VIII. PEMBAHASAN UMUM Kekayaan sumber daya alam merupakan keunggulan yang perlu diberdayakan dengan penerapan IPTEK dan manajemen profesional berbasis pengetahuan, sehingga diperoleh produk-produk sumber daya alam dengan daya saing tinggi.
Keragaman pisang menyebar di seluruh daerah Indonesia dari
Sabang sampai Merauke. Setiap daerah mempunyai jenis pisang yang berpotensi untuk dikembangkan. Melalui peningkatan luas lahan produksi pisang diharapkan mampu meningkatkan manfaat buah pisang bukan hanya sebagai penambah nilai gizi tetapi mampu sebagai pengganti alternatif makanan pokok. Pengaruh globalisasi menyebabkan perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat terhadap produk hortikultura. Konsumen produk hortikultura termasuk di dalamnya buah-buahan pada umumnya sudah sadar terhadap nilai kualitas produk, misal terhadap nilai gizi, rasa, kesempurnaan dan kenampakan buah, sampai pada keamanan pencemaran residu pestisida. Apalagi dengan makin maraknya impor produk hortikultura khususnya buah-buahan asal China, Thailand dan negara-negara lain dapat menjadi ancaman bagi pengembangan hortikultura di Indonesia.
Berdasar hal tersebut produksi pisang berkualitas prima dengan
penanganan manajemen profesional diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani, memenuhi perdagangan pasar domestik serta mempunyai daya saing di tingkat dunia (ekspor) dan otomatis dapat meningkatkan devisa negara. Pemilihan pisang Tanduk dan pisang Rajabulu sebagai tanaman model pada penelitian ini karena keduanya merupakan primadona daerah Kabupaten Bogor (dan sedang dipromosikan oleh Pusat Kajian Buah-buahan Tropika – IPB, Bogor). Kedua pisang tersebut mempunyai potensi genetik, buahnya selain dikonsumsi sebagai buah meja, juga bisa sebagai bahan olahan dan harga relatif murah. Bibit (benih) merupakan satu mata rantai dan menjadi input dasar yang sangat penting dalam peningkatan produksi pisang di Indonesia. Pemakaian bibit asal kultur jaringan saat ini sudah lazim dijumpai di perkebunan besar dan kebun petani. Teknik kultur jaringan sudah terbukti mampu menanggulangi kekurangan
130 perbanyakan secara konvensional karena dapat menyediakan bibit bermutu secara massal dengan ukuran bibit seragam. Merujuk pada mutu benih, bibit asal kultur jaringan mampu memenuhi mutu genetik, true to type dengan tanaman induk. Jaminan mutu fisik diperoleh dengan cara menjaga kemurnian eksplan agar tidak tercampur dengan kultivar lain dan penanganan planlet pasca kultur yang baik.
Planlet mempunyai mutu
fisiologis dengan viabilitas planlet tinggi, mampu tumbuh menjadi bibit siap tanam di lapang dengan vigor baik (postur bibit tegar sempurna). Planlet seperti ini bisa diperoleh dengan memodifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan (eksplan, komposisi media dan lingkungan).
Prasyarat terakhir
adalah mutu saniter dapat terjamin dengan perbanyakan secara kultur jaringan yang aseptik khususnya terhadap patogen tular tanah Fusarium oxysporum f.sp cubense (Foc) yang klamidosporanya mampu bertahan dalam tanah selama 30 tahun, dan sulit dikendalikan dengan pestisida (Ploetz 1998).
