Bab I Pendahuluan
Artocarpus merupakan salah satu genus utama dalam famili Moraceae selain Morus dan Ficus. Genus ini tumbuh di wilayah Indonesia, Asia Selatan, Papua Nugini, dan Pasifik Selatan (Lemmens, 1995). Berdasarkan morfologinya, Artocarpus dibagi menjadi dua subgenus, yaitu sub genus Artocarpus dan sub genus Pseudojaca (Jarret, 1959;1960). Genus Artocarpus dikenal oleh masyarakat sebagai tumbuhan nangkanangkaan dan telah banyak dimanfaatkan, antara lain buahnya yang dapat dikonsumsi dan kayunya yang dipergunakan sebagai bahan pembuatan meja dan kursi. Selain itu, beberapa spesies Artocarpus dilaporkan dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional, antara lain getah teureup (A. elasticus) dipergunakan sebagai obat disentri, sementara seduhan kulit batangnya dimanfaatkan sebagai anti-fertilitas bagi wanita dan pereda demam karena malaria (Heyne, 1987). Adanya fakta tersebut mendorong untuk dilakukan kajian fitokimia pada genus Artocarpus.
Kajian fitokimia Artocarpus memperlihatkan bahwa tumbuhan ini merupakan sumber dari senyawa turunan fenol. Kelompok senyawa fenol yang dilaporkan antara lain golongan flavonoid yang meliputi kerangka calkon, flavanon, flavan-3-ol, flavon, flavon terprenilasi dan turunannya, golongan stilben, golongan 2-arilbenzofuran, dan golongan senyawa adduct Diels-Alder (Venkataraman, 1972; Nomura dkk., 1998; Hakim dkk., 2006; Syah dkk., 2006). Golongan flavonoid terutama kelompok senyawa flavon terprenilasi merupakan ciri utama senyawa golongan flavonoid dalam Artocarpus. Hal ini disebabkan karena senyawa flavon terprenilasi berhasil diisolasi dari sebagian besar spesies Artocarpus. Dari segi struktur golongan flavonoid Artocarpus memiliki kekhasan, yaitu adanya pola oksigenasi di cincin B pada kerangka flavon (yaitu adanya oksigenasi di C-2’ dan C-4’ atau C-2’, C-4’ dan C-5’) yang tidak mengikuti kelaziman pola oksigenasi flavonoid pada tumbuhan lain pada umumnya, serta adanya gugus isoprenil yang terikat pada C-3. Adanya kekhasan tersebut memungkinkan Artocarpus untuk memproduksi metabolit sekunder yang beragam.
Kajian lebih lanjut terhadap keanekaragaman metabolit sekunder dari Artocarpus juga menjadi lebih menarik karena adanya pengelompokan spesies-spesies Artocarpus berdasarkan kajian terhadap cpDNA (DNA kloroplas). Pada pengelompokan 1
berdasarkan cpDNA tersebut spesies Artocarpus dibedakan berdasarkan tingkat filogenetiknya. Tiga spesies penting di Indonesia (berdasarkan kelangkaan dan fungsinya), yaitu A. lanceifolius, A. heterophyllus dan A. elasticus dikelompokkan pada subgenus yang sama, tetapi berbeda tingkat filogenetiknya. Berdasarkan pengelompokan tersebut, A. lanceifolius berada pada tingkatan filogenetik yang lebih tinggi dibandingkan dengan A. heterophyllus dan A. elasticus (Kanzaki dkk., 1997). Oleh karena itu kajian terhadap ciri kimiawi dari metabolit sekunder yang dikandung oleh ketiga spesies tersebut akan bermanfaat bagi kemosistematik spesies-spesies dalam genus Artocarpus.
