LAPORAN KEGIATAN
PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT
Oleh : Tim Pengendali Ekosistem Hutan
TAMAN NASIONAL BALURAN TAHUN 2005
E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
1
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi populasi satwa mamalia besar, terutama banteng, di kawasan Taman Nasional Baluran diprediksikan telah terjadi penurunan jumlah yang cukup signifikan pada kurun waktu 3 tahun terakhir. Kekhawatiran akan itu menuntut pengelola kawasan untuk lebih serius menangani masalah tersebut. Hingga saat ini telah banyak terjadi perubahan pola perilaku, pergerakan dan populasi satwa (terutama banteng). Hal ini dipengaruhi banyak faktor, yang diantaranya yaitu tingkat gangguan manusia (perburuan liar) dan predator (ajag), menurunnya kualitas dan kuantitas sumber air minum satwa di dalam kawasan serta beberapa faktor lain yang kesemuanya saling berkaitan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, guna memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupannya, satwa mamalia besar (terutama banteng) berusaha untuk mencari lokasi atau habitat yang mempunyai daya dukung yang cukup. Salah satu kebutuhan pokok tersebut yaitu ketersediaan pakan dan sumber air minum. Banteng dan satwa mamalia besar lainnya, terutama pada musim kemarau, dapat melakukan perjalanan yang jauh untuk menemukan sumber air. Keterbatasan persediaan air di suatu habitat satwa akan sangat berpengaruh terhadap perilaku, pola pergerakan dan populasi satwa tersebut. Selain faktor keterbatasan sumber pakan dan air, faktor perburuan liar dan predator juga memiliki andil yang cukup berarti dalam penurunan populasi satwa liar. Berdasarkan informasi yang diperoleh selama kegiatan pengamatan mamalia besar (terutama banteng) pada tahun 2003 dan 2004 diketahui beberapa jalur atau lokasi ditemukannya indikasi satwa (perjumpaan langsung, kotoran, jejak dan tanda lainnya) di beberapa tempat yang menyebar di dalam kawasan. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kegiatan pengamatan satwa mamalia besar di Taman Nasional Baluran, diperlukan monitoring lanjutan yang dilakukan secara berkala / rutin setiap periode waktu tertentu. Kegiatan ini berpedoman pada jalur atau lokasi yang ditempuh pada kegiatan tahun sebelumnya dan juga jalur atau lokasi lain yang diindikasikan sebagai perkembangan kondisi habitat banteng di kawasan Taman Nasional Baluran. B. Tujuan Kegiatan Kegiatan identifikasi habitat ini bertujuan : 1. Mengetahui perkembangan kondisi habitat satwa mamalia besar di dalam kawasan Taman Nasional. 2. Mengumpulkan bahan kajian guna pengambilan kebijakan dalam pengelolaan populasi satwa dan habitatnya.
E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mamalia Mamalia merupakan hewan yang hampir seluruh tubuhnya tertutup oleh kulit berambut, termasuk hewan berdarah panas. Sebutan mamalia berdasarkan adanya kelenjar mamae pada hewan betina untuk menyusui anaknya yang masih muda. Berdasarkan waktu aktivitasnya mamalia dapat diklasifikasikan menjadi hewan nokturnal (aktif malam hari) dan hewan diurnal (aktif siang hari). Berdasarkan tempat hidupnya dapat diklasifikasikan menjadi hewan arboreal (hidup di pohon) dan terestrial (hidup di darat), berdasarkan jenis makanannya dapat diklasifikasikan menjadi hewan browser (memakan pucuk daun), hewan grasser (pemakan rumput), dan tergolong dalam herbivora, karnivora dan omnivora. 