BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 8.1. Kesimpulan Berdasarkan pada aspek kajian tentang peta sosial dan sumber-sumber kehidupan (livelihood resources) maka dapat disimpulkan bahwa komunitas petani pesisir relatif memiliki
kelebihan dan kekuatan pada modal alam (natural capital), jika
dibandingkan dengan komunitas petani pegunungan. Sedangkan komunitas pegunungan relatif memiliki kelebihan dan kekuatan pada modal manusia (human capital), kapital sosial (social capital), modal fisik (physical capital), dan modal keuangan (financial capital). Terdapat perbedaan dalam faktor penyebab terjadinya keterbatasan daya dukung sumberdaya lahan pada kedua komunitas. Dimana keterbatasan daya dukung sumberdaya lahan pada komunitas petani pegunungan di Desa Girijaya lebih disebabkan oleh faktor tekanan populasi penduduk, sedangkan pada kasus komunitas petani pesisir di Desa Cigadog lebih disebabkan oleh faktor kebijakan pemerintah dalam bidang agraria. Perbedaan kondisi sumber-sumber kehidupan di atas, menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan pola strategi nafkah yang dikembangkan oleh kedua komunitas tersebut dalam mengatasi keterbatasan sumber-sumber kehidupan yang ada di kedua komunitas. Hasil kajian ini juga menunjukan adanya fenomena pergeseran pola strategi nafkah yang dikembangkan oleh kedua komunitas. Dimana pola strategi nafkah komunitas petani pesisir mengalami pergeseran dari basis nafkah di sektor kelautan menuju ke basis nafkah di sektor pertanian.
Keterbatasan akses terhadap
sumberdaya lahan telah mendorong petani di komunitas pesisir untuk melakukan strategi nafkah yang beragam, mulai dari : (1) strategi nafkah ganda (petani-nelayanburuh), (2) melakukan aksi land reform by leverage., (3) melakukan migrasi untuk memperluas sumber-sumber mata pencaharian mulai dari menjadi buruh bangunan di kota-kota besar (Bandung, Jakarta dan sekitarnya), buruh perkebunan di Sumatera dan bahkan menjadi TKW di luar negeri. Teridentifikasi juga adanya gejala dimana jumlah tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun.
228
Sedangkan strategi nafkah komunitas petani pegunungan telah mengalami pergeseran dari basis nafkah dan perekonomian pertanian menuju kepada basis nafkah sektor perdagangan dan industri rumah tangga (home industry). Keterbatasan akses terhadap lahan pertanian yang lebih disebabkan oleh faktor tekanan populasi penduduk, telah mendorong para petani di komunitas pegunungan untuk melakukan strategi nafkah yang beragam mulai dari : (1) strategi nafkah ganda (petani-pedagang atau petani-buruh bangunan), (2) melakukan migrasi untuk memperluas sumbersumber penghidupan di luar wilayah ekosistemnya yakni dengan menjadi pedagang keliling (gordeng, rujak, es, dll.) hingga ke luar pulau Jawa (Sumatera, Kalimantan, Papua, dll.), (3) mengembangkan industri rumah tangga (home industry) yang berbasis pertanian, (4) mengembangkan kelembagaan cadangan pangan dan keuangan komunitas berbasis nilai “gotong royong” (lumbung paceklik, beras perelek, arisan, lembaga keuangan mikro desa), (5) mengembangkan kerjasama pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan dengan PT. Perhutani, melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Berdasarkan pada hasil kajian tentang implementasi program-program pemberdayaan kelembagaan yang terkait dengan ketahanan pangan, maka dapat disimpulkan pula bahwa proses dan hasil program-program pemberdayaan pada komunitas pegunungan relatif lebih baik jika dibandingkan dengan komunitas pesisir. Dimana komunitas petani pegunungan relatif lebih berhasil membangun kelembagaan pangan berkelanjutan berbasis pada pendekatan partisipatif, penguatan jejaring kerjasama (networking) dan sinergy yang bersifat “positive sum” dengan para pemangku kepentingan (stakeholders).
