120
BAB IX
PEMBAHASAN UMUM Salah satu penyebab rendahnya produktivitas serat abaka antara lain karena adanya penyakit layu Fusarium atau Panama disease yang ditimbulkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp cubense (Foc) pada areal pertanaman. Infeksi Foc yang dapat menyebabkan kelayuan dan mengakibatkan kematian tanama n abaka, sangat menurunkan produktivitas karena serat abaka dihasilkan dari pelepah yang membentuk batang semu. Permasalahan ini sulit dipecahkan karena belum tersedianya genotipe abaka yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium dan berdaya hasil tinggi di Indonesia. Berbagai alternatif telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu pengendalian penyakit secara terpadu dengan penggunaan bibit sehat, penggunaan mikroba antagonis, penanaman gulma berguna dan penggunaan pestisida nabati, namun keberhasilannya masih diragukan. Sejauh ini, penggunaan kultivar/klon abaka yang resisten merupakan metode alternatif pengendalian Foc. Diperolehnya klon abaka yang resisten terhadap Foc melalui induksi keragaman genetika yang dikombinasikan dengan seleksi in vitro terhadap genotipe-genotipe abaka yang berdaya hasil tinggi merupakan pemecahan masalah yang strategis. Untuk mendapatkan klon abaka unggul dan resisten terhadap penyakit layu Fusarium tersebut diperlukan tersedianya metode seleksi resistensi terhadap infeksi Foc yang efektif dan akurat untuk tanaman abaka, metode induksi variasi somaklonal untuk meningkatkan keragaman genetika abaka, dan metode seleksi in vitro yang dapat menghasilkan tunas insensitif terhadap agens penyeleksi yaitu filtrat kultur Foc atau asam fusarat. Dengan tersedianya ketiga hal tersebut akan memudahkan evaluasi dan pengambilan keputusan terhadap hasil mutasi dan seleksi in vitro. Dalam penelitian ini digunakan abaca klon Tangongon yang telah diketahui memiliki daya hasil serat tinggi dan Sangihe-1 yang memiliki kualitas pulp/kertas baik. Ciri khas genotipe abaka yang memiliki daya hasil tinggi ditunjukkan dengan beberapa karakter antara lain: tinggi dan lingkar batang besar,
121
jumlah anakan banyak, dan rendemen seratnya tinggi.
Klon Tangongon dapat
mencapai tinggi 4.5-5.5
yang
meter
pada
lingkungan
sesuai
untuk
pertumbuhannya yaitu curah hujan mencapai 2 000-3 000 mm/tahun dengan temperatur rata-rata 27o C dan kelembaban udara 78-88% (Sudjindro 1999; Dempsey 1963). Klon Sangihe-1 memiliki kualitas pulp/kertas baik yang dicirikan dengan lebih tingginya karakter-karakter indeks retak, indeks tarik, indeks sobek, dan rendemen kertas dibandingkan 10 klon lainnya (Setyo-Budi et al. 2001). Namun, kedua klon tersebut tidak didiskripsikan sebagai klon yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium. Untuk memperoleh informasi yang akurat apakah aktivitas peningkatan keragaman genetik dan seleksi in vitro diatas efektif atau tidak, diperlukan ukuran karakter resistensi terhadap infeksi Foc pada populasi hasil regenerasi dari seleksi in vitro. Oleh karena itu pada awal penelitian dilakukan percobaan untuk menetapkan karakter yang secara konsisten dapat memisahkan genotipe yang ada kedalam kelompok imun, tahan, agak tahan, agak rentan, rentan, dan sangat rentan, sehingga peluang terjadinya kekeliruan dapat diperkecil. Dalam percobaan untuk pengembangan metode penapisan dievaluasi metode inokulasi 1 (INO-1): penanaman bibit abaka dalam media tanam yang diinfeksi dengan Foc. Inokulum diperoleh dengan mencampur Foc yang dibiakkan dalam media beras (10 g) dengan media tanah (3 kg) dan diinkubasikan selama satu minggu sebelum bibit abaka ditanam. Metode INO-2: penanaman bibit abaka yang akarnya telah dipotong ± 1 cm di bagian ujung dan direndam selama dua jam dalam suspensi konidia Foc (106 konidia/ml) pada media tanah steril. Metode INO-3: penanaman bibit abaka dalam media tana h steril dan penyiraman dengan 50 ml suspensi konidia Foc (106 konidia/ml). Bibit abaka yang tidak diinokulasi Foc digunakan sebagai pembanding. Untuk memperoleh metode penapisan yang lebih akurat, dilakukan evaluasi pengaruh penggunaan dua tingkat kerapatan konidia terhadap munculnya gejala dan intensitas penyakit layu Fusarium pada tiga klon abaka (Tangongon, Sangihe-1 dan UB3). Kerapatan konidia Foc isolat Banyuwangi yang dievaluasi terdiri atas: 105 konidia/ml (KON1) dan 106 konidia/ml (KON-2). Dari hasil percobaan di atas diketahui bahwa perlakuan INO-2 dan
122
kerapatan konidia 106 konidia/ml (KON-2) dapat menimbulkan gejala kelayuan dan intensitas penyakit paling tinggi pada bibit abaka yang diinokulasi. Perlakuan tersebut digunakan untuk pengujian respon sepuluh genotipe abaka dan terbukti dapat memisahkan genotipe abaka ke dalam kelompok sangat rentan dan rentan pada fase pertumbuhan bibit di rumah kaca. Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa sembilan dari sepuluh genotipe yang diuji terhadap infeksi Foc memiliki respon yang sama yaitu sangat rentan, mengindikasikan bahwa genotipe-genotipe tersebut memiliki keragaman genetika sempit (bahasan BAB III). Keragaman genetika yang sempit tersebut dapat ditingkatkan dengan cara induksi variasi somaklonal dengan menambahkan mutagen EMS pada kultur in vitro kalus embriogen abaka. Peningkatan keragaman genetika tanaman merupakan langkah awal untuk mengembangkan klon yang resisten terhadap infeksi penyakit. Pada percobaan evaluasi efektivitas EMS untuk meningkatkan keragaman somaklonal plantlet abaka yang diregenerasikan dari kultur kalus embriogen ini, dua genotipe abaka Tangongon dan Sangihe-1 diperlakukan dengan berbagai konsentrasi EMS. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan EMS terhadap kalus embriogen abaka meskipun menghambat proliferasi tunas, namun dapat meningkatkan tipe varian somaklonal diantara bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen. Tipe varian somaklonal yang dijumpai diantara bibit abaka antara lain: daun variegata, daun berkerut, pelepah berwarna ungu kehitaman, pelepah menyatu dan batang ramping. Keberadaan sejumlah fenotipe varian diantara bibit abaka hasil perlakuan EMS pada kalus embriogen mengindikasikan meningkatnya keragaman genetika bibit abaka sehingga membuka peluang penggunaan kalus embriogen yang dikombinasikan dengan perlakuan EMS untuk mendapatkan karakter unggul tertentu seperti resistensi terhadap layu Fusarium (bahasan BAB IV). Evaluasi varian somaklonal tanaman abaka hasil perlakuan dengan EMS dilanjutkan hingga fase pertumbuhan generatif yaitu umur 16 bulan setelah tanam, dengan tujuan untuk mengevaluasi efektifitas EMS terhadap peningkatan keragaman sifat kuantitatif terutama produktivitas dan kualitas serat. Dari hasil pengukuran karakter kualitatif dan kuantitatif diperoleh beberapa tipe varian antara lain daun variegata, tanaman kate atau kerdil, tanaman lebih tinggi,
123
produktivitas dan kualitas serat tinggi. Selain produktivitas dan kualitas serat, tipe varian yang diamati pada fase pertumbuhan generatif sama dengan pada fase pertumbuhan vegetatif (bibit), hal ini menunjukkan adanya konsistensi pengaruh EMS terhadap peningkatan keragaman genetika abaka. Tipe dan frekuensi keragaman kualitatif dan kuantitatif pada klon Tangongon berbeda dengan klon Sangihe-1, mengindikasikan adanya pengaruh genotipe terhadap terbentuknya varian somaklonal. Diperolehnya varian-varian diantara populasi hasil regenerasi kalus embriogen abaka dengan perlakuan EMS membuka peluang penggunaan kalus
embriogen
yang
dikombinasikan
dengan
perlakuan
EMS
untuk