Selain kajian dari segi struktur, kajian aktivitas biologi dari senyawa turunan fenol Artocarpus terutama dari golongan flavonoid membuka peluang untuk penemuan senyawa-senyawa bioaktif baru yang potensial. Penelusuran literatur memperlihatkan bahwa senyawa-senyawa golongan flavonoid telah diketahui memiliki aktivitas biologi yang beragam, antara lain sebagai antiinflamasi, antioksidan dan antitumor (Manthey dkk., 2001). Sebagai contoh, satu kajian telah dilakukan berkaitan dengan efek berbagai jenis flavonoid, baik alami ataupun sintetik terhadap penghambatan pertumbuhan sel tumor yang berasal dari jaringan kanker karsinoma manusia (Viviana dkk., 2004). Sementara itu, kajian sejenis menggunakan target sel murin leukemia P388 juga telah dilakukan terhadap flavonoid terprenilasi dari tumbuhan Artocarpus (Hakim dkk., 2006). Selain sifat sitotoksik dan antitumor, kajian senyawa-senyawa turunan flavonoid sebagai antimalaria akhir-akhir ini juga banyak dilaporkan. Sebagai contoh,
empat
turunan
flavanon
yang
diisolasi
dari
Sophora
flavescens
memperlihatkan efek antimalaria yang kuat terhadap Plasmodium falciparum (Kim dkk., 2004). Keempat turunan flavanon tersebut memiliki pola oksigenasi yang lazim ditemukan pada senyawa flavanon famili Moraceae. Selanjutnya pada tumbuhan Artocarpus, dua laporan telah muncul berkaitan dengan efek antimalaria dari turunan flavon terprenilasi (Widyawaruyanti dkk., 2007; Boonphong dkk., 2007). Penemuan senyawa yang bersifat antimalaria pada tumbuhan Artocarpus tersebut sejalan dengan penggunaan masyarakat terhadap kelompok tumbuhan ini sebagai bahan pengobatan deman karena malaria (Heyne, 1987). Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian sitotoksik dan antimalaria yang lebih mendalam dan sistematik terhadap senyawa golongan flavonoid memungkinkan untuk mengungkapkan hubungan antara struktur dan aktivitasnya. 2
Secara
umum
penelitian
ini
bertujuan
untuk
melakukan
kajian
terhadap
keanekaragaman senyawa fenol pada tiga spesies tumbuhan Artocarpus, yaitu, A. heterophyllus Lamk., A. elasticus Reinw. dan A. lanceifolius Roxb. Kajian ini akan mengungkapkan keanekaragaman struktur molekul senyawa fenol pada tumbuhan Artocarpus serta maknanya pada kemotaksonomi hubungan kekerabatan antar spesies dalam genus Artocarpus. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan sifat sitotoksik terhadap sel murine leukemia P-388 dan sifat antimalaria terhadap P. falciparum strain K1 dan 3D7 dari senyawa turunan fenol yang berhasil diisolasi serta mengungkapkan hubungan antara struktur dan aktivitasnya.
Bahan tumbuhan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah kayu batang A. heterophyllus dan A. elasticus serta kulit batang A. lanceifolius. Kayu batang A. heterophyllus dikumpulkan dari daerah kabupaten Garut, Jawa Barat pada bulan Agustus tahun 2004. Sementara kayu batang A. elasticus dikumpulkan dari dua daerah yaitu, kabupaten Garut, Jawa Barat (sampel A. elasticus I) dan kabupaten Cianjur, Jawa Barat (sampel A. elasticus II) pada bulan Agustus tahun 2004. Kulit batang A. lanceifolius berasal dari kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, yang dikumpulkan pada bulan Agustus tahun 2000. Identitas tumbuhan ditetapkan oleh Herbarium Bandungense, Institut Teknologi Bandung, dan Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Bogor. Spesimen tumbuhan disimpan di kedua herbarium tersebut. Hasil penelusurun pustaka sejauh ini menunjukkan bahwa senyawa flavonoid pada A. lanceifolius (Hakim dkk., 2006) cenderung memiliki pola oksigenasi di cincin B pada C-2’, C-4’ dan C-5’, sedangkan A. elasticus (Kijjoa dkk., 1996) dan A. heterophyllus (Partasharanthy dkk., 1969; Rao dkk., 1973; Venkataraman, 1972; Lu dkk., 1993; Aida dkk., 1994; Chung dkk., 1995; Kazuki dkk., 1995) cenderung memiliki senyawa golongan flavonoid dengan pola oksigenasi di cincin B pada C-2’ dan C-4’. Walaupun demikian, adanya gugus isoprenil bebas pada posisi C-3 dari beberapa senyawa yang berhasil diisolasi sebelumnya serta pola oksigenasi yang khas di cincin B memungkinkan untuk mengungkapkan jenis struktur yang lebih beragam. Disamping itu, kandungan senyawa metabolit sekunder turunan fenol dari A. elasticus asal Indonesia belum pernah dilaporkan sebelumnya.