1. Banteng (Bos javanicus d’Alton) a. Klasifikasi Nama daerah lain untuk banteng adalah sapi alas (jawa), klebo dan temadu (Kalimantan). Menurut Lekagul dan McNeely (1977) dan Alikodra (1982), secara taksonomi banteng dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Klas : Mammalia Subklas : Theria Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminantia Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Tribe : Bovini Genus : Bos Spesies : Bos javanicus d’Alton b. Morfologi Banteng merupakan hewan yang besar, tegap dan kuat dengan memiliki bahu depan yang lebih tinggi daripada bagian belakang dengan sepasang tanduk di kepalanya. Pada banteng jantan dewasa tanduknya berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung ke arah depan (medio enterior), sedangkan pada betina dewasa tanduknya lebih kecil dan melengkung ke belakang. (Lekagul dan Mc. Neely, 1977 dalam Anonimous, 1997) Pada bagian tengah dada terdapat gelambir (dewlap) memanjang dari pangkal kaki depan hingga bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Hoorgerwerf, 1970; Helder, 1976 dalam Alikodra, 1997). Menurut Preffer dan Sinaga (1964) dalam Santosa, (1985), berat banteng dewasa di Taman Nasional Baluran dapat mencapai 900 Kg dan tinggi bahunya kurang lebih 170 cm. Banteng jantan mempunyai ukuran tengkorak 50 cm, sedangkan betina dewasa lebih kecil dari ukuran tengkorak banteng jantan. Tinggi bahu bervariasi menurut umur. Banteng jantan yang berumur 8 – 10 tahun mempunyai tinggi bahu 170 cm, sedangkan banteng betina mempunyai tinggi bahu 150 cm (Hoorgerwerf, 1970 dalam Anonimous 1997). Banteng mempunyai ciri khas yaitu pada bagian pantat terdapat belang putih, bagian kaki dari lutut ke bawah seolah-olah memakai kaos kaki berwarna putih, serta pada bagian atas dan bawah bibir berwarna putih. Banteng jantan mempunyai warna bulu hitam. Semakin tua umurnya makin hitam warna bulunya. Banteng betina warna kulitnya coklat kemerahan, semakin tua umurnya semakin gelap menjadi coklat tua. Warna kulit anak banteng baik yang jantan maupun betina lebih terang dari pada warna kulit banteng betina dewasa, tetapi pada banteng jantan muda (anak) warna kulitnya lebih gelap sejak berumur antara 12 – 18 bulan. (Alikodra 1983). Menurut Hoorgerwerf (1970) dan Lekagul & McNeely (1973) dalam Alikodra (1983), umur banteng maksimum berkisar diantara 10 – 25 tahun, selanjutnya hidup seekor banteng betina dapat menghasilkan keturunannya sebanyak 21 ekor anak. Umur E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
3
c.
d.
e.
pertama banteng betina mampu untuk berkembang biak adalah 3 tahun, sedangkan banteng jantan lebih dari 3 tahun. Populasi dan Penyebarannya Hoogerwerf (1970) dalam Anonimous (1997), menduga bahwa sekitar tahun 1940 populasi banteng di Jawa tidak lebih dari 2000 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut menurun terus menerus dari tahun ke tahun, hingga tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor. Sebelum tahun 1940, banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah di Pulau Jawa, tetapi sekarang banteng hanya dapat diketemukan dalam suaka margasatwa dan cagar alam yang ada di Pulau Jawa. Di Kalimantan banteng hidup di sepanjang Sungai Mahakam dan di Kalimantan Barat bagian tengah. Sebelum Perang Dunia II, banteng dapat diketemukan hidup bebas pada padang rumput di Burma dan Indo China dan setelah Perang Dunia II banteng sudah jarang diketemukan. Mereka datang ke padang rumput hanya pada waktu malam hari (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Anonimous, 1997). Sekarang ini banteng di Pulau Jawa hanya dapat diketemukan di kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatwa Cikamurang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri (Alikodra 1983). Fisiologi Banteng Banteng termasuk satwa yang berkelompok. Jumlah