132
BAB 6 PEMBAHASAN UMUM Angka annual malaria incidence (AMI) di Kabupaten Halmahera Selatan merupakan yang tertinggi di Provinsi Maluku. Pada tahun 2010 angka AMI mencapai 54,0‰ (Dinkes Kab. Halmahera Selatan 2010). Angka AMI yang tinggi ini memerlukan perhatian khusus dari berbagai aspek, termasuk aspek entomologi dengan melakukan analisis secara mendalam terhadap vektor dan perilakunya. Desa Saketa merupakan pintu utama untuk akses ke berbagai wilayah di Gane Barat dan Gane Timur, karena terdapat pelabuhan terbesar di pantai barat Pulau Halmahera bagian selatan, selain itu juga terdapat dermaga khusus untuk alat transfortasi laut jarak pendek untuk kapal-kapal kecil dan speedboat. Oleh sebab itu Desa Saketa juga berfungsi sebagai Desa transit untuk masuk dan keluar Gane Barat dan Gane Timur, sehingga mobilitas masyarakat sangat tinggi. Kondisi Desa Saketa secara fisik juga sangat mendukung untuk syarat hidup sehat. Sebagai ibukota kecamatan, kondisi berbagai prasarana cukup memadai, sanitasi dan drainase cukup baik, sebagain besar jalanan utama desa telah diaspal dan lainnya merupakan jalan pengerasan sehingga sepintas tidak memberi ruang untuk tersedianya habitat perkembangbiakan nyamuk. Akan tetapi Desa Saketa masih merupakan daerah endemis malaria tinggi, dengan angka AMI berturutturut 225,4‰, 158,3‰, 157,7‰, 106,9‰ masing-masing untuk tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat sumber atau habitat perkembangbiakan vektor malaria di luar wilayah permukiman. Di Desa Saketa, sebagian besar wilayahnya merupakan areal perkebunan kelapa, sebagian lagi berupa hutan dan semak. Berbagai tipe habitat perkembangbiakan nyamuk ditemukan terutama menyebar di perkebunan, jalanan dan permukiman. oleh sebab itu perlu upaya pengendalian berbasis pemahaman vektor untuk mengatasi masalah malaria secara efektif dan efisien di daerah ini. Data dan informasi tentang bioekologi, karakteristik lingkungan fisik dan kimia pada tipe-tipe habitat perkembangbiakan nyamuk dan perilaku vektor malaria dapat dijadikan acuan dalam program pengendalian malaria.
133
Aktivitas utama masyarakat adalah berkebun dan mengelola kopra yang mengharuskan mereka berada selama 24 jam di kebun untuk beberapa hari sampai proses pengolahan dan pemanenan kopra selesai. Sekitar 63,4% KK di Saketa berprofesi sebagai pengolah/petani kebun yang tiap hari masuk atau tinggal beberapa hari dalam seminggu di perkebunan, 3,0% pengolah kayu yang lebih banyak tinggal di hutan, dan sisanya berprofesi sebagai PNS, buruh dan nelayan yang sebagian besar memiliki kebun yang diolah, dan hanya 7,7% sebagai pedagang yang lepas dari aktivitas di kebun (PPDS 2011). Masyarakat yang berprofesi sebagai pengolah kebun, menjadi sangat rentan terhadap malaria. Profesi sebagai pengolah kopra atau pekerja di perkebunan kelapa dan siklus pengolahan kopra yang pendek serta dan tersedianya berbagai jenis habitat vektor di perkebunan, ditengarai merupakan penyebab rentannya masyarakat terhadap malaria. Hal ini disebabkan karena tingginya peluang terjadinya kontak antara masyarakat yang bekerja di kebun dengan berbagai spesies Anopheles di perkebunan. Di Desa Saketa, ditemukan 10 spesies nyamuk Anopheles yaitu An. barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Hasil uji ELISA menunjukkan bahwa terdapat tiga spesies yang dinyatakan psositif mengandung Plasmodium vivax yaitu An. indefinitus, An. kochi dan An. vagus. Oleh sebab itu selain punctulatus grup, ketiga spesies ini perlu diperhatikan lebih lanjut terutama yang berkaitan dengan kapasitas kevektorannya. Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Saketa menyebar pada ekosistem perkebunan dengan proporsi 35,82%, ekosistem hutan (33,78%), semak (24,98%), dan permukiman (5,42%). Kondisi lingkungan pada ke empat jenis ekosistem tersebut sangat berbeda terutama yang berkaitan dengan sumber daya yang diperlukan oleh nyamuk untuk berkembangbiak dan bertahan hidup. Menurut Bruce-Chwatt (1985), nyamuk hidup di daerah tertentu dengan kondisi habitat lingkungan yang spesifik seperti daerah pantai, rawa-rawa, persawahan, hutan dan pegunungan. Kondisi lingkungan pada ekosistem perkebunan, hutan dan semak mendukung untuk kehidupan nyamuk Anopheles yang diindikasikan dengan besarnya populasi di tempat tersebut.
