251
BAB VIII RINGKASAN HASIL DAN PEMBAHASAN UMUM 8.1 Ringkasan Hasil Kondisi biofisik wilayah dan sosial ekonomi masyarakat DAS Ciliwung Hulu adalah sebagai berikut : a. DAS Ciliwung Hulu merupakan dataran tinggi dengan variasi kelerengan kemiringan kelerengan yang tinggi dan didominasi oleh lahan dengan kemiringan bergelombang s/d sangat curam (>15%) dicirikan oleh sungai pegunungan berarus deras pada musim hujan dengan curah hujan tergolong tinggi > 2.700 mm/tahun b. Keadaan tahun 1992-2009, penutupan lahan (land cover) hutan mempunyai kecenderungan penurunan dengan laju 1,95% per-tahun dan di lain pihak terdapat peningkatan luas lahan permukiman (lahan terbangun) dengan laju 12,34% per-tahun. c. Pemanfaatan kawasan DAS Ciliwung Hulu berupa kawasan hutan (28,76%), kawasan perkebunan (20,05%), eks-perkebunan 2,55%, dan lahan milik 48,64%.
DAS Ciliwung Hulu telah dimanfaatkan untuk kegiatan
pemanfaatan jasa wisata dan budidaya pertanian intensif sehingga mendorong terjadinya alih penguasaan lahan. Sebagian kawasan perkebunan dan eksperkebunan tersebut sudah dirambah dan dikuasai masyarakat dan telah mengalami alih penguasaan lahan sehingga sebagian besar lahan (70-80%) telah dikuasai oleh masyarakat di luar DAS Ciliwung Hulu. d. Sumberdaya alam DAS Ciliwung Hulu telah mengalami degradasi yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas air Sungai Ciliwung Hulu dan laju erosi tanah melebihi laju erosi yang diijinkan (tolerable erosion). e. Kondisi sosial dengan laju pertumbuhan penduduk 2,74% per tahun, mata pencaharian penduduk didominasi oleh sektor jasa (47,06%) dan perdagangan, hotel dan restoran (41,25%), sedangkan sektor pertanian sebesar 5,78%. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah didominasi pendidikan SD dan tidak tamat SD sebesar 62,86%.
252
f. Penguasaan lahan oleh masyarakat lokal berupa lahan milik seluas 0,12 ha dan lahan garapan 0,27 ha.
Kepemilikan lahan oleh masyarakat luar DAS
Ciliwung Hulu sebesar 70-80%. Kondisi saat ini nilai indeks keberlanjutan keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu sebesar 47,23 (<50,00) atau berstatus kurang keberlanjutan berarti kinerja pengelolaan Ciliwung Hulu DAS buruk. Dimensi ekonomi dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi mempunyai kinerja cukup berkelanjutan sedangkan tiga dimensi lainnya dimensi ekologi, dimensi sosial, dan dimensi kelembagaan menunjukkan kurang berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan tersebut terbesar berasal dari dimensi ekologi nilai bobot 36,28% dan nilai tertimbang 16,23. Dimensi ekologi memiliki nilai yang lebih penting daripada dimensi lainnya dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Status pengelolaan DAS Ciliwung kurang berkelanjutan disebabkan oleh institusi lokal DAS Ciliwung Hulu tergolong lemah karena tidak efektif dalam mengatur pilihan strategi dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan DAS yaitu tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kinerja yang dicapai dalam pengelolaan DAS, yaitu : a. Tingkat kesejahteraan masyarakat lokal termasuk miskin. b. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah. c. Sumberdaya lahan mengalami degradasi yang tinggi ditunjukkan oleh tingkat erosi tanah melebihi tingkat erosi yang diijinkan (tolerable erosion). d. Debit air sungai Ciliwung Hulu tidak stabil (fluktuatif) dengan koefisien rejim sungai (KRS) selama 20 tahun terakhir 151,64 atau lebih besar dari 100 (kondisi DAS buruk). e. Kualitas air Sungai Ciliwung tergolong tercemar berat terutama diakibatkan kandungan BOD sangat tinggi. Penyebab tidak efektifnya institusi lokal adalah aturan main yang digunakan (rule-in-use) baik berupa aturan non-formal maupun aturan formal tidak mampu mengatur perilaku dan pilihan strategi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya di DAS Ciliwung Hulu. Kegiatan RHL dan pengelolaan sumberdaya air, sumberdaya lahan dan perkebunan tidak efektif meningkatkan fungsi DAS karena kebijakan tersebut tidak menyentuh akar permasalahan yaitu pengaturan/penataan hak kepemilikan atas lahan (property right of land). Lahan
253
milik dan lahan garapan sebesar 70-80% dikuasai masyarakat luar DAS. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan DAS belum mengatur/menata kewajiban pemegang hak atas lahan. Hak dan kewajiban pemegang hak privat atas lahan perlu diatur secara seimbang karena dapat mempengaruhi fungsi lahan secara umum terhadap proses hidrologi di dalam sistem DAS. Permasalahan yang dihadapi bersama masyarakat lokal DAS Ciliwung Hulu adalah rusaknya ekologi DAS sehingga fungsi DAS sebagai pengatur hidrologi semakin berkurang. Kondisi ini mengakibatkan ketersediaan air permukaan tanah dan air bawah tanah semakin berkurang sehingga masyarakat lokal mengalami kekurangan pasokan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada musim kemarau. Kondisi demikian mendorong kesadaran bersama masyarakat lokal untuk melakukan aksi bersama (collectice action) meningkatkan perbaikan lingkungan dengan mempertahankan penutupan hutan, rehabilitasi lahan dan kiri-kanan alur sungai dengan tanaman pohon. Berdasarkan hasil analisis aktor di DAS Ciliwung Hulu ternyata terdapat lima aktor kunci yang berperan penting pengaruhnya terhadap rendahnya nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu yaitu : a. Masyarakat luar yang menguasai lahan milik maupun lahan garapan di DAS b. c. d. e.
Ciliwung Hulu. Bappeda Kabupaten Bogor. Biyong (makelar tanah). Pengusaha lokal untuk produk pertanian/kehutanan. BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi (Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Kehutanan).
Pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu ditentukan oleh 5 (lima) faktor kunci yaitu (n) alternatif pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian, (w) pemanfaatan jasa wisata untuk pengembangan ekonomi wilayah, (v) perubahan penutupan lahan bervegetasi menjadi non vegetasi maupun menjadi lahan terbangun, (s) kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, kehutanan.dan pertanian, dan (k) kapasitas koordinasi organisasi pemerintah. Model abstrak kualitatif pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu adalah P = f (n, w, v, s, k). Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS merupakan hasil interaksi faktor-faktor kunci dan
254
pengembangan kebijakan dilakukan melalui intervensi atau peningkatan kinerja terhadap kelima faktor kunci tersebut. Skenario yang paling realistis dan memungkinkan dapat dilaksanakan secara terintegratif adalah Skenario II (moderat) dan mampu meningkatkan indeks keberlanjutan menjadi 51,84 (cukup berkelanjutan). Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dilakukan melalui peningkatan pendapatan dari kegiatan non-pertanian tanaman pangan (n), menjaga kelestarian pemanfaatan jasa wisata (w), mengendalikan tingkat perubahan penutupan lahan menjadi lebih rendah (v), menjaga dan meningkatkan kualitas kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan (s), dan meningkatkan kapasitas koordinasi instansi pemerintah (k) menjadi setingkat lebih baik. Rangkuman hasil analisis pengelolaan DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32 Rangkuman hasil analisis pengelolaan DAS Ciliwung Hulu
255
8.2 Pembahasan Umum Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu merupakan daerah yang telah mengalami perubahan biofisik akibat pesatnya perkembangan pembangunan di wilayah lokal maupun wilayah perkotaan di sekitarnya. Dampak pembangunan wilayah perkotaan tersebut telah mendorong meningkatnya permintaan terhadap kebutuhan pokok sehingga pengelolaan lahan pertanian semakin intensif dan cenderung eksploitatif. Aktivitas pertanian telah didorong untuk meningkatkan produksi bahan pangan, sayuran dan buah-buahan. Produk bahan pangan tersebut diperjualbelikan di wilayah Kota Bogor, Kabupaten Bogor maupun DKI Jakarta dan sekitarnya. Disamping aktivitas pertanian tersebut, permintaan jasa wisata semakin meningkat seiring dengan tingginya aktivitas ekonomi di wilayah perkeotaan diantaranya Kota Bogor, Depok, Jakarta dan wilayah sekitarnya. Aktivitas wisata yang telah berkembang dan dimanfaatkan masyarakat dari wilayah sekitar Bogor dan DKI Jakarta dan sekitarnya berupa wisata alam (ekowisata) maupun wisata buatan dan kombinasi keduanya.
Tahun 2008,
aktivitas wisata di DAS Ciliwung Hulu telah menarik pengunjung lebih dari 50% dari jumlah kunjungan wisatawan di Kabupaten Bogor. 8.2.1 Kondisi Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu Sebagai wilayah tujuan wisata, DAS Ciliwung Hulu dikenal dengan wilayah wisata Puncak. Wilayah Puncak memiliki lansekap dengan pemandangan yang bagus dan menarik, suhu udara sejuk s/d dingin, obyek wisata alami, maupun obyek wisata buatan yang khas. Dengan berkembangnya aktivitas wisata tersebut maka telah menarik minat masyarakat luar untuk memiliki lahan. Kondisi kepemilikan lahan di DAS Ciliwung Hulu sebesar 70-80% dimiliki masyarakat luar dan sisanya 20-30% dimiliki masyarakat lokal. Tingkat kepemilikan lahan masyarakat lokal sebesar rata-rata 0,28 ha/KK atau dari sampling responden lahan petani lokal rata-rata 0,12 ha berupa lahan milik dan 0,27 ha lahan garapan. Dengan tingkat penguasaan lahan seluas tersebut maka rata-rata diperoleh pendapatan keluarga Rp. 437.500,- per-bulan atau masih berada di bawah tingkat kebutuhan fisik minimum (KFM) sebesar Rp. 480.000,- per-bulan. Masyarakat DAS Ciliwung Hulu dalam kondisi kurang sejahtera.
256
Kepemilikan lahan mayoritas dikuasai
oleh masyarakat luar DAS
Ciliwung Hulu terutama DKI Jakarta, maka pengambilan keputusan terhadap pengelolaan lahan berada di tangan pemilik dari luar tersebut.
Lahan milik
masyarakat luar tersebut digarap oleh masyarakat lokal untuk budidaya tanaman pangan, dipinjamkan kepada masyarakat digarap untuk keperluan sosial, dikerjasamakan untuk usaha komersial tanaman sayuran dan buah-buahan, sebagian dibangun vila, wisma, hotel atau rumah peristirahatan lainnya, ataupun lahan dibiarkan terlantar menjadi “lahan gontai” ditumbuhi alang-alang. Lahanlahan milik masyarakat tersebut banyak yang dibiarkan dan bahkan sulit dilacak keberadaan pemiliknya dan bahkan sipemilik sudah pada generasi kedua (waris). Di lain pihak, keputusan pengelolaan lahan masih tetap berada di tangan pemilik yang berada di luar DAS Ciliwung Hulu tersebut. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya akses kepada pemilik lahan sehingga upaya koordinasi baik oleh pihak pemerintah lokal maupun kelompok tani sering mengalami kegagalan. Keadaan demikian mengakibatkan banyak “lahan gontai” dan upaya rehabilitasi dan konservasi di atas lahan ini sering mengalami kegagalan. Memperhatikan kondisi tersebut dalam upaya pengelolaan DAS Ciliwung Hulu, banyak kebijakan pemerintah dalam rangka menangani permasalahan belum efektif. Kebijakan pemerintah melalui Kepres/perpres mulai tahun 1967 s/d 2008 dan terakhir melalui Perpres 54 tahun 2008 belum menunjukkan
hasil yang
signifikan. Pelanggaran masyarakat terhadap kebijakan pemerintah antara lain berupa pembangunan permukiman secara illegal di dalam kawasan lindung maupun di atas lahan eks-perkebunan maupun lahan perkebunan yang masih aktif. Kebijakan penataan ruang tidak ditindaklanjuti dengan implementasi program nyata di lapangan. Program pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak mampu menjawab permasalahan yang dihadapi. Program-program tersebut tidak menjawab terhadap akar permasalahan dan tidak dilakukan koordinasi dengan pelaku kunci dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Kebijakan masih bersifat teknis dan mekanis sedangkan permasalahan lapangan lebih bersifat sosial dan ekonomis. Hal ini mengakibatkan kebijakan pemerintah dalam menangani permasalahan buruknya kinerja DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah tangkapan air (DTA) tidak efektif.
