4
TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang telah dijinakkan sejak ribuan tahun yang lalu sebagai hewan gembala dataran rendah. Hal ini didasarkan pada penemuan tulang-belulang hewan domba di sekitar pemukiman manusia pada zaman dahulu menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988). Klasifikasi domba dalam Herren (2000) adalah sebagai berikut (Gambar 1):
kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
kelas
: Mamalia
ordo
: Artiodactyla
famili
: Bovidae
genus
: Ovis
spesies
: aries Gambar 1 Domba lokal (Ovis aries). (sumber: foto hasil penelitian)
Domba merupakan hewan gembala dataran rendah, sehingga memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok besar. Domba juga memiliki perilaku yang cenderung mengabaikan atau menjauhi manusia. Tingkah laku ini penting untuk diketahui dalam pemeliharaan domba di laboratorium, karena domba akan mengalami stres jika dipelihara terpisah dari domba lain (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Domba dipelihara untuk dimanfaatkan wol dan dagingnya (Hafes 2000). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), domba juga dapat dimanfaatkan sebagai hewan percobaan di laboratorium. Hal ini karena pemeliharaan domba tidak terlalu mahal, persyaratan kandang sederhana dan persyaratan pakan tidak sulit. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), dalam aplikasi penelitian, domba biasanya digunakan sebagai sumber sel darah merah untuk memproduksi antibodi dan dapat diperoleh serum dalam jumlah yang besar. Domba dapat pula
5
digunakan dalam percobaan dasar seperti percobaan fisiologi, farmakologi, endokrinologi, biokimia, percobaan bedah eksperimental dan penelitian anestesi. Ukuran tubuh domba yang besar dan memiliki bobot tubuh yang menyerupai manusia, sangat cocok dan sesuai bila digunakan dalam aplikasi penelitian sebagai hewan model untuk manusia (Wolfensohn & Lloyd 2000). Menurut Pearce et al. (2007), domba memiliki kelebihan dibandingkan dengan anjing. Secara makrostruktur tulang, domba dewasa memiliki dimensi tulang panjang yang serupa dengan manusia bila dibandingkan dengan anjing. Oleh karena itu domba sangat cocok dan sesuai bila digunakan sebagai hewan model dalam percobaan implantasi material tulang untuk tujuan aplikasi pada manusia.
Darah Darah diklasifikasikan sebagai jaringan konektif. Jaringan ini berupa cairan yang mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh pada sistem kardiovaskular (Colville & Bassert 2008). Total volume darah pada ruminansia berkisar antara 6 - 7% dari bobot badan. Total volume darah pada hewan muda yang sedang tumbuh dapat melebihi 10% dari total bobot badan (Meyer & Harvey 2004). Darah dibagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan (sel). Bagian cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air. Bagian padatan mengandung sekitar 30-45% dari total kandungan (Lawhead & Baker 2005), yang terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan platelet (trombosit) (Gambar 2). Menurut Colville dan Bassert (2008), darah memiliki tiga fungsi utama dalam tubuh, diantaranya adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan tubuh. Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam membawa oksigen, karbondioksida, zat nutrisi, hasil sisa metabolisme dan hormon. Peranannya sebagai sistem regulasi adalah menjaga homeostasis dan suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh berperan dalam melawan benda asing. Proses pembentukan darah secara umum disebut hematopoiesis. Sel darah ini tidak abadi di dalam tubuh, suatu ketika akan mengalami kerusakan dan
6
kematian, sehingga harus digantikan dan diproduksi secara teratur. Oleh karena itu hematopoiesis merupakan suatu proses yang berkelanjutan (Colville & Bassert 2008). Colville dan Bassert (2008) mengatakan bahwa hematopoiesis pada fetus terjadi di hati dan limpa, dan secara bertahap akan diproduksi di dalam sumsum tulang. Sel darah diproduksi secara aktif di dalam sumsum tulang pada hewan yang baru lahir. Sumsum tulang merah pada hewan dewasa ditemukan di tulang panjang (tulang panggul, sternum dan iga) (Gambar 2).
Sumsum tulang
Gambar 2 Lokasi pembentukan darah (sumsum tulang panjang) dan komponen sel darah putih (Colville & Bassert 2008).
Sel Darah Putih (Leukosit) Sel darah putih disebut juga leukosit. Sel ini dikategorikan sebagai granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranulosit (limfosit dan monosit). Sel granulosit dikarakteristikkan dengan segmentasi atau lobulasi, memiliki nukleus dan bergranul. Sedangkan agranulosit berupa sel mononuklear dan tidak bergranul (McCurnin & Bassert 2006). Pembentukan sel darah putih disebut leukopoiesis. Proses pembentukan ini terjadi di sumsum tulang (Meyer & Harvey 2004) dan di jaringan limfe. Sel granulosit dan monosit dibentuk di sumsum tulang, sedangkan sel limfosit sebagian dibentuk di jaringan limfe (Guyton & Hall 2006). Saat awal proses leukopoiesis, seluruh sel darah putih yang belum matang terlihat serupa, namun
7
saat perkembangannya memperlihatkan karakter yang unik (Colville & Bassert 2008). Setelah selesai dibentuk, sel-sel ini akan diangkut dalam darah menuju ke berbagai bagian tubuh yang membutuhkan (Guyton & Hall 2006). Fungsi utama sel darah putih adalah mempertahankan tubuh dari benda asing. Setiap tipe sel darah putih memiliki peran unik dalam sistem pertahanan tersebut. Saat terjadi serangan benda asing, sel darah putih akan menuju jaringan. Sel ini memanfaatkan darah perifer untuk mengantarkannya dari sumsum tulang menuju ke lokasi (jaringan yang membutuhkan). Aliran sel darah putih secara tetap berasal dari sumsum tulang dan masuk menuju jaringan sebagai usaha untuk mengontrol serangan benda asing dalam tubuh setiap saat (Colville & Bassert 2008). Menurut Lawhead dan Baker (2005), jumlah total dan tipe sel darah putih dalam pemeriksaan hematologi dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa keadaan atau status infeksi pada hewan. Jumlah total sel darah putih lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah sel darah merah dan jumlah platelet. Jumlah total sel darah putih berkisar antara (5 – 20) x 103 /µL pada mamalia (Meyer & Harvey 2004).
Limfosit Limfosit biasanya berukuran kecil sampai sedang, merupakan sel mononuklear dengan lingkaran tipis terang sampai gelap (McCurnin & Bassert 2006), sitoplasma berwarna jernih dan tidak bergranul (Gambar 3).
16 µm Gambar 3 Sel limfosit dalam preparat ulas darah. (sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)
8
Limfosit diproduksi di berbagai jaringan limfoid, khususnya di kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil dan sebagian sumsum tulang (Guyton & Hall 2006). Limfosit memiliki nukleus tunggal yang penting dalam fungsi kekebalan. Limfosit memproduksi antibodi untuk membantu dalam melawan penyakit. Limfosit dapat ditemukan di semua jaringan dan organ dalam melawan infeksi (Lawhead & Baker 2005). Limfosit memiliki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran limfe dari limfonodus dan jaringan limfoid lain. Setelah beberapa jam limfosit keluar dari aliran darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis. Selanjutnya memasuki pembuluh limfe dan kembali ke dalam sirkulasi darah, demikian seterusnya, sehingga terjadi sirkulasi limfosit yang terus-menerus di seluruh tubuh. Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu atau berbulanbulan. Masa hidup ini bergantung pada kebutuhan tubuh terhadap sel-sel tersebut (Guyton & Hall 2006). Limfosit bersirkulasi secara berulang dari darah menuju jaringan, limfe dan kembali ke dalam sirkulasi darah. Populasi limfosit terdiri atas sel T dan sel B. Masa hidup sel bervariasi, tergantung pada klasifikasinya. Sel T secara umum memiliki masa hidup yang panjang (100-200 hari), sedangkan sel B memiliki masa hidup yang pendek (2-4 hari). Menurut Reece (2006), sel T dan sel B memori memiliki masa hidup yang sangat panjang (dalam hitungan tahun).
Monosit Monosit memiliki warna biru abu-abu, bersitoplasma dan bentuk nukleus bervariasi. Nukleus dapat bergerombol, berbentuk oval, amuboid, atau lobulasi (Gambar 4). Ukuran monosit biasanya lebih besar dibandingkan dengan limfosit dan neutrofil, yaitu 14–20 µm (Brown 1980). Sitoplasma monosit biasanya lebih gelap dibandingkan dengan neutrofil band (McCurnin & Bassert 2006). Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang dan bersirkulasi dalam darah dengan singkat sebelum memasuki jaringan dan berubah menjadi makrofag (McCurnin & Bassert 2006). Monosit bersirkulasi di dalam darah dan memiliki masa hidup yang singkat, yaitu berkisar antara 10–20 jam sebelum menuju ke dalam jaringan (Guyton & Hall 2006). Makrofag dapat berada di dalam jaringan
9
untuk beberapa bulan (Reece 2006) atau bahkan bertahun-tahun sampai sel ini terpanggil untuk melakukan fungsi pertahanan lokal spesifik (Guyton & Hall 2006).
20 µm
Gambar 4 Sel monosit dalam preparat ulas darah. (Anonima Agustus 2010) Monosit memiliki aktivitas dalam fagositosis mikroba, yaitu dengan menghilangkan mikroorganisme, mematikan sel atau partikel asing (Lawhead & Baker 2005). Makrofag memfagosit (memakan) partikel besar dan sel debris sisa hasil aktivitas neutrofil (McCurnin & Bassert 2006). Monosit dapat menghancurkan bakteri, virus, partikel asing dan sel debris yang menyerbu masuk ke dalam tubuh. Monosit mempunyai kemampuan hebat untuk memberantas agen-agen penyakit di dalam jaringan. Sel ini mampu memfagosit bakteri sampai 100 bakteri dan mempunyai kemampuan untuk menelan partikel yang ukurannya jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya (Guyton & Hall 2006).
Neutrofil Neutrofil memiliki nukleus (inti sel) yang terlihat segmentasi atau terbagi (Lawhead & Baker 2005) dan warna kromatin yang padat (Underwood 1992) (Gambar 5A). Tipe ini merupakan neutrofil yang telah matang. Neutrofil yang belum matang biasa disebut neutrofil band. Sel ini memiliki nukleus yang berbentuk seperti huruf U (Lawhead & Baker 2005) (Gambar 5B). Sitoplasma berwarna pink dan mengandung granul (Underwood 1992). Tingginya persentase
10
sel band dalam darah menggambarkan aktivitas sel dalam melawan agen infeksi (Lawhead & Baker 2005).
A
B
15 µm
15 µm
Gambar 5 Sel neutrofil dalam preparat ulas darah. A) sel neutrofil segmen; B) sel neutrofil band. (sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x) Neutrofil memiliki kemampuan fagositik dan bakterisidal yang sangat berperan dalam kondisi inflamasi (McCurnin & Bassert 2006). Peran neutrofil yaitu
dengan
fagositosis
(memakan
dalam
bentuk
endositosis)
dan
menghancurkan mikroorganisme. Jika tubuh mengalami infeksi, neutrofil akan berpindah menuju jaringan yang terinfeksi. Sumsum tulang akan melepaskan neutrofil band dalam jumlah besar sebagai cadangan dalam waktu beberapa jam. Sumsum tulang akan mulai meningkatkan produksi neutrofil. Produksi neutrofil yang tinggi memerlukan waktu tiga sampai empat hari sebelum ditransfer menuju pembuluh darah. Sumsum tulang akan melepaskan sedikit neutrofil dewasa kedalam darah (Lawhead & Baker 2005). Neutrofil berada di dalam darah sekitar 10 jam dan jumlah neutrofil bergantung pada banyaknya stimulus yang terjadi (McCurnin & Bassert 2006).
Eosinofil Eosinofil dikarakteristikkan oleh nukleus segmentasi atau lobulasi, tidak berwarna, dengan sitoplasma biru pucat (McCurnin & Bassert 2006). Eosinofil memiliki granul besar dan berwarna merah, inti sel berlobus, biasanya terdapat 2-
11
3 lobus (Underwood 1992) (Gambar 6). Eosinofil terlihat serupa dengan neutrofil yang juga memiliki nukleus segmented. Eosinofil juga memiliki ukuran yang besar dan granul-granul pada sitoplasmanya. Eosinofil berperan dalam melawan parasit dan juga reaksi alergi. Granul-granul yang terdapat dalam eosinofil membantu mengontrol peradangan/inflamasi (Lawhead & Baker 2005). McCurnin & Bassert (2006) memaparkan bahwa eosinofil membantu dalam mengontrol alergi atau reaksi hipersensitivitas anafilaksis. Eosinofil menuju lokasi reaksi akibat pelepasan suatu substansi dari sensitisasi sel mast.
15 µm
Gambar 6 Sel eosinofil dalam preparat ulas darah. (sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x) Eosinofil berperan dalam merespon adanya reaksi alergi dan pertahanan terhadap infeksi agen parasit (Underwood 1992) dan mengurangi inflamasi (Bush 1991). Eosinofil diproduksi dalam jumlah besar saat terjadi infeksi parasit. Eosinofil bekerja dengan melekatkan diri pada parasit melalui permukaan molekul dan melepaskan zat-zat yang dapat membunuh parasit. Eosinofil akan bermigrasi ke daerah jaringan alergik yang meradang akibat pelepasan faktor kemotaktik yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang berperan dalam reaksi alergi. Eosinofil diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat pencetus peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil, memfagositosis dan menghancurkan kompleks alergen antibodi, sehingga mencegah penyebaran proses peradangan setempat (Guyton & Hall 2006).
Basofil
12
Basofil berwarna gelap dengan granul dan nukleus yang segmented (lobulasi) (Lawhead & Baker 2005). Basofil memiliki granul basofilik gelap (biru), tetapi juga sangat bervariasi pada tiap spesies (McCurnin & Bassert 2006) (Gambar 7). Basofil serupa dengan eosinofil, keduanya termasuk sel yang merespon terhadap reaksi alergi. Beberapa granul dalam basofil mengandung histamin. Histamin menyebabkan peradangan pada lapisan saluran hidung dan sistem pernafasan. Peradangan akan menimbulkan gejala bersin, hidung berair, bahkan dapat menyebabkan demam (Lawhead & Baker 2005). Basofil relatif jarang ditemukan dalam preparat ulas darah (McCurnin & Bassert 2006).
15 µm
Gambar 7 Sel basofil dalam preparat ulas darah. (Anonimb Agustus 2010). Peradangan dan Persembuhan Luka Cedera yang dialami oleh suatu jaringan dapat menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel akan melepaskan mediator yang menghasilkan akumulasi sel polimorfik (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan makrofag, serta faktor humoral seperti antibodi menuju lokasi kerusakan. Proses ini disebut inflamasi yang merupakan proses dalam persembuhan (Wolfensohn & Lloyd 2000). Inflamasi merupakan respon pertahanan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau menahan agen pencedera maupun jaringan yang cedera (Dorland 2002). Wolfensohn dan Lloyd (2000) mengatakan bahwa proses inflamasi dapat menunjukkan berbagai gambaran klinis sebagai tanda utama inflamasi, yang meliputi: 1. Panas (kalor), lokasi tersebut akan panas saat disentuh,
13
2. Kemerahan (rubor), kemerahan terjadi akibat dilatasi pembuluh darah, 3. Pembengkakan (tumor), infiltrasi sel dan cairan menyebabkan area tersebut membengkak, 4. Sakit (dolor), stimuli mediator inflamasi pada syaraf menyebabkan sakit. Beberapa analgesik bekerja dengan memblok pelepasan mediator inflamasi, 5. Functio laesa (kehilangan fungsi). Setelah kerusakan sel, terjadi perubahan pada jaringan yang merupakan hasil dari inflamasi dan persembuhan. Rangkaian kejadian tersebut terdiri atas beberapa fase, diantaranya yaitu: Fase Inflamasi 1) Hemoragi, perdarahan terjadi akibat kerusakan pembuluh darah dan kemudian ditahan oleh platelet dan fibrin sehingga membentuk keropeng (Wolfensohn & Lloyd 2000). McGavin dan Zachary (2007) memaparkan bahwa hemostasis terjadi dengan segera setelah terjadi perlukaan (Gambar 8) kecuali terdapat kelainan pada proses pembekuan darah. Hemostasis dikontrol melalui vasoplasma, yang merupakan proses pengkerutan pembuluh darah dalam merespon perlukaan. Selama awal periode vasokonstriksi, platelet berkumpul dan melekat pada kolagen, terutama kolagen yang terdapat di dasar membran sel epitel yang cedera. Sewaktu melekat, platelet mensekresikan bahan vasokonstriktif untuk: 1) mempertahankan konstriksi pembuluh darah, 2) menginisiasi proses trombogenesis untuk menyumbat kebocoran, dan 3) menginisiasi perbaikan pembuluh darah (angiogenesis). Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya akumulasi darah yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler yang disertai kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstitial, dan migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan (Gambar 8A), sehingga terjadi pembengkakan sel jaringan (Guyton & Hall 2006). 2) Inflamasi, menurut McGavin dan Zachary (2007), terjadi selama 24 jam setelah perlukaan vascular. Fase inflamasi (inflamasi akut) pada perbaikan jaringan terbentuk secara penuh dan akan berlanjut dalam 96 jam (± 4 hari) atau lebih jika proses persembuhan tersebut mengalami infeksi, trauma atau
14
beberapa gangguan lainnya. Pada fase ini terlihat gejala inflamasi yang meliputi kemerahan, kebengkakan, sakit dan kehilangan fungsi (functio laesa). Sejumlah mediator dari sel yang rusak menyebabkan datangnya sel polimorfik dan faktor humoral (Wolfensohn & Lloyd 2000). Menurut McGavin dan Zachary (2007), neutrofil dan makrofag memfagosit dan mendegradasi enzim, mengurangi dan membersihkan sel debris hasil jaringan yang rusak. Makrofag mensekresikan berbagai faktor kemotaktik dan growth factor yang mendukung fase proliferasi (granulasi) (Gambar 8B). 3) Pengerutan luka pertama, sel fibroblas setempat mengkerut untuk mengurangi area luka.
Fase Proliferasi (Granulasi Jaringan) 1) Proliferasi Epitel Fase ini terjadi selama 12-24 jam. Sel membelah dan bermigrasi menuju permukaan luka. 2) Granulasi Fibroblas dan kapiler di bawah epitel memulai proliferasi kurang lebih selama 36 jam (Wolfensohn & Lloyd 2000), dan dapat terjadi kurang lebih 4 hari setelah perlukaan dan berlanjut hingga 3-4 minggu atau lebih bergantung besarnya luka. Fase ini dikarakteristikkan dengan pembentukan endotelium baru (angiogenesis), epitelium (epitelisasi) dan stroma jaringan konektif untuk memulihkan struktur dan fungsi normal jaringan tersebut (McGavin & Zachary 2007). Granulasi jaringan terbentuk sewaktu inflamasi berkurang dan area tersebut akan dibersihkan dari sel nekrotik debris oleh makrofag (Wolfensohn & Lloyd 2000).
Fase Maturasi (Remodelling) Fase remodelling (maturasi, perubahan bentuk) terjadi kurang lebih 3-4 minggu setelah perlukaan jaringan terjadi, fase ini terjadi setelah didahului oleh fase inflamasi dan proliferasi yang sempurna. Fase ini merupakan perubahan granulasi jaringan dari jaringan konektif yang belum matang dan mengubahnya menjadi jaringan konektif dewasa membentuk kolagen ekstraselular (Gambar 8C).
15
Remodelling akan berakhir dalam waktu 2 tahun atau lebih (McGavin & Zachary 2007). A
B
Scab
Mitoses Granulation tissue Macrophage
Neutrophils Clot
Fibroblast New capillary
24 hours
3-7 days
C
Fibrous union
Weeks
Gambar 8 Proses perbaikan kerusakan jaringan (McGavin & Zachary 2007).
Tulang Tulang terdiri atas bahan organik dan anorganik. Kurang lebih 20% tulang terdiri atas air dan sisanya terdiri atas bahan anorganik berupa kalsium fosfat (6570%), matriks protein dan kolagen (30-35%). Bahan anorganik mengandung komponen utama yaitu kalsium fosfat dan kalsium karbonat, dengan sedikit magnesium, fluoride dan sodium (Kalfas 2001), fosfor, mangan, timah dan tembaga (McGavin & Zachary 2007). Sel tulang meliputi struktur yang menopang keutuhan tulang yang terdiri atas osteoblas, osteosit dan osteoklas (McGavin & Zachary 2007). Osteoblas merupakan sel yang berasal dari fibroblas (Dorland 2002). Sel ini banyak terdapat di permukaan tulang (periosteal, endosteal, trabekular, intracortical) yang memproduksi matriks tulang (osteoid), menginisiasi mineralisasi matriks (deposisi hidroksiapatit). Osteosit merupakan sel yang terletak di dalam matriks tulang. Sel ini mendeteksi adanya perubahan saat terjadi tekanan pada tulang dan perubahan
16
bentuk struktur tulang. Sel osteosit menempati ruang yang kecil pada tulang yang disebut lakuna yang memiliki hubungan dengan osteoblas dan osteosit lainnya yang dihubungkan dengan kanalikuli. Osteoklas merupakan sel yang berasal dari hematopoietik stem sel tipe granulosit monosit. Sel ini berupa sel multinuklear yang berespon terhadap resorpsi tulang (McGavin & Zachary 2007). Osteoklas menjadi sangat aktif dengan adanya hormon paratiroid yang menyebabkan terjadi peningkatan resorpsi tulang dan pelepasan garam-garam tulang (fosfor dan khususnya kalsium) ke dalam cairan ekstraseluler (Dorland 2002). Mineral kristal dari hidroksiapatit merupakan hasil pengendapan di sekitar serabut kolagen yaitu osteoid (Kalfas 2001). Osteoid menyerupai tulang, merupakan matriks tulang atau tulang muda yang belum mengalami kalsifikasi (Dorland 2002).
Persembuhan dan Perbaikan Fraktur Tulang Persembuhan fraktur diawali dengan memperbaiki jaringan yang dipengaruhi berbagai faktor lokal dan sistemik. Persembuhan terjadi pada tiga tahap atau lebih, diantaranya adalah: 1) tahap inflamasi awal; 2) tahap perbaikan; dan 3) tahap remodelling. Saat berada dalam tahap inflamasi, terjadi hematoma di daerah sekitar fraktur pada beberapa jam pertama hingga beberapa hari (Gambar 9). Sel inflamatori (makrofag, monosit, limfosit dan sel polimorfonuklear) dan fibroblas menginfiltrasi tulang dengan mediasi prostaglandin (Kalfas 2001). Saat terjadi hematoma, faktor pertumbuhan melepaskan makrofag dan platelet dalam pembekuan darah dan ploriferasi jaringan osteogenik. Faktor pertumbuhan (protein tulang, Transforming growth factor-β/TGF-β dan platelet) merupakan komponen penting dalam menstimulasi terjadinya proliferasi sel mesenkim dalam perbaikan jaringan. Sel mesenkim yang memiliki kemampuan osteogenik, secara aktif berproliferasi sehingga memulai terjadinya penetrasi hematoma dari perifer dalam waktu 24-48 jam. Proliferasi sel mesenkim yang terjadi saat hematoma, membuat jaringan kolagen merenggang atau terlepas. Proliferasi ini membentuk kolagen dan vaskularisasi baru yang disebut ―granulasi jaringan‖ (McGavin & Zachary 2007).
17
McGavin dan Zachary (2007) mengatakan bahwa kalus terbentuk pada 4-6 minggu setelah fraktur terjadi. Kalus merupakan gumpalan jalinan tulang tak terorganisasi yang berkembang mengikuti pola bekuan fibrin yang terbentuk sebelumnya dan akan digantikan oleh tulang dewasa yang keras (Dorland 2002). Gambar 9 menunjukkan pembentukan kalus yang terjadi pada bagian eksternal (dibentuk oleh periosteum) atau bagian dalam (dibentuk antara ujung fragmen dan endosteum atau medullary cavity). Kalus pertama ini menghubungkan antar celah dan mengelilingi daerah di sekitar fraktur. Pada suatu saat, jalinan antara fraktur tersebut akan digantikan oleh tulang dewasa menjadi lebih kuat, yaitu dengan terbentuknya lamella dewasa (sebagai kalus kedua). Bergantung pada kekuatan mekanis, kalus pada akhirnya akan dikurangi (diresorpsi) oleh osteoklas sampai terbentuk tulang normal. Kalus tersebut mengandung kartilago hialin. Jumlah kartilago yang ada menggambarkan kecukupannya dalam suplai darah (McGavin & Zachary 2007).
Gambar 9 Diagram skematik pembentukan kalus dan perbaikan fraktur. (McGavin & Zachary 2007)
Proses penyempurnaan perbaikan tulang (bone remodelling) terjadi dalam hitungan bulan hingga tahun (McGavin & Zachary 2007). Proses ini terjadi melalui absorpsi jaringan tulang dan deposisi simultan tulang baru. Pada tulang normal, kedua proses tersebut berada dalam keseimbangan yang dinamis (Dorland 2002).
18
Perbaikan fraktur bergantung oleh sejumlah faktor, seperti umur hewan, banyaknya suplai darah menuju tulang, keberadaan agen infeksi dan adanya kerusakan di sekitar jaringan. Persembuhan paling baik terjadi pada hewan muda dan dengan suplai darah yang cukup (Frandson 1992). Implantasi material (logam, plastik dan semen tulang) sering dipisahkan dengan daerah di sekitar tulang oleh selaput tipis pada jaringan fibrous, kadangkadang dengan kartilago metaplastik yang merupakan bentuk dari respon trauma operasi, pergerakan implan, atau korosi dari material implan. Permukaan material implan dapat memicu pertumbuhan bakteri, dan campuran bakteri dengan cairan akan membentuk sesuatu yang tahan terhadap antibiotika dan sel inflamatori. Partikel mikroskopis debris dari fiksasi material implan akan mendatangkan respon makrofag atau giant cell multinuclear. Sel inflamatori akan melepaskan sitokin dan growth factor yang menghasilkan resorpsi tulang dan merusak permukaan implan tulang, menyebabkan pelepasan dan kerusakan implan (McGavin & Zachary 2007).
Material Implan Tulang Biomaterial menurut Darwis (2008) adalah suatu material, baik alami maupun buatan manusia (sintetis) yang digunakan untuk berkontak dengan sistem biologi. Penggunaan biomaterial ini bertujuan untuk memperbaiki (repair), memulihkan (restore) atau mengganti (replace) jaringan yang rusak atau sakit. Beberapa contoh biomaterial alamiah yaitu autograft, allograft, kolagen dan serat protein, sedangkan biomaterial sintetik atau sering disebut biomedical material adalah keramik (Darwis 2008). Autograft menurut Kalfas (2001) merupakan jenis graft yang ditransplantasikan dari bagian lain tubuh resipien (individu itu sendiri). Dorland (2002) menyatakan bahwa autograft atau autologous merupakan pencangkokan jaringan yang berasal dari tempat lain di dalam atau pada bagian organisme itu sendiri. Menurut Kalfas (2008), allograft ditransplantasikan dari gen nonidentik pada tubuh donor. Pencangkokan jaringan pada jenis ini dilakukan di antara individu dari spesies yang sama tetapi berbeda genotipe-nya (Dorland 2002).
19
Penggunaan material alamiah terkadang memiliki keterbatasan, antara lain membutuhkan sayatan tambahan, dapat menyebarkan penyakit menular (Kalfas 2001), dan kemungkinan terdapatnya perbedaan karakter mineral pada tulang (Stavropoulos 2008). Biomaterial yang digunakan sebagai material implan tulang harus memiliki struktur dan sifat yang mirip dengan tulang, sehingga dapat membantu mempercepat proses persembuhan tulang (Guyton & Hall 2006). Idealnya bone graft harus memiliki kemampuan: 1) osteoinduktif dan osteokonduktif; 2) stabilitas biomekanik; 3) bebas penyakit; 4) memiliki faktor antigen minimal (Kalfas 2001), 5) bioaktif, biodegradable, bioresorbable dan biocompatible dengan tubuh (Lane et al. 1999), dan tidak bersifat toksik (Laurenchin & Yusuf 2009). Material tersebut biasanya berupa bahan keramik seperti hidroksiapatit (HA) dan trikalsium fosfat (TKF) serta bahan polimer seperti kitosan.
Hidroksiapatit (HA) Hidroksiapatit (HA) merupakan mineral alami dari senyawa apatit kalsium fosfat yang berupa garam kristal dengan rumus Ca 10(PO4)6(OH)2. HA merupakan senyawa kalsium apatit yang paling stabil dibandingkan dengan kalsium fosfat lainnya , yaitu oktakalsium fosfat (OKF), dikalsium fosfat dihidrat (DKFD), dan trikalsium fosfat (TKF) (Saraswathy et al. 2001). Biomaterial HA pada dasarnya digunakan sebagai bahan pengganti tulang atau untuk melapisi implan prostetik yang akan ditumbuhkan ke dalam tulang, untuk gigi, ortopedik dan praktik medis lainnya (Aoki 1991). Laporan lain mengatakan bahwa HA banyak digunakan sebagai bahan pengganti dalam cangkok tulang (Fujishiro et al. 2005). HA memiliki sifat biocompatible, osteoconduction dan osteoinduction (Shi 2004, Fujishiro et al. 2005). Biocompatible dalam hal ini memiliki arti bahwa terjadi harmonisasi dengan sistem tubuh, tidak mempunyai efek toksik atau mengganggu fungsi biologis (Dorland 2002). Osteoconduction adalah sifat fisik yang dimiliki graft untuk menyediakan ruang dan sebagai perancah agar persembuhan tulang dapat berjalan. Sifat ini memberikan ruang bagi pertumbuhan vaskularisasi baru dan infiltrasi sel prekursor osteogenik ke dalam tulang (Kalfas
20
2001) sehingga mempercepat proses regenerasi tulang (Fujishiro et al. 2005). Osteoconductive dapat ditemukan pada autograft dan allograft, demineralisasi matriks tulang, hidroksiapatit, kolagen, dan kalsium fosfat. Osteoinduction berarti kemampuan material graft untuk menginduksi stem sel menjadi sel tulang dewasa. Proses ini berhubungan dengan kehadiran faktor pertumbuhan tulang dengan material graft atau suplemen bone graft. Protein morfogenik tulang dan demineralisasi matriks tulang merupakan prinsip osteoconductive material (Kalfas 2001). Sifat lain yang dimiliki HA yaitu biodegradable dan incorporation (Sunil et al. 2008). Biodegradable berarti material tersebut mudah mengalami dekomposisi melalui proses biologi normal (Dorland 2002). Hal ini berarti bahwa material HA dapat terdegradasi dengan sendirinya. Guyton dan Hall (2006) menjelaskan HA dan fosfat merupakan garam kristal yang terdapat pada struktur matriks organik tulang dan gigi, sehingga penggabungan antara HA dengan fosfat dapat memberikan persembuhan tulang dengan baik karena HA memiliki sifat fisis, kimia, mekanis dan biologis yang mirip dengan struktur tulang. Struktur HA relatif stabil, memiliki sifat biokompatibilitas yang baik sehingga cepat bergabung dengan jaringan tulang (Ratajska et al. 2008). Struktur HA adalah berpori, terserap ulang (resorpsi), tidak korosi, inert, tahan aus dan bioaktif (Putri 2008). Bioaktif berarti mampu berkontak dengan sistem jaringan dan mampu bereaksi dengan jaringan (Purnama 2006). Akan tetapi kelemahan sifat-sifat pada HA adalah getas dan mudah patah (Putri 2008). HA memiliki sifat yang stabil, namun kemampuan penyerapannya kecil. Maka untuk menyeimbangkan sifat stabil ini ditambahkan trikalsium fosfat (TKF) yang memiliki daya penyerapan yang lebih tinggi. HA dan TKF merupakan bahan sintetis yang memiliki umur simpan panjang, menyebabkan reaksi inflamasi yang minimal, memiliki resiko penularan agen dan reaksi imonologi yang rendah (Brown 2002). Saat diimplantasikan ke hewan atau manusia, HA tidak menimbulkan respon tubuh terhadap benda asing (Aprilia 2008). Ratajska et al. (2008) melaporkan bahwa HA tidak menginduksi respon penolakan imun.
21
Nurlaela (2009) melaporkan bahwa senyawa kalsium fosfat HA dapat dibuat dengan melakukan presipitasi larutan pada suhu 37ºC dengan menggunakan prekursor CaO untuk kalsium dan prekursor KH2PO4 untuk fosfat. CaO sendiri dihasilkan melalui kalsinasi dari cangkang telur ayam maupun bebek pada suhu 1000 ºC selama 5 jam (untuk cangkang telur ayam) dan 900 ºC selama 3-5 jam (untuk cangkang telur bebek). Kedua prekursor ini, yaitu CaO dan KH2PO4 akan bereaksi membentuk HA dengan persamaan reaksi: 10CaO + 6KH2PO4 + 2KOH → Ca10(PO4)6(OH)2 + 8KOH + 2H2O.
Tri Kalsium Fosfat (TKF) Trikalsium fosfat (TKF) adalah senyawa dengan rumus Ca3(PO4)2. Senyawa ini dikenal sebagai tribasic calsium phosphate atau "abu tulang". TKF dapat berbentuk kristal alfa dan beta. Kristal alfa biasanya dibentuk dengan temperatur tinggi. Kristal β-TKF dalam bentuk granul halus dapat diserap sempurna, sedangkan dalam bentuk blok hanya diserap sebagian (Schwartz et al. 2004). Senyawa ini banyak ditemukan pada kerangka tulang maupun gigi hewan vertebrata. Senyawa ini di alam tidak sepenuhnya murni. Sebagian besar mengandung kadar fosfat 30% - 40%. Kandungan senyawa ini sering digunakan sebagai pengganti untuk memperbaiki kerusakan jaringan tulang (Anonim1 2009). Menurut Aoki (1991), TKF sejenis dengan kalsium fosfat dengan rasio Ca/P 1.50. TKF memiliki sifat biodegradable, terutama β-TKF (Cai et al. 2009), memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi (Viswanath et al. 2008) dan cepat diserap (Bohner 2000). Sifat ini menunjukkan bahwa material tersebut mampu didegradasi oleh tubuh. TKF bersifat
osteoconductive (Laurenchin & Yusuf
2009). Kemampuan ini memungkinkan terjadinya vaskularisasi baru dan infiltrasi sel-sel prekursor osteogenik ke dalam celah atau pori-pori bone graft (Kalfas 2001). Jika dibandingkan dengan HA, TKF lebih bersifat bioresorbable (mudah diserap) tetapi kurang bersifat osteoinductive. Hal ini menunjukkan bahwa TKF tidak mampu menginduksi stem sel menjadi sel tulang dewasa, sehingga diperlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan proses pembentukan
22
jaringan tulang yang baru (Zerwek et al. 1992). Trikalsium fosfat memiliki kemampuan biodegradation dan incorporation
yang lebih baik ketika
digabungkan dengan HA (Sunil et al. 2008). TKF dapat digunakan sebagai senyawa tunggal ataupun dikombinasikan dengan senyawa lain yang biodegradable, polimer resorbable seperti asam polyglycolic. TKF dapat juga digabungkan dengan bahan autologus untuk kepentingan cangkok tulang (Anonim1 2009). Penggabungan antara HA dan TKF dalam pembuatan biomaterial untuk aplikasi biomedis sangat menguntungkan karena dapat meningkatkan kekuatan mekaniknya (Viswanath et al. 2008). HA-TKF yang merupakan senyawa apatit alami dalam tulang (Saraswaty et al. 2009) memungkinkan bahan tersebut dapat diterima oleh tubuh. Senyawa ini tidak menimbulkan inflamasi, respon imunologi dan respon iritasi terhadap jaringan (Murugan & Ramakrishna 2004)
Kitosan Kitosan adalah polisakarida linear yang terdiri dari β-(1-4)-D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin (asetat). Kitosan diproduksi dari deasetilasi kitin yang merupakan struktur elemen dalam eksoskeleton krustasea (kepiting, udang) (Anonim2). Kitosan banyak dijumpai di alam dan memiliki kemampuan osteoconduction serta biocompatibility yang baik dalam jaringan (Hua et al. 2005). Keutamaan kitosan adalah bersifat biodegradable dan biocompatible (Maachou et al. 2008). Saraswaty et al. (2001) menambahkan bahwa kitosan juga memiliki biodegradabilitas, fleksibilitas dan ketahanan terhadap panas yang tinggi karena ikatan intramolekul hidrogen yang terbentuk antara gugus hidroksil dan amino. Penelitian dengan implan yang dilapisi kitosan menunjukkan hasil yang terjadi granulasi dan kapsulasi pada jaringan di sekitar implan akibat material implan yang tidak stabil (Turck et al. 2007), sehingga biasanya digabungkan dengan senyawa kalsium fosfat seperti HA (Feng Zhao et al. 2002) yang memiliki sifat senyawa yang stabil (Saraswathy et al. 2001). Polimer kitosan sebagian besar digunakan sebagai campuran untuk perekat dalam penggunaannya dengan HA.
23
Kombinasi HA-Kitosan baik untuk memproduksi scaffold (perancah, tempat bertaut/bergantungan) (Ratajaska et al. 2008). Idealnya campuran tersebut harus memiliki porositas tinggi, ruang yang besar (berpori), untuk memberi ruang yang cukup bagi perkembangan jaringan dan vaskularisasi baru. Penggabungan ini berbentuk pelet berpori sehingga menyediakan jejaring untuk migrasi sel yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan jaringan (Feng Zhao et al. 2002). Kitosan dapat meningkatkan rasio persembuhan luka, mendukung pertumbuhan sel dan memberikan hasil yang baik dalam aplikasi pada bidang rekayasa jaringan. Kitosan juga menunjukkan sifat bakteriostatik dan fungistatik yang mencegah infeksi (Aprilia 2008). Penelitian yang dilakukan Nurlaela (2009)
menunjukkan
bahwa
pembuatan senyawa gabungan HA-Kitosan dapat dilakukan dengan presipitasi secara ex situ, yaitu dengan melarutkan serbuk kitosan ke dalam asam asetat 3% sehingga didapatkan larutan kitosan 2%. Penggabungan dengan senyawa HA dilakukan dengan meneteskan larutan kitosan pada hasil presipitasi senyawa kalsium fosfat.