setiap kelompok berjumlah sekitar 10 – 12 ekor, yang terdiri dari banteng jantan dewasa, induk dan anak-anaknya. Sex ratio antara banteng jantan dan betina dalam suatu populasi banteng berkisar antara 1 : 3 sampai 1 : 4. Banteng termasuk satwa yang mempunyai satu kali musim kawin dalam satu tahun dan melakukan perkawinan dalam satu periode waktu tertentu tergantung dari lokasi habitatnya. Lama bayi dalam kandungan adalah 9,5 – 10 bulan (Hoorgerwerf, 1970 dalam Anonimous, 1997). Musim kawin banteng di Taman Nasional Baluran, menurut petugas, berlangsung setelah musim kawin rusa, yaitu antara Bulan Agustus atau September, yang ditandai oleh banyaknya banteng jantan mengeluarkan suara lenguhan. Perilaku Banteng, sebagai satwa yang hidup berkelompok, biasanya terdiri dari satu ekor banteng jantan dewasa, bertindak sebagai ketua kelompok, jantan muda, betina induk dan anak-anaknya. Banteng terkenal sebagai satwa yang mempunyai daya penciuman dan pendengaran yang tajam. Sebagai tandanya, di waktu makan banteng sering mengangkat kepala sambil mengibas-ibaskan telinganya untuk mendengar apakah ada bahaya, kemudian mulai makan lagi jika dirasa tidak ada tanda-tanda bahaya yang akan mengganggu. Apabila ada tanda bahaya, banteng yang pertama kali mendengar hal itu akan segera menghadap ke arah sumber bahaya sambil memberi isyarat kepada banteng yang lainnya. Bila ada bahaya mengancam, banteng-banteng muda dan betina terlebih dahulu masuk ke dalam hutan kemudian disusul oleh banteng dewasa jantan (Hoorgerwerf, 1970 dalam Anonimous, 1997). Dalam tiap-tiap kelompok biasanya terdapat beberapa banteng jantan muda (2 – 5 ekor) yang mana pada saatnya nanti, salah satunya akan menggantikan sebagai ketua kelompok. Waktu pergantian ketua kelompok, sering terjadi perkelahian, dan banteng yang kalah akan memisahkan diri dari kelompoknya dan kadang-kadang diikuti oleh beberapa banteng betina yang setia kemudian membentuk kelompok baru (Alikodra, 1980). Banteng yang sudah tua dan mendekati ajalnya akan memisahkan diri dan menjadi banteng soliter sehingga rawan untuk menjadi mangsa satwa predator (Hoorgerwerf, 1970 dalam Anonimous, 1997). Menurut Alikodra (1983), banteng mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : - menyukai daerah yang luas dan tidak ada gangguan alami - daerah yang banyak terdapat garam; daerah yang tidak ada gangguan lalat, lebah dan yang lainnya serta daerah moonson forest, savana dan blang
E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
4
-
suka hidup berkelompok suka melakukan perjalanan jauh sambil makan dan kurang tahan terhadap terik matahari sehingga banteng sering berlindung di bawah pohon rindang di dekat padang rumput/ savana.
2. Kerbau Liar (Bubalus bubalis) a. Klasifikasi Nama daerah lain untuk kerbau air adalah kebo dan maeso (Jawa), munding (Sunda), lambar (Sulawesi), bicil (Timor), kabo (Bali), hadangan dan trewan (Kalimantan) dan karbui (Madura). Menurut Lekagul dan McNeely (1977) dalam Anonimous (1997), secara taksonomi kerbau liar dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Klas : Mamalia Sub Klass : Theria Ordo : Artiodactyla Sub Ordo : Ruminantia Famili : Bovidae Sub Famili : Bovinae Genus : Bubalus Spesies : Bubalus babalis Linnaeus Menurut Mason (1977) dalam Santosa (1985), ada dua tipe kerbau air, yaitu kerbau sawah atau kerbau lumpur (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau lumpur mempunyai warna kulit abu-abu keputihan pada anak-anak dan menjadi biru kehitaman setelah dewasa, tanduk tumbuh ke samping membentuk lengkungan setengah lingkaran serta lebih suka berkubang di kolam yang