TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Babi Babi memiliki klasifikasi zoologis sebagai berikut : Phylum Klass Ordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Mamalia (Menyusui) : Artiodactyla (Berkuku genap) : Suidae (Non Ruminansi) : Sus : Sus scrofa Sus vittatus Sus celebensis Sus barbatus
Spesies Sus scrofa yang berasal dari Eropa merupakan babi liar yang telah dijinakkan sejak 800 tahun SM. Sus vittatus yang berasal dari India Timur dan Asia Tenggara termasuk Cina yang perkembangannya mencapai Malaysia, Jawa, Sumatera merupakan bangsa babi liar yang telah dijinakkan dan dikembangbiakkan oleh manusia sejak 4.900 tahun SM. terdapat di daerah sekitar
Sus celebensis
Sulawesi dan Sus barbatus terdapat di daerah
Kalimantan. Berbagai jenis bangsa-bangsa babi modern atau yang saat ini dikenal secara luas merupakan keturunan dari bangsa babi Inggris Kuno atau persilangan dari bangsa Chinese, Siamese dan Napoli (Sihombing 1997). Menurut Sosroamidjodjo (1997), babi asli Indonesia berasal dari babi hutan yang sampai sekarang masih terdapat hidup liar di hutan, dan babi ini dikenal dengan nama Celeng (Sus verrucosus). Beberapa babi Indonesia yang cukup dikenal di masyarakat antara lain misalnya babi Nias, babi Tanggerang, babi Karawang, babi Bali, dan babi Sumba,. Sedangkan babi liar mangui(hutan), Aili (Batak), Jani (Dayak), Babui (Kayan), Daha (Kapuas) belum banyak dikenal, babi liar ini belum banyak dijinakkan, diburu sebagai sumber makanan bagi suku-suku yang berada di pedalaman.
Bangsa-bangsa babi saat ini dibagi
menjadi tiga tipe yaitu tipe lemak, tipe daging dan tipe dwiguna (bacon), hal ini terjadi akibat dari permintaan konsumen. Peternakan modern saat ini lebih memilih usaha peternakan babi dengan satu tujuan yaitu untuk menghasilkan daging yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi oleh manusia. Babi merupakan ternak monogastrik yang memiliki kemampuan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang dikonsumsi. Babi lebih cepat tumbuh, cepat dewasa dan bersifat prolifik yang ditunjukkan dengan banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang
8
berkisar antara 8 -14 ekor dengan rataan dua kali kelahiran pertahunnya (Sihombing 1997). Pertumbuhan Babi Maynard et al. (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah proses yang sangat kompleks, bukan saja pertambahan bobot badan tetapi juga menyangkut pertumbuhan semua organ tubuh secara serentak dan merata. Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel serta peningkatan ukuran sel. Hyun et al. (1998) menyatakan bahwa faktor makanan yang mempengaruhi pertumbuhan adalah kandungan zat makanan serta daya cerna bahan makanan tersebut. Daya cerna bahan makanan akan mempengaruhi laju perjalanan makanan pada ternak yang tentu saja akan mempengaruhi percepatan pertumbuhan babi.
Menurut Tillman et al. (1998) pertumbuhan mempunyai
tahap-tahap yang cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat lahir sampai pubertas (sebelum dewasa kelamin) dimana bobot hidup bertambah dengan cepat dan tahap lambat terjadi pada saat-saat kedewasaan tubuh tercapai. Tahap lambat terjadi pada babi periode finisher, terlihat pada bobot badan babi 90 – 100 kg dimana kecepatan pertumbuhan semakin menurun sampai ternak mencapai bobot hidup yang stabil. Selanjutnya dijelaskan oleh Anggorodi (1995) bahwa pertumbuhan dimulai secara perlahan kemudian berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan - lahan atau sama sekali berhenti. Sihombing (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan babi yang dipelihara untuk tujuan produksi daging terbagi dalam tiga periode yaitu : starter dengan kisaran bobot badan 2035 kg,
grower dengan kisaran bobot badan 35-60 kg dan finisher dengan
kisaran bobot badan 60-90 kg. Sistem Pencernaan Monogastrik Babi termasuk hewan monogastrik dan bersifat omnivora, yaitu ternak pemakan semua pakan dan memiliki satu perut besar yang sederhana. Pada pencernaan makanan atau zat-zat makanannya dilakukan secara enzimatis. Babi mengambil pakan, mengunyah, dan mencampurkannya dengan air liur (saliva) sebelum akhirnya ditelan. Pada babi saliva mengandung enzim yang mulai memecahkan bahan pakan menjadi unsur-unsur penyusunnya, sehingga seluruh bahan pakan telah di kunyah halus sebelum ditelan. Pakan yang ditelan, bergerak menuju esofagus kemudian ke dalam lambung. Lambung pada babi
9
juga berfungsi sebagai alat penampung bahan yang sudah tercerna. Sebagian besar kegiatan pencernaan terjadi dalam lambung, selebihnya terjadi dalam usus halus. Usus halus yang terdiri dari bagian-bagian duodenum, jejenum, dan ileum adalah tempat terjadinya penyerapan atau absorpsi yang utama dari zatzat pakan hasil pencernaan. Bahan-bahan pakan yang tidak tercerna dan tidak diserap bergerak dari usus halus menuju ke caecum dan ke usus besar. Pada bagian ini, komponen air diserap kembali dan sisa yang tertinggal dari proses pencernaan dikeluarkan dalam bentuk feses melalui anus (Sihombing 1997).
Kecernaan Makanan Menurut Elizabeth (2002), mutu suatu bahan pakan ditentukan oleh interaksi antara unsur gizi, tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi merupakan indikator awal yang menunjukkan potensi suatu bahan pakan. Tingkat kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang terkandung dalam bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak. Figueroa (2001) mendefinisikan kualitas protein merupakan manfaat relatif dari protein bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan hewan akan protein. Salah satu cara untuk mengukur kualitas protein dapat dilakukan secara biologis yaitu dengan cara mengukur kecernaan dari pakan yang akan diberikan pada ternak. Dikemukakan oleh Sibbald (1979), bahwa pengukur kecernaan pakan penting untuk menentukan apakah protein yang dikonsumsi benar-benar dapat tersedia dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak dan kemudian diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan jaringan atau tidak. Persentase protein yang dapat diserap ini yang dianggap sebagai koefisien cerna protein, diperoleh dengan menentukan banyaknya protein yang terdapat dalam ransum dan banyaknya protein yang terdapat dalam feses. Perbedaan diantara kedua bagian ini yang dinyatakan dalam persen, adalah banyaknya protein yang dicerna oleh babi. Menurut Arifin dan Kardiyono (1985) dan Martini (1998) pada hewan percobaan mencit dan kelinci, curcumin dapat merangsang peningkatan relaksasi usus halus yang mengakibatkan makanan lebih lama di dalam usus halus dan . merangsang sekresi hormon dari kelenjar brunner dalam usus halus. Pada pencernaan babi enzim berperan penting, karena berfungsi mengubah bahan yang kompleks menjadi bahan sederhana.
