ESTIMASI NILAI KERUGIAN EKONOMI DAN WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT AKIBAT PENCEMARAN LIMBAH CAIR SARUNG TENUN Studi kasus: Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang
TRI RETNO SETYOWATI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Limbah Cair Sarung Tenun Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Tri Retno Setyowati NIM H44100053
ABSTRAK TRI RETNO SETYOWATI. Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Limbah Cair Sarung Tenun, Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT. Pesatnya pembangunan ekonomi terutama di sektor industri telah terjadi di Indonesia. Pembangunan kawasan industri tidak hanya memberikan dampak pada sosial ekonomi masyarakat saja, tetapi juga berdampak pada perubahan kualitas fisik lingkungan sekitar kawasan industri. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak negatif yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara, mengestimasi besarnya biaya kerugian yang ditanggung masyarakat akibat pencemaran limbah sarung tenun, mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, Replacement cost dan cost of illness, Contingent Valuation Method (CVM), dan regresi linear berganda yang ditransformasikan kedalam bentuk logaritma natural. Hasil penelitian ini menunjukan eksternalitas negatif yang paling dirasakan adalah penurunan kualitas air tanah dan pencemaran udara. Adanya eksternalitas negatif ini menyebabkan masyarakat harus menanggung biaya eksternal sebesar Rp191.405.136 per bulan. Hasil rata-rata willingness to accept dari 91 responden yang bersedia menerima adalah sebesar Rp136.813 per bulan per orang. Faktorfaktor yang berpengaruh pada taraf nyata 5% adalah usia, pendidikan, pendapatan, jarak tempat tinggal, jumlah tanggungan, dan lama tinggal. Kata kunci: biaya eksternal, eksternalitas, industri, nilai kerugian willingness to accept
ABSTRACT TRI RETNO SETYOWATI. Assessment of Economic Loss and Community’s Willingness to Accept due to Textile Industri Liquid Waste at Wanarejan Utara Village, Taman Subdistrict, Pemalang District. Supervised by YUSMAN SYAUKAT. Economy development has grown rapidly in Indonesia, particularly in industry sectors. Nowadays, industry centers not only effected social and economic patterns, but also the changing of environment quality nearby. The aims of this research are 1) identificated negative effect in society caused by sarung tenun industry disposal in Wanarejan Village; 2) estimated its society economic loss; 3) estimated compensation value that society intended to accept caused by disposal; and 4)identificated influenced factors of society willingness to accept the compensation. Methods in this research are descriptive analysis, replacement cost, cost of illness, Contingent Valuation Method, and multiple regression double log model. The research results indicated the most negative externality that society receive are degradation of ground water quality and air pollution with external cost IDR191.405.136/month. Average society willingness to accept compensation about IDR136.813/month/person. Influenced factors with evidence level 5% are age, education, income, home distance with the pollution site, amount of family members and length of stay. Key words: economic loss value, externality, external cost, industry, willingness to accept.
ESTIMASI NILAI KERUGIAN EKONOMI DAN WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT AKIBAT PENCEMARAN LIMBAH CAIR SARUNG TENUN Studi kasus: Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang
TRI RETNO SETYOWATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Limbah Cair Sarung Tenun Desa Wanarejan Utara, Pemalang Nama : Tri Retno Setyowati NIM : H44100053
Disetujui oleh
Dr.Ir. Yusman Syaukat, M. Ec Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Kepala Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul skripsi ini adalah Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Limbah Cair Sarung Tenun di Desa Wanarejan Utara, Pemalang. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak atas bimbingan dan doanya. Dalam kesempatan ini, penulis ucapkan terimakasih kepada: 1. Kedua orang tua tercinta (Bapak Khamim dan Ibu Daeni), my beloved sister and brother (Siti Rokhimah dan Muhammad Zaelani), Tante saya tercinta (Maryati), yang telah memberikan doa dan semangat. Semoga karya ini dapat menjadi salah satu persembahan terbaik untuk mereka. 2. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan ilmu serta wawasan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Rizal Bakhtiar S.Pi, M.Si dan Kastana Sapanli S.Pi, M.Si selaku dosen penguji utama dan selaku dosen perwakilan departemen yang telah memberikan banyak masukan dalam penulisan skripsi ini. 4. Staff pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis. 5. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang dan Pejabat Desa Wanarejan Utara yang telah memberikan informasi dan bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini selesai. 6. Muhammad Irfan yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 7. Sahabat-sahabat seperjuangan di ESL Syafira, Donna Sita, Nadya Mazaya, Miranti, Intan yang selalu memberikan bantuan, motivasi, dan semangat 8. Sahabat-sahabat Sinabung Syafira, Rahmah Syafira, Puti Hanifah, Dyah Ayu, Hernita, Nadya, Esatri, Tuty, yang telah memberikan dukungan 9. Sahabat d’costa Ezy, Esti, Reza, Taufiki, Ali, Agung yang telah memberikan keceriaan ditengah penyelesaian skripsi 10. Kerabat alumni SMAN 1 Pemalang Liring, Ati, Nisa, Intan, Inayatun, Muhammad Fauzi , Restu yang telah membantu pada saat penelitian. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga segala saran dan kritik terkait skripsi penulis terima. Semoga penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi para pembaca.
Bogor, September 2014 Tri Retno Setyowati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang...............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................7 1.4 Manfaat Penelitian........................................................................................ 8 1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 8 II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 10 2.1 Pencemaran dalam Perspektif Ekonomi...................................................... 10 2.2 Internalisasi eksternal cost.......................................................................... 11 2.3 Macam Pencemar........................................................................................ 12 2.4 Industri dan Pencemarannya........................................................................13 2.5 Limbah Tekstil.............................................................................................15 2.6 Pencemaran Sumberdaya Air...................................................................... 16 2.6.1 Sumber pencemaran air tanah .......................................................... 16 2.6.2 Sumber pencemaran air permukaan ................................................. 16 2.7 Replacement Cost dan Cost of Illness......................................................... 19 2.8 Contingent Valuation Method (CVM)........................................................ 20 2.8.1 Kelemahan dan kelebihan CVM ...................................................... 22 2.9 Penelitian terdahulu..................................................................................... 23 III KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 25 IV METODE PENELITIAN.............................................................................. 28 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian..................................................................... 28 4.2 Jenis dan Sumber Data................................................................................ 28 4.3 Metode pengambilan contoh....................................................................... 28 4.4 Metode Analisis Data................................................................................. 29 4.4.1 Identifikasi dampak negatif yang dirasakan responden akibat aktivitas industri sarung tenun ......................................................... 30
4.4.2 Estimasi nilai kerugian masyarakat .................................................. 30 4.4.3 Analisis nilai WTA masyarakat terhadap pencemaran akibat aktivitas industri sarung tenun ........................................................................ 31 4.4.4 Analisis fungsi willingnes to accept (WTA) .................................... 33 V GAMBARAN UMUM ..................................................................................... 36 5.1 Gambaran umum lokasi penelitian.............................................................. 36 5.2 Kondisi Terkini Lokasi Penelitian...............................................................37 5.3 Karakteristik Responden............................................................................. 38 5.3.1 Jenis kelamin dan usia ...................................................................... 38 5.3.2 Tingkat pendapatan keluarga ............................................................ 38 5.3.3 Lama pendidikan formal ................................................................... 39 5.3.4 Jumlah tanggungan keluarga ............................................................ 40 5.3.5 Jenis pekerjaan .................................................................................. 40 5.3.6 Status kepemilikan tempat tinggal .................................................... 41 5.3.7 Lama tinggal ..................................................................................... 41 5.2.8 Sebaran tempat tinggal ..................................................................... 41 VI HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 43 6.1 Dampak negatif yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas industri sarung tenun........................................................................................................... 43 6.1.1 Aktivitas industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara .................... 43 6.1.2 Keadaan masyarakat akibat pencemaran .......................................... 44 6.1.3 Kondisi air tanah sebelum dan sesudah industri sarung tenun beroperasi...................................................................................... ... 44 6.1.4 Sumber dan volume air yang digunakan responden untuk kebutuhansehari-hari ........................................................................ 47 6.2 Estimasi biaya kerugian masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun........................................................................................................... 49 6.2.1 Biaya pengeluaran untuk mendapatkan air bersih ............................ 49 6.2.2 Biaya berobat .................................................................................... 51 6.2.3 Rata-rata kerugian per wilayah akibat pencemaran oleh industri ..... 53 6.2.3 Estimasi total biaya kerugian akibat pencemaran yang dihasilkanindustri sarung tenun........................................................54
6.3 Estimasi besarnya nilai dana kompensasi masyarakat dengan pendekatan metode contingent valuation method......................................................... 55 6.4 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA............... 59 VII SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 64 7.1 Simpulan......................................................................................................64 7.2 Saran
65
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................66 LAMPIRAN ..........................................................................................................69 RIWAYAT HIDUP ..............................................................................................80
DAFTAR TABEL 1 Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Tahun 2010-2013 .................. 2 2
Hasil Analisis Limbah Cair Sarung Tenun ........................................................ 4
3
Matrik Metode Analisis ................................................................................... 29
4
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Masyarakat 2013 ................... 37
5
Usia dan Jenis Kelamin Responden................................................................. 38
6 Tingkat Pendapatan Keluarga Responden ....................................................... 39 7
Tingkat Pendidikan Responden ....................................................................... 39
8
Jumlah Tanggungan Keluarga Responden ..................................................... 40
9
Jenis Pekerjaan Responden .............................................................................. 40
10 Lama Tinggal ................................................................................................... 41 11 Sebaran Tempat Tinggal .................................................................................. 42 12 Kategori Air Tanah Masyarakat ...................................................................... 46 13 Persentase Persepsi Responden Terhadap Kualitas Air Tanah ....................... 47 14 Sumber dan Volume Penggunaan Air oleh Responden.................................... 48 15 Sumber dan Biaya Penggunaan Air Bersih oleh Responden ............................ 50 16 Biaya Berobat yang Dikeluarkan Responden ................................................... 52 17 Rata-rata Kerugian Perwilayah ......................................................................... 53 18 Total Biaya Kerugian Masyarakat Akibat Pencemaran ................................... 54 19 Perbandingan Nilai WTA Responden .............................................................. 56 20 Distribusi WTA Responden.............................................................................. 56 21 Besaran Nilai WTA Responden ....................................................................... 57 22 Hasil Regresi Nilai WTA Responden ............................................................... 59
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1 Ilustrasi Pembagian Wilayah ................................................................................ 8 2 Diagram Alur Kerangka Berpikir ....................................................................... 27 3 Dugaan Kurva Penawaran WTA ........................................................................ 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian ...........................................................................................69 2 Analisis Hasil Regresi .........................................................................................74 3 Dokumentasi Penelitian ......................................................................................76
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan mobilitas perorangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sebagian besar penduduk dunia, terutama di negara-negara maju. Bagi negara berkembang termasuk Indonesia industri sangat esensial untuk memperluas landasan pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat (Kristanto 2004). Pergerakan pembangunan menjadi sebuah visi yang terkait dengan aspek-aspek yang terdapat
di dalam negara Indonesia,
meliputi aspek penduduk (masyarakaat) dan aspek lingkungan dari masyarakat tersebut. Aspek penduduk (masyarakat) Indonesia berperan sebagai instrumen vital penggerak pembangunan. Sementara aspek lingkungan menjadi instrumen vital pendudukung aktivitas masyarakat, dan lingkungan memiliki sifat interdependensi yang mempengaruhi kelangsungan (sustainability) dari kedua aspek itu sendiri (Shamudro 2003). Pemerintah terus mendorong terciptanya industri-industri baru di dalam negeri guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan banyak lapangan kerja,. Saat ini, jumlah industri besar dan sedang yang ada di Indonesia berkisar 24.200 unit usaha, sedangkan industri kecil sebanyak 3,8 juta unit usaha (Kemenperin 2011). Banyaknya Industri ini menjadikan salah-satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap total pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dengan sumber pertumbuhan sebesar 1,47%. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
2 Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2010-2012, laju pertumbuhan dan sumber pertumbuhan tahun 2012
Sumber: Badan Pusat Statistik (2013)
Berdasarkan Tabel 1 industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap total pertumbuhan PDB, dengan sumber pertumbuhan sebesar 1,47 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi dengan sumber pertumbuhan masingmasing 1,44%dan 0,98%. Perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada periode 2009-2013 dengan rata-rata 5,9% per tahun yang merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Angka ini juga menunjukan bahwa diantara Negara G-20 pada tahun 2012 dan 2013, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua setalah Cina (BBC 2013). Namun, disisi lain pencapaian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut akan menimbulkan dampak bagi lingkungan apabila tidak diimbangi dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, karena pada prinsipanya setiap perekonomian akan menghadapi trade off yaitu suatu situasi pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu yang ingin dicapai dengan melibatkan kehilangan satu kualitas yang lain (Mulyanto 2007). Permasalahan lingkungan yang mengancam kelestarian lingkungan sangat luas dan beragam, misalnya pemanasan bumi, penipisan lapisan ozon, serta penjarahan hutan hujan tropik yang akan mencapai sangat kritik pada puluh tahun
3 mendatang. Persoalan ini secara langsung dipengaruhi oleh populasi manusia yang terus bertambah. Divisi kependudukan PBB meramalkan penduduk dunia akan berkembang dari 6,23 milyar di tahun 2000 menjadi 9,3 milyar ditahun 2050. Pesatnya bertumbuhan penduduk ini berdampak pada tingginya pertumbuhan kebutuhan pangan, papan, energi dan kebutuhan dasar lainnya. Hal ini yang menjadi salah-satu faktor maraknya jumlah industri di dunia termasuk Indonesia yang pada akhirnya akan berimbas pada penurunan kualitas lingkungan (Mulyanto 2007). Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output), namun pada proses produksinya akan menghasilkan sisa berupa limbah yang dapat menimbulkan eksternalitas negatif apabila tidak diolah dengan baik. Menurut Fauzi (2006), eksternalitas didefinisikan sebagai dampak (positif atau negatif) dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak yang menyebabkan eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Sumber terjadinya eksternalitas adalah tidak adanya hak kepemilikan (property right), yaitu kesepakatan sosial yang menentukan kepemilikan, penggunaan, dan pembagian faktor produksi serta barang dan jasa. Air, udara, dan sungai merupakan barang publik yang bersifat non-rivalry (tidak ada ketersaingan dalam pemanfaatannya) dan non-excludable (tidak ada larangan dalam pemanfaatannya), sehingga hak kepemilikannya tidak dapat ditentukan. Tidak adanya hak kepemilikan ini akan menimbulakan inefisiensi, yaitu tindakan seseorang mempengaruhi orang lain dan tidak tercermin dalam sistem harga. Misalnya, seorang pengusaha pemilik pabrik yang membuang limbahnya kesungai dan menyebabkan orang-orang yang menggunakan air sungai menjadi sakit. Dalam menentukan harga hasil produksinya pengusaha tersebut tidak memasukan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat pemakai air sungai untuk pengobatan, sehingga bagi seluruh masyarakat tidak tercapai suatu tingkat efisiensi yang maksimum (Mangkoesoebroto 2000). Salah satu industri yang mempunyai potensi sebagai penyebab pencemaran adalah industri tekstil. Menurut Siregar (2005) dalam Rahmawati (2010), industri
4 tekstil tergolong dalam industri basah yaitu industri yang memerlukan banyak air pada proses produksinya terutama pada proses pencelupan atau pewarnaan. Proses pencelupan pada umumnya memerlukan suhu tinggi (diatas 100o C), dan penambahan bahan pembantu (dapat berupa larutan asam atau basa) yang bertujuan agar penyerapan warna menjadi lebih sempurna. Penggunaan suhu yang tinggi dan penambahan zat pembantu ini apabila limbah hasil produksinya dibuang langsung ke badan air maka akan mengganggu keseimbangan. Selain itu limbah cair industri tekstil juga mengandung logam berat berupa fenol, amonia, dan sulfida yang tinggi yang pada tahap tertentu akan mengganggu kualitas air (Rahmawati 2010). Kabupaten Pemalang terutama Desa Wanarejan Utara merupakan desa sentra penghasil sarung tenun. Menurut BPS Kabupaten Pemalang tahun 2013, jumlah industri sarung tenun di Desa Wanarejan Utara sebanyak 169 unit usaha, rata-rata jumlah produksi sebanyak delapan kodi per hari untuk setiap industri dengan total limbah yang dikeluarkan 1.014 m3 per hari. Kandungan limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi sarung tenun berpotensi menyebabkan pencemaran. Tabel 2 menunjukan hasil analisis kualitas limbah cair industri sarung tenun di Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabuaten Pemalang jika dibandingkan dengan standar Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004. Tabel 2 Hasil analisis limbah cair sarung tenun Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. No
Parameter
Nilai standar
Nilai Pengukuran
38 C
38,9o C
6-9
10,05
Total Suspende Solid (TSS)
50 mg/l
231 mg/l
4
Biological Oxygen Deman (BOD)
60 mg/l
132,2 mg/l
5
Chemical Oxigen Demand (COD)
150 mg/l
228,2 mg/l
6
Fenol
0,5 mg/l
0,362 mg/l
7
Amonia (NH3 – N)
8,0 mg/l
8,6 mg/l
8
Sulfida (S)
0,3 mg/l
1,25 mg/l
1
Suhu
2
pH
3
o
Sumber: Badan Lingkungan Hidup (2010)
Hasil analisis kualitas limbah cair pada tabel 2 dilakukan secara langsung oleh Rahmawati (2010) di labolatorium dan bekerja sama dengan Badan
5 Lingkungan Hidup (BLH) kabupaten pemalang. Hasil analisis menunjukan hampir semua parameter melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Pembuangan limbah cair sarung tenun langsung ke lingkungan tanpa melalui proses pengolahan menimbulkan eksternalitas negatif bagi masyarakat sekitar kawasan industri. Eksternalitas yang dirasakan masyarakat diantaranya penurunan kualitas kesehatan pengguna
air tercemar, peningkatan biaya kesehatan
akibat
mengkonsumsi air yang tidak sehat dan pencemaran udara, serta biaya pengolahan air. Biaya-biaya yang ditanggung masyarakat akibat pembuangan limbah yang dilakukan oleh pelaku produksi ini disebut dengan biaya eksternal.