257
Kebijakan publik yang ditempuh oleh pemerintah melalui pendekatan sektoral telah menimbulkan fragmentasi terhadap permasalahan di lapangan. Kebijakan pemerintah melalui pendekatan sumberdaya air telah menimbulkan dissinergi dengan sektor lainnya. Melalui UU 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan PP 42 tahun 2008 telah mengamanatkan bahwa pengelola sumberdaya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya air. Kegiatan pengelolaan air meliputi air yang berada pada, di atas, maupun di bawah permukaan tanah maupun air hujan (PP 20 tahun 2006 pasal 1) mencakup kegiatan konservasi SDAir, pendayagunaan SDAir dan perlindungan, pengendalian daya rusak air dan sistem informasi SDAir (pasal 5). Pengelolaan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan (pasal 3 dan pasal 11 UU No. 7/2004). Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai dan air tanah pada cekungan air tanah. (pasal 12 ayat 1-2). Penetapan wilayah sungai ditentukan melalui keputusan Presiden setelah memperhatikan pertimbangan Dewan SDAir Nasional. Pengelolaan SDAir mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air dilakukan melalui wadah koordinasi yaitu Dewan SDAir (pasal 85-86). Pasal 88 ayat 86, wadah koordinasi yang bersifat multisektoral dan multipelaku ini menilai bahwa dengan koordinasi dalam wadah Dewan SDAir sudah cukup. Pengelolaan SDAir tidak didasarkan pada karakteristik ekosistem DAS yang salah satu komponen penyusunnya adalah SDAir dan sumberdaya manusia komponen pelaku terpenting di dalam DAS. DAS merupakan wilayah dengan keterkaitan hubungan hidrologi antar wilayah DAS. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pengelolaan SDAir cukup dilaksanakan secara sektoral, dan tidak perlunya penyusunan rencana pengelolaan berbasis ekosistem wilayah. Belum ada komitmen antar sektor dan antar pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam di dalam DAS dengan berpedoman pada rencana bersama yang dipedomani oleh berbagai sektor dan pelaku Berdasarkan wilayah spasialnya pengelolaan SDAir mencakup seluruh wilayah daratan dan juga merupakan wilayah pengelolaan DAS. Keberadaan SDAir secara spasial berada di dalam sumber air yaitu tempat atau wadah air alami dan / atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan air (pasal 1). Pemahaman pengelolaan sumber air tersebut dimaknai serupa atau
258
mirip dengan daerah aliran sungai (DAS) dan dipandang DAS merupakan salah satu sumber air. Pemahaman demikian mengakibatkan pandangan bahwa pengelolaan air adalah juga pengelolaan DAS. Hal ini menghasilkan persepsi bahwa pengelolaan SDAir Terpadu adalah sama (identik) dengan pengelolaan DAS Terpadu. Persepsi ini bertentangan dengan pandangan DAS sebagai satu ekosistem dengan faktor interdependensi berupa proses hidrologi. Di dalam ekosistem DAS terdapat komponen SDLahan, SDAir, dan terutama SDManusia. SDAir merupakan salah satu komponen di dalam sistem DAS. Dengan pemahaman demikian maka unsur SDAir lebih dominan daripada ekosistem DAS yang di dalamnya terdapat manusia yang lebih dinamis dan pelaku DAS. SDManusia sebagai pusat tujuan layanan, air bukan sebagai tujuan tetapi sebagai komoditas layanan. Perencanaan pembangunan berbasis ekosistem dalam Satu Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu yang tidak terwujud atau pembangunan bersifat sektoral maka cenderung pemanfaatan SDAlam secara eksploitatif. Perilaku pelaku kebijakan sektoral disajikan pada Gambar 33.
Komponen DAS
Perilaku Sektoral
SD Lahan
PPLBB
SD Air
RP-SDA RP DAS Terpadu
SD Energi dan Mineral
KP-KP
SD Hutan, Flora Fauna
RHL, RPKPHP, RPKPHL, RPKPHK
SD Lainnya
Rencana Tata Ruang Wilayah SD Manusia Catatan : PLPPB RP-SDA RKP-HP, HL, HK KP
Posisi RPDAS Terpadu
= = = = =
Rencana Tata Ruang Wilayah
Dampak
- Tidak ada keterpaduan tetapi sektoral - Pemanfaatan SDaya sektoral maksimal (eksploitatif) - Dampak negative sektoral tidak tertangani - Degradasi SD lahan, SDAir, SDUdara - Pemberdayaan SDManusia tidak tergarap - Akuntabilitas DAS tidak jelas, karena lebih sektoral - Kelembagaan buruk.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Rencana Pengelolaan SDAir Rencana Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Hutan Konservasi Kuasa Pertambangan Dicakup
Gambar 33 Perilaku pelaku kebijakan sektoral dalam pengelolaan DAS
259
Peraturan pemerintah 38/2007 tentang Pembagian urusan pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota telah memberikan kewenangan kepada penyelenggaran urusan subbidang kehutanan di pusat untuk menyusun Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Berdasarkan PP tersebut maka telah diterbitkan peraturan Menteri Kehutanan nomor P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu dan P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu telah menguraikan secara rinci cakupan dan lingkup pengelolaan terpadu menyangkut pengelolaan SDLahan, SDAir, SDRuang, SD energi dan sumberdaya mineral, peningkatan pemberdayaan masyarakat serta mekanisme hubungan hulu-hilir terkait dengan permasalahan banjir dan manfaat dari pengelolaan SDAir dan keterpaduan lainnya. Peraturan Menteri Kehutanan tidak bisa mengikat antar kementerian atau lembaga tinggi lainnya sehingga hanya operasional di dalam lingkup Kementerian Kehutanan.
