BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek moda produksi dari moda produksi yang menopang sistem pertanian “ladang berpindah” untuk menghasilkan padi ladang (produk untuk dimakan) menjadi moda produksi yang menopang sistem “pertanian menetap” untuk menghasilkan komoditas perkebunan (produk perdagangan atau produk untuk dijual). Setelah itu, pengaruh kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya praktek “moda produksi” yang menggunakan teknologi intensif pada usahatani padi sawah. Hal tersebut dilakukan para petani untuk mencapai peningkatan produksi padi per satuan luas lahan (produktivitas lahan) karena akhir-kahir ini lahan sawah menjadi satu-satunya tempat petani menghasilkan padi, terutama setelah hampir seluruh lahan kering digunakan untuk mengusahakan tanaman perkebunan (tanaman komersial). Dalam empat komunitas petani kasus, elemen-elemen moda produksi kapitalis umumnya masuk “merembes” melalui berbagai aktivitas baru, terutama aktivitas penjualan hasil produksi usahatani kebun (buah kakao sangat dominan) serta aktivitas penguasaan modal non lahan (bahan/alat produksi dan modal finansial) untuk mendukung proses produksi padi sawah (aktivitas di on farm). Dengan cara masuk yang “merembes”, maka pengaruh kapitalisme tidak menghilangkan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis yang sudah lama dijalankan anggota komunitas petani. Oleh sebab itu, para petani di empat komunitas kasus menjalankan beberapa elemen moda produksi berbeda secara bersamaan, baik elemen-elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri nonkapitalis, elemen-elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, maupun elemen-elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Berlangsungnya transformasi sistem pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap juga telah memperkuat proses transformasi struktur agraria. Dalam hal ini basis penguasaan sumberdaya agraria telah beralih dari ”pemilikan kolektif” (collective ownership) menjadi ”pemilikan perorangan” (individual
246
ownership). Bahkan akhir-akhir ini status hukum pemilikan perorangan diperkuat melalui penerapan status formal (bukti tertulis) seperti akte jual beli, surat keterangan desa, surat pembayaran pajak, dan sertifikat. Bersamaan dengan menguatnya penerapan elemen-elemen moda produksi kapitalis, transformasi struktur agraria yang terjadi kemudian membangkitkan hadirnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang semakin “tertutup” sehingga akses lapisan petani tunakisma miskin untuk menguasai sumberdaya agraria semakin berkurang. Hal ini terjadi baik pada mekanisme ”penguasaan tetap” (pemilikan perorangan) maupun ”penguasaan sementara”. Selain itu, bersamaan dengan praktek kekuatan produksi teknologi intensif yang banyak menggunakan modal produksi non lahan dari luar komunitas petani, muncul dua pola hubungan sosial produksi berikut : 1) pola hubungan sosial produksi agraria yang melibatkan semakin banyak pihak, yaitu munculnya pihak baru (non petani) yang menguasai modal non lahan, dan 2) pola hubungan sosial produksi agraria dua pihak yang semakin terakumulasi dan tersubordinasi, yaitu hubungan sosial produksi agraria antara petani pemilik lahan yang semakin kuat (karena selain menguasai modal lahan juga menguasai modal non lahan) dengan petani penggarap (pemilik sementara) yang semakin lemah (karena posisi petani penggarap hanya berlandaskan penguasaan tenaga kerja). Berbagai realitas tersebut kemudian memberi jalan bagi proses pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi. Namun demikian, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada prinsip moral tradisional126 turut mempertahankan penerapan pola hubungan “penguasaan sementara”, terutama melalui pola “bagi hasil” pada usahatani kakao dan usahatani padi sawah. Realitas struktur agraria ini kemudian memberi jalan bagi proses diferensiasi sosial masyarakat agraris sehingga struktur sosial masyarakat tersebut terstratifikasi oleh banyak lapisan, baik lapisan yang hanya mempunyai satu status (status tunggal) maupun lapisan yang mempunyai beberapa status (status kombinasi). Nampaknya hubungan sosial produksi yang sebelumnya sudah berjalan mapan (terstruktur sejak lama) dalam komunitas petani
126
terutama ikatan kekerabatan dan solidaritas lokal untuk menjaga kebutuhan minimum warga se komunitas
247
karena diikat oleh prinsip moral tradisional telah berperan sebagai pengaman komunitas petani dari serbuan kapitalisme. Berlangsungnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi secara bersamaan ternyata telah melahirkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang memiliki tipe “stratifikasi - timpang”. Struktur sosial masyarakat agraris tersebut terdiferensiasi dalam banyak lapisan, baik lapisan yang dibentuk oleh status tunggal maupun lapisan yang dibentuk oleh status kombinasi.