1.2 Rumusan Masalah Desa Wanarejan Utara merupakan sentra industri sarung tenun yang ada di Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang. Namun, karena keterbatasan dana dan tingkat pengetahuan yang rendah para pengrajin sarung tenun tidak dapat membuat Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) dan terpaksa mengalirkan limbah cair sarung tenun ke sungai dan saluran-saluran pembuangan yang ada di sekitar rumah warga. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas lingkungan terutama kualitas air sungai dan air tanah. Ratusan sumur warga disekitar industri berubah warna dan menimbulkan aroma tidak sedap sehingga warga tidak dapat memanfaatkan air dan terpaksa menggunakan air PDAM untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Keadaan ini tentunya sangat merugikan masyarakat sekitar industri karena harus mengeluarkan biaya untuk membeli air bersih. Selain biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan air bersih masyarakat juga mengeluarkan biaya berobat karena penyakit yang ditimbulkan dari adanya pencemaran tersebut. Dermatitis dan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) merupakan penyakit yang diakibatkan dari pencemaran tersebut karena masih ada masyarakat yang menggunakan air yang tercemar untuk mandi, cuci, kakus (MCK) serta adanya pencemaran udara yang ditimbulkan bau yang tidak sedap dari limbah cair hasil proses pencelupan. Kepala Puskesmas Kabunan dr. Hadi Sucipto, mengatakan bahwa jumlah penderita penyakit dermatitis dan ISPA beturut-turut di Desa Wanarean Utara sebanyak 52 orang dan 26 orang. Jumlah ini kurang lebih empat persen dari jumlah penduduk di Desa Wanarejan Utara.
6 Berdasarkan diagnosisnya, penyakit berbahaya ini disebabkan kuman dan lingkungan desa yang kumuh bukan penyakit turunan1 Pencemaran limbah cair sarung tenun ini berakibat pada penurunan kesejahteraan masyarakat karena adanya biaya kerugian yang ditanggung. Biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat adalah biaya pengganti (Replacement Cost) untuk kembali mendapatkan air bersih yang layak konsumsi serta biaya pengobatan (Cost of Illness) atas penyakit yang diderita akibat pencemaran lingkungan. Biaya-biaya yang dikeluarkan masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun ini disebut dengan biaya eksternal. Untuk menekan biaya-biaya ekstenal yang ditanggung oleh masyarakat seharusnya pihak pencemar (industri sarung tenun) menginternalisasikan biaya ekstenal ini kedalam struktur biaya produksi sarung tenun sehingga penurunan kesejahteraan masyarakat sekitar industri dapat dihindarkan. Salah-satu upaya untuk menginternalisasikan eksternal cost adalah dengan membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Namun, karena keterbatasan biaya, industri sarung tenun yang ada di Desa Wanarejan Utara tidak dapat membuat IPAL. Tidak adanya IPAL membuat pengrajin sarung tenun membuang limbahnya langsung ke lingkungan yang menyebabkan terjadinya pencemaran sumberdaya air, padahal masyarakat sekitar kawasan industri memiliki hak atas sumberdaya yang bersih (sumber air). Oleh karena itu perlu adanya kompensasi dari pihak pencemar akibat pencemaran yang terjadi akibat limbah cair sarung tenun. Kondisi inilah yang melatarbelakangi penggunaan teknik Contingent Valuation Methode (CVM). Metode CVM digunakan berdasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya
1
http://www.suaramerdeka.com/2010/09/25/puluhan-warga-terkena-penyakit diakses tanggal 16 Desember 2013
7 sumberdaya yang dia miliki (Fauzi 2006). Masyarakat Desa Wanarejan memiliki hak atas sumberdaya yang bersih (air) oleh karena itu pengukuran yang relevan adalah menggunakan Willingness to Accept (WTA) yang merupakan bentuk kesediaan menerima kompensasi masyarakat atas kerusakan jasa lingkungan sekitar mereka. Berdasarkan penjabaran rumusan masalah di atas maka dapat diuraikan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1)
Bagaimana dampak negatif yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas industri sarung tenun di Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang?
2)
Berapa besarnya nilai kerugian masyarkat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun?
3)
Berapa besar nilai kompensasi yang bersedia diterima masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun?
4)
Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesedian masyarakat dalam menerima kompensasi?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan
permasalahan
yang
diuraikan
di
atas,
maka
tujuan
dilaksanakaanya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
Mengidentifikasi dampak negatif yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang.
2)
Mengestimasi besarnya biaya kerugian yang ditanggung masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun.
3)
Mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun.
4)
Mengidentifikasi faktor-fakor yang mempengaruhi besarnya kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi.
8 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1) Akademisi dan peneliti, sebagai referensi khususnya dalam mengestimasi kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan 2) Pemerintah, dalam menetapkan kebijakan mengenai kompensasi yang diterima oleh masyarakat atas rusaknya jasa lingkungan serta memperhatikan tingkat pencemaran yang dilakukan industri-industri diwilayahnya. 3) Industri,
agar
tetap
memperhatikan
keberlanjutan
lingkungan
dan
memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar industri. 4) Masyarakat luas, untuk lebih mementingkan terjaganya kualitas jasa lingkungan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Wilayah penelitian ini adalah Desa Wanarejan Utara Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar kawasan industri. Responden terbagi kedalam tiga wilayah, wilayah pertama yaitu reponden yang memiliki jarak tempat tinggal ≤ 100 meter dengan industri, wilayah kedua 101-500 meter, dan wilayah tiga dengan jarak > 500 meter. Ilustrasi pembagian wilayah berdasarkan jarak tempat tinggal dari pusat kawasan industri dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Ilustrasi pembagian wilayah
9 Penelitian ini terfokus pada estimasi nilai kerugian yang diterima masyarakat. Estimasi nilai kerugian ini adalah dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar atas pencemaran air. Besarnya kerugian diestimasi dari besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kembali mendapatkan sumber air bersih dan biaya berobat akibat penyakit yang ditimbulkan karena adanya pencemaran. Hipotesis dalam penelitian ini adalah semakin dekat jarak tempat tinggal responden dengan wilayah industri maka semakin besar kerugian yang ditanggung. Metode WTA yang digunakan bermaksud untuk mengetahui besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat.
10
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran dalam Perspektif Ekonomi Ahli ekonomi mendefinisikan pencemaran dengan cara yang berbeda. Pencemaran bergantung dari dua aspek, yaitu: (1) dampak fisik (biologis, kimiawi) dari limbah terhadap lingkungan; dan (2) reaksi manusia terhadap dampak
tersebut,
berupa
kegelisahan
(anxiety),
ketidaknyamanan
(unpleasantness), dan penderitaan (distress) yang dtunjukan oleh kehilangan kesejahteraan (lost of walfarae). Oleh karena itu, pencemaran dianggap sebagai biaya eksternal (external cost) yang terjadi akibat dua kondisi, yaitu: (1) aktivitas dari satu pihak yang mengakibatkan kehilangan kesejahteraan kepada pihak lain; dan (2) hilangnya kesejahteraan tersebut tidak dikompensasi (uncompensated) (Pearce dan Turner 1990). Biaya eksternal juga dikenal sebagai eksternalitas negatif atau diseconomy eksternal. Eksternalitas adalah pengaruh atau dampak atau efek samping yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat dari kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi atau pertukaran yang dilakukan pihak lain. Menurut Mangkoesubroto (2000), yang dimaksud dengan eksternalitas adalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak bagi orang lain (atau segolongan orang lain) tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi fakor produksi. Sedangkan menurut Fauzi (2004), eksternalitas merupakan kegiatan produksi atau konsumsi yang mempengaruhi kegunaan pihak lain dan pembuatnya tidak memberikan kompensasi. Eksternalitas disebabkan oleh barang publik yang kepemilikannya untuk masyarkat dengan akses terbuka sehingga menimbulkan tragedy of the common. Tragedy of the common
ini menggambarkan rezim
pengelolaan sumberdaya alam akses terbuka (open access) dimana setiap individu yang memiliki akses terhadap sumberdaya alam yang bersifat langka akan terdorong (memiliki insentif) untuk meningkatkan intensitas pemanfaatannya demi mendapatkan economic return dalam jangka pendek. Keadaan ini akan menyebabkan setiap individu mendapatkan manfaat yang semakin berkurang. Eksternalitas dapat bersifat menguntungkan (positive externalities) atau bersifat merugikan (negative externalities). Eksternalitas negatif adalah pengaruh
11 yang diterima oleh beberapa pihak akibat kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain yang mengakibatkan penurunan kesejahteraan dan hilangnya kesejahteraan tersebut tidak dikompensasi. Eksternalitas positif adalah kegiatan satu pihak menghasilkan peningkatan kesejahteraan pada pihak lain. Dalam perspektif ekonomi, faktor pendorong terjadinya pencemaran adalah ketidakmampuan pasar untuk memberikan harga pada barang dan jasa lingkungan yang digunakan dalam produksi dan konsumsi (Myer 1998). Pada umumnya lingkungan dianggap sebagai barang publik (public good) dimana hak kepemilikannya tidak dapat dinyatakan secara jelas. Pada kondisi tersebut barang dan jasa lingkungan bersifat bebas artinya sumberdaya tersebut tidak dibeli ketika diproduksi atau dikonsumsi. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mencegah atau mengurangi pencemaran adalah menjamain bahwa harga barang dan jasa lingkungan yang digunakan dalam produksi dan dikonsumsi dapat mencerminkan biaya pencemaran yang ditanggung oleh masyarakat. Kebijakan ditujukan untuk mengoreksi kegagalan pasar (market failure) dengan cara menetapkan harga terhadap eksternalitas atau dengan kata lain biaya pencemaran perlu diinternalisasi (Myers 1998).
2.2 Internalisasi eksternal cost Menurut Husfschmidt et al. (1987), teori eksternalitas memberikan alternatif penjelasan tentang penyebab kerusakan lingkungan. Industri umumnya tidak memperhatikan kerusakan lingkungan atau dampak dari kegiatan produksi mereka serta limbah yang dibuang ke sungai, erosi tanah, pencemaran udara, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan, kualitas lingkungan harus dipelihara dengan baik. Untuk memelihara kualitas lingkungan yang baik diperlukan peran dari berbagai pihak salah satunya adalah pemerintah. Peran pemerintah adalah melakukan secara aktif kebijakan pengelolaan kualitas lingkungan, bukan hanya pemerintah yang melakukan pengelolaan limbah tetapi juga industri yang mencemari lingkungan. Industri tersebut harus melakukan peningkatan kualitas lingkungan yang telah dicemari.
12 Peningkatan kulaitas lingkungan tersebut dapat dicapai dengan melakukan pengelolaan limbah. Salah satu kebijakan untuk pengelolaan limbah adalah dengan internalisasi biaya eksternal. Menurut Fauzi (2004), internalisasi biaya eksternal merupakan upaya untuk menginternalkan dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam suatu unit usaha. Dampak kerusakan eksternal haruslah diinternalisasikan dalam keputusan ekonomi sehingga melalui kebijakan tersebut diharapkan lingkungan dapat terjaga kelestarian dan keberlanjutannya (Hufschmidt et al. 1987). Ketika terjadi eksternalitas negatif, biaya privat yaitu biaya yang dihitung oleh pabrik untuk membayar semua faktor produksi yang digunakan menjadi terlalu kecil karena tidak memperhitungkan biaya kerugian masyarakat, akibatnya barang yang dihasilkan oleh pabrik tersebut cenderung menjadi terlalu banyak, mereka tidak memperhitungkan bagaimana dampak pembuangan limbah produksi ke lingkungan yang dirasakan masyarakat lainnya yang menggunakan air sungai atau air tanah (Mangkoesubroto 2000). Dalam hal ini perusahaan masih belum menanggung biaya eksternal seperti biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat akibat mengkonsumsi air yang telah tercemar.
2.3 Macam Pencemar Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari adanya limbah atau pencemar tergantung dari kemampuan lingkungan untuk mengasimilasinya (daya serap atau daya tampung). Apabila beban limbah buangan melebihi daya serap lingkungan maka limbah tersebut akan tertumpuk dalam tubuh lingkungan. Menurut Suparmoko (2000), limbah terbagi menjadi dua macam yaitu limbah yang sulit atau bahkan tidak dapat diserap oleh lingkungan atau disebut limbah tak terserap (stock pollutants), dan ada pula limbah yang mudah diserap oleh lingkungan atau limbah terserap (fund pollutants). Limbah tak terserap adalah limbah yang secara biologis sulit untuk diserap oleh lingkungan seperti botol kaca, logam berat, timbal, Bahan Berbahaya Beracun (B-3) yang seringkali menumpuk di sekitar sumber limbah tersebut, sedangkan limbah terserap selama tingkat buangan limbahnya tidak melebihi daya tampung atau daya serap lingkungan, maka limbah tersebut tidak akan
13 terakumulasi dalam tubuh lingkungan. Sebagai contoh limbah cair hasil aktivitas produksi suatu industri yang tidak melebihi baku mutu dan daya serap lingkungan. Limbah dapat pula dikelompokan menurut luasnya dampak baik vertikal maupun horisontal. Apabila kerusakan sebagai akibat dari pencemaran berada di sekitar sumber pencemaran tersebut, maka limbah yang bersangkutan disebut sebagai limbah lokal. Jika kerusakan yang ditimbulkan akibat limbah tersebut bersifat jauh lebih luas dari daerah sekitar sumber dampak, maka limbah ini disebut sebagai limbah regional. Sifat lokal dan regional ini tidak harus saling meniadakan satu sama lain, tetapi dapat juga limbah lokal terjadi bersama-sama dengan limbah regional seperti pada saat terjadi kebakaran hutan di Kalimantan yang asapnya menyebar kewilayah luas.
2.4 Industri dan Pencemarannya Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output). Kristanto (2004) mengklasifikasikan industri secara garis besar sebgai berikut: 1) Industri dasar atau hulu Industri hulu memiliki sifat sebagai berikut: padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi maju dan teruji. Lokasinya selalu dipilih dekat dengan bahan baku yang mempunyai sumber energi sendiri, dan pada umumnya lokasi ini belum tersentuh pembangunan. Oleh karena itu industri hulu membutuhkan perencanaan yang matang beserta tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan sampai operasional. Di sisi lain juga membutuhkan pengaturan tata ruang, rencana pemukiman,
pengembangan
kehidupan
perekonomian,
serta
pencegahan
kerusakan lingkungan. Pembangunan industri ini dapat mengakibatkan perubahan lingkungan, baik dari aspek sosial-ekonomi dan budaya maupun pencemaran. 2) Industri hilir Industri hilir merupakan perpanjangan proses industri hulu. Pada umumnya industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, lokasinya selalu diusahakan dekat pasar, menggunakan teknologi teruji dan padat karya.
14 3) Industri kecil Industri kecil banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, memiliki peralatan sederhana. Walaupun hakikat produksinya sama dengan industri hilir, tetapi sistem pengolahannya lebih sederhana. Sistem tata letak pabrik maupun pengolahan limbah belum mendapat perhatian. Sifat industri ini padat karya. Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik dan mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Bahan pencemar keluar bersama-sama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air dan tanah yang merupakan komponen ekosistem alam. Bahan buangan yang keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat didefinisikan sebgai sumber pencemar, dan sebagai sumber pencemar perlu diketahui jenis bahan pencemar yang dikeluarkan, kuantitas, dan jangkauan pemaparannya. Bahan pencemar yang masuk kedalam lingkungan akan berinteraksi dengan satu atau lebih komponen lingkungan. Perubahan komponen secara fisika, kimia ban biologi sebagai akibat dari adanya bahan pencemar akan mengakibatkan perubahan nilai lingkungan yang disebut dengan perubahan kualitas lingkungan. Limbah yang mengandung bahan pencemar akan mengubah kualitas lingkungan bila lingkungan tersebut tidak mampu memulihkan kondisinya sesuai dengan daya dukungnya. Oleh karena itu sangat perlu diketahui sifat limbah dan komponen bahan pencemar yang terkandung di dalam limbah tersebut. Sifat beracun dan berbahaya dari limbah ditunjukan oleh sifak fisik dan sifat kimia bahan itu baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Beberapa kriteria berbahaya dan beracun telah ditetapkan, antara lain mudah terbakar, mudah meledak, korosif, bersifat sebagai dioksidator dan reduktor yang kuat, dan mudah membusuk. Pada konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadirannya dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kehidupan manusia dan kehidupan mahluk lainnya, sehingga perlu ditetapkan batas-batas yang diperkenankan dalam lingkungan dan dalam waktu tertentu. Adanya batasan kadar atau konsentrasi dan kuantitas B3 pada suatu ruang dan waktu tertentu dikenal dengan istilah ambang batas, yang mengandung
15 makna bahwa dalam kuantitas tersebut masih dapat ditoleransi oleh lingkungan, sehingga tidak membahayakan lingkungan atau pemakai (Kristanto 2004).
2.5 Limbah Tekstil Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pengkajian, proses penghilangan kanji, penggelantangan, pemasakan, pewarnaan, percetakan, dan poses penyempurnaan. Karakteristik limbah cair dari setiap tahapan proses operasi tekstil akan berbeda. Limbah cair dari unit pencetakan dan pewarnaan biasanya banyak mengandung warna yang terdiri dari residu reaktif kimia dan pewarnaan dan membutuhkan pengolahan khusus sebelum dibuang ke lingkungan. Karakteristik dan kuantitas effluen dari industri tekstil akan berbeda antara industri tekstil satu dengan yang lainnya karena tergantung dari proses produksi yang dilakukan. Umumnya, limbah cair industri tekstil besifat alkalin (basa) dan memiliki BOD dengan rentang 700 hingga 2000 mg/L (Viola 2011). Limbah cair tekstil mengandung sejumlah senyawa organik baik yang mudah
terdegradasi
secara
biologis
maupun
sulit
terdegradasi
(non-
biodegradable). Besarnya kandungan senyawa organik dapat direpresentasikan sebagai Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD). BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa organik, sedangkan COD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik secara kimia sehingga dapat dikatakan parameter COD sebagai parameter untuk mengetahui konsentrasi senyawa organik yang dapat dioksidasi oleh oksidator kuat dalam suasana asam. Limbah cair tekstil mengandung zat pewarna, oleh karena itu limbah tersebut sulit didegradasi oleh mikroorganisme atau pengolahan secara biologis. Kandungan organik dalam limbah akan semakin mudah didegradasi secara biologi apabila semakin tinggi rasio BOD/COD. Salah satu cara untuk dapat mereduksi BOD dan COD, digunakan pengolahan secara biologis dengan perlakuan khusus agar proses dapat terjaga dengan baik. Pada umumnya industri tekstil menggunakan kolam oksidasi apabila tersedia lahan atau menggunakan proses aerobik lainnya. Proses ini dapat menurunkan BOD hingga 95% (Juju 2012).