Sel-sel pankreas dikenal
10
sebagai penghasil enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim lain yang diperlukan pencernaan (Frandson, 1993). Enzim yang dihasilkan oleh pankreas adalah enzim pelengkap dan merupakan enzim-enzim yang bersifat tidak aktif, antara lain adalah chymotripsinogen, tripsinogen, proelastase dan prokarboksipeptidase yang disekresikan ke dalam duodenum, merubah menjadi bentuk aktif dengan bantuan enzim-enzim enterokinase. Tripsin getah pankreas berfungsi memecah sebagian
proteosa dan
peptone kedalam hasil-hasil yang lebih
sederhana yaitu asam-asam amino (Anggorodi 1995). Enzim tripsin aktif tersebut
selanjutnya
menjadi
prekursor
yang
membentuk
enzim-enzim
pencernaan aktif lainnya, yaitu chymotripsin, elastase dan karboksipeptidase. Ketiga enzim tersebut terkenal sebagai enzim endopeptida yang membantu memecah ikatan peptida dan molekul protein yang besar menjadi rantai peptida yang lebih pendek (Cheeke 1999). Efisiensi Penggunaan Ransum Percobaan
untuk
mengevaluasi
ransum
biasanya
menggunakan
pertambahan berat badan dan konsumsi ransum sebagai kriteria pokok. Cheeke (1987) berpendapat bahwa efisiensi ransum berkaitan erat dengan rataan pertambahan bobot badan harian dan konsumsi ransum, pertambahan berat badan harus dikaitkan dengan konsumsi ransumnya, besarnya pertambahan berat badan seekor ternak dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang dikonsumsi. Church (1985) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan ransum dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan penyakit, umur dan masa produksi, konsumsi ransum, daya cerna serta imbangan energi dan protein, banyaknya konsumsi
ransum
akan
memberikan
kesempatan
bagi
tubuh
untuk
menggunakan zat-zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan, kesempatan tersebut dapat dipengaruhi oleh daya cerna zat-zat makanan.
Nilai efisiensi
penggunaan ransum akan menunjukkan besarnya nilai konversi ransum ke dalam beberapa bentuk hasil ternak, diantaranya adalah daging yang diperlihatkan dalam pertambahan bobot badan. Curcumin bila di berikan pada ternak dalam jumlah yang tepat akan meningkatkan aktivitas pencernan dan dapat mengoptimalkan manfaat dari ransum yang pada akhirnya akan mempengaruhi efisiensi ransum. Rataan efisiensi penggunaan ransum yang direkomendasikan untuk babi adalah 30 % artinya dari 1 kg ransum yang
11
dikonsumsi ternak dapat menghasilkan pertambahan bobot badan 300 gram (Sihombing 1997). Kecepatan Laju Makanan dalam Sistem Pencernaan Kecepatan laju makanan dalam sistem pencernaan adalah kecepatan makanan melaju dari satu bagian ke bagian yang lain dalam saluran pencernaan. Kecepatan laju makanan dalam sistem saluran pencernaan dipengaruhi oleh keambaan makanan, kadar air atau kadar bahan kering makanan dan waktu pemberian makanan. Kecepatan laju makanan dalam sistem pencernaan pada babi remaja atau dewasa berkisar antara 10-24 jam (Sihombing 1997). Bila makanan yang dikonsumsi terlalu cepat melewati saluran pencernaan, maka tidak cukup waktu untuk mencerna zat-zat makanan secara menyeluruh oleh enzim-enzim pencernaan dan enzim proteolitik yang sangat membantu
dalam
mengefektifkan
pemecahan
protein.
Curcumin
dapat
mempengaruhi tonus dan kontraksi usus halus, pemberian dalam dosis rendah dan secara berulang akan mempercepat kontraksi tonus usus halus, tetapi pada dosis tinggi justru akan memperlambat bahkan dapat menghentikan kontraksi usus halus akan tetapi jika diberikan dalam dosis yang tepat akan menyebabkan kontraksi spontan, yaitu kecernaan dan absorpsi bahan makanan akan meningkat. (Gupta et al. 1980)
Aditif Ransum Bahan aditif ransum ada dua golongan yaitu bahan yang bukan zat makanan yang ditambahkan dalam ransum, seperti bahan atau zat untuk pengobatan. Ada pula bahan aditif yang mengandung bahan atau zat – zat makanan tertentu seperti vitamin – vitamin, mineral – mineral, atau asam – asam amino yang ditambahkan dalam ransum ternak (Sihombing 1997). Bahan – bahan yang termasuk dalam aditif ransum antara lain antibiotik, antioxidant,
arsenik,
bahan
pencegah
perut
kembung
(bloat),
buffer,
khemoterapeutik, obat – obatan, enzim, bahan penyedap (flavourings), grit, hormon, ionofor, isoasam dan fungisida. Penggolongan aditif ransum dibagi menjadi
empat
macam
yaitu
antibiotik,
pertumbuhan, dan pembaik produksi.
