4
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Dasar utama kebijakan ketahanan pangan di Indonesia adalah Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan dalam undang-undang tersebut didefinisikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Sastraatmadja 2006). Sedangkan batasan yang dipakai oleh The World Food Summit (1996) pada saat mencetuskan FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems) adalah ketahanan pangan merupakan suatu kondisi dimana semua orang, setiap waktu, mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi pada bahan pangan yang aman dan bergizi sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh sesuai dengan kepercayaannya sehingga bisa hidup secara aktif dan sehat. Upaya pemantapan ketahanan pangan, sesuai amanat Undang-undang Nomor
7
Tahun
1996
tentang
Pangan,
bertujuan
untuk
mewujudkan
ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu (Suryana 2003). Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 (Badan Ketahanan Pangan 2002) tentang ketahanan pangan dalam penjelasannya tertuliskan bahwa upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia sebagai negara agraris dan maritim dengan sumberdaya alam dan sosial budaya yang beragam, harus dipandang sebagai karunia Ilahi untuk mewujudkan ketahanan pangan. Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragamanan antar daerah dan harus dihindari sejauh mungkin ketergantungan pada pemasukan pangan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah
Pusat,
Pemerintah
Desa
Pemerintah dan
Propinsi,
masyarakat
untuk
Pemerintah meningkatkan
Kabupaten/Kota, strategi
demi
mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pengertian ketahanan pangan pada International Food Submit dan International Conference of Nutrition 1992 (FAO 1997) diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk
5
hidup sehat, aktif, dan produktif. Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif, dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan). Mengingat
kompleksnya
pembangunan
ketahanan
pangan
yang
melibatkan banyak pelaku dan daerah, dengan dinamika perubahan antar waktu, maka koordinasi dan sinergi yang baik merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan ketahanan pangan. Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009 (BKP 2006) dalam melaksanakan koordinasi dan sinergisme tersebut, maka pemerintah membentuk Dewan Ketahanan Pangan melalui Keppres Nomor 132 Tahun 2001 yang mengatur koordinasi, evaluasi, dan pengendalian upaya-upaya dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah mengatur peran pemerintah yang lebih bersifat sebagai inisiator, fasilitator, dan regulator, sedangkan masyarakat berperan sebagai pelaku utama pembangunan ketahanan pangan. Sejalan dengan itu, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan atau pemerintah desa sesuai kewenangannya, menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator, dan regulator atas penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing, namun tetap dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional. Berkaitan dengan itu, maka kebijakan ketahanan pangan nasional menjadi payung kebijakan ketahanan pangan daerah. Sedangkan kebijakan ketahanan pangan daerah menjadi komponen utama dalam kebijakan pangan nasional. Kebijakan ketahanan pangan nasional harus menjamin sinergisme kebijakan antar daerah, sehingga tidak ada kebijakan suatu daerah yang merugikan daerah lain. Untuk itu pemerintah memberikan pedoman, norma, standar, dan kriteria yang harus ditaati pemerintah daerah, melakukan pemantauan dan pengendalian untuk menjaga sinergi pembangunan antar daerah dan mengarahkan proses pembangunan pada tujuan bersama, yaitu mewujudkan ketahanan pangan nasional (DKP 2006). Indikator Ketahanan Pangan Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting yang dapat digunakan sebagai indikator ketahanan pangan, yaitu: (1) Ketersediaan, yang artinya bahwa
6
pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman; (2) Distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga; dan (3) Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya (DKP 2006). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem ketahanan pangan di atas. Ketersediaan Pangan Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu (Suryana 2001). Syarief (1992) menyatakan bahwa ketersediaan pangan (food availability) di suatu daerah atau negara ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan, dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk terhadap pangan. Jika keadaan ini tercapai maka keterjaminan pangan (food security) akan berada pada tingkat yang aman. Peningkatan jumlah penduduk, disamping mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan pangan, menyebabkan adanya perubahan ekosistem pertanian. Lahan yang biasanya digunakan untuk memproduksi pangan dapat berubah fungsi menjadi pemukiman, tapak industri, prasarana transportasi atau prasarana lain. Pergeseran fungsi lahan ini dapat menyebabkan penurunan produksi pangan apabila tidak diikuti dengan terobosan teknologi budaya dan kelembagaan. Penurunan produksi pada gilirannya dapat mengancam kelestarian swasembada pangan. Akan tetapi, menurut pandangan Amiruddin (2004) bahwa ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin hal yang sama di tingkat rumah tangga, karena tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Menurut Gsianturi (2003), penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik secara kuantitas maupun kualitas, merupakan fondasi yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia suatu
7
bangsa. Kekurangan pangan berpotensi memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi. Besarnya persediaan pangan suatu daerah, baik yang berasal dari produksi domestik maupun impor, adalah satu ukuran yang mencerminkan cukup tidaknya suplai pangan di daerah yang bersangkutan. Salah satu alat yang lazim digunakan untuk menilai tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah, baik negara, provinsi atau kabupaten, dalam kurun waktu tertentu adalah Neraca Bahan Makanan (NBM) yang dalam bahasa asing disebut Food Balance Sheet. Distribusi Pangan Suryana
(2001)
menyatakan
bahwa
subsistem
distribusi
pangan
mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik secara fisik maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-mata mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan,
tetapi
juga
menyangkut
keterjangkauan
ekonomi
yang
dicerminkan oleh harga dan daya beli masyarakat. Meskipun ketersediaan pangan secara mikro/nasional maupun per kapita mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang nyata secara sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu. Konsumsi Pangan Subsistem konsumsi menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai kemampuan atas pangan, gizi, dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas, dan produktif (Suryana 2001) Konsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Volume dan kualitas konsumsi pangan dan gizi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan, dan budaya masyarakat. Permasalahan dan tantangan yang perlu diantisipasi dan diatasi dalam mewujudkan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang adalah : (i) besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan rendah; (ii) rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi; (iii) masih dominannya
8
konsumsi sumber energi karbohidrat yang berasal dari beras; (iv) rendahnya kesadaran dan penerapan sistem sanitasi dan higienis rumah tangga; dan (v) rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan (DKP 2006). Keragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi seimbang. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh
seluruh
wilayah,
masih
dapat
dikembangkan
untuk
memenuhi
keanekaragaman pangan masyarakat pada wilayah yang bersangkutan. Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dapat memberikan peluang bagi percepatan proses peningkatan kesadaran gizi, yang diharapkan dapat mengubah perilaku konsumsinya, sehingga mancapai status gizi yang baik. Disamping itu, perkembangan teknologi informatika serta strategi komunikasi publik dapat menyediakan peluang yang tinggi untuk mempercepat proses, serta memperluas jangkauan upaya pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran gizi masyarakat. Sementara itu, terdapat berbagai institusi (infrastruktur sosial) di tingkat lokal (kecamatan atau bahkan desa), yang dapat menjadi mitra kerja pemerintah maupun lembaga non-pemerintah dalam perbaikan konsumsi pangan dan status gizi. Beberapa contoh institusi lokal tersebut adalah tersedianya posyandu, kantor cabang dinas, balai penyuluhan dan para penyuluh dari berbagai bidang, kelembagaan masyarakat seperti organisasi ibu-ibu PKK, majlis ta’lim, dan sebagainya. Institusi ini dapat berperan aktif dalam mendeteksi masalah, serta memfasilitasi upaya-upaya peningkatan kualitas konsumsi dan perbaikan gizi (DKP 2006). Program-program
pengembangan
masyarakat,
dalam
pengentasan
kemiskinan, yang mencakup kapasitas masyarakat untuk bekerja sama, peningkatan keterampilan usaha dan peningkatan akses sumberdaya produktif, telah dilaksanakan oleh berbagai kementrian lingkup pemerintahan maupun berbagai
organisasi
meningkatkan
non
kemampuan
pemerintah. ekonomi
Program
keluarga
ini
diharapkan
mampu
pada
masyarakat
miskin.