16 2.6 Pencemaran Sumberdaya Air Sumberdaya air dibedakan menjadi sumberdaya air tanah dan sumber daya air permukaan. Sumber air tanah merupakan sumber aier bersih yang terdapat di dalam tanah dan batu-batuan, sedangkan sumberdaya air permukaan merupakan sumberdaya air yang berada dipermukaan bumi atau tanah. Air permukaan merupakan sumber air utama bagi kehidupan manusia, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Di samping itu air permukaan banyak digunakan untuk keperluan rekreasi seperti berenang, menangkap ikan, dan juga untuk keperluan irigasi guna mengairi pertanian (Suparmoko 2000) 2.6.1 Sumber pencemaran air tanah Pencemaran pada sumberdaya air tanah terjadi bila ada bahan pencemar yang memasuki daerah titik jenuh sumberdaya air tanah. Sebagian besar pencemaran dapat dihilangkan secara alami melalui penyaringan dan kondensasi pada saat air mengalir secara perlahan-lahan melalui lapisan batu-batuan dan tanah. Namun apabila bahan pencemar yang mengalir melebihi baku mutu dan dalam jumlah yang lebih besar dari daya dukungnya maka pencemaran air tanah tidak dapat dihindarkan. Bahan-bahan kimia yang beracun merupakan contoh utama sumber pencemar yang sulit di saring atau dihilangkan. 2.6.2 Sumber pencemaran air permukaan Sebagian pencemaran air terjadi secara kebetulan pada limbah terangkut dan pindah melalui badan air, tetapi sebagian lagi limbah dibuang dengan sengaja ke badan air sehingga menyebabkan timbulnya pencemaran air. Badan air merupakan tempat yang mudah untuk membuang limbah kota, limbah rumah tangga, maupun limbah industri. Sumber pencemaran air permukaan dapat dibedakan menjadi sumber tak bergerak (point sources) dan sumber bergerak (nonpoint sources). Sumber tak bergerak biasanya membuang limbah ke dalam badan air permukaan pada suatu lokasi tertentu melalui pipa buangan, parit, ataupun saluran lainnya, sedangkan sumber bergerak akan mempengaruhi badan air secara tidak langsung dan tersebar sifatnya. Pembedaan sumber pencemaran tersebut akan membawa konsekuensi dalam kebijakan pengendalian pencemaran. Dari segi pelaksanaan kebijakan, sumber
17 pencemar yang bergerak akan lebih sulit diawasi dan kurang mendapatkan perhatian, dan kebijakan lebih banyak diarahkan pada sumber pencemaran yang tidak bergerak. Permasalahan pencemaran pada sumberdaya air permukaan yaitu: 1)
Pencemaran pada sungai dan danau Sumber pencemaran yang utama yang sifatnya tidak bergerak dan
mencemari sungai dan danau adalah kegiatan sektor pertanian, buangan air limbah perkotaan, serta limbah kegiatan-kegiatan rumah tangga (limbah domestik). Pencemaran yang berupa limbah pertanian dapat berupa tumpukan tanah permukaan yang terkupas karena aliran air (erosi), insektisida, maupun pupuk. Air penggelontor kota akan membawa pencemar seperti minyak, oli, dan timbal. Kegiatan industri dan perkotaan merupakan sumber pencemar yang tidak bergerak dan menyumbang pada pencemaran air tidak saja pada aliran sungai dan danau tetapi pada air tanah. Daerah dimana konsentrasi limbah kimia sangat tinggi akan mengalami pencemaran air tanah yang tinggi pula kerena limbah kimia tersebut akan mudah dibawa ke badan air tanah melalui air yang meresap ke dalam tanah dan batu-batuan. 2)
Pencemaran air laut Pencemaran air laut terjadi terutama bila terdapat tumpahan minyak yang
dibawa oleh kapal-kapal tanker, tumpahan minyak yang terjadi pada sumur-sumur minyak lepas pantai pada saat terjadi pengeboran minyak pada sumur tersebut. Di samping itu pencemaran laut terjadi karena adanya pembuangan limbah dengan sengaja kedalam laut. Wardhana (2004), menjelaskan beberapa indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati melalui: 1)
Perubahan suhu air Dalam kegiatan industri seringkali suatu proses disertai dengan timbulnya
panas reaksi atau panas dari gerakan mesin. Agar proses industri dan mesin-mesin yang menunjang kegiatan tersebut dapat berjalan baik, maka panas yang terjadi harus dihilangkan dengan menggunakan air. Air yang digunakan sebagai pendingin akan menyerap panas dari mesin sehingga air menjadi panas. Air yang menjadi panas tersebut biasanya dibuang langsung ke lingkungan (sungai, danau,
18 atau badan-badan air lainnya) sehingga suhu air tempat pembuangan limbah meningkat. Air tempat pembuangan limbah yang suhunya naik akan mengganggu kehidupan hewan air dan organisme air lainnya karena kadar oksigen yang terlarut akan turun. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara yang secara lambat terdifusi ke dalam air. Makin tinggi kenaikan suhu air makin sedikit oksigen yang terlarut di dalamnya. Berkurangnya oksigen yang terlarut maka para ilmuan menetapkan pengujian persyaratan kandungan oksigen dalam limbah. Pengujian yang berhubungan dengan kandungan oksigen dalam air dibedakan menjadi dua yaitu uji BOD (Biochemical Oxigen Demand = uji kebutuhan oksigen biokimia) dan uji COD (Chemical Oxigen Demand = uji kebutuhan oksigen kimia). BOD menunjukan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air, sedangkan COD yaitu suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. 2)
Perubahan pH atau konsentrasi ion hidrogen Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH
berkisar 6,5 – 7,5. Air dapat bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang memiliki pH yang lebih besar dari pH normal akan bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan dari kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air yang pada akhirnya akan mengganggu kehidupan organisme di dalam air. 3)
Perubahan warna, bau, dan rasa Bahan buangan dan air limbah dari kegiatan industri yang berupa bahan
anorganik dan bahan organik seringkali dapat larut di dalam air. Hal ini menyebabkan air tempat pembuangan limbah akan berubah warna. Air dalam keadaan normal dan bersih tidak akan berwarna, tampak bening, dan jernih. Tingkat pencemaran air tidak hanya bergantung pada warna air, karena bahan buangan yang memberikan warna belum tentu lebih berbahaya dari bahan buangan industri yang tidak memberikan warna.
19 Bau yang keluar dari dalam air dapat langsung berasal dari bahan buangan atau air limbah dari kegiatan industri. Bahan buangan industri yang bersifat organik atau bahan buangan dari industri pengolahan makanan seringkali menimbulkan bau yang tidak sedap. Mikroba di dalam air akan mengubah bahan buangan organik, terutama gugus protein menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau. Timbulnya bau pada air lingkungan dapat digunakan sebagai salahsatu tanda terjadinya tanda terjadinya tingkat pencemaran air yang cukup tinggi. Air normal yang dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari umumnya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Apabila air memiliki rasa (kecuali air laut) maka hal itu berarti telah terjadi pelarutan sejenis garam-garaman. Air yang memiliki rasa biasanyaa berasal dari garam-garam yang terlarut. Bila hal ini terjadi maka berarti juga telah ada pelarutan ion-ion logam yang dapat mengubah konsentrasi ion hidrogen dalam air. Adanya rasa pada air pada umumnya diikuti pula dengan perubahan pH air.
2.7 Replacement Cost dan Cost of Illness Penurunan kualitas lingkungan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat sekitar kawasan industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara. Dilihat dari sisi ekonomi adanya penurunan atas kualitas lingkungan akan menyebabkan timbulnya biaya. Pada penelitian ini akan dibahas dua macam biaya yang ditanggung oleh masyarakat Desa Wanarejan Utara yaitu Replacement cost dan cost of illness. Replacement cost atau biaya pengganti merupakan metode yang digunakan untuk menilai suatu sumberdaya alam yang dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk menggantikan atau memperbaiki sumberdaya tersebut setelah adanya kerusakan (Garrod dan Willis 1999). Biaya kesehatan atau cost of illness didefinisikan sebgai metode yang digunakan untuk mengestimasi kerugian yang ditanggung masyarakat yang didasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akibat adanya penurunan kualitas lingkungan. Biaya yang termasuk kedalam biaya cost of illness adalah biaya rumah sakit, biaya obat, biaya perawatan, dan penurunan produktivitas (berkurangnya waktu bekerja).
20 2.8 Contingent Valuation Method (CVM) Pendekatan ini disebut congtingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Misalnya seberapa besar biaya yang harus ditanggung, dan bagaimana pembayarannya. Pendekatan CVM ini sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, dan udara) dan ke dua keinginan menerima (willingness to accept atau WTA atas suatu kondisi lingkungan yang rusak). Teknik CVM didasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki (Fauzi 2006). Di dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat enam tahap kegiatan atau proses (Hanley dan Spash 1993). Tahapan tersebut yaitu: 1)
Menyusun pasar hipotetik Pada awal prosesa kegiatan CVM, seorang peneliti biasanya harus terlebih
dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Misalnya, pemerintah ingin memperbaiki kondisi pantai yang sudah tercemar. Dalam hal ini kita dapat membuat suatu kuesioner yang beisi informasi lengkap mengenai bagaimana kondisi pantai yang bagus (misalnya dengan menunjukan foto pantai yang tercemar dan tidak tercemar), bagaimana pemerintah akan memperoleh dana (apakah dengan pajak, pembayaran langsung, dan sebagainya). 2)
Memperoleh besarnya nilai penawaran (bid) WTA Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang.
Tahap ini dilakukan dengan melakukan survei, baik melalui survei langsung dengan kuesioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Dari ketiga
21 cara tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh nilai penawaran responden. Setiap individu ditanya mengenai besarnya kompensasi yang bersedia diterima (WTA). Nilai kompensasi tersebut dapat diperoleh dengan empat cara yaitu: a)
Bidding game Metode ini dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan kepada
responden secara berulang-ulang tentang apakah mereka ingin membayar sejumlah tertentu hingga memperoleh maksimal WTP atau minimal WTA. Pertanyaan dihentikan sampai nilai yang disepakati. b)
Closed-ended referendum Metode yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan tertutup kepada
responden terkait beberapa nilai WTA yang disarankan untuk dipilih, sehingga responden dapat memberikan jawaban sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka. c)
Payment card Metode ini dilakukan dengan menawarkan kepada responden suatu kartu
yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan menerima, sehingga responden dapat memilih nilai maksimal atau minimal sesuai dengan preferensinya. Nilai ini ditunjukan kepada responden melalui kartu. d)
Open-ended question Menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah maksimum uang
yang ingin dibayarkan atau jumlah minimum uang yang ingin diterima akibat perubahan kualitas lingkungan. Kelebihan dari metode ini adalah responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan menimbulkan bias titik awal, sedangkan kelemahannya terletak pada kurangnya akurasi nilai, terlalu besar variasinya, serta sering sekali ditemukan responden yang kesulitan menjawab pertanyaan yang diberikan. 3)
Mengestimasi mean WTP/WTA Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai rataan WTA. Nilai ini dihitung
berdasarkan nilai lelang (bid) yang diperoleh pada tahap dua. Pada tahap ini harus diperhatikan kemungkinan timbulnya outlier (nilai yang sangat jauh menyimpang
22 dari rata-rata). Dalam perhitungan statistika, biasanya nilai ini tidak dimasukan ke dalam perhitungan. 4)
Mengestimasi kurva penawaran WTA Kurva penawaran WTA responden dibentuk menggunakan jumlah
kumulatif dari jumlah individu yang bersedia memilih suatu nilai WTA tertentu. Asumsi cara ini adalah jumlah kumulatif akan semakin besar sejalan dengan meningkatnya nilai WTA. 5)
Menentukan total WTA Agregasi data merupakan suatu proses dimana rataan penawaran yang
diperoleh dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksudkan. 6)
Evaluasi pelaksanaan CVM Evaluasi penggunaan CVM berfungsi untuk menilai sejauh mana penerapan
CVM telah berhasil dilakukan. 2.8.1 Kelemahan dan kelebihan CVM Menurut Yakin (1997), Kelemahan dan kesalahan potensial estimasi nilai lingkungan dengan metode CVM meliputi kesalahan hipotetis, kesalahan strategi, kesalahan informasi, kesalahan titik awal nilai tawaran, dan kesalahan alat. 1.
Kesalahan pasar hipotetis Kesalahan ini terjadi jika deskripsi situasi hipotetis secara sistematis
berbeda dengan situasi sebenarnya sehingga perbedaan ini mengakibatkan kesalahan sistematik. 2.
Kesalahan strategi Terjadi ketika responden merasa bahwa dia bisa mempengaruhi hasil akhir
dari nilai ekonomi perubahan lingkungan, sehingga dia tidak menawarkan nilai yang sebenarnya. Responden bisa memberikan nilai yang lebih rendah atau nilai yang terlalu tinggi tergantungan keinginan dan kepentingan responden. 3.
Kesalahan informasi Jumlah dan kualitas informasi tentang sumberdaya yang dinilai bisa
berpengaruh terhadap besarnya nilai yang ingin dibayar untuk sumberdaya tersebut. Kurangnya informasi berkaitan dengan sumberdaya yang dinilai bisa mempengaruhi nilai yang diberikan.
23 4.
Kesalahan titik awal Kesalahan ini muncul ketika responden diberikan suatu nilai awal tertentu,
dan responden disuruh untuk menaikkan atau menurunkan nilai itu, dan pada sisi lain responden tidak yakin akan nilai yang dia berikan karena dipengaruhi oleh nilai awal tadi. 5.
Kesalahan alat Kesalahan ini muncul ketika responden tidak memberikan nilai karena
mereka tidak setuju dengan cara atau metode yang dipakai untuk memperoleh nilai yang ditawarkan. Namun, dibalik kelemahannya metode CVM ini memiliki kelebihan, seperti mudah digunakan dalam berbagai konteks dan dapat mengestimasi nilai non use (nilai bukan pengguna).
2.9 Penelitian terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini terkait estimasi nilai kerugian dan willingness to accept (WTA) masyarkat akibat pencemaran limbah yaitu Saefrudin (2014) mengkaji tentang analisis willingness to accept dengan judul Analisis Willingness to Accept Terhadap Program Relokasi Masyarakat di Kampung Pulo Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu 1) mengestimasi besarnya kerugian yang diterima masyarakat akibat banjir; 2) Mengidentifiasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan dan ketidaksediaan untuk relokasi; 3) Mengestimasi besarnya nilai kompensasi masyarakat Kampung Pulo agar bersedia direlokasi serta faktor apa saja yang mempengaruhinya. Adapun alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi logit, metode valuasi ekonomi berupa biaya berobat, biaya hilangnya pendapatan, CVM, dan analisis regresi berganda. Adhitya (2013) mengkaji tentang estimasi nilai kerugian dan WTA dengan judul Estimasi Biaya Eksternal dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran di Sekitar Kawasan Pabrik Gula Cepiring, Kendal. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu 1) mengidentifikasi eksternalitas negatif akibat aktivitas pabrik gula; 2) mengestimasi biaya kerugian yang ditanggung masyarakat akibat eksternalitas negatif; 3) mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia
24 diterima masyarakat; 4) mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi. Adapun alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, metode valuasi ekonomi berupa biaya pengganti, biaya berobat, CVM, dan analisis regresi berganda. Ismail et al. (2011), yang mengestimasi nilai kerugian ekonomi dan willingness to pay masyarakat akibat pencemaran air tanah. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu 1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi masyarakat; 2) mengestimasi kerugian ekonomi masyarakat Kapuk Muara akibat pencemaran air tanah; 3) Mengestimasi nilai kesediaan membayar (WTP) masyarakat Kapuk Muara terhadap upaya perbaikan kualitas air tanah. Pada penelitian ini menggunakan analisi deskriptif dan metode valuasi ekonomi (biaya pengganti, biaya sakit, pengeluaran pencegahan, dan kesediaan membayar). Penelitain yang lain adalah penelitain Shaffitri (2011) yang mengkaji biaya eksternal dengan judul penelitian Internalisasi Biaya Eskternal Pengolahan Limbah Tahu. Tujuan dari penelitian tersebut adalah 1) mengidentifikasi karakteristik industri tahu yang ada di Desa Kalisari, Purwokerto; 2) mengestimasi besarnya nilai kerugian masyarakat akibat pencemaran yang akibatkan oleh limbah cair; 3) mengestimasi besarnya kesediaan membayar pengrajin tahu dalam memperbaiki kualitas lingkungan. Metode yang digunaakan dalam penelitian ini adalah metode biaya produksi, biaya pengganti, perubahan produktivitas, dan CVM berupa WTP. Ketiga penelitian tersebut memiliki kesamaan dalam menggunakan konsep analisis berupa CVM. Namun, terdapat juga beberapa perbedaan diantaranya adalah perbedaan pada sumber pencemar, objek yang dikaji, serta besarnya kerugian yang dirasakan oleh masyarakarat. Selain itu penelitian Ismail et al. (2011) dan Shaffitri (2011) mengestimasi nilai kesediaan membayar, sedangkan pada penelitian ini mengestimasi nilai kesediaan menerima. Perbedaan yang lainnya adalah dari segi lokasi, tujuan, dan jenis kegiatan. Jenis kegiatan yang dikaji dalam penelitian ini adalah aktivitas industri sarung tenun yang menyebabkan pencemaran air di sekitar kawasan industri. Lokasi penelitian berada di Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang.
