1
ESTIMASI POTENSI KERUGIAN EKONOMI AKIBAT STUNTING DAN OBESITAS PADA BALITA DI INDONESIA
BRIGITTE SARAH RENYOET
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Stunting dan Obesitas pada Balita di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Brigitte Sarah Renyoet NIM I151140051
RINGKASAN
BRIGITTE SARAH RENYOET. Estimasi potensi kerugian ekonomi karena stunting dan obesitas pada balita di Indonesia. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan DADANG SUKANDAR. Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di dunia, tengah mengalami masalah gizi ganda atau Double Burden of Malnutrition (DBM) yaitu stunting dan obesitas. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia untuk jumlah anak yang stunting dan World Health Organization menyebutkan prevalensi obesitas pada anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah telah mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Dampak dari stunting adalah penurunan kemampuan kognitif dan meningkatkan risiko obesitas serta Penyakit Tidak Menular (PTM). Masalah obesitas itu sendiri juga merupakan salah satu faktor yang meningkatkan tingginya risiko PTM pada saat dewasa. Menurunnya kualitas sumber daya manusia diakibatkan karena produktivitas menyebabkan kehilangan potensi ekonomi yang akan berdampak pada kerugian ekonomi individu dan wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan estimasi besar potensi kerugian ekonomi akibat stunting dan obesitas pada balita di Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) melakukan estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat stunting pada balita, dan 2) melakukan estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat obesitas pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian deskritif. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari hasil survei beberapa instansi terkait di Indonesia tahun 2013 khususnya Riskesdas, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Kesehatan. Penelitian dilakukan di Bogor, dilaksanakan bulan Desember 2015 sampai Maret 2016. Data dianalisis secara deskritif dengan menggunakan perhitungan kerugian ekonomi akibat stunting dari rumus Konig 1995 dengan faktor koreksi dari Horton 1999, menghitung kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja dan biaya perawatan (rawat inap dan rawat jalan) karena obesitas menggunakan rumus dari Pitayatienanan et al. 2014 dan faktor koreksi dari Guo et al. 2002. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan besar potensi kerugian ekonomi secara nasional akibat produktivitas yang rendah pada balita stunting berkisar Rp 3 057 miliar – Rp 13 758 miliar atau 0.04% - 0.16% dari total PDB Indonesia. Potensi kerugian ekonomi obesitas pada balita dihitung berdasarkan nilai kini kerugian ekonomi balita obesitas yang tetap obesitas saat dewasa sehingga hasil potensi kerugian dilihat dari rendahnya produktivitas akibat ketidakhadiran kerja yaitu berkisar Rp 260 miliar - Rp 371 miliar atau 0.003% 0.004% dari total PDB Indonesia dan kerugian ekonomi akibat biaya rawat inap dan rawat jalan karena comorbidities dari obesitas berkisar Rp 3 492 miliar - Rp 8 588 miliar atau 0.04% - 0.10% dari total PDB Indonesia. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat masalah gizi ganda pada balita secara nasional berkisar Rp 15 898 miliar - Rp 26 599 miliar atau 0.2% - 0.3% dari PDB Indonesia. Kata kunci: ekonomi, produktivitas, balita 0-59 bulan, masalah gizi ganda
SUMMARY
BRIGITTE SARAH RENYOET. Economic losses potential estimate due to stunting and obesity in toddlers in Indonesia. Supervised By DRAJAT MARTIANTO and DADANG SUKANDAR. Low and middle income countries in the world are experiencing multiple nutritional problems or Double Burden of Malnutrition (DBM) that is stunting and obesity. Now, Indonesia at the fifth ranks in the world for the number of children whose growth wasn’t optimal (stunting in toddler) and The World Health Organization says that the prevalence of obesity in children in low and middle income countries has increased in this last 10 years.The impact of stunting is cognitive decline and increase the risk of obesity and non-communicable diseases (NCDs). The problem of obesity itself also constitute one of the factors that increase the high risk of PTM at the adult. The decline in quality of human resources resulting from productivity leads to economic loss potential that would be impact on individual’s economy and the region's economy. This study aims to estimate the large potential economic losses resulting from stunting and obesity in children under five years in Indonesia. The specific objective of this study are; 1) to estimate potential of economic loss which is lost due to stunting in toddler, and 2) to estimate potential of economic loss which is lost due to obesity in toddler. This research is a descriptive research. Data used is secondary data from the survey of several related agencies in Indonesia in 2013. Particularly from Riskesdas, Central Statistic Institute, and Healty Ministry. The study was conducted in Bogor, implemented starting in December 2015 until March 2016. Data was analyzed by descriptive ways using a calculation economic losses resulting from stunting of Konig formula 1995 with a correction factor of Horton 1999, calculate the economic losses due to absenteeism and the cost of care (inpatient and outpatient) because of obesity using a formula of Pitayatienanan et al. 2014 and a correction factor of Guo et al. 2002. The results obtained that big potential of national economic loss due to the low productivity in toddlers stunting range from 3 057 - 13 758 billion rupiah or 0.04% - 0.16% of the total GDP of Indonesia. Potential estimate due to obesity in toddlers the calculation based on the present value losses potential economic toddeler obesity who has still/fixed obesity in adulthood, so that the results of the potential losses seen from the low productivity to absence from work around 260 371 billion rupiah or 0.003% - 0.004% of the total GDP of Indonesia and the economic losses due to the cost of inpatient and outpatient care for comorbidities of obesity range from 3 492 - 8 588 billion rupiah or 0.04% - 0.10% of the total GDP of Indonesia. Big potential of economic lost due to multiple nutritional problems in infants nationwide range from 15 898 - 26 599 billion rupiah or 0.2% - 0.3% of GDP Indonesia. Keywords: economic, productivity, toddlers 0-59 month of age, double burden of malnutrition
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ESTIMASI POTENSI KERUGIAN EKONOMI AKIBAT STUNTING DAN OBESITAS PADA BALITA DI INDONESIA
BRIGITTE SARAH RENYOET
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS
1
Judul Nama NIM
: Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Stunting dan Obesitas pada Balita di Indonesia : Brigitte Sarah Renyoet : I151140051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Drajat Martianto, MSi Ketua
Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Gizi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian : 8 September 2016
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ilmu pengetahuan yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan usulan penelitian yang berjudul “Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Stunting dan Obesitas pada Balita di Indonesia” sebagai syarat untuk mendapatkan gelar magister pada Program Studi Ilmu Gizi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat disusun dan ditulis dengan baik tidak terlepas dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku komisi pembimbing tesis yang memberikan banyak masukan, arahan, kritik, dan saran yang membangun demi penyelesian tesis ini dengan lebih baik.. 2. Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Gizi Masyarakat, Dr. Ir Yayuk Farida Baliwati, dan Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. 3. Susan E. Horton, Ph.D yang telah banyak membantu baik dalam pemberian saran maupun referensi yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini. 4. Kedua orang tua (Agustinus Renyoet dan Maryem P.A. Alamudi) yang memberikan doa dan dukungan baik secara moral maupun material, serta kedua saudara Claudia Conchita Renyoet (Kakak) dan Jaquiline Melissa Renyoet (Adik) yang telah memberikan doa, dan dukungan selama penyelesaian tesis ini. 5. Penulis menyampaikan penghargaan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, dan Badan Pusat Statistik yang telah membantu dalam penyediaan data penelitian. 6. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas (terkhusus sahabat saya Ritapurnamasari). Teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2014 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan, doa, dukungan, dan semangatnya. Serta kepada pihak-pihak lain yang telah banyak memberi dorongan dan masukan dalam penelitian ini. Penulis menyadari terdapat beberapa kekeliruan, oleh sebab itu penulis berharap dapat menerima kritik dan saran sehingga nantinya dalam pelaksanaan dan pengembangan penelitian dapat menunjukkan hasil yang optimal, sesuai harapan dan dapat berguna oleh berbagai pihak.
Bogor, September 2016 Brigitte Sarah Renyoet
1i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................ i DAFTAR TABEL ................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... ii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 Perumusan masalah ............................................................................................. 3 Tujuan Umum...................................................................................................... 3 Tujuan Khusus ..................................................................................................... 3 Manfaat penelitian ............................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3 Masalah Gizi Ganda ............................................................................................ 3 Luasan masalah gizi ganda .................................................................................. 5 Penyebab masalah gizi ganda .............................................................................. 6 Dampak masalah gizi ganda .............................................................................. 12 Penanggulangan masalah gizi ganda ................................................................. 16 Produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto ............................ 16 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 17 METODE .............................................................................................................. 19 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ............................................................. 19 Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................................... 20 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................................... 21 Definisi Operasional .......................................................................................... 29 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 30 Prevalensi balita stunting dan obesitas menurut provinsi ................................. 30 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat masalah stunting pada balita di Indonesia ....................................................................................................... 32 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja karena masalah obesitas pada balita di Indonesia ......................................................... 34 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya perawatan rumah sakit karena masalah obesitas pada balita di Indonesia ............................................. 36 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas karena masalah gizi ganda (stunting dan obesitas) pada balita di Indonesia ................ 41 KELEBIHAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN ..................................... 43 Kelebihan........................................................................................................... 43 Keterbatasan ...................................................................................................... 43 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 43 Simpulan ............................................................................................................ 43 Saran .................................................................................................................. 44 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45 LAMPIRAN .......................................................................................................... 52 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 55
ii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks ....................... 4 Grup makanan yang didefinisikan berdasarkan tingkat pengolahan ................ 10 Variabel dan indikator penelitian ..................................................................... 19 Jenis data yang dikumpulkan, tahun serta sumber data yang dianalisis ........... 20 Prevalensi balita stunting dan obesitas di Indonesia tahun 2013...................... 31 Estimasi potensi kerugian ekonomi karena stunting (asumsi penurunan produktivitas 2% - 9% serta persentase terhadap PDRB ................................. 33 7 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja karena obesitas di Indonesia ........................................................................................ 35 8 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya rawat jalan karena obesitas di Indonesia ........................................................................................ 37 9 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya rawat inap karena obesitas di Indonesia ........................................................................................ 38 10 Estimasi total potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja dan biaya perawatan karena obesitas di Indonesia tahun 2013 .............. 40 11 Estimasi potensi kerugian ekonomi karena penurunan produktivitas akibat masalah gizi ganda pada balita di Indonesia tahun 2013 ...................... 42
DAFTAR GAMBAR 1 Siklus masalah gizi ganda pada individu ............................................................. 8 2 The double burden of malnutrition ...................................................................... 9 3 Kerangka Pemikiran Penelitian ......................................................................... 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 Karakteristik balita di Indonesia tahun 2013 ..................................................... 53 2 Data PDB/PDRB, upah/gaji, dan biaya perawatan tahun 2013 ......................... 54
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di dunia tengah mengalami masalah gizi ganda atau Double Burden of Malnutrition (DBM). Menurut Usfar et al. (2013) gizi ganda adalah kekurangan dan kelebihan gizi pada negara, populasi, keluarga, serta individu yang sama. Dalam hal ini gizi kurang, menurut United Nations Standing Children’s Fund (UNICEF) 2013 dan United States Agency For International Development (USAID) 2010 dengan angka lebih dari 7.6 juta anak, Indonesia menempati peringkat ke lima di dunia untuk jumlah anak yang stunting, hal ini didukung oleh hasil olah data Riskesdas untuk prevalensi balita stunting mencapai 38.4% tahun 2013 di Indonesia. Kejadian stunting pada balita dapat menyebabkan rendahnya kecerdasan (Intelligence Quotient/IQ). Anak yang stunting mempunyai nilai rata-rata IQ 11 poin lebih rendah dari anak normal (UNICEF 1998). Ketika anak menjadi dewasa, kemampuan kognitif yang lebih rendah akan berdampak pada pendapatan yang lebih rendah, sehingga investasi negara untuk sumber daya manusia menjadi menurun. Menurut Anugraheni (2012) stunting juga meningkatkan risiko obesitas dan penyakit degeneratif. Bila keadaan overweight dan obesitas ini terus dibiarkan berlangsung lama, maka akan meningkatkan risiko kejadian penyakit degenaratif. World Health Organization (WHO) menyebutkan prevalensi obesitas pada anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah telah mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Menurut WHO (2014a) pada tahun 2015 diperkirakan tingkat kegemukan pada negara-negara ini akan mencapai 11%, mendekati prevalensi di negara berpenghasilan menengah atas yang prevalensinya mencapai 12%. Penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan hasil yang sejalan dengan perkiraan Badan Kesehatan Dunia, prevalensi balita gemuk di Indonesia tahun 2013 adalah 11.9% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013a). Hasil olah data Riskesdas untuk prevalensi balita obesitas mencapai 7.7% tahun 2013 di Indonesia.Terdapat beberapa provinsi yang memiliki prevalensi masalah gizi ganda yaitu prevalensi masalah stunting dan obesitas tinggi di wilayahnya, yaitu: Lampung, Papua, Bengkulu, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, Jambi, serta Kalimantan Barat Bank Dunia memperkirakan bahwa kerugian akibat kekurangan gizi sekitar 2.5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Kualitas makanan yang buruk dan gaya hidup yang kurang gerak menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas di antara sekitar 43 juta anak-anak prasekolah di bawah usia 5 tahun di Asia dan Afrika (de Onis et al. 2010), prevalensi overweight dan obesitas dari data tahun 1980 sampai 2005 menunjukan peningkatan pada anak-anak prasekolah di beberapa negara Amerika, Eropa dan Asia (Wang dan Lobstein 2006), dan 1.5 miliar pria dan wanita dewasa di seluruh dunia (Finucane et al. 2011). Menurut Aries dan Martianto (2006) secara nasional besar estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat Kekurangan Energi Protein (KEP) sehingga balita memiliki berat badan yang lebih rendah dari yang seharusnya dengan indikator penentu BB/U (Berat badan berdasarkan umur), sehingga mempengaruhi pertumbuhan balita adalah 0.27% – 1.21% dari PDB Indonesia atau nilainya antara Rp 4 24 triliun – Rp 19 08 triliun rupiah per tahun. Menurut hasil penelitian Kusumawardhani dan Martianto (2011) didapatkan nilai slope yang negatif antara
2
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dengan prevalensi gizi buruk balita. Hal tersebut memiliki arti semakin tinggi nilai PDRB per kapita di suatu wilayah maka akan semakin rendah prevalensi gizi buruk di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar begitu pun sebaliknya. Menurut penelitian lain, jika dilihat dari total biaya tambahan untuk pasien dewasa terkait gizi buruk diperkirakan menjadi € 1.9 miliar pada 2011 yang sama dengan 2.1% dari total belanja kesehatan nasional Belanda dan 4.9% dari total biaya sektor perawatan kesehatan (Freijer et al. 2013). Penelitian meta-analisis dari 45 studi longitudinal di Amerika Serikat menunjukkan hubungan signifikan antara tinggi badan, sukses karier, dan gaji di lingkungan pekerjaan. Seseorang dengan tinggi badan 6 kaki atau 1.82 meter rata-rata menghasilkan gaji selama 30 tahun berkarier sekitar $166.000 lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang dengan tinggi badan 5 kaki 5 inci atau 1.55 meter (Judge dan Cable 2004). Sama halnya dengan kelebihan gizi pada balita, bila melihat keterkaitan hubungan antara kerugian produktivitas dengan obesitas, maka lebih tinggi kerugian yang diakibatkan oleh obesitas daripada pekerja yang merokok (Paula 2006). Menurut Withrow dan Alter (2011) dalam hasil review dari beberapa penelitian pada anak maupun orang dewasa obesitas di Amerika Serikat, Jepang dan Canada, menunjukan obesitas menyumbang 0.7% dan 2.8% dari total pengeluaran kesehatan. Ketika biaya yang terkait dengan overweight juga disertakan, batas atas kisaran ini meningkat menjadi 9.1% dari total pengeluaran kesehatan. Dampak ekonomi dari obesitas secara global termasuk ke dalam tiga besar masalah sosial akibat manusia itu sendiri yang menghabiskan PDB dunia sekitar $2 triliun atau 2.8%. Biaya perawatan kesehatan akibat obesitas adalah antara 2% dan 7% dari seluruh pengeluaran kesehatan di negara maju. Belum termasuk besarnya biaya untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan obesitas, dengan perkiraan tambahan biaya sampai 20%. Di negara maju obesitas menjadi permasalahan kedua yang mengurangi PDB seperti di Amerika Serikat ($663 miliar pada tahun 2012 atau 4.1% dari PDB) dan Inggris ($70 miliar pada tahun 2012 atau 3% dari PDB). Bahkan di Meksiko obesitas menjadi urutan utama penyebab kerugian ekonomi (2.5% PDB) dibandingkan rokok dan akibat perang (Dobbs et al. 2014). Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki masalah gizi ganda, yang dapat memberikan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) sehingga akan mempengaruhi ekonomi individu, rumah tangga maupun negara. Masalah gizi ganda, selain menurunkan potensi ekonomi karena rendahnya prestasi belajar akibat penurunan nilai IQ, dan produktivitas kerja juga dapat meningkatkan biaya perawatan yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit, kematian dini yang tidak diharapkan, serta biaya produktivitas yang hilang karena sakit. Dari literatur yang ada, saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang mengkaji masalah gizi ganda yang terjadi pada balita, yang menghitung besar potensi kerugian ekonomi akibat stunting saat ini dan potensi kerugian ekonomi akibat obesitas pada balita yang saat ini obesitas yang menimbulkan kerugian ekonomi saat dewasa. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
3
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Berapa potensi kerugian ekonomi yang hilang akibat rendahnya produktivitas pada balita stunting sepanjang masa hidupnya ? 2. Berapa potensi kerugian ekonomi yang hilang akibat rendahnya produktivitas dan biaya perawatan pada balita obesitas yang saat dewasa tetap obesitas ? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan estimasi besar potensi kerugian ekonomi akibat stunting dan obesitas pada balita di Indonesia. Tujuan Khusus 1. Melakukan estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat stunting pada balita. 2. Melakukan estimasi potensi ekonomi yang hilang akibat obesitas pada balita.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, sehingga mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah kesehatan terutama masalah gizi ganda. Selanjutnya manfaat lain dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan advokasi yang berbasis bukti, mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayah masing-masing. Untuk provinsi dan pusat diharapkan mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas pembangunan kesehatan antar wilayah.
TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Untuk memahami Double Burden of Malnutrition (DBM), pertama-tama perlu dimengerti konsep malnutrition, undernutrition, dan overnutrition. Berdasarkan penjelasan WHO dalam World Health Organization Child Growth Standards Backgrounder 4 dikatakan malagizi merujuk pada kekurangan, kelebihan, atau ketidakseimbangan energi, protein, dan/atau gizi yang dikonsumsi. Bertentangan dengan penggunaan biasanya, istilah malagizi dapat termasuk undernutrition atau kekurangan gizi, maupun overnutrition atau kelebihan gizi. Kekurangan gizi biasanya mengakibatkan berkurangnya berat badan dan kelebihan gizi adalah kondisi kronis yaitu makanan yang masuk dalam tubuh melebihi jumlah energi yang dibutuhkan. DBM adalah ko-eksistensi kekurangan gizi dan kelebihan gizi makro maupun mikro di sepanjang kehidupan pada populasi, masyarakat, keluarga dan bahkan individu yang sama (Shrimpton et al. 2012). Keadaan saat ini sangat mengkhawatirkan, karena dimensi DBM di sepanjang kehidupan dan hubungan antara gizi buruk ibu hamil serta janin dengan
4
meningkatnya kerentanan terhadap kelebihan gizi dan berkaitan antara pola makan dengan penyakit tidak menular di kemudian hari. Menurut Idrus dan Kunanto (1990) status gizi adalah keadaan kesehatan individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan yang dampak fisiknya akan diukur melalui antropometri. Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, seperti bertubuh pendek, gemuk dan beberapa penyakit tertentu khususnya PTM terutama disebabkan oleh faktor genetik. Dengan ini adanya anggapan bahwa banyak yang tidak dapat dilakukan untuk memperbaiki atau mengubahnya. Namun berbagai bukti ilmiah dari penelitian-penelitian yang bersumber dari lembaga riset gizi dan kesehatan terbaik di dunia telah mengubah paradigma tersebut. Ternyata bertubuh gemuk, pendek, PTM dan indikator lain mengenai kualitas hidup, faktor penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai dengan anak berusia 2 tahun yang dapat diperbaiki dan dirubah (Bappenas 2012). Masalah gizi banyak kita jumpai pada balita, menurut Depkes RI (2009) balita adalah kelompok anak yang berumur 0-5 tahun. Ketika memasuki lingkaran usia yang merupakan tahun-tahun terpenting pertama dari kehidupan yang nantinya akan menjadi dasar atau fondasi bagi keberlangsungan hidup kedepannya, ketika dewasa yang memerlukan sumber daya manusia berkualitas baik secara fisik, psikis, maupun kecerdasan kognitif, semua ini berawal dari balita yang sehat. Menurut Riskesdas (2013) status gizi anak balita diukur berdasarkan umur (U), berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Z-score) yang dalam Riskesdas 2013 menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005 atau Kementerian Kesehatan 2010 dari standar antropometri penilaian status gizi anak, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Anak Umur 0-60 Bulan Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Umur 0-60 Bulan Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Anak Umur 0-60 Bulan
Kategori Status Gizi Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk
Ambang Batas (Z-Score) <-3 -3 – <-2 -2 – 2 >2 <-3 -3 – <-2 -2 – 2 >2 <-3 -3 – <-2 -2 – 2 >2
Sumber : Kementerian Kesehatan RI (2010) dalam Riskesdas (2013) Menurut Indonesia Health Sector Review 2012 pada laporan Landscape Analysis Country Assessment (LACA) ketika hambatan pertumbuhan tinggi badan di usia dini diikuti dengan cepat oleh pertumbuhan berat badan, meningkatnya risiko untuk obesitas dan PTM yang terkait dengan pola makan, seperti penyakit
5
kardiovaskular dan diabetes tipe 2 di masa depan. PTM merupakan penyebab sebagian besar kematian di seluruh dunia, serta angka yang sangat tinggi di negara berpenghasilan rendah hingga menengah, hampir 80% dari semua kematian akibat PTM ini terjadi (Shrimpton et al. 2012). Menurut Manary dan Solomons (2009) stunting merupakan kondisi tubuh yang pendek dan sangat pendek yang melampaui defisit -2 di bawah median panjang atau tinggi badan. Stunting merupakan gagalnya pertumbuhan linear untuk mencapai potensi genetik yang disebabkan oleh pola makan yang buruk dan penyakit. Stunting berhubungan dengan buruknya perkembangan saat masih anakanak dan mengakibatkan berkurangnya pengetahuan serta prestasi sekolah dibandingkan dengan anak-anak normal. Stunting juga mengakibatkan gangguan fungsi kognitif, terganggunya proses metabolisme, dan penurunan produktivitas yang terjadi (Branca dan D’Acapito 2005). Stunting adalah masalah gizi utama yang menimbulkan dampak pada kehidupan ekonomi dan sosial dalam dan diantara masyarakat. Stunting akan mempengaruhi kinerja pekerjaan fisik dan fungsi mental dan terganggunya intelektual (Mann dan Truswell 2002). Menurut WHO (2011) obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebih dari kondisi yang diperlukan ataupun abnormal yang akhirnya dapat mengganggu kesehatan. Seseorang akan dikatakan mengalami obesitas jika terjadi pertambahan atau pembesaran sel lemak tubuh mereka. Adiwinanto (2008) menyebutkan bahwa angka kejadian obesitas meningkat dengan pesat sebagai akibat dari pola hidup yang tidak aktif. Energi dari aktivitas fisik sehari-hari yang berkurang digunakan seiring dengan globalisasi dan akibat dari kemajuan teknologi. Aktivitas fisik yang minimal pada waktu luang seperti bermain video games dan menonton televisi pada anak-anak akan meningkatkan angka kejadian obesitas. Masalah obesitas ini dianggap sebagai faktor lain yang dapat meningkatkan prevalensi penyakit jantung koroner aterosklerotik, hipertensi, dan intoleransi glukosa, pada pasien-pasien yang obesitas (AHA 2011). Overweight dan obesitas dikaitkan dengan masalah kesehatan sekarang yang menjadi isu global yang kritis (Cecchini et al. 2010). Luasan Masalah Gizi Ganda Menurut Lin (2008) perkiraan Food and Agricultural Organization (FAO) menunjukkan bahwa 14% dari populasi dunia atau 864 juta orang pada tahun 2002-2004 mengalami kekurangan gizi dan tidak memiliki cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan energi dasar sehari-hari. Asia memiliki jumlah tertinggi orang yang kekurangan gizi, dengan 163 juta di Asia Timur dan 300 juta di Asia Selatan. Sementara obesitas dan penyakit tidak menular berhubungan dengan asupan makanan yang terus meningkat di wilayah tersebut. Beban ganda malagizi juga dipengaruhi oleh kemiskinan, yang merupakan masalah serius di Asia. Memerangi masalah gizi ganda di antara orang miskin membutuhkan pendekatan komprehensif termasuk layanan kesehatan publik yang memadai, dan akses ke pendidikan dan pekerjaan, selain intervensi gizi. Hasil tinjauan Indonesia Health Sector Review 2012 pada laporan Landscape Analysis Country Assessment (LACA) sebesar 25% dari populasi dunia mengalami kelebihan berat badan, 17% anak-anak pra-sekolah kekurangan berat badan dan 28.5% mengalami stunting, dan 40% wanita usia subur menderita anemia (Shrimpton et al. 2012). Menurut data Riskesdas tahun 2010 dari 23 juta
6
balita di Indonesia, 7.6 juta (35.6%) tergolong pendek. Pada usia balita, kejadian anak pendek berhubungan dengan masalah berat badan saat lahir di mana <2500g atau Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Analisis Riskesdas tahun 2010, prevalensi anak pendek pada balita adalah sebesar 42.8% dari ibu yang berusia menikah pertama usia 15-19 tahun dan 34.5% dari ibu berusia menikah pertama usia 24-29 tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2010). Sementara itu obesitas juga merupakan salah satu faktor utama yang memicu munculnya berbagai penyakit tidak menular termasuk peningkatan kadar kolesterol, hipertensi, stroke, dan diabetes mellitus (Sihadi dan Djaiman 2006). Sekitar 3.4 juta dari orang dewasa yang meninggal setiap tahun akibat dari kegemukan atau obesitas. Selain itu, 23% dari beban penyakit jantung iskemik, 44% dari beban diabetes, serta antara 7% dan 41% dari beban kanker tertentu disebabkan kegemukan dan obesitas (WHO 2014b). Saat ini, obesitas sudah dialami oleh anak-anak di bawah usia 5 tahun. Pada tahun 2012, diperkirakan 44 juta (6.7%) dari anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kelebihan berat badan atau obesitas di seluruh dunia. Berdasarkan angka terbaru ini, prevalensi global anak kelebihan berat badan dan obesitas telah berkembang dari sekitar 5% pada tahun 1990 menjadi 7% pada tahun 2012 (WHO 2014c). Lebih dari 2.1 miliar orang (±30% dari total populasi dunia) mengalami kelebihan berat badan atau obesitas (Dobbs et al. 2014). Secara global proporsi laki-laki yang kelebihan berat badan meningkat dari 28.8% (28.4% - 29.3%) pada tahun 1980, menjadi 36.9% (36.3% 37.4%) pada tahun 2013, dan proporsi perempuan yang kelebihan berat badan meningkat dari 29.8% (29.3% - 30.2%) ke 38.0% (37.5% - 38.5%). Survei Kehidupan Rumah Tangga Indonesia atau Indonesia Family Life Survey (IFLS) selama periode lima belas tahun yang mewakili 85% populasi, menunjukkan bahwa terjadi penurunan proporsi yang signifikan pada laki-laki dan perempuan kurus, namun proporsi laki-laki dan perempuan gemuk (berat badan lebih) naik hampir dua kali lipat. Hasil ini menunjukkan penurunan dari angka orang kurus serta jumlah orang gemuk yang meningkat di kalangan dewasa Indonesia, sama seperti yang terjadi di Indonesia pada anak-anak disana. Jumlah anak yang lebih muda (<5 tahun) yang gemuk lebih besar dari pada jumlah anak yang lebih tua (6-12 tahun) yang gemuk, dilain pihak dalam 2 dekade terakhir, jumlah anak pra-sekolah dengan berat badan kurang menurun sebanyak 2 kali lipat bila dibandingkan dengan jumlah mereka yang mengalami stunting. Indonesia merupakan salah satu negara yang juga mengalami masalah gizi ganda, serta kekurangan gizi pada ibu hamil dan defisiensi gizi mikro juga berkontribusi pada situasi malagizi di Indonesia (Shrimpton et al. 2012). Penyebab Masalah Gizi Ganda Menurut Soekirman (2000) pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap keadaan kurang gizi yang terjadi dalam waktu singkat. Pengaruh dari defisiensi zat gizi pada tinggi badan akan kelihatan dalam waktu yang relatif lama sehingga kejadian stunting merupakan indikator kekurangan gizi kronik menggambarkan riwayat dai kurang gizi anak dalam jangka waktu lama serta dapat memberikan gambaran dari terganggunya kondisi sosial ekonomi yang secara keseluruhan di masa lampau. Stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tinggi badan ibu, berat badan (wasting / kurus), zinc inadequacy, lingkungan, penyakit infeksi, tidak asi eksklusif dan kualitas serta kuantitas dari
7
MP-ASI, diare, kebersihan, dan hasil dari kelahiran seperti lahir dengan kondisi prematur, Small for Gestational (SGA), dan Intrauterine Growth Restriction (IUGR). SGA menunjukan ukuran bayi pada saat lahir yaitu bayi yang lahir dengan berat badan di bawah persentil 10% atau < 2 menurut usia kehamilan, sedangkan IUGR adalah kegagalan janin untuk bertumbuh sesuai dengan usia kehamilannya. Bayi yang lahir dengan SGA belum tentu mengalami IUGR, dan begitu pila sebaliknya. Selain itu faktor yang mendasari adalah status sosial ekonomi, pendidikan ibu, umur anak, dan pekerjaan. Kejadian stunting muncul sebagai akibat dari kondisi yang telah lama berlangsung seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang kurang tepat, sering mengalami penyakit secara berulang yang disebabkan oleh hygiene dan sanitasi yang kurang baik (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2007). Obesitas merupakan masalah eksklusif dari orang kaya. Hal ini selamanya tidak dapat dikatakan berlaku selalu seperti itu. Meskipun meningkatnya obesitas seiring dengan pendapatan yang meningkat, volume terbesar dari obesitas justru terkonsentrasi pada segmen perekonomian bawah, serta meningkatnya kondisi lingkungan perkotaan yang menyebabkan obesitas. Penelitian di Cebu, Filiphina, menemukan faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting pada anak-anak yang juga dapat mengganggu perkembangan kecerdasan anak, antara lain BBLR, tidak cukupnya pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (sampai usia 2 tahun) dan pengganti ASI (setelah usia 2 tahun), serta frekuensi mengalami diare dan infeksi pernafasan. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena dampak terburuk kekurangan gizi yang dialami pada saat kehamilan maupun sampai anak berusia 2 tahun yang merupakan periode "Window of Opportunity", akan mengakibatkan kerusakan pada perkembangan otak yang bersifat permanen. Dampak terburuk kerusakan yaitu kerusakan pada pertumbuhan otak, kemampuan belajar, kecerdasan, kreativitas, serta produktivitas anak (Syarief et al. 2007). Menurut Barker (2007) periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sangat penting sehingga dikenal sebagai periode emas, dan periode sensitif. Para pakar telah mengkaji mendalam selama 1-2 dekade terahir mengenai mekanisme terjadinya hubungan tersebut. Diketahui bahwa semua masalah dari anak pendek, gemuk, PTM bermula ketika proses tumbuh kembang janin dalam kandungan sampai anak usia 2 tahun. Proses yang terjadi selama periode ini lancar dan tidak ada gangguan, maka anak akan bertumbuh dan berkembang dengan normal sampai nanti dewasa, sesuai dengan faktor keturunan atau gen yang telah terprogram dalam sel. Sebaliknya jika proses tidak normal karena berbagai gangguan diantaranya karena kekurangan zat gizi, sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan akan terganggu. Mengakibatkan terjadinya ketidaknormalan, dalam bentuk tubuh pendek, meskipun gen didalam sel menunjukkan potensi untuk tumbuh dengan kondisi normal (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2012). Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Masa ini sering juga disebut sebagai fase ”Golden Age”. Golden age merupakan masa yang sangat penting dalam memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang tepat untuk pertumbuhan
8
dan perkembangan yang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, pada saat ini maupun masa selanjutnya (Nutrisiani 2010). Gambar di bawah menunjukan siklus dari terjadinya masalah gizi ganda. Siklus di bawah dapat menjelaskan masalah gizi ganda yang terjadi pada individu yang sama. Prevalensi masalah gizi ganda di Indonesia yang cukup tinggi dan memiliki risiko penyakit serta kematian adalah kekurangan gizi yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan sehingga anak menjadi pendek (stunting) dan kelebihan gizi yang mengakibatkan peningkatan lemak tubuh atau penimbunan jaringan lemak berlebih sehingga anak menjadi obesitas yang terjadi pada negara, populasi, keluarga, dan individu yang sama maupun berbeda. Bayi
Risiko kematian yang lebih tinggi dari penyakit kronis
Berat lahir yang tidak memadai Pertumbuhan yang tidak memadai
Dewasa Tinggi risiko kelebihan berat badan dan berkembangnya penyakit kronis Kekurangan Gizi
Aktivitas fisik/ Kurang Aktivitas fisik
Anak-Anak Stunting pada anak Tingginya konsumsi makanan olahan
Pertumbuhan janin yang tidak memadai
Aktivitas fisik/ Kurang Aktivitas fisik
Tingginya konsumsi makanan olahan
Kenaikan berat cepat
Remaja Putri Kehamilan di usia muda
Remaja Stunting pada remaja
Gambar 1 Siklus masalah gizi ganda pada individu (Jafri et al. 2012) Berikut dapat dijelaskan dari gambar siklus masalah gizi ganda di atas yaitu remaja putri atau wanita yang dalam kondisi sedang hamil dan mengalami kekurangan gizi, maka dapat mengakibatkan pertumbuhan janin tidak memadai. Bayi akan lahir dengan kondisi yang tidak memadai, sehingga sering anak dengan kasus ini akan lahir dengan kondisi BBLR. Bayi yang lahir dengan kondisi ini, memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dari penyakit kronis. Namun jika anak terus hidup, pertumbuhannya tidak memadai atau tidak sesuai dengan kondisi pertumbuhan dan perkembangan normal. Bayi akan tumbuh menjadi anak yang pendek (stunting), jika kondisi lingkungan dari anak pendek ini telah lebih baik terutama dalam memperoleh asupan makanan terutama tinggi konsumsi makanan olahan namun memiliki aktivitas fisik yang kurang maka akan terjadi kenaikan berat badan dengan cepat. Berat badan yang naik dengan cepat dan kondisi pertumbuhan anak yang terhambat, menyebabkan anak akan tumbuh menjadi remaja pendek dengan kondisi berat badan lebih. Anak-anak mengalami peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) secara cepat pada fase tahun pertama kehidupan, kemudian menurun
9
hingga puncaknya pada usia 6-7 tahun. Fase dimana anak memiliki lean body mass paling tinggi dan IMT paling rendah disebut masa adiposity rebound. Selajutnya anak akan mengalami peningkatan simpanan lemak (rebound) dan peningkatan IMT hingga masa pubertas (Cachera et al. 2006). Remaja pendek dan kelebihan berat badan jika terus dibiarkan berlanjut dengan aktivitas yang kurang dan mengkonsumsi makanan olahan terus menerus, akan tumbuh menjadi dewasa yang obesitas. Dewasa obesitas memiliki risiko tinggi untuk berkembangnya penyakit kronis, sehingga akan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas rendah. Menurut Black et al. (2013) anak-anak yang terhambat pertumbuhannya akan mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah usia 2 tahun, serta memiliki peningkatan risiko menjadi kelebihan berat badan atau obesitas di kemudian hari. Berat badan seperti ini juga dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi dan diabetes tipe 2. Sehingga jika anak mengonsumsi makanan olahan (makanan cepat saji) secara terus menerus dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik atau aktivitas fisiknya kurang maka anak akan lebih cepat mengalami kenaikan berat badan (overweight) bahkan obesitas. Jika situasi ini tidak segera di tangani, maka akan semakin rumit dan susah dalam memutuskan rantai siklus masalah gizi ganda ini.
Gambar 2 The double burden of malnutrition (Grieve 2007) Gambar 2 di atas ini menunjukan masalah gizi ganda yang terjadi akibat kekurangan gizi (stunting, wasting, underweight dan defisiensi zat gizi mikro) coexists dengan overweight dan obesitas dalam suatu negara, populasi, keluarga, atau individu yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada gambar 1 di atas. Menurut Indonesia Health Sector Review meskipun penyebab DBM bersifat kompleks, tinjauan dalam menganalisis DBM di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan peta sistem obesitas yang dikembangkan oleh Proyek Foresight di Inggris, yang mengelompokan lebih dari 100 variabel ke dalam empat bidang tematis yaitu (Shrimpton et al. 2012) : 1. Lingkungan Kesehatan dan Biologis Indonesia sedang mengalami transisi demografis. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu Usia Harapan Hidup telah meningkat dan Indonesia memberikan prioritas terhadap layanan kesehatan primer, makin banyak masyarakat memiliki akses terhadap layanan kesehatan primer, maka pengeluaran untuk kesehatan juga meningkat, dan serangkaian kebijakan kesehatan di tahun
10
80-an dan 90-an telah berdampak pada distribusi fasilitas kesehatan yang lebih baik di seluruh Indonesia. Populasi yang semakin menua selanjutnya mempengaruhi transisi epidemiologi, dan struktur usia yang telah berubah akan memberikan kontribusi pada pergeseran beban penyakit dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Saat ini, PTM menjadi penyebab utama disabilitas dan kematian (60%) di Indonesia. Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian yaitu sekitar 30% dari semua kematian akibat PTM, diikuti kanker, penyakit paru obstruktif kronik, dan diabetes. Meskipun akses pada layanan primer meningkat, pada umumnya sistem kesehatan tidak semuanya siap untuk menerapkan berbagai intervensi gizi, antara lain karena petugas kesehatan belum memiliki persepsi bahwa stunting dan obesitas atau kegemukan adalah suatu masalah. 2. Lingkungan Ekonomi dan Pangan Peningkatan kekayaan negara diikuti dengan penurunan kemiskinan. Ketersediaan beras umumnya stabil sementara energi yang berasal dari daging serta ikan telah meningkat dua kali lipat, energi dari susu meningkat tiga kali lipat, dan dari gandum meningkat hingga enam kali lipat. Secara bersamaan, peningkatan perdagangan pangan global telah menyebabkan meningkatnya impor makanan olahan ke negara yang berpenghasilan rendah hingga menengah, yang terutama didistribusikan melalui jaringan supermarket serta perusahaan makanan cepat saji multinasional yang terus berkembang. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pada awal kehidupan akan mempengaruhi sisa hidup seseorang. Praktek pemberian makan pada bayi dan anak di Indonesia masih jauh dari memadai dan berkontribusi pada kekurangan gizi di awal kehidupan serta meningkatkan risiko kelebihan gizi di kemudian hari. Tabel 2 Grup makanan yang didefinisikan berdasarkan tingkat pengolahan Grup Makanan Grup 1 Grup 2 Grup 3
Definisi Makanan yang belum diolah atau makanan olahan minimal, seperti buah-buahan dan sayuran Olahan kuliner atau bahan industri makanan, seperti minyak sayur, mentega, tepung, dan pasta mentah Makanan dengan tingkat pengolahan tinggi, dikenal sebagai “makanan mudah” yang memerlukan sedikit persiapan, yang paling cocok untuk mengemil
Kebiasaan yang merugikan tersebut mencakup menurunnya pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping yang terlalu dini. Meskipun pemerintah telah berupaya untuk mendorong pemberian ASI eksklusif, upaya pemberian ASI terus menurun. Hanya 15% bayi mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan seperti yang dilaporkan pada tahun 2010 atau setengah dari 32% yang dilaporkan pada tahun 2007 dan jauh lebih sedikit dari 40% yang dilaporkan pada tahun 2002. Pola konsumsi pangan selama hidup lebih sulit untuk dievaluasi, tetapi data yang ada menunjukkan peningkatan asupan pangan, terutama daging, ikan, telur, dan makanan olahan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan tidak hanya meningkat secara kuantitatif, tapi bahannya juga lebih mahal seperti daging dan makanan yang dikonsumsi di luar rumah. Konsumsi sayuran dan buah-buahan tetap stabil dan rendah.