Keberhasilan program tersebut memberikan peluang cukup tinggi bagi keluarga miskin untuk meningkatkan kualitas konsumsinya, ke arah pangan yang lebih beragam dan bergizi seimbang. Peluang ini akan lebih memberikan hasil apabila disertai
dengan
proses
penyadaran
kepada
mereka
atas
pentingnya
9
mengkonsumsi pangan dan gizi yang seimbang, baik untuk kesehatan, produktivitas dan kecerdasan anak-anak generasi penerus mereka (DKP 2006). Faktor Penyebab Masalah Pangan dan Gizi Akses terhadap Pangan, Kemiskinan, dan Masalah Gizi Akses pangan bergantung pada daya beli rumah tangga, yang pada akhirnya merupakan fungsi dari akses mata pencaharian. Akses terhadap matapencaharian berarti terjaminnya penghasilan dalam jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung pada akses terhadap mata pencaharian yang tetap. Mereka yang tidak berpenghasilan tetap dan memadai akan tetap miskin. Jumlah penduduk miskin merupakan gambaran dari penduduk yang tidak memiliki akses yang produktif terhadap mata pencaharian yang memadai. Kelompok tersebut juga mempunyai akses yang relatif rendah terhadap infrastuktur dasar seperti jalan, listrik, dan sebagainya. Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula akses mereka terhadap tingkat yang memadai terhadap pangan dan semakin tinggi tingkat kerawanan pangan di daerah tersebut (Departemen Pertanian 2006). Kemiskinan dalam peta kerawanan pangan 2006 (Deptan 2006) didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebab utama kemiskinan di Indonesia adalah tata pemerintahan yang buruk, kurangnya alokasi anggaran untuk sektor-sektor utama seperti pendidikan dan kesehatan, kurangnya peluang mata pencaharian yang cukup, dan eksploitasi berlebihan dari sumber daya alam. Dengan situasi ekonomi yang ada, maka statistik relatif yang dikumpulkan mengenai kesuburan (ukuran keluarga) dan kesejahteraan, mencerminkan suatu hubungan timbal balik, dimana semakin tinggi kesuburan maka semakin rendah tingkat kesejahteraan atau semakin miskin suatu keluarga. Statistik mencerminkan bahwa keluarga yang lebih kaya memiliki angka kesuburan yang lebih rendah, lebih berpendidikan dan mempunyai angka kematian bayi yang lebih rendah. Penduduk di daerah pedesaan pada umumnya lebih miskin dan kurang berpendidikan
dibandingkan
penduduk di
daerah
perkotaan.
Kurangnya
informasi, pendidikan, dan kebiasaan/kepercayaan tradisional menghalangi orang untuk menggunakan alat kontrasepsi. Faktor-faktor tersebut, dirangkaikan dengan akses yang lebih rendah ke sumber penghasilan dan rendahnya
10
kapasitas keuangan, mengakibatkan angka kematian bayi yang lebih tinggi dan peningkatan kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006) dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010 menyebutkan bahwa dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai mempunyai peranan dan bersifat timbal balik.
