BAB IX. PERUBAHAN PADA EKOSISTEM HUTAN TROPIKA
A. Pendahuluan Dalam banyak aspek pola perubahan vegetasi yang terjadi di dalam ekosistem hutan tropika humida dataran rendah mirip seperti yang terjadi pada hutan di daerah iklim sedang. Bagaimanapun, ada beberapa tanda-tanda perbedaan yang tampak pada ekosi stem hutan tropika tersebut a.l.:
Suhu dan kondisi kelembaban yang tetap terjaga sepanjang tahun.
Proses pengembalian hara yang cepat dan sering kondisi tanahnya tidak subur, dengan sedikit humus dan stok hara tersimpan lebih banyak pada bagian biomasa tumbuhan yang hidup, mikroba dan satwa/hewan.
Sebagian besar penyebaran biji terjadi karena peran hewan vertebrata (seperti kelelawar, burung dan, kera).
Adanya tekanan yang berat dari serangga herbivore terhadap daun, kayu dan bijibijian. Dari aspek tumbuhan dan kenampakan vegetasi yang membedakan ialah:
Hutan tropika humida dataran rendah kebanyakan sangat kaya akan flora jenis pohon-pohonan dan terdapat ragam yang lebar dari berbagai life forms yang lain.
Hutan tinggi dengan stratifikasi vertikal yang kompleks.
Proses perkembangan tumbuhan begitu cepat, dan pertumbuhan lanjut serta proses pertumbuhan lainnya terjadi sepanjang tahun. Hutan tropika tersebar di wilayah dengan ketinggian tempat di bawah 1.000
m dpl, dengan curah hujan bulanan 100 mm sepanjang tahun dan jumlah hujan 2.000 mm atau lebih. Di beberapa lokasi seperti Debundja di Kamerun, memiliki total curah hujan lebih dari 4.000 mm. Perbedaan rata-rata suhu tahunan antara 20 °C dan 28 °C dan sangat seragam. Suhu paling rendah terjadi di musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Di daerah tropika rata-rata suhu turun sekitar 0,4 °C — 0,7 °C per 100 m menuju ke arah pegunungan. Berdasarkan hasil studi suhu maksimum dan minimum pada ketinggian yang berbeda di atas permukaan tanah, maka tampak bahwa di bawah tajuk tumbuhan terjadi perubahan dengan rentang lebih rendah di banding di atas permukaan tajuk pohon.
Universitas Gadjah Mada
B. Struktur Hutan dan Keanekaragaman Jenis Hayati Beberapa ekosistem hutan tropika merupakan ekosistem yang paling melimpah bagi semua komunitas tumbuhan. Bila dilihat dari susunan tajuk pohon penyusunnya, biasanya pohon-pohon emergent memiliki tinggi pohon sampai 40 m atau lebih. Banyak di antara pohon-pohon emergent tersebut memiliki diameter batang kurang dari 0,5 m, tetapi beberapa pohon memiliki batang berdiameter lebih dari 1,5 m. Kaya akan jenis pohon-pohonan, yaitu untuk pohon-pohon dengan diameter batang 10 cm terdapat 400 700 pohon/ha, dan total jumlah jenis pohon per ha adalah antara 25 jenis (untuk beberapa lokasi di Afrika) sampai 150 jenis pohon (untuk Malaysia, Indonsia, New Guinea, Amerika Tengah dan Amerika Selatan). Pada tahun 1975, Whitmore melaporkan terdapat 760 jenis pohon diantara 30.000 batang pohon, dengan diameter minimum 10 cm dari luas hutan sekitar 45 ha di Brunei; 224 jenis pohon diantara 2.607 batang pohon dari hutan seluas 5,0 ha di Amazon. Sementara itu, Gentry juga melaporkan pada tahun 1988, bahwa dalam hutan seluas 1,0 ha di kawasan hulu Amazon tercatat sebanyak 283 jenis pohon, 63 persen diantaranya diwakili oleh individu tunggal (satu jenis dengan satu individu). Lebih dan 90 persen flora pohon di hutan tropika berubah dalam beberapa kilometer saja, atau juga