BAB VIII RINGKASAN DAN KESIMPULAN
VIII.1 RINGKASAN 1. Pada abad XVIII – XIX di kerajaan Surakarta timbul masa kebangkitan kembali kesastraan Jawa Baru, yang oleh Pigeaud (1967) dinamakan masa renaissance. Masa renaissance tersebut disebabkan akibat perpindahan Kraton Kartasura ke Surakarta, Perang Pacinan, Perang Mangkubumi, banyak sekali naskah-naskah yang hilang maupun rusak. Oleh sebab itu, Sinuhun Paku Buwana III memberikan tugas kepada pujangga R. Ng. Yasadipura I untuk membangun kembali kesastraan Jawa. Pada masa renaissance ini kehadiran tiga pujangga Jawa, yakni R. Ng. Yasadipura I, R. Ng. Yasadipura II, dan R. Ng. Ranggawarsita memegang peranan sangat penting. Pujangga (pengarang) yang penting lainnya adalah Sinuhun Paku Buwana IV, Sinuhun Paku Buwana V (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom), Sri Mangkunegara IV (Kanjeng Gusti Pangeran Arya Mangkunegara IV), Kiai Sindhusastra, dan Kanjeng Pangeran Aria Kusumadilaga. 2. R. Ng. Ranggawarsita adalah salah satu pujangga renaissance di istana Surakarta, yang berkedudukan sebagai penerjemah, pengarang, penasihat, pengasuh, baik terhadap raja atau calon raja. Ia dikatakan sebagai ''Pujangga Penutup'' (de sluitsteen der pujangga’s model
434
feodal). Istilah ''Pujangga Penutup'' harus diartikan sebagai 'yang tertinggi, terbaik, atau yang paling sempurna'. 3. R. Ng. Ranggawarsita adalah seorang pujangga pengemban tradisi Jawa. Ia seorang pujangga yang terdidik dalam tradisi Jawa tetapi sekaligus seorang pembaharu dalam tradisi penulisan kesastraan Jawa seperti yang diwujudkan di dalam sandiasma yang terdiri atas sembilan macam cara (tata letak). 4. R. Ng. Ranggawarsita mencipta sekitar 70 buah karya yang mencakup 12 bidang keahlian, yaitu: kesastraan, pendidikan, pengetahuan bahasa, filsafat, pedalangan, pengetahuan alam (lahan perumahan), seni suara (karawitan), perhitungan tahun (waktu), babad, ramalan, silsilah, dan perkamusan. 5. Di antara 70 buah karya R. Ng. Ranggawarsita, Sěrat Pustakaraja merupakan karyanya yang terbesar dan teristimewa. Sěrat Pustakaraja terbagi menjadi 2 yaitu: Sěrat Pustakaraja Purwa dan Sěrat Pustakaraja Puwara, atau meliputi Sěrat Pustakaraja Purwa, Sěrat Pustakaraja Madya, Sěrat Pustakaraja Antara, dan Sěrat Pustakaraja Wasana. 6. Sěrat Pustakaraja Purwa meliputi: a. Sĕrat Maha Parwa, terdiri atas: a. Sĕrat Purwa Pada; b. Sĕrat Sabaloka. b. Sĕrat Maha Déwa, terdiri atas: a. Sĕrat Déwa Buddha; b. Sĕrat Dewa Raja.
435
c. Sĕrat Maha Rĕsi, terdiri atas: a. Sĕrat Rĕsi Kala; b. Sĕrat Buddha Krĕsna. d. Sĕrat Maha Raja, terdiri atas: a. Sĕrat Raja Kanwa; b. Sĕrat Palindria; c. Sĕrat Silacala; d. Sĕrat Sumanantaka. e. Sĕrat Maharata, terdiri atas: a. Sĕrat Dyitayana; b. Sĕrat Tritarata; c. Sĕrat Sindhula; d. Sĕrat Rukmawati; e. Sĕrat Sri Sadana. f. Sĕrat Maha Tantra, terdiri atas: a. Sĕrat Sri Kala; b. Sĕrat Raja Watara; c. Sĕrat Cita Kaprawa; d. Sĕrat Ariawanda; e. Sĕrat Para Patra. g. Sĕrat Maha Putra, terdiri atas: a. Sĕrat Mahandya Purwa; b. Sĕrat Suktinawyasa; c. Sĕrat Darma Sagara; d. Sĕrat Gorawangsa; e. Sĕrat Kumbayana; f. Sĕrat Wandha Laksana; g. Sĕrat Darma Mukta; h. Sĕrat Drĕta Nagara. h. Sĕrat Maha Dharma, terdiri atas: a. Sĕrat Kuramaka; b. Sĕrat Smara Dahana; c. Sĕrat Ambaralaya; d. Sĕrat Kridha Krĕsna; e. Sĕrat Kunjana Karna; f. Sĕrat Kunjana Krĕsna; g. Sĕrat Partayagnya; h. Sĕrat Manik Harja Purwaka; i. Sĕrat Sapanti Parta; j. Sĕrat Dĕwa Ruci; k. Sĕrat Parta Wiwaha/Mintaraga; Sĕrat Yudanaraga; m. Sĕrat Purobaya; n. Sĕrat Bomantara; o. Sĕrat Bomantaka; p. Sĕrat Bratayuda; q. Sĕrat Kirimataya; Sĕrat Darmasarana; s. Sĕrat Yudayana. Sĕrat Pustakaraja Puwara meliputi:
436
r.
