2
TINJAUAN PUSTAKA Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia Babi merupakan hewan monogastrik berasal dari Eurasia yang memiliki bentuk hidung khas sebagai ciri hewan tersebut, yaitu berhidung lemper. Babi adalah hewan ungulata yang bermoncong panjang. Sebagai hewan omnivora, babi memakan daging maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu babi merupakan mamalia yang cerdas dan mudah untuk diternakan (Anonim 2012). Babi diklasifikasikan kedalam (Swindle dan Alison 2007): Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Suidae Genus : Sus Spesies : scrofa Subspecies : domestica.
Gambar 1 Anatomi babi (www.onelessthing.net) [24 Juli 2012] Babi merupakan hewan yang cukup sulit untuk dikendalikan. Insidensi terhadap malignant hipertermia sangat tinggi pada babi, akses pada vena superfisialisnya sangat sedikit, serta injeksi secara IM lebih sulit dilakukan pada babi yang gemuk dan besar. Injeksi secara IM dilakukan di leher dan tidak di kaki belakang. Jarum yang digunakan kurang lebih berukuran 14-18 gauge dengan panjang 1.5-2 inch (Riebold et al. 1995). Tabel 1 Data fisiologis babi Temperatur tubuh (˚C) Babi
Frekuensi denyut jantung (x/menit)
Frekuensi respirasi (x/menit)
Sumber
38.3-39.5
60-90
10-40
McCurnin dan Joanna (2006)
Babi
-
80-130
10-25
Riebold et al. (1995)
Babi
37.8-38.9
60-90
8-18
Kelly (1984)
3 Babi digunakan sebagai hewan model penelitian karena memiliki berbagai kesamaan anatomi dan fisiologi dengan manusia (Tunggle et al. 2003). Saat babi diisolasi di tempat yang baru atau asing maka akan mengeluarkan aungan pendek yang diikuti dengan teriakan serta adanya peningkatan defekasi. Babi dewasa yang sedang marah akan mengeluarkan aungan lebih keras tetapi hal tersebut tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi denyut jantung. Apabila babi mengalami kesakitan kronis maka akan menggesek-gesekkan giginya (Houpt 1998).
Ketamin Hydrochloride (HCl) Ketamin HCl merupakan golongan phencyclidine dengan rumus 2-(0chlorophenil)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride (Adams 2001). Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar, dan relatif aman (batas keamanan lebar). Ketamin merupakan disosiatif anestetikum yang mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat (Gunawan et al. 2009).
Gambar 2 Strutur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl med.nlm.nih.gov 2012)
(daily
Efek anestesi dari ketamin terjadi oleh adanya penghambatan efek membran dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-Daspartat (NMDA). Tahapan anestesinya diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan ketaleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan dan peningkatan tonus otot. Sifat analgesik ketamin sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi (Gunawan et al. 2009). Ketamin sangat larut di dalam lemak dan memiliki onset yang cepat. Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian dieksresikan terutama dalam bentuk metabolit dan sedikit dalam bentuk utuh (Gunawan et al. 2009). Ketamin tidak menimbulkan terjadinya relaksasi otot sehingga dapat menimbulkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi. Reflek faring dan laring tetap normal atau sedikit meninggi pada anestesi dengan ketamin. Pada dosis anestesi, ketamin bersifat merangsang, sedangkan pada dosis yang tinggi akan menekan respirasi (Gunawan et al. 2009). Untuk mengurangi efek samping ketamin, pada penggunaannya sering dikombinasikan dengan obat premedikasi seperti diazepam, midazolam, medetomidin atau xylazin. Kombinasi
4 ketamin dengan xylazin pada babi dapat menyebabkan analgesia jangka pendek yaitu 5 menit, tetapi depresi jantung yang ditimbulkan panjang (Swindle dan Alison 2007). Ketamin sebagai agen induksi pada babi dapat menimbulkan gerakan reflek tidak sadar pada beberapa babi dan kedalaman anestesi yang bervariasi, terutama jika diberikan IM. Jika dipakai tunggal, ada kekhawatiran bahwa ketamin sendiri tidak memberikan efek analgesia yang memadai pada babi, maka penggunaannya harus dikombinasikan dengan agen lain. Penggunaan suatu kombinasi ketamin dengan senyawa sedatif dapat meningkatkan relaksasi otot dan konsistensi respon (Riebold et al 1995). Withdrawal time ketamin dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Withdrawal time (hari) ketamin, xylazin, zolazepam dan tiletamin Withdrawal time (hari) Injeksi IM Obat
Satwa liar
Rusa merah
Hewan ternak
Ketamin
3
2
3
Xylazin
30
3
3
Zolazepam dan tiletamin (1:1) ( Cattet 2003)
14
2
365
Xylazin Hydrochloride (HCl) Xylazin HCl merupakan senyawa sedatif golongan α2 adrenergik agonis yang bekerja dengan cara mengaktifkan central α2–adrenoreceptor (Thurmon et al. 1996). Xylazin memiliki rumus kimia 2-(2,6-xylodino)5,6-dihydro-4H-1,3thiazin hydrochloride (Booth 1995). Xylazin menyebabkan penekanan SSP yang diawali dengan sedasi kemudian pada dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya hewan menjadi tidak sadar dan teranestesi (Hall dan Kathy dalam Zulfadli 2005).