Selain itu, struktur sosial
masyarakat agraris tersebut disertai dengan semakin timpangnya luas pemilikan sumberdaya agraria. Berbasis pada penguasaan sumberdaya agraria, hasil penelitian di empat komunitas petani di Propinsi Sulawesi Tengah dan NAD menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat agraris disusun oleh beberapa lapisan, baik lapisan yang bertumpu pada satu status (status tunggal) dimana status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat maupun lapisan yang berbasiskan kombinasi beberapa status secara kompleks (status kombinasi). Secara rinci, lapisan-lapisan masyarakat agraris dengan status tunggal terdiri dari : 1) petani pemilik, 2) petani penggarap, dan 3) buruh tani. Sementara itu, lapisan-lapisan masyarakat agraris dengan status kombinasi terdiri dari : 1) petani pemilik + penggarap127, 2) petani pemilik + penggarap + buruh tani, 3) petani pemilik + buruh tani, dan 4) petani penggarap + buruh tani. Lebih lanjut, lapisan petani penggarap dan petani penggarap + buruh tani dapat dikelompokkan sebagai ”tunakisma tidak mutlak” (masih mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria meskipun hanya melalui penguasaan sementara) sedangkan lapisan buruh tani dikelompokkan sebagai ”tunakisma mutlak” (sama-sekali tidak mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria). Pada saat penelitian berlangsung, petani tunakisma tidak mutlak maupun petani tunakisma mutlak sudah muncul di semua komunitas petani lokasi penelitian. Bahkan di komunitas petani Desa Jono Oge (Sulawesi Tengah), proporsi petani tunakisma tidak mutlak sudah mencapai 6,9 % dan proporsi tunakisma mutlak
127
Penggarap adalah petani yang mengusahakan lahan milik orang lain, umumnya melalui bagi hasil (pola penggarap lain adalah gadai dan sewa)
248
sudah mencapai 27,3 % sehingga jumlah seluruh tunakisma sudah mencapai 34,2 % dari total rumahtangga petani. Selain itu, berdasarkan analisa gini ratio, ternyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total128 juga sudah muncul di semua komunitas kasus, meskipun tingkat ketimpangannya tidak sama. Tingkat ketimpangan ”Tinggi” muncul dalam komunitas petani di Desa Jono Oge dan Cot Baroh/Tunong, ”Sedang” muncul dalam komunitas petani di Desa Tondo, dan “Rendah” muncul dalam komunitas petani di Desa Ulee Gunong. Bahkan, bila analisa ketimpangan diterapkan pada sumberdaya agraria produktif
129
ternyata
sebagian besar komunitas petani di lokasi penelitian berada pada tingkat ketimpangan Tinggi, kecuali komunitas petani di Desa Cot Baroh/Tunong (tingkat ketimpangan Rendah) 130. Setelah para petani terintegrasi dengan moda produksi yang semakin kapitalis melalui pengusaahaan kakao untuk memenuhi kebutuhan pasar dan penguasaahn padi sawah yang semakin intensif yang kemudian diikuti oleh transformasi struktur agraria dan diferensiasi sosial masyarakat agraris, ternyata perubahan tersebut berimplikasi pada meningkatnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam hal ini, berdasarkan status kesejahteraan, komunitas petani di seluruh lokasi penelitian terbagi dalam tiga lapisan, yaitu : “petani kaya”, “petani sedang”, dan “petani miskin”. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi belum mampu mensejahterakan sebagian besar petani. Beradasarkan lapisan kesejahteraan, ternyata sebagian besar petani di desa-desa kasus di NAD berada pada lapisan miskin. Kondisi yang relatif lebih baik terjadi di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, dimana proporsi lapisan petani miskin dan lapisan petani sedang dalam komunitas petani relatif seimbang, tetapi proporsi petani kaya masih relatif sedikit. Di semua komunitas petani kasus, munculnya lapisan