Hal yang sama, tidak ada undang-undang yang berada di atas
undang-undang lainnya. Hal ini mengakibatkan tidak terbentuknya Rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang mengikat antar lembaga tetapi hanya mengikat dan berlaku di dalam lingkungan Kementerian Kehutanan. operasional
pentingnya
perencanaan
terpadu
dalam
Untuk lebih
pengelolaan
multi-
sumberdaya alam dan SDM di dalam DAS atau SDAir maka diperlukannya persamaan persepsi dari aspek keilmuan dan aspek komitmen bersama terhadap kondisi ekosistem SDAlam yang sedang mengalami degradasi.
Hal ini
membutuhkan komitmen bersama antar disiplin ilmu pengetahuan maupun antar pelaku sektoral terhadap pengelolaan SDAlam berbasis ekosistem DAS atau berdasarkan komoditas SDAir. Perilaku pelaku kebijakan sektoral seharusnya dipadukan melalui perencanaan pengelolaan dalam wadah satu Sistem Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Dalam implementasinya dikoordinasikan bersama oleh Kementerian Perekonomian dan Bappenas sehingga tidak ada lagi perencanaan sektoral yang tanpa wadah multisektoral dengan memperhatikan karakteristik ekosistem
260
wilayah. Kelebihan Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu adalah adanya upaya bersama dalam mengendalikan degradasi sumberdaya alam atau eksternalitas akibat kegiatan sektoral mulai dari tahap perencanaan sampai implementasinya. Kelebihan lain adalah adanya pemberdayaan SDM dilaksanakan terpadu oleh sektoral, akuntabilitas pengelolaan DAS lebih jelas, kelembagaan tertata dengan baik dan jelas serta dimungkinkannya implementasi cost sharing maupun payment environmental service (PES) dalam pemanfaatan SDAlam.
Mekanisme dan
kelebihan RPDAS Terpadu disajikan pada Gambar 34. Komponen DAS
Perilaku Sektoral
SD Lahan
Posisi RPDAS Terpadu
PLPPB
Dampak
- Pemanfaatan SDaya
RPSDA
SD Air
-
KP-KP SD Energi dan
RP DAS Terpadu
SD Hutan, Flora Fauna
RHL, RPKPHP, RPKPHL, RPKPHK
RPSDLainnya
SD Lainnya SD Manusia
-
-
-
Rencana Tata Ruang Wilayah
Rencana Tata Ruang Wilayah
-
sektoral optimal (konservatif) Dampak negatif dikendalikan dari awal secara bersama Degradasi SD lahan, SDAir, SDUdara bisa dikendalikan Pemberdayaan SDManusia menyatu dengan RP-sektoral Akuntabilitasi DAS jelas, karena saling lintas sektoral Mekanisme Cost Sharing maupun PES Kelembagaan Baik dan Jelas.
Gambar 34 Perilaku pelaku kebijakan dalam satu Sistem Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Rencana Pengelolaan DAS Terpadu tersebut seharusnya hanya memuat rencana kegiatan yang bersifat inter-sektoral (antar sektor) dan multi-sektoral sedangkan murni-sektoral diterjemahkan perencanaannya oleh instansi sektoral. Perencanaan inter-sektoral dan multi-sektoral merupakan hasil koordinasi,
261
integrasi, sinkronisasi dan sinergisitas yang menjadi tugas bersama antar sektor. RPDAS Terpadu disusun dengan basis spasial, suatu wilayah di dalam DAS dilakukan kegiatan tertentu dan tata waktu yang jelas. Beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan RPDAS Terpadu adalah : a. Memenuhi kebutuhan multisektoral terhadap sumberdaya yang dikelola (sasaran2 pencapaian bersifat holistik). b. Rencana kegiatan disusun berbasis spasial (where). c. Program kegiatan antar-sektor (what). d. Pelaku sektoral atau perorangan/kelompok (who mencakup level pelaku s/d masyarakat lokal). e. Penanganan eksternalitas dari kegiatan dampak sektoral (controlling antar sektor). f. Tata waktu pelaksanaan (when : kesesuaian waktu / kesinambungan antar komponen). g. Pendanaan kegiatan multi/inter-sektoral (fund : pendanaan sektoral dan pendanaan bersama untuk memperoleh efisiensi). h. Kelembagaan berupa aturan main, wadah koordinasi, sistem insentif dan pengaturan lainnya (how). i. RPDAS Terpadu dapat bersifat kompleks s/d semi kompleks, sedangkan rencana sektoral disusun lebih sederhana (simple : mudah disusun oleh perencana dan mudah dilaksanakan bagi pelaksana kebijakan). Materi perencanaan DAS Terpadu mencakup a) rencana sumberdaya lahan yang dikelompokkan ke dalam wilayah hilir, tengah dan hulu; b) rencana sumberdaya ruang, mencakup alokasi ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di dalam DAS, c) rencana pengendalian dampak negatif sektoral, d) rencana rehabilitasi DAS, e) pengembangan perkebunan rakyat, f) rencana kelola sosial (pemberdayaan masyarakat), g) pendanaan (inter dan multi sektoral) dan h) pengaturan kelembagaan yang diperlukan (wadah koordinasi, evaluasi bersama, sistem akuntabilitas kegiatan bersama, sistem insentif, payment environment
262
service (PES), sharing pendanaan hulu-hilir, partisipasi masyarakat, legalisasi dokumen hasil perencaaan bersama). Kerangka materi RPDAS Terpadu disajikan pada Gambar 35
Sektor A
Sektor E
Sektor B
Sektor D
Sektor C
Keterangan : Inter-sectoral (antar sektor) Cross-sector / multi-sektoral
Murni sektoral (kegiatan disusun oleh masing-masing sektor)
Gambar 35 Kerangka isi rencana pengelolaan DAS Terpadu
8.2.2 Kerangka Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu didasarkan pada 5 (lima) faktor kunci dan 5 (lima) aktor kunci agar pengelolaan DAS Ciliwung menjadi berkelanjutan. Kelima faktor tersebut adalah (1) alternatif pendapatan petani dari
263
kegiatan non-pertanian, (2) pemanfaatan jasa wisata, (3) perubahan lahan menjadi lahan terbangun, (4) kapasitas koordinasi instansi pemerintah (5) kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Mengingat pengelolaan DAS bersifat kompleks dan mempunyai keterkaitan hidrologis maka pengelolaan yang disusun juga dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan mulai dari pemerintah, swasta maupun perorangan maupun kelompok masyarakat. Kelima aktor kunci adalah (1) pemilik lahan dari luar DAS Ciliwung Hulu, (2) biyong (makelar jual beli lahan),
(3) Bappeda Kabupaten Bogor, (4) pengusaha lokal
hasil pertanian, dan (5) BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi. Hubungan antara aktor dominan dan faktor penting dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dapat digambarkan ke dalam kerangka hubungan Gambar .... Aktor Kunci
Faktor Kunci
1. Pemilik lahan dari luar
1. Alternatif pendapatan
DAS Ciliwung Hulu
2. Biyong
A
F G
B C
H
dari kegiatan nonpertanian 2. Pemanfaatan jasa wisata
3. Pengusaha lokal produk tanaman pertanian
4. Bappeda Kab. Bogor
5. BP4K dan UPT BP3K
3. Perubahan lahan D
E I J K L M
menjadi lahan terbangun 4. Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah 5. Kegiatan penyuluhan
Wil. Ciawi Gambar 36 Hubungan antara faktor kunci dan aktor kunci dalam pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Berdasarkan Gambar 36, pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu mencakup hubungan antara faktor kunci dan aktor kunci sebagai berikut :
