3 METODOLOGI 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di enam pulau Kawasan Kapoposan Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan) meliputi: (1) Pulau Kapoposan, (2) Pulau Gondongbali, (3) Pulau Pamanggangan, (4) Pulau Suranti, (5) Pulau Tambakulu, dan (6) Pulau Papandangan. Penelitian dimulai dengan penyiapan proposal hingga persetujuan proposal penelitian pada bulan Juni 2009. Bulan Juli 2009, Oktober 2009 dan Januari 2010 dilakukan wawancara semi terstruktur (wawancara dengan responden kunci dan wawancara kelompok terfokus atau focus group discussion/FGD) di Jakarta. Kegiatan survei lapangan ke Kabupaten Pangkep dan keenam pulau kecil di Kawasan Kapoposan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada bulan Agustus 2009 untuk mendapatkan data kondisi eksisting sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di Kawasan Kapoposan
dengan
menggunakan
analisis
deskriptif,
serta
melakukan
wawancara semi terstruktur (wawancara dengan responden kunci dan wawancara kelompok terfokus atau focus group discussion/FGD). Kegiatan survei lapangan tahap kedua dilakukan pada bulan Januari 2010. Pada tahap kedua selain untuk melengkapi data-data sekunder dan primer yang telah diperoleh, dilakukan kembali wawancara kelompok terfokus dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) untuk membahas hasil analisis yang sudah diperoleh dari tahap pertama berupa rumusan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan ke depan. Secara keseluruhan penelitian dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Juni 2009 sampai dengan bulan Februari 2010. 3.2
Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian menggunakan teknik survei dengan aspek yang dikaji meliputi kondisi fisik, biologi, ekonomi, sosial, budaya lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana dasar, serta kebijakan dan kelembagaan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan: (1) melakukan inventarisasi dan menggali sumbersumber data sekunder, (2) melakukan pengamatan atau observasi langsung di
38
lokasi penelitian, serta (3) melakukan wawancara semi terstruktur (wawancara dengan responden kunci dan wawancara kelompok terfokus). 1) Inventarisasi dan menggali sumber-sumber data sekunder. Inventarisasi dilakukan dengan mengumpulkan data-data sekunder dari berbagai sumber diantaranya dari instansi/lembaga pemerintah dan non pemerintah/swasta baik yang berada di pusat maupun di daerah, serta berbagai buku pustaka dan sumber informasi lainnya, untuk mengetahui kondisi saat ini (existing conditions) dari lokasi penelitian. Data sekunder yang diinventarisasi diantaranya meliputi: (1) Peta lokasi dan tata ruang wilayah penelitian; (2) Profil pulau-pulau kecil; (3) Data statistik Kabupaten Pangkep dalam Angka; (4) Laporan tahunan; (5) Kebijakan dan hukum/peraturan terkait; (6) Rencana kebijakan dan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil; (7) Data sekunder lainnya terkait dengan materi penelitian. 2) Pengamatan atau observasi.
Pengamatan secara langsung di lapangan
dilakukan untuk mengetahui dan memberikan pemahaman secara langsung terhadap beberapa kondisi pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan mencakup: (1) Pengamatan terhadap keenam pulau meliputi kondisi fisik daratan, perairan, dan kemudahan aksesibilitas menuju lokasi. (2) Pengamatan terhadap aktivitas masyarakat pulau meliputi aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan kelembagaan. (3) Pengamatan terhadap sarana dan prasarana dasar yang ada meliputi transportasi, penerangan, pendidikan, air bersih, sarana tambat kapal, serta sarana pendukung lainnya. (4) Pengamatan terhadap pengembangan kegiatan yang dianggap paling sesuai atau tepat bagi kawasan meliputi: (i) kegiatan perikanan tangkap: data sebaran terumbu karang dan spesies-spesies asosiasinya (ikan karang ekonomis penting dan merupakan
komoditas
spesifik
pulau
kecil),
teknologi
cara
penangkapan ikan karang ekonomis yang dilakukan masyarakat, fasilitas penangkapan, daerah penangkapan, dan pemasaran.