11
Selain kuantitas, penelitian lebih lanjut perlu untuk lebih memahami kualitas dari pola makan. Peningkatan konsumsi makanan “Grup 3“ (Tabel 2) dibandingkan dengan konsumsi makanan yang tingkat pengolahannnya lebih rendah secara lebih proporsional dan seimbang kemungkinan besar menjadi salah satu sumbangsih masalah obesitas di Indonesia dan di seluruh dunia. Makanan grup 3 yang padat energi dan penuh dengan biji-bijian, gula dan lemak refinasi, telah dikenal sebagai pilihan termurah bagi konsumenns. Contohnya mi instan di Indonesia. Menurut Riskesdas 2013 proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah 93.5%, tidak tampak perubahan dibandingkan tahun 2007. Perilaku konsumsi makanan berisiko pada penduduk umur ≥10 tahun paling banyak konsumsi bumbu penyedap (77.3%), diikuti makanan dan minuman manis (53.1%), dan makanan berlemak (40.7%). Satu dari 10 penduduk mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari. 3. Lingkungan Fisik atau Bangunan Penilaian terhadap lingkungan fisik di Indonesia memperlihatkan gambaran lingkungan urban yang tidak nyaman untuk aktivitas fisik seperti berjalan kaki. Akses makanan sehat yang terbatas di lingkungan urban menyebabkan mereka yang pergi ke atau pulang dari sekolah serta dari tempat bekerja memiliki pilihan yang terbatas selain makanan siap saji di luar rumah. Karena saat ini kesadaran masyarakat terhadap masalah DBM masih rendah, sekolah belum bisa menjadi tempat bagi pencegahan kegemukan pada anak. Walaupun tempat anak membeli makanan tidak jelas, kemungkinan sekitar 35% berasal dari pedagang kaki lima. Perencanaan tata kota dan pemerintah daerah berperan penting untuk memberikan lebih banyak pilihan untuk aktivitas fisik karena sebagian besar dari penduduk tidak cukup berolahraga untuk membantu mencegah penyakit kardiovaskular. Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan anak usia sekolah merupakan salah satu kelompok usia yang paling tidak aktif. Sedangkan menurut Riskesdas 2013 proporsi aktivitas fisik yang tergolong kurang aktif secara umum adalah 26.1%. 4. Lingkungan Sosial Budaya Meskipun telah masuk kebudayaan dari negara lain atau media modern, Indonesia tetap terus mempertahankan sebagian besar kebudayaannya. Kebiasaan tradisional ini telah mempengaruhi kekurangan gizi pada ibu hamil dan anak usia dini, dan norma-norma sosial mendorong banyak perempuan untuk menikah pada saat mereka masih anak-anak, yakni 25% wanita usia subur menikah sebelum berusia 18 tahun, bahkan 10% sebelum berusia 16 tahun, yang dengan demikian berkontribusi terhadap tingginya angka kelahiran, terutama di pulau-pulau terluar. Pada saat yang sama, anak-anak menonton televisi sekitar 4 jam perhari, sedangkan iklan makanan olahan mendominasi media, dengan iklan-iklan yang ditargetkan kepada anak-anak. Mayoritas orang tua melaporkan bahwa apa yang mereka beli dipengaruhi oleh pilihan anak-anaknya dibandingkan oleh pengaruh iklan. Hal ini menunjukkan perlunya mengurangi pengaruh dari luar, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara lain. Di Indonesia, bahkan mereka yang tidak terlihat “gemuk” memiliki sejumlah besar lemak didalam tubuh sebanyak 2 kali dari jumlah lemak tubuh orang kaukasia (ras kaukasia atau biasa disebut “berkulit putih”) yang memiliki bentuk tubuh serupa. Salah satu alasannya adalah terjadinya hambatan
12
pertumbuhan pada 1.000 hari pertama kehidupan yang diikuti pertumbuhan pesat selama masa kanak-kanak, yang didorong oleh gaya hidup perkotaan. Selain itu, bagi masyarakat di Indonesia, risiko kesehatan yang berterkaitan dengan kelebihan lemak tubuh berawal dari IMT yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain di Asia, dan tentunya lebih rendah daripada standar internasional. Kelebihan lemak tubuh yang tidak selalu terlihat secara fisik, mengakibatkan masalah ini dianggap remeh di kalangan masyarakat yang bergaya hidup perkotaan (urban). Dampak Masalah Gizi Ganda Dampak DBM sangatlah serius dan manifestasinya dapat dilihat di sepanjang kehidupan seseorang. Pada umumnya, dengan melakukan perbaikan dan pembangunan dengan menyediakan ketersediaan air bersih dan sanitasi yang lebih baik, serta peningkatan cakupan imunisasi, banyak anak-anak yang menderita kekurangan gizi berpeluang untuk bertahan hidup pada 2 tahun pertama kehidupannya. Namun, bagi mereka yang bertahan hidup di periode kritis ini, kerusakan yang diakibatkan oleh gizi buruk di fase awal akan berdampak seumur hidup. Dampak lain yang diberikan dari permasalahan gizi ini adalah terhambatnya pembangunan pada suatu wilayah, terutama sebuah negara. Keberhasilan pembangunan dilihat dari beberapa poin penting, diantaranya adalah pendapatan per kapita, kesejahteraan yang dilihat dari indeks kualitas hidup, pertumbuhan dan struktur ekonomi, serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jika beberapa hal di atas telah terpenuhi maka suatu negara dapat dikatakan berhasil dalam pembangunan. Masalah gizi ganda mempengaruhi terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan per kapita negara dan rendahnya produktivitas. Masalah gizi ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan melalui kerugian tiga urutan langsung dalam produktivitas dari status fisik yang buruk; tidak langsung kerugian dari fungsi kognitif yang buruk dan defisit di sekolah; dan kerugian karena peningkatan biaya perawatan kesehatan. Kerugian produktivitas individu diperkirakan lebih dari 10% dari pendapatan seumur hidup (World Bank 2006). Menurut Mendez dan Adair (1999) anak yang pendek mempunyai skor test kognitif yang lebih rendah jika dibandingkan dengan anak yang memiliki tinggi badan normal. Penelitian yang dilakukan oleh Hizni et al. (2009) juga menemukan bahwa kejadian stunting pada anak usia di bawah lima tahun mempunyai hubungan nyata dengan perkembangan bahasanya. Penelitian lainnya oleh Hall et al. (2001) membuktikan bahwa kejadian stunting berhubungan dengan pencapaian nilai pada tes matematika dan bahasa di Vietnam. Anak-anak yang stunted memiliki nilai tes yang lebih rendah daripada anak-anak yang normal. Permasalahan gizi ganda ini juga mempengaruhi produktivitas kerja yang merupakan kemampuan dalam berproduksi dibandingkan dengan input yang digunakan. Seseorang dikatakan produktif apabila mampu menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan yang diharapkan dalam jangka waktu yang singkat atau tepat. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja adalah gizi dan kesehatan. Bank Dunia memperkirakan 1.4% produktivitas ekonomi hilang akibat stunting. Jadi diperkirakan orang dewasa yang stunting memiliki penghasilan 20% lebih rendah dibanding orang yang tidak stunting. Stunting dapat menurunkan
13
Gross Domestic Product (GDP) suatu negara hingga 3%. Thomas dan Strauss (1998 dalam Hoddinot 2013) menemukan bahwa di Brazil, peningkatan tinggi badan 1% meningkatkan pendapatan seseorang hingga 2.4%. Kebanyakan pekerjaan dengan pendapatan yang cukup tinggi mensyaratkan tinggi badan yang tinggi. Di Indonesia dapat kita lihat bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti pegawai bank, jaksa, hakim dan polisi, disyaratkan harus memiliki tinggi badan di atas rata-rata. Selain itu stunting pada masa anak-anak juga merupakan faktor risiko kematian dari berbagai penyebab dan terjadinya peningkatan penyakit, perkembangan motorik rendah, kemampuan berbahasa, dan ketidakseimbangan sosial. Sehingga balita yang mengalami stunting merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan SDM yang berkualitas di masa depan. Stunting berakibat fatal kepada tingkat produktivitas pada masa dewasa. Studi longitudinal baru-baru ini pada anak-anak di Brazil, Guatemala, India, Philippines dan Afrika Selatan terkait dengan reduction in schooling, ketika anak yang mengalami stunting pada usia 2 tahun menyelesaikan sekolahnya hampir kurang dari 1 tahun lebih lama dari pada anak normal (Martorell et al. 2010; Adair et al. 2013). Penelitian lainnya yang sama menurut Martorell (2007) membuktikan bahwa kemampuan membaca anak yang pendek lebih rendah dibandingkan anak normal, dan pada saat mereka dewasa produktivitas anak pendek lebih rendah dibandingkan anak yang normal. Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia Indonesia masa mendatang akibat stunting tidak bisa diabaikan guna mencegah beberapa kemungkinan kerugian ekonomi akibat rendahnya SDM di masa depan. Balita stunting memiliki potensi kehilangan ekonomi saat dewasa. Menurut Grantham et al. (2007) sebuah review di Lancet menyimpulkan bahwa anak-anak stunting mengalami hambatan dalam pencapaian dikelas gabungan dan mengalami penurunan kemampuan atau kinerja di sekolah, serta setiap tahun memprediksi penurunan upah masa depan akan sebesar 8.3%. Sebagai pembanding perhitungan di Kamboja tentang kerugian ekonomi akibat permasalahan gizi (KEP, praktek non ASI, gizi saat kehamilan dan defisiensi zat gizi mikro) sebesar $400 juta atau mengurangi GDP sebesar 2.5% setiap tahunnya. Permasalahan stunting memiliki kerugian ekonomi sebesar $128 juta atau 31% yang merupakan kerugian tertinggi dibandingkan keseluruhan permasalahan gizi lainnya (Bagriansky et al. 2014). Balita stunting memiliki potensi kehilangan ekonomi saat dewasa. Menurut Grantham et al. (2007) sebuah review di Lancet menyimpulkan bahwa anak-anak stunting mengalami hambatan dalam pencapaiannya dikelas gabungan dan mengalami penurunan kemampuan atau kinerja di sekolah, serta setiap tahun memprediksi penurunan upah masa depan akan sebesar 8.3%. Penelitian lain oleh Schultz (2002) di Ghana dengan menggunakan data nasional dengan usia sampel 20-54 tahun yang menunjukan perubahan pendapatan atau gaji setiap kenaikan 1 cm tinggi badan pada pria sebesar 8-10%. Peningkatan tinggi badan sebesar 1 cm pada pria dapat mengarah ke peningkatan gaji atau pendapatan, beberapa penelitian lain seperti Kortt dan Leigh (2009) di Australia yaitu gaji mengarah menuju 0.3% peningkatan; Persico et al. (2004) di USA NLSY mengarah ke 2.2% peningkatan pendapatan; Behrman dan Rosenzweig (2001) di USA peningkatan 1 inch pada wanita mengarah ke 3.55.5% gaji atau pendapatan sedangkan pada pria sebanyak 1.4% sampai 2.2%.
14
Melihat dari beberapa penelitian di atas, dapat dilihat dan dibayangkan bahwa walaupun hanya dengan peningkatan 1 cm atau inch saja dapat meningkatkan pendapatan, sehingga dewasa yang mengalami stunting tentunya akan kesulitan memperoleh pekerjaan dengan gaji atau pendapatan yang lebih baik atau tinggi dikarenakan keterbatasannnya dan keterbatasan lapangan pekerjaa yang ada. Anak obesitas mengalami gangguan pernapasan dan komplikasi ortopedik (tulang). Risiko balita gemuk menimbulkan banyak penyakit, antara lain: gangguan penyakit hati (pengerutan jaringan hati, bahkan kanker hati); penyumbatan atau gangguan saluran pernapasan ketika tidur, dengan gejala mengompol sampai mengorok; usia yang lebih pendek daripada generasi orang tuanya. Kemungkinan berbagai risiko penyakit yang lebih mudah menyerang anak-anak yang kegemukan; pembuluh darah dan penyakit jantung, seperti pembesaran jantung atau peningkatan tekanan darah; gangguan metabolisme glukosa, misalnya intoleransi glukosa yang merupakan keadaan kadar glukosa lebih tinggi dari batas atau keadaan normal tetapi tidak mencapai kriteria diagnosis diabetes mellitus; gangguan kedudukan tulang, berupa kaki pengkor atau tergelincirnya bagian sambungan tulang paha (risiko lebih tinggi pada anak laki-laki); serta gangguan kulit, khususnya di daerah lipatan akibat sering bergesekan (Kementerian Kesehatan RI 2015). Dampak ekonomi obesitas secara global termasuk ke dalam tiga besar masalah sosial akibat manusia itu sendiri yang menghabiskan PDB dunia sekitar $2 triliun atau 2.8%. Obesitas juga mempengaruhi perekonomian karena berkurangnya produktivitas. Di Inggris mencapai $5 juta yang hilang akibat penurunan produktivitas kerja (Dobbs et al. 2014). Penelitian Gates et al. (2008) dikatakan bahwa adanya tambahan biaya sebesar $506 per tahun karena produktivitas yang hilang per pekerja akibat obesitas. Di Kanada pada tahun 2006 tambahan biaya kesehatan akibat kelebihan berat badan dan obesitas diperkirakan mencapai $6 miliar dan terdapat tambahan pula sebesar $5 miliar dari kehilangan produktivitas (Blouin 2014). Obesitas pada anak menyebabkan beberapa penyakit kronis meliputi gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, diabetes tipe 2 pada remaja, dyslipideinia, hipertensi, steatosis hepatic, gangguan gastrointestinal, dan obstruksi pernafasan saat tidur. Khususnya, obesitas pada remaja di kawasan Asia-Pasifik berhubungan dengan diabetes tipe 2 pada usia yang lebih muda (Mahoney et al. 1996). Banyak studi yang menunjukkan adanya kecenderungan anak obesitas untuk tetap obesitas ketika mereka dewasa (Guo et al. 1994), yang dapat berakibat pada kenaikan risiko penyakit dan gangguan yang berhubungan dengan obesitas pada masa kehidupan berikutnya. Menurut penelitian Gao dan Smyth (2010) di 12 kota di China dengan menggunakan data perkotaan, hasilnya menunjukan peningkatan tinggi badan sebanyak 1 cm untuk pria dapat meningkatkan pendapatan sebesar 4.5% serta sama halnya dengan wanita, pendapatan meningkat sebesar 7.3%. Wang et al. (2010) memperkirakan bahwa pengurangan kejadian kelebihan berat badan dan obesitas pada remaja 16-17 tahun sebesar 1% dapat mengurangi sekitar 52.821 orang dewasa obesitas di masa depan. Dengan demikian biaya kesehatan setelah usia 40 tahun akan berkurang sebesar $586 juta. Obesitas meningkatkan risiko kematian untuk semua penyebab kematian. Orang dengan berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi memiliki risiko kematian 2 kali lebih besar dibandingkan orang dengan berat
15
badan rata-rata (Lew dan Garfinkel 1979). Meningkatnya mortalitas diantara penderita obesitas merupakan akibat dari beberapa penyakit yang membahayakan kehidupan seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, penyakit kandung kemih, kanker gastrointestinal dan kanker yang sensitif terhadap perubahan hormon. Orang obesitas juga mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita beberapa masalah kesehatan seperti arthritis, back pain, infertilitas, dan fungsi psychososial yang menurun (WHO 2000). Konsekuensi dari kegemukan yaitu kesehatan, sosial, dan ekonomi. Beban ekonomi obesitas dari biaya kesehatan juga sangat tinggi. Di Amerika setiap tahun diperkirakan biaya pengobatan akibat obesitas pada orang dewasa mencapai rata-rata $2.741 (mengacu pada dollar Amerika tahun 2005). Sementara secara nasional biaya kesehatan akibat penyakit terkait obesitas pada orang dewasa mencapai $209.7 miliar per tahun (Cawley dan Meyerhoefer 2012). Di Australia pada tahun 2005 biaya langsung (direct cost) akibat beban kelebihan berat badan dan obesitas mencapai $21 miliar per tahun (Colagiuri 2010). Penanggulangan Masalah Gizi Ganda Gizi adalah komponen penting dari program pemerintah. Total anggaran untuk gizi masyarakat adalah Rp 244 milyar (sekitar US$ 26 juta) dari pemerintah pusat dan tambahan Rp 148 milyar tersedia dari pendanaan khusus termasuk pinjaman. Sekitar 60% dari pendanaan ini dipertahankan di tingkat Pusat dan sisanya disediakan bagi propinsi sebagai anggaran desentralisasi berdasarkan jumlah penduduk dan prevalensi bobot kurang (Pangaribuan 2010). Menurut Indonesia Health Sector Review (2012) berbagai aksi untuk memperkuat respons terhadap masalah gizi telah ada dalam gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) yang diikuti Indonesia sejak bulan September 2012 (Shrimpton et al. 2012). SUN yang fokusnya pada kekurangan gizi ibu hamil dan anak, perlu mengadopsi masalah DBM seiring dengan usaha negara untuk meningkatkan respons terhadap masalah DBM, khususnya karena upaya untuk mengatasi masalah kekurangan gizi pada ibu hamil dan anak usia dini merupakan langkah pertama yang diperlukan untuk mencegah DBM di tahapan kehidupan selanjutnya. Menurut Indonesia Health Sector Review ada beberapa aksi kebijakan yang perlu untuk di pertimbangkan, didiskusikan secara mendalam, serta segera ditindak lanjuti dan diuji cobakan di Indonesia untuk menangani masalah gizi ganda (Shrimpton et al. 2012) : 1. Kebijakan dan Rencana Gizi Memastikan dari awal bahwa program gizi di Indonesia berorientasi menangani DBM, menyadari bahwa prioritas pertama untuk melakukannya adalah dengan menangani masalah stunting melalui peningkatan gizi ibu hamil dan anak usia dini; memastikan bahwa rencana untuk dewan/forum gizi nasional tingkat tinggi pada akhirnya mencakup rencana untuk menangani DBM, dengan mengembangkan inisiatif yang ada saat ini melalui SUN; dan memastikan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) mempertimbangkan DBM dengan memadai. 2. Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita Memperkuat mekanisme yang sudah ada dan memastikan dilaksanakannya Peraturan Pemasaran Susu Pengganti ASI, sehingga bayi tidak lagi diberi susu pengganti ASI oleh pekerja kesehatan, terutama pada saat kelahiran; memperkuat upaya untuk memperbaiki pola makan anak melalui fortifikasi di rumah,
16
fortifikasi makanan pendamping, serta sumber makanan hewani sesuai kebutuhan; dan memperkuat semua upaya untuk mengendalikan defisiensi mikronutrien ganda yang terus dialami khususnya pada ibu dan balita melalui fortifikasi, serta pemberian suplemen. Sanitasi dan pemberian obat cacing selama kehamilan sesuai rekomendasi WHO untuk membantu mengendalikan anemia pada ibu hamil. 3. Keamanan Pangan dan Gizi Memperkuat aspek kebijakan pertanian dalam rangka mempromosikan produksi sayuran dan buah-buahan melalui petani lokal berskala kecil, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas ketersediaan pangan tetapi juga untuk meningkatkan pendapatan di kalangan miskin pedesaan, sehingga baik keamanan pangan maupun keamanan gizi terjamin; dan memperkuat semua program kesejahteraan sosial bagi ibu dan balita dengan memastikan program bantuan tunai bersyarat termasuk keterkaitannya dengan promosi tanaman panen bernilai gizi tinggi seperti buah-buahan dan sayuran yang bisa atau seharusnya disediakan oleh petani lokal berskala kecil melalui pasar petani lokal. 4. Pendidikan Gizi dan Gaya Hidup Sehat Sebagai prioritas pertama untuk mengatasi masalah “stunting-obesitasPTM”, adalah pengembangan pendidikan gizi yang luas dan efektif di seluruh Indonesia untuk mahasiswa, akademisi, pejabat pemerintah, politisi, industri makanan, dan masyarakat umum; memperkenalkan peraturan nasional untuk mengurangi dampak pemasaran makanan yang mengandung kadar tinggi lemak jenuh, asam lemak-trans, gula bebas, atau garam pada anak-anak, dalam fungsi rekomendasi kebijakan resolusi World Health Assembly (WHA); mengiklankan makanan apapun untuk anak-anak melalui media apapun harus dilarang dan pelanggarannya diberikan hukuman; dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa inisiatif perencanaan perkotaan masa depan yang menunjang olahraga dengan membuat lebih banyak jalur sepeda, trotoar, daerah pejalan kaki dan taman. 5. Penelitian Mengembangkan model untuk memperkirakan dampak ekonomi dan fiskal DBM di sepanjang kehidupan; menjajaki potensi dan kemungkinan untuk memberlakukan pajak atas komoditas pangan impor yang menerima subsidi dari negara asalnya, serta pajak atas makanan cepat saji tertentu, misalnya minuman yang mengandung kadar gula tinggi; memeriksa kandungan lemak pada pola pangan yang dikonsumsi secara nasional termasuk kualitas lemak, serta jumlah dan sumber lemak trans yang dikonsumsi; dan melakukan survei gizi tingkat nasional untuk memastikan status zat mikronutrien, terutama untuk anemia defisiensi besi, dan kekurangan yodium, vitamin A dan seng. Produk Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto Menurut Badan Pusat Statistik (2013) Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat regional (provinsi) menggambarkan kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output atau nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDB dan PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan. PDRB merupakan gambaran dari pendapatan rata-rata disetiap daerah atau wilayah, sedangkan PDRB per kapita merupakan gambaran dan rata-rata pendapatan yang
17
diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. Data statistik ini merupakan salah satu indilator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu wilayah atau daerah. Penghitungan PDRB atas dasar harga berlaku dilakukan dengan dua metode, salah satunya adalah metode langsung. Pada metode langsung dikenal dengan tiga macam penghitungan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran, dan pendekatan pendapatan. Sehingga pada penelitian ini menggunakan PDRB atas dasar harga berlaku. Selain itu menggunakan harga berlaku karena menggambarkan nilai barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu daerah. Nilai PDRB yang besar menunjukan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar begitu pun sebaliknya. PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas, digunakan dalam penelitian ini karena rata-rata provinsi yang ada di Indonesia hasil lapangan usahanya berasal dari lapangan usaha tanpa migas, sehingga nantinya sulit untuk dihitung atau dibandingkan antar wilayah atau provinsi.
