VII. PEMBAHASAN UMUM Hasil survei yang dilakukan di lahan pertanaman tomat yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta menunjukkan adanya gejala penyakit. Persentase kerusakan tanaman tomat akibat adanya serangan penyakit tersebut berkisar 50-70%, dan apabila tanaman tomat terinfeksi pada waktu berumur muda maka dapat mengakibatkan tanaman tidak berproduksi. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa penyakit tanaman tomat tersebut disebabkan oleh infeksi geminivirus. Ciri utama serangan geminivirus pada tanaman tomat ditunjukkan dari gejala yang ditimbulkannya berupa terjadinya penebalan tulang dan anak tulang daun sehingga mengakibatkan daun berkerut, keriting, warna daun menguning, daun menjadi kecil, cupping dan tanaman kerdil. Disamping itu, dibeberapa lahan tanaman tomat ditemukan adanya serangga kutukebul yaitu Bemisia tabaci yang merupakan serangga vektor geminivirus. Hasil deteksi dan identifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer universal geminivirus PAL1v 1978 dan PAR1c 715 membuktikan penyebab penyakit tersebut adalah geminivirus. Hal tersebut ditunjukkan dengan teramplifikasinya fragmen DNA yang berukuran 1.600 bp. Menurut Rojas et al. (1993) hasil tersebut sesuai dengan ukuran yang diharapkan apabila menggunakan pasangan primer universal geminivirus tersebut. Identifikasi geminivirus yang menyerang berbagai jenis tanaman dan gulma pada umumnya dilakukan secara molekuler dengan teknik PCR menggunakan sepasang primer universal geminivirus (Chiemsombat et al. 1990; Rojas et al. 1993 ; Wyatt & Brown 1996 ; Roye et al. 1997; Hidayat et al. 1999; Aidawati et al.
2001; Sudiono et al.
2004; Sulandari et al 2001).
Berbagai pasang primer telah banyak digunakan untuk mengamplifikasi bagian genom DNA yang berbeda -beda. Keberhasilan amplifikasi DNA geminivirus selain bermanfaat untuk alat deteksi juga dapat digunakan untuk kajian molekuler lainnya yaitu analisis keragaman melalui PCR-RFLP atau mengetahui tingkat kekerabatan me lalui susunan nukleotida DNA, untuk membuat pelacak DNA serta kloning gen penyandi selubung protein virus dan gen penyandi replikasi dapat dimanfaatkan untuk membuat tanaman transgenik (Bendahmane & Gronenborn 1997; Guevara-Gonzales et al. 1999)
147
Deteksi dan identifikasi geminivirus dengan teknik PCR terbukti cepat, akurat dan dapat digunakan untuk mendeteksi sampel daun yang kering, maupun sampel daun yang segar (Rojas et al. 1993; Sulandari 2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik PCR dengan menggunakan sepasang primer universal geminivirus PAL1v 1978 dan PAR 1c 715 berhasil mengamplifikasi (berukuran ≈ 1.600 bp) yang menginfeksi tanaman tomat asal Jawa Tengah (Magelang dan Boyolali), DIY (Sleman dan DNA geminivirus Kulonprogo) dan Jawa Barat (Bogor). Analisis hasil pemotongan enzim restriksi (HindIII, PstI, Eco RI dan BamHI) menunjukkan adanya beberapa strain geminivirus yang menginfeksi tomat. Strain geminivirus tomat yang ditemukan dalam penelitian ini berbeda dengan strain geminivirus tomat yang dilaporkan oleh Sudiono et al. (2004) dan Sulandari et al. (2006) juga melaporkan bahwa strain geminivirus tomat berbeda dengan geminivirus yang menginfeksi cabai. Pasangan primer PAL1v 1978 dan PAR1c 715 akan mengamplifikasi bagian genom geminivirus yang mencakup daerah common region, sebagian gen replikasi dan sebagian gen selubung protein (Rojas et al. 1993). Daerah common region pada DNA-A