Sedangkan komunitas petani pesisir belum
berhasil membangun kelembagaan pangan berkelanjutan yang bersifat “positive sum”, dan hal ini disebabkan oleh relatif masih lemahnya : sumberdaya manusia (SDM), kapasitas kelembagaan komunitas petani, kapital sosial, jejaring kerjasama, serta dukungan teknis dan non-teknis dari pemerintahan “atas desa”. Sementara itu dari hasil analisis tentang tingkat partisipasi kelembagaan (lokal, pemerintah dan swasta) dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan, jika ditinjau secara konseptual, maka program tersebut telah memperhatikan aspek partisipatif hingga pada tingkatan yang dalam (tinggi). Namun pada implementasinya di lapangan (kondisi faktual),
229
tingkat partisipatif multi-pihak dalam implementasi Program Desa Mapan dapat dikategorikan dalam (tinggi) pada tahap persiapan dan tahap penumbuhan, terutama untuk stakeholders di tingkat pedesaan dan lembaga aparat perencana dan pelaksana program. Sedangkan untuk tahap pengembangan, tingkatan partisipatif multi-pihak dapat dikategorikan dangkal (sangat rendah), terutama untuk stakeholders di tingkat supra desa (pemerintah daerah, swasta, perguruan tinggi dan LSM). Fenomena ini sangat ironis mengingat masalah dan tantangan terberat dalam tahapan Program Desa Mapan justru terletak pada tahap pengembangan . Terjadinya penurunan tingkat keterlibatan dan partisipasi para stakeholders pada tahap pengembangan sangat disayangkan, karena hasil-hasil Program Desa Mapan pada tahap persiapan dan penumbuhan sebenarnya berpotensi besar untuk dijadikan sebagai “pintu masuk” dan sekaligus “ruang dialog” bagi kelembagaankelembagaan yang ada di tingkat pedesaan dan “supra desa” untuk melakukan proses perubahan bersama (co-evolution). Perubahan bersama (co-evolution) kelembagaan ketahanan pangan tersebut diharapkan dapat terjadi pada tataran sistem nilai dan norma, serta proses membentuk pola perilaku para aktor. Disamping itu, melalui implementasi Program Desa Mapan ini sebenarnya
kelembagaan-kelembagaan
pangan dari berbagai aras/tingkatan (komunitas, desa, kabupaten, provinsi dan pusat) telah diberi “ruang” untuk secara bersama-sama beraktivitas dalam mengelola sumber-sumber kehidupan yang ada di pedesaan, guna menciptakan kondisi ketahanan pangan komunitas pedesaan yang stabil dan berkelanjutan. Berdasarkan pada hasil kajian dan analisis dinamika kelembagaan dan aktor (masyarakat, pemerintah,
swasta, dan perguruan tinggi) dalam mengakses dan
memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal guna mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa, maka diperoleh tiga temuan utama yaitu : Pertama, perbedaan karakteristik sosiologis dan ekologis komunitas petani pesisir dan pegunungan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam karakteristik kelembagaan ketahanan pangan yang ada. Perbedaan tersebut terutama terletak pada kapasitas kelembagaan, dimana kapasitas kelembagaan komunitas petani pegunungan relatif lebih kuat dibandingkan dengan kapasitas kelembagaan komunitas petani pesisir.