25
III KERANGKA PEMIKIRAN Sektor industri merupakan salah-satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun, dengan adanya kegiatan industri selain membawa dampak positif seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi negara serta penciptaan lapangan kerja juga membawa dampak negatif berupa penurunan kualitas lingkungan. Industri sarung tenun di Desa Wanarejan Utara juga tidak jauh berbeda dengan industri lain yang juga memiliki dampak positif dan dampak negatif terhadap masyarakat sekitar. Dampak negatif yang sering dirasakan masyarakat sekitar kawasan industri sarung tenun adalah pencemaran air akibat pembuangan limbah cair sarung tenun secara langsung ke lingkungan dan pencemaran udara dari adanya proses pencelupan yang menghasilkan asap dan bau tidak sedap dari limbah cair hasil produksi. Para pengrajin sarung tenun biasanya membuang limbah hasil produksi ke sungai-sungai atau badan-badan air sekitar industri. Untuk menjaga keberlanjutan lingkungan pengrajin sarung tenun seharusnya melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Salah satu pengolahan limbah yang dapat dilakukan adalah dengan membangun IPAL. Tetapi pengrajin sarung tenun di Desa Wanarejan Utara belum membangun IPAL tersebut karena beberapa faktor yaitu 1) pengrajin umumnya tidak memiliki dana untuk melakukan pengolahan limbah karena modal yang terbatas; 2) keterbatasan pengetahuan mengenai teknologi pengolahan limbah dan standar baku buangan limbah serta 3) menganggap limbah yang dihasilkan tidak berbahaya dan umumnya langsung dibuang ke sungai atau badan air terdekat. Pada kasus pencemaran air, untuk menanggung hal tersebut masyarakat Desa Wanarejan Utara harus mencari sumber air baru guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari seperti air galon, dirigen, atau air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Bergantinya sumber air yang digunakan oleh masyarakat dari air sumur atau air tanah ke air PDAM menyebabkan timbulnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarkat untuk tetap mendapatkan air bersih. Padahal apabila air tanah tidak tercemar, masayarakat sekitar kawasan industri sarung tenun dapat mendapatkan air bersih tanpa adanya biaya yang dikeluarkan. Selain bergantinya sumber air bersih, adanya pencemaran air juga berimbas pada kesehatan
26 masyarakat yang memanfaatkan air tanah yang tercemar berupa gatal-gatal kulit atau penyakit ISPA yang tentunya mengeluarkan biaya guna mengobati penyakit tersebut. Pada kasus pencemaran udara, masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk berobat akibat penurunan kualitas kesehatan karena adanya pencemaran udara yang ditimbulkan saat proses pencelupan. Tahap pertama yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu mengidentifikasi dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas industri sarung tenun dengan menggunakan analisis deskriptif. Selain itu akan mengestimasi kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat dengan menggunakan pendekatan metode biaya pengganti dan biaya berobat. Mengestimasi besarnya nilai WTA menggunakan tahapan-tahapan dalam pendekatan CVM, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA menggunakan analisis regresi berganda model double log. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian maka dibuat alur pemikiran yang akan menerangkan apa saja yang menjadi ruang lingkup pada penelitian ini seperti yang terlihat pada Gambar 2. Pada kawasan industri di Desa Wanarejan Utara yang terjadi adalah pihak industrilah yang mulai berkembang di daerah pemukiman. Pembuangan limbah industri sarung tenun langsung ke sungai dan kebadan-badan air sekitar perumahan warga tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu menjadi sumber masalah terjadinya pencemaran air tanah yang seharusnya dapat dikonsumsi warga secara aman. Adanya asap dan bau yang tidak sedap saat proses pencelupan (pewarnaan) juga menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Pencemaran air tanah dan pencemaran udara ini berdampak pada perubahan sumber air bersih masyarakat sekitar kawasan industri serta penurunan kualitas kesehatan masyarakat akibat memanfaatkan air yang tercemar. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dampak negatif yang ditimbulkan akibat pembuangan limbah sarung tenun secara langsung ke lingkungan. Setelah mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan akibat pembuangan limbah, penelitian ini juga akan mengestimasi besarnya nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran yang dihasilkan oleh pihak industri, mengestimasi besarnya kesediaan menerima kompensasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan menerima kompensasi masyarakat sekitar
27 kawasan industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara. Berikut alur penelitian lebih jelas disajikan dalam bentuk diagram alur kerangka berfikir yang dapat dilihat pada Gambar 2. Industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara
Industri berkembang di sekitar perumahan warga
Limbah dibuang langsung ke lingkungan
Pencemaran air dan udara
Kondisi masyarakat sekitar kawasan industri
Identifikasi eksternalitas negatif akibat pencemaran air
Analisis deskriptif
Mengestimasi kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat
Biaya pengganti dan biaya berobat
Mengestimasi besarnya nilai WTA
Pendekatan CVM
Mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi nilai WTA
Analisis model regresi berganda
Mengidentifikasi eksternalitas negatif akibat aktivitas industri sarung tenun, mengestimasi nilai kerugian ekonomi masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun, mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarkat serta faktor-faktor yang mempengaruhi besar kesediaan dalam menerima kompensasi
Gambar 2 Diagram alur kerangka berpikir
28
IV METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dilakukan di Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Wanarejan Utara merupakan sentra industri sarung tenun yang masih lemah dalam pengelolaan limbahnya. Waktu penelitian adalah pada bulan Mei-Juli 2014.
4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dibutuhkan meliputi karakteristik masyarakat, pandangan masyarakat terhadap keberadaan industri sarung tenun, besarnya biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk kembali mendapatkan sumberdaya air yang bersih, besarnya biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengobati penyakit yang diderita akibat pencemaran yang terjadi, serta mengenai seberapa besar mereka bersedia menerima kompensasi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya nilai kompensasi tersebut. Data primer ini diperoleh memelalui wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan bantuan kuesioner. Data sekunder pada penelitian ini meliputi data-data yang terkait dengan daerah penelitian, penyakit yang diderita masyarakat sekitar beserta jumlahnya akibat pengaruh pencemaran, dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder didapat dari kantor pemerintah daerah setempat, Pusksesmas Desa Wanarejan Utara, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Pemalang, Badan Pusat Statistik (BPS), serta badan atau lembaga yang terkait dengan penelitian.
4.3 Metode pengambilan contoh Metode pengambilan contoh dilakukan dengan metode systematic sampling. Pada metode ini, pemilihan responden dilakukan secara sistematis, yaitu
29 responden dipilih dengan pola memilih rumah berdasarkan jarak terhadap industri. Pada pelaksanaannya jarak tempat tinggal warga dibagi menjadi tiga wilayah, wilayah pertama yaitu dengan jarak ≤ 100 meter dari industri diambil 35 responden, wilayah kedua sebanyak 30 responden dengan jarak 101-500 meter dari industri, dan wilayah ketiga sebanyak 30 responden dengan jarak > 500 meter dari industri. Jumlah responden yang dilibatkan dalam penelitian ini sebesar 95 orang.
4.4
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi dampak negatif dari adanya aktivitas industri sarung tenun, Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai kerugian ekonomi masyarakat, serta besarnya nilai WTA masyarakat terhadap pencemaran yang terjadi disekitar lingkungan mereka. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dengan menggunakan program Minitab 15 dan Microsoft Exel 2007 . Pada tabel akan dijelaskan matriks keterkaitan antara sumber data, metode analisis data dan tujuan dalam penelitian ini. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3 Tabel 3 Matriks metode analisis No
Tujuan penelitian
1.
Mengidentifikasi dampak
Data primer
negatif
(wawancara responden)
2
akibat
Sumber data
aktivitas
Metode analisis data Analisis deskriptif
industri sarung tenun
dan sekunder
Mengestimasi nilai
Dataprimer (wawancara
Metode cost of illness
kerugian responden akibat
responden) dan
dan replacement cost
pencemaran limbah
sekunder
sarung tenun 3
Mengestimasi
besarnya
WTA masyarakat 4
Identifikasi faktor –faktor yang mempengaruhi nilai WTA
Data primer dari
Metode CVM
wawancara responen Data primer dari wawancara responden
Analisis regresi berganda
30 4.4.1 Identifikasi dampak negatif yang dirasakan responden akibat aktivitas industri sarung tenun Analisis data yang digunakan untuk mengidentifikasi dampak negatif yang dirasakan responden menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh (dampak negatif) dan apa saja perubahan yang dirasakan responden dari adanya aktivitas industri sarung tenun. Analisis ini meliputi penilaian responden terhadap kualitas lingkungan, ada tidaknya gangguan akibat aktivitas industri, serta dampak negatif yang dirasakan responden. 4.4.2 Estimasi nilai kerugian masyarakat Estimasi nilai kerugian masyarakat yang diakibatkan pencemaran yang dihasilkan dari industri sarung tenun di Desa Wanarejan Utara diestimasi dengan menggunakan metode cost of illness dan replacement cost. Metode cost of illness yaitu mengestimasi kerugian ekonomi masyarakat dengan menggunakan biaya kesehatan yang dikeluarkan akibat pencemaran yang terjadi. Pada metode ini informasi yang diperlukan diantaranya: (1) jenis penyakit, penyakit apa yang diderita oleh responden akibat mengonsumsi air sumur yang tercemar dan penyakit yang ditimbulkan akibat pencemaran udara, apakah penyakit tersebut penyakit turunan atau tidak, (2) tingkat mengalami penyakit, seberapa sering responden mengalami penyakit tersebut dalam satu tahun, (3) biaya, besar biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati penyakit yang diderita, (4) kemana pergi berobat, apakah ke rumah sakit atau ke puskesmas. Besarnya biaya kesehatan didapat dari menghitung jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh responden untuk mengobati penyakitnya. Estimasi kerugian dengan menggunakan metode replacement cost didasarkan pada kasus penggunaan sumber lain akibat tercemarnya air sumur masyarakat yang didentifikasi dengan penyebaran kuesioner. Informasi yang akan dicari terkait penggunaan metode replacement cost antara lain: 1) sumber air pengganti, yaitu darimana sumber air pengganti yang digunakan responden untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti MCK (mandi, cuci, kakus) dan minum, 2) jumlah konsumsi air pengganti, yaitu berapa besar jumlah konsumsi air
31 pengganti yang digunakan responden, 3) biaya, yaitu besar biaya yang dikeluarkan responden untuk membeli sumber air pengganti. 4.4.3 Analisis nilai WTA masyarakat terhadap pencemaran akibat aktivitas industri sarung tenun Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai WTA masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA tersebut. Untuk mengestimasi besarnya nilai WTA tersebut digunakan pendekatan CVM. Menurut Hanley dan Spash (1993) tahapan dalam penerapan analisis CVM dalam menentukan nilai WTA yaitu: 1)
Membangun pasar hipotetik Pasar hipotesik dibentuk atas dasar pencemaran yang terjadi akibat
pembuangan limbah cair sarung tenun tanpa melalui proses pengolahan di Desa Wanarejan Utara. Pencemaran yang terjadi berupa pencemaran sumber air (air sungai, dan air tanah). Pihak pabrik akan memberlakukan pemberian dana kompensasi terhadap masyarakat disekitar kawasan industri. Kompensasi diperlukan karena masyarakat memiliki hak untuk dapat memanfaatkan air tanah (sumur) mereka tanpa tercemar. Pemberian dana kompensasi ini sebagai pertanggung jawaban pihak pencemar atas penurunan kualitas lingkungan di Desa Wanarejan Utara. Pasar hipotetik yang ditawarkan dibentuk dalam skenario sebagai berikut: Industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara menghasilkan limbah cair yang dibuang langsung ke lingkungan tanpa melalui proses pengolahan, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat berupa pencemaran sumber air. Pihak industri akan memberlakukan pemberian dana kompensasi dengan tujuan mengurangi kerugian masyarakat akibat pencemaran. Besarnya dana kompensasi akan ditanyakan langsung kepada masyarakat Wanarejan Utara. Besarnya dana kompensasi berkisar Rp50.000 – Rp300.000/KK/bulan. Harga Rp50.000 diperoleh dari harga biaya berobat, sedangkan harga Rp300.000 diperoleh dari penggunaan air PDAM Kabupaten Pemalang.
32 Melalui skenario di atas, maka responden akan mengetahui gambaran terkait kondisi hipotetik adanya rencana upaya dari pihak pencemar untuk mengatasi pencemaran yang terjadi. 2)
Memperoleh besarnya nilai penawaran WTA Metode yang dipilih dalam penelitian ini untuk memperoleh nilai tawaran
adalah bidding game. Metode ini diterapkan dengan melakukan penawaran, dimulai pada penawaran maksimal yaitu pada penelitian ini sebesar Rp300.000 hingga angka minimum yang mau diterima oleh responden. 3)
Menghitung dugaan nilai rataan WTA (EWTA) Nilai EWTA dapat diduga dengan penjumlahan dari keseluruhan nilai WTA
dibagi jumlah responden . Dugaan rataan WTA dihitung dengan rumus (Hanley dan Spash 1993) ∑
...................................................................................(1)
Keterangan: EWTA
= dugaan nilai rataan WTA (Rp)
Wi
= nilai WTA ke-i
n
= jumlah responden
i
= reponden ke-i yang bersedia menerima (i = 1, 2, 3, ......, n)
4)
Menduga kurva penawaran WTA Kurva penawaran WTA responden dibentuk menggunakan jumlah
kumulatif dari jumlah individu yang bersedia memilih suatu nilai WTA tertentu. Asumsi cara ini adalah jumlah kumulatif akan semakin besar sejalan dengan meningkatnya nilai WTA. 5)
Menjumlahkan data Penjumlahan data adalah proses dimana penawaran rata-rata (nilai tengah)
penawaran dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Nilai total WTA dari masyarakat diduga dengan menggunakan rumus: TWTA = ∑
.......................................................................(2)
33
Keterangan : TWTA
= Total WTA (Rp)
EWTAi
= Dugaan rataan WTA ke-i (Rp)
P
= jumlah populasi (orang)
i
= responden ke- i (i= 1,2,3,......n)
6)
Evaluasi pelaksanaan CVM Tahap ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan
dalam pengaplikasian CVM. Pelaksanaan model CVM dapat dievaluasi dengan melihat tingkat keandalan (realiability) fungsi WTA dengan melihat nilai RSquare dari model regresi berganda WTA. Menurut Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan minimal nilai adjusted R2 adalah 15% 4.4.4 Analisis fungsi willingnes to accept (WTA) Analisis
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
variabel-variabel
yang
mempengaruhi WTA masyarakat Desa Wanarejan Utara. Masyarakat perlu mendapatakan kompensasi dari pihak industri karena aktivitas industri sarung tenun menimbulkan biaya kerugian yang harus ditanggung masyarakat sekitar. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi besarnya WTA adalah jenis kelamin, usia, pendidikan, pendidikan, pendapatan, jarak tempat tinggal, jumlah tanggungan, lama tinggal, kerugian pencemaran sumberdaya air, serta upaya mengatasi pencemaran. Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini didapat dari jurnal-jurnal dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan WTA. Pada awalnya analisis WTA pada penelitian ini menggunakan fungsi linear berganda yang diestimasi menggunakan metode Ordinari Least Square (OLS). Model awal pada penelitian ini adalah: WTA = β0 + β1 JK + β2 UR + β3 PNDK + β4 PNDP + β5 JTT + β6 JTK + β7 LT + β8 DPA + β9 DMP...........................................................................(3) Penggunaan model regresi linear berganda pada penelitian ini memiliki kelemahan yaitu pada saat data diolah sebaran data tidak menyebar normal dikarenakan perbedaan signifikansi yang besar antara observasi yang benilai besar
34 dengan observasi yang bernilai kecil. Menurut Gujarati (2003), Untuk mempermudah interpretasi serta mengurangi perbedaan signifikan antara observasi yang bernilai besar dengan observasi yang bernilai kecil sehingga membuat data tersebut tetap terdistribusi normal maka model regresi linear berganda pada persamaan 3 ditransformasikan kedalam model double log, sehingga fungsi persamaan yang digunakan pada penelitian adalah sebagai berikut: LnWTAi = β0 + β1 JK + β2 LnUR + β3 LnPNDK + β4 LnPNDP + β5 LnJTT + β6 LnJTK +β7 LnLT + β8 DPA + β9 DMP .................................(4) Keterangan: Mid WTAi = nilai WTA responden β0
= konstanta
β 1 – β8
= koefisien regresi
JK
= Jenis kelamin (laki-laki = 0 ; perempuan = 1)
UR
= usia responden (tahun)
PNDK
= tingkat pendidikan (tahun)
PNDP
= pendapatan (rupiah/bulan)
JTT
= jarak tempat tinggal (meter)
JTK
= jumlah tanggungan keluarga (orang)
LT
= lama tinggal (tahun)
DPA
= dummy kerugian pencemaran sumber air (rugi = 1 ; tidak = 0)
DMP
= dummy upaya mengatasi pencemaran (ada = 1 ; tidak = 0)
Variabel jenis kelamin, dummy kerugian pencemaran sumber air, dan dummy mengatasi pencemaran tidak ditransformasikan menggunakan logaritma natural karena menggandung nilai nol. Menurut Nachrowi dan Usman (2006), model double log tidak dapat dibentuk dari data yang mempunyai nilai nol atau minus, karena ketika dilakukan transformasi kedalam bentuk logaritma maka nilai nol atau minus akan menjadi tak berhingga. Variabel yang diduga berbanding lurus dengan nilai WTA adalah variabel jenis kelamin,usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, lama tinggal, kerugian akibat pencemaran air, serta adanya upaya mengatasi pencemaran. Responden
35 laki-laki diduga memiliki WTA yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden perempuan karena responden laki-laki bertindak sebagai kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga cenderung lebih tegas dalam pengambilan keputusan dibandingkan responden perempuan. Tingginya tingkat pendidikan seseorang akan berbanding lurus dengan nilai kompensasi yang diinginkan responden. Hal ini karena responden yang berpendidikan tinggi akan menyadari akan seberapa besar kerugian yang ditanggung. Banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga pun akan mempengaruhi besarnya nilai kompensasi yang diinginkan responden. Semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin tinggi pula nilai kompensasi yang diinginkan. Pada variabel lama tinggal, adanya pencemaran membuat masyarakat dengan lama tinggal lebih lama merasa dirugikan. Kerugian ini timbul karena sebelumnya merasa dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia tanpa ada pencemaran. Hal ini yang diduga masyarakat yang lebih lama tinggal cenderung menginginkan nilai WTA yang lebih tinggi. Pada variabel usia semakin tinggi usia responden, maka semakin paham akan kerugian yang diterima akibat penurunan kualitas lingkungan di Desa Wanarejan Utara. Variabel ada atau tidaknya kerugian yang dirasakan responden, ketika responden merasa dirugikan (bernilai 1) maka nilai WTA yng diinginkan diduga akan semakin besar. Variabel dummy adanya upaya mengatasi pencemaran diduga berbanding lurus, karena masyarakat yang telah melakukan upaya mengatasi mencemaran merasa kerugian yang dirasakan semakin besar karena adanya upata mengatasi, sehingga mengharapkan nilai WTA yang semakin besar pula. Variabel yang diduga berpengaruh negatif atau berbanding terbalik dengan besarnya nilai WTA adalah pendapatan dan jarak tempat tinggal. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka nilai WTA akan semakin rendah, karena responden merasa berkecukupan untuk menanggung biaya pencemaran sendiri. Pada jarak tempat tinggal berpengaruh negatif, karena semakin dekat dengan lokasi pabrik maka semakin banyak dampak yang dirasakan oleh responden sehingga nilai kompensasi akan semakin tinggi dibandingkan dengan tempat tingal yang lokasinya lebih jauh dari kawasan industri.
