3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Januari – 2 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu – Jakarta Utara, yang memiliki kedalaman relatif dangkal yang berkisar pada kedalaman 2 – 8 m dan diduga memiliki tipe sedimen yang berbeda-beda pada beberapa lokasi. Pengambilan data difokuskan pada beberapa macam tipe substrat yang menjadi fokus kajian pada penelitian ini, dimana penulis terlibat langsung dalam proses pengambilan data di lapangan.
Lokasi ditentukan berdasarkan informasi dari nelayan dan
masyarakat di sekitar lokasi penelitian serta survei awal yang dilakukan dengan penyelaman. Gambar 10 menunjukkan peta lokasi penelitian.
Gambar 10. Lokasi penelitian
Pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) – KKP, Jakarta. Analisis sampel sedimen dilakukan di Laboratorium
Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah – Bogor. 3.2. Perangkat dan peralatan penelitian 3.2.1. Instrumen SIMRAD EY 60 scientific echosounder system Pengambilan data akustik menggunakan perangkat SIMRAD EY 60 scientific echosounder system. Transducer split beam dioperasikan dengan menggunakan frekuensi 120 kHz, transmitted power 50 watt, kecepatan suara sebesar 1546,35 m/dtk dan dengan nilai transmitted pulse length 0,128 mdtk. Selain itu, digunakan laptop untuk merekam data secara real time dan juga GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan bujur (longitude). Spesifikasi SIMRAD EY 60 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi SIMRAD EY 60 scientific echosounder system Spesifikasi SIMRAD EY60 Operating frequency Operating modes Transmission power Ping rate Maximum ping rate Data collection range Receiver filtering Receiver noise figure Split-beam Synchronization Bottom detection settings Transmit power Receiver instantenous dynamic range Sumber: Simrad, 1993
Operation setting 120 kHz active adjustable in steps 50 watt adjustable 60 m 20 pings/sec 0 to 1500 m matched digital filters 4 dB complex digital demodulation internal and external adjustable maximum 4 kW 150 dB
3.2.2. Kapal Survei pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan setempat. Penempatan komponen SIMRAD EY 60 (Laptop dan GPT) harus berada pada tempat yang aman dan mudah dioperasikan.
Penempatan
posisi transducer harus masuk ke dalam air, sehingga transducer diletakkan di sisi luar kapal tepatnya pada bagian kiri kapal dengan kedalaman transducer 0,5 m. Transducer diletakkan di sebelah kiri karena perputaran baling-baling kapal berlawanan dengan arah jarum jam.
Hal ini dilakukan karena noise yang
ditimbulkan oleh baling-baling lebih besar pada satu sisi kapal daripada sisi yang lain. Dalam hal ini, sisi kanan kapal memiliki noise yang besar karena balingbaling kapal berputar ke arah kiri. Namun pada saat pengambilan data akustik, lokasi pengambilan data hanya difokuskan pada posisi yang stasioner sehingga mesin kapal dimatikan untuk mengurangi noise yang mungkin saja ditimbulkan oleh baling-baling kapal. Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan Alat dan bahan
Jenis
Kegunaan
Split beam echosounder
SIMRAD EY 60 Pengambilan data akustik
GPS
Garmin
Pengambilan data posisi stasiun
Notebook/Laptop
Hp Compac
Pemrosesan
dan
penyimpanan
data akustik Alat selam
SCUBA
Alat
bantu
pengambilan
observasi sampel
dan dasar
perairan Underwater camera
Sony DCS-W170 Dokumentasi objek bawah air 10,1 megapixel
Pipa paralon
Kapal
Diameter 7,6 cm
Alat untuk mengambil sampel
Panjang 10 cm
dasar perairan
Kapal nelayan
Wahana
(panjang 6
apung
dan
tempat
m pemasangan alat survei akustik
dan lebar 1,8 m)
Spesifikasi transducer dalam sistem echosounder SIMRAD EY 60 adalah sebagai berikut (Tabel 4). Tabel 4. Spesifikasi transducer seri ES 120-7C Spesifikasi
Besaran
Resonant frequency Circular beamwidth Directivity DI=10 log D Equivalent two-way beam angle 10 log ψ Impedance Transmitting response Receiving sensitivity, open circuit
Satuan
120 7
kHz derajat
28
dB
-21 19 185 -190
dB re 1 steradian ohm dB re 1 µPa per V dB re 1 V per µPa
Sumber: Simrad, 1993 3.2.3. Alat pengambil contoh sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada tiap stasiun pengamatan yang memiliki data akustik.