128
Sumberdaya agraria total adalah seluruh sumberdaya agraria milik petani, termasuk sumberdaya agraria yang tidak diusahakan (tidak ada tanamannya) atau ada tanamannya tetapi tidak berproduksi (tidak menghasilkan)
129
Sumberdaya agraria produktif adalah hanya sumberdaya agraria yang ada tanamannya dan tanaman tersebut berproduksi
130
Nilai Gini Ratio < 0,4 = Ketimpangan Rendah, 0,4 – 0,5 = Ketimpangan Moderat/Sedang, dan > 0,5 = Ketimpangan Tinggi
249
petani miskin tidak hanya terjadi pada petani tunakisma (mutlak maupun tidak mutlak) tetapi juga pada lapisan petani pemilik, terutama lapisan petani yang luas sumberdaya agraria miliknya relatif sempit (kurang dari dua ha). Dengan menggunakan analisa gini ratio, sebenarnya ketimpangan penghasilan dan pengeluaran di empat komunitas kasus umumnya masih berada pada kategori rendah, kecuali ketimpangan penghasilan di Desa Jono Oge yang tergolong Tinggi dan ketimpangan penghasilan di Desa Tondo yang tergolong Sedang.
Namun
demikian rendahnya ketimpangan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai kondisi yang baik karena sebagian besar petani belum sejahtera. Perubahan struktur agraria dan struktur sosial masyarakat agraris juga mulai mengancam keamanan sosial ekonomi petani (terutama bagi petani tunakisma miskin). Pada saat ini, ”tangga” tempat berjalannya proses peningkatan kesejahteraan petani sudah semakin tertutup. Padahal sebelumnya banyak petani tunakisma miskin yang mampu meningkatkan status kesejahteraannya melalui tangga berikut : petani yang awalnya tunakisma mutlak (buruh tani) dapat menguasai lahan melalui tangga ”penggarap bagi hasil” (pemilik sementara) dan/atau ”penggarap bagi kebun” atau “penggarap bagi tanaman” (pemilik sempit), dan selanjutnya mereka dapat melakukan akumulasi lahan sehingga menjadi pemilik sedang dan/atau pemilik luas. Pada komunitas petani juga sedang terjadi proses pemiskinan dan mulai muncul problema 131 kesejahteraan. Beberapa situasi yang potensial mempercepat proses pemiskinan petani adalah: kenaikan harga kebutuhan pokok dan modal produksi yang lebih besar dibanding kenaikan harga-harga hasil pertanian, semakin banyaknya jumlah dan/atau ragam kebutuhan pokok sehari-hari maupun modal produksi yang harus dibeli petani, produktivitas sumberdaya agraria menurun akibat menurunnya kesuburan dan/atau ketersediaan air, hilangnya katup pengaman penghasilan minimal yang berasal dari sumberdaya agraria milik komunal, serta berkurangnya luas sumberdaya agraria per rumahtangga karena cadangan sumberdaya agraria untuk usaha pertanian tidak tersedia lagi sedangkan jumlah anggota komunitas terus bertambah. Sementara itu, beberapa situasi yang potensial mendorong terjadinya problema kesejahteraan petani adalah sumberdaya 131
Adanya warga komunitas yang jumlah pengeluarannya dibawah garis kemiskinan.
