TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini akan memuat dan menjelaskan berbagai pengertian dan pemahaman teoritis yang berkaitan dengan topik kajian sehingga akan memberikan kemudahan tentang gambaran dan pemikiran untuk memahami maksud kajian. Tinjauan teoritis akan membahas tentang strategi penguatan kapasitas, tata kelola pemerintahan dan pemerintahan kampung. Teori-teori tersebut pada bagian akhir akan dihubungkan dengan realitas yang ada melalui kerangka pemikiran kajian.
Strategi Penguatan Kapasitas Menurut
Rangkuti
(2008)
strategi
adalah
perencanaan
induk
yang
komprehensif, yang menjelaskan bagaimana mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam jangka waktu panjang, penentuan program tindak lanjut dan kebijakan pemilihan prioritas alokasi sumber daya untuk mencapai keunggulan bersaing. Yang dimaksud dengan tujuan adalah hasil akhir yang ingin dicapai yakni berupa penyataan tentang kualitas dan kuantitas. Sedangkan yang dimaksud dengan misi adalah pernyataan yang menyebutkan alasan mengapa harus ada dan apa yang akan dikerjakan. Dalam menyusun strategi dibutuhkan perencanaan yang komprehensif yang lebih dikenal dengan sebutan perencanaan strategis (strategy planning). Yang dimaksud dengan perencanaan strategis adalah rencana yang difokuskan pada keputusan strategis dari alokasi semua sumberdaya dalam kaitannya dengan pencapaian jangka panjang dan biasanya memiliki periode perencanaan lebih dari satu tahun. Perencanaan strategis tersebut kemudian diimplementasikan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Yang dimaksud dengan implementasi strategi adalah proses menjalankan strategi dan kebijakan (policy) menjadi tindakan yang nyata atau kegiatan yang dapat dilaksanakan secara realistis. Yang dimaksud dengan kebijakan (policy) adalah
pedoman atau petunjuk secara garis besar untuk
pengambilan keputusan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada tiga kegiatan penting yang tercakup di dalam implementasi strategi, yaitu program, prosedur dan anggaran. Program adalah suatu kumpulan tindakan-tindakan kongkret dan spesifik yang akan dilaksanakan dalam implementasi strategi. Yang dimaksud dengan prosedur adalah suatu sistem dari tahap-tahap kegiatan atau teknik yang
9
menjelaskan secara detail tentang cara menjalankan suatu pekerjaan atau tugas dalam implentasi strategi. Sedangkan yang dimaksud dengan anggaran adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan dalam implementasi strategi. Sedangkan
menurut
Gaspersz
(2004)
organisasi
pemerintah
perlu
melakukan perencanaan strategis untuk meningkatkan kinerja sektor publik. Dalam perencanaan strategis tersebut akan selalu memiliki pertanyaan dan jawaban sebagai berikut: 1. Dimana kita berada sekarang ? (where are we now ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara: a) mengevaluasi atau menganalisis kondisi internal dan eksternal serta kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi organisasi; dan b) mengidentifikasi pelanggang dan stakeholders yang terkena dampak (terpengaruh) oleh tindakan-tindakan atau kebijakan publik. 2. Dimana kita ingin berada dimasa mendatang ? (where do we want to be in the future
?); pertanyaan
ini dapat
terjawab
dengan
cara
merumuskan
(menetapkan) visi, misi, prinsip-prinsip, sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan. 3. Bagaimana kita mengukur kemajuan ? (how do we measure our progress ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan ukuran-ukuran kinerja untuk mengukur hasil-hasil dan menjamin pertanggungjawaban seperti input, output, outcome, kualitas dan efisiensi. 4. Bagaimana kita mencapai sasaran dan tujuan ? (how do we get our goals and objectives ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan rencana tindakan (action plan), yang sering dikenal dengan istilah rencana operasional (operational plan) atau rencana implementasi (implementation plan), yaitu menyangkut penetapan spesifikasi penugasan orang-orang, sumber daya material dan finansial serta jadwal penyelesaian (pelaksanaan). 5. Bagaimana kita menelusuri kemajuan ? ( how do we track our progress ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan sistem penelusuran (tracking system) untuk memantau kemajuan, mengumpulkan informasi manajemen dan menjaga agar sasaran dan tujuan tetap berada pada jalurnya. Menurut
Winardi
(2005),
perencanaan
strategis
(strategy
planning)
diperlukan oleh sebuah organisasi pemerintah karena orang akan makin menjauhi bentuk organisasi birokrasi-mekanistik dan menuju ke arah sebuah sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif. Konsep dan pendekatan dalam bentuk organisasi dengan sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif akan
10
memerlukan perubahan fundamental dalam tujuan-tujuan dan nilai-nilai maupun dalam sistem-sistem struktural, psikososial dan manajerial. Dibandingkan dengan bentuk organisasi birokrasi-mekanistik, bentuk organisasi dengan sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif juga akan bersifat lebih dinamis dan luwes dalam membangun hubungan-hubungan yang bersifat internal maupun ekternal dan mampu beraksi secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungan sehingga memberikan peluang yang baik dalam pemeliharaan organisasi dan perubahan organisasi. Dalam pengaturan perubahan organisasi pemerintah di Indonesia dari birokrasi-mekanistik ke bentuk organisasi dengan sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, (Wasistiono 2003; Sedarmatyanti 2003) diperlukan 5 (lima) strategi , yaitu: 1) strategi inti (core strategy),
yaitu
perumusan
kembali
tujuan-tujuan
penyelenggaraan
tata
pemerintahan, termasuk otonomi daerah; 2) strategi konsekuensi (consequency strategy),
yaitu
perumusan
dan
penataan
kembali
pola-pola
(prosedur)
kelembagaan; 3) strategi pemakai jasa (customer strategy), yaitu reorientasi dari kepentingan politik pemerintahan kepada orientasi kepentingan kelembagaannya; 4) strategi pengendalian (control strategy), perumusan kembali pengendalian organisasi antara pusat dan daerah termasuk antara Kabupaten/Kota dan Desa; serta 5) strategi budaya (culture strategy), reorientasi perilaku serta budaya aparatur dan budaya birokrasi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan. Sedangkan pengertian penguatan kapasitas (capacity building) menurut Syahyuti (2006) adalah upaya penguatan sebuah komunitas dengan bertolak dari kekayaan tata nilai dan kebutuhan prioritas mereka dan mengorganisasikan mereka untuk melakukan sendiri. Capacity building berperan sebagai alat atau instrumen yang mendukung penggunaan potensi dan kapasitas yang ada secara efisien, memperluas kondisi potensi yang ada dan juga berupa membangkitkan potensi-potensi baru. Capacity building juga berfokus pada permasalahan hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan politik. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada 3 (tiga) level yang dapat menjadi objek capacity building, yaitu: 1) level individu dan grup; 2) organisasi; dan 3) level sistem institusi secara keseluruhan mencakup institusi hukum, politik serta kerangka pikir ekonomi dan administratif. Peningkatan kapasitas individu biasanya berupa pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, sedangkan untuk institusi dan organisasi melalui pendekatan social learning process. Ia juga mengatakan bahwa kapasitas
11
masyarakat secara hukum akan tergantung pada institusi yang sehat, pemimpin yang memiliki visi, dukungan finansial dan sumber daya material, ketrampilan sumber daya manusia dan kerja yang efektif termasuk sistem, prosedur, konsistensi dan insentif kerja yang sesuai. Munculnya gerakan demokratisasi, desentralisasi dan reformasi di segala bidang telah merambah sampai ke pelosok sehingga muncul tuntutan agar adanya perubahan atas ketatakelolaan pemerintahan desa menjadi bentuk organisasi dengan sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif. Untuk tetap eksis terhadap berbagai perubahan, desa sebagai organisasi pemerintahan harus mengembangkan keorganisasiannya untuk beradaptasi dengan perubahanperubahan, khususnya menyangkut ketatakelolaan. Adaptasi atas perubahan tersebut menyangkut usaha mempertemukan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan kepentingan pemerintahan. Oleh sebab itu (Beckhard 1987 diacu dalam Wasistiono 2007), mengemukakan bahwa ada 10 (sepuluh) alasan perlunya pengembangan organisasi, yakni sebagai berikut: 1) adanya kebutuhan untuk mengubah strategi manajerial; 2) adanya kebutuhan iklim organisasi lebih konsisten dengan kebutuhan individu maupun kebutuhan perubahan lingkungan; 3) adanya kebutuhan untuk mengubah norma-norma kultural; 4) adanya kebutuhan untuk mengubah struktur dan peranan; 5) adanya kebutuhan untuk meningkatkan
kerjasama
antar-kelompok;
6)
adanya
kebutuhan
untuk
meningkatkan sistem komunikasi; 7) adanya kebutuhan akan perencanaan yang lebih baik; 8) adanya kebutuhan untuk keputusan berkaitan dengan masalahmasalah penggabungan;
9) adanya kebutuhan untuk mengubah motivasi