39
(ii) kegiatan budidaya: jenis komoditas yang dibudidayakan, lokasi, teknologi, pengolahan pasca panen, dan pemasaran. (iii) kegiatan konservasi: peraturan penetapan wilayah konservasi, pemahaman masyarakat atas konservasi, dan kesesuaian zonasi. (iv) kegiatan wisata bahari: lokasi, potensi sumberdaya daratan dan perairan, sarana dan prasarana pendukung, pemahaman masyarakat, serta dukungan pemerintah daerah. 3) Wawancara semi terstruktur.
Wawancara dilakukan berdasarkan pada
beberapa pertanyaan dan topik yang sudah ditentukan sebelumnya, berupa daftar
kuesioner
yang
fleksibel
sehingga
memungkinkan
terjadinya
pengembangan topik pada saat wawancara dilangsungkan. Wawancara dilaksanakan dengan dua cara yaitu: (1) Wawancara dengan responden kunci (key person) yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil untuk mendapatkan informasi dan gambaran saat ini beserta harapan, kendala, dan usulanusulan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Responden kunci di tingkat pusat meliputi: Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil DKP, Kepala Sub Direktorat Akses dan Akselerasi Investasi Pulau-pulau Kecil DKP, Kepala Sub Direktorat Identifikasi Potensi Pulau-pulau Kecil DKP, Kepala Sub Direktorat Sarana dan Prasarana Pulau-pulau Kecil DKP, Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Ekosistem Pulau-pulau Kecil DKP, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Wisata Bahari Seluruh Indonesia, Sekretaris Jenderal Masyarakat Pariwisata Indonesia, Ahli Hukum Investasi, pemerhati lingkungan Perkumpulan Telapak, dan Pembina Program Mitra Bahari Regional Sulawesi Selatan beserta mitra perguruan tinggi. Responden kunci di tingkat daerah Kabupaten Pangkep meliputi: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Bidang Pesisir dan Pulaupulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Bidang Bina Usaha dan Kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Bidang Perikanan Tangkap dan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kepala Kantor Perizinan Satu Atap, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, tokoh
40
masyarakat formal/informal, lembaga swadaya setempat, pemilik alat tangkap dan kapal, serta pihak terkait lainnya. (2) Wawancara kelompok terfokus (focus group discussion/FGD) dilakukan untuk memperoleh alternatif kegiatan yang paling sesuai sebagai rumusan rekomendasi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan. Wawancara kelompok terfokus dilakukan di pusat sebanyak tiga kali dan di daerah sebanyak dua kali, yang dihadiri para pakar di bidang kelautan, perikanan dan wisata bahari yang diasumsikan memiliki
pengetahuan
yang
cukup
serta
dianggap
mampu
mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam perumusan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil ke depan. Wawancara di pusat dengan
melibatkan
Departemen Kelautan
dan Perikanan
(DKP),
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), Departemen Lingkungan Hidup (KLH), Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI), Gabungan Pengusaha Wisata Bahari Seluruh Indonesia (Gahawisri), Kamar Dagang dan Industri (Kadin), WWF Indonesia, Perkumpulan Telapak, Yayasan Kehati, Pembina Program Mitra Bahari (PMB) serta mitra perguruan tinggi (wakil dari Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Lampung, dan Universitas Hasanuddin). Salah satu hasil FGD adalah adanya kesepakatan instansi yang mewakili dalam pengisian kuesioner yaitu: Departemen Kelautan dan Perikanan meliputi pejabat eselon II dan III lingkup Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil-Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mewakili Pemerintah goverment Hasanuddin
Pusat;
Perkumpulan
organization/lembaga mewakili
lembaga
swadaya
Telapak
mewakili non
masyarakat;
pendidikan/perguruan
Universitas tinggi;
dan
Gabungan Pengusaha Wisata Bahari Seluruh Indonesia mewakili dunia usaha/korporat/investor
(baik
dari
dalam
maupun
luar
negeri).
