoic acids serta zat tambahan phenolic acids yang bernama ferulic dan cinnamic acids. Zat-zat yang terkandung dalam madu galam tesebut diketahui sangat baik sebagai antibakteri. Palawan (Tristaniopsis spp.) merupakan jenis pohon yang juga relatif dominan terdapat di hutan kerangas.
Pada sistem perakaran T. merguensis
tumbuh jamur edibel yang dikenal masyarakat Bangka dengan nama jamur pelawan. Harga jual jamur pelawan ini berkisar Rp 400.000,- sampai Rp 800.000,- bahkan pernah mencapai Rp 1.000.000,-/kg berat kering pada bulan Desember 2010 – Januari 2011. Jamur pelawan (Gambar 4.4) ditemukan
71
tumbuh pada sistem perakaran pohon Tristaniopsis merguensis yang berada pada fase pohon, tiang, maupun pancang. Selain sebagai inang utama dari jamur pelawan, nektar bunga T. merguensis juga merupakan makanan utama bagi lebah penghasil madu pahit yang dipercaya masyarakat Bangka dapat menyembuhkan banyak penyakit (Yarli 2011).
Gambar 4.5 Jamur palawan (sumber: Yarli 2011). Bruenig (1974) mengemukakan bahwa masyarakat telah mengekploitasi hutan kerangas untuk berbagai produk seperti guttapercha, kayu-kayu keras, kayu penghasil wewangian, beberapa resin dan bahan celupan. Penggunaan hutan kerangas juga dilakukan sebagai lahan pertanian di beberapa wilayah dengan sistem tebas bakar. Hutan kerangas yang fraksi tanahnya kaya akan liat-lempung dan slopenya datar masih potensial bagi pertanian. Konsekuensi dari penggunaan sistem tebas bakar adalah tahun akan terbentuk lahan terbuka berpasir seperti savana dengan sedikit pohon kecil dan semak. Rehabilitasi yang pernah dilakukan terhadap kerangas terbuka dengan jenis tanah berpasir dari golongan humus podsol dan grey yellow podsol relatif kurang berhasil (Lamprecht 1989). Keragaman plasma nutfah dari hutan kerangas selama ini telah memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Relatif banyak berbagai potensi dari hutan kerangas yang belum termanfaatkan. Informasi ini diharapkan dapat menjadi suatu rangkaian konektivitas informasi agar peran kerangas dapat lebih termanfaatkan dengan lebih baik dan berkelanjutan. D. Simpulan Peran hutan kerangas terhadap lingkungan yang berhasil diidentifikasikan dalam penelitian ini di antaranya adalah peran sebagai penyangga air, penyangga dampak cuaca yang ekstrim, kemampuan menjadi penyimpan dan penyerap karbon, habitat yang kondusif dari berbagai komponen biologi di atas permukaan dan dalam tanah, sumber sumber bahan sandang, pangan dan obat-
72
obatan bagi masyarakat. Keberadaan berbagai komponen biotik dan abiotik di hutan kerangas merupakan bagian dari kekayaan plasma nutfah dan menjaga kestabilan ekosistem. Produk dari rambuhatap, buah galam, madu, jamur telah menjadi sumber pendapatan masyarakat. Terdegradasinya hutan kerangas mengakibatkan
relatif
menurunnya
kemampuan
hutan
kerangas
dalam
memberikan sumbangan jasa ekosistem. Teridentifikasikannya peran atau jasa ekosistem dari hutan kerangas, hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi para pihak untuk mendukung penuh implementasi konservasi terhadap hutan kerangas.