Metode yang digunakan pada penelitian ini meliputi ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol pada suhu kamar (maserasi), dilanjutkan dengan 3
fraksinasi
dan
pemurnian
senyawa
dengan
menggunakan
berbagai
teknik
kromatografi seperti kromatografi cair vakum (KCV), kromatografi kolom tekan (KKT), dan kromatografi radial (KR). Kemurnian senyawa hasil isolasi ditetapkan berdasarkan hasil analisis kromatografi lapis tipis (KLT) dengan menggunakan tiga sistem eluen yang berbeda dan berdasarkan titik leleh. Karakterisasi dan elusidasi struktur ditetapkan dengan cara-cara spektroskopi, yang meliputi spektroskopi ultra violet (UV), infra merah (IR), resonansi magnet inti (NMR) 1D (1H NMR, 13C NMRApt) dan 2D (COSY, HMQC, HMBC dan NOESY), serta spektroskopi massa (HRMS) resolusi tinggi. Senyawa-senyawa yang telah diidentifikasi, selanjutnya dievaluasi aktivitas biologinya dengan uji sitotoksisitas terhadap sel murine leukemia P-388 dengan metode MTT {3-(4,5-dimetiltiazo-2-il)2,5-difeniltetrazolium bromida} (Alley dkk., 1988) dan sebagian senyawa hasil isolasi (dipilih berdasarkan massa yang mencukupi serta mewakili jenis senyawa hasil isoalsi) diuji potensi antimalaria terhadap Plasmodium falciparum strain K1 dan 3D7 dengan metode candle jar (Jensen dan Trager, 1977).
Berdasarkan pelaksanaan dan pendekatan kerja di atas, dari tiga spesies Artocarpus yang diteliti telah berhasil diisolasi 20 jenis senyawa flavonoid terprenilasi, yang meliputi tiga senyawa baru yaitu artoindonesianin E-1 (1) (senyawa dengan kerangka oksepinoflavon), artoindonesianin Z-4 (2) (senyawa dengan kerangka dihidrobenzosanton) dan artoindonesianin Z-5 (3) (senyawa dengan kerangka piranodihidrobenzosanton) serta tujuh belas senyawa yang telah dikenal yang meliputi tiga senyawa calkon, yaitu gemicalkon A (4), gemicalkon B (5) dan moracalkon A (6), dua senyawa flavanon, yaitu norartokarpanon (7) dan artokarpanon (8), satu senyawa flavanon-ol, dihidromorin (9), tiga senyawa flavon, yaitu norartokarpetin (10), artokarpesin (11) dan sikloartokarpesin (12), empat senyawa turunan 3-prenil-flavon, yaitu kudraflavon C (13), artokarpin (14), artonin E (15) dan 12-hidroksiartonin E (16), dua senyawa piranoflavon, yaitu sikloartokarpin (17) dan isosiklomorusin (18), satu
senyawa
dihidrobenzosanton,
artobilosanton
(19)
serta
satu
senyawa
furanodihidrobenzosanton, sikloartobilosanton (20). Dengan demikian, berdasarkan kandungan senyawa fenolik tersebut, maka ketiga spesies Artocarpus yang diselidiki cenderung untuk menghasilkan senyawa golongan flavonoid terprenilasi, seperti lazimnya senyawa flavonoid Artocarpus. Selain itu, berdasarkan ciri kimiawinya nampak bahwa senyawa flavonoid dari A. lanceifolius cenderung memiliki pola 4
oksigenasi di cincin B pada C-2’, C-4’ dan C-5’. Sedangkan A. heterophyllus dan A. elasticus cenderung untuk menghasilkan senyawa dengan pola oksigenasi di cincin B pada C-2’ dan C-4’ seperti yang telah dilaporkan sebelumnya. Walaupun demikian, penemuan senyawa baru artoindonesianin E-1 (1), artoindonesianin Z-4 (2) dan artoindonesianin Z-5 (3) merupakan data kimiawi yang penting pada tumbuhan Artocarpus. Hal ini karena penemuan senyawa 1 yang merupakan senyawa dengan kerangka oksepinoflavon dengan gugus metilen pada posisi C-12 dan senyawa 2 yang merupakan senyawa dengan kerangka dihidrobenzosanton dengan gugus metoksil pada C-4’ adalah yang pertamakali ditemukan pada Artocarpus. Sementara itu, senyawa 3 merupakan senyawa baru dengan kerangka piranodihidrobenzosanton. Penemuan kerangka piranodihidrobenzosanton ini merupakan penemuan ke dua kali pada genus Artocarpus. Dengan demikian, keberadaan senyawa-senyawa tersebut dapat memberikan data yang penting bagi keanekaragaman senyawa flavonoid dalam tumbuhan Artocarpus.