a. Sĕrat Maha Parma, terdiri atas: a. Sĕrat Budhayana; b. Sĕrat Sariwahana; c. Sĕrat Purusangkara; d. Sĕrat Partakaraja; e. Sĕrat Ajidarma; f. Sĕrat Ajipamasa. b. Sĕrat Maharaka, terdiri atas: a. Sĕrat Witaradya; b. Sĕrat Purwanyana; c. Sĕrat Bandawasa; d. Sĕrat Déwatacèngkar. c. Sĕrat Maha Prana, terdiri atas: a. Sĕrat Widhayaka; b. Sĕrat Danèswara; c. Sĕrat Jayalĕngkara; d. Sĕrat Darmakusuma; e. Sĕrat Catur Pandaka. d. Sĕrat Maha Krama, terdiri atas: a. Sĕrat Surya Wisésa; b. Sĕrat Raja Sundha;
c. Sĕrat Madu Sudhana; d. Sĕrat Panca
Prabanggana. e. Sĕrat Maha Kara, terdiri atas: a. Sĕrat Mundhingsari; b. Sĕrat Raja Purwaka; c. Sĕrat Maha Kara. f. Sĕrat Maha Para. 7. Dalam mitologinya Sěrat Pustakaraja Purwa mulai disusun adalah ketika Sang Hyang Naradha dan Bathara Panyarikan datang ke Daha (Kediri, Menang) menjumpai Prabu Jayabhaya dan memerintahkan Sang Raja untuk menceritakan semua peristiwa di bumi Jawa. Kitab tersebut nantinya disesuaikan dengan catatan para dewa, yang kemudian dicocokkan lagi dengan isi kitab Jitapsara susunan Bagawan Palasara menurut petunjuk Dewi Rukmawati, putri Sang Hyang Anantaboga. Adapun Sěrat Pustakaraja Puwara disusun oleh mpu-mpu di kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu
437
Brawijaya IV yang berisi raja-raja di Mamenang sampai Prabu Brawijaya V. Sěrat Pustakaraja Puwara kemudian disusun oleh Mpu Artati
pada
tahun
1398
(Suryasangkala)
atau
tahun
1440
(Candrasangkala). Penyelesaian penulisan Sěrat Pustakaraja Puwara tersebut dilakukan di Bali karena setelah kerajaan Majapahit runtuh maka Mpu Artati melarikan diri ke Bali dan mengabdi kepada Prabu Dewa Ketut. 8. Sěrat Pustakaraja khususnya Sěrat Pustakaraja Purwa adalah hasil saduran kembali cerita Mahābhārata (Jawa Kuna) dengan berbagai adaptasi dan inovasi. Sěrat Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai suatu penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang. Sěrat Pustakaraja adalah kitab pedoman bagi seorang Raja (pakĕmipun panjĕnĕngan Nata). Pustakaraja dapat pula diartikan 'Rajanya Kitab', karena menjadi kitab yang terkemuka dan menjadi induk segala kitab cerita Jawa (Sěrat Raja, amargi dados tĕtunggul tuwin dados baboning sěrat cariyos Jawi). 9. Wayang Madya adalah salah satu jenis pertunjukan wayang yang diciptakan oleh Sri Mangkunegara IV berdasarkan Sěrat Pustakaraja Madya dan Sěrat Witaradya karya R. Ng. Ranggawarsita. Bentuk Wayang Madya adalah paduan antara Wayang Kulit (Purwa) dengan Wayang Gĕdhog. Bagian atas sampai tengah mengambil bentuk Wayang Purwa sedangkan bagian tengah ke bawah mengambil bentuk Wayang Gĕdhog. Sumber Wayang Madya menjadi jembatan yang
438
menghubungkan antara sumber Wayang Purwa dan sumber Wayang Gĕdhog. Jika Wayang Purwa mengambil cerita dewa-dewa sampai keluarga Pandawa dan Wayang Gĕdhog mengambil cerita Panji dari Jenggala dengan putri Kediri (Candrakirana), maka Wayang Madya mengambil cerita para cucu Pandawa sampai menjelang Panji. Jadi cerita sejak peristiwa wafatnya Prabu Yudayana sampai masa Prabu Jayalengkara naik tahta tahun 785 Ç – 1.052 Ç (863 M – 1.130 M). 10. Sumber lakon Wayang Madya dapat diambil dari teks-teks Wayang Madya yang meliputi: 1) Sěrat Darmasarana, 2) Sěrat Yudayana, 3) Sěrat Budhayana, 4) Sěrat Sariwahana, 5) Sěrat Purusangkara (Sěrat Mayangkara), 6) Sěrat Partakaraja, 7) Sěrat Ajidarma, 8) Sěrat Ajipamasa, 9) Sěrat Witaradya, 10) Sěrat Purwanyana, 11) Sěrat Bandawasa, 12) Sěrat Déwatacĕngkar, 13) Sěrat Widhayaka, dan 14) Sěrat Danèswara. Di samping itu juga dapat ditelusuri dari sěrat-sěrat yang merupakan versi dan variasi dari teks-teks Wayang Madya di atas yang cukup banyak jumlahnya seperti dapat dilihat dalam katalogus susunan Nancy K. Florida Vol. I – IV (1981), Nikolaus Girardet (1983), dan T.E. Behrend Jilid VI (1989). 11. Sěrat Darmasarana dapat lebih dipahami apabila dihubungkan dengan: 1) Sěrat Yudayana, 2) Sěrat Budhayana, 3) Sěrat Sariwahana, 4) Sěrat Purusangkara (Sěrat Mayangkara), 5) Sěrat Partakaraja, 6) Sěrat Ajidarma, 7) Sěrat Ajipamasa, 8) Sěrat Witaradya, 9) Sěrat Purwanyana, 10) Sěrat Bandawasa, 11) Sěrat Déwatacĕngkar, 12)
439
Sěrat Widhayaka, dan 13) Sěrat Danèswara. Demikian pula sebaliknya pemahaman Sěrat Darmasarana akan membantu pemahaman atas sěrat-sěrat (teks-teks) di atas, karena teks-teks di atas merupakan kelanjutan dari Sěrat Darmasarana. 12. Ada persamaan beberapa tokoh dalam teks-teks Wayang Madya dengan raja-raja Jawa. Misalnya: Prabu Yudayana dalam Sěrat Darmasarana
dan
Sěrat
Yudayana
dapat
disamakan
atau
merepresentasikan Mahārāja Janamejaya dalam tradisi Mahābhārata (India), dan dapat pula disamakan dengan Udayana, ayah Airlangga dalam
tradisi
Bali.