250
agraria yang ada dalam komunitas petani tidak dapat memberikan penghasilan minimal (setara garis kemiskinan) dan bersamaan dengan itu tidak tersedia sumber penghasilan alternatif (penghasilan dari sumber non pertanian). Realitas munculnya moda produksi ”amphibian”, munculnya transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan, munculnya diferensiasi sosial masyarakat agraris dalam bentuk ”stratifikasi” dengan pemilikan sumberdaya agraria yang semakin timpang, serta munculnya diferensiasi kesejahteraan petani (Gambar 10.1) ternyata terjadi di semua komunitas petani kasus. Perbedaan yang muncul di antara komunitas petani lebih nampak pada perbedaan “ukuran” realitas, bukan perbedaan ”bentuk” realitas. Nampaknya, kesamaan tingkat kapitalisme yang masuk melalui jenis tanaman dan tipe sistem pertanian yang sama mendorong munculnya kesamaan bentuk transformasi struktur agraria serta diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani, meskipun mereka mempunyai latar belakang etnis berbeda. Fakta ini juga menunjukkan bahwa komunitas petani yang mempunyai latar belakang etnis berbeda ternyata mempunyai kemampuan yang relatif sama dalam hal membendung pengaruh kapitalisme. Dengan kata lain, yang terjadi dalam komunitas petani adalah commodity-driven relation of production bukan etnics-driven relation of production. Dalam hal perbedaan ukuran realitas di antara empat komunitas petani kasus, komunitas petani yang berlatar belakang etnis Bugis (di Desa Jono Oge) mempunyai perbedaan yang sangat menonjol. Perbedaan tersebut muncul pada lebih tingginya intensitas penerapan elemen moda produksi yang berciri kapitalis, intensitas mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi, tingkat ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria, dan tingkat ketimpangan dalam kesejahteraan warga komunitas. Di desa ini, meskipun sudah muncul ”petani sangat luas” yang memiliki lahan seluas 75 ha, tetapi dalam pengelolaan usahatani (terutama usahatani padi sawah dan kebun kakao) masih memilih menerapkan pola bagi hasil bersama petani penggarap. Padahal berdasarkan perhitungan ekonomi, bilamana ”petani sangat luas” tersebut melakukan sendiri pengelolaan usahatani miliknya dan disertai dengan penggunaan buruh tani maka petani tersebut akan memperoleh pendapatan yang lebih besar.
251
Dari empat komunitas petani yang dipilih sebagai lokasi penelitian, tiga di antaranya berada pada wilayah ekologi dataran rendah yang mempunyai komunitas petani “kombinasi”. Dalam hal ini, sebagian anggota komunitas merupakan petani yang mengusahakan padi sawah dan kakao secara bersamaan dengan sistem pertanian menetap sedangkan sebagian petani lainnya hanya mengusahakan kakao atau hanya mengusahakan padi sawah tetapi juga dengan sistem pertanian menetap. Bahkan di Desa Jono Oge (Propinsi Sulawesi Tengah) dan di Desa Cot Baroh (Propinsi NAD), petani yang mengusahakan padi sawah dan kakao secara bersamaan merupakan bagian terbesar. Potret tiga komunitas petani tersebut menunjukkan bahwa gambaran komunitas petani di “Indonesia Luar” (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusatenggara) tidak “relevan” lagi dengan kesimpulan Geertz yang dibuat dari hasil studi lapang yang dilakukannya awal tahun 50 an tentang tipe komunitas petani “Indonesia Luar” yang berbeda sangat kontras dengan tipe komunitas petani “Indonesia Dalam” (Jawa). Pada saat itu, Geertz membuat kesimpulan bahwa desa-desa di “Indonesia Dalam” merupakan desa “pos-tradisional” sedangkan desa-desa di “Indonesia Luar” merupakan desa “tradisional”.
10.2. Implikasi 10.2.1. Teoritis Pada sebuah komunitas petani kecil (peasant) yang masih menerapkan hubungan sosial produksi dengan landasan “prinsip moral tradisional”, pengaruh kapitalisme masuk dengan cara “merembes” sehingga tidak melenyapkan moda produksi non-kapitalis yang sudah berjalan lama dalam komunitas petani. Oleh sebab itu, para petani dalam komunitas tersebut menjalankan beberapa elemen moda produksi berbeda secara bersamaan, baik elemen-elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri non-kapitalis, elemen-elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, maupun elemen-elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Proses merembesnya pengaruh kapitalisme tersebut umumnya berlangsung melalui aktivitas penguasaan modal non-lahan (bahan/alat produksi, modal finansial) serta melalui aktivitas “penjualan hasil produksi” para petani (terutama biji kakao).