berlumpur. b. Morfologi Kerbau air termasuk hewan ruminansia besar yang mempunyai ciri-ciri bertubuh besar, warna kulit kelabu hitam dengan rambut pendek kaku tersebar jarang berwarna merah kelabu. Di bawah lehernya terdapat warna merah keputihan yang arahnya melintang seperti huruf V, bagian kaki mulai dari lutut ke bawah seolah-olah memakai kaos kaki berwarna abu-abu keputihan. Pada bagian bibir dan sudut mata bagian atas terdapat warna putih. Warna tubuh kerbau liar jantan dan betina sama. (Santosa, 1985) Kerbau liar mempunyai sepasang tanduk yang besar dengan pangkal yang bergaris-garis melintang dan mempunyai potongan segitiga. Tanduk kerbau jantan lebih besar daripada tanduk kerbau betina (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Santosa, 1985). Selanjutnya menurut Preffer dan Sinaga (1964) dalam Santosa (1985), kerbau liar dewasa yang pernah ditemukan di Taman Nasional Baluran dapat mencapai berat 1000 kg dan tinggi bahunya kurang lebih 150 cm. Kriteria umur dan jenis kelamin kerbau liar berdasarkan ciri morfologisnya yaitu kerbau jantan dewasa warna tubuhnya hitam kebiruan, tanduk relatif lebih besar dan tebal, serta ada penis pada selangkangnya. Sedangkan kerbau betina lebih kecil tubuhnya dan tanduk lebih kecil dan tipis, juga ditandai dengan adanya puting susu dan vagina. c. Populasi dan Penyebarannya Kerbau liar termasuk satwa tropis. Di Indonesia kerbau domestik tersebar di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Kerbau dapat hidup di dataran rendah sampai di pegunungan dengan ketinggian 250 meter dari permukaan laut. Kerbau liar yang ada di Taman Nasional Baluran semula merupakan kerbau domestik yang menjadi liar. Kerbau Liar mulai disadari berada di Taman Nasional Baluran semenjak tahun 1937. Pada tahun 1955 kerbau liar di Taman Nasional Baluran diduga 110 ekor dan pada tahun 1977 diduga kembali berjumlah 275 ekor. (Wind dan Amir, 1977). d. Fisiologi Kerbau Liar termasuk hewan ruminansia yang mempunyai kromosom 48 buah. Kerbau juga suka berkubang untuk menghindarkan sengatan matahari dan serangga, sehingga disebut juga hewan yang tergantung kepada air (khususnya untuk berkubang).
E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
5
e.
Secara fisiologis kerbau kurang tahan terhadap sengatan sinar matahari dibandingkan dengan sapi (Ahmadi, 1986 dalam Anonimous, 1997). Dalam keadaan istirahat dan naungan kerbau mempunyai suhu tubuh, laju pernafasan dan pulsa jantung yang lebih rendah dibandingkan sapi. Bila terkena panas sinar matahari, suhu tubuh, laju pernafasan dan pulsa jantung melonjak cepat. Begitu mendapat naungan atau mendapatkan air keadaan akan menjadi normal kembali. Penyebabnya ialah karena kerbau mempunyai pori-pori dan kelenjar keringat hanya sepersepuluh dari sapi, dimana pori-pori sapi mempunyai kerapatan 1500 – 1700 per sentimeter persegi. Keadaan ini yang menyebabkan kerbau tergantung pada air / kubangan dan naungan. Kerbau mencapai dewasa kelamin pada umur 3 – 3,5 tahun. Musim kawin terjadi pada Bulan Oktober – November. Lama mengandung bayi berkisar 281 – 334 hari (Ahmadi, 1986 dalam Anonimous, 1997). Perilaku Pada umumnya herbivora menghabiskan waktunya selama berjam-jam hanya untuk makan. Pemamah biak sering berbaring pada waktu memamah biak. (Tanudimadja, 1978 dalam Anonimous, 1997) Tingkah laku makan binatang liar sangat bervariasi, baik lamanya makan maupun frekuensi makannya tiap hari. Jika dilihat tingkah laku makan pada skala pendek, maka tingkah laku makan dilakukan bersama-sama dengan tingkah laku pindah gerak. Gerak tersebut termasuk gerak penjelajahan daerah lingkungannya maupun perpindahan di dalam mencari makan dan memilih makanannya (Suratmo, 1979). Selama musim kemarau kerbau liar betina dan anaknya merumput bersamasama pada tempat yang tinggi atau secara terpisah pada tanah yang datar. Sedangkan pada waktu sore, malam dan pagi hari kerbau tinggal bersama-sama ( Ahmadi, 1986 dalam Anonimous. 