Tokoh
Prabu
Gendrayana
dalam
Sěrat
Darmasarana, Sěrat Yudayana, Sěrat Budhayana, Sěrat Prabu Gĕndrayana dapat disamakan atau merepresentasikan Airlangga. Adapun tokoh Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) dalam Sěrat Budhayana, Sěrat Prabu Gĕndrayana, Sěrat Sariwahana, Sěrat Ajidarma, Sěrat Purusangkara
dan
Sěrat
Mayangkara
dapat
disamakan
atau
merepresentasikan Prabu Jayabaya, raja Kediri. Dalam hal ini ada usaha dari R. Ng. Ranggawarsita untuk menghubungkan antara tradisi Mahābhārata (India), tradisi Bali dan tradisi Jawa. Apalagi sudah dikemukakan bahwa penyelesaian penulisan Sěrat Pustakaraja Puwara yang dilakukan oleh Mpu Artati berada di Bali dibawah lindungan Prabu Dewa Ketut. 13. Di dalam teks-teks Wayang Madya dikemukakan bahwa pujanggapujangga (mpu-mpu) yang menggubah di antaranya adalah: Mpu
440
Tapawangkeng, Mpu Kalangwan, Mpu Mandara, Mpu Sindungkara, Mpu Saddha, Mpu Wisana, Mpu Udaka, Mpu Wilasaya, Mpu Windudaka, Mpu Madura, dan Mpu Madukara. Apabila kita mencoba berimajinasi dengan mengkaitkan dan menggabungkan arti nama-nama beberapa pujangga di atas secara etimologis maka dapat diperoleh pengertian baru yakni ''Seorang yang kuat dalam tapa, yang gemar berolah keindahan, yang (bertempat tinggal) di daerah air (mata air) (di kaki) gunung (Merapi, Merbabu). Daerah yang dimaksud di atas sudah jelas menunjuk daerah Pengging, Banyudana, Bayalali. Memang daerah Pengging tersebut banyak terdapat mata air dan pemandian serta terletak di kaki Gunung Merapi dan Merbabu. Di balik penamaan pujangga-pujangga
di
atas
yakni
Tapawangkeng,
Kalangwan,
Mandara, Sindungkara, Udaka, Wilasaya, Windudaka, Madura, Madukara kiranya adalah dalam rangka memitoskan, mengangkat serta menempatkan daerah Pengging seolah-olah sebagai pusat tata pemerintahan atas tanah Jawa sesudah Kediri, meskipun dalam kenyataan sejarahnya tidaklah demikian. Hal ini dilakukan oleh R. Ng. Ranggawarsita sebagai tanda bukti bakti cintanya pada leluhurnya antara lain yakni: Pangeran Handayaningrat dan Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet, Jaka Tingkir) yang berasal dari Pengging maupun kakeknya yakni R. Ng. Yasadipura I dan R. Ng. Yasadipura II yang dimakamkan pula di Pengging.
441
14. Nama (judul) Darmasarana dalam sěrat ini diangkat dari peristiwa peruwatan Prabu Dipayana terhadap Sang Hyang Sambo dalam perwujudannya sebagai burung garuda.
Penamaan Darmasarana
kemungkinan disebabkan peranan Prabu Dipayana yang menonjol sebagai sarana, wahana atau jalan kebaikan (keutamaan) kembali. 15. Tema atau pokok pikiran yang menduduki tempat utama dalam Sěrat Darmasarana adalah bahwa darma (kebaikan) adalah sarana, alat atau jalan mencapai keutamaan. Dengan berbuat darma seseorang akan memperoleh darma (kebaikan) yang berlipat ganda. Perilaku serta perbuatan-perbuatan darma (dharma) Prabu Dipayana (Parikesit) dapat dijadikan teladan (cermin) bagi manusia (masyarakat pembaca) untuk melakukan perbuatan serupa dalam mencapai kemuliaan dan kesempurnaan hidupnya.
Hal itu sengaja dikemukakan pujangga
pencipta sěrat tersebut, sebab ia merasa memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral untuk ikut serta membentuk kepribadian yang utama, baik terhadap raja, bangsawan maupun rakyat, sesuai dengan konsepsi Jawa. 16. Tema lain Sěrat Darmasarana yang tersirat (dalam hubungannya dengan Sěrat Pustakaraja) adalah bahwa pujangga penciptanya (R. Ng. Ranggawarsita) bermaksud mengisi kekosongan 'sejarah Jawa', yang sebelum periode kerajaan Mataram Kuna terasa kabur (gelap). Di samping itu, pujangga R. Ng. Ranggawarsita bermaksud membuat (menulis) genealogi yang menghubungkan jaman Purwa (dewa-dewa
442
sampai Pandawa) dengan jaman Jenggala (Panji). Dari 'sejarah Jawa' yang ditulisnya, R. Ng. Ranggawarsita bermaksud pula mendudukkan para dewa dan Pandawa sebagai leluhur (nenek moyang) para raja Mataram sebagaimana dikemukakan oleh pujangga-pujangga Jawa sebelumnya. 17. Secara fisik Prabu Dipayana adalah seorang raja yang tampan lagi sakti, sehingga banyak dirindukan dan diimpikan gadis-gadis.
Di
samping itu, Prabu Dipayana pemberani, tidak mengenal takut. Secara psikis, Prabu Dipayana memiliki watak yang bertanggung jawab akan keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Ia pun mau mawas diri akan segala kekurangannya dan mempunyai kemauan untuk meningkatkan diri, baik dalam hal kesaktian maupun ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, sebagai seorang raja muda ia memiliki sifat yang tergesagesa, tidak sabar dalam bertindak, mudah tersinggung, marah, ringan tangan, sombong, angkuh, tinggi hati, suka memandang rendah derajat orang lain, tidak mudah terbujuk dan tergoda, tetapi ia pun kemudian juga mudah berubah pikiran karena perasaan belas kasihnya. Sifat tersebut berubah sejalan bertambahnya usia. Prabu Dipayana semakin memiliki
tanggung jawab,
adil
bijaksana,
pengasih,
pemaaf,
pengampun, pemurah, tahu balas budi, toleran dan berjiwa (batinnya) matang. 18. Prabu Yudayana adalah seorang raja yang tampan, sakti dan berani. Ia pun memiliki watak patuh (taat) pada perintah orangtua, gemar
443
mengembara, haus ilmu pengetahuan dan kesaktian, senang menolong orang lain yang dalam kesusahan, pengasih, bertanggung jawab pada rakyatnya, jujur, terus terang, dan polos. Di samping itu adakalanya ia pun mudah percaya laporan palsu, mudah tergoda (terpikat) wanita cantik, mudah tersinggung dan marah, kurang teliti dan hati-hati serta kurang adil dan bijaksana dalam mengendalikan tata pemerintahannya. 19. Patih Dwara digambarkan sebagai seorang patih yang tampan, berani lagi sakti. Selain itu ia pun dilukiskan sebagai patih yang setia bakti pada raja, patuh pada perintah, bertanggung jawab, senang memberikan pertolongan, rendah hati, utama, luhur budi, adil lagi bijaksana, berpandangan luas, menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu kesempurnaan (kebatinan) dan ia pun kekasih dewa. Karena setelah muksa, Patih Dwara menjadi Bathara Dwara. 20. Perwatakan Patih Danurwedha hampir sama dengan perwatakan Patih Dwara. Ia pun seorang patih yang setia dan bakti pada raja, patuh pada perintah, bertanggung jawab, luhur budi, adil lagi bijaksana, berpandangan luas, menguasai berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu kesempurnaan (kebatinan). 21. Bagawan Baladewa secara fisik dilukiskan sudah tua renta. Sekalipun demikian ia dilukiskan pula sebagai seorang yang pemberani, sakti, berwibawa, jujur, setia, bertanggung jawab serta rela berkorban demi kepentingan negara (Ngastina), meskipun adakalanya terkesan kurang bijaksana dan mudah diperdaya.