dalam beberapa lokasi hutan tropika. Misalnya di Pulau Boro Colorado, Panama, dalam plot seluas 50 ha hanya ada 33 jenis dari total jenis tumbuhan dengan 186 jenis potion berdiameter batang > 20 cm. Ada sekitar 300 jenis tumbuhan terdiri atas potion, semak dan liana yang terdapat di plot ini. Istilah stratifikasi sering digunakan untuk menunjukkan struktur hutan ialah adanya lapisan tinggi pohon total yang kadang-kadang diperhalus sebagai lapisan tajuk pohon. Pandangan klasik terhadap lapisan tajuk pada ekosistem hutan tropika dataran rendah yang selalu hijau adalah bahwa ada 5 strata tajuk, strata A sampai E (lihat Gambar 6.1). Untuk ekosistem hutan rawa, berdasarkan pengamatan Anderson (dalam Whitmore, 1975) pada ekosistem hutan rawa gambut di Serawak dan Brunei, ada enam tipe komunitas yang secara nyata berbeda dalam hal struktur, fisiognomi dan flora. Diagram profil dari ke enam tipe tersebut disajikan pada Gambar 9.1. Urutan pola tipe hutan rawa gambut tersebut menyajikan gambaran perubahan dari ekosistem hutan rawa campur yang mirip ekosistem hutan Dipterocarp dataran rendah, sampai dengan ekosistem hutan savanna yang disusun oleh lebih sedikit jenis pohon.
Universitas Gadjah Mada
Gambar 9.1. Contoh struktur hutan rawa gambut di Serawak
Universitas Gadjah Mada
Beberapa jenis pohon penyusun lapisan tajuk pohon yang tinggi dan emergent mempunyai akar banir atau akar papan pada bagian pangkal batang dan tidak memiliki percabangan di bawah sengkuap tajuk atau dengan kata lain pohon-pohon tersebut memiliki batang bebas cabang yang tinggi. Di bawah lapisan tajuk ini terdapat kelompok pohon-pohon yang ukurannya lebih kecil, termasuk jenis palem, dengan tinggi pohon yang beragam. Tumbuhan merambat tumbuh menjalar pada batang pohon atau menggantung dari cabang atas. Epifit herbaceus, termasuk paku-pakuan dan beberapa hemiepifit berkayu, bertengger pada sistem percabangan yang tinggi. Biasanya ada beberapa tumbuhan yang parasitik. Tumbuhan lumut jarang dan ada sedikit herba (terra); sering pada lapisan permukaan tanah tertutup secara jarang kecuali untuk anakan tumbuhan pohon yang tinggi. Bila diperhatikan pada tumbuhan tingkat pohon, irama musiman tidak hams selaras untuk jenis yang berbeda, yaitu kenyataan di lapangan kelihatan adanya pola warna daun, pengguguran daun, pembungaan dan pembuahan. Beberapa jenis pohon mempunyai lebih dari satu tampilan warna daun dan periode pembungaan; jenis pohon lainnya berbunga sekali hanya pada interval waktu 2 tahun atau lebih. Beberapa jenis pohon mungkin menggugurkan daun di musim kering (deciduous), dalam waktu yang singkat atau selama periode yang lebih panjang; sementara jenis pohon lainnya selalu hijau (evergreen). Periode kering dan periode basah adalah suatu isyarat adanya irama alam tersebut. Walaupun flora pohon dari banyak hutan tropika humida adalah beranekaragam, namun beberapa kawasan hutan-hutan tersebut relatif miskin jenis. Dengan kata lain, satu atau beberapa jenis mungkin dominan pada lokasi dengan kondisi tanah yang ekstrem; misalnya: pada tanah berkapur; atau pada batuan ultra basis yang keras dengan kesuburan rendah; dan atau pada substrat dengan drainase yang baik; mungkin pada lahan gambut yang asam dan juga lokasi basah lainnya; atau pada lahan yang curam dan berada di atas 1.000— 1.200mdpl.
