i
EFISIENSI JARINGAN DISTRIBUSI RANTAI PASOK DAGING SAPI DI KOTA BOGOR
NADYA MEGAWATI RACHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Jaringan Distribusi Daging Sapi di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016
Nadya Megawati Rachman NIM H251140496
i
RINGKASAN NADYA MEGAWATI RACHMAN. Efisiensi Jaringan Distribusi Daging Sapi di Kota Bogor. Dibimbing oleh EKO RUDDY CAHYADI dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Pasar dan perdagangan merupakan dua aspek yang saling terkait dan saling mengisi. Peluang pasar hanya dapat dimanfaatkan secara maksimal jika didukung oleh sistem perdagangan yang efisien. Efisiensi kegiatan distribusi komoditas dipengaruhi oleh panjang mata rantai distribusi dan besarnya margin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Bogor sebagai kota jasa membutuhkan pasokan dari daerah lain dalam proses pemenuhan berbagai kebutuhan, terutama kebutuhan akan komoditas pangan. Jika terjadi hambatan dalam proses pasokan dalam jaringan distribusi, maka dapat dipastikan akan terjadi kelangkaan yang menyebabkan naiknya harga daging sapi yang harus dibayar oleh konsumen. Tingginya permintaan daging sapi yang terjadi di Kota Bogor mendorong para pelaku distribusi seperti pedagang besar dan pedagang pengecer selaku perantara yang berhubungan langsung dengan konsumen untuk mengoptimalkan rantai pasokan daging sapi. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian adalah memetakan jaringan distribusi daging sapi di Kota Bogor, menganalisis biaya transaksi, nilai tambah dan efisiensi pemasaran dalam saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogort dan menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pedagang daging sapi di Kota Bogor dalam melakukan pemilihan saluran pemasaran. Penelitian dilakukan di Kota Bogor. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik pengambilan non-probability sampling. Teknik penarikan snow ball sampling digunakan untuk mengetahui seberapa panjang rantai distribusi yang terjadi pada pemasaran daging sapi. Value Stream Mapping digunakan untuk memetakan jaringan distribusi rantai pasok daging sapi, biaya transaksi dianalisis dengan metode hayami, analisis saluran distribusi dan margin pemasaran dan analisis efisiensi pemasaran dan regresi logistik biner digunakan untuk menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pedagang daging sapi dalam memilih saluran pemasaran. Berdasarkan hasil pemetaan jaringan distribusi dengan menggunakan Value Stream Mapping terdapat 9 alternatif saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor. Rasio nilai tambah tertinggi (22.24%) diperoleh dari hasil pemotongan sapi hidup menjadi karkas yang didapatkan oleh PBDS I. Biaya transaksi dalam proses pasokan jaringan distribusi hanya berkisar 3-5%, biaya yang mendominasi adalah biaya dalam membeli pasokan daging sapi yang mencapai 60%. Saluran yang memiliki nilai efisiensi pemasaran tertinggi (0.80) dan Biaya transaksi terendah (IDR 694/Kg) adalah saluran 7 yaitu ( Feedloter – PBDS I – Konsumen). Berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner, faktor yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran adalah pengalaman berdagang, volume pasokan dan biaya transaksi. Kata kunci: daging sapi, rantai pasok, jaringan distribusi, biaya transaksi, pemilihan saluran pemasaran
SUMMARY NADYA MEGAWATI RACHMAN. Beef Supply Chain Distribution Network Efficiency at Bogor City. Supervised by EKO RUDDY CAHYADI and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Markets and trade are interrelated and complementary. Market opportunities can fully utilize if supported by an efficient trading system. The efficiency of commodity distribution is strongly influenced by the length of the distribution chain and the magnitude of the profit margin set by each of the distribution chain. Bogor as city of services needs supplies from other regions in the process of meeting all needs, especially needs for food commodities. If there is a bottleneck in the supply process in the distribution network, then certainly there will be scarcity leading to higher beef prices paid by consumers. The high demand for beef that occurred in the Bogor City encourages perpetrators of distribution such as wholesalers and retailers as intermediaries who deal directly with customers to optimize the beef supply chain. The purpose of this study were mapping the distribution network of beef supply chain at Bogor city, analyzing the transaction costs, value added and marketing efficiency in the marketing channels of beef supply chain at Bogor city and analyzing the influencing factors of beef marketing channels choices at Bogor City. Sampling method was done by non-probability sampling, which snow ball sampling technique was used to analyze how long distribution channel of beef at Bogor City. Value stream mapping used to analyze distribution channel of beef supply chain. Hayami method used to analyze transaction cost, value added and marketing efficiency. Binary logistic regression used to analyze butcher preferences to choice marketing channel. The result showed there were 9 alternative distribution channel of beef marketing at Bogor city. The biggest value added gained by PBDS I (22.24%) from slaughtered activities. Transaction cost in supply chain process only 3-5 % from total cost. The dominating cost were the cost that pay for buy beef supply it self (60%). The most efficient and has highest benefit channel were channel 7 (Feedloter – PBDS I – Consumen) with marketing efficiency score 0.80%. Based on binary logistic regression analysis, explanatory variable that significantly influenced the response variable on binary logistic function were experience of butcher, volume of supply and transaction cost. Keywords: beef, supply chain, distribution channel, transaction cost, choice of marketing channels
iii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
EFISIENSI JARINGAN DISTRIBUSI RANTAI PASOK DAGING SAPI DI KOTA BOGOR
NADYA MEGAWATI RACHMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji luar komisi
: Dr. Ir. Muhammad Syamsun, M,Sc.
L,L;R%-F4FR
R /F3-?F3R(C3?0'?R3FGB3*LF3R#'?G'3R!'F@:R'05?0R$'A3R,5R@G'R @0@BR
'<'R
R ',P'R-0'O'G4R#'+1D'?R
3F-HL6M3R @;-1R @D4F4R"-E*4=*4?0R
BR :@R
BR 'BJB4F)R
?00@H'R
-HM'R
4:-I'1L3R@;-2R
-K'R!B@0B'=R$GL,3R ;DNR'?'8.=-?R
BRBR @?@R R M?'?,'BR $+R
%'?00';R&93'?R L;3R
%'?00';RL;LFR
R
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 ini ialah manajemen rantai pasok, dengan judul Efisiensi Jaringan Distribusi Rantai Pasok Daging Sapi di Kota Bogor. Terima kasih penulis ucapkan serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr Eko Ruddy Cahyadi, S.Hut, MM. dan Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. atas bimbingannya yang telah banyak memberikan inspirasi dan pencerahan dalam setiap diskusi singkat namun melekat. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Syamsun, MSc. selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan perbaikan sehingga menjadi suatu pembelajaran yang berharga bagi penulis. Serta ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Jono M. Munandar M,Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Manajemen. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak drh. R. Arief Mukti Wibawa, MM dan drh. Dollik dari UPTD Rumah Pemotongan Hewan Kota Bogor, serta seluruh narasumber sebagai responden ahli dari Dinas pertanian dan peternakan Kota Bogor, Dinas Ketahanan Pangan Kota Bogor, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bogor dan PD. Pasar Pakuan Jaya yang telah membantu dan memberikan informasi selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah Abdul Rohmat, Ibu Heni Heryati tercinta dan juga adik-adik tersayang Widya Riski Febrianti dan Fatya Zahra Aulia serta Kakek Sidik Sodikin (almarhum) dan Nenek Euis Oom Komiasih atas doa dan kasih sayang serta dukungan yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. Terima Kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Alim Setiawan Selamet, S.TP, M.Si. atas masukan, perbaikan dan motivasi yang diberikan kepada penulis semenjak menempuh pendidikan sarjana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Siti Chaakimah, S.KPM, Rinny Saputri, M.Si, Rezika Meliza,M.Si, Intan Dewi Puspita,M.Si, Aldrian Kuswadi, S.TP, Melia Inosa, S.TP dan Reza Ahda Sabilla, M.Si serta teman-teman Pasca Sarjana Ilmu Manajemen 2013 atas persahabatan yang akan menjadi kenangan yang dirindukan, kisah suka dan duka dalam menyelesaikan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Michael Delpopi, M.Si atas percikan dari cahaya nuansa manisnya hidup dalam menjalani masa-masa akhir dalam menyelesaikan studi. May Allah SWT. give them all a bunch of blessed, love and happiness like they gave to me. May we can achieve our dreams and have a meaningful life. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Bogor, September 2016
Nadya Megawati Rachman
i
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iii
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Rantai Pasok Manajemen Rantai Pasok Pemasaran Lembaga dan Saluran Distribusi Pilihan Saluran Pemasaran Margin Pemasaran Konsep Nilai Tambah Biaya Transaksi Ternak Sapi Potong Karkas Daging Sapi Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu
5 5 5 6 6 7 8 9 10 10 12 13
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Penentuan Responden Metode Pengolahan dan Analisis Data
15 15 15 15 16 17
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Jaringan Distribusi Rantai Pasok Daging Sapi di Kota Bogor Analisis Biaya Transaksi pada Rantai Pasok Analisis Pemilihan Saluran Pemasaran Daging Sapi di Kota Bogor Implikasi Manajerial
23 23 29 34 38
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN SARAN
41 41 41
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
45
Lampiran 1 Kuisioner Penelitian
45
RIWAYAT HIDUP
48
ii
iii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Data Produksi dan Konsumsi Sapi di Indonesia 1 Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian 15 Gambar 3 Pemetaan metode penentuan responden 16 Gambar 4 VSM Saluran Pemasaran Daging Sapi di Kota Bogor 24 Gambar 5 Hasil survey terhadap pemilihan saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor 36
DAFTAR TABEL Tabel 1 Klasifikasi potongan daging sapi 12 Tabel 2 Penelitian Terdahulu 13 Tabel 3 Analisis biaya transaksi dan nilai tambah dengan menggunakan Metode Hayami 20 Tabel 4 Jumlah pedagang daging di Kota Bogor 26 Tabel 5 Margin Pemasaran dan Biaya Transaksi Saluran Pemasaran Daging Sapi 30 Tabel 6 Perhitungan rata-rata nilai tambah dengan metode hayami 32 Tabel 7 Hasil Uji Regresi Logistik Biner 37 Tabel 8 Rekomendasi langkah-langkah strategis dalam optimalisasi kinerja rantai pasok 39
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging sapi mempunyai peranan strategis dalam memenuhi kebutuhan protein hewani di Indonesia. Masyarakat sebagai konsumen berharap mendapatkan harga daging yang wajar serta terjangkau. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia diekspresikan oleh tingkat pendapatan perkapita yang terus meningkat. Hal tersebut secara langsung merubah pola konsumsi pangan penduduk ke arah protein hewani seperti daging, telur, dan susu. Perubahan struktur permintaan terhadap komoditas ternak berpengaruh terhadap kebijaksanaan penyediaan pangan, harga, serta proyeksi permintaan dari komoditas tersebut. Berdasarkan data produksi dan konsumsi sapi Direktorat Pangan dan Pertanian 2014, peningkatan produksi daging sapi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi yang juga terus meningkat. Nilai konsumsi selalu lebih tinggi dibandingkan dengan produksi. Kesenjangan tersebut akhirnya ditutupi dengan cara impor. Data produksi dan konsumsi sapi nasional disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 1. Produksi
395,244 222,656
413,087
Konsumsi
488,931 440,774 410,698 425,495 349,967
544,896
213,477
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 1 Data Produksi dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia (ekor/tahun) Sumber : Direktorat Pertanian dan Pangan 2014
Kondisi tersebut menyebabkan kerentanan terjadinya fluktuasi harga, yang dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan daging sapi yang beredar di pasar. Saat ini aspek pemasaran daging sapi menjadi permasalahan pembangunan sektor peternakan di Indonesia. Pada satu pihak, insentif pemasaran bagi produsen (peternak) perlu diperhatikan, di pihak lain harga daging sapi perlu disesuaikan dengan daya beli konsumen. Harga daging sapi yang tinggi ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan peternak secara signifikan. Sehingga terdapat suatu indikasi permasalahan yang membuat margin keuntungan dalam tata niaga daging sapi tidak terdistribusi dengan baik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dipahami pelaku dalam rantai pasok daging sapi serta mengetahui sejauh mana kompleksitas dari rantai pasok. Permasalahan daging sapi nasional dialami juga oleh Kota Bogor. Permintaan daging sapi yang terus meningkat, namun disisi lain Bogor merupakan Kota Jasa. Kota ini bukan merupakan sentra produksi atau penghasil utama komoditas
2
tertentu dan membutuhkan bantuan pasokan dari daerah lain dalam proses pemenuhan berbagai kebutuhan, terutama kebutuhan akan komoditas pangan. Selain untuk kebutuhan konsumsi masyarakat sehari-hari, Bogor juga membutuhkan pasokan komoditas daging untuk memenuhi kebutuhan konsumsi untuk wisatawan yang datang ke Bogor. Berbagai olahan daging yang disajikan di hotel, restaurant maupun usaha kecil dan menengah yang menggunakan daging sapi sebagai salah satu komposisi dari produk yang dihasilkan. Kota Bogor merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tingkat konsumsi daging per kapita yang cukup tinggi, yaitu 2.2 kg/tahun (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bogor 2015). Pasar dan perdagangan merupakan dua aspek yang saling terkait dan saling mengisi. Peluang pasar hanya dapat dimanfaatkan secara maksimal jika didukung oleh sistem perdagangan yang efisien. Efisiensi kegiatan distribusi komoditas sangat dipengaruhi oleh panjang mata rantai distribusi dan besarnya margin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Semakin pendek mata rantai distribusi dan semakin kecil selisih margin keuntungan antar pelaku pasokan, maka kegiatan distribusi tersebut semakin efisien. Harga daging di tingkat pengecer atau konsumen sangat ditentukan oleh harga pokok (di tingkat produsen), biaya penambahan nilai, biaya transaksi, keuntungan lembaga yang terlibat dan keseimbangan permintan dan penawaran (Gong et al. 2006) Efisiensi kegiatan distribusi tentunya berpengaruh pada harga dari daging sapi yang harus dibayar oleh konsumen, namun hingga saat ini penelitian mengenai besarnya biaya transaksi disepanjang rantai pasok masih terbatas. Bogor sebagai kota jasa membutuhkan pasokan dari daerah lain dalam proses pemenuhan berbagai kebutuhan, terutama kebutuhan akan komoditas pangan. Populasi sapi potong di Kota Bogor pada tahun 2010-2014 berkisar antara 177-200 ekor (PUSDATIN 2015). Sementara itu, jumlah sapi yang dipotong di RPH milik pemerintah di Kota Bogor mencapai 1500-2000 ekor per bulan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar sapi yang dipotong di RPH Kota Bogor merupakan sapi yang berasal dari daerah lain. Saat ini pasokan sapi potong yang masuk ke Kota Bogor berasal dari wilayah Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta dan Lampung (DITJEN PKH 2013). Jika terjadi hambatan dalam proses pasokan dalam jaringan distribusi, maka dapat dipastikan akan terjadi kelangkaan yang menyebabkan naiknya harga daging sapi yang harus dibayar oleh konsumen. Biaya transaksi menjadi salah satu faktor penting yang perlu diketahui, karena selain berpengaruh pada pilihan saluran pemasaran juga berpengaruh terhadap harga yang harus dibayar oleh konsumen. Daging sapi sebagai salah satu komoditas pangan utama menjadi topik penelitian yang menarik. Berbagai penelitian mengenai daging sapi telah dilakukan, seperti kajian mengenai risiko dalam rantai pasok daging sapi yang dilakukan oleh Wang et al. (2010) dan Fearne et al. (2001), optimasi dalam pengelolaan dan distribusi produk daging sapi segar dengan pendekatan rantai pasok (Rong et al. 2011) dan Van der Vorst et al. (2009), analisis kinerja rantai pasok pada agribisnis sapi potong oleh Yayat et al. (2010) dan Ding et al. (2014), hingga mengenai langkah-langkah strategis dalam mencapai swasembada daging sapi yang diteliti oleh Matondang (2013) dan Tseuoa et al. (2012). Penelitian terdahulu berfokus dalam peningkatan kinerja rantai pasok dari sisi kualitas, penanganan risiko dan kontinuitas pasokan. Optimasi kinerja rantai pasok juga
3
dapat ditingkatkan dengan cara menganalisis biaya transaksi dan nilai tambah dalam sepanjang rantai pasok daging sapi, sehingga rantai pasok akan berjalan dengan lebih efisien. Berdasarkan penelitian Pangatur (2013), daging sapi di Indonesia memiliki berbagai macam saluran pemasaran. Daging sapi dijual ke hotel, restaurant dan katering (HOREKA), industri besar olahan daging sapi dan industri kecil menengah. Daging sapi juga dijual kembali ke pedagang eceran di pasar tradisional dan pasar modern sebelum akhirnya sampai ditangan konsumen akhir. Perlu diketahui apakah kelangkaan daging sapi terjadi disemua saluran pemasaran atau hanya terjadi disaluran pemasaran tertentu dan berbagai macam faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pemasok daging sapi untuk memilih saluran pemasaran. Biaya transaksi menjadi salah satu faktor penting yang perlu diketahui, karena selain berpengaruh pada pilihan saluran pemasaran juga berpengaruh terhadap harga yang harus dibayar oleh konsumen. Tingginya permintaan daging sapi yang terjadi di Kota Bogor mendorong para pelaku distribusi seperti pedagang besar dan pedagang pengecer selaku perantara yang berhubungan langsung dengan konsumen untuk mengoptimalkan rantai pasokan daging sapi. Perumusan Masalah Penelitian terdahulu telah menunjukan bahwa terdapat berbagai permasalahan dan isu dalam rantai pasok sapi yang perlu dikaji sebagai salah satu upaya mencapai target pemerintah untuk melaksanakan swasembada daging. Lemahnya koordinasi, sinergi dan efektivitas dalam kebijakan agribisnis komoditas peternakan, kurangnya pemahaman karakteristik dan kinerja pasar konvensional dan modern, serta relatif terbatasnya informasi mengenai kinerja kelembagaan rantai pasok juga menjadi penyebab terciptanya suatu jaringan rantai pasok yang tidak efisien. Kementerian Pertanian (2010) dalam Peraturan Menteri Pertanian mengenai Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014 memiliki sasaran untuk meningkatkan produksi daging dalam negeri sebesar 10,4% setiap tahunnya dan penurunan impor sapi hingga mencapai 10% kebutuhan konsumsi Indonesia. Perbedaan jumlah konsumsi dan jumlah produksi lokal daging sapi menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mencapai program swasembada daging sapi. Peningkatan produksi daging sapi harus didukung dengan suatu jaringan distribusi yang mampu menyebarkan pasokan daging sapi secara efektif dan efisien agar ketersediaan pasokan berkesinambungan dan mudah untuk dijangkau oleh masyarakat, baik dari segi lokasi penjualan maupun dari segi harga terutama bagi wilayah yang bukan merupakan sentra produksi daging sapi sehingga membutuhkan pasokan daging sapi dari wilayah lain. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Dinas Peternakan Kota Bogor, terdapat suatu kendala dalam memantau lalu lintas komoditas pangan, salah satunya daging sapi di Kota Bogor. Bogor sebagai salah satu wilayah yang kebutuhan daging sapinya dipenuhi oleh wilayah lain tentunya membutuhkan suatu pemetaan yang jelas terkait jaringan distribusi pasokan daging sapi, agar dapat dihitung sejauh mana tingkat efisiensi pemasaran daging sapi di wilayah tersebut. Selain itu, biaya transaksi dalam jaringan distribusi perlu dianalisis untuk
4
mengetahui komponen biaya yang dibutuhkan dalam pemenuhan pasokan daging sapi di wilayah Kota Bogor. Setelah dipetakan dan dianalisis biaya transaksi dalam jaringan distribusi rantai pasok daging sapi, diperlukan juga analisis mengenai perilaku aktor dalam rantai pasok untuk memilih saluran pemasaran, terkait dengan tingkat biaya transaksi yang harus dipenuhi serta berbagai pertimbangan lain dalam melakukan penjualan dari satu rantai pasokan ke rantai pasokan berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana pemetaan jaringan distribusi sapi di Kota Bogor? (2) Bagaimana analisis biaya transaksi pasokan daging sapi di Kota Bogor? (3) Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pilihan saluran pemasaran pedagang daging sapi di Kota Bogor? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : (1) Memetakan jaringan distribusi daging sapi di Kota Bogor (2) Menganalisis biaya transaksi, nilai tambah dan efisiensi pemasaran dalam saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor (3) Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan saluran pemasaran pedagang daging sapi di Kota Bogor. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi mengenai jaringan distribusi pasokan daging sapi di Kota Bogor, seperti pihak peternak, pedagang besar, pedagang eceran, konsumen. Bagi anggota rantai pasok daging sapi, diharapkan hasil dari penelitian ini akan memberikan informasi yang bermanfaat terutama dalam hal penyempurnaan jaringan distribusi rantai pasok, sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi seluruh anggota rantai pasok. Bagi pemerintah khususnya Dinas Peternakan dan Dinas Ketahanan Pangan Kota Bogor, diharapkan hasil penelitian ini akan dijadikan salah satu sumber informasi dalam mengembangkan berbagai program yang terkait dengan jaringan distribusi pasokan daging sapi. Bagi pembaca, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sumber informasi serta pembanding dalam melakukan penelitian selanjutnya yang relevan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup masalah dalam penelitian ini dibatasi agar lebih terarah dan mudah dipahami. Penelitian berfokus kepada jaringan distribusi dan biaya yang dibutuhkan dalam proses pasokan, mulai dari RPH hingga ke konsumen akhir di Kota Bogor serta preferensi pedagang daging sapi dalam memilih saluran pemasaran dari RPH ke saluran berikutnya.