dan DNA-B geminivirus yang terdiri atas sekitas 200 bp mempunyai derajat kesamaan yang tinggi (Harrison 1985, va Regenmortel et al. 2000), akan tetapi daerah itu juga mempunyai susunan DNA dengan derajat kesamaan yang rendah antar anggota geminivirus (Rojas et al. 1993; Brown 1997). Oleh karena itu fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dengan pasangan primer tersebut seringkali digunakan untuk tujuan mempe lajari perbedaan antar geminivirus. Pasangan primer tersebut telah banyak digunakan untuk mendeteksi geminivirus dari berbagai macam tanaman dan juga geminivirus yang ada dalam tubuh serangga (Chiemsombat & Kittipakom 1997, Katon et al. 1998; Salati et al. 2002; Hidayat et al. 1999, Aidawati et al. 2002, Sudiono et al. 2004, Aidawati et al. 2005, Sulandari et al. 2006). Pada penelitian ini belum bisa ditunjukkan spesies geminivirus yang menginfeksi tanaman tomat. Untuk membuktikannya perlu dilakukan sekuensing DNA genom geminivirus tersebut dan membandingkan sekuen tersebut dengan sekuen genom geminivirus yang ada di GeneBank. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa geminivirus yang menginfeksi tanaman tomat di Indonesia
148
merupakan tomato leaf curl virus (ToLCV) dan geminivirus tersebut sangat berbeda dengan geminivirus dari geografi yang lain (Kon et al. 2003; Sukamto et al. 2005; Tsai et al. 2006a,b). Geminivirus yang menginfeksi tanaman tomat merupakan famili Geminividae dari genus Begomovirus.
Kelompok virus ini ditularkan oleh
serangga vektor kutukebul B. tabaci. Penularan dan penyebaran geminivirus yang menginfeksi tanaman tomat di lapangan terutama ditentukan oleh aktivitas serangga vektor tersebut dan efektifitas penularannya berhubungan dengan biotipe B. tabaci. Biotipe B. tabaci ditandai dengan adanya reaksi fitotoksin spesifik pada tanaman squash, tomat, cabai ,brokoli, kai choy dan lettuce (Yokomi et al. 1990; Brown et al. 1992; Hoelmer et al. 1991; Schuster et al. 1991 dan Costa et a l. 1993; Maynad & Cantliffe 1989; Summers & Estrada 1996) , perbedaan marker esterase (Costa et al. 1993; Brown et al. 1995a), dan perbedaan pola sidik jari DNA yang berupa PCR-RAPD, AFLP, ITS, mikrosatelit, dan COI (Gawel & Bartlett 1993; De Barro & Driver 1997; Guirao et al. 1997; Frohlich et al. 1999; Brown 2000; Cervera et al. 2000; Legg et al. 2002; Abdullahi et al. 2003). Berdasarkan hasil penelitian dengan teknik mating, morfologi, gen COI, 16S, allozyme dan ribosomal ITSI (Bedford et al. 1994; Rosell et al. 1997; Frohlich et al. 1999; Brown 2000; De Barro et al. 2000) populasi B. tabaci yang merupakan spesies yang komplek ini dibagi menjadi 7 kelompok (Perring 2001). Hasil pengujian dengan menggunakan tanaman squash, PCR-RAPD dan sekuen gen COI menunjukkan bahwa di Indonesia ada 2 biotipe B. tabaci yaitu B. tabaci biotipe B yang berasal dari tanaman brokoli dan B. tabaci biotipe non B yang berasal dari tanaman cabai, tomat, kedelai, edamame , mentimun dan terung. Hasil penelitian yang selama ini dilakukan menunjukkan bahwa serangga B. tabaci merupakan vektor yang sangat penting dalam menularkan geminivirus dari tanaman sakit ke tanaman sehat. Penularan B. tabaci sangat dipengaruhi oleh lamanya periode makan akuisisi serangga dan jumlah serangga serta lamanya periode makan inokulasi yang terjadi pada tanaman sehat. Efektifitas penularan B. tabaci terhadap geminivirus berhubungan dengan biotipe B. tabaci dan selubung protein geminivirus.