Gambar 3 Struktur kimia xylazin C12H16N2S (www.new drug info.com, 2012) α2 adrenoreceptor agonis mengerahkan efek penghambatan pada fungsi sistem saraf pusat melalui penghambatan pelepasan NE dari saraf simpatis. Hal ini menyebabkan aktivitas saraf simpatis menurun sehingga menurunkan tingkat kewaspadaan, menurunkan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah. α2 adrenoreceptor ditemukan di otot polos pembuluh darah arteri organ dan vena
5 abdomen. Ketika α2 adrenoreceptor diaktifkan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, selain itu α2 adrenoceptor dijumpai juga pada sistem kardiovaskular, sistem respirasi, gastrointestinal, SSP, ginjal, sistem endokrin dan trombosit (Adams 2001). Pemberian xylazin sebagai preanestesi dapat memperpanjang durasi analgesi, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek masa pemulihan. Pada kucing penggunaan bersama xylazin-ketamin menyebabkan perlambatan absorpsi ketamin sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi anestesi lebih panjang (Waterman 1983). Xylazin dapat menyebabkan gejala bradikardi, arythmia, peningkatan tekanan SSP, pengurangan sistem sistolik, depresi respirasi (pengurangan frekuensi respirasi dan volum respirasi per menit) serta hipertensi yang diikuti dengan hipotensi (Luna et al. dalam Zulfadli 2005). Efek xylazin pada fungsi respirasi biasanya tidak berarti secara klinis, tetapi pada dosis yang tinggi dapat mendepres respirasi sehingga terjadi penurunan volum tidal dan respirasi rata-rata (Plumb 1991). Perubahan yang cukup jelas terlihat pada fungsi kardiovaskular. Awalnya segera setelah injeksi, tekanan darah akan meningkat, kemudian diikuti dengan konstriksi pembuluh darah kapiler. Sebagai reflek normal terhadap peningkatan tekanan darah dan pemblokiran saraf simpatis, frekuensi denyut jantung akan menurun sehingga menimbulkan bradikardi dan tekanan darah menurun mencapai level normal atau subnormal. Pada babi, xylazin tidak memberikan hasil yang baik kecuali digunakan dengan dosis yang tinggi (Riebold et al 1995).
Zoletil (Kombinasi Tiletamin-Zolazepam) Zoletil merupakan kombinasi antara tiletamin dan zolazepam dengan perbandingan 1:1. Tiletamin merupakan disosiatif anestetikum yang berasal dari golongan pensiklidin, sedangkan zolazepam merupakan kelompok benzodiazepin yang dapat menyebabkan relaksasi otot (Gwendolyn 2008).
Gambar 4 Struktur kimia zoletil (www.chemdrug.com, 2012) Zoletil secara umum dapat menyebabkan stabilitas hemodinamik pada dosis yang rendah. Selain itu zoletil dapat memperbaiki reflek respirasi dan hipersalivasi seperti pada ketamin. Untuk memperbaiki kualitas induksi, melancarkan anestesi dan menurunkan dosis yang dibutuhkan untuk induksi, maka zoletil dapat dikombinasikan dengan premedikasi, seperti acepromazin atau
6 opioid (Gwendolyn 2008). Menurut Riebold et al. (1995) zoletil tidak boleh diberikan pada hewan dengan gangguan jantung dan respirasi. Zoletil dapat menyebabkan analgesia, tetapi visceral analgesia yang ditimbulkan tidak cukup untuk bedah abdomen mayor, kecuali jika ditambah dengan agen lain. Takikardia dan aritmia jantung dapat terjadi pada anestesi ringan, dan apabila digunakan pada dosis yang tinggi maka cardiac output akan berkurang secara signifikan. Kombinasi tiletamin-zolazepam ini akan dimetabolisme oleh hati dan dieksresikan melalui ginjal (McKelvey dan Wayne 2003). Tiletamin memiliki efek kardiorespiratori serupa dengan ketamin, selain itu efek yang ditimbulkan pada susunan saraf pusat sangat spesifik pada setiap spesies (Thurmon et al. 1996). Tiletamin memiliki durasi yang lebih panjang dari ketamin, begitu juga dengan analgesianya (Gwendolyn 2008). Tiletamin dapat menghasilkan efek kataleptik yang cepat, menghilangkan respon terhadap rangsangan, depresi respirasi, dan memiliki periode pemulihan panjang (Hall dan Kathy 1991). Tiletamin dimetabolisme dalam hati dan dieliminasi melalui urin dalam bentuk yang tidak aktif. Zolazepam merupakan turunan benzodiazepin yang bebas dari