134
Nyamuk An. kochi memiliki populasi tertinggi dengan proporsi 52,17% diikuti oleh An. indefinitus dan An. tessellatus (35,52% dan 5,15%),
serta
populasi terendah adalah An. hackeri (0,02%). An. subpictus populasinya 0,87%. An. kochi dominan pada di perkebunan, semak dan permukiman, sementara An. indefinitus dominan di hutan. An. indefinitus ditemukan dalam setiap bulan penangkapan pada ekosistem hutan, perkebunan dan semak, sementara An. kochi ditemukan di hutan pada setiap bulan penangkapan. Dengan tidak mengabaikan nilai ekologinya, spesies yang perlu memperoleh perhatian khusus adalah Anopheles punctulatus grup yaitu An. punctulatus, An. koliensis dan An. subpictus, ketiga spesies ini merupakan vektor malaria di Maluku, Maluku Utara, dan Papua (Sukowati 2009). Anopheles yang ditemukan di Desa Saketa berjumlah 10 spesies, 8 spesies di antaranya termasuk dalam 22 spesies yang tergolong vektor malaria pada beberapa daerah di Indonesia. Spesies vektor tersebut adalah, An. farauti, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus (Sukowati 2009). An. An. kochi, dan An. barbumbrosus juga merupakan vektor (Winarno & Hutajulu 2009). Sejauh ini An. punctulatus, An. farauti, An. koliensis (Sukowati 2009), An. subpictus (Winarno & Hutajulu 2009) dan An. tessellatus (Aditama 2009) telah dinyatakan sebagai vektor di Maluku Utara. Hingga saat belum ada laporan yang mengkonfirmasi An. indefinitus dan An. hackeri sebagai vektor di Indonesia. Meskipun demikian keduanya tetap berpotensi sebagai vektor. An. indefinitus merupakan vektor di Guam, sedangkan An. hackeri telah menjadi vektor malaria di Malaysia, Philipina dan Formusa (Gratz et al. 2007). Hasil uji ELISA menunjukkan dari sampel An. indefinitus di Saketa, menunjukkan adanya sampel yang positif mengandung parasit Plasmodium vivax (Sukowati 2010). Di Desa Saketa terdapat delapan tipe habitat perkembangbiakan Anopheles yaitu kubangan, kobakan, kontainer buatan, kantong plastik bekas, parit, kolam dan lagun. Hasil pemeliharaan larva dari berbagai tipe habitat tersebut diperoleh enam spesies yaitu An. indefinitus, An. farauti, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus. Tiga spesies Anopheles yaitu An. indefinitus, An. farauti, dan An. kochi merupakan spesies dengan jumlah populasi yang besar, sedangkan
135
tiga spesies lainnya yaitu An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus memiliki jumlah populasi yang sangat rendah. Kubangan, kobakan dan tapak ban mengandung jumlah spesies Anopheles yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tiga tipe habitat lainnya. Konfirmasi vektor dilakukan dengan pembelahan kelenjar ludah untuk memastikan ada tidaknya sporozoit pada tubuh nyamuk atau dengan uji ELISA. Uji ELISA dilakukan untuk sporozoit dengan menggunakan antibodi monoklonal [WHO 2003]. Hingga saat ini ketiga spesies Anopheles punctulastus grup telah dinyatakan