444
22. Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Warabasata secara fisik digambarkan berwajah tampan, air mukanya bercahaya, sehingga membuat takjub mereka yang melihat. Di samping itu, mereka pun memiliki watak senang mengembara untuk mencari ilmu pengetahuan dan kesatian, pemberani, tidak mengenal rasa takut, jujur, polos, rela berkorban demi kepentingan negara dan konsekuen. Meskipun demikian karena kemudaannya mereka kurang pengalaman dalam pengembaraannya sehingga mereka mudah pula ditipu dan diperdaya. 23. Dewi Utari mempunyai watak dan sifat halus, wingit 'susah, sedih', penyabar, terbuka, pengasih, penyayang, setia bakti pada suami serta rela berkorban. 24. Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi, dan Dewi Grendi, secara fisik digambarkan sebagai wanita-wanita yang berparas cantik jelita. Kecuali Ken Satapa yang sebelum diruwat Sang Hyang Narada berparas buruk. Di samping itu, mereka memiliki watak yang keras dalam menggapai cita-cita (untuk menjadi istri Prabu Dipayana). Mereka pun berwatak rela berkorban, cinta, setia serta bakti pada suami, sehingga Prabu Dipayana pun sangat mencintai mereka. 25. Prabu Kismaka digambarkan sebagai seorang raja yang pemberani (tidak kenal takut) dan sangat sakti. Ia pun memiliki watak yang setia dan bakti kepada orangtua, meskipun terkesan berlebihan.
445
26. Prabu Niradhakawaca memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan Prabu Kismaka. Ia pun seorang raja yang pemberani dan sakti. Di samping itu ia berwatak keras, setia, cinta bakti pada orangtua, tetapi terhadap musuhnya ia licik. Oleh karena itu kematiannya pun diperdaya pula sebagai buah perbuatannya. 27. Prabu (Arya) Satyaki secara fisik badannya kecil berisi, pandangannya tajam menembus dan menakutkan, kepalan tangannya sangat kuat dan sanggup memecahkan kepala musuhnya. Prabu Satyaki adalah prajurit yang pilih tanding semasa mudanya. Ia senang menyepi dan bertapa guna mendapatkan kesaktian.
Ia pun memiliki watak adil, jujur,
pemberani, keras dan nekad. 28. Dhang Hyang Suwela adalah pendeta yang sangat sakti, menguasai berbagai macam mantra serta dapat menjelma menjadi berbagai bentuk. Ia pun seorang pendeta yang licik, penuh tipu daya lagi pendendam.
Meskipun demikian terhadap murid-muridnya ia
memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi. 29. Taksaka Raja adalah raja naga kekasih dewa. Ia memiliki watak jujur, senang berterus terang, tetapi kurang memiliki wawasan luas serta perhitungan yang matang terhadap akibat perbuatannya.
Dalam
Ādiparwa, terdapat tokoh Takṣaka yang memiliki kedudukan tinggi di antara para naga, selain itu ia pun bersahabatkan dengan Hyang Indra. Tokoh Takṣaka digambarkan memiliki sifat dan watak yang tidak baik.
446
Ia cerdik (licik), senang mengganggu kepentingan orang lain, penurut, sekalipun harus berbuat jahat. 30. Dewi Gendrawati secara fisik digambarkan sebagai wanita yang cantik jelita, akan tetapi secara psikis ia memiliki sifat dan watak yang kurang baik. Ia kurang menaruh hormat pada orangtua, kurang hati-hati dalam berbicara dan bertindak, kurang teliti dalam melihat persoalan, kurang mendengarkan nasihat-nasihat baik orang lain, tergesa-gesa dalam memutuskan masalah tanpa pertimbangan baik atau buruk, senang membuat keributan serta senang membuat laporan palsu. Meskipun demikan setelah sifat dan watak Dewi Gendrawati berubah baik sejalan dengan bertambahnya usia, serta karena doa pada brahmana dan para pendeta, maka disaat wafatnya Dewi Gendrawati ditandai dengan tanda-tanda kemuliaan. 31. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Yudayana adalah hubungan antara ayah dan anak. Prabu Yudayana adalah putra Prabu Dipayana yang lahir dari Dewi Tapen (Ken Satapa). Hubungan Prabu Dipayana dengan Patih Dwara dan Patih Danurwedha adalah hubungan sesama saudara. Di samping itu juga hubungan antara atasan dan bawahan (antara raja dengan kedua patihnya) serta hubungan antara sesama saudara ipar. Hubungan Prabu Dipayana dengan Bagawan Baladewa adalah hubungan antara cucu dengan kakeknya, sebab Raden Arjuna (Dananjana) adalah saudara sepupu Bagawan Baladewa. Hubungan Prabu Dipayana dengan Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden
447
Prawasata, dan Raden Warabasata adalah hubungan antara ayah dengan putra-putranya. Raden Ramayana dan Raden Prawasata adalah putra Prabu Dipayana dengan Dewi Puyengan (Endhang Sikandhi), sedangkan Raden Ramaprawa dan Raden Warabasata adalah putra Prabu Dipayana dengan Dewi Dangan (Dewi Grendi). 32. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Utari adalah hubungan antara anak dengan ibundanya. Prabu Dipayana adalah putra Raden (Arya) Abimanyu dengan Dewi Utari. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi dan Dewi Grendi adalah hubungan antara suami dengan istrinya.
Setelah
menjadi istri Prabu Dipayana mereka diubah namanya. Dewi Sritatayi menjadi Dewi Gentang, Dewi Niyata menjadi Dewi Impun, Ken Satapa menjadi Dewi Tapen, Endhang Sikandhi menjadi Dewi Puyengan dan Dewi Grendi menjadi Dewi Dangan. 33. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Kismaka adalah musuh, sebab Prabu Kismaka menyerbu ke Dwarawati yang pada waktu itu diperintah Prabu Satyaka, kerabat Prabu Dipayana. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Niradhakawaca adalah musuh. Oleh karena raja Ima-imantaka tersebut menyerbu kerajaan Ngastina sewaktu Prabu Dipayana bercengkrama ke hutan Palasara. Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh banyak kerabat istana Ngastina, tetapi ia pun akhirnya dihancurkan Prabu Dipayana.