C. Gangguan Pada Ekosistem Hutan Di beberapa bagian kawasan hutan tropika dataran rendah di dunia, ada yang tidak mengalami gangguan terutama gangguan perladangan berpindah. Dalam beberapa abad yang lalu. Bagaimanapun, kecuali gangguan seperti ini terns menerus atau sangat sering
Universitas Gadjah Mada
terjadi, atau diperberat oleh gangguan kebakaran hutan yang terjadi berulangulang dan pengaruhnya serupa seperti pada gangguan alami yang timbal di dalam hutan. Kerusakan hutan di beberapa kawasan hutan dalam skala yang luas terjadi secara alami selama musim badai, dampaknya seperti halnya akibat aktivitas manusia. Di dalam hutan tropika dataran rendah, gangguan yang sering terjadi adalah ulah manusia a.l. dalam proses pemanfaatan sumberdaya kayu dan hasil hutan lainnya seperti rotan, getah, dan buah. Di Indonesia, pengalaman yang paling menyedihkan ialah kegagalan manajemen hutan alam produksi pada hutan hujan tropika dataran rendah; yang diduga sudah mencapai angka 2 juta hektar per tahun ekosistem hutan tersebut mengalami kerusakan. Di sisi lain selaras dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang tidak baik, telah mendorong terjadinya perubahan ekosistem hutan alam bekas tebangan menjadi lahan budidaya secara tradisional yaitu perladangan berpindah, atau bahkan menetap. Bagaimana pengaruh gangguan terhadap ekosistem hutan tersebut, berikut ini diuraikan secara rinci.
1. Pembalakan Terhadap Hutan Hujan a. Pengaruhnya terhadap komunitas tumbuhan. Hanya sedikit pohon yang ditebang dari ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah, walaupun dengan cara pembalakan secara intensif (intensive logging). Berdasarkan pengalaman di Malaysia, dari sekitar 2500 jenis pohon dengan jumlah sampai 700 batang yang memiliki diameter 1,3 m dan kurang dari 150 dari jenis pohon tersebut secara ajeg ditebang, sedang sisanya termasuk jenis yang tidak dapat dimanfaatkan dengan persyaratan sebagai kayu log. Jumlah pohon yang ditebang mencapai sekitar 14 batang per hektar, dan pohonpohon yang ditebang biasanya pohon emergent yang memiliki tajuk dengan lebar 15 m. Bila pohon tersebut roboh maka akan menjatuhi sejumlah pohon yang ada pada lapisan di bawahnya cukup banyak. Proporsi kawasan hutan alam dataran rendah yang dilakukan proses pembalakan diperkirakan mengakibatkan 55% kawasan rusak akibat proses ekstraksi kayu, yang tidak mengalami kerusakan hanya 35% dan yang 10 % adalah bagian hutan yang diambil pohonnya. Adanya kegiatan tebang ulang yang terjadi pada ekosistem hutan alam produksi dataran rendah merupakan kegiatan yang tidak dikehendaki dalam pandangan silvikultur. Hal ini dikarenakan akan
Universitas Gadjah Mada
mendorong terjadinya penurunan potensi jenis penghasil kayu secara progresif dan juga terjadinya peningkatan populasi jenis tumbuhan semak belukar atau tumbuhan gulma, termasuk jenis pohon pionir yang umurnya pendek dan jenis bambu. b. Pengaruhnya terhadap hewan. Pembalakan yang intensif akan berakibat serius terhadap struktur hutan, karena sebagian besar pohon yang ditebang adalah pohon emergent penyusun lapisan tajuk pohon teratas. Seperti telah diketahui bahwa ekosistem hutan juga merupakan tempat tinggal hewan yang memang hidup di dalamnya maupun yang mencari makan di dalam ekosistem tersebut, baik langsung untuk herbivora maupun tidak langsung untuk karnivora. Hewan yang berbeda menguasai relung yang berbeda pula di dalam ekosistem hutan hujan tropika, terpisah dari satu dengan yang lain dalam hal ruang geraknya, dalam hal waktu kegiatan, atau pada pohon atau hewan yang dimanfaatkan untuk sumber pangan. Harrison (1962 dalam Whitmore, 1975) membagi komunitas hewan menjadi enam komunitas burung dan mamalia di dalam ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah yang selalu hijau atas dasar tingkat penguasaan tajuk, dan rentang bahan makanan, yaitu (lihat juga gambar 9.1): 1). Diatas tajuk: burung dan kelelawar insectivorous dan karnivorous. 