149
Hubungan geminivirus dengan B. tabaci bersifat persisten sirkulatif, tetapi tidak terjadi replikasi di dalam tubuh serangga (Cohen et al. 1983; Stenger et al. 1990; Mehta et al. 1994b; Idris & Brown 1998; Aidawati et al. 2002; Sulandari 2004). Menurut Hunter et al. (1998) dan Rosell et al. (1999) barrier yang selektif dalam pencernaan serangga terhadap akuisisi dan penularan geminivirus oleh serangga vektor adalah filter-chamber, daerah interior midgut intestine dan membran salivary gland. Pada umumnya satu ekor B. tabaci mampu menularkan geminivirus dari tanaman sakit ke tanaman sehat dan pada umumnya penularan optimal pada 10-20 ekor B. tabaci, efektifitas penularan tergantung pada spesies virus dan biotipe B. tabaci (Mansour & Al-Musa 1992; Mehta et al. 1994b;Bedford et al. 1994; Sulandari 2004; Aidawati et al. 2002). Beberapa penelitian terhadap TYLCV-Is dan TYLCV-Sar dengan serangga vektor yang berasal dari geografis yang berbeda menunjukkan bahwa rata-rata B. tabaci optimal menularkan virus setelah PMA 16-24 jam dan PMI setela h 20-24 jam (Mansour & Al-Musa 1992; Mehta et al. 1994b; Caciagli et al. 1995), sedangkan TYLCV-Egypt mampu ditularkan oleh B. tabaci biotipe B dengan PMA dan PMI setelah 15 menit dan penularan semakin meningkat dengan meningkatnya PMA dan PMI (Mehta et al. 1994b) Pada penelitian ini, B. tabaci biotipe B dan biotipe non B mampu menularkan strain geminivirus yang berbeda setelah PMA dan PMI 15 menit dengan optimal penularan tergantung pada biotipe B. tabaci dan strain geminivirus. Demikian pula, satu ekor B. tabaci biotipe B dan biotipe non B mampu menularkan ketiga strain geminivirus yang berbeda tersebut. TYLCV -Is mampu ditularkan secara transovarial oleh B. tabaci biotipe B dan ditularkan selama dua generasi serta mampu ditularkan melalui kopulasi antar individu antara B. tabaci yang viruliferous dengan yang B. tabaci nonviruliferous (Ghanim et al. 1998; Ghanim & Czosnek 2000). Hasil penelitian Bosco et al. (2004) menunjukkan bahwa TYLCV-Sar terbawa sampai telur oleh B. tabaci biotipe B tetapi tidak mampu menularkan virus tersebut ke tanaman tomat sehat. Caciagli et al. (1995) dan Sulandari (2004) menunjukkan bahwa imago jantan kurang efektif sebagai serangga vektor dibandingkan dengan serangga betina dan
150
nimfa. Penurunan dalam efektifitas penularan geminivirus oleh B.tabaci tersebut berhubungan dengan umur (Rubinstein & Czosnek 1997). Efektifitas penularan geminivirus oleh B. tabaci tergantung pada spesies geminivirus dan biotipe B. tabaci. Hubungan tersebut ditentukan oleh epitope selubung protein virus dan protein GroEL homolog bakteri endosimbiotik yang terdapat pada tubuh B. tabaci (Briddon et al. 1990; Bedfort et al. 1992; McGrath & Harrison 1995; Sanchez-Campos et al. 1999; Morin et al. 1999,2000; Maruthi et al. 2002). Pada saat ini diketahui bahwa B. tabaci biotipe B memiliki kisaran inang dan sebaran geografis yang luas (Bedfort et al.