1997). Dalam aktivitas harian kerbau liar di Taman Nasional Baluran membentuk kelompok terutama yang dewasa muda dengan tiap kelompoknya ada 5 – 63 ekor. Tetapi ada juga kerbau liar yang hidup soliter. Kerbau liar membentuk kelompok bila merasakan adanya bahaya dan memperlihatkan perilaku waspada, yaitu dengan berperilaku diam sambil menengadahkan kepalanya dan mencari sumber bahaya dan arah datangnya. Umumnya tindakan yang diambil adalah lari menghindar bersama-sama, dimulai dari anak, induk dan diikuti oleh kerbau jantan sehingga seluruh anggota kelompok merasa selamat (Ahmadi, 1986 dalam Anonimous, 1997). Menurut Tuloch (1978) dalam Anonimous (1997), menyatakan bahwa diantara individu-individu kerbau jarang terjadi interaksi yang agresif. Interaksi agresif sering terjadi apabila ada anak yang mencoba untuk menyusu pada bukan induknya. Saat Kerbau betina sedang birahi akan menunjukkan perilaku tertentu, yaitu dengan menggosokkan tubuhnya dengan tanah, melenguh dan mendengus, mencoba menaiki kerbau yang lain, pada saat lari ekornya diangkat ke atas. Disamping itu kerbau betina yang sedang birahi kadang-kadang menjadi lebih agresif dengan mengembara lebih jauh karena kurang adanya pejantan, tanda-tanda ini akan nampak jelas biasanya pada musim dingin (Ahmadi, 1986 dalam Anonimous. 1997).
3. Rusa Timor ( Cervus timorensis de Blainvile ) a. Klasifikasi Rusa timor merupakan hewan yang dilindungi karena terjadi penurunan populasi yang dianggap sampai pada titik yang kritis, sehingga dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Rusa timor termasuk satwa liar yang berkerabat dekat dengan kancil dan kijang. Klasifikasi lengkap rusa timor menurut Widyastuti (1993) adalah sebagai berikut : Klas Ordo Family Genus Species
: : : : :
Mamalia Artiodactyla Cervidae Cervus Cervus timorensis
E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
6
b.
c.
Morfologi Morfologi rusa timor ditandai dengan warna kulit coklat kemerah-merahan, hidupnya berkelompok dan mempunyai daerah teritorial sendiri-sendiri. Rusa jantan berwarna lebih gelap dan bulunya lebih kasar serta mempunyai tanduk yang bercabang indah, dan umumnya berwarna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap. Bobot badan dewasa dapat mencapai 60 kg, panjang badan berkisar antar 1,95 – 2,10 m, tinggi badan 1,00 – 1,10 m. Umur sapih 4 bulan, dewasa kelamin betina terjadi pada umur 2 tahun 3 bulan dan umur tua sekitar 15 – 18 tahun. Lama kebuntingan rusa antara 250 – 285 hari. Jumlah anak yang dilahirkan dari setiap kali beranak pada umumnya berjumlah 2 ekor (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). Habitat Satwa liar dalam hidupnya memerlukan tempat-tempat yang dapat dipergunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat berkembang biak. Rusa mempunyai sifat mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Tempat hidup rusa umumnya di daerah yang dekat dengan hutan dan pada padang rumput / savana. Satwa ini memiliki indera penciuman dan pendengaran yang tajam, sehingga mudah menghindarkan diri dari musuh yang akan memangsanya (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). Daerah-daerah yang kering dan terbuka merupakan tempat habitat rusa, seperti padang rumput atau bukit-bukit, berkemiringan yang landai, dengan pohon dan belukar yang tersebar.