264
1. Peningkatan alternatif pendapatan dari kegiatan non-pertanian (hubungan A, B dan C).
Aktor kunci terkait adalah Pengusaha lokal produk tanaman
pertanian, Bappeda Kab. Bogor, dan BP4K dan UPT BP3K Wil. Ciawi. Pihak pengusaha
lokal
produk
pertanian
diharapkan
mampu
mendorong
pengembangan alternatif pendapatan dari kegiatan non-pertanian diantaranya usaha ternak sapi, kambing, kelinci, dan ojeg. Disamping pihak pengusaha lokal produk pertanian juga perlu didukung upaya pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan dalam bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan yang dilakukan oleh BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi. Kegiatan penyuluhan berupaya menyebarlaskan pengetahuan, teknologi, membangun persepsi, mendorong peningkatan kapasitas diri dan kelompok masyarakat lokal, serta menyerap program
berbasis non-pertanian yang
dibutuhkan oleh masyarakat lokal dengan teknologi tepat guna sesuai kapasitas masyarakat lokal.
Hasil penyerapan program yang dibutuhkan
masyarakat tersebut dikomunikasikan dengan instansi teknis Kabupaten Bogor terkait.
Peran Bappeda Kabupaten Bogor dibutuhkan dalam rangka
mengkoordinasikan perencanaan program pembangunan berdasarkan program kegiatan yang dibutuhkan masyarakat lokal.
Bappeda mengkoordinasikan
program kegiatan tersebut dengan seluruh instansi teknis terkait maupun UPT pemerintah pusat di daerah untuk merancang program secara terpadu dan dengan menyusun skala prioritas. 2. Pemanfaatan jasa wisata (hubungan D, E, F). Aktor kunci terkait adalah Bappeda Kab. Bogor, BP4K dan UPT BP3K Wil. Ciawi, pemilik lahan dari luar DAS Ciliwung Hulu. Pemanfaatan jasa wisata dibutuhkan perencanaan matang dan komitmen dari Bappeda Kab. Bogor mencakup perencanaan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Kegiatan pemanfaatan jasa wisata di DAS Ciliwung Hulu berupa jasa wisata konvensional (hiburan) maupun ekowisata.
Keadaan saat ini menunjukkan pada kondisi over-
capacity dengan melihat kondisi lalu lintas jalan yang macet, jalur BogorPuncak pada kondisi normal dapat ditempuh 0,5 sd/ 1 jam, pada hari-hari libur
265
bisa ditempuh dalam waktu 4-6 jam. Kemacetan tersebut terjadi pada jalur utama maupun jalur alternatif dari Kota Bogor ke wilayah Puncak. Pengembangan wisata berbasis ekologi yang baik maka dibutuhkan dukungan lanscape DAS baik berupa penutupan vegetasi / pohon maupun keutuhan alami. Lanscape yang baik hanya dapat didukung oleh ketersediaan lahan yang bisa dilakukan perbaikan penutupan lahannya yaitu lahan milik maupun lahan garapan yang dikuasai oleh masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu. Penutupan lahan yang baik maka dapat mendukung kegiatan ekowisata serta menjaga iklim mikro yang lebih baik dan menjaga daya tarik wisata di wilayah Puncak maupun menjaga daerah tangkapan air di wilayah hulu. Dalam upaya meningkatkan penutupan lahan tersebut maka peran BP4K dan UPT Wilayah Ciawi berperan penting mengkomunikasikan program pemeliharaan DAS Hulu dan memperoleh dukungan kepada masyarakat lokal. 3. Perubahan lahan menjadi lahan terbangun (hubungan G, H, I dan J). Aktor kunci terkait dalam pengendalian perubahan lahan menjadi lahan terbangun adalah Pemilik lahan dari luar DAS Ciliwung Hulu, Biyong, Bappeda Kab. Bogor, BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi. Alih kepemilikan lahan milik maupun lahan garapan dari masyarakat lokal maupun antar masyarakat luar DAS Ciliwung Hulu melibatkan peran Biyong. Peran Biyong sangat besar dalam transaksi jual beli lahan milik maupun lahan garapan ini. Bappeda berwenang dalam mengkoordinasikan hak dan kewajiban dalam pengaturan kepemilikan lahan. Lahan berfungsi sosial (pasal 6 UU Pokok Agraria No. 5/1960)
sehingga
kepemilikan
lahan
secara
privat
berkewajiban
menghindarkan penggunaan lahan yang secara sosial tidak dapat diterima (avoidance of socially unacceptable uses) (Hanna et al. 1995).