1992) dan merupakan
vektor yang efektif menularkan spesies geminivirus yang berasal dari geografis yang berbeda (Bedfort et al. 1994; McGrath & Harrison 1995; Sanchez-Campos et al. 1999). Berdasarkan karakteristik geminivirus yang menginfeksi tomat di Indonesia, maka strategi pengendalian yang tepat untuk diterapkan adalah pengendalian secara terpadu dengan penekanan menggunakan tanaman tahan, pengaturan waktu dan pola tanam serta menekan populasi serangga vektor dengan pestisida. Penetapan strategi ini berdasarkan pertimbangan bahwa geminivirus yang menginfeksi tanaman tomat mempunyai kisaran inang yang luas (Cohen & Antignus 1994; Sanches-Compos et a l. 2000, Sudiono et al. 2001) dan satu ekor B. tabaci efektif menularkan geminivirus (Mansour & Al-Musa 1992; Mehta et a l. 1994b). Beberapa kultivar tomat komersial telah ada yang tahan terhadap geminivirus. Kultivar tomat yang tahan dan toleran tersebut membawa gen ketahanan berasal dari Lycopersicon sp. liar yang telah diseleksi untuk responnya terhadap geminivirus yaitu L. Pimpinellifolium, L. Cheesmanii, L. Hirsutum, L. Peruvianum dan L. Chilense. Di Indonesia laporan tentang ketahanan tanaman tomat terhadap geminivirus masih belum banyak. Sugiarman & Hidayat (2001) menunjukkan tomat kultivar Dona bersifat toleran terhadap geminivirus yang berasal dari Bandung (Jawa Barat), sedangkan kultivar Glory, Intan, Mahkota, Pointed dan Ratna bersifat rentan. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kultivar Intan memiliki respon agak tahan terhadap infeksi geminivirus asal Bogor
151
(Jawa Barat), tetapi memiliki respon rentan terhadap geminivirus asal Kaliurang (D.I. Yogyakarta) dan Boyolali (Jawa Tengah). Pengujian ketahanan tanaman tomat terhadap infeksi geminivirus seringkali terbatas pada tidak adanya metode pengujian yang akurat dan efisien untuk menentukan ketahanan.
Ketahanan atau toleransi seringkali diartikan
dengan melihat gejala dan serologi, akan tetapi dalam beberapa situasi antisera tidak sesuai dan pengujian dengan visualisasi gejala tidak selalu tetap dan reproduable (Rom et al. 1993). Seleksi tanaman tomat yang diikuti dengan prosedur molekular mungkin digunakan untuk mendeteksi akumulasi dan kuantitatif virus tanaman. Penggunaan teknik hibridisasi asam nukleat dengan menggunakan DNA probe spesifik untuk menentukan titer virus dalam jaringan tanaman dapat digunakan sebagai alat untuk menguji genotipe tanaman tomat yang tahan atau toleran. Metode ini merupakan prosedur yang cepat atau reliable untuk membandingkan akumulasi DNA virus pada tanaman tomat yang terinfeksi oleh TYLCV (Gilbertson et al. 1991; Lorens et al. 1989, Raffo et al. 1989; Rom et al. 1993). Teknik hibridisas i yang banyak digunakan untuk seleksi ketahanan tanaman tomat terhadap infeksi geminivirus adalah dot blot hibridisation atau squash-blot (Zakay et al. 1991; Navot et al. 1994;Vidavsky & Czosnek 1998; Pico et al 1999). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa teknik hibridisasi dotblot dengan pelacak DNA yang dilabel dengan dioksigenin mampu mendeteksi DNA geminivirus yang menginfeksi genotipe tanaman tomat yang bergejala maupun yang tidak bergejala. Hasil ini menunjukkan bahwa teknik hibridisasi dot-blot dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan tingkat ketahanan genotipe tanaman tomat terhadap infeksi geminivirus karena teknik tersebut mampu mendeteksi DNA geminivirus walaupun konsentrasi DNA virus tersebut rendah. Pengendalian geminivirus akan le bih efektif, jika semua sumber inokulum yang ada disemua areal penanaman dibuang termasuk gulma yang ada disekitar pertanaman. Ketika teknik pengendalian seperti tersebut dilakukan di Cyprus selama 3 tahun, ternyata penyebaran utama virus pada pertanaman musim semi dapat dicegah, dan penyebaran sekunder untuk pertanaman musim panas menurun