Senyawa gemicalkon A (4) dan gemicalkon B (5) merupakan senyawa golongan flavonoid dengan kerangka calkon yang langka. Penemuan senyawa gemicalkon A (4) pada A. heterophyllus merupakan penemuan yang pertama dari genus Artocarpus, sedangkan penemuan senyawa gemicalkon B (5) merupakan penemuan yang ke dua kali setelah sebelumnya ditemukan pada A. dadah (subgenus Pseudojaca) (Su dkk., 2002). Selanjutnya, senyawa calkon lain yaitu moracalkon A (6) berhasil diisolasi untuk pertamakali dari A. elasticus. Menarik untuk dicatat, senyawa 6 yang berhasil diisolasi hanya dari salah satu A. elasticus ( yaitu A. elasticus II) memberikan indikasi adanya kandungan metabolit sekunder yang berbeda dari spesies yang sama tetapi berbeda letak geografisnya. Selanjutnya, penemuan senyawa dengan kerangka calkon dari A. heterophyllus dan A. elasticus (subgenus Artocarpus) menunjukkan bahwa kedua spesies ini masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan spesiesspesies Artocarpus pada subgenus Pseudojaca. Hubungan kekerabatan ini didukung oleh hasil penelusuran literatur yang melaporkan bahwa senyawa flavonoid dengan kerangka calkon cenderung dihasilkan oleh subgenus Pseudojaca (Tabel II.2) (halaman 18).
5
4'
OH HO
OCH 3
B H 3CO
O
7 6
2
HO
2'
O
HO O
OH
OH
O
O
O
A
14 10
9
OH O
17
12
OH O
OH
H
OH O
15
artoindonesianin E-1 (1)
artoindonesianin Z-4 (2)
artoindonesianin Z-5 (3)
OH
OH
HO
HO
O
O OH O
O
OH O
O
HO
HO OCH 3
gemicalkon A (4)
gemicalkon B (5)
OH HO
HO
H3CO
O
OH
OH OH O
OH O norartokarpanon (7)
moracalkon A (6)
artokarpanon (8)
OH
OH
OH
O
HO
HO
O
OH OH
O OH
OH
OH O
OH O
OH O
dihidromorin (9)
norartokarpetin (10) OH
O
O
OH
OH O
HO
OH
OH
O
artokarpesin (11) OH
HO
O
OH H3CO
OH
O
OH
OH O
OH
OH O
sikloartokarpesin (12)
OH O
kudraf lavon C (13)
artokarpin (14) OH
HO O
OH
O
HO O
OH
OH H3CO
O
OH
O
OH OH O
OH O
OH O
artonin E (15)
sikloartokarpin (17)
12-hidroksi-artonin E (16)
HO
OH O
O
O
O
O
OH OH
HO O
O
OH O
O OH O isosiklomorusin (18)
OH O
OH O
artobilosanton (19)
6
sikloartobilosanton (20)
Walaupun demikian, adanya senyawa turunan 3-prenilflavon seperti kudraflavon C (13), artokarpin (14) dan sikloartokarpin (17) yang ditemukan pada kedua spesies tersebut (A. heterophyllus dan A. elasticus), serta isosiklomorusin (18) dan artoindonesianin E-1 (1) pada A. elasticus memberikan petunjuk bahwa A. heterophyllus dan A. elasticus memiliki tingkat evolusi yang berbeda dengan subgenus Pseudojaca. Selanjutnya, metabolit sekunder yang dihasilkan dari A. heterophyllus dan A. elasticus, baik berdasarkan hasil penelitian maupun dari data literatur (Nomura dkk., 1998; Kijjoa dkk., 1996; 1998) memperlihatkan pola oksigenasi yang sama pada cincin B, yaitu pola 2’,4’-dioksigenasi. Sementara itu, senyawa-senyawa hasil isolasi yang diperoleh dari A. lanceifolius {artoindonesianin Z-4 (2), artoindonesianin Z-5 (3), artonin E (15), 12-hidroksi artonin E (16), artobiloksanton (19) dan sikloartobiloksanton (20)} memiliki pola 2’,4’,5’trioksigenasi di cincin B. Dalam penelitian ini, adanya perbedaan pola oksigenasi menunjukkan bahwa A. lanceifolius memiliki tingkat evolusi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan
kedua
Artocapus
lainnya.
