PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” DI KABUPATEN PINRANG: Penguatan Berperspektif Gender Mardia*)
Abstrak: This study examines problems of seasonal harvesting rice women workers (Paddaros) in Pinrang and the solving strategies. The problems are the low survival rate with a relatively large number of families, the low health level, the low education level, the lack oflearning opportunities, the limitation of knowledge and skills and lags infarming, and the lack ofa positive attitude towards progress because of custom, religion, and living habits. The first strategy to overcome the problems is promoting gender equality in access to productive resources and sources of income. The second one is minimizing personal burden on the women’s domestic roles besides reproductive and social roles. The last one is providing gender-appropriate social protection in terms of public works and lab or programs. Keywords: Paddaros, Strengthening economyof women, gender inequality
A. Pendahuluan Perempuan Paddaros (Perempuan buruh pemanen padi musiman) dan strategi mengatasi hambatan yang dihadapi dalam menjalankan peran reproduktif, produktif dan peran sosial diangkat sebagai masalah dalam penelitian ini, karena bidang kerja perempuan Paddaros termasuk bidang kerja yang sudah lama dimasuki oleh tenaga kerja perempuan, namun ) Dosen Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Dipekerjakan pada Sekolah Tinggi Agama Islam DDI Pinrang Sulawesi Selatan
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
taraf kehidupan mereka masih di bawah garis kemiskinan, terpinggirkan dan termarginalkan. Bidang kerja ini oleh masyarakat Pinrang dianggap sebagai alternatif terakhir dan bidang kerja yang kurang cocok ditekuni oleh perempuan karena waktu dan tempat kerjanya tidak tetap dan berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain bahkan lintas kabupaten. Hal ini menyebabkan perempuan Paddaros menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan profesinya. Sementara itu, sebagai pekerja, perempuan tidak bisa lepas dari peran lainnya di rumah tangga dan di masyarakat sehingga perlu strategi untuk bisa menjalankan semua perannya. Komunitas Perempuan buruh tani Paddaros adalah suatu komunitas yang berprofesi sebagai buruh pemanen padi. Komunitas Paddarosmerupakan gambaran hidup masyarakat yang marginal, terpinggirkan, miskin, tidak berdaya dan tidak diberdayakan. Kehidupan sehari-hari mereka diwarnai dengan hanya bergelut dengan menjadi buruh pemanen padi. Mereka berangkat bekerja dari pukul tujuh pagi hingga pulang ke rumah pukul delapan malam. Para buruh pemanen padi Paddaros dijemput oleh angkutan mobil truk untuk diarahkan ke lokasi kerja. Lokasi tempat bekerja terkadang jauh keluar kecamatan bahkan keluar kabupaten misalnya ke kabupaten Sidrap (daerah lumbung padi Sulawesi Selatan). Upah yang mereka dapat tergantung dari berapa hektar sawah yang dipanen dan tergantung dari jauh dekatnya lokasi bekerja. Jika tempat bekerja mereka jauh dan bekerja antara pukul 7 pagi sampai pukul 6 petang maka rata-rata upah yang diperoleh adalah antara Rp. 20.000 hingga Rp. 30.000 per sekali bekerja, dari upah yang mereka peroleh dipotong Rp. 10.000 untuk ongkos jemputan mobil truk. Jika tempat bekerja mereka dekat maka potongan hanya Rp. 5.000. Peminggiran peran dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan disebabkan oleh beberapa alasan, faktor yang paling utama adalah konstruksi budaya yang telah mengkristal dalam masyarakat. Konstruksi budaya tersebut menempatkan perempuan sebagai the second human atau masyarakat kelas
303
304
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
dua, berada di bawah laki-laki (budaya patriakhi). Selain itu, budaya patriarkhi yang bersifat androsentris turut dipahami sebagai sebuah dogma yang dijustifikasi dengan pemahaman agama oleh sebagian pemikir Islam. Sejumlah ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi ditafsirkan secara misogonis (menyudutkan perempuan) yang mempertajam persepsi yang keliru terhadap eksistensi perempuan. Persepsi ini juga dikondisikan secara geneologis dan historis untuk selalu memandang perempuan sebagai makhluk lemah dan emosional, sementara laki-laki adalah makhluk yang kritis dan rasional. Josephin Klein lebih detail menjelaskan tentang perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan: “Just as the woman’s role is domestic and her self respect and status depend on her performance in keeping house, so the man’s role is financial and his status in the household depends rather stringently on his ability as a bread-winner. His self-respect is clearly tied to his financial independence”(Robertz, 1995: 92). Fenomena perempuan bekerja atau pencari nafkah (suatu profesi yang dapat diandalkan untuk menghidupi diri maupun keluarganya) telah berlangsung sejak zaman purba. Suami pergi berburu, sementara istrinya di rumah bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemudian, ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan pun sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang berbagai suku di dunia, yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik itu adalah perempuan bukan laki-laki.. Pada kultur masyarakat Pinrang, relasi kesetaraan jender dalam bekerja menjadi hambatan sosial. Meskipun peran dan posisi perempuan terbuka lebar pada ruang publik, dan tidak menjadi kontroversi yang antagonis dalam melakukan kiprahnya.