KERANGKA PEMIKIRAN Permasalahan gizi karena kekurangan dan kelebihan gizi meningkat, sehingga berkembang menjadi masalah gizi ganda. Karena itu dilakukan estimasi kerugian ekonomi akibat masalah kekurangan dan kelebihan gizi, sehingga dapat segera mengambil langkah-langkah yang cepat dan tepat sasaran. Masalah ini menyangkut kepentingan masyarakat luas maka biaya dapat dikelompokan dengan berbagai cara, salah satunya adalah tangible-intangible (Musgrave RA dan Musgrave PB 1989; Mangkoesoebroto 1998). Tangible cost adalah semua biaya yang dapat dinilai dengan uang, contohnya biaya perawatan, biaya sumber daya, pendapatan atau upah yang hilang, dan lainnya. Intangible cost adalah biaya yang tidak mudah untuk dinilai atau dikonversi dengan uang, contohnya biaya mengganti rasa sakit, kecemasan, kelelahan, dan penderitaan pasien dari penyakit atau perawatan yang diberikan. Penelitian ini menggunakan tangible cost, karena penelitian ini menghitung estimasi potensi kerugian ekonomi karena rendah produktivitas yang rendah akibat stunting dan obesitas yang nanti produktivitasnya akan akan di nilai atau di ukur dengan biaya (uang). Masalah gizi ganda (stunting dan obesitas) pada penelitian ini adalah masalah yang terjadi pada suatu wilayah (public health problem). Stunting berdampak pada penurunan kognitif, sehingga mengakibatkan rendahnya pendidikan yang nantinya akan menghambat pertumbuhan ekonomi individu, keluarga, serta negara. Selain itu stunting juga dapat meningkatkan risiko kegemukan dan obesitas yang nantinya akan menyebabkan tingginya risiko PTM dan kematian dini. Obesitas itu sendiri memiliki dampak yang sama dengan stunting yaitu menyebabkan penurunan produktivitas (di sekolah maupun ketika bekerja), meningkatkan risiko PTM, kematian dini, dan SDM yang tidak berkualitas. Oleh karena itu jika kedua masalah ini terjadi pada waktu yang
18
bersamaan di suatu wilayah, tentu akan menjadi masalah besar yang dapat menghambat perekonomian, sehingga pembangunan suatu wilayah menjadi terhambat. Berikut ini adalah kerangka penelitianya:
MASALAH GIZI Stunting Risiko Overweight/ Obesitas
Kognitif
Status Infeksi
High Costs for treatmeant and funeral
Obesitas
Risiko PTM
Risiko PTM
Risiko Kematian dini
Produktivitas Rendah
Pendapatan Rendah
Physical disability and Sexual problem
Tinggi Ketidakhadiran Kerja
Risiko Kematian dini
Tinggi Biaya Perawatan
High Costs Funeral
Kehilangan Potensi Ekonomi
KERUGIAN EKONOMI WILAYAH
Keterangan:
= Variabel Independent = Variabel Dependent = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti
Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian estimasi potensi kerugian ekonomi akibat stunting dan obesitas pada balita di Indonesia Melakukan estimasi kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda membutuhkan beberapa data pendukung untuk membantu dalam meneliti variabel independent (masalah gizi ganda yaitu kekurangan gizi (stunting) dan kelebihan
19
gizi (obesitas) pada balita) yang memberi pengaruh terhadap variabel dependent (produktivitas dan biaya perawatan). Beberapa data ini didapatkan dari berbagai instansi yang ada di Indonesia dan beberapa jurnal penelitian yang serupa baik nasional maupun internasional. Berikut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3 Variabel dan indikator penelitian No. 1.
Variabel Independent Stunting
Variabel Dependent Produktivitas
2.
Ketidakhadiran Produktivitas kerja dan Biaya perawatan PTM karena obesitas
3.
Prevalensi stunting dan obesitas
Potensi kerugian ekonomi di berbagai provinsi di Indonesia
Indikator
Sumber
Upah/gaji Suku bunga/ discount rate
BPS 2013 Aries dan Martianto (2006); Kusumawardhani dan Martianto (2011) Usia produktif BPS 2014a Prevalensi Balitbangkes (Riskesdas stunting 2013b, 2013c) Jumlah Kementerian Kesehatan kelahiran 2013 Faktor koreksi Horton (1999) Upah/gaji harian BPS 2013 (245 hari kerja) Rata-rata hari Balitbangkes (Riskesdas dia tidak bekerja 2013a) (rawat inap dan rawat jalan) Tingkat BPS 2014b partisipasi kerja Jumlah balita Balitbangkes (Riskesdas obesitas 2013 2013a) Biaya rawat Balitbangkes (Riskesdas inap dan rawat 2013a) jalan Relative risk Pitayatienanan et al. (RR) (2014) comorbidities Faktor koreksi Guo et al. (2002) Prevalensi stunting dan obesitas
Hasil olah data mikro peneliti (sumber data dari Balitbangkes (Riskesdas 2013b, 2013c)
METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskritif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Desain penelitian ini digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang
20
dihadapi pada situasi sekarang. Penelitian dilakukan dengan mengolah data dari berbagai instansi terkait yang seluruhnya berupa data sekunder. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat dan dilaksanakan mulai bulan Desember 2015 sampai Maret 2016. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang berasal dari sumber hasil survei dari beberapa instansi pemerintah yang ada di Indonesia. Data-data ini diharapkan dapat membantu dalam penelitian ini, melihat bahwa pada penelitian ini sangat bergantung pada ketersediaan dan kelengkapan data yang ada. Untuk jenis dan cara pengumpulan data penelitian data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Tabel 4 Jenis data yang dikumpulkan, tahun, serta sumber data yang dianalisis No. 1.
2.
3.
Variabel Karakteristik Balita di Indonesia
Jenis Data Umur, jenis kelamin, data status gizi atau Z-score balita, jumlah dan prevalensi balita (0-59bulan) obesitas dan stunting Karakteristik Penduduk Jumlah penduduk balita, jumlah Balita menurut Provinsi kelahiran, jenis kelamin, dan kelompok umur Upah/gaji tenaga kerja Data upah/gaji/pendapatan bersih pekerja menurut provinsi dan lapangan pekerjaan utama
Sumber Riskesdas 2013 (Balitbangkes)
BPS RI dan Kemenkes (2013) BPS RI (2013)
Asumsi penelitian yang digunakan Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi. Asumsi-asumsi ini digunakan oleh peneliti agar hasil perhitungan dan analisis dari penelitian ini dapat diterima secara umum. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Menurut Horton (1999) seseorang yang stunting akan mengalami penurunan produktivitas sebesar 2% - 9%, sehingga 2% dan 9% digunakan sebagai faktor koreksi dalam perhitungan dengan menggunakan rumus Konig (1995) pada balita stunting. 2. Gaji/upah yang diterima pada semua sektor lapangan usaha sama. 3. Gaji/upah yang digunakan pada balita stunting (secara umum antara laki-laki dan perempuan) sedangkan pada balita obesitas berdasarkan jenis kelamin (berbeda antara laki-laki dan perempuan) dari BPS tahun 2013. 4. Hasil potensi kerugian ekonomi akibat stunting tidak termasuk biaya perawatan akibat penyakit infeksi. 5. Discount rate atau suku bunga yang digunakan 5%. 6. Usia produktif tang digunakan pada penelitian yaitu usia 15-64 tahun. 7. Jumlah balita stunting yang digunakan usia 0 – 59 bulan. 8. Potensi kerugian ekonomi akibat stunting pada balita di 32 provinsi dan akibat obesitas di 33 provinsi di Indonesia tahun 2013. 9. Tidak adanya perbaikan gizi pada balita stunting. 10. Data balita stunting dan obesitas berdiri sendiri (balita stunting - tidak gemuk, balita obesitas - tidak stunting).
21
11. Melihat nilai potensi kerugian ekonomi dalam persentase kerugian terhadap PDRB dan PDB di Indonesia pada balita stunting menggunakan PDRB dan PDB secara umum (laki-laki dan perempuan), sedangkan balita obesitas menggunakan PDRB dan PDB berdasarkan jenis kelamin (berbeda antara laki-laki dan perempuan) dari BPS tahun 2013. 12. Prevalensi balita stunting dan obesitas yang digunakan berasal dari hasil olah data peneliti yang bersumber dari data mikro Riskesdas tahun 2013. 13. Comorbidities merupakan akibat atau dampak dari obesitas. 14. Relative Risk (RR) pada tiap comorbidities dapat mewakili keadaan yang ada di Indonesia. 15. Jumlah balita obesitas yang digunakan usia 3 – 5 tahun (30 – 59 bulan). 16. Jumlah penduduk balita obesitas laki-laki/perempuan obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa umur 35 tahun atau lebih menggunakan faktor koreksi dari Guo et al. (2002). 17. Probabilitas (kemungkinan) balita obesitas yang ketika dewasa umur 35 tahun atau lebih diprediksi obesitas memiliki persen probabilitas (faktor koreksi) yang berbeda antara jenis kelamin dan umur, sehingga yang digunakan pada laki-laki umur 3, 4, dan 5 tahun (0.15%, 0.14%, dan 0.31%) dan perempuan umur 3, 4, dan 5 tahun (0.24%, 0.25%, dan 0.37%). 18. Biaya perawatan kesehatan (rawat inap dan rawat jalan) yang dikeluarkan digunakan untuk mengobati penyakit atau comorbidities (kanker, diabetes mellitus, hipertensi, jantung ischemic, osteoarthritis, dan stroke) sebagai akibat dari obesitas, serta tanpa melihat tingkat keparahan/kondisi penyakit, dan ruang/kelas perawatan kesehatan. 19. Jumlah hari tidak masuk kerja sama dengan jumlah hari melakukan cek-up kesehatan untuk perawatan dan pengobatan (rawat inap dan rawat jalan). 20. Hasil potensi kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda (stunting dan obesitas) merupakan potensi kerugian ekonomi wilayah (provinsi dan nasional). Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah. Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahap, yang terdiri dari: a. Editing Dilakukan editing data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh adalah data bersih yaitu data tersebut telah terisi semua, konsisten, relevansi, dan dapat dibaca dengan baik. Hal ini dilakukan dengan melakukan analisis atau pembersihan terhadap data yang salah atau tidak tepat, sehingga dapat digunakan dengan benar dalam analisis. b. Entry Data awal berupa data sekunder yang telah terkumpul akan dientri dan dihitung peneliti ke dalam program microsoft office excell. c. Coding Tiap data dilakukan recoding untuk memudahkan keperluan analisa dan perhitungan data, sehingga tidak terjadi kesalahan. Data yang akan dilakukan recoding adalah data yang telah di entry ke dalam program microsoft office excell.
22
d. Cleaning Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukan (entry), ada tidaknya kesalahan saat dilakukan (entry data dari satu program ke program lainnya) dilihat pada tahap ini. Hasil cleaning pada data dari variabel karakteristik balita di 33 provinsi dengan jenis data berupa umur, jenis kelamin, data status gizi atau Z-score balita dan jumlah balita (0-59 bulan), terdapat pada tabel di lampiran 2 dapat dilihat jumlah balita usia 0-59 bulan sebelum dilakukan cleaning berjumlah 82 666 jiwa, dengan provinsi yang memiliki jumlah balita tertinggi adalah Provinsi Jawa Timur (6 782 jiwa) dan terendah 705 jiwa terdapat di Provinsi DI Yogyakarta. Setelah dilakukan cleaning jumlah balita yang akan dianalisis adalah 75 272 jiwa, dengan data jumlah balita yang telah dieliminasi karena missing atau tidak lengkap sebanyak 7 394 jiwa. Balita sebanyak 75 272 jiwa, dengan balita yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 38 550 jiwa dan perempuan sebanyak 37 031 jiwa. e. Pengolahan data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan dengan program microsoft office excell. Tahapantahapan serta rumus perhitungan yang digunakan untuk menghitung besarnya potensi ekonomi yang hilang akibat masalah kekurangan dan kelebihan gizi yang mengakibatkan muncul masalah stunting dan obesitas adalah sebagai berikut: 1. Masalah Kekurangan Gizi (Stunting) a. Menghitung nilai ekonomi anak saat mulai bekerja Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghitung nilai ekonomi anak saat mulai bekerja yaitu saat seseorang memasuki usia produktif. Usia produktif menurut BPS adalah saat anak memasuki usia 15-64 tahun. Di Indonesia usia harapan hidup seseorang tahun 2013 adalah 70 tahun (BPS 2014a). Jika melihat usia harapan hidup di Indonesia, masih ada beberapa atau sekelompok orang yang tetap produktif walaupun berusia lebih dari 64 tahun. Walaupun begitu penelitian ini menggunakan data usia produktif secara umum yang sama dan dikeluarkan oleh beberapa instansi seperti Kementerian Kesehatan 2013, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2013, serta BPS 2014a. FV[r,t] = P0 (1 + r )t P0 r FV[r,t] t
= Upah/gaji 2013 = Suku bunga (Discount rate) = Pendapatan diusia produktif (15-64th) = Tahun kehidupan yang produktif
Data lainnya adalah suku bunga, yang diasumsikan suku bunga di Indonesia adalah 5%, data ini digunakan peneliti dengan merujuk pada beberapa penelitian serupa di Indonesia yang menggunakan asumsi yang sama (Aries dan Martianto 2006; Kusumawardhani dan Martianto 2011). Suku bunga digunakan karena penelitian ini akan memprediksi atau melakukan estimasi potensi dan kerugian ekonomi saat ini sampai dengan masa depan. Sehingga kita dapat mengetahui kerugian ekonomi yang dinilai dengan uang pada saat ini sampai
23
dengan dimasa depan dengan menggunakan suku bunga. Data selanjutnya adalah data upah/gaji/ pendapatan bersih sebulan pekerja menurut provinsi dan lapangan pekerjaan utama yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2013), namum pada penelitian ini nantinya upah/gaji per bulan akan dihitung ke dalam tahun sehingga yang digunakan adalah data upah/gaji per tahunnya. Upah/gaji menggunakan pendekatan upah riil atau dapat dikatakan bahwa upah/gaji tidak general karena banyak sektor-sektor terkait yang upahnya berbedabeda dan tentunya dengan per pekerjaan utama yang berbeda-beda juga upahnya. Seharusnya akan lebih baik jika menggunakan alokasi upah dari PDRB atau wage share atau persen upah tiap sektor dan per pekerjaan utama yang sudah general karena berasal dari persen upah dikali dengan PDRB per kapita/lapangan usaha. Berikut di atas adalah rumus yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi anak saat mulai bekerja, rumus berasal dari Konig (1995 dalam Aries dan Martianto 2006). Setelah mendapatkan data yang diperlukan, selanjutnya adalah memasukannya ke dalam rumus di atas sehingga diperoleh pendapatan diusia produktif. b. Menghitung besarnya nilai ekonomi sampai anak masuk masa pensiun Langkah kedua setelah memperoleh pendapatan saat anak mulai bekerja adalah menghitung nilai ekonomi sampai anak masuk masa pensiun. Data yang diperlukan adalah hasil perhitungan pendapatan saat anak mulai bekerja dikalikan dengan suku bunga dan dibagi dengan suku bunga. Berikut di bawah ini adalah rumus Konig (1995 dalam Aries dan Martianto 2006): FVA[r,t] = (FV[r,t]) [(1 + r)t – 1] r FV[r,t] r t FVA[r,t]
= = = =
Pendapatan diusia produktif (e,g 15th year) Suku bunga (Discount rate) Tahun kehidupan yang produktif Nilai ekonomi sampai anak masuk masa pensiun
Setelah memasukan data-data yang diperlukan dalam rumus di atas, maka dapat diketahui besar nilai ekonomi sampai anak masuk masa pensiun yaitu dari usia 15-64 tahun atau selama 49 tahun. c. Menghitung besar potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun Langkah ketiga menghitung besar potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun, data ini tidak dicari pada langkah pertama karena untuk menghitung dan mendapatkan besar potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun ini memerlukan nilai ekonomi sampai anak masuk masa pensiun. Data lain yang diperlukan adalah suku bunga. PV[0] = FVA[r,t] (1 + r )t FVA[r,t] r t
= Nilai ekonomi sampai anak masuk masa pensiun = Suku Bunga (Discount rate) = Tahun kehidupan yang produktif
24
PV[0]
= Potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun
Berikut di atas adalah rumus Konig (1995 dalam Aries dan Martianto 2006) yang digunakan untuk memperoleh besar potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun. Menarik mundur kembali data saat usia anak mulai produktif, masuk masa pensiun ke saat anak berusia 0 tahun agar diketahui besar potensi ekonomi yang akan dihasilkan oleh anak pendek (stunting). d. Menghitung besar potensi biaya produktivitas yang hilang akibat stunting Langkah keempat adalah menghitung potensi ekonomi yang hilang akibat stunting, dengan memerlukan data prevalensi balita stunting yang bersumber dari pokok-pokok hasil Riskesdas provinsi tahun 2013; jumlah kelahiran balita tahun 2013, data ini dibutuhkan untuk mengetahui besar potensi yang berasal dari setiap anak yang lahir serta potensi kerugiannya jika mengalami masalah gizi; dan hasil perhitungan dari langkah dn rumus ketiga yaitu Potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun. Berikut di bawah ini rumus yang digunakan yang berasal dari Konig (1995 dalam Aries dan Martianto 2006): PPEM = Prev x BL x PV[0] PPEM Prev BL PV[0]
= Potensi ekonomi yang hilang akibat stunting = Prevalensi balita pendek (stunting) = Jumlah kelahiran (Number of life birth) = Potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun
Setelah terkumpul semua data, selanjutnya masukan ke dalam rumus yang ada di atas untuk menghitung potensi ekonomi yang hilang akibat stunting, maka prevalensi stunting dikalikan dengan jumlah kelahiran dan potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun. Sehingga didapatkan besar biaya produktivitas yang hilang akibat stunting. e. Menghitung besar potensi kerugian ekonomi yang telah dikoreksi Langkah selanjutnya adalah menghitung besar kerugian ekonomi yang telah dikoreksi, dengan menggunakan faktor koreksi yang berasal dari Horton (1999), berikut rumus yang digunakan: P = f (cor) x Prev x BL x PV[0] f (cor) P Prev BL PV[0]
= Faktor koreksi/Correction factor (2-9%) = Besarnya kerugian ekonomi yang telah dikoreksi = Prevalensi balita pendek (stunting) = Jumlah kelahiran (Number of life birth) = Potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun
Data yang diperlukan untuk dimasukan ke dalam rumus adalah faktor koreksi yang berasal dari penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini menggunakan faktor koreksi yang dilihat dari Horton (1999) yang mengatakan
25
bahwa pada kondisi yang sebenarnya, anak-anak atau balita tersebut masih dapat pulih sehingga tetap masih mempunyai produktivitas yang besarnya kurang dari 100%. Dalam penelitian mereka diketahui bahwa pada anak-anak yang mempunyai riwayat gizi buruk dengan Z-score <-3 dengan indikator berat badan berdasarkan umur (BB/U), maka akan mengalami kehilangan produktivitas sebanyak 2-9%. Sehingga biaya kerugian yang dihitung bukan berasal dari anak yang 100% tidak produktif lagi karena stunting. Data lain adalah prevalensi stunting yang didapatkan dari pokok-pokok hasil Riskesdas provinsi tahun 2013; jumlah kelahiran pada tahun 2013 yang berasal dari Kementerian Kesehatan RI; serta data hasil perhitungan dari langkah dan rumus ketiga yaitu potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun. Setelah data terkumpul semuanya dimasukan ke dalam rumus di atas, untuk mengetahui besarnya kerugian ekonomi yang telah dikoreksi maka faktor koreksi 2% dan 9% (dihitung secara terpisah dengan rumus dan langkah-langkah yang sama) dikalikan dengan prevalensi stunting, jumlah kelahiran dan potensi ekonomi anak saat berusia 0 tahun. Hasilnya akan menunjukan besar kerugian ekonomi yang telah dikoreksi dengan penurunan produktivitas sebesar 2% - 9%. 2. Masalah Kelebihan Gizi (Obesitas) Kerugian Ekonomi karena Ketidakhadiran Kerja a. Menghitung jumlah dan prevalensi balita umur 3-5 tahun yang obesitas dengan menggunakan faktor koreksi Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung jumlah balita obesitas yang diprediksi akan tetap obesitas pada usia dewasa yaitu 35 tahun dari data jumlah balita obesitas usia 3, 4, dan 5 tahun yang belum dikoreksi dengan menggunakan faktor koreksi. Jumlah balita akan dikategorikan menurut umur yaitu 3 tahun (30-36 bulan), 4 tahun (37-48 bulan) dan 5 tahun (49-59 bulan), serta berdasarkan jenis kelamin dari masing-masing kategori umur ini. Prediksi dilakukan dengan menggunakan peluang balita obesitas untuk tetap obesitas dari penelitian Guo et al. (2002). Penelitian oleh Guo et al. tahun 2002 ini merupakan penelitian yang memprediksikan anak umur 3-20 tahun yang memiliki berat badan lebih memiliki probabilitas (kemungkinan) pada umur 35 tahun atau lebih akan tetap mengalami masalah obesitas. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini digunakan sebagai faktor koreksi, namun yang digunakan hanya hasil penelitian yang menunjukan kelebihan berat badan anak laki-laki dan perempuan umur 3, 4, dan 5 tahun yang memiliki probabilitas untuk nanti pada umur 35 tahun atau lebih menderita obesitas, hal ini dikarenakan tidak adanya faktor koreksi dari usia 0-2 tahun. Pada anak laki-laki 0.15%, 0.14%, dan 0.31%, sedangkan pada anak perempuan 0.24%, 0.25%, dan 0.37%. Jika dilihat dari hasilnya maka terlihat perbedaan kemungkinan mengalami obesitas antara anak laki-laki dan perempuan ketika dewasa. Rumus yang digunakan, yaitu: nkor = n x f(cor) nkor = Jumlah balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa n = Jumlah balita obesitas menurut umur dan jenis kelamin f (cor) = Faktor koreksi menurut umur dan jenis kelamin