Sedangkan di daerah, wawancara dilakukan bersama Bupati dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Pangkep, dengan hasil kesepakatan pengisian kuesioner dilakukan oleh: Pejabat lingkup Eselon II dan
III Dinas
Kelautan dan Perikanan, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup, Kantor Perizinan Satu Atap, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD). Untuk tokoh masyarakat Kawasan Kapoposan
41
disepakati adalah Camat Kecamatan Liukang Tuppabiring, Kepala Desa Mattiro Ujung, Kepala Desa Mattiro Mattae, pengumpul ikan karang ekonomis (ponggawa sunu), ketua kelompok mantan pembudidaya rumput laut, ketua karang taruna, serta guru agama/ketua pengurus mesjid di Pulau Kapoposan. 3.3
Analisis Data Penelitian ini mencoba menguraikan berbagai faktor yang terkait dengan
pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan. Faktor pertama adalah para aktor (di luar masyarakat kawasan) yang mempengaruhi pengambilan kebijakan, karena para aktor inilah sesungguhnya para penentu kebijakan dan arah akan dibawa ke mana pengelolaan pulau-pulau kecil. Masyarakat pulaupulau kecil sendiri, di sisi lain sesungguhnya selalu dalam keadaan siap mendukung
kebijakan
pengelolaan
yang
diterapkan,
selama
kebijakan
pengelolaan dimaksud dapat memenuhi harapan masyarakat lokal untuk dapat memperbaiki kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan mereka. Para aktor tersebut
meliputi
Pemerintah
Pusat,
Pemerintah
Daerah,
dunia
usaha/korporat/investor, serta institusi non birokrasi (perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama). Faktor
berikutnya
adalah
isu-isu
yang
selalu
berkembang
dan
mempengaruhi para aktor tersebut dalam mengambil keputusannya, yaitu kondisi politik, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Berkaitan dengan lingkungan, isu pelestarian lingkungan adalah isu internasional yang tidak mungkin dihindari, khususnya di era globalisasi,
di mana
semua
negara dituntut untuk
memanfaatkan sumberdaya secara bijak demi kelestarian lingkungan bagi umat manusia di masa mendatang.
Hal ini menuntut disusunnya suatu alternatif
strategi pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan sesuai kondisi eksisting yang ada. 3.3.1 Penyusunan alternatif strategi Mempertimbangkan karakteristik dan adanya keterbatasan daya dukung pulau-pulau kecil, maka dibutuhkan suatu kegiatan pengelolaan yang sifatnya dapat memanfaatkan sumberdaya alam kelautan, perikanan dan jasa lingkungan pulau-pulau kecil tidak hanya demi pertumbuhan ekonomi semata, namun harus
42
diiringi dengan upaya pelestarian sumberdaya alam itu sendiri, seperti misalnya kegiatan wisata bahari. Kegiatan wisata bahari adalah suatu kegiatan yang mutlak membutuhkan terjaganya
sumberdaya
alam
dan
perairan
pulau-pulau
berlangsungnya segala aktivitas bisnis di dalamnya.
kecil
demi
Mengingat masyarakat
pulau-pulau kecil pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, maka kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan selayaknya dapat menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pulau, sehingga perlu disusun beberapa alternatif strategi sebagaimana berikut: Alternatif 1
: Kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan bersama kegiatan budidaya laut.
Alternatif 2
: Kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan bersama kegiatan budidaya laut dan perikanan tangkap.
Alternatif 3
: Kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan bersama perikanan tangkap.
Alternatif 4
: Kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan berbasis konservasi.
3.3.2 Analytical Hierarchy Process (AHP) Proses analisis AHP dalam penelitian ini meliputi: 1) Penyusunan hirarki. Aktor-aktor terkait dalam penelitian ini dijadikan responden untuk menentukan prioritas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan di Kawasan Kapoposan. Aktor di tingkat pusat meliputi para pejabat Eselon II dan III lingkup Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil-Departemen Kelautan dan Perikanan, dunia usaha (pengusaha wisata bahari), dan institusi non birokrasi (perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat).
Aktor di
tingkat Kabupaten Pangkep meliputi Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup, Kantor Perizinan Satu Atap, BKPMD, serta tokoh masyarakat dan tokoh agama. 2) Penentuan prioritas. Perhitungan bobot dalam penentuan prioritas dalam penelitian ini menggunakan alat bantu software expert choice.
Nilai
konsistensi yang didapat dari software ini berguna untuk nenunjukkan bahwa penilaian pada pengisian kuesioner termasuk konsisten.