Namun demikian
bibit hasil kultur jaringan belum berarti tahan terhadap patogen tertentu di lapangan. Melalui teknik kokultur in vitro pada penelitian ini dapat dibuktikan bahwa inkorporasi rizobakteri dengan planlet pisang sejak dini mampu pendukung pertumbuhan tanaman stadia bibit, dan mampu menekan tingkat keparahan penyakit layu Fusarium pada tanaman muda (stadia TBM) di rumah kaca. Perbanyakan In Vitro Pisang Rajabulu dan Pisang Tanduk Keberhasilan perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan ditentukan oleh kemampuan eksplan berproliferasi dan bermultiplikasi. Faktor yang berpengaruh adalah jenis eksplan (karakter eksplan atau kultivar), perlakuan eksplan termasuk komposisi media (hara makro dan mikro serta ZPT). Pisang Rajabulu (Tabel 3.1, 4.1, 4.3, dan 4.5) dan pisang Tanduk (Tabel 3.2, 4.2, 4.4, dan 4.5) walaupun bergenom sama (AAB) tetapi mempunyai karakter dan fenotipik yang berbeda. Stadia penting yang perlu diperhatikan dalam perbanyakan kultur in vitro tanaman pisang, adalah: a) inisiasi dan induksi tunas lateral eksplan sebagai titik awal jaringan berproliferasi; b) multiplikasi, artinya perbanyakan tunas dengan mempertahankan konsistensi mutu tunas; c) morfogenesis atau organogenesis
131
artinya, menghantarkan tunas menjadi planlet viabel (mempunyai akar, batang dan daun) yang siap di aklimatisasi menjadi bibit bermutu. Keaslian dan kebaruan dari penelitian kultur in vitro pisang Tanduk dan pisang Rajabulu ini adalah penggunaan peubah total tunas yang dikelompokkan berdasarkan ukuran tunas yang dihasilkan (tunas kecil, tunas sedang dan tunas besar), menentukan respon eksplan pisang Tanduk dan pisang Rajabulu terhadap induksi awal tunas aksilar akibat penambahan TDZ konsentrasi rendah (0.09 mg/l). Eksplan aksilar yang diinduksi dengan TDZ dan komposisi sitokinin pada media multiplikasi diuji untuk melihat konsistensi hasil tunas, serta teknis untuk meningkatkan rendahnya vigor planlet pisang Tanduk dan pisang Rajabulu agar tumbuh menjadi tunas viabel. Menurut pendapat Stover dan Simmond (1987) serta Ortiz (1995) asal pisang yang memiliki set kromosom triploid sama (AAB) diperkirakan dengan berjalannya waktu terjadi evolusi, mengalami perubahan sebagian bahkan seluruh sifat liar kedua tetuanya Musa acuminata (AA) dan Musa balbisiana (BB) baik dari fungsi metabolik, ekspresi fenotip maupun produktifitasnya.
Kekayaan
karakter dalam genom A maupun genom B sangat beragam, sehingga dengan genom yang sama belum tentu mempunyai sifat dan ekspresi fenotip yang sama. Kedua pisang mempunyai karakter berbeda dalam merespon lingkungan (prosedur sterilisasi, ZPT atau komposisi sitokinin dan auksin) sehingga mempunyai kemampuan berbeda dalam kecepatan induksi tunas, kemampuan multiplikasi tunas (jumlah tunas/eksplan) dan kemampuan morfogenesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan pisang Tanduk lebih responsif terhadap sitokinin dibandingkan dengan eksplan pisang Rajabulu. Induksi tunas lateral eksplan pisang Tanduk 3 bulan lebih awal pada media dengan tambahan TDZ (0.09 mg/l) dibandingkan dengan media tanpa TDZ (Tabel 3.2). Eksplan pisang Rajabulu memiliki pengaruh dominansi apikal sangat kuat sehingga kurang responsif terhadap sitokinin, penambahan TDZ (0.09 mg/l) menginduksi tunas lateral 1 bulan lebih awal dibandingkan dengan media tanpa TDZ (Tabel 3.1). Terjadinya perbedaan respon antara eksplan pisang Rajabulu dan pisang Tanduk, diduga berhubungan dengan perbedaan sifat ketahanan fisik eksplan terhadap prosedur sterilisasi/pelukaan eksplan dan sifat kemampuan
132 tanggap eksplan terhadap TDZ. Pada jaringan tumbuhan (eksplan) adanya pelukaan dan perlakuan lain (ZPT) dapat menghantarkan jaringan tanaman yang telah terdeferensiasi, menjadi meristematik kembali (dediferensiasi) (Salisbury dan Ross 1995). Eksplan pisang Rajabulu diduga perlu waktu untuk menstabilkan kadar polifenol pada permukaan jaringan luka untuk bisa merespon hara dan ZPT yang ada pada media. Selain itu eksplan pisang Rajabulu diduga termasuk tipe eksplan yang memerlukan tambahan sitokinin eksogen dengan aktivitas tinggi untuk merangsang proliferasi tunas. Salah satu kendala kegagalan eksplan di tahap inisiasi dan induksi tunas pisang adalah pencoklatan (browning). Selain luasnya pelukaan eksplan, seringnya eksplan mengalami luka juga menentukan karakteristik ketahanan eksplan terhadap pencoklatan (sintesis senyawa fenolik). Pada kultivar yang lebih tahan (pisang Tanduk), jaringan (sel) yang tercekam (luka) mengalami perubahan fisiologis dengan cepat untuk pemulihan luka, sedangkan pada kultivar yang peka (pisang Rajabulu) proses pemulihan terjadi lebih lama. Keberadaan genom B diduga mempengaruhi tingkat kandungan fenol dan aktivitas polyphenol oksidase. Tunas ‘balbisiana’ (genom BB) secara in vitro menunjukkan tingkat browning yang tinggi dibanding tunas ‘acuminata’ (genom AA) (Banerje et al. 1986; Hirimburegama dan Gamage 1997).
Pencoklatan
pisang Kepok (ABB) lebih tinggi dibanding pisang Rajabulu (AAB) dan pisang Tanduk (AAB), sedangkan pisang Ambon (AAA) dan pisang Mas (AA) tanpa subkulturpun sudah mempunyai kadar pencoklatan cukup rendah (Kasutjianingati 2004). Salah satu contoh ketahanan dominan yang mengekspresikan reaksi pelukaan atau pencoklatan pada tanaman adalah gen penyandi enzim polifenol oksidase.
Enzim polifenol oksidase adalah suatu enzim yang mengandung Cu,
dalam bentuk murni tidak berwarna dan stabil pada pH netral. Pelukaan (ekspose terhadap molekul oksigen) mengakibatkan terjadinya oksidasi aerob (pencoklatan) pada permukaan jaringan eksplan.
Pada jaringan luka, aktivitas enzim
peroksidase menjadi meningkat; semakin parah luka jaringan/sel merangsang pembentukan polifenol oksidase semakin banyak, menyebabkan browning dalam
133
jumlah yang tidak bisa ditolerir oleh eksplan dan bersifat meracuni (Vickery dan Vickery 1981).
Aktivitas pencoklatan pada jaringan pisang terbukti tinggi,
berbeda antar kultivar, dan menurun seiring dengan kedewasaan tunas dan berulangnya subkultur (Kasutjianingati 2004). Induksi
tunas
aksilar
diperlukan
untuk
mempersiapkan
atau
menghantarkan eksplan memasuki tahap perbanyakan (multiplikasi) tunas. Pada pisang Rajabulu tunas aksilar perlu diinduksi dengan penambahan TDZ di awal kultur.
Hal ini disebabkan adanya kekuatan dominansi tunas apikal eksplan
pisang Rajabulu yang diduga tinggi (rasio auksin/sitokinin endogen tinggi), sehingga kemampuan multiplikasi menjadi rendah. TDZ merupakan turunan fenilurea yang mempunyai kemampuan mendorong aktivitas proliferasi tunas yang sangat tinggi pada konsentrasi rendah (0.002 – 2.0 mg/liter) (Lee 2005). Merujuk pada teori yang ada (Salisbury dan Ross 1995), diduga TDZ mampu memberikan signal hormonal yang cocok pada protein penerima (konfigurasinya diduga berubah saat mengikat TDZ), menyebabkan perubahan metabolik lain yang mengarah pada sel-sel eksplan pisang Rajabulu yang sebelumnya sudah terdiferensiasi menjadi kembali ke kondisi meristematik, yang selanjutnya mempercepat munculnya tunas lateral. Respon pertumbuhan tunas lateral eksplan pisang terhadap perlakuan komposisi sitokinin-auksin bergantung pada karakter eksplan. Perbedaan respon multiplikasi antara pisang Tanduk dan pisang Rajabulu sangat dipengaruhi oleh ketahanan eksplan terhadap luasnya pelukaan, seringnya eksplan mengalami luka dan perbedaan kepekaan (rasio sitokinin endogen) sel sasaran terhadap komposisi ZPT media. Hal tersebut berhubungan dengan pendapat Barker dan Steward (1962) dan Zaffari et al. (2000), bahwa pembentukan primordia tunas lateral eksplan pisang secara in vitro terjadi di dekat meristem apikal dan perkembangan tunas lateral tersebut terjadi setelah penurunan rasio auksin/sitokinin di bagian basal eksplan karena aktivitas IAA oksidase.
BAP dalam medium proliferasi
berkorelasi dengan sitokinin endogen eksplan dalam pembentukan tunas lateral. Hal ini biasanya terjadi 30 hari setelah tanam.
Percobaan Zaffari et al. (2000),
mendapatkan hal tersebut terjadi setelah 60-75 hari dari kultur eksplan pisang
134 Grade Naine (AAA).
Menurut Barker dan Steward (1962) pembentukan
primordia tunas lateral dan perkembangannya terjadi hanya selama kultur berada di medium proliferasi yang mengandung sitokinin. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam multiplikasi bukan bagaimana menghasilkan tunas yang berjumlah banyak namun bagaimana menghasilkan tunas
yang
bermutu
(vigor
dan
viabel)
dalam
jumlah
yang
cukup.
Mempertahankan mutu tunas pada media perbanyakan (multiplikasi) tidak perlu lagi digunakan sitokinin dengan aktivitas proliferasi tinggi (TDZ) cukup digunakan sitokinin BA pada konsentrasi 1-2 mg/l dan IAA 0.25-0.5 mg/l. Hasil percobaan Nielsen et al. (1995) menunjukkan bahwa sitokinin tipe adenine sudah cukup
mampu
meningkatkan
multiplikasi
tunas
pada
kultur
tanaman
Miscanthus sp. Menurut Mante dan Tepper (1983) dan Pierik (1987) subkultur berulang pada media yang sama dengan sitokinin tinggi akan meningkatkan multiplikasi tetapi menurunkan mutu tunas (berukuran kecil, vitrous, roset). Kondisi tersebut harus dihindarkan karena multiplikasi tinggi menyebabkan variasi somaklonal (off type); secara visual morfologi tunas adventif dan tunas aksilar yang dihasilkan sukar dibedakan. Media perbanyakan untuk eksplan pisang Rajabulu dan pisang Tanduk hasil percobaan dapat digunakan media MS + BA 1 mg/l + IAA 0.25 mg/l (M2) dan media MS + BA 2 mg/l + IAA 0.5 mg/l (M3). Kedua
pisang
mempunyai
karakter
berbeda
tetapi
mempunyai
permasalahan sama yaitu planlet yang dihasilkan kurang viabel (< 3 cm) untuk aklimatisasi. Tunas dikatakan viabel untuk aklimatisasi, apabila secara morfologi mempunyai organ yang lengkap (akar, batang dan daun) sempurna dan ukuran tunas termasuk dalam kategori tunas besar (> 3 cm). Karakter tunas pisang Tanduk yang sangat responsif terhadap sitokinin, multiplikasi tunas banyak menghasilkan planlet berukuran kecil (< 2 cm).
Sebaliknya kemampuan
multiplikasi pisang Rajabulu rendah, planlet yang dihasilkan berukuran sedang (23 cm). Usaha mendapat planlet viabel (> 3 cm) atau agar peluang hidup planlet saat aklimatisasi menjadi tinggi maka tunas hasil multiplikasi perlu fase pertumbuhan ke arah pembesaran tunas atau morfogenesis menjadi planlet
135
kategori besar (>3 cm).
Agar rasio auksin/sitokinin mendukung pembesaran
tunas, maka tunas pisang Tanduk setelah bermultiplikasi, perlu pembesaran tunas (morfogenesis) dengan disubkultur ke media M0 berturut-turut dua kali (M2M0 atau M3M0, dan M0M0). Tunas pisang Rajabulu hasil multiplikasi, tunas pada media berZPT (M2 atau M3) langsung disubkultur ke media M0 (M2M0 atau M3M0). Penambahan GA3 pada media M4, M5, dan M6 untuk keperluan memperbaiki morfologi pertumbuhan planlet pisang Rajabulu dan pisang Tanduk dengan konsentrasi 3 mg/l menunjukkan pertumbuhan tunas tidak sempurna (pelepah memanjang, daun kecil, dan bentuk tidak normal). Hal tersebut diperkirakan karena tinginya konsentrasi GA, sehingga perlu dikaji ulang dengan menurunkan konsentrasi GA3 kelipatan 0.5 mg/l. Kokultur In Vitro Eksplan Pisang dengan Rizobakteri Kokultur in vitro merupakan usaha peningkatan mutu planlet melalui modifikasi teknik perbanyakan kultur jaringan standar (berdasar informasi Bab 3 dan 4) dipadukan dengan teknik bakterisasi bertujuan selain meningkatkan mutu fisiologis juga untuk melengkapi tuntutan mutu saniter. Respon kokultur in vitro rizobakteri-eksplan terhadap pertumbuhan eksplan ditentukan oleh perubahan lingkungan di sekelilingnya. Selama ini belum pernah dilaporankan hasil percobaan atau SOP (standar operasional prosedur) baku yang berhubungan dengan kokultur rizobakteri-eksplan pisang secara in vitro. Kokultur rizobakteri- eksplan pisang secara in vitro pada penelitian ini merupakan modifikasi dari metode kultur jaringan standar.
Kebaruan dan
keaslian hasil penelitian pada bab ini ditunjukkan dengan informasi proses keberhasilan asosiasi antara rizobakteri-eksplan pisang Tanduk dan pisang Rajabulu. Penelusuran keberhasilan asosiasi diukur dengan mengamati respon peluang hidup eksplan (%); keparahan pencoklatan eksplan; keberadaan rizobakteri pada reisolasi akar; kemampuan rizobakteri meningkatkan multiplikasi tunas berdasar stadia eksplan, dimulai dari stadia eksplan mulai mengalami multiplikasi. Asosiasi kokultur rizobakteri dengan eksplan pada stadia multiplikasi pada semua perlakuan bakterisasi menunjukkan tidak ada eksplan yang mampu
136 bertahan hidup (Gambar 5.3 dan 5.4). Eksplan stadia multiplikasi diperoleh dengan mengikuti prosedur standar, yaitu dengan cara memotong/mengurangi bagian batang atas bahan eksplan, mengupas jaringan permukaan eksplan yang berwarna hitam akibat pencoklatan dari pertumbuhan sebelumnya, sehingga jaringan eksplan berupa potongan sebagian bonggol yang bermata tunas. Bakterisasi yang dilakukan pada eksplan stadia multiplikasi ternyata kurang tepat karena pada jaringan eksplan pisang yang muda mudah terjadi pencoklatan bila mendapat perlakuan pelukaan atau karena bakteri. Pelukaan fisik eksplan ataupun keberadaan bakteri mampu menginduksi fenol (Salisbury dan Ross 1995). Luasnya area pelukaan pada permukaan eksplan stadia multiplikasi (Gambar 5.3B) merespon jaringan tanaman mengeluarkan senyawa fenol yang menyebabkan pencoklatan (Gambar 5.3C). Pencoklatan eksplan yang semakin parah akan bersifat meracuni tanaman. Selanjutnya jaringan eksplan yang mati merupakan daerah yang sangat disukai bakteri saprofitik (Gambar 5.3D), sehingga dalam waktu 3 HSA seluruh permukaan eksplan tertutup koloni rizobakteri. Eksplan tidak mampu mengimbangi cepatnya kolonisasi pertumbuhan rizobakteri, dan tidak mampu mengelola metabolisme pertumbuhan, sehingga hari-hari berikutnya mengalami pembusukan (Gambar 5.3D dan 5.3E). Sesuai dengan pendapat Goto (1990) dan Soesanto (2008) yang menyatakan bahwa proliferasi bakteri bergantung pada ketersediaan nutrisi dan bakteri cenderung akan memanfaatkan nutrisi dengan maksimal untuk pertumbuhannya.
Makin kaya kandungan nutrisi pada media kokultur yang
ditambah TSB (Gambar 5.3E) populasi bakteri makin padat dan eksplan semakin cepat membusuk.
Eksplan dengan perlakuan tanpa rizobakteri 100% hidup
dengan kenampakan sehat dan 3 minggu setelah tanam sudah bermultiplikasi terbentuk tunas baru (Gambar 5.2). Ternyata prosedur kokultur selanjutnya dengan mengurangi pelukaan hanya pada bagian bonggolnya yang dibersihkan dan tunasnya dibiarkan (Gambar 5.4B) juga tidak berhasil dengan permasalahan yang sama; eksplan tidak mampu bertahan terhadap kondisi cekaman akibat pelukaan dan rizobakteri (Gambar 5.4F dan 5.4G).
Pelukaan fisik prosedur persiapan eksplan pisang pada stadia
multiplikasi menyebabkan pencoklatan dan proliferasi rizobakteri yang menutupi
137
daerah luka merupakan faktor pembatas keberhasilan kokultur rizobakteri-eksplan secara in vitro. Planlet pisang adalah miniatur tanaman hasil perbanyakan kultur jaringan yang sudah mempunyai organ lengkap (akar, bonggol, batang semu dan daun) dengan diferensiasi jaringan yang lebih dewasa.
Kokultur rizobakteri pada
eksplan stadia planlet mampu memberi informasi yang akurat adanya keterkaitan antara kelengkapan organ tanaman dengan sifat kolonisasi rizobakteri. Kedewasaan jaringan eksplan menunjang pertumbuhan dan metabolisme, sehingga planlet mampu bertahan dengan perubahan kondisi lingkungannya. Perakaran planlet diduga mampu mampu menyediakan zona kolonisasi rizobakteri, mengeluarkan eksudat/sekresi yang dapat dimanfaatkan rizobakteri sebagai nutrisi (berdasar Tabel 5.1). Pada 21 HSA peluang hidup eksplan pisang Rajabulu yang di kokultur dengan B. substilis SB3 secara in vitro (72.9 %) lebih tinggi dibandingkan dengan P. fluorescens ES32 (43.8%) dan eksplan perlakuan tanpa rizobakteri semua hidup (100%) (Tabel 5.2). Pada media+TSB atau tanpa TSB eksplan tanpa bakteri menunjukkan peluang hidup eksplan 100% hidup (Tabel 5.3 dan 5.6). Jelas sekali bahwa keberhasilan kokultur pisang selain bergantung pada jenis eksplan, stadia eksplan, juga ditentukan oleh karakter proliferasi rizobakteri, penambahan nutrisi bakteri atau tidak (TSB) dan cara aplikasi (celup atau tusuk) (Tabel 5.3 - 5.8). Proliferasi bakteri bergantung pada ketersediaan nutrisi dan cenderung akan memanfaatkan nutrisi dengan maksimal untuk pertumbuhannya (Goto 1990). Kokultur eksplan pisang Rajabulu stadia planlet yang dibakterisasi dengan B. substilis SB3 pada media dengan penambahan TSB atau tanpa TSB, sampai 21 HSA peluang hidup berada pada selang kategori sedang sampai tinggi (50-100%) dengan keparahan pencoklatan kategori ringan sampai sedang (3.3-16.7%), secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa rizobakteri dan lebih baik bila dibandingkan dengan eksplan yang di bakterisasi dengan P. fluorescens ES32. Proliferasi B. substilis SB3 diduga langsung berada dalam jaringan tanaman,
tidak
berkolonisasi
di
bagian
luar/sekitar
eksplan,
sehingga
138 keberadaannya tidak mengganggu penyerapan hara dan ZPT pada media, proses metabolisme eksplan berjalan lancar. Eksplan pisang Rajabulu yang di kokultur dengan P. fluorescens ES32 pada media+TSB tinggi (20-30% TSB) sampai 21 HSA, secara statistik menunjukkan peluang hidup kategori rendah sampai gagal tumbuh (16.7 – 0%), dengan pencoklatan kategori sangat parah bila dibandingkan dengan perlakuan media+TSB 10% (rendah) peluang hidup kategori sedang. tinggi
menurunkan
peluang
hidup
eksplan
sampai
Konsentrasi TSB gagal
tumbuh.
P. fluorescens ES32 lebih bersifat mengkolonisasi permukaan eksplan dan media. Penambahan nutrisi TSB meningkatkan kolonisasi rizobakteri di media dan di sekitar tanaman. Keberadaan rizobakteri diduga merangsang pencoklatan jaringan luka eksplan dan menghambat metabolisme pertumbuhan eksplan. Bakterisasi B. substilis SB3 dengan cara dicelup pada kokultur eksplan pisang Rajabulu memberi peluang hidup lebih baik dibandingkan dengan cara ditusuk. Kolonisasi B. substilis SB3 langsung berada dalam jaringan tanaman. Tanpa mengalami pelukaan eksplan, diduga bakteri masuk melalui akar dan lubang alami. Kondisi tanpa pelukaan mendukung metabolisme pertumbuhan, penyerapan hara dan ZPT berjalan normal.
Bakterisasi dengan cara tusuk
dilakukan dengan menusuk pangkal batang, merangsang terjadi mekanisme penyembuhan luka. Bagian tanaman yang luka mengeluarkan sekresi dan lisat yang merangsang proliferasi bakteri saprofit, koloni menghambat hara dan ZPT dari media, merangsang pencoklatan (browning). Polifenol berlebihan pada jaringan luka dapat bersifat meracuni eksplan. Pada 21 HSA kokultur planlet pisang Tanduk dengan kedua jenis rizobakteri baik cara dicelup maupun ditusuk, berpeluang hidup rendah dan mengalami pencoklatan berat (Tabel 5.6 dan 5.7). Rendahnya peluang hidup diduga karena eksplan pisang Tanduk, vigor planletnya lebih kecil dan batang lebih kurus dibanding eksplan pisang Rajabulu sehingga kurang mampu bertahan dengan kondisi sterilisasi pelukaan fisik dan terhadap kehadiran rizobakteri.
139
Multiplikasi Eksplan Pisang Rajabulu pada Kokultur In Vitro Pada kokultur eksplan pisang Rajabulu yang berhasil hidup (setelah > 21 HSA) diamati kemampuan rizobakteri sebagai PGPR terhadap multiplikasi tunas. Kokultur rizobakteri-planlet pisang Rajabulu (Tabel 5.9) menunjukkan bahwa rizobakteri mampu memacu multiplikasi tunas dan meningkatkan jumlah akar. Rizobakteri endofit P. fluorescens ES32 dan B. substilis SB3 yang digunakan dalam percobaan ini sebelumnya sudah dibuktikan mempunyai kemampuan sebagai agens pengendali hayati/PGPR (Eliza. 2004). Kokultur kedua rizobakteri tersebut pada media MSO mampu merangsang multiplikasi tunas (P. fluorescens ES32 sebesar 0.6 tunas/eksplan dan B. substilis SB3 sebesar 2.2 tunas/eksplan) bila dibandingkan dengan kultur di media MSO tanpa rizobakteri (0 tunas/eksplan). Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Wei et al (1991), menyatakan bahwa rizobakteri mampu mensintesis hormon tumbuh bila ada kontak langsung dengan tanaman. Menurut Thakuria et al. (2004); Joo et al. (2004) dan Timmusk (2003) isolat Bacillus spp mampu mensintesis IAA, giberellin dan sitokinin. Sedangkan isolat P. fluorescens menurut Thakuria et al. (2004); Ping dan Boland (2004); Salamone et al. (2004) juga mampu menghasilkan IAA, giberellin dan sitokinin. Kokultur pada media MS+ZPT (M3) menghasilkan jumlah tunas lebih rendah bila dibandingkan dengan kultur pada media yang sama tanpa rizobakteri. Berarti keberadaan rizobakteri menghambat pengaruh ZPT. Kokultur pada media M3+TSB (10%, 20%, 30%) menghasilkan tunas sangat rendah sampai tunas tidak terbentuk apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa rizobakteri. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan ditambah nutrisi bakteri (TSB) kolonisasi rizobakteri makin meluas dan metabolisme tunas terganggu, berakibat multiplikasi gagal. Rizobakteri yang digunakan spesifik bakteri perakaran, karenanya dalam percobaan menunjukkan perlakuan kokultur rizobakteri terhadap pertumbuhan dan
perkembangan
akar
planlet,
berkemampuan
meningkatkan
jumlah
akar/eksplan lebih banyak (2-3 kali lebih banyak) dibanding perlakuan tanpa rizobakteri.
140 Berdasar hasil percobaan ini meskipun rizobakteri terbukti mampu merangsang multiplikasi tunas, tetapi perbanyakan tunas dengan teknik kokultur kurang efisien dan tidak dapat menyamai perbanyakan teknik standar kultur jaringan.
Jumlah tunas hasil kokultur rizobakteri-eksplan pada media M3
(MS+BA 2 mg/l + IAA 0.5 mg/l) mempunyai nilai lebih rendah (2.3-2.6 tunas/eksplan) dibanding multiplikasi eksplan pada media yang sama tanpa rizobakteri (4 tunas/eksplan). Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa kokultur kurang efisien dan sangat riskan apabila ditujukan untuk perbanyakan karena saat dilakukan subkultur peluang hidup eksplan menjadi sangat rendah. Subkultur mengembalikan tunas pada kondisi fisiologi eksplan yang rentan. Pelukaan eksplan saat proses pemisahan tunas-tunas, mengembalikan eksplan ke kondisi meristematik, pertumbuhan bakteri kembali susah dikontrol sehingga peluang hidup eksplan kembali sangat rendah. Solusi terbaik dan tidak beresiko adalah perbanyakan propagul pisang dilakukan dahulu melalui teknik kultur jaringan standar. Setelah planlet mencapai jumlah yang diinginkan, dilakukan bakterisasi terhadap planlet masih dalam kondisi in vitro menjelang aklimatisasi, untuk menjamin bahwa mikroorganisme yang masuk adalah jenis rizobakteri yang dimaksud. Respon Pertumbuhan Bibit terhadap Bakterisasi In Vitro Stadia paling awal yang aman bagi asosiasi rizobakteri adalah stadia planlet sempurna (sudah berakar, mempunyai batang daun sempurna, tinggi >3 cm) siap aklimatisasi (1-2 minggu sebelum aklimatisasi) dengan cara aplikasi rizobakteri dituang suspensi bakteri (109 cfu/ml) atau saat aklimatisasi dengan direndam suspense rizobakteri (109 cfu/ml). Hasil inkorporasi rizobakteri yang diaplikasikan pada planlet 1-2 minggu sebelum aklimatisasi terbukti mampu mendukung pertumbuhan sampai stadia bibit terhadap dua kultivar pisang Rajabulu (Tabel 6.1) dan pisang Tanduk (Tabel 6.2). Kontak langsung rizobakteri dengan tanaman bisa terjadi lebih awal (in vitro) diduga mampu memberi kesempatan rizobakteri berkolonisasi, menguasai area perakaran dan berhasil memberikan stimulus yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan awal bibit. Menurut Wei et al. (1991) dan Thakuria et al.
141
(2004) P. fluorescens ES32 dan B. substilis SB3 mampu mensintesis hormon tumbuh. Pada stadia bibit diduga, kondisi pertumbuhan tanaman masih berada pada stadia kurva pertumbuhan awal yang cenderung masih lambat, rizobakteri mampu mempengaruhi metabolisme pertumbuhan, sehingga meningkatkan tinggi tanaman, diameter daun, lebar dan panjang daun. Menurut Timmusk (2003), Pal et al. (2004) dan Ahmad et al. (2005) P. fluorescens ES32 dan B. substilis SB3 mempunyai kemampuan melarutkan fosfat, memfiksasi nitrogen, memproduksi auksin dan sitokinin yang bermanfaat bagi tanaman. Respon pertumbuhan tersebut tidak nampak pada stadia tanaman muda di rumah kaca (Tabel 6.3; Tabel 6.4 dan Gambar 6.1 - 6.5). Hal tersebut diduga karena pada bibit umur 2 bulan ritme pertumbuhannya sudah mulai memasuki kurva pertumbuhan cepat, metabolisme laju pertumbuhan tanaman sudah dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor yang komplek. Pada stadia ini, bibit sudah aktif berfotosintesa dan interaksi dengan kerja enzim juga makin rumit. Kokultur rizobakteri pada stadia planlet siap aklimatisasi (1-2 MSbA) merupakan stadia dini dari bibit tanaman pisang berasosiasi dengan rizobakteri. Pengkolonian akar oleh rizobakteri PGPR seawal mungkin diharapkan mampu mencegah pengkolonisasian akar oleh mikroba patogen. Inkorporasi Rizobakteri-tanaman Pisang Sejak In Vitro Mampu Menekan Keparahan Layu Fusarium ( Fusarium oxysporum Schlecht f.sp cubense) Pada pisang Rajabulu, asosiasi dua jenis rizobakteri (B.subtilis SB3 dan P. fluorecens ES32) menekan gejala Foc lebih baik daripada bakterisasi dengan rizobakteri tunggal atau tanpa rizobakteri (Tabel 7.1 - 7.5; Gambar 7.6 dan 7.7). Sedangkan pada pisang Tanduk asosiasi dengan rizobakteri secara tunggal (B. subtilis SB3 atau P. fluorecens ES32) lebih baik daripada asosiasi dua jenis rizobakteri (Tabel 7.6 – 7.10; Gambar 7.8).
Mekanisme penekanan tingkat
keparahan penyakit layu Fusarium oleh agen pengendali hayati tersebut diduga terjadi secara langsung melalui kompetisi persaingan nutrisi atau kemampuan agen memproduksi metabolit sekunder seperti siderofor, sianida, enzim ekstraseluler, senyawa antibiotik atau secara tidak langsung dengan menginduksi resistensi tanaman terhadap infeksi patogen (Alstrom dan Burn 1989; Timmusk
142 2003; Cho et al. 2003; Zhang 2004; Saravanan et al. 2004; Tsuge et al. 2005; Mizumoto dan Shoda 2007). Perbedaan respon asosiasi rizobakteri di antara dua kultivar pisang yang diuji terhadap penekanan gejala Foc, terletak pada kemampuan sinergisme antara pertumbuhan dan perkembangan rizobakteri untuk mengkolonisasi daerah perakaran tanaman lebih awal.
Penekanan gejala Foc ditentukan pula oleh
kemampuan rizobakteri untuk tumbuh lebih cepat dalam mencapai kapadatan yang tinggi di daerah akar dibanding pertumbuhan dan kolonisasi Foc. Setiap agen pengendali tersebut diduga mempunyai mekanisme yang berbeda dalam memanfaatkan nutrisi, eksudat akar dan substrat selulosa di akar atau di dekatnya yang bergantung pada karakter kultivar pisang tersebut. Perbedaan kolonisasi rizobakteri dapat disebabkan pengaruh kesesuaian interaksi antara rizobakteri dengan inangnya (tanaman pisang). Rizobakteri yang kompatibel dengan inangnya akan tumbuh dengan cepat. Kolonisasi rizobakteri diduga juga berhubungan dengan spesifikasi morfologi akar inang, komposisi nutrisi dari eksudat akar dan ukuran ruang interselular (Sekar dan Kandavel 2010). pesaing
Kepadatan populasi rizobakteri yang tinggi dapat berfungsi sebagai nutrisi,
mengendalikan
persaingan
karbon
dalam
menghambat
perkecambahan spora Foc, dalam kondisi stres Fe bakteri akan mensintesis siderofor yang mempunyai daya ikat tinggi ion Fe3+, juga perannya terhadap unsur mikro yang lain (Cu, Mn, dan Zn), serta kemampuan mensintesis enzim ekstraseluler dan senyawa antibiotik sehingga mampu menekan Foc.