5
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Rantai Pasok Berdasarkan konsep supply chain terdapat tiga tahapan dalam aliran material. Bahan mentah didistribusikan ke manufaktur membentuk suatu sistem physical supply, manufaktur mengolah bahan mentah, dan produk jadi didistribusikan kepada konsumen akhir membentuk suatu physical distribution (Marimin dan Maghfiroh 2010). Bahan mentah didistribusikan kepada supplier dan manufacture yang melakukan pengolahan, sehingga menjadi barang jadi yang siap didistribusikan kepada customer melalui distributor. Permintaan dari customer diterjemahkan oleh distributor dan distributor menyampaikan pada manufacture, selanjutnya manufacture menyampaikan informasi tersebut pada supplier. Rantai pasokan mencakup keseluruhan interaksi antara pemasok, perusahaan manufaktur, distributor, dan konsumen (Siagian 2005). Menurut Marimin dan Maghfiroh (2010), mekanisme rantai pasok produk pertanian secara alami dibentuk oleh para pelaku rantai pasok itu sendiri. Pada negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, mekanisme rantai pasok produk pertanian dicirikan dengan lemahnya produk pertanian dan komposisi pasar. Kedua hal tersebut akan menentukan kelangsungan mekanisme rantai pasok. Mekanisme rantai pasok produk pertanian dapat bersifat tradisional ataupun modern. Mekanisme tradisional adalah petani menjual produknya langsung ke pasar atau lewat tengkulak, dan tengkulak yang akan menjualnya ke pasar tradisional dan pasar swalayan. Mekanisme rantai pasok modern terbentuk oleh beberapa hal, antara lain mengatasi kelemahan karakteristik dari produk pertanian, meningkatkan permintaan kebutuhan pelanggan akan produk yang berkualitas, dan memperluas pangsa pasar yang ada. Menurut Simchi-Levi et al. (2000), masalah kunci yang terkait dalam pengelolaan rantai pasokan terdiri dari konfigurasi jaringan distribusi, pengendalian inventori, kontrak pemasokan, strategi distribusi, integrasi rantai pasokan dan kemitraan strategis, strategi perantaraan (procurement) dan outsourcing, desain produk, teknologi informasi dan sistem penunjang keputusan serta penilaian pelanggan. Pengelolaan rantai pasokan tidak hanya dilakukan agar seluruh bagian sistem memberikan kinerja keseluruhan yang efektif, tetapi juga efisien. Manajemen Rantai Pasok Istilah manajemen rantai pasokan dipopulerkan pertama kalinya pada tahun 1982 sebagai pendekatan manajemen persediaan yang ditekankan pada pasokan bahan baku. Pada tahun 1990-an isu manajemen rantai pasok telah menjadi agenda para manajer sebagai kebijakan strategis perusahaan. Hal ini juga didasari adanya kesadaran bahwa keunggulan daya saing perlu didukung oleh aliran barang dari pemasok hingga pengguna akhir. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh aliran barang dari hulu hingga hilir, yaitu pemasok bahan baku, pabrik, distributor, retail dan konsumen akhir. Manajemen rantai pasok merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan
6
lainnya secara efisien. Prinsip manajemen rantai pasokan pada dasarnya merupakan sinkronisasi dan koordinasi aktivitas-aktivitas yang terkait dengan aliran material/produk, baik yang ada dalam suatu organisasi maupun antar organisasi. Suatu rantai pasokan merujuk kepada jaringan yang rumit dari hubungan di mana organisasi mempertahankan dengan rekan bisnisnya untuk mendapatkan sumber produksi dalam mendistribusikan kepada konsumen. Tujuan yang ingin dicapai dari setiap rantai pasokan adalah untuk memaksimalkan nilai yang dihasilkan secara keseluruhan. Rantai pasokan yang terintegrasi akan meningkatkan keseluruhan nilai yang dihasilkan dari rantai pasokan tersebut (Tunggal 2009). Tujuan pengelolaan rantai pasokan adalah memasok produk siap pakai secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat biaya dan yang terpenting, tepat mutu, dengan cara yang paling efisien (Probowati 2011). Manajemen rantai pasokan merupakan sebuah pendekatan yang dipakai untuk mengintegrasikan aktivitas pemasok, penjual, pengolah, pergudangan dan pengguna/konsumen agar produk dan jasa yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat dan pada tempat yang tepat dengan sasaran akhir meminimalkan keseluruhan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen (Chopra dan Meindel 2007).
Pemasaran Menurut Kotler dan Keller (2008) pemasaran adalah suatu proses kegiatan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, politik, ekonomi dan manajerial. Akibat dari berbagai pengaruh faktor tersebut adalah masing-masing individu maupun kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan dengan menciptakan, menawarkan dan menukarkan produk yang memiliki nilai komoditas. Pemasaran juga merupakan suatu fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan memberikan nilai kepada pelanggan dan untuk mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan pemangku kepentingan. Rangkuti (2005) menjelaskan bahwa pemasaran akan terjadi karena hal-hal berikut : (1) tingkat kebutuhan yang mendesak, (2) tingkat komersialisasi produsen, (3) keadaan harga yang menguntungkan dan (4) peraturan. Segmentasi pasar merupakan tindakan mengidentifikasi dan membentuk kelompok pembeli/konsumen secara terpisah. Kotler dan Keller (2008) menegaskan bahwa tujuan pemasaran adalah untuk memahami dan mengetahui pelanggan sedemikian rupa sehingga produk atau jasa tersebut cocok dengan pelanggan atau dengan kata lain memenuhi kebutuhan konsumen dengan cara yang menguntungkan. Lembaga dan Saluran Distribusi Saluran pemasaran (marketing channel) adalah jejak penyaluran barang dari produsen ke konsumen akhir. Menurut Sudiyono (2002), lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir, serta mempunya hubungan dengan badan usaha atau individu lain. Menurut Kotler dan Keller (2008) untuk mencapai pasar sasaran, pemasar menggunakan tiga jenis saluran pemasaran yaitu (1) saluran komunikasi menyampaikan dan menerima pesan dari pembeli, (2) saluran distribusi untuk menggelar, menjual atau menyampaikan produk fisik atau jasa kepada pelanggan
7
atau pengguna dan (3) saluran layanan yaitu untuk melakukan transaksi dengan calon pembeli. Menurut FAO (2007) secara umum prinsip saluran distribusi produk pertaian yang berasal dari perusahaan pertanian (agribusinesses farmers) melewati empat rantai pemasaran yaitu (1) pemasaran langsung (direct sales), (2) pengecer (retailer) (3) grosir (wholesaler) dan (4) agen dan broker. Selain pemasaran secara langsung dari perusahaan pertanian ke lembaga pemasar, dapat juga terjadi pemasaran berantai dari mulai agen dan broker kemudian ke grosir selanjutnya ke pengecer. Pilihan Saluran Pemasaran Saluran pemasaran merupakan serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan fungsinya dengan memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu penting sebagai upaya dalam mengatasi kesenjangan waktu,tempat dan pemilikan yang memisahkan barang atau jasa dari orang-orang yang membutuhkan atau menginginkannya (Cristovao 2015). Pilihan saluran pemasaran merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam memasarkan produk. Saluran pemasaran yang berbeda memberikan tingkat keuntungan dan biaya yang berbeda pula. Selain itu saluran pemasaran yang dipilih dan digunakan oleh pedagang dalam memasarkan komoditas daging sapi memiliki pengaruh terhadap keuntungan yang akan diterima, sehingga pedagang akan memilih saluran yang lebih menguntungkan baginya. Kemudahan dalam melakukan transaksi, harga jual, lokasi pemasaran, kuantitas produksi, dan ketersediaan informasi pasar seringkali menjadi pertimbangan utama bagi pedagang dalam memilih saluran pemasaran (Chalwe 2011). Faktor eksternal seperti perjanjian kontraktual dalam pemasaran produk dan perolehan kegiatan pendampingan dalam kelompok peternak juga mempengaruhi pilihan saluran pemasaran. Adanya perjanjian kontraktual yang ditetapkan menjadikan feedloter memilih untuk memasarkan produknya ke saluran tertentu selama periode yang disepakati antara feedloter dengan lembaga pemasaran (Xaba dan Masuku 2013; Jari 2009). Faktor internal seperti karakteristik sosial ekonomi juga memberi pengaruh dalam menentukan saluran pemasaran. Berdasarkan hasil penelitian Gebreeyesus dan Sonobe (2009), Xaba dan Masuku (2013), Chalwe (2011), Gong et al (2006) dan Anteneh et al. (2011) usia mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran. Selain faktor usia, karakteristik sosial ekonomi yang juga mempengaruhi pilihan saluran pemasaran yaitu luas lahan (Gebreeyesus dan Sonobe 2009; Zivenge dan Karavina 2012), tingkat pendidikan (Xaba dan Masuku 2013; Anteneh et al. 2011), status kepemilikan lahan (Gebreeyesus dan Sonobe 2009), dan pengalaman (Jari 2009; Gebreeyesus dan Sonobe 2009). Hobbs (1997) mendemonstrasikan sebuah metode untuk mengukur tingkat kepentingan dari biaya transaksi dalam pemasaran daging sapi yang membandingkan antara saluran distribusi daging sapi dengan sapi yang masih hidup di industri daging sapi Inggris. Sang (2003) melakukan studi mengenai koordinasi vertikal pada industri sayuran di China dan menemukan bahwa prosesor cenderung melakukan perjanjian dengan peternakan komersial yang
8
lebih besar karena biaya transaksi yang lebih rendah dan menjamin kualitas dan keamanan dari produk. Sebagai tambahan terhadap studi mengenai biaya transaksi yang terkait dengan koordinasi vertikal, para peneliti dalam bidang ekonomi pertanian juga mengadakan penelitian mengenai perilaku dari pelaku dalam jaringan distribusi suatu komoditas. Poole et al. (1998) melakukan penelitian terhadap sistem pemasaran jeruk di Spanyol dan menemukan bahwa ketidakpastian harga dan pembayaran menjadi pertimbangan yang penting terkait keputusan dalam pemilihan saluran pemasaran. Dalam survey 13 Provinsi di China, Guo dan Jiang (2005) menemukan bahwa partisipasi kontrak produksi secara positif berhubungan dengan spesialisasi dan komersialisasi dari produk yang dihasilkan. Dalam kasus penelitian pada sektor peternakan Zhou dan Dai (2005) menganalisis hubungan dan kontrak dari peternak babi di Provinsi Jiangsu di Cina dan menemukan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap keputusan peternak untuk melakukan forward contracting adalah skala peternakan, produksi non farm, debt situation dan regional discrepancies. Dalam komoditas daging sapi, terdapat beberapa karakteristik yang menentukan sistem koordinasi vertikal diantara produsen dan prosesor, mulai dari keputusan untuk menjual di traditional spot market atau dengan membuat kontrak, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan penelitian terkait biaya transaksi dan pemilihan saluran pemasaran daging sapi di Cina yang dilakukan oleh Gong et al. (2006), variabel yang berpengaruh terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran daging sapi di Cina adalah fluktuasi harga, akses informasi, biaya transportasi dan ukuran dari jumlah daging sapi yang akan dijual. Variabel pengalaman tidak menunjukan hubungan yang kuat terhadap variabel dependen dalam matriks korelasi. Namun variabel pengalaman tetap disertakan dalam model tersebut, karena pengalaman secara umum dipercaya berpengaruh penting terhadap pemilihan saluran pemasaran. Biaya transaksi yang termasuk dalam analisis tersebut adalah : Ada atau tidaknya inspeksi kualitas daging sapi, waktu tunggu pembayaran setelah menjual sapi, kekuatan posisi tawar-menawar ketika menjual sapi, biaya transportasi, ketidakpastian grade sapi yang dibutuhkan, farm specialization, dan farm services received. Terdapat beberapa variabel sosial ekonomi yang diduga berpengaruh terhadap variabel dependen. Variabel tersebut adalah tingkat investasi pada sapi, jumlah sapi yang terjual, tingkat pendidikan, feed conversion ratio, usia dari peternak sapi dan struktur kepemilikan. Penelitian tersebut menunjukan bahwa biaya transaksi berpengaruh terhadap pemilihan saluran pemasaran secara signifikan. Menurut Hobbs (1996) Biaya transaksi digolongkan menjadi tiga kelompok biaya, yaitu biaya informasi, biaya negosiasi dan biaya monitoring (enforcement). Margin Pemasaran Sesuai dengan mekanisme pasar atau hokum pemasaran bahwa harga yang terbentuk di pasar merupakan keseimbangan (equilibrium) antara permintaan dan penawaran. Setiap pelaku produksi atau pelaku pemasaran bertujuan untuk mendapatkan margin dari produk yang dijual dipasar. Berdasarkan Rahim dan Hastuti (2008) margin adalah sisa, untung bersih, garis tepi, batas dan kelonggaran. Dalam bidang pangan atau pertanian margin pemasaran adalah
9
selisih antara harga yang diterima produsen baik petani maupun peternak dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Margin pemasaran dapat didefinisikan antara lain : (1) merupakan perbedaan antara yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima peternak dan (2) merupakan biaya-biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran. Margin pemasaran atau tataniaga komoditas pertanian adalah selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran atau selisih harga yang dibayarkan di tingkat pengecer (konsumen) dengan harga yang diterima oleh produsen. Rahim dan Hastuti (2008) menyatakan bahwa margin pemasaran adalah perbedaan harga ditingkat konsumen yaitu harga yang terjadi karena perpotongan kurva permintaan primer (primary demand curve) dengan kurva penawaran turunan (derived supply curve) dengan harga ditingkat produsen yaitu harga yang terjadi karena perpotongan kurva penawaran primer (primary supply) dengan permintaan turunan (derived demand). Apabila tataniaga atau pemasaran suatu komoditi melalui banyak lembaga perantara, maka margin pemasaran merupakan penjumlahan margin-margin diantara lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat sepanjang saluran pemasaran tersebut. Adapun share atau bagian yang diyerima petani atau petenak dapat dilihat keterkaitannya antara pemasaran dengan proses produksi. Jika proses produksi tidak efisien maka bagian yang diterima petani (farmers share) akan kecil. Konsep Nilai Tambah Nilai tambah dapat didefinisikan sebagai pertambahan nilai yang terjadi pada suatu komoditas karena komoditas tersebut mengalami proses pengolahan lebih lanjut dalam suatu proses produksi (Coltrain et al. 2000). Bunte (2006) menyatakan bahwa distribusi biaya dan keuntungan yang tidak merata sepanjang rantai pasok agroindustri membahayakan kelangsungannya, karena menghambat upaya-upaya modernisasi pertanian tersebut yang pada gilirannya akan menghambat kemajuan industri tersebut. Pada setiap bisnis, nilai tambah diperlukan agar pengusaha atau penanam modal mendapatkan tingkat keuntungan atau nilai tambah yang menarik, yaitu melebihi tingkat pendapatan pada investasi yang aman seperti deposito di bank atau investasi lain. Distribusi nilai tambah atau keuntungan sepanjang suatu rantai pasok haruslah adil dan disepakati semua anggota rantai pasok untuk menjaga kerjasama dan keberlangsungannya (Li dan Yuanyuan 2005). Salah satu atau sekelompok anggota dapat saja menjadi dominan didalam rantai pasok tersebut dan berperan sebagai pemimpin serta mengambil porsi yang lebih besar dari keuntungan pelaku yang lain. Untuk mengatasi dominasi itu harus dilakukan kerjasama antara para pelaku rantai pasok. Daya tarik bagi investor atau pengusaha untuk bergerak dalam usaha apapun termasuk usaha agroindustri adalah adanya pengaturan yang seimbang antara risiko dan imbalan (keuntungan) (Preckel et al. 2004). Sifat perishable (mudah rusak) dan bulky (kamba) yang dimiliki komoditas daging sapi memberikan motivasi terhadap pedagang daging sapi untuk melakukan penanganan yang tepat hingga produk tersebut sampai kepada konsumen. Di dalam sistem sistem komoditas daging sapi terjadi arus komoditas