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
Mereka tampil ke pentas sosial dan dibesarkan oleh kultur dan budaya dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan proses pemberdayaan perempuan dalam konteks rekonstruksi dan rehabilitasi masih jauh dari harapan. Padahal perempuan pencari nafkah merupakan kelompok yang paling menderita. Kelompok yang dimaksud adalah para buruh pemanen padi yang berada dalam komunitas Paddarosdi Kabupaten Pinrang. Fenomena kehidupan para perempuan sebagaiPaddaros di tengah-tengah masyarakat tersebut amat rentan dengan berbagai persoalan. Belum lagi persoalan rumah tangga yang sering terjadi dalam keluarga mereka, persoalan ketidak adilan gender yang diperoleh di lokasi tempat bekerja. Juga persoalan kurangnya keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh para perempuan pencari nafkah pada komunitas Paddaros. Tetapi yang menjadi masalah sekarang adalah mulainya bergeser tenaga buruh pemanen padi karena munculnya semi tekhnologi musim pemanen padi yang mengurangi lahan kerja, apalagi sekarang ditemukan mesin chanduq (mesin pemotong padi) dengan sistem alat komputer, yaitu sistem kerja mesin tidak menggunakan banyak orang, hanya menggunakan remotecontrol. Peristiwa tersebut mirip revolusi industri yang terjadi di Negara-negara Eropa dan ditemukannya alat canggih di dunia industry yang mempersulit kesempatan kerja. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana peran perempuan Paddaros dalam mencari nafkah, yang terdiri dari: Profil Aktivitas/Profil Kegiatan perempuan Paddaros dalam kerja reproduksinya, kerja produktif, dan dalam kerja komunitasnya; Persoalan yang dihadapi oleh perempuan Paddaros dalam Keluarga, dalam komunitas, dan dalam kegiatan kerja; dan Aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam program pemberdayaan yang berkelanjutan bagi perempuan Paddaros. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen : 1982: 27-30) pada level deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus (dalam istilah Bodgan & Biklen: termasuk cultural studies) yg bertolak dari asumsi: semua relasi sosial dipengaruhi oleh
305
306
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
faktor tertentu yg perlu diterangkan dalam konteks spesifik, dan semua penelitian berangkat dari acuan pemahaman teoritik. Kerangka analisis gender (Meneg PP, 2001) yang digunakan meliputi gabungan kerangka analisis gender model Harvard dan model Moser. Teknik mengumpulkan data penelitian, peneliti menggunakan sejumlah prosedur pengumpulan data yang meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dinalisis sesuai Miles dan Huberman (1992: 20). yaitu: reduksi data; displaydata; pengambilan kesimpulan dan verifikasi.
B. Peran Perempuan Pencari Nafkah: Perspektif Gender Berbicara tentang peran gender (gender role), maka teori yang paling cocok untuk memaknai persoalan peran perempuan pencari nafkah adalah konsep kerja yang diformulasikan oleh Caroline O.N. Moser (1993) dan Ratna Saptari dan Brigitte Holzner (1997) Sementara untuk mendapatkan pemahaman tentang kekhasan perempuan Paddaros mulai dari perbedaan-perbedaan gender, budaya, kelas, sejarah dan pengalaman-pengalaman dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan Paddaros secara universal, maka frame yang digunakan adalah teori Antropologi Feminis yang digagas oleh Henrietta L. Moore (1988)
1. Teori Gender Role Secara garis besar, teori peran perempuan (gender role) yang dikemukakan oleh Moser memiliki tiga kerangka utama (Moser, 1993: 27) yaitu: Pertama, Peran lipat tiga (the triple roles of woman) perempuan pada tiga peran yaitu reproductive work, productive work, dan Community managing work. Ini berguna untuk pemetaan pembagian kerja gender dan alokasi kerja. Kedua, Berupaya untuk membedakan antara kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan laki-laki (practical and strategic genderneeds). Kebutuhan strategis berelasi dengan kebutuhan transformasi status dan posisi perempuan. Ketiga, Pendekatan analisis kebijakan dari fokus pada kesejahteraan
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
(welfare), Kesamaan (equity), anti kemiskinan, efisiensi dan pemberdayaan atau dari Women in Development (WID) ke Gender and Development (GAD) (Noerdin, 2005: 48; Fauziah, 2004: 27). Melalui ketiga konsep gender role inilah Moser berhasil mengungkap bahwa kerja perempuan ternyata lebih berat dibandingkan beban kerja laki-laki. Bahkan lebih jauh Moser melihat bahwa pembagian peran gender merupakan salah satu faktor utama yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat (Djunaedi & Muzayyanah, 2008: 11). Berdasarkan hal itu, dalam konteks pemberdayaan ekonomi perempuan digunakan langkah strategis dalam konteks pemulihan kekerasan ekonomi yang dialami perempuan pencari nafkah pada komunitas Paddaros.
2. Teori Kerja Perempuan Defenisi kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut (Saptari dan Holzner, 1997: 14).Pendefinisian kerja perempuan (woman’s work) dalam masyarakat kita saat ini mengalami pergeseran komersialisasi dan orientasi market, pembedaan yang ketat antara kerja upahan atau kerja yang menghasilkan pendapatan dan kerja bukan upahan atau kerja yang tidak menghasilkan pendapatan. Kerja upahan dianggap kerja yang produktif, sementara kerja bukan upahan dianggap tidak produktif. Pandangan tersebut tidak terlepas dari dua macam bias cultural yang ada dalam masyarakat kita. Pertama, pandangan bahwa uang merupakan ukuran atas bernilai/berarti tidaknya sesuatu kegiatan. Kedua, kecenderungan melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada (Saptari dan Holzner, 1997: 14).Dalam situasi seperti ini bisa dipahami mengapa kerja perempuan sering kali tidak tampak (invisible) karena pada umumnyan dalam masyarakat kita, keterlibatan perempuan sering kali berada dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah meski mendatangkan penghasilan.
307
308
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Teori kerja perempuan oleh Saptari dan Holzner dan gender role yang digagas Moser adalah suatu pisau analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender, dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan (kesetaraan, keadilan, anti kemiskinan, efisiensi, penguatan atau pemberdayaan), identifikasi terhadap peranan majemuk perempuan (reproduksi, produksi, sosial-kemasyarakatan), serta identifikasi kebutuhan gender praktis-strategis (Handayani dan Sugiarti, 2002: 176).