sebagai vektor di Provinsi Maluku Utara, spesies tersebut adalah An. punctulatus, An. farauti dan An. koliensis (Sukowati 2010), selain itu An. subpictus juga dinyatakan sebagai vektor (Winarno & Hutajulu 2009). Keberadaan punctulatus grup di lapangan harus dapat dijadikan sebagai peringatan dini akan bahaya malaria di masyarakat di Maluku Utara. Pendugaan potensi vektor dapat juga dilakukan dengan melihat beberapa syarat yaitu, nyamuk dapat diduga sebagai vektor jika mempunyai intensitas kontak dengan manusia (nilai MBR) cukup tinggi, memiliki jumlah yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan spesies lain dan mempunyai umur yang cukup panjang dalam persen nyamuk, dan telah dikonfirmasi sebagai vektor di tempat lain (Munif et al. 2008). Jika memperhatikan persyaratan untuk pendugaan potensi vektor tersebut, maka nyamuk An. farauti dan An. vagus perlu diperhatikan secara khusus karena sangat memenuhi untuk syarat pendugaan vektor tersebut. Sementara itu An.kochi yang intensitas keberadaan dan kelimpahannya sangat tinggi, sejauh ini belum dilaporkan sebagai vektor untuk di Indonesia (Sukowati 2009), sehingga dianggap hanya memberi efek gangguan saja. Provinsi Maluku Utara menempati urutan ke-4 dalam angka kasus baru dan angka period prevalence malaria di Indonesia (Kemenkes RI 2010), dan Halmahera Selatan merupakan kabupaten yang nilai insiden malarinya tertinggi di Provinsi Maluku Utara (Depkes Kab. Halmahera Selatan 2010). Jika dikaitkan dengan rendahnya nilai dominansi dan proporsi punctulatus group (An. punctulatus, An. koliensis dan An. subpictus) maka hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk dilakukannya konfirmasi ulang terhadap spesies-
136
spesies lainnya yang memiliki proporsi, dominansi dan frekuansi kehadiran yang cukup tinggi. Meski dominansi dan proporsi An.punctulatus group cukup rendah, kehadirannya tetap perlu diwaspadai karena ke tiga anggota group ini telah menjadi vektor di Papua, Maluku dan Maluku Utara (Sukowati 2009). Dalam penelitian ini An. kochi memiliki proporsi tertinggi yaitu 47,74% terdapat di perkebunan, 24,31% di hutan, semak 22,47% dan hanya 5,48 di permukiman. Nyamuk ini meskipun bukan merupakan vektor di Maluku Utara, tetapi karena intensitas keberadaan dan kelimpahannya yang tinggi menyebabkan nyamuk tetap perlu diperhatikan karena An. kochi positif sebagai vektor malaria di Sumatera (Winarno & Hutajulu 2009). Perilaku mengisap darah yang diamati dengan perhitungan MBR dan MHD, menunjukkan nyamuk Anopheles aktif mengisap darah sepanjang tahun dengan bulan-bulan puncak berlangsung bulan Februari hingga Juli 2011. Pada bulan Februari, puncak aktivitas mengisap darah pada An. punctulatus terjadi pada ekosistem hutan dan perkebunan. Aktivitas mengisap darah mencapai puncak tertinggi pada bulan Juni untuk kebanyakan spesies Anopheles pada ekosistem perkebunan, hutan dan