252
Selain itu, pengaruh kapitalime yang berlangsung “tidak membelah” komunitas petani menjadi beberapa bagian (kelompok) yang terpisah akibat perbedaan praktek moda produksi yang mereka jalankan. Pengaruh kapitalisme tersebut justru menjadikan para petani harus berjalan di atas dua moda produksi berbeda secara bersamaan, yaitu moda produksi kapitalis dan moda produksi nonkapitalis. Bersamaan dengan itu, walaupun dalam komunitas petani dimaksud mulai muncul ketidaksamaan (khususnya dalam penguasaan modal produksi lahan dan non lahan) tetapi ketidaksamaan tersebut belum terlalu tajam. Oleh sebab itu, ketidaksamaan tersebut belum diikuti oleh hubungan sosial produksi yang bersifat eksploitatif. Selain itu, pada aras mikro (komunitas), hubungan sosial produksi yang “eksploitatif” masih tertahan oleh kuatnya ikatan moral tradisional (terutama hubungan kekerabatan dan keteanggaan) yang melandasi hubungan sosial produksi tersebut. Bertolak dari realitas hampir seluruh anggota komunitas petani menerapkan elemen-elemen moda produksi kapitalis dan pra kapitalis secara bersamaan, maka dalam komunitas petani (aras mikro) tidak terjadi “artikulasi moda produksi” yang diikuti “formasi sosial”. Dengan kata lain, dalam komunitas petani tidak terjadi dominasi moda produksi kapitalis terhadap moda produksi non-kapitalis serta tidak terjadi dominasi yang dilakukan oleh kelompok (sebagian anggota komunitas) yang menerapkan moda produksi kapitalis terhadap kelompok (sebagian anggota komunitas) yang menerapkan moda produksi non-kapitalis. Realitas terjadinya praktek moda produksi kapitalis dan non kapitalis yang dijalankan secara bersamaan oleh petani yang sama serta realitas tidak terjadinya artikulasi moda produksi dan formasi sosial dalam komunitas petani mengindikasikan bahwa dalam komunitas petani terdapat sebuah tipologi praktek moda produksi transisional tertentu yang khusus (berbeda). Dengan demikian, praktek moda produksi yang dijalankan para petani tersebut meskipun sama-sama merupakan moda produksi transisional tetapi tidak termasuk kategori artikulasi moda produksi. Oleh sebab itu, praktek moda produksi para petani tersebut diberi nama khusus, yaitu “strategi amphibian”.
253
Dalam hal perubahan struktur sosial masyarakat agraris, pengaruh kapitalisme pada sebuah komunitas petani kecil yang masih menerapkan hubungan sosial produksi dengan landasan prinsip moral tradisional telah mendorong munculnya mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi struktur sosial masyarakat secara bersamaan. Walaupun demikian, masih dominannya mekanisme yang mendorong proses stratifikasi ternyata tidak melahirkan struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi hanya melahirkan struktur sosial masyarakat agraris dengan tipologi “stratifikasi - timpang”.
Struktur sosial masyarakat agraris tersebut terdiferensiasi
dalam banyak lapisan dengan “status tunggal” (pemilik, penggarap, buruh upahan) maupun “status majemuk” (kombinasi di antara tiga status tunggal). Bersamaan dengan itu, dalam struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi tersebut luas pemilikan sumberdaya agraria semakin timpang serta akses petani tunakisma dalam penguasaan sumberdaya agraria semakin berkurang akibat semakin dominannya peranan modal non lahan. Walaupun demikian, masih berjalannya hubungan sosial produksi tradisional “penguasaan sementara” menyebabkan jumlah warga komunitas yang secara mutlak terlepas dari penguasaan alat produksi lahan (tunakisma mutlak) masih merupakan bagian terkecil. Perubahan struktur sosial mayarakat agraris (masyarakat tani) yang terjadi dalam komunitas petani tersebut ternyata berbeda dengan hipotesa Marx yang menyebutkan bahwa pengaruh kapitalisme akan melahirkan “polarisasi” masyarakat tani menjadi hanya dua kelas yang terbelah, yaitu “kelas borjuis” yang memiliki alat produksi lawan “kelas proletar” yang tidak menguasai alat produksi sehingga kemudian dieksploitasi. Selain itu, para petani luas yang ada dalam komunitas petani tidak bertransformasi menjadi kapitalis kecil (a petty capitalist) yang mengeksploitasi tenaga kerja petani lain (buruh tani). Dalam hal ini, para petani luas masih menerapkan hubungan sosial produksi pemilikan sementara “bagi hasil” manakala mereka memerlukan kerjasama dengan petani tunakisma untuk mengusahakan lahan miliknya. Implikasi lebih lanjut dari struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi adalah tidak munculnya “kesadaran kelas” petani, sehingga kemudian tidak melahirkan sebuah “gerakan petani”.
