133
BAB VIII
PEMBAHASAN UMUM
Trend kebutuhan pasar dunia secara global akan buah jeruk yang dikonsumsi segar saat ini dan masa mendatang perlu memenuhi kategori buah yang tidak berbiji (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan mempunyai tipe mandarin dengan warna yang menarik (Khan 2008). Jeruk siam (Citrus nobilis Lour.) varietas Simadu adalah salah satu dari jenis jeruk batang atas komersial (scion) yang banyak dikenal di Indonesia. Akan tetapi buah jeruk tersebut masih mempunyai biji yang banyak (15-23 biji per buah) dan warnanya belum begitu menarik sehingga kalah bersaing dengan jeruk produk negara lain (Husni 2007). Untuk menghindari tekanan buah jeruk impor tersebut maka diperlukan sentuhan inovasi teknologi terhadap jeruk lokal tersebut
untuk meningkatkan kualitas buah sehingga dapat diterima dan
bersaing di pasar global. Raza et al. (2003) menyatakan bahwa untuk mendapatkan tanaman jeruk yang mempunyai karakter buah seedless pada tanaman jeruk dapat diperoleh dengan beberapa cara seperti; 1) persilangan secara seksual, 2) triploid spontan, 3) persilangan seksual tanaman jeruk yang diploid dengan yang haploid atau sebaliknya dan diikuti dengan penyelamatan embrio, 4) induksi mutasi, 5) kultur endosperma, 6) hibridisasi somatik dengan teknik fusi protoplas, dan 7) transgenik melalui rekayasa genetik. Fusi protoplas adalah penggabungan dua genom dari dua tetua sel somatik untuk menghasilkan hibrida. Melalui fusi protoplas dapat dilakukan hibridisasi antar spesies, interspesies dan intergenus terutama pada tanaman yang tidak bisa disilangkan secara konvensional (Grosser and Gmitter 2005). Hibrida yang dihasilkan dari
hibridisasi aseksual
berbeda konstitusi genetiknya dengan hibrida yang
dihasilkan dari persilangan secara seksual. Hibrida somatik yang dihasilkan dari fusi protoplas
bisa menghasilkan rekombinan genetik yang ada di sitoplasma selain
rekombinan dari inti sel. Peluang rekombinan yang dihasilkan dari hibrida somatik
134
lebih banyak dari pada hibrida seksual karena
rekombinan genetik dari hibrida
seksual hanya berasal dari inti saja tanpa adanya rekombinasi genetik dari sitoplasma. (maternal sitoplasmik). Teknik fusi protoplas pada tanaman jeruk sudah dimulai digunakan dalam perbaikan mutu genetik jeruk oleh Ohgawara et al. (1985) yang melaporkan keberhasilannya mendapatkan tanaman hibrida somatik dari dua genus yang berbeda antara C. sinensis dengan Poncirus tripoliata yang secara genetik inkompatibel. Berdasarkan keberhasilan tersebut maka teknik fusi protoplas mulai banyak digunakan untuk memperbaiki mutu genetik tanaman jeruk hingga saat ini. Grosser et al. (2000) melaporkan sedang menguji lebih dari 150 kombinasi jenis tetua yang berpotensial untuk jeruk batang atas dan batang bawah yang dihasilkan melalui fusi protoplas di pusat penelitian tanaman jeruk Florida, USA.
Guo et al. (2004)
melaporkan bahwa terdapat lebih dari 250 kombinasi dari 40 tetua jeruk hasil fusi protoplas saat ini. Jeruk mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.) merupakan jenis jeruk introduksi yang secara alami mempunyai sifat seedless dengan jumlah genom 2n=2x=18 (Kunitake et al. 1991; Spiegel-Roy and Goldschmidt 1996). Yamamoto et al. (1997) telah membuktikan melalui persilangan seksual dan silang balik bahwa pollen jeruk mandarin Satsuma adalah steril (MS) yang dikendalikan oleh gen yang ada di sitoplasmik yang disebut cytoplasmic male sterility (CMS). Untuk memindahkan sifat CMS dari mandarin Satsuma ke kultivar jeruk lainnya seperti siam Simadu sangat sulit dilakukan melalui pemuliaan konvensional yang disebabkan oleh adanya faktor inkopatibilitas, nusellus ployembrioni, dan masa juvenil yang lama. Oleh karena itu perlu dicari cara lain untuk memindahkan sifat seedless dari jeruk mandarin Satsuma ke kultivar jeruk siam Simadu. Salah satu cara yang dapat digunakan secara efisien dan efektif adalah melalui hibridisasi somatik dengan teknik
fusi protoplas. Melalui fusi protoplas dapat
diperoleh kombinasi genetik dari dua tetua yang tidak kompatibel, bahkan dapat diperoleh rekombinasi genetik yang ada disitoplasma sehingga sifat CMS yang dikontrol oleh gen yang ada disitoplasma (mtDNA) dapat diperoleh. Cai et al. (2007)
135
melaporkan hasil fusi protoplas antara C. unshiu dengan kultivar jeruk tradisional China yang mempunyai biji yang banyak C. sinensis (orange) kultivar Bingtang menghasilkan buah yang rasanya khas, biji 6-10 biji/buah dan laku dipasaran. Oleh karena itu perlu dilakukan fusi protoplas antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma. Pada penelitian ini telah berhasil dilakukan issolasi protoplas dari jaringan daun dan kalus, induksi fusi menggunakan PEG, kultur protoplas dan regenerasi hasil fusi menjadi tanaman, dan mengidentifikasi hibrida somatik dari tanaman regeneran yang diperoleh.