Fakta
ini
secara
umum
memperlihatkan bahwa kajian terhadap keanekaragaman struktur senyawa turunan flavonoid sejalan dengan kajian berdasarkan cpDNA (Kanzaki dkk., 1997) dalam hal mengungkapkan hubungan kekerabatan antar spesies dalam genus Artocarpus.
Kajian biogenesis dari senyawa-senyawa flavonoid terprenilasi telah banyak dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Venkataraman, 1972; Nomura dkk., 1998; Hakim dkk., 2006). Pada penelitian ini, penemuan artoindonesianin E-1 (1) dan artokarpin (14) bersama-sama pada satu spesies menghasilkan suatu usulan biogenesis pembentukan senyawa 1, yaitu bahwa senyawa 1 berasal dari hasil reaksi siklisasi oksidatif artokarpin (14) yang melibatkan pembentukan ikatan –C–O–C– antara gugus OH pada C-2’ (gugus hidroksil di cincin B) dengan C-10 (karbon yang berada pada gugus isopren di C-3). Sementara itu, artoindonesianin Z-4 (2) dan artoindonesianin Z-5 (3) secara biogenesis berasal dari artonin E (15). Reaksi siklisasi oksidatif karbon pada posisi C-6’ di cincin B dengan C-10 dari gugus isopren di C-3 pada senyawa artonin E (15) membentuk ikatan –C–C– menghasilkan kerangka dihidrobenzosanton. Reaksi substitusi (isoprenilasi) pada posisi C-3’ dan metoksilasi pada posisi C-4’ menghasilkan senyawa 2. Sementara itu, senyawa artoindonesianin Z-5 (3) secara biogenesis pembentukannya disarankan melalui reaksi siklisasi oksidatif dari senyawa 12-hidroksi-artonin E (16). 7
Sifat sitotoksik senyawa hasil isolasi terhadap sel murine leukemia P-388 memperlihatkan bahwa senyawa-senyawa 3, 14, 15, 16 dan 19 dapat menghambat pertumbuhan sel P-388 dengan sitotoksisitas yang dikategorikan sangat aktif (IC50 < 2,0L), sedangkan senyawa 5, 13, dan 20 tergolong memiliki sitotoksisitas yang dikategorikan aktif (IC50 2,1–4,0 μg/mL), sementara dua belas senyawa turunan flavonoid terprenilasi lainnya dikategorikan tidak aktif (IC50 > 4,0 μg/mL). Berdasarkan data sitotoksik tersebut dapat disarankan, bahwa adanya ikatan rangkap dua yang menjembatani kedua cincin aromatik pada jenis calkon dan flavon tampaknya penting dalam memberikan sifat sitotoksik terhadap sel murine leukemia P-388. Selanjutnya data di atas juga memperlihatkan bahwa sifat sitotoksik akan menjadi sangat kuat apabila terdapat gugus prenil di C-3 dan pola oksigenasi di cincin B pada C-2’, C-4’ dan C-5’. Modifikasi kimiawi yang melibatkan kedua faktor tersebut,
yaitu
siklisasi
gugus
3-prenil
menjadi
senyawa
flavonoid
jenis