3. Teori Feminism and Antropology Konsep Feminism and Antropology dalam pandangan Hendrietta Moore menjawab sejumlah persoalan tentang apakah perempuan di seluruh dunia sama? Apakah pengalamanpengalaman perempuan bersifat universal? Apakah perempuan sebagai kategori sosial sama pengaruhnya seperti kategori sosial lainnya seperti ras, agama, dan usia? Siapakah yang lebih layak memakai perspektif perempuan, laki-laki atau perempuan? (Moore, 1998: 2). Dalam membahas tentang kerja perempuan, Moore melihat bahwa kaum perempuan di seluruh dunia terlibat dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri kerjanya digolongkan ke dalam empat kelompok: kerja pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga, dan kerja upahan. Kerja perempuan yang tanpa upah secara konsisten diremehkan (Moore, 1998: 82-83). Penyebabnya adalah ketidaksepahaman dalam mendefenisikan ‘kerja’ itu sendiri. Bagi Moore kerja bukan hanya sekedar persoalan apa yang dilakukan orang karena setiap defenisi juga harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu dilakukan, dan nilai atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu.
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
Peran Perempuan dalam Mencari Nafkah 1. Sekilas tentang Lokasi Penelitian Kabupaten Pinrang (http://id.wikipedia.org/wiki/ Kabupaten_Pinrang.) adalah salah satu daerah dari 23 Kabupaten/ Kota di Sulawesi selatan yang letaknya berada di bagian Barat Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan yang jaraknya sekitar 182 km arah utara dari Kota Makassar ibukota Propinsi Sulawesi selatan berada pada posisi letak geografis yaitu LS 4010’30”-30019’13” BT 119026’30”–119047’20”. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.961,77 km² yang terdiri dari 12 Kecamatan meliputi 64 Desa dan 39 Kelurahan. Jumlah penduduknya sebanyak ± 348.174 Jiwa (tahun 2009) terdiri dari laki-laki 168.201 Jiwa (48,31%) dan Perempuan 179.973 Jiwa (51,69%), dengan kepadatan penduduk rata-rata 166,95 Jiwa/km2 sedang penduduk produktif 196.132 jiwa (59,88%), tidak produktif 131.384 jiwa (20,12%). Daerah Pinrang memiliki adat istiadat sebagaimana daerah-daerah yang ada di Sulawesi Selatan. Pinrang termasuk wilayah yang penduduk aslinya bersuku bugis. Kehidupan mereka dipengaruhi oleh aturan-aturan dan adat istiadat yang sudah berlangsung lama antara lain: Pertama, Pangngaderreng merupakan wujud kebudayaan yang tidak hanya mencakup aturan-aturan adat, sistem norma atau tata tertib, tetapi juga mencakup seluruh unsur-unsur kegiatan hidup manusia bertingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan baik secara materil maupun nonmateri. Pangngadereng terdiri dari lima unsur, yaitu: Ade’, bicara’, wari, rapang, dan syara’. Ade’ berkaitan dengan norma perkawinan, hubungan kekerabatan, norma-norma mengenai negara dan pemerintahan. Bicara’ adalah aturan-aturan tentang peradilan sementara rapang adalah memberi contoh, perumpamaan, kias, atau analogi dari masa lampau. Wari’ adalah sistem klasifikasi segala benda, peristiwa dan aktivitas dalam kehidupan masyarakat menurut kategorikategorinya. Sedangkan syara’ adalah pranata-pranata dan hukum Islam (Abd. Kadir Ahmad:2005, 22)
309
310
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Kedua, sistem kekerabatan, kekerabatan dalam masyarakat Bugis Pinrang berujud sistem kekerabatan bilateral yang berarti keluarga atau kerabat dilihat baik dari sisi bapak maupun sisi ibu (Christian Pelras: 1996, 152). Semua generasi baik lakilaki, perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan dan sepupu dikategorikan sebagai seajing (saudara). Bedanya,untuk saudara lebih muda disebut Anri’ atau andi’ (adik) dan kaka’ atau daeng (kakak) untuk yang lebih tua usianya.begitupula untuk generasi yang ada di bawahnya, termasuk anak sendiri, kemanakan, dan anak-anak dari sepupu, di anggap sebagai ana’ (anak) meskipunada istilah ana-ure (kemanakan). Semua anak-anak,baikana’ atau ana-ure disebut eppo’ (cucu). Sementara kerabat pada generasi yang sama dipanggil orang tua, baik itu paman (ama-ure) atau bibi (ina-ure) dan memanggil semua generasi sebelumnya dari mereka itu sebagai nene’ (nenek ). (Abd Kadir Ahmad: 2005, 24) Ketiga, sistem perkawinan perkawinan dalam masyarakat bugis Pinrang merupakan hal yang amat penting dalam adat istiadat karena bukan hanya peralihan dalam arti biologis tetapi memiliki penekanan pada makna sosiologis yaitu adanya tanggung jawab baru bagi kedua orang yang mengikat tali perkawinan terhadap masyarakatnya. Perkawinan yang ideal pada masyarakat Bugis Pinrang adalah perkawinan dengan keluarga, misalnya sepupu. Namun perkawinan dengan sepupu sekali dianggap “terlalu panas” sehingga hanya dilakukan kalangan bangsawan tinggi yang “berdarah putih”. Suatu perkawinan diiringi dengan sejumlah pemberian dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Ada dua jenis pemberian yaitu sompa syara’ yang secara simbolis berupa sejumlah uang yang dilambangkan dengan rella (real) yang sesuai dengan derajat perempuan; dan dui’ menre’ (uang naik) atau disebut uang belanja untuk membiayai seluruh prosesi pesta pernikahan, yang biasanya diikuti oleh lise’ kawing (isi perkawinan), dan mahar biasanya sejumlah uang yang sekarang sering diserahkan dalam bentuk Mushap Alquran dan seperangkat alat shalat.