36
V GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran umum lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wanarejan Utara yang
terletak di
Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah 335,122 hektar yang terdiri dari 7 Rukun Warga (RW) dan 30 Rukun Tetangga (RT). Jarak tempuh dari Desa Wanarejan Utara ke pusat ibu kota Kabupaten adalah 3 km, dan dari ibu kota Kecamatan adalah 1 km. Desa Wanarejan Utara terletak pada ketinggian 7 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.788 mm/tahun dan temperatur rata-rata 26 0C. Adapun batas-batas wilayah desa Wanarejan Utara sebagai berikut: sebelah Utara
: Desa Danasari
sebelah Timur
: Desa Beji
sebelah Selatan
: Desa Wanarejan Selatan
sebelah Barat
: Desa Mulyoharjo
Berdasarkan laporan tahunan Kelurahan Desa Wanarejan Utara, hingga akhir tahun 2013 jumlah penduduk Desa Wanarejan Utara berjumlah 9.783 jiwa, dengan komposisi 4.900 jiwa laki-laki dan 4.883 jiwa perempuan dan memiliki 1.688 kepala keluarga (KK). Sebagian besar warga Desa Wanarejan Utara menganut agama islam yaitu sebanyak 9.725 orang (99,4%), penganut agama Katholik 43 orang (0,4%), dan penganut agama Budha 15 orang (0,15%). Mata pencaharian warga Desa Wanarejan Utara hingga akhir tahun 2013 sebagian besar adalah pedagang yaitu sebesar 3.372 orang atau sebesar 34,48%. Selanjutnya warga yang bekerja sebagai buruh industri sebanyak 2.538 atau sebesar 25,95%, sebagai petani sebanyak 605 orang atau sebesar 6,18%, sebagai buruh bangunan sebanyak 363 orang atau sebesar 3,71%, sebagai sopir angkutan dan nelayan berturut-turut adalah sebanyak 78 orang atau 0,79% dan 47 orang atau sebesar 0,48%. Sisanya sebanyak 2.780 orang atau sebesar 28,41% merupakan warga pensiunan, putus sekolah, dan sebagian tamatan sekolah yang masih mencari lowongan pekerjaan. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Wanarejan Utara 2013 dapat dilihat pada Tabel 4.
37
Tabel 4 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Wanarejan Utara Tahun 2013 Mata pencaharian Jumlah (orang) Pedagang 3.372 2.538 Buruh industri 605 Petani 363 Buruh bangunan 78 Sopir angkutan 47 Nelayan 2.780 Lain-lain Total 9.783 Sumber: Laporan tahunan Desa Wanarejan Utara (2013)
Persentase (%) 34,48 25,95 6,18 3,71 0,79 0,48 28,41 100
5.2 Kondisi Terkini Lokasi Penelitian Desa Wanarejan Utara merupakan sentra industri sarung tenun di Kabupaten Pemalang. Jumlah indutri saat ini adalah 169 unit usaha dengan hasil produksi delapan kodi per hari dan total limbah yang dihasilkan sebanyak 1.014 m3 (BPS 2013). Belum adanya Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) dan peraturan yang jelas mengenai pembuangan limbah membuat pihak industri membuang limbah hasil produksinya langsung ke lingkungan melalui saluran-saluran air milik warga. Limbah cair yang dibuang ke lingkungan berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran karena kandungan bahan kimia yang melebihi baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pencemaran yang ditimbulkan akibat adanya aktivitas industri sarung tenun ini adalah pencemaran air dan pencemaran udara. Pencemaran air disebabkan karena kandungan bahan kimia limbah cair yang meresap kedalam air tanah milik warga sekitar sehingga menurunkan kualitas air tanah. Pencemaran udara disebabkan adanya bau menyengat dari limbah cair hasil produksi. Selain penurunan kualitas air tanah, adanya pencemaran juga berdampak pada penurunan kesehatan masyarakat setempat. Dermatitis dan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) merupakan penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat sekitar kawasan industri. Adanya penurunan kualitas air dan penurunan kualitas kesehatan masyarakat setempat menimbulkan kerugian bagi masyarakat berupa pengeluaran biaya untuk kembali mendapatkan sumber air
38 bersih dan biaya berobat akibat penyakit yang ditimbulkan karena adanya pencemaran. 5.3 Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini merupakan warga sekitar kawasan industri sarung tenun di Desa Wanarejan Utara yang berjarak antara ≤100 meter sampai >500 meter dari kawasan tersebut. Karakteristik responden yang diperhatikan meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jarak tempat tinggal, dan lama tinggal. 5.3.1 Jenis kelamin dan usia Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 95 orang yang terdiri dari 65 responden laki-laki atau sebesar 68,42% dan 30 responden perempuan atau sebesar 31,58 %. Responden laki-laki lebih banyak dibandingkan responden perempuan karena waktu pelaksanaan wawancara dilakukan bukan pada hari kerja atau pada saat sore hari, sehingga kepala keluarga mudah untuk ditemui. Responden paling banyak terdapat pada kelompok usia 41 sampai 50 tahun dengan jumlah responden sebanyak 39 orang atau sebesar 41,05 %. Persentase umur dan jenis kelamin responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Usia dan jenis kelamin responden Usia (tahun) Jumlah responden (orang) 20 – 30 8 30 – 40 23 40 – 50 39 50 – 60 24 > 60 1 Total 95 Jenis kelamin Jumlah responden (orang) Laki-laki 65 Perempuan 30 Total 95 Sumber: Data primer, diolah (2014)
Persentase (%) 8,42 24,22 41,05 25,26 1,05 100 Persentase (%) 68,42 31,58 100
5.3.2 Tingkat pendapatan keluarga Tingkat pendapatan keluarga responden per bulan cenderung mempengaruhi kesediaan menerima masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun di Desa Wanarejan Utara. Tingkat pendapatan responden pada penelitian ini sangat bervariasi. Sebaran terbanyak ada pada kisaran tingkat pendapatan Rp1.000.000
39 sampai dengan Rp2.000.000 per bulan sebanyak 63 orang atau sebesar 53,33%. Responden dengan kisaran tingkat pendapatan kurang dari Rp1.000.000 sebanyak 23 orang atau sebesar 24,21%, pada kisaran pendapatan Rp2.000.001 sampai dengan Rp3.000.000 sebanyak 5 orang atau sebesar 5,26%, dan pada kisaran pendapatan lebih dari Rp3.000.000 sebanyak 4 orang atau sebesar 4,21%. Distribusi tingkat pendapatan keluarga responden per bulan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Tingkat pendapatan keluarga responden per bulan Tingkat pendapatan
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
< Rp1.000.000
23
24,21
Rp1.000.000- Rp2.000.000
63
66,32
Rp2.000.001 - Rp3.000.000
5
5,26
> Rp3.000.000
4
4,21
95
100
Total Sumber: Data primer, diolah (2014)
5.3.3 Lama pendidikan formal Tingkat pendidikan formal seseorang akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam pengambilan suatu keputusan. Pada penelitian ini, sebagian besar responden berpendidikan terakhir SD atau sederajat sebanyak 48 orang atau sebesar 50,53%. Responden yang tidak tamat SD sebanyak 2 orang atau sebesar 2.10%, responden yang menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SLTP yaitu sebanyak 26 orang atau sebesar 27,37, menyelesaikan hingga tingkat SLTA sebanyak 15 orang atau 15,79%, dan hanya 4 orang atau sebanyak 4,21% yang menyelesaikan hingga ketingkat perguruan tinggi. Distribusi tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Tingkat pendidikan responden Tingkat pendidikan Tidak tamat SD SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi Total Sumber: Data primer, diolah (2014)
Jumlah responden (orang)
Persentase (%) 2 48 26 15 4 95
2,10 50,53 27,37 15,79 4,21 100
40 5.3.4 Jumlah tanggungan keluarga Jumlah tanggungan keluarga responden pada penelitian ini sangat bervariasi dari satu sampai empat orang dalam suatu rumah tangga. Jumlah tanggungan keluarga ini mempengaruhi alokasi pendapatan yang harus ditanggung oleh kepala keluarga. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin tinggi pula alokasi pendapatan yang harus dikeluarkan oleh kepala keluarga sehingga memiliki kecenderungan mempengaruhi nilai WTA. Distribusi jumlah anggota keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah tanggungan keluarga responden Jumlah tanggungan keluarga (orang)
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
1
5
5,26
2
38
40
3
38
40
4
14
14,74
Total
95
100
Sumber: Data primer, diolah (2014)
5.3.5 Jenis pekerjaan Jenis pekerjaan responden di Desa Wanarejan Utara bervariasi. Sebagian besar responden bekerja sebagai wiraswasta dan buruh yaitu berturut-turut sebanyak 45 orang 33 orang. Responden yang bekerja sebagai petani sebanyak 7 orang atau sebesar 7,37%, sebagai pegawai swasta sebanyal 4 orang atau sebesar 4,22%, PNS sebanyak 2 orang atau sebesar 2,1%, guru sebanyak 2 orang atau sebesar 2,1%, dan sopir sebanyak 2 orang atau 2,1%. Distribusi jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jenis pekerjaan responden Jenis pekerjaan Wiraswasta Buruh Petani Pegawai swasta Guru Sopir PNS Total Sumber: Data primer, diolah (2014)
Jumlah responden (orang)
Persentase (%) 45 33 7 4 2 2 2 95
47,37 34,74 7,37 4,22 2,01 2,01 2,01 100
41 5.3.6 Status kepemilikan tempat tinggal Dalam penelitian ini status kepemilikan tempat tinggal dari semua responden adalah milik sendiri atau sebesar 100% tempat tinggal responden adalah milik sendiri. 5.3.7 Lama tinggal Lama tinggal di lokasi penelitian dapat mempengaruhi besarnya nilai WTA masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun. Semakin lama responden tinggal di lokasi tersebut maka kerugian dan dampak negatif yang dirasakan akibat pencemaran limbah cair sarung tenun akan semakin tinggi sehingga akan mempengaruhi besarnya nilai WTA. Lama tinggal responden di lokasi penelitian paling tinggi pada kisaran 45 sampai dengan 59 tahun yaitu sebanyak 45 orang atau sebesar 47,37%. Distribusi lama tinggal responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Lama tinggal responden di lokasi penelitian Lama tinggal (tahun)
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
< 15 15 – 29 30 – 44
2 9 38
2,11 9,47 40,00
44 – 59
45
47,37
1 95
1,05 100
>59 Total Sumber: Data primer, diolah (2014)
5.2.8 Sebaran tempat tinggal Responden pada penelitian ini merupakan warga dari RW 03 yang tersebar di dua RT yaitu RT 13 dan RT 14 dimana jaraknya kurang dari 100 meter dari wilayah industri. RW 04 yang tersebar di RT 08, RT 09, RT 10 yang jaraknya 101 sampai dengan 500 meter dari wilayah industri, serta RW 01 yang terdiri dari RT 01, RT 02, RT 03 yang jaraknya lebih dari 500 meter dari wilayah industri. Wilayah yang dipilih merupakan tempat yang berbatasan dengan wilayah industri. Distribusi sebaran tempat tinggal responden dapat dilihat pada Tabel 11.
42 Tabel 11 Sebaran tempat tinggal responden Jarak tempat tinggal (meter)
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)
≤ 100
35
36,84
101-500
30
31,58
> 500
30
31,58
Total
95
100
Sumber: Data primer, diolah (2014)
43
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Dampak negatif yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas industri sarung tenun Ada dua dampak yang diberikan akibat adanya aktivitas suatu industri yaitu berupa manfaat dan kerugian. Manfaat yang diperoleh dari adanya suatu industri yaitu terciptanya lapangan pekerjaan sehingga mengurangi angka pengangguran. Namun, disisi lain kerugian yang dirasakan masyarakat sekitar kawasan industri juga tidak dapat dihindarkan jika dalam pengolahan hasil sisa produksi berupa limbah tidak diolah dengan baik. Salah satu industri yang memiliki maanfaat dan kerugian adalah industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten pemalang. 6.1.1 Aktivitas industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara Industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara merupakan sentra industri sarung tenun di Kabupaten Pemalang. Dalam proses penenunan industri ini menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang setiap harinya bisa menghasilkan satu sampai dua sarung tenun per alat tenun. Rata-rata setiap industri memiliki ATBM sebanyak 30 sampai 90 ATBM. Hasil produksi sarung tenun Desa Wanarejan Utara dipasarkan ke berbagai daerah di Jawa tengah bahkan sampai di ekspor ke luar negeri. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi sarung tenun menggunakan benang wol, air, dan bahan pewarna tekstil. Air dibutuhkan dalam proses pencelupan dan proses pewarnaan. Pada proses pencelupan memerlukan suhu tinggi (diatas 100o C) agar penyerapan warna menjadi lebih sempurna. Menurut BPS Kabupaten Pemalang tahun 2013 jumlah industri sarung tenun di Desa Wanarejan Utara sebanyak 169 industri yang setiap industri menghasilkan sarung tenun sebanyak delapan kodi per hari dengan total limbah yang dihasilkan 1.014 m3 per hari. Belum adanya IPAL menjadi salah satu faktor pengrajin sarung tenun membuang limbah hasil produksinya langsung ke lingkungan. Kandungan bahan kimia dari limbah menyebabkan terjadinya pencemaran di Desa Wanarejan Utara terutama pencemaran air tanah dan udara. Berdasarkan Tabel 2 hasil analisis limbah cair sarung tenun Desa Wanarejan Utara sebagian besar parameter berupa
44 suhu, pH, TSS, BOD, COD, fenol, amonia, dan sulfida melebihi baku mutu yang telah ditetapkan pada Peraturan Daerah provinsi Jawa Tengahn No. 10 Tahun 2004. Hal ini menggambarkan bahwa air limbah hasil produksi sarung tenun sangat berbahaya jika tidak diolah terlebih dahulu dalam pembuangannya. Pencemaran yang terjadi di Desa Wanarejan Utara menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar kawasan industri. Kerugian yang dialami masyarakat diestimasi dengan menggunakan dua metode yaitu biaya pengganti (replacement cost) dan biaya pengobatan (cost of illness). Biaya pengganti yang dihitung yaitu biaya yang dikeluarkan untuk kembali mendapatkan air bersih setelah air yang biasa mereka gunakan tercemar, baik untuk konsumsi, maupun untuk mandi, cuci, kakus (MCK). Biaya pengobatan yaitu biaya yang dikeluarkan karena terjadinya gangguan kesehatan akibat pencemaran air dan udara. 6.1.2 Keadaan masyarakat akibat pencemaran Keberadaan industri sarung tenun di Desa Wanarejan Utara tidak hanya menyebabkan kerugian atas penurunan kualitas air tanah, tetapi juga berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar kawasan industri. Sebagian besar masyarakat yang mengalami penurunan kualitas kesehatannya adalah masyarakat yang tinggal tidak jauh dari kawasan industri dan masyarakat yang masih menggunakan air tanah untuk kebutuhan MCK. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah gatal-gatal (dermatitis) dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kondisi ini menjelaskan bahwa pencemaran air dan udara yang diakibatkan dari keberadaan industri berdampak langsung pada kesehatan masyarakat setempat. ISPA menunjukan adanya pencemaran udara yang disebabkan dari asap dan bau menyengat yang dihasilkan dari proses pencelupan. Dermatitis atau gatalgatal yang sebagian besar diderita oleh responden yang masih menggunakan air tanah untuk MCK menunjukan adanya pencemaran air. 6.1.3 Kondisi air tanah sebelum dan sesudah industri sarung tenun beroperasi Kerajinan tenun ikat ATBM di Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang sudah ada sejak tahun 1930-an. Namun, kerajinan ini belum berkembang baik karena terkendala modal dan permasalahan krisis ekonomi. Pada
45 tahun 1996 kerajian ini mulai berkembang pesat hingga saat ini. Di sisi lain berkembangnya kerajinan ini juga berdampak negatif terhadap masyarakat sekitar kawasan industri. Dampak negatif yang dirasakan masyarakat adalah timbulnya pencemaran akibat limbah sarung tenun berupa pencemaran sumber air dan pencemaran udara. Pada tahun 2002 pencemaran mulai dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan industri. Warga mengeluhkan bahwa air tanah mereka mulai tercemar dan menimbulkan aroma yang tidak sedap2, padahal sebelum industri sarung tenun ini beroperasi kondisi air tanah warga adalah jernih, tidak berbau, dan tidak berwarna. Pada saat dilakukan penelitian yaitu pada tahun 2014 sebagian besar masyarakat Desa Wanarejan Utara telah beralih menggunakan sumber air PDAM untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan data BPS kabupaten Pemalang tahun 2013 Dari 1.688 KK di Desa Wanarejan Utara sebanyak 1.022 KK atau sebesar 60,54% telah berlangganan PDAM. Berdasarkan hasil survei kepada 95 KK yang terbagi menjadi tiga wilayah, eksternalitas negatif yang paling dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan industri adalah perubahan kualitas air tanah. Sebesar 100% responden menyatakan bahwa pencemaran air tanah merupakan eksternalitas yang paling dirasakan bahkan dinilai sangat merugikan akibat aktivitas industri sarung tenun. Responden menyatakan bahwa pencemaran air tanah yang terjadi diakibatkan belum adanya IPAL, sehingga industri mengalirkan limbah cair hasil produksi ke lingkungan atau ke saluran air sekitar warga. Kondisi air tanah di Desa Wanarejan Utara dikelompokan menjadi empat kategori yang masing-masing kategori memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Tabel 12 menjelaskan kategori air tanah masyarakat desa Wanarejan Utara.
2
http://www.suaramerdeka.com/2002/22/05/ratusan-sumur-warga-tercemar-limbah-sarungtenun/ diakses tanggal 16 Desember 2014
46 Tabel 12 Kategori air tanah masyarakat Desa Wanarejan Utara Kategori
Kondisi
I
Air keruh, berbau, dan berwarna
II
Air keruh, berbau, namun tidak berwarna
III
Air keruh, tidak berbau, dan tidak berwarna
IV
Air jernih, tidak berbau, tidak berwarna
kategori pertama yaitu kondisi air keruh, berbau, dan berwarna. Kondisi kedua yaitu air keruh, berbau, namun tidak memiliki warna. Kondisi ketiga keruh, tidak berbau, dan tidak berwarna, sedangkan kondisi keempat air jernih, tidak berbau, dan tidak berwarna. Pada wilayah satu (≤ 100 meter) dengan responden sebanyak 35 orang, seluruh responden merasa bahwa kualitas air tanah yang berada di lingkungan mereka sudah tidak layak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau berada pada kategori I. Pada wilayah dua (101-500 meter) dengan responden sebanyak 30 orang, sebanyak 27 kepala keluarga menyatakan bahwa kondisi air tanahnya berada pada kategori I, sedangkan tiga kepala keluarga lainnya menyatakan bahwa kondisi air tanahnya berada pada kategori II. Pada wilayah tiga (> 500 meter) dengan jumlah responden 30 KK sebanyak 11 responden menyatakan bahwa kondisi air tanahnya berada pada kategori I, 12 responden menyatakan kondisi air tanahnya berada pada kategori II, dan 7 responden lainnya menyatakan kondisi air tanahnya berada pada kondisi III. Persentase persepsi responden wilayah I, II, dan III dapat dilihat pada Tabel 13.