kekuatan kerja; dan 10) adanya kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Dalam pengelolaan perubahan, harus beradaptasi dengan tantangan yang sangat besar maka (Sedarmayanti 2003) dalam pengelolah perubahan harus memperhatikan hal-hal seperti: 1) memahami mekanisme dasar perubahan; 2) mengembangkan program dasar perubahan; 3) menganalisa kekuatan yang mempengaruhi perubahan; 4) mengambil langkah untuk penolakan ataupun penyesuaian terhadap perubahan; 5) membangun komitmen terhadap perubahan; dan 6) meningkatkan dan mengkawal laju perubahan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam mengembangkan program dasar perubahan untuk pengembangan organisasi, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)
menetapkan sasaran dan mendefinisikan kondisi organisasi yang diinginkan di
12
masa mendatang setelah perubahan (pengembangan); 2) menganalisa kondisi saat ini dalam kaitannya dengan sasaran; 3) menetapkan kegiatan dan komitmen terhadap masa transisi yang diperlukan untuk mengantisipasi situasi masa yang akan datang; dan 4) mengembangkan strategi dan rencana tindakan untuk mengelola transisi dengan mempertimbangkan analisis faktor yang akan mempengaruhi perubahan. Pengembangan
kapasitas
organisasi
pemerintahan
daerah
sedang
mengalami hambatan struktural karena menurut Dawud (2005), kompetisi antarpartai politik yang tidak sehat akibat kekurangdewasaan para elit politik sehingga lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat, telah merambah ke dalam ruang birokrasi, sementara di lain pihak para elite birokrasi yang telah lama menikmati keuntungan dari lemahnya tata kelola pemerintahan, cenderung mempertahankan status quo terhadap kondisi kelemahan yang ada. Oleh sebab itu menurut Sanit (2002), dalam kondisi kemacetan komunikasi politik antara rakyat dan pemerintah maka diperlukan strategi alternatif, yakni membangun kekuatan masyarakat di luar partai politik untuk melakukan perlawanan
politik
dalam
rangka
mendapatkan
keseimbangan
distribusi
pendapatan dan kekuasaan antar-struktur masyarakat, khususnya antara penguasa dan rakyat. Sedangkan Suyanto dan Masyud (2002) berpendapat bahwa keseimbangan antar struktur masyarakat dapat tercipta melalui gerakan civil society yang lebih konseptual dan strategik karena politisasi massa niscaya akan mudah terombang ambing oleh berbagai kelompok kepentingan dan kekuasaan. Menurut Cahniago (2002), pada masa Orde Baru, dengan segala keterbatasan yang ada pada Lembaga Swadaya Masyaratakat (LSM) atau organisasi non pemerintah (Ornop) sedikit memperkuat kapasitas politik dan ekonomi masyarakat lokal yang berada dalam cengkeraman kekuasaan eksekutif yang sangat kuat. Namun LSM dan tokoh aktifis masyarakat sipil dalam membela kepentingan ekonomi dan politik kaum marginal kurang optomal hingga saat ini karena kesalahan bukan terjadi pada perumusan tujuan tetapi lebih pada strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, menurut Rochman (2002), Ornop berfokus pada: a) mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya untuk pelayanan publik, pengontrolan atas pengunaan sumber daya di Kabupaten/Kota, penguatan organisasi kemasyarakatan melalui pendidikan politik serta penguatan kedudukan kelompok-kelompok masyarakat agar mampu mengontrol alokasi sumber daya keuangan dan alam; b) menjadi garda paling depan dalam
13
pembangunan hukum dan peraturan baru yang dibutuhkan masyarakat, membangun jaringan, dan memberikan metode kerja pada masyarakat marginal; serta c) meningkatkan kapabilitas masyarakat dalam kehidupan berpolitik, meliputi upaya membangun identitas kewarganegaraan, pembentukan forum publik dan mengkonsentralikan diri pada penanganan konflik lokal. Pendapat lain dikemukakan oleh Topatimasang, Fakih dan Rahardjo (2002) advokasi kebijakan merupakan strategi alternatif mengatasi kesenjangan karena advokasi merupkan suatu proses yang menghubungkan antara berbagai unsur progresif dalam masyatakat warga (civil society), melalui terbentuknya aliansialiansi strategis yang memperjuangkan terciptanya keadilan sosial dengan cara mendesakkan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan publik. Sedangkan menurut Suharto (2006) advokasi kebijakan publik diperlukan untuk menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan dan menjamin kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial melalui pemerataan pembangunan. Dalam pengembangan kapasitas masyarakat melalui strategi advokasi kebijakan publik perlu dilakukan secara bertahap. Tahapan advokasi kebijakan publik tersebut didahului dengan analisis kebijakan publik. Tahapan analisis kebijakan publik adalah sebagai berikut: 1. Mendefinisikan Masalah kebijakan (masalah sosial), yakni penentuan fokus analisis kebijakan publik dengan mengunakan parameter sebagai berikut: a) faktor, yakni kebijakan publik yang menjadi fokus analisis adalah merupakan faktor penentu (kunci) dalam mengatasi masalah sosial secara luas; b) dampak, yakni kebijakan publik yang menjadi fokus analisis membawa dampak positif terhadap masyarakat luas dari aspek ekonomi, sosial dan politik; c) kecenderungan, yakni kebijakan publik yang menjadi fokus analisis menjadi
issue global dan nasional seperti penguatan good governance,
kedemokratisasi, hak azasi manusia, otonomi daerah dan lainnya; d) Nilai, yakni secara budaya dapat diterima oleh nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat lokal. 2. Mengumpulkan bukti tentang masalah, yakni mengumpulkan berbagai fakta berupa data dan informasi baik primer maupun sekunder. 3. Penyajian penyebab masalah, yakni mengidentifikasi faktor yang memberikan kontribusi terhadap masalah sosial.
14
4. Mengevaluasi kebijakan yang ada, yakni menganalisis lebih mendalam tentang produk-produk hukum yang ada saat ini berupa kekurangan dan kelebihannya dalam mengatasi masalah sosial yang menjadi fokus analisis. 5. Mengembangkan alternatif kebijakan, yakni usaha mengembangkan alternatif solusi kebijakan publik dalam mengatasi masalah sosial. 6. Menyeleksi alternatif terbaik dengan pertimbangan sebagai berikut: a) Fisibilitas, yakni kemungkinan (probabilitas) akan diterima atau tidaknya alternatif kebijakan
publik
dengan
pertimbangan
ekonomi,
sosial
dan
politik;
b) Efektifitas, kemungkinan alternatif kebijakan publik yang diusulkan dapat menghasilkan dampak positif dengan intensitas dampa cukup besar terhadap masyarakat luas. 7. Mengidentifikasi manfaat, yakni keuntungan baik yang didapatkan masyarakat dari alternatif kebijakan publik yang diusulkan. 8. Mengidefinisikan biaya atau kerugian, yakni mengidetifikasi dampak negatif yang didapatkan masyarakat dari alternatif kebijakan publik yang diusulkan.
Selajutnya ia mengatakan bahwa setelah analisis kebijakan publik berakhir maka langka selajutnya adalah melakukan advokasi kebijakan publik. Advokasi kebijakan publik biasanya dilakukan oleh orang atau tim yang melakukan analisis kebijakan publik namun ada kalanya dilakukan oleh pihak lain yang berkentingan dengan memanfaatkan analisis kebijakan publik yang sudah dilakukan. Untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan advokasi kebijakan publik dilakukan analisis stakeholders (pemangku kepentingan) dan analisis pemangkau kelembagaan. Yang dimaksud dengan analisis stakeholders adalah sebuah teknik yang dapat digunakan
untuk
mengidentifikasi
kepentingan
orang-orang
kunci,
kelompok-kelompok orang atau lembaga-lembaga yang secara signifikan mempengaruhi berhasilan penerapan kebijakan. Dalam hal ini, perlu dianalisis adalah a) karakteristik dan pengaruh stakeholders; b) konflik kepentingan (kebutuhan) stakeholders; dan c) strategi pendekatan untuk meningkatkan dukungan seperti lobbi, koraborasi dan lainnya. Sedangkan analisis perangkau kelembagaan adalah sebuah teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pendukung dan penentang seperti struktur birokrasi pemerintah, peraturan perundang-undangan dan
15
lainnya yang berhubungan erat dengan issu strategis, sasaran dan tujuan advokasi kebijakan publik. Sedangkan menurut VeneKlasen dan Miller (2002), untuk mendapatkan perubahan kebijakan publik tanpa adanya halangan maka kekuatan stakeholders sangatlah dibutuhkan. Oleh sebab itu, untuk melihat peta kekuatan stakeholders maka dilakukan analisa kekuatan, kawan dan lawan. Dengan analisa ini diharapkan dapat menentukan stakeholders (teman) dan lawan (oposisi atau target). Dua alat utama yang digunakan adalah: 1. Identifikasi kekuatan. Identifikasi kekuatan dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan. Tahapan tersebut dianalisa secara berurutan dan merupakan satu kesatuan, yaitu: a. Analisa Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (KEKEPAN). Analisa ini digunakan untuk mengukur kapasitas seluruh komponen yang berkepentingan (stakeholders) dalam advokasi kebijakan publik.
Untuk
menggunakan
mengukur
(menilai)
kekuatan
dan
kapasitas internal
kelemahan.
Sedangkan
dengan untuk
mengukur kapasitas eksternal dengan mengunakan peluang dan ancaman. b. Analisa Medan Kekuatan. Analisa ini merupakan lanjutan dari analisa KEKEPAN, yakni dari hasil pengukuran kapasitas eksternal. Alat ini digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan (organisasi dan individu) yang berkepentingan
dalam
advokasi
kebijakan
publik.
Mereka
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yakni 1) teman primer dan sekunder; 2) kelompok netral; dan 3) lawan (oposisi atau target) primer dan sekunder. c. Analisa Pemetaan Kekuasan. Analisa ini merupakan lanjutan dari analisa medan kekuatan dan merupakan pelengkap. Pada tahapan ini sudah menggerakkan pada proses perencanaan advokasi. Pemetaan kekuasan bertujuan untuk
16
mengetahui pemain (organisasi) dan posisi (individu kunci). Setelah teridentifikasi,
selanjutnya
mengurutkan
menurut
opini
urutan
kepentingan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Pada bagian akhir mengkategorisasi dengan kode sebagai berikut: O = Oposan (lawan); S = Supporter (pendukung); U = Uncommited (tidak berkomitmen/netral); dan ? = Tidak Tahu. Dengan alat analisa ini akan membantu dalam menentukan strategi pendekatan untuk masing-masing kelompok dengan issu, lobbi, negosiasi
dan
kolaborasi
yang
berbeda-beda
berdasarkan
kepentingan nyata maupun yang tersembunyi. 2. Klasifikasi kawan dan lawan Melalui identifikasi kekuatan (alat analisa 1) telah teridentifikasi organisasi dan individu (tokoh kunci) maka dengan alat analisis ini akan teridentifikasi kawan dan lawan. Alat analisa ini akan membantu mengklasifikasi hal-hal sebagai berikut: a. Analisis Penentuan Target Alat analisa ini digunakan untuk menentukan orang atau organisasi baik target primer maupun target sekunder dengan kekuasaan tertentu yang dimilikinya dapat mengambil keputusan sebagai respon atas advokasi kebijakan publik yang sedang dilakukan. b. Analisis Aliasi (teman/stakeholders) Alat analisa ini digunakan untuk menentukan orang atau organisasi yang mendukung dalam advokasi kebijakan publik. Melalui analisa ini pula teridentifikasi nama orang atau organisasi pemerhati primer maupun sekunder, tingkat dukungannya, motivasi (agenda) dan derajat pengaruh. c. Analisis Lawan atau Musuh Alat analisa ini digunakan untuk menentukan orang atau organisasi yang berlawanan dalam advokasi kebijakan publik. Melalui analisa ini pula teridentifikasi target (oposisi) nama orang atau organisasi lawan primer maupun sekunder yang memiliki kekuasaan maupun
17
yang tidak memiliki kekuasaan, tingkat dukungan di belakang mereka, motivasi (agenda) dan derajat pengaruh serta taktik kita untuk memenangkan advokasi kebijakan dan resiko untuk kita jika gagal memenangkan advokasi kebijakan publik. Menurut Topatimasang, Fakih dan Rahardjo (2002), demi keberhasilan advokasi perlu membangunan kerangka kerja terpadu yang diawali dengan analisis sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik yang terdiri dari: a) isi atau naskah kebijakan publik, yakni berupa penjabaran tertulis; b) tata laksana kebijakan publik, yakni berupa pelaksanaan dari isi kebijakan publik; dan c) budaya kebijakan publik yakni berupa persepsi, pemehaman, penafsiran, sikap dan praktek dari isi hukum dan budaya hukum. Sedangkan proses hukum dalam advokasi kebijakan publik dalam rangka pembentukan atau perubahan kebijakan publik dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Proses-proses legislasi dan jurisdikasi, yakni pengajuan usul dan konsep tandingan dengan cara menyusun rancangan tandingan, naskah akademik, pembelaan, pengujian substansi dan peninjauan kembali untuk perbaikan isi atau naskah kebijakan publik. 2. Proses-proses politik dan birokrasi, yakni mempengaruhi pendapat umum dan mempengaruhi pelaksana hukum dengan cara melobbi, menegosiasi, mediasi dan kolaborasi untuk perbaikan tata laksana kebijakan publik. 3. Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni pembentukan pendapat umum dan tekanan politik dengan cara kampanye, siaran pers, unjuk rasa, mogok, boikot serta pengorganisasian basis gerakan dan pendidikan politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan 1 tentang proses-proses pembentukan kebijakan publik dan sasaran advokasi kebijakan publik berikut ini. Bagan 1: Proses-Proses Pembentukan Kebijakan Publik dan Sasaran Advokasi Kebijakan Publik
PROSES PROSES LEGISLASI DAN JURISDIKASI (pengajuan usul, konsep tandingan dan pembelaan pada pembuat hukum )
PROSES-PROSES POLITIK DAN BIROKRASI (mempengaruhi pendapat umum dan mempengaruhi pelaksana hukum)
Mengajukan usulan dan tututan perubahan, menyusun dan mengajukan rancangan tandingan, naskah akademik, pengujian substansi dan peninjauan kembali.
Membangun relasi dengan stakeholders melalui usaha melobi, menegosiasi, mediasi dan kolaborasi serta jika diperlukan maka dapat melakukan praktek intrik, sindikasi, konspirasi dan manipulasi.
Perbaikan Isi atau Naskah Kebijakan Publik
Perbaikan tata laksana kebijakan publik
Pembentukan atau perubahan kebijakan publik
18
PROSES-PROSES SOSIALISASI DAN MOBILISASI (pembentukan pendapat umum pada stakeholders serta tekanan politik pada pembuat dan pelaksana)
Pembentukan kesadaran berpolitik dan pendapat umum melalui pendidikan politik, diskusi, seminar dan debat umum, kampanye, siaran pers serta pengorganisasian basis gerakan untuk unjuk rasa, mogok, boikot, blokade dan lainnya.
Perbaikan Budaya Kebijakan Publik
Sumber: Topatimasang, Fakih dan Rahardjo (2002)
Partisipasi aktif seluruh komponen yang berkepentingan (stakeholder) pada setia tahapan proses advokasi kebijakan publik mempunyai arti penting dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi hingga pemanfaatan dan pemeliharaan dari proses advokasi kebijakan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial (Iskandar 1995; Hikmat 2004), karena: 1) masyarakat yang sehat merupakan produk dari masyarakat yang aktif; 2) proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa; 3) proses partisipasi dalam pembangunan merupakan pencegahan berbagai sikap pasif dari individu-individu, khususnya kelompok miskin dan marginal dalam masyarakat; dan 4) proses pemberdayaan merupakan dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis.
Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Menurut Korten (1988), salah satu kegagalan utama program pembangunan di desa adalah kegagalan menciptakan organisasi yang tepatguna untuk memecahkan masalah di tingkat lokal, yang pada dasarnya adalah merupakan struktur pranata (mediating structure), yaitu lembaga yang berdiri di antara individu dalam kehidupan pribadinya dengan lembaga-lembaga besar dalam kehidupan umum. Sedangkan Wasistiono (2007) berpendapat bahwa masalah struktural di pedesaan disebabkan karena organisasi pemerintah desa sebagai struktur
19
pranata dan sekaligus agen pembahuruan tidak mampu menjalankan fungsinya secara optimal sesuai perkembangan situasi dan kondisi masyarakat desa yang berubah dengan cepat. Masalah keorganisasian Desa tersebut adalah penyebab dari hal-hal sebagai berikut: 1) kedudukan dan bentuk organisasi desa yang mendua (ambivalen), yakni sebagai bentuk organisasi pemerintah dan juga sebagai lembaga kemasyarakatan; 2) tidak mempunyai sumber pendapatan yang memadai; 3) keterbatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut isi rumah tangganya; dan 4) keterbatasan kualitas dan kuantitas personil. Oleh sebab itu, penguatan kapasitas diperlukan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan desa karena (Triwidaryanta 2005) kinerja pemerintahan desa pada masa mendatang diarahkan pada pembentukan indikator pengontrolan kinerja pemerintah desa, proses demokratisasi di segala aspek,
penguatan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai alat pengontrolan pemerintah desa serta peningkatan
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
penyelenggaraan
tata
pemerintahan dan pembangunan di desa. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan kinerja pada penyelenggaraan tata pemerintahan di desa seperti pengambilan keputusan di desa yang bias elite, pengelolaan keuangan yang tidak transparan dan adanya mekanisme nonbujeter, kekuasaan elite yang primordialistik yang cenderung untuk menekan dan memobilisasi rakyat serta akuntabilitas pelayanan publik yang masih rendah. Kelemahan di atas tidak terlepas dari kondisi pedesaan di Indonesia yang identik dengan keterbatasan kapasitas sumber daya manusia untuk mengelola perubahan, oleh sebab itulah Bantacut et al. (2001) mengisyaratkan bahwa salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat di pedesaan adalah penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah lokal untuk menghadapi perubahan; serta peningkatan ikatan dan jalinan kemitraan (koodinasi, kooperasi, kolaborasi dan networking) sebagai suatu sistem dengan pemerintah (negara), dunia usaha maupun dengan masyarakat luas (donor dan pemerhati). Sedangkan Rajab (2006) berpendapat bahwa lingkaran kemiskinan di Indonesia sebagai refleksi dari kesenjangan struktur ekonomi (distribusi pendapatan), struktur sosial (pelapisan masyarakat) dan struktur politik (distribusi kekuasaan) antara penguasa dan rakyat sehingga roda proses pemiskinan akan terus berputar sehingga tercipta kondisi yang mapan seperti: 1) secara ekonomi, masyarakat miskin akan makin termarjinalkan; 2) secara
20
sosial, modal sosial seperti jaringan sosial kolektif atau organisasi-organisasi sosial akan tetap berada dalam kondisi ketidakberdayaan; dan 3) secara politik, masyarakat miskin akan makin kehilangan akses atau wahana institusional untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya pada lembaga-lembaga politik. Sedangkan menurut Rozaki et al (2005) bahwa dalam rangka penguatan kapasitas tata kelola desa perlu diberikan penguatan pada: 1) kapasitas regulasi, yakni kapasitas pengatur; 2) kapasitas ekstraksi, yakni kapasitas mengoptimalkan aset desa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat; 3) kapasitas distributif, yakni kapasitas menjaga keseimbangan dan keadilan dalam distribusi sumber daya; 4) kapasitas responsif, yakni kapasitas daya tanggap terhadap kebutuhan masyarakat); dan 5) kapasitas jejaring, yakni kapasitas membangun hubungan secara vertikal dan horizontal. Sedangkan Wasistiono (2007) memandang bahwa jika pemerintah desa dipandang sebagai suatu sistem yang saling berinteraksi dinamis antar sub sistem secara struktural, sub sistem tersebut adalah: 1. Subsistem Kepemimpinan, yakni menyangkut kapasitas kepemimpinan (tata kepemimpinan), yang terdiri dari indikator elemen: a) Kapabilitas pemimpin (kepala desa); b) Kematangan pengikut (masyarakat) dan c) Situasi dan kondisi hubungan berpemerintahan (governance relation). 2. Subsistem Kelembagaan Pemerintahan Desa, yakni menyangkut kapasitas kelembagaan pemerintahan desa (tata pemerintahan), yang terdiri dari indikator elemen: a) Pemerintah Desa, meliputi: kewenangan, keorganisasian, personil, keuangan, perlengkapan, fungsi perencanaan, fungsi pengawasan dan fungsi pendokumentasian; dan b) Badan Permusyawaratan Desa, meliputi fungsi agregasi, artikulasi dan fungsi legislasi. 3. Subsistem sumber daya sosial (tata kemasyarakatan), yang terdiri dari indikator elemen: a) sumber daya manusia, meliputi: pendidikan, kesehatan dan daya beli; b) sumber daya sosial politik, meliputi: partisipasi politik masyarakat, stabilitas keamanan dan ketertiban serta eksistensi lembaga kemasyarakatan; c) sumber daya sosial budaya, meliputi: kesenian dan lembaga kesenian serta adat dan lembaga adat; d) sumber daya ekonomi, meliputi: sarana dan prasarana ekonomi pedesaan serta aktifitas ekonomi pedesaan; dan e) sumber daya sosial agama, meliputi: toleransi kehidupan beragama dan sarana Ibadah.
21
4. Subsistem sumber daya sosial (tata Ruang), yang terdiri dari indikator elemen: a) prasarana Desa; b) pemukiman; dan c) daya dukung lingkungan.
Pemerintahan Kampung Pengertian dan Posisi Desa (Kampung) dalam NKRI Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 (Amandemen II), jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 2 Tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa: ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah.” Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa susunan pemerintah daerah di Indonesia terdiri dari Provinsi sebagai tingkatan otonomi derajat I dan Kabupaten/Kota tingkatan otonomi derajat II.
Menurut Unang S. (1984) bahwa: ”Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir batin yang sangat kuat, baik karena keturunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.” Batasan desa menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 1 angka 12 adalah sebagai beritikut: ”Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Sedangkan batasan desa menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pasal 1 ayat l adalah: ”Kampung atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Kampung, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan nasional dan berada dalam Kabupaten/Kota.”
22
Batasan Desa menurut Unang S, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua maka dapat disimpulkan bahwa sebutan ”desa” mempunyai kesamaan pengertian dengan sebutan ”kampung”. Pengertian pemerintah menurut Bayu Surianingrat (1976) adalah ”Jawatan atau alat-alat perlengkapan negara yang mempunyai wewenang yang sah dan melindungi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pembuatan dan pelaksanaan berbagai keputusan.” Berdasarkan
pengertian-pengertian
di
atas
maka
pemerintah
desa
merupakan jawatan atau alat-alat perlengkapan negara (lembaga pemerintah) dan kesatuan masyarakat hukum (lembaga masyarakat) yang diakui dan dihormati dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pembuatan dan pelaksanaan berbagai keputusan. Bertolak dari batasan Desa menurut Unang S., Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dapat ditarik kriteria kampung adalah sebagai berikut: 1) berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurusi rumah tangganya menurut adat kebiasaan setempat dan menurut peraturan negara ataupun peraturan daerah yang berlaku; 2) Desa wajib melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan 3) untuk melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut, kepala desa diberikan sumbangan atau bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pembentukan Desa sebagai jawatan atau alat perlengkapan negara (organisasi pemerintah) diamanatkan lewat pasal 200, ayat 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 bahwa dalam pemerintah daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan
desa
yang
terdiri
dari
pemerintah
desa
dan
Badan
Permusyawaratan Desa. Pembentukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (lembaga masyarakat) diamatkan lewat pasal 200, ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Pasal 2, ayat 1, Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 2005 yang mengatakan bahwa pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Soerjono (1984), desa dapat dibentuk berdasarkan atas 3 (tiga) sifat, yaitu: 1) berdasarkan geneologis/keturunan; 2) berdasarkan teritorial/wilayah; dan 3) campuran antara geneologis dan teritorial.
23
Kapasitas Pemerintahan Desa (Kampung) Kapasitas kelembagaan (tata kelola) Pemerintahan Desa (Wasistiono 2007) dapat dilihat dari aspek: a) Pemerintah Desa, yang meliputi: kapasitas kewenangan, kapasitas keorganisasian, kapasitas personil, kapasitas keuangan, kapasitas
perlengkapan,
kapasitas
fungsi
perencanaan,
kapasitas
fungsi
pengawasan dan fungsi pendokumentasian; dan b) Badan Permusyawaratan Desa, meliputi kapasitas fungsi agregasi, artikulasi dan fungsi legislasi. Masing-masing aspek kapasitas tata kelola Pemerintahan Desa dapat dijelaskan sebagai berikut:
Aspek Pemerintah Desa 1. Kapasitas Kewenangan Kampung Menurut Wasistiono (2000), otonomi desa adalah hak untuk mengatur dan mengurusi rumah tanggganya sendiri yang muncul bersamaan dengan terbentuknya kesatuan masyarakat hukum tersebut, dengan batas-batas berupa hak dan kewenangan yang belum diatur oleh kesatuan masyarakat hukum yang lebih luas dan tinggi tingkatannya, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan kesatuan masyarakat hukum. Pembentukan
daerah
otonom
melalui
desentralisasi
menurut
Sedarmayanti (2005) pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi juga menjamin integrasi bangsa karena dengan adanya desentralisasi, daerah diberi otonomi untuk mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri. Sedangkan Terry (1986) pendelegasiaan kewenangan diperlukan karena: a) kemampuan seseorang menangani pekerjaan ada betasnya; dan b) perlu adanya pembagian tugas dan kaderisasi kepemimpinan. Dalam rangka melaksanakan otonomi desa bidang kewenangan, menurut Wasistiono (2002), desa harus diberikan 2 (dua) bentuk kewenangan, yaitu: 1) kewenangan atribut, yakni kewenangan yang melekat dan diberikan kepada institusi atau pejabat berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan 2) kewenangan delegatif, yakni kewenangan yang berasal dari pendelegasian dari institusi atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya. Sedangkan Nurrochmat (2006) desentralisasi harus dimaknai dari tiga aspek
24
penting yang saling berkaitan, yakni desentralisasi fiskal (kewenangan keuangan), desentralisasi administratif (kewenangan pelayanan publik) dan desentaralisasi politik (kewenangan pengambilan keputusan). Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintahan desa bukan sebagai daerah otonom karena otonomi desa digabungkan dalam otonomi Kabupaten/Kota, namun menurut ketentuan pasal 14, ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, Kepala Kampung diberikan tugas
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan. Menurut penjelasan peraturan tersebut memberikan batasan atas masing-masing tugas adalah sebagai berikut: 1) Urusan Pemerintahan antara lain pengaturan kehidupan masyarakat sesuai dengan kewenangan desa seperti pembuatan peraturan desa, pembentukan lembaga kemasyarakatan, Pembentukan Badan Usaha Milik Desa, kerjasama antar-desa dan lainnya. 2) Urusan pembangunan antara lain pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan sarana dan fasilitas umum desa seperti jalan desa, jembatan desa, irigasi desa, pasar desa dan lainnya. 3) Urusan kemasyarakatan antara lain pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan sosial budaya seperti bidang kesehatan, pendidikan, adat istiadat dan lainnya. Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas di atas, pasal 206 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 jo Permendagri Nomor 30 Tahun 2006 menetapkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, yaitu: 1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 3) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 4) urusan pemerintah lainya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Tanjung (2005) mengatakan bahwa dalam pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa kewenangan desa untuk mengatur dan mengurusi urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa, kurang jelas rumusannya karena tidak dirinci dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, tugas pembantuan dari pemerintahan yang
25
lebih tinggi tingkatannya (pemerintahan supra desa) dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa bukanlah merupakan kewenangan desa tetapi urusan dan kewenangan dari yang menyerahkan tugas pembantuan dan urusan pemerintahan lainnya. Pada pasal 207 mengatakan bahwa tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia namun tetap saja bukanlah merupakan kewenangan desa karena pada pasal 1, ayat 9, mengatakan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari Pemerintah Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau desa serta dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Menurut
Wasistiono
(2007)
tugas
pembantuan
dari
Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintah lainya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada kampung tidak dapat diharapkan untuk melaksanakan otonomi kampung secara utuh (penuh). Sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
yang
diserahkan
pengaturannya
kepada
desa
adalah
berdasarkan asas bukan-bukan karena penyerahan kewenangan ini bukan berdasarkan dekonsentrasi
asas serta
desentralisasi bukan
pula
dan asas
bukan
juga
pembantuan.
berdasarkan
asas
Kewenangan
ini
merupakan desentralisasi teknis, dimana kewenangan yang disentralisasikan kepada pemerintah tingkat bawahnya (desa) adalah teknis pelaksanaannya. Sedangkan substansi kewenangannya sendiri tetap menjadi kewenangan Pemerintah tingkat atasnya yakni Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan menurut Sedarmayanti (2005) fenomena di atas terjadi karena otonomi yang diberikan masih kurang tulus atau otonomi setengah hati. Hal ini akan sangat berpengaruh besar terhadap pemberdayaan masyarakat dan partisipasi warga desa dalam proses pembangunan sebagaimana yang diamatkan pada penjelasan pasal 68, ayat 1, poit c, Peraturan Pemerintah Tahun 2005 Tentang Desa bahwa dana perimbangan pusat dan daerah dari Kabupaten/Kota sebesar 10% yang diberikan langsung kepada desa untuk dikelola oleh pemerintah desa dengan ketentuan 30%
26
digunakan untuk operasional pemerintah desa dan 70% untuk digunakan untuk
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat.
Amanat
ini
tidak
dapat
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan multi-pihak (stakeholders) dalam nuansa otonomi yang utuh (penuh) kerena pada dasarnya kewenangan ini adalah kewenangan teknis. Dengan demikian Kampung hanya melaksanakan apa yang diamanatkan lewat peraturan atau petunjuk teknis dari pemerintahan supra desa yang menyelenggarakan tugas pembantuan ataupun hibah. Kondisi ini akan bertolak belakang dengan esensi dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena menurut Sedarmayanti (2005) esensi dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
adalah:
1)
Filosofi
yang
digunakan,
yaitu
”keanegaragaman dan kesatuan”; 2) Paradigma politik yang digunakan adalah demokratisasi, pemerataan dan keadilan; 3) Membangun paradigma ekonomi yang menekankan pada meningkatkan daya saing daerah dalam menghadapi persaingan
global
administrasi
yang
melalui
pemberdayaan
menekankan
pada
masyarakat;
efektifitas
4)
dan
Paradigma
efisiensi;
dan
5) Penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pada pelayanan masyarakat (publik) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka melaksanakan program pemberdayaan masyarakat secara
otonom
sesuai
kebutuhan
masyarakat
maka
(Tanjung
2005;
Suwaryono 2005; Wasistiono 2007), penyerahan kewenangan atribut kepada desa haruslah berdasarkan asas desentralisasi penuh bukan berdasarkan desentralisasi teknis. Penerapan asas desentralisasi penuh akan sangat artinya bagi penguatan kapasitas tata kelola pemerintah desa dalam menyelenggarakan tata pemerintahan secara leluasa agar melaksanakan pembangunan dengan konsep pemberdayaan dan mendorong partisipasi aktif bagi multi-pihak sehingga proses pengaturan akan menjadi proses belajar dan menjadi pengalaman baru bagi multi-pihak di desa.
2. Kapasitas Keorganisasian Tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi pemerintahan di Indonesia banyak mendapat protes dari berbagai kalangan karena ketidakpuasan dalam mendapatkan pelayanan dan dinilai lamban dalam mengembangkan inovasiinovasi baru dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (Sedarmayanti 2005). Oleh sebab itu, menurut Osborne dan Gaebler (1995)
27
organisasi pemerintah perlu melakukan perubahan dengan berpegang pada 10 (sepuluh) prinsip, yakni: 1) Catalytic Government: Steering rather rowing; pemerintah mengkonsentrasikan diri pada aspek pengaturan (regulasi) dengan membuat
kebijaksanaan
daripada
menjadi
pelaksana
kebijakan
atau
pemerintah menjadi pelaksana pelayanan umum masyarakat; 2) CommunityOwned
Government:
Empowering
rather
serving;
pemerintah
lebih
berkonsentrasi pada pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tidak terlena dan bergantung pada pemerintah. Pemberian pelayanan dan penyediaan fasilitas dilakukan dalam rangka pendewasaan dan pemandirian masyarakat; 3) Competitive Government: Injecting competition into service delivery: menciptakan kompetisi yang sehat dalam memberikan pelayanan antarpenyelenggara pelayanan umum; 4) Mission-driven Government: transforming rule-driving organizations; penyelenggaraan tata pemerintah atau birokrasi diarahkan oleh tujuan dan misi yang telah ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, bukan diarahkan oleh aturan; 5) Result-Oriented Government: funding outcomes, not inputs; pemerintahan yang beorientasi bukan pada aspek inputs, melainkan pada aspek output dan outcomes; 6) Customer-driven Government: meeting the needs of the costumer, not the bureaucracy; pemerintahan yang diarahkan oleh kebutuhan masyarakat
bukan
diarahkan
oleh
dari konsumen,
kebutuhan
dari
para
yakni
birokrasi;
7) Enterprising Government: earning rather than spending; penanaman semangat
entrepreneur
dalam
pemerintah,
yakni
berorientasi
untuk
mendapatkan keuntungan untuk penerimaan keuangan (earning money), daripada memikirkan bagaimana menghabiskan anggaran yang dialokasikan (spending money); 8) Anticipatory Government: prevention rather than cure; pemerintahan
yang
antisipatif,
yakni
melakukan
antisipasi
terhadap
kemungkinan terjadinya suatu masalah (perubahan) daripada mengatasi masalah setelah terjadinya permasalahan (perubahan); 9) Decentralized Government: from hierarchy to participation and teamwork; pemerintahan yang melaksanakan desentralisasikan atau mendelegasikan kewenangan kepada unsur-unsur bawahannya, dengan menerapkan manajemen partisipatif dan kerjasama kelompok dalam pencapaian sasaran organisasi; dan 10) MarketOriented Government: leveraging change through the market; pemerintahan yang
mendorong
berlakunya
“mekanisme
pasar”
secara
menyesuaikan tuntutan perubahan pasar dan mekanisme pasar.
sehat
dan
28
Menurut Suwaryono (2005), penyelenggaraan otonomi Desa yang luas (penuh) harus disertai dengan penerapan good governance pada tataran penyelenggaraan pemerintahan desa. Selanjutnya ia mengatakan bahwa good governance tersebut mengandung arti sebagai berikut: 1) Participation, keterlibatan aktif dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD); 2) Rule of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu (penegakkan supremasi hukum); 3) Transparancy, keterbukaan dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi, 4) Responsiveness, pemerintahan yang cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya; 5) Consensus Orientation, berorientasi
kepada
kepentingan
masyarakat
desa;
6)
Equity,
penyelenggaraan pemerintahan yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi setiap warga desa; 7) Efficiency and effektiveteness, pemanfaatan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna;
8)
Accountability,
pemerintahan
desa
pertanggungjawaban
kepada
masyarakat;
setiap
dan
9)
penyelenggaraan Strategic
Vision,
penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan masyarakat desa harus memiliki visi jauh ke depan. Menurut Nasdian (2006) dalam penerapan good governance pada tataran penyelenggaraan pemerintahan desa perlu membangun hubungan kolaboratif dan kemitraan yang dapat bersinergis antara tiga kekuatan (”ruang kekuasaan”), yakni masyarakat (civil society), pemerintah (state/government) dan swasta (private sector) sehingga dapat menyelenggarakan sistem pemerintahan desa yang demokratis, desentralistik dan partisipatoris dan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya ia mengatakan bahwa issu sentral tentang ketidakmampuan kelembagaan desa berbasis komunitas yang
patut
diperhatikan
dalam
penguatan
kapasitas
desa
adalah:
1) kelembagaan desa tidak memiliki kemampuan dalam mengorganisasikan diri sendiri; 2) sumber daya manusia yang menopang kelembagaan desa memiliki kompetisi budaya yang rendah sehingga kurang memiliki kemampuan untuk melakukan transformasi politik dan sosial ekonomi di aras desa. Berdasarkan kedua alasan tersebut maka kelembagaan desa membutuhkan dukungan sistem yang radikal dan murah untuk mendukung upaya mentransformasikan dirinya untuk memiliki kapasitas sosial, budaya dan ekonomi yang kuat dalam menghadapi bias kepentingan kekuatan pasar
29
(swasta).
Sedangkan
Kolopaking
(2006)
mengisyaratkan
bahwa
pengembangan jejaring multi-pihak berbasis komunitas pedesaan dalam rangka pengembangan kelembagaan ditentukan oleh 4 (empat) faktor, yakni: 1) kesiapan komunitas di pedesaan dalam membangun kapasitas lembaga atau kelompok atau komunitas untuk berswadaya dan bekerjasama dengan pihak lain; 2) pemerintah di aras kebupaten (eksekutif dan legislatif) memberikan tempat (ruang) serta membangun kemampuan bekerja dan berkomunikasi dengan multi-pihak yang melintas asas birokrasi; 3) kemauan dan kemampuan kapasitas dari pengusaha atau lembaga bisnis swasta untuk terlibat mendorong pengembangan masyarakat melalui pola kerjasama baru; dan
4)
adanya
prakarsa
membangun
sistem
informasi,
mekanisme
pengawasan sosial secara demokratis yang berbasis komunitas dan melibatkan kerjasama jaringan multi-pihak. Dari aspek pemerintahan desa, Supriadi dan Guno (2003) mengisyaratkan bahwa organisasi pemerintah harus mampu menerapkan kombinasi manajemen bisnis dan manajemen pemerintahan agar dalam penyelenggaraan pelaynan publik dapat mencapai Total Quality Governance (TQG) yang mempunyai prinsip: 1) mempertemukan tuntutan masyarakat dan kemampuan pemerintah; 2)
membangun
mekanisme
kerja
yang
berorientasi
pasar;
3) mengaktualisasikan misi lebih penting dari pada mengatur; 4) memfokuskan kerja pada hasil (keluaran) bukan masukan; 5) mengutamakan kualitas; 6) mengutamakan pencegahan daripada memperbaiki atau mengobati; 7) mengutamakan partisipasi daripada mobilisasi; dan 8) membangun hubungan kerja sama (koodinasi, kolaborasi dan kemitraan). Selanjutnya mereka berpendapat bahwa manfaat dari penerapan manajemen TQG adalah: 1) Menjamin kualitas hasil kerja untuk mengurangi pemborosan; 2) membuka jaringan kerja dan komunikasi yang efektif; 3) membangun keterbukaan; partisipasi, kebersamaan dan kekeluargaan; 4) mempercepat penemuan dan memperbaiki kesalahan; 5) mempercepat proses penyesuaian dengan perubahan lingkungan (tuntutan internal dan eksternal); dan 6) Meningkatkan kepuasan dan disiplin kerja.
3. Kapasitas Personil Dalam meningkatakan kualitas tata kelola organisasi pemerintah maka setiap personil harus membangun falsafah kerja yakni nilai-nilai budaya kerja
30
seperti yang dikemukakan Supriadi dan Guno (2003) perlu mengembangkan personil yang memiliki hal-hal sebagai berikut: 1) komitmen dan konsisten terhadap visi, misi dan tujuan organisasi pemerintah, kebijakan negara dan peraturan perundangan yang berlaku; 2) memilki kewenangan dan tanggung jawab; 3) keiklasan dan kejujuran; 4) integritas dan profesionalisme; 5) kreativitas dan kepekaan terhadap lingkungan tugas; 6) kepemimpinan dan keteladanan; 7) kerja sama (kemitraan) dan dinamika kelompok kerja; 8) ketepatan dan kecepatan; 9) rasionalitas dan kecerdasan emosi; 10)
keteguhan
dan
ketegasan;
11)
disiplin
dan
keteraturan
kerja;
12) keberanian dan kearifan; 13) dedikasi dan loyalitas; 14) semangat dan motivasi; 15) keberanian dan kearifan; 16) ketekunan dan kesabaran; serta 17) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk merealisasikan falsafah kerja di atas bagi seorang pekerja, menurut Moenir (2006) sangat dipengaruhi oleh kondisi ketenangan bekerja seperti: 1) kejelasan dan kepastian status kepegawaian; 2) jaminan atau perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; 3) adanya jaminan terhadap karier dan mempunyai kejelasan hak-hak dan kewajibannya; 4) adanya jaminan keadilan; dan 5) bebas dari ancaman dan tekanan. Menurut Dawud (2005) Dalam mewujudkan budaya kerja, Good Governance, Total Quality Governance (TQG) dan membangun jejaring multipihak dalam tata pemerintahan di daerah, banyak menemui kendala termasuk masalah personil. Kendala tersebut dapat ditinjau beberapa aspek yakni: 1). Aspek Politik Kompetisi antar-partai politik yang tidak sehat akibat kekurangdewasaan para elit politik sehingga lebih mementingkan kepentingan partai daripada kepentingan masyarakat yang merambah ke dalam ruang birokrasi. Kompetisi politik yang tidak sehat di tingkat desa menurut (Mashad 2006) terjadi karena tidak berhasil membangun hubungan kemitraan antara Badan Permusyawatan Desa (BPD) dan Pemerintah Desa karena adanya kompetisi yang tidak sehat antar oknum dalam kedua lembaga di pemerintahan desa. Hal ini menjadi sumber konflik di beberapa daerah yang melumpuhkan penyelenggaraan tata pemerintahan desa. 2). Aspek Birokrasi
31
Kendala membangun tata kelola pemerintahan dari aspek birokrasi seperti: a) para elite birokrasi yang telah lama menikmati keuntungan dari lemahnya
tata
kelola
antar
sub
sistem
pemerintahan
cenderung
mempertahankan status quo tanpa adanya pembagian kewenangan antarunit organisasi maupun antar-individu dalam satu unit organisasi; b) sistem loyalitas pada atasan dan hubungan paternalistik yang telah lama dibangun mengakibatkan gagasan konstruktif-reformis yang datang dari bawah tidak dapat dilaksanakan oleh pimpinan yang konservatif (status quo) sehingga inovasi dan kreasi bawahan tidak dapat berkembang; c) birokrasi selalu berdasarakan atas aturan tertentu yang kadang tidak relevan lagi dengan tuntutan perubahan masyarakat saat ini sehingga staf kaku dalam melayani masyarakat; d) birokrasi ditempatkan sebagai organisasi yang tertutup dan elitis sehingga tidak mudah diakses dan dipengaruhi oleh siapapun; e) alasan prosedur, prinsip kehati-hatian dan tertib administrasi menjadi tameng bertumbuh suburnya birokratisme (prosedur yang berbelit); f) pengawasan yang lebih menitikberatkan pada laporan administratif sehingga mengabaikan kualitas output, apalagi outcome dan benefits yang dihasilkan sehingga staf tidak termotivasi untuk meraih keberhasilan; dan g) perekrutan SDM yang mengabaikan profesionalisme mengakibatkan kualitas SDM yang rendah. 3). Aspek Sosial Budaya: Kendala membangun tata kelola pemerintahan dari aspek sosial budaya seperti: a) budaya yang terlalu mengagung-agungkan simbol telah mendorong birokrasi yang lebih menonjolkan aspek formalitas dan mengabaikan kualitas, seperti pandangan masyarakat dan birokrasi yang lebih menghormati ijazah (simbol) daripada profesionalisme (kualitas) staf; b) budaya menghormati orang terpandang (elite) dan senioritas yang mengakibatkan ketidakadilan dan pelanggaran hak dalam mendapatkan pelayanan bagi setiap warga negara; dan c) budaya permisif, sesuatu yang salah dilakukan berulang-ulang sehingga tidak takut melakukan kesalahan bahkan menjadi kebiasaan, tumbuh suburnya patologi birokrasi pada aparatur pemerintahan.
4. Kapasitas Keuangan Desa
32
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menjelaskan bahwa sumber pendapatan Desa terdiri atas : 1). Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah; 2). Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa; 3). Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa (ADD). Yang dimaksud dengan “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah” adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurangi belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (sepuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD serta 70% (sepuluh per seratus) untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat; 4). Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam
rangka
pelaksanaan
urusan
pemerintahan.
Bantuan dari Pemerintah diutamakan untuk tunjangan penghasilan Kepala Desa dan perangkat Desa. Bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota digunakan bagi akselerasi pembangunan desa; dan 5). Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Yang dimaksud dengan “sumbangan dari pihak ketiga” dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf, dan atau lain-lain sumbangan serta pemberian sumbangan dimaksud tidak mengurangi kewajiban pihak penyumbang. Yang dimaksud dengan “wakaf” dalam ketentuan ini adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. Lebih lanjut Perda Kabupaten Nabire Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Keuangan Kampung menetapkan formulasi berdasarkan asas merata dan adil.
33
Asas merata adalah besarnya bagian Alokasi Dana Kampung (ADK) yang sama untuk setiap Kampung, atau disebut Alokasi Dana Kampung Minimal (ADKM). Sedangkan asas adil adalah besarnya bagian Alokasi Dana Kampung (ADK) yang dibagi secara proporsional untuk setiap desa berdasarkan Nilai Bobot Desa yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu (misalnya variabel kemiskinan, keterjangkauan, pendidikan, kesehatan, dll), atau disebut sebagai Alokasi Dana Kampung Proporsional (ADKP). Sedangkan Alokasi Dana Khusus Kampung (ADKK) bagi kampung-kampung tertentu untuk membiayai kegiatan yang sudah ditentukan Pemerintah Kabupaten diatur oleh Bupati melaui Peraturan Bupati. Melalui Perda di atas pula, telah menetapkan penggunaan ADK untuk Kabupaten Nabire dengan ketentuan 40% (empat puluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPK serta 60% (enam
puluh
per
seratus)
digunakan
untuk
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat. Perbedaan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang membagi 30% (sepuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD dan 70% (sepuluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan kondisi geografis Kabupaten Nabire.
5. Kapasitas Sarana Kerja (Perlengkapan Kerja) Menurut Moenir (2006), salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan adalah faktor sarana pelayanan (perlengkapan kerja) untuk kepentingan sebagai berikut: 1) mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan agar dapat menghemat waktu; 2) meningkatkan produktifitas pelayanan, baik barang maupun jasa; 3) menyediakan kualitas pelayanan yang lebih baik; 4)
terjaminnya
ketepatan
ukuran
dan
stabilitas
ukuran
layanan;
5) mempermudah dalam gerak pelaku pelayan (pegawai); 6) memberikan rasa kenyamanan kerja; dan 7) meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan pelayanan. Sedangkan sarana kerja ditinjau dari segi klasifikasi kegunaannya (utilization), terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu: 1) peralatan kerja, yaitu semua jenis
benda
yang
berfungsi
langsung
sebagai
alat
produksi
untuk
mengahasilkan barang atau berfungsi memproses suatu barang menjadi barang lain yang berlainan fungsi; 2) perlengkapan kerja, yaitu semua jenis benda yang berfungsi sebagai alat bantu tidak langsung dalam proses
34
produksi, mempercepat proses, membangkitkan atau menambah kenyamanan dalam pekerjaan seperti alat komunikasi, kelengkapan pengolahan data, meja, kursi, lemari dan lainnya; dan 3) perlengkapan alat kerja bantu (fasilitas), yaitu semua jenis benda yang berfungsi membantu kelancaran gerak dalam pekerjaan, seperti absen, jadwal apel pagi dan siang dan lainnya. Peralatan (perlengkapan) kerja ditinjau dari peralatannya terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu: 1) Peralatan kerja tunggal guna (single purpose equipment) yaitu peralatan yang hanya dipakai untuk satu jenis peran, seperti mesin tulis (ketik),hanya untuk mengetik; dan 2) Peralatan kerja serba guna (multyple purpose equipment), peralatan yang dapat dipakai untuk bermacam-macam peran seperti personal computer (PC). Ia dapat mengetik, membuat grafik dan menyimpan data (Moenir 2006). Ia mengatakan juga bahwa fasilitas utama pelayan umum yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi pemerintah adalah: 1). Fasilitas Ruangan Kerja, yaitu ruangan tempat bekerja yang aman dan tertib. Dalam penataannya harus memperhitungkan koodinasi yang efektif antar-karyawan maupun dengan pimpinan; 2). Fasilitas Ruangan Tunggu, yaitu ruangan terbuka yang menyediakan berbagai informasi yang berhubungan dengan fungsi dan tugas kantor maupun tata tertib agar tamu dapat memperoleh informasi awal sebelum berhungan dengan bagian yang menangani urusannya; 3). Fasilitas pendukung lainnya, yaitu fasilitas yang tidak berhubungan langsung dengan tugas dan fungsi instansi seperti ruang ibadah, ruang pertemuan, kamar kecil, kantin dan lainnya.
6. Kapasitas Fungsi Perencanaan Kampung Perencanaan adalah seluruh proses pemikiran dan penentuan secara sistematis dari hal-hal yang akan dikerjakan pada masa mendatang untuk mencapai tujuan dengan hasil yang maksimal dari penggunaan sember daya secara efektif dan efisien (Tjokroamidjojo 1996). Sedangkan cakupan perencanaan
menurut
Jayadinata
(1984)
meliputi:
1)
Analisis,
yaitu
merupakaan keabsahan (uraian) data; 2) Kebijakan (policy), yaitu pemilihan rencana yang terbaik untuk pelaksanaan; dan 3) Rancangan (design), yaitu perumusan atau sajian rencana.