semak. Sedangkan pada bulan Juli, hanya spesies An. vagus yang aktivitas mengisap darah nya mencapai puncak yang berlangsung pada semua jenis ekosistem. Nyamuk Anopheles di Desa Saketa aktif mengisap sepanjang malam, dan aktivitas mengisap darahnya umumnya menunjukkan puncak ganda. Aktivitas mengisap darah mencapai puncak untuk pertama kali sekitar pukul 21.00-23.00 dan puncak kedua terjadi setelah lewat tengah malam sekitar puku jam 01.0002.00 dan 02.00-03.00. Aktivitas mengisap darah yang berlangsung hampir sepanjang malam menyebabkan tinggi peluang terjadinya kontak antara vektor dengan masyarakat yang bekerja malam di perkebunan saat pengovenan kopra. Tidak mengherankan jika morbiditas malaria dalam keluarga petani kebun menjadi tinggi. Nyamuk memiliki perilaku mencari darah dan perilaku istirahat yang beragam. Beberapa jenis nyamuk aktif secara kreposkular dan nokturnal, mereka istirahat pada siang hari di tempat tertentu yang cocok. Aktivitas terbangnya dipengaruhi oleh faktor cuaca, kebutuhan makanan, kawin, istirahat, dan
137
meletakkan telur. Nyamuk eksofilik lebih banyak mengisap darah di luar ruangan, sedangkan yang endofilik mengisap darah di dalam ruangan tetapi sewaktu-waktu akan mengisap darah di luar jika terdapat inang. Di desa Saketa, aktivitas nyamuk eksofilik menjadi objek kajian yang penting. Populasi Anopheles di permukiman jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan di perkebunan, semak dan hutan. Aktivitas mengisap darah berlangsung sepanjang tahun pada An. farauti, An. kochi dan An. indefinitus. Umumnya puncak aktivitas mengisap darah berlangsung lebih dari satu kali. Pada An. barbumbrosus, An. tessellatus dan An. subpictus, terdapat dua puncak aktivitas mengisap darah dimana puncak pertama selalu lebih tinggi daripada puncak kedua. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan WHO, (1975) bahwa aktivitas nyamuk pada malam hari umumnya memiliki dua puncak yaitu puncak pertama sebelum pukul 22.00 yang merupakan puncak tertinggi dan puncak kedua setelah tengah malam dengan puncak yang lebih rendah. Hal ini agak berbeda dengan pola aktivitas mencari darah pada spesis An. farauti, An. kochi, An. koliensis, dan An. puntulatus yang juga memiliki beberapa puncak tetapi umumnya puncak pertama selalu lebih rendah dinading puncak berikutnya. Nyamuk memiliki preferensi spesifik terhadap pemilihan tempat istirahat pagi, An. kochi, An. indefinitus dan An. tessellatus ditemukan istirahat baik pada ekosistem perkebunan maupun semak. Sedangkan An. vagus dan An. barbumbrosus hanya ditemukan istirahat di perkebunan. Deforestasi dan perubahan penggunaan pengembangan
komersial,
pembangunan
jalan,
lahan untuk
permukiman,
sistem pengendalian
air
(bendungan, kanal, sistem irigasi, waduk), serta pengaruh perubahan iklim, telah meningkatkan morbiditas dan mortalitas sebagai akibat yang muncul dari penyakit parasit.