152
dari 40-50% menjadi kurang dari 5% (Ioannou
1987). Hal yang sama juga
dilakukan di Mesir, Jordal Valley dan hasilnya sangat signifikan menurunkan populasi kutukebul viruliferous, sehingga menurunkan kejadian penyakit selama musim gugur (Mazyard et al. 1994; Al-Musa 1982). Strategi pengendalian juga dapat dilakukan dengan memproduksi dan menggunakan tanaman yang sehat. Menurut Nakhla & Maxwell (1998) cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan benih yang sehat adalah: a)Tempat persemaian benih diletakkan di bawah jaring; b) Tempat persemaian benih diletakkan terbuka dan dikelilingi dengan lembaran plastik kuning yang ada perekatnya; c) Tempat persemaian benih diletakkan terbuka dan diberi perlakuan insektisida; d) Tempat persemaian benih diletakkan terbuka dan diberi perlakuan insektisida dan dilakukan tumpang sari dengan tanaman mentimun. Apabila diketahui waktu populasi B. tabaci yang tinggi maka pengendalian geminivirus yang menginfeksi tomat dapat dilakukan dengan mengatur waktu tanaman. Dengan memperlambat dan memajukan waktu tanam akan menghindari tanaman muda terinfestasi oleh populasi kutukebul yang tinggi (Makkouk & Laterrot 1983; Ioannou & Hadjinicolis 1991; Mazyard et al. 1994). Beberapa cara lain yang dapat diterapkan dalam pengendalian geminivirus seperti penggunaan perangkap kuning dan mulsa, penanaman tumpangsari dengan spesies tanaman yang merupakan inang serangga vektor virus, tetapi bukan inang virus, dan jangan melakukan tumpangsari dengan tanaman yang merupakan inang geminivirus. Dari hari pengamatan di lapangan menunjukkan petani di Indonesia kebanyakan
melakukan
penananman
tumpangsari
tomat
dengan
cabai.
Kebanyakan petani di Indonesia juga melakukan penyemaian benih tomat dekat dengan lahan pertanaman tomat dan tidak di bawa screen . Menurut Mazyad et al (1994) dan Antignus et al. (2000) infeksi geminivirus akan lebih rendah jika tanaman tomat disemai di bawah screen dengan kepadatan 50 mesh sebelum dipindahkan ke lapangan. Pengendalian serangga vektor menggunakan senyawa kimia untuk menurunkan infeksi virus ini sangat sulit, karena serangga vektor tersebut mempunyai kisaran inang yang banyak, serangga pradewasa dan dewasa berada pada permukaan bawah daun, pergerakan serangga tersebut cepat, dan
153
kemampuan kutu kebul sangat cepat menjadi resisten terhadap inse ktisida (Sharaf 1986; Nakhlan & Maxwell 1998). Menurut Palumbo et al. (2001) senyawa kimia nicotinoids dan insect growth regulators (IGRs) merupakan senyawa kimia yang efektif untuk mengendalikan B. tabaci.
Strategi yang dapat dilakukan untuk
menghindari B. tabaci resisten terhadap insektisida tersebut maka dilakukan secara terpadu dengan menggunakan cara budidaya tanaman, tanaman tahan dan menggunakan agen hayati dengan menggunakan predator, parasitoid serta cendawan entomofag (Faria & Wraight 2001; Gerling et al. 2001; Hilje et al. 2001)