Proses pengambilan sedimen dilakukan melalui
penyelaman dengan SCUBA dan menggunakan pipa paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dengan panjang 10 cm yang ditancapkan ke dalam dasar perairan. Sedimen yang didapatkan dibiarkan berada dalam pipa paralon dalam keadaan tertutup sehingga tidak mengubah struktur sedimen yang terdapat dalam sedimen.
Posisi paralon dalam dasar laut dengan kedalaman paralon 10 cm
Gambar 11. Ilustrasi posisi paralon terhadap echogram
3.3. Pengambilan data akustik Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan instrumen split beam echosounder SIMRAD EY 60, dimana prinsip kerja instrumen ini adalah pemancaran gelombang suara melalui transmitting transducer secara vertikal ke dasar perairan. Gelombang suara yang dikirim ke dasar perairan akan dipantulkan lagi dan diterima oleh receiver transducer.
Instrumen ini dilengkapi dengan
frekuensi 120 kHz. Instrumen split beam echosounder SIMRAD EY 60 dioperasikan pada tiap stasiun pengamatan (stasioner). Kondisi kapal dalam keadaan diam dan tetap pada posisi yang telah ditentukan sehingga proses perekaman data diharapakan berasal dari tipe sedimen yang telah ditentukan. Diagram alir pengambilan data akustik dapat dilihat pada Gambar 12.
GPT
Laptop SIMRAD EY 60
GPS Transducer
Seabed
Gambar 12. Diagram alir pengambilan data akustik
3.4. Pengambilan contoh sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada 9 stasiun pengamatan yang memiliki data akustik. Lokasi pengambilan data sedimen dilakukan disekitar Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun yang lokasinya tidak terlalu jauh antar pulau. Proses pengambilan sedimen dilakukan melalui penyelaman dengan menggunakan SCUBA dan menggunakan pipa paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dengan panjang 10 cm yang ditancapkan ke dalam dasar perairan. Sedimen yang didapatkan dibiarkan berada dalam pipa paralon dalam keadaan tertutup sehingga tidak mengubah struktur sedimen dan kandungan air yang terdapat dalam sedimen yang selanjutnya dibawa untuk dianalisis di laboratorium. Untuk mengetahui jenis/tipe substrat dari tiap sedimen yang diambil dilakukan analisis besar butir (grain size) sedimen melalui proses fraksinasi sedimen, selain itu dilakukan pengukuran porositas (porosity) dari sedimen dan densitas (density). 3.5. Pemrosesan data akustik Tampilan echo dasar perairan dengan jelas ditampilkan berdasarkan variabilitasnya dari ping ke ping. Proses membedakan echo dasar perairan untuk beberapa kategori dasar perairan dilakukan dengan pengrata-rataan nilai dari sinyal echo dan menghasilkan suatu data berdasarkan rata-rata dari data. Nilai roughness dan hardness dapat di ekstrak dari hamburan echo dasar perairan yang pertama dan kedua. Data dasar perairan yang terbaik dihasilkan oleh specular reflection dari dasar perairan (transmisi yang tegak lurus dasar perairan) (Gambar 13). Energi yang paling tinggi dan echo terendah telah diestimasi pada beberapa penelitian.
Ini diasumsikan bahwa echo dengan energi yang tinggi
dihasilkan oleh specular reflection dan itu merupakan yang terbaik untuk klasifikasi dasar perairan sedangkan echo dengan energi level terendah dihasilkan oleh oblique reflection dan merupakan yang kurang baik untuk klasifikasi dasar perairan (Burczynski, 2002).
Gambar 13. Bentuk sinyal keluaran echosounder (Siwabessy et al. 2005) Bagian awal dari echo dasar perairan yang pertama disebabkan oleh pantulan pertama dasar perairan yang tegak lurus dengan transducer axis. Echo pada bagian pertama ini (specular dan coherent) sangat sensitif terhadap pitch dan roll dari kapal dan transducer. Sisa dari echo pertama dasar dari dasar perairan disebabkan oleh oblique back reflection (non coherent) dan lebih sedikit sensitif terhadap pitch dan roll. Echo pertama dasar perairan sebagian besar dihubungkan dengan nilai kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) dari dasar perairan akan ditingkatkan dari bagian kedua dari echo pertama dasar perairan (oblique reflection) (Gambar 14).