oksepinoflavon, piranoflavon atau dihidrobenzosanton (termasuk juga furanodihidrobenzosanton), mengakibatkan menurunnya sitotoksisitas. Sitotoksisitas senyawa golongan flavonoid terhadap sel murine leukemia P-388 ini pada prinsipnya sesuai dengan hasil pengujian sejenis menggunakan sel tumor lainnya (Nomura dkk., 1998). Selanjutnya, aktivitas antimalaria dari senyawa hasil isolasi memperlihatkan bahwa pada pengujian sifat antimalaria, yang dilakukan terhadap sembilan turunan flavonoid hasil isolasi, memperlihatkan bahwa artonin E (15) memiliki aktivitas antimalaria yang dikategorikan sangat aktif (IC50 0,1 μg/mL) dalam menghambat pertumbuhan P. falciparum strain K1 (strain yang resisten terhadap senyawa standar klorokuin), tetapi hanya dikategorikan moderat (IC50 1,3 μg/mL) terhadap strain 3D7 (strain yang sensitif terhadap senyawa standar klorokuin). Sementara itu, flavon terprenilasi sejenis dengan senyawa 15, yaitu 12-hidroksiartonin E (16) memiliki aktivitas antimalaria yang dikategorikan aktif (IC50 0,9 μg/mL) terhadap strain K1, tetapi lemah (IC50 14,3 μg/mL) ketika diujikan terhadap strain 3D7. Kedua senyawa tersebut mewakili kelompok turunan 3-prenilflavon. Sementara itu, kelompok flavonoid yang lain semuanya tergolong memiliki aktivitas yang dikategorikan moderat (senyawa 3, 5, 11, 12, 17 dan 19 masing-masing dengan nilai IC50 berturut-turut 2,1; 1,6; 3,6; 1,3; 6,7 dan 2,1 μg/mL), kecuali kelompok favanon-3-ol (yaitu senyawa 9) yang bersifat tidak aktif terhadap kedua strain P. falciparum tersebut. Dari data IC50 tersebut, senyawa-senyawa turunan flavon terprenilasi baik di C-3 ataupun bersama-sama
8
dengan di C-6 dan/atau C-8 umumnya menunjukkan aktivitas antimalaria yang dikategorikan aktif. Berdasarkan data tersebut di atas, maka dapat disarankan hubungan struktur-aktivitas sebagai berikut. Sejalan dengan aktivitas sitotoksik, adanya gugus prenil bebas di C-3 pada senyawa flavon juga berperan sangat penting terhadap aktivitas antimalaria. Sebagaimana pada sifat sitotoksik, modifikasi gugus 3prenil pada turunan flavon menjadi berbagai jenis flavonoid lain, yaitu oksepinoflavon, piranoflavon, dihidrobenzosanton, dan pirano-dihidrobenzosanton, tampaknya tidak mengubah aktivitas antimalaria, selain itu terdapat kecenderungan bahwa senyawa tersebut memiliki aktivitas antimalaria yang lebih baik terhadap strain K1 dibandingkan terhadap strain 3D7. Kecenderungan aktivitas antimalaria dari hasil penelitian ini berbeda dengan hasil pengukuran aktivitas antimalaria dari turunan flavanon terprenilasi oleh Khaomek dkk., (2008), dimana adanya modifikasi terhadap gugus prenil menjadi cincin piran dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas antimalaria. Namun demikian, flavanon dengan tiga gugus metoksil pada cincin B di C-2’,C-4’ dan C-6’ dari A. champeden (Widyawaruyanti dkk., 2007) dan turunan biflavanon dari Wikstroemia indica (Nunome dkk., 2004) merupakan turunan flavonoid yang potensial sebagai antimalaria.
Sebagian hasil penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah internasional (Musthapa, 2009) dan jurnal ilmiah nasional (Musthapa, 2007e), serta dalam seminar bertaraf internasional (Musthapa dkk., 2006a; 2006b; 2007a; 2007b), regional (Musthapa dkk., 2005a; 2007c), dan nasional (Musthapa dkk., 2005b; 2006c; 2007d).
9