26
Hasil yang diperoleh dari rumus di atas, selanjutnya akan dijumlahkan untuk setiap kategori umur dan jenis kelamin, sehingga diperoleh total jumlah balita obesitas laki-laki dan perempuan umur 3, 4, dan 5 tahun yang telah dikoreksi (lihat lampiran 1). Dari total jumlah balita obesitas yang telah dikoreksi maka dapat dikatakan, telah diperoleh jumlah balita yang saat ini obesitas dan nanti ketika dewasa tetap obesitas. Selanjutnya setelah memperoleh jumlah balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa, akan digunakan untuk menghitung prevalensi balita yang saat ini obesitas dan nanti ketika dewasa tetap obesitas dengan cara total jumlah balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa (laki-laki dan perempuan) dibagi dengan jumlah balita umur 3, 4, dan 5 tahun yang obesitas sebelum dikoreksi dengan menggunakan faktor koreksi. Berikut perhitungannya: Prevkor = Prevkor nkor np
nkor : np
= Prevalensi balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa = Jumlah balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa = Jumlah balita obesitas (3-5 tahun) sebelum dikoreksi menurut jenis kelamin
Hasil yang diperoleh dari rumus di atas, selanjutnya akan digunakan untuk mencari jumlah balita obesitas disetiap provinsi yang ada di Indonesia yang telah dikoreksi dengan menggunakan faktor koreksi, sehingga data jumlah balita ini dapat menggambarkan jumlah balita yang ketika balitanya obesitas dan saat dewasa usia 35 tahun tetap obesitas. Rumus yang digunakan yaitu prevalensi balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa dikalikan dengan jumlah penduduk balita pada provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. b. Menghitung nilai ekonomi produktivitas ketidakhadiran kerja Menghitung nilai ekonomi produktivitas ketidakhadiran kerja yang dikarenakan oleh masalah kelebihan gizi (obesitas), maka diperlukan data jumlah penduduk balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa (lihat lampiran 1), upah/gaji harian pada tahun 2013 (lihat lampiran 2), lampiran 1 untuk data ratarata hari dia tidak bekerja (rawat inap dan rawat jalan), dan tingkat partisipasi kerja. Data jumlah balita (0-59 bulan) yang obesitas dari 33 provinsi yang ada di Indonesia berjumlah 5 675 balita obesitas, setelah dikoreksi menggunakan faktor koreksi dengan melalui tahapan perhitungan di atas maka diperoleh balita usia 3, 4, dan 5 tahun dengan jumlah 321 balita laki-laki dan 365 balita perempuan atau 686 balita obesitas yang ketika dewasa memiliki kemungkinan tetap mengalami obesitas (jumlah balita obesitas dari data sampel). Selanjutnya prevalensi balita obesitas (3-5 tahun) yang telah dikoreksi dikalikan dengan jumlah penduduk balita tahun 2013 ditiap provinsi yang ada di Indonesia, sehingga hasil dari perhitungan jumlah penduduk balita obesitas yang telah dikoreksi ini yang akan digunakan dalam rumus selanjutnya. Diperkirakan jumlah balita obesitas di Indonesia yang ketika dewasa tetap mengalami masalah obesitas yaitu 1 425 800 balita laki-laki dan 1 550 376 balita perempuan. Setelah memperoleh data yang diperlukan maka data jumlah penduduk balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa berdasarkan jenis
27
kelamin dikalikan dengan upah/gaji harian, rata-rata hari dia tidak bekerja (rawat inap dan rawat jalan), dan tingkat partisipasi kerja, sehingga akan diperoleh potensi ekonomi produktivitas yang hilang akibat ketidakhadiran kerja. Potensi ekonomi produktivitas yang hilang ini merupakan potensi ekonomi yang hilang dari orang yang ketika balita mengalami obesitas dan saat dewasa tetap obesitas, sehingga potensi kehilangannya dikatakan double burden (double burden pada subjek atau individu yang sama). Berikut rumus perhitungan yang digunakan berasal dari penelitian Pitayatienanan et al.(2014) di Thailand, yaitu: CPLa = CPLa n(l) n(p) AW Ʃ ndio(l) Ʃ ndio(p) Pj
n(l)/(p) x AW x Ʃ ndio(l)/(p) x Pj
= Nilai ekonomi produktivitas ketidakhadiran kerja = Jumlah penduduk balita laki-laki obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa = Jumlah penduduk balita perempuan obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa = Upah/gaji harian (Average wage) pada 245 hari kerja tahun 2013 = Jumlah hari dia rawat inap dan rawat jalan (laki-laki) = Jumlah hari dia rawat inap dan rawat jalan (perempuan) = Tingkat partisipasi kerja
Data upah/gaji yang digunakan adalah harian, Hal ini dikarenakan untuk melihat nilai ekonomi produktivitas dari pekerjaanya maka perlu dilihat ketidakhadiran kerja per harinya. Sehingga dibutuhkan informasi tentang jumlah hari kerja tahun 2013, diperoleh 245 hari kerja dari kalender kerja nasional tahun 2013. Data yang telah ada maka akan dimasukan dalam rumus di atas, jumlah balita berdasarkan jenis kelamin yang telah dikoreksi dikalikan dengan upah kerja harian, rata-rata hari dia tidak bekerja (rawat inap dan rawat jalan), dan tingkat partisipasi kerja maka diperolehlah potensi ekonomi produktivitas yang hilang akibat ketidakhadiran kerja atau potensi ekonomi yang hilang dari orang yang ketika kecil atau balitanya obesitas dan saat dewasa tetap obesitas. Kerugian Ekonomi karena Biaya Perawatan Rumah Sakit a. Menghitung nilai ekonomi produktivitas karena biaya perawatan Menghitung nilai ekonomi produktivitas karena biaya perawatan yang dikarenakan oleh masalah kelebihan gizi (obesitas). Tahapan perhitungan awal menggunakan rumus, data, dan hasil perhitungan yang sama dengan langkah (a) saat menghitung kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja. Data yang diperlukan selanjutnya untuk digunakan pada rumus atau langkah selanjutnya adalah jumlah penduduk balita usia 3, 4, dan 5 tahun yang obesitas dan diprediksi obesitas saat dewasa (lihat lampiran 1), rata-rata biaya perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang dikeluarkan untuk kejadian comorbidities, dan proporsi kejadian comorbidities pada populasi obesitas. Setelah memperoleh data yang diperlukan maka data jumlah penduduk balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa berdasarkan jenis kelamin dikalikan dengan rata-rata biaya perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang dikeluarkan untuk kejadian comorbidities, dan proporsi
28
kejadian comorbidities pada populasi obesitas. Berikut rumus perhitungan yang digunakan berasal dari penelitian Pitayatienanan et al.(2014) di Thailand, yaitu: CPLb = CPLb n(l) n(p) PKc Rij(l)/(p) Ri(l)/(l) Rj(l)/(p)
n(l)/(p) x PKc x Rij(l)/(p)
= Nilai ekonomi produktivitas akibat biaya perawatan = Jumlah penduduk balita laki-laki obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa = Jumlah penduduk balita perempuan obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa = Proporsi kejadian comorbidities pada populasi obesitas = Biaya perawatan (rawat inap dan jalan) laki-laki/perempuan = Rata-rata biaya perawatan rawat inap pada laki-laki dan perempuan = Rata-rata biaya perawatan rawat jalan pada laki-laki dan perempuan
Data yang telah ada maka akan dimasukan ke dalam rumus di atas. Ratarata biaya perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang dikeluarkan untuk kejadian comorbidities diperoleh dari data rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, dokter, dan puskesmas. Proporsi kejadian comorbidities diperoleh dari beberapa PTM yaitu kanker, diabetes mellitus, hipertensi, ischemic heart disease (jantung ischemic), osteoarthritis, dan stroke pada populasi obesitas. Penelitian ini menggunakan enam comorbidities karena risiko penyakit-penyakit ini lebih tinggi serta umumnya terjadi pada masyarakat secara global (Pitayatienanan et al. 2014). 3. Masalah Gizi Ganda Perhitungan kerugian ekonomi yang merupakan langkah terakhir untuk melihat estimasi kerugian ekonomi akibat masalah stunting dan obesitas atau double burden of malnutrition pada balita di Indonesia berdasarkan prevalensi balita stunting dan obesitas menurut Riskesdas tahun 2013 yaitu dengan menjumlahkan kerugian ekonomi akibat masalah stunting dan obesitas, berikut rumus perhitungannya: KEDBM = KEstunting(2%/9%) + TKEobesitas PKEMGG PKEstunting2% PKEstunting9% TPKEobesitas
= Kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda = Kerugian ekonomi akibat stunting pada penurunan produktivitas 2% = Kerugian ekonomi akibat stunting pada penurunan produktivitas 9% = Total kerugian ekonomi pada laki-laki dan perempuan akibat obesitas
Kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda ini dihitung dengan menjumlahkan hasil perhitungan dari kerugian ekonomi akibat stunting yang penurunan produktivitas 2% - 9%, dengan jumlah total kerugian ekonomi karena ketidakhadiran kerja dan total biaya perawatan kesehatan rumah sakit pada lakilaki dan perempuan akibat masalah obesitas. Hasil yang diperoleh adalah kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda pada penurunan produktivitas 2% dan 9%.
29
Definisi Operasional Masalah Gizi Ganda adalah keadaan di satu sisi kekurangan gizi yang mengakibatkan masalah stunting dan disisi lain mengalami kelebihan gizi yang mengakibatkan masalah obesitas dengan prevalensi masalah keduanya tinggi dalam suatu wilayah/provinsi, serta yang terjadi secara bersamaan dalam suatu populasi di wilayah yang sama namun berbeda individu (diasumsikan tidak terjadi pada individu yang sama). Balita adalah anak usia di bawah lima tahun atau anak usia 0-59 bulan. Stunting adalah pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk serta penyakit. Dicirikan dengan keadaan fisik tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 di bawah median panjang atau tinggi badan. Di mana dilihat dari tinggi badan menurut umur (TB/U), dengan kategori sangat pendek (Z-score <-3) dan pendek (Z-score ≥- 3 - < -2). Kelebihan Berat (Overweight) adalah keadaan di mana berat badan seseorang melebihi standar tinggi badannya Kelebihan berat badan dibandingkan dengan standar normal. Dimana dilihat dari berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan kategori gemuk (Z-score >2). Berat badan overweight bisa berasal dari otot, tulang, organ-organ vital, dan sebagainya. Obesitas (Obesity) adalah kondisi kelebihan lemak tubuh, bila berat badan lebih dari 120% berat badan standar atau penumpukan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang akhinya dapat mengganggu kesehatan, serta ada terjadi pertambahan atau pembesaran sel lemak tubuh mereka. Dimana dilihat dari berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan kategori gemuk (Z-score >3). Produktivitas adalah penentu tingkat daya saing atau kemampuan seseorang untuk melakukan berbagai aktivitas sehingga akan menimbulkan manfaat dan keuntungan sebagaimana yang diharapkan, khususnya keuntungan secara ekonomi yang dilihat dari tinggi rendahnya pendapatan/gaji/upah seseorang. Dalam penelitian ini diukur dengan upah/gaji (rupiah), kondisi kesehatan yaitu dari prevalensi masalah gizi, rata-rata hari tidak bekerja, tingkat partisipasi kerja. Kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja adalah keadaan seseorang yang kehilangan pendapatan selama dia tidak dapat masuk kerja karena kondisi kesehatannya terganggu akibat masalah obesitas. Dalam penelitian ini diukur dengan jumlah penduduk balita obesitas yang telah dikoreksi sehingga didapatkan jumlah balita obesitas yang ketika dewasa memiliki kemungkinan tetap obesitas, upah/gaji harian, ratarata hari tidak bekerja dan tingkat pertisipasi kerja. Upah adalah imbalan atas jasa yang telah dilakukan dan yang diterima dalam bentuk uang (rupiah) dan dalam penelitian ini menggunakan data keadaan pekerja di Indonesia (pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air; bangunan; perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel; angkutan, pergudangan dan komunikasi; keuangan, asuransi,
30
usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan; dan jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan). Kerugian Ekonomi adalah terjadinya kehilangan potensi pendapatan di suatu daerah yang diakibatkan oleh akumulasi penurunan produktivitas karena masalah stunting dan peningkatan ketidakhadiran kerja sehingga terjadi penurunan produktivitas, serta peningkatan biaya perawatan (rawat inap dan rawat jalan) akibat masalah obesitas. Discount Rate adalah suku bunga yang digunakan untuk menentukan nilai saat ini sampai nantinya dimasa akan datang yang diasumsikan nilainya sebesar 5% pada penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Balita Stunting dan Obesitas Menurut Provinsi Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini mengalami masalah gizi ganda, yaitu masalah kekurangan dan kelebihan gizi. Masalah kekurangan gizi pada balita ini menyebabkan gangguan pertumbuhan sehingga meningkatnya balita pendek (stunting) dengan prevalensi sebesar 38.4% tahun 2013, sedangkan untuk kelebihan gizi pada balita sehingga balita menjadi obesitas tahun 2013 adalah 7.7% yang ditunjukan pada tabel 4 di bawah ini. Berdasarkan prevalensi ada 5 provinsi yang memiliki prevalensi masalah stunting yang tinggi dan di atas prevalensi nasional yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan 5 provinsi yang memiliki prevalensi masalah obesitas yang tinggi dan di atas prevalensi nasional, yaitu provinsi Lampung, Banten, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Papua. Beberapa provinsi yang memiliki masalah gizi ganda, yaitu dengan prevalensi masalah stunting dan obesitas tinggi di wilayahnya yaitu provinsi Lampung, Papua, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat. Pada penelitian ini, berdasarkan sampel yang diambil pada data sekunder yang berasal dari Riskesdas 2013 ada balita yang menderita stunting dan obesitas secara bersamaan (individu yang sama). Rata-rata prevalensi balita yang stunting dan obesitas pada waktu yang sama secara nasional yaitu 4.9%. Namun jika kelebihan berat badan (overweight) juga dihitung maka rata-rata prevalensi balita dengan masalah gizi ganda di Indonesia mencapai 8.1% di Indonesia. Penelitian ini dapat menghitung dan menunjukan jumlah dan prevalensi balita yang hanya menderita stunting, obesitas, dan keduanya (pada individu yang sama), namun belum ada jurnal atau sumber penelitian yang dapat mendukung untuk menghitung kerugian ekonomi karena masalah gizi ganda pada orang yang sama, terutama untuk faktor koreksinya sehingga tidak dapat dilakukan. Menurut Anwar et al. (2014) di Indonesia, balita pendek dapat disebabkan oleh rendahnya konsumsi pangan hewani seperti daging, ikan, telur, dan susu sebagai sumber protein dan kalsium. Penelitian lainnya dari Susanty dan Margawati (2012) menunjukan bahwa asupan protein dan energi berhubungan signifikan dengan perkembangan motorik halus dan kasar balita, yang pada balita stunting perkembangan motoriknya terganggu akibat kekurangan asupan protein dan energi. Dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami masalah kekurangan
31
energi dan protein cenderung mengalami masalah stunting dan gangguan perkembangan motoriknya. Tabel 5 Prevalensi balita stunting dan obesitas di Indonesia tahun 2013 No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Prevalensi Stunting (%)* 40.1 44.9 38.7 36.9 39.1 37.4 39.9 41.2 26.9 28.9 29.9 36.1 36.1 25.6 35.7 34.1 33.1 45.3 51.6 38.6 40.7 43.2 30.3 37.8 41.4 41.5 40.9 39.8 46.8 40.4 41.1 42.7 40.5 38.4
Jumlah Balita Stunting 224 841 706 771 211 766 257 562 126 058 300 285 72 139 329 930 34 271 62 222 277 741 1 568 220 1 005 277 68 915 1 067 537 411 314 109 760 230 396 318 527 189 951 99 512 175 997 123 442 78 851 121 633 345 986 120 451 43 183 65 941 78 901 55 773 39 626 133 043 9 213 773
Prevalensi Obesitas (%)* 6.2 9.3 6.2 8.9 10.1 11.9 11.6 16.2 7.1 6.1 9.3 7.0 7.8 5.2 7.2 14.5 8.1 5.0 4.9 8.2 7.8 5.9 7.4 6.6 4.3 4.4 7.3 4.2 7.2 7.7 4.9 4.2 10.3 7.7
Jumlah Balita Obesitas 70 241 41 112 15 561 148 486 23 090 29 606 116 907 12 988 41 545 530 875 348 276 367 152 61 232 53 510 28 011 49 122 27 290 101 583 24 831 16 696 57 645 73 268 42 147 11 417 85 102 16 582 103 794 36 882 37 300 25 073 101 913 65 411 197 678 2 976 176
*Data sekunder (olah) Riskesdas 2013 Sumber: BPS 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013 Penelitian Hanum dan Khomsan (2012) menunjukan bahwa balita stunting memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan bahasa. Penelitian kohort di Brazil menunjukan kelompok bayi yang lahir premature memiliki risiko stunting ketika berusia 12 bulan adalah sebesar 2.35 kali dan saat berusia 24 bulan sebesar 2.30 kali (Santos et al. 2009). Menurut Kusharisupeni (2002) bayi premature dengan berat badan lahir rendah, berat dan panjang badan juga dipengaruhi oleh status gizi ibu, juga dipengaruhi oleh usia kehamilan. Penelitian
32
di wilayah pesisir, Kota Makassar di Indonesia menunjukan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara variabel-variabel mengenai pola asuh dengan kejadian stunting pada anak 6-23 bulan di wilayah pesisir, sehingga peran orang tua terutama ibu yang berkontribusi lebih besar dalam proses pertumbuhan anak (Renyoet 2013). Penelitian lainnya dari Sari et al. (2010) kualitas dan kuantitas dari MPASI yang baik merupakan komponen yang penting dalam makanan balita karena mengandung sumber zat gizi makro dan mikro yang berperan dalam pertumbuhan linier anak. Sama halnya dengan masalah stunting, prevalensi masalah obesitas di Indonesia cukup tinggi. Jika melihat dari prevalensi masalah obesitas ini ada beberapa provinsi yang memiliki prevalensi di atas rata-rata angka nasional, seperti Provinsi Lampung dengan prevalensi 16.2% dan Provinsi Banten 14.5%. Prevalensi balita obesitas di atas ini perlu untuk segera ditangani, hal ini dikarenakan masalah obesitas ini dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan prevalensi intoleransi glukosa, hipertensi, dan penyakit jantung koroner aterosklerotik pada pasien-pasien yang obesitas (AHA 2011). Pada anak yang mengalami masalah obesitas serta kurangnya aktifitas fisik, ruang gerak yang terbatas maka anak obesitas juga dapat mengalami gangguan pernapasan dan komplikasi ortopedik (tulang). Mengkonsumsi makanan manis dan tinggi lemak (pola makan), serta pola hidup yang kurang sehat dapat meningkatkan risiko kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan banyak penyakit pada balita, seperti gangguan penyakit hati, penyumbatan atau gangguan saluran pernapasan ketika tidur, dengan gejala mengompol sampai mengorok, usia yang lebih pendek dari pada generasi orang tuanya. Kemungkinan tinggi mengakibatkan risiko penyakit yang lebih mudah menyerang anak-anak yang kegemukan yaitu penyakit jantung dan pembuluh darah, seperti pembesaran jantung atau peningkatan tekanan darah, terganggunya metabolisme glukosa, seperti intoleransi glukosa yang merupakan keadaan kadar glukosa lebih tinggi dari batas atau keadaan normal tetapi tidak mencapai kriteria diagnosis diabetes mellitus, gangguan kedudukan tulang berupa kaki pengkor atau tergelincirnya bagian sambungan tulang paha (terutama anak laki-laki), serta gangguan kulit yang khusus di daerah lipatan akibat sering bergesekan (Kementerian Kesehatan RI 2015). Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Masalah Stunting pada Balita di Indonesia Estimasi kehilangan potensi ekonomi akibat masalah kekurangan gizi ini menggunakan rumus Konig tahun 1995 dan faktor koreksi dari Horton tahun 1999. Untuk itu maka faktor koreksi ini digunakan sebagai pengeroksi dari hasil perhitungan dengan rumus Konig. Besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang akibat masalah stunting pada balita di 32 provinsi di Indonesia, ketika dewasa dan mengalami kehilangan produktivitas sebesar 2% adalah Rp 96 miliar, sedangkan jika penurunan produktivitas sebesar 9% adalah Rp 430 miliar. Jadi dapat dikatakan rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 32 provinsi yang ada di Indonesia sekitar Rp 96 miliar – Rp 430 miliar, jika nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDRB maka besar potensi ekonomi yang hilang akibat penurunan produktivitas 2% dan 9% sekitar 0.15% - 0.67% dari rata-rata PDRB provinsi-provinsi di Indonesia.
