ESTIMASI NILAI KERUGIAN DAN WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT AKIBAT PENCEMARAN AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN INDUSTRI Kasus Kawasan Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor
RIONY RIHARDHIKA PURNAMA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ESTIMASI NILAI KERUGIAN DAN WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT AKIBAT PENCEMARAN AIR TANAH DAN UDARA DI SEKITAR KAWASAN INDUSTRI Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor
RIONY RIHARDHIKA PURNAMA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i
RINGKASAN
RIONY RIHARDHIKA PURNAMA. Estimasi Nilai Kerugian dan Willingness To Accept Masyarakat akibat Pencemaran Air Tanah dan Udara di Sekitar Kawasan Industri: Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT.
Pesatnya pembangunan ekonomi terutama di sektor industri telah terjadi di Indonesia. Pembangunan kawasan industri bukan hanya berdampak pada sosial ekonomi masyarakat saja, tetapi juga membawa pengaruh terhadap perubahan kualitas fisik lingkungan sekitar kawasan industri. Ada dua dampak yang dapat disebabkan dari keberadaan industri, yaitu dapat berupa manfaat ataupun kerugian. Dua hal tersebut seakan tidak bisa dihindari akibat adanya industri. Manfaat yang diterima tentu tersedianya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Perubahan kualitas lingkungan merupakan dampak lain dari keberadaan indsutri dan cenderung mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi responden/masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer, mengestimasi nilai kerugian masyarakat akibat adanya industri di Kelurahan Nanggewer, mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat atas tercemarnya lingkungan di Kelurahan Nanggewer dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan secara langsung dari masyarakat Kelurahan Nanggewer RT 01/RW 05 melalui wawancara dan kuesioner dan data sekunder diperoleh dengan cara informasi media cetak, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, dan sumber-sumber yang relevan dengan topik penelitian. Sebanyak 48 Kepala Keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini. Tidak semua responden telah mendapatkan kompensasi pertama yang berupa pemasangan instalasi air bersih PDAM. Hal ini menimbulkan konflik diantara masyarakat, tidak ada kejelasan tentang realisasi kompensasi yang kedua berupa penanggungan biaya distribusi air PDAM seperti yang telah dijanjikan pihak industri juga menjadi masalah dalam proses kompensasi di Kelurahan Nanggewer. Estimasi total rata-rata kerugian yang harus diterima oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer RT 01/ RW 05 akibat pencemaran yang terjadi mencapai Rp 421.754 per bulan. Nilai rata-rata WTA yang diinginkan responden sebesar Rp 275.000 per bulan. Untuk faktor yang signifikan mempengaruhi besarnya kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi yaitu jumlah tanggungan dan ada atau tidaknya upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi pencemaran. Kata kunci: Industri, eksternalitas, air tanah dan udara, willingness to accept, nilai kerugian ii
ESTIMASI NILAI KERUGIAN DAN WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT AKIBAT PENCEMARAN AIR DAN UDARA TANAH DI SEKITAR KAWASAN INDUSTRI Kasus Kawasan Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor
RIONY RIHARDHIKA PURNAMA H44070075
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Estimasi Nilai Kerugian dan Willingness To Accept Masyarkat akibat Pencemaran Air Tanah dan Udara di Sekitar Kawasan Industri: Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Riony Rihardhika Purnama H44070075
iv
Judul Skripsi : Estimasi Nilai Kerugian dan Willingness to Accept Masyarakat akibat Pencemaran Air Tanah dan Udara di Sekitar Kawasan Industri: Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor Nama
: Riony Rihardhika Purnama
NIM
: H44070075
Disetujui
Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec NIP. 19631227198811 1 001
Diketahui
Dr.Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717199203 1 003
Tanggal Lulus:
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya serta jalan dan kemudahan yang Engkau tunjukkan kepada penulis. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak atas bimbingan dan doanya. Dalam kesempatan ini, penulis ucapkan terimakasih kepada: 1.
Kedua orangtua tercinta (Bapak Urip Purnama dan Ibu Oon Binarti), my lovely brother (Andre Syaelendra Purnama) yang telah memberikan doa, dukungan, serta kasih sayang yang selalu diberikan. Semoga karya ini dapat menjadi salah satu persembahan terbaik untuk Bapak dan Ibu.
2.
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan banyak ilmu serta wawasan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Novindra, SP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan serta semangat dalam akademik selama masa perkuliahan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.
4.
Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku dosen penguji utama dan Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skipsi ini.
5.
Staff pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
6.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor yang telah mendukung dan memberikan data terkait penelitian ini. vi
7.
Bapak Soeharto selaku Lurah Kelurahan Nanggewer atas izin, kesempatan, informasi, pelajaran dan dukungan yang diberikan selama penelitian.
8.
Vicky Amelia yang selalu mendukung dan mendoakan untuk kelancaran penelitian ini.
9.
Bapak-bapak Kepala Keluarga di Kelurahan Nanggewer RT 01/RW 05. Sahabat-sahabat seperjuangan di ESL, Ade Ruswan, Aryo Bismoko Sandjoyo, Bahroin Tampubolon, Adhitya Permadi, Rizky P.I.D, Agung Lukmana, Agung ‘Boy’ Kurniawan, Fandi W, dan Teman-teman ESL 44 dan IPB 44 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan memberikan kenangan indah.
10. Sahabat-sahabat satu bimbingan skripsi Nurul Fadillah, Fenny Kurniawati, Syifa Azizah, Maeda Niella dan Resti Ariesta Festiani, atas masukan, semangat, dukungan dan doa dalam penyusunan skripsi.
vii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Estimasi Nilai Kerugian dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Air Tanah dan Udara di Sekitar Kawasan Industri (Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kabupaten Bogor)”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini mengestimasi besar kerugian yang diterima oleh masyarakat akibat penurunan kualitas lingkungan serta ingin mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besar keinginan menerima kompensasi dari masyarakat. Tidak ada hal yang sempurna, begitu juga dengan skripsi ini yang masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun diperlukan untuk hal yang lebih baik. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi dan dapat menjadi acuan yang baik.
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................
v
UCAPAN TERIMAKASIH ......................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...............................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xiv
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang ............................................................................... Perumusan Masalah ....................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................... Manfaat Penelitian ......................................................................... Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian .........................................
1 4 8 8 9
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
10
2.1 Ekonomi Pencemaran .................................................................... 2.1.1 Kondisi Optimal Tanpa Terjadi Eksternalitas dan dengan Eksternalitas ....................................................................... 2.1.2 Penyebab Terjadinya Eksternalitas dan Cara Mengatasinya ..................................................................... 2.2 Industri dan Klasifikasinya ............................................................ 2.3 Klasifikasi Kualitas Air ................................................................. 2.4 Konsep Industri Global Berwawasan Lingkungan ........................ 2.5 Pencemaran dan Limbah ............................................................... 2.6 Replacement Cost dan Cost of Ilness ............................................. 2.7 Contingent Valuation Method (CVM) ........................................... 2.8 Penelitian Terdahulu ......................................................................
10
I.
III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................
10 12 13 15 16 17 21 22 23
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................
26 29
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 4.3 Metode Pengambilan Contoh .......................................................
29 29 30
ix
4.4 Metode Analisis Data .................................................................... 4.4.1 Identifikasi Karakteristik Responden Sekitar Kawasan Industri di Kelurahan Nanggewer ...................................... 4.4.2 Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat ................................... 4.4.3 Analisis Nilai WTA Masyarakat Terhadap Pencemaran di Sekitar Kawasan Industri Kelurahan Nanggewer .............. 4.4.4 Analisis Fungsi Willingness to Accept ................................
30
V. GAMBARAN UMUM ........................................................................
39
31 31 33 36
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................. Keagamaan, Pendidikan, dan Kesehatan ....................................... Kondisi Ekonomi dan Pembangunan ............................................ Kondisi Responden Sekitar Kawasan Industri .............................. 5.4.1 Jarak Tempat Tinggal .......................................................... 5.4.2 Persepsi Responden terhadap Kondisi Air Akibat Adanya Industri Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal ................... 5.4.2.1 Persepsi Responden Pada Wilayah Satu terhadap Kondisi Air ............................................................ 5.4.2.2 Persepsi Responden Pada Wilayah Dua terhadap Kondisi Air ............................................................ 5.4.2.3 Persepsi Responden Pada Wilayah Tiga terhadap Kondisi Air ............................................................ 5.4.3 Jumlah Tanggungan ............................................................ 5.4.4 Tingkat Pendidikan .............................................................. 5.4.5 Pendapatan ........................................................................... 5.4.6 Usia ...................................................................................... 5.4.7 Jenis Pekerjaan ....................................................................
39 40 41 41 42
VI. ESTIMASI NILAI KERUGIAN AKIBAT PENCEMARAN .......
50
5.1 5.2 5.3 5.4
6.1 Dampak Adanya Industri Terhadap Kualitas Lingkungan di Kelurahan Nanggewer ................................................................. 6.2 Keadaan Masyarakat Akibat Pencemaran ................................... 6.3 Sumber Air dan Volume yang Digunakan oleh Responden untuk MCK ................................................................................. 6.4 Sumber Air dan Volume yang Digunakan oleh Responden untuk Konsumsi .......................................................................... 6.5 Sumber Air dan Biaya Penggunaan Air oleh Responden untuk MCK ............................................................................................ 6.6 Sumber Air dan Biaya Penggunaan Air oleh Responden untuk Konsumsi .................................................................................... 6.7 Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran ....................................... 6.8 Rata-rata kerugian akibat Pencemaran yang Dihasilkan oleh Industri ........................................................................................
42 42 43 44 45 46 47 48 48
50 51 52 55 57 58 59 61
VII. ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT .....................................
63
7.1 Analisis Willingness To Accept dengan Pendekatan Metode Contingent Valuation Method .....................................................
63 x
7.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTA Responden .........................................................................
68
VIII. KESIMPULAN dan SARAN .........................................................
75
8.1 Kesimpulan ................................................................................. 8.2 Saran ............................................................................................
75 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
78
xi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Kualitas Air Sumur Kelurahan Nanggewer ..............................
5
2
Jenis Industri dan Limbahnya ...................................................
21
3
Matriks Metode Analisis ...........................................................
31
4
Hasil Uji Air Limbah Setelah Pengolahan ................................
51
5
Sumber dan Volume Penggunaan Air untuk MCK oleh Responden .................................................................................
54
Sumber dan Volume Penggunaan Air untuk Konsumsi oleh Responden .................................................................................
56
Sumber dan Biaya Penggunaan Air untuk MCK oleh Responden .................................................................................
57
Sumber dan Biaya Penggunaan Air untuk Konsumsi oleh Responden .................................................................................
59
9
Jumlah Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran..........................
60
10
Rata-rata Kerugian Akibat Pencemaran oleh Industri ...............
62
11
Perbandingan Nilai WTA Responden Tiap Wilayah ................
65
12
Distribusi Nilsi WTA Responden .............................................
65
13
Besaran Nilai WTA Responden ................................................
67
14
Hasil Analisis Nilai WTA responden ........................................
69
6 7 8
xii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Environmental Kuznets Curve ...................................................
3
2
Ilustrasi Dampak pencemaran ...................................................
9
3
Biaya Eksternal dan Keluaran Pasar .........................................
11
4
Kerangka Pemikiran ..................................................................
28
5
Peta Kelurahan Nanggewer .......................................................
39
6
Persentase Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal ......
42
7
Persentase Persepsi Responden Wilayah 1 terhadap Kualitas Air .............................................................................................
43
Persentase Persepsi Responden Wilayah 2 terhadap Kondisi Air .............................................................................................
44
Persentase Persepsi Responden Wilayah 3 terhadap Kondisi Air ..............................................................................................
44
10
Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan .........
45
11
Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..........
47
12
Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan .........
47
13
Persentase Responden Berdasarkan Usia ..................................
48
14
Persentase Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ................
49
15
Dugaan Kurva Tawaran WTA ..................................................
67
8 9
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Regresi Model ...........................................................................
80
2
Uji Heterokedastisitas ...............................................................
82
3
Uji Normalitas ...........................................................................
83
4
Uji Autokorelasi ........................................................................
84
5
Uji Multikolinieritas ..................................................................
85
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perbaikan kualitas penduduk merupakan tujuan pembangunan dan
sekaligus faktor utama penunjang pembangunan ekonomi karena peningkatan kualitas
penduduk
berarti
peningkatan
produktivitas
masyarakat
dalam
pembangunan. Kualitas penduduk menyangkut kualitas fisik maupun nonfisiknya. Peningkatan kualitas fisik mencakup peningkatan dalam makanan bergizi, kesegaran jasmani atau olahraga, pola hidup sehat, dan yang paling penting lingkungan sehat. Pesatnya pembangunan ekonomi terutama di sektor industri telah terjadi di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kawasan industri yang tersebar, tidak hanya di kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Jakarta dan lain-lain. Kawasan industri juga telah merambah ke kota-kota lainnya, tidak terkecuali Bogor. Pembangunan kawasan industri bukan hanya berdampak pada sosial ekonomi masyarakat saja, tetapi juga membawa pengaruh terhadap perubahan kualitas fisik lingkungan sekitar kawasan industri. Ada dua dampak yang dapat disebabkan dari keberadaan kawasan industri, yaitu dapat berupa manfaat ataupun kerugian. Dua hal tersebut seakan tidak bisa dihindari akibat adanya industri. Manfaat yang diterima tentu tersedianya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan mobilitas perorangan yang belum pernah terjadi 1
sebelumnya pada sebagian besar penduduk dunia, terutama di negara-negara maju. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, industri sangat esensial untuk memperluas landasan pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Banyak kebutuhan umat manusia hanya dapat dipenuhi oleh barang dan jasa yang disediakan dari sektor industri. Pada umumnya, permasalahan dalam ekonomi lingkungan mengacu pada ekonomi mikro. Namun isu-isu lingkungan ada hubungannya dengan perilaku ekonomi makro. Kondisi ekonomi makro suatu negara dapat dilihat dari beberapa indikator, misalnya angka pengangguran, angka pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, jumlah penduduk, dan sebagainya. Hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) mengatakan bahwa degradasi lingkungan akan meningkat pada tahap-tahap awal pembangunan ekonomi, namun setelah mencapai titik tertentu, pertumbuhan ekonomi lebih lanjut akan mampu mengurangi tingkat kerusakan lingkungan. Hipotesis ini mengatakan kerusakan lingkungan yang parah rawan terjadi di negara-negara berkembang yang mayoritas merupakan negara miskin dan terbelakang. Sebaliknya, keadaan lingkungan di negara-negara industri maju lebih baik karena mereka memiliki income yang cukup untuk melakukan usahausaha perbaikan lingkungan (Putri et al, 2008). Sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.