10
yang mengalir dari hulu ke hilir, yang berawal dari peternak dan berakhir pada konsumen akhir. Dalam perjalanan tersebut, komoditas daging sapi mendapat berbagai perlakuan, seperti pengolahan, pengawetan, dan pemindahan untuk menambah kegunaaan atau menimbulkan nilai tambah. Menurut Hayami et al (1987), terdapat dua cara untuk menghitung nilai tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input lain. Biaya Transaksi Secara sederhana, biaya transaksi merupakan biaya yang ditimbulkan ketika mengadakan suatu pertukaran, baik antar perusahaan di suatu pasar atau perpindahan sumber daya antara satu tingkatan dengan tingkatan yang lain dalam suatu perusahaan yang terintegrasi secara vertikal. Biaya transaksi dibagi dalam tiga klasifikasi utama, yaitu: biaya informasi, biaya negosiasi dan biaya pengawasan (monitoring cost/enforcement) (Hobbs 1996). Biaya informasi merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengetahui berbagai informasi yang terkait dengan proses transaksi, seperti informasi mengenai harga, spesifikasi komoditas yang diinginkan oleh konsumen, kebijakan pemerintah dan biaya lain yang ditimbulkan karena upaya untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Biaya negosiasi timbul dari kegiatan fisik dari transaksi seperti biaya perumusan kontrak, (biaya dalam hal keahlian manajerial, mempekerjakan pengacara), atau membayar untuk jasa perantara untuk transaksi (Seperti lelang atau broker). Proses negosiasi juga berpengaruh terhadap waktu tunda pembayaran, posisi tawar-menawar (bargaining position), serta biaya transportasi yang dibutuhkan dalam proses perpindahan barang dari satu mata rantai ke rantai yang lain. Biaya pengawasan timbul setelah transaksi dinegosiasikan, seperti pemantauan kualitas barang dari pemasok atau memantau perilaku pemasok atau pembeli untuk memastikan bahwa semua persetujuan dalam transaksi terpenuhi (Hobbs 1996). Ternak Sapi Potong Secara umum sapi dibedakan kedalam dua jenis, yaitu sapi pedaging atau sapi potong dan sapi perah. Bangsa sapi potong didunia berasal dari sapi primitif dari tiga golongan, yaitu : Bonsindicus (Zebu : berpunuk), Bostaurus, dan Bossondaicus (Faturrokhman 2015). Sapi potong adalah jenis ternak yang dipelihara untuk menghasilkan daging sebagai produk utamanya. Sapi potong di Indonesia dimanfaatkan juga sebagai sumber lapangan pekerjaan. Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli Indonesia dan sapi yang di impor. Dari jenis-jenis sapi potong tersebut mempunyai sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luarnya (ukuran tubuh, warna bulu) maupun dari genetiknya (laju pertumbuhan). Jenis bakalan sapi potong yang ada di Indonesia adalah jenis sapi murni, impor dan jenis sapi hasil persilangan. Jenis sapi lokal yang terdapat
11
di Indonesia adalah Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Ongol dan Sapi Peranakan Ongol (Sapi PO). Jenis sapi murni impor adalah Sapi Hereford, Sapi Shorthorn, Sapi Aberdenangus, Sapi Charolais dan Sapi Brahman. Jenis sapi hasil persilangan antara lain : Sapi Santa Gertrudis, Sapi Breef Master, Sapi Brangus, Sapi Charbray (Siregar 2001). Hampir semua jenis-jenis sapi lokal tersebut terdapat di seluruh Indonesia, tetapi ada pula yang hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja. Jenis sapi tersebut antara lain: 1. Sapi Bali, merupakan sapi keturunan dari Bos Banteng. Sapi Bali mempunyai bentuk dan karakteristik yang sama dengan Banteng dan tergolong sapi yang cukup subur, sehingga Sapi Bali sangat cocok sebagai ternak bibit yang potensial. Sapi Bali mempunyai fertilitas 8386% (Siregar 2001). 2. Sapi Peramalam Ongol (PO), dikenal juga sebagai Sumba Ongol merupakan hasl persilangan Sapi Ongol asal India dengan Sapi Madura secara grading up (keturunan hasil perkawinan yang dikawinkan kembali dengan Sapi Ongol). Sapi ini berwarna putih dan berpunuk. Sapi PO jantan dewasa mencapai bobot badan kurang dari 600 Kg dan Sapi PO betina dewasa kurang dari 450 Kg. Keunggulan sapi PO memiliki pertumbuhan yang relatif cepat. 3. Sapi Madura, merupakan sapi lokal yang mirip Sapi Bali. Perbedaan yang siginifikan antara Sapi Bali dan Sapi Maduran terletak pada keberadaan punuk, sapi Bali tidak berpunuk sedangkan Sapi Madura berpunuk. Bobot sapi jantan dewasa 300 Kg dan sapi betina dewasa 250 Kg. Pertambahan bobot badan 0.25-0.6 Kg/ekor/hari. Persentase karkas 48-63%. Adapun jenis sapi non-lokal yang biasa diternakan di Indonesia, antara lain : 1. Sapi Charolais, merupakan sapi potong keturunan Bos Taurus dan banyak dikembangbiakan di Amerika. Warna tubuhnya krem muda atau keputih-putihan. Postur tubuhnya besar dan padat, tetapi kasar denga bobot badan jantan dewasa dapat mencapai 1000 Kg, sedangkan betina dewasa sekitar 750 Kg. 2. Sapi Limousin, merupakan sapi potong keturunan Bos Taurus yang berhasil dikembangkan dikembangkan di Perancis. Bentuk tubuhnya memanjang penuh daging dan sangat padat. Berat badan Sapi Limousin betina bisa mencapai rata-rata 650 Kg, sedangkan jantan mencapai ratarata 850 Kg. Sapi jenis Limousin merupakan salah satu jenis sapi yang merajai pasar-pasar sapi di Indonesia dan menjadi primadona untuk sapi yang akan digemukkan. 3. Sapi Brahman, merupakan sapi yang termasuk dalam golongan sapi Zebu. Sapi ini banyak disilangkan dengan jenis sapi lainnya dan menghasilkan Sapi Brahman Cross (Peranakan Amerika Brahman) dimana jenis sapi Brahman mempunyai pertambahan bobot badan harian yang cukup tinggi yaitu 0.8-1.2 Kg per hari. Jenis sapi Brahman umumnya diimpor dari Australia dan Selandia Baru dalam bentuk bakalan untuk digemukkan kembali. 4. Sapi Aberden Angus, mempunyai bulu berwarna hitam legam, berukuran agak panjang, keriting dan halus. Sapi Angus berasal dari Inggris dan
12
Skotlandia. Umur dewasa sapi ini adalah 2 tahun, memiliki persentase karkas tinggi (60%) dengan mutu daging sangat baik dan lemak menyebar baik dalam daging. 5. Sapi Simental, berasal dari Swiss namun sekarang lebih cepat berkembang lebih cepat di benua Amerika, Australia dan Selandia Baru. Sapi Simental merupakan sapi tipe besar, sapi jantan dewasa mampu mencapai berat badan 1150 Kg sedangkan betina dewasa mencapai 800 Kg. Pertambahan bobot badan 1.6-1.8 Kg/ekor/hari. 6. Sapi Ongol, merupakan keturunan sapi liar Bos Indicus yang berhasil dijinakkan di India. Ciri khas Sapi Ongol berbadan besar, berpunuk besar, bergelambir longgar, dan berleher pendek. Sapi Ongol tergolong lambat dewasa. Bobot maksimal sapi jantan dewasa 600 Kg dan sapi betina dewasa 400 Kg. Persentase karkas 45-58 %. Beternak sapi potong sangat menguntungkan, selain menghasilkan karkas yang mencapai 45-58%, keuntungan lain yang didapat adalah sebagai sumber penghasil pupuk, menghasilkan kulit, tulang dan lain-lain. Di beberapa daerah sapi juga dijadikan sebagai sumber tenaga kerja dengan memperkerjakan sapi untuk membajak sawah petani (Siregar 2001). Karkas Daging Sapi Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk asil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan esehatan bagi yang memakannya (Faturrokhman 2015). Karkas merupakan hasil potongan ternak setelah dikurangi kepala, kulit, cakar, darah dan isi perut. Badan Standarisasi Nasional/ SNI No. 3932:2008 (2008) menyatakan bahwa karkas adalah bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal sesuai dengan CAC-GL 24-1997 telah dikuliti, telah dikeluarkan jeroannya, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambih, ekor serta lemak yang berlebih. Berdasarkan pada BSN (2014) penyusunan standarisasi karkas daging perlu dilakukan untuk menjaga mutu daging. Standarisasi karkas daging tercantum dalam SNI No 3932:2008 diklasifikasikan dalam tiga kelas, seperti yang ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi potongan daging sapi Golongan I
II
III
Potongan Daging Has Luar (striploin/sirloin) Has dalam (tenderloin) Lamusir (cube roll) Tanjung (rump) Kepala (round) Penutup (topside) Pendasar (silverside) Gandik (eyeround)) Kijen (chuck tender) Sampil besar (chuck) Sampil kecil (blade) Sengkel (shin/shank)
13
Golongan
Potongan Daging Daging Iga (rib meat) Samcan (thin flank) Sandung lamur (brisket)
Sumber: BSN 2008
Golongan I merupakan bagian daging yang paling berkualitas dan paling mahal, bagian tenderloin dan sirloin biasanya dijadikan steak, sukiyaki, yakiniku atau shabu-shabu sedangkan bagian lamusir (cube roll) bahan daging untuk dipanggang, dibakar (grill) dan sup. Golongan II merupakan bagian-bagian yang secara kualitas dan harga berada dibawah Golongan I. Bagian-bagian pada Golongan II ini biasanya dijadikan masakan empal, dendeng, rendang, bakso, abon dan lain-lain. Golongan III adalah bagian daging sapi yang secara kualitas dan harga berada di bawah di bawah Golongan I dan II. Pada Golongan III in biasanya dibuat untuk kornet, rollade, rawon, sop, sate, daging giling dan osengoseng. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa tinjauan hasil penelitian terdahulu yang menjadi referensi bagi peneliti dalam mengembangkan analisis agar penelitian ini lebih terarah. Adapun hasil penelitian terdahulu disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Penelitian Terdahulu Peneliti Faturrokhman (2015)
Topik Penelitian Menjelaskan tingkat efisiensi, rantai nilai dan elastisistas transmisi harga antara sapi potong ditingkat peternak dengan harga karkas dan harga daging sapi ditingkat jagal dan pengecer di Wilayah DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa saluran pemasaran sapi potong dan daging di Jakarta masih belum optimal, diperlukan strategi pendekatan kearah industrialisasi peternakan sapi dan modernisasi dalam saluran distribusi. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah mempelajari tingkat efisiensi dari saluran pemasaran daging sapi, sedangkan perbedaannya dalam penelitian tersebut tidak dianalisis faktor yang mempengaruhi pedagang daging sapi dalam menentukan pilihannya dalam memilih saluran pemasaran. Emhar et al Mempelajari dan menjelaskan bahwa lembaga-lembaga pemasar (2014) memiliki nilai margin yang berbeda-beda dan dapat membandingkan nilai margin keuntungan dan margin biaya. Selain itu dalam penelitian tersebut dilakukan analisa tingkat efisiensi pemasaran antar saluran pemasaran. Dalam penelitian yang dilakukan margin antar lembaga pemasaran serta distribusinya juga dianalisis setelah sebelumnya dilakukan pemetaan saluran pemasaran dengan menggunakan Value Stream Mapping. Daroeni (2013) Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif terhadap suatu studi kasus mengenai peran blantik (makelar) di wilayah Kediri. Keberadaan blantik dalam saluran pemasaran sapi potong ternyata berpengaruh terhadap keuntungan yang diterima oleh peternak. Penelitian yang dilakukan juga mempelajari pola saluran pemasaran namun terhadap saluran pemasaran daging sapi bukan pola pemasaran sapi hidup. Namun perbedaannya, penelitian yang dilakukan juga menganalisis nilai tambah pada masing-masing pelaku pasokan.
14
Peneliti Topik Penelitian Sumitra et al. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif mempelajari pola (2013) saluran pemasaran, margin pemasaran, gross margin dan margin share. Selain itu dalam penelitian ini dianalisa kebijakan saluran pemasaran, kebijakan harga dan kebijakan gross margin, sedangkan penelitian yang dilakukan berfokus pada pemetaan saluran pemasaran, analisis biaya transaksi dan nilai tambah serta efiiensi saluran pemasaran serta faktor yang mempengaruhi keputusan pedagang daging sapi dalam memilih saluran pemasaran. Francis et al. Penelitian ini mempelajari rantai nilai daging sapi di Inggris pada (2008) sektor jasa makanan dengan pendekatan VCA (Value Chain Analysis). Dari hasil analisis VCA tersebut teridentifikasi sektor jasa makanan yang mendapatkan keuntungan besar dan keuntungan kecil. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah aliran nilai dianalisis dengan menggunaan VSM (Value Stream Mapping) yang mampu memetakan aliran pasokan dan membedakan aliran yang memiliki nilai tambah dan aliran yang tidak memberikan nilai tambah serta waktu yang dibutuhkan dalam proses pasokan mulai dari produsen dan konsumen. Mahbubi (2014) Permasalahan yang menjadi topik dalam penelitian ini adalah Madura Sebagai Pulau Sapi (P2MPS) perlu segera dibenahi guna mewujudkan Madura sebagai pulau sapi dan mendukung swasembada daging nasional. Hasil penelitian menunjukan bahwa swasembada bisa tercapai melalui serangkaian pendekatan yang terintegrasi pada setiap komponen sepanjang rantai pasok mulai dari breeder, peternak, pedagang atau distributor, rumah potong hewan, industri daging sapi dan olahannya serta konsumen akhir baik rumah tangga maupun industri dengan memperhatikan keberlanjutan baik dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Daging sapi sebagai salah satu komoditas pangan utama menjadi topik penelitian yang menarik. Berdasarkan Tabel 3, berbagai penelitian mengenai daging sapi telah dilakukan. Selain penelitian-penelitian tersebut juga terdapat kajian mengenai risiko dalam rantai pasok daging sapi yang dilakukan oleh Wang et al. (2010) dan Fearne et al. (2001), optimasi dalam pengelolaan dan distribusi produk daging sapi segar dengan pendekatan rantai pasok (Rong et al. 2011) dan Van der Vorst (2009), analisis kinerja rantai pasok pada agribisnis sapi potong oleh Yayat et al. (2010) dan Ding dan et al. (2014), hingga mengenai langkahlangkah strategis dalam mencapai swasembada daging sapi yang diteliti oleh Matondang (2013) dan Tseuoa et al. (2012). Penelitian terdahulu berfokus dalam peningkatan kinerja rantai pasok dari sisi kualitas, penanganan risiko dan kontinuitas pasokan (Sirait et al. 2007) dan kebijakan swasembada pada daging sapi (Kusriatmi 2014) sedangkan pada penelitian yang dilakukan optimasi kinerja rantai pasok ditingkatkan dengan cara menganalisis biaya transaksi dan nilai tambah dalam sepanjang rantai pasok daging sapi, sehingga rantai pasok akan berjalan dengan lebih efisien.