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
Keempat, gender, Laki-laki dan perempuan Bugis memiliki bidang kegiatan masing-masing. Namun demikian, tidak ada perbedaan prinsip antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari tidak adanya perbedaan garis keturunan ayah dan ibu di dalam masyarakat. Islamisasi menyebabkan perempuan Bugis menikmati kebebasan dan tanggung jawab yang tidak kalah pentingnya ketimbang laki-laki. Internalisasi ajaran Islam ke dalam masyarakat Bugis membuat terjadinya transformasi dalam kebebasan kaum perempuan. Perempuan tidak lagi identik dengan wilayah domestik tetapi juga wilayah publik. Hanya saja keterlibatan perempuan di wilayah publik rentang dengan sejumlah tindakan ketidakadilan gender seperti diskriminasi, beban ganda, subordinasi hingga kekerasan.
2. Profil Aktivitas perempuan Paddaros Perempuan buruh pemanen padi yang menjadi perempuan Paddaros adalah sosok perempuan pedesaan baik yang dewasa maupun muda. Mereka adalah isteri petani atau anggota keluarga tani yang terlibat secara langsung atau tidak dengan tetap atau sewaktu-waktu dalam kegiatan usaha tani dan kesibukan lainnya berhubungan dengan kehidupan dan penghidupan keluarga tani di pedesaan. Aktivitas ‘maddaros’ dikerjakan mulai turun sawah dari pukul 06.00 hingga pukul 18.00. Dalam konteks penempatan tenaga kerja, perempuan buruh pemanen padi sebagai Paddaros terlibat dalam kegiatan produktif dan reproduktif yang saling berkaitan. Kegiatan reproduktif yang dilakukan oleh perempuan buruh pemanen padi sebagai Paddaros sekaligus termasuk dalam kegiatan produktif. Perempuan buruh pemanen padi sebagai Paddaros melakukan pekerjaan reproduktif (mengurus rumah tangga, memasak, mengepel, mencuci, mengurus anak/ orang jompo), yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan di lingkungan keluarga dan merupakan pekerjaan rutin serta tidak mendapatkan imbalan (upah). Perempuan Paddaros memegang peranan penting sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai jenis
311
312
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
pekerjaan dari yang berat sampai yang ringan, seperti mengatur rumah tangga, memasak, mencuci, mengasuh dan mendidik anak. Akan tetapi ketika kegiatan reproduktif tersebut dilakukan dalam lingkup ketenagakerjaan (menjadi tenaga kerja di luar rumah), pekerjaan tersebut menjadi produktif karena dengan melakukan pekerjaan tersebut, mereka akan mendapatkan imbalan (gaji) dari majikan. Terdapat sejumlah istilah buruh pemanen padi sebagai Paddaros yaitu: Pertama,Passangking atau Pakkattu yaitu suatu profesi memanen padi yang dilakukan secara manual dengan cara menggunakan sabit, dimana profesi ini didominasi oleh perempuan. Kegiatan massangking/makkattu (memanen) padi biasanya dilakukan sepuluh hingga duapuluh orang, tetapi karena saat ini kegiatan memanen padi lebih banyak menggunakan teknologi canggih yang disebut chandue (mesin peruntuh padi yang dioperasikan oleh dua orang laki-laki secara bergantian), maka hanya tiga hingga lima tenaga perempuan yang dibutuhkan untuk memanen sisa-sisa padi yang tidak dapat dijangkau oleh chandue. Sebagai Passangking/Pakkattu (pemanen padi dengan menggunakan sabit), diberi upah oleh Punggawa Daros (mandor Daros) rata-rata Rp.20.000-Rp.30.000 per hari. tergantung dari cuaca dan banyaknya lahan yang digarap. Jika kegiatan ‘maddaros’ dikerjakan terus menerus saat cuaca cerah (tidak hujan) dan padi yang akan digarap dalam kondisi sangat baik, maka upah rata-rata antara Rp. 20.000-Rp. 30.000 perhari. Dari upah tersebut pun dipotong Rp. 5000 untuk ongkos angkutan tiap hari. Tetapi jika kondisi hujan dan padinya tidak sehat maka upahnya kurang dari Rp. 20.000”. Kedua, Pammasina adalah suatu profesi Paddaros yang khusus menangani penggilingan padi dengan menggunakan mesin hingga menjadi gabah yang siap dijual. Profesi ini pada umumnya terdiri dari sembilan personil, enam orang lakilaki di bagian mesin yang secara bergantian memasukkan padi ke penggilingan dan memasukkan gabah dalam karung. Sementara tiga orang perempuan berprofesi sebagai Pakkarowa yaitu suatu kegiatan yang secara khusus membersihkan dan
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
memisahkan gabah dari jerami. Sementara yang berprofesi sebagai Pakkarowa diberi upah antara Rp.25.000 hingga Rp.35.000. Pakkarowadilebihkan Rp.5000 dari yang berprofesi sebagai Passangking/Pakkattu, karena profesi tersebut sangat beresiko tinggi, susah dan rentang dengan masalah, antara lain jika mereka tidak hati-hati dalam membersihkan gabah jari-jari mereka bisa masuk dalam mesin. Ketiga, Passaro-saro atau Pappulung-pulung adalah salah satu profesi yang dilakukan oleh dua hingga tiga orang perempuan yang menjadi tenaga pemungut gabah yang tidak menjadi bagian dari Paddaros. Kegiatan Passaro ini bekerja memungut sisa-sisa gabah selama aktivitas Paddaros berlangsung. Mereka tidak diupah oleh punggawa daros (orang yang memiliki usaha mesin perontok padi dan chandue). Pekerjaan ini dilakukan oleh mereka karena untuk mencari tambahan penghasilan yang diperoleh oleh suami-suami mereka. Selain itu mereka tidak memiliki keterampilan lain untuk melakukan suatu usaha yang dapat menghasilkan uang. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi di sektor pertanian, maka perempuan Paddaros perlu meningkatkan pengetahuan, keterampilan sehingga dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari segala jenis sumber daya yang ada di sekitarnya berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Berdasarkan paparan di atas, maka wanita Paddaros tersebut memiliki peranan ganda dalam rumah tangga. Peran ganda kaum wanita tersebut terimplikasi pada: (1) peran kerja sebagai ibu rumah tangga (mencerminkan feminimine role), meski tidak langsung menghasilkan pendapatan, secara produktif bekerja mendukung kaum pria (kepala keluarga) untuk mencari penghasilan (uang); dan (2) berperan sebagai pencari nafkah (tambahan ataupun utama). Perempuan buruh pemanen padi sehubungan dengan peranan dan kedudukannya dalam rumah tangga perlu diberikan perhatian khusus yang secara bersama dikaitkan
313
314
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
dengan kepentingan keluarga tani. Padahal banyak orang percaya kalau perempuan selayaknya berada dilingkungan rumah tangga dengan tugas-tugas seperti melahirkan dan membesarkan anak, serta mengurus suami, agar keluarga tentram dan sejahtera. Pandangan seperti itu dapat dibenarkan oleh penganut Teori Nature. Tetapi jika disimak, maka pandangan tersebut lebih memihak dan menguntungkan suami. Suami dengan segala aktifitasnya diluar rumah memungkinkan dihormati dan dihargai. Sementara isteri dengan ke-perempuannya ditempatkan pada posisi yang terpojok, karena perannya terbatas didalam rumah (sector domestik), dan jerih payahnya tidak menghasilkan uang. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan Paddaros dalam Keluarga, dalam komunitas, dan dalam kegiatan kerja Masalah yang dihadapi oleh perempuan Paddaros antara lain: tingkat hidup yang rendah dan jumlah keluarga yang relatif besar, tingkat kesehatan yang rentan dengan penyakit, tingkat pendidikan dan kesempatan belajar kurang, pengetahuan dan keterampilan yang sangat terbatas dan tertinggal dalam usaha tani, kurangnya sikap positif terhadap kemajuan baik karena adat, agama, maupun kebiasaan hidup.Selain itu, perempuan Paddaros hampir tidak memiliki akses terhadap berbagai layanan dari pemerintah, swasta, NGO dan lainnya. Sumber penghidupan utama mereka diperoleh dari upah yang kecil. Upah nominal harian buruh tani nasional antara September 2008 – Mei 2010 hanya naik Rp. 2.442, yakni dari Rp. 35.455 menjadi Rp. 37.897 per hari. Perempuan Paddaros mendapat upah lebih rendah yang nilainya sekitar 75% dari upah buruh tani laki-laki. Upah yang diperoleh oleh perempuan Paddaros, berdampak pada kondisi ekonomi perempuan Paddaros yang berasal dari strata bawah itu, berdampak pada tingkat pendidikan perempuan Paddaros. Hanya sedikit yang berpendidikan SLTA, sebagian lainnya berpendidikan SLTP, sebagian besar berpendidikan SD ke bawah bahkan masih dijumpai perempuan Paddaros yang tidak pernah sekolah dan tidak bisa baca tulis. Dengan
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
pendidikan SD ke bawah, sulit bagi perempuan Paddaros untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal, terlebih dengan kondisi krisis ekonomi sekarang ini. Bisa dipahami kalau bekerja sebagai Paddaros satu-satunya peluang bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan memperbaiki kehidupan. Selain itu, Perempuan Paddaros paling rentan terkena dampak perubahan iklim, karena pengabaian pengalaman, pengetahuan, dan pandangannya tentang lingkungan, serta peran dan konstruksi sosial yang diembannya. Beban perempuan semakin berat, karena peran besar mereka dalam pemenuhan air, pangan, perawatan keluarga, dan dalam menanggung perekonomian keluarga yang memburuk karena perubahan iklim. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah terjadinya marginalisasi buruh perempuan pemanen padi akibat introduksi suatu alat pertanian. Sebagai contoh, alat panen padi sabit yang digantikan dengan mesin pemanen padi (chandue) telah mengesampingkan buruh perempuan pemanen padi. Dari aspek produktivitas, memang penggunaan mesin teknologi canggih lebih baik dari pada sabit, namun hal yang mesti dilakukan selanjutnya adalah mencari solusi untuk buruh tani perempuan pemanen padi yang tergeser tersebut.
3. Program pemberdayaan yang berkelanjutan bagi perempuan Paddaros a. Program Pemberdayaan yang Berkelanjutan Kebijakan pembangunan dengan paradigma baru lebih menekankan pada proses belajar (learning process approach) dan memfokuskan pada pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan tujuan pemberdayaan keluarga Paddaros. Usaha pemberdayaan dan pengembangan ekonomi perempuan Paddaros akan berhasil apabila segala bentuk diskriminatif untuk pemberdayaan pelaku usaha dihilangkan dan keadilan mekanisme pasar dapat ditegakkan. Bias budaya yang masih terdapat di kalangan masyarakat saat ini telah mengecilkan peran perempuan di bidang ekonomi.