2
Kerusakan
Pendapatan per capita
Gambar 1. Environmental Kuznets Curve Dalam sektor industri, pengendalian lingkungan akibat limbah industri merupakan salah satu masalah yang perlu ditanggulangi bagi setiap negara berkembang yang akan masuk ke era industrialisasi. Limbah adalah konsekuensi logis dari setiap pendirian suatu industri (pabrik) walaupun tidak semua industri menghasilkan limbah. Bila limbah yang mengandung senyawa kimia tertentu sebagai bahan berbahaya dan beracun dengan konsentrasi tertentu dilepas ke lingkungan maka hal itu akan mengakibatkan pencemaran, baik di sungai, tanah maupun udara (Kristanto, 2004). Pemahaman akan pencemaran sangat penting artinya, baik bagi masyarakat umum maupun pengusaha. Pada awalnya, suatu industri berdiri dengan beberapa kegiatan pendahuluan yang paling umum, yang tidak menimbulkan keberatan dari masyarakat lingkungan sekitar. Namun setelah industri tersebut berdiri, masyarakat mulai mendekat dengan mendirikan pemukiman di sekelilingnya. Ketika industri tersebut dirasakan mulai mengganggu, masyarakat sekitar, yang mendekat setelah industri tersebut beroperasi, mulai protes. Keadaan ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila pola penggunaan lahan dan konsep tata ruang cukup jelas diterapkan. Pengaturan peruntukan lahan untuk berbagai kepentingan, 3
misalnya, pemukiman, usaha peternakan dan perindustrian sudah harus ada guna mengurangi terjadinya konflik kepentingan. Penurunan kualitas lingkungan yang terjadi akibat pencemaran merupakan salah satu penyebab konflik yang terjadi di Kelurahan Nanggewer. Kondisi lingkungan sudah tidak mendukung untuk keperluan kegiatan sehari-hari. Terutama dalam penurunan kualitas air, padahal air memiliki fungsi ekonomi bagi kehidupan manusia yaitu air digunakan untuk menunjang kehidupan manusia baik produksi, distribusi maupun konsumsi. Berbagai macam penyakit telah dirasakan masyarakat akibat pencemaran tersebut. Telah terjadi kerugian yang harus ditanggung masyarakat akibat pencemaran terhadap lingkungan sekitarnya selain itu besarnya keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas pencemaran atau kerusakan yang terjadi, hal inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. 1.2
Perumusan Masalah Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong adalah salah satu wilayah di
Kabupaten Bogor yang berada di sekitar kawasan Industri. PT. Sutra Kabel Intimandiri, PT. Dinar Makmur, PT. Bintang Kharisma, PT. Upati, PT. Sri Intan Toki, dan PT. Asaita Mandiri Agung merupakan beberapa industri yang terdapat di sekitar kelurahan Nanggewer. Pada kasus pencemaran ini masyarakat lebih berpandangan bahwa PT. Sutra Kabel Intimandiri adalah industri yang menyebabkan terjadinya pencemaran pada air tanah maupun udara. Menurut Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karadenan Dr. Tami, pencemaran air tanah yang terjadi di Kelurahan Nanggewer disebabkan dari adanya kebocoran kolam penampungan yang digunakan untuk proses produksi pada PT. Sutra Kabel 4
Intimandiri. Namun, untuk kasus pencemaran udara PT. Sutra Kabel Intimandiri bukan merupakan sumber tunggal pencemaran, melainkan ada beberapa industri seperti PT. Dinar Makmur, PT. Bintang Kharisma, PT. Upati, PT. Sri Intan Toki, dan PT. Asaita Mandiri Agung yang juga berperan terjadinya pencemaran udara di Kelurahan Nanggewer. Menurut Bapak Soeharto, Lurah Kelurahan Nanggewer, untuk pencemaran udara, lebih disebabkan oleh asap hitam yang keluar dari pipa saluran pembuangan yang merupakan sisa hasil pembakaran. Pencemaran ini tentu saja akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan, terutama pada pencemaran udara dan pencemaran air tanah (air sumur) masyarakat setempat. Kepala Bidang Pemberantasan, Pencegahan Penyakit, dan Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memaparkan zat kimia dalam air sumur sudah melebihi ambang batas. Menurut hasil test Laboratorium Kesehatan Daerah Kabupaten Bogor menjelaskan bahwa tingkat kekeruhan dan warna air sudah melebihi ambang batas, zat besinya empat kali lipat, dan mangan mencapai sepuluh kali lipat di atas ambang batas. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kualitas Air Sumur Kelurahan Nanggewer No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Parameter Parameter fisik Bau Warna TDS Kekeruhan Parameter Kimiawi Nitrat Besi Mangan Timbal Sianida
Satuan
Hasil Pemeriksaan
TCU mg/L NTU
Tidak Berwarna 488* 29,30 423*
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
10,81* 4,17* 5,65* 5,39* 0,13*
Kadar Maksimum yang Diperbolehkan 50 1500 25 10 1,00 0,50 0,06 0,10
Sumber: Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor ( 2011) Keterangan: * parameter yang diperiksa lebih dari kadar maksimal
5
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, masyarakat Kelurahan
Nanggewer sudah tidak bisa memanfaatkan air sumur karena sangat berbahaya bagi kesehatan. Keadaan ini tentunya sangat merugikan masyarakat sekitar kawasan industri, mereka kesulitan mendapatkan sumber air bersih karena air sumurnya yang sudah tidak layak, baik untuk dikonsumsi maupun sekedar untuk mencuci pakaian karena menimbulkan bau yang pekat pada pakaian. Kesehatan masyarakat di Kelurahan Nanggewer pun terganggu oleh penyakit yang muncul akibat pencemaran yang terjadi. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, penyakit yang muncul akan sangat serius dan berlangsung lama, penyakit tersebut diantaranya pusing-pusing, batuk, sakit paru, vertigo, dan sesak napas. Menurut data Pusat Kesehatan Masyarakat Karadenan, penyakit yang diderita masyarakat Nanggewer RT 01/RW 05 yang jumlah penduduknya kurang lebih 100 orang diantaranya adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) seanyak 45 orang, ASMA satu orang, maag empat orang, dermatitis (gatal) 10 orang, dan nyalgia (pegal-pegal) 11 orang. Dilihat dari jenis penyakit dan jumlah orang yang menderitanya, pencemaran udara yang terjadi sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat Nanggewer. Untuk kasus pencemaran air, telah ada upaya-upaya dari pihak PUSKESMAS Karadenan seperti pengambilan sampel air bersih dan air limbah, pengobatan masal, dan penyuluhan kepada masyarakat. Tingginya frekuensi yang menderita penyakit akibat pencemaran tersebut mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat Nanggewer. Ada biaya kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat, seperti biaya pengobatan (Cost of Illness) atas penyakit yang diderita akibat pencemaran udara dan air tanah, selain itu ada juga biaya pengganti (Replacement Cost) untuk kembali 6
mendapatkan air bersih yang layak untuk dikonsumsi. Melihat kondisi seperti ini, ada baiknya bila pihak pencemar memberikan kompensasi kepada masyarakat Nanggewer yang telah menerima dampak dari pencemaran yang terjadi. Pencemaran air dapat berdampak sangat luas, misalnya dapat meracuni minum, meracuni makanan hewan, menjadi ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam, salah satu dampak yang diakibatkan yaitu terhadap estetika lingkungan (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004) Kondisi inilah yang melatarbelakangi penggunaan teknik CVM. Metode CVM digunakan berdasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki (Fauzi, 2006). Nilai kompensasi atau Willingness to Accept (WTA) yang dihasilkan merupakan bentuk kesediaan menerima kompensasi masyarakat atas kerusakan jasa lingkungan sekitar mereka. Bagaimanapun masyarakat memiliki hak atas sumberdaya yang tercemar (udara dan air sumur). Berdasarkan uraian diatas maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu dikaji dalam penelitian ini, diantaranya: 1) Bagaimana kondisi responden/masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer akibat terjadi pencemaran?
7
2) Berapa nilai kerugian yang ditanggung oleh masyarakat akibat keberadaan industri di sekitar lingkungan mereka? 3) Berapa besar nilai kompensasi yang bersedia diterima masyarakat akibat pencemaran lingkungan oleh industri di Kelurahan Nanggewer? 4) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan
untuk: 1) Mengidentifikasi kondisi responden/masyarakat sekitar kawasan industri di kelurahan Nanggewer akibat terjadi pencemaran. 2) Mengestimasi nilai kerugian masyarakat akibat adanya industri di Kelurahan Nanggewer. 3) Mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat atas rusaknya atau tercemarnya lingkungan di Kelurahan Nanggewer. 4) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi. 1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1) Akademisi dan peneliti, sebagai referensi khususnya dalam mengestimasi kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan. 2) Pemerintah, dalam menetapkan kebijakan mengenai kompensasi yang diterima oleh masyarakat atas rusaknya jasa lingkungan. 8
3) Industri, sebaiknya limbah diolah terlebih dahulu sebelum di buang ke kolam penampungan atau ke lingkungan sekitar, agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan. 4) Masyarakat luas, untuk lebih mementingkan terjaganya kualitas jasa lingkungan. 1.5
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Wilayah penelitian ini adalah Kampung Roda Pembangunan RT 01 RW
05 Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Responden terbagi kedalam tiga wilayah, wilayah pertama yaitu reponden yang memiliki jarak tempat tinggal ≤ 100 meter dengan industri, wilayah kedua 101-500 meter, dan wilayah tiga dengan jarak > 500 meter. Ilustrasi mengenai pembagian wilayah tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Penelitian ini terfokus pada estimasi nilai kerugian yang diterima masyarakat. Estimasi kerugian ini adalah dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat atas pencemaran air dan udara. Metode WTA yang digunakan bermaksud untuk mengetahui besaran nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat.
Gambar 2. Ilustrasi Dampak Pencemaran 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekonomi Pencemaran Definisi ekonomi pencemaran tergantung pada beberapa efek fisik limbah
pada lingkungan dan reaksi manusia terhadap efek fisik. Efek fisik dapat biologis (misalnya perubahan spesies, kesehatan yang buruk), kimia (misalnya efek dari hujan asam pada permukaan), atau auditori (kebisingan). Reaksi manusia muncul sebagai ketidakpuasan, kecemasan, atau ketidaknyamanan (Pearce dan Turner, 1990). Biaya eksternal juga dikenal sebagai eksternalitas negatif atau diseconomy eksternal. Eksternalitas adalah pengaruh atau dampak atau efek samping yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat dari kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi atau pertukaran yang dilakukan pihak lain. Eksternalitas dapat bersifat menguntungkan (positive externalities) atau bersifat merugikan (negative externalities). Eksternalitas negatif adalah pengaruh yang diterima oleh beberapa pihak akibat kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain yang mengakibatkan penurunan
kesejahteraan
dan
hilangnya
kesejahteraan
tersebut
tidak
dikompensasi. Eksternalitas positif adalah kegiatan satu pihak menghasilkan peningkatan kesejahteraan pada pihak lain. 2.1.1 Kondisi Optimal Tanpa Terjadi Eksternalitas dan dengan Eksternalitas Dengan adanya eksternalitas, kita tidak dapat mencapai kondisi-kondisi optimalitas pareto (P=MSC). Tingkat harga ketika terjadi eksternalitas akan lebih tinggi dibandingkan ketika tidak terjadi eksternalitas. Sebaliknya, output yang
10
dihasilkan akan lebih sedikit ketika terjadi eksternalitas (Pearce dan Turner, 1990). Sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3. P MSC
MPC Biaya Eksternal
p2 p1
D q2
q1
Jumlah output
Gambar 3. Biaya Eksternal dan Keluaran Pasar Gambar 3 mengilustrasikan hubungan antara jumlah produksi dan biaya eksternal. Perpotongan kurva permintaan dan kurva biaya swasta marjinal (MPC) terjadi pada harga p1 dan kuantitas q1. Inilah harga dan kuantitas yang muncul pada pasar kompetitif dimana produsen mengabaikan biaya eksternal. Namun pada kenyataannya, biaya sosial marginal (MSC) lebih tinggi dari MPC karena MSC terdiri atas MPC dan MEC. Maka tingkat output yang efisien secara sosial adalah q2 pada tingkat harga p2. Perhatikan bahwa tingkat output q1 lebih besar dibandingkan tingkat output q2, sementara tingkat harga p1 lebih rendah dibandingkan tingkat harga p2. Sistem pasar memproduksi terlalu banyak dengan harga yang terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat kuantitas dan harga pada efisiensi sosial. Ini karena perusahaan tidak membayar jasa lingkungan sebagai penyedia cara untuk membuang limbah. Cara ini murah untuk perusahaan, tetapi tidak murah untuk 11
masyarakat yang terkena berbagai dampak negatif akibat pencemaran. Tingkat output yang optimal yang dapat dicapai oleh perusahaan dalam pasar persaingan sempurna (PPS) adalah pada saat P=MC. Hal ini yang melatarbelakangi mengapa kompensasi yang dikeluarkan dari perusahaan dirasakan perlu oleh masyarakat. 2.1.2 Penyebab Terjadinya Eksternalitas dan Cara Mengatasinya Ada beberapa hal yang menyebabkan masalah eksternalitas diantaranya masalah hak kepemilikan (property rights), property rights sangat menentukan alokasi sumberdaya yang efisien karena bagaimana produsen dan konsumen menggunakan SDA tergantung pada hak pemilikan/pengelolaan yang mengatur SDA tersebut, barang publik/public goods, common resources, kegagalan pasar/market failure, dan kegagalan pemerintah/ state failure. Dari kelima penyebab masalah eksternalitas, kegagalan pemerintah/state failure banyak terjadi di Indonesia. Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest group) yang tidak mendorong efisiensi dan tidak berwawasan lingkungan (Putri et al, 2008). Kelompokkelompok ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijakan dan sebagainya. Aksi rent seeking bisa dalam bentuk: lobby interest groups untuk memberlakukan aturan yang melindungi/menguntungkan
mereka,
atau
sogokan
pada
oknum-oknum
pemerintah. Rent seeking menyebabkan dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki atau diatasi dengan penerimaan pemerintah dari denda atau pajak dan lain-lain tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya makin lama makin serius. Permasalahan kegagalan pemerintah dalam pelaksanaan denda atau pajak perlu diselesaikan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Selaain itu 12
permasalahan eksternalitas juga dapat diatasi oleh subsidi dan bargaining (penawaran) dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Pencemaran air tanah merupakan proses masuknya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain oleh kegiatan manusia, yang menyebabkan kualitas air turun (Nemerow 1978). Pencemaran dari perspektif ekonomi bukan hanya dilihat dari hilangnya nilai ekonomi sumber daya akibat berkurangnya kemampuan sumber daya baik kualitas maupun kuantitas, namun juga dilihat dari dampaknya terhadap masyarakat. Bagi masyarakat, pencemaran air tanah yang terjadi merupakan sebuah kerugian, terutama secara ekonomi. Masyarakat tidak lagi bisa memanfaatkan sumber daya air secara normal, baik digunakan untuk MCK maupun untuk konsumsi. Jika ini yang terjadi tingkat kesejahteraan masyarakat pun akan menurun, terutama ketika masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan seperti biaya penyakit, biaya pengganti untuk mencari sumber air baru yang lebih layak untuk dikonsumsi untuk memenuhi kegiatan sehari-hari. 2.2
Industri dan Klasifikasinya Setiap bangsa membutuhkan dan berhak mencita-citakan basis industri
yang efisien untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang terus berubah. Industri mengekstraksi material dari basis sumber daya alam, dan memasukkan baik produk maupun limbah ke lingkungan hidup manusia. Dengan kata lain, industri mengakibatkan berbagai perubahan dalam pemanfaatan energi dan sumber-sumber daya alam. Kristanto (2004) menjelaskan industri secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam tiga bagian, diantaranya industri dasar atau hulu, industri 13
hilir, dan industri kecil. Industri dasar atau hulu memiliki sifat sebagai berikut: padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi maju dan teruji. Lokasinya selalu dipilih dekat dengan bahan baku yang mempunyai sumber energi sendiri, dan pada umumnya lokasi ini belum tersentuh pembangunan. Oleh karena itu industri hulu membutuhkan perencanaan yang matang beserta tahapan pembangunannya, mulai dari perencanaan sampai operasional. Di sudut lain juga dibutuhkan pengaturan tata ruang, rencana pemukiman, pengembangan hidup perekonomian, pencegahan kerusakan lingkungan, dan lain-lain. Pembangunan industri ini dapat mengakibatkan perubahan lingkungan, baik dari aspek sosialekonomi dan budaya maupun pencemaran. Terjadi perubahan tatanan nasional, pola konsumsi, tingkah laku, sumber air, kemunduran kualitas udara, penyusutan sumber daya alam, dan sebagainya. Industri hilir merupakan perpanjangan proses industri hulu. Pada umumnya industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, lokasinya selalu diusahakan dekat pasar. Industri kecil umumnya banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, dan memiliki peralatan sederhana. Walaupun hakikat produksinya sama dengan industri hilir, tetapi sistem pengolahannya lebih sederhana. Sistem tata letak pabrik maupun pengolahan limbah belum mendapat perhatian. Sifat industri ini padat karya. Sesuai
dengan
program
pemerintah,
untuk
lebih
memudahkan
pembinaannya, industri dasar dibagi lagi menjadi industri kimia dasar, industri mesin, dan logam dasar, sedangkan industri hilir sering juga disebut dengan aneka industri. Di negara maju, pentingnya industri sebagai penyedia lapangan kerja relatif telah menurun sejak beberapa dekade terakhir. Namun demikian, 14
pergeseran lapangan kerja menuju ke sektor industri jasa telah meningkat dengan pesat sejalan dengan ditemukannya beberapa proses dan teknologi baru. Kebanyakan para ekonom terus mempermasalahkan apakah datangnya era ekonomi yang berlandaskan informasi akan semakin menekan lapangan kerja di sektor industri atau justru akan memperluas kesempatan kerja secara keseluruhan. Sebagian besar negara berkembang mengawali kemerdekaannya praktis tanpa industri modern sama sekali. Selama dekade 1960 dan 1970an industri perdagangan, produksi dan lapangan kerja mereka tumbuh lebih cepat daripada sektor-sektor yang sama di negara-negara pasar industri. Perdagangan internasional dalam barang-barang manufaktur merupakan salah satu faktor yang mendasari perubahan peta industrialisasi dunia. Secara umum, produk industri setiap negara terus berdiversifikasi dan bergerak menuju ke bidang-bidang yang lebih padat modal, seperti produk-produk logam, bahan kimia, mesin dan peralatan. Berbagai industri berat, yang banyak menimbulkan pencemaran terus berkembang. Pada saat yang sama sektor industri yang berhubungan dengan produk pangan (agro-industri) terus menurun dengan cukup berarti. 2.3
Klasifikasi Kualitas Air Kondisi air digambarkan dengan kualitas dan ketersediaannya (volume).
Kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan sedangkan ketersediaan air berhubungan dengan berapa banyak air yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan kebutuhannya. Kualitas air juga dipengaruhi oleh volumenya yang berpengaruh langsung pada daya pulih air (self purification) untuk menerima beban pencemaran dalam jumlah tertentu 15
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas Air dan pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air diterapkan menjadi 4 kelas yaitu: 1) Kelas I, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 2) Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 3) Kelas III, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 4) Kelas IV, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 2.4
Konsep Industri Global Berwawasan Lingkungan Persepsi
dan
respon
masyarakat
dunia
terhadap
permasalahan
pembangunan dan lingkungan senantiasa berkembang. Gro Halem Brundtland mantan PM Norwegia yang juga ketika itu menjabat sebagai ketua komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan, mempublikasikan laporannya yang berjudul Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future), konsep pembangunan yang berkelanjutan mendapatkan gaungnya secara internasional. Sebelum konferensi Stockholm 1972, sebagian besar pemimpin dunia menganggap bahwa kerusakan 16
lingkungan hidup adalah harga yang harus dibayar jika ingin melaksanakan pembangunan. Sejak pascakonferensi sampai dekade 1980an, persepsi semacam itu semakin pudar, dan yang berkembang adalah bahwa antara pembangunan dan lingkungan sesungguhnya merupakan dua sisi mata uang yang sama. Dekade 1980an
juga
diwarnai
dengan
berkembangnya
gagasan
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development), yang di Indonesia lebih populer dengan istilah pembangunan berwawasan lingkungan. Hal ini bisa kita lihat dengan diberlakukannya UU No 4/1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup dan PP No.29/1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun, pelaksanaan undang-undang ini pun masih tersendat-sendat. Sebagai buktinya pelaksanaan studi AMDAL hingga kini belum dijadikan masukan dalam tahap perencanaan dan operasi proyek. Kondisi semacam ini terjadi mungkin disebabkan kebanyakan di antara kita belum menyadari manfaat dari dimasukkannya wawasan lingkungan ke dalam kiprah pembangunan, hal ini dapat terjadi karena peraturan lingkungan hidup seperti AMDAL, hanya dilihat dari sisi biayanya saja. 2.5
Pencemaran dan Limbah Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input)
menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik dan mengandung bahan beracun dan berbahaya. Bahan pencemar keluar bersamasama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air dan tanah yang 17
merupakan komponen ekosistem alam. Bahan buangan yang keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai sumber pencemaran, dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya. Menurut Soeparman dan Soeparmin (2001), limbah cair merupakan bahan buangan yang timbul karena adanya kehidupan manusia sebagai makhluk hidup maupun makhluk sosial. Apabila limbah cair tidak ditangani sebagaimana mestinya maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran permukaan tanah serta air tanah, yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencemaran. Antara satu pabrik dengan pabrik lainnya berbeda jenis dan jumlah bahan pencemar yang dikeluarkannya, tergantung pada bahan baku yang digunakan, proses dan cara kerja karyawan dalam pabrik. Pencemaran terjadi akibat bahan beracun dan berbahaya dalam limbah lepas masuk ke dalam lingkungan, sehingga terjadi perubahan terhadap kualitas lingkungan. Menurut Wardhana (1995), komponen pencemaran air yang berasal dari limbah industri, rumah tangga, dan pertanian dapat dikelompokkan sebagai buangan padat, organik dan pengolahan bahan makanan, anorganik, cairan berupa minyak, berupa panas, dan zat kimia. Menurut Kristanto (2004), sumber bahan beracun dan berbahaya dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Industri kimia organik maupun anorganik. 2) Penggunaan B-3 sebagai bahan baku atau bahan penolong. 3) Proses kimia, fisika dan biologi di dalam pabrik.
18
Kemampuan lingkungan untuk memulihkan diri sendiri karena interaksi pengaruh luar, disebut dengan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya berbeda. Beberapa komponen lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya ikut menetapkan nilai daya dukung lingkungan. Kristanto (2004) menjelaskan bahwa pengertian limbah itu sendiri adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi. Bedasarkan nilai ekonominya, limbah dibedakan menjadi limbah yang mempunyai nilai ekonomis dan limbah yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis yaitu limbah di mana dengan melalui suatu proses lanjut akan memberikan suatu nilai tambah. Misalnya dalam pabrik gula, tetes merupakan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri alkohol, sedangkan ampas tebu sebai limbah dari pabrik gula juga dapat dijadikan bahan baku untuk industri kertas karena mudah dibentuk menjadi bubur pulp. Williams (1979) mengelompokkan bahan pencemar menjadi tiga tipe, yaitu bahan patogenik, estetik dan ekomorpik. Bahan pencemar pada penelitian ini bersifat patogen (pathogenic pollutants) yaitu bahan pencemar yang dapat menyebabkan penyakit pada menusia, misalnya pencemaran logam berat. Limbah non ekonomis adalah suatau limbah walaupun telah dialakukan proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai tambah, kecuali sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah jenis ini sering menimbulkan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Menurut Kristanto (2004) limbah industri dapat digolongkan menjadi tiga bagian: 19
1) Limbah cair, terdapat beberapa keracunan dalam mengidentifikasi limbah cair, yaitu buangan air yang digunakan untuk mendinginkan mesinnya. 2) Limbah Gas dan Partikel, limbah ini merupakan limbah yang banyak dibuang ke udara. Jenis limbah ini akumulasinya di udara dipengaruhi oleh arah angin, namun sumbernya bersifat stasioner maka lingkungan sekitarnya menerima risiko dampak pencemaran yang paling tinggi. 3) Limbah padat, hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, dan bubur yang berasal dari sisa proses pengolahan. Limbah ini dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu limbah padat yang dapat didaur ulang (misalnya plastik, tekstil, potongan logam) dan limbah padat yang tidak memiliki nilai ekonomis. Oleh karena itu dalam kegiatan industri dan teknologi, air yang telah digunakan (air limbah industri) tidak boleh langsung dibuang ke lingkungan karena dapat menyebabkan pencemaran. Air tersebut harus diolah terlebih dahulu agar mempunyai kualitas yang sama dengan kualitas air lingkungan. Jadi air limbah industri harus mengalami proses daur ulang sehingga dapat digunakan lagi atau dibuang kembali ke lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran air lingkungan. Proses daur ulang air limbah industri atau Water Treatment Recycle Process adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh industri yang berwawasan lingkungan. Beberapa jenis industri yang menghasilkan limbah gas atau partikel dapat dilihat pada Tabel 2.
20
Tabel 2. Jenis Industri dan Limbahnya No. 1
Jenis Industri Industri pupuk
2
Industri pangan
3 4
Industri pertambangan Industri metalurgi (tembaga, baja, seng, timah, dll)
Jenis Limbah Uap asam NH3, bau, partikel Hidrokarbon Karbon monoksida Nitrogen dioksida Karbon monoksida Hidrokarbon
Dampak Menyebabkan hujan asam Menyebabkan sakit kepala Penyebab Kanker Penyakit jantung dan pernapasan Iritasi paru-paru Pernapasan Pusing Kanker Gatal-gatal
Sumber: Kristanto (2004)
2.6
Replacement Cost dan Cost of Illness Penurunan kualitas lingkungan memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat Kelurahan Nanggewer. Dipandang dari sisi ekonomi, kerugian atau penurunan atas kualitas lingkungan akan menyebabkan timbulnya biaya. Pada penelitian ini akan dibahas dua macam biaya yang ditanggung oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer yaitu Replacement Cost dan Cost of Illness. Replacement Cost atau biaya pengganti merupakan metode yang digunakan untuk menilai suatu sumber daya alam yang dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk menggantikan atau memperbaiki sumberdaya tersebut setelah adanya kerusakan (Garrod dan Willis, 1999). Metode Replacement Cost dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini. Biaya kesehatan atau Cost of Illness didefinisikan sebagai metode yang digunakan untuk mengestimasi kerugian yang ditanggung masyarakat yang didasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akibat adanya penurunan kualitas lingkungan. Apabila dijabarkan, metode biaya kesehatan ini terdiri dari biaya rumah sakit, biaya obat, biaya perawatan, dan penurunan produktivitas (berkurangnya waktu bekerja). 21
2.7
Contingent Valuation Method (CVM) Metode ini disebut Contingent Valuation karena metode ini mencoba
mendorong orang untuk mengungkapkan apa yang akan mereka lakukan jika mereka ditempatkan pada kondisi tertentu. Pada awalnya, metode ini didasarkan atas ide sederhana bahwa jika kita ingin mengetahui berapa nilai yang bersedia dikeluarkan atau diterima oleh orang untuk mencapai kondisi lingkungan tertentu, kita dapat menanyakannya kepada mereka. Studi Contingent Valuation telah digunakan untuk mempelajari banyak faktor lingkungan, diantaranya yaitu kualitas udara, nilai keindahan alam, kualitas kondisi pantai, perlindungan spesies liar, dan kepadatan populasi alam liar (Fauzi, 2006). CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misal terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dan sebagainya), dan kedua keinginan menerima (WTA) masyarakat atas suatu kondisi lingkungan yang rusak. Teknik CVM didasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki (Fauzi, 2006). Penilaian WTA perlu dilakukan di Kelurahan Nanggewer, karena pada kasus ini pihak industri yang mendekat ke pemukiman warga di Kelurahan Nanggewer. Langkah-langkah dalam metode CVM adalah : 22
1.
Menyusun pasar hipotetik Langkah yang pertama adalah menetapkan suatu alasan untuk suatu barang atau jasa dimana tidak ada arus pembayaran.
2.
Memperoleh penawaran (bid) Metode untuk memperoleh penawaran diantaranya adalah bidding games yaitu dengan cara responden diberikan penawaran yang lebih tinggi secara progresif hingga mereka memperoleh nilai max WTP atau min WTA, payment card yaitu suatu kisaran nilai yang sudah diberikan pada kartu dan responden diminta untuk memilih satu, open-ended question yaitu responden diminta memberi laporan tentang max WTP atau min WTA, close ended question ada tiga jenis yaitu dichotomous choice (diberikan sebuah penawaran, responden diminta jawaban ya atau tidak), double bounded choice (yang menjawab tidak pada penawaran pertama akan diberikan penawaran selanjutnya), dan yang terakhir trichotomous choice (responden diberikan tiga pilihan untuk membayar ya, tidak atau indiferen.
3.
Mengestimasi mean WTP/WTA Dengan tiga pendekatan pertama dalam menimbulkan penawaran, nilai mean dan median dari WTP atau WTA dapat diperoleh.
4.
Mengestimasi kurva penawaran
5.
Menentukan total WTA (agregating data)
6.
Evaluasi Pelaksanaan CVM
2.8
Penelitian Terdahulu Penelitian yang terkait dengan topik penelitian ini yaitu penelitian yang
pernah dilakukan oleh Bujagunasti (2009). Pada penelitiannya, Bujagunasti 23
menggunakan metode replacement cost dan cost of illness. Hasil penelitiannnya menunjukkan adanya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat pencemaran, total kerugian masyarakatnya yaitu sebesar Rp. 13.385.300 per tahun. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ani Triani (2009) juga dapat dijadikan referensi, penelitian dengan topik “Analisis Willingness To Accept Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau”. Pada penelitiannya itu Ani menggunakan metode analisis regresi berganda untuk menganalisis fungsi Willingness to Accept. Perhitungan terhadap dugaan nilai rataan WTA (EWTA) menghasilkan nilai sebesar Rp 5.056,98 per pohon per tahun. Satu hektar lahan berjumlah 500 pohon, setelah dikonversikan maka didapat nilai rataan WTA sebesar Rp 2.528.4900,00 per ha per tahun. Sementara hasil perhitungan total WTA Kelompok Tani Karya Muda II sebesar Rp 217.450,00 per pohon per tahun, luas lahan sebesar 25 ha dengan tiap ha lahan ditumbuhi pohon berjumlah 500 pohon. Mengacu pada jumlah pohon yang terdapat di lokasi penyedia jasa lingkungan maka diperoleh nilai total kesediaan kelompok tani Karya Muda II untuk menerima kompensasi terhadap upaya konservasi sebesar Rp 2.718.125.000. Pada penelitian ini juga menghasilkan variabel yang secara nyata berpengaruh adalah tingkat pendapatan, nilai pembayaran dan kepuasan jasa lingkungan yang diterima, lama tinggal, jumlah pohon, dan penilaian terhadap cara penetapan nilai pembayaran. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, status kepemilikan lahan, dan biaya pemeliharaan. Sementara pada penelitian ini total kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer sebesar Rp 7.426.000 per bulan. Pada 24
penelitian ini juga menghasilkan nilai rataan WTA sebesar Rp 275.000 per bulan, sedangkan total WTA yang dihasilkan dari 48 responden sebesar Rp 13.200.000 per bulan. Untuk variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap besarnya kesediaan menerima kompensasi adalah jumlah tanggungan dan ada atau tidaknya upaya mengatasi pencemaran. Hal ini berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh penelitian Ani Triani (2009), pada penelitiannya variabel jumlah tanggungan tidak secara nyata berpengaruh terhadap besarnya kesediaan menerima kompensasi responden di kawasan DAS Cidanau.
25
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
Pada saat ini industrialisasi merupakan hal sentral dalam pembangunan ekonomi negara. Banyak kebutuhan masyarakat suatu negara yang hanya dapat dipenuhi oleh barang dan jasa yang disediakan dari sektor industri. Namun, dalam pelaksanaannya industri memberikan perubahan terhadap kualitas lingkungan. Perubahan kualitas tersebut berupa pencemaran air dan udara, ada kerugian ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer. Pada kasus pencemaran air, untuk menanggung hal tersebut masyarakat Kelurahan Nanggewer harus mencari sumber air baru untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, misal air galon, air PDAM, dan lain-lain. Sumber air yang baru ini tentu menunjukkan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk tetap dapat mendapatkan air bersih. Padahal jika air tanah tidak tercemar, masyarakat Kelurahan Nanggewer dapat mendapatkan air bersih tanpa harus ada biaya yang dikeluarkan. Sama halnya dengan pencemaran udara yang terjadi tentu juga menimbulkan kerugian ekonomi pada masyarakat Kelurahan Nanggewer. Pencemaran udara lebih berdampak pada kesehatan, terganggunya pernafasan, batuk-batuk, gatal, dan lain-lain merupakan penyakit yang tentunya diperlukan biaya untuk mengobati penyakit tersebut. Penelitian ini akan mengidentifikasi kondisi responden setelah terjadi pencemaran menggunakan analisis deskriptif. Selain itu juga akan mengestimasi kerugian yang ditanggung responden dengan pendekatan metode biaya pengganti dan biaya berobat. Mengestimasi besarnya nilai WTA dan mengetahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhinya merupakan tahapan akhir pada penelitiaan 26
ini. Analisis fungsi WTA dengan alat analisis model regresi berganda akan digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA masyarakat Kelurahan Nanggewer. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian maka dibuat alur pemikiran yang akan menerangkan apa saja yang menjadi ruang lingkup pada penelitian ini. Seperti yang terlihat pada Gambar 4. Pada kasus kawasan industri di Kelurahan Nanggewer yang terjadi adalah pihak industri yang mendekat ke pemukiman warga. Hal ini mengindikasikan telah terjadi kesalahan dalam tata kota di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Terjadinya kobocoran pada kolam penampungan air limbah sisa produksi industri sutra kabel juga merupakan sumber masalah yang mengakibatkan adanya pencemaran air tanah yang seharusnya dapat dikonsumsi warga secara aman. Tidak hanya kualitas air tanah saja yang menurun akibat adanya industri di sekitar pemukiman warga, tetapi juga kualitas udara di Kelurahan Nanggewer telah dicemari asap sisa hasil produksi industri. Keberadaan cerobong asap yang tidak terlalu jauh dari atap rumah warga menimbulkan berbagai masalah seperti kotoran atau debu yang menempel pada pakaian warga hingga penyakit yang timbul akibat pancemaran udara yang telah terjadi akibat keberadaan industri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi responden sebenarnya setelah terjadi pencemaran di sekitar tempat tinggal mereka. Setelah mengetahui apa yang dialami oleh responden akibat pencemaran, penelitian ini juga akan mengestimasi berapa nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran yang dihasilkan oleh pihak industri dan berapa nilai kompensasi yang bersedia diterima serta faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan menerima kompensasi 27
masyarakat Kelurahan Nanggewer akibat hilangnya hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan bersih. Kawasan industri Kelurahan Nanggewer
Terjadi kebocoran pada kolam penampungan dan jarak cerobong asap sisa hasil produksi yang sangat dekat dengan atap rumah warga
Pihak industri yang mendekat ke pemukiman warga
Peningkatan aktifitas industri
Peningkatan limbah
Pencemaran air tanah
Pencemaran udara
Kondisi responden akibat terjadi pencemaran Analisis deskriptif
Estimasi nilai kerugian: Biaya Pengganti dan Biaya Berobat
Estimasi nilai WTA responden dengan Metode CVM
Analisis model regresi berganda
Mengetahui kondisi responden setelah terjadi pencemaran, mengestimasi nilai kerugian masyarakat akibat adanya industri, mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhi besar kesediaan dalam menerima kompensasi.
Gambar 4. Kerangka Pemikiran
28
IV.METODE PENELITIAN
4.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan
Cibinong, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Nanggewer merupakan salah satu pemukiman yang terdapat di sekitar industri, dimana industri terletak di tengah-tengah pemukiman masyarakat Kelurahan Nanggewer. Waktu penelitian adalah pada bulan September-November 2011. 4.2
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yang dibutuhkan meliputi kondisi responden, pandangan responden terhadap keberadaan industri di Kelurahan Nanggewer, besarnya biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati penyakit yang diderita, besarnya biaya yang dikeluarkan responden untuk kembali mendapatkan sumberdaya air yang hilang, serta mengenai seberapa besar mereka bersedia menerima kompensasi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya yang diberikan pihak terkait seperti industri yang bersangkutan. Data primer ini diperoleh melalui kuesioner dan wawancara langsung dengan responden. Data sekunder pada penelitian ini meliputi data-data industri yang terkait di Kelurahan Nanggewer, penyakit yang diderita masyarakat sekitar akibat pengaruh dari pencemaran, data kualitas air tanah di Kelurahan Nanggewer dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan pengumpulan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Badan 29
Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bogor, dan media yang mencakup penelitian ini. 4.3
Metode Pengambilan Contoh Pengambilan contoh dilakukan secara sistematik sampling. Pada metode
ini, pemilihan responden dilakukan secara sistematis, yaitu responden dipilih dengan pola memilih rumah berdasarkan jarak terhadap industri. Dengan radius sekitar 700 meter jarak tempat tinggal dari lokasi industri ditentukan sebagai responden. Pada pelaksanaannya jarak tempat tinggal warga dibagi kedalam tiga wilayah, wilayah pertama yaitu sebanyak 18 responden yang bertempat tinggal dengan jarak ≤ 100 meter dari industri, wilayah kedua sebanyak 23 responden dengan jarak 101-500 meter dari industri, dan wilayah ketiga sebanyak 7 responden dengan jarak > 500 meter dari industri. Jumlah responden yang dilibatkan dalam penelitian ini sebesar 48 orang. 4.4
Metode Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif. Penelitian ini juga melihat kondisi masyarakat, nilai kerugian ekonomi yang diterima oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer akibat pencemaran air dan udara, juga besarnya nilai WTA masyarakat terhadap pencemaran yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 15. Pada tabel akan dijelaskan matriks keterkaitan antara sumber data, metode analisis data dan tujuan dalam penelitian ini. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.