Gambar 14. Formasi echo dasar perairan pertama (Burczynski, 2002)
Data yang diperoleh dari instrumen SIMRAD EY 60 split beam echosounder systems dalam bentuk raw data (echogram) selanjutnya diekstrak dengan menggunakan software Echoview dan Matlab. Proses integrasi dasar perairan dilakukan pada kedua pantulan akustik dari dasar perairan (first bottom dan second bottom) untuk melihat respon karakteristik backscattering dari dasar perairan yang diamati (Gambar 15). Respon akustik dari dasar perairan dilihat dengan mengintegrasikan dasar laut dengan ketebalan integrasi 10 cm. Elementary Distance Sampling Unit (EDSU) yang digunakan pada proses integrasi adalah berdasarkan dengan ping number sebesar 20 ping.
Nilai
threshold yang digunakan untuk energy of the 1st bottom echo (E1) minimum pada -50 dB dan maksimum 0 dB, sedangkan threshold minimum untuk energy of the 2nd bottom echo (E2) sebesar -70 dB dan maksimum pada 0 dB.
Gambar 15. Geometri backscattering dari pantulan 1st dan 2nd echo dasar perairan (Penrose et al. 2005)
3.6. Analisis data 3.6.1. Komputasi acoustic bottom backscattering Nilai acoustic backscattering volume (Sv) dari dasar perairan diperoleh dengan menggunakan software Echoview.
Nilai SS diperoleh menggunakan
persamaan yang menghubungkan bottom volume backscattering coefficient (Sv) dan surface backscattering coefficient (Ss) (Manik et al. 2006). Sv =
( )
………. (1)
dimana, Φ = instantaneous equivalent beam angle for surface scattering Ψ = equivalent beam angle for volume scattering c = kecepatan suara (m/s) τ = pulse length
Pada peak bottom echo, nilai integrasi Ψ ≈ Φ sehingga persamaan (1) menjadi : Ss =
Sv
SS [dB] = 10*log Ss
………. (2) ………. (3)
Selanjutnya untuk beam dengan bukaan lebar beam yang sempit, dimana daerah insonifying terletak pada daerah normal incidence. Daerah permukaan insonified adalah persimpangan dari directivity lobe (diasumsikan vertikal) dan daerah permukaan ini dirumuskan sebagai berikut (Lurton, 2002): A = ψ*H2
………. (4)
dimana H merupakan tinggi dari sumber ke target dan ψ equivalent beam angle, dalam steradians. Jika beam berbentuk kerucut (conical), daerah permukaan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari setengah bukaan sudut konvensional φ (Lurton, 2002): A = π*(H tan φ)2
………. (5)
Nilai maksimum dari intensitas echo level maka akan sama dengan (Lurton, 2002): EL = SL – 40 log H – 2αH + 10 log (ψH2) + BSs(0) = SL – 20 log H – 2αH + 10 log ψ + BSs(0) = SL – 20 log H – 2αH + 10 log(π tan2φ) + BSs(0) ………. (6) dimana, EL = echo level (dB) SL = source level (dB re 1 µPa) = 197,5 + 10log(50) = 214 dB re 1uPa @1m BSs(0) = backscattering surface strength at normal incidence (dB) H = ketinggian dari sumber suara ke target (m) α = koefisien absorpsi (dB/m) Model ini menyatakan bahwa sinyal ditransmisikan dalam waktu yang cukup lama untuk jejak beam pada satu daerah insonified. Untuk pulsa pendek, bidang dari dasar perairan yang ter-insonified tidak ditentukan oleh bukaan beam, tapi berdasarkan pulse duration.
