VIII. PEMBAHASAN UMUM Hasil survei yang dilakukan di beberapa sentra pertanaman cabai di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan membuktikan babwa CMV dan ChiVMV dapat ditemukan pada harnpir semua lokasi pengarnatan. [nfeksi dapat teljadi pada
pola budidaya monokultur dan tumpang sari baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Tingginya kejadian penyakit CMV dan ChiVMV menunjukkan bahwa kedua virus tersebut termasuk: virus penting yang menginfeksi pertanaman cabai di
lapang. Hasil survei tersebut mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang melaporkan bahwa kedua virus tersebut merupakan virus utama pada pertanaman cabai di Asia Tenggara termasuk Indonesia ( Chisombat et at. 1995, Dolores el al. [995, Sulyo et at. 1995, Ang el at. [995). Dilaporkan pula oleh Weeratne dan Yapa (2002) babwa CMV dan ChiVMV lazim dijumpai pada pertanaman cabai di beberapa wilayab di Srilanka. Salah satu faktor yang menentukan perkembangan infeksi CMV dan ChiVMV
di lapang adalah pola budidaya tanarnan. Petani cenderung rnenggunakan satu macam
kultivar secara terus-menerus bahkan dalam areal yang cukup luas.
HaJ tersebut
menyebabkan serangan CMV dan ChiVMV menjadi lebih luas. Infeksi kedua virus dapat merumbulkan gejala pacta tanaman cabai seperti mosaik pada daun-daun muda, ukuran daun menjadi lebih kecil dan shoestring like (Iebar daun menjadi lebih sempit). Sementara infeksi ChiVMV dapat mengakibatkan gejala seperti bercak hijau yang tidak beraturan (belang), permukaan daun menjadi tidak rata, daun melengkung ke atas dan ujung daun meruncing kadang-kaclang membentuk seperti benang. Pengujian biologi menggunakan tanaman inang diferensial membuktikan bahwa isolat virus yang diuji mengbasilkan gejaia dan kejadian penyakit yang berbeda. [solat CMV asal Cimangkok dan ChiVMV asal Cikabayan adalab strain yang
berbeda dengan isolat-isolat lainnya, meskipun demikian karakterisasi lebih lanjut perlu dilakukan. Diketahui bahwa semua virus bergenom RNA mempunyai potensi untuk menghasilkan keragaman populasi yang sangat luas karena mereka mudah melakukan
108
kesalahan dan tidak memiliki pengkoreksi kesalahan selama replikasi dan memiliki waktu generasi yang singkat (Roossinek 2003, Mathews 1991). Adanya keragaman virus tersebut mengakibatkan beberapa varietas tahan yang telah dilepas menurun resistensinya (Olrn 1991). Oleh sebab itu evaluasi ketahanan varietas yang telah
dilepas hams terns dimonitor apakah resistensinya beturn berubah. Keberhasilan upaya monitoring terhadap resistensi tanaman ditentukan oleh ketersediaan metode deteksi virus. Salah satu cara untuk mendeteksi keberadaan virus pada suatu tanaman adaJah
melalui metode serologi seperti enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang bekerja berdasarkan pada reaksi antara antigen dengan antibodi (antiserum). Metode ini cukup sensitif, mudah dan relatif murah. Selain menggunakan metode serologi, deteksi
VlruS
tanaman dapat juga
dilakukan melalm teknik mo1ekuler misainya RT-PCR (Riws el 0/. 1992, Choi el 0/. 1999, Nakahara el 0/. 1999). Metode ini merupakan pengembangan metode PCR yaitu dengan pemimbahan enzim reverse transcriplase yang dapat merubah RNA menjadi eDNA. Metode RT-PCR telah terbukti dapat digunakan sebagai alat deteksi virus yang memiliki sensitivitas dan akurasi yang tinggi ( Singh ef al. 1995, Moury ef
al. 2004). Walaupun dernikian keberhasilan mendeteksi virus menggunakan- metode R T-PCR ditentukan antara lain oleh sekuen primer yang digunakan, metode ekstraksi RNA serta, optimasi reaksi PeR (denaturasi. primer anneling dan primer extension) (Innis and Gelfand 1990, Moury et 0/. 2005). Genom virus, yang dapat teramplifikasi melalui metode RT-PCR, dapat pula di ekstrak langsung dari tanaman yang terinfeksi. Metode ekstraksi dsRNA virus dari tanaman sakit dapat membuktikan asosiasi virus dengan jaringan sakit. Selain itu karakter genom virus, apakah monopartit atau muItipartit, dapat diketahui dengan mengamati jumlah pita dsRNA yang teriso1asi pacta gel agamsa. Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus tidak mudah dilakukan. Kernampuan virus membentuk strain barn cukup tinggi, sifat infeksi virus sistemik dan ketergantungan virus pada sistem metabolisme tanaman inang sangat tinggi. Oleh karena
itu tampaknya pengendalian virus,
termasuk
CMV dan
ChiVMV,
109
menggunakan varietas yang tahan adalah cara yang cukup baik dibandingkan pengendalian dengan pestisida. Beberapa keuntungan menggunakan varietas resisten adalah tidak memerlukan keterampilan khusus. mudah dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan (Fraser 1992). Di sisi lain sulitnya mendapatkan varietas yang tahan merupakan kendala tersendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sembi Ian