30
Tabel 3. Matriks Metode Analisis No 1
2
3 4
Tujuan Penelitian Mengidentifikasi kondisi responden sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer Mengestimasi nilai kerugian yang dialalmi oleh responden akibat adanya industri di Kelurahan Nanggewer Mengestimasi besarnya WTA masyarakat Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut
Sumber Data Data primer dan sekunder
Metode Analisis Data Analisis deskriptif
Data primer dan sekunder
Metode cost of illness dan replacement cost
Data primer yang didapat dari kuesioner Wawancara dengan masyarakat yang terpilih menjadi responden
Metode CVM Analisis regresi berganda dengan microsoft excel dan SPSS 15
Sumber : Penulis (2011)
4.4.1 Identifikasi Karakteristik Responden Sekitar Kawasan Industri di Kelurahan Nanggewer Analisis data yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi masyarakat dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi, kesehatan, dan sosial dari masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer. Beberapa kondisi responden yang perlu dideskripsikan misalnya, laju pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, gambaran sektor pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya. 4.4.2
Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat Pada penelitian ini, nilai kerugian yang diakibatkan dari pencemaran yang
dihasilkan di kawasan industri Kelurahan Nanggewer diestimasi dengan menggunakan metode cost of illness dan replacement cost. Metode cost of illness yaitu mengestimasi kerugian ekonomi dengan menggunakan biaya kesehatan. Biaya kesehatan dikeluarkan oleh masyarakat di Kelurahan Nanggewer sebagai akibat dari mengonsumsi air tanah yang tercemar. Pada metode ini informasi yang 31
diperlukan diantaranya: (1) jenis penyakit, penyakit apa yang diderita oleh responden akibat mengonsumsi air sumur yang tercemar dan apakah penyakit tersebut penyakit turunan atau tidak, (2) tingkat mengalami penyakit, seberapa sering responden mengalami penyakit tersebut dalam satu tahun, (3) biaya, besar biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati penyakit yang diderita, (4) kemana pergi berobat, apakah ke rumah sakit atau PUSKESMAS. Selain akibat dari mengonsumsi air tanah, biaya kesehatan yang dikeluarkan masyarakat juga akibat dari adanya pencemaran udara yang terjadi, udara yang dihirup telah terkontaminasi akibat adanya kawasan industri, hal ini juga menyebabkan timbulnya penyakit. Penyakit tersebut juga diestimasi dengan menggunakan metode biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Informasi yang diperlukan diantaranya: (1) jenis penyakit,
penyakit apa yang diderita oleh
responden akibat menghirup udara yang telah terkontaminasi dan apakah penyakit tersebut merupakan penyakit turunan atau tidak, (2) tingkat mengalami penyakit, seberapa sering responden menglami penyakit tersebut dalam satu tahun, (3) biaya, besar biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati penyakit yang diderita, (4) kemana pergi berobat, apakah ke rumah sakit atau PUSKESMAS. Besarnya biaya kesehatan didapat dari menghitung jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh responden untuk mengobati penyakitnya. Estimasi kerugian dengan menggunakan metode replacement cost didasarkan pada kasus penggunaan sumber lain akibat tercemarnya air sumur masyarakat yang dididentifikasi dengan penyebaran kuesioner. Informasi yang akan dicari terkait penggunaan metode replacement cost antara lain: 1) sumber air pengganti, yaitu darimana sumber air pengganti yang digunakan responden untuk 32
memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti MCK (mandi, cuci, kakus) dan minum, 2) jumlah konsumsi air pengganti, yaitu berapa besar jumlah konsumsi air pengganti yang digunakan responden, 3) biaya, yaitu besar biaya yang dikeluarkan responden untuk membeli sumber air pengganti. 4.4.3 Analisis Nilai WTA dari Masyarakat Terhadap Pencemaran Sekitar Kawasan Industri Kelurahan Nanggewer Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai dana kompensasi (WTA) yang bersedia diterima masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut. Untuk mengetahui nilai WTA pada penelitian ini akan digunakan pendekatan CVM, yang terdiri dari enam tahapan, yaitu: 1.
Membangun Pasar Hipotetik Pasar hipotesis dibentuk atas dasar pencemaran yang terjadi akibat
keberadaan industri di Kelurahan Nanggewer. Keberadaan industri memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Timbulnya penurunan kualitas lingkungan akibat mendekatnya industri ke pemukiman warga di Kelurahan Nanggewer berupa pencemaran air, udara, kebisingan dan pencemaran lainnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kompensasi atas pencemaran tersebut dari pihak pencemar dibantu lembaga-lembaga yang terkait seperti Badan Lingkungan Hidup sebagai mediator. Kompensasi diperlukan karena sebenarnya masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer memiliki hak untuk dapat memanfaatkan air tanah/sumur mereka tanpa tercemar. Pada kasus ini, pihak industrilah yang mendekat kepada masyarakat (daerah pemukiman). Kompensasi yang akan dilakukan pihak pencemar dibantu dengan BLH sebagai mediasi adalah dalam bentuk pemasangan instalasi air bersih dan pemberian dana kompensasi. Pemberian dana kompensasi ini ditujukan sebagai pertanggung jawaban atas 33
penurunan kualitas lingkungan di Kelurahan Nanggewer tersebut. Selanjutnya, pasar hipotetik dibentuk dalam skenario sebagai berikut: Skenario: Apabila pihak pencemar dibantu dengan pihak BLH sebagai mediasi akan melakukan upaya untuk mengatasi masalah pencemaran yang dimaksudkan bentuk solusi dan kompensasi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi di Kelurahan Nanggewer. Program yang akan dilakukan berupa pemasangan instalasi air bersih dan pemberian dana kompensasi. Besarnya dana kompensasi akan ditanyakan langsung kepada masyarakat Kelurahan Nanggewer, berapa nilai yang bersedia mereka terima atas penurunan kualitas lingkungan sebagai dampak dari keberadaan industri. Besar dana kompensasi yaitu berkisar Rp 50.000 - Rp 200.000/KK/bulan. Melalui skenario diatas, maka responden akan mengetahui gambaran tentang situasi hipotetik mengenai rencana adanya upaya dari pihak pemerintah dan pencemar untuk mengatasi pencemaran yang terjadi. 2.
Memperoleh Nilai Tawaran Metode yang dipilih dalam penelitian ini untuk memperoleh nilai tawaran
adalah Bidding Game. Metode ini dilakukan dengan melakukan penawaran, dimulai pada penawaran maksimal atau pada penelitian ini sebesar Rp 200.000, hingga angka minimum yang mau diterima oleh responden. 3.
Menghitung Dugaan Nilai Tengah WTA (EWTA) EWTA dapat diduga dengan melakukan nilai rata-rata dari penjumlahan
keseluruhan nilai WTA dibagi dengan jumlah responden. Perhitungan dari dugaan nilai rataan WTA (EWTA) responden ditentukan dengan rumus: 34
EWTA =
.................................................................(1)
Dimana : EWTA Wi Pf n i 4.
= = = = =
dugaan rataan WTA batas bawah kelas WTA pada kelas ke-i frekuensi relatif kelas yang bersangkutan jumlah kelas interval kelas ke-i
Menduga Kurva Penawaran WTA Menduga kurva penawaran merupakan proses menentukan variabel-
variabel yang diduga berpengaruh terhadap nilai WTA. Pendugaan kurva penawaran akan dilakukan menggunakan persamaan berikut ini : Mid WTA = f(X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8.є) .................................(2) Dimana: Mid WTA X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Є 5.
= = = = = = =
nilai tengah WTA responden jumlah tanggungan (orang) tingkat pendidikan (tahun) pendapatan (rupiah/bulan) usia (tahun) lama tinggal (tahun) dummy variabel penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan (bernilai 1 untuk puas, 0 untuk tidak puas) = dummy variabel sudah dapet kompensasi pemasangan instalasi air (bernilai 1 untuk sudah dapat, 0 untuk belum dapat) = dummy variabel ada atau tidak, upaya mengatasi pencemaran (bernilai 1 untuk ada, 0 untuk tidak ada) = galat
Menjumlahkan data Penjumlahan data adalah proses dimana penawaran rata-rata (nilai tengah
penawaran) dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Nilai total WTA dari masyarakat diduga dengan menggunakan rumus: TWTA =
..............................................................(3)
Dimana : 35
TWTA WTAi P ni i N 6.
= = = = = =
total WTA WTA individu sampel ke-i jumlah populasi jumlah sampel ke-i yang bersedia menerima sebesar WTA responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi jumlah sampel
Evaluasi Pelaksanaan CVM Evaluasi CVM ini akan mengacu kepada (Mitchell dan Carson, 1989
dalam Garrod dan Willis, 1999) yaitu penelitian yang berkaitan dengan bendabenda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 hingga 15%. 4.4.4
Analisis Fungsi Willingness to Accept Analisis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap WTA masyarakat Kelurahan Nanggewer. Alat analisis yang digunakan adalah model regresi berganda. Berdasarkan teori tentang WTA persamaan regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: midWTAi = β 0 + β1X1 + β2X2 +β3X3 +β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 .єi .....(4) Estimasi parameter yang diharapkan adalah β1, β2, β4, β5, β8 > 0 dan β3, β6, β7 < 0 Dimana : = nilai tengah WTA responden midWTAi β0 = konstanta β1 sampai β8 = koefisien regresi = jumlah tanggungan (orang) X1 X2 = tingkat pendidikan (tahun) = pendapatan (rupiah/bulan) X3 X4 = usia (tahun) X5 = lama tinggal (tahun) X6 = dummy variabel penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan (bernilai 1 untuk puas, 0 untuk tidak puas) X7 = dummy variabel sudah dapat kompensasi pemasangan air (bernilai 1 untuk sudah dapat, 0 untuk belum dapat) X8 = dummy variabel ada atau tidak, upaya mengatasi pencemaran (bernilai 1 untuk ada, 0 untuk tidak ada) i = responden ke i yang bersedia menerima kompensasi є = galat 36
Diantara kedelapan variabel diatas, variabel yang diduga berbanding lurus dengan nilai WTA adalah variabel jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, usia lama tinggal, dan ada atau tidaknya upaya untuk mengatasi pencemaran. Banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga akan mempengaruhi besarnya nilai kompensasi yang diinginkan responden. Semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin tinggi pula nilai kompensasi yang diinginkan. Tingginya tingkat pendidikan seseorang pun akan berbanding lurus dengan nilai kompensasi yang diinginkan responden. Hal ini karena responden yang berpendidikan tinggi akan menyadari akan seberapa besar kerugian yang ditanggung. Begitu juga dengan variabel lama tinggal, adanya pencemaran membuat masyarakat dengan lama tinggal lebih lama merasa dirugikan. Kerugian ini timbul karena sebelumnya merasa dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia tanpa ada pencemaran. Hal ini yang diduga masyarakat yang lebih lama tinggal cenderung menginginkan nilai WTA yang lebih tinggi. Pada variabel usia pun demikian, semakin tinggi usia responden, maka semakin paham akan kerugian yang diterima akibat penurunan kualitas lingkungan di Kelurahan Nanggewer. Untuk variabel ada atau tidaknya upaya yang dilakukan responden untuk mengatasi pencemaran, ketika responden merasa telah ada upaya (bernilai 1) atau telah ada biaya yang dikeluarkan untuk melakukan upaya tersebut maka nilai WTA yang diinginkan responden diduga semakin besar. Untuk variabel yang diduga berpengaruh negatif terhadap nilai WTA adalah variabel pendapatan , penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan, dan sudah dapat kompensasi pemasangan instalasi air. Untuk variabel pendapatan, diduga semakin tinggi pendapatan seseorang maka responden 37
tersebut cenderung tidak memperhatikan besarnya nilai kompensasi karena merasa berkecukupan untuk menanggungnya sendiri. Untuk penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan semakin responden merasa tidak puas (bernilai 0) maka diduga nilai WTA semakin besar. Hal ini berlaku juga dengan variabel sudah dapat kompensasi atau belum, ketika responden belum mendapatkan kompensasi pemasangan instalasi air gratis (bernilai 0) maka diduga nilai WTA yang diinginkan semakin besar.
38
V. GAMBARAN UMUM
5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Nanggewer terletak di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat dan memiliki luas wilayah sekitar 446,493 Ha. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Nanggewer Mekar sebelah Utara, Desa Cimandala, Kecamatan Sukaraja sebelah Selatan, Kelurahan Karadenan dan Kelurahan Sukahati sebelah Barat, Desa Sentul dan Desa Cijujung sebelah Timur. Dari segi pembagian wilayah Kelurahan Nanggewer dibagi menjadi 10 Rukun Warga (RW) dan 71 Rukun Tetangga (RT). Dari aspek aksesibilitas dan mobilitas, Kelurahan Nanggewer terletak di dua akses jalan utama yaitu jalan Raya Bogor-Jakarta sebelah Timur dan Jalan Raya Pemda sebelah Barat, memiliki fisik jalan beraspal dengan kondisi yang cukup baik. Akses menuju pusat kota Kecamatan Cibinong berjarak sekitar 4 km dan akses menuju pemerintahan Kabupaten Bogor sekitar 4 km. Peta Kelurahan Nanggewer dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber: Kantor Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor
Gambar 5. Peta Kelurahan Nanggewer 39
5.2
Keagamaan, Pendidikan, dan Kesehatan Sarana dan Prasarana keagamaan yang terdapat di kelurahan Nanggewer
diantaranya 14 buah masjid jami, 37 buah musholla, majelis talim 36 buah, gereja empat buah, dan rumah doa satu buah. Keagamaan masyarakat di Kelurahan Nanggewer menganut agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Mayoritas penduduknya beragama islam yaitu, sekitar (98, 65%). Pendidikan di Kelurahan Nanggewer sendiri tidak terlalu baik, hal ini dapat dilihat dengan mayoritaas penduduknya yang memiliki tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD) atau sederajat. Sarana dan prasarana pendidikan yang terdapat di Kelurahan Nanggewer pun belum bisa dikategorikan baik yaitu hanya terdapat empat buah TK Swasta, dua buah SD Negeri, dua buah Madrasah Ibtidaiyah, empat buah pondok pesantren. Pemerintah Kabupaten Bogor perlu meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di Kelurahan Nanggewer diantaranya dengan penambahan Sekolah Negeri Tingkat Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk sarana kesehatan Kelurahan Nanggewer telah memiliki Puskesmas Pembantu satu buah, Poliklinik 24 jam satu buah, Rumah Bersalin dua buah, Posyandu 16 buah, dan Apotik dua buah. Hal ini pun telah diimbangi dengan keberadaan jumlah tenaga kesehatan yang ada di Kelurahan Nanggewer yaitu Dokter Puskesmas atau Dokter Umum sebanyak empat orang, Bidan desa satu orang, Dokter Praktek Swasta empat orang, Dukun Anak Terlatih lima orang, Tenaga Paramedis tiga orang, dan Kader Posyandu 48 orang. Pelaksanaan Keluarga Berencana (KB) di Kelurahan Nanggewer cukup baik, hal ini dapat dilihat dengan keadaan yang menunjukkan bahwa sekitar 73% pasangan usia 40
subur mengikuti program Keluarga Berencana (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2010). 5.3
Kondisi Ekonomi dan Pembangunan Struktur mata pencaharian penduduk Kelurahan Nanggewer sangat
beraneka ragam (heterogen). Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor jasa seperti Pegawai Negeri, Karyawan, Buruh, Wiraswasta, dan sebagian kecil bermata pencaharian di sektor pertanian dan peternakan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena perkembangan Kelurahan Nanggewer menuju wilayah perkotaan. Sarana dan Prasarana perekonomian yang ada di Kelurahan Nanggewer adalah toko/warung/kios sebanyak 212 buah, matrial/toko bahan bangunan enam buah, wartel 20 buah, Mini Market dua buah, Ruko satu buah, Perusahaan/Industri 27 buah, dan Industri kecil/Rumah Tangga 43 buah. Hal ini diperlukan, karena bagaimanapun suksesnya pembangunan wilayah tidak terlepas dari tersedianya sarana dan prasarana pembangunan dan fasilitas yang mendukung aktivitas perekonomian. 5.4
Kondisi Responden Sekitar Kawasan Industri Pemukiman di Kelurahan Nanggewer saat ini telah dikelilingi oleh
perusahaan/industri. Keadaan ini menyebabkan terganggunya kesehatan dan menurunnya kualitas lingkungan masyarakat terutama penduduk RT 01/RW 05. Kondisi ini diperoleh berdasarkan survei yang telah dilakukan terhadap 48 Kepala Keluarga yang bertempat tinggal di Kelurahan Nanggewer RT 01/RW 05. Semua responden adalah kepala keluarga karena pengambilan keputusan dalam suatu rumah tangga biasanya lebih didominasi oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Kondisi sosial ekonomi responden juga telah dinilai dari beberapa variabel 41
diantaranya kondisi air, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, pendapatan, jarak tempat tinggal dengan industri, usia, lama tinggal, dan jenis pekerjaan. 5.4.1
Jarak Tempat Tinggal Jarak rumah responden dengan industri dikelompokkan menjadi tiga
bagian, bagian pertama yaitu rumah yang berjarak ≤ 100 m sebesar 37,50% atau sebanyak 18 Kepala Keluarga. Bagian kedua yaitu rumah yang berjarak 101-500 m sebesar 47,92% atau umumnya responden tinggal di bagian kedua yaitu sebanyak 23 Kepala Keluarga. Bagian ketiga diklasifikasikan untuk responden yang berjarak 501-1000 m dari industri, hanya sedikit responden yang bertempat tinggal di bagian ketiga ini. Persentase sebaran jarak tempat tinggal responden dapat dilihat pada Gambar 6.