Proyeksi ini
berbentuk lingkaran di atas dasar perairan, radius yang diberikan berupa delay antara tepi dan pusat. Kisaran antara sonar dengan tepian lingkaran adalah R = H + cτ/2. Radius lingkaran kira-kira sama dengan √ dan areanya adalah A = πHcτ. Pada kasus ini, maksimum echo level menjadi (Lurton, 2002): EL = SL – 30 log H – 2αH + 10 log(πcτ) + BSs(0) ………. (7) Pada persamaan (6) dan (7) simbol BSs(0) (Lurton, 2002) ≈ SS(0) (Manik et al. 2006). Transisi antara rezim pulsa panjang dan pulsa pendek terjadi ketika proyeksi sinyal ke permukaan memotong tepian dari jejak dari beam directivity. Dengan demikian, semuanya tergantung pada bentuk beam itu sendiri. Untuk beam yang berbentuk kerucut (conical) setengah dari bukaan φ, merupakan batas antara dua rezim tersebut yang terjadi pada kedalaman perairan H. H=
………. (8)
3.6.2. Komputasi acoustic reflection sedimen dasar perairan Koefisien refleksi didefinisikan sebagai bagian dari gelombang tekanan suara yang dipantulkan oleh dasar perairan, dibagi dengan gelombang suara yang mengenai dasar perairan, atau dengan kata lain rasio antara gelombang suara yang dipantulkan (Pr) dengan gelombang suara yang mengenai dasar perairan (Pi). Dimana: R=
………. (9)
Untuk gelombang akustik normal incidence, koefisien refleksi berkaitan dengan impedansi akustik yang ditandai melalui hubungan berikut: R=
=
………. (10)
dimana Z1, ρ1, c1 dan Z2, ρ2, c2 masing-masing merupakan nilai akustik impedansi, densitas dan kecepatan suara di kolom air dan permukaan sedimen. Parameter sedimen ditunjukkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Ilustrasi stuktur sedimen dan kolom air (Medwin dan Clay, 1998) Nilai kecepatan suara dan densitas di dalam perairan dan di sebagian sedimen diketahui. Sedimen dasar perairan diasumsikan bertindak sebagai fluida dan oleh karena itu digunakan persamaan (10) untuk menghitung koefisien refleksi dasar perairan. Tekanan fraksional refleksi, R, sering disebut ”bottom loss”. Bottom loss sering dinyatakan dalam dB sebagai bilangan positif. BL = -20*log R
………. (11)
3.6.3. Analisis sedimen Contoh sedimen yang diambil dengan menggunakan pipa paralon berdiameter 7,6 cm dengan panjang 10 cm selanjutnya dianalisis sifat fisiknya seperti tekstur sedimen, densitas dan porositas dari sedimen tersebut (Ruang Pori Total) yang nantinya digunakan sebagai data insitu sekaligus sebagai data pembanding dari hasil hidroakustik. Tekstur sedimen adalah susunan relatif dari besar butir sedimen, terdiri dari pasir berukuran 2 mm – 50 µ, lumpur berukuran 50 µ – 2 µ dan liat berukuran kurang dari 2 µ.
Klasifikasi metode analisis tekstur dilakukan dengan
menggunakan metode ayakan bertingkat dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Contoh substrat diambil dari lapangan dan diperkirakan beratnya pada waktu kering minimal 100 gram basah. 2. Substrat tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 1000C sampai benarbenar kering (± 24 jam). 3. Contoh diayak dengan Shieve shaker berukuran 2 mm. 4. Berat asal kering contoh ditimbang dengan berat 10 gram. 5. Selanjutnya ditambahkan H2O2 30% sebanyak 100 ml dan didiamkan selama semalam, setelah itu contoh substrat dimasak untuk menghilangkan bahan organik. 6. Contoh substrat kemudian diayak dengan ayakan berukuran 325 mesh (mesh = banyaknya lubang (hole) dalam 1 mm2). 7. Hasil ayakan ini kemudian dimasukkan ke dalam Shieve shaker (5 ukuran mata ayakan) untuk kemudian diayak sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir sedimen yang nantinya akan digolongkan ke dalam substrat pasir. 8. Hasil lain dari ayakan berukuran 325 mesh yang dalam keadaan cair ditambahkan larutan Na2P2O7 . 10H2O untuk selanjutnya dianalisis untuk mengetahui substrat lumpur dan liat yang dilakukan dengan cara pemipetan dengan ukuran pipet 20 cc. 9. Untuk menentukan fraksi lumpur, larutan didiamkan selama 1 – 15 menit. Selanjutnya untuk fraksi liat dimana ukurannya sangat kecil, maka larutan tersebut didiamkan selama 3,5 sampai 24 jam untuk selanjutnya ditentukan persentasenya.