Ditinjau dari aspek sosiologis, faktor yang menyebabkan timbulnya
perbedaan kapasitas tersebut adalah karena proses evolusi bersama (co-evolution)
230
kelembagaan komunitas petani pegunungan telah ditopang oleh tiga pilar kelembagaan (regulative, normative, cultural-cognitive) secara kontinum. Sedangkan pada proses evolusi bersama (co-evolution) kelembagaan komunitas petani pesisir cenderung hanya ditopang oleh dua pilar saja yakni pilar regulative dan normative. Sementara itu, pilar cultural-cognitive nyaris tidak diberi ruang dalam proses perkembangan kelembagaan komunitas petani pesisir, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa kelembagaan komunitas petani pegunungan di Desa Girijaya relatif lebih efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan komunitas petani pesisir di Desa Cigadog dalam menjalankan fungsi dan perannya dalam proses pembangunan ketahanan pangan komunitas pedesaan. Kedua, terdapat perbedaan dalam hal pola adaptasi yang dikembangkan kedua komunitas petani dalam mengatasi masalah kerawanan pangan. Pola adaptasi yang dikembangkan komunitas petani pegunungan dalam mengatasi kerawanan pangan cenderung bersifat jangka panjang (adaptive mechanism) yaitu dengan memperkuat sumber-sumber kehidupannya melalui membangun kelembagaan ekonomi yang berkelanjutan dengan berbasiskan pada nilai ”gotong royong” (lumbung paceklik, beras perelek, tabungan, arisan dan lembaga keuangan desa). Sedangkan pada kasus komunitas petani pesisir, pola adaptasi yang dikembangkan guna mengatasi masalah kerawanan pangan cenderung bersifat jangka pendek (coping mechanism) terutama bertujuan untuk mengakses pangan secara langsung, dengan cara bergantung pada sumberdaya alam yang ada (pertanian dan kelautan) dan/atau meminjam dari tengkulak/bandar. Ketiga,
ditemukannya
gejala
atau
fenomena
bahwa
perkembangan
kelembagaan ekonomi masyarakat di Desa Girijaya cenderung berkembang ke arah terciptanya kelembagaan ekonomi “gotong royong” dimana sifat jalinan kerjasamanya atau sinergy antar stakeholders cenderung bernilai “positive-sum”. Sedangkan untuk kasus kelembagaan ekonomi
masyarakat petani pesisir di Desa Cigadog cenderung
berkembang ke arah kelembagaan ekonomi “kapitalis lokal” atau “rentenir” (loanshark), dimana jalinan kerjasamanya bersifat “zero-sum”, terutama bagi petani kecil.
231
8.2. Implikasi Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian yang secara umum terangkum dalam uraian tentang kesimpulan di atas, maka secara langsung maupun tidak langsung penemuan tersebut akan memberi implikasi terhadap aspek : (1) kebijakan dan program ketahanan pangan, dan (2) adanya peluang untuk pengembangan sebuah proposisi mengenai
hubungan antara variabel kelembagaan dengan variabel
ketahanan pangan pada komunitas petani pedesaan. Beberapa implikasi terhadap aspek kebijakan dan program pemberdayaan ketahanan pangan pada komunitas pedesaan diantaranya adalah : Pertama, pihak pemerintah dalam merencanakan dan memilih kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan kelembagaan pangan perlu memperhatikan perbedaan kondisi dan karakteristik sosiologis (sosial, budaya, ekonomi dan politik) dan ekologis yang ada di kedua komunitas tersebut.
Dalam pengertian, kebijakan, program dan kegiatan
pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan yang akan diterapkan tidak dapat dilakukan secara seragam untuk kedua komunitas petani pesisir dan pegunungan. Hal ini penting,
karena masalah dan potensi ketahanan pangan yang ada pada
komunitas petani pesisir dan pegunungan relatif memiliki karakter yang berbeda. Kedua, kebijakan, strategi dan proses implementasi pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan pada komunitas pesisir perlu memberi ”ruang” yang lebih besar pada aspek cultural-cognitive. Dalam pengertian, perlu dikembangkan lebih besar lagi upaya-upaya ”dialog” dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terkait dengan tarik menarik kepentingan antara petani penggarap (masyarakat) dengan pihak swasta (PT. Condong) dalam mengakses sumber-sumber kehidupan (terutama sumberdaya lahan dan air). Pola-pola relasi sosial dan kerjasama antar stakeholders yang berbasis pada budaya lokal perlu lebih dikembangkan, seperti halnya pola relasi sosial yang berbasis pada filosofi hidup komunitas masyarakat sunda yakni budaya ”saling asah, saling asuh dan saling asih”. Disamping itu, nilai budaya semangat jiwa gotong royong dan rasa solidaritas sosial
tampaknya perlu lebih ditingkatkan
penerapannya dalam berbagai segi kehidupan komunitas petani pesisir. Ketiga, strategi pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan pada komunitas pesisir seyogyanya ditekankan pada upaya untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan mengubah pola adaptasi kelembagaan komunitas yang bersifat
232
jangka pendek (coping mechanism) dalam menghadapi masalah kerawanan pangan, menuju pola adaptasi jangka panjang (adaptive mechanism), yakni dengan membangun kelembagaan pangan yang berkelanjutan yang bersifat positive sum. praktis,
selain
dibangunnya
kelembagaan-kelembagaan
Pada tataran
ketahanan
intervensi
pemerintah (seperti halnya kelompok-kelompok afinitas dan LKD), maka perlu juga dibangkitkan kembali kelembagaan pangan lokal seperti lumbung paceklik dan beras perelek di tingkat komunitas.