2). Puncak tajuk: burung dan mamalia yang kebanyakan memakan daun dan buah dan sekikit jenis hewan yang memakan madu dan serangga. 3). Tajuk tengah- hewan terbang: terutama burung dan kelelawar insectivorous. 4). Tajuk tengah-hewan scansorial: mamalia pemakan campuran yang naik turun pada batang potion dari tajuk sampai permukaan tanah; juga sedikit carnivora. 5). Hewan besar di atas permukaan tanah: herbivira dan karnivora yang hadir. 6). Hewan kecil: mamalia dan burung yang sumber pakannya dari lantai hutan, herbivora dan karnivora, insectivorous dan pemakan campuran. Hewan-hewan yang berada pada lapisan tajuk pohon (arboreal animals) merupakan kelompok hewan yang paling menderita akibat adanya kegiatan pembalakan hutan di wilayah hutan hujan bagian barat beting Sunda dari pada blok beting Sahul di bagian timur. Hewan `browsing` mungkin tidak begitu serius pengaruhnya, dan dengan
Universitas Gadjah Mada
munculnya banyak jenis tumbuhan herbaceus (rumput, pisang, empon-empon, dll.) bisa jadi akan menambah sumber pakan pada habitat bagi hewan `grazing' seperti banteng, dan gajah. Di dalam hutan hujan diperkirakan terdapat sekitar 115 mamalia tidal( terbang di Malaysia, 37 % nya bertempat tinggal pada pohonpohonan. Kelompok primata merupakan hewan yang paling mudah mengalami gangguan pembalakan.
2. Konversi Hutan Alam Menjadi Hutan Tanaman Hutan tanaman sebagai hutan produksi, di Indonesia hutan tersebut termasuk dalam ekosistem hutan tropika dan terdiri dari berbagai tipe hutan yang merupakan resultante dari banyak factor lingkungan, baik tanah, iklim, topografi, serta keanekaragaman hayati setempat. Pada setiap tipe hutan yang terbentuk akan melekat seluruh atribut baik structural maupun fungsionalnya, sehingga terbentuk pula karakteristik dan atau perilakunya masing-masing. Dengan demikian hutan bukan hanya sekedar kumpulan jenis flora dan fauna pada habitat tertentu, akan tetapi jenis jenis tersebut bersama-sama dengan faktor biofisik lainnya membentuk satuan ekosistem yang berinteraksi sangat erat. Oleh karena itu informasi interaksi ini harus terus digali agar dapat memberikan landasan pengelolaan ekosistem hutan yang bersangkutan, peningkatan produktivitas dan pelestarian jasa lingkungan. Pada prinsipnya hutan tanaman sebagai konversi hutan alam secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilakukan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (beaya) dan penggantian natural stabilizing factor ( homeostatic ecosystem) dengan chemical stabilizing factor (a.l. pemupukan dan pestisida). Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan system silvikultur dengan output utama produktivitas (Marsono, 2002). Perubahan ekosistem alam menjadi ekosistem produksi menyebabkan perubahan komunitas alami dengan keanekaragaman jenis yang tinggi menjadi komunitas monokultur dengan keanekaragaman jenis yang rendah. Penggunaan insektisida kimia dalam pengelolaan ekosistem produksi merupakan salah satu penyebab terjadinya pergeseran keseimbangan ekologis di dalam ekosistem dan menghambat aktivitas
Universitas Gadjah Mada