Isolasi, fusi protoplas, kultur protoplas dan regenerasi Faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan perbaikan tanaman melalui fusi protoplas adalah sumber protoplas yang dipergunakan, metode isolasi protoplas, jenis dan konsentrasi enzim yang digunakan, metode fusi protoplas yang digunakan, media dan kondisi fisik kultur pada saat fusi dan setelah fusi, media regenerasi yang digunakan, kondisi fisik kultur, zat pengatur tumbuh yang digunakan, dan metode seleksi serta identifikasi hibrida somatik yang digunakan. Isolasi protoplas dari tanaman mulai banyak digunakan pada tahun 1960 menggunakan larutan enzim.
Pada tahun 1960
Cocking berhasil mengisolasi
protoplas yang hidup (viable) dari jaringan akar tomat melalui perlakuan dalam larutan enzim selulase yang diperoleh dari jamur Myrothecium verrucaria. Pada tahun 1968, preparasi isolasi dan purifikasi protoplas dari jaringan tanaman mulai dilakukan secara komersial menggunakan larutan enzym selluase dan maserozim (Veilleux et al. 2005). Jumlah dan viabilitas protoplas yang dihasilkan dalam isolasi protoplas suatu jaringan tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis, konsentrasi dan kombinasi enzim serta lama inkubasi yang digunakan. Kombinasi enzim selulase Onozuka R10-Yakult (0.2-2%) dan maserozim R10-Yakult (0.1-1%) merupakan jenis enzim yang banyak digunakan untuk isolasi protoplas dari jaringan tanaman (Ferreira dan Zelcer 1989). Mendes da Gloria et al. (2000) menggunakan kombinasi selulase Onozuka R10 1% dengan maserosim 1% serta pectolyase Y-23 (Seshin) 0.2% dengan jumlah yang
136
banyak dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman setelah difusikan. Adanya manitol dalam larutan enzim dan media juga sangat penting untuk menjaga kestabilan osmotik protoplas sehingga tidak pecah. Selain jenis, konsentrasi, kombinasi enzim dan lama inkubasi, serta jaringan yang digunakan sebagai sumber protoplas juga sangat berpengaruh dalam keberhasilan isolasi protoplas. Tusa et al. (2000) dan Ohgawara et al. (1991) berhasil mengisolasi protoplas dari daun hasil perkecambahan biji secara in vitro dari tanaman jeruk dan berhasil diregenerasikan menjadi tanaman. Penggunaan jaringan tanaman yang berasal dari hasil kultur in vitro sangat baik digunakan sebagai sumber protoplas karena lingkungan tumbuhnya terkendali dan bebas dari kontaminan. Jaringan yang digunakan dapat berupa kalus, kotiledon, suspensi sel, daun, tunas dan embrio somatik (Veilleux et al. 2005). Keberhasilan penggunaan kalus embriogenik sebagai sumber protoplas pada tanaman jeruk pertama kali dilaporkan oleh Vardi et al. (1987) pada tanaman jeruk Shamouti orange (C. sinensis Osb.) dari kalus yang diinduksi dari ovul. Kemudian Vardi et al. (1987); Kobayashi et al. (1983) dan Grosser and Gmitter (1990) melaporkan keberhasilan kultur protoplas dari kalus yang diinduksi dari nuselus dan ovul. Penggunaan mesofil daun hasil kultur in vitro sebagai sumber protoplas juga sangat baik digunakan dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman. Ohgawara et al. (1989) dan (1991) melaporkan keberhasilan kultur protoplas hasil fusi antara C. sinensis dengan C. paradise dan Tusa et al. (2000) pada tanaman jeruk lemon Femminelo. Penggunaan larutan dan konsentrasi sukrosa yang digunakan dalam pemurnian protoplas juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan memurnikan protoplas. Penggunaan sukrosa tunggal konsentrasi 21% dapat digunakan untuk mengapungkan protoplas pada tanaman solanum dengan baik (Sihachakr 1998). Husni et al. (2004) menggunakan sukrosa 21% untuk mengapungkan protoplas tanaman terung dengan rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan sebesar 12.9-14.3 x105 protoplas/g daun. Hal ini disebabkan oleh berat molekul
sukrosa lebih berat
dari pada protoplas sehingga protoplas akan mengapung pada saat disentrifugasi.