47 Tabel 13 Persentase persepsi responden terhadap kualitas air tanah. Wilayah
Kategori I II I III IV I II II III IV I II III III IV Sumber: Data primer, diolah (2014)
Jumlah responden (orang)
Persentase (%) 35 0 0 0 27 3 0 0 11 12 7 0
100 0 0 0 90 10 0 0 36,67 40 23,33 0
Berdasarkan tabel 13 kondisi air tanah pada setiap wilayah berbeda-beda. Semakin jauh tempat tinggal responden dengan kawasan industri kondisi air tanahnya semakin membaik. Kondisi terparah terjadi pada wilayah I dimana seluruh responden menyatakan kondisi air tanahnya berada pada kategori I yaitu air keruh, berbau, dan berwarna. 6.1.4 Sumber dan volume air yang digunakan responden untuk kebutuhan sehari-hari Kualitas air tanah warga yang tercemar akibat keberadaan industri mendorong masyarakat untuk mencari sumber air baru untuk keperluan seharihari seperti konsumsi dan MCK. Hal ini menjelaskan adanya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mendapatkan sumber air bersih baru. Tanpa adanya pencemaran, masyarakat mendapatkan sumber air bersih secara gratis dari air sumur masing-masing, Ada tiga sumber air yang dimanfaatkan masyarakat sekitar kawasan industri yaitu air PDAM, air dari pedagang keliling (vendor-water), dan air tanah. Pada wilayah satu (jarak ≤ 100 m) dari kawasan industri seluruh responden yaitu sebanyak 35 responden beralih menggunakan air PDAM. Responden beralih menggunakan air PDAM karena merasa air tanahnya sudah tidak layak untuk dikonsumsi lagi dan didukung dengan kemampuan ekonomi masyarakat yang mampu untuk berlangganan PDAM. Pada wilayah II sebanyak 21 responden menggunakaan air PDAM dan 9 sisanya masih penggunakan air tanah. Pada
48 wilayah III 20 responden menggunakan air PDAM dan 10 sisanya masih menggunakan air tanah. Responden yang masih memanfaatkan air tanah menyadari bahwa air tanahnya sudah tercemar namun karena ketidakmampuan ekonomi mereka terpaksa menggunakan air tanah tersebut untuk keperluan mandi, cuci, kakus, dan untuk keperluan konsumsi mereka membeli air yang dijual oleh pedagang air keliling (vendor-water). Sumber dan volume penggunaan air untuk keperluan sehari-hari dari responden dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sumber dan volume penggunaan air oleh responden Wilayah
Sumber air
Jumlah responden (orang)
Rata-rata volume
Persentase
penggunaan air
(%)
3
(m /bulan) PDAM I
35
21,5
100
Vendor-water
0
0
0
Air tanah
0
0
0
21
19,15
51,10
Air tanah
9
16,38
43,70
Vendor-water
9
1,95
5,20
PDAM
20
19,33
50,72
Air tanah
10
16,78
44,03
Vendor-water
10
2
5,25
PDAM II
III
Sumber: Data primer, diolah (2014)
Berdasarkan Tabel 14 sumber air responden bervariasi antara wilayah I, II, dan wilayah III. Sebagian besar sumber air yang digunakan responden adalah PDAM. Responden pada wilayah I seluruhnya telah beralih menggunakan air PDAM. Kondisi air tanah pada wilayah I lebih parah jika dibandingkan dengan wilayah II dan III. Hal ini dikarenakan jarak tempat tinggal responden pada wilayah I dekat dengan kawasan industri sehingga kondisi air tanahnya sudah tidak layak konsumsi dan beralih menggunakan air PDAM seluruhnya. Pada wilayah I responden sudah beralih menggunakan sumber air PDAM dengan rata-rata volume air yang digunakan sebanyak 21,5 m3 atau sebesar 100% dari total penggunaan air per bulan untuk kebutuhan MCK dan konsumsi. Pada wilayah II dan wilayah III sumber air responden terbagi menjadi dua yaitu responden yang hanya menggunakan air PDAM dan responden yang masih
49 menggunakan air tanah untuk keperluan MCK dan vendor-water untuk keperluan konsumsi. Pada wilayah II sebanyak 21 responden sudah sepenuhnya menggunakan PDAM dengan rata-rata volume air yang digunakan sebanyak 19,15 m3 atau sebesar 51,10% dari total penggunaan air, sedangkan 9 sisanya masih menggunakan air tanah untuk kebutuhan MCK dan untuk keperluan konsumsi menggunakan vendor-water. Rata-rata air tanah dan vendor-water yang digunakan oleh responden pada wilayah II sebesar 16,38 m3 atau sebesar 43,70% dan 1,95 m3 atau sebesar 5,20%. Pada wilayah III sebanyak 20 responden menggunakan PDAM dengan rata-rata volume air yang digunakan sebanyak 19,33 m3 atau sebesar 50,72% dari total penggunaan air. 10 responden lainnya menggunakan air tanah untuk MCK dan untuk keperluan konsumsi menggunakan vendor water. Rata-rata air tanah dan vendor water yang digunakan oleh responden pada wilayah III sebesar 16,78 m3atau sebesar 44,03% dan 2 m3 atau sebesar 5,25%.
6.2 Estimasi biaya kerugian masyarakat akibat pencemaran limbah cair sarung tenun Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat sekitar kawasan industri terdiri dari dua aspek yaitu biaya yang dikeluarkan responden untuk mendapatkan air bersih dan biaya yang dikeluarkan responden untuk berobat akibat penyakit yang ditimbulkan karena adanya pencemaran. Perhitungan biaya kerugian yang ditanggung masyarakat akan dinilai dengan mengetahui rataan dari tiap aspek, kemudian kedua aspek tersebut dijumlahkan, sehingga akan diperoleh nilai kerugian tiap KK perbulan. 6.2.1 Biaya pengeluaran untuk mendapatkan air bersih Berdasarkan hasil survei kepada 95 responden keseluruhan responden pada awalnya memanfaatkan air tanah sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebelum industri sarung tenun beroperasi. Responden menyatakan bahwa sebelum industri sarung tenun beroperasi kondisi air tanah dalam kondisi baik dan belum tercemar. Kondisi air tanah masih banyak digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti konsumsi, mandi, cuci, dan kakus. Namun setelah
50 industri sarung tenun beroperasi bertahun-tahun kualitas air tanah mengalami penurunan dan sebagian responden beralih menggunakan air PDAM. Terjadinya pencemaran sumberdaya air menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar kawasan industri. Kerugian yang ditanggung oleh responden yang masih memanfaatkan air tanah diestimasi dari biaya yang dikeluarkan responden untuk membeli vendor-water dan biaya pembayaran listrik yang digunakan untuk mendapatkan air tanah yang lebih bersih dengan menggunakan jet pump. Biaya kerugian yang ditanggung oleh responden yang menggunakan air PDAM diestimasi dengan biaya yang dikeluarkan perbulan untuk membayar air. Tindakan yang dilakukan oleh responden untuk mengganti sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari merupakan replacemet cost. Hasil survei menunjukan pada wilayah I semua responden menggunakaan air PDAM untuk kebutuhan sehari-hari baik untuk MCK ataupun untuk konsumsi. Untuk keperluan konsumsi responden biasanya merebus air PDAM tersebut sehingga dapat untuk dikonsumsi. Pada wilayah II dan wilayah III responden yang masih memanfaatkan air tanah untuk MCK mereka menggunakan vendor-water untuk keperluan konsumsinya. Tabel 15 menjelaskan sumber dan biaya pengeluaran pembelian air bersih oleh responden. Tabel 15 Sumber dan biaya penggunaan air bersih oleh responden Wilayah
Sumber air
Jumlah
Rata-rata biaya
Total biaya
responden
pembelian air
(Rp/bulan)
(Rp/KK/bulan) PDAM I
35
74.308
2.600.800
0
0
0
0
−
−
PDAM
21
71.579
1.503.160
Air tanah
9
2.039
18.353
9
27.556
248.000
PDAM
20
61.290
1.225.800
Air tanah
10
2.085
20.850
10
23.200
232.000
Air tanah Water vendor
II Water vendor
III Water vendor Sumber: Data primer, diolah (2014)
51 Total biaya yang dikeluarkan responden pada wilayah I lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah II dan wilayah III. Jarak tempat tinggal responden wilayah I yang dekat dengan kawasan industri (≤100 meter) membuat kondisi air tanah responden tidak layak konsumsi dan keseluruhan responden beralih menggunakan PDAM. Hal ini menyebabkan kerugian yang ditanggung responden pada wilayah I lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah II, dan wilayah III yang sebagian masih memanfaatkan air tanah untuk keperluan MCK sehingga tidak mengeluarkan biaya. Biaya rata-rata yang dikeluarkan responden pada wilayah I untuk pembelian air PDAM sebesar Rp74.308 per bulan. Pada wilayah II sebanyak 21 responden mengeluarkan biaya untuk keperluan konsumsi dan MCK dengan memanfaatkan air PDAM, sedangkan 9 lainnya mengeluarkan biaya untuk konsumsi vendorwater dan biaya pengambilan air tanah yang lebih bersih dengan jet pump. Ratarata biaya yang dikeluarkan oleh responden yang menggunakan PDAM adalah sebesar sebesar Rp71.579, rata-rata responden yang menggunakan vendor-water adalah Rp27.556, dan menggunakan air tanah sebesar Rp2.039. Pada wilayah III sebanyak 20 responden mengeluarkan biaya untuk keperluan konsumsi dan MCK dengan memanfaatkan air PDAM, sedangkan 10 lainnya mengeluarkan biaya untuk konsumsi dengan memanfaatkan vendor-water dan biaya pengambilan air tanah yang lebih bersih dengan jet pump. Rata-rata biaya yang dikeluarkan responden yang menggunakan air PDAM adalah Rp61.290, rata-rata biaya yang dikeluarkan responden yang memanfaatkan vendor-water adalah Rp23.200, dan menggunakan air tanah sebesar Rp2.085. Total rata-rata kerugian tiap KK dari biaya yang dikeluarkan untuk penggantian sumber air bersih adalah sebesar Rp61.568 per bulan diperoleh dari penjumlahan total biaya yang dikeluarkan setiap wilayah dibagi dengan 95 responden. 6.2.2 Biaya berobat Data biaya berobat diperoleh dari hasil wawancara kepada 95 responden yang anggota keluarganya atau responden itu sendiri merasakan sakit akibat pencemaran yang ditimbulkan limbah cair sarung tenun. Penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat sekitar kawasan industri adalah gatal-gatal (dermatitis)
52 dan ISPA. Berdasarkan hasil penelitian penyakit yang diderita oleh responden adalah murni penyakit yang ditimbulkan akibat adanya pencemaran, bukan penyakit turunan. Hal ini dibuktikan dengan menanyakan langsung kepada responden tentang riwayat kesehatan keluarga responden. Pada wilayah I sebanyak 5 orang mengalami gatal-gatal dan 8 orang mengalami gangguan pernapasan. Walaupun pada wilayah I seluruh responden telah beralih menggunakan air PDAM untuk kebutuhan sehari-hari, namun beberapa responden yang terkena penyakit gatal-gatal menyatakan bahwa sebelum beralih ke PDAM sudah terkena penyakit gatal-gatal. Penyakit gatal-gatal ini membaik ketika beralih menggunakan sumber air PDAM untuk MCK, tetapi penyakit ini sering kali kambuh untuk selang waktu dua sampai tiga bulan sekali. Penyakit ISPA yang diderita responden disebabkan karena asap yang keluar dan bau menyengat yang ditimbulkan pada saat proses pencelupan. Pada wilayah II dan wilayah III jumlah responden yang mengalami gangguan kulit (gatal-gatal) sebanyak 12 orang dan 9 orang. Hal ini dikarenakan masih banyak responden pada wilayah II dan III yang masih memanfaatkan air tanah yang tercemar untuk keperluan MCK. Tabel 16 menunjukan biaya berobat yang dikeluarkan responden akibat pencemaran. Tabel 16. Biaya berobat yang dikeluarkan responden Wilayah
Gangguan
Jumlah
Rata-rata biaya
Total biaya
responden yang
pengobatan
(Rp/bulan)
terkena gangguan
(Rp/KK/bulan)
(orang)
I
II
III
ISPA
8
162.142
1.135.000
Dermatitis
6
46.200
241.000
ISPA
0
_
_
12
47.222
425.000
ISPA
0
_
_
Dermatitis
9
49.375
345.000
Dermatitis
Sumber: Data primer, diolah (2014)
Berdasarkan tabel 16 jumlah kerugian terbesar yang dialami responden akibat menderita dermatitis dan gangguan pernapasan terjadi pada wilayah I yaitu sebesar Rp1.376.000 per bulan, dengan biaya rata-rata sebesar Rp210.342 per
53 bulan. Jumlah kerugian ini jauh lebih besar dibandingkan pada wilayah II dan wilayah III. Pada wilayah II jumlah kerugian sebesar Rp425.000 dengan rata-rata Rp47.222, sedangkan pada wilayah III jumlah kerugian yang dialami masyarakat sebesar Rp345.000 dengan rata-rata Rp49.375 per bulan. Perbedaan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh responden disebabkan karena pada wilayah I memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi sehingga responden pada wilayah I sebagian besar berobat ke rumah sakit. Berbeda dengan responden pada wilayah II dan III yang lebih memilih berobat ke PUSKESMAS atau bidan di Desa Wanarejan Utara yang biayanya lebih murah. Selain itu jarak tempat tinggal responden pada wilayah I yang dekat dengan kawasan industri menyebabkan responden lebih banyak merasakan dampak dari pencemaran yang mengganggu kesehatan akibat pencemaran air dan pencemaran udara. Total rata-rata kerugian tiap KK secara keseluruhan akibat adanya biaya yang dikeluarkan untuk berobat sebesar Rp51.829 per bulan diperoleh dari penjumlahan total biaya dibagi dengan jumlah responden yang terkena dampak yaitu 35 orang. 6.2.3 Rata-rata kerugian per wilayah akibat pencemaran oleh industri Akibat adanya pencemaran yang dihasilkan oleh pihak industri maka masyarakat sekitar kawasan industri harus menanggung biaya untuk mengatasi pencemaran tersebut. Berdasarkan hasil penelitian kerugian terbesar terjadi pada wilayah I dengan total rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp282.650. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh responden per wilayah dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rata-rata kerugian perwilayah akibat pencemaran Rata-rata biaya untuk
Rata-rata biaya
Total rata-rata
Jumlah
mendapatkan air bersih
pengobatan
biaya
responden
(Rp/KK/bulan)
(Rp/KK/bulan)
(Rp/bulan)
I
35
74.308
208.342
282.650
II
30
101.174
47.222
148.396
III
30
86.575
49.375
135.950
Wilayah
Sumber: Data primer, diolah (2014)
54 Berdasarkan Tabel 17 total rata-rata biaya yang dikeluarkan pada wilayah I, lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah II, dan wilayah III. Besarnya kerugian pada wilayah II juga lebih besar dari wilayah III hal ini menunjukan bahwa hipotesis penelitian ini terbukti bahwa semakin dekat jarak tempat tinggal responden maka kerugian yang ditanggung akan semakin besar. 6.2.3 Estimasi total biaya kerugian akibat pencemaran yang dihasilkan industri sarung tenun Pencemaran yang terjadi di Desa Wanarejan Utara menyebabkan kerugian yang harus diterima oleh masyarakat. Kerugian yang diterima masyarakat diestimasi dengan menghitung besar biaya yang dikeluarkan untuk kembali mendapatkan sumber air bersih (untuk konsumsi maupun MCK) dan menghitung besar biaya pengobatan atas gangguan kesehatan akibat pencemaran air dan pencemaran udara. Potensi biaya eksternal akibat aktivitas industri sarung tenun dapat dirasakan oleh masyarakat Desa Wanarejan Utara dengan jumlah KK sebanyak 1.688 KK. Estimasi total biaya eksternal masyarakat sekitar kawasan industri Desa Wanarejan Utara didapat dengan cara mengkalikan rata-rata biaya eksternal per komponen biaya dengan populasi KK di Desa Wanarejan Utara. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Total biaya kerugian akibat pencemaran industri sarung tenun Komponen biaya
Rata-rata biaya
eksternal
eksternal
Populasi (KK)
Total biaya eksternal (Rp/bulan)
(Rp/KK/bulan Biaya pengganti air
61.568
1.688
103.926.784
51.829
1.688
87.478.352
bersih Biaya berobat Total
191.405.136
Sumber: Data primer, diolah (2014)
Berdasarkan Tabel 18 total kerugian ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat sekitar kawasan industri sarung tenun adalah Rp191.405.136 per bulan. Hasil survei menyimpulkan total biaya eksternal untuk penggantian sumber air bersih lebih besar dibandingkan dengan total biaya eksternal untuk berobat. Hal ini dikarenakan limbah cair sarung tenun yang dialirkan langsung kelingkungan
tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu memiliki
55 pengaruh yang besar terhadap penurunan kualitas air tanah warga. Penurunan kualitas air tanah ini menyebabkan sebagian besar masyarakat beralih menggunakan sumber air lainnya seperti PDAM dan vendor-water.