organisme bermanfaat. Ekosistem yang seragam menciptakan ekosistem yang tidak stabil dan tidak seimbang, serta sangat rawan terhadap ledakan hama/penyakit tumbuhan, menurunkan keanekaragaman jenis dan kualitas hidup setempat bahkan dapat membahayakan kesehatan manusia. Dampak negatif dari ekosistem yang seragam terhadap lingkungan ialah menurunkan kesuburan tanah dan membunuh organisme berguna seperti parasitoid, predator, pollinator, dan decomposer (Sastrosiswojo, 2002). Pengalaman dalam pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa yang mengandalkan sistem permudan buatan dengan penanaman kembali setiap tahun, temyata telah menimbulkan bencana erosi sebesar 27,5 ton per hektar untuk pola Banjar Harian, sedang untuk pola tumpang sari justru kontribus erosi tanah lebih besar yaitu dua kali lipat atau sebesar 59,9 ton per hektar (Siswamartana dan Wibowo, 2002). Dengan sistim silvikultur tebang habis yang diterapkan pada pengelolaan hutan jati di Jawa yang dikenal sebagai hutan yang sudah mantap, ternyata juga telah
menunjukkan
terjadinya
kecenderungan
semakin
menurun
tingkat
produktivitasnya. Angka produktivitas ekonomis hutan jati di Jawa, dengan luas 600.800 ha dan produksi kayu sekitar 780.000 m3/tahun adalah 1,298 m3/ha/tahun, pada tahun 1992. Jika angka ini dibandingkan dengan angka produktivitas laporan Wolf von Wulfing bahwa sebelum tahun 1900-an produktivitasnya antara 4,0-6,0 m3/ha/tahun, maka dapat diinterpretasikan bahwa selama kurun waktu pengelolaannya telah terjadi penurunan produktivitas sebesar 67,5-78,4%. Kondisi ini dinilai sebagai fenomena yang cukup fantastis dan sudah saatnya untuk dikaji berbagai variable yang berperan mendorong terjadinya kemunduran produktivitas tersebut (Marsono, 2002).
D. Hutan Sekunder dan Perladangan Berpindah Ekosistem hutan alam yang telah mengalami proses pemanfaatan yang talc terkendali telah menciptakan areal baru yang disebut dengan hutan sekunder, yaitu hutan yang dibentuk oleh hadirnya jenis tumbuhan pionir yang tumbuh dari biji setelah terbentuk celah yang cukup luas, jadi dari anakan pohon yang telah tersedia sebelumnya. Vegetasi sekunder sangat heterogen, pohon-pohon pionir saling berselingan dengan herba besar seperti pisang, empon-empon, liana berkayu yang kebanyakan tumbuh karena pembukaan hutan primer tersebut. Secara floristik hutan sekunder berbeda dengan hutan
Universitas Gadjah Mada
primer, karena jneis pohon pionir dimiliki oleh famili yang relatif sedikit, dan beberapa genera tidak dijumpai pada hutan primer. Faktor utama penyebab terbentuknya hutan sekunder masih ditimbulkan oleh kegiatan perladangan berpindah, karena kegiatan ini menebang semua jenis tumbuhan berkayu hutan primer dan digantinya sebagai lahan budidaya tanaman pangan. Selain itu juga terjadi karena areal bekas perkebunan yang ditinggalkan terbengkelai, seperti bekas areal tanaman sawit atau kebun hortikultura lain yang gagal. Akibat buruk dari kegiatan tebangan ulang yang diikuti dengan pembakaran dan penanaman palawija, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan penggembalaan ternak, menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan vegetasi untuk tumbuh kembali, sehingga suksesi berganti menjadi klimaks api atau klimak biotis dengan penguasaan jenis oleh semak belukar atau padang rumput. Kalau diperhatikan lebih jauh, pada kegiatan perladangan liar yang dilakukan secara tebas bakar, maka ada beberapa pohon yang tidak mempan terbakar ditinggal. Lama kelamaan pohon tersebut kehilangan kekuatannya dan segera lapuk, cabangcabangnya runtuh sebelum batang pokok akhirnya juga akan roboh. Dengan mempelajari bab ini maka mahasiswa telah ditunjukkan bahwa hutan alam yang memiliki keunikan struktur dan fungsi ekologinya, begitu rapuh terhadap gangguan yang dihadapinya. Terbentuknya hutan sekunder ternyata tidak mampu berlangsung lama untuk menjadi hutan primer kembali dengan proses susksesi yang panjang dan lama. Selama ini para rimbawan telah menghindari untuk mengelola ekosistem hutan sekunder, atas dasar kurangnya pengetahuan tentang autecology jenis pohon penyusun