mendapatkan karakter unggul tertentu seperti resistensi terhadap layu Fusarium. Untuk menyeleksi varian-varian tersebut perlu didukung dengan teknik seleksi in vitro menggunakan filtrat kultur Foc atau asam fusarat (bahasan BAB V). Dalam penelitian ini peningkatan keragaman genetika dilakukan dengan perlakuan EMS pada eksplan dan diikuti dengan pengkulturan eksplan secara in vitro sehingga diperoleh proliferasi sel varian. Selanjutnya, sel atau jaringan varian diseleksi dalam media selektif dengan penambahan agens penyeleksi tertentu untuk mengidentifikasi sel atau jaringan varian yang insensitif. Regenerasi plantlet dari sel atau jaringan varian dapat menghasilkan tanaman yang resisten terhadap infeksi penyakit yang diinginkan. Seleksi in vitro dilakukan dengan menggunakan filtrat kultur (FK) Foc dan asam fusarat (AF) sebagai agens penyeleksi. Pada penggunaan FK Foc, percobaan dilakukan untuk mengevaluasi daya hambat FK dari tiga isolat Foc terhadap pertumbuhan tunas abaka, menentukan konsentrasi sub- letal FK isolat Foc terpilih, yaitu konsentrasi FK yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuha n tunas abaka minimal 90%, meregenerasikan sel/jaringan varian abaka yang insensitif terhadap FK Foc menjadi plantlet, dan mengevaluasi respon plantlet yang didapat dari hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc. Dari hasil penelitian, FK Foc isolat Banyuwangi, Bojonegoro, dan Malang mempunyai daya hambat yang berbeda. Filtrat kultur tiga isolat Foc yang digunakan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Tetapi FK Foc isolat Banyuwangi menunjukkan daya
124
hambat lebih tinggi dibandingkan isolat Bojonegoro dan Malang. Perbedaan tersebut berhubungan dengan produksi toksin oleh masing- masing isolat, karena isolat yang memproduksi toksin lebih tinggi dapat menimbulkan penghambatan lebih kuat (Cachinero et al. 2002). Meskipun dari kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dengan perlakuan EMS 0.6% dapat dihasilkan tunas abaka yang insensitif FK Foc, tidak semua bibit yang diregenerasikan dari tunas hasil seleksi in vitro bersifat resisten terhadap infeksi Foc (sebagian rentan terhadap infeksi Foc). Hal ini diduga antara lain akibat terbentuknya tunas kimera atau terjadinya escaped dalam proses seleksi in vitro. Tunas kimera yang tersusun dari jaringan varian (resisten) dan jaringan normal (rentan) dapat bertahan dalam media selektif yang mengandung FK Foc sehingga terjadi salah identifikasi hasil seleksi in vitro. Sel/jaringan kimera yang escaped dari seleksi tidak 100% terdiri atas sel/jaringan varian yang insensitif terhadap FK Foc tetapi juga terdapat sel/jaringan normal. Pada tahapan proliferasi, sel/jaringan yang escaped dari seleksi juga akan menghasilkan bibit yang rentan terhadap infeksi Foc. Pada tahapan proliferasi dalam media tanpa penambahan FK Foc, tunas baru dapat berkembang dari sel/jaringan normal sehingga menghasilkan bibit dengan fenotipe rentan terhadap infeksi Foc (bahasan BAB VI). Salah satu toksin yang diproduksi oleh cendawan Foc adalah asam fusarat (Bacon et al. 1996), merupakan toksin yang sering digunakan sebagai agens penyeleksi dalam seleksi in vitro untuk memperoleh tanaman tahan terhadap Foc. Daya hambat pertumbuhan kalus dan tunas in vitro klon Tangongon dan Sangihe1 dipengaruhi oleh konsentrasi AF yang ditambahkan ke dalam media selektif. Penghambatan pertumbuhan kalus dan tunas pada media selektif dengan penambahan AF merupakan akibat terganggunya permeabilitas membran sel dan protoplas, terhambatnya oksidasi sitokrom dan respirasi pada mitokondria sehingga menghambat sintesis ATP, serta menurunnya aktivitas fenol (Jin et al. 1996; Bouizgarne et al. 2006). Daya hambat AF terhadap proliferasi kalus dan tunas klon Sangihe-1 lebih tinggi dibandingkan Tangongon, mengindikasikan adanya pengaruh faktor genetika diantara dua klon tersebut.