15
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Peningkatan produksi daging sapi harus didukung dengan rantai pasok yang efektif dan efisien agar mampu terdistribusi dengan baik sehingga komoditas daging sapi dapat terjangkau oleh masyarakat. Rantai pasok yang efisien dapat terlihat dari selisih margin antara satu mata rantai dengan mata rantai lainnya, semakin kecil selisih margin, rantai pasok semakin efisien. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pemetaan distribusi pasokan daging sapi yang masuk ke wilayah Kota Bogor, lalu akan dilakukan analisis biaya transaksi serta faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan saluran pemasaran oleh pedagang daging sapi yang berawal dari RPH hingga ke konsumen akhir di Kota Bogor. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 2. Jaringan Distribusi Rantai Pasok Daging Sapi di Kota Bogor
Value Stream Mapping
Biaya transaksi pemasaran daging sapi
Pilihan saluran pemasaran Analisis Regresi Logistik Biner
Analisis Margin dan Nilai tambah
Analisis Efisiensi Pemasaran
Faktor yang berpengaruh dalam pemilihan saluran pemasaran
Implikasi Manajerial untuk Stakeholders Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berawal dari Rumah Pemotongan Hewan yang berada di Kota Bogor, kemudian ditelusuri pasokan yang berasal dari RPH hingga ke tujuh pasar tradisional yang terdapat di Kota Bogor, yaitu Pasar Anyar, Pasar Bogor, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Merdeka dan Pasar Padasuka. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juni 2015 – Oktober 2015. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data primer adalah metode survey dengan melakukan observasi langsung dan wawancara yang dipandu oleh kuesioner kepada pedagang besar dan pengecer daging sapi. Hal ini bertujuan
16
untuk memperoleh gambaran jaringan distribusi rantai pasok daging sapi dari RPH hingga sampai ke konsumen di Kota Bogor. Kuesioner tidak diberikan langsung kepada responden, peneliti menggunakan kuesioner pada saat mewawancarai responden agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan pertanyaan lebih tersusun dengan baik. Metode Penentuan Responden Untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama, yaitu membuat pemetaan terkait jaringan distribusi rantai pasok daging sapi di Kota Bogor, responden ditentukan dengan cara purposive sampling. Responden yang ditentukan dengan purposive sampling adalah seseorang yang dinilai memiliki kapabilitas dan informasi mengenai jaringan distribusi daging sapi di Kota Bogor. Responden ahli dalam penelitian ini adalah Kepala RPH Kota Bogor dan staf ahli yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan melaksanakan kegiatan operasional di RPH Kota Bogor, Dinas Peternakan dan Pertanian Pemerintah Kota Bogor, Dinas Ketahan Pangan Kota Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor dan PD. Pasar Pakuan Jaya Kota Bogor. Setelah melakukan wawancara mendalam dengan responden ahli, peneliti mengikuti alur saluran pemasaran dari pedagang daging sapi di Kota Bogor dengan cara snowball sampling. Penelitian dimulai dari pedagang daging sapi yang telah terdaftar menjadi pengguna jasa RPH Kota Bogor. Responden pada penelitian ini terdiri atas 45 orang pedagang daging sapi yang tersebar di 7 pasar tradisional di Kota Bogor, yaitu Pasar Anyar, Pasar Bogor, Pasar Merdeka, Pasar Sukasari, Pasar Jambu Dua, Pasar Gunung Batu dan Pasar Padasuka. Pemetaan metode penentuan responden dapat dilihat pada Gambar 3. RPH
Pedagang Besar Daging
Pasar Merdeka
Pasar Bogor
Pasar Gunung Batu
Pedagang Pengecer
Pasar Jambu Dua
Pasar Anyar
Pasar Sukasari
Pasar Padasuka
Gambar 3 Pemetaan metode penentuan responden
Penelitian dimulai dari pedagang daging sapi yang telah terdaftar menjadi pengguna jasa RPH Kota Bogor. Pedagang daging sapi, baik pedagang besar maupun pedagang pengecer tersebar di 7 Pasar yang berada di Kota Bogor. Penentuan responden dilakukan dengan cluster sampling, yaitu populasi dibagi ke dalam kelompok kewilayahan kemudian memilih wakil tiap-tiap kelompok. Jumlah responden didalam suatu kelompok ditentukan secara proporsional sesuai dengan jumlah populasi pedagang daging di masing-masing pasar. Responden
17
pedagang besar akan diwawancarai untuk menganalisis biaya transaksi, nilai tambah dan faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan saluran pemasaran. Biaya transaksi akan dianalisis mulai dari pedagang besar, pedagang pengecer hingga sampai ke saluran pemasaran yang dipilih oleh pedagang tersebut. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pemetaan jaringan distribusi daging sapi di wilayah Kota Bogor dianalisis dengan metode Value Stream Mapping (VSM) (Hines et al. 1999). Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis (1) efisiensi pemasaran, (2) nilai tambah dalam rantai pasokan, dan (3) biaya transaksi. Faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan saluran pemasaran yang dilakukan oleh pedagang daging sapi akan dianalisis dengan menggunakan regresi logistik biner. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data adalah Microsoft Excel 2010 dan SPSS 21. Value Stream Mapping (VSM) Value Stream Mapping (VSM) memeriksa nilai tambah dari setiap langkah dalam proses rantai pasok (supply chain). Value Stream Mapping (VSM) adalah sebuah prinsip yang pada intinya hampir sama dengan basic flowchart (diagram alir dasar), yang membedakan adalah VSM menemukan dan memetakan kegiatan yang memiliki nilai tambah (value added work) dan kegiatan yang tidak memiliki nilai tambah (non-value added work). Secara langsung VSM menyumbang keuntungan bagi perusahaan dengan mengurangi non-value added work (Rother et al. 1999). VSM menganut konsep lean manufacturing, yang bertujuan untuk meminimalisir waste dan menciptakan nilai tambah yang lebih bagi pelanggan. Nilai didefinisikan sebagai sesuatu yang berupa proses atau kegiatan yang akan menimbulkan keinginan bagi konsumen untuk membayarnya. Konsep lean (ramping) pada saat ini didefinisikan sebagai suatu cara pandang terhadap segala kegiatan dalam proses pasokan dengan memetakan aktifitas yang terjadi dalam proses pasokan dan menghilangkan waste yang terdapat dalam aktifitas tersebut (Colgan et al. 2013). Kunci utama dalam menerapkan konsep VSM adalah untuk melihat setiap proses kegiatan dalam pasokan adalah bagian dari aliran nilai dan mencari nilai yang dihasilkan dari aktifitas tersebut serta mengoptimalkan nilai yang terdapat pada sepanjang rantai pasokan. VSM dibuat berdasarkan Five principles of Lean thinking (Womack dan Jones 2003) yaitu : 1. Value in the eye of the customer (nilai yang terlihat di mata konsumen). Nilai yang terlihat pada mata konsumen merupakan titik awal dari konsep lean. Dalam membuat suatu VSM hal yang pertama dilakukan adalah mampu memahami makna dari nilai yang diinginkan oleh konsumen. Nilai yang diinginkan merupakan suatu visi dari sebuah VSM. Mulai dari proses produksi produk dan metode yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk yang lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan konsumen. 2. Working in value streams (bekerja dalam aliran nilai) yaitu membuat, mengatur dan melakukan perbaikan dalam sepanjang aliran nilai.
18
3. Maximize the flow and pull (maksimisasi aliran dan tarikan), aliran produk, informasi dan keuangan yang mengalir tanpa henti dengan mengeliminasi waste dalam antrian, pergerakan, proses transportasi, persediaan, produk cacat, kelebihan produksi dan proses-proses yang tidak dibutuhkan. Semakin cepat produk sampai ke tangan konsumen semakin rendah biaya yang dikeluarkan. 4. Empower the people in the stream (memberdayakan pelaku dalam aliran), merupakan tugas utama dari stakeholder yang mengatur jalannya aliran nilai. Setiap proses harus mempunyai standarisasi agar kualitas yang dihasilkan seragam. Pengelolaan yang baik memungkinkan untuk pengambilan keputusan di tingkat yang lebih rendah, memberikan pelatihan untuk mencari akar permasalahan dan menyelesaikannya bagi setiap pelaku dalam pasokan. Serta, memberdayakan pelaku pasokan untuk melakukan lean improvement pada setiap melakukan kegiatan dalam proses pasokan. 5. Continue lean improvement until every process is 100% value add (melanjutkan lean improvement hingga setiap proses menghasilkan nilai). Konsep lean merupakan strategi bisnis jangka panjang, bukan merupakan suatu inisiatif taktis dalam menghemat biaya. Lean improvement dihasilkan dari setiap perubahan kecil yang dilakukan setiap proses pasokan menuju aliran nilai yang lebih optimal. Konsep Plan – do – check – act merupakan metode ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan dan perbaikan. Analisis Efisiensi Pemasaran Pengujian ini dapat dilakukan dengan menggunakan konsep efisiensi pemasaran dimana efisiensi pemasaran merupakan perbandingan antara total biaya dengan total nilai produk yang dipasarkan, sehingga dapat dirumuskan (Soekartawi, 1989): 𝐸𝑃 = Keterangan :
𝑇𝐵 × 100 𝑇𝑁𝑃
EP : Efisiensi Pemasaran (%) TB : Total Biaya (Rp) TNP : Total Nilai Produk (Rp)
Penarikan kesimpulan dapat dilihat berdasarkan perbandingan nilai efisiensi pemasaran (EP) dimana rantai pasokan yang memiliki tingkat efisiensi pemasaran lebih tinggi adalah rantai pasokan yang memiliki nilai efisiensi pemasaran (EP) lebih kecil. Langkah selanjutnya untuk mengetahui efisiensi pemasaran dapat dilihat berdasarkan nilai distribusi margin pemasaran pada rantai pasokan daging sapi. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan analisis margin pemasaran dan distribusi margin. Berikut adalah rumus untuk perhitungan margin pemasaran dan distribusi margin pemasaran (Rahim dan Hastuti, 2007): 1. Rumus margin pemasaran sapi potong hidup 𝑀𝑃 = 𝑃𝑟 − 𝑃𝑓 Keterangan : MP : margin pemasaran (rupiah per ekor) Pr : harga di tingkat pedagang besar (konsumen sapi hidup) Pf : harga di tingkat feedloter (rupiah per ekor)
19
2. Rumus margin pemasaran daging sapi 𝑀𝑃 = 𝑃𝑟 − 𝑃𝑓 Keterangan : MP : margin pemasaran (rupiah per kg) Pr : harga di tingkat konsumen daging (rupiah per kg) Pf : harga di tingkat pengusaha daging (rupiah per kg)
3. Rumus distribusi margin pemasaran sapi potong - Share biaya SBij= [Cij / (Pr – Pf)] x 100% - Share keuntungan SKj= [Pij/(Pr-Pf)] x 100% Pij = HJj-HBj-Cij Keterangan : SBij : persentase biaya transaksi ke-i oleh lembaga pemasaran ke-j (%). Cij : biaya transaksi ke-i oleh lembaga pemasaran ke-j (rupiah per ekor) SKj : persentase keuntungan lembaga pemasaran ke-j (%) Pij : keuntungan lembaga pemasaran ke-j (rupiah per ekor) HJj : harga jual lembaga pemasaran ke-j (rupiah per ekor) HBj : harga beli lembaga pemasaran ke-j (rupiah per ekor)
4. Rumus distribusi margin pemasaran daging sapi - Share biaya SBij= [Cij / (Pr – Pf)] x 100% - Share keuntungan SKj= [Pij/(Pr-Pf)] x 100% Pij = HJj-HBj-Cij Keterangan : SBij : persentase biaya transaksi ke-i oleh lembaga pemasaran ke-j (%). Cij : biaya transaksi ke-i oleh lembaga pemasaran ke-j (rupiah per ekor) SKj : persentase keuntungan lembaga pemasaran ke-j (%) Pij : keuntungan lembaga pemasaran ke-j (rupiah per ekor) HJj : harga jual lembaga pemasaran ke-j (rupiah per ekor) HBj : harga beli lembaga pemasaran ke-j (rupiah per ekor)
Nilai margin pemasaran digunakan untuk mengetahui nilai share biaya dan share keuntungan setiap mata rantai. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan melihat shared value yang berkaitan dengan penerimaan nilai sebagai timbal balik dari kontribusi yang diberikan setiap mata rantai (Emhar et al. 2014). Analisis Nilai Tambah Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai tambah akibat proses pemotongan terhadap sapi potong hidup. Hasil pemotongan sapi berupa daging sapi sebagai produk utama (primary product) dan output lain sebagai side product seperti kepala, kulit, kaki, ekor, hati dan paru. Perhitungan nilai tambah produk dilakukan dengan mengkonversikan harga jual primary product dan side product dengan harga pasaran daging sapi setiap satu kilogramnya. Bentuk formulasi dari konversi adalah sebagai berikut (Emhar et al. 2014) :
20
Konversi Harga Produk (kg) =
Penjualan Produk Harga 1 kg daging sapi
Nilai tambah diperoleh dari nilai output dikurangi dengan harga bahan baku dan harga input lain. Disamping itu, nilai tambah adalah nilai yang terdiri dari pendapatan tenaga kerja dan keuntungan yang diperoleh, sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut: VA = Nilai Output – Nilai Input Atau VA = Biaya TK + π Keterangan : VA : value added atau nilai tambah pada hasil pemotongan sapi hidup menjadi primary product dan side product (Rp/kg) Nilai output: nilai penjualan primary product dan side product (Rp/kg) Nilai input : nilai bahan baku dan nilai input lain (tidak termasuk biaya tenaga kerja) yang menunjang proses pemotongan sapi (Rp/kg) π : keuntungan yang diterima dari proses pemotongan (Rp/kg) Biaya TK : pendapatan tenaga kerja langsung pada proses pemotongan (Rp/kg)
Nilai margin pemasaran digunakan untuk mengetahui nilai share biaya dan share keuntungan setiap mata rantai. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan melihat shared value yang berkaitan dengan penerimaan nilai sebagai timbal balik dari kontribusi yang diberikan setiap mata rantai (Emhar et al. 2014). Metode Hayami digunakan untuk menganalisis biaya transaksi dan nilai tambah pada rantai pasok. Adapun prosedur perhitungan analisis nilai tambah dengan metode Hayami dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Analisis biaya transaksi dan nilai tambah dengan menggunakan Metode Hayami No
Variabel
Nilai
Output, Input dan Harga 1.
Output (Kg)
(a)
2.
Input Bahan Baku (Kg)
3.
Input Tenaga Kerja (HOK)
(b) (c)
4.
Faktor Konversi
5.
Koefisien TKL (HOK/Kg)
6.
Harga Output (IDR/Kg)
7.
Rata-rata upah tenaga kerja (IDR/HOK)
(d) = (a)/(b) (e) = (c)/(b) (f) (g)
Penerimaan dan keuntungan (IDR/Kg Bahan Baku) 8.
Harga Input (IDR/Kg)
9.
Sumbangan Input lain (Biaya Transaksi) Biaya Transportasi (IDR/Kg)
(h)
21
No
Variabel
Nilai
Biaya RPH (IDR/Kg) Biaya Retribusi Pasar (IDR/Kg) Biaya Listrik (IDR/Kg) Biaya Sewa Kios/hari (IDR/Kg) Biaya Lain-lain (IDR/Kg) (i)
Total Biaya Transaksi (IDR/Kg) 10.
Nilai Output (IDR/Kg)
11.
Nilai Tambah (IDR/Kg)
(j) = (d) x (f) (k) = (j) – (i) – (h) (l) = (k)/(j)
Rasio Nilai Tambah 12.
(m) = (e) x (g)
Pendapatan Tenaga Kerja
(n) = (m) / (k)
Imbalan Tenaga Kerja 13.
(o) = (k) – (m)
Keuntungan
(p) = (o) / (j)
Tingkat Keuntungan Balas Jasa Faktor Produksi (IDR/Kg Bahan Baku) 14.
(q) = (j) – (h)
Marjin (IDR/Kg)
(r) = (m)/(q)
Pendapatan TKL (%)
(s) = (i)/(q)
Sumbangan input lain (%)
(t) = (o)/(q)
Keuntungan perusahaan (%)
Sumber: Hayami dalam Emhar et al. 2014
Analisis Pilihan Saluran Pemasaran Daging Sapi Analisis ini digunakan untuk melihat kecenderungan saluran pemasaran yang dipilih oleh pedagang dalam menjual daging sapi. Keputusan memilih saluran pemasaran merupakan keputusan penting dalam manajemen, termasuk manajemen rantai pasok. Teori saluran pemasaran memberikan insentif baik kepada upstream actors (sebagai contoh peternak) maupun downstream actors (sebagai contoh pedagang pengumpul dan pedagang lainnya) untuk membangun komunikasi dan hubungan untuk mengurangi ketidakpastian pasar dan berpeluang untuk merespon perubahan permintaan konsumen (Dilana 2013). Analisis pilihan saluran pemasaran pada daging sapi di Kota Bogor dilakukan dengan metode analisis regresi logistik biner. Regresi logistik biner adalah analisis statistika yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara peubah respon yang berskala kategori biner dengan satu atau lebih peubah penjelas yang berskala kategori atau kontinu. Pada model regresi logistik tidak diperlukan adanya pengujian asumsi (Hosmer & Lemeshow 2000) yaitu uji normalitas dan uji asumsi klasik. Hosmer dan Lemeshow (2000) menjelaskan bahwa model regresi logistik dibentuk dengan menyatakan nilai E (Y=1|x) sebagai π(x), dimana π(x) dinotasikan sebagai berikut: 𝝅(𝒙) = [
𝑒𝑥𝑝 (𝑔(𝑥)) ] 1 + 𝑒𝑥𝑝 (𝑔(𝑥))
22
Fungsi regresi di atas berbentuk non linier sehingga untuk membuatnya menjadi fungsi linier dilakukan transformasi logit sebagai berikut (Agresti 1990): 𝜋(𝑥) 𝑙𝑜𝑔𝑖𝑡 [𝜋(𝑥)] = 𝑙𝑛 [ ] = 𝑔(𝑥) 1 − 𝜋(𝑥) Pengujian Parameter Pengujian terhadap parameter model dilakukan sebagai upaya untuk memeriksa peranan peubah penjelas yang ada di dalam model. Menurut Hosmer & Lemeshow (2000), untuk mengetahui peran seluruh peubah penjelas di dalam model secara simultan dapat digunakan statistik uji-G. Hipotesis yang diuji adalah: H0: 𝛽1= 𝛽2=…= 𝛽p =0 H1: paling sedikit ada satu 𝛽i ≠0, i=1,2,…,p Statistik uji-G didefinisikan sebagai: 𝐿𝑜 𝐺 = −2 𝑙𝑛 [ ] 𝐿𝑝 dimana L0 adalah fungsi kemungkinan maksimum tanpa peubah penjelas, dan Lp merupakan fungsi kemungkinan maksimum dengan p peubah penjelas. Hipotesis nol ditolak jika G > X2p(α) (Hosmer & Lemeshow 2000). Uji nyata parameter secara parsial yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik uji Wald. Statistik uji Wald didefinisikan sebagai berikut: 𝑊= Hipotesis nol ditolak jika 𝑊 > Zα/2
𝛽𝑗 𝑆𝐸 (𝐵𝑗)
Interpretasi Koefisien Interpretasi koefisien untuk model regresi logistik adalah dengan melihat rasio oddsnya. Rasio odds (Ψ) adalah rasio peluang kejadian sukses dengan kejadian tidak sukses dari peubah penjelas terhadap peubah respon. Koefisien model logit (𝛽𝑖) mencerminkan perubahan nilai fungsi logit g(x) untuk perubahan satu unit peubah penjelas x. Rasio odds dapat didefinisikan sebagai: 𝜋(𝑥) = exp[𝛼 + 𝛽𝑥]𝑒 𝛼 (𝑒 𝛽 )𝑥 1 − 𝜋(𝑥) misalnya x1=1 dan x2=0 merupakan nilai dari x, maka: Ψ = exp[𝛽(𝑥1 − 𝑥2 )] dimana rasio odds Ψ = exp(𝛽i) ketika x1=1 dan x2=0. Rasio odds untuk peubah kategorik menjelaskan bahwa kategori x=1 memiliki kecenderungan untuk terjadi y=1 sebesar Ψ kali dibandingkan kategori x=0. Sedangkan jika peubahnya berskala numerik, maka interpretasinya setiap kenaikan satu satuan pada peubah x maka kecenderungan untuk terjadinya y=1 akan naik sebesar Ψ kali.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Jaringan Distribusi Rantai Pasok Daging Sapi di Kota Bogor Struktur jaringan distribusi daging sapi pada umumnya memiliki beberapa karakteristik yang sama. Pola aliran dalam jaringan distribusi rantai pasokan daging sapi menunjukkan ada tiga aliran yang ada dalam pola tersebut yaitu berupa aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi. Aliran produk mengalir dari hulu hingga hilir yaitu dari peternak sapi potong hingga konsumen daging sapi. Aliran keuangan mengalir dari hilir ke hulu yaitu dari konsumen akhir daging sapi ke peternak sapi potong. Aliran informasi mengalir pada mata rantai secara timbal balik. Jaringan distribusi daging sapi yang terdapat di Kota Bogor umumnya mengikuti pola seperti yang ditunjukan dalam Value Stream Mapping yang disajikan pada Gambar 4. Aliran Produk Pada Jaringan Distribusi Daging Sapi Aliran produk merupakan aliran komoditas mulai dari hulu (upstream) dalam bentuk sapi hidup hingga ke hilir dalam bentuk daging (downstream). Pedagang Sapi Hidup mendapatkan pasokan yang berasal dari peternak lokal seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung. Peternak lokal tidak langsung memasok pasokan sapi hidupnya langsung ke pedagang besar daging, tetapi dijual terlebih dahulu ke pedagang pengumpul yaitu pedagang sapi hidup. Selain dari peternak lokal, pasokan sapi juga diperoleh dari feedloter yang merupakan sapi impor. Sapi yang diimpor mayoritas berasal dari Australia. Importir sapi memasok sapi impor ke Feedloter yang terdapat dibeberapa wilayah di Indonesia. PT. Great Giant Livestock yang berlokasi di Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah menjadi pemasok terbanyak bagi RPH Kota Bogor. Dalam satu bulan, PT. Great Giant Livestock memasok 400 hingga 700 ekor sapi. PT. Rumpinari Agro Industri menjadi pemasok terbanyak kedua dengan jumlah pasokan 300 hingga 500 ekor sapi/bulan. Pemasok terbanyak ketiga adalah PT. Karyana Gita Utama yaitu sebanyak 200 hingga 300 ekor, sedangkan sisanya dipasok oleh beberapa feedloter lainnya, seperti PT. Widodo Makmur, PT. Lembu Jantan Perkasa, PT. Agrisatwa, PT. Tanjung Unggul Mandiri dan PT. Septia. Total sapi yang masuk ke RPH Kota Bogor mencapai 1000 ekor hingga 1500 ekor/ bulan, dengan rata-rata bobot karkas 200 kg hingga 250 kg/ekor.