Penggantian tanaman hutan dengan perkebunan, pertanian dan
peternakan, dapat menciptakan habitat yang mendukung bagi pertumbuhan dan perkembabiakan parasit dan vektor inangnya (Patz et al. 2000). Perkebunan merupakan tempat rutin untuk aktivitas sebagian besar masyarakat Maluku Utara, khususnya masyarakat Halmahera Selatan. Nyamuk yang istirahat pagi akan terganggu oleh aktivitas manusia dan menjadi tertarik untuk melakukan aktivitas mencari darah siang hari. Hal ini juga akan
138
berlangsung di semak yang umumnya terdapat berdampingan atau bercampur dengan lahan perkebunan. Di Saketa, kontak Anopheles-manusia dengan instensitas tinggi terjadi di perkebunan. Di Saketa, perkebunan dapat beralih fungsi sebagai permukiman temporer mulai saat berlangsungnya panen kelapa dan selama berlangungnya proses pembuatan kopra hingga habis terjual dan diangkut. Selama masa tersebut, petani kelapa (sering dengan beberapa anggota keluarga) akan tinggal beberapa saat di perkebunan. Selama tinggal di perkebunan, maka risiko terpapar vektor tidak dapat dihindari. Tidak mengherankan jika menurut catatan di Puskesmas Saketa, penderita malaria paling tinggi berasal dari keluarga pengolah kebun. Nyamuk dikenal sebagai mahluk antropogenik yang aktivitasnya tidak dapat berjauhan dengan manusia. Kegiatan manusia di perkebunan, hutan dan semak yang juga merupakan tempat berbagai tipe habitat nyamuk akan menjadikan ekosistem tersebut sebagai ekosistem yang selalu membentuk interaksi manusianyamuk yang merugikan manusia. Jumlah Anopheles yang ditemukan di perkebunan lebih tinggi jika dibandingkan dengan ke tiga jenis ekosistem lainnya. Tingginya populasi Anopheles di perkebunan didukung oleh tersedianya beberapa tipe habitat perkembangbiakan dalam kawasan perkebunan. Selain itu terciptanya naungan oleh rimbunan daun kelapa dan berbagai jenis vegetasi bawah kanopi kebun, serta banyaknya genangan permukaan menciptakan kelembaban tinggi yang sifatnya mikro. Hal ini sangat mendukung kelangsungan hidup dan perkembangbiakan Anopheles. Setiap spesies menempati niche ekologi tertentu yang secara genetik dan perilaku akan beradaptasi dengan lingkungan buatan manusia. Dalam beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan, beberapa vektor merubah perilaku mencari inang dari zoofilik menjadi antrofilik (Patz et al. 2000). Perkembangan larva nyamuk dipengaruhi oleh faktor fisik, biologi dan kimia
lingkungan
habitatnya.
Lingkungan
fisik
yang
mempengaruhi
perkembangan larva adalah tempat bertelur, suhu air dan arus air, sedangkan faktor biologinya berupa keberadaan vegetasi tingkat tinggi maupun tingkat rendah, dan keberadaan predator larva, sedangkan faktor kimianya berupa pH, salinitas dan endapan lumpur (Buwolaksono 2001).
139
Nyamuk merupakan spesies yang paling peka terhadap perubahan lingkungan karena penggundulan hutan. Kelangsunghidupan, kepadatan dan sebarannya dipengaruhi oleh perubahan kecil kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban dan ketersediaan habitat yang cocok. Perubahan ekologi nyamuk dan pola perilaku masyarakat di daerah yang mengalami deforestasi mempengaruhi penularan beberapa penyakit akibat vektor seperti malaria, Japanes encephalitis dan filariasis. Secara langsung atau tidak langsung, deforstasi mempengaruhi prevalensi, insiden dan distribusi malaria (Yasuoka 2007). Hasil
penelitian
di
lapangan
menunjukkan
bahwa
tipe
habitat