448
34. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Satyaki adalah hubungan antara cucu dengan kakeknya. Prabu Satyaki adalah saudara sepupu Raden Arjuna, kakek Prabu Dipayana. Sekalipun demikian, hubungan langsung keduanya, baik dalam Sěrat Darmasarana maupun dalam Ādiparwa kurang tampak. 35. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dhang Hyang Suwela adalah musuh. Permusuhan keduanya tersebut timbul karena Prabu Dipayana membela Bagawan Sidhiwacana (mertuanya) maupun Resi Sidhikara (saudara iparnya) yang bermusuhan melawan Dhang Hyang Suwela. Hubungan Prabu Dipayana dengan Taksaka Raja adalah bahwa Taksaka Raja pernah secara tidak sengaja terluka oleh keris Prabu Dipayana. Baik Prabu Dipayana maupun Taksaka Raja saling memanfaatkan hubungan keduanya sebagai sarana muksa, karena keduanya muksa bersamaan. Berbeda dengan hubungan Mahārāja Parīkṣit dengan Takṣaka yang dikemukakan dalam Ādiparwa. Dalam Ādiparwa, pertentangan keduanya sangat tajam, sebab Takṣakalah yang menggigit Parīkṣit atas perintah Sang Çṛnggī hingga mangkat. 36. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Gendrawati adalah hubungan antara mertua dengan menantunya, sebab Dewi Gendrawati kawin dengan Prabu Yudayana (putra Prabu Dipayana). 37. Dalam Sěrat Darmasarana jika dipandang dari segi kualitas plotnya maka tergolong karya sastra yang beralur longgar, sebab jalinan peristiwa satu dengan peristiwa lain nampak tidak erat berkaitan.
449
Seandainya segi kuantitas plot diterapkan, maka dapat dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana memiliki alur tunggal, karena pusat pengisahan dan pembicaraan ada pada diri tokoh sentral, yakni Prabu Dipayana atau Prabu Parikesit. Meskipun ada cerita mengenai Raden Yudayana (putra Prabu Dipayana) yang cukup menonjol serta banyak sekali
terdapat
cerita-cerita
yang terangkat
ke
dalam
Sěrat
Darmasarana ini, namun pada hakikatnya semua cerita tersebut kembali berpusat pada Prabu Dipayana sebagai tokoh utamanya. Berdasarkan rentetan peristiwa yang terjalin, maka alur atau plot Sěrat Darmasarana tergolong plot campuran, karena di dalamnya terdapat perpaduan antara alur lurus dengan alur sorot balik (flashback). Berdasarkan pemecahan penyelesaian akhir cerita, dapat dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana mempergunakan plot terbuka, karena pada akhir cerita karya sastra tersebut menampakkan bahwa pengarangnya belum memberikan penyelesaian akhir terhadap sejumlah persoalan. Adanya plot terbuka tersebut mungkin pujangga R. Ng. Ranggawarsita menawarkan pemecahan akhir cerita itu kepada para pembaca sebagai penyambut karya sastra. Akan tetapi sebenarnya kalau dicermati secara cermat tampilnya plot terbuka itu sebagai penanda akan adanya suatu cerita sesudahnya. Hal itu jelas sekali terlihat karena setelah Sěrat Darmasarana selesai ditulis maka tampil Sěrat Yudayana yang merupakan kelanjutan dari Sěrat Darmasarana.
450
38. Setting/ lokasi kejadian dalam Sěrat Darmasarana ini bukan hanya berkisar dari kerajaan yang satu ke kerajaan yang lain. Karena selain setting yang berkisar di istana, maka setting juga bergerak atau menunjuk ke tempat-tempat lain. Misalnya:
di padepokan atau
pertapaan-pertapaan, hutan, gunung maupun sungai atau bengawan. Selain itu setting bukan hanya ada dalam dunia nyata tetapi juga menunjuk pada dunia gaib, misalnya: alam surga, alam dunia siluman. Setting yang menunjukkan istana atau kerajaan misalnya: kerajaan Ngastina, Dwarawati, Tarajutiksna, Lesanpura, Ima-imantaka, Madura, Gilingwesi, Muka Bumi, Purwacarita, Wiratha, Gandara, Taksakasila. Setting yang menunjukkan padepokan atau pertapaan, misalnya: Pertapaan Tirta Awarna di Gunung Manikmaya, Pertapaan Goa Siluman, Pertapaan Gunung Nirma, Pertapaan Gunung Aswata, Pertapaan Gunung Pulagra. Setting yang menunjukkan hutan misalnya: hutan Palasara, hutan Citura di kaki Gunung Cingkara, hutan Pringgadarya, hutan Tibrasara. Setting yang menunjukkan sungai atau bengawan misalnya: bengawan Lowaya. 39. Metode
cerita
yang
dipakai
dalam
Sěrat
Darmasarana
ini
menggunakan metode cerita orang ketiga atau dalang. Di sini R. Ng. Ranggawarsita sebagai pengarang sěrat tersebut seolah-olah tahu isi hati para tokoh yang ditampilkannya. Pengarang dapat lebih bebas mengemukakan dan menguraikan jalinan cerita beserta sifat-sifat para tokohnya tanpa berusaha untuk memihak salah satu tokohnya.
451
40. Motif yang terdapat dalam Sěrat Darmasarana meliputi: wangsit 'ilham', mimpi, cinta dan perkawinan, peperangan, pusaka bertuah, penyamaran, peruwatan. a. Motif wangsit 'ilham' diperoleh Prabu Dipayana sewaktu kerajaan Ngastina akan diserbu Prabu Niradhakawaca dari Ima-imantaka maupun ketika kerajaan Ngastina akan tertimpa wabah penyakit. Wangsit yang diperoleh Prabu Dipayana lainnya adalah agar Raja memohon bantuan Resi Gurundaya untuk mengalahkan Prabu Niradhakawaca. Wangsit lainnya diperoleh seekor sam-sam 'rusa' bahwa mereka akan teruwat di Ngastina. Di samping itu wangsit juga diperoleh Resi Sidhikara tentang jodohnya yakni Endang Drawasi. b. Motif mimpi terutama diperoleh oleh Dewi Niyata dan Endang Sikandhi bahwa keduanya nanti bersuamikan Prabu Dipayana. c. Motif cinta dan perkawinan tercermin dalam kisah cinta antara Prabu Dipayana dengan kelima istrinya yaitu Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Sikandhi, Dewi Satapa, dan Dewi Grendi. Motif cinta dan perkawinan yang menonjol selanjutnya ialah antara Raden Yudayana dengan Dewi Gendrawati, Patih Dwara dengan Ken Suyati, Resi Sidhikara dengan Endang Drawasi. d. Motif peperangan tampak pada peperangan antara Prabu Dipayana melawan Sarabisa (utusan Prabu Sayakesthi), Prabu Dipayana melawan Prabu Sayakesthi (Buyut Medhangprawa), Prabu
452
Dipayana melawan Srubisana, Prabu Dipayana melawan Bagawan Sukandha, Prabu Dipayana melawan Prabu Niradhakawaca. Motif peperangan lainnya tampak pada peperangan kerajaan Dwarawati melawan Tarajutiksna, peperangan kerajaan Ngastina melawan kerajaan Ima-imantaka, peperangan Srubisana melawan Bagawan Sukandha, peperangan Resi Sidhikara yang dibantu Raden Yudayana dan keempat saudaranya melawan Dang Hyang Suwela dan para muridnya. e. Motif pusaka bertuah tampak pada arca Dewi Durga dan Sang Hyang Girinata, Cundamani (yang diberikan kepada Prabu Dipayana), Nanggala (milik Bagawan Baladewa), Sarotama (yang diterima Raden Yudayana), Bĕsi Adnyana (milik Resi Gurundaya) dan Bĕsi Aji (milik Prabu Niradhakawaca), Musthika Kumara (yang diterima Prabu Yudayana dari Naga Raja Sarana). f. Motif penyamaran tampak pada Ken Suyati sebagai Prabu Dipayana, Prabu Dipayana sebagai Raden Suwarna, Patih Dwara sebagai
Raden
Cara,
Sang
Hyang
Basuki
sebagai
Resi
Ardhawalika, Sang Hyang Gana sebagai Resi Mregapati, Prabu Sayakesthi sebagai Buyut Medhangprawa dan Sang Hyang Udipati sebagai Arpasa. g. Motif peruwatan tampak pada peruwatan yang dilakukan Prabu Dipayana terhadap: 1) Resi Ardhawalika (Sang Hyang Basuki); 2) Resi Mregapati (Sang Hyang Gana); 3) Burung Garuda (Sang
453
Hyang Sambo); 4) Seekor Taksaka (Dewi Swanyana); 5) Ketiga sam-sam 'rusa' (Resi Gurunadi, Dewi Nawangsasi dan Dewi Maera); 6) Ketiga arca (Kaehanala bersama istri serta Milak). 41. Teks naratif Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa yang terdiri atas enam halaman tersebut lewat inovasi, adaptasi, resepsi yang dilakukan oleh pujangga R. Ng. Ranggawarsita telah berubah menjadi teks yang sangat panjang di dalam Sěrat Darmasarana. Sejalan dengan panjangnya teks Sěrat Darmasarana maka penampilan penokohan Prabu Parikesit
(Dipayana) maupun berbagai
peristiwa
yang
melatarbelakanginya juga jauh lebih kompleks daripada penokohan Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa. Dilihat dari keterlibatan penokohannya, Sěrat Darmasarana melibatkan 450an tokoh, jauh berbeda dibandingkan dengan penokohan di dalam teks naratif Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa yang hanya menyebutkan misalnya Takṣaka, Bhagawān Samīti, Bhagawān Kāҫyapa, Çṛnggī, Bhagawān Kṛṣa, Aghoramuka, Mahārāja Janamejaya, dan para pendeta serta para mentri yang tidak disebutkan nama-namanya. 42. Dalam hal mangkatnya Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa karena digigit Takṣaka atas perintah Sang Çṛnggī, putra Bhagawān Samīti yang sebelumnya telah menjatuhkan kutukannya kepada Mahārāja Parīkṣit. Di dalam Sěrat Darmasarana mangkatnya Prabu Parikesit atau Dipayana karena Sang Raja memang bermaksud muksa bersamaan waktunya sewaktu Sang Raja dijilat ujung ibujari kakinya
454
oleh Taksaka Raja. Pada saat itu pula Taksaka Raja juga menggunakan kesempatan itu untuk muksa. Di dalam Ādiparwa Mahārāja Parīkṣit mangkat tanpa diikuti istri-istrinya, sebaliknya muksa Prabu Dipayana di dalam Sěrat Darmasarana membawa sekalian istri-istrinya yang kemudian diikuti oleh ibundanya yaitu Dewi Utari dan Resi Gurunadi, Resi Gurundaya bersama istri-istri mereka. 43. Di dalam Ādiparwa Mahārāja Parīkṣit didalam menghadapi kutukan Sang Çṛnggī menampakkan diri sebagai Mahārāja yang tinggi hati, malu merendahkan diri, dan lebih mengandalkan kekuatan pasukannya untuk menjaganya. Sebaliknya di dalam Sěrat Darmasarana Prabu Dipayana menunjukkan keluhuran hatinya, keutamaan budinya ketika menjelang muksa. Baginda justru mengumpulkan seluruh rakyatnya dan menyatakan bahwa siapapun yang pernah disakiti secara fisik dan disakiti secara psikis pada waktu itu boleh membalasnya. Sampai pada akhirnya datanglah Taksaka Raja yang menyatakan terus terang bahwa ia pernah terluka pethitnya oleh keris Baginda sewaktu menjadi binggĕl 'gelang kaki' Resi Ardhawalika (penjelmaan Sang Hyang Basuki). Baginda kemudian mempersilahkan Taksaka Raja untuk menggigitnya sebagai balasannya, namun setelah dipaksa Taksaka Raja hanya menjilat ibujari kaki Baginda yang dipakainya sebagai sarana muksa. 44. Di dalam Ādiparwa yang melangsungkan Sarpayajña atau Sarpa Satra (korban api ular) adalah Mahārāja Janamejaya di Hāstinapura.
455
Sarpayajña tersebut disebabkan pertama, kutuk Kadrū kepada para naga anaknya (termasuk Takṣaka) karena semula menolak perintah ibunya untuk memerciki dengan bisa ekor kuda Uçcaihçrawā agar berwarna hitam (kṛṣṇacāmara). Kedua, dendam Uttangka kepada Takṣaka karena ia pernah diganggunya sewaktu pulang dari Ayodya sambil membawa anting-anting matahari yang dimintanya dari Sāwitrī (permaisuri Mahārāja Posya). Di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana yang melangsungkan Sarpayajña adalah Prabu Yudayana di Ngastina (putra Prabu Parikesit), yang disebabkan karena dendam dan kemarahan Prabu Yudayana terhadap Taksaka Raja yang diduganya sebagai sebab ayahandanya (Prabu Parikesit) mangkat. 45. Di dalam Ādiparwa diuraikan mengenai perkawinan Jaratkāru dengan Nāginī Jaratkāru sampai lahirnya Āstīka. Kelahiran Āstīka tersebut untuk membebaskan para leluhur Jaratkāru yang sangat menderita karena tergantung pada seutas tali yang menuju ke neraka, namun bagi keluarga naga, kelahiran Āstīka adalah untuk membebaskan mereka dari kepunahan akibat korban api ular Mahārāja Janamejaya. Di dalam Sěrat Darmasarana II maupun Sěrat Yudayana tidak terdapat naratif tentang Brahmana Jaratkāru, Nāginī Jaratkāru, maupun putranya, Āstīka. Hanya di dalam Sěrat Yudayana muncul tokoh Dewi Sarini, putri Naga Raja Sarana (pelindung para naga) yang tinggal di Gunung Mahendra.