Sedangkan strategi pemberdayaan kelembagaan
ketahanan pangan pada komunitas pegunungan di Desa Girijaya dapat dilakukan dengan memberi dukungan penuh pada apa-apa yang telah dicapai oleh komunitas tersebut dalam membangun kelembagaan pangan, terutama melalui peningkatan kapasitas kelembagaan, jaringan kerjasama dan sinergy antar stakeholders. Pada tataran praktis, misalnya saja kelembagaan pangan lokal (lumbung paceklik) yang ada di komunitas pegunungan dapat ditingkatkan jumlah dan kapasitasnya. Keempat, perlu ada kebijakan, strategi dan tindakan nyata untuk mengurangi atau bahkan memutus ketergantungan yang tinggi dari para petani pesisir kepada para bandar/tengkulak dalam hal penyediaan permodalan usaha pertanian yang dinilai sangat merugikan petani kecil. Pada tataran praktis, dalam jangka pendek peran dan fungsi KUD Kecamatan Cikelet perlu lebih ditingkatkan lagi, terutama dalam membantu para petani pesisir di Desa Cigadog dalam hal penyediaan pinjaman modal, sarana produksi pertanian dan bantuan pemasaran. Sementara dalam jangka panjang, lembaga keuangan desa (LKD) yang sudah terbentuk di tingkat desa dapat lebih diperkuat lagi kapasitas dan permodalannya sehingga diharapkan dapat membantu para petani di bidang permodalan usaha pertanian. Sedangkan untuk kasus LKD pada komunitas petani pegunungan di Desa Girijaya yang relatif sudah jauh lebih kuat jika dibanding dengan LKD di komunitas petani pesisir. Maka alternatif strategi pengembangannya adalah dengan meningkatkan kapasitas LKD tersebut misalnya menjadi sebuah badan usaha milik desa (BUMDES). Dimana dengan ditingkatkan kapasitas LKD
menjadi BUMDES, maka ruang lingkup
usahanya tidak hanya terbatas pada usaha simpan pinjam, melainkan bisa lebih meluas lagi misalnya mencakup bidang penyediaan sarana produksi pertanian (Saprotan), serta pemasaran produk-produk pertanian dan industri rumah tangga.
233
Kelima, strategi peningkatan ketahanan pangan komunitas petani pesisir seyogyanya dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian dan kelautan, terutama melalui dukungan teknis, berupa : inovasi teknologi baru pemanfaatan SDA (on-farm dan off-farm) yang bersifat padat karya, tepat guna serta ramah lingkungan, dan pembangunan infrastruktur (bendungan, irigasi, pasar, dan dermaga). Selain itu diperlukan juga adanya upaya-upaya serius untuk meningkatkan kapasitas diri dan kelembagaan komunitas petani pesisir. Pada tataran praktis, upaya ini diantaranya dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan BPP Kecamatan Cikelet agar dapat meningkatkan jangkauan pelayanan penyuluhan pertanian kepada komunitas petani pesisir di Desa Cigadog. Sedangkan pada kasus komunitas pegunungan, strategi peningkatan ketahanan pangan dilakukan dengan mengembangan industrialisasi pedesaan berbasis pertanian melalui peningkatan kapasitas, jaringan kerjasama dan pemasaran usaha industri rumah tangga (off-farm). Pada tataran praktis, beragam industri rumah tangga yang terdapat di komunitas petani pegunungan dapat lebih ditingkatkan lagi kuantitas dan kualitas produk-produk usahanya agar dapat menembus dan menjangkau pasar yang lebih luas lagi.