Proses pengukuran sediment properties selain untuk melihat tekstur, sedimen juga digunakan untuk melihat ruang pori total dan densitas yang terkandung dalam sedimen. Densitas sedimen merupakan berat suatu volume sedimen dalam keadaan utuh yang dinyatakan dalam g/cc. Pengukuran densitas dari sedimen dilakukan dengan menggunakan ring berukuran tinggi 5 cm dengan diameter 5 cm. Jika densitas (berat isi) telah diketahui, maka ruang pori total dihitung dengan menggunakan persamaan: Ruang pori total = 1 −
!"
!" #" $%
& x 100% ………. (12)
Untuk klasifikasi tipe substrat di lokasi penelitian, maka dilakukan pengklasifikasian dengan menggunakan diagram segitiga tekstur USDA. 3.6.4. Principal Component Analysis Principal Component Analysis (PCA) adalah cara untuk mengidentifikasi pola-pola dalam data dan mengungkapkan data sedemikian rupa untuk melihat persamaan dan perbedaan dari data (Smith, 2002). Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya.
Hal ini dilakukan dengan cara
menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component (Soemartini, 2008). Principal Component Analysis (PCA) diterapkan pada data untuk menghilang redundansi. Jumlah Principal Component yang dipilih ditentukan oleh banyaknya variasi yang ada.
Principal Component Analysis (PCA) ini
bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda. 2. Mengurangi banyaknya dimensi himpunan peubah yang biasanya terdiri dari peubah yang banyak dan saling berkorelasi menjadi peubah baru yang tidak berkorelasi dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman dalam data. 3. Menghilangkan peubah-peubah asal informasi yang kecil.
yang mempunyai sumbangan
Pada penelitian ini Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk melihat hubungan antar parameter akustik dengan beberapa parameter fisika sedimen yang diduga dapat memberikan gambaran mengenai karakter dari dasar perairan. PCA menghitung suatu set variabel baru yang lebih kecil, variabel linear independen, yang disebut komponen utama (Principal Component) yang memberikan laporan dari sebagian besar perbedaan yang ada dalam data yang sebenarnya (Gambar 17).
Principal Component Analysis (PCA) Gambar 17. Proses klasifikasi nilai echo (Preston, 2004) 3.6.5. Clustering analysis Clustering adalah operasi analisis multidimensional yang terdiri dari pembagian parameter-parameter (deskriptor) dalam suatu penelitian (Legendre dan Legendre, 1998). Clustering dapat diartikan sebagai proses pengelompokkan objek
berdasarkan informasi yang diperoleh dari data yang menjelaskan hubungan antar objek dengan prinsip untuk memaksimalkan kesamaan antar anggota satu kelas dan meminimumkan kesamaan antar kelas/cluster. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan metode clustering. Dua pendekatan utama adalah clustering dengan pendekatan partisi (K-Means) dan clustering dengan pendekatan hirarki.
Clustering dengan
pendekatan partisi atau sering disebut dengan partition-based clustering
mengelompokkan data dengan memilah-milah data yang dianalisa ke dalam cluster-cluster yang ada.
Clustering dengan pendekatan hirarki atau sering
disebut dengan hierarchical clustering mengelompokkan data dengan membuat suatu hirarki berupa dendogram dimana data yang mirip akan ditempatkan pada hirarki yang berdekatan dan yang tidak pada hirarki yang berjauhan. Metode clustering yang akan digunakan pada penelitian ini untuk melihat hubungan antara nilai akustik dan sedimen properties yang ada adalah clustering dengan pendekatan hirarki.
Metode clustering dengan pendekatan hirarki
mengelompokkan data yang mirip dalam hirarki yang sama dan yang tidak mirip di hirarki yang agak jauh.
Ada dua metode yang sering diterapkan yaitu
agglomerative hieararchical clustering dan divisive hierarchical clustering. Agglomerative melakukan proses clustering dari N cluster menjadi satu kesatuan cluster, dimana N adalah jumlah data, sedangkan divisive melakukan proses clustering yang sebaliknya yaitu dari satu cluster menjadi N cluster. Salah satu cara untuk mempermudah pengembangan dendogram untuk hierarchical clustering ini adalah dengan membuat similarity matrix yang memuat tingkat kemiripan antar data yang dikelompokkan. Tingkat kemiripan bisa dihitung dengan berbagai macam cara seperti dengan Euclidean Distance Space. Berangkat dari similarity matrix ini, kita bisa memilih lingkage jenis mana yang akan digunakan untuk mengelompokkan data yang dianalisa, dimana pada penelitian ini digunakan average lingkage.