137
Sumber protoplas yang digunakan pada penelitian ini adalah kalus embriogenik dari jaringan nuselus jeruk siam Simadu dan mesofil daun jeruk mandarin Satsuma dari hasil perkecambahan biji secara in vitro. Kombinasi enzim yang digunakan pada penelitian ini adalah selulase Onozuka R10-Yakult 1% dengan macerozim R10-Yakult 1% dalam larutan CPW. Pemurnian protoplas menggunkan campuran sukrosa 25% dengan manitol 13%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi enzim tersebut dapat mengisolasi protoplas dari jaringan mesofil daun dan kalus embriogenik. Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan adalah 15.7x105 protoplas/g kalus dan 13x105 protoplas/g daun.
Protoplas yang dihasilkan dari
mesofil daun berwarna kehijauan karena adanya klorofil, sedangkan protoplas yang berasal dari kalus tidak berwarna hijau karena tidak mengandung klorofil. Penggunaan protoplas yang berasal dari kalus dan daun juga mempermudah pengamatan pada saat induksi fusi dilakukan karena protoplas yang dihasilkan warnanya berbeda sehingga dapat diperoleh yang heterofusi. Terjadinya fusi protoplas diinduksi oleh adanya PEG yang dapat memacu terjadinya adhesi antar protoplas meskipun dapat terjadi secara spontan. Kemampuan PEG memacu adhesi protoplas diawali dengan aglutinasi sehingga dapat merubah fungsi membran sel protoplas. Pada saat awal membran sel tertutup,
protein
permukaan pindah untuk membentuk daerah yang kaya lipid. Selama periode tersebut pengaruh dehidrasi PEG pada membran sel dan kemampuan PEG mengikat posfolipid dalam membran menginduksi adhesi antar sel-sel yang berdampingan (Gamborg et al. 1981; Veilleux et al. 2005). Selain itu, cara penambahan PEG di empat titik pada campuran suspensi protoplas juga berpengaruh terhadap kemampuan PEG menginduksi fusi. Penambahan PEG pada bagian yang berlawanan akan meningkatkan frekuensi fusi karena adanya dorongan dari larutan PEG yang berlawanan sehingga dapat menempelkan antara protoplas yang satu dengan protoplas lainnya. Sihachakr (1998) menambahkan PEG dalam empat titik yang berlawanan disekitar suspensi protoplas untuk memfusikan protoplas pada tanaman kentang. Demikian juga Husni et al. (2004) menggunakan
138
cara yang sama untuk memfusikan protoplas tanaman terung dan protoplas yang difusikan dapat diregenerasikan menjadi tanaman. Keberhasilan dalam menginduksi terjadinya fusi protoplas pada penelitian ini sangat tergantung dari kadar konsentrasi dan periode inkubasi yang digunakan dalam larutan PEG. Berdasarkan pengamatan tipe fusi yang dihasilkan diperoleh bahwa semakin lama waktu inkubasi semakin banyak pula jumlah protoplas yang berfusi baik yang hetero fusi, homo fusi maupun multi fusi. Penggunaan PEG 30% lebih efektif dalam menginduksi terjadinya fusi dari pada 4%. Tipe fusi yang dihasilkan adalah binner fusi (hetero fusi dan homo fusi) dan multi fusi. Rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 4% adalah 3.3 fusan yang hetero fusi, 5 fusan yang homo fusi dan multi fusi. Sedangkan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 30% adalah 4.7 fusan yang hetero fusi, 6.7 fusan yang homo fusi, dan 7.7 fusan. Penambahan larutan pencuci (0.5 M manitol+0.5 mM CaCl2 setelah 15 menit induksi fusi juga dapat meningkatkan frekuwensi fusi baik dari induksi fusi dengan PEG 4% maupun induksi fusi dengan PEG 30% kecuali multi fusi dari PEG 30% Keberhasilan regenerasi protoplas hasil fusi pada media kultur yang digunakan dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang dipakai untuk menginduksi terjadinya fusi. Protoplas yang difusikan dengan PEG 4%
dapat beregenerasi
membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel, koloni sel, mikro kalus dan embrio somatik pada media, sedangkan protoplas yang difusikan dengan PEG 30% hanya dapat beregenerasi membentuk dinding sel dan pembelahan sel. Media yang baik yang digunakan pada kultur protoplas pada umumnya sama dengan media kultur jaringan bahan tanaman lainnya atau modifikasinya. Sukrosa yang ada dalam media kultur sangat dibutuhkan untuk menstimulasi pembentukan divisi sel. Penambahan sukrosa dalam media sangat diperlukan sebagai sumber karbon
dan osmotik stabiliser. Penambahan zat pengatur tumbuh juga sangat
dibutuhkan untuk mendorong pembelahan sel membentuk divisi sel baik auksin maupun sitokinin (Cocking 1960; Binding et al. 1982; Sihachakr et al. 1998; Veilleux et al. 2005).