43
Penilaian kriteria dan alternatif dengan menggunakan skala angka Saaty (1993), mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya ‘sama penting’ dan untuk atribut yang sama selalu bernilai 1, sampai dengan 9 yang menggambarkan satu atribut ekstrim pentingnya terhadap atribut lainnya. Bentuk hirarki dengan fokus pola pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan seperti disampaikan pada Gambar 2.
POLA PENGELOLAAN GUGUSAN PULAU-PULAU KECIL DI KAWASAN KAPOPOSAN YANG BERKELANJUTAN
Fokus
Aktor
Kriteria
Sub Kriteria
PEMERINTAH PUSAT
PEMERINTAH DAERAH
Politik
Ekonomi
- Kesenjangan pembangunan - Kebijakan berbasis kelautan - Pemberdayaan PPK sebagai isu baru nasional - Implementasi wawasan nusantara
- Infrastruktur dasar
- Proporsi anggaran pembangunan kelautan - Ketersediaan lapangan kerja - Minat investasi di PPK
DUNIA USAHA
INSTITUSI NON BIROKRASI
Lingkungan
Sosial Budaya
- Kualitas SDM - Globalisasi - Kearifan lokal masyarakat - Pengaruh negatif budaya asing
- Konservasi
- PPK rentan terhadap perubahan lingkungan - Tata ruang dan zonasi - Sumberdaya jasa kelautan
Alternatif 1:
Alternatif 2:
Alternatif 3:
Alternatif 4:
Kegiatan wisata bahari di pulaupulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan bersama kegiatan budidaya laut.
Kegiatan wisata bahari di pulaupulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan bersama kegiatan budidaya laut dan perikanan tangkap.
Kegiatan wisata bahari di pulaupulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan bersama perikanan tangkap.
Kegiatan wisata bahari di pulaupulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan berbasis konservasi.
Alternatif
Gambar 2 Hirarki pola pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan.
44
3.3.3 SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities dan Threats) Analisis strategi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dilakukan dengan menggunakan SWOT (Rangkuti, 2000), yang didahului dengan pembuatan matriks IFAS (internal strategic factor analysis summary) dan EFAS (external strategic factor analysis summary), yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan strengths (kekuatan) dan opportunities (peluang), namun secara bersamaan dapat meminimalkan weaknesses (kelemahan) dan threats (ancaman), dengan kombinasi strategi seperti disampaikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kombinasi strategi dalam SWOT IFAS EFAS
OPPORTUNITIES (O)
THREATS (T)
STRENGTHS (S)
WEAKNESSES (W)
STRATEGI S – O
STRATEGI W – O
Untuk menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Untuk menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI S – T
STRATEGI W – T
Untuk menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Untuk menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti (2000).
Penyusunan matriks IFAS dan EFAS dilakukan sebagai berikut: 1) melakukan identifikasi atas faktor-faktor: (1) IFAS: kekuatan dan kelemahan (2) EFAS: peluang dan ancaman 2) pembobotan terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,00 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting). Skor jumlah bobot untuk keseluruhan faktor adalah 1,00. Nilai bobot diperoleh dari prioritas pada hasil AHP. 3) Penentuan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap permasalahan.
Nilai rating mulai dari 4 (outstanding) sampai
dengan 1 (poor). Pemberian nilai rating:
45
(1) IFAS: kekuatan bersifat positif (semakin besar kekuatan semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk kelemahan dilakukan sebaliknya (semakin besar kelemahan semakin kecil nilai rating yang diberikan). (2) EFAS: peluang bersifat positif (semakin besar peluang semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk ancaman dilakukan sebaliknya (semakin besar ancaman semakin kecil nilai rating yang diberikan). 4)
Dilakukan perkalian bobot dengan rating untuk menentukan skor terbobot dari masing-masing faktor.