456
46. Di dalam Ādiparwa prosesi Sarpayajña dengan cara membuat tungku korban seluas 2 yojana yang diukur oleh Sang Brahmana serta dimantrai dengan mantra sakti. Adapun di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana Sarpayajña tersebut dilakukan dengan cara menyerbu ke tempat-tempat yang diduga dihuni para naga, misalnya: Taksakasila, hutan Lagra, hutan Gadamadana, di sekitar Gunung Candrageni (Merapi) dan Gunung Mahendra (Lawu). Di dalam Ādiparwa maupun dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana sama-sama dijelaskan bahwa para naga yang mati tidak terhingga jumlahnya. Hanya di dalam Ādiparwa Sarpayajña tersebut jauh lebih mencekam dan mengerikan. Berbagai macam jenis para naga yang berbelitan dengan saudara-saudaranya secara bersama-sama tersedot masuk ke dalam tungku api korban. Di dalam Ādiparwa maupun Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana maka Sarpayajña tersebut tidak sempurna. Di dalam Ādiparwa Sarpayajña itu dihentikan karena permintaan Āstīka kepada Mahārāja Janamejaya. Adapun di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana berakhirnya penyerbuan ke tempat-tempat tinggal para naga tersebut disebabkan karena Prabu Yudayana
tergiur
oleh
kecantikan
Naga
Dewi
Sarini
serta
ketidakmampuannya melawan kesaktian Naga Raja Sarana, pelindung naga golongan baik.
457
47. Sěrat Darmasarana untuk sebagian sebagai resepsi, sambutan, tanggapan
pujangga
R.
Ng.
Ranggawarsita
atas
Ādiparwa,
Mosalaparwa, dan melanjutkan naratif di dalam Prasthānikaparwa. 48. Genealogi (silsilah) memainkan peran yang sangat penting dalam historiografi Jawa, khususnya historiografi yang berasal dari dalam tradisi besar kraton-kraton Jawa: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran dan Pura Pakualaman, karena di dalam silsilah itu dijumpai kehadiran nenek moyang (pitāmaha), yang berasal dari Sajarah Pangiwa lan Panĕngĕn. 49. Dengan mencermati genealogi susunan Brandes, maka para tokoh yang tampil di dalam Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana dapat didudukkan pada posisi nomor 12 sampai 22, yaitu mulai dari Manumanasa, kemudian Sakutrem, Sakri, Palasara, Abyasa, Pandu, Arjuna, Abimanyu, Parikesit, Yudayana (Udayana) dan Gendrayana. Bahkan seandainya mempertimbangkan sejumlah teks Pustakaraja Madya
seperti
Sariwahana,
Sěrat
Sěrat
Budhayana,
Sěrat
Gěndrayana,
Sěrat
Purusangkara,
Sěrat
Mayangkara,
Sěrat
Partakaraja, Sěrat Ajidarma, Sěrat Ajipamasa, Sěrat Witaradya, Sěrat Purwanyana,
Sěrat
Bandawasa,
Sěrat
Déwatacĕngkar,
Sěrat
Widayaka, dan Sěrat Danèswara maka tokoh-tokohnya berlanjut menduduki posisi 23 sampai dengan 29. Jadi secara keseluruhan mulai dari Manumanasa sampai Anglingdriya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penciptaan Sěrat Darmasarana, Sěrat Yudayana dan
458
teks-teks Pustakaraja Madya adalah dalam rangka ikut memperkuat genealogi nenek moyang raja-raja Mataram. 50. Genealogi (silsilah) dalam Sěrat Darmasarana di antaranya: 1) Genealogi Prabu Dipayana (Parikesit), Prabu Yudayana, dan Prabu Gendrayana; 2) Genealogi Manumanasa sampai Anglingdriya; 3) Genealogi Dewi Sritatayi dan Dewi Niyata; 4) Genealogi Bagawan Sidhiwacana; 5) Genealogi Bagawan Sukandha; 6) Genealogi Resi Gurundaya dan Resi Gurunadi; 7) Genealogi Prabu Gandaprawa (Gandara); dan 8) Genealogi Sang Wiku Mudra. 51. Tokoh-tokoh utama dalam teks-teks Pustakaraja Madya seperti misalnya: Prabu Dipayana, Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana, Prabu Jayabaya, Prabu Kusumawicitra (Ajipamasa), mempunyai hubungan timbal balik dan saling ketergantungan dengan Sunan Paku Buwana IV – IX (di Kraton Surakarta) maupun Sri Mangkunegara IV (di Pura Mangkunegaran). Melalui pujangga istana R. Ng. Ranggawarsita, maka kelima raja tersebut dapat menjadi tokoh historis karena mereka didudukkan oleh Sunan Paku Buwana (terutama Sunan Paku Buwana VII) dan Sri Mangkunegara IV sebagai nenek moyang, sehingga mereka sungguh-sungguh hadir di Kraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Sebaliknya berkat Prabu Dipayana, Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana (Gandayana), Prabu Jayabaya serta Prabu Kusumawicitra, maka Sri Sunan Paku Buwana IV-IX serta Sri Mangkunegara IV masuk ke dalam dunia kerajawian, yang secara
459
konseptual terdapat dalam Vīracārita Mahābhārata. Dalam konteks relasi timbal balik dan saling ketergantungan satu sama lain, dari tokoh-tokoh di atas dapatlah dimengerti adanya proses mitisisasi dan historisasi dalam tradisi historiografi Jawa, khususnya yang secara konseptual tertuang dalam Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana.