24 Pedagang Pengecer Daging Sapi | 45-60 kg/hari/orang v
Peternak Lokal
Harga Jual Sapi/kg : IDR 35 000
Feedloter
Harga Jual Sapi/kg : IDR 38 000
Pasar Anyar | 19 orang
Pasar Bogor | 14 orang
Pasar Gunung Batu | 2 orang
Pasar Merdeka | 5 orang
Pasar Jambu Dua | 6 orang
Pasar Sukasari | 2 orang
Pasar Padasuka | 2 orang
Harga Jual Daging Sapi/kg : IDR 120 000
Importir Frozen Meat Pemerintah
Harga Jual Daging Sapi/kg : IDR 80 000
Konsumen
Pedagang Besar Daging Sapi II | 200-250 kg/hari/orang Pasar Anyar | 16 orang
Pasar Bogor| 14 orang
Pasar Merdeka | 1 orang
Pasar Jambu dua | 1 orang
Rumah Tangga 10%
Harga Jual Daging Sapi/kg : IDR 110 000
Industri Kecil Menengah 60% Hotel, Restoran dan Katering 30%
Pedagang Besar Daging Sapi I | 550-600 kg/hari/orang Pedagang Sapi hidup
Harga Jual Sapi/kg: 47 000
20 jam
RPH Kota Bogor | Sapi dipotong 30-50 ekor/ hari, kemudian didistribusikan
Pasar Bogor | 7 orang
Pasar Anyar | 8 orang
Harga Jual Daging Sapi/kg : IDR 87 000
13 jam
1 jam
Keterangan : Saluran 5 1 6 2 7 3 8 4 9
Lead time 21 Jam Value Added time 13 Jam
Gambar 4 VSM Saluran Pemasaran Daging Sapi di Kota Bogor
Operasi Pasar :
25
Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa aliran jaringan distribusi produk sapi hidup yang didapatkan oleh Pedagang Besar Daging Sapi I (PBDS I) mempunyai dua alternatif, yaitu dipasok oleh Pedagang Sapi Hidup atau membeli langsung dari Feedloter. PBDS I merupakan pedagang besar daging sapi yang pasokan awalnya berupa sapi hidup, kemudian dibawa ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH) untuk dipotong menjadi karkas yang kemudian didistribusikan ke Pasar di Kota Bogor. Jumlah sapi yang dipotong oleh masing-masing PBDS I berkisar antara satu ekor hingga sepuluh ekor, disesuaikan dengan prediksi jumlah permintaan pasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak RPH Terpadu Kota Bogor, rata-rata jumlah sapi yang dipotong dalam satu hari sebanyak 50 ekor. Pemotongan biasa dilakukan pada malam hari diantara pukul 22.00 hingga pukul 05.00. Kapasitas penampungan di RPH mampu menampung Sapi hidup sebanyak 400 ekor. Waktu tunggu sapi hingga dipotong maksimal lima hari terhitung sejak sapi tersebut masuk ke RPH. Prosedur pemotongan hewan secara benar harus sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet), kesejahteraan hewan (animal walfare) dan syariah agama. Pihak RPH dalam proses rantai pasokan daging sapi berperan dalam melayani jagal untuk melakukan pemotongan dengan melakukan pemeriksaan terhadap sapi. Pemeriksaan dilakukan dua kali yaitu ante-mortem (pemeriksaan sebelum sapi dipotong) dan post-mortem (pemeriksaan setelah hewan dipotong). Namun, terkadang masih ditemukan pemotongan terhadap sapi betina meskipun ada kebijakan pemerintah terkait larangan pemotongan sapi betina. Penyimpangan terhadap kebijakan ini terjadi karena faktor harga sapi yang tinggi. Harga sapi jantan lebih mahal jika dibandingkan dengan harga sapi betina, sehingga tidak jarang ditemukan pengusaha daging melakukan pemotongan terhadap sapi betina. Sapi yang telah dipotong dan telah berbentuk karkas, selanjutnya akan didistribusikan oleh PBDS I. PBDS I akan mendistribusikan daging sapi ke Pedagang Besar Daging Sapi II (PBDS II) atau langsung memasok kebutuhan konsumen akhir dengan pasokan yang cukup besar, seperti Industri Kecil Menengah (IKM) atau Hotel, Restoran dan Katering (Horeka). PBDS II merupakan pedagang besar daging yang membeli karkas dari PBDS I dalam jumlah pasokan berkisar antara 100kg hingga 250 kg/ hari dengan pengalaman berdagang lebih dari satu tahun. PBDS I mendistribusikan daging sapi ke PBDS II yang terdapat di pasar yang terdapat di Kota Bogor,beberapa wilayah di Kabupaten Bogor dan sekitarnya. Pasar di Kota Bogor, dikelola oleh Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya. Terdapat 3 kriteria pasar, yaitu pasar besar, pasar sedang dan pasar kecil. Kriteria tersebut dikategorikan berdasarkan luas pasar dan jumlah pedagang yang terdapat didalam pasar tersebut. Pasar besar di Kota Bogor adalah Pasar Anyar dan Pasar Bogor, pasar sedang di Kota Bogor adalah Pasar Jambu Dua, Pasar Merdeka dan Pasar Sukasari, sedangkan yang termasuk Pasar Kecil adalah Pasar Gunung Batu dan Pasar Padasuka. PBDS II pada umumnya menjual daging di Pasar Besar, yaitu Pasar Anyar dan Pasar Bogor. Setelah sapi dipotong dan telah berbentuk karkas, daging diantarkan ke kios-kios yang terdapat di Pasar tersebut. Kendaraan yang seharusnya dipakai untuk mengantarkan daging adalah kendaraan khusus pengantar daging, yang merupakan kendaraan pick-up dengan bak tertutup dan memiliki pendingin, dengan tujuan menjaga kualitas daging yang diantarkan sampai ketempat tujuan. Namun, selama proses penelitian berlangsung banyak terlihat daging sapi diantar menggunakan kendaraan pickup dengan bak terbuka. Daging diletakan begitu saja tanpa menggunakan penutup. Waktu
26
pengantaran daging rata-rata pada malam hari atau dini hari. PBDS II akan mendistribusikan dagingnya ke pedagang pengecer maupun langsung ke konsumen akhir seperti IKM, Horeka atau Konsumen Rumah Tangga. Pedagang Pengecer (PP), dengan kisaran volume penjualan mulai dari 25 kg hingga 100 kg/hari, baik di pasar besar, pasar sedang atau pasar kecil, mendapat pasokan daging sapi dari PBDS II, pasokannya dapat diantar atau diambil dari PBDS II sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan. Pedagang pengecer sebagian besar hanya mendistribusikan pasokan dagingnya khusus untuk konsumen rumah tangga. Jumlah pedagang daging sapi di Pasar Kota Bogor disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Jumlah pedagang daging di Kota Bogor No. 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi Pasar Anyar Pasar Bogor Pasar Jambu Dua Pasar Merdeka Pasar Sukasari Pasar Gunung Batu Pasar Padasuka
Jumlah Pedagang 43 32 6 4 2 2 2
Sumber : Data Primer Oktober 2015
Konsumen daging sapi di Kota Bogor, berdasarkan hasil observasi sebagian besar merupakan industri kecil menengah dengan presentase 60%. Hotel, restoran dan katering berada pada posisi kedua yaitu 30%, dan sisanya merupakan konsumen Ibu Rumah Tangga yaitu 10%. Permintaan terhadap daging sapi dapat berubah pada musim-musim tertentu, seperti pada saat hari besar atau hari raya pada umumnya permintaan terhadap daging sapi meningkat. Secara keseluruhan, aliran produk mengalami perubahan bentuk, milik, lokasi dan waktu selama proses distribusi. Operasi pasar adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah atau kerjasama pemerintah dengan lembaga usaha, untuk menghindari atau mengatasi terjadinya kenaikan harga suatu barang. Operasi pasar dilakukan dengan cara meningkatkan pasokan pada komoditas hingga terjadi keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Dalam arti yang lebih luas, operasi pasar berfungsi untuk meredam gejolak harga, dengan melakukan penjualan pada saat harga pasar naik dan melakukan pembelian pada saat harga menurun. Operasi pasar terutama dilakukan terhadap komoditas yang mempunyai nilai strategis, seperti daging sapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada waktu gejala kekosongan pasokan barang mulai terlihat. Operasi pasar dapat dilakukan sebagai kegiatan untuk mencegah kenaikan harga (preventif) atau upaya untuk menstabilkan harga (represif). Operasi pasar dilakukan agar harga yang terjadi berkisar antara harga pagu (ceiling price) dan harga dasar (floor price). Operasi pasar pada komoditas daging sapi di Kota Bogor dilakukan ketika menjelang hari raya. Operasi pasar dilakukan sehingga memotong rantai pasokan dari importir daging sapi beku yang dibeli oleh pemerintah dan langsung dijual ke konsumen akhir. Pemerintah berperan sebagai pedagang pengecer. Jumlah pembelian masing-masing konsumen pada saat operasi pasar pada umumnya dibatasi, yaitu 2 kg per orang.
27
Aliran Keuangan Pada Jaringan Distrbusi Daging Sapi Aliran keuangan, merupakan perpindahan uang yang mengalir dari hilir ke hulu. Aliran keuangan mengalir dari konsumen hingga ke peternak sapi potong hidup. Berdasarkan Gambar 4 tentang pola aliran dalam jaringan distribusi daging sapi menunjukan bahwa keuangan mengalir dari feedloter/blantik ke peternak. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai dan akan terjadi transaksi apabila ada kesepakatan dan kesesuaian produk dengan harga yang ditawarkan oleh peternak. Aliran keuangan juga mengalir dari pedagang sapi ke feedloter. Pembayaran terhadap pembelian sapi potong dilakukan secara langsung di feedlot dimana sapi potong itu diperoleh. Pembelian sapi bisa dilakukan secara tunai maupun secara kredit. Perbedaan sistem pembelian ini dipengaruhi oleh kemampuan modal pembeli sapi, karena harga sapi saat ini relatif mahal. Sistem pembayaran pada pembelian sapi bisa dilakukan secara kredit sesuai dengan kesepakatan antara feedloter dan pedagang sapi. Terdapat pedagang sapi yang membeli sapi secara putus, terdapat pula pedagang sapi yang sudah menjadi kepercayaan feedloter dan hanya membayar sesuai dengan jumlah sapi yang sudah terjual. Aliran keuangan mengalir juga dari pedagang besar daging sapi ke RPH terkait biaya retrbusi pemotongan. Aliran keuangan tidak berkaitan dengan produk, karena pihak RPH hanya berperan dalam melayani dan mengawasi pemotongan sapi potong, serta memastikan bahwa sapi yang dipotong memenuhi kriteria baik secara kesehatan maupun secara peraturan yang berlaku. Aliran keuangan terletak pada pembayaran retribusi sebesar IDR 25.000, biaya pemeriksaan kesehatan hewan (ante-mortem dan post-mortem) sebesar IDR 10.000, biaya tempat penampungan (paling lama 5 hari) IDR 8.000, biaya pakan hewan IDR 8.000/ekor/hari dan biaya pemeriksaan pengeluaran hewan IDR 5.000/ekor. Aliran keuangan mengalir dari pedagang pengecer mengalir ke pedagang besar daging sapi. Terdapat dua jenis pembayaran yaitu pembayaran tunai diawal dan pembayaran tunai diakhir. Pembayaran tunai diawal artinya pedagang pengecer melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah daging sapi yang dibeli, sedangkan pada sistem pembayaran di akhir artinya pedagang pengecer melakukan pembayaran setelah daging terjual. Aliran keuangan yang berasal dari konsumen, baik pedagang bakso, hotel restoran dan katering atau konsumen rumah tangga mengalir ke pedagang pengecer atau ke pedagang besar. Konsumen biasanya sudah mempunyai langganan tersendiri dalam membeli daging sapi. Konsumen yang membeli daging dalam jumlah besar biasanya membeli langsung dari pedagang besar daging sapi di pasar besar. Konsumen biasanya merupakan pedagang bakso atau pengusaha rumah makan, hotel dan katering. Transaksi yang dilakukan secara tunai dan langsung ketika melakukan transaksi di pasar. Aliran Informasi pada Jaringan Distribusi Daging Sapi Aliran informasi merupakan aliran yang terjadi secara timbal balik, baik dari hulu ke hilir atau hilir ke hulu. Informasi yang mengalir berkaitan dengan stok sapi hidup, jumlah permintaan, harga sapi hidup, harga daging sapi maupun informasi terkait kebijakan dan peraturan dalam tata niaga daging sapi. Aliran informasi yang ada mengalir secara vertikal dan horizontal. Pada aliran vertikal terdapat koordinasi pada mata rantai yang berbeda yaitu antara peternak, feedloter, pedagang sapi, RPH, pedagang besar daging, pedagang pengecer dan konsumen. Pada aliran horizontal terjadi koordinasi pada sesama anggota mata rantai. Contoh dari koordinasi horizontal yaitu adanya koordinasi antar pedagang sapi terkait stok sapi yang terdapat di feedloter.