1,40%
< 100 m
37,50% 47,92%
101-500 m 501-1000 m
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 6. Persentase Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal 5.4.2 Persepsi Responden terhadap Kualitas Air Akibat Adanya Industri Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal 5.4.2.1 Persepsi Responden Pada Wilayah Satu terhadap Kualitas Air Penurunan kondisi air di Kelurahan Nanggewer merupakan kerugian bagi masyarakat sekitarnya. Kualitas air dikelompokkan menjadi tiga kategori, kategori pertama yaitu kondisi air yang sangat kotor, keruh, dan berbau. Kategori kedua yaitu kondisi air yang kotor dan berbau dan kategori ketiga yaitu kondisi air yang biasa saja, air tetap bersih, jernih, dan tidak berbau. Berdasarkan survei kepada 48 42
kepala keluarga yang terbagi tiga wilayah. Pada wilayah satu (≤ 100 meter) dengan responden sebanyak 18 kepala keluarga, sebagian besar kepala keluarga merasa bahwa kualitas air tanah yang berada di lingkungan mereka sudah tidak layak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebanyak 12 kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori dua (kotor, berbau), sedangkan sebanyak empat kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori pertama (sangat kotor, keruh, dan berbau). Persentase persepsi responden wilayah satu terhadap kualitas air dapat dilihat pada Gambar 7. 11,11 %
22,22 % kategori 1 kategori 2 kategori 3
66,67 % Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 7. Persentase Persepsi Responden Wilayah 1 terhadap Kualitas Air 5.4.2.2 Persepsi Responden Pada Wilayah Dua terhadap Kualitas Air Pada wilayah dua (101-500 meter) dengan responden sebanyak 23 kepala keluarga, sebanyak 12 kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori dua (kotor dan berbau), sedangkan sebanyak delapan kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori pertama (sangat kotor, keruh, dan berbau). Hanya tiga kepala keluarga yang menilai kualitas air mereka masih berada pada kategori ketiga (biasa saja, air tetap bersih, jernih, dan tidak berbau) Persentase persepsi responden wilayah dua terhadap kualitas air dapat dilihat pada Gambar 8. 43
13,04 % 34,78 % kategori 1 kategori 2 kategori 3
52,17 % Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 8. Persentase Persepsi Responden Wilayah 2 terhadap Kualitas Air 5.4.2.3 Persepsi Responden Pada Wilayah Tiga terhadap Kualitas Air Pada wilayah tiga (>500 meter) dengan responden sebanyak tujuh kepala keluarga, sebanyak empat kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori dua (kotor dan berbau), sedangkan sebanyak satu kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori pertama (sangat kotor, keruh, dan berbau). Dua kepala keluarga yang menilai kualitas air mereka masih berada pada kategori ketiga (biasa saja, air tetap bersih, jernih, dan tidak berbau) Persentase persepsi responden wilayah tiga terhadap kualitas air dapat dilihat pada Gambar 9.
28,57 %
14,29 % kategori 1 kategori 2 kategori 3
57,14 % Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 9. Persentase Persepsi Responden Wilayah 3 terhadap Kualitas Air Secara keseluruhan hasil survei menunjukkan sebanyak 58,33% responden menilai kualitas air mereka berada pada kategori dua, artinya secara umum adanya industri di Kelurahan Nanggewer telah menyebabkan penurunan kualitas air tanah dan menyebabkan adanya kandungan zat-zat yang berbahaya apabila tetap 44
dikonsumsi oleh masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, responden harus mencari sumber air lain meskipun memerlukan biaya yang lebih mahal untuk mendapatkannya seperti PDAM dan air galon untuk memenuhi kebutuhan seharihari. 5.4.3 Jumlah Tanggungan Jumlah penduduk Kelurahan Nanggewer RT 01/RW 05 yang menjadi responden adalah 48 orang. Berdasarkan jumlah tanggungan setiap kepala keluarga, sebagian besar kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak satu hingga tiga orang sebanyak 66,67%, sebanyak 27,08% responden memiliki jumlah tanggungan empat hingga enam orang, dan sebanyak 6,25% sudah tidak memiliki tanggungan. Jika dilihat hasil tersebut menandakan tingkat kelahiran diantara masyarakat Kelurahan Nanggewer yang menjadi responden tidak tinggi. Hal ini disebabkan program keluarga berencana telah dilaksanakan diantara masyarakat yang menjadi responden. Persentase sebaran jumlah tanggungan responden dapat dilihat pada Gambar 10.
6,25% 10,42% 47,92% 35,42%
1-2 orang 3-4 orang 5-6 orang sudah tidak ada tanggungan
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 10. Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan
45
5.4.4 Tingkat Pendidikan Dalam penelitian ini tingkat pendidikan pada masyarakat Kelurahan Nanggewer diklasifikasikan menurut lama tahun menempuh pendidikan formal. Hal ini dilakukan untuk mempermudah perhitungan, untuk Sekolah Dasar pendidikan dihitung selama enam tahun yaitu sebanyak tujuh belas orang atau sebesar 35,42%. Pada tingkat SLTP pendidikan dihitung selama sembilan tahun yaitu sebanyak sepuluh orang atau sebesar 20,83%. Sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan tingkat SLTA atau telah menempuh pendidikan selama dua belas tahun yaitu sebanyak sembilan belas orang atau sebesar 39,58%. Masih sedikit sekali responden yang memiliki latar belakang pendidikan di atas SLTA. Sebesar 4,17% atau sebanyak dua orang responden yang memiliki latar belakang pendidikan di atas dua belas tahun yaitu tingkat Diploma (lima belas tahun). Berdasarkan hasil survei diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan di Kelurahan Nanggewer masih beragam. Banyak responden yang masih memiliki tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar, meskipun lebih dominan responden yang telah memiliki tingkat pendidikan SLTA. Untuk tingkat pendidikan paling lama yang dimiliki responden adalah tingkat Diploma, meskipun jumlahnya sedikit, namun hal ini menandakan bahwa tingkat pendidikan di Kelurahan Nanggewer masih beragam. Persentase sebaran tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 11.
46
4,17% 39,58%
35,42%
6 Tahun (SD) 9 Tahun (SLTP) 12 Tahun (SLTA)
20,83%
15 tahun (Diploma)
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 11. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 5.4.5 Pendapatan Berdasarkan tingkat pendapatan, responden memiliki kisaran pendapatan mulai dari Rp < 1.000.000 - Rp ≥ 3.000.000. Sebaran pendapatan responden yang memiliki pendapatan Rp < 1.000.000 yaitu sebesar 25%. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan per bulan pada kisaran Rp 1.000.000 - Rp 2.000.000 yaitu sebesar 62,50% atau sebanyak 30 orang dari 48 responden. Pendapatan rata-rata terbesar dimiliki pada responden yang berada pada wilayah dua yaitu sebesar Rp 1.469.565. Untuk Pendapatan rata-rata dari seluruh responden yaitu sebesar Rp 1.340.104 Persentase sebaran tingkat pendapatan per bulan responden dapat dilihat pada Gambar 12. 6,25% 6,25%
25% < 1.000.000 1.000.000 - < 2.000.000 2.000.000 - < 3.000.000 ≥ 3.000.000
62,50%
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 12. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
47
5.4.6 Usia Sebaran usia responden tergolong bervariasi, yaitu berada pada kisaran 2385 tahun. Jumlah responden yang berada pada kisaran 49-61 tahun memiliki jumlah responden yang paling banyak yaitu sebesar 39, 58% atau sebanyak 19 Kepala Keluarga. Untuk jumlah responden yang paling sedikit berada pada kisaran 75-85 tahun yaitu sebesar 2,08% atau sebanyak satu Kepala Keluarga. Persentase usia responden dapat dilihat pada Gambar 13.
2,08% 4,17%
23-35 tahun
25,00%
36-48 tahun 49-61 tahun
39,58% 29,17%
62-74 tahun 75-85 tahun
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 13. Persentase Responden Berdasarkan Usia 5.4.7 Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan responden terbagi 4 kategori terdiri dari Buruh, Pegawai Swasta, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak semua responden memiliki pekerjaan, ada sebagian responden yang berstatus sebagai pengangguran yaitu sebesar 6, 25% atau sebanyak 3 Kepala Keluarga adalah pengangguran. Sebagian besar responden berprofesi sebagai Pegawai Swasta yaitu sebesar 47, 92% atau sebanyak 23 orang. Hanya sedikit yang berprofesi sebagai PNS yaitu sebesar 4, 17% atau sebanyak 2 orang. Persentase jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 14.
48
6,25% 4,17%
14,58% Wiraswasta Buruh
27,08% 47,92%
Pegawai Swasta PNS Pengangguran
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 14. Persentase Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
49
VI. 6.1
ESTIMASI NILAI KERUGIAN AKIBAT PENCEMARAN
Dampak Adanya Industri Terhadap Kualitas Lingkungan di Kelurahan Nanggewer Ada dua dampak yang diberikan akibat keberadaan industri diantara
pemukiman warga Kelurahan Nanggewer yaitu bisa berupa manfaat dan kerugian. Manfaat yang diperoleh bisa berupa terbukanya lapangan pekerjaan. Namun manfaat dari keberadaan industri seperti kurang terasa oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer, terutama warga RT 01/ RW 05. Hasil survei menunjukkan hanya lima orang dari 48 Kepala Keluarga yang terserap menjadi tenaga kerja. Hal ini tidak sebanding dengan dampak negatif yang diberikan dari keberadaan industri. Kerugian yang paling terasa adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang berupa pencemaran air dan udara. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, pencemaran air terjadi akibat adanya kebocoran bak penampungan akhir (air limbah setelah pengolahan) dari perusahaan kabel. Setelah dilakukan survei sebagian besar warga meyakini kebocoran disebabkan oleh adanya ledakan pada bak penampungan akhir tersebut. Menurut Laporan Hasil Uji Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2011), air limbah mengandung zat-zat berbahaya yang telah melebihi kadar maksimum. Untuk Seng (Zn) kandungannya telah mencapai 2,14 mg/L, sedangkan kadar maksimumnya hanya sebesar 1,0 mg/L, Timbal 0,65mg/L sedangkan kadar maksimum hanya sebesar 0,1 mg/L. Hasil tersebut menggambarkan bahwa air limbah yang berada pada bak penampungan akhir sangat berbahaya, apalagi saat ini telah mencemari air sumur warga Kelurahan
50
Nanggewer. Laporan Hasil Uji terhadap kandungan air limbah yang telah mencemari sumur warga Kelurahan Nanggewer dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji Air Limbah Setelah Pengolahan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Parameter TSS Sianida Total Krom Total Krom Hexavalent Tembaga (Cu) Seng (Zn) Nikel (Ni) Cadmium (Cd) Timbal (Pb) pH
Satuan mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Hasil Pemeriksaan
320* 0,02 0,46 0,15* 0,65* 2,14* 0,72* 0,08* 0,65* 7,30
Kadar Maksimum yang Dibolehkan 20 0,2 0,5 0,1 0,6 1,0 1,0 0,05 0,1 6,0-9,0
Sumber: Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2011) Keterangan: * parameter yang diperiksa melebihi kadar maksimal
Selain pencemaran air, pencemaran udara juga terjadi di Kelurahan Nanggewer. Pencemaran udara dihasilkan dari cerobong asap yang dikeluarkan hasil sisa pembakaran. Kerugian yang dialami masyarakat diestimasi dengan menggunakan dua metode yaitu biaya pengganti (Replacement Cost) dan biaya pengobatan (Cost of Illness). Biaya pengganti yang dihitung yaitu biaya yang dikeluarkan untuk kembali mendapatkan air bersih setelah air yang biasa mereka gunakan tercemar, baik untuk konsumsi maupun untuk mandi, cuci, kakus (MCK). Biaya pengobatan yaitu biaya yang dikeluarkan karena terjadinya gangguan kesehatan akibat pencemaran air dan udara. 6.2
Keadaan Masyarakat Akibat Pencemaran Keberadaan industri di sekitar kawasan pemukiman warga RT 01/RW 05
Kelurahan Nanggewer tidak hanya menyebabkan kerugian atas penurunan kualitas air sumur, tetapi juga berdampak pada kesehatan masyarakat Kelurahan Nanggewer. Pencemaran yang terjadi berakibat pada timbulnya berbagai macam 51
penyakit, seperti gangguan pencernaan (mag dan diare), gatal-gatal, gangguan saluran pernafasan dan lain-lain. Menurut data Pusat Kesehatan Masyarakat Karadenan, penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat diantaranya Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dan gatal (Dermatitis). Kondisi ini menjelaskan bahwa pencemaran air dan udara yang diakibatkan dari keberadaan industri berdampak langsung pada gangguan kesehatan warga setempat. Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) menunjukkan adanya pencemaran udara yang terjadi, sedangkan gatal (Dermatitis) yang sebagian besar diderita oleh responden menujukkan adanya pencemaran air. Pencemaran udara seperti tidak dipedulikan oleh pihak industri, cerobong asap yang begitu dekat dengan pemukiman warga sangat mengganggu kesehatan. Pihak industri melakukan produksi pada tengah malam, dimana warga sedang tertidur, hal ini sengaja dilakukan untuk menghindar dari penglihatan warga.. Menurut Kamami, 50 tahun, salah satu responden yang berjarak sangat dekat dengan industri (≤ 100 m) mengatakan pihak industri menghasilkan asap hasil sisa produksi pada pukul 01.00 WIB hingga 03.00 WIB, hal ini bertujuan untuk menghindari penglihatan warga. 6.3
Sumber Air dan Volume yang Digunakan oleh Responden untuk MCK Kualitas air sumur warga yang tercemar akibat keberadaan industri
mendorong masyarakat untuk mencari sumber air baru baik untuk keperluan konsumsi maupun untuk mandi, cuci, kakus. Meskipun sudah ada bentuk tanggung jawab dari pihak industri dengan melakukan pemasangan air PDAM gratis untuk sumur warga yang tercemar, tetapi warga tetap dibebankan dengan tanggungan per bulan dari pemakaian air PDAM tersebut. Hal ini menjelaskan ada 52
biaya yang dikeluarkan oleh warga untuk mendapatkan sumber air bersih baru. Tanpa ada pencemaran, warga mendapatkan sumber air bersih secara gratis dari air sumur masing-masing, kondisi ini jelas merugikan masyarakat. Hal ini sangat terlihat dimana responden yang bertempat tinggal pada wilayah satu dan wilayah dua mengalami banyak kerugian. Pada wilayah satu (jarak ≤ 100 m) masih banyak responden yang menggunakan air tanah utnuk memenuhi kebutuhan MCK. Responden sebenarnya menyadari bahwa air tanah mereka sudah tidak layak meskipun untuk MCK. Sebanyak 15 responden masih memanfaatkan air tanah untuk keperluan MCK, volume air tanah rata-rata per kepala keluarga per bulan sebesar 13,76 m3. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi responden di wilayah satu yang masih rendah. Ada dua responden yang memakai air PDAM untuk memenuhi kebutuhan MCK, jumlah maksimum volume air PDAM per bulannya mencapai 48,50 m3 yang hanya digunakan untuk keperluan MCK. Hal ini jelas merupakan kerugian, karena tanpa terjadi pencemaran responden seharusnya bisa menggunakan air tanahnya secara aman untuk memenuhi kebutuhan MCK. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 5.