hutan primer yang komersial. Sementara itu kegiatan perladangan berpindah menjadi menarik perhatian, terutama dari aspek sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Pada prinsipnya kegiatan ini ialah konversi hutan alam menjadi areal budidaya dengan kurun waktu yang singkat, sekitar 1-2 tahun, kemudian diikuti dengan penelantaran menjadi tanah kosong untuk beberapa tahun. Hal ini lebih diartikan sebagai rotasi penggunaan lahan dari pada rotasi pengelolaan tanaman. Penanaman yang terus menerus di hutan hujan tropika yang terkenal dengan kondisi yang miskin hara, tentunya akan menyebabkan lahan menjadi menurun kualitas dan jumlah hasilnya. Mungkin juga akan terjadi erosi. Sebagai contoh di Malaysia, Grist (1953 dalam Whitmore, 1975)
Universitas Gadjah Mada
melaporkan bahwa basil padi gogo dare lahan awal setelah pembukaan pertama sekitar 1800 - 2240 kg/ha setelah tiga periode penanaman menurun hasilnya menjadi sekitar 900 - 1340 kg/ha. Ada
tampilan
di
lapangan
yang
menggambarkan
meningkatnya
penyimpanan hara mineral tumbuhan selama periode lahan menjadi tanah kosong atau `hero', terutama selama 5 tahun pertama, yaitu ketika sisa tanaman berupa cabang dan daun dikumpulkan dan disimpan. Kegiatan perladangan berpindah temyata tidak hanya memanfaatkan lahan hutan sekunder saja tetapi juga lahan hutan primer, sehingga sering timbul konflik dengan pemerintah. Akhir-akhir ini mulai ada kebijakan tentang kesertaan masyarakat di dalam mengelola sumberdaya hutan sehingga diharapkan kejadian masa lalu dapat diatasi dengan pembagian tugas yang sating menguntungkan. E. Perubahan Tataguna Lahan Di Indonesia, arah perubahan penggunaan sumberdaya hutan telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Konversi lahan hutan menjadi lahan-lahanlahan untuk tujuan lain, seperti pertanian dan perkebunan, kawasan HTI yang miskin jenis pohon, areal transmigrasi, pemukiman, ajringan jalan, kegiatan pertambangan, telah melahirkan rangkaian peristiwa alam yang menyedihkan. Apa yang terjadi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawessi dan Papua, pengelolaan ekosistem hutan selama 30 tahun ternyata tidak mapu menjamin terwujudnya kelestarian, dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Kondisi ini ditambah dengan kebijakan otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya alam hutan yang tersisa, sehingga apabila terjadi konversi hutan alam dalam jumlah besar maka akan membawa banyak masalah bagi eksositem lokal, flora, fauna maupun masyarakat sekitar. Untuk kondisi di Pulau Jawa, telah dimulai sejak abad 19, karena pada awal abad ke 19 diperkirakan Pulau Jawa masih ditutupi oleh hutan lebat sekitar 85 %, namun kegiatan penebangan hutan secara intensif temyata tidak hanya dilakukan oleh bangsa Belanda untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi juga oleh bangsa pribumi yang jumlahnya meningkat delapan kali lipat dalam periode satu abad. Ekspansi perkebunan Belanda melalui Sistem Tanam Paksa dengan modal besar dan alai modern, telah berperan penting dalam proses perubahan ekosistem hutan yang kemudian menjadi
Universitas Gadjah Mada
perkebunan. Lahan subur di dataran rendah telah dirubah menjadi perkebunan tebu, sedangkan di dataran tinggi diprioritaskan untuk perkebunan kopi (Wiratno dkk,. 2001). Pada tahun 1850-an, menurut Junghuhn (dalam Wiratno dkk., 2001) kehilangan hutan-hutan di daerah pegunungan di Pulau Jawa disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi perkebunan kopi dan eksploitasi kayu bakar untuk mendukung industri gula pada saat itu. Pada saat Sistem Tanam Paksa dihapus tahun 1870, lebih dari 300.000 ha lahan telah berubah menjadi perkebunan kopi yang dikelola oleh perusahaan swasta.