28
Terdapat beberapa aliran informasi yang mengalir secara vertikal antar mata rantai dalam rantai pasokan daging sapi, antara lain: a. Antara Feedloter/Peternak dengan pedagang sapi Aliran informasi yang terjadi antara Feedloter dan pedagang sapi berkaitan dengan jumlah sapi yang dibutuhkan oleh pedagang sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Kecocokan harga dan kondisi sapi yang dibeli menjadi objek utama dalam komunikasi yang terjalin antara pedagang sapi dan feedloter. Walaupun tidak terikat dengan kontrak pedagang sapi pada umumnya sudah mempunyai langganan tersendiri, jika feedlot langganannya tidak mempunya stok yang sesuai dengan keinginan pedagang, baru pedagang tersebut akan mencari feedloter yang lain. b. Antara pedagang sapi dengan pedagang besar daging sapi Aliran informasi yang mengalir antara pedagang sapi dan pedagang besar daging sapi terkait dengan jumlah permintaan terhadap sapi yang siap dipotong di RPH. Sistem jual beli sapi juga dilakukan secara berlangganan. Masingmasing pedagang besar daging sapi sudah mempunyai langganan tersendiri. Para pedagang sapi juga berkomitmen untuk menjaga pasokan daging sapi secara kontinu. Apabila stok di pedagang sapi sedang tidak mencukupi kebutuhan, maka pedagang sapi akan berinisiatif untuk mencarikan stok tambahan untuk langganannya. c. Antara RPH dengan pedagang besar daging sapi Informasi yang mengalir dari pihak RPH ke pihak pedagang besar daging sapi yang memotong sapinya di RPH terkait dengan berbagai peraturan dan prosedur yang harus dilaksanakan baik sebelum proses pemotongan hewan, ketika proses pemotongan dan setelag proses pemotongan hewan. Pihak RPH juga harus memastikan bahwa sapi yang dipotong dalam keadaan sehat dan layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat. d. Antara pedagang besar dengan pedagang pengecer Aliran informasi antara pedagang besar dengan pedagang pengecer terkait dengan jumlah daging sapi yang akan diminta oleh pedagang pengecer untuk dijual lagi ke konsumen. Informasi yang mengalir khususnya dari pedagang pengecer yang melakukan sistem pembayaran di akhir, berkaitan dengan jumlah daging sapi yang terjual setiap harinya. Aliran informasi yang mengalir dari pedagang besar ke pedagang pengecer berkaitan dengan jumlah stok daging sapi dan harga daging sapi di tingkat pedagang pengecer. e. Antara konsumen dengan pedagang besar dan pedagang pengecer Konsumen daging sapi adalah orang yang melakukan pembelian terhadap daging sapi baik konsumen akhir maupun konsumen yang akan membeli daging dengan tujuan untuk dijual kembali setelah diolah. Konsumen daging sapi di Kota Bogor sebagian besar merupakan industri kecil menengah, disusul dengan hotel, restoran dan katering (horeka) dan konsumen rumah tangga. Aliran informasi terjadi antara konsumen ke pedagang pengecer dan konsumen ke pedagang besar terkait dengan jumlah permintaan daging sapi. Hubungan komunikasi akan mengalir antara pedagang besar ke konsumen dan dari pedagang pengecer ke konsumen terkait stok daging sapi, kualitas daging sapi dan harga daging sapi. Adanya informasi jumlah permintaan dari konsumen berpengaruh terhadap jumlah dan ukuran tubuh sapi yang dipotong. Karena informasi tersebut akan mengalir kepada pedagang besar agar mampu
29
memperkirakan jumlah daging yang harus dihasilkan dan disesuaikan dengan kondisi fisik atau berat sapi dalam kondisi hidup. Upaya untuk mengoptimalkan ketiga aliran yang ada pada rantai pasokan daging sapi dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dengan melibatkan beberapa pihak, seperti peternak, pedagang sapi potong, pedagang besar daging, pengecer, konsumen dan pihak pemerintah sebagai penentu kebijakan. Persediaan sapi hidup di Kota Bogor belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen, sehingga sebagian besar sapi didatangkan dari daerah lain atau dari luar negeri. Jumlah perbandingan sapi lokal dan sapi impor yang masuk ke RPH kota Bogor pada tahun 2012-2013 yaitu 60% sapi lokal 40% sapi impor, pada tahun 2013-2014 yaitu 40% sapi lokal dan 60% sapi impor, dan pada tahun 2014-2015 pasokan sapi lokal hanya 20% dan didominasi oleh sapi impor sebanyak 80%. Pada tahun 2015 ini juga sempat terjadi kelangkaan daging sapi, dikarenakan harga sapi yang melambung tinggi akibat pasokannya yang sangat terbatas dengan dikuranginya kuota impor sapi oleh pemerintah, akibatnya pedagang daging sapi di Kota Bogor tidak berjualan hingga 4 hari dan kegiatan distribusi daging di Kota Bogor dan beberapa kota besar lainnya terhenti. Kejadian tersebut juga tidak luput dari peran oknum importir yang mencari keuntungan berlebih dengan memanfaatkan situasi yang ada dan memaksa pemerintah untuk menambah kuota sapi impor lebih banyak lagi. Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan dengan menggunakan value stream mapping terlihat jelas bahwa transportasi merupakan permasalahan utama dalam proses pasokan daging sapi. Waktu dan biaya terbesar dihabiskan dalam proses transportasi, terutama untuk sapi lokal yang berasal dari luar wilayah Jawa Barat yang transportasinya sebagian besar masih menggunakan truk dengan kapasitas 8-10 ekor sapi hingga 20-30 ekor sapi jika menggunakan truk fuso. Sapi impor yang menggunakan transportasi masal dengan menggunakan kapal laut khusus pengangkut hewan ternak yang mampu mengangkut sekitar 4000 ekor sapi siap potong dalam satu kapal. Kondisi sapi yang diangkut dengan jalur darat dengan perjalanan yang melebihi 200 km sudah tidak memadai apabila diangkut dengan menggunakan truk. Sapi akan mengalami penyusutan bobot hingga mencapai 8,75% per ekor. Jika rata-rata berat sapi 300 kg/ekor maka dengan harga sapi potong IDR 38.000/kg berat hidup, jumlah waste yang menjadi tambahan biaya bagi konsumen tanpa menghasilkan nilai tambah apapun adalah sebesar 26,25 kg/ekor atau IDR 997.500/ekor. Kota Bogor berada di provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu provinsi yang paling banyak mengkonsumsi daging sapi, bersama dengan DKI Jakarta dan Banten. Total kebutuhan konsumsi daging sapi dari tiga daerah tersebut berdasarkan data yang diperoleh dari BPS tahun 2014 mencapai 60 ribu ekor/bulan dan dipasok oleh sapi lokal sebanyak 38 ribu ekor/bulan oleh peternak lokal dan sisanya oleh pasokan daging sapi impor. Karena tingginya biaya pembelian bahan baku dan biaya transaksi dalam proses distribusi daging sapi, tentunya berpengaruh terhadap daging sapi yang harus dibayar oleh konsumen. Analisis Biaya Transaksi pada Rantai Pasok Tingkat Efisiensi Pemasaran, Margin Pemasaran dan Distribusi Margin Salah satu indikator untuk mengetahui tingkat keberhasilan rantai pasokan adalah dengan mengetahui efisiensi pemasaran (Emhar 2014). Menurut Daniel (2004), sistem pemasaran dapat dikatakan efisien apabila mampu menyampaikan produk dari produsen
30
hingga ke konsumen dengan biaya yang rendah (Aisyah et al. 2013) Disamping itu, pemasaran yang efisien apabila mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan pemasaran tersebut (Amirah et al. 2015). Sapi potong lokal yang masuk ke wilayah Kota Bogor, mayoritas berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sapi potong impor berasal dari Australia. Terdapat dua jenis pedagang sapi hidup, yaitu pedagang sapi yang membeli dengan sistem putus kepada feedloter, terdapat pula pedagang sapi yang ditunjuk oleh feedloter sebagai reseller dan jumlah uang yang dibayarkan sesuai dengan sapi yang terjual. Sapi potong yang dijual oleh pedagang sapi hidup, kemudian dijual kepada pedagang besar daging sapi. Berdasarkan data BPS 2015, minimnya pasokan sapi melambungkan harga daging hingga IDR 130.000/kg. Dari 14.7 juta populasi sapi di Indonesia, 11 juta (75%) merupakan aset keluarga yang hanya dijual ketika ada keperluan mendesak. Sisanya, sekitar 3.7 juta (25%) merupakan milik perternakan dan hanya 2 juta yang dipasok ke pasar. Kebutuhan pasokan sapi pada tahun 2015, periode JanuariAgustus adalah 1.8 juta ekor, dipenuhi oleh pasokan lokal 1.5 juta ekor dan mengalami defisit sebesar 300 ribu ekor, dan impor menjadi satu pilihan yang tidak dapat dihindari untuk memenuhi kebutuhan pasokan sapi potong di Indonesia. Berdasarkan Value Stream Mapping yang disajikan dalam Gambar 4, terdapat beberapa alternatif saluran distribusi daging sapi untuk sampai ke konsumen akhir, yaitu : 1. Peternak lokal – Pedagang Sapi Hidup – PBDS I – Konsumen 2. Peternak lokal – Pedagang Sapi Hidup – PBDS I – PBDS II – Konsumen 3. Peternak lokal – Pedagang Sapi Hidup – PBDS I – PBDS II – PP – Konsumen 4. Feedloter – Pedagang Sapi Hidup – PBDS I – Konsumen 5. Feedloter – Pedagang Sapi Hidup – PBDS I – PBDS II – Konsumen 6. Feedloter – Pedagang Sapi Hidup – PBDS I – PBDS II – PP – Konsumen 7. Feedloter – PBDS I – Konsumen 8. Feedloter – PBDS I – PBDS II – Konsumen 9. Feedloter – PBDS I – PBDS II – PP – Konsumen Masing-masing saluran dihitung total biaya pembelian, biaya transaksi, total penerimaan, margin pemasaran, keuntungan, rata-rata volume pasokan harian, dan rasio perbandingan antara keuntungan yang didapatkan dengan biaya transaksi yang harus dibayar oleh pelaku rantai pasokan daging sapi pada masing-masing saluran. Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Margin Pemasaran dan Biaya Transaksi Saluran Pemasaran Daging Sapi Saluran
Rata - Rata VP (Kg)
1
550
Rata- Rata Nilai Produk IDR/Kg (a) 87 000
Rata-Rata Biaya Transaksi Rp/kg (b) 829
2
216.67
100 000
1145
1.14%
3
37.5
120 000
1.15%
4
430
87 000
1384 712
5
200
100 000
978
0.82% 0.98%
6
42.5
120 000
1099
0.92%
7
566.67
87 000
694
0.80%
Rata- Rata EP (c) = (b)/(a) 0.95%
31
Saluran
Rata - Rata VP (Kg)
8
212.5
Rata- Rata Nilai Produk IDR/Kg (a) 100 000
Rata-Rata Biaya Transaksi Rp/kg (b) 1004
Rata- Rata EP (c) = (b)/(a) 1.04%
40.83 120 000 1048 0.87% 9 Ket : BP = Biaya Pembelian BT= Biaya Transaksi VP= Volume Pasokan EP = Efisiensi Pemasaran
Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi pemasaran daging sapi dapat dilihat bahwa seluruh saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor sudah efisien, karena hasil perhitungan nilai efisiensi pemasaran seluruhnya jauh berada dibawah 50%. Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi pemasaran, saluran dengan nilai efisiensi yang paling tinggi adalah saluran 7 (0.80%). Saluran 7 (Feedloter – PBDS I – Konsumen) sangat efisien dan menguntungkan namun membutuhkan modal yang cukup besar, baik untuk membeli sapi hidup secara langsung di feedloter maupun biaya transaksi yang diperlukan dalam saluran pemasaran tersebut. Saluran 9 (Feedloter – PBDS I – PBDS II – Pedagang Pengecer – Konsumen) merupakan salah satu saluran dengan proses pasokan yang cukup panjang, namun saluran ini termasuk kepada saluran yang paling efisien jika dilihat dari nilai EP sebesar 0.87%. Saluran ini cukup efisien, karena jumlah pasokan rata-rata pada saluran ini hanya sebesar 40.83 kg/hari dengan biaya transaksi IDR 1048/kg, sementara total nilai produknya mencapai IDR 120 000/kg. Pedagang pengecer daging sapi di Kota Bogor yang sebagian besar merupakan pedagang pengecer memilih saluran ini dengan alasan biaya transaksi rendah dan kemampuan untuk membeli pasokan daging sapi yang terbatas. Saluran dengan biaya transaksi paling tinggi adalah saluran 3 (Peternak lokal – Pedagang Sapi Hidup – PBDS I - PBDS II – Pedagang Pengecer – Konsumen). Saluran 3 merupakan salah satu saluran yang paling panjang diantara 9 alternatif saluran pemasaran. Panjangnya rantai pasokan menjadikan biaya transaksi menjadi semakin tinggi. Saluran 3 ini digunakan oleh pedagang pengecer daging sapi dengan rata-rata volume pasokan yang paling rendah yaitu sebanyak 37.5 Kg/hari. Sementara itu saluran dengan biaya transaksi paling rendah adalah saluran 7. Salah satu faktor yang menyebabkan saluran 7 menjadi saluran dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan paling menguntungkan adalah biaya transaksi yang rendah. Rata-rata volume pasokan harian yang tinggi yaitu sebesar 566.67 Kg/hari juga menjadikan biaya transaksi/kg semakin efisien. Setelah menganalisis biaya transaksi pada masing-masing saluran pemasaran, nilai tambah dianalisis pada masing-masing jenis pedagang daging sapi yang terdapat di Kota Bogor. Nilai tambah merupakan suatu perubahan nilai yang terjadi karena adanya perlakuan terhadap suatu input pada suatu proses produksi. Arus peningkatan nilai tambah pada rantai pasok terjadi disetiap mata rantai pasok dari hulu ke hlir yang berawal dari peternak dan berakhir pada konsumen akhir. Nilai tambah pada setiap rantai pasok berbeda-beda tergantung dari input dan perlakuan setiap anggota rantai pasok tersebut (Marimin dan Maghfiroh 2010). Kegiatan distribusi sapi potong hidup menjadi daging sapi segar dilakukan dengan melibatkan beberapa mata rantai, dimana setiap anggota pada rantai tersebut memberikan nilai tambah terhadap komoditas sapi potong. Pemberian nilai tambah dilakukan dengan melakukan pemotogan sapi hidup, sehingga produk akan menjadi karkas. Penelitian dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai tambah dari kegiatan pasokan daging sapi di Kota Bogor. Analisis dilakukan dengan metode hayami. Analisis nilai tambah terdiri dari
32
beberapa komponen, seperti biaya produksi dan keuntungan yang diterima oleh setiap mata rantai. Biaya produksi terdiri dari biaya bahan baku, tenaga kerja dan sumbangan input lain. Rata-rata perhitungan nilai tambah ditingkat PBDS I, PBDS II dan pedagang pengecer disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Perhitungan rata-rata nilai tambah dengan metode hayami Nilai No
Variabel
Pedagang Besar I
Pedagang Besar II
Pedagang Pengecer
Output, Input dan Harga 1.
Output (Kg) = (a)
400
250
34.32
2.
Input Bahan Baku (Kg) = (b)
700
250
34.32
3.
Input Tenaga Kerja (HOK) = (c)
4
2
1
4.
Faktor Konversi = (d) = (a)/(b)
0.57
1
1
0.006
0.008
0.029
Harga Output (IDR/Kg) = (f)
87 000
110 000
120 000
Rata-rata upah tenaga kerja (IDR/HOK) = (g)
80 000
50 000
30 000
38 000
87 000
110 000
Biaya Transportasi (IDR/Kg)
357.14
200
145.68
Biaya RPH (IDR/Kg)
142.85
5.
Koefisien TKL (HOK/Kg) = (e) = (c)/(b)
6. 7.
Penerimaan dan keuntungan (IDR/Kg Bahan Baku) 8.
Harga Input (IDR/Kg) = (h)
9.
Sumbangan Input lain (Biaya Transaksi)
Biaya Retribusi Pasar (IDR/Kg)
0.85
24
174.82
Biaya Listrik (IDR/Kg)
5.71
16
116.55
Biaya Sewa Kios/hari (IDR/Kg)
1.58
4.44
32.05
50
80
291.37
Total Biaya Transaksi (IDR/Kg) = (i)
558.13
324.44
760.33
10.
Nilai Output (IDR/Kg) = (j) = (d) x (f)
49 590
100 000
120 000
11.
Nilai Tambah (IDR/Kg) = (k) = (j) – (i) – (h)
11 031.87
12 675.56
9239.67
22.24% 480
12.67% 400
7.6% 870
4.3%
3.5%
9.4%
10 551.87
12 275.56
8369.67
21.27%
12.27%
6.9%
Pendapatan TKL (%) = (r) = (m)/(q)
11 590 4.14%
13 000 1.73%
10 000 8.7%
Sumbangan input lain (%) = (s) = (i)/(q)
4.81%
1.41%
7.6%
91.04%
96.85%
83.69%
Biaya Lain-lain (IDR/Kg)
Rasio Nilai Tambah = (l) = (k)/(j) 12.
Pendapatan Tenaga Kerja = (m) = (e) x (g) Imbalan Tenaga Kerja = (n) = (m) / (k)
13.
Keuntungan = (o) = (k) – (m) Tingkat Keuntungan = (p) = (o) / (j)
Balas Jasa Faktor Produksi (IDR/Kg Bahan Baku) 14.