Artinya,
kemiskinan
akan
menyebabkan
kurang
gizi
dan
memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan melalui tiga cara, yaitu: (1) kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik; (2) kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan, dan (3) kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Anggota rumah tangga miskin tidak dapat memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan karena asupan makanan yang masih rendah baik kuantitas maupun kualitasnya. Dengan asupan yang tidak mencukupi, anak balita keluarga miskin menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh mata pencaharian dan pendidikan yang rendah sehingga tingkat pengetahuan gizi dan pola asuh keluarga yang kurang berkualitas. Adanya hubungan kemiskinan dan kurang gizi sering diartikan bahwa upaya penanggulangan kekurangan gizi dapat diatasi apabila ekonomi meningkat dan kemiskinan dapat dikurangi. Padahal secara empirik telah dibuktikan bahwa mencegah dan menanggulangi masalah kekurangan gizi tidak harus menunggu sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Salah satunya adalah dengan memperbaiki gizi anggota rumah tangga miskin sejak dini. Semakin banyak rakyat miskin diperbaiki gizinya, akan semakin berkurang jumlah rakyat miskin. Investasi pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat, tetapi perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang (Bappenas 2006). Perencanan Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit menunjukkan bahwa kebutuhan zat gizi juga terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Oleh karena itu skor pola konsumsi pangan mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman
11
konsumsi pangan. Berdasarkan definisi ini, dikemukakan tingkat konsumsi energi pada setiap wilayah yaitu proporsi konsumsi energi aktual dengan Angka Kecukupan Energi (AKE). Dengan mengacu pada Angka Kecukupan Energi sebesar 2 200 kkal/orang/hari maka dapat diketahui sebaran komposisi dan keragaman konsumsi pangan sehingga dapat dilakukan penilaian skor mutunya dalam bentuk skor PPH. Tingkat konsumsi pangan merupakan akumulasi dari berbagai faktor mulai dari yang bersifat individual sampai dari dari lingkungan baik fisik maupun sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karakteristik beragam faktor tersebut tentunya berbeda antar wilayah. Oleh karena itu, susunan Pola Pangan Harapan antar wilayah tidak selalu dianggap sama. Informasi mengenai jenis pangan yang dikonsumsi, frekuensi konsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi suatu penduduk secara tidak langsung dapat menggambarkan status gizi penduduk. Survei konsumsi pangan adalah kegiatan survei yang dilakukan untuk mengumpulkan data pangan apa saja yang dikonsumsi suatu penduduk. Berikut ini Tabel 1 komposisi energi menurut Pola Pangan Harapan (PPH). Tabel 1 Komposisi energi, bobot, dan skor pangan dalam Pola Pangan Harapan Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah dan biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Sumber: Deptan (2001)
Energi (kkal) 1000 120 240 200 60 100 100 120 60 2000
% Energi 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100.0
Bobot 0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0
Skor Pangan 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100.0
Konsep PPH dan skor PPH diperkenalkan di Indonesia pada awal dekade 90-an, dimana konsep PPH ini digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangan dalam kebijakan pembangunan termasuk evaluasi penyediaan , konsumsi pangan , dan diversifikasi pangan. Hal ini merupakan kekuatan dari konsep PPH dan Skor PPH (Hardinsyah et al. 2001) Akan tetapi, kehadiran konsep PPH dan skor PPH tidak lepas dari kelemahan metodologis yaitu bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi
12