139
Pada penelitian ini media MT dan MW merupakan media kultur yang baik untuk regenerasi protoplas hasil fusi membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel dan pembetukan koloni sel. Media MT dan MW merupakan media kultur yang baik digunakan untuk meregenerasi dinding sel. Persentase keberhasilan regenerasi protoplas membentuk dinding sel per bidang pandang paling baik berasal dari media MT dengan keberhasilan regenerasi sebanyak 21.8% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 11.6% dari induksi fusi dengan PEG 30%. Kemudian diikuti oleh media MW sebanyak 21.1% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 16.7% dari induksi fusi dengan PEG 30%, KM sebanyak 12.2% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 7.8% dari induksi fusi dengan PEG 30%, dan VKM sebanyak 11.7% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 5.3% dengan PEG 30%. Terbentuknya dinding sel protoplas secara sempurna ditandai dengan bentuk protoplas yang tidak bulat lagi dan di sekeliling sel protoplas terlihat lebih tebal. Proses awal pembelahan mitosis sel ditandai dengan adanya dua bakal sel hasil pembelahan yang belum sempurna dan terbentuknya dua sel pada akhir pembelahan sehingga terbentuk sel-sel baru yang sempurna. Pemberian cahaya pada kultur setelah terbentuknya dinding sel dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan sehingga terbentuk koloni-koloni sel. Koloni sel tersebut jelas terlihat dari penampakan media kultur yang semakin keruh yang dipenuhi dengan noktah kecil tersebar dalam media dengan warna putih. Koloni sel tersebut ditandai dengan adanya sel-sel baru disekitar sel protoplas yang mempunyai plasma yang penuh, inti besar, dan vakuolanya lebih kecil. Banyaknya rata-rata jumlah
koloni sel yang dihasilkan per setiap bidang
pandang pengamatan dari media MT dan MW berbeda dibandingkan media KM dan VMW. Rata-rata jumlah koloni sel yang dihasilkan dari media MT adalah 11.3% dan 10.3% dari media MW, 6.3% dari media KM dan 4.7% dari media VMW dari kultur hasil fusi dengan PEG 4%, sedangkan jumlah rata-rata koloni sel dari kultur hasil fusi dengan PEG 30% adalah 0.1% dari media MT dan MW. Pengenceran media kultur sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan koloni sel. Satu minggu setelah pengenceran koloni sel belum terlihat adanya mikrokalus yang terbentuk, akan tetapi koloni sel yang terlihat
140
semakin banyak. Mikro kalus mulai muncul pada pengamatan minggu ke-2 yang dapat terlihat secara jelas dengan kasat mata berwarna putih susu. Sampai akhir pengamatan, 4 minggu setelah kultur jumlah mikro kalus terus bertambah banyak. Rata-rata mikrokalus yang dihasilkan adalah 5.7 pada media KM, 4.3 pada media VKM, 23.7 pada media MT dan 28.3 pada media MW. Selain itu embrio somatik juga terbentuk langsung pada media MW dengan jumlah rata-rata sebanyak 7 fase globular, 3 fase torpedo dan 3.5 fase hati. Kecepatan
pertumbuhan
dan
perkembangan
koloni
sel
membentuk
mikrokalus dipengaruhi oleh media dasar yang digunakan. Tipe mikro kalus yang berasal dari media MT dan MW bersifat embriogenik yang ditandai dengan adanya pre-embrio (pem) dan struktur kalusnya yang bergranul, sedangkan pada media KM dan VKM berwarna coklat kehitaman. Pada media MW diperoleh adanya proses embriogenesis somatik yang ditandai dengan adanya embrio somatik yang terbentuk pada media MW. Adanya struktur embrio somatik pada media MW mengindikasikan terjadinya proses embriogenesis somatik secara langsung yang berasal dari sel-sel somatik yang bersifat meristematik. Sel-sel meristematik tersebut berasal dari kalus embriogenik yang digunakan sebagai