33
Tabel 6 Estimasi potensi kerugian ekonomi karena stunting (asumsi penurunan produktivitas 2% - 9% serta persentase terhadap PDRB No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Potensi Kerugian Ekonomi 2% 9% (miliar rupiah) (miliar rupiah) 45 202 54 242 50 224 65 292 79 356 231 1 040 26 115 77 346 5 24 3 11 22 97 365 1 644 435 1 957 23 102 339 1 526 25 114 73 330 74 334 60 272 87 391 23 105 21 97 148 664 42 187 5 23 257 1 158 68 305 22 98 155 699 17 77 151 681 10 46 3 057 13 758
%PDRB 2%
9%
0.05 0.01 0.04 0.02 0.11 0.13 0.09 0.05 0.01 0.003 0.002 0.04 0.08 0.04 0.03 0.01 0.08 0.13 0.15 0.10 0.04 0.03 0.05 0.08 0.01 0.14 0.17 0.18 0.96 0.13 1.96 0.01 0.04
0.23 0.06 0.18 0.09 0.48 0.58 0.42 0.21 0.06 0.01 0.01 0.16 0.35 0.16 0.13 0.05 0.35 0.59 0.67 0.46 0.17 0.12 0.23 0.35 0.04 0.63 0.75 0.83 4.32 0.58 8.81 0.05 0.16
Keterangan: PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas Sumber: Data sekunder (olah) 2013 Rentang tertinggi kehilangan potensi ekonomi karena stunting sebesar Rp 435 miliar – Rp 1 957 miliar di Provinsi Jawa Tengah atau persentase penurunan produktivitas terhadap PDRB provinsinya sekitar 0.08% pada penurunan produktivitas 2% dan 0.35% penurunan produktivitas 9%, dan terendah sekitar Rp 3 miliar – Rp 11 miliar di Provinsi Kepulauan Riau pada penurunan produktivitas 2% dan 9% atau 0.003% dan 0.01% terhadap PDRB provinsinya. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat masalah stunting pada balita secara nasional, ketika dewasa dan mengalami kehilangan produktivitas sebesar 2% adalah Rp 3 057 miliar, sedangkan jika penurunan produktivitas sebesar 9% adalah Rp 13 758
34
miliar. Jika nilai-nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDB Indonesia maka besarnya potensi ekonomi yang hilang akibat penurunan produktivitas 2% secara nasional adalah 0.04% dan pada penurunan produktivitas sebesar 9% mencapai 0.16% dari total PDB Indonesia. Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat produktivitas yang rendah akibat stunting pada balita sekitar Rp 3 057 miliar – Rp 13 758 miliar atau 0.04% - 0.16% dari total PDB Indonesia. Hasil potensi kerugian ekonomi akibat stunting pada balita ini masih belum dapat dikatakan hasil potensi kerugian secara keseluruhan, hal ini dikarenakan belum adanya perhitungan biaya perawatan yang diakibatkan oleh penyakit infeksi yang terjadi pada balita stunting karena memiliki imunitas tubuh yang rendah serta biaya akibat kematian dini yang merupakan dampak dari PTM maupun penyakit lainnya yang disebabkan oleh stunting. Perhitungan di Albania tentang kerugian ekonomi akibat beberapa permasalahan gizi dan stunting memiliki kerugian ekonomi 50% lebih besar dari masalah gizi lainnya (Bagriansky 2010). Penelitian serupa juga dilakukan di Kamboja, hasilnya stunting memiliki kerugian ekonomi hingga 31% ($128 juta atau sekitar Rp 1 568 miliar/tahun 2013) lebih besar dari masalah gizi lain di negara ini (Bagriansky et al. 2014). Salah satu faktor penyebab dari tinggi dan rendahnya kehilangan potensi ekonomi adalah jumlah kelahiran yang tinggi, setiap bayi yang lahir merupakan potensi dari sumber daya manusia yang baru dan banyaknya jumlah kelahiran juga akan mempengaruhi kehilangan potensi ekonomi yang tinggi jika persentase prevalensi masalah stunting juga tinggi. Walaupun tidak semua provinsi yang memiliki prevalensi masalah stunting yang tinggi, kehilangan potensi ekonominya juga tinggi. Pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan bagi ibu dan anak, karena merupakan waktu kritis dan penuh tantangan untuk terhindar dari permasalah gizi dan kesehatan. Terutama bagi pertumbuhan anak agar lebih optimal, sehingga terhindar dari masalah gizi seperti tubuh anak yang pendek. Dukungan dan peran aktif dari pemerintah, semua sektor dan masyarakat sangatlah penting. Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Ketidakhadiran Kerja karena Masalah Obesitas pada Balita di Indonesia Besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang karena produktivitas kerja rendah pada balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa di 33 provinsi di Indonesia, jika saat dewasa tetap mengalami masalah obesitas adalah Rp 10 miliar pada laki-laki sedangkan pada perempuan sebesar Rp 11 miliar. Jadi dapat dikatakan rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 33 provinsi yaitu Rp 10 miliar - Rp 11 miliar di Indonesia. Besar potensi ekonomi yang hilang balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa secara nasional, pada laki-laki yaitu Rp 260 miliar dan perempuan sebesar Rp 371 miliar. Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat rendahnya produktivitas akibat ketidakhadiran kerja karena balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa adalah Rp 260 miliar - Rp 371 miliar atau 0.003% - 0.004% dari total PDB Indonesia. Pekerja obesitas mempunyai keterbatasan kerja yang tinggi (6.9%) dibandingkan pekerja dengan berat badan normal (3%). Selain itu, karyawan obesitas dua kali lebih tinggi tingkat ketidakhadirannya dibandingkan dengan karyawan yang normal (Paula 2006).
35
Tabel 7 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja karena obesitas di Indonesia No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Laki-laki (miliar rupiah) 8 22 15 7 2 11 2 6 0.93 4 25 71 32 2 59 17 4 3 5 4 2 6 8 2 4 8 2 0.52 1 2 1 0.72 4 260
Perempuan (miliar rupiah) 14 31 15 7 3 8 2 7 1 3 25 79 34 2 49 12 3 5 6 3 3 8 8 6 4 18 2 1 0.45 2 3 1 6 371
Keterangan: Laki-laki (L); Perempuan (P) Sumber: Data sekunder (olah) 2013 Hasil penelitian negara lain seperti di Amerika para pekerja full-time yang kelebihan berat badan atau obesitas dan juga memiliki masalah kesehatan kronis lainnya, sehingga biaya kehilangan produktivitas yang diperkirakan lebih dari $153 miliar (Rp 1 874 triliun/tahun 2013) setiap tahun. Biaya produktivitas ini akan meningkat jika termasuk presenteeism yaitu ketika karyawan datang untuk bekerja namun kurang produktif dalam melakukan pekerjaannya yang dikarenakan kondisi kesehatan yang buruk (Witters dan Agrawal 2011). Di negara Inggris dengan kehilangan biaya akibat ketidakhadiran kerja karena obesitas yaitu $5 juta (Rp 61 miliar/tahun 2013) yang hilang akibat penurunan produktivitas kerja (Dobbs et al. 2014). Penelitian di negara berkembang lainnya oleh
36
Pitayatienanan et al.(2014) di Thailand menunjukan kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja sekitar 694 juta baht (Rp 234 miliar/tahun 2013). Ada beberapa hal yang mempengaruhi lebih tinggi kerugian ekonomi di Indonesia dengan negara lain yaitu perbedaan jumlah penduduk balita yang ada di Indonesia dengan negara lain, dan hasil kerugian ini merupakan nilai kerugian ekonomi pada balita obesitas yang ketika dewasa tetap mengalami masalah obesitas. Rentang tertinggi kehilangan potensi ekonomi sebesar Rp 71 miliar pada laki-laki dan Rp 79 miliar pada perempuan di Provinsi Jawa Barat dan terendah di Provinsi Gorontalo dengan kehilangan potensi ekonomi akibat ketidakhadiran kerja pada laki-laki sekitar Rp 0.52 miliar dan Provinsi Sulawesi Barat kehilangan potensi ekonomi akibat ketidakhadiran kerja pada perempuan sebesar Rp 0.45 miliar. Beberapa faktor yang mempengaruhi adanya rentang tertinggi dan terendah pada hasil kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja seperti prevalensi masalah obesitas, jumlah penduduk balita, rata-rata hari tidak bekerja akibat masalah obesitas, serta gaji/upah setiap provinsi oleh karena itu hal ini berlaku untuk provinsi lainnya yang memiliki jumlah gaji/upah yang bervariasi atau berbeda sesuai dengan keadaan ekonomi dan kebijakan dari masing-masing wilayah, seperti semakin tinggi upah/gaji maka nilai kehilangan potensi ekonomi akibat ketidakhadiran kerja menjadi tinggi. Pada provinsi Gorontalo yang lebih rendah kerugian ekonominya yaitu pada laki-laki karena perbedaan prevalensi masalah obesitas dan jumlah penduduk balita laki-laki dan perempuannya, sedangkan pada provinsi Sulawesi Barat yang kerugian ekonominya lebih rendah pada perempuan karena prevalensi masalah obesitas, jumlah penduduk balita, dan upah/gaji laki-laki dan perempuannya. Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Biaya Perawatan Rumah Sakit karena Masalah Obesitas pada Balita di Indonesia Masalah obesitas meningkatkan risiko PTM seperti kanker, diabetes mellitus, gangguan jantung, stroke serta penyakit lainnya. Penyakit-penyakit ini secara umum dikatakan sebagai comorbidities dari obesitas atau dikatakan sebagai penyakit penyerta dari obesitas. Estimasi atau perkiraan besarnya kerugian atau kehilangan potensi ekonomi karena biaya perawatan kesehatan, menggunakan rumus yang sama dengan estimasi kerugian akibat ketidakhadiran kerja karena obesitas, hanya jika biaya perawatan ini menggunakan data jumlah penduduk balita usia 3, 4, dan 5 tahun yang obesitas setelah, rata-rata biaya perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang dikeluarkan untuk kejadian comorbidities, dan proporsi kejadian comorbidities pada populasi obesitas. Tabel 8 menunjukan besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang karena biaya perawatan rumah sakit (rawat jalan) akibat masalah obesitas dan PTM pada balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa di 33 provinsi adalah Rp 2 miliar pada laki-laki sedangkan pada perempuan adalah Rp 4 miliar. Jadi dapat dikatakan rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 33 provinsi sekitar Rp 2 miliar - Rp 4 miliar di Indonesia. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa karena biaya rawat jalan secara nasional, pada laki-laki adalah Rp 53 miliar dan perempuan adalah Rp 129 miliar. Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat biaya perawatan kesehatan karena balita obesitas yang diprediksi obesitas saat
37
dewasa sekitar Rp 53 miliar - Rp 129 miliar atau 0.001% - 0.002% dari total PDB Indonesia. Tabel 8 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya rawat jalan karena obesitas di Indonesia No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Laki-laki (miliar rupiah) 2 2 1 2 0.6 1 0.5 2 0.3 0.8 1 13 8 0.9 3 3 0.5 0.7 0.7 1 0.4 1 1 0.4 0.5 2 0.3 0.3 0.097 0.5 0.2 0.2 2 53
Perempuan (miliar rupiah) 2 4 4 2 1 5 0.4 3 0.5 1 8 30 23 0.7 7 2 1 3 2 3 0.8 2 2 0.7 3 8 2 0.9 0.2 1 0.7 0.8 3 129
Keterangan: Laki-laki (L); Perempuan (P) Sumber: Data sekunder (olah) 2013 Pada tabel 9 diperoleh estimasi kerugian ekonomi akibat biaya rawat inap karena obesitas. Besar rata-rata potensi ekonomi yang hilang karena biaya rawat inap akibat masalah obesitas dan PTM pada balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa di 33 provinsi di Indonesia adalah Rp 107 miliar pada lakilaki sedangkan pada perempuan sebesar Rp 256 miliar. Jadi dapat dikatakan ratarata potensi ekonomi yang hilang di 33 provinsi sekitar Rp 107 miliar - Rp 256 miliar di Indonesia. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat balita obesitas yang
38
diprediksi obesitas saat dewasa karena biaya rawat inap secara nasional, pada lakilaki adalah Rp 3 439 miliar dan perempuan adalah Rp 8 588 miliar. Tabel 9 Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat biaya rawat inap karena obesitas di Indonesia No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Laki-laki (miliar rupiah) 90 473 52 104 62 104 29 82 26 38 203 670 402 71 268 137 104 37 35 32 21 50 34 40 37 123 67 13 5 12 32 8 70 3 439
Perempuan (miliar rupiah) 276 678 130 160 160 166 29 208 64 86 446 1.911 1.589 53 529 206 157 161 98 47 51 69 63 91 71 508 202 59 3 29 42 15 98 8 588
Keterangan: Laki-laki (L); Perempuan (P) Sumber: Data sekunder (olah) 2013 Rentang tertinggi kerugian ekonomi akibat biaya perawatan untuk rawat jalan dan rawat inap adalah di Provinsi Jawa Barat. Untuk kerugian akibat rawat jalan adalah Rp 13 miliar pada laki-laki dan Rp 30 miliar pada perempuan, sedangkan untuk rawat inap sebesar Rp 670 miliar pada laki-laki dan Rp 1 911 miliar pada perempuan. Rentang terendah kehilangan potensi ekonomi akibat biaya rawat jalan dan rawat inap terendah di Provinsi Sulawesi Barat. Kerugian ekonomi akibat biaya rawat jalan sekitar Rp 0.09 miliar pada laki-laki dan Rp 0.2
39
miliar pada perempuan, sedangkan akibat rawat inap sekitar Rp 3 miliar pada perempuan dan Rp 5 miliar pada laki-laki Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat biaya perawatan kesehatan (rawat inap dan rawat jalan) karena masalah obesitas pada laki-laki dan perempuan adalah Rp 3 492 miliar - Rp 8 717 miliar atau 0.04% - 0.10% dari total PDB Indonesia. Biaya perawatan obesitas menggunakan anggaran perawatan kesehatan nasional sebesar $269 juta (Rp 3 295 miliar/tahun 2013) atau sekitar 2.3% dari total biaya perawatan rumah sakit di Swedia (Borg et al. 2005). Penelitian Pitayatienanan et al.(2014) di Thailand mengenai kerugian ekonomi akibat biaya perawatan mencapai 5.584 juta baht (Rp 2 082 miliar/tahun 2013). Tinggi rendahnya kehilangan potensi ekonomi akibat biaya perawatan kesehatan (rawat inap dan rawat jalan) pada provinsi-provinsi yang ada di Indonesia, tidak selamanya dapat dikatakan karena tingginya prevalensi masalah obesitas yang terjadi di wilayah tersebut akan tetapi bisa dikarenakan perubahan pola penyakit. Jika dahulu banyak ditemukan berbagai penyakit yang bersifat akut, maka pada saat ini telah ditemukan berbagai penyakit yang bersifat kronis dan juga bila dibandingkan perawatan penyakit kronis lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan penyembuhan akan lebih banyak sehingga biaya kesehatan akan meningkat. Hal lain yang dapat mempengaruhi yaitu jumlah penduduk dan biaya perawatan untuk rawat inap dan rawat jalan dari beberapa penyakit comorbidities dari obesitas yang lebih tinggi dari beberapa provinsi lain. Pada tabel 10 menunjukan total estimasi potensi kerugian ekonomi akibat obesitas pada balita yang diprediksi obesitas saat dewasa. Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja dan biaya perawatan (rawat jalan dan rawat inap) karena obesitas. Total rata-rata potensi ekonomi yang hilang karena produktivitas kerja rendah pada balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa di 33 provinsi di Indonesia, jika saat dewasa tetap mengalami masalah obesitas adalah Rp 118 miliar pada laki-laki sedangkan pada perempuan sebesar Rp 271 miliar. Jadi dapat dikatakan rata-rata potensi ekonomi yang hilang di 33 provinsi di Indonesia yaitu Rp 3 752 miliar - Rp 9 088 miliar, jika nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDRB maka besar potensi ekonomi yang hilang akibat ketidakhadiran kerja karena masalah obesitas yaitu sekitar 0.17% - 0.42% dari rata-rata PDRB provinsi-provinsi di Indonesia. Total potensi ekonomi yang hilang balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa secara nasional, pada laki-laki yaitu Rp 3 752 miliar dan perempuan sebesar Rp 9 088 miliar. Jika nilai-nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDB Indonesia maka besar potensi ekonomi yang hilang akibat penurunan produktivitas karena obesitas secara nasional adalah 0.04% pada laki-laki dan perempuan mencapai 0.11% dari total PDB Indonesia. Secara nasional, dapat dikatakan bahwa besar potensi ekonomi yang hilang akibat rendahnya produktivitas akibat ketidakhadiran kerja karena balita obesitas yang diprediksi obesitas saat dewasa adalah Rp 3 752 miliar - Rp 9 088 miliar atau 0.04% - 0.11% dari total PDB Indonesia. Rentang tertinggi total kehilangan potensi ekonomi sebesar Rp 754 miliar pada laki-laki dan Rp 2 019 miliar pada perempuan di Provinsi Jawa Barat atau persentase kehilangan potensi ekonomi akibat penurunan produktivitas terhadap PDRB provinsinya sekitar 0.83% dan 3.30%, dan terendah
40
di Provinsi Sulawesi Barat dengan total kehilangan potensi ekonomi sebesar pada perempuan sebesar Rp 3 miliar atau 0.002% dan laki-laki sekitar Rp 6 miliar atau 0.8% terhadap PDRB provinsi masing-masing. Tabel 10 Estimasi total potensi kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran kerja dan biaya perawatan karena obesitas di Indonesia tahun 2013 No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Total Ketidakhadiran kerja dan Biaya perawatan (rawat jalan dan inap) L (miliar rupiah) P (miliar rupiah) 101 291 497 713 68 148 113 168 65 164 116 178 31 30 89 218 28 65 42 91 229 480 754 2 020 443 1 646 74 55 330 586 157 220 108 161 40 169 40 106 37 52 23 54 58 78 42 72 43 98 41 78 134 535 69 206 14 61 6 3 15 33 33 45 9 18 75 107 3 752 9 088
%PDRB* L(%) P(%) 0.11 0.33 0.53 0.75 0.18 0.39 0.05 0.07 0.24 0.60 0.18 0.28 0.002 0.002 0.76 1.85 0.04 0.09 0.004 0.01 0.04 0.09 0.07 0.18 0.52 1.94 0.09 0.07 0.52 0.92 0.06 0.08 0.11 0.17 0.02 0.10 0.30 0.81 0.48 0.68 0.04 0.10 0.14 0.19 0.05 0.08 0.19 0.43 0.01 0.02 0.83 3.30 0.04 0.11 0.02 0.11 0.01 0.01 0.03 0.06 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02 0.03 0.04 0.11
*PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas Sumber: Data sekunder (olah) 2013 Kenaikan biaya tidak sama di berbagai negara, tergantung dari berbagai faktor antara lain yaitu tersedianya tempat tidur, sistem pelayanan kesehatan, organisasi rumah sakit, manajemen atau sistem keuangan, kemajuan ilmu dan teknologi yang diterapkan semakin banyak menggunakan berbagai peralatan modern dan canggih, tingkat inflasi (jika terjadi kenaikan harga di masyarakat,
41
maka secara otomatis biaya operasional pelayanan kesehatan masyarakat akan meningkat), tingkat permintaan yaitu pertama karena meningkatnya kuantitas penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan karena jumlah orang lebih banyak sehingga biaya yang perlu disediakan untuk pelayanan kesehatan akan lebih banyak juga. Kedua, meningkatnya kualitas penduduk karena pendidikan dan penghasilan lebih baik sehingga membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih baik juga, dan perubahan pola pelayanan kesehatan seperti perkembangan spesialisasi dan dokter umum yang menurut penelitian oleh Finkelstein (1971 dalam Stefani 2013) jika rumah sakit mempergunakan dokter umum, sehingga rumah sakit akan berhasil menghemat sekitar US$ 39.00/tahun per dokter umum jika dibandingkan mempergunakan dokter spesialis (Sulastomo 2007). Estimasi Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Penurunan Produktivitas karena Masalah Gizi Ganda (Stunting dan Obesitas) pada Balita di Indonesia Masalah gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan asupan makanan dan zat gizi semakin meningkat jumlah prevalensi masalahnya. Masalah ketidakseimbangan salah satu masalah gizi, kekurangan atau kelebihan gizi memberikan pengaruh yang cukup besar baik bagi kesehatan, kesejahteraan dan kondisi ekonomi dari suatu negara. Jika salah satu masalah ketidakseimbangan gizi ini sudah cukup memberikan dampak yang besar, masalah ketidakseimbangan gizi yang terjadi secara bersamaan baik itu kekurangan maupun kelebihan gizi tentu akan memberikan pengaruh yang lebih besar. Pada tabel 11 menunjukan kerugian ekonomi akibat stunting dan obesitas karena penurunan produktivitas dan peningkatan biaya perawatan karena sakit. Besar potensi ekonomi yang hilang akibat masalah gizi ganda pada balita secara nasional yaitu Rp 15 898 miliar pada penurunan produktivitas kerja 2% dan Rp 26 599 miliar pada penurunan produktivitas 9% dan jika dilihat dalam persentase terhadap PDB Indonesia dengan penurunan produktivitas 2% dan 9% sekitar 0.2% - 0.3%, sedangkan untuk rata-rata kerugian ekonomi pada 32 provinsi di Indonesia mencapai Rp 497 miliar – Rp 831 miliar dan jika nilai ini dilihat dalam persentase terhadap PDRB maka rata-rata sekitar 0.8% - 1.5% dari rata-rata PDRB provinsi-provinsi yang ada di Indonesia pada penurunan produktivitas 2% dan 9%. Secara nasional estimasi total kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda tahun 2013 sekitar Rp 15 898 miliar pada penurunan produktivitas kerja 2% dan Rp 26 599 miliar pada produktivitas yang turun 9%. Rentang tertinggi kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda sekitar Rp 3 139 miliar pada penurunan produktivitas kerja 2% dan Rp 4 418 miliar pada produktivitas yang turun 9% di Provinsi Jawa Barat dan jika nilai dilihat dalam persentase terhadap PDB Indonesia dengan penurunan produktivitas 2% dan 9% adalah 0.3% - 0.4%, sedangkan rentang terendah pada penurunan produktivitas kerja 2% adalah Provinsi Maluku yaitu Rp 65 miliar dengan nilai persentase terhadap PDRB sekitar 0.1% dan pada produktivitas yang turun 9% yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar Rp 117 miliar rupiah atau persentasenya terhadap PDRB yaitu 0.2%.