315
316
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Untuk membuat perubahan yang mendasar, maka model pembangunan pemberdayaan ekonomi perempuan dalam hal ini ketenagakerjaan harus diubah dari model lama yang hanya melihat mereka sebagai SDM yang tak ubahnya dengan SDA yang dapat dimanfaatkan bahkan dieksploitasi habis-habisan ketika dibutuhkan. Model pembangunan ketenagakerjaan harus diubah menjadi model pembangunan berkelanjutan dan melibatkan peranserta mereka sebagai sumberdaya insani yang handal dan berdaya. Dalam hal ini pembangunan ketenagakerjaan diharapkan dapat diubah dengan menerapkan paradigma “Pembangunan Bersama Masyarakat” yang menggunakan prinsip-prinsip berikut: (1) partisipasi, (2) penguatan & pemberdayaan, (3) solidaritas & sinergi, (4) pemerataan, (5) keberlanjutan. Di sisi lain upaya yang harus terus diperjuangkan adalah pola hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak adanya penghargaan bagi perempuan Paddaros terhadap peran publik dan domestik. Keterlibatan mereka dalam berbagai peran tidak diikuti dengan pengembalian hak perempuan dalam memperoleh berbagai kesempatan untuk mengembangkan diri dan mendapatkan akses ekonomi, sosial dan politik, akan tetapi perempuan hanya ditempatkan sebagai komoditi dan konsumen. Tantangan perempuan Paddaros adalah menyingkirkan budaya yang mengidentikkannya sebagai makhluk kelas dua, dan terus berjuang memposisikan diri sebagai makhluk yang setara. Upaya pemberdayaan perempuan Paddaros di Kabupaten Pinrang pada dasarnya dapat dilakukan melalui potensi-potensi yang terkandung di daerah tersebut. Potensi pemberdayaan tersebut dapat bersumber dari potensi sumber daya manusia daerah, sumber alam, aset-aset desa-desa berupa fasilitas maupun kelompok masyarakat serta sumber anggaran daerah berupa ADD, P2D, PNPM, dan Reksa Desa. Potensi-potensi dan gagasan pemberdayaan perempuan Paddaros tidaklah didiamkan begitu saja. Upaya-upaya tersebut tentunya ada yang dilakukan oleh pemerintah bersama pemerintahan desa (PEMDES) dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Upaya terdahulu yang telah dilakukan
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
adalah sebagai berikut: 1) Pinjaman bergulir dana P2KP; 2) Pinjaman bergulir dana Raksa Desa; 3) Bantuan Langsung Tunai (BLT); 4) Pembagian Beras Miskin; dan 5) Pembuatan Lumbung Desa. Upaya-upaya yang dilakukan oleh warga dan pemerintah desa tersebut adalah alternatif gagasan pemberdayaan yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga perlu gagasan lain yang tetap memfasilitasi pemberdayaan perempuan Paddaros. Berikut ini adalah gagasan tersebut: Pertama, Peningkatan kapasitas bagi kelompok perempuan Paddaros, buruh industri rumah tangga, dan montir melalui kegiatan pelatihan keterampilan dan pendampingannya serta sokongan modal yang dapat dialokasikan dari berbagai sumber keuangan desa. Gagasan pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan agar tercapai peningkatan kapasitas diri sehingga mampu meningkatkan produktivitas pada sektornya masingmasing atau memiliki kemampuan untuk mengakses lapangan pekerjaan lain. Kedua, Membentuk koperasi (dengan bentuk yang sesuai dengan karakter usaha di desa) untuk memfasilitasi kegiatan potensial desa seperti usaha kecil/industri rumah tangga. Keanggotaannya dapat diambil dari kelompok-kelompok usaha yang sudah terbentuk, untuk saat ini sudah ada kelompok tani dan kelompok perempuan Paddaros. Ketiga, Memanfaatkan sumber keuangan daerah untuk pos-pos yang langsung berhubungan dengan kelompok pemberdayaan perempuan Paddaros. Keempat, Menggali potensi-potensi ekonomi baik kecamatan maupun desa dan memfasilitasi perempuan Paddaros untuk wirausaha baik secara individu maupun kelompok. Upaya-upaya tersebut di atas merupakan program Pemberdayaan (empowerment) wanita, yaitu upaya penguatan terhadap ketidakberdayaan mereka agar mampu menolong diri sendiri, mandiri, serta mengembangkan semangat self-reliancenya. Dengan mengimplementasi pemikiran Sumodiningrat
317
318
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
(1999) sedikitnya ada tiga aspek yang dicakup dalam memaknai pemberdayaan (empowerment) perempuan, yaitu: (1) menciptakan kondisi yang kondusif yang mampu mengembangkan potensi perempuan; (2) memperkuat potensi (modal) sosial wanita demi meningkat mutu kehidupannya; (3) mencegah dan melindungi perempuan, serta mengentaskan ketertindasan dan kemarginalan segala bidang kehidupan mereka.