254
10.2.2. Kebijakan Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani berbasis usahatani kakao masih miskin dan kemiskinan tersebut berawal dari persoalan struktur penguasaan sumberdaya agraria kemudian semakin memburuk dengan adanya persoalan dalam proses produksi. Oleh sebab itu, kebijakan pembangunan pertanian yang disusun harus mempunyai komponen yang lengkap dan ditujukan untuk mengatasi kedua fokus persoalan tersebut. Dengan kata lain, program tersebut perlu diletakkan dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dimana pembukaan/penguatan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria diperlukan sebagai “pembuka jalan” bagi petani miskin untuk menguasai lapangan berusaha. Bersamaan dengan itu, program supporting system juga diperlukan para petani miskin untuk “meyempurnakan jalan” agar mereka dapat menguasai modal non-lahan (teknologi, bahan/alat, modal finansial) sehingga mereka dapat mengusahakan sumberdaya agraria yang telah dikuasainya secara produktif. Dalam jangka pendek, persoalan kemiskinan petani yang terkait dengan “masalah struktural” dalam penguasaan sumberdaya agraria, yaitu munculnya masyarakat agraris yang “terstratifikasi” sehingga muncul lapisan “petani pemilik sempit - miskin” dan “tunakisma – miskin” perlu diatasi melalui pengaturan penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses seluas-luasnya kepada mereka (bukan kepada petani kaya atau perusahaan besar). Para petani dimaksud harus menguasai sumberdaya agraria dengan luas yang memadai (minimal 2,2 hektar)
132
.
Kebijakan tersebut dapat ditempuh melalui program redistribusi
sumberdaya agraria yang terlantar dan/atau tidak diusahakan secara produktif oleh perusahaan besar serta melalui program pembukaan areal-areal baru. Dalam jangka panjang, upaya mengatasi persoalan struktural tersebut harus dibarengi dengan pembukaan lapangan berusaha dan bekerja non pertanian agar dapat menyerap pertumbuhan warga komunitas petani yang selama ini terus 132
Hasil penelitian Fadjar dkk (2006) di Pidie NAD menunjukkan bahwa bila petani mengusahakan kebun kakao dengan cara tidak intensif sehingga produktivitas kebun hanya 400 kg/ha/tahun (sebagaimana umumnya yang mereka lakukan sekarang), maka untuk mencapai tingkat sejahtera secara berkelanjutan (mampu membiayai hidup sehari-hari, menyekolahkan anak minimal sampai SMA, dan merehabilitasi kebun mereka minimal harus mempunyai kebun kakao seluas 5,99 ha). Sementara itu, bila mereka mengusahakan kebun kakao secara intensif sehingga produktivitas kebun mencapai 900 kg/ha/tahun, untuk mencapai tingkat sejahtera secara berkelanjutan mereka perlu lahan seluas minimal 2,2 ha.