bahan
antibakterial,
pemacu
Antibiotik adalah bahan kimiawi yang
dihasilkan oleh makhluk hidup (jamur, bakteri, atau tumbuhan hijau) yang memiliki sifat kemampuan membunuh atau menghambat (bactericidal dan
12
bacteriostatic) makro-/mikro-organisme atau makhluk lain. Bahan antibakterial adalah bahan sintetis yang mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Sihombing 1997). Pemacu pertumbuhan adalah bahan yang memperbaiki pertumbuhan dan keefisienan penggunaan makanan yang melalui darah beraksi terhadap hormon dan proses biokimiawi atau metabolisme ternak. Antibiotik Pada tahun 1929, Fleming menemukan zat dari jamur yang menghambat pertumbuhan bakteri; selama tahun 1930 – 1940 para peneliti berusaha mengisolasi zat – zat dari jamur dan membuktikan khasiatnya. Kini lebih dari 4000 antibiotik dan sekitar 30 000 antibiotik semi-sintetis dikenal dalam literatur, namun hanya sedikit diantaranya yang dapat dimanfaatkan dalam ransum ternak. Adanya residu antibiotik menyebabkan produk peternakan yang dihasilkan dari Indonesia tidak dapat bersaing dipasaran bebas karena produk peternakan yang bebas residu merupakan syarat di dunia Internasional (Murdiati 1997). Beberapa antibiotik ada yang kurang baik sebagai aditif, tetapi baik digunakan untuk bahan obat. Pemakaian aditif dalam makanan ternak, sebagai pemacu pertumbuhan atau sebagai antibakteri, berkembang terus. Antibiotik sebagai aditif makanan hanyalah satu pengertian umum untuk memperbaiki pertumbuhan
ternak,
dan fungsinya
yang
lain
adalah
menekan atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Struktur kimia, spektrum bakterial dan pola penyerapan dan ekskresi dari antibiotik berpengaruh terhadap daya hambat dan daya bunuh bakteri patogen, namun gabungan sifat – sifat tersebut dapat berfungsi sebagai pendorong atau pemacu petumbuhan ternak. Antibiotik yang sering digunakan dalam dunia peternakan babi meliputi: Bacitracin, Tylosin, Spiramycin, Virginiamycin, Olaquindox, dan Carbadox (Sihombing 1997). Hamscher et al. (2003) menemukan debu yang berasal dari bedding, pakan dan feses peternakan babi di Jerman, 90% dari sampel yang diambil mengandung 12.5 mg/kg residu antibiotik tylosin, tetracycline, sulfamethazine dan chloramphenicol, kontaminasi udara ini akan mengganggu pernapasan hewan atau manusia yang hidup di sekitar kandang.
Nijsten et al. (1994)
melakukan pengujian berbagai resistensi antibiotik terhadap Escherichia coli yang diisolasi dari feses peternak dan babi yang dipeliharanya (Tabel1).
13
Tabel 1 Resistensi E. coli yang berasal dari feses babi dan peternak babi terhadap beberapa antibiotik (Nijsten et al. 1994) Resistensi Resistensi Jenis Antibiotik Babi Peternak Babi (%) (%) Amoxycillin 25 28 Apramycin 0 0 Amoxycillin/clavulanic acid 0 0 Chloramphenicol 13 7 Nitrofurantoin 8 3 Nalidixic acid 0 2 Neomycin 7 3 Oxytetracycline 57 32 Streptomycin 71 34 Sulphamethoxazole 45 35 Trimethoprim 16 10
Virginiamycin Virginiamycin termasuk golongan antibiotik kelompok streptogramin. Virginiamycin tidaklah digunakan dalam pengobatan manusia. Golongan antibiotik ini meliputi pristinamycin, dalfopristin dan quinupristin (dua kelompok yang disebutkan terakhir dipasaran dikenal sebagai Synercid). Antibiotik penting dalam melawan Enterococci yang bersifat resisten. Virginiamycin meliputi dua komponen peptolide cair-padat yaitu antimikrobial virginiamycin S dan virginiamycin M. Campuran ini bertindak bersama-sama secara sinergi dan bersifat bakterisidal. Dua komponen utama virginiamycin bersifat bakteriostatik tetapi bersama – sama mereka juga bersifat bakterisidal. Virginiamycin adalah senyawa bakterisidal yang melawan berbagai macam mikroorganisme seperti Staphylococci, Streptococci dan Enterococci (Tony et al. 2000) Virginiamycin tidak efektif terhadap Enterobacteria sebab tidak mampu menembus dinding sel walaupun aktivitas secara invitro telah dilakukan terhadap beberapa bakteri gram negatif lain (Spirochaetes, Haemophilus spp., Pasteurella multocida, Mycoplasma spp., Ureaplasma spp., dan Chlamydia spp). Antibiotik jenis virginiamycin merupakan hasil isolasi dari Streptomyces virginae. Streptomyces merupakan golongan bakteri yang diketahui dapat menghasilkan komponen bioaktif yang berupa antibiotik sampai 70%. Virginiamycin dianjurkan digunakan pada babi dengan dosis rataan 5 – 50 ppm dari lahir sampai 4 bulan, 5 sampai 20 ppm untuk babi periode finisher. Antibiotik virginiamycin digunakan juga sebagai Veterinary Drugs dimana waktu tunggu pemotongan setelah
14
pengobatan pada babi tidak ditentukan (Sihombing 1997). Hal ini akan sangat menguntungkan bagi para peternak babi karena dapat melakukan pemotongan tanpa menunggu keluarnya residu antibiotik virginiamycin yang terdapat dalam tubuh babi yang sembuh dari sakit, khususnya pada babi yang telah mencapai fase finisher (60 – 90 kg). Keuntungan penggunaan virginiamycin lainnya yaitu : meningkatkan bobot hidup dan konversi ransum, meningkatkan penampilan babi untuk setiap periode pertumbuhan babi,
meningkatkan kualitas karkas akan
lebih kering. Virginiamycin juga dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tidak hanya pada fase starter namun pada semua periode pertumbuhan babi. Efektivitas antibiotik virginiamycin dalam penggunaan yang lama terhadap mikroorganisme selalu tetap dari tahun ketahun dan selalu efektif Harper et al. (1983). Dalam hal ini mekanisme kerja dari virginiamycin adalah bertindak sebagai senyawa bakterisidal di lokasi sekitar ribosom bakteri yang terletak di dekat kelompok macrolide dan lincosamide. Aksinya menyerupai suatu macrolide, yang mana hal itu akan menghalangi sintesis protein dengan cara bertindak didalam 50S ribosom bakteri. Secara rinci, virginiamycin M menghalangi pemanjangan rantai polypeptide yang diikat oleh peptidyl transferase, dan virginiamycin S, bertindak serupa, yaitu meningkatkan dan memperbaiki komponen – komponen yang saling terikat tersebut (Harper et al. 1983) Di dalam tubuh, virginiamycin tidak diserap secara sempurna oleh saluran gastro-intestinal. Penyerapannya didistribusikan secara luas ke dalam jaringan dan aliran darah. Kira-kira 13% dari dosis virginiamycin yang diserap tubuh dikeluarkan melalui ginjal dengan sisanya bersama tinja melalui empedu. Virginiamycin yang tidak diserap tubuh dikeluarkan bersama tinja dan semakin inaktif saat melewati usus besar. Studi telah menunjukkan bahwa ada sedikit kandungan aktif yang masih tertinggal namun akan musnah oleh lingkungan. Waktu paruh dari virginiamycin adalah kira-kira lima jam (Tony et al. 2000) . Mekanisme resistensi bakteri terhadap virginiamycin dapat disandikan pada kedua kromosom bakteri dan plasmids (plasmid membawa resistensi bakteri terhadap virginiamycin M yang telah dikenali sejak awal 1977 pada Staphylococcus
aureus
manusia).