6.3 Estimasi besarnya nilai dana kompensasi masyarakat dengan pendekatan metode contingent valuation method Teknik CVM didasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut (WTP). Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum (WTA) atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki (Fauzi 2006). Kompensasi diperlukan kerena sebenarnya masyarakat sekitar kawasan industri di Desa Wanarejan Utara memiliki hak untuk memanfaatkan air tanah/sumur mereka tanpa tercemar. Pada penelitian ini pihak industrilah yang mulai berkembang di daerah pemukiman masyarakat sehingga timbulnya penurunan kualitas lingkungan akibat berkembangnya industri di pemukiman warga berupa pencemaran air karena adanya hasil buangan limbah industri yang tidak diolah. Metode CVM digunakan untuk menganalisis kesediaan responden menerima kompensasi terhadap pencemaran air dan udara oleh pihak industri. Hasil dari pelaksanaan enam langkah CVM adalah sebagai berikut: 1)
Membangun pasar hipotetis Setiap responden diberikan informasi bahwa pihak industri akan
memberlakukan kebijakan pemberian dana kompensasi terhadap masyarakat di sekitar kawasan industri yang merasakan eksternalitas negatif. Dana kompensasi tersebut merupakan cerminan dari besarnya nilai kerugian yang dirasakan dan kesediaan menerima karena adanya penurunan kualitas lingkungan di sekitar kawasan industri. 2)
Memperoleh penawaran nilai WTA Besarnya nilai WTA diperoleh berdasarkan hasil wawancara kepada 95
responden dengan menggunakan metode bidding game. Metode ini diterapkan
56 dengan melakukan penawaran dimulai dari penawaran maksimal yaitu Rp300.000 hingga angka minimum yang mau diterima responden. Berdasarkan hasil perhitungan dari ketiga wilayah, responden yang berada pada wilayah satu memiliki rata-rata WTA paling tinggi yaitu sebesar Rp177.419 per KK per bulan. Hal ini dikarenakan wilayah satu berjarak lebih dekat dengan kawasan industri sehingga kerugian yang ditanggung lebih besar yang menyebabkan nilai WTA lebih besar dari wilayah yang lainnya. Perbandingan nilai WTA responden dari masing-masing wilayah dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Perbandingan nilai WTA responden masing-masing wilayah Wilayah
Jumlah
Total perbulan
responden (orang)
Rata-rata
(Rp)
perbulan (Rp)
I
31
5.500.000
177.419
II
30
3.775.000
125.833
III
30
3.850.000
128.333
Sumber: Data primer, diolah (2014)
3)
Menghitung dugaan nilai rataan WTA Dugaan nilai rataan WTA responden dihitung berdasarkan distribusi data
nilai WTA responden. Nilai rata-rata WTA responden diperoleh sebesar Rp136.813 per bulan per KK. Adapun distribusi nilai WTA responden dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Distribusi WTA responden Nilai WTA (Rp/KK/bula)
No 1 2 3 4 5 6 7
Fruekuensi (orang)
50000 75000 100000 125000 150000 175000 200000
Total Sumber: Data primer, diolah (2014)
Frekuensi relatif
Mean WTA (Rp)
Jumlah WTA (Rp/bulan)
9 7 17 7 21 10 20
0,10 0,08 0,19 0,08 0,23 0,11 0,22
4.945 5.769 18.681 9.615 34.615 19.230 43.956
450.000 525.000 1.700.000 875.000 3.150.000 1.750.000 4.000.000
91
1
136.813
12.450.000
57 Rata-rata WTA masyarakat Desa Wanarejan Utara sebesar Rp136.813 per bulan per KK. Bentuk kompensasi yang diharapkan responden berupa penyediaan alat penyaring air, penyediaan layanan kesehatan, dan dana kompensasi. Dana kompensasi yang diberikan kepada masyarakat sekitar akan digunakan masyarakat untuk keperluan pembelian air bersih , perbaikan kualitas lingkungan, dan untuk keperluan sehari-hari. Hasil penelitian terhadap masyarakat sekitar kawasan industri sarung tenun adalah sebagian besar masyarakat menginginkan untuk segera dipasang instalasi pengolahan limbah (IPAL) seperti yang telah direncanakan pihak industri dan pemerintah. Hal ini untuk menghindari terjadinya pencemaran yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat sekitar kawasan industri. 4)
Menduga bid curve Kurva lelang atau bid curve dibentuk berdasarkan nilai WTA responden
terhadap dana kompensasi yang diinginkan. Kurva ini menggambarkan hubungan tingkat WTA yang diinginkan dengan jumlah responden yang bersedia menerima pada tingkat WTA tersebut. Berdasarkan Hasil survei, maka nilai WTA dapat digolongkan menjadi tujuh kelompok seperti dijelaskan pada Tabel 21 dan menghasilkan kurva penawaran WTA yang dapat dilihat pada Gambar 3. Tabel 21 Besaran nilai WTA responden WTA (Rp/KK/bulan)
Frekuensi (orang)
Frekuensi kamulatif (orang)
50.000
9
9
75.000
7
16
100.000
17
33
125.000
7
40
150.000
21
61
175.000
10
71
200.000
20
91
Sumber: Data primer, diolah (2014)
58
WTA (Rp/KK/bulan)
250000 200000 150000
WTA (Rp/KK/bulan) Linear (WTA (Rp/KK/bulan))
100000 50000 0 0
20
40
60
80
100
Jumlah responden (orang)
Gambar 3 Dugaan kurva penawaran WTA
Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa kurva penawaran WTA memiliki slop positif yang artinya semakin tinggi nilai WTA maka semakin banyak responden yang bersedia menerima. 5)
Menentukan total WTA Penentuan total WTA diperoleh dari penjumlahan data dimana penawaran
rata-rata dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 19 diperoleh nilai rata-rata WTA responden adalah Rp136.813 sehingga total WTA masyarakat Desa Wanarejan Utara sebesar Rp230.940.344 per bulan diperoleh dari mengkalikan rata-rata WTA responden dengan jumlah populasi yaitu 1.688 KK. Nilai tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pihak industri dalam pengambilan keputusan untuk penyelesaian eksternalitas negatif. 6)
Evaluasi pelaksanaan CVM Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan diperoleh R2
sebesar 94,7%. Nilai 94,7% diartikan bahwa keragaman nilai WTA mampu dijelaskan oleh faktor-faktor yang ada di dalam model (Jenis kelamin, pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jarak tempat tinggal, usia responden, lama tinggal, ada tidaknya kerugian pencemaran air, dan ada tidaknya upaya mengatasi kerugian) sebesar 94,7% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Besarnya nilai R2 dapat dilihat pada Tabel 22.
59 Tabel 22 Hasil analisis nilai WTA responden Variabel bebas
Koefisien
P
VIF
Constant
15,1503
0,000
Jenis kelamin (JK)
0,04202
0,087
2,4
Usia responden (UR)
0,26817
0,000
7,0
Pendidikan (PNDK)
0,14531
0,001
2,1
Pendapatan (PNDP)
-0,39419
0,000
10,2
-0,111433
0,000
5,1
0,30783
0,000
6,8
0,26817
0,000
3,5
Upaya mengatasi (DMP)
0,1128
0,599
1,1
R-squares
94,7%
Adjusted R-Squares
94,1%
Jarak tempat tinggal (JTT) Jumlah
tanggungan
keluarga (JTK) Lama tinggal (LT)
Sumber: Data primer, diolah (2014) Keterangan : taraf nyata = 5%
Penelitian ini merupakan penelitian yang terkait dengan benda-benda lingkungan yang menurut (Mitchell dan Carson 1989) dapat mentolerir nilai R2 minimal 15%. Oleh karena itu hasil pelaksanaan CVM pada penelitian ini dapat diyakini kebenarannya. Berdasarkan hasil enam langkah pelaksanaan CVM besarnya nilai dana kompensasi masyarakat Desa Wanarejan Utara per bulan adalah Rp136.813 per KK per bulan dan total WTA masyarakat adalah Rp230.940.344
6.4 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya WTA dilakukan dengan menggunakan teknik regresi berganda model double log. Hal ini ditujukan untuk mempermudah interpretasi model. Penggunaan logaritma natural juga mengurangi perbedaan signifikan antara observasi yang bernilai besar dengan observasi yang bernilai kecil, sehingga membuat data tersebut tetap terdistribusi normal (Gujarati 2003) Terdapat sembilan variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel tak bebas WTA yaitu jenis kelamin, pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah
60 tanggungan, jarak tempat tinggal, usia responden, lama tinggal, ada tidaknya kerugian sumber air, serta ada tidaknya upaya mengatasi. Kerugian sumber air tidak dimasukan kedalam regresi karena seluruh responden merasakan kerugian sehingga datanya homogen. Jika dummy kerugian ini dimasukan dikhawatirkan akan timbul masalah multikolinieritas. Dengan menggunakan teknik regresi berganda model double log, delapan faktor-faktor tersebut dianalisis untuk menghasilkan variabel apa saja yang berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTA dan yang tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTA. Hasil analisis nilai WTA responden dapat dilihat pada Tabel 22. Berdasarkan pada Tabel 22, model yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: LnWTA= 15,1503 + 0,04202JK + 0,26075 lnUR + 0,14531 lnPNDK – 0,39419 lnPNDP – 0,111433 lnJTT + 0,30783 lnJTK + 0,26817 lnLT + 0,1128DMP Nilai R2 pada penelitian ini sebesar 94,7%. Nilai ini mengartikan bahwa keragaman WTA responden 94,7% dapat dijelaskan oleh model, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Model regresi berganda double log telah di uji dengan uji asumsi klasik yaitu uji normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Hasil uji asumsi dapat dilihat pada lampiran 2. Dari kedelapan variabel bebas yang berada pada model, diantaranya ada yang secara statistik berpengaruh secara nyata dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap besarnya nilai WTA responden. Variabel yang secara statistik berpengaruh nyata terhadap besarnya WTA adalah variabel usia, pendidikan, pendapatan, jarak tempat tinggal, jumlah tanggungan keluarga, dan lama tinggal, sedangkan variabel yang secara statistik tidak berpengaruh terhadap besarnya WTA adalah jenis kelamin dan upaya mengatasi pencemaran. Penjelasan variabel bebas tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Jenis kelamin Hipotesis jenis kelamin dalam penelitian ini adalah responden laki-laki
diduga memiliki nilai WTA yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden perempuan karena responden laki-laki bertindak sebagai kepala keluarga dalam
61 sebuah rumah tangga cenderung lebih tegas dalam pengambilan keputusan dibandingkan responden perempuan. Hasil dari regresi Jenis kelamin (JK) memiliki p-value 0,087 lebih besar dari taraf nyata 5% maka jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap WTA. Tidak ada perbedaan WTA antara laki-laki dan perempuan, hal ini disebabkan antara laki-laki dan perempuan yang menjadi responden seluruhnya memiliki matapencaharian yang cenderung memiliki bertanggung jawab untuk keluarga, sehingga pandangan terhadap besarnya nilai WTA cenderung sama. 2.
Usia responden (UR) Hipotesis usia diduga semakin tinggi usia responden, maka semakin paham
akan kerugian yang diterima akibat pencemaran di Desa Wanarejan Utara sehingga nilai WTA akan semakin tinggi. Berdasarkan hasil regresi UR memiliki p-value 0,000 lebih kecil dari taraf nyara 5% maka usia berpengaruh nyata terhadap nilai WTA. Besar koefisien variabel usia adalah 0,26705 artinya setiap peningkatan satu satuan usia (tahun) mampu meningkatkan WTA sebesar Rp0,2605. Hal ini disebabkan karena responden yang usianya lebih tua telah paham akan kerugian yang diterima akibat penurunan kualitas lingkungan. 3.
Tingkat pendidikan (PNDK) Hipotesis variabel tingkat pendidikan seseorang akan berbanding lurus
dengan nilai kompensasi yang diinginkan responden. Hal ini karena responden yang berpendidikan tinggi akan menyadari akan seberapa besar kerugian yang ditanggung. Pada hasil regresi Tingkat pendidikan (PNDK) memiliki p-value sebesar 0,001 lebih kecil dari taraf nyata 5% maka tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap nilai WTA. Besar koefisien pendidikan 0,14531 artinya setiap peningkatan satu satuan pendidikan (tahun) mampu meningkatkan WTA sebesar Rp0,14531 dengan asumsi cateris paribus. Hal ini dikarenakan responden dengan tingkat pendidikan yang tinggi merasa bahwa kerugian yang dialami cukup besar setelah melalui pertimbangan perhitungan, sehingga akan berdampak pada peningkatan nilai WTA yang diinginkan akibat pencemaran. 4.
Pendapatan (PNDP) Hipotesis variabel pendapatan diduga semakin tinggi pendapatan seseorang
maka nilai WTA akan semakin rendah, karena responden merasa berkecukupan
62 untuk menanggung biaya pencemaran sendiri. Hasil regresi pendapatan (PNDP) memiliki p-value 0,000 lebih kecil dari taraf nyata 5% maka pendapatan berpengaruh positif terhadap WTA. Besar koefisien variabel pendapatan adalah -0,39419, artinya setiap peningkatan satu satuan
pendapatan (Rp) mampu
menurunkan nilai WTA sebesar Rp0,39419 dengan asumsi variabel lain dianggap tetap (cateris paribus). Hasil ini sesuai dengan hipotesis, karena tingkat pendapatan keluarga yang tinggi mengindikasikan tingginya kemampuan finansial rumah tangga sehingga semakin tinggi pendapatan maka WTA akan semakin rendah. 5.
Jarak tempat tinggal (JTT) Variabel Jarak tempat diduga berpengaruh negatif, karena semakin dekat
dengan lokasi pabrik maka semakin banyak dampak yang dirasakan oleh responden sehingga nilai kompensasi akan semakin tinggi dibandingkan dengan tempat tingal yang lokasinya lebih jauh dari kawasan industri. Hasil regresi JTT memiliki p-value 0,000 lebih kecil dari taraf nyata 5% maka jarak tempat tinggal berpengaruh nyata terhadap WTA. Besar koefisien jarak tempat tinggal sebesar -0,111433 artinya setiap peningkatan satu satuan jarak tempat tinggal (meter) mampu menurunkan WTA sebesar 0,111433% dengan asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis dimana semakin jauh jarak tempat tinggal maka nilai WTA akan semakin rendah karena kerugian yang dialami responden yang jaraknya lebih jauh akan semakin rendah. 6.
Jumlah tanggungan keluarga (JTK) Banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga akan mempengaruhi
besarnya nilai kompensasi yang diinginkan responden. Semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin tinggi pula nilai kompensasi yang diinginkan. Hasil regresi menunjukan bahwa JTK memiliki p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf nyata 5% maka jumlah tanggungan berpengaruh nyata terhadap WTA. Besar koefisien jumlah tanggungan adalah 0,30783 artinya setiap peningkatan satu satuan jumlah tanggungan mampu meningkatkan WTA sebesar Rp0,30783 dengan asumsi cateris paribus. Peningkatan nilai WTA ini dapat disebabkan karena responden merasa peningkatan jumlah tanggungan akan berdampak
63 langsung terhadap biaya kebutuhan sehari-hari yang harus dikeluarkan, sehingga WTA yang diinginkan akan meningkat. 7.
Lama tinggal (LT) Hipotesis lama tinggal dalam penelitian ini adalah responden dengan lama
tinggal lebih lama maka nilai WTA responden akan semakin tinggi. adanya pencemaran membuat masyarakat dengan lama tinggal lebih lama merasa dirugikan. Kerugian ini timbul karena sebelumnya merasa dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia tanpa ada pencemaran. Hal ini yang diduga masyarakat yang lebih lama tinggal cenderung menginginkan nilai WTA yang lebih tinggi. Lama tinggal memiliki nilai p-value 0,000 lebih kecil dari taraf nyata 5% maka lama tinggal berpengaruh positif terhadap WTA. Besar koefisien 0,26817 artinya setiap peningkatan satu satuan lama tinggal (tahun) mampu meningkatkan WTA sebesar Rp0,26817 dengan asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa semakin lama responden tinggal disekitar kawasan industri maka kerugian yang ditanggung semakin besar yang berdampak pada nilai WTA yang tinggi. 8.
Upaya mengatasi pencemaran Upaya mengatasi diduga berbanding lurus dengan nilai WTA, karena
masyarakat yang telah melakukan upaya mengatasi mencemaran merasa kerugian yang dirasakan semakin besar, sehingga mengharapkan nilai WTA yang semakin besar pula. Upaya mengatasi memiliki nilai p-value 0,599 lebih besar dari taraf nyata 5% maka upaya mengatasi pencemaran tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WTA. Tidak ada perbedaan WTA antara responden yang sudah mengatasi pencemaran ataupun yang belum melakukan upaya mengatasi pencemaran. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden sudah melakukan upaya mengatasi pencemaran. Hanya beberapa responden saja yang belum melakukan upaya mengatasi pencemaran. Selain itu responden yang belum melakukan upaya mengatasi pencemaran sama merasakan dampak dari pencemaran limbah cair sarung tenun hanya saja tidak memiliki dana untuk upaya mengatasi pencemaran.
64
VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Simpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Tidak adanya Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) dan aturan mengenai pembuangan limbah membuat pihak industri membuang limbah cair hasil produksi dengan kandungan bahan kimia yang melebihi baku mutu yang ditetapkan langsung ke lingkungan, sehingga menyebabkan timbulnya eksternalitas negatif bagi masyarakat sekitar kawasan industri. Eksternalitas negatif yang paling dirasakan oleh responden baik pada wilayah I, wilayah II, dan wilayah III adalah penurunan kualitas air tanah, sedangkan pencemaran udara hanya dirasakan oleh responden pada wilayah I.
Pencemaram ini
menyebabkan timbulnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat sekitar kawasan industri untuk kembali mendapatakan sumber air bersih dan biaya yang dikeluarkan untuk berobat akibat penyakit yang ditimbulkan dari adanya pencemaran. Berdasarkan hasil kerugian yang ditanggung responden pada wilayah I lebih besar jika dibandingkan dengan responden pada wilayah II, dan wilayah III. Hal ini mengindikasikan semakin dekat jarak tempat tinggal masyarakat dengan kawasan industri maka semakin besar kerugian yang ditanggung. 2.
Kerugian rata-rata yang ditanggung masyarakat berbeda-beda tiap wilayah. Kerugian rata-rata per kepala keluarga paling besar dirasakan oleh responden pada wilayah I atau jarak ≤100 meter dari kawasan industri, yaitu sebesar Rp284.650 per bulan. Nilai kerugian ini lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diterima oleh responden pada wilayah II dan wilayah III yang hanya sebesar Rp156.357/KK/bulan dan Rp133.65/KK/bulan. Berdasarkan hasil wawancara total kerugian ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat
sekitar
kawasan
industri
sarung
tenun
adalah
sebesar
Rp190.707.992 per bulan. 3.
Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 91 responden bersedia menerima kompensasi dari adanya pencemaran yang diakibatkan aktivitas industri sarung tenun, sedangkan empat responden lainnya tidak bersedia menerima
65 kompensasi. Nilai rata-rata willingness to accept (WTA) responden adalah sebesar Rp136.813 per KK per bulan dan total WTA masyarakat Desa Wanarejan
Utara
mengharapkan
sebesar
kompensasi
Rp230.940.344 berupa
per
berbaikan
bulan. saluran
Masyarakat pembuangan,
penyediaan layanan kesehatan, dan dana kompensasi. 4.
Pada penelitian ini faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi masyarakat dalam menerima kompensasi pada taraf nyata 0,05 yaitu usia, pendidikan, pendapatan, jarak tempat tinggal, jumlah tanggungan, dan lama timggal.
7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disarankan: 1.
Pemerintah seharusnya segera membuat peraturan yang jelas mengenai pembuangan limbah industri agar pihak industri bertanggung jawab terhadap limbah yang dihasilkan.
2.
Pihak industri seharusnya segera merealisasikan pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) baik IPAL untuk masing-masing indutri maupun IPAL gabungan seperti yang telah direncanakan agar limbah hasil produksi tidak berbahaya dan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
3.
Apabila IPAL akan segera dibangun harus ada regulasi yang jelas mengenai tempat pembuangan akhir dari olahan limbah cair yang dihasilkan oleh industri sarung tenun, tetapi jika pihak industri tidak membangun IPAL pemerintah seharusnya menetapkan pajak kepada setiap industri sebagai sumber dana kompensasi untuk masyarakat sekitar yang merasakan dampak negatif.
4.
Penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian mengenai analisis willingness to pay (WTP) dari pihak industri untuk mengetahui tingkat kesediaan membayar pihak industri terhadap pencemaran yang ditimbulkan adanya aktivitas industri sarung tenun.
66 DAFTAR PUSTAKA [BBC] British Broadcasting Corporation. 2013. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2009-2012 [Internet]. Indonesia (ID). [disadur 2013 September 9]. Tersedia Pada http://www.bbc.co.uk [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Nilai PDB atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2010-2012 [Internet]. Indonesia (ID). [disadur 2013 September 9]. Tersedia pada http://bps.go.id. [Kemenperin] Kementrian Perindustrian. 2011. Jumlah Industri di Indonesia [Internet]. Indonesia (ID). [disadur 2013 September 9]. Tersedia pada: http://kemenperin.go.id. Adhitya, L. 2013. Estimasi Biaya Eksternal dan Willingness to accept Masyarakat akibat pencemaran di sekitar kawasan pabrik gula cepiring, kendal [skripsi]. Bogor (ID) : Institut pertanian Bogor. Damodar, G.2003. Ekonometrika Dasar. Erlangga: Jakarta. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. ______. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Garrod, G dan Kenneth G.W. 1999. Economics Valuation of The Environmental. Edward Elgar Publishing, inc. Massachussetts. Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost – Benefit Analysis and Environment. England: Edward Elgar Publishing Limited. Hufscmidt, MM et.al. 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Alih Bahasa : Reksohadiprojo, S. Gajahmada University Press. Yogyakarta. Ismail, A., Nuva, Pekasa, B.A.L. 2011. Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi dan Willingness to Pay Masyarakat Akibat Pencemaran Air Tanah. Jurnal Ekonomi Lingkungan. Vol.5, No. 2: 69-52. Juju. 2012. Kuantitas dan Karakteristik Limbah Cair Industri Tekstil [Internet]. [disadur
2013
Desember
12].
Tersedia
http://jujubandung.wordpress.com Kristanto, Philip. 2004. Ekologi Industri. Andi offset: Yogyakarta
pada
67 Mangkoesoebroto, G. 2000. Ekonomi Publik. Yogyakarta (ID) : Gajah Mada University Press Mulyanto, H.R. 2007. Ilmu lingkungan. Graha ilmu: Yogyakarta Myers. 1998. The Cost of Pollution: A Survey of Valuation Method and their Uses for Policy. World Wildlife. Nachrowi, D., Usman, H. 2006. Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta. Pearce, W.P., dan Turner, R.K. 1990. Economics of natural Resources and The Environment, Newyork: Harverter Wheatsheaf. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Limbah Tekstil Purnama, R.R. 2012. Estimasi Nilai Kerugian dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Air dan Udara di Sekitar Kawasan Industri (Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Rahmawati, N.A. 2010. Pengaruh Limbah Cair Industri Sarung Tenun Pada Air Irigasi dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi dan Kualitas Lingkungan [Thesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada. Saefrudin, Muhammad. 2014. Analisis Willngness to Accept terhadap Program Relokasi Masyarakat di Kampung Pulo Kecamatan Jatinegara Timur. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Setawan, T. 2011. Jumlah Produksi Sarung Tanun Desa Wanarejan Utara [Internet].
[disadur
2014
Januari
1].
Tersedia
pada
http://teguhsetawan.blogspot.com Shaffitri, LR. 2011. Internalisasi biaya eksternal pengolahan limbah tahu. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut pertanian Bogor. Suparmoko, M. 2000. Ekonomi Lingkungan. BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta. Viola, D. 2011. Pengolahan Limbah Industri Tekstil [Internet]. [disadur 2013 Desember 12]. Tersedia pada http://dwioktavia.wordpress.com Wardana,W.A. 2004. Dampak pencemaran lingkungan. Andi offset: Yogyakarta
68 Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan: Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Cetakan ke-1. Jakarta (ID): Pressindo.
Akademika
69 Lampiran 1 Kuesioner penelitian INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper Wing 5 Level 5 Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 KUISIONER PENELITIAN Kuesiner ini digunakan untuk penelitian Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Limbah Cair Sarung Tenun, Pemalang Oleh Tri Retno Setyowati, mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat menjadi data objektif. Saya akan menjaga kerahasiaan pendapat Bapak/Ibu/Saudara/i. Atas kesediaannya Saya ucapkan terimakasih.
A. Karakteristik responden 1. Nama responden : ........................................................ 2. No telepon/Hp : ........................................................ 3. Alamat : 4. Usia : ............ tahun 5. Jenis kelamin : [ ] Laki-laki [ ] Perempuan 6. Status pernikahan : [ ] Belum [ ] Sudah 7. Pendidikan formal terakhir : [ ] Tidak sekolah [ ] SD Kelas [1] [2] [3] [4] [5] [6] [ ] SMP/Sederajat Kelas [1] [2] [3] [ ] SMA/Sederajat Kelas [1] [2] [3] [ ] Perguruan tinggi [Diploma] [Sarjana] [Magister] 8. Pekerjaan [ ] PNS [ ] TNI/POLRI [ ] Petani [ Lainnya:......... [ ] Buruh [ ] Pegawai Swasta [ ] Wirausaha 9. Jumlah pendapatan perbulan : ......... a) Rp 500.000 – 750.000 c) Rp 1.000.000 – 1.500.000 b) Rp 750.000 – 1000.000 d) > Rp 1.500.001 10. Jarak rumah dengan pabrik : ..................... meter 11. Lama tinggal : .....................tahun
]
70 12. Kependudukan : [ ] Penduduk asli [ ] Pendatang, alasan 13. Status kepemilikan rumah [ ] Milik sendiri [ ] Sewa 14. Jumlah tanggungan keluarga : ...................... orang 15. Apakah anda pernah menerima kompensasi/fasilitas/produk/biaya kesehatan dari pabrik? [ ] Pernah [ ] Tidak pernah Jika pernah dalam bentuk apa?.................................... 16. Tahukah Anda tentang larangan pembuangan limbah cair yang melebihi baku mutu? [Ya] [Tidak] B. Persepsi Masyarakat Pilihlah jawaban dengan cara memberi tanda silang (X) dan isilah titik-titik jika perlu! 1.
2.
3.
4.
5.
Apakah anda mengetahui aktivitas industri sarung tenun? a) Ya, alasan: [ ] Membuat pola, dan menenun sarung [ ] Mengolah limbah [ ] Lainnya................... b) Tidak Apakah anda mengetahui ada buangan/sisa aktivitas industri? a) Ya, alasan: [ ] Merasakan dampaknya [ ] Tidak merasakan, tapi mengetahui [ ] Tidak meraskan, tapi tahu dari orang lain atau informasi [ ] Lainnya.......... Perubahan apa yang paling anda rasakan akibat adanya aktivitas industri sarung tenun? a) Kehilangan keanekaragaman hayati (hilangnya pepohonan/tanaman) b) Mengurangi keindahan (pemandangan) c) Pencemaran udara dan debu d) Kebisingan suara e) Perubahan kualitas dan jumlah air tanah ( kotor, berbau,berasa) f) Lainnya.................................. Jika meraskan adanya dampak negatif dari industri sarung tenun, apakah anda merasa terganggu? a) Ya b) Tidak Upaya apa yang pernah Anda lakukan untuk mengurangi dampak negatif tersebut? ...................................
71
Pertanyaan nomor 6 sampai 10 untuk warga yang dulu pernah dan sekarang masih memanfaatkan air tanah (sumur), jika tidak lanjut ke nomor 11. 6.
7.
a. b. c. d. e.
Apakah dulu atau sekarang Anda memanfaatkan air dari tanah (sumur)? a) Ya, untuk apa? (jawaban boleh lebih dari satu) [ ] MCK [ ] Konsumsi [ ] Pertanian [ ] Lainnya...... Volume air tanah rata-rata yang digunakan per hari:........... liter Bagaimana kondisi air tanah Anda sebelum dan sesuah industri sarung tenun beroperasi? Pilih SEBELUM Sangat tercemar Air kotor (keruh), berbau, memiliki rasa Tercemar Air kotor (keruh),tidak berbau, memiliki rasa Cukup tercemar Air kotor (keruh), tidak berbau, tidak memiliki rasa Sedikit tercemar Air jernih, tidak berbau, tidak memiliki rasa namun tidak dapat diminum Tidak tercemar Air jernih,tidak berbau, tidak memiliki rasa dan masih bisa diminum
Pilih a. Sat tercemar b. Tercemar c. Cukup tercemar d. Sedikit Tercemar e. Tidak tercemar
8.
SESUDAH Air kotor (keruh), berbau, memiliki rasa Air kotor (keruh), tidak berbau, memiliki rasa Air kotor (keruh), tidak berbau, tidak memiliki rasa Air jernih, tidak berbau, tidak memiliki rasa namun tidak dapat diminum Air jernih, tidak berbau, tidak memiliki rasa, dan masih bisa diminum
Jika air tanah (sumur) Anda tercemar, apakah Anda menggunakan alternatif sumber air yang lain? [Ya] [Tidak] 9. Apakah Anda mengeluarkan biaya tambahan untuk memperoleh air bersih setiap bulannya? a. Tidak b. Ya, silahkan diisi Su Keperluan Volume Biaya mber air (dicontreng)
72 MCK PDAM Air gallon
Konsumsi ....... m3/bulan ...........galon/minggu
Rp............/bulan Rp............/minggu
10. Menurut Anda apakah ada faktor lain yang menyebabkan air tanah (sumur) Anda tercemar? a. Ya, [ ] limbah industri lain (tahu, pandai besi, dll) [ ] aktivitas rumah tangga [ ] lainnya................ b. Tidak 11. Kerugian apa yang Anda rasakan dari pencemaran kegiatan pabrik? (jawaban boleh lebih dari satu) dan tandai kerugian yang paling Anda rasakan a. Penurunan tingkat kesehatan b. Kenyamanan terganggu c. Peningkatan biaya pengeluaran untuk pembelian air bersih d. Penurunan tingkat pendapatan e. Lainnya................................. 12. Apakah ada anggkota keluarga Anda yang sakit akibat pencemaran limbah? [Ya][Tidak] 13. Jenis penyakit apa yang sering dialami? (pilih salah satu) a. Kulit/gatal-gatal b. Diare c. ISPA/TBC d. Lainnya.............................. 14. Berapa kali rata-rata Anda atau anggota keluarga Anda pergi kerumah sakit/puskesmas dalam sebulan? a. Tidak pernah d. 4 kali b. ≤ 2 kali e. ≥ 5 kali c. 3 kali 15. Adakah biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh Anda? a. Ya, sebesar : Rp................................./bulan/kk b. Tidak ada C. Informasi kesediaan menerima kompensasi SKENARIO Industri sarung tenun Desa Wanarejan Utara menghasilkan limbah cair yang dibuang langsung ke lingkungan tanpa melalui proses pengolahan, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat berupa pencemaran sumber air. Pihak industri akan memberlakukan pemberian dana kompensasi dengan tujuan mengurangi kerugian masyarakat akibat pencemaran.
73
1.
2. 3.
Adakah kegiatan sosial yang diadakan pihak industri untuk masyarakat sekitar kawasan industri? [Ya] [Tidak] Jika Ada kegiatan sosial seperti apakah yang diadakan pihak industri? .......................................................... Apakah Anda bersedia menerima apapun kompensasi/fasilitas yang diberikan oleh pabrik akibat kerugian yang dirasakan? a. Ya b. Tidak, alasan: [ ] kerusakan lingkungan tidak dapat dibayar [ ] kerugian yang dirasakan sulit diuangkan [ ] lainnya........................................................
4.
Kompensasi apa yang Anda harapkan dari pabrik sebagai ganti rugi terhadap dampak yang ditimbulkan? [ ] perbaikan infrastruktur (jalan, jembatan, listrik, dll) [ ] pembangunan klinik kesehatan [ ] penyediaan alat penyaring atau senderan [ ] dana kompensasi [ ] lainnya.............................................
5.
Mengapa Anda bersedia/tidak menerima dana kompensasi sebesar yang anda pilih? Apa alasannya Jika bersedia : [ ] Pengeluaran biaya berobat [ ] Perbaikan kualitas lingkungan [ ] keperluan pembelian air bersih [ ] Keperluan sehari-hari Jika tidak bersedia : [ ] Pemberian dana kompensasi tidak menyelesaikan masalah [ ] lebih diutamakan untuk kepentingan umum/masyarakat [ ] lebih baik membangun IPAL agar tidak mencemari [ ] lainnya.................................................................
6.
Jika pabrik akan memberikan kompensasi berupa dana uang) kepada Anda perbulannya tiap kepala keluarga, berapakah minimal besarnya dana kompensasi yang bersedia Anda terima? a. Bersedia [ ] 300.000 [ ] 200.000 [ ] 100.000 [ ] 275.000 [ ] 175.000 [ ] 75.000 [ ] 250.000 [ ] 150.000 [ ] 50.000 [ ] 225.000 [ ] 125.000
74 b. Tidak bersedia D. Harapan dan saran Apa harapan dan saran Anda untuk pihak pengelola? ........................................................................................................................ ........................................................................................................................
75 Lampiran 2 Hasil analisis regresi Regression Analysis: WTA versus JK; usia; ...
The regression equation is WTA = 15,2 + 0,0420 JK + 0,267 lnUR + 0,145 lnPNDK - 0,394 lnPNDP - 0,111 lnJTT + 0,308 lnJTK + 0,268 lnLT + 0,113 DMP
Predictor Constant JK usia pendidikan pendapatan jarak tempat tinggal Jml. Tanggungan Lama tinggal Upaya mengatasi S = 1,00879
Coef 15,1503 0,04202 0,26705 0,14531 -0,39419 -0,111433 0,30783 0,26817 0,1128
R-Sq = 94,7%
SE Coef 0,6379 0,02428 0,06691 0,04140 0,03697 0,009757 0,06026 0,03606 0,2138
T 23,75 1,73 3,99 3,51 -10,66 -11,42 5,11 7,44 0,53
P 0,000 0,087 0,000 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,599
R-Sq(adj) = 94,1%
Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 8 1481,36 185,17 Residual Error 82 83,45 1,02 Total 90 1564,80 Durbin-Watson statistic = 1,82266
Uji asumsi klasik a. Uji normalitas H0 : Residual menyebar normal H1 : Residual tidak menyebar normal
F 181,96
P 0,000
VIF 2,4 6,8 2,1 7,0 5,1 10,2 3,5 1,1
76 Normal 99,9
Mean StDev N KS P-Value
99 95
-1,57139E-14 0,4038 91 0,085 0,099
Percent
90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0,1
-1,0
-0,5
0,0
0,5 RESI1
1,0
1,5
2,0
Nilai-p(0,099) >alpha 5% maka terima H0 artinya asumsi residual menyebar normal terpenuhi. b.
Homoskedastisitas (uji Park) H0 : Homoskedastisitas H1 : Heteroskedastisitas Regression Analysis: lnresid2 versus JK; usia; ...
The regression equation is lnresid2 = - 0,4 + 0,102 JK - 3,88 LnUR + 0,511 LnPNDK + 0,117 lnPNDP + 0,384 LnJTT - 1,14 LnJTK + 2,29 LnLT - 0,68 DMP Predictor Constant JK usia pendidikan pendapatan jarak tempat tinggal Jml. Tanggungan Lama tinggal Upaya mengatasi
S = 2,60750
Coef -0,38 0,1023 -3,880 0,5114 0,1171 0,3839 -1,135 2,290 -0,684
R-Sq = 9,8%
SE Coef 12,77 0,7192 2,380 0,8458 0,8874 0,2410 1,097 1,457 1,682
T -0,03 0,14 -1,63 0,60 0,13 1,59 -1,03 1,57 -0,41
P 0,976 0,887 0,107 0,547 0,895 0,115 0,304 0,120 0,685
R-Sq(adj) = 1,1%
Analysis of Variance Source Regression
DF 8
SS 60,914
MS 7,614
F 1,12
P 0,359
77 Residual Error Total
82 90
557,525 618,439
6,799
Berdasarkan hasil uji-Park diperoleh p-value(0,359)>alpha 5% maka terima H0 artinya asumsi Homoskedastisitas terpenuhi. c. Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi menggunakan Uji Durbin-Watson. Hasil menunjukan bahwa nilai DW sebesar 1,83., dengan jumlah sample 91 (n) dan jumlah peubah bebas 8 (k=8) maka menghasilkan dl = 1,55 dan du= 1,78. Nilai DW pada penelitian ini termasuk ke dalam kategori du
Uji Multikolinearitas Pemeriksaan terkait multikolinearitas dilihat dari korelasi antar parsial beubah bebas. Jika hasil yang didapatkan korelasi antar peubah bebas tidak ada yang lebih besar dari R2 (94,7%) maka diasumsikan tidak ada multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat pada Tabel korelasi antar beubah bebas.
Tabel korelasi antar peubah bebas JK
UR
PNDK
PNDP
JTT
JTK
LT
UP
JK
1,00000
0,298570
-0,085604
0,282457
0,017766
0,476576
0,247283
0,143607
UR
1,00000
-0,307708
0,099266
-0.07156
0,278382
0,880478
-0,15130
PNDK
0,298570 0,085604
-0,307708
1,00000
0,380704
-0,01703
0,136787
-0,207200
0,255831
PNDP
0,282457
0,099266
0,380704
1,00000
0,002585
0,507258
0,076871
0,171311
JTT
0,017766
-0,071565
-0,017038
0,002585
1,000000
0,069187
-0,066921
0,052400
JTK
0,476576
0,278382
0,136787
0,507258
0,069187
1,00000
0,247744
0,148650
LT
0,247283
0,880478
-0,207200
0,076871
-0,06692
0,24774
1,000000
-0,14349
UP
0,143607
-0,151302
0,255831
0,171311
0,052400
0,148650
-0,143496
1,00000
78 Lampiran 3 Dokumentasi penelitian
Kondisi saluran pembuangan limbah cair sarung tenun
Kondisi pengeringan dan penenunan
79
Denah lokasi penelitian
80 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 3 Maret 1992 dari Ayah Khamim Sulaiman dan Ibu Daeni. Penulis adalah anak ke tiga dari tiga bersaudara. Pennulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Banjaranyar 02 tahun 2004, setelah itu menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP N 1 Randudungkal tahun 2007 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA N 1 Pemalang tahun 2010. Pada tahun yang sama yaitu tahun 2010 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis mendapatakan beasiswa Bidik Misi dan aktif sebagai staff Public Relation Resource and Environmental Student Association (RESA) tahun 2011 serta aktif sebagai anggota UKM Gentra Kaheman. Selain itu, penulis pun aktif dalam berbagai kepanitiaan baik di lingkup fakultas maupun dalam lingkup universitas.