F. Fragmentasi Habitat Konversi hutan alam dalam jumlah besar yang telah terjadi di seluruh Indonesia telah melahirkan banyak masalah. Kerusakan ekosistem, fragmentasi habitat, kepunahan ribuan jenis flora dan fauna yang bahkan belum banyak diketahui manfaatnya, kehilangan banyak sumber daya masa depan yang potensial, hingga kekacauan sistem budaya masyarakat setempat. Di negara-negara berkembang, perubahan habitat alami diperkirakan telah mencapai 25-50%, sementara di negara maju perubahan habitat tersebut hampir tidak terjadi la. Di Asia Tenggara, perubahan habitat alami akibat konversi hutan alam menjadi lahan budidaya meningkat dari 40 juta ha pada tahun 1960 menjadi 55 juta ha pada tahun 1980, artinya telah terjadi peningkatan sebesar 37, 5 % selama 20 tahun. Perubahan habitat hutan alam di Pulau Jawa berdasarkan laporan MacKinnon dkk. (1982, Whitten, 1994; lihat Wiratno dkk., 2001) dapat dilihat pada gambar 9.2 Perubahan tersebut secara drastis dimulai sejak abad ke 18 hingga abad ke 19, hutan seluas 10,6 juta ha pada abad ke 18 tinggal hanya 3,3 juta ha pada akhir tahun 1900-an. Dengan demikian selama jangka waktu 100 tahun telah terjadi perubahan ekosistem hutan alam di Pulau Jawa seluas 7,3 juta ha atau lebih dari 70%-nya. Pada periode 1850-1930 konversi hutan alam banyak dilakukan untuk kepentingan pertaniand dan perkebunan, dan berlangsung terus hingga setelah kemerdekaan. Perubahan ekosistem hutan alam yang lebih parah terjadi pada hutan-hutan di dataran rendah, konversi di kawasan ini mencapai 97% dari luas semula yang sekitar 109.067 km2. Sisa kawasan yang masidh dapat dijumpai a.l. di kawasan hutan alam Taman Nasional Ujung Kulon, T.N. Baluran, dan T.N. Alas Purwo. Ada lagi kawasan hutan
Universitas Gadjah Mada
Gambar 9.2. Perubahan penutupan lahan hutan di Pulau Jawa (pada tahun 1891,1963, dan 1987)
Universitas Gadjah Mada
alam yang masih berfungsi sebagai habitat satwa liar yang dianggap mewakili keberadaan hutan alam dataran rendah yaitu hutan alam di T.N. Gunung Halimun, T.N. Meru Betiri, dan pegunungan Dieng. Pada lokasi tersebut masidh ada satwa Owa Jawa dan Burung Elang Jawa. Bahan Pustaka: Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. Macmillan Publishing Company, New York. Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin dan A. Kartikasari. 2001. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Publikasi Forest Press, Jakarta. Marsono, D. 2002. Perspektif Ekosistem Konservasi di Hutan Produksi Perum Perhutani. Makalah Workshop, Fak. Kehutanan UGM. Sastrosiswojo, S. 2002. Insektisida Kimia Penyebab Pergeseran Keseimbangan Ekologi. Kompas, Jakarta. Siswamartana, S. dan A. Wibowo. 2002. Peningkatan Produktivitas Tegakan Jati Melalui Silvikultur Intensif. Prosiding Seinar Rehabilitasi dan Konservasi Menuju Pengelolaan Hutan Masa Depart. Fak. Kehutanan UGM, 2-3 September 2002. Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forests of the Far East. Clarendon Press, Oxford.
Universitas Gadjah Mada