perkembangbiakan yang terdapat di perkebunan adalah tapak ban, tapak hewan, kobakan, kubangan, kolam, parit bahkan lagun. Perkebunan mengakomodasi kebutuhan berbagai sumberdaya untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles, sehingga semua spesies Anopheles yang ditemukan di Saketa juga ditemukan di perkebunan Saketa. Menurut Sukirno et al. (1983) larva Anopheles lebih menyukai dasar perairan yang cenderung berpasir. Hal ini sesuai dengan dengan kondisi di Saketa yang struktur tanahnya didominasi oleh pasir. Substrat pasir tidak dapat menahan air sehingga kandungan air di habitat menjadi cepat habis dan mengering, apalagi jika laju evaporasi lebih tinggi. Lain halnya jika substratnya berlumpur, habitat ini dapat menahan air untuk waktu yang lama. Lapisan lumpur tipis yang menyusun substrat menutupi bagian tanah berpasir pada lapisan bawahnya sehingga meningkatkan retensi air dan memberi peluang bagi telur nyamuk untuk berkembang dan menyelsaikan siklus hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, faktor fisik seperti tipe habitat, suhu, kelembaban dan sifar air yang tidak mengalir pada habiatat nyamuk di Desa Saketa menyediakan kondisi yang sangat mendukung untuk perkembangan larva. Meskipun bersifat temporer karena daya retensi air pada habitat yang rendah, kontinuitas habitat yang mengandung air cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh frekuensi hujan yang cukup tinggi di lapangan. Hal ini menciptakan habitat yang bersifat ephemeral pathcines, yaitu habitat yang hanya dapat dihuni secara singkat tapi bertambalan secara temporal sehingga secara kolekstif mendukung kontinuitas habitat (Soetjipto 1993).
140
Intensitas curah hujan yang sangat rendah hanya terjadi pada bulan Februari, sehingga ketersediaan air menjadi faktor pembatas pada habitat dangkal dan berukuran kecil seperti kobakan dan kubangan. Faktor lingkungan ini justru justru menyebabkan terbentuknya habitat baru berupa lagun. Lagun terbentuk dari terbendungnya muara kali oleh pasir yang dihempaskan oleh ombak ke arah daratan. Lagun dengan cepat mengalami penurunan salinitas akibat semakin banyaknya air tawar yang tertampung. Berdasarkan pengukuran, salinitas pada semua tipe habitat termasuk lagun menunjukkan 0‰ yang menunjukkan bahwa semua tipe habitat tersebut termasuk jenis air tawar sehingga untuk tidak diperlukan mekanisme osmporegulasi tertentu dalam perkembangan larva hingga menjadi nyamuk. Setyaningrum et al. 2008 melaporkan bahwa habitat vektor yang berupa selokan air mengalir, selokan air tergenang dan rawa di Desa Way Muli Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan memiliki salinitas 0‰ dan tetap mendukung untuk perkembangan larva. Di Desa Saketa, kubangan dan kolam dapat dianggap sebagai tipe habitat yang bersifat permanen bagi perkembangbiakan nyamuk. Tipe habitat ini dapat menampung air untuk jangka waktu yang lama dan menjadi habitat permanen sehingga mendukung perkembangbiakan kontinyu untuk nyamuk. Kondisi ini juga menguntungkan bagi vegetasi tingkat rendah maupun vegetasi tinggi dan juvenil berbagai jenis ikan, larva dan dewasa udang-udangan, larva capung, dan berbagai serangga lainnya baik larva maupun dewasanya untuk menjadikan kubangan dan kolam sebagai habitat perkembangbiakan dan pertumbuhannya. Keberadaan flora dan fauna dapat menguntungkan dan sekaligus merugikan larva nyamuk. Penutupan perairan oleh tanaman tingkat tinggi menimbulkan kesulitan pemilihan oviposisi bagi nyamuk dan menguras ketersediaan oksigen terlarut (DO). Larva beradaptasi untuk hidup dan mencari makan di sekitar dan di permukaan air, respirasi dilakukan dengan mengkonsumsi oksigen bebas dari udara dengan menggunkan sifon. Akan tetapi beberapa jenis larva nyamuk bernafas dengan oksigen terlarut menggunkan respirasi kulit (WHO 1975) dan bagi jenis ini DO yang rendah akan menimbulkan masalah respirasi. Sedangkan kehadiran berbagai jenis predator akan merugikan larva dan menurunkan angka kelangsungan hidupnya.