kultivar yang diuji tidak satu pun yang tahan terhadap infeksi CMV dan ChiVMV. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi reaksi kompatihei aotara virus dengan tanaman yang berarti ada pengenalan antara virus (virus-coded factor) dengan taoaman (plant-coded he/per jac/or), sehingga kultivar tersebut mampu diinfeksi oIeh virus (Fraser 2000). Walaupun demikian ada beberapa kultivar yang menunjukkan respon toleran terhadap CMV dan ChiVMV yaitu Tit Super, Cilibangi 5 dan Tampar yang masih mungkin ditingkatkan ketahanannya dengan menyilangkan dengan tetua yang mempunyai gen ketahanan yang lebih baik. Usaha lain untuk memperbaiki ketahanan kultivar tersebut adalah meialui perlakuan PGPR. Rhizobacleria adalah bakteri pengkolonisasi daerah perakaran (Briemcombe
2001).
Telah
banyak
dilaporkan
efektivitas
aplikasi
PGPR
mengendalikan berbagai penyakit seperti bakteri, cendawan dan virus (Murphy 2000, Murphy el al. 2003, Ryu el al. 2004, Jetiyanon and Kloepper 2002). Keuntungan menggunakan metode pengendalian ini adalah secara ekologi aman dan aplikasi dapat dilakukan hanya satu kali selama pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian membuktikan bahwa tanaman yang berasal dari benih yang diberi perlakuan PGPR menunjukkan respon pertumbuhan yang Iebih baik dibandingkan tanaman yang berasal dari benih tanpa perlakuan PGPR. Selain meningkatkan pertumbuhan tanaman isolat-isolat PGPR yang digunakan di dalam studi ini mampu menginduksi ketahanan tanaman,
sehingga tanaman mampu
mereduksi atau menekan kejadian penyakit dan munculnya gejala ketika ada infeksi virus. Hal tersebut tampak pada perlakuan benih khususnya menggunakan isolat BPT2H dan BPT3G dimana kejadian penyakit dan akumulasi virus di dalam tanaman cukup tinggi, tetapi bobot buah yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan kontrol sehat. Hasil peneIitian ini sejaJan dengan yang telah dilaporkan oleh Murphy el al.
110
(2003) bahwa perlakuan tanaman tomat dengan Rhizobacleria (PGPR) menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih besar. 8eberapa peneliti melaporkan adanya
reduksi gejala dan induksi ketahanan setelah diberi perlakuan PGPR( Press e/ al 2001, Cook e/ al. 2002, Murphy et al. 2000). Zehnder et al. (2001) melaporkan bahwa aplikasi PGPR di rumah kaca dan di lapang selama 2 tahun menyebabkan reduksi perkembangan gejaJa penyakit yang disebabkan oleh CMV dan tomato motile
virus pada tanaman tornal.
Induksi ketahanan sistemik dipicu oleh salah satu signal penginduksi yaitu asam salisilat (SA) (Kloepper e/ al 1992, Press et al 1997). Banyak bukti menunjukkan bahwa SA memainkan peran kunci sebagai signal ketahanan sistemik terinduksi (SAR) terhadap penyakit. Konsentrasi SA ditemukan meningkat beberapa
kali pada tembakau atau ketimun setelah infeksi patogen susulan yang diakhiri dengan SAR (Metraux ef at. 1990, Rasmussen et al. 1991). Hasil ini sesuai dengan
penemuan bahwa aplikasi SA secara eksogenus dapat menginduksi ketahanan tanaman (Vemooij et al. 1995, Faize et al. 2004). Asam salisilat adalah salah satu senyawa yang mengindikasi respon pertahanan tanaman yang telah dibuktikan dengan baik oleh Gaffney et a.1 (1993). Mereka menggunakan tanaman transgenik tembakau yang mengekspresikan gen Nah. yang berfungsi mengkode enzim hidroksilase yang diisolasi dari Pseudomonas pulida yang akan mengkonversi asam salisilat menjadi katekol. Tentu saja tanaman transgenik tersebut tidak akan mampu mengakurnulasi
asam
salisilat
dan
menghambat
pembentukan
PR-protein
(pathogenesis related protein) yang dapat digunakan untuk melawan infeksi patogen. Lebih jelas dilaporkan oleh Gavney et al. (1993) bahwa akumulasi asam salisilat akibat infeksi pertama adalah instrumen untuk mengaktivasi gen-gen yang mengkode PR-protein. Meskipun demikian mekanisme ketahanan yang diaktivasi oleh PGPR belum sarnpai pada satu kesimpulan yang sarna. Namun hasil dari beberapa penelitian menunjukan bahwa ada akumuJasi senyawa tertentu seperti asam salisilat, }(umonic
acid, etilen dan lipopolisakarida untuk mengaktivasi gen-gen ketahanan tanaman akibat adanya agen penginduksi (non patogen), patogen atau situasi cekaman. Vanacker et al. (2001) meiaporkan bahwa SA berinteraksi dengan multiple receptor
III
atau signal Iintasan uotuk mengendalikan perkembangan sel dalam keadaan nonnal, serangan patogen dan/atau situasi cekarnan.