sesuai kondisi/pola pangan masing-masing negara dan sistem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divalidasi. Justifikasi ilmiah perlu dilakukan untuk mengadaptasi konsep ini seperti yang disarankan oleh tim FAORAPA. Hardinsyah et al. (2001) menyatakan penyempurnaan PPH dan skor PPH yaitu dengan mempertimbangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2 000 kkal/kap/hari; 2) persentase energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap AKG energi (2 200 kkal sebagai penyebut); 3) rating/bobot disempurnakan sesuai teori rating; 4) skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) peran pangan hewani, gula, serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) peran umbi-umbian ditingkatkan
sejalan
dengan
kebijakan
diversifikasi
pangan
pokok
dan
pengembangan pangan lokal; 7) peran makanan lainnya terutama bumbu dan minuman lainnya tidak dinihilkan. Penyempurnaan PPH dan skor PPH terdapat dalam Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Penyempurnaan PPH dan skor PPH FAO-RAPA
Kelompok pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain
Meneg Pangan (1994) % Min-Max % Bobot Skor 40.0 40.0 – 60.0 50.0 0.5 25.0 5.0 0.0 – 8.0 5.0 0.5 2.5 20.0 5.0 – 20.0 15.3 2.0 30.6 10.0 5.0 – 15.0 10.0 1.0 10.0
Deptan (2001) Gr/kap/hr % 50.0 6.0 12.0 10.0
Bobot 0.5 0.5 2.0 0.5
Skor 25.0 2.5 24.0 5.0
300.0 100.0 150.0 25.0
3.0
0.0 – 3.0
3.0
0.5
1.5
3.0
0.5
1.0
10.0
6.0
2.0 – 10.0
5.0
2.0
10.0
5.0
2.0
10.0
35.0
8.0 5.0 3.0 100
2.0 – 15.0 3.0 – 8.0 0.0 – 5.0
6.7 5.0 0.0 100
0.5 2.0 0.0
3.4 10.0 0.0 93.0
5.0 0.5 6.0 5.0 3.0 0.0 100.0
2.5 30.0 0.0 100.0
30.0 250.0 (25)
Sasaran pembangunan pangan selama PJP II adalah terwujudnya ketahanan
pangan
pada
tingkat
rumah
tangga,
yang
tercermin
pada
ketersediaan dan konsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi dan layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu. Ketahanan
pangan
dikembangkan
antara
lain
dengan
bertumpu
pada
keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan potensi lokal. Oleh karena itu, orientasi penyediaan pangan tidak lagi semata berorientasi pada peningkatan kuantitas, tetapi juga berorientasi pada kualitas, khususnya dinilai dari aspek komposisi/keragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta mutu
13
gizi konsumsi pangan dengan menitikberatkan pada potensi sumberdaya setempat. Hariyadi et al. (2003) menyatakan otonomi daerah perlu dimanfaatkan sebagai suatu momentum untuk membangun ketahanan pangan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu secara cermat melakukan identifikasi potensi indigenus ungulan daerah dengan memperhatikan sumberdaya potensialnya (lingkungan, teknologi, masyarakat, dan sosial budaya) ke dalam sistem dan struktur ekonomi daerahnya. Hal ini perlu secara tegas sebagai komitmen pemerintahan daerah (struktur politik dan ekonomi). Penyusunan perencanaan pangan guna mewujudkan katahanan pangan yang berbasis sumberdaya lokal di era otonomi, sangatlah penting bagi setiap daerah (provinsi dan kabupaten-kota). Salah satu acuan/pendekatan yang dapat digunakan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pendekatan ini pertama kali direkomendasikan oleh FAO Kantor Wilayah Asia-Pasifik (FAO-RAPA). Perencanaan pangan nasional dan daerah dengan pendekatan PPH dirumuskan didasarkan pada pertimbangan, aspek legal maupun substansial. Dari segi legal, beberapa produk hukum yang turut mendukung yaitu: 1) TAP MPR No IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004; 2) Undang-undang No.7 tentang pangan; 3) Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, Bab IV Pembangunan Ekonomi, Bagian C Program Pembangunan, nomor 1.4 yaitu Pengembangan Pertanian, Pangan dan Pengairan; 4) Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Sedangkan dari segi substansial perlunya perencanaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah sebagai berikut: 1) ketahanan pangan merupakan suatu sistem, yang terdiri dari tiga subsistem yang saling berinteraksi dan harmoni, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan susistem konsumsi. Pembangunan subsistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. 2) untuk memperbaiki konsumsi pangan masyarakat harus ditunjang oleh produksi dan penyediaan pangan yang mampu memenuhi syarat tersebut (Hardinsyah et al. 2001) Menurut Hardinyah et al. perencanaan
penyediaan
pangan
(2001), dikenal tiga macam pendekatan dalam
pembangunan
pangan
yakni