141
Tingginya angka AMI di Desa Saketa, dapat dikaitkan dengan luasnya penyebaran Anopheles. Di perkebunan, kombinasi antara faktor kepadatan, perilaku
vektor,
faktor
habitat
dan
faktor
profesi/perilaku
masyarakat
menyebabkan Desa Saketa menjadi sebuah desa dengan insiden malaria tinggi. Kontak antara nyamuk dengan petani di perkebunan sulit dihindarkan, karena sekitar 70 % KK di Saketa merupakan petani kebun yang sewaktu-waktu juga menjadi pengolah/pencari kayu di hutan. Secara nasional, 29,8% dari angka baru kasus malaria berasal dari kelompok pekerjaan petani/pengolah kebun (Riskesdas 2010). Proporsi kelompok kerja untuk kasus malaria baru di Halmahera Selatan bisa mencapai angka yang jauh lebih tinggi, mengingat proporsi petani kebun yang cukup besar. Berdasarkan paparan di atas, maka di perkebunan, terdapat beberapa kondisi yang perlu diperhatikan berkaitan dengan potensinya sebagai tempat transmisi malaria yaitu 1). Kelimpahan dan keanekaragaman Anopheles yang tinggi, 2). Perilaku mengisap darah Anopheles yang berlangsung sepanjang tahun dan dan sepanjang malam, 3). Tersedianya berbagai jenis habitas perkembangbiakan yang tersedia sepanjang tahun, 4). Jenis profesi dan aktivitas masyarakat yang lebih banyak berlangsung di perkebunan. Ke empat faktor tersebut menyebabkan intensitas dan ferkuensi kontak antara nyamuk dengan manusia berlangsung lebih sering di perkebunan. Oleh sebab itu berdasarkan hasil analisis terhadap bioekologi Anopheles spp di Saketa dapat disimpulkan bahwa “terjadinya transmisi parasit dari vektor ke manusia, tidak hanya berlangsung di rumah atau di lingkungan permukiman saja, tetapi sesungguhnya juga berlangsung terutama di perkebunan, selain itu juga terjadi di semak dan hutan dengan intensitas yang mungkin melebihi di permukiman”. Dengan demikian, maka perlu dirumuskan suatu kebijakan dan tindakan yang tidak lagi hanya berfokus pada lingkungan permukiman semata-mata, tetapi lebih difokuskan pada pengendalian berbasis profesi masyarakat dengan mempertimbangkan kegiatan masyarakat di lokasi atau wilayah yang memiliki potensi sebagai tempat habitat perkembang biakan vektor.
142
Kondisi lingkungan dan jenis ekosistem yang berpeluang menjadi faktor risiko penularan malaria di Desa Saketa secara garis besar dapat di rumuskan dalam suatu kerangka sebagai berikut. Anopheles • Curah hujan tinggi • retensi tanah rndh • Sanitasi/drainase kebun buruk • Jns alat pengangkutan
Kelimpahan keanekaragaman Anopeles spp
• Kelembaban • Suhu, angin • Ketersediaan genangan
Perilaku istirahat
• HABITAT BERAGAM • Temporal & kontinyu • Keragaman tinggi Pencegahan : Anti nyamuk, Kelambu, Sanitasi lingk.
• Perkebunan • Hutan • Semak • Permukiman
Anopheles rendah Pengetahuan, Sikap & Perilaku (PSP)dan Profesi masyarakat
• Pelayanan kesehatan
Kasus malaria
Transmisi tdk hanya terjadi di permukiman, ttp juga di :
“Kebun, hutan & semak”
1. PARADIGMA TRANSMISI VEKTOR 2. MANAJEMEN PENGENDALIAN VEKTOR 3. KONFIRMASI SPESIES VEKTOR
Gambar 36 Kondisi lingkungan dan jenis ekosistem yang berpeluang menjadi faktor risiko penularan malaria di Desa Saketa