42
Tabel 11 Estimasi potensi kerugian ekonomi karena penurunan produktivitas akibat masalah gizi ganda pada balita di Indonesia tahun 2013 No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
MGG 2%** (miliar rupiah) 437 1 264 266 347 309 525 87 384 98 135 731 3 139 2 524 151 1 255 403 342 284 207 177 100 157 262 182 124 926 343 97 165 65 229 192 15 898
MGG 9%** (miliar rupiah) 594 1 452 440 574 586 1 334 176 653 117 144 806 4 418 4 045 231 2 442 491 599 543 419 481 182 232 778 327 142 1 827 580 173 709 125 759 228 26 599
%PDRB* 2% 9% 0.5 0.7 1.3 1.5 0.7 1.2 0.1 0.2 1.1 2.1 0.8 2.1 0.01 0.01 3.3 5.6 0.1 0.2 0.01 0.01 0.1 0.1 0.3 0.4 3.0 4.8 0.2 0.3 2.0 3.8 0.1 0.2 0.4 0.6 0.2 0.3 1.6 3.2 2.3 6.2 0.2 0.3 0.4 0.6 0.3 0.8 0.8 1.5 0.04 0.04 5.7 11.3 0.2 0.3 0.2 0.3 0.4 1.7 0.1 0.2 0.1 0.4 0.05 0.1 0.2 0.3
*PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas;**Masalah Gizi Ganda Sumber: Data sekunder (olah) 2013 Hasil dari estimasi kerugian ekonomi akibat rendahnya produktivitas ini menunjukan bahwa banyak faktor yang dapat mendukung peningkatan kerugian ekonomi yang akan dihadapi, selain dari prevalensi masalah gizi yang ada. Kerugian ekonomi ini selain mempengaruhi masyarakat, juga mempengaruhi ekonomi pemerintah yang diketahui bahwa selain dari pajak dan Sumber Daya Alam (SDA) pendapatan pemerintah juga diperoleh dari SDM. Meningkatnya PDRB dan PDB akan menambah penerimaan pemerintah untuk pembangunan, oleh karena itu semakin produktif maka semakin baik perekonomian individu maupun pemerintah.
43
KELEBIHAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN Kelebihan Kelebihan dari penelitian ini adalah penelitian yang dapat dikatakan merupakan penelitian yang baru dilakukan di Indonesia, karena penelitian mengenai estimasi potensi kerugian ekonomi akibat stunting pada balita dan akibat obesitas pada balita belum ada atau belum pernah dilakukan di Indonesia, selain perhitungan potensi kerugian ekonomi akibat KEP pada balita di Indonesia yang mempengaruhi berat badan balita sehingga mengakibatkan balita wasting yang memiliki indikator berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini juga menghitung potensi kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda/doubel burden of malnutrition (stunting dan obesitas) pada suatu wilayah (provinsi dan nasional). Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti untuk bahan advokasi bagi pemerintah dan masyarakat yang menunjukan pentingnya upaya pencegahan dan pennggulangan sedini mungkin, mulai dari siklus kehidupan terawal sehingga menghasilkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi dengan negara lain dan mempercepat perkembangan ekonomi serta pembangunan negara. Keterbatasan Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diataranya yaitu menggunakan data sekunder yang tidak dapat diverifikasi, bukan merupakan data panel karena sumber data yang digunakan menggunakan desain cross-sectional study yaitu pengukuran pada satu waktu yang sama, tidak diperhitungkan usia harapan hidupnya (kematian dini) baik karena stunting maupun karena obesitas, RR yang digunakan bersumber dari penelitian di luar Indonesia yang tidak dapat menghindari over/underestimated dari kondisi yang sebenarnya, dan kemungkinan adanya overlap antara anak stunting dengan obesitas namun dalam penelitian ini diasumsikan kerugian ekonomi yang ditimbulkan bersifat akumulatif (kerugian akibat stunting dan obesitas diasumsikan berdiri sendiri), walaupun stunting merupakan salah satu faktor yang menyebabkan obesitas namun dalam penelitian ini tidak dihitung karena belum ada referensi yang dapat menggambarkan dan menghitung kerugian ekonomi akibat stunting dengan obesitas pada individu yang sama.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Stunting pada balita berdampak pada timbulnya potensi kerugian ekonomi. Besar potensi kerugian ekonomi akibat stunting secara nasional berdasarkan prevalensi stunting anak balita dari Riskesdas 2013 sebesar Rp 3 057 miliar – Rp 13 758 miliar. Provinsi dengan kerugian akibat stunting tertinggi di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 435 miliar – Rp 1 957 miliar, terendah di Provinsi Kepulauan Riau sebesar Rp 3 miliar – Rp 11 miliar. Tinggi rendahnya kerugian ini dipengaruhi oleh prevalensi, jumlah kelahiran, dan tingkat upah tiap provinsi. Obesitas pada balita yang diprediksi obesitas saat dewasa mengakibatkan kerugian ekonomi secara nasional sebesar Rp 3 752 miliar – Rp 9 088 miliar. Provinsi dengan kerugian akibat obesitas tertinggi di Provinsi Jawa Barat sebesar
44
Rp 754 miliar – Rp 2 019 miliar, terendah di Provinsi Sulawesi Barat sebesar Rp 3 miliar – Rp 6 miliar. Masalah gizi ganda pada balita dalam penelitian ini berakibat pada besarnya kerugian ekonomi karena penurunan produktivitas kerja dan biaya perawatan. Secara nasional estimasi total kerugian ekonomi akibat masalah gizi ganda tahun 2013 sekitar Rp 15 898 miliar pada penurunan produktivitas kerja 2% dan Rp 26 599 miliar pada produktivitas yang turun 9%, Rp Rp 15 898 miliar - Rp 26 599 miliar. Anggaran kesehatan Indonesia tahun 2013 sekitar Rp 58 000 miliar atau 3.4% terhadap APBN Indonesia, maka sekitar 27% - 46% digunakan dari Rp 58 000 miliar anggaran kesehatan Indonesia pada tahun 2013. Biaya ini belum termasuk biaya akibat masalah gizi lainnya dan biaya kesehatan karena penyakit lain, salah satunya adalah penyakit infeksi. Saran Penelitian ini membutuhkan pengembangan ilmu, terutama pada beberapa keterbatasan yang telah dijelaskan dalam keterbatasan penelitian ini. Salah satu keterbatasan yaitu diperlukan adanya penelitian lanjutan dengan menggunakan data panel pada balita stunting dan obesitas, sehingga gambaran mengenai estimasi kerugian ekonomi akibat stunting dan obesitas tergambar secara jelas dan spesifik. Diperlukan juga pengembangan program dalam upaya yang lebih sistematis, serta memperhitungkan cost effectiveness yang merujuk pada lancet sehingga sampai di semua daerah dan wilayah di Indonesia.
45
DAFTAR PUSTAKA Adair LS, Fall CHD, Osmond C, Stein AD, Martorell R, Ramirez-Zea M, Sachdev HS, Dahly DL, Bas I, Norris SA, Micklesfield L, Hallal P, Victora CG, COHORTS Groups. 2013. Associations of linear growth and relative weight gain during early life with adult health and human capital in countries of low and middle income: findings from five birth cohort studies. Lancet. 382: 525–34. Doi:10.1016/S0140-6736(13)60103-8. Adiwinanto W. 2008. Pengaruh intervensi olahraga di sekolah terhadap indeks massa tubuh dan tingkat kebugaran kardiorespirasi pada remaja obesitas [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. [AHA] American Heart Association. 2011. Heart International Cardiovascular Disease Statistic [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 12]. Tersedia pada: http://www.american heart.org/. Anugraheni HS. 2012. Faktor resiko kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan di Kecamatan Pati Kabupaten Pati [Thesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Anwar F, Khomsan A, Vipta A, Rahmadia E. 2014. Masalah dan Solusi Stunting Akibat Kurang Gizi di Wilayah Perdesaan. Bogor (ID): IPB Press. Aries M, Martianto D. 2006. Estimasi kerugian ekonomi akibat status gizi buruk dan biaya penanggulangannya pada balita di berbagai provinsi di Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan. 1(2): 26-33. Ashiabi GS, O’Neal KK. 2007. Children’s health status: examining the associations among income poverty, material hardship, and parental factors. Journal PLoS ONE. 2(9): 1-9. Azwar A.1998. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. _______________. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2010. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. _______________. 2013a. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2013. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. _______________. 2013b. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Tahun 2013. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. _______________. 2013c. Riskesdas 2013 Dalam Angka. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Bagriansky J. 2010. The Economic Consequences of Malnutrition in Albania. Tirana, Albania: MDGF/UN. Bagriansky J, Champa N, Pak K, Whitney S, Laillou A. 2014. The economic consequences of malnutrition in Cambodia, more than 400 million US dollar lost annually. Asia Pac J Clin Nutr. 23(4): 524-531. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Data Dokumen Versi 5 September 2012. Jakarta (ID): Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
46
Barker DJP. 2007. Introduction: The Window of Opportunity. The Journal of Nutrition. 137: 1058-1059. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Keadaan Pekerja Di Indonesia November 2013. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. _______________. 2014a. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi 55 Desember 2014. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. _______________. 2014b. Statistik Indonesia 2014. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Beyene, TT. 2012. Predictors of nutritional status of children visiting health facilities in Jimma Zone, South West Ethiopia. Cloud Publications. 1(1): 1-13. Behrman J, Rosenzweig M. 2001. The Returns to Increasing Body Weight, PIERWorking Paper no. 01–052. Philadelphia, PA: Penn Institute for Economic Research. Black RE, Victora CG, Walker SP, Bhutta ZA, Christian P, de Onis M, Ezzati M, McGregor SG, Katz J, Martorell R, Uauy R, The Maternal and Child Nutrition Study Group. 2013. Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. Lancet. 371:243– 60. Doi:10.1016/S0140-6736(13)60937-X. Blouin C. 2014. The economic impact of obesity and overweight. Quebec: Institut national de santé publique du Québec. www.inspq.qc.ca/english/topo. Borg S, Persson U, Odegaard K, Berglund G, Nilsson JA, Nilsson PM. 2005. Obesity, survival, and hospital costs-findings from a screening project in Sweden. Value in Health. 8(5): 562-571. Doi: 10.1111/j.15244733.2005.00048.x. Branca F, D’Acapito P. 2005. Encylopedia of Human Nutrition (Seasonality). Caballero B, Allen L, Prentice A, Elsevier Academic Press, editor. Page 117. Budiman, Hendra, Surjadi, Charles. 1997. Penelitian obesitas pada orang dewasa di perkampungan kumuh Jakarta. Jurnal Epidemiologi Indonesia. 1(1). Cachera MFR, Deheeger M, Maillot M, Bellisle F. 2006. Early adiposity rebound: causes and consequences for obesity in children and adults. International Journal of Obesity. (30): S11–S17. Doi: 10.1038/sj.ijo.0803514. Cawley J, Meyerhoefer C. 2012. The Medical Care Costs of Obesity: An Instrumental Variables Approach. Journal of Health Economics. 31(1): 219– 230. Cecchini M, Sassi F, Lauer JA, Lee YY, Guajardo-Barron V, Chisholm D. 2010. Tackling of unhealthy diets, physical inactivity, and obesity: health effects and cost-effectiveness. Lancet. 376(9754): 1775-1784. Colagiuri S, Lee CMY, Colagiuri R, Magliano D, Shaw JE, Zimmet PZ, Caterson ID. 2010. The cost of overweight and obesity in Australia. Medical Journal of Australia. 192: 260-264. de Onis M, Blossner M, Borghi E. 2010. Global prevalence and trends of overweight and obesity among pre-school children. American Journal of Clinical Nutrition. 92(5):1257–64. [DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta (ID): Departemen Republik Indonesia.
47
Dobbs R, Sawers C, Thompson F, Manyika J, Woetzel J, Child P, McKenna S, Spatharou A. 2014. Overcoming obesity: An initial economic analysis. The McKinsey Global Institute (MGI). Espo M, Kulmala T, maleta K, Cullinan T, Salin ML, Ashom P. 2002. Determinants of linear growth and predictors ofsevere stunting during infancy in Rural Malawi. Acta Paediatr. 91: 1364-1370. Freijer K, Tan SS, Koopmanschap MA, Meijers JMM, Halfens RJG, Nuijten MJC. 2013. The economic costs of disease related malnutrition. Clinical Nutrition. 32(1): 136–141. Doi:10.1016/j.clnu.2012.06.009. Finucane MM, Stevens GA, Cowan MJ, Danaei G, Lin JK, Paciorek CJ, Singh GM, Gutierrez HR, Lu Y, Bahalim AN, Farzadfar F, Riley LM, Ezzati M. 2011. Global Burden of Metabolic Risk Factors of Chronic Diseases Collaborating Group (Body Mass Index) National, regional, and global trends in body-mass index since 1980: systematic analysis of health examination surveys and epidemiological studies with 960 countryyears and 9.1 million participants. The Lancet. 377(9765):557–67. Gates D, Succop P, Brehm BJ, Gillespie GL, Sommers BD. 2008. Obesity and Presenteeism: The Impact of Body Mass Index on Workplace Productivity. Journal of Occupational dan Environmental Medicine. 50(1):39-45. Doi: 10.1097/JOM.0b013e31815d8db2. Gao W, Smyth R. 2010. Health human capital, height and wages in China. Journal of Development Studies. 46: 466-482. Grantham MS, Cheung YB, Cueto S, Glewwe P, Richter L, Strupp B. 2007. Development Potensial In The First 5 Years For Children In Developing Countries. Lancet. 369:60-70. [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 20]. Tersedia pada: http://www.sciencredirect.com. Grieve H. 2007. The double burden of malnutrition: a rising tide in the region. Australian embassy Timor-Leste and offive of his excellency the President of the Republic of Timor-Leste and Asian development bank [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 20]. Tersedia pada: http://www.slideshare.net /mobile/CharlesPerkinsCentre/12-resetting-the-australian-table-session-1heather-grieve. Guo SS, Roche AF, Chumlea WC, Gardner JD, Siervogel RM. 1994. The predictive value of childhood body mass index values for overweight at age 35 y. Am J Clin Nutr. 59(4): 810-819. Guo SS, Wu W, Chumlea WC, Roche AF. 2002. Predicting overweight and obesity in adulthood from body mass index values in childhood and adolescence. Am J Clin Nutr. 76: 653-658. Hall A, Khanh LN, Son TH, Dung NQ, Lansdown RG, Dar DT, Hanh NT, Moestue H, Khoi HH, Bundy DA; Partnership for Child Development. Original communication: an association between chronic undernutrition and educational test scores in Vietnamese children. European Journal of Clinical Nutrition. 55(9): 801–804. Hizni A, Julia M, Gamayanti IL. 2009. Status stunted dan hubungannya dengan perkembangan anak balita di wilayah pesisir Pantai Utara Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. The Indonesian Journal of Clinical Nutrition. 6(3): 131-137.