Pengakuan
hak oleh pemerintah yang dilakukan BPN disesuaikan dengan arahan fungsi ruang RTRW Kab. Bogor (PP No. 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Bappeda Kabupaten Bogor berwenang mengkoordinasikan dalam mengatur kewajiban pemegang hak dalam penggunaan / pemanfaatan lahannya. Dalam transaksi alih kepemilikan lahan dan proses penggunaan
266
lahan maka pemilik lahan diwajibkan sesuai dengan arahan penggunaan ruang dan kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor di wilayah tersebut yaitu agar menjaga fungsi lindung kawasan serta dalam pemanfaatan lahannya agar dilakukan dengan tindakan konservasi lahan. Lahan-lahan milik orang luar DAS Ciliwung Hulu perlu didorong dengan kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran dan kewajiban pihak pemilik atau penguasa lahan untuk melakukan kegiatan konservasi tanah dan air. BP4K dan UPT BP3K Wilayah Ciawi berperan besar untuk mendorong kesadaran konservasi ini dengan melibatkan pihak yang terkait di lapangan. Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara terpadu agar dapat diwujudkannya keseimbangan antara hak atas lahan dan kewajiban pemilik lahan untuk memelihara fungsi lahan secara sosial. Penanganan pengelolaan lahan milik ini maka dapat diupayakan 70% permasalahan DAS Ciliwung Hulu dapat ditangani karena hampir 70-80% kepemilikan lahan dikuasai oleh masyarakat DAS Ciliwung Hulu. 4. Kapasitas koordinasi organisasi pemerintah. Pihak terkait dengan hal ini adalah Bappeda Kabupaten Bogor (hubungan K).
Wilayah pemerintahan
Kabupaten Bogor juga mencakup DAS Ciliwung Hulu.
Wilayah
pemerintahan sebagai wilayah pembangunan berfungsi komplek yaitu wilayah ekonomi, wilayah sosial termasuk wilayah sosial politik, maupun wilayah ekosistem DAS.
Kegiatan perencanaan pembangunan wilayah pada era
desentralisasi selama ini lebih cenderung memperlakukan wilayah sebagai wilayah ekonomi dan wilayah sosial-politik. Sebagai wilayah ekonomi maka wilayah direncanakan pengembangnnya kedalam pusat-pusat pertumbuhan (nodal) dan wilayah pendukungnya (hinterland). Proses pembangunan wilayah ekonomi dalam implmentasinya ditarik oleh kepentingan sosial politik yaitu wilayah konstituen politik.
Kondisi ini mengakibatkan
perimbangan alokasi kegiatan pembangunan yang berbasis pada wilayah politik yaitu pemerataan program-program
pembangunan.
Penyusunan
rencana pembangunan yang mengakomodir kepentingan ekonomi dan sosialpolitik tersebut dapat menghambat penyusunan prioritas pembangunan
267
wilayah. Di satu sisi kondisi keuangan pemerintah terbatas, sementara itu program kegiatan pembangunan berbasis wilayah sosial-politik tersebar di wilayah yang luas. Prioritas kegiatan pembangunan menjadi kurang fokus pengelolaannya.
Dalam wilayah administrasi pemerintahan juga ada
keterkaitan antar wilayah dan sifatnya lintas wilayah kabupaten ataupun lintas provinsi yaitu wilayah dengan keterkaitan hidrologi DAS Ciliwung. Kompleksitas wilayah hidrologi mengaitkan hubungan antara wilayah hulu, tengah dan hilir; antar organisasi / perorangan, antar sektor maupun antar level pemerintahan.
Kompleksitas
wilayah
perencanaan
yang
mampu
mengakomodir wilayah pembangunan sebagai wilayah ekonomi, wilayah sosial ekonomi, dan wilayah ekosistem DAS Ciliwung ini maka dibutuhkan peningkatan kapasitas koordinasi organisasi pemerintah termasuk Bappeda Kabupaten Bogor yang lebih baik dari kondisi saat ini.
Peran Bappeda
sebagai organisasi pemerintah Kabupaten Bogor sangat sentral dalam mengkoordinasikan antar pelaku di DAS Ciliwung Hulu. 5. Kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan.
Pihak paling
berkompeten dalam hal ini adalah BP4K dan khususnya UPT BP3K Wilayah Ciawi (hubungan L dan M).
Kegiatan penyuluhan pembangunan yang
dilakukan oleh BP4K Kabupaten Bogor dan dengan dukungan UPT BP3K di 12 wilayah khususnya UPT BP3K Wilayah Ciawi.
Kegiatan penyuluhan
diarahkan pada upaya konservasi tanah dan air, peningkatan produksi pertanian, pengembangan budidaya perkebunan dan perikanan. Ke depan, kegiatan penyuluhan agar disinkronkan dengan permasalahan yang ada di DAS Ciliwung Hulu yaitu terkait dengan pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan laju perubahan lahan menjadi lahan terbangun.
Kegiatan
penyuluhan melakukan transfer ilmu pengetahuan dan transfer teknologi tepat guna serta dalam rangka pemberdayaan masyarakat mencakup peningkaan kapasitas
diri,
kapasitas
kelompok
maupun
peningkatan
kegiatan
perekonomian masyarakat. Umpan balik dari kegiatan penyuluhan adalah mampu menyajikan program kegiatan yang berasal kebutuhan masyarakat
268
lokal. Program kegiatan tersebut selanjutnya dikoordinasikan oleh Bappeda Kabupaten Bogor dengan instansi teknis terkait lingkup pemerintah Kabupaten Bogor maupun UPT pemerintah pusat di wilayah Kabupaten Bogor. Koordinasi ini diharapkan dapat dipertajam, disusun skala prioritas, serta tahapan program kegiatan pembangunan yang dirancang bersama. Program kegiatan yang diimplementasikan di wilayah DAS Ciliwung Hulu hendaknya program kegiatan yang sesuai dari program kebutuhan yang diusulkan dari masyarakat dan mendapatkan dukungan dari berbagai instansi teknis terkait. Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu ke depan agar lebih baik maka dibutuhkan pengelolaan kelima faktor kunci tersebut secara hati-hati dan lebih intensif.
Pengelolaan DAS agar lebih efektif
maka diperlukan koordinasi
pembagian tugas disesuaikan dengan tupoksi dan potensi masing-masing pihak dalam satu Sistem Pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Kondisi tersebut dapat diwujudkan jika kapasitas koordinasi semua instansi pemerintah maupun kapasitas Bappeda Kabupaten Bogor menjadi lebih baik (kapasitas koordnasi lemah ditingkatkan menjadi sedang). Koordinasi dilakukan antar sektor, antar pelaku, antar wilayah maupun antar level pemerintahan. Koordinasi yang baik diperlukan untuk
menyusun aturan
main
bersama
(rule-in-form)
guna
mewujudkan tujuan bersama dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Pengelolaan sumberdaya alam di dalam DAS dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat yang selama ini dilaksanakan secara sektoral sesuai tupoksi masing-masing sehingga lebih mengarah pada maksimalisasi tujuan sektoral. Dampak negatif dari sistem sektoral ini adalah tidak ada satu pihakpun yang mengelola dan mengendalikan eksternalitas negatif kegiatan sektoralnya masing-masing. Dampak negatif yang ditimbulkan tidak diperhitungkan dalam pendapatan net-sektoral dan hal ini berubah menjadi urusan (domain) publik. Kegiatan sektoral memberikan keuntungan maksimal bagi pelaku sektoral (benefit cost ratio atau BCR >1).
Namun di sisi lain pada wilayah publik maka
keuntungan tersebut bersifat negatif karena biaya sosial yang ditanggung publik lebih besar daripada yang diterimanya (cost C > benefit B).
269
Peningkatan
akuntabilitas
kinerja
sektoral
dalam
pengelolaan
berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dibutuhkan upaya transformasi ekonomi sektoral melalui upaya internalisasi 3 (tiga) faktor kunci ke dalam program antar sektor sektoral / dinas terkait secara terpadu. Program-program kegiatan yang direncanakan harus mencakup ketiga faktor kunci tersebut yaitu (1) pemanfaatan jasa wisata, (2) upaya pengendalian perubahan lahan menjadi lahan terbangun, dan (3) kegiatan produktif yang mampu memberikan peningkatan terhadap pendapatan masyarakat petani.
Kerangka terpadu pengembangan kelembagaan
pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 35.
Total B
B/C>1
Gambar 36 Kerangka pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu
270
Faktor kunci kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan yang bersifat transfer pengetahuan dan keterampilan (knowledge dan skill) perlu ditingkatkan kualitas dan diperluas bidang garapannya. Bidang materi penyuluhan yang diperluas tidak hanya menyangkut program-program sektoral pemerintah tetapi juga secara aktif menampung input program kebutuhan dari masyarakat. Kegiatan penyuluhan yang paling mendesak dengan permasalahan DAS Ciliwung Hulu diantaranya menyangkut pengendalian pertumbuhan penduduk, pengendalian perubahan lahan menjadi lahan terbangun, dan pengembangan kegiatan produktif bernilai ekonomi tinggi berbasis non-lahan lainnya. Upaya kordinasi dapat dibangun melalui pengembangan kelembagaan baru dengan beberapa perbaikan terhadap regulasi (aturan main) yang mengatur perilaku sektoral di dalam satu wadah kelembagaan Sistem Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu. Regulasi kelembagaan baru mengatur perilaku para pihak dan sektoral untuk melakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu dalam rangka optimalisasi pemanfaatan SDAlam untuk menunjang pembangunan berkelanjutan di dalam wilayah perencanaan DAS. Dalam upaya meningkatkan kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu maka instansi yang bertanggung jawab terhadap pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS harus memperhatikan ketiga faktor kunci (1) pemanfaatan jasa wisata, (2) perubahan lahan bervegetasi menjadi terbangun, dan (3) pendapatan petani dari kegiatan non-pertanian untuk melakukan transformasi ekonomi kedalam kegiatan sektoral sesuai tugas dan wewenang sektoralnya masing-masing dilakukan secara terpadu dalam satu kerangka Sistem Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu. Terhadap faktor (4) kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan maka pihak BP4K diupayakan peran, kapasitas dan kualitasnya agar ditingkatkan sehingga lebih efektif terhadap upaya transfer pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat petani maupun kelompok tani. Koordinasi oleh Bappeda Kabupaten Bogor dengan berbagai instansi terkait baik instansi horizontal maupun vertikal perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya sehingga program kegiatan yang dihasilkan mampu meningkatkan kinerja publik menjadi lebih baik. Upaya koordinasi juga perlu
271
ditingkatkan terhadap para pemilik lahan yang berdomisili di luar DAS Ciliwung Hulu melalui peningkatan peran Bappeda Kabupaten Bogor, SPKP/P4S dan kelompok tani lokal. DAS Ciliwung Hulu sebagai salah satu sumberdaya yang memiliki keterkaitan hidrologis dengan wilayah di hilir dan wilayah tengahnya juga memiliki karakteristik lahan yang dikuasai oleh masyarakat luar DAS. Agar pengembangan kebijakan pengelolaan DAS tersebut dapat berjalan dengan baik maka perlu diupayakan pengaturan kepemilikan lahan (property right of land) yang mengatur tentang hak dan kewajiban bagi pemegang pemilik atas lahan di DAS Ciliwung Hulu. DAS Ciliwung Hulu terdiri dari sekumpulan lahan dengan rejim kepemilikan negara (state property), kepemilikan pribadi (privat property), kepemilikan bersama (common property), maupun kepemilikan umum (public property). Sebagai wilayah hulu dengan prioritas sebagai fungsi perlindungan dan daerah tangkapan air (catchment area), penggunaan salah satu atau beberapa lahan privat dapat mempengaruhi kondisi dan fungsi kepemilikan secara bersama di dalam keterkaitan hidrologi DAS. Memperhatikan lahan di DAS Ciliwung Hulu dikuasai sebagian besar 70-80% oleh masyarakat luar, maka pengaturan hak kepemilikan (property right of land) merupakan dasar bagi berfungsinya pengembangan kebijakan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. 8.2.3 Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Wilayah Perkotaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu terletak di Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Kota Bogor dan berada 45 km dari Kota DKI Jakarta, secara normal rata-rata dapat ditempuh dari Kota Jakarta selama + 1 jam sehingga DAS ini dapat dikategorikan sebagai DAS Perkotaan yaitu DAS yang berada di wilayah perkotaan. DAS Ciliwung Hulu memiliki potensi kesuburan tanah, kondisi iklim memiliki udara sejuk sampai dingin, pemandangan (scene) indah dan banyak obyek wisata alam. Sebagai daerah wisata dengan 12 obyek wisata alami dan buatan
dan telah lama berkembang sejak 1960-an maka
prasarana jalan dan sarana transportasi angkutan perkotaan (angkot) telah berkembang sehingga antar titik-titik di wilayah tersebut sudah dapat dikunjungi oleh masyarakat dari luar wilayah. Keadaan tahun 2009-2011, sarana angkutan
272
berupa ojeg dapat dijumpai di setiap titik-titik persimpangan jalan, sehingga tidak ada kendala bagi masyarakat untuk mengunjungi setiap titik di wilayah ini. Nilai lahan sudah bergeser dari nilai ekonomi kesuburan lahan (Ricardian rent) menjadi bernilai ekonomi menurut jarak pusat perekonomian (locational rent).