5) Jumlah dari skor terbobot menentukan kondisi sistem atau organisasi: (1) IFAS: Jika nilai total skor terbobot≥ 2,5 berarti kondisi internal memiliki kekuatan untuk mengatasi kelemahan. (2) EFAS: Jika nilai total skor terbobot ≥ 2,5 berarti kondisi eksternal memiliki peluang untuk mengatasi ancaman. Marimin (2004), menyatakan bahwa posisi kondisi internal dan eksternal dapat dikelompokkan dalam empat kuadran, yaitu: 1) Kuadran I: merupakan posisi yang sangat menguntungkan dengan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus dilakukan adalah strategi agresif. 2) Kuadran II: merupakan posisi yang menghadapi berbagai ancaman, namun masih memiliki kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang jangka panjang. Strategi yang harus dilakukan adalah strategi diversifikasi. 3) Kuadran III: merupakan posisi yang memiliki peluang yang sangat besar, namun harus meminimalkan kelemahan internal. Strategi yang harus dilakukan adalah strategi turn around. 4) Kuadran IV: merupakan posisi yang sangat tidak menguntungkan karena menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Strategi yang harus dilakukan adalah strategi defensif. 3.3.4 Pendekatan dengan pola sistem SMO (Subyek-Metoda-Obyek) Penyusunan pola pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan sistem (systems approacch),
yaitu
suatu
upaya
pemecahan
masalah
yang
didasarkan
pertimbangan bahwa masalah yang dihadapi tersebut diasumsikan sebagai
46
suatu sistem terbuka, sehingga dengan memahami struktur, proses, umpan balik dan karakteristik dari sistem yang dihadapi akan dapat dipecahkan secara lebih sistematis, sistemik, efisien dan efektif. Menurut Tunas (2007), penggunaan pendekatan sistem soft systems approacch banyak dikonsentrasikan kepada penanganan terhadap ketidaksetujuan dan konflik, terutama dalam menentukan tujuan dan perumusan masalah yang dihadapi di antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam sistem, karena adanya perbedaan atas latar belakang nilai, kepercayaan dan falsafah dari pihak-pihak yang berkepentingan dimaksud. Pendekatan sistem soft systems approacch yang digunakan adalah pola sistem SMO (Subyek-Metoda-Obyek), yang banyak dipakai untuk mengatasi masalah yang tidak begitu jelas dan sulit dikuantitatifkan, seperti disampaikan pada Gambar 3. INSTRUMENTAL INPUT
INPUT
SUBYEK
METODA
OBYEK
OUTPUT
PROSESOR
FEED BACK ENVIRONMENTAL INPUT
Gambar 3 Pendekatan sistem dengan pola SMO (Sumber: Tunas, 2007). Pola SMO (Subyek-Metoda-Obyek) menurut Tunas (2007) merupakan pola yang bermanfaat untuk dipergunakan dalam upaya memecahkan suatu permasalahan atau perbaikan suatu sistem yang telah ada. Pola SMO dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Input, merupakan kondisi eksisting saat ini dari suatu organisasi/sistem yang akan diperbaiki atau ditingkatkan. 2) Instrumental input, adalah kebijakan dan peraturan terkait yang harus diperhatikan oleh Subyek dalam menggunakan metoda untuk memperbaiki obyek yang terkait. 3) Environmental input, merupakan lingkungan luar yang mempengaruhi sistem seperti faktor politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, dan lainnya yang
47
harus diperhatikan dalam memproses input menjadi output. tersebut bisa
merupakan
Faktor-faktor
kendala yang membatasi,tetapi bisa juga
merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan. 4) Prosesor, merupakan instrumen yang terdiri dari subyek, metoda dan obyek yang akan diperbaiki atau ditingkatkan. (1) Subyek, adalah pelaku (bisa institusi, pejabat, dan lain sebagainya) yang berwenang,
bertanggungjawab
dalam
melaksanakan
upaya-upaya
memperbaiki input sehingga menjadi output yang diharapkan. (2) Metoda, adalah cara atau strategi yang akan digunakan oleh Subyek dalam upayanya memperbaiki input hingga mencapai output yang diinginkan. (3) Obyek, adalah komponen-komponen khusus yang difokuskan atau yang mendapatkan penekanan khusus untuk diperbaiki dari input yang bersangkutan, yang diharapkan akan memberikan kontribusi perbaikan yang signifikan terhadap kondisi output yang diinginkan. 5) Output, merupakan kondisi yang diharapkan atau yang ingin dicapai. 6) Feed back atau umpan balik, merupakan konsep sentral dari semua konseptualisasi dari sistem terbuka yang merupakan informasi evaluatif mengenai hasil kegiatan dari suatu sistem. 