1) pendekatan kecenderungan (trend) konsumsi dan permintaan; 2) pendekatan kecenderungan produksi; dan 3) pendekatan gizi seimbang dan permintaan
14
(PPH). Sejak tahun 1988, FAO-RAPA merekomendasikan pendekatan yang diharapkan dapat membantu para perencana yang berkecimpung baik dalam bidang produksi maupun konsumsi pangan (FAO-RAPA, 1989). Pendekatan ini dikenal dengan Desirable Dietary Pattern (DDP) atau Pola Pangan Harapan (PPH). Status Gizi Status gizi merupakan muara akhir dari semua subsistem dalam sistem ketahanan pangan. Dengan kata lain status gizi merupakan salah satu indikator yang mencerminkan baik buruknya ketahanan pangan. Terdapat beberapa tolak ukur untuk menilai status gizi, antara lain berat badan dan tinggi badan menurut umur serta prevalensi gangguan pertumbuhan (DKP 2006) Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tertentu (kehamilan dan menyusui). Angka agregasi rata-rata nasional angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein, yaitu 2 000 kkal dan 52 g/kap/hr. Sebagai salah satu basis untuk perencanaan ketersediaan pangan, maka AKE dan AKP tingkat konsumsi dikali faktor 1,1 atau ditambah 10 % sehingga menjadi 2 200 kkal dan 57 g protein/kap/hari pada tingkat penyediaan (Suryana 2004) Penilaian
pertumbuhan,
kesehatan,
atau
penyakit
dengan
cara
antropometri merupakan praktek yang sudah lama dikerjakan. Metode yang sudah lama dikerjakan adalah pemeriksaan umum (general inspection), terutama penilaian subjektif tentang kekurusan atau kegemukan; pengukuran tunggal (single measurement), sebagai contoh, tinggi badan digunakan dalam seleksi anggota militer; atau pengukuran seri (serial measurement), dalam hal ini, menggunakan berat badan untuk memonitor pertumbuhan anak. Pengukuran antropometri difokuskan pada pengukuran berbagai dimensi, proporsi, dan berbagai aspek komposisi tubuh manusia pada berbagai umur dan derajat gizi yang berbeda (Jelliffe, et. al., 1989). Gibson (1990) menyederhanakan dimensi pengukuran antropometri menjadi dua dimensi, yaitu pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pada dimensi pertumbuhan, Jelliffe, et. al., (1989) memisahkan antara komponen pertumbuhan linear (tinggi badan) dan pertumbuhan ponderal atau massa tubuh (berat badan). Menggunakan model dua komponen, lemak tubuh (fat mass) dan bukan lemak (fat-free mass).
15
Pengukuran antropometri yang sering dilakukan di lapangan, yaitu: (1) Berat Badan (BB) untuk mengetahui massa tubuh, (2) Panjang atau Tinggi badan (PB atau TB) untuk mengetahui dimensi linear, dan (3) Tebal lipatan kulit (skinfold thickness) dan Lingkar Atas (LILA) untuk mengetahui komposisi tubuh, serta cadangan energi dan protein. Indikator antropometri tersebut banyak bergantung dengan umur, dan ini merupakan faktor kesulitan utama, terutama pada masyarakat pedesaan atau di negara-negara berkembang yang biasanya sulit untuk mendapatkan data umur anak secara tepat. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat yang jarang mencatat tanggal peristiwa kelahiran anak, kecuali pada masyarakat perkotaan yang sudah sadar akan pentingnya data pencatatan kelahiran. Secara umum, pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa keuntungan (kelebihan) dan kekurangan. Beberapa keuntungan pengukuran secara antropometri (Gibson, 1990) yaitu: (1) Cara penggunaannya sederhana dan aman, (2) Peralatan tidak mahal, portable, tahan lama, dan mudah di dapat, (3) Di ambil petugas yang relatif tidak ahli, (4) Dapat diperoleh informasi tentang riwayat gizi masa lampau, (5) Dapat mengidentifikasi keadaan gizi ringan, sedang, dan buruk, (6) Untuk pemantauan status gizi dari waktu ke waktu, (7) digunakan untuk melakukan screening test. Beberapa kekurangan (kelemahan) pengukuran antropometri (Gibson, 1990) yaitu: (1) relatif kurang sensitive, (2) tidak dapat mendeteksi gangguan status gizi, (3) tidak dapat membedakan gangguan pertumbuhan atau komposisi tubuh yang disebabkan oleh defisiensi zat gizi tertentu, (4) faktor-faktor non gizi dapat mengurangi spesifitas dan sensitivitas pengukuran antropometri, tetapi efek ini dapat dihilangkan atau dipertimbangkan melalui desain percobaan dan sampling yang lebih baik.