DAS
Ciliwung dapat disebut sebagai DAS perkotaan karena memiliki karakteristik biofisik lahan lebih bernilai ekonomi, kepemilikan lahan masyarakat lokal sempit dan penguasaan lahan oleh masyarakat kota, kegiatan pertanian tidak bisa diandalkan sebagai sumber mata pencaharian keluarga petani, dan perubahan fungsi kawasan sempadan kiri-kanan sungai dari fungsi lindung menjadi kawasan permukiman. DAS perkotaan seperti karakter DAS Ciliwung Hulu yang umumnya kepemilikan lahan dikuasai oleh masyarakat perkotaan dan sebagian kecil oleh masyarakat lokal. Sebagian besar lahan dikuasai oleh masyarakat perkotaan sebagai bentuk investasi usaha atau untuk tujuan permukiman / peristirahatan maka sebelum lahan tersebut dimanfaatkan maka banyak dijumpai lahan tidur (lahan gontai). Penguasaan lahan di DAS perkotaan per-kepala keluarga (KK) yang sempit dibawah 0,5 ha sehingga kegiatan budidaya tanaman pangan tidak menjamin untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga baik berupa bahan pangan maupun biaya untuk kegiatan sosial lainnya. Kondisi demikian memaksa masyarakat petani lokal untuk mengembangkan alternatif pendapatan dari kegiatan non-pertanian atau off-farm diantaranya budidaya ternak sapi, domba, kelinci, budidaya sayur dan buah-buahan serta kegiatan ekonomi berbasis nonlahan lainnya. Dengan mengembangkan kegiatan alternatif ekonomi ini maka pendapatan keluarga petani semakin dapat ditingkatkan. Dalam melaksanakan usaha tani masyarakat cenderung eksploitatif dan bertani monokultur serta tidak menerapkan prinsip pertanian ramah lingkungan. Masyarakat lokal cenderung memiliki permukiman di kiri-kanan sungai karena lahan yang tersisa semakin sempit, mudah membuang limbah rumah tangga, serta kemudahan mencukupi kebutuhan air. Kondisi penutupan lahan umumnya berupa lahan terbuka tidak bervegetasi, semak dan alang-alang. Lahan di kiri-kanan sungai yang semula diperuntukkan bagi fungsi perlindungan dengan vegetasi bambu, buah-buahan, vegetasi perkayuan, perlindungan dari longsor dan sumber-sumber air telah diubah menjadi lahan permukiman atau lahan pertanian
273
intensif. Masyarakat kota yang memiliki lahan umumnya mengubah vegetasi untuk perlindungan dan lanscape perdesaan diubah menjadi pertamanan dengan penutupan rumput (lawn) dan mengganti dengan tanaman hias serta berubah menjadi lantai bersemen. Perubahan penutupan lahan menjadi lahan terbangun dan pertamanan memberikan efek negatif terhadap iklim mikro dan tidak berperan positif sebagai daerah tangkapan air (DTA). Konservasi tanah dan sumberdaya air tidak berjalan secara baik yang dicirikan oleh tingginya tingkat erosi, sedimen dan bahan-bahan terlarut, serta kualitas air sungai semakin tercemar. Dengan perubahan penutupan lahan tersebut maka fungsi perlindungan dari longsor semakin berkurang, alur sungai dan sumber-sumber air menjadi kering pada musim kemarau termasuk sumur-sumur masyarakat. Untuk mempertahankan DAS sebagai daerah tangkapan air (DTA) maka perlu dipertegas aturan dan implementasinya terhadap kepemilikan lahan oleh masyarakat perkotaan di wilayah hulu mencakup batasan luas kepemilikan lahan, ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), penanaman tumbuhan berkayu, pembuatan sumur resapan, kewajiban pemilik lahan selama belum dibangun (selama menjadi lahan tidur/lahan gontai), serta hak dan kewajiban lainya dalam upaya konservasi tanah dan air. Pengendalian pemanfaatan ruang terhadap bangunan-bangunan di wilayah hulu sebagai DTA perlu ditingkatkan implementasinya baik pada lahan milik maupun lahan garapan. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di dalam DAS maka perlu ditingkatkan peran pemerintah dengan mengembangkan alternatif pendapatan bagi masyarakat petani yang berasal dari kegiatan non-pertanian misalnya budidaya ternak sapi, domba, kelinci, bertani komoditi ekspor (buahbuahan dan tanaman hias), dan kegiatan ekonomis off-farm lainnya. Dengan kepemilikan lahan yang dikuasai oleh masyarakat luar (perkotaan) maka untuk meningkatkan fungsi DAS sebagai konservasi tanah dan air perlu ditingkatkan kapasitas koordinasi instansi pemerintah. Peran instansi teknis yang bertugas mengurusi konservasi tanah dan air sudah kurang tepat lagi karena permasalahan pada penguasaan lahan dan akses terhadap lahan untuk konservasi tanah dan air serta pemberdayaan masyarakat lokal. Kegiatan konservasi tanah dan air dilakukan melalui upaya rehabilitasi vegetatif harus mampu memberikan
274
tambahan alternatif pendapatan ekonomi keluarga petani dalam jangka pendek, dan mampu memperbaiki fungsi ekologi DAS dalam jangka panjang.