3.3.5 Ketersediaan air tawar sebagai daya dukung wisata bahari Ketersediaan air tawar yang terbatas (selain keterbatasan lahan) merupakan faktor utama dalam mendukung kegiatan wisata bahari di pulaupulau kecil. World Tourism Organization atau WTO (2005), menyatakan bahwa standar kebutuhan air tawar (air bersih) bagi kegiatan pariwisata bahari di daerah pesisir non tropik adalah 700-1000 liter/hari/orang, sedangkan untuk daerah pesisir pantai tropik adalah 1500-2000 liter/hari/orang. Ketersediaan air tawar dapat menjadi salah satu faktor untuk menghitung estimasi jumlah kunjungan wisatawan yang ideal. Untuk mengetahui volume air tawar yang ada di suatu pulau kecil tersebut digunakan rumus: Volume = luas alas x tinggi air atau V = πr2 x h Dimana:
V = volume air
π = konstanta = 3,14
r = jari-jari
h = kedalaman sumur
48
3.3.6 Pendekatan segitiga pengelolaan sumberdaya dan Interpretative Structural Modelling (ISM) Menurut Purwaka (2008), komponen sumberdaya terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen sumberdaya manusia (kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal), sumberdaya alam (hayati dan nir hayati) dan sumberdaya
buatan
(ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
hukum
serta
kelembagaan), yang dapat digabungkan dengan tiga komponen kegiatan pengelolaan
sumberdaya,
yaitu
komponen:
planning
and
organizing
(pengumpulan, pengolahan, analisis data dan informasi), actuating pemanfaatan sumberdaya (pro poor, pro job dan pro growth), dan pengawasan dengan sistem MCS (monitoring atau pemantauan, controlling atau pengendalian, dan surveillance atau pengamatan). Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan melalui pendekatan segitiga keterpaduan pengelolaan sumberdaya untuk memudahkan mengalokasikan sumberdaya dalam ruang dan waktu secara berkelanjutan,
guna
mewujudkan
tujuan-tujuan
pengelolaan
yang
telah
ditetapkan (Gambar 4).
Nir Hayati
Pro Job
SDA
Actuating
Hayati
Pro Poor
Jasa Lingkungan
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
SUMBERDAYA Hukum
Ekonomi SDM Sosial
SDB Budaya
Pro Growth
Iptek
Pengolahan Data
Controlling
Planning & Organazing
Pengawasan
Identifikasi Kelembagaan
Analisis Data
Monitoring
Gambar 4 Pendekatan segitiga pengelolaan sumberdaya (Sumber: Purwaka, 2008).
Kegiatan pengelolaan sumber daya berintikan hubungan fisik, hubungan administrasi dan hubungan geografis, yang meskipun dapat dilakukan sendirisendiri, namun akan lebih baik jika dilakukan dengan keterpaduan pengelolaan
Surveillance
49
yang
melihat
sumberdaya
keterhubungannya,
beserta
itu
sendiri
bagaimana
secara
proses
utuh
dengan
pengelolaan
saling
sumberdaya
dimaksud agar memberikan manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, keterpaduan pengelolaan sumberdaya harus dapat menggambarkan fungsi masing-masing sekaligus keterkaitannya antara satu dengan lainnya, sehingga melalui pendekatan segitiga pengelolaan yang dikembangkan dari Purwaka (2008), sumberdaya pulau-pulau kecil dapat diilustrasikan terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) sumberdaya alam yang memiliki tiga sub komponen meliputi sumberdaya hayati, nir hayati dan jasa-jasa lingkungan; (2) sumberdaya manusia yang memiliki tiga sub komponen meliputi kondisi sosial, ekonomi dan budaya; dan (3) sumberdaya buatan yang memiliki tiga sub komponen meliputi ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum yang berlaku, dan kelembagaan. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya harus pula dilakukan melalui keterpaduan proses pengelolaan yang dapat diilustrasikan terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) perencanaan dan pengaturan (planning and organizing) dengan tiga sub komponen meliputi kegiatan pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data; (2) implementasi (actuating) dengan tiga sub komponen meliputi kegiatan yang ditujukan bagi pengentasan kemiskinan (pro poor), penyediaan lapangan kerja (pro job), dan pertumbuhan ekonomi (pro growth); serta (3) sistem pengawasan yang memiliki tiga sub komponen meliputi kegiatan pemantauan (monitoring), pengendalian (controlling) dan pengamatan (surveillance). Eriyatno (2003), menyebutkan bahwa teknik interpretative structural modelling atau ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat.
Teknik ISM memberikan basis analisis di
mana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis yang dapat dibagi menjadi sembilan elemen meliputi: (1) sektor masyarakat yang terpengaruh; (2) keutuhan dari program; (3) kendala utama; (4) perubahan yang dimungkinkan; (5) tujuan dari program; (6) tolok ukur untuk setiap tujuan; (7) aktivitas yang dibutuhkan; (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai; dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Marimin (2004) menyebutkan klasifikasi subelemen mengacu pada hasil olahan dari Reachability Matrix (RM) yang telah memenuhi aturan transivitas.
50
Hasil olahan tersebut didapatkan nilai Driver-Power (DP) yang merupakan penjumlahan total horisontal dan nilai Dependence (D) yang merupakan penjumlahan total vertikal. Nilai DP dan D menentukan klasifikasi sub elemen, yang secara garis besar digolongkan dalam empat sektor yaitu: 1) Sektor 1: weak driver-weak dependent variabels (autonomus). Sub elemen yang termasuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sub elemen yang termasuk pada sektor 1 adalah jika: nilai DP≤ 0,5X dan nilai D ≤ 0,5X, di mana X adalah jumlah sub elemen. 2) Sektor 2:
weak driver-strongly dependent variabels (dependent).
Sub
elemen yang termasuk sektor ini umumnya adalah sub elemen yang tidak bebas. Sub elemen yang termasuk pada sektor 2 adalah jika: nilai DP ≤ 0,5X dan nilai D ≥ 0,5X, di mana X adalah jumlah sub elemen. 3) Sektor 3: strong driver-strongly dependent variabels (lingkage). Sub elemen yang termasuk sektor ini harus dikaji secara hati-hati, karena hubungan antar sub elemen tidak stabil. Sub elemen yang termasuk pada sektor 3 adalah jika: nilai DP > 0,5X dan nilai D > 0,5X, di mana X adalah jumlah sub elemen. 4) Sektor 4:
strong driver- weak dependent variabels (independent).
Sub
elemen yang termasuk sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub elemen yang termasuk pada sektor 4 adalah jika: nilai DP > 0,5X dan nilai D < 0,5X, di mana X adalah jumlah sub elemen. Penyusunan SSIM (Structural Self-Interaction Matrix) menggunakan simbol V, A, X dan O, yaitu: V adalah eij = 1 dan eji = 0 A adalah eij = 1 dan eji = 0 X adalah eij = 1 dan eji = 0 O adalah eij = 1 dan eji = 0 Dengan pengertian: simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan konstektual,sedangkan simbol O adalah tidak terdapat atau tidak ada hubungan konstektual, anatar elemen i dan j dan sebaliknya.
Setelah SSIM dibentuk,
kemudian dibuat tabel Reachability Matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Langkah berikutnya adalah melakukan perhitungan menurut aturan transivity dimana dilakukan koreksi terhadap SSIM sampai menjadi matriks yang tertutup. Hasil revisi SSIM dan matriks yang memenuhi aturan transivity diproses lebih lanjut dengan program komputer.
51
Bagan alir metodologi penelitian ini seperti disampaikan pada Gambar 5.
Mulai
Identifikasi Lapangan Analisis Deskriptif Alternatif Pengelolaan AHP Bentuk Pengelolaan yang Sesuai Pemangku Kepentingan SWOT Strategi dan kebijakan
Pola Sistem SMO Pola pengelolaan Kawasan Kapoposan yang Berkelanjutan Pendekatan Segitiga Pengelolaan dan ISM Model pengelolaan Gugusan Pulaupulau Kecil yang Berkelanjutan
Selesai
Gambar 5 Bagan alir metodologi penelitian.