Marjin (IDR/Kg) = (q) = (j) – (h)
Keuntungan perusahaan (%) = (t) = (o)/(q) Sumber : Data primer diolah Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 6 mengenai rata-rata perhitungan nilai tambah pada tingkat PBDS I, PBDS II dan pedagang pengecer menunjukan bahwa nilai faktor konversi masing-masing pedagang adalah 0.57, 1 dan 1. Faktor konversi PBDS I adalah 0.57,
33
artinya setiap 1 kilogram input sapi hidup akan menghasilkan output daging sapi sebesar 0.57 kg. Hal tersebut terjadi karena rata-rata karkas daging sapi yang dihasilkan dari satu ekor sapi hidup hanya berkisar 50-68% dari total bobot sapi hidup. Faktor konversi PBDS II adalah 1, artinya setiap 1 kilogram nput daging sapi akan menghasilkan output daging sapi sebesar 1 kilogram, begitupula dengan pedagang pengecer yang memiliki faktor konversi 1. Hal tersebut terjadi karena jumlah input sama dengan jumlah output, dengan asumsi tidak terjadi kerusakan kualitas daging sapi yang menyebabkan daging sapi tidak dapat dijual. Faktor konversi berpengaruh terhadap nilai output (IDR/kg) yang dihasilkan. Semakin besar nilai konversi maka akan semakin besar nilai outputnya. Nilai output didapatkan dari hasil kali antara faktor konversi dengan harga output. Pada PBDS I, bahan baku merupakan harga beli sapi potong hidup yang dibagi dengan berat sapi dalam satuan rupiah per kilogram. Harga rata-rata sapi potong hidup perkilogram yang dibeli di Feedloter adalah IDR 38 000/kg. Untuk mendukung kegiatan nilai tambah diperlukan sumbangan dari input lain (biaya transaksi) dengan total biaya sebesar IDR 558.13 untuk setiap kilogram input (bahan baku utama) yang digunakan. Nilai output yang didapatkan PBDS I sebesar IDR 49 590/kg. Nilai tambah yang diperoleh sebesar IDR 11 031.87 dengan rasio 22.24% dari total nilai output. Jumlah pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja untuk setiap kilogram output sebesar IDR 480 atau 4.3% dari total nilai tambah. Nilai keuntungan diperoleh dari nilai tambah dikurangi pendapatan tenaga kerja langsung. Keuntungan yang diterima oleh PBDS I untuk setiap kilogram output sebesar IDR 10 551 atau sebesar 21.27% dari total nilai output. Nilai marjin merupakan selisih antara nilai output dengan harga input. PBDS I mendapatkan margin sebesar IDR 11 590/kg. Sebesar 91.04% dari marjin merupakan keuntungan, 4.14% dari marjin merupakan pendapatan tenaga kerja langsung dan 4.18% merupakan sumbangan input lain (biaya transaksi) yang dikeluarkan oleh PBDS I. Pada PBDS II, harga bahan baku merupakan harga beli karkas daging sapi dalam satuan rupiah per kilogram. Harga rata-rata karkas daging sapi per kilogram sebesar IDR 87 000. Untuk mendukung kegiatan nilai tambah diperlukan sumbangan dari input lain (biaya transaksi) sebesar IDR 558.13 untuk setiap kilogram input yang digunakan. Nilai output dari karkas daging sapi sebesar IDR 100 000/kg. Nilai tambah yang diperoleh sebesar IDR 12 675.56 dengan rasio 12.67% dari total nilai output. Jumlah pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja untuk setiap kilogram output sebesar IDR 400 atau 3.5% dari total nilai tambah. Keuntungan yang diterima oleh PBDS II untuk setiap kilogram output sebesar IDR 12 275 atau sebesar 12.27% dari total nilai output. PBDS II mendapatkan margin sebesar IDR 13 000/kg. Sebesar 96.85% dari marjin merupakan keuntungan, 1.73% dari marjin merupakan pendapatan tenaga kerja langsung dan 1.41% merupakan sumbangan input lain (biaya transaksi) yang dikeluarkan oleh PBDS II. Sementara itu, pada pedagang pengecer harga bahan baku merupakan harga beli daging sapi dari pedagang besar dalam satuan rupiah per kilogram. Harga rata-rata daging sapi per kilogram yang dibeli oleh pedagang pengecer sebesar IDR 110 000. Untuk mendukung kegiatan nilai tambah diperlukan sumbangan dari input lain dengan total biaya sebesar IDR 760.33 untuk setiap kilogram input yang digunakan. Nilai output dari daging sapi sebesar IDR 120 000. Nilai tambah yang diperoleh sebesar IDR 9 239.67/kg dengan rasio 7.6% dari total nilai output. Jumlah pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja untuk setiap kilogram output sebesar IDR 870 atau sebesar 9.4% dari total nilai tambah. Keuntungan yang diterima oleh pedagang pengecer untuk setiap kilogram output sebesar IDR 8 369.67 atau sebesar 6.9% dari total nilai output. Pedagang pengecer mendapatkan marjin sebesar IDR 10 000/kg. Sebesar 83.69% dari marjin merupakan
34
keuntungan, 8.7% dari marjin merupakan pendapatan tenaga kerja langsung dan 7.6% merupakan sumbangan input lain (biaya transaksi) yang dikeluarkan oleh Pedagang Pengecer. Adanya nilai tambah dalam rantai pasokan daging sapi di Kota Bogor dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengukur kinerja rantai pasokan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa input utama dalam rantai pasokan ini adalah sapi potong hidup, dimana setiap sapi potong hidup memiliki berat dan harga yang berbeda-beda. Biaya transaksi yang dihitung dalam analisis nilai tambah terdiri atas biaya transportasi, biaya RPH, upah jagal, retribusi pasar, biaya listrik, air dan kebersihan, biaya sewa kios, dan biaya lain-lain. Analisis Pemilihan Saluran Pemasaran Daging Sapi di Kota Bogor Saluran pemasaran yang dipilih dan digunakan oleh pedagang dalam memasarkan komoditas daging sapi memiliki pengaruh terhadap keuntungan yang akan diterima. Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi atau rekam jejak dari organisasiorganisasi yang terlibat dalam proses menjadikan suatu produk barang dan jasa yang siap dikonsumsi oleh konsumennya (Dilana 2013). Menurut Kotler (2005), saluran pemasaran adalah beberapa organisasi yang saling bergantung dan terlibat dalam proses mengupayakan agar produk dan jasa yang tersedia untuk digunakan dan dikonsumsi. Berdasarkan pemetaan jaringan distribusi yang telah dipetakan sebelumnya, terdapat 9 alternatif saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor. Hipotesis dalam penelitian ini mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pedagang daging sapi dalam memilih saluran pemasaran daging sapi adalah sebagai berikut : 1. Hipotesis I Ho1 : Usia pedagang tidak berpengaruh terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. Ha1 : Usia pedagang berpengaruh terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. 2. Hipotesis II Ho2 : Lama berdagang tidak berpengaruh terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. Ha2 : Lama berdagang berpengaruh terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. 3. Hipotesis III Ho3 : Pendidikan tidak berpengaruh terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. Ha3 : Pendidikan berpengaruh terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. 4. Hipotesis IV Ho4 : Biaya Transaksi tidak berpengaruh terhadap pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. Ha4 : Biaya Transaksi berpengaruh terhadap pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. 5. Hipotesis V Ho5 : Volume pasokan tidak berpengaruh terhadap pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan.
35
Ha5 : Volume pasokan berpengaruh pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. 6. Hipotesis VI Ho6 : Lama pasokan tidak berpengaruh pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan Ha6 : Lama pasokan tidak berpengaruh pemilihan saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. Usia pedagang adalah jumlah tahun dari umur pedagang daging sapi. Hipotesis dalam penelitian ini adalah umur pedagang daging sapi akan berhubungan negatif dengan saluran pemasaran yang lebih menguntungkan dan lebih efisien. Lama berdagang merupakan ukuran pengalaman berdagang dalam mengambil keputusan, termasuk memilih tujuan pasar. Diharapkan semakin banyak pengalaman pedagang daging sapi, maka akan mempunyai akses untuk menjual ke saluran pemasaran yang lebih menguntungkan dan lebih efisien. Pendidikan mengacu pada jumlah tahun bersekolah pedagang daging sapi. Diharapkan semakin tinggi jumlah tahun pendidikan yang ditempuh oleh pedagang daging sapi dapat mendukung pedagang daging untuk memilih saluran pemasaran yang lebih menguntungkan dan lebih efisien. Biaya Transaksi mengacu pada jumlah biaya transaksi yang harus dibayar oleh pedagang daging sapi dalam melakukan transaksi jual beli daging sapi dalam suatu saluran pemasaran, diduga bahwa biaya transaksi berpengaruh negatif terhadap pemilihan saluran pemasaran, artinya semakin besar biaya transaksi maka semakin sedikit kemungkinan untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien dan lebih menguntungkan. Volume Pasokan mengacu pada jumlah volume pasokan harian yang diterima oleh pedagang daging sapi, diduga volume pasokan berpengaruh positif, artinya semakin banyak volume pasokan maka semakin besar kemungkinan pedagang daging sapi untuk menjual pada saluran yang lebih efisien dan lebih menguntungkan. Lama Pasokan mengacu pada lama tahun pedagang daging sapi mendapat suatu pasokan dari satu atau lebih pemasok daging yang dijual. Hal ini menunjukan sejauh mana kontinuitas pasokan berlangsung dalam suatu saluran pemasaran. Diharapkan, semakin lama kontinuitas pasokan maka semakin besar kemungkinan untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. Untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pedagang daging sapi di Kota Bogor dalam memilih saluran pemasaran, maka dilakukan survey terhadap 45 responden pedagang daging sapi yang tersebar di 7 pasar tradisional di Kota Bogor. Hasil survey dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil survey terhadap pedagang daging sapi di Kota Bogor menunjukan bahwa sebagian besar pedagang daging sapi memilih saluran 9 (Feedloter – PBDS I – PBDS II – Pedagang Pengecer – Konsumen) sebagai pilihan saluran pemasaran. Saluran 9 memiliki tingkat efisiensi cukup tinggi (0.87%) namun memiliki tingkat keuntungan yang rendah dibandingkan dengan saluran lain (BC Ratio 8.53). Berdasarkan hasil analisis efisiensi pemasaran, seluruh saluran pemasaran di Kota Bogor termasuk dalam kategori efisien. Namun, saluran yang paling efisien dan menguntungkan adalah saluran 7 (Feedloter – PBDS I – Konsumen) dengan nilai efisiensi pemasaran 0.80% dan BC Ratio 69.55. Saluran 4 mendapatkan posisi kedua dengan nilai efisiensi 0.82% dan BC Ratio 55.14. Namun yang memilih kedua saluran pemasaran tersebut hanya berkisar antara 6-8% saja dari total keseluruhan responden. Pedagang daging sapi yang memilih saluran yang paling efisien dan menguntungkan merupakan PBDS I, yaitu pedagang besar daging sapi
36
yang membutuhkan pasokan harian mencapai 500 Kg dan menjual daging sapi dalam partai besar. Saluran 1 Saluran 2 Saluran 9
23%
4%
8%
Saluran 3
10% 6% Saluran 8
Saluran 4
14% 8% Saluran 5
8%
19%
Saluran 7
Saluran 6
Saluran 1
Gambar 5 Hasil survey terhadap pemilihan saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor Sumber: Data primer tahun 2015
Variabel respon (Y) dalam penelitian ini adalah pilihan saluran pemasaran yang lebih efisien. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran sebagai variabel penjelas (X) adalah usia, pendidikan, pengalaman berdagang, lama pasokan dan biaya transaksi. Berdasarkan hal tersebut saluran 7 dan saluran 4 merupakan pemilihan saluran pemasaran dengan nilai 1 dan saluran lain bernilai 0. Uji Hosmer dan Lemeshow digunakan untuk menganalisis kelayakan model regresi yang digunakan (Kleinbaum et al. 2008). Nilai probabilitas dari hasil uji Hosmer dan Lemeshow sebesar 0.996 > 0.01, artinya model regresi logistik biner yang digunakan layak untuk dipakai untuk analisis selanjutnya, karena tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati dengan taraf nyata 10%. Uji R square juga dilakukan untuk melihat sejauh mana variabel penjelas berpengaruh terhadap variabel respon. Nilai dari hasil Uji R Square sebesar 0.790, artinya sebesar 79% variabel respon dipengaruhi oleh variabel penjelas yang terdapat dalam model dan dinyatakan layak untuk dipakai untuk analisis lanjutan. Persamaan regresi logistik biner yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Y= -1.585 +0.045 Usia +0.049 Pendidikan +0.525 Pengalaman Berdagang +0.014 Volume pasokan -0.215 lama pasokan – 0.005 Biaya transaksi Pada persamaan tersebut terlihat bahwa seluruh variabel mempunyai pengaruh yang positif terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran, kecuali dua variabel yaitu lama pasokan dan biaya transaksi. Variabel lama pasokan mengindikasikan seberapa lama seorang pedagang berlangganan pasokan pada rantai pasokan sebelumnya, sehingga jika semakin lama pasokan berjalan maka kecenderungan untuk pindah ke saluran pemasaran yang lebih efisien justru akan semakin kecil, karena pada umumnya seorang pedagang
37
daging sapi memiliki langganan tetap untuk pasokan daging sapi yang akan dijualnya. Variabel Biaya transaksi juga berpengaruh negatif, karena semakin tinggi biaya transaksi maka peluang untuk pindah ke saluran pemasaran yang lebih efisien juga berkurang. Hasil uji regresi logistik biner dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil Uji Regresi Logistik Biner B
S.E.
Wald
df
Sig.
Ψ (odds ratio)
Usia
.045
.075
.352
1
.553
1.046
Pendidikan
.049
.298
.027
1
.870
1.050
b
1.691
c
1.014
Pengalaman_berdagang a
Step 1 Volume_Pasokan Lama_Pasokan Biaya_Transaksi
.525
.315
2.786
1
.014
.007
3.897
1
.048
-.215
.189
1.303
1
.254
.806
1
c
.995
-.005
.002
4.887
.095
.027
Constant -1.585 4.962 .102 1 .749 .205 Keterangan : a :Variable(s) entered on step 1: Usia, Pendidikan, Pengalaman_berdagang, Volume_Pasokan, Lama_Pasokan, Biaya_Transaksi, b : signifikan dalam α = 10%, c : signifikan dalam α = 5%.
Berdasarkan hasil uji regresi logistik biner, dari 6 variabel penjelas yang diduga berpengaruh terhadap variabel respon, terdapat 3 variabel penjelas yang memiliki pengaruh signifikan dalam taraf nyata 10%, yaitu variabel pengalaman berdagang, volume pasokan dan biaya transaksi. Nilai odds ratio 1.691 pada variabel pengalaman berdagang, artinya setiap bertambahnya satu tahun pengalaman berdagang, maka peluang pedagang untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien meningkat sebesar 1.691. Semakin lama pengalaman berdagang memungkinkan seorang pedagang memiliki informasi terkait jaringan distribusi daging yang lebih luas, sehingga kemungkinan besar seorang pedagang dengan pengalaman berdagang yang lebih lama dapat menangkap peluang keuntungan yang lebih besar dengan memilih saluran yang lebih efisien. Sementara itu, nilai odds ratio pada volume pasokan adalah 1.014, artinya setiap bertambahnya satu kilogram volume pasokan, maka peluang pedagang untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien meningkat sebesar 1.014. Semakin besar kebutuhan volume pasokan, semakin tinggi peluang seorang pedagang untuk memilih saluran pemasaran yang efisien. Walaupun kebutuhan pasokan yang tinggi harus didukung dengan tersedianya modal untuk membeli sapi dan biaya transaksi yang menyertainya. Nilai odds ratio pada biaya transaksi adalah sebesar -0.995, artinya setiap bertambahnya satu rupiah biaya transaksi yang harus dikeluarkan, kemungkinan pedagang untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien menurun sebesar 0.995 . Biaya transaksi menjadi pertimbangan yang penting dalam memilih saluran pemasaran, walaupun suatu saluran pemasaran dikatakan lebih efisien, jika harus didukung dengan biaya yang besar maka saluran pemasaran itu tidak akan dipilih. Karena sebagian besar pedagang daging sapi di Kota Bogor merupakan pedagang pengecer, yang pasokannya hanya berkisar 4560 kg/hari.
38
Implikasi Manajerial Implikasi manajerial dari efisiensi jaringan distribusi rantai pasok daging sapi di Kota Bogor adalah upaya untuk mengoptimalkan kinerja rantai pasok daging sapi dari pendekatan analisis efisiensi pemasaran dan analisis pemilihan saluran pemasaran setelah jaringan distribusi tersebut dipetakan. Seluruh stakeholder diharapkan mampu menerapkan konsep five principle of lean thinking (Womack dan Jones 2003) dalam meningkatkan efisiensi dalam proses distribusi daging sapi di Kota Bogor yaitu : 1. Memahami makna dari nilai yang diinginkan oleh konsumen, 2. Membuat, mengatur dan melakukan perbaikan sepanjang aliran nilai, 3. Optimalisasi aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi yang terus mengalir dengan mengeliminasi waste dalam antrian, proses transportasi, serta berbagai kegiatan lain yang menimbulkan tingginya biaya transaksi dan menyebabkan mahalnya harga ditingkat konsumen, 4. Memberdayakan (empower) setiap pelaku dalam aliran untuk melakukan lean improvement untuk meningkatkan efisiensi dalam setiap proses pasokan, 5. Melakukan perbaikan secara terus menerus dengan menerapkan konsep plan-do-checkact dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam proses pasokan. Konsep lean merupakan strategi bisnis jangka panjang, artinya bukan merupakan suatu inisiatif taktis dalam melakukan penghematan biaya. Lean improvement dihasilkan dari setiap perubahan kecil yang dilakukan pada setiap proses pasokan menuju aliran nilai yang lebih efisien dan menguntungkan. Berdasarkan hasil penelitian, implikasi manajerial yang dapat diberikan bagi pedagang daging sapi, jika ingin mendapatkan keuntungan dan efisiensi pemasaran yang tinggi dapat menggunakan saluran 7 (Feedloter – PBDS I – Konsumen) sebagai PBDS I. Tentunya pilihan ini harus didukung dengan pendanaan serta kemampuan dalam mengakses informasi mengenai jumlah permintaan daging yang dibutuhkan oleh konsumen, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pasokan. Suatu kelembagaan perlu dibentuk oleh pedagang daging sapi di Kota Bogor agar aliran informasi, aliran produk dan aliran keuangan dapat mengalir lebih efektif dan efisien. Bagi pedagang daging sapi diharapkan dapat meningkatkan kinerja internal dalam rantai pasok, salah satunya dengan cara kolaborasi antar pelaku rantai pasok untuk mengembangkan sistem informasi untuk mendukung rantai pasokan yang lebih optimal. Beberapa rekomendasi langkah-langkah strategis untuk mengoptimalkan kinerja rantai pasok yang dapat diimplementasikan berdasarkan hasil dari penelitian disajikan pada Tabel 8.
39
Tabel 8 Rekomendasi langkah-langkah strategis dalam optimalisasi kinerja rantai pasok Tujuan Penelitian Memetakan jaringan distribusi daging sapi di Kota Bogor
Menganalisis biaya transkasi dengan mnghitung tingkat efisiensi, distribusi margin,dan nilai tambah
Menganalisis
Hasil Penelitian Terdapat 9 alternatif pilihan saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor. Sebagian besar pedagang daging sapi di Kota Bogor merupakan pedagang pengecer yang artinya saluran yang paling panjang merupakan saluran yang paling banyak digunakan. Saluran dengan rantai pasokan terpanjang melibatkan sedikitnya lima lembaga pemasaran terbukti menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya harga jual daging sapi. Saluran pemasaran yang paling efisin dengan keuntungan dan nilai tambah tertinggi, serta biaya transaksi yang paling rendah adalah saluran 7 (Feedloter – PBDS I – Konsumen). Biaya transaksi pada distribusi daging sapi mulai dari RPH hingga sampai ke tangan konsumen hanya berkisar 3-5% dari total biaya. Biaya yang mendominasi adalah biaya untuk membeli bahan baku daging sapi (60%). Nilai tambah dan margin terbesar diperoleh PBDS I.