48
Hoddinott J, Harold A, Jere RB, Lawrence H, Susan H. 2013. "The Economic Rationale for Investing in Stunting Reduction". Maternal and Child Nutrition. 9(2):69-82. Doi: 10.1111/mcn.12080. Horton S. 1999. Opportunities for investments in nutrition in low-income Asia. Asian Development Review [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 20]; 17: 246-273. Tersedia pada: http://unscn.org/files/Publications/Briefs_on_ Nutrition/ Brief8>EN.pdf. Idrus D, Kunanto G. 1990. Epidemiologi I. Jakarta (ID): Pusdiknakes. Jafri A, Jabari M, Dahhak M, Derouiche A. 2012. The Double burden of malnutrition in Casablanca (Morocco): Mothers’ obesity and children’s underweight and stunting. Public Health Nutrition. 63:1001-1001. Johnson PCD, Logue J, McConnachie A, Abu-Rmeileh NME, Hart C, Upton MN, Lean MEJ, Sattar N, Watt G. 2012. Intergenerational change and familial aggregation of body mass index. European Journal of Epidemiology. 27 (1): 53-61. Doi: 10.1007/s10654-011-9639-5 Judge TA, Cable DM. 2004. The effect of physical height on workplace success and income: preliminary test of a theoretical model. Journal of Applied Psychology. 89(3): 428-441. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. “InfoDATIN” Situasi Kesehatan Anak balita di Indonesia. 2015. ISSN 2442-7659. Jakarta (ID): Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 10]. Tersedia pada: http://www.depkes.go.id. Kusharisupeni. 2002. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif. Jurnal Kedokteran Trisakti. 23: 73-80. Kusumawardhani N, Martianto D. 2011. Kaitan antara prevalensi gizi buruk dengan pdrb per kapita dan tingkat kemiskinan serta estimasi kerugian ekonomi akibat gizi buruk pada balita di berbagai kabupaten/kota di pulau Jawa dan Bali. Jurnal Gizi dan Pangan. 6 (1): 100-108. Koplan JP, Liverman CT, Kraak VA. 2005. Preventing Childhood Obesity : Health in the Balance. Committee on Preventing of Obesity in Children and Youth; Food and Nutrition Board; Board on Health Promotion and Disease Prevention; Institute of Medicine, editor. ISBN: 978-0-30909196-1.doi: 10.17226/11015. Washington DC (US): The National Academies Press. Korrt M, Leigh A. 2010. Does size matter in Australia?. Economic Record. 86: 71-83. Lew EA, Garfinkel L. 1979. Variation in mortality by weight among 750.000 men and women. Journal of Chronic Disease. 32: 563-576. Lin, GK. 2008. Food-Based Approaches To Combat The Double Burden Among The Poor: Challenges In The Asian Context. Department of Nutrition and Dietetics, Faculty of Medicine and Health Sciences, Universiti Putra Malaysia, Serdang, Malaysia. Review Article. Asia Pac J Clin Nutr. 17(S1):111-115. Mahoney LT, Burns TL, Stanford W, Thompson BH, Witt JD, Rost CA, Lauer RM. 1996. Coronary risk factors measured in childhood and young adult life are associated with coronary artery calcification in young adults: The muscatine study. J Am Coll Cardiol. 27(2): 277-284. Doi:10.1016/07351097(95)00461-0.
49
Manary MJ, Solomons NW. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Gizi dan Perkembangan Anak. Public Health Nutrition, Penerjemah; Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L B, editor. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Publishing Ltd, Oxford. Mann J, Truswell AS. 2002. Essensial of Human Nutrition. Oxford University Press. Page.65. Mangkoesoebroto G. 1998. Ekonomi Publik. Yogjakarta (ID): BPFE. Martorell R, Horta BL, Adair LS, Stein AD, Richter L, Fall CHD, Bhargava SK, Biswas SK, Perez L, Barros FC, Victora CG, Consortium on Health Orientated Research in Transitional Societies Group. 2010. Weight gain in the first two years of life is an important predictor of schooling outcomes in pooled analyses from five birth cohorts from low- and middle-income countries. J Nutr. 140:348–54. Doi:10.3945/jn.109.112300. Mendez MA, Adair LS. 1999. Severity and timing of stunting in the first two years of life affect performance on cognitive tests in late childhood. Journal Of Nutrition. 129: 1555–1562. Musgrave RA, Musgrave PB. 1989. Public Finance and Practice. Fifth Edition. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company. Nutrisiani F. 2010. Hubungan Pemberian Makanan Pendamping Asi (MP-ASI) Pada Anak Usia 0-24 Bulan Dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Purwodadi Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobongan Surakarta. [Karya Ilmiah]. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah. Notoatmodjo S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta Paeratakul S, Lovejoy JC, Ryan DH, Bray GA. 2002. The relation of gender, race and socioeconomic status to obesity and obesity comorbidities in a sample of US adults. International Journal of Obesity. 26: 1205-1210. Pangaribuan R. 2010. Deskripsi Penyampaian Sistem Kesehatan dan Kebijakan Gizi, Program dan Inisiatif dalam Persiapan Analisis Lanskap. Jakarta (ID): Laporan disiapkan untuk UNICEF. Paula K. 2006. Obesity Affects Workplace Productivity [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 20]; 60(6):13. Tersedia pada: http://connection.ebscohost.com /c/articles/21042624/obesity-affects-workplace-productivity. Persico N, Postlethwaite A, Silverman D. 2004. The effect of adolescent experience on labor market outcomes, the case of height. Journal of Political Economy. 112: 1019–1053. Pitayatienanan P, Butchon R, Yothasamut J, Aekplakorn W, Teerawattananon Y, Suksomboon N, Thavorncharoensap M. 2014. Economic costs of obesity in Thailand: a retrospective cost-of illness study. BMC Health Services Research. 14:146. Renyoet BS. 2013. Hubungan pola asuh dengan kejadian stunting anak usia 6-23 bulan di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Sari M, Pee Sd, Bloem MW, Sun K, Thorne-Lyman AL, Moench-Pfanner R, Akhter N, Kraemer K, Semba RD. 2010. Higher household expenditure on animal-source and nongrain foods lowers the risk of stunting among children 0-59 months old in Indonesia: implications of rising food prices. The Journal of Nutrition. 140(1): 196S-200S. Doi: 10.3945/jn.109.110858.
50
Santos IS, Matijasevich A, Dominingues MR, Barros AJ, Victoria CG, Barros FC. 2009. Late preterm birth is a risk factor for growth faltering in early childhood: a cohort study. BMC Pediatr. 9: 71-8. Shrimpton R, Rokx C, Elder L, Marzoeki P, Dorkin D, Pinto R, Pambudi E, United Nations Children’s Fund, DeRuiter D, Kapoor M. 2012. Indonesia Health Sector Review: menghadapi beban ganda malnutrisi (Desember 2012) [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 20]; 74768. Tersedia pada: http://mca-indonesia.go.id. Sihadi, Djaiman SPH. 2006. Risiko kegemukan terhadap kadar kolesterol. Media Gizi dan Keluarga. 30(1): 58-64. Schultz TP. 2002. Wage rentals for reproducible human capital: evidence from Ghana and the Ivory Coast. Economics and Human Biology. 1: 331-336. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Stefani DL. 2013. Pembiayaan kesehatan [Internet]. Kendari (ID): Universitas Haluoleo; [diunduh 2016 Juni 19]. Tersedia pada: http://delfistefani. wordpress.com/2013/06/19/makalah-pembiayaan -kesehatan/. Sulastomo. 2007. Manajemen Kesehatan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Susanty NM, Margawati A. 2012. Hubungan derajat stunting, asupan zat gizi dan sosial ekonomi rumah tangga dengan perkembangan motorik anak usia 2436 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bugangan, Semarang. Journal of Nutrition College. 1(1): 327-336. Syarief H, Komala LR, Sardjuani N. 2007. Studi Kebijakan Pengembangan Anak Usia Dini yang Holistik dan Terintegrasi. Editor. Bogor. Usfar AA, Agnew P, Juniwaty KS, Howell F. 2013. The existence of double burden of malnutrition in the same households in eastern Indonesia: analysis using global vs. alternative Asian BMI cut-off poins. Child Poverty and Social Protection Conference. (9):2-3. [UNICEF] United Nations Children’s Fund. 1998. The State of The World Children. New York (US): Oxford University Press. ________________. 2005. The State of The World Children. New York (US): Oxford University Press. ________________. 2013. Improving Child Nutrition: The Achievable Imperative for Global Progress. New York (US): Oxford University Press. [USAID] United States Agency For International Development. 2010. USAID/Indonesia Nutrition Assessment for 2010 New Project Design. New York (US): Oxford University Press. [WHO] World Health Organization. 2008. Training Course on Child Growth Assessment.. Geneva (CH): WHO [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 9]. Tersedia pada: http://www.who.module/c/interpreting/indicators/2. ________________. 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS): Country Profile Indicators Interpretation Guide. Geneva (CH): Switzerland. ________________. 2011. Regional Office for Sounth-East Asia. Departement of Sustainable Development and Health Enviroments, Non Communicable
51
Disease: Hypertension [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 9]. Tersedia pada: http://www.searo.int/. ________________. 2014a. Comprehensive Plan on Maternal, Infant and Young Child Nutrition [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 9]. Tersedia pada: http://www.who.int/media centre/factsheets/fs311/en/. ________________. 2014b. Overweight and Obesity [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 9]. Tersedia pada: http://www.who.int/media centre/factsheets/fs311/en/. ________________. 2014c. World Health Statistics 2014 Geneva: WHO [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 9]. Tersedia pada: http://www.who.int/media centre/factsheets/fs311/en/. Wang Y, Lobstein T. 2006. Worldwide trends in childhood overweight and obesity. International Journal of Pediatric Obesity. 1(1):11–25. Wang LY, Denniston M, Lee S, Galuska D, Lowry R. 2010. Long-term health and economic impact of preventing and reducing overweight and obesity in adolescence. Journal of Adolescent Health. 46 (2010) 467–473. Withrow D, Alter DA. 2011. The economic burden of obesity worldwide: a systematic review of the direct costs of obesity. Obesity reviews. 12(2):131-41. Doi: 10.1111/j.1467-789X.2009.00712.x. Witters D, Agrawal S. 2011. Unhealthy U.S. Workers' Absenteeism Costs $153 Billion [Internet]. Gallup Well-being. [diunduh 2015 Oktober 10]. Tersedia pada: http://www.gallup.com /poll/150026/unhealthy-workersabsenteeism-costs-153billion .aspx. World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development: A Strategy for Large-Scale Action. Washington DC (US): The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank.
52
LAMPIRAN
1 Lampiran 1 Karakteristik balita di Indonesia tahun 2013
No.
Provinsi
Jumlah balita (0-59 bulan)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
3 400 5 624 2 669 2 282 1 516 2 469 1 134 1 881 964 1 090 924 5 443 5 032 656 6 217 1 751 1 392 1 906 3 801 1 733 1 728 1 914 2 058 1 428 1 783 3 609 1 953 839 791 1 882 1 564 1 445 2 394 75 272
Jumlah balita obesitas (3-5 tahun)* 110 281 85 97 87 152 79 177 31 31 54 189 179 21 214 64 57 41 66 89 68 51 79 41 25 65 67 16 30 38 31 32 115 2762
Jumlah balita obesitas* (3-5 tahun) yg telah dikoreksi L P 13 15 32 38 10 10 12 11 11 12 17 21 11 9 20 25 4 4 3 5 6 8 21 25 21 24 3 1 27 25 8 7 6 8 4 5 6 9 11 11 7 9 7 6 9 10 4 5 3 3 7 10 6 11 2 2 5 2 5 5 4 3 3 5 12 17 321 365
Prevalensi balita obesitas (3-5 tahun) L P 0.11 0.14 0.11 0.14 0.12 0.13 0.13 0.12 0.14 0.12 0.15 0.07 0.11 0.14 0.09 0.15 0.12 0.13 0.11 0.13 0.12 0.13 0.13 0.12 0.12 0.12 0.14 0.12 0.10 0.13 0.11 0.13 0.10 0.16 0.11 0.14 0.12 0.14 0.14 0.10 0.10 0.12 0.10 0.14 0.11 0.15 0.09 0.15 0.13 0.12 0.16 0.08 0.10 0.15 0.11 0.14 0.10 0.16 0.11 0.13 0.11 0.14 0.12 0.12 0.12 0.14 0.12 0.13
L 286 100 801 900 279 100 356 900 164 000 410 300 92 500 409 700 65 100 109 900 473 600 2 225 400 1 431 000 137 800 1 527 700 616 700 170 100 259 500 313 100 251 600 124 800 208 000 209 000 106 800 150 200 425 200 150 700 55 500 72 000 100 100 69 500 47 500 166 800 12 268 100
P 274 600 772 200 268 100 341 100 158 400 392 600 88 300 391 100 62 300 105 400 455 300 2 118 700 1 353 700 131 400 1 462 600 589 500 161 500 249 100 304 200 240 500 119 700 199 400 198 400 101 800 143 600 408 500 143 800 53 000 68 900 95 200 66 200 45 300 161 700 11 726 100
Jumlah penduduk balita obesitas yg telah dikoreksi L P 32 745 37 495 92 318 105 360 34 280 31 131 45 330 39 772 20 170 21 375 47 104 54 809 12 751 10 339 45 437 56 146 7 623 7 938 10 494 16 796 51 394 65 513 247 149 283 726 165 564 182 712 20 408 9 198 194 032 173 120 79 496 68 990 19 069 22 043 26 963 30 682 30 219 43 049 31 210 30 022 13 031 14 980 28 957 24 554 23 757 25 365 11 566 13 507 17 123 19 759 44 090 59 704 14 485 22 815 5 203 7 784 11 208 5 374 11 854 12 977 9 820 6 876 4 438 6 979 17 681 24 466 1 425 800 1 550 376
Jumlah kelahiran tahun 2013 7 090 7 921 8 193 9 533 12 384 41 148 4 156 15 547 1 141 364 2 549 65 136 104 476 6 083 75 581 3 249 13 580 13 673 8 168 14 019 2 990 2 551 18 613 6 157 803 39 107 9 439 3 702 24 594 2 225 20 659 939 500 517
Tingkat partisipasi kerja tahun 2013 (%) 63.8 71.7 66.6 66.6 65.9 69.2 70.8 67.6 68.2 68.1 68.3 63.5 70.7 69.1 66.8 72 72.2 69.5 72.4 70.6 70.9 67.8 64.7 65.3 66.1 64.7 65.8 65.6 69.6 65.2 66.1 67.3 79.1 68.1
Rata-rata hari tdk bekerja (rawat inap & Jalan) L P 5 7 2 3 2 3 4 4 2 3 2 6 2 3 2 4 7 9 3 3 2 3 4 3 5 5 4 3 5 6 2 3 4 6 2 3 3 6 4 5 6 7 2 4 3 3 3 3 2 3 2 2 2 2 3 3 3 6 3 3 2 2 3 7 3 4 3 5
53
Ket:*Jumlah data sampel balita; (JK) Jenis kelamin; (L)laki-laki; (P)Perempuan Sumber: Data sekunder (olah) 2013
Jumlah penduduk balita
54
2 Lampiran 2 Data PDB/PDRB, upah/gaji, dan biaya perawatan tahun 2013 Upah/gaji/pendapatan bersih pekerja menurut provinsi dan lapangan pekerjaan utama tahun No. Provinsi 2013 per hari (245 hari per sebulan/ per tahun/ L P kerja)/ribu rupiah juta rupiah juta rupiah 1. Aceh 89 109 81 000 81 700 81 183 1 657 489 19 889 868 2. Sumatera Utara 401 383 82 000 68 600 138 032 1 591 010 19 092 120 3. Sumatera Barat 127 100 88 800 76 300 124 388 1 649 756 19 797 072 4. Riau 340 631 99 700 81 300 79 287 1 936 578 23 238 936 5. Jambi 73 846 84 100 69 800 89 186 1 717 264 20 607 168 6. Sumatera Selatan 180 430 82 400 70 800 91 698 1 578 080 18 936 960 7. Bengkulu 27 388 88 500 73 000 84 111 1 617 665 19 411 980 8. Lampung 162 491 67 600 61 100 61 614 1 262 714 15 152 568 9. Kep. Bangka Belitung 38 226 92 700 71 800 80 804 1 820 879 21 850 548 10. Kepulauan Riau 94 240 139 000 108 500 83 861 2 537 407 30 448 884 11. DKI Jakarta 1 250 459 137 900 110 000 79 233 2 980 110 35 761 320 12. Jawa Barat 1 029 503 86 100 69 300 124 281 1 631 884 19 582 608 13. Jawa Tengah 561 952 68 500 53 400 145 965 1 211 177 14 534 124 14. D.I. Yogyakarta 63 690 81 300 65 500 77 294 1 532 728 18 392 736 15. Jawa Timur 1 132 191 71 900 57 100 79 929 1 320 660 15 847 920 16. Banten 244 548 111 300 88 900 94 853 2 392 917 28 715 004 17. Bali 94 556 90 200 72 100 77 927 1 712 158 20 545 896 18. Nusa Tenggara Barat 56 278 78 500 63 900 98 723 1 257 962 15 095 544 19. Nusa Tenggara Timur 40 465 81 200 74 500 100 201 1 507 759 18 093 108 20. Kalimantan Barat 84 956 87 300 71 700 59 323 1 688 597 20 263 164 21. Kalimantan Tengah 63 515 99 700 83 600 64 685 2 015 598 24 187 176 22. Kalimantan Selatan 82 649 100 200 73 200 75 072 2 045 776 24 549 312 23. Kalimantan Timur 283 532 134 900 96 800 117 204 2 747 777 32 973 324 24. Sulawesi Utara 53 337 90 800 95 800 97 558 1 873 462 22 481 544 25. Sulawesi Tengah 57 734 85 800 72 100 75 750 1 618 782 19 425 384 26. Sulawesi Selatan 184 497 91 200 72 600 90 383 1 665 799 19 989 588 27. Sulawesi Tenggara 40 773 96 000 79 000 69 470 1 845 322 22 143 864 28. Gorontalo 11 752 76 000 72 100 61 847 1 546 561 18 558 732 29. Sulawesi Barat 16 184 82 600 63 800 81 590 1 418 350 17 020 200 30. Maluku 13 215 103 000 90 500 73 849 1 991 809 23 901 708 31. Maluku Utara 7 725 98 200 93 200 82 707 1 872 170 22 466 040 32. Papua Barat 22 545 121 800 106 400 91 761 2 539 595 30 475 140 33. Papua 93 137 144 100 111 000 134 585 2 818 145 33 817 740 Indonesia (PDB)/(GDP) triliun rupiah 8 416 040 89 300 70 300 83 206 1 698 789 20 385 468 Ket: (JK) Jenis kelamin; (L)laki-laki; (P)Perempuan; *untuk perhitungan stunting; **untuk perhitungan obesitas Sumber: Data sekunder (olah) 2013 PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas (miliar rupiah)*
PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas (miliar rupiah)**
Biaya Rawat Jalan
Biaya Rawat Inap
L
P
L
P
897 323 448 394 698 972 800 534 486 356 504 950 466 650 580 052 605 438 1 000 073 452 663 770 097 604 158 519 884 201 560 839 337 450 758 525 618 653 948 534 611 402 536 822 639 804 054 261 377 436 317 896 921 502 554 630 566 383 415 745 290 363 932 512 556 982 455 566 591
461 607 505 435 644 457 616 343 623 250 638 939 284 786 575 384 442 596 552 698 781 451 585 519 769 938 663 747 542 163 388 950 650 984 687 330 728 700 868 923 443 346 613 914 420 221 472 152 1 172 505 860 597 968 985 709 350 385 950 610 647 680 507 601 643 932 220 659 238
29 860 780 55 345 230 30 096 950 29 000 000 42 108 601 35 294 400 31 732 210 41 574 060 37 400 000 34 800 600 53 293 765 41 260 001 39 877 984 44 586 700 26 061 525 24 490 480 58 262 100 39 881 900 29 493 200 19 490 600 28 878 100 35 360 400 16 537 770 37 465 530 30 107 700 43 735 907 67 297 900 43 614 400 7 789 390 26 217 710 47 645 000 21 097 400 41 841 020 37 389 768
29 860 780 55 345 230 30 096 950 29 000 000 42 108 601 35 294 400 31 732 210 41 574 060 37 400 000 34 800 600 53 293 765 41 260 001 53 234 884 49 266 700 26 061 525 24 490 480 58 262 100 39 881 900 29 493 200 19 490 600 28 878 100 35 360 400 16 537 770 37 465 530 30 107 700 43 735 907 67 297 900 60 514 600 9 978 100 26 217 710 47 645 000 21 097 400 45 167 600 41 604 856
52
53 55
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Abepura (Jayapura – Papua) pada tanggal 13 Maret 1990 dari bapak Drs. Agustinus Renyoet, M.Si dan mama Maryam P. A.Alamudi. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Awal pendidikan penulis dimulai dari Taman kanak-kanak di Abepura tahun 1995 – 1996, kemudian melanjutkan sekolah dasar di SD YPPK Gembala Baik Abepura tahun 1996 – 2002. Tahun 2002 – 2005 penulis menduduki pendidikan di bangku SMP YPPK Santo Paulus Abepura dan tahun 2005 – 2008 duduk di bangku SMA Negeri 1 Jayapura. Tahun 2009 – 2013 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Program Studi Ilmu Gizi, Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis dinyatakan sebagai lulusan terbaik dengan predikat cum laude Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) tahun 2013. Pada tahun 2014 telah bergabung dengan nutrition and dietition in Indonesia. Penulis aktif dilapangan dalam mengikuti berbagai kegiatan survei dan penyuluhan gizi, diantaranya pada tahun 2014 mendapat piagam dan sertifikat sebagai anggota dalam penelitian Studi Diet Total dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik. Tahun 2015 sebagai fasilitator Pendidikan Sarapan Sehat Nasional dari AIPGI/Pergizi Pangan Indonesia. Tahun 2014 penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Gizi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selain penelitian ini, penulis juga telah melakukan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder berupa skripsi dengan judul Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian Stunting Anak Usia 6-23 Bulan di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar.