VII. PEMBAHASAN UMUM Tanaman cabai (Capsicum annuum) merupakan salah satu komoditas andalan hortikultura di Indonesia. Tanaman tersebut ditanam di seluruh provinsi di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis yang sangat baik, sehingga mendapat prioritas untuk dikembangkan. Selain beberapa faktor agronomis yang menjadi kendala produksi cabai di Indonesia seperti berkurangnya luas panen, sukarnya mendapatkan benih yang bermutu dan murah, peranan gangguan hama dan penyakit juga sangat menentukan tinggi rendahnya hasil panen cabai. Salah satu penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus yang saat ini mendapat perhatian adalah Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV). Virus ini merupakan salah satu agen penyebab penyakit belang pada cabai dan menjadi ancaman serius pada tanaman cabai, di beberapa sentra produksi cabai di Indonesia. Munculnya penyakit yang disebabkan oleh ChiVMV tersebut telah dilaporkan oleh beberapa peneliti pada tanaman cabai beberapa tahun terakhir ini dan dapat menyebabkan kehilangan hasil 60% sampai 100% (Taufik et al. 2005, Subekti et al. 2006, Latifah et al. 2007, Opriana 2009, Trisno 2009). Hasil deteksi yang telah dilakukan dalam penelitian ini dengan metode ELISA dan RT-PCR membuktikan bahwa ChiVMV telah muncul pada pertanaman cabai di daerah-daerah lain yang sebelumnya belum pernah dilaporkan yaitu Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh Tengah. Isolat-isolat ChiVMV yang digunakan dalam penelitian ini membuktikan adanya variasi biologi antar isolat ChiVMV yang ada di Indonesia yang ditunjukan oleh perbedaan virulensinya. Isolat Cikabayan (CKB) merupakan isolat yang memiliki virulensi yang tinggi, sedangkan isolat Karadenan (KR) dan Tanah Datar (TD) memiliki virulensi yang rendah. Hasil analisis berdasarkan motif protein dari masing-masing isolat yang memiliki tingkat virulensi yang berbeda mengindikasikan adanya mutasi pada selubung protein (CP) yang diduga berpengaruh terhadap variasi virulensi antar isolat/strain ChiVMV. Analisis lebih lanjut pada motif asam amino gen CP-ChiVMV menunjukkan bahwa motif octapeptide telah termutasi menjadi LSGQVQPQSRQSEMETEVPQVR pada ChiVMV CKB dan menjadi
RMETFGLDGRVGTQEEDTERHT pada CP-
110
ChiVMV lainnya. Perbedaan lainnya terjadi pada daerah asam amino nomor 61 dan 84, dimana ChiVMV BL dan KR kehilangan sekuen MET dan mengalami mutasi GG menjadi KV. Dengan demikian variasi isolat/strain ChiVMV tidak saja ditunjukkan oleh adanya perbedaan pada tingkat virulensi antar strain, tetapi juga pada tingkat molekuler yaitu pada sekuen asam amino selubung proteinnya. Variasi virulensi antar strain patogen terjadi melalui mekanisme gene for gene interaction, artinya mekanisme yang terjadi merupakan hasil interaksi antara gen virulen patogen dengan sistem imun yang dimiliki oleh tanaman demikian sebaliknya. Gen virulen yang dimiliki oleh setiap strain patogen merupakan hasil interaksi khusus dan terus-menerus antara patogen dengan inangnya. Pada patogen yang memiliki perkembangan cepat, daya adaptasi tinggi, dan sebaran inang luas, biasanya memiliki variasi strain yang tinggi seperti halnya pada ChiVMV. Strategi pengendalian ChiVMV harus memperhatikan variasi strain yang ada di suatu wilayah. Usaha pengendalian penyakit belang pada cabai yang disebabkan oleh ChiVMV sampai saat ini masih sulit untuk dilakukan. Pengendalian umumnya dilakukan secara tidak langsung antara lain dengan mengurangi sumber inokulum dengan cara mencabut tanaman-tanaman yang telah menunjukkan gejala serangan virus, melakukan pergiliran tanaman, dan pemberantasan gulma yang dapat menjadi inang alternatif virus, dan
mengendalikan perkembangan serangga
vektor dengan menggunakan pestisida. Cara-cara pengendalian tersebut terkadang tidak efektif karena proses penularan virus dapat terjadi dengan cepat mengingat kutu daun dapat menularkan virus ke tanaman sehat hanya dalam hitungan menit sampai jam. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah penggunaan pestisida akan meninggalkan residu pestisida pada buah dan membahayakan, mencemari lingkungan serta membutuhkan biaya yang besar. Dengan demikian penggunaan varietas tahan merupakan pilihan yang tepat untuk mengendalikan virus karena metode ini relatif lebih aman dan murah bila dibandingkan dengan metode pengendalian yang lain (Dolores 1998) . Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus diantaranya adalah dengan memanfaatkan potensi yang ada pada virus itu sendiri, misalnya adanya variasi strain.
111
Pemanfaatan strategi pengendalian melalui teknik proteksi silang telah berhasil dilakukan pada beberapa komoditas pertanian seperti, Capsicum frutescens L., pepaya, labu (Cucurhita moschata Poir)
(Akin 2005, Ferreira et al. 2007,
Rahman et al. 2010) . Proteksi silang adalah menggunakan strain lemah virus untuk melindungi tanaman dari infeksi virus dengan strain kuat atau ganas. Ketersediaan strain lemah yang tidak menurunkan hasil tanaman inang merupakan kunci keberhasilan pengendalian virus menggunakan proteksi silang. Metode ini telah diuji untuk papaya ringspot virus (PRSV) pada pepaya dan labu dan dapat menurunkan kehilangan hasil karena terinfeksi PRSV masing-masing sebesar 64% dan 90% (Rahman et al. 2010; Ferreira et al. 2007). Pengendalian penyakit tanaman juga telah dilakukan pada tanaman cabai (Capsicum frutescens L.) dengan menggunakan strain lemah pepper mottle virus (PeMV) (Nadeem et al. 1999). Strategi lain didalam upaya pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus adalah pemanfaatan tanaman bebas virus. Virus pada tanaman dapat dieliminasi dengan teknik kultur jaringan yaitu kultur meristem atau menggunakan antiviral seperti virazol (Ribavirin) (Biswas et al. 2007) Varietas tahan diketahui mempunyai kontribusi tinggi terhadap produksi berbagai tanaman, termasuk pada tanaman hortikultura penting seperti cabai. Strategi pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus yang memanfaatkan varietas tahan mampu meningkatkan hasil sebesar 15-20% (1-1,5 t/ha) (Nadeem et al. 1999) Beberapa pendekatan dalam melakukan perakitan varietas tahan virus diantaranya adalah melalui pendekatan konvensional, rekayasa genetik dan melalui pemanfaatan kultur in vitro yang dikombinasi dengan induksi mutasi menggunakan
mutagen
kimia
EMS.
Pendekatan
konvensional
untuk
pengembangan varietas tahan virus memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah sumber gen ketahanan terhadap virus masih belum ditemukan pada koleksi plasma nutfah cabai di Indonesia. Selain itu, kultivar tahan yang dihasilkan melalui pemuliaan konvensional seringkali mudah terpatahkan karena perubahan genetik dari virus yang cepat akibat adanya rekombinasi dan adanya variasi genetik yang tinggi dari virus.