35
Tujuan
Perencanaan
menurut
Tjokroamidjojo
(1996)
adalah:
1) mengarahkan kegiatan berdasarkan pedoman pelaksanaan yang telah ditetapkan; 2) mengetahui perkiraan tentang potensi (sumber daya) yang akan digunakan
dan
untuk
meramalkan
prospek
perkembangannya
serta
mengetahui resiko dan hambatan yang mungkin akan dihadapi sehingga dapat membatasi suatu ketidakpastian; 3) mempermudah memilih alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang ada; 4) mempermudah penentuan skala prioritas sesuai tujuan, sasaran dan target yang telah ditetapkan; dan 5) mempermudah mengatur standar dalam melakukan pengawasan dan evaluasi. Menurut Sirajuddin et al (2006), perencanaan yang dilakukan secara partisipatif dari seluruh stakeholders mampunyai kegunaan sebagai berikut: 1) menuju masyarakat yang lebih bertanggung jawab; 2) meningkatkan proses belajar; 3) mengeliminir perasaan terasing; 4) menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana tersebut; 5) menciptakan kesadaran politik; 6) meningkatkan kepuasan dari hasil peran serta; 7) mencerminkan kebutuhan dan keinginan dari peserta; 8) menjadi sumber informasi yang berguna dan menjamin keterbukaan; dan 9) menjadi komitmen sistem demokratis. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam melakukan perencanaan adalah: 1) prinsip partisipasi; 2) prinsip transparansi dan sosialisasi; 3) prinsip akuntabilitas; 4) prinsip keadilan dan kesejahteraan publik; serta 5) prinsip efektif dan efisiensi. Sedangkan menurut Putri (2006), secara filisofis, ada dua perspektif teori pengembangan wilayah yang berkenaan dengan tata kelola desa, yakni: 1). Growth Machine Theory (GMT) atau Teori Mesin Pertumbuhan Teori ini
lebih dikenal dengan sebutan teori politik lokal, yang
berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi lokal dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktifitas tata pengaturan administrasi politik lokal atau organisasi politik lokal. Oleh sebab itu, desa sebagai kekuatan organisasi politik lokal atau mesin penggerak pengembangan wilayah secara lokal maka desa harus mempunyai kemampuan dan kekuatan pengaturan. 2). New
Institutional
Economics
Theory
(NIE)
atau
Teori
Ekonomi
Kelembagaan Baru Teori ini mengatakan bahwa mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
didekati
melalui
perubahan
kelembagaan
dan
penataan
36
kelembagaan
sebagai
prasarana
pengembangan
wilayah
tentang
perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang desa. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Desa sebagai administrasi politik lokal (organisasi politik lokal) harus diberdayakan, termasuk sistem pengaturannya agar mampu memberikan ruang publik yang memadai bagi segenap stakeholders di desa untuk berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan pengembangan wilayah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Dalam proses ini (Kolopaking 2006) mengatakan bahwa masyarakat perlu didampingi agar memiliki akses kepada proses pengambilan keputusan, terutama menyangkut nasib mereka melalui penguatan kapasitas dengan pendekatan partisipatif, sehingga dapat dicapai: 1) penguatan kapasitas masyarakat
dalam
beradu
argumentasi,
sehingga
masyarakat
dapat
melakukan particypatory planning atau perencanaan yang mengikutsertakan masyarakat, melaksanakan dan melakukan pemantauan serta penilaian pembangunan; dan 2) membentuk simpul yang dapat melakukan ikatan dengan multi-pihak di desa-desa lain dalam satuan kawasan dalam kerangka pemberdayaan ekonomi masyarakat. Artinya bahwa desa-desa menjadi simpul dengan
tidak
ditentukan
oleh
batas-batas
administrasi
pemerintahan,
melainkan berdasarkan fungsi, ciri dan karakteristik potensi ekologi kawasan, seperti pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1: Proses-Proses
Kebijakan
Saling
Pengaruh
Antar-Pihak
Pengembangan Tata-Kelola Pemerintahan Desa. Perpektif Makro Pembangunan Kawasan dan Daerah “Penetrasi Top-Down”
Pemerintah
Otonomi Daerah/Khusus Revitalisasi Adat
Otonomi Daerah/Khusus
Pedesaan Kelompok Strategis / Lembaga Adat
Lembaga Bisnis/ Swasta
“Kekuatan Bottom-Up”
Perpektif Mikro Pemberdayaan Masyarakat
Revitalisasi Adat
37
Sumber: Kolopaking (2006)
7. Kapasitas Fungsi Pengawasan dan Pembinaan Sesuai
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004,
Kepala
Desa
bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun tetap memberi peluang kepada masyarakat dan BPK untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud. Menurut Suwaryono (2005) BPD sendiri tidak memiliki kapasitas untuk menyatakan menolak atau menerima pertanggungjawaban. Yang mempunyai kapasitas menyatakan menerima atau menolak pertanggungjawaban Kepala Desa adalah Bupati sesuai hasil laporan pertanggungjawaban kepala kampung. Model pertanggungjawaban Kepala Desa tersebut kongruen dengan model pertanggungjawaban Kepala Daerah. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kelemahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memberikan ruang partisipasi langsung dari rakyat dalam melaksanakan evaluasi atas pembangunan desaya. Hal ini merupakan akibat dari Pemerintah mejenarisasikan hubungan yang tidak serasi antara Kepala Desa dan BPD pada 6 (enam) desa di Indonesia. Pemerintah tidak melihat pada ratusan desa di Indonesia yang sedang membangun demokrasi yang sehat. Ini juga merupakan bagian usaha melegitimasi kembali kekuasaan pemerinatah di desa sebagaimana terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru. Oleh sebab itu dalam rangka merealisasikan good governcance maka langka pertama yang dilakukan adalah mengurangi intervensi dan memberikan otoritas penuh kepada Desa untuk mengurusi rumah tangganya sendiri. Ini merupakan subsidi (bantuan) yang tak ternilai harganya bagi pemerintahan dan masyarakat desa agar dapat mengatur dan menata diri secara mandiri sambil memperbaikinya melalui evaluasi secara mandiri sebagai proses belajar masyarakat. Sedangkan
langka
kedua
adalah mendorong
terciptanya
demokrasi di desa yang sehat dengan berprinsipkan good governcance dalam tata pemerinathan desa.
38
Dalam rangka pembinaan, pasal 102, PP Nomor 72 Tahun 2005 mengamanatkan agar camat menyelenggarakan kewajiban pembinaan kepada pemerintahan desa seperti: 1) memfasilitasi Peraturan Desa dan Keputusan Keputusan Kepala Desa; 2) memfasilitasi administrasi tata pemerintahan desa; 3) memfasilitasi tata pengelolaan keuangan kampung dan penggunaan aset desa; 4) memfasilitasi pelaksanaan urusan Otonomi daerah kabupaten yang diserahkan kepada desa; 5) memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala Desa dan aparat
Desa;
6)
memfasilitasi
penerapan
dan
penegakan
peraturan
perundang-undangan; 7) memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; 8) memfasilitasi pelaksanan tugas, fungsi dan kewajiban lembaga kemasyarakatan; 9) memfasilitasi penyusunan pembangunan yang partisipatif; 10) memfasilitasi kerja sama antar desa dan kerja sama dengan pihak ketiga; 11) memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa; 12) memfasilitasi kerjasama antar-lembaga kemasyarakatan dengan pihak ketiga; 13) Memfasilitasi bantuan teknis dan pendampingan kepada lembaga kemasyarakatan; dan 14) Memfasilitasi koordinasi unit kerja pemerintahan dalam pengembangan lembaga kemasyarakatan. Sedangkan menurut Wasistiono (2007) dalam rangka melaksanakan tugas pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa, dikembangkan pola hubungan kerja antara Camat dengan Kepala Desa, antara lain: 1) hubungan kerja fasilitatif; 2) hubungan kerja koordinatif; 3) hubungan kerjasama; dan 4) hubungan pembinaan dan kerjasama.
8. Kapasitas Fungsi Pendokumentasian (Administrasi dan Kearsipan) Menurut Moenir (2006) fungsi kantor adalah sebagai: 1) pusat pemikiran kehidupan, kemajuan dan perkembangan organisasi, baik bersifat strategis, administratif dan operasional; 2) pusat administrasi (pelayanan) baik kepada manajemen untuk pengambilan keputusan maupun kepada masyarakat luas; dan 3) pusat data dan informasi. Data dan informasi bagi sebuah organisasi sangatlah penting karena menurut Terry (1986) data dan informasi berfungsi sebagai: 1) bahan bukti secara hukum; 2) bahan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan; 3) bahan penulisan laporan; 4) bahan pendukung suatu rencana program; dan 5) bahan penelitian untuk antisipasi keadaan di masa mendatang.
39
Dari berbagai alasan di atas maka data dan informasi dalam tata pemerintahan desa perlu didokumentasikan (diarsipkan). Menurut Moenir (2006) proses dokumentasi ada 4 (empat) tahapan yaitu: 1) tahap kegiatan pencatatan; 2) tahap kegiatan pengelompokan; 3) tahap kegiatan komunikasi; dan 4) tahap pengarsipan dan manipulasi. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa 2 (dua) langka pengarsipan, yaitu: 1) langka klasifikasi, yaitu pengelompokan surat atau data dan informasi berdasarkan pertimbangan tidak penting, penting (bermanfaat), dan sangat penting; 2) langka penyimpanan dengan beberapa pertimbangan, yakni penyimpanan atas dasar waktu, masalah, unit organisasi, klasifikasi barang dan jasa dan abjad. Langka kedua ini dapat disesuaikan dengan keputusan organisasi tentang kearsipan.