B. Habitat Satwa Mamalia Besar Guna mendukung kehidupannya, satwa liar membutuhkan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya, baik makanan dan air. Menurut Alikodra (1990), habitat merupakan kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar. Setiap satwa menempati habitat sesuai dengan lingkungannya yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya dan setiap satwa liar menghendaki kondisi yang berbeda-beda. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwa liar yaitu terdiri dari makanan, air, temperatur, kelembaban, tekanan udara dan tempat berlindung maupun kawin. Faktor ini secara keseluruhan berperan sebagai sistem yang berfungsi dalam mengendalikan pertumbuhan populasi Perubahan faktor pembatas (pakan dan air pada musim kemarau) baik dari segi kualitas maupun kuantitas dapat mengubah daya dukung lingkungannya. Dalam pembinaan habitat, faktorfaktor pembatas tersebut harus diperhatikan fluktuasinya dan dipantau untuk menetapkan programprogram pengelolaan yang tepat. (Alikodra, 1983)
E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
7
BAB III. METODE PELAKSANAAN
A. Waktu dan Tempat Kegiatan identifikasi habitat satwa mamalia besar terdiri dari banteng (Bos javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalis) dan rusa (Cervus timorensis). Akan tetapi dalam pengamatan lebih dominan ditujukan pada banteng. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 25 November 2005,sedangkan lokasi identifikasi di Blok Asem Sabuk B. Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang dibutuhkan antara lain sebagai berikut : 6. Binoculer 1. Alat tulis 7. Parang 2. Peta kerja 8. Buku panduan lapangan 3. Kamera foto 4. Handycam 9. Tally sheet 10. Kompas 5. Kertas lakmus – ph C. Metode Kegiatan Kegiatan identifikasi habitat dan home range satwa mamalia besar dilaksanakan dengan monitoring langsung di lapangan. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi : 1. Obyek pengamatan : a. Kondisi masing-masing habitat satwa (Sumber air minum satwa alami, tempat minum buatan dan sungai, feeding ground, dll ) b. Satwa mamalia besar (terutama banteng), baik perjumpaan langsung maupun tidak langsung ( jejak, kotoran dan indikasi lainnya). 2. Lokasi pengamatan : a. Sumber-sumber air minum satwa yang menyebar di kawasan Taman Nasional Baluran. b. Lokasi sumber pakan (feeding ground) c. Jalur-jalur pergerakan satwa di dalam kawasan. d. Lokasi-lokasi tertentu yang diidentifikasi sebagai habitat satwa mamalia besar. 3. Metode pelaksanaan : a. Inventarisasi lokasi dan habitat mamalia besar (jumlah sumber air minum satwa, jalur-jalur satwa, feeding ground / savanna dll). b. Penentuan data lapangan yang dikumpulkan dan pembuatan tally sheet : • Nama lokasi dan posisi di kawasan yang digunakan sebagai habitat satwa mamalia besar. • Identifikasi pemanfaatan habitat tersebut oleh satwa. • Kondisi sekitar habitat satwa tersebut. • Indikasi satwa yang memanfaatkan habitat tersebut, berupa jejak, kotoran, dan tanda-tanda lainnya. • Indikasi ada / tidaknya gangguan terhadap habitat satwa tersebut. • Perkiraan jumlah dan jenis satwa dari tanda atau indikasi yang ditemukan di lokasi tersebut. c. Mencatat berbagai informasi lain yang diperlukan dan belum termasuk dalam tally sheet.
E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
8
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Habitat Satwa Mamalia Besar Guna mendukung kehidupannya satwa mamalia besar (banteng, rusa dan kerbau liar) di Taman Nasional Baluran membutuhkan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya. Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungannya yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya dan setiap individu atau kelompok satwa liar menghendaki kondisi yang berbeda-beda. Taman Nasional Baluran yang terdiri dari berbagai tipe habitat, mulai dari pantai hingga pegunungan, merupakan kawasan yang menyediakan berbagai potensi dan sesuai dengan kondisi yang diperlukan oleh satwa mamalia besar. Kegiatan identifikasi habitat mamalia besar dilakukan dengan penjelajahan kawasan pada saat puncak musim kemarau, dimana kondisi habitat, ketersediaan pakan dan sumber air pada posisi ekstrim sebagai faktor pembatas dalam kelangsungan kehidupan banteng dan mamalia besar lainnya di Taman Nasional Baluran. Lokasi – lokasi yang diamati dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Lokasi yang Diamati dalam Penjelajahan Kawasan 1. Lokasi : Blok Kramat Tanda identifikasi Satwa : Tipe vegetasi : • Banteng (Jejak, kotoran) • Merupakan lokasi eks-savana kramat. • Rusa (Jejak, kotoran) • sebagian didominasi tegakan akasia umur + 4 tahun, kerapatan cukup tinggi. Fungsi habitat : • Beberapa bagian terdapat jenis lain • Lokasi jalur lintasan satwa tingkat pohon : pilang, mimbo, asam, • Lokasi feeding ground (buah dan kesambi, bukol, apak. pucuk daun akasia berduri) • tumbuhan bawah : nyawon, kapasan, • Lokasi resting area (temporer jarong, mimosa digunakan) Keterangan : • Sumber air terdekat : Bekol (bak buatan) • Ditemukan jalur (jarak tertentu) yang sering dilewati satwa • Terdapat banyak jalur setapak pencari biji akasia berduri. • Dilintasi bekas / sisa pipa saluran air Talpat – Bekol Bagi satwa mamalia besar, terutama banteng, faktor-faktor utama dalam habitat terdiri dari hutan, padang penggembalaan / savana dan sumber-sumber air, baik air tawar maupun air laut yang mengandung mineral. Kebutuhan utama yang disediakan oleh habitat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Ketersediaan Pakan dan Sumber Air Minum Banteng dan juga satwa mamalia besar lainnya, memerlukan sumber pakan yang cukup guna menjamin kelangsungan hidupnya. Pada saat musim penghujan, ketersediaan pakan dalam kawasan Taman Nasional Baluran bukan menjadi suatu permasalahan. Akan tetapi berbeda kondisi ketika musim kemarau, faktor sumber pakan dan air menjadi faktor pembatas bagi kelangasungan satwa liar tersebut. Banteng merupakan jenis satwa grasser (pemakan rerumputan) dan browser (pemakan jenis semak dan hijauan lain). Pola kebiasaan makan banteng dapat berubah sewaktu-waktu, terutama dipengaruhi oleh faktor musim dan ketersediaan sumber pakan. Menurut Alikodra (1983) E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
9
dalam hal memilih jenis tumbuhan yang dimakannya, banteng termasuk jenis satwa liar yang kurang selektif. Hampir semua jenis tumbuhan bawah baik rumput maupun bukan rumput dimakan oleh banteng. Sedangkan hasil pengamatan terhadap pakan satwa yang pernah dilaporkan oleh Alikodra (1983) di Taman Nasional Baluran terdiri dari 62 jenis tumbuhan, terdiri dari 31 jenis rerumputan dan 31 jenis lainnya selain rumput (termasuk didalamnya herba, tumbuhan bawah dan buahbuahan). Dalam kegiatan ini juga diamati alternatif pemilihan pakan oleh banteng yang diketahui melalui analisa feses secara kasat mata. Banyak ditemukan feses banteng terdapat biji Acacia nilotica dan beberapa diantaranya ditemukan biji labu hutan. Berdasarkan informasi tersebut disimpulkan bahwa pada musim kemarau saat ini, banyak satwa mamalia besar mencari alternatif pakan berupa polong akasia yang telah jatuh di lantai hutan dan buah-buahan yang berada di dalam hutan. Kondisi yang kini terjadi di kawasan Taman Nasional Baluran yaitu berkurangnya kualitas dan kuantitas padang penggembalaan / savana yang diakibatkan oleh invasi Acacia nilotica. Sebagian besar luas savana yang berada di Bekol dan sekitarnya telah berubah penutupan lahannya dari jenis rumput menjadi tegakan akasia berduri tersebut. Guna mempertahankan keberadaan savana tersebut telah dilakukan pemberantasan tegakan Acacia nilotica dan upaya rehabilitasi savana secara berkelanjutan. Sebagai akibat dari penyempitan luas savana beserta kualitasnya, berdasarkan informasi petugas kawasan, telah terjadi penurunan frekuensi perjumpaan satwa mamalia besar (terutama banteng dan kerbau liar) di Savana Bekol dan sekitarnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi maupun pola pergerakan satwa banteng dan mamalia besar lainnya berpindah ke dalam hutan atau bagian kawasan lainnya.
E:\@calon PEH hehehe\blogBaluran\kegiatan peh\banteng\PENGAMATAN KONDISI HABITAT MAMALIA BESAR DI BLOK KRAMAT DALAM RANGKA PEMBINAAN HABITAT-Baluran-05-FIX.doc
10