112
Didalam penelitian ini telah dilakukan perakitan varietas melalui teknik kultur in vitro yang dikombinasikan dengan mutagen kimia EMS. Teknik kultur in vitro seringkali dapat menginduksi terjadinya keragaman genetik pada populasi tanaman yang dihasilkan. Oleh karena itu, keragaman genetik yang terjadi akibat kultur in vitro disebut keragaman somaklonal (variation somaclonal) (Larkin dan Scowcroft 1981). Induksi mutasi yang dikombinasikan dengan mutagen kimia EMS didalam penelitian ini telah berhasil mendapatkan 20 mutan somaklon. Mutan somaklon yang diperoleh menunjukkan ketahanan terhadap ChiVMV dan berpotensi untuk digunakan sebagai tetua dalam pengembangan varietas cabai. Pengembangan varietas tahan perlu diarahkan pada pengendalian strain yang paling dominan di Indonesia agar dapat menurunkan kehilangan hasil cabai yang lebih signifikan. Jika laju pergeseran antar stain ChiVMV sangat tinggi, maka pemantauan pergeseran strain dan pencarian sumber ketahanan baru harus terus
dilakukan
didalam
menunjang
program
pemuliaan
cabai
yang
berkesinambungan. Dalam penelitian ini telah diidentifikasi dan dibedakan antara strain kuat dan strain lemah, tetapi belum diketahui strain yang dominan yaitu strain yang memiliki penyebaran yang paling luas. Informasi mengenai keragaman genetika, hubungan kekerabatan, serta arah perubahan dan dominasi strain suatu patogen sangat penting dalam mempelajari epidemiologi penyakit tanaman, khususnya dalam menyusun kebijakan pengendalian penyakit dengan menggunakan kultivar tahan. Dengan menggunakan galur isogenik sebagai kultivar deferensial kita dapat mempelajari jumlah dan komposisi gen virulen dari suatu strain. Hubungan kekerabatan serta arah dan tahap perubahan strain suatu patogen dapat ditelusuri dengan membandingkan jumlah dan komposisi gen virulen yang dimiliki oleh masingmasing strain. Untuk menganalisis hubungan kekerabatan serta arah dan tahap perubahan strain ChiVMV dapat diasumsikan bahwa perkembangan strain di mulai dari yang sederhana yaitu strain yang memiliki gen-gen virulen paling sedikit misalnya strain KR yang mempunyai gen virulen terhadap 4 genotipe (Jatilaba, Keriting Bogor, Titsuper, dan Beauty Bell) melalui mekanisme hibridisasi atau rekombinasi memungkinkan strain tersebut mengalami mutasi sehingga terjadi
113
pergeseran strain sebagai akibat adanya penambahan gen virulen untuk mengatasi gen ketahanan tanaman. Perubahan yang terjadi dalam virulensi patogen pada tahap berikutnya harus diimbangi dengan perubahan ketahanan inang, dan begitu sebaliknya, sehingga keseimbangan dinamis ketahanan tanaman dan virulensi patogen akan terpelihara dan keduanya dapat bertahan hidup. Perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikannya walaupun demikian ke 20 tanaman mutan somaklonal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber gen ketahanan dalam program pemuliaan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Akin HM 2005. Kepatogenen satelit RNA yang berasosiasi dengan Cucumber mosaic virus (CMV-satRNA) pada tanaman cabai. J. HPT Tropika (5)3741 Biswas MK, Hossain M, Islam R. 2007. Virus free planlets production of strowberry through meristem culture. World Journal of Agricultural Sciences 3(6):757-763 Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the AVNET II Final Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Ferreira SA, Ronald FL Mau, Karen YP. 2007. Papaya Ringspot Virus Cross Protection-An Update. Mol. Gen Genomic (203) 331-339 Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Nadeem A, Xiong Z, Nelson M. 1999. Induction of Mild Strain of Pepper Virus by Chemical Mutagenesis and their Efficacy in Cross Protection. Pakistan Jurnal of Biological Sciences. 2(4):1371-1321 Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotype cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) [tesis]. Bogor, Sekolah Pascasarjana, IPB. Rahman MF, Akanda MA, Sarkar MZA. 2010. Effect of mild strain on severity of PRSV-W infection. Bangladesh J. Agril. Res. 35(2):279-285 Subekti D, Hidayat SH, Nurhayati E, Sujiprihati S. 2006. Infeksi cucumber mosaic virus dan chilli veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hayati 13:53-57
114
Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survey infeksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152. Trisno J, Hidayat SH, Jamsari, Manti I, Habazar T. 2009. Interaksi infeksi campuran ChiVMV dan Geminivirus dalam menimbulkan penyakit kuning keriting cabai. Seminar SEMIRATA BKS-PTN wil. Barat, Serang 13-16 April 2009.