Aspek Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan fungsi legislasi, yakni merancang dan menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa terlebih dahulu melakukan fungsi artikulasi, yakni proses menggali, menampung, menghimpun
dan
merumuskan
aspirasi
masyarakat
untuk
selanjutnya
melaksanakan fungsi agregasi, yakni menyalurkan aspirasi masyarakat oleh BPD pada saat pembahasan rancangan. Oleh karenanya keanggotaan BPD berasal dari masyarakat desa. Disamping menjalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung antara Kepala Desa dengan rnasyarakat desa, juga harus dapat menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi representasi atau fungsi keterwakilan dalam membawa amanat dari komunitas yang mengutusnya. karena itu, penguatan kapasitas bagi BPD harus diarahkan untuk memiliki kemampuan melaksankan fungsi agregasi, artikulasi dan legislasi (Wasistiono, 2007). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, keanggotaan BPD terdiri dari wakil penduduk desa yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan BPD 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Kerangka Pemikiran Tuntutan perubahan pada penyelenggaraan tata kelola pemerintahan di tingkat global seperti penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, supremasi hukum, civil society, desentralisasi, pemberdayaan, partisipasi,
40
kemiskinan, kewirausahaan pemerintahan, good governance, Total Quality Gavernanca (TQG) dan lainnya, kini mulai menjadi tuntutan perubahan di tingkat lokal. Kecanggihan teknologi informasi menghantarkannya menjadi isu-isu di tingkat lokal, termasuk pada tataran Kampung. Namun perlu dipahami pula bahwa salah satu permasalahan dalam proses pembangunan di kampung selama ini adalah telah mengalami kegagalan dalam menciptakan organisasi yang tepatguna untuk memecahkan masalah di tingkat lokal, yang pada dasarnya adalah merupakan struktur pranata (mediating structure), yaitu lembaga yang berdiri di antara individu dalam kehidupan pribadinya dengan lembaga-lembaga besar dalam
kehidupan
umum.
Hal
ini
memberikan
kontribusi
terhadap
ketidakberdayaan 4 (empat) sub sistem kampung, yakni sub sistem kapasitas sarana dan prasarana, kapasitas kemasyarakatan, kapasitas pemerintahan dan kapasitas
kepemimpinan.
Mengubah
kondisi
ketidakberdayaan
tersebut
membutuhkan kemauan politik dari Pemerintah Daerah untuk merumuskan dan penataan kembali pola-pola (prosedur) hubungan kelembagaan antara Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintahan Kampung. Penataan kembali pola hubungan
tersebut
diharapkan
dapat
menguatkan
kapasitas
tata
kelola
pemerintahan kampung sebagai agen pranata sosial, pembangunan dan agen pembaharuan. Untuk mencapai hal tersebut memerlukan perubahan fundamental dalam tujuan-tujuan dan nilai-nilai maupun dalam sistem-sistem struktural, psikososial dan manajerial. Perubahan tersebut harus disertai dengan peningkatan kapasitas individu pengelola pemerintahan kampung melalui pelatihan, bimbingan dan pendampingan untuk meningkatkan pengetahuan dan disertai dengan desentralisasi fiskal, administratif dan politik agar dalam pelaksanaan dapat dijadikan sebagai social learning process.
Dalam rangka memperkuat tata kelola Pemerintahan Kampung dari sisi
struktural,
Pemerintah
telah
menetapkan
berbagai
peraturan
perundang-undangan seperti Rekomedasi Nomor 7, Ketetapan MPR No. IV/MPR-RI/2000 tentang otonomi bertingkat 3 dalam NKRI, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, berbagai Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Desa, beberapa Perda Kabupaten Nabire tentang Kampung. Peraturan perundangundangan tersebut terkesan bahwa ditetapkan hanya untuk memenuhi syarat administratif sehingga berbagai hambatan sedang menghadang
41
usaha penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya political wiil Pemerintahan Daerah sehingga tetap mempertahankan status quo oleh pemerintahan di tingkat kabupaten untuk memperkokoh kekuasaan. Status quo pun makin mapan kerena adanya kompetisi antar-partai politik yang lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat yang telah merambah ke dalam ruang birokrasi. Sementara di lain pihak para elite birokrasi yang telah lama menikmati keuntungan dari lemahnya tata kelola pemerintahan, cenderung mempertahankan kondisi kelemahan tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa kondisi ini telah menciptakan kesenjangan struktur ekonomi (distribusi pendapatan), struktur sosial (pelapisan masyarakat) dan struktur politik (distribusi kekuasaan) antara penguasa dan rakyat serta masyarakat kota dan pedesaan. Dengan demikian roda proses pemiskinan dari aspek struktural terus berputar sehingga tercipta kondisi yang mapan seperti: 1) secara
ekonomi,
masyarakat
dan
pemerintahan
kampung
makin
termarjinalkan; 2) secara sosial, modal sosial, jaringan sosial kolektif atau lembaga-lembaga kemasyarakatan di kampung tetap berada dalam kondisi ketidakberdayaan sehingga tidak mampu peningkatan ikatan dan jalinan kemitraan (koodinasi, kooperasi, kolaborasi dan networking); dan 3) secara politik, masyarakat dan pemerintahan kampung makin kehilangan akses atau
wahana
institusional
untuk
mengartikulasikan
aspirasi
dan
kepentingannya pada lembaga-lembaga politik. Masalah di atas merupakan bukti bahwa sedang terjadi kemacetan komunikasi politik sehingga keinginan masyarakat dan pemerintahan kampung dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire tidak berjalan sebagaimana mestinya. Olel sebab itu diperlukan strategi alternatif dalam membangun kekuatan masyarakat di luar partai politik untuk melakukan perlawanan politik dalam rangka mendapatkan keseimbangan distribusi pendapatan dan kekuasaan antara Kampung dan Kabupaten karena keseimbangan kekuasaan fiskal, administratif dan pilitik akan tercipta melalui gerakan civil society yang lebih konseptual dan strategik. LSM lokal diharapkan menjadi unjung tombak dan bersinergis dengan stakeholders
42
lainnya dalam pembaharuan penguatan tata kelola pemerintahan kampung karena Pemerintah Kabupaten Nabire mempertahankan kondisi kelemahan kapasitas ketatakelolaan melalui proses-proses kebijakan publik di tingkat pemerintahan kabupaten seperti pada muatan materi naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati. Oleh sebab itu advokasi
kebijakan
menjadi
strategi
alternatif
dalam
mengatasi
kesenjangan antara muatan materi naskah dan tata laksana serta budaya Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati. Advokasi menjadi strategi alternatif karena advokasi merupakan suatu proses yang menghubungkan antara berbagai unsur progresif dalam masyatakat warga (civil society), melalui terbentuknya aliansi-aliansi strategis untuk memperjuangkan terciptanya
keadilan
sosial
dengan
cara
mendesakkan
terjadinya
perubahan-perubahan kebijakan publik seperti menciptakan kebijakan, mereformasi
kebijakan
dan
menjamin
kebijakan-kebijakan
tersebut
diimplementasikan. Dalam penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung melalui strategi advokasi kebijakan perlu dilakukan secara bertahap. Tahapan tersebut didahului dengan analisis kebijakan publik untuk mengidentifisikan kebijakan, mengumpulkan bukti tentang masalah, penyajian penyebab masalah, mengevaluasi kebijakan yang ada. Aspek-aspek yang menjadi parameter adalah sebagai berikut: 1) kapasitas kewenangan, 2) kapasitas keorganisasian, 3) kapasitas personil,
4) kapasitas keuangan, 5)
kapasitas sarana dan prasarana; 6) kapasitas fungsi perencanaan, kapasitas
fungsi
pengawasan
pendokumentasian serta
dan
evaluasi;
8)
kapasitas
7)
fungsi
9) kapasitas fungsi agregasi, artikulasi dan
legislasi. Pada masing-masing point dianalisis tentang keterkaitan antara muatan materi naskah kebijakan, tata laksana kebijakan dan budaya kebijakan, khususnya dalam peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan kampung dan dampaknya terhadap kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Setelah menyelesaikan tahapan analisis, maka tahap berikutnya adalah mengembangkan alternatif atau opsi-opsi kebijakan dan menyeleksi alternatif terbaik.
43
Untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan advokasi kebijakan publik atas alternatif terbaik yang terpilih, maka selanjutnya dilakukan analisis stakeholders (pemangku kepentingan) dan analisis pemangkau kelembagaan dengan mengunakan dua alat utama yaitu identifikasi kekuatan dan klasifikasi kawan dan lawan. Melalui melalui analisis kebijakan dan analisis stahohders, diharapkan dapat mengadvokasi kebijakan publik, khususnya pada beberapa Perda tentang pemerintahan kampung agar dapat menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan dan menjamin kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan sehingga tercipta kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu yang mapan dan berkemampuan dalam menyelenggarakan pembangunan kampung dengan berprinsipkan Good Governance dan Total Quality Governance (TQG) untuk memenuhi kebutuhan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu di bidang ekonomi, sosial dan politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan 2 tentang kerangka pikir berikut ini.
Bagan 2: KERANGKA BERPIKIR PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG URUMUSU Kondisi Aktual Tata Pemerintahan Kampung Urumusu
Tuntutan Perubahan Tata Kelola Pemerintahan di Tingkat Global Arus Infokom
Faktor Perdukung Secara Struktural Untuk Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung
Input
Proses
Out Put
Out Come
Faktor Penghambat Secara Struktural Untuk Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung
4 Sub Sistem Kelembagaan Kampung Yang Dalam Kondisi Ketidakberdayan
Tuntutan Perubahan Tata Pemerintahan di Tingkat Kampung
Mengkaji tentang:
1. Kondisi
kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam pemenuhan tuntutan perubahan pelayanan publik oleh stakeholders.
4 sub sistem pendukung perubahan di Kampung dalam kondisi ketidakberdayaan
2. Kebutuhan penguatan kapasitas
Fokus Kajian Penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung sebagai agen pembangunan, pranata sosial dan agen pembaharuan
K E T I D A K B E R D A Y A A N (P O W E R L E S S)
tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dan merancangan strategi penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu untuk pemenuhan tuntutan perubahan pelayanan publik oleh stakeholders.
Implementasi strategi penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu
Kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu yang berkemampuan
Penyelenggaraan tata Pemerintahan Kampung Urumusu yang berprinsipkan Good Governance dan Total Quality Governance (TQG) untuk memenuhi kebutuhan stakeholders (pemerintah, swasata dan masyarakat)
Feed Back
P EM B E R D A Y A A N ( E M P O W E R M E N T)
BERDAYA (POWER)
43