Upaya ini diantaranya dapat dilakukan dengan melakukan : (1)
kegiatan pelatihan-pelatihan peningkatan keterampilan wirausaha, (2)
inovasi
teknologi baru dalam industri pengolahan pangan yang padat karya, tepat guna dan ramah lingkungan, (3) memperluas jaringan pemasaran produk melalui kegiatan pameran produk-produk industri rumah tangga serta membentuk asosiasi-asosiasi pengrajin dan industri rumah tangga di tingkat kabupaten. Jika upaya-upaya ini dapat dilakukan, maka dalam jangka pendek diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan ekonomi rumah tangga dan ketahanan pangan komunitas petani pegunungan. Sementara itu dalam jangka panjang, upaya ini diperkirakan dapat menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan di pedesaan, sehingga diharapkan mampu mengurangi tingkat migrasi dan pengangguran. Keenam, pemerintah daerah Kabupaten Garut perlu melakukan upaya-upaya yang lebih serius dan nyata untuk mereduksi atau mengurangi kentalnya ”ego sektoral” pada dinas/instansi pemerintah terkait dengan implementasi Program Desa Mapan khususnya, dan program-program lain yang berkaitan dengan pembangunan komunitas pedesaan.
Upaya ini menjadi sangat penting terutama untuk
234
meningkatkan efektivitas dan efisiensi (ekonomi dan sosial) dalam implementasi berbagai program pembangunan pedesaan. Terkait dengan implementasi Program Desa Mapan, maka pada tataran praktis upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan peran kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan dan Pokja Kabupaten Garut dalam melakukan fungsi koordinasi dan singkronisasi program ketahanan pangan di tingkat kabupaten. Secara politis pihak Lembaga DPRD diharapkan dapat mendorong dan memberikan masukan kepada pihak eksekutif (Bupati) untuk lebih meningkatkan perhatian dan kinerjanya dalam mengentaskan masalah-masalah kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan guna meningkatkan kondisi ketahanan pangan dan kesejahteraan komunitas petani pedesaan. Ketujuh, strategi implementasi Program Desa Mapan khususnya dan programprogram pembangunan lainnya di komunitas pedesaan, perlu memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap aspek keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan. Pada tataran praktis, untuk kasus komunitas petani pesisir maka perlu dilakukannya upaya penghijauan di sepanjang pesisir pantai dan memperkuat tanggul penahan abrasi pantai.
Sedangkan untuk bidang pertanian perlu dikembangkan sistem
usahatani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Bermacam kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang diharapkan dapat membantu mendorong dan mengembangkan sistem usahatani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan misalnya : penyuluhan pengembangan diversifikasi tanaman pertanian, pelatihan pembuatan pupuk kompos/organik, pelatihan pengembangan bio-gas atau bio-energi. Sedangkan untuk kasus komunitas petani pegunungan, maka perlu ada upaya-upaya serius untuk melestarikan ekosistem Gunung Singkup, hal ini mengingat bahwa Gunung Singkup dan daerah sekitarnya memiliki fungsi ekologis yang vital. Dimana selain sebagai daerah tangkapan hujan dan resapan air, wilayah Gunung Singkup juga merupakan sumber mata air dan sumber mata pencaharian bagi sebagian besar penduduk Desa Girijaya. Pada tataran praktis, kegiatan yang dapat dilakukan untuk melestarikan ekosistem Gunung Singkup yaitu dengan melakukan penghijauan dan penghutanan kembali wilayah di sekitar Gunung Singkup. Disamping itu, para petani yang tergabung dalam implementasi Program PHBM di sekitar Gunung Singkup seyogyanya mengurangi kecenderungan menanam tanaman palawija
235
Kedelapan, terkait dengan kondisi ketahanan pangan bangsa Indonesia saat ini yang semakin melemah, dimana salah satunya penyebabnya adalah berkaitan dengan terlalu mudahnya pemerintah membuka “keran” bagi masuknya investasi asing di bidang pangan, maka pada tingkat nasional pemerintah sesungguhnya tidak memiliki pilihan lain,