Saluran yang banyak dipilih adalah saluran
Implikasi Manajerial Memahami makna dari nilai yang diinginkan oleh konsumen. Membuat, mengatur dan melakukan perbaikan sepanjang aliran nilai. Optimalisasi aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi yang terus mengalir dengan mengeliminasi waste dalam antrian, proses transportasi, serta berbagai kegiatan lain yang menimbulkan tingginya biaya transaksi dan menyebabkan mahalnya harga ditingkat konsumen,. Volume pasokan yang tinggi menyebabkan PBDS I yang berada pada saluran 7 mempunyai tingkat keuntungan dan efisiensi yang tinggi Pedagang daging sapi yang mempunyai cukup modal disarankan untuk memilih saluran 7 sebagai saluran pemasaran untuk keuntungan dan nilai tambah yang maksimal. Transportasi menjadi salah satu biaya yang paling tinggi yang harus dibayar ketika pedagang ingin membeli pasokan sapi hidup secara langsung, perbaikan infrastruktur dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dalam proses transportasi pasokan. Pembentukan kelembagaan antar
Aktor Pemerintah Peternak lokal Pedagang daging sapi RPH
Pemerintah Pedagang daging sapi Feedloter
Pemerintah
40
Tujuan Penelitian faktor yang berpengaruh terhadap keputusan Pedagang Daging sapi dalam memilih saluran pemasaran
Hasil Penelitian 9 yaitu (Feedloter-PSH-PBDS I- PBDS IIPedagang Pengecer). Saluran ini merupakan saluran yang memiliki tingkat efisiensi cukup tinggi, namun memiliki keuntungan yang rendah. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran adaah : Pengalaman berdagang, biaya transaksi dan volume pasokan.
Implikasi Manajerial pelaku pemasar daging sapi di Kota Bogor memungkinkan terjadinya pertukaran informasi yang lebih efisien, sehingga bagi pedagang daging sapi yang masih belum banyak memiliki pengalaman dapat juga mengambil peluang untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. Informasi yang akurat juga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan. Volume pasokan harus mampu dipenuhi sesuai dengan kebutuhan, tidak kurang dan tidak juga tidak lebih, serta tepat waktu. Memberdayakan (empower) setiap pelaku dalam aliran untuk melakukan lean improvement untuk meningkatkan efisiensi dalam setiap proses pasokan. Melakukan perbaikan secara terus menerus dengan menerapkan konsep plan-do-check-act dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam proses pasokan.
Aktor Pedagang daging sapi
41
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Berdasarkan hasil pemetaan jaringan distribusi dengan menggunakan Value Stream Mapping terdapat 9 alternatif saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor. Nilai tambah terbesar diperoleh dari hasil pemotongan sapi hidup menjadi karkas yang didapatkan oleh PBDS I. Biaya transaksi dalam proses pasokan jaringan distribusi hanya berkisar 3-5%, biaya yang mendominasi adalah biaya dalam membeli pasokan daging sapi yang mencapai 60%. Saluran yang memiliki nilai Efisiensi Pemasaran tertinggi (0.80%) dan Biaya transaksi terendah (IDR 694/Kg) adalah saluran 7 yaitu ( Feedloter – PBDS I – Konsumen). Berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner, faktor yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan pemilihan saluran pemasaran adalah pengalaman berdagang, volume pasokan dan biaya transaksi.
SARAN Penelitian ini dimulai dari RPH, maka diperlukan penelitian lanjutan mengenai penyebab mahalnya harga pokok dari daging sapi tersebut, terutama dari proses pengadaan sapi yang mayoritas berasal dari luar Kota Bogor. Berbagai pihak yang terkait diharapkan dapat menerapkan implikasi manajerial yang telah dihasilkan dalam penelitian ini, sehingga efisiensi jaringan distribusi pemasaran rantai pasok daging sapi di Kota Bogor dapat dioptimalkan.
DAFTAR PUSTAKA Aisyah SA, Sanim B, Maulana A. 2013. Strategi pengembangan usaha sapi potong : studi kasus CV. Mitra Tani Farm. Jurnal Manajemen & Agribisnis 10(2): 109–116. Amirah NZ, Paturrochman M, Masdar AS. 2015. Analisis Rantai Pasok Daging Sapi Dari Rumah Pemotongan Hewan Ciawitali sampai Konsumen Akhir di Kota Garut. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. [Tesis]. Bandung (ID) : Universitas Padjajaran. Anteneh A, Muradian R, Ruben R. 2011. Factors affecting coffee farmers market outlet choice: the case of Sidama Zone, Ethiopia. Paper prepared for the EMNet 1-3 December 2011 in Cyprus. Bunte F. 2006. Pricing And Performance In Agri-Food Supply Chains. Proceedings of the Frontis workshop on quantifying the agri-food supply chain. Wageningen, The Netherlands, 22-24 October 2004. Wageningen : Wageningen University and Research Center. Page 37-45. Chalwe S. 2011. Factors Influencing Bean Producers Choice of Marketing Channels in Zambia [Tesis]. Lusaka (ZM): University of Zambia.
42
Chopra S, Meindl P. 2007. Supply Chain Management, Strategy, Planning, and Operations Third Edition. New Jersey (US): Pearson Education, Inc. Coltrain D, Barton D, Boland M. 2000. Value Added: Opportunities And Strategies. Arthur Capper Cooperative Center, Department of Agricultural Economics. Kansas City (UK) : Kansas State University. Daroeni A. 2013. Pola pemasaran sapi potong pada peternak sapi skala kecil di Kabupaten Kediri. Jurnal Manajemen Agribisnis. 13(1) : 55-62. Dilana, IA. 2013. Pemasaran dan Nilai Tambah Biji Kakao di Kabupaten Madiun, Jawa Timur [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ding MJ, Jie F, Parton KA, Matanda MJ. 2014. Relationships between quality of information sharing and supply chain food quality in the Australian beef processing industry. International Journal of Logistic Management. 25(1) : 85-108. [DITJEN PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Livestock and Animal Health Statistics 2013. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian. Emhar A, JMM Aji, T Agustina. 2014. Analisis rantai pasokan (supply chain) daging sapi di kabupaten Jember. Berkala Ilmiah Pertanian. 1(3): 55-61 Faturrokhman. 2015. Analisis Jaringan Distribusi Daging Sapi di DKI Jakarta [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Fearne A, Hornibrook S, Dedman S. 2001. The management of perceived risk in the food supply chain : comparative study of retailer-led beef quality assurance schemes in Germany and Italy. International Food and Agribusiness Management Review. 4:1936. Francis M, Simons D, Bourlakis M. 2008. Value chain analysis in the UK beef foodservice sector. Supply Chain Management: An International Journal, Vol. 13 Iss: 1, pp.83 – 91. Gebreeyesus M, Sonobe T. 2009. Governance of global value chain and firms capability in African floriculture. Foundation for Advanced Studies on International Development (FASID), forthcoming. Gong W, Parton K, Cox RJ, Zhou Z. 2006. Transaction costs and cattle farmers’ choice of marketing channels in China. Management Research News. 30(1): 47 – 56. Guo DH, Jiang WH. 2005. Analysis on factors of influencing farmers’ participation in contract production. China Rural Economy, 3(2) : 24-32. Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, Siregar M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java. A Perspective from a Sunda Village. Bogor (ID) : The CPGRT Centre. Hines P, Rich N. and Esain A. 1999.Value stream mapping: a distribution industry application. Benchmarking: An International Journal. 6(1): 60-77. Hobbs, JE. 1996. A transaction cost approach to supply chain management. Supply Chain Management: An International Journal. 1(2): 15 – 27. Hobbs, JE. 1997. Measuring the importance of transaction costs in cattle marketing. American Journal of Agricultural Economics. 79(4) : 83-96. Hosmer DW dan Lemeshow S. 2000. Applied Logistic Regresion. New York (USA): John Wiley anda Sons, Inc. Jari B. 2009. Institutional and technical factors influencing agricultural marketing channel choices amongst smallholder and emerging farmers in the Kat River Valley [Tesis]. Alice (ZA): University of Fort Hare.
43
Kleinbaum DG, Kupper LL, Nizam A, dan Muller KE. 2008. Apllied Regression Analysis and Other Multivariable Methods. Fourth Edition. Belmont-CA (USA): ThompsonBrooks/Cole. Kusriatmi, Oktaviani R, Syaukat Y,Said A. 2014. Analysis of the effects of beef import restriction policy on beef self-sufficiency in Indonesia. Journal of ISSAAS. 20(1) : 115-130. Li W, Yuanyuan Z. 2005. A Game Analysis on Profit Distribution of Two-echelon Supply Chain with Principal and Subordinate [Tesis]. School of Economics and Management. Jiangsu. (CN) : Jiangsu University of Science & Technology. Mahbubi A. 2014. Program pengembangan Madura sebagai pulau sapi perspektif manajemen rantai pasok sapi berkelanjutan. Agriekonomika: Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 3(2): 93-104. Marimin, Maghfiroh N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor (ID): IPB Press. Matondang RH, Rusdiana S. 2013. Langkah-langkah strategis dalam mencapai swasembada daging sapi 2014. Jurnal Litbang Pertanian. 32 (3):131-139. Poole ND, Gomis FJ, Igual J, Gimenez FV. 1998. Formal contracts in fresh produce Markets. International Food Policy. 23(2): 131-42. Pangatur A. 2013. Analisis Risiko Pasokan Komoditas Daging Sapi di Jawa Timur . Jurnal Teknologi Industri. Surabaya (ID) : Institut Teknologi Sepuluh November. Preckel PV, Grey A, Boehlje M, Kim S. 2004. Risk and value chains: participants sharing risks and rewards on Chains and Network Science; 4(1): 25-32. Probowati, DB. 2011. Perancangan Model Rantai Pasok Agroindustri Kelapa Terpadu Dalam Usaha Kecil. [Tesis] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [PUSDATIN] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Buletin Konsumsi Pangan Volume 5 Nomor 2. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Rahim A, Hastuti DRD. 2007. Ekonomika Pertanian: Pengantar, Teori dan Kasus. Jakarta: Penebar Swadaya Rong AY, Akkerman R, Grunow M. 2011.An optimization approach for managing fresh food quality throughout the supplychain.Int.J.Prod.Econ. 131 : 421–429. Rother, M. and Shook, J. (1999), Learning to See, The Lean Enterprise Institute. Cambridge, MA. Sang, NQ. 2003. Vertical coordination in the Chinese agri-food system: a transaction cost analysis. International Journal of Supply Chain. 4(2): 89-93. Sirait H, Limbong WH, Suryahadi. 2007. Analisis strategi pemasaran daging sapi pada CV. Duta Mandiri Abadi. Jurnal Magister Profesional Industri Kecil Menengah. 2(2) : 54-67. Sumitra J, Kusumastuti TA, Widiati R. 2013. Pemasaran ternak sapi potong di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Jurnal Buletin Peternakan. 37(1) : 49-58. Siagian, YM. 2005. Aplikasi Supply Chain Management dalam Dunia Bisnis. Jakarta: PT. Grasindo Widiarsarana Indonesia. Shimchi Levi D, Kaplinsky P, Simchi Levi E. 2000. Designing and Managing The Supply Chain : Concepts, Strategies, and Case Studies. Singapore : Mc. Graw Hill. Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali. Tunggal AW. 2009. Supply Chain Management (Manajemen Rantai Pasokan). Jakarta (ID): Harvarindo. Tseuoa T, Syaukat Y, Hakim DB. 2012. The impact of Australia and New Zealand Free Trade Agreement on the beef industry in Indonesia. Journal of ISSAAS. 18(2) : 70-82.
44
Van der Vorst JGAJ, Tromp SO, Van der Zee DJ. 2009. Simulation modelling for food supply chain redesign: integrated decision making on product quality, sustainability and logistics. Int.J.Prod.Res. 47 : 6611–6631. Wang X,Li D,O’brien C,Li Y. 2010. A production planning model to reduce risk and improve operations management. International Journal Production and Economy. 124: 463–474. Womack JP, Jones DT. 2003. Lean Thinking : Banish Waste and Create Wealth in Your Corporation. Second Edition. New York (US) : Free Press. Simon and Schuster Inc. Xaba BG, Masuku MB. 2013. Factors affecting the choice of marketing channel by vegetable farmers in Swaziland. Sustainable Agriculture Research 2013; 2(1): 112-123. Yayat HF, Marimin, Harianto. 2010. Analisis kinerja rantai pasok agribisnis sapi potong : studi kasus pada PT. Kariyana Gita Utama. Jurnal Teknik. Industri Pertanian. 20 (3):193-205 Zhou SD, Dai YC. 2005. Vertical coordination choices analysis of hog producers under supply chain framework. China Rural Economy, No. 5, pp. 30-6. Zivenge E, Karavina C. 2012. Analysis of factors influencing market channel access by communal horticulture farmers in Chinamora District, Zimbabwe. Journal of Development and Agricultural Economics. 4(6): 147-150.
45
LAMPIRAN Lampiran 1 Kuisioner Penelitian
KUISIONER PENELITIAN PENGANTAR Kepada Responden yang terhormat, Saya Nadya Megawati Rachman, mahasiswa S2 Program Studi Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor sedang mengadakan penelitian dalam rangka menyelesaikan tugas akhir dengan judul : Analisis Jaringan Distribusi Rantai Pasok Daging Sapi di Kota Bogor. Pada kuisioner ini akan dianalisis pengaruh biaya transaksi dalam pilihan saluran pemasaran pedagang daging sapi di Kota Bogor. Informasi yang didapatkan dari kuisioner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk keperluan akademik dan untuk memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak terkait dalam jarigan distribusi daging sapi di Kota Bogor. Nomor Responden
:
Nama Responden
:
No Hp
:
Alamat
:
Tanggal Wawancara
:
Lokasi Wawancara
:
Demi tercapainya hasil penelitian yang diinginkan, mohon kesediaan waktu Bapak/Ibu untuk kami wawancarai dalam mengisi kuesioner penelitian ini. Atas kerjasama Bapak/Ibu kami ucapkan terima kasih.
46
Analisis Jaringan Distribusi Daging Sapi Kota Bogor a. Informasi Umum 1 Berapakah Usia Anda? 2 Dalam satu minggu, rata-rata berapa kali Anda melakukan pemotongan hewan di RPH? 3 Dalam satu minggu, rata-rata berapa kali Anda melakukan pemotongan hewan di RPH? 4 Apakah pendidikan terakhir yang Anda tempuh? 5 Sudah berapa lama Anda berdagang daging sapi? 6 Apakah menjual daging sapi merupakan mata pencaharian yang utama? 7 Tujuan datang ke RPH
a. SD b. SMP c. SMA d. Sarjana e. Pasca Sarjana
a. Membawa sapi dari feedloter untuk dipotong b. Membeli sapi dari RPH lalu dipotong c. Membeli daging sapi
b. Jaringan Distribusi Daging Sapi 1 Asal Sapi yang dibawa ke RPH 2 Rata-rata jumlah Sapi yang dibawa ke RPH 3 Jenis Sapi 5 Rata-rata volume daging sapi yang dijual 6 Untuk memasarkan daging, saluran pemasaran mana yang Anda pilih?
7 8
Harga Jual (Daging/Sapi) Lokasi penjualan
c. Biaya Transaksi 1 Biaya dari feedloter ke RPH a. Harga beli sapi b. Transportasi c. Biaya informal d. Biaya tenaga kerja e. Biaya Pakan/ekor f. Biaya lain 2 Biaya retribusi jasa usaha di RPH a. Biaya tempat pemotongan b. Biaya pemeriksaan Ante mortem c. Biaya pemeriksaan Post mortem d. Biaya tempat penampungan/ 5 hari e. Biaya pemeriksaan pengeluaran hewan f. Biaya pakan/ekor/hari g. Upah jagal h. Upah tenaga kerja i. Biaya lain 3 Biaya dari RPH ke saluran pemasaran selanjutnya a. Biaya transportasi b. Biaya retribusi pasar
……. Ekor .…. Ekor Jantan …… Ekor Betina ……. Kg a. Pedagang Pengecer di Pasar Tradisional b. Pedagang Bakso/Soto (IKM) c. Hotel, Restoran dan Katering (HOREKA) d. Pabrik sosis/Kornet daging sapi (Industri Olahan)
47
c. Upah tenaga kerja d. Biaya lain Total Biaya d. Pilihan Saluran Pemasaran No Variabel Uraian 1
Y
2
X1
3
X2
4
X3
5
X4
6
X5
7
X6
Pilihan saluran pemasaran
Jawaban 0= saluran 1/2/3/5/6/8/9 1= saluran 4/7
Usia
………..tahun
Pendidikan
………..tahun
Biaya_Transaksi
IDR ………….
Pengalaman_berdagang
………..tahun
Volume_Pasokan
……….. Kg
Kontinuitas_Pasokan
………..tahun
48
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Nadya Megawati Rachman, dilahirkan di Kota Bandung pada tanggal 4 Oktober 1992. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Rohmat dan Heni Heryati. Penulis memulai pendidikan dasar di SDN Sarijadi VI Bandung pada tahun 1998, kemudian lulus dari SDN Ibu Dewi 1 Cianjur pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Cianjur dan lulus pada tahun 2007. Jenjang pendidikan berikutnya penulis tempuh di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Cianjur dan lulus pada tahun 2010. Selepas SMA penulis diterima di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Kini, penulis sedang menyelesaikan program magister sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Ilmu Manajemen. Selama masa studi di Departemen Manajemen, penulis aktif di berbagai organisasi kampus, diantaranya Anggota Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB IPB) Kabinet Harmoni 47 pada tahun 2010-2011 dan Bendahara Divisi PSDM Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Manajemen (BEM FEM IPB) Kabinet Progressif pada tahun 2011-2012. Penulis merupakan Runner Up FEM Ambassador 2011 dan Runner Up Mahasiswa Berprestasi di Departemen Manajemen pada tahun ajaran 2012/2013. Kegiatan penulis diluar kampus, ikut serta berkontribusi dalam kegiatan FEM Mengajar di Desa sekitar Dramaga, dan menjalankan kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa dalam bidang pengabdian masyarakat, yaitu melaksanakan edukasi batik untuk anak-anak di Sekolah Dasar di daerah Bogor pada tahun 2012. Penulis juga menjadi Asisten Dosen mata kuliah Manajemen Produksi dan Operasi tahun ajaran 2013/2014.