Strategi Pengendalian CMV dan ChiVMV secara Terpadu Berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh CMV dan ChiVMV yang menyerang pertanaman cabai maka strategi pengendalian yang tepat untuk diterapkan adalah pengendalian secara terpadu dengan penekanan menggunakan tanaman yang tahan atau toleran dan perlakuan POPR. Meskipun penekanan dilakukan pada kultivar tahan dan PGPR pengendalian
oamun diperlukan
kutudaun dengan
kombinasi pengendalian khususnya pada
insektisida selektif. pengaturan pola taDam,
penggunaan senyawa kimia antiviral dan eradikasi sumber inokulum potensial. Pengendalian serangga vektor dapat dilakukan dengan menggunakan cara budidaya tanaman ataupun secara langsung menggunakan insekstisida selektif atau cendawan entomopatogen. Parker el at. (2002) membuktikan bahwa penyemprotan triazamate dan perlakuan Metarhizium anisopliae (Metschen) efektif menekan populasi kutudaun pada pertanaman di lapang melalui pengaturan waktu aplikasi. Secara umum pengaturan pola tanam merupakan metode yang telah banyak digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit tumbuhan di lapang. Diharapkan metode ini paling tidak dapat memutuskan siklus hidup patogen atau mengurangi sumber inokulum sehingga dapat mengurangi laju perkembangan penyakit di lapang. Penanaman satu jenis tanaman selama dua atau tiga kali secara berturut-turut adalah tindakan yang kurang tepat. Selain itu mengurangi atau membatasi penanaman kultivar cabai yang rentan atau sangat rentan seperti Tit Segitiga, Cilibangi 4, dan Tit bulat secara monokultur atau menanam kultivar cabai yang sarna dalam areal yang luas merupakan langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya epidemi. Tumpang sari cabai dengan tanaman yang lebih tinggi (tanaman sela atau pembatas) seperti jagung dilaporkan efektif menekan populasi kutudaun. Hal tersebut disebabkan kutudaun viruliferus mungkin akan singgah (fly offJ pada tanaman jagung sebelum ke pertanaman cabai. Jika kemudian kutudaun tiba pada pertanaman cabai
112
mereka mungkin telah kehilangan virus yang dibawahnya (non persisten) ketika melakukan kegiatan probing atau makan palla tanamanjagung (Hull 2002).
Jika sumber inokulum dan serangga vektor sulit dieradikasi maim ada tiga pendekatan yang dapat digunakan yaitu: proteksi silang, senyawa kirnia antiviral dan
proteksi genetik melalui varietas tahan yang diperoleh seeara konvensional atau nonkonvensional (Hull 2002). Penggunaan strain lemah dapat juga digunakan untuk melindungi tanaman dari infeksi virus meskipun metode tersebut perlu rekomendasi yang kuat karena adanya dampak negatif yang tidak diingiukan seperti strain lemah dapat mereduksi hasil 5-10% dan strain lemah dapat berubah menjadi strain yang kuat pada beberapa tanaman. Meskipun demikian pengendalian citrus trisle=a viros adalah contoh sukses menggunakan metode tersebut (Garnsey et at. 1998). Kombinasi berbagai metode pengendalian seperti diuraikan di atas diharapkan
dapat melindungi tanaman cabai daTi infeksi CMV dan
ChiVMV. Penekanan
pengendalian pada kultivar resisten atau toleran dan aplikasi PGPR menjanjikan uotuk digunakan sebagai strategi pengendalian untuk diimplementasikan dalam low-
input sustainable agriculture (Kloepper et at. 1992).