selain wajib hukumnya untuk mengambil dan menerapkan konsep
“kedaulatan pangan”. Dimana konsep kedaulatan pangan sangat memperhatikan aspek sosio-produksi dan sosio-politis dari sebuah sistem pangan di suatu wilayah. Pilihan ini sangat penting dan mendasar karena pemerintah telah berjanji untuk memegang dan menjalankan amanah konstitusi UUD 1945, terutama terkait dengan Pasal 33 ayat 1,2,3 dan pasal 4 (perubahan). Dimana aspek sosio-produksi tercermin pada Pasal 2 yang secara eksplisit menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Sedangkan aspek sosio-politis tercermin dalam ayat 4 (perubahan) yang secara tegas menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Indonesia.” Sedangkan pada tataran daerah dan desa, konsep kedaulatan pangan seyogyanya dapat diterapkan secara lebih longgar (fleksible), dalam pengertian tidak harus berarti bahwa daerah/desa tersebut harus ”berdaulat” dalam keseluruhan sistem pangan (produksi, distribusi dan konsumsi). Melainkan disesuaikan dengan potensi sumber-sumber kehidupan dan kemampuan SDM daerah/desa tersebut dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Tetapi satu prinsip yang tidak boleh
diabaikan adalah bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang ada di suatu daerah/desa, tetap harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Konsep kedaulatan pangan di atas tidak berarti bahwa pihak swasta tidak diijinkan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan yang ada di daerah/desa, melainkan pihak swasta tetap diijinkan namun harus diatur oleh negara sedemikian rupa sehingga dapat memberi sumbangsih yang nyata bagi upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya secara berkeadilan.
Hal ini penting, terutama untuk mencegah timbulnya kasus
236
kerawanan pangan dan kemiskinan di suatu daerah/desa yang disebabkan (terutama) oleh faktor kebijakan pemerintah yang kurang adil dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber kehidupan yang ada di daerah/desa tersebut. Terkait dengan penelitian ini, fenomena seperti itu tercermin terutama dari timbulnya kasus kerawanan pangan dan kemiskinan pada komunitas petani pesisir di Desa Cigadog. Sementara itu, implikasi dari hasil penelitian ini terhadap aspek kerangka analisis atau kerangka teoritis adalah terutama terkait dengan adanya peluang untuk membangun sebuah kerangka analisis penelitian dan proposisi mengenai hubungan antara aspek kelembagaan dengan aspek ketahanan pangan, khususnya pada komunitas pedesaan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, fokus dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani pesisir dan pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan (sustainable food scurity) dengan berbasis pada keragaman sosiologis dan ekologis. Peneliti dalam kajian ini menggunakan tiga teori utama dan dua kerangka analisis penelitian yaitu : (1) teori dan konsep ”sustainable rural livelihood” dari Chambers dan Conway (1991), (2) teori dan konsep ”entitlement” dari Amartya Sen (1981), serta (3) paduan teori Carney dan Gedajlevic (2002) dan Scoot (2008) tentang proses evolusi bersama (co-evolution) antara kelembagaan dan organisasi yang ditopang oleh tiga pilar kelembagaan (regulative, normative dan cultural-cognitive).29 Sedangkan dua kerangka analisis penelitian yang digunakan adalah bersumber dari Nasdian (2006 ; 2008) yaitu ; (1) kerangka analisis tentang pemberdayaan
partisipatif komunitas pedesaan berbasis pengembangan dan penguatan kapasitas, jejaring kerjasama (networking), dan sinergy antar stakeholders (masyarakat, pemerintah dan swasta).30 (2) Kerangka analisis tentang proses evolusi bersama (co-evolution) kelembagaan kecamatan.