255
menerus harus ditampung di sektor pertanian. Bila tidak demikian, meskipun struktur masyarakat agraris yang terstratifikasi memiliki kemampuan untuk menampung warga komunitas yang terus bertambah tetapi realitas tersebut akan diikuti dengan meningkatnya “gejala involusi”. Lebih lanjut, meningkatnya gejala involusi akan meningkatkan “problema kemiskinan” dalam komunitas petani karena tingkat kehidupan (kesejahteraan) sebagian besar warga komunitas tersebut akan berada pada garis kemiskinan (hanya mampu bertahan hidup) atau bahkan berada di bawah garis kemiskinan (kelaparan). Sementara itu, persoalan kemiskinan petani yang terkait dengan ketidakmampuan mereka dalam melaksanakan tata cara produksi yang produktif perlu diatasi dengan peningkatan akses mereka dalam penguasaan modal produksi, baik berupa bahan/alat produksi maupun modal finansial. Dalam hal penguasaan bahan /alat produksi yang umumnya tidak diproduksi oleh para petani sendiri dan mereka harus membelinya, maka pemerintah harus mempunyai kebijakan yang mampu “mengontrol” penyediaan bahan/alat produksi tersebut sehingga dapat dikuasai para petani secara tepat waktu; tepat jumlah; serta dengan harga yang murah. Kemudian dalam hal peguasaan modal finansial yang diperlukan para petani untuk menguasai baha/alat produksi non-lahan, pemerintah perlu mempunyai program penyediaan kredit dengan bunga sangat ringan atau bahkan tanpa bunga. Selain itu, penyaluran kredit tersebut harus disertai dengan persyaratan yang tidak bersifat “diskriminatif” sehingga lapisan petani pemilik-sempit miskin dapat ikut sebagai peserta. Manakala program penyaluran kredit modal finansial hanya diterima oleh para petani pemilik kaya, maka program tersebut hanya akan menyuburkan mekanisme-mekanisme penguasaan sumberdaya agraria dan/atau hubungan sosial produksi yang semakin tertutup. Lebih lanjut, diterapkannya mekanismemekanisme tersebut akan memperkuat jalan bagi berlangsungnya proses pembentukan masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi. Selain adanya kebijakan program pembangunan perkebunan yang sungguhsungguh ditujukan bagi petani pemilik sempit - miskin dan tunakisma – miskin, sebaiknya para petani dimaksud juga memperoleh kesempatan utnuk berpartisipasi penuh dalam merencanakan dan melaksanakan program yang diperuntukkan bagi mereka. Kemudian dalam mengimplementasikan program tersebut, “peran
256
kontrol” pemerintah harus kuat. Dalam menjalankan fungsinya, para penyelenggara negara harus mengedepankan kemakmuran rakyat. Dengan demikian, program tersebut sungguh-sungguh diterima oleh para petani pemilik-sempit miskin dan tunakisma miskin, sehingga. implementasi program tersebut tidak berdampak pada peningkatan ketimpangan dalam pemilikan sumberdaya agraria.. Ditinjau dari sisi perbaikan struktur penguasaan sumber daya agraria, kebijakan pembangunan perkebunan yang memberikan prioritas penguasaan akses sumberdaya agraria kepada warga komunitas petani akan lebih baik dibanding kebijakan yang memberikan prioritas akses penguasaan sumberdaya agraria kepada perusahaan besar. Kebijakan yang terlalu memberikan prioritas kepada perusahaan besar akan melapangkan jalan bagi berlangsungnya proses “pengkutuban” komunitas petani menjadi dua lapisan yang terbelah, yaitu: “penguasa lahan” yang sangat kaya dan “buruh tani tunakisma - miskin”. Bila realitas sosial tersebut yang terjadi, maka realitas yang akan muncul kemudian adalah konflik petani yang berlangsung terus meneurus.
257
Barbaric
Ekonomi Primitif (Ekstraktif)
Perladangan Berpindah (Shifting Cultivation)
Pertanian Menetap (Sedentary Cultivation) STRUKTUR MASYARAKAT AGRARIS :
Privatisasi
Penguasaan Sumberdaya Agraria “Kolektif”
Penguasaan Sumberdaya Agraria “Kolektif”
Moda Produksi “Non-kapitalis”
Penguasaan Sumberdaya Agraria “Perorangan”
Moda Produksi Transisi
“Stratifikasi dengan Pemilikan Sumberdaya Agraria yang Semakin Timpang”
DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN PETANI : “Kaya, Sedang, Miskin”
Moda Produksi “Kaptalis”
“STRATEGI AMPHIBIAN” DALAM PRAKTEK MODA PRODUKSI
Masa Pra Kontemporer (sebelum Indonesia merdeka)
Masa Kontemporer (sejak Indonesia merdeka)
Gambar 10.1. Transformasi Moda Produksi dan Struktur Agraria serta Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris dan Kesejahteraan dalam Komunitas Petani. (Berdasarkan Pengalaman di Sulawesi Tengah dan NAD)
258