VIII.2 KESIMPULAN Sejak penelitian dan penerbitan bagian-bagian Mahābhārata dalam kesastraan Jawa Kuna oleh A.A. Fokker, H.H. Juynboll, Hazeu, H. Kern, Gunning, Gonda, RM. Ng. Poerbatjaraka serta P.J. Zoetmulder, maka penelitian Mahābhārata Jawa Kuna semakin menyusut. Demikian pula sejak RM. Ng. Poerbatjaraka, C.C. Berg, Th. G. Pigeaud, J. Kats maupun Slamet Mulyono, maka penelitian yang serius terhadap Sĕrat Pustakaraja semakin sedikit. Karena itu katalogus susunan Nancy K. Florida yang berjudul Javanese Language Manuscripts of Surakarta, Central Java: A Preliminary Descriptive Catalogue Vol. I-IV (1981) yang di dalamnya membicarakan Sĕrat Pustakaraja dan bagian-bagian dari sĕrat tersebut menjadi sangat penting. Penelitian atau studi tentang Mahābhārata Sanskerta dan Mahābhārata dalam kesastraan Jawa Kuna serta pelacakan jejak-jejaknya ke dalam Sĕrat Pustakaraja dapat dikatakan hampir tidak ada lagi. Penelitian
dalam
kawasan
ini
terjadi
kekosongan
seperti
yang
dikemukakan Ign. Kuntara Wiryamartana, S.J. Padahal studi di kawasan
460
ini (Sĕrat Pustakaraja) memberikan lapangan yang sangat luas bagi ilmuwan-ilmuwan Jawa untuk mengadakan penelitian diantaranya dari sisi religi, mitologi, pedagogi, psikologi, hukum, kepemimpinan, lingkungan hidup maupun sistem pertanian dan lain sebagainya. Bagian-bagian yang terdapat di dalam Sĕrat Pustakaraja banyak yang merupakan hasil resepsi, adaptasi, inovasi, transformasi dari Mahābhārata dalam kesastraan Jawa Kuna. Teks-teks dalam Sĕrat Pustakaraja tersebut misalnya kelompok Sĕrat Maha Tantra, terdiri atas: a. Sĕrat Sri Kala; b. Sĕrat Raja Watara; c. Sĕrat Cita Kaprawa; d. Sĕrat Ariawanda; e. Sĕrat Para Patra, kelompok Sĕrat Maha Putra, terdiri atas: a. Sĕrat Mahandya Purwa; b. Sĕrat Suktinawyasa; c. Sĕrat Darma Sagara; d. Sĕrat Gorawangsa; e. Sĕrat Kumbayana; f. Sĕrat Wandha Laksana; g. Sĕrat Darma Mukta; h. Sĕrat Drĕta Nagara maupun kelompok Sĕrat Maha Dharma, terdiri atas: a. Sĕrat Kuramaka; b. Sĕrat Smara Dahana; c. Sĕrat Ambaralaya; d. Sĕrat Kridha Krĕsna; e. Sĕrat Kunjana Karna; f. Sĕrat Kunjana Krĕsna; g. Sĕrat Partayagnya; h. Sĕrat Manik Harja Purwaka; i. Sĕrat Sapanti Parta; j. Sĕrat Dĕwa Ruci; k. Sĕrat Parta Wiwaha/Mintaraga; Sĕrat Yudanaraga; m. Sĕrat Purobaya; n. Sĕrat Bomantara; o. Sĕrat Bomantaka; p. Sĕrat Bratayuda; q. Sĕrat Kirimataya; r. Sĕrat Darmasarana; s. Sĕrat Yudayana. Apabila ditelusuri teks-teks bagian Sĕrat Pustakaraja di atas dapat dikaitkan dengan bagian-bagian parwa Mahābhārata dalam kesastraan Jawa Kuna misalnya: 1. Ādiparwa, 2. Sabhāparwa, 3. Āraṇyakaparwa
461
(Wanaparwa), 4. Wirāṭaparwa, 5. Udyogaparwa, 6. Bhīsmaparwa, 7. Droṇaparwa, 8. Karṇaparwa, 9. Ҫalyaparwa, 10. Gadāparwa, 11. Mosalaparwa, 12. Prasthānīkaparwa dan 13. Swargārohaṇaparwa, bahkan juga ke dalam Kakawin Arjunawiwaha, Kakawin Bhāratayuddha dan Kakawin Bhomakāwya. Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana merupakan pintu masuk ke dalam genealogi (silsilah) raja-raja Jawa. Kedua karya ini ikut mendudukkan raja-raja Jawa sebagai keturunan tokoh-tokoh utama dalam Vīracārita Mahābhārata, misalnya Vyāsa (Dvaīpayana Vyāsa), Pāṇḍu, Arjuna, Abimanyu, Parīkṣit maupun Janamejaya (Yudayana, dalam tradisi Jawa). Di samping itu yang lebih penting dari Sĕrat Pustakaraja adalah kandungan isinya yang memuat berbagai macam ajaran yang dapat dijadikan pegangan bagi kehidupan masyarakat Jawa. Dalam hal ini kita beruntung bahwa ajaran-ajaran di dalam Sĕrat Paramayoga dan Sĕrat Pustakaraja sudah dikumpulkan dan disusun oleh R. Ng. Karyarujita dan ditulis oleh Ranasubaya ke dalam kitabnya yang berjudul Sĕrat Paramayoga:
Sĕrat
Kalĕmpaking
Piwulang.
Ajaran-ajaran
yang
dikemukakan dalam kitab tersebut antara lain adalah: 1) Nasihat-nasihat agar tidak bersedih hati; 2) Nasihat-nasihat untuk mendapatkan kebahagiaan; 3) Rajah Kalacakra untuk penolak bala; 4) Tapabrata dan kesaktian;
5)
Teka-teki
(tebak-tebakan);
6)
Meminta
makanan;
7) Perjodohan; 8) Pusaka-pusaka kerajaan yang beralih tempatnya;
462
9) Peruwatan; 10) Ramalan akan mendapatkan penghinaan; 11) Kutukan; 12) Kesempurnaan budi; 13) Arti dan tafsir mimpi; 14) Khasiat sêsotya (permata) jadian; 15) Mencegah berjangkitnya hama-hama yang menyerang tanaman; 16) Sakit panas; 17) Tata pemerintahan negara; 18) Penolak wabah; 19) Bekal mengabdi; 20) Memberantas kejahatan, kedustaan dan kenistaan; 21) Watak wirutama dan berbudi luhur; 22) Rasa kenikmatan
dalam
bersenggama;
23)
Menanggulangi
wabah;
24) Mendirikan kerajaan; 25) Hakikat kehidupan manusia; 26) Kewajiban golongan – bangsa ketujuh (7); 27) Puter puja; 28) Makanan (baksana), pakaian (busana), tempat tinggal (sasana); 29) Tata tertib penggunaan uang;
30)
Pendidikan;
31)
Melacak
jejak
pencuri
(detektif);
32) Kemuksaan; 33) Keutamaan wanita; 34) Awet muda; 35) Ahli waris. Sesungguhnya Sĕrat Pustakaraja adalah karya agung yang menjadi puncak dari karya-karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai ′′Pujangga Penutup′′. Karena itu penelitian terhadap Sĕrat Darmasarana maupun Sĕrat Yudayana boleh dikatakan sebuah penelitian yang kecil dari penelitian besar yang mungkin dapat dilakukan atas Sĕrat Pustakaraja.
463