Dimana kedua kerangka analisis ini diterapkan oleh
29
Paduan teori Carney dan Gedajlevic (2002) dan Scoot (2008) yang digunakan untuk menganalisis co-evolution kelembagaan dan organisasi ini diadopsi dari kerangka analisis Nasdian (2008) dalam kajiannya tentang proses co-evolution lembaga kecamatan. 30
Menurut Nasdian (2006), melalui pendekatan pemberdayaan partisipatif ini, semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat dan stakeholders lainnya untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis sehingga proses pembangunan berjalan efektif .
237
peneliti terutama untuk menganalisis perubahan atau perkembangan pemberdayaan kelembagaan pangan komunitas petani pesisir dan pegunungan. Sebenarnya pada faktanya dalam menganalisis hasil-hasil penelitian ini, peneliti juga menggunakan beberapa teori dan metode atau kerangka analisis di luar dari apa yang telah disebutkan di atas.
Hal ini sejalan dengan digunakannya
paradigma konstruktivisme sebagai basis dari paradigma penelitian ini. Sehingga metode dan teori diletakan sedemikian rupa dalam posisi “kritis”, dalam pengertian metode dan teori yang dipilih oleh peneliti tidak hanya dilihat dari kemampuannya dalam menjelaskan, tetapi juga dalam menafsir realitas sosial yang dinamis, serta sedapat mungkin diupayakan agar dapat “terbebaskan” dari kepentingan ideologis. Berdasarkan pada hasil penelitian ini, maka secara teoritis dapat dijelaskan bahwa kondisi ketahanan pangan sebuah komunitas dipengaruhi oleh faktor-faktor : (1) kondisi sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital, natural capital, physical capital dan financial capital) yang dimiliki komunitas tersebut, (2) Pola relasi sosial antar stakeholders dalam mengakses (pola entitlement) dan memanfaatkan sumbersumber kehidupan yang ada pada komunitas tersebut, (3) Tingkat kerentanan (vulnerability) atau kemampuan suatu komunitas tersebut dalam merespon perubahan yang disebabkan oleh adanya tekanan shock, trend dan seasonality, (4) Struktur dan proses perkembangan kelembagaan pangan (lokal & intervensi) yang ada pada komunitas tersebut, dan (5) Proses dan implementasi kebijakan terkait dengan ketahanan pangan pada komunitas tersebut. Kelima faktor yang mempengaruhi kondisi ketahanan pangan sebuah komunitas tersebut di atas, bersifat saling terkait dan saling mempengaruhi. Sehingga antara satu faktor dengan faktor lainnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini juga memberi konsekwensi bahwa dalam menganalisis kondisi ketahanan pangan suatu komunitas, maka kelima faktor tersebut harus dikaji dan dianalisis sedemikian rupa agar dapat memberikan hasil kajian yang sifatnya terpadu dan menyeluruh (holistik). Terkait dengan hubungan antara kelembagaan dan ketahanan pangan komunitas petani pedesaan, maka dari hasil penelitian ini setidaknya dapat diajukan sebuah proposisi bahwa : suatu komunitas petani pedesaan dimana proses perubahan dan perkembangan kelembagaan ketahanan pangannya ditopang dengan tiga pilar
238
kelembagaan (regulative, normative, cultural-coginitive) secara kontinum, maka secara relatif akan menunjukan kondisi ketahanan pangan komunitas yang lebih kuat jika dibanding dengan komunitas petani pedesaan dimana proses perubahan dan perkembangan kelembagaan ketahanan pangannya hanya ditopang oleh dua pilar kelembagaan saja (regulative dan normative). Proposisi di atas sama sekali tidak ditujukan untuk membuat generalisasi karena pada dasarnya penelitian ini tidak ditujukan untuk verifikasi suatu teori atau hipotesis, melainkan lebih kepada untuk menjelaskan (explanatory) suatu realitas sosial yang berada dalam lingkup ruang dan waktu yang tertentu dan terbatas. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa fakta-fakta dan realitas sosial yang berhasil ditangkap dan dijelaskan oleh peneliti pada akhirnya juga akan bersifat relatif dan terbatas.
239