b. Strategi Peningkatan Kesetaraan Gender Perempuan Paddaros Selain program pemberdayaan yang dikemukakan di atas, Penulis mengemukakan sejumlah strategi kebijakan tindakan aktif untuk mengangkat keterpurukan perempuan yang berprofesi sebagai Paddaros, antara lain: Pertama, Meningkatkan kesetaraan gender dalam akses ke sumberdaya produktif dan sumber penghasilan. Strategi ini ditempuh dengan tiga pilihan kebijakan yaitu: (1) Melalui pendidikan dengan memperbaiki fasilitas sekolah dan melatih staf pengajar mengarahkan masalah budaya menyekolahkan anak perempuan, serta menyediakan subsidi baik dalam bentuk hibah, beasiswa, voucher, maupun subsidi pondokan anak perempuan. (2) Sumberdaya pembiayaan (simpan dan pinjam) melalui reformasi institusi keuangan untuk memberi perempuan akses ke layanan simpan pinjam. (3) Kebijakan ketenagakerjaan dan pasar kerja melalui rekrutmen dan seleksei pekerja untuk sektor publik dan perusahaan swasta dengan kontrak pemerintah. Kedua, Meminimalisir beban pribadi perempuan atas peran domestik. Peran domestik yang dilakoni perempuan paddaros sama dengan beban perempuan lain baik itu peran reproduktif, mengurus anak, sosial dan sebagainya. Untuk meningkatkan aksebilitas perempuan Paddaros melalui empat hal pilihan kebijakan yaitu: (1) Meningkatkan hak reproduktif dan layanan dengan cara meningkatkan kendali sumberdaya dan penghasilan, dan menjamin akses layanan kesehatan reproduktif; (2) Menyediakan subsidi untuk panti penitipan
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
anak; (3) Menyediakan peraturan kehamilan untuk kepentingan perempuan, mencakup cuti bersalin, menyediakan dukungan pemerintah untuk membayar tunjangan melahirkan yang dibayar dari penerimaan pajak umum atau dinas sosial; (4) Investasi prasarana penghemat waktu, misalnya air-bersih, energi, dan transportasi terutama di pedesaan. Ketiga, menyediakan perlindungan sosial yang tepat gender. Misalnya pekerjaan umum dan program upah kerja, dalam hal ini merancang skema kesempatan kerja umum dan jarring pengaman sosial lain yang mempertimbangkan perbedaan gender dalam jenis pekerjaan yang pantas bagi perempuan dan laki-laki.
c. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Melalui Partisipatory Action Research
Paddaros
Pemberdayaan adalah suatu aktifitas refleksif, suatu proses yang mampu dinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-determination). Mosse (1996) mengemukakan bahwa pemberdayaan lebih terkait dengan pendekatan dari bawah keatas (bottom-ap) daripada pendekatan dari atas kebawah (top down). Lembaga-lembaga terkait dengan gerakan pemberdayaan mengambil tindakan berdasarkan kesadaran masyarakat. Menurut Mikkelsen (2006). hal inilah yang diterjemahkan menjadi partisipasi dan konsekuensi yang disebut dengan pendekatan dari bawah keatas (bottom up approach). Mikkelsen (65) menyebutkan bahwa secara garis besar ada 2 pendekatan dalam hal partisipasi, yaitu: (1) partisipasi datang dari masyarakat sendiri, merupakan tujuan dalam proses demokrasi. Namun demikian sedikit saja masyarakat yang mau melakukan pendekatan partisipasi secara sukarela dalam kegiatan pembangunan; (2) partisipasi dengan motivasi positif yang bersifat memaksa. Dengan pendekatan ini masyarakat dipaksa untuk melakukan partisipasi dalam pembangunan dengan motivasi agar dapat melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan secara lebih baik. Selanjutnya disebutkan bahwa
319
320
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
partisipasi dapat dilaksanakan dengan tingkat paksaan dan sukarela yang berbeda-beda, serta tingkat keaktifan masyarakat yang berbedabeda pula. Namun demikian, guna mencapai keberhasilan pembangunan, partisipasi aktif dan sukarela merupakan hal ideal yang harus diupayakan. Dari hasil beberapa kali penelusuran awal peneliti melalui indept interview dan observasi dengan Komunitas Perempuan Paddaros di Pinrang, dapat disimpulkan beberapa keinginan dan harapan mereka sebagai berikut: 1. Peningkatan Mutu Perempuan Paddaros Selama ini pengetahuan dan keterampilan (skill) yang dimiliki para Perempuan Paddaros memang sangat sederhana. Oleh karena itu dengan adanya proses pendampingan dari pemerintah atau pihak yang melakukan program pemberdayaan, mereka sangat mengharapkan ada keterampilan lain lewat pendidikan di sekitar komunitas mereka tanpa harus mengeluarkan biaya banyak, dan dapat membentuk kelompok secara bersama-sama untuk meningkatkan taraf hidup mereka yang tidak mencukupi, sehingga dapat membiayai keluarga dan biaya sekolah anak-anak mereka. Berdasarkan beberapa keinginan mereka tersebut, maka pada tahap awal yang harus difokuskan adalah aksi pada upaya penguatan kesadaran akan pentingnya kolektifitas usaha dan penguatan ekonomi melalui berbagai keterampilan yang dibutuhkan. 2. Perubahan Pola Pikir Upah yang mereka dapatkan dari pekerjaan Paddaros kadang-kadang dihabiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, sehingga mereka mengharapkan adanya perubahan pola pikir yang terbentuk dari prilaku mereka dan peningkatan pendapatan mereka. Dalam sepanjang proses pemberdayaan, diharapkan pula muncul banyak ide yang merupakan local genius atau local wisdom dari diri mereka. Keterlibatan mereka secara langsung dalam proses perubahan kondisi kehidupannya, akan menambah pengetahuan dan pengalamannya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
3. Pemberdayaan Ekonomi Komunitas Meningkat Pemberdayaan (empowerment) mempunyai makna dasar ‘pemberdayaan’, di mana ‘daya’ bermakna kekuatan (power). Pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat marginal dan miskin. Cara untuk memberdayakan mereka adalah dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yaitu dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh. Salah satu usaha yang ditempuh dalam pemberdayaan perempuan Paddaros dengan memfokuskan pemberdayaan ekonomi pada pengembangan kegiatan simpan pinjam dan lembaga keuangan mikro (LKM) dan pengembangan usaha kecil mikro (UKM). Kedua fokus ini saling terkait dan mendukung satu sama lainnya. Pertama, Simpan pinjam merupakan kegiatan pintu masuk yang dipilih dalam pemberdayaan perempuan Paddaros. Oleh karean itu, semua kelompok perempuan Paddaros yang dibentuk, dimotivasi untuk memulai kegiatan dengan simpan pinjam dengan menerapkan sistem koperasi. Agar mereka dapat mengelola simpan pinjam dengan baik, maka diberikan berbagai pelatihan baik berupa pelatihan dalam kelas maupun pendampingan rutin terkait. Ada tiga macam pelatihan dalam kelas untuk pengelola kegiatan simpan pinjam yaitu pelatihan managemen kelompok, pembukuan dan kepemimpinan. Kedua, Pemberdayaan ekonomi melalui pengembangan usaha kecil mikro bagi kelompok perempuan Paddaros dilakukan dengan berbagai cara termasuk pendampingan dan pelatihan usaha. Ada empat jenis pelatihan terkait dengan pengembangan UKM yaitu pelatihan wirausaha, management usaha, keterampilan tekhnis usaha, dan konsultasi usaha. Kedua model pemberdayaan tersebut di atas dapat dijadikan sebagai modal keterampilan bagi perempuan Paddaros, dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat dan peluang usahanya. Sehingga mereka memiliki alternatif pekerjaan pada musim panen padi terhenti.
321
322
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
D. Simpulan Kebijakan negara dalam pengarusutamaan jender dalam pembangunan tidak akan mencapai hasil yang maksimal, jika tidak dijabarkan dalam strategi implementasi kebijakan yang tertuang dalam program-program strategis yang memerlukan pemikiran yang sinergis dari berbagai pihak. Untuk kebijakan pengarusutamaan gender, Pertama, untuk memberdayakan dan mengangkat keterpurukan ekonomi yang dialami para perempuan yang berprofesi sebagai Paddaros melaluipelatihan yang responsif gender dan akses yang sama bagi laki-laki dan perempuan terhadap teknologi pertanian dan pendidikan terutama dalam teknik memanen padi atau bertani. Kedua, Akses terhadap kesetaraan dalam organisasi ekonomi dan sosial. Perempuan yang berprofesi sebagai Paddaros juga harus diberi kesempatan untuk dapat ikut dalam kelompok-kelompok ekonomi dan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan potensi ekonomi dan sosial rumah tangga perempuan Paddaros, misalnya koperasi atau kelompok Paddaros. Melalui kelompokkelompok sosial tersebut relasi antar Paddaros juga dipelihara dan memungkinkan peningkatan kerjasama untuk bidang ekonomi dan sosial serta meningkatkan aktifitas Paddaros. Ketiga, akses terhadap kredit untuk usaha. Dalam bidang ekonomi, berdasarkan berbagai hasil penelitian menunjukkan kecenderungan bahwa perempuan memiliki kesanggupan yang lebih dalam membuka usaha dalam skala mikro sampai menengah dan mendapatkan penghasilan dari usahanya tersebut. Umumnya perempuan Paddaros ingin memperoleh pinjaman uang dalam waktu segera karena biasanya akan segera digunakan, dalam arti jika mereka tidak segera medapat kredit itu dan tidak dapat berusaha mungkin kesejahteraan keluarganya akan terancam. Maka pilihan kredit mikro adalah salah satu solusi dalam mengankat mereka dari keterpurukan ekonomi.
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN “PADDAROS” _ (Mardia)
SUMBER RUJUKAN Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Kebudayaan.
Ahmad, Abd. Kadir. “Disertasi” Ulama Bugis dalam Dinamika Sosial di Sulawesi Selatan (Suatu Analisi Antropologi Agama). Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2005. Bogdan, R.C. and Biklen, K.. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.Inc.,1982. Djunaedi, Wawan dan Iklilah Muzayyanah. Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah. Jakarta: LP3M STAINU kerjasama European Union, 2008. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Fauziah, Amalia. Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta: Baseline dan Institusional Pengarusutamaan Gender pada UNI Syarif Hidayatullah Tahun 1999-2003. Jakarta: Mc Gill-IAIN, 2004. Handayani, Trisakti dan Sugiarti diedit oleh Surya Dharma. Konsep Penelitian Gender. Malang: UMM, 2002. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pinrang. Akses data tgl 19 Oktober 2010. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, Pembangunan Berperspektif Gender (Engendering Development): Melalui Perspektif Gender dalam Hak, Sumberdaya, dan Aspirasi. Jakarta: Dian Rakyat, 2005. Lincoln, Yvonna S. dan Egon G. Guba. Naturalistic Inquiry. London: Sage Publications, 1984. Mikkelsen, Britha. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006.
323
324
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Miles, M.B. dan Huberman, A.M. Qualitative data Analysis: A Source Book of New Methods. Newbury Park: Sage Publications, 1992. Moore, Henrietta L. Feminism and Antropology, diterjemahkan oleh Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP UI dengan judul Feminisme danAntropologi. Jakarta: Penerbit Obor, 1998. Moore, Henrietta L. Feminism and Antropology. Minnepolis: University of Minnesota Press,1988. Moser, Caroline O.N. Gender Planning and Development Theory, Practice and training. London: Routledge, 1993. Noerdin, Edriana. Politik Identitas Perempuan Aceh, Jakarta: Women Research Institut, 2005. Pelras, Christian. The Bugis. Oxford, Blackwell Publishers, 1996. Robertz, Elizabeth. Woman and Families An Oral History 19401970. USA: Cambridge, 1995. Rogers, Barbara. The Domestication of Woman: Descrimination in Development Societies. London: Tavistock Publications, 1980. Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991. Soekito, Sri Widoyatiwiratmo. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. LP3ES, Jakarta, 1989. Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya, 2007. Sumodiningrat, Gunawan. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Swara Rahima, Permpuan Bekerja, Dilema tak Berkunjung http:// www.contohskripsitesis.com/backupartikel/gender_1.htm.. Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: 1998. Tong, Rosemarie Putnam. Feminst Thought: Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.