53
Tabel 5. Sumber dan Volume Penggunaan Air untuk MCK oleh Responden Wilayah
Sumber Air
Jumlah Responden
Volume Penggunaan Air (M3) PDAM
1
Air Tanah
PDAM
2
1,30
48,50
Air Tanah
15
-
-
-
3,85
26,75
13,76
206,35
PDAM+ Air Tanah PDAM
1
10,40
10,40
10,40
10,70
10,70
10,70
21,10
45
12,37
-
-
-
111,30
Air Tanah PDAM
14 2
1,20
5
3,10
4,70 -
23,80 -
11,23 -
157,25 6,20
Air Tanah
5
-
-
-
6
13,19
10,84
54,19
9
Max
3,10
Min
Max
-
-
Ratarata -
Total Sampel
Ratarata 24,90
Min
49,80
2 3
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Untuk wilayah dua sebanyak sembilan responden memilih menggunakan air PDAM untuk memenuhi kebutuhan MCK. Volume rata-rata air PDAM yang dibutuhkan sebesar 12,37 m3. Masih banyak responden yang tetap menggunakan air tanah, yaitu sebanyak 14 responden. Sebagian besar responden menjelaskan bahwa mereka terpaksa tetap menggunakan air tanah karena tidak mendapatkan kompensasi pemasangan instalasi air PDAM dari pihak industri. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan volume yang dibutuhkan pada wilayah satu. Hal ini menjelaskan bahwa pencemaran air tanah lebih parah terjadi pada responden yang bertempat tinggal di wilayah satu (jarak ≤ 100 meter). Keadaan ekonomi responden di wilayah dua lebih baik dibandingkan responden di wilayah satu, faktor ini yang menyebabkan jumlah responden yang lebih banyak dalam penggunaan air PDAM di wilayah dua. Untuk wilayah tiga hanya sebanyak dua responden yang menggunakan air PDAM, sedangkan lima responden tetap menggunakan air tanah. Secara umum responden yang berada pada wilayah satu menghabiskan volume air PDAM paling besar dibandingkan responden yang berada pada 54
wilayah dua dan tiga untuk keperluan MCK dengan pemakaian rata-rata 24,90 m3 per bulannya. 6.4
Sumber Air dan Volume yang Digunakan oleh Responden untuk Konsumsi Selain untuk MCK, sumber air bersih sangat diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi. Secara fisik maupun kimia kondisi air tanah di Kelurahan Nanggewer sudah tidak layak untuk di konsumsi. Hasil survey menunjukkan, pada wilayah satu (jarak ≤ 100 m) hanya dua kepala keluarga dari 18 kepala keluarga yang tetap menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Sebagian besar responden lebih memilih menggunakan air galon dan air PDAM untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yaitu masing-masing sebanyak lima kepala keluarga. Volume rata-rata air PDAM yang digunakan oleh responden wilayah satu untuk konsumsi adalah sebesar 17,6 m3, sedangkan volume rata-rata air galon sebesar 0,2 m3. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan volume rata-rata air PDAM yang diperlukan untuk konsumsi oleh responden di wilayah dua yaitu sebesar 8,5 m3. Untuk air galon, volume rata-rata yang dihabiskan di wilayah dua lebih besar dibandingkan di wilayah satu yaitu sebesar 0,2 m3. Hal ini menjelaskan bahwa responden yang berada pada wilayah dua lebih memilih air galon sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
55
Tabel 6. Sumber dan Volume Penggunaan Air untuk Konsumsi oleh Responden Wilayah
Sumber Air
Jumlah Responden
Volume Penggunaan Air (m3) PDAM
1
2
Min
Max
PDAM
5
4,2
48,5
17,6
-
Air Tanah
2
-
-
-
Air Galon
5
-
-
5
4,2
Min
Air Galon Ratarata
Max
Min
-
Total
Max
Ratarata
-
-
-
-
87,3
11
15,7
13,3
-
-
-
26,7
-
-
-
-
0,07
0,3
0,2
1,1
13,7
7,2
-
-
-
0,09
2,6
0,6
39,1
-
-
-
0,5
0,5
0,5
8
-
-
-
-
-
68,3
PDAM + Air Galon Air Tanah + Air Galon PDAM
1
7,5
7,5
7,5
8
1
27,9
8,5
Air Tanah
5
-
-
-
2
15
6,8
-
-
-
34
Air Galon
4
-
-
-
-
-
-
0,5
0,3
0,2
0,9
5
4,2
5,6
4,9
-
-
-
0,1
0,2
0,4
0,7
2
10
10
10
-
-
-
-
-
20
Air Tanah
4
-
-
-
3
10
7,7
-
-
-
31
Air Galon
1
-
-
-
-
-
-
0,3
0,3
0,3
PDAM + Air Galon PDAM 3
Air Tanah Ratarata
0,3
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Hasil survey pada wilayah tiga menunjukkan hanya dua kepala keluarga yang menggunakan air PDAM untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, sedangkan yang memilih air galon hanya sebanyak satu kepala keluarga. Sebagian besar responden di wilayah tiga tetap menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yaitu sebanyak empat kepala keluarga. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi air tanah di wilayah tiga tidak seburuk air tanah di wilayah satu dan dua.
56
6.5
Sumber Air dan Biaya Penggunaan Air oleh Responden untuk MCK Air PDAM merupakan sumber air bersih utama yang digunakan oleh
responden di ketiga wilayah untuk memenuhi kebutuhan MCK. Pada wilayah satu, terdapat tiga kepala keluarga yang memanfaatkan air PDAM untuk kebutuhan MCK dan biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk mendapatkan distribusi air PDAM adalah sebesar Rp 71.666 per bulan. Jumlah ini cukup besar jika dibandingkan dengan biaya rata-rata yang dikeluarkan pada wilayah dua, yaitu sebesar Rp 50.444 dari sembilan kepala keluarga yang menggunakan air PDAM untuk keperluan MCK. Hal ini menjelaskan kerugian yang ditanggung responden wilayah satu lebih besar dibandingkan dengan responden yang berada di wilayah dua. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sumber dan Biaya Penggunaan Air untuk MCK oleh Responden Wilayah
Sumber Air
Jumlah Responden
Biaya Penggunaan Air per bulan (Rp) PDAM
Air Galon
Min
Max
Ratarata
Min
Max
Ratarata
Total Biaya /bulan
1
PDAM
3
20.000
150.000
71.666
-
-
-
215.000
2
PDAM
9
25.000
140.000
50.444
-
-
-
454.000
3
PDAM
2
20.000
30.000
25.000
-
-
-
50.000
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Kerugian yang diterima responden di wilayah tiga tidak sebesar dengan responden yang berada pada wilayah satu dan dua dalam hal memenuhi kebutuhan MCK. Biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh responden di wilayah tiga hanya sebesar Rp 25.000 per bulan dengan biaya maksimum yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 30.000 per bulan.
57
6.6
Sumber Air dan Biaya Penggunaan Air oleh Responden untuk Konsumsi Selain untuk keperluan MCK, biaya untuk keperluan konsumsi pun
menjadi tanggungan untuk responden. Responden menilai air sumur mereka sudah tidak layak, jangankan untuk konsumsi digunakan untuk MCK pun sudah tidak layak karena menyebabkan pakaian mereka berubah warna dan terjadi iritasi kulit. Hasil survei menunjukkan pada wilayah satu, sebanyak lima kepala keluarga menggunakan air PDAM dan enam kepala keluarga menggunakan air galon untuk kebutuhan konsumsinya, sedangkan lima kepala keluarga menggunakan keduanya. Biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk mendapatkan air PDAM dan air galon yang dipakai untuk kebutuhan konsumsi mencapai Rp 74.200 dan Rp 38.500 per bulannya atau mengeluarkan biaya sebesar Rp 371.000 dan Rp 231.000 per bulannya. Pada wilayah dua biaya maksimum yang dikeluarkan responden untuk mendapatkan distribusi air PDAM mencapai Rp 93.000 per bulannya, sedangkan biaya terbesar dikeluarkan responden adalah untuk mendapatkan air galon yaitu biaya maksimum dari lima kepala keluarga mencapai Rp 165.000 dengan biaya rata-rata per bulannya sebesar Rp 54.600 atau total memerlukan biaya Rp 273.000 per bulannya. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 8.
58
Tabel 8. Sumber dan Biaya Penggunaan Air untuk Konsumsi oleh Responden Wilayah
Sumber Air
Jumlah Responden
Biaya Penggunaan air/bulan PDAM
1
2
3
Air Galon
Min
Max
Ratarata
Min
Max
Ratarata -
Total Biaya/bulan
PDAM
5
28.000
150.000
74.200
-
-
Air Galon
6
-
-
-
12.000
72.000
38.500
231.000
PDAM+ Air Galon
5
28.000
38.000
32.000
15.000
63.000
33.400
327.000
PDAM
8
15.000
93.000
52.800
-
-
Air Galon
5
-
-
12.000
165.000
54.600
273.000
PDAM+ Air Galon
5
28.000
32.000
30.000
12.000
36.000
21.600
258.000
PDAM
2
60.000
60.000
60.000
-
-
-
120.000
Air Galon
1
-
-
176.000
-
176.600
176.000
-
-
-
371.000
264.000
Sumber: Data Primer Diolah , 2011
Secara umum, biaya yang dikeluarkan responden pada wilayah satu dan dua lebih besar dibandingkan dengan responden yang berada pada wilayah tiga (>500 meter). Biaya yang dikeluarkan responden wilayah tiga untuk mendapatkan air PDAM hanya sebesar Rp 60.000. Total biaya yang dikeluarkan per bulannya akibat menggunakan air PDAM untuk konsumsi sebesar Rp 120.000. 6.7
Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran Jumlah kerugian terbesar yang dialami responden akibat menderita
gangguan pencernaan dan kulit terjadi pada wilayah dua atau jarak 101-500 m dari industri yaitu sebesar Rp1.525.000 per bulan, dengan biaya rata-rata sebesar Rp 169.444 per bulan. Jumlah kerugian ini jauh lebih besar dibandingkan pada wilayah satu atau jarak ≤ 100 m dari industri yang menderita kerugian akibat biaya pengobatan gangguan pencernaan dan kulit sebesar Rp 178.000 per bulan, dengan biaya rata-rata sebesar Rp 22.250 per bulan. Perbedaan jumlah biaya pengobatan ini lebih disebabkan responden yang berada di wilayah dua memiliki 59
tingkat perekonomian lebih baik dari responden yang berada pada wilayah satu, sehingga responden yang berada pada wilayah dua lebih memilih pengobatan ke rumah sakit yang tentunya memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan responden pada wilayah satu yang lebih memilih berobat ke PUSKESMAS dengan biaya lebih murah. Besarnya biaya pengobatan responden akibat pencemaran yang menimbulkan penyakit pencernaan atau kulit dan gangguan pernafasan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran Wilayah
Gangguan
Jumlah Responden
Biaya Pengobatan/bulan (Rp) Pernafasan
1
2
3
Min
Max
Pernafasan
12
5.000
700.000
Pencernaan/ Kulit
8
-
-
Pernafasan
10
5.000
1.000.000
Pencernaan/ Kulit
9
-
-
Pernafasan
6
5.000
70.000
Pencernaan/ kulit
5
-
-
Pencernaan/kulit Ratarata 81.166 164.000 20.833 -
Min
Max
Ratarata
-
-
-
15.000
65.000
22.250
Total Biaya/ Bulan 974.000 178.000
-
-
-
1.640.000
5.000
1.000.000
169.444
1.525.000
-
-
-
5.000
150.000
49.000
125.000 245.000
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Selain gangguan pencernaan (maag, diare) atau gangguan kulit, penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara akibat adanya industri seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dan Paru-paru juga menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Perbedaan biaya pun terjadi untuk biaya pengobatan gangguan pernafasan, pada wilayah dua biaya rata-rata yang dikeluarkan sebesar Rp 164.000, jauh lebih besar dibandingkan biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh responden di wilayah satu yaitu sebesar Rp 81.166 per bulan. Responden yang menderita gangguan pernafasan terbanyak terdapat pada wilayah satu yaitu sebanyak 12 responden atau sekitar 66,67% dari keseluruhan responden wilayah 60
satu. Untuk total biaya pengobatan terbesar yang dikeluarkan akibat gangguan pernafasan terdapat pada wilayah dua, yaitu sebesar Rp 1.640.000 per bulan. Hal ini lebih dipengaruhi oleh keadaan ekonomi responden pada wilayah dua lebih baik dibandingkan pada wilayah satu, sehingga responden pada wilayah dua lebih mempercayai rumah sakit sebagai tempat berobatnya. Berbeda dengan responden yang berada pada wilayah satu yang lebih memilih PUSKESMAS sebagai tempat berobatnya dengan alasan biaya yang lebih murah. 6.8
Rata-rata kerugian akibat Pencemaran yang Dihasilkan oleh Industri Pencemaran yang terjadi di Kelurahan Nanggewer menyebabkan kerugian
yang harus diterima oleh masyarakat. Kerugian yang diterima masyarakat diestimasi dengan menghitung besar biaya yang dikeluarkan untuk kembali mendapatkan sumber air bersih (untuk konsumsi maupun MCK) dan menghitung besar biaya pengobatan atas gangguan kesehatan akibat pencemaran air dan pencemaran udara. Rata-rata kerugian terbesar dirasakan pada wilayah dua yaitu sebesar Rp 191.913 per bulan/responden, hal ini dikarenakan keadaan ekonomi responden di wilayah dua lebih baik dibandingkan keadaan ekonomi responden di wilayah satu, hal ini mempengaruhi pemilihan tempat pengobatan, responden di wilayah dua yang lebih banyak ke rumah sakit sehingga lebih mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan biaya yang dikeluarkan oleh responden di wilayah satu yang lebih memilih PUSKESMAS sebagai tempat berobatnya. Rata-rata kerugian akibat pencemaran yang dihasilkan dari keberadaan industri dapat dilihat pada Tabel 10.
61
Tabel 10. Rata-rata Kerugian Akibat Pencemaran oleh Industri Rata-rata Biaya yang Dikeluarkan Untuk Air Jumlah Wilayah Galon, Air Tanah, dan Air Responden PDAM per bulan/responden (Rp) 1 18 63.555 2 23 54.304 3 7 49.428 Total 48 167.288 Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Rata-rata Biaya Pengobatan per bulan/ responden (Rp) 64.000 137.608 52.857 254.465
Total Ratarata Biaya per bulan/ responden (Rp) 127.555 191.913 102.285 421.754
Hasil survey dari 48 responden (Kepala Keluarga) menunjukkan total ratarata biaya kerugian dari ketiga wilayah akibat pencemaran oleh industri di Kelurahan Nanggewer adalah sebesar Rp 421.754 per bulan. Sebagian besar kerugian tersebut adalah untuk biaya pengobatan atas gangguan kesehatan yang diterima akibat adanya pencemaran air dan udara yaitu sebesar Rp 254.465 per bulan. .
62
VII.
7.1
ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT
Analisis Willingness To Accept dengan Pendekatan Metode Contingent Valuation Method Teknik CVM didasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang
ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut (WTP). Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum (WTA) atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki (Fauzi, 2006). Kompensasi diperlukan karena sebenarnya masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer memiliki hak untuk dapat memanfaatkan air tanah/sumur mereka tanpa tercemar. Pada kasus ini, pihak industrilah yang mendekat kepada masyarakat (daerah pemukiman) sehingga timbulnya penurunan kualitas lingkungan akibat mendekatnya industri ke pemukiman warga di Kelurahan Nanggewer berupa pencemaran air, udara, kebisingan dan pencemaran lainnya. Metode CVM digunakan untuk menganalisis kesediaan responden menerima kompensasi terhadap pencemaran air dan udara oleh pihak industri. Hasil pelaksanaan enam langkah metode CVM adalah sebagai berikut: 1.
Membangun Pasar Hipotesis Seluruh responden diberi informasi bahwa sebenarnya pihak perusahaan
bersedia untuk mengeluarkan biaya kompensasi terhadap pencemaran yang telah dihasilkan dari kegiatan produksinya. Ada dua hal yang disetujui oleh pihak 63
industri terkait masalah kompensasi terhadap pencemaran. Pertama, pihak industri bersedia untuk melakukan pemasangan instalasi air PDAM secara gratis kepada warga yang air sumurnya tercemar. Pemasangan PDAM secara gratis tersebut sudah dilaksanakan oleh pihak industri. Kedua, kesepakatan antara pihak industri dengan perwakilan masyarakat (panitia sembilan) mengenai adanya biaya kompensasi tunai yang dikeluarkan pihak industri sebesar Rp 100.000 per Kepala Keluarga per bulan yang belum dilaksanakan secara nyata oleh pihak industri. Padahal responden berasumsi bahwa biaya tersebut akan digunakan untuk pembayaran biaya distribusi air PDAM per bulannya. 2.
Memperoleh Nilai WTA Besarnya nilai WTA didapatkan dari hasil wawancara kepada responden.
Pertanyaan yang diajukan berdasarkan daftar pertanyaan dalam kuesioner. Wawancara dilakukan dengan menggunakan metode bidding game. Berdasarkan hasil perhitungan dari ketiga wilayah, responden yang berada pada wilayah tiga memiliki nilai rata-rata WTA paling tinggi yaitu sebesar Rp 357.143 per bulan. Hal ini dikarenakan semua responden di wilayah tiga merasa tidak puas atas kompensasi yang telah berjalan. Nilai WTA maksimum diperoleh dari responden yang berada pada wilayah satu yaitu sebesar Rp 1.000.000 per bulan. Responden tersebut tidak mendapatkan kompensasi pertama dari pihak industri berupa pemasangan instalasi air PDAM sehingga merasa sangat dirugikan atas pencemaran yang terjadi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11.
64
Tabel 11. Perbandingan Nilai WTA Responden Tiap Wilayah Jumlah Responden
Min per bulan (Rp)
Max per bulan (Rp)
Rata-rata per bulan (Rp)
Total per bulan (Rp)
1 (≤ 100 m)
18
50.000
1.000.000
272.222
4.900.000
2 (101-500 m)
23
100.000
500.000
252.174
5.800.000
3 7 150.000 (> 500 m) Sumber: Data Primer Diolah, 2011
500.000
357.143
2.500.000
Wilayah
3.
Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA Dugaan nilai rataan WTA responden dihitung berdasarkan nilai distribusi
WTA responden. Diperoleh nilai rata-rata WTA responden sebesar Rp 275.000 per Kepala Keluarga per bulan. Distribusi nilai WTA responden dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Distribusi Nilai WTA Responden No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Total
Nilai WTA Responden per Bulan 50.000 100.000 150.000 175.000 200.000 250.000 300.000 350.000 500.000 600.000 1.000.000
Frekuensi (orang) 1 4 7 2 12 3 8 2 7 1 1 48
Mean WTA (Rp) per Bulan 1.041 8.333 21.875 7.291 50.000 15.625 50.000 14.583 72.916 12.500 20.833 275.000
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Hasil penelitian terhadap masyarakat Kelurahan Nanggewer sebagian besar merasa tidak puas pada proses kompensasi yang dilakukan oleh perusahaan industri. Masyarakat menilai bentuk tanggung jawab yang telah dilakukan berupa pemasangan gratis instalasi air bersih tidak cukup untuk mengembalikan kualitas 65
lingkungan sebelum tercemar, selain itu adanya biaya tambahan yang ditanggung warga untuk pembayaran air per bulannya dinilai menambah tanggungan warga. Masyarakat menginginkan pembayaran air per bulan seharusnya ditanggung oleh pihak industri hingga kondisi air sumur mereka dapat secara normal dimanfaatkan tanpa adanya pencemaran yang membahayakan kesehatan masyarakat. Sebagian masyarakat juga menginginkan hasil uji lab tahap dua seperti yang dijanjikan oleh pihak industri. Hal ini diperlukan agar tidak ada kekhawatiran di masyarakat ketika mereka hendak menggunakan air sumur. Sebenarnya hal ini telah dijanjikan oleh pihak industri, namun hingga saat ini hasil itu tidak diketahui. Masyarakat menilai pihak industri tidak serius untuk menangani pencemaran yang terjadi. 4.
Menduga Bid Curve Kurva WTA responden dibentuk berdasarkan nilai WTA responden
terhadap dana kompensasi yang diinginkan. Kurva WTA ini menggambarkan hubungan tingkat WTA yang diinginkan dengan jumlah responden yang bersedia menerima pada tingkat WTA tersebut. Berdasarkan hasil wawancara langsung terhadap responden, maka nilai WTA dapat digolongkan menjadi sebelas kelompok seperti yang dijelaskan pada Tabel 13 dan menghasilkan kurva tawaran WTA yang dapat dilihat pada Gambar 15.
Tabel 13. Besaran Nilai WTA Responden No. 1 2 3 4
Nilai WTA Responden (Rp/KK/bulan) 50.000 100.000 150.000 175.000
Frekuensi (orang)
Jumlah (orang) 1 4 7 2
Total Nilai WTA per Bulan 1 5 12 14
50.000 400.000 1.050.000 350.000 66
5 6 7 8 9 10 11 Total
200.000 250.000 300.000 350.000 500.000 600.000 1.000.000
12 3 8 2 7 1 1 48
26 29 37 39 46 47 48 48
2.400.000 750.000 2.400.000 700.000 3.500.000 600.000 1.000.000 13.200.000
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Nilai WTA per bulan
1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 0
10
20
30
40
50
60
Jumlah Responden Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Gambar 15. Dugaan Kurva Tawaran WTA 5.
Menentukan Total WTA atau Menjumlahkan Data
Penjumlahan data adalah proses dimana penawaran rata-rata (nilai tengah penawaran) dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTA masyarakat Kelurahan Nanggewer sebesar Rp 13.200.000 per bulan. Hasil perhitungan dari total 48 responden dapat dilihat pada Tabel 13. Nilai TWTA tersebut diperoleh dari 48 responden yanag terdiri dari Kepala Keluarga. Nilai tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat sangat merasa dirugikan atas penurunan kualitas lingkungan yang terjadi di tempat tinggal mereka.
67
6.
Evaluasi Pelaksanaan CVM Pada penelitian ini, perhitungan menggunakan metode analisis regresi
berganda. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai R2 sebesar 47,20%. Artinya keragaman besar WTA mampu dijelaskan oleh ada atau tidaknya upaya mengatasi pencemaran, penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan, sudah mendapatkan kompensasi pemasangan instalasi air, tingkat pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan, jarak tempat tinggal, usia, dan lama tinggal sebesar 47,20% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain (dapat dilihat juga pada Lampiran 1). Penelitian yang dilakukan ini termasuk penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan yang menurut (Mitchell dan Carson, 1989) dapat mentolerir nilai R2 hingga 15%. Oleh karena itu, hasil pelaksanaan CVM pada penelitian ini dapat diyakini kebenarannya 7.2
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTA Responden Dalam penelitian ini ada delapan variabel bebas yang digunakan terdiri
dari jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jarak tempat tinggal terhadap industri, lama tinggal, usia, ada atau tidaknya upaya untuk mengatasi pencemaran, penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan, dan sudah mendapatkan kompensasi pemasangan instalasi air atau belum sedangkan variabel dependennya adalah nilai WTA responden. Dengan menggunakan teknik
regresi berganda, faktor-faktor tersebut
dianalisis untuk menghasilkan variabel apa saja yang berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTA dan yang tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTA. Hasil analisis nilai WTA responden dapat dilihat pada Tabel 14. 68
Tabel 14. Hasil Analisis Nilai WTA Responden Variabel Bebas Constant Jumlah Tanggungan (JT) Tingkat Pendidikan (TPDD) Pendapatan (PDPTN) Usia (US) Lama Tinggal (LT) Penilaian Responden Terhadap Kompensasi yang Telah Dilakukan (NILKOM) Sudah mendapatkan kompensasi pemasangan instalasi air (KOMP) Ada atau tidak upaya mengatasi pencemaran (UPAYA) R-Squares Adjusted R-Squares
Koefisien -62402,669 31803,424 13318,849 -0,020 -18,049 2853,888 -542,388
Sig 0,677 0,044* 0,170 0,440 0,994 0,152 0,995
VIF 1,462 1,904 1,481 1,818 2,391 1,439
-61668,906
0,163
1,141
156037,645
0,001*
1,161
47,20% 36,40%
Sumber: Data Primer Diolah, 2011 Keterangan: * berpengaruh nyata terhadap model pada taraf nyata 5 %
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai R2 pada penelitian ini sebesar 47,20%. Nilai ini mengartikan bahwa keragaman WTA responden 47,20% dapat dijelaskan oleh model, sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Variabel-variabel bebas diatas berpengaruh nyata terhadap model, namun ada dua variabel bebas yang berpengaruh secara kuat terhadap model yaitu jumlah tanggungan (X1) dan ada atau tidaknya upaya yang telah dilakukan oleh responden (X10). Pemeriksaan asumsi untuk menguji masalah multikolinieritas didasarkan pada nilai VIF, pada tabel diatas masing-masing variabel bebas menunjukkan nilai kurang dari 10 (VIF<10), hasil ini menunjukkan tidak ada pelanggaran multikolinieritas (dapat dilihat juga pada Lampiran 5). Pemeriksaan asumsi data residual menyebar normal dilakukan dengan Uji Kolmogorov-Smirnov (dapat dilihat juga pada Lampiran 3). Nilai Asymp. Sig. (2tailed) dibandingkan dengan menggunakan taraf nyata 5%. Hasil pada penelitian ini nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0.561 atau lebih besar dari 0.05. Hasil ini menunjukkan bahwa distribusi data residual menyebar normal. 69
Pemeriksaan asumsi ada atau tidaknya autocorrelation dilakukan dengan menggunakan Uji Durbin-Watson. Nilai DW yang dihasilkan sebesar 2.308 (dapat dilihat juga pada Lampiran 4). Nilai ini akan dibandingkan dengan nilai Durbin Watson Table (Lampiran) dengan menggunakan uji signifikansi 5%, dengan jumlah sampel 48 (n) dan jumlah peubah X bebas 8 (k=8) maka menghasilkan dl=1.039 dan du=1.748. Nilai DW pada penelitian ini termasuk ke dalam kategori du
Jumlah Tanggungan (JT) Jumlah Tanggungan memiliki nilai sig. Sebesar 0,044 dan memiliki
koefisien bertanda positif dengan nilai sebesar 31803,424. Hal ini mendefinisikan apabila jumlah tanggungan meningkat satu satuan (orang), maka nilai WTA yang 70
diinginkan akan meningkat sebesar Rp 31.803,424. Jumlah tanggungan berpengaruh nyata terhadap nilai WTA pada taraf α = 0,05 (5%). Hal ini dapat disebabkan karena responden merasa peningkatan jumlah tanggungan akan berdampak langsung terhadap biaya kebutuhan sehari-hari yang harus dikeluarkan, sehingga akan berdampak terhadap besarnya nilai WTA yang diinginkan akibat pencemaran yang akan menyebabkan adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh responden. 2.
Tingkat Pendidikan (TPDD) Pendidikan memiliki koefisisen bertanda positif dengan nilai sebesar
13.318,849. Hal ini mendefinisikan apabila tingkat pendidikan meningkat satu satuan (satu tahun), maka nilai WTA yang diinginkan akan meningkat sebesar Rp 13.318,849. Tingkat pendidikan diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan yang melatarbelakangi responden cenderung sama, yaitu memiliki tingkat pendidikan rata-rata hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini mempengaruhi responden dalam menghadapi masalah atau pertanyaan yang diajukan cenderung memiliki pola fikir yang sama. Hal ini yang menyebabkan variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap model. 3.
Pendapatan Pendapatan memiliki koefisien bertanda negatif dengan nilai sebesar
-0,020. Hal ini mendefinisikan apabila pendapatan meningkat satu satuan (rupiah), maka nilai WTA yang diinginkan akan menurun sebesar Rp 0,020. Variabel pendapatan diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model, karena hasil survei menunjukkan pendapatan per bulan responden di Kelurahan Nanggewer 71
cenderung sama. Pendapatan responden rata-rata sebesar Rp 1.340.104 per bulan, sehingga besarnya tingkat keinginan untuk mendapatkan pendapatan tambahan cenderung sama. Hal ini yang menyebabkan variabel pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap model. 4.
Usia Usia memiliki koefisien bertanda negatif dengan nilai sebesar -18,049. Hal
ini mendefinisikan apabila usia meningkat satu satuan (tahun), maka nilai WTA yang diinginkan akan menurun sebesar 18,049. Keadaan di Kelurahan Nanggewer menunjukkan responden dengan usia semakin tua justru semakin tidak peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya, hal ini dibuktikan dengan anggota penggerak atau perwakilan masyarakat dalam menangani masalah pencemaran seperti Tim 9 dan Pengurus, anggotanya didominasi dengan responden dengan interval usia 23-35 tahun. Variabel usia diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model, karena hasil survei menunjukkan frekuensi responden dengan interval usia antara 23-35, 36-48, 49-61 (tahun) tidak beragam atau cenderung memiliki jumlah yang sama. Perbedaan keinginan atau perbedaan tingkat kesadaran akan kerugian yang diterima akibat pencemaran antara responden yang lebih muda dengan yang lebih tua cenderung tidak terlihat. Hal ini yang menyebabkan variabel usia tidak berpengaruh nyata terhadap model. 5.
Lama Tinggal Lama tinggal memiliki koefisisen bertanda positif dengan nilai sebesar
2853,888. Hal ini mendefinisikan apabila lama tinggal responden meningkat satu satuan (tahun), maka nilai WTA yang diinginkan akan meningkat sebesar Rp 2.853,888. Lama tinggal diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model. Hal ini 72
disebabkan karena rata-rata penduduk Kelurahan Nanggewer adalah asli penduduk setempat. Responden lahir dan menetap di kawasan tersebut, sehingga lama tinggal dari masing-masing responden cenderung homogen. Hal ini mempengaruhi persepsi responden tentang pertanyaan yang diajukan dan menghasilkan jawaban yang cenderung sama. Hal ini yang menyebabkan variabel lama tinggal tidak berpengaruh nyata terhadap model. 6.
Penilaian Responden Terhadap Kompensasi yang Telah Dilakukan Penilaian
responden
terhadap
kompensasi
yang
telah
dilakukan
(NILKOM) yaitu berupa pemasangan instalasi air bersih secara gratis memiliki koefisien bertanda negatif dengan nilai sebesar -542,388. Hal ini mendefinisikan apabila responden mengungkapkan tidak puas (bernilai 0) terhadap penilaian kompensasi, maka nilai WTA yang diinginkan akan meningkat sebesar Rp 542,388. Alasan responden merasa tidak puas atas kompensasi yang telah dilakukan sebagian besar karena adanya biaya tambahan yaitu berupa pembayaran penggunaan air bersih per bulannya. Responden menginginkan pihak industri (pihak pencemar) yang menanggung biaya distribusi air bersih tersebut. Variabel NILKOM diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model, hasil survei menunjukkan hanya sebanyak empat orang yang mengaku puas dengan kompensasi yang telah dilakuakan. Hal ini yang menyebabkan variabel penilaian kompensasi tidak berpengaruh nyata terhadap model. 7.
Kompensasi Pemasangan Instalasi Air Kompensasi pemasangan instalasi air (KOMP) memiliki koefisien
bertanda negatif dengan nilai sebesar -61668,906. Hal ini mendefinisikan apabila responden belum mendapatkan kompensasi pemasangan instalasi air (bernilai 0), 73
maka nilai WTA yang diinginkan akan meningkat sebesar Rp 61.668,906. Variabel Kompensasi diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model, karena hasil survei menunjukkan sebagian besar responden belum mendapatkan kompensasi pemasangan instalasi air. Hal ini yang menyebabkan variabel pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap model. 8.
Upaya Mengatasi Pencemaran Upaya mengatasi pencemaran memiliki nilai sig. sebesar 0,001 dan
memiliki koefisien bertanda positif dengan nilai sebesar 156037,645. Hal ini mendefinisikan apabila responden telah melakukan upaya untuk mengatasi pencemaran (bernilai 1), maka nilai WTA yang diinginkan akan meningkat sebesar Rp 156.037,645. Variabel upaya mengatasi pencemaran
berpengaruh
nyata terhadap nilai WTA pada taraf α = 0,05 (5%). Hal ini dapat disebabkan karena responden merasa upaya mengatasi pencemaran yang telah dilakukannya telah mengeluarkan biaya tambahan, sehingga mereka berfikir bahwa upaya yang membutuhkan biaya tambahan itu perlu diganti dengan adanya kompensasi. Hal ini yang menyebabkan variabel upaya mengatasi pencemaran berpengaruh terhadap model.
74
VIII. KESIMPULAN dan SARAN
8.1
Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagian besar masyarakat Kelurahan Nanggewer merasa tidak puas pada proses kompensasi yang dilakukan oleh pihak industri. Masyarakat menilai bentuk tanggung jawab yang telah dilakukan berupa pemasangan gratis instalasi air bersih tidak cukup untuk mengembalikan kualitas lingkungan sebelum tercemar, selain itu adanya biaya tambahan yang ditanggung warga untuk pembayaran air per bulannya dinilai menambah biaya tanggungan yang harus dikeluarkan warga. 2. Dari jumlah 48 responden kerugian yang diterima tiap responden yaitu sebesar Rp 154.708 per bulan. Kerugian rata-rata per kepala keluarga paling besar diterima oleh responden yang bertempat tinggal di wilayah 2, atau jarak 101-500m dari industri, yaitu sebesar Rp 191.913 /kepala keluarga/bulan. Nilai kerugian ini lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diterima oleh responden wilayah 1 dan 3 yang hanya sebesar Rp 127.555/kepala keluarga/bulan dan Rp 102.285/kepala keluarga/bulan. Perbedaan jumlah biaya ini lebih disebabkan responden di wilayah 2 memiliki tingkat perekonomian lebih baik dari responden yang berada pada wilayah 1, sehingga responden di wilayah 2 cenderung berobat ke rumah sakit dibanding PUSKESMAS. Nilai ini tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, karena responden yang menderita gangguan pernafasan paling banyak terdapat pada wilayah 1 yaitu 75
sebanyak 12 responden, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan jumlah penderita di wilayah 2 dan 3, yang hanya sebanyak 10 dan 6 responden. Untuk dampak terhadap kualitas air tanah, paling banyak responden di wilayah 1 yang mengungkapkan kualitas air tanahnya kotor dan berbau yaitu sebanyak 12 responden. Hal ini menjelaskan bahwa wilayah 1 merupakan daerah yang menerima dampak negatif paling besar. 3. Nilai rata-rata WTA responden adalah Rp 275.000 per bulan. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diterima tiap responden yaitu sebesar Rp 154.708 per bulan. Hal ini berhubungan dengan tingkat kesejahteraan seseorang/responden yang mempengaruhi keinginannya untuk menerima kompensasi. Semakin rendah tingkat kesejahteraan seseorang/responden maka semakin tinggi pula keinginannya untuk menerima kompensasi. 4. Pada penelitian ini, faktor yang signifikan mempengaruhi masyarakat dalam menerima kompensasi yaitu jumlah tanggungan dan ada atau tidaknya upaya untuk mengatasi pencemaran. 8.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disarankan: 1. Pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH) disarankan segera melakukan uji kualitas air tahap dua, karena sebagian besar masyarakat membutuhkan kejelasan apakah kualitas air sumur di Kelurahan Nanggewer sudah layak digunakan untuk minum ataupun mandi.