sumber protoplas. Embriogenesis somatik
mempunyai potensi morfogenik yang tinggi membentuk individu baru dari hasil proses embriogenesis dari sel somatik (von Arnold et al. 2002). Embriogenesis somatik secara langsung terjadi dari sel-sel tunggal yang meristemoid yang bersifat embryoid dan aktif membelah sehingga tumbuh dan berkembang membentuk preembrio yang mempunyai dua kutub (bipolar) yang akan muncul tunas dan akar. Identifikasi hibrida somatik Populasi dari tanaman yang diregenerasikan dari fusi protoplas mengandung variabilitas genetik yang lebih tinggi dibandingkan variabilitas dari populasi tanaman yang dihasilkan dari hibrida seksual (Wenzel 1980; Grosser and Gmitter 1990; dan Spiegel-Roy dan Goldschmidt 1996). Hal ini disebabkan oleh adanya rekombinasi gen yang terdapat pada sitoplasma selain rekombinasi gen yang ada pada inti sel.Variabilitas teramati pada bagian yang berbeda dari karakter fenotipik seperti
141
tinggi tanaman, bentuk daun, ukuran daun, ukuran petiol, panjang daun, warna bunga, bentuk buah, dan viabilitas serbuk sari (Kobayashi and Ohgawara 1988; Sihachakr et al. 1998; Grosser and Gmitter 1990; Yamamoto and Kobayasi 1995; Fu et al. 2003). Variabilitas dari hibrida somatik juga dapat terjadi akibat subkultur kalus yang terusmenerus, ketidak stabilan dari kombinasi inti sel yang menyebabkan hilangnya ekspresi gen atau hilangnya bagian dari informasi genetik dan adanya segregasi sitoplasma atau inti setelah fusi sehingga menghasilkan kombinasi yang unik (Ammirato et al. 1983). Menurut Veilleux et al. (2005) tanaman hibrida somatik yang dihasilkan dapat diidentifikasi dari tanaman yang tidak berfusi, tanaman homo fusi, dan tanaman yang multi fusi. Hibrida somatik tersebut merupakan kombinasi dari kedua tetua yang difusikan. Jumlah kromosom hibrida somatik seharusnya merupakan penjumlahan dari jumlah kromosom sel yang berfusi. Untuk mengidentifikasi hibrida somatik pada tahap awal dapat dilakukan dengan menentukan tingkat ploidi secara cepat dengan Flow Cytometry sehingga dapat dibedakan regeneran hasil fusi dengan non fusi. Kemudian dilakukan dengan cara menghitung jumlah kromosom, jumlah dan ukuran stomata, dan jumlah sel kloroplas (Jaskani 1998; Xu et al. 2006; Cai et al. 2007). Dari hasil identifikasi yang telah dilakukan terhadap semua regeneran yang diuji diperoleh 5 regeneran yang memperlihatkan pertumbuhan tunas dan jumlah daun gabungan dari jeruk mandarin Satsuma dengan jeruk siam Simadu berdasarkan hasil keragaan in vitro pada media tumbuh selektif (MW+EM 500 mg/l). Identifikasi lebih lanjut dengan marka
molekuler ISSR menggunakan primer ISSR 8 dapat
menghasilkan pola pita genetik yang polimorfis dengan kedua tetuanya. Dari 5 regeneran kandidat hibrida somatik yang diuji hanya diperoleh 4 regeneran yang teramplifikasi secara sempurna (R6, R7, R10 dan R19). Berdasarkan pola pita yang dihasilkan jelas memperlihatkan bahwa regeneran-regeneran tersebut adalah hibrida somatik. Hal ini diperkuat dengan jumlah kromosomnya merupakan kelipatan dari kedua tetuanya (36 pasang) kecuali R10 dengan jumlah kromosom 35 pasang. Demikian juga halnya dengan warna dan tulang daun serta kandungan klorofilnya dari hibrida somatik merupakan intermediet dari kedua tetuanya.