125
Kalus yang telah diberi perlakuan EMS 0.6% dan diseleksi dalam media selektif dengan penambahan AF 50 mg/l menunjukkan respon yang beragam (eksplan membusuk, diantara kalus yang membusuk berkembang kalus embriogen, tunas ruset, atau tunas normal abaka yang insensitif terhadap AF). Keragaman ini diduga terjadi sebagai akibat adanya mutasi yang diinduksi dengan EMS atau sel-sel yang tidak terseleksi dalam media selektif (kimera). Seleksi in vitro dengan penambahan AF 50 mg/l menghasilkan total 85 tunas abaka klon Tangongon dan 28 tunas abaka klon Sangihe-1 yang insensitif terhadap AF. Tunas yang insensitif terhadap toksin yang digunakan dalam seleksi in vitro merupakan akibat terinduksinya enzim detosifikasi pada tanaman, ketahanan sistemik (SAR) atau elisitor untuk menghasilkan fitoaleksin (Jayasankar et al. 2000; Svabova & Lebeda 2005; Yusnita et al. 2005). Hasil evaluasi tunas yang insensitif AF menunjukkan bahwa 2 dari 3 tunas tersebut imun terhadap infeksi Foc. Resistensi tunas/tanaman hasil seleksi in vitro terhadap patogen berkorelasi dengan ketahanan tunas tersebut terhadap toksin yang ditambahkan dalam media selektif (bahasan BAB VII). Resistensi terhadap infeksi Foc plantlets abaka hasil regenerasi dari seleksi in vitro, mutagenesis dan kultur jaringan dievaluasi dengan metode inokulasi dan kerapatan konidia yang dikembangkan pada BAB III. Pada penelitian ini, persentase bibit abaka resisten terhadap Foc hasil seleksi in vitro dengan agens penyeleksi FK Foc lebih tinggi dibandingkan dengan AF, mengindikasikan bahwa penggunaan FK Foc lebih efektif dibandingkan dengan AF. Efektifitas FK Foc untuk agens penyeleksi dalam seleksi in vitro disebabkan karena dalam FK Foc terdapat fitotoksin lain selain asam fusarat yang disekresikan patogen tersebut antara lain: trichothecenes (Svabova & Lebeda 2005). Sejumlah bibit abaka yang diregenerasikan dari kultur jaringan dan hasil mutagenesis dengan EMS tanpa melalui seleksi in vitro juga resisten terhadap infeksi Foc. Hal ini terjadi karena adanya perubahan genetika yang menyebabkan variasi somaklonal (Skirvin et al. 1994). Perubahan genetika yang mendasari terjadinya variasi somaklonal meliputi mutasi titik, perubahan jumlah kopi gen tertentu,
aktivasi
transposable
element,
perubahan
jumlah
kromosom,
chromosomal rearrangement, dan metilasi DNA ( Larkin & Scowcroft 1981,
126
Gichner 2003). Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa resistensi abaka dapat diinduksi dengan kultur jaringan, mutagenesis in vitro menggunakan EMS, dan mutagenesis yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro menggunakan FK Foc atau AF sebagai agens penyeleksi (bahasan BAB VIII).