Plasmid
merupakan
media
dalam
perpindahan resistensi. Ada juga mekanisme lain yang mencakup perubahan permebilitas membran, mekanisme efflux, hidrolisis enzymatic dari lingkaran
15
lactone
antibiotik
atau
berpasangan
(acylation,
adenylation
atau
phosphorylation, plasmid tertentu) Tony et al. (2000). Cara Kerja Antibiotik Pada umumnya, feed additive seharusnya mengurangi jumlah koloni patogen dalam saluran pencernaan, mencegah penyakit, memaksimalkan keuntungan dan daya cerna, meningkatkan efisiensi konversi ransum, dan meminimalisasi polusi. Fungsi antibiotik sebagai aditif adalah mendukung bakteri mensintesis zat makanan, yang tidak maupun yang diketahui, yang dibutuhkan oleh ternak, menghambat mikroorganisme perusak zat makanan bagi ternak, memperbaiki ketersediaan dan penyerapan zat makanan tertentu, menghambat pertumbuhan organisme penghasil ammonia dan penghasil bahan toksik ikutan lainnya dalam saluran pencernaan, dan mencegah atau mengontrol penyakit tertentu dalam saluran pencernaan makanan atau dibagian tubuh yang lain. Dari hal – hal yang disebut tadi paling sedikit kombinasi tiga cara kerja aktif antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan yang dapat dikemukakan yakni, efek metabolis, efek pecadang makanan dan efek kontrol penyebab penyakit (Sihombing,1997). Dosis antibiotik di taraf subtherapeutic akan beraksi penuh dengan mengurangi jumlah mikroorganisme dalam usus, hasilnya dalam sel intestinal terjadi reduksi secara total dan dengan demikian terjadi pengurangan energi yang dibutuhkan oleh sel – sel intestinal. Energi tambahan ini sangat berguna bagi hewan ternak, terutama untuk meningkatkan penampilan pertumbuhan. Selanjutnya, pemberian antibiotik dalam ransum akan menekan mikroorganisme dalam usus yang akan membantu penampilan hewan ternak secara maksimal mendekati potensi genetiknya.
Namun penggunaan antibiotik sebagai feed
additive juga dikhawatirkan merubah proporsi dari bakteri spesifik saluran pencernaan yang terus membentuk koloni lebih banyak dari spesies bakteri yang tidak berbahaya, sehingga menekan bakteri yang tidak berbahaya (Metzler et al. 2005). Larangan Penggunaan Antibiotik Selama beberapa dekade, peningkatan bakteri yang resisten terhadap antibiotik menimbulkan persoalan tentang penggunaan antibiotik. Hal ini sangatlah umum diterima bahwa keberadaan hubungan antara penggunaan antibiotik dengan peningkatan makhluk hidup dan hewan yang resisten. Sampai
16
saat itu, berbagai usaha terus dilakukan untuk mengawasi penggunaan dan resistensi oleh antibiotik dalam makhluk hidup dan hasil ternak. Pada tahun 1996, Swann Committee of the United Kingdom memutuskan bahwa penggunaan antibiotik untuk kemoterapi makhluk hidup seharusnya tidak digunakan sebagai feed additive (misalnya Tetracycline) Warsaw (2005). Swedia adalah negara pertama di Eropa yang memulai pelarangan antibiotik sebagai pemicu pertumbuhan; penggunaan antibiotik sebagai feed additive telah dilarang pada tahun 1986. Sejak saat itu, antibiotik hanya diijinkan oleh kedokteran hewan sebagai terapi untuk penyembuhan atau pencegahan penyakit dan hasil ternak dari Swedia yang tanpa menggunakan antibiotik dalam ransum memperlihatkan hasil yang kurang memuaskan. Sejak tahun 1987, angka kematian telah berkurang 0,9% dan rataan bobot badan 25 kg dicapai 1 – 2 hari lebih cepat. Bagaimanapun, selama tahun pertama setelah adanya larangan, penggunaan terapi antibiotik meningkat, khususnya dalam produksi babi yang bermasalah dengan kesehatan (Metzler et al. 2005). Sampai saat itu, berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan kondisi manajemen dan standar kebersihan. Sejak tahun 1993, tahapan penurunan penggunaan antibiotik mulai dilakukan. Pada tahun 1998, hanya 15 % babi yang diberikan beberapa jenis antibiotik atau zinc – oxide selama masa pemeliharaan (Metzler et al. 2005) Denmark mengikuti Swedia dan melarang penggunaan beberapa jenis antibiotik dalam ransum pada proses produksi babi saat fase finisher pada tahun 1998, dan pada semua fase pada tahun 2000. Sejak tahun 2000, penggunaan antibiotik sebagai feed additive di Denmark telah berakhir. Bagaimanapun, larangan antibiotik dalam ransum pada semua fase menimbulkan masalah kesehatan yang serius, meningkatkan biaya produksi, dan masih banyak lagi. Hal itu dipersulit dengan adanya anjuran penggunaan antibiotik hanya sebagai terapi kedokteran. Pada tahun 1999, EU Scientific Steering Committe telah meninjau ulang penggunaan antibiotik sebagai pengobatan dan non-pengobatan dalam EU (European Commission Health and Consumer Protection Directorate 2003). Sebagai konsekuensinya maka penggunaan antibiotik dalam ransum di EU telah dilarang pada tahun 1999 sebagai sebuah tindakan percobaan pengukuran untuk meminimalisasi resiko peningkatan bakteri yang resisten dan untuk menjaga efektivitas kegunaan beberapa antibiotik dalam pengobatan makhluk hidup (Metzler et al. 2005). Antibiotik yang dilarang meliputi: bacitracin, tylosin,
17
spiramycin, virginiamycin, olaquindox, dan carbadox. Saat ini hanya empat jenis zat pemicu pertumbuhan yang masih diijinkan sebagai feed additive di EU yang meliputi: Lavophospholipol, salinomycin sodium, avilamycin dan monensin sodium. Bagaimanapun keempatnya juga telah dilarang sejak tahun 2006.
Curcumin Kunyit merupakan salah satu jenis tanaman rempah-rempah asli Asia Tenggara. Tanaman ini termasuk keluarga zingiberaceae, dapat tumbuh pada daerah iklim tropis dari dataran rendah sampai 2000 m di atas permukaan laut, kisaran suhu optimal adalah 19–30ºC dengan curah hujan antara 1500-4000 mm/tahun (Sudiarto dan Ratu, 1985). Kunyit mengandung antibakteri, antihepatotoksik dan antioksidan, komponen utama kunyit adalah minyak atsiri dan curcumin zat berwarna kuning (Ashari 1995). Kandungan minyak atsiri dan curcumin kunyit menurut Hembing (1996) masing-masing 3 - 5% dan 3 - 4 %. Curcumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 (Gambar 1) dengan bobot molekul 368, diduga gugusan aktif pada curcumin terletak pada gugus metoksi. Gugus hidroksil fenolat yang terdapat dalam struktur curcumin menyebabkan aktivitas antibakteri. Curcumin memiliki titik cair 18 - 82oC, berwarna kuning jingga, berbentuk serbuk dengan sedikit rasa pahit, tidak larut dalam air, sedikit larut dalam eter, larut dalam alkohol dan alkali, warna tidak stabil terhadap sinar matahari dan stabil terhadap panas, mempunyai aroma spesifik dan
tidak
bersifat toksik (Kiso, 1985).
O
O
H3CO
OCH3 H
H
HO
OH
Gambar 2 Struktur molekul dari curcumin (Van Der Goet, 1985)
Sidik et al. (1985), menemukan bahwa curcumin mengalami degradasi bila proses pengeringannya dengan menggunakan sinar matahari langsung, ditunjukkan dengan perubahan warna yang lebih gelap.
18
Isolasi Curcumin Isolasi curcumin dapat dilakukan dengan berbagai metode dan variasi. Sidik et al. (1985), melakukan penelitian berbagai teknik isolasi basah dan kering, isolasi cara kering dilakukan menggunakan pelarut organik, sedangkan cara basah dengan menggunakan zat aktif permukaan seperti zat hasil penyabunan antara oleum riuni dan natrium hidroksida. Isolasi curcumin dengan cara basah ini dilakukan dengan mencampur zat aktif dengan rimpang direfluks lalu disaring, pada filtrat ditambahkan asam sitrat hingga pH 6 lalu dibiarkan pada keadaan dingin, setelah terjadi pengendapan sempurna dalam waktu sekitar 24 jam, endapan curcumin disaring dan dikeringkan. Pelarut organik yang digunakan pada isolasi cara kering adalah eter minyak tanah, n-heksan, benzen, alkohol, dan aseton. Dua cara kering yang terbaik untuk memperoleh curcumin yang tinggi adalah: menggunakan teknik soxletasi dengan aseton sebagai pelarut ekstrak aseton diuapkan hingga diperoleh endapan, kemudian endapan dicuci dengan eter minyak tanah lalu dikeringkan, dan dengan cara teknik refluks dengan etanol sebagai pelarut lalu disaring panas-panas, filtrat dipekatkan sehingga terjadi endapan curcumin yang dikeringkan setelah pencucian dengan eter minyak tanah. Hasil curcumin yang diperoleh dengan cara ini sekitar 18-19,9% (Sidik et al. 1985).
Cara Kerja Curcumin Curcumin Sebagai Antibakteri dan Jamur Curcumin adalah senyawa fenol yang menurut Fardiaz (1982) masuk kelompok senyawa kimia yang bersifat antimikroba seperti fenol, alkohol, halogen, logam berat, senyawa amonium kuarterner, asam dan basa serta gas kemosteril. antibakteri,
Kumar et al. (2001) menemukan bahwa curcumin sebagai bekerja
dengan
menghambat
mikroorganisme untuk membentuk dinding sel.
produksi
β-lactamase
dari
Keuntungan lain dari curcumin
menurut Aguilar et al. (1993) bahan aktif dari tanaman kunyit kurang efektif membunuh
bakteri
Lactobacacillus
casei,
Bifidobacterium
bifidum
dan
Lactobacillus acidophilus yang merupakan koloni mikroorganisme yang terdapat dalam mulut, faring dan perut manusia, untuk menjaga keseimbangan mikroflora dalam sistem pencernaan manusia.
19
Curcumin sebagai Pemacu Pencernaan (Digest-Promotor) a. Pada Lambung Selain untuk membunuh bakteri patogen beberapa peneliti menunjukkan bahwa curcumin dapat merangsang organ lambung, untuk menghasilkan cairan yang berfungsi terutama untuk pencernaan protein. Mukherjee et al. (1974) menemukan serbuk rimpang temulawak yang mengandung curcumin yang diberikan pada kelinci percobaan menunjukkan aktivitas peningkatan musin dalam cairan lambung. Kenyataan ini membuka peluang pemanfaatan curcumin untuk meningkatkan kecernaan makanan. Lee et al. (2003) menemukan serbuk rimpang temulawak yang mengandung curcumin yang diberikan pada kelinci percobaan menunjukkan aktivitas peningkatan musin dalam cairan lambung, hal ini akan melindungi lambung dari iritasi.
Pemberian curcumin pada marmut
dosis 50 mg/kg menunjukkan sifat melindungi lambung dari obat perangsang sakit lambung phenylbutazone (Sinha et al. 1974). Dengan meningkatnya produksi cairan lambung maka diharapkan akan diperoleh kecernaan protein yang lebih tinggi. b. Pada Usus Halus Usus diketahui sebagai organ untuk mencerna dan menyerap zat makanan yang diperlukan tubuh, respon usus dua belas jari dalam proses sekresi cairannya akibat berhubungan dengan pangan yang dikonsumsi, sebagian diatur oleh syaraf dan sebagian lagi diatur oleh hormon (Piliang 2000). Beberapa peneliti menemukan bahwa mekanisme curcumin dapat merangsang sekresi enzim dari usus halus seperti yang diuraikan oleh Platel dan Srinivasan, (2000) bahwa curcumin dapat merangsang sektresi enzim usus halus pada tikus antara lain lipase, sukrase dan maltase. Rao et al. (1982), mempelajari aktivitas natrium curcuminat sebagai Antispasmodic pada ileum usus marmot sangat nyata dalam melawan efek spasmogen. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas penghambatan spasmogen natrium curcumin merupakan penghambat tidak spesifik. Jadi dari penelitian ini pemberian curcumin dengan dosis yang tepat akan meningkatkan kecernaan makanan
dengan
meningkatkan
sekresi
enzim-enzim
pencernaan
dan
menurunkan peristaltik usus, sehingga memberikan penyerapan zat-zat makanan hasil pencernaan lebih banyak. Sudah menjadi kebiasaan di
20
masyarakat luas untuk memberikan kunyit sebagai obat tradisional terhadap kelainan saluran pencernaan. c. Pada Hati Peranan curcumin terhadap hati ditemukan oleh Bawman (1983), bahwa rimpang temulawak mempunyai aktivitas kolagoga, yaitu meningkatkan produksi dan sekresi empedu yang bekerja kolekinetik dan koleretik. Bawman (1983) juga melaporkan tentang delapan penderita kelainan hati dengan pemberian 9,6 mg curcumin, setiap 10 menit sekresi empedu diamati, diperoleh dapat meningkatkan sekresi empedu yang terlihat nyata pada penurunan kadar bilirubin , kolesterin dan lipase para penderita. Secara umum peningkatan sekresi cairan empedu akan menyebabkan partikel padat dalam empedu berkurang, berdasarkan ini curcumin mempunyai prospek baik untuk digunakan pada gangguan metabolisme lemak yang berhubungan dengan metabolisme kolesterol.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian ini diharapkan pemberian
curcumin dapat meningkatkan kecernaan lemak dan menghasilkan kualitas daging babi yang rendah akan kolesterol, karena curcumin meningkatkan sekresi dari empedu. Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat ekonomi
dan
peradaban
manusia
yang
ditandai
dengan
pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat manusia. Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif, yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya : rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (lost of memory). Sebagaimana diketahui bahwa curcumin mempunyai khasiat meningkatkan sekresi empedu. Empedu diproduksi oleh sel hati
21
kemudian masuk ke dalam duodenum untuk membantu proses penyerapan. Empedu selain mengandung air, juga mengandung garam empedu, pigmen empedu, kolesterol dan lipida (Hadi, 1983). Rao et al. (1970) menemukan bahwa tikus betina putih berat 45-50g umur 45 hari, diberikan 0,1 - 0,5% curcumin dalam ransum selama tujuh minggu, menunjukkan peningkatan ekskresi asam empedu dan kolesterol melalui feses, pada akhir penelitian kadar kolestrol darah dan sel hati menunjukkan penurunan. Djamhuri (1981) membandingkan juga obat penurun kolesterol yaitu atromid dengan curcumin dari temulawak terhadap enam ekor anjing dewasa berat 1012 kg, diperoleh bahwa dosis Atromid 75 mg/kg BB setara dengan dosis curcumin 400 mg/kg BB selama tiga hari menunjukkan terjadi penurunan kadar kolesterol darah tidak berbeda nyata pada dosis tersebut. Sunaryo et al. (1985) melakukan penelitian pemberian curcumin dosis 0.1 – 0.5 % dalam ransum tikus putih selama 30 hari menunjukkan dapat menurunkan kadar kolesterol serum darah dan meningkatkan persentase kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) dalam serum. Berdasarkan hasil ini diperoleh bahwa selain menghilangkan antibiotik juga diharapkan pengganti ini dapat menghasilkan daging yang aman bagi konsumen, untuk mengurangi penyakit diatas.
d. Pada Pankreas Pankreas adalah kelenjar yang membantu kecernaan makanan dengan menghasilkan beberapa enzim-enzim yang dapat mencerna karbohidrat, lemak dan protein, sekresi dari pankreas dirangsang oleh beberapa faktor diantaranya syaraf vagus, masuknya HCl ke dalam usus dua belas jari dan hormonal yang dihasilkan oleh usus dua belas jari (secretin) (Piliang 2000). Dengan pemberian curcumin, selain meningkatkan ekskresi empedu sebagai hasil produksi dari sel hati, juga meningkatkan sekresi pankreas, hal ini dibuktikan pada penelitian Bawman (1983) yang mengadakan pemeriksaan delapan penderita penyakit hati yaitu tampak kenaikan sekresi empedu dan pankreas, dan terlihat juga penurunan kadar lipase dan penurunan kadar bilirubin dan kolesterin. Chey et al. (1983). pemberian curcumin pada anjing dan manusia dapat meningkatkan sekresi pankreas dan bikarbonat dari pankreas. Platel dan Srinivasan (2000) menambahkan pemberian curcumin pada hewan tikus putih meningkatkan produksi enzim pankreas seperti lipase, amilase, tripsin dan khimotripsin.
22
Perjalanan dan Distribusi Curcumin dalam Tubuh (Farmakokinetik) Mutu suatu bahan aktif tergantung pada kinetik bahan tersebut dalam tubuh meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan sekresi. Wahlstrom dan Blennow, (1978) memberikan curcumin secara oral pada tikus mengeluarkan dari tubuh cukup tinggi ditemukan pada feses dan sedikit pada urin. Ravindranath
dan
Chandrasekhara (1980)
melakukan
pemberian
curcumin 400, 80 dan 10 mg/ekor/hari pada tikus putih selama dua minggu. Satu jam pemberian, diperoleh 90% terakumulasi di dalam lambung dan usus halus, setelah 24 jam kadarnya tinggal 1%, dan absorbsi dalam usus halus 3 – 7 jam setelah pemberian melalui oral. Setelah lima hari sekitar 40% curcumin diekresikan melalui feses, dan sisanya 60% diabsorbsi oleh tubuh, pemeriksaan distribusinya dalam jaringan, curcumin tidak diketemukan dalam jantung, hanya sebagian kecil dalam pembuluh darah portal hati dan ginjal, penelitiannya juga menunjukkan bahwa curcumin tidak disekresikan melalui urin.
Eliminasi
curcumin paling tinggi dalam tinja. Pemberian dosis lebih rendah dari 80 dan 10 mg mg/e/h diekresikan setelah 72 jam, dosis lebih dari 400 mg diekresikan setelah 12 hari, pemberian curcumin dalam ransum, 60-66% curcumin dari dosis yang diberikan dapat diabsorbsi oleh tubuh. Dari data ini diketahui bahwa curcumin dengan cepat dikeluarkan dari dalam tubuh tikus. Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan curcumin bagi beberapa hewan percobaan sangat efektif untuk pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum, tetapi pada dosis yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan atau organ. Mikroflora Saluran Pencernaan Saluran pencernaan babi mengandung sekitar 1014 mikroorganisme dimana > 90% merupakan mikroorganisme gram positif, bakteri anaerob, seperti Streptococci, Lactobacilli, Eubacteria, dan Peptostreptococci (Metzler et al. 2005). Kebanyakan mikroorganisme yang menempati saluran pencernaan adalah
tidak
berbahaya
dan
tidak
menimbulkan
penyakit
intestinal.
Bagaimanapun ada hubungan kompleksitas dari komunitas mikroorganisme saluran pencernaan, dan sebagian besar bakteri dalam saluran pencernaan babi belum
dikelompok
–
kelompokkan.
Jika
dibandingkan
dengan
jumlah
keseluruhan dari spesies bakteri yang ada dalam saluran pencernaan, hanya sedikit dari mereka (contoh: E coli, Salmonella spp) yang dapat mengganggu
23
keseimbangan
mikroflora
usus.
Jumlah
mikroorganisme
dalam
saluran
pencernaan babi periode finisher dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 2. Dosis curcumin pada hewan percobaan Peneliti Ramdhan (1998) Aziz (1998) Martini (1998) Al-Sultan (2003) Bile et al. (1985)
Gupta et al. (1980) Sinaga (2003)
Dosis
Pengaruh
Tepung kunyit 1 – 1.5 % pada broiler Tepung kunyit 2% pada broiler Tepung kunyit 1 – 1.5 % pada kelinci Tepung kunyit 0.5% pada broiler Curcumin 240 dan 1551 mg/kg BB dalam ransum babi, Curcumin dan 100 mg/kg pada tikus. Tepung kunyit 0.4% pada babi
Mengurangi lemak abdominal dg tidak mempengaruhi persentase karkas. Pertambahan bobot badan harian tinggi Meningkatkan efisiensi ransum Pertambahan bobot badan harian terbaik Kerusakan ginjal, hati dan kelenjar tiroid
Menujukkan gejala penyakit lambung. Aktivitas ulserogenik Menunjukkan efisiensi ransum tertinggi, setara dengan 120 ppm.
Tabel 3. Jumlah mikroorganisme saluran pencernaan babi periode Finisher (transformasi logaritma) Bagian saluran pencernaan Bentuk coli Enterokoksi Laktobacillus Kapang Jamur (Bahan makanan) 5.4* 4.9 3.0 0.8 3.3 Lambung 7.7 6.8 7.9 4.6 3.5 Usus kecil 9.3 6.7 7.8 4.6 3.5 Usus besar 9.2 8.0 8.2 4.4 4.0 Feces 9.9 7.8 8.5 4.1 4.0 Sumber: Horvath, et al. (1958), dilaporkan oleh Pond dan Manner (1974) dalam Parrakasi (1983). Keterangan: * Log dari sel – sel yang hidup/gram bahan kering.
Tabel 4. Hasil perhitungan bentuk antilog jumlah mikroorganisme saluran pencernaan babi finisher Bagian saluran pencernaan (Bahan makanan) Lambung Usus kecil Usus besar
Bentuk coli
Enterokoksi
Laktobacillus
Kapang
Jamur
251 189
79 433
1000
6
1995
50 118 723
6 309 573
79 432 824
39 811
3162
1 995 262 315
5 011 872
63 095 735
39 811
3162
154 893 192
100 000 000
158 489 319
25 119
10 000
Feces 7 943 282 347 39 810 717 316 227 766 12 589 10 000 Sumber: Horvath, et al. 1958. Dilaporkan oleh Pond dan Manner. 1974 dalam Parrakasi, 1983. Keterangan: * Log dari sel – sel yang hidup/gram bahan kering.
Pada babi yang sehat, keseimbangan ini didasari pada kompetisi yang cenderung konstan antara bakteri yang bersaing untuk melekat dan mendapat nutrisi dalam lumen dari saluran pencernaan (Metzler et al. 2005).
24
Total Plate Count Total Plate Count (TPC) adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah total bakteri pada suatu sampel. Metode ini digunakan untuk melihat jumlah bakteri dari koloni bakteri yang terbentuk pada media agar yang dipersiapkan untuk pertumbuhan bakteri tersebut (Rusdi et al. 2001). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Koch pada tahun 1880, setelah beliau mengembangkan agar media untuk pertumbuhan bakteri. Metode ini mengalami perkembangan hingga tahun 1916 menjadi suatu prosedur perhitungan bakteri yang dikenal dunia. Asumsi dasar dari metode ini adalah bahwa satu sel bakteri akan membentuk satu koloni bakteri yang dapat dilihat oleh mata telanjang dari seluruh tipe mikroorganisme pada sampel yang dianalisis untuk perhitungan jumlah total mikroba yang tumbuh pada satu media agar yang diinkubasi pada satu kondisi yang diatur (Cunningham dan Cox 1987). Terdapat beberapa teknik pengambilan sampel dalam metode Total Plate Count (TPC) ini yaitu diantaranya teknik pour plate atau teknik tuang dan teknik swab atau teknik ulas. Pada teknik pour plate, sampel yang berupa padatan
dicincang
terlebih
dahulu
dan
kemudian
diencerkan
dengan
menggunakan NaCl fisiologis steril dengan perbandingan tertentu, lalu dituangkan pada agar media yang telah dipersiapkan. Lain halnya pada teknik swab yang dilakukan dengan mengulaskan permukaan sampel yang akan diuji kemudian ulasan tersebut diulaskan pada agar media yang telah dipersiapkan. Koloni mikroba yang terbentuk menunjukkan jumlah total bakteri pada sampel (Rusdi et al. 2001).
Koliform Koliform merupakan kelompok bakteri gram negaif, tidak berspora, berbentuk batang, bersifat fakultatif anaerob, dapat memfermentasi laktosa, dan pada umumnya hidup dalam saluran pencernaan manusia dan hewan (Board 1988). Bakteri koliform dapat tumbuh pada rentang suhu yang cukup jauh yaitu dari – 2º – 50º C dan suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 37º C , dan juga hidup pada kisaran pH 4.4 sampai 9.0. Kelompok bakteri ini juga dapat tumbuh dengan baik pada media yang mengandung karbon organik dan nitrogen, dan masih tetap tumbuh pada garam empedu yaitu garam yang dapat menghambat pertumbuhan gram positif (Jay 1978).
25
Cunningham dan Cox (1987) menyebutkan bahwa ada 14 genera bakteri yang termasuk kedalam kelompok koliform, yaitu Escherichia coli, Shigella, Salmonella, Citrobacter, Klebsiella, Enterobacter, Erwinia, Serratia, Hafnia, Edwardsiella, Proteus, Morganella, dan Yersinia. Bakteri – bakteri koliform dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok koliform fekal, misalnya Escherichia coli dan kelompok non-fekal misalnya Enterobacter aerogenes. Kelompok bakteri fekal berasal dari kotoran manusia dan hewan, sedangkan kelompok non-fekal ditemukan pada hewan atau tumbuhan yang sudah mati (Fardiaz 1989). Bakteri koliform merupakan kelompok bakteri yang bersifat membahayakan bagi kesehatan manusia (Cunningham dan Cox 1987). Agen yang termasuk infeksi mikroorganisme diantaranya adalah E. Coli, Vibrio cholerae, dan Shigella sp, sedangkan agen yang menghasilkan racun atau toksin penyebab penyakit antara lain adalah Clostridium botulinum, Cl. perfringens, dan Bacillus cereus. Bakteri koliform dapat dijadikan indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi karena bakteri ini ditemukan berasal dari kotoran manusia dan hewan serta pada tanaman dan hewan mati.
Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang, termasuk kedalam familia Enterobacteria. Escherichia coli disebut juga coliform fecal karena ditemukan dalam usus hewan dan manusia. Escherichia coli sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz 1989). Escherichia coli berukuran 0.5-1.0 x 1.0-3.0 µm, motil, hidup secara anaerobic fakultatif, cenderung bersifat patogen bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Kisaran suhu pertumbuhan Escherichia coli adalah antara 10 oC- 40 oC dengan suhu optimum 300C. Kisaran pH antara 7.0-7.5 dengan nilai Aw (aktivitas air) minimum untuk pertumbuhan adalah 0.96. bakteri ini sangat sensitif terhadap panas sehingga inaktif pada suhu pasteurisasi (70-800C) (Fardiaz 1989) Bakteri Escherichia coli merupakan flora normal anaerob fakultatif pada saluran pencernaan manusia yang berperan penting dalam mempertahankan fisiologis usus, tetapi beberapa galur bersifat patogen dan dapat menyebabkan penyakit diare (Levine dan Edelman 1987). Pada saluran pencernaan, Escherichia coli menghasilkan endotoksin yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit, meyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan larutan
26
elektrolit yang berakibat kolapsnya sistem peredaran darah yang diikuti stress dan kematian. Bakteri Escherichia coli diduga menjadi penyebab utama diare apabila populasinya melebihi angka populasi normal (Mitsuoka 1990). Populasi normal bakteri Escherichia coli dapat dilihat pada Tabel 5. Berbagai galur Escherichia coli yang mungkin menyebabkan diare dengan salah satu dari dua mekanisme yaitu: dengan produksi enteroksin yang secara tidak langsung menyebabkan kehilangan cairan dan dengan invasi ke dalam lapisan epitelium dinding usus, yang menyebabkan peradangan dan kehilangan cairan (Volk dan Wheeler 1988).
Tabel 5. Populasi normal bakteri Escherichia coli pada organ usus Organ Usus
Populasi (CFU/gram)
Duodenum
1.3 x 102
Jejenum
3.2 x 102
Ileum
1.6 x 103
Cecum
4.0 x 107
Rectum
1.6 x 107
Sumber: Mitsuoka (1990)
Bakteri Escherichia coli pada babi dapat menyebabkan penyakit Enteritis colibacillosis (White Scours: Neonatal Scours; Coliform Scours; Baby Piq Scours) sehingga pertumbuhannya dapat menurun bahkan dapat menimbulkan kematian (Sihombing 1997).
Karkas Babi Karkas babi merupakan bagian tubuh ternak setelah dilakukan pemisahan terhadap kepala, bulu, kuku dan isi rongga dada dan perut. Karkas babi yang dihasilkan berkisar antara 60-90% dari berat hidup tergantung pada kondisi, genetik, kualitas pakan dan cara pemotongan (Ensminger 1984). Selanjutnya Soeparno (2005) menambahkan bahwa bobot karkas babi kurang lebih tiga perempat bagian atau 75% dari bobot hidup. Karkas yang ditimbang pada saat pemotongan disebut karkas panas, selanjutnya bila selama 24 jam
27
atau lebih akan terjadi penyusutan bobot akibat penguapan dipermukaan karkas yang berkisar 1-3% tergantung dari lamanya penyimpanan (Tulloh 1978). Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong yang dinyatakan dalam persen (Forrest et al. 1975). Bobot potong yang tinggi tidak selalu menghasilkan bobot karkas yang tinggi. Hal ini dikarenakan sering adanya perbedaan pada berat kepala, bulu, isi rongga dada dan perut (Soeparno 2005), oleh karenanya bobot potong lebih dari 90 kg memang meningkatkan hasil berat karkas tetapi persentase karkas yang dihasilkan akan menurun (Sihombing 1997). Bobot potong optimum dapat dicapai jika terdapat interaksi antara jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakan, bangsa ternak, jenis kelamin dan kematangan seksual (Davendra dan Fuller 1979). Persentase karkas babi dibagi menjadi beberapa kelas, kelas 1 menurut USDA adalah 68-75% dari berat hidup (Forrest et al. 1975). Persentase ini lebih tinggi pada babi dibandingkan dengan ternak lain seperti domba dan sapi karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar serta babi mempunyai lambung tunggal. Besarnya persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe dan ukuran ternak serta penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya kotoran yang dikeluarkan (Soeparno 2005).
Biosintesis Kolesterol Kolesterol yang mempunyai rumus molekul C27H45OH, merupakan alkohol monohidrat dari derivat sterol yang tidak jenuh. Kolestrol dalam tubuh berasal dari dua sumber, yaitu dari makanan dan hasil biosintesis. Manusia rataan membutuhkan 1.1 g kolesterol/ hari untuk memelihara dinding sel dan fungsi fisiologis lain. Sebanyak 25-40% (200 – 300 mg) secara normal berasal dari makanan dan selebihnya disintesis dalam tubuh. Tempat sintesis kolesterol terutama pada hati, korteks adrenal, usus, kulit, testis dan aorta. Kolesterol dalam makanan akan mempengaruhi biosintesis kolesterol. Penelitian pada tikus menunjukkan jika hanya 0.05% kolesterol dalam makanan maka 70 – 80% kolesterol hati, usus halus dan kelenjar adrenal disintesis dalam tubuh, tetapi jika kandungan kolesterol makanan naik menjadi 2%, maka biosintesis turun sampai 10 – 30%. Usaha untuk menurunkan kolesterol plasma pada manusia dengan mengurangi jumlah kolesterol dalam makanan adalah
28
efektif. Namun sebaliknya biosintesis tidak dapat seluruhnya ditekan dengan menaikkan konsumsi kolesterol melalui makanan. Kolesterol dalam makanan diabsorbsi dalam usus, dan bersama-sama dengan lipida lainnya, termasuk kolesterol yang disintesis dalam usus (kolesterol endogenus), digabungkan dalam kilomikron dan VLDL (Vahouny et al. 1997). Kolesterol diserap dalam limfa 80 – 90% diesterkan dengan asam lemak rantai panjang, namun pengesteran dapat juga terja dalam mukosa usus. Bila sisa kilomikron masuk ke hati, banyak ester kolesterolnya dihidrolisis dan kolesterolnya yang diambil oleh hati, kemudian VLDL yang dibentuk akan mengangkut kolesterol ke dalam plasma.