76
2. Pihak industri kabel yang seharusnya lebih bertanggung jawab terutama dalam pencemaran tanah dan air. Untuk mengatasi permasalahan ini perusahaan industri kabel disarankan untuk mengkompensasi kerugian masyarakat dengan memfasilitasi pemasangan air bersih dari PDAM. 3. Pihak industri lain seperti PT. Dinar Makmur, PT. Bintang Kharisma, PT. Upati, PT. Sri Intan Toki, dan PT. Asaita Mandiri Agung yang menimbulkan pencemaran udara disarankan untuk membuat cerobong asap yang lebih tinggi, sehingga mengurangi tingkat pencemaran udara di lokasi penelitian.
77
DAFTAR PUSTAKA
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor. 2011. Analisis Dampak Lingkungan. Pemerintah Kabupaten Bogor, Bogor. Bujagunasti, Y. 2009. Estimasi Manfaat dan Kerugian Masyarakat akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir. Skripsi Sarjana. Jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. 2011. Laporan Bulanan Penyakit. Pemerintah Kabupaten Bogor. ____________. 2011. UPT Laboratorium Kesehatan. Pemerintah Kabupaten Bogor. Bogor Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Garrod, G dan Kenneth G. Willis. 1999. Economics Valuation of The Environmental. Edward Elgar Publishing, Inc. Massachussetts. Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environmental. Edward Elger Publishing Limited. England. Intan, E et al. 2008. Modul Kuliah Ekonomi Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. . 2009. Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan. Hari Depan Kita Bersama. Alih bahasa: Bambang sumantri. P.T. Gramedia. Jakarta. Kristanto, P. 2004. Ekologi Indsutri. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Nemerow, N.L. 1978. Industrial Water Pollution. Addison Wesley. Pearce, David W dan R Kerry Turner. 1990. Economics of Natural Resources and Environmental. Baltimore: John hopkins University Press. Soeparman, H.M. dan Suparmin. 2001. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. EGC. Jakarta.
78
Triani, A. 2009. Analsis Willingness To Accept Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau. Skripsi Sarjana. Jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ulhaq D, Ahmad. 2010. Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat Sekitar Kawasan Industri dan Kesediaan Membayar Terhadap Program Perbaikan Kualitas Lingkungan. Skripsi Sarjana. Jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wardhana, W. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit ANDI Offset.Yogyakarta. Wittmann, G.T.W. 1979. Metal Pollutions in The Aquatic Environment. SpingerVerlag.
79
LAMPIRAN Lampiran 1. Regresi model
Regression Model Summaryb
Model 1
R
R Square
.687a
.472
Adjusted R
Std. Error of
Square
the Estimate
Durbin-Watson
1.36338E5
2.038
.364
a. Predictors: (Constant), X3, X5, X9, X10, X1, X2, X8, X6 b. Dependent Variable: Y
R2 = 0.472 Æ 47.2% Artinya keragaman besar WTA mampu dijelaskan oleh semua peubah X sebesar 47.2% sedangkan sisanya dijelaskan oleh factor lain. ANOVAb Sum of Model 1
Squares
df
Mean Square
Regression
6.488E11
8
8.110E10
Residual
7.249E11
39
1.859E10
Total
1.374E12
47
F
Sig. .001a
4.363
a. Predictors: (Constant), X3, X5, X9, X10, X1, X2, X8, X6 b. Dependent Variable: Y
Uji-F Hipotesis H0 : model tidak significant H1 : model significant Nilai-p (0.001)< alpha 5% berarti tolak H0 sehingga kita simpulkan bahwa model significant
80
Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model
B
(Constant)
Std. Error
-62402.669
148498.683
X1
31803.424
15310.673
X2
13318.849
X6
Coefficients Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
-.420
.677
.292
2.077
.044
.684
1.462
9536.501
.224
1.397
.170
.525
1.904
2853.888
1955.117
.263
1.460
.152
.418
2.391
X9
-61668.906
43421.176
-.176
-1.420
.163
.876
1.141
X10
156037.645
43790.320
.447
3.563
.001
.862
1.161
X5
-18.049
2211.812
-.001
-.008
.994
.550
1.818
X8
-542.388
85410.359
.000
-.006
.995
.695
1.439
X3
-.020
.025
-.110
-.779
.440
.675
1.481
a. Dependent Variable: Y
Uji-t Hipotesis H0 : β=0 (X tidak berpengaruh nyata terhadap Y) H1 : β≠0 (X berpengaruh nyata terhadap Y) Nilai-p(0.044) < alpha 5% artinya tolak H0 sehingga kita simpulkan bahwa Jumlah Tanggungan berpengaruh nyata terhadap besar WTA pada taraf 5%. Nilai-p(0.001) < alpha 5% artinya tolak H0 sehingga kita simpulkan bahwa Upaya berpengaruh nyata terhadap besar WTA pada taraf 5%.
81
Lampiran 2. Uji Heterokedastisitas
Charts
Dari grafik scatterplots (Y=SRESID dan X=ZPRED) terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi.
82
Lampiran 3. Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardiz ed Residual N Normal Parametersa
48 Mean Std. Deviation
.0000000 1.24193938E 5
Most Extreme Differences
Absolute
.114
Positive
.114
Negative
-.107
Kolmogorov-Smirnov Z
.790
Asymp. Sig. (2-tailed)
.561
a. Test distribution is Normal.
Uji Kolmogorov–Smirnov. Hipotesis yang diuji adalah: H0 : data residual berdistribusi normal H1 : data residual tidak berdistribusi normal P-value (0.561) > 0.05, artinya data residual menyebar normal pada taraf nyata 5%
83
Lampiran 4. Uji Autokorelasi Model Summaryb
Model
R
1
.687a
R Square .472
Adjusted R
Std. Error of
Square
the Estimate
.364
1.36338E5
Durbin-Watson 2.038
a. Predictors: (Constant), X3, X5, X9, X10, X1, X2, X8, X6 b. Dependent Variable: Y
Deteksi autokorelasi umumnya dilakukan dengan uji statistik Durbin-Watson dengan menggunakan formula sebagai berikut.
Uji Durbin – Wason (DW test) Hipotesis: H0 : Tidak ada autokorelasi (r=0) H1 : Ada autokorelasi (r ≠0) Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi: Hipotesis nol Keputusan Tidak ada autokorelasi positif Tolak No decision Tidak ada autokorelasi negatif Tolak No decision Tidak ada autokorelasi, positif atau negative Tidak ditolak 1.039 1.748 2.252 2.038
Jika 0 < d < dl dl ≤ d ≤ du 4-dl < d < 4 4-du ≤ d ≤ 4-dl du < d < 4-du
Dl Du 4‐du Dw
84
Lampiran 5. Uji Multikolinieritas Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model
B
(Constant)
Std. Error
-62402.669
148498.683
X1
31803.424
15310.673
X2
13318.849
X6
Coefficients Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
-.420
.677
.292
2.077
.044
.684
1.462
9536.501
.224
1.397
.170
.525
1.904
2853.888
1955.117
.263
1.460
.152
.418
2.391
X9
-61668.906
43421.176
-.176
-1.420
.163
.876
1.141
X10
156037.645
43790.320
.447
3.563
.001
.862
1.161
X5
-18.049
2211.812
-.001
-.008
.994
.550
1.818
X8
-542.388
85410.359
.000
-.006
.995
.695
1.439
X3
-.020
.025
-.110
-.779
.440
.675
1.481
a. Dependent Variable: Y (besar WTA) Hasil perhitungan tolerance juga menunjukkan tidak ada peubah X (independen) yang memiliki nilai tolerance kurang dari 0.10 yang berarti tidak ada korelasi antar peubah yang melebihi 95%. Hasil perhitungan VIF juga menunjukkan tidak ada satu peubah X pun yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah multikolinieritas dalam model regresi.
85
4 Appendix A
Table A-1 Models with an intercept (from Savin and White) Durbin-Watson Statistic: 1 Per Cent Significance Points of dL and dU k’*=1
k’=2
k’=3
k’=4
k’=5
k’=6
k’=7
k’=8
k’=9
k’=10
n 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
dL 0.390 0.435 0.497 0.554 0.604 0.653 0.697 0.738 0.776 0.811 0.844 0.873 0.902 0.928 0.952 0.975 0.997 1.017 1.037 1.055
dU 1.142 1.036 1.003 0.998 1.001 1.010 1.023 1.038 1.054 1.070 1.086 1.102 1.118 1.133 1.147 1.161 1.174 1.186 1.199 1.210
dL ----0.294 0.345 0.408 0.466 0.519 0.569 0.616 0.660 0.700 0.738 0.773 0.805 0.835 0.862 0.889 0.915 0.938 0.959 0.981
dU ----1.676 1.489 1.389 1.333 1.297 1.274 1.261 1.254 1.252 1.253 1.255 1.259 1.264 1.270 1.276 1.284 1.290 1.298 1.305
dL --------0.229 0.279 0.340 0.396 0.449 0.499 0.547 0.591 0.633 0.672 0.708 0.742 0.774 0.803 0.832 0.858 0.881 0.906
dU --------2.102 1.875 1.733 1.640 1.575 1.526 1.490 1.465 1.447 1.432 1.422 1.416 1.410 1.408 1.407 1.407 1.407 1.408
dL ------------0.183 0.230 0.286 0.339 0.391 0.441 0.487 0.532 0.574 0.614 0.650 0.684 0.718 0.748 0.777 0.805 0.832
dU ------------2.433 2.193 2.030 1.913 1.826 1.757 1.705 1.664 1.631 1.604 1.583 1.567 1.554 1.543 1.535 1.527 1.521
dL ----------------0.150 0.193 0.244 0.294 0.343 0.390 0.437 0.481 0.522 0.561 0.598 0.634 0.666 0.699 0.728 0.756
dU ----------------2.690 2.453 2.280 2.150 2.049 1.967 1.901 1.847 1.803 1.767 1.736 1.712 1.691 1.674 1.659 1.645
dL --------------------0.124 0.164 0.211 0.257 0.303 0.349 0.393 0.435 0.476 0.515 0.552 0.587 0.620 0.652 0.682
dU --------------------2.892 2.665 2.490 2.354 2.244 2.153 2.078 2.015 1.963 1.918 1.881 1.849 1.821 1.797 1.776
dL ------------------------0.105 0.140 0.183 0.226 0.269 0.313 0.355 0.396 0.436 0.474 0.510 0.545 0.578 0.610
dU ------------------------3.053 2.838 2.667 2.530 2.416 2.319 2.238 2.169 2.110 2.059 2.015 1.977 1.944 1.915
dL ----------------------------0.090 0.122 0.161 0.200 0.241 0.282 0.322 0.362 0.400 0.437 0.473 0.507 0.540
dU ----------------------------3.182 2.981 2.817 2.681 2.566 2.467 2.381 2.308 2.244 2.188 2.140 2.097 2.059
dL --------------------------------0.078 0.107 0.142 0.179 0.216 0.255 0.294 0.331 0.368 0.404 0.439 0.473
dU --------------------------------3.287 3.101 2.944 2.811 2.697 2.597 2.510 2.434 2.367 2.308 2.255 2.209
dL ------------------------------------0.068 0.094 0.127 0.160 0.196 0.232 0.268 0.304 0.340 0.375 0.409
dU ------------------------------------3.374 3.201 3.053 2.925 2.813 2.174 2.625 2.548 2.479 2.417 2.362
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 150 200
1.072 1.088 1.104 1.119 1.134 1.147 1.160 1.171 1.184 1.195 1.205 1.217 1.227 1.237 1.246 1.288 1.324 1.356 1.382 1.407 1.429 1.448 1.465 1.481 1.496 1.510 1.522 1.611 1.664
1.222 1.232 1.244 1.254 1.264 1.274 1.283 1.291 1.298 1.307 1.315 1.322 1.330 1.337 1.344 1.376 1.403 1.428 1.449 1.467 1.485 1.501 1.514 1.529 1.541 1.552 1.562 1.637 1.684
1.000 1.019 1.036 1.053 1.070 1.085 1.100 1.114 1.128 1.141 1.153 1.164 1.176 1.187 1.197 1.245 1.285 1.320 1.351 1.377 1.400 1.422 1.440 1.458 1.474 1.489 1.502 1.598 1.653
1.311 1.318 1.325 1.332 1.339 1.345 1.351 1.358 1.364 1.370 1.376 1.383 1.388 1.392 1.398 1.424 1.445 1.466 1.484 1.500 1.514 1.529 1.541 1.553 1.563 1.573 1.582 1.651 1.693
0.928 0.948 0.969 0.988 1.006 1.022 1.039 1.055 1.070 1.085 1.098 1.112 1.124 1.137 1.149 1.201 1.245 1.284 1.317 1.346 1.372 1.395 1.416 1.434 1.452 1.468 1.482 1.584 1.643
1.410 1.413 1.414 1.418 1.421 1.425 1.428 1.432 1.436 1.439 1.442 1.446 1.449 1.452 1.456 1.474 1.491 1.505 1.520 1.534 1.546 1.557 1.568 1.577 1.587 1.596 1.604 1.665 1.704
0.855 0.878 0.901 0.921 0.941 0.960 0.978 0.995 1.012 1.028 1.043 1.058 1.072 1.085 1.098 1.156 1.206 1.246 1.283 1.314 1.343 1.368 1.390 1.411 1.429 1.446 1.461 1.571 1.633
1.517 1.514 1.512 1.511 1.510 1.509 1.509 1.510 1.511 1.512 1.513 1.514 1.515 1.517 1.518 1.528 1.537 1.548 1.559 1.568 1.577 1.586 1.595 1.603 1.611 1.618 1.625 1.679 1.715
0.782 0.808 0.832 0.855 0.877 0.897 0.917 0.935 0.954 0.971 0.987 1.004 1.019 1.033 1.047 1.111 1.164 1.209 1.248 1.283 1.313 1.340 1.364 1.386 1.406 1.425 1.441 1.557 1.623
1.635 1.625 1.618 1.611 1.606 1.601 1.597 1.594 1.591 1.589 1.587 1.585 1.584 1.583 1.583 1.583 1.587 1.592 1.598 1.604 1.611 1.617 1.624 1.630 1.636 1.641 1.647 1.693 1.725
0.711 0.738 0.764 0.788 0.812 0.834 0.856 0.876 0.896 0.914 0.932 0.950 0.966 0.982 0.997 1.065 1.123 1.172 1.214 1.251 1.283 1.313 1.338 1.362 1.383 1.403 1.421 1.543 1.613
1.759 1.743 1.729 1.718 1.707 1.698 1.690 1.683 1.677 1.671 1.666 1.662 1.658 1.655 1.652 1.643 1.639 1.638 1.639 1.642 1.645 1.649 1.653 1.657 1.661 1.666 1.670 1.708 1.735
0.640 0.669 0.696 0.723 0.748 0.772 0.794 0.816 0.837 0.857 0.877 0.895 0.913 0.930 0.946 1.019 1.081 1.134 1.179 1.218 1.253 1.284 1.312 1.337 1.360 1.381 1.400 1.530 1.603
1.889 1.867 1.847 1.830 1.814 1.800 1.788 1.776 1.766 1.757 1.749 1.742 1.735 1.729 1.724 1.704 1.692 1.685 1.682 1.680 1.680 1.682 1.683 1.685 1.687 1.690 1.693 1.722 1.746
0.572 0.602 0.630 0.658 0.684 0.710 0.734 0.757 0.779 0.800 0.821 0.841 0.860 0.878 0.895 0.974 1.039 1.095 1.144 1.186 1.223 1.256 1.285 1.312 1.336 1.358 1.378 1.515 1.592
2.026 1.997 1.970 1.947 1.925 1.906 1.889 1.874 1.860 1.847 1.836 1.825 1.816 1.807 1.799 1.768 1.748 1.734 1.726 1.720 1.716 1.714 1.714 1.714 1.714 1.715 1.717 1.737 1.757
0.505 0.536 0.566 0.595 0.622 0.649 0.674 0.698 0.722 0.744 0.766 0.787 0.807 0.826 0.844 0.927 0.997 1.057 1.108 1.153 1.192 1.227 1.259 1.287 1.312 1.336 1.357 1.501 1.582
2.168 2.131 2.098 2.068 2.041 2.017 1.995 1.975 1.957 1.940 1.925 1.911 1.899 1.887 1.876 1.834 1.805 1.785 1.771 1.761 1.754 1.748 1.745 1.743 1.741 1.741 1.741 1.752 1.768
0.441 0.473 0.504 0.533 0.562 0.589 0.615 0.641 0.665 0.689 0.711 0.733 0.754 0.774 0.749 0.881 0.955 1.018 1.072 1.120 1.162 1.199 1.232 1.262 1.288 1.313 1.335 1.486 1.571
2.313 2.269 2.229 2.193 2.160 2.131 2.104 2.080 2.057 2.037 2.018 2.001 1.985 1.970 1.956 1.902 1.864 1.837 1.817 1.802 1.792 1.783 1.777 1.773 1.769 1.767 1.765 1.767 1.779
*k’ is the number of regressors excluding the intercept
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 29 Oktober 1989. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Urip Purnama dan Ibu Oon Binarti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Semplak 2 Bogor Barat, yang lulus pada tahun 2001, setelah itu penulis menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 6 Bogor tahun 2004, penulis juga menamatkan pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 5 Bogor tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2007. Setelah melewati Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis melanjutkan studi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi, diantaranya Anggota Muda KAREMATA FEM IPB pada tahun 2008, Ketua Umum KAREMATA FEM IPB pada tahun 2009. Penulis juga tercatat sebagai anggota Divisi E-Ship Resource and Environmental Economics Student Association (REESA) Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB pada tahun 2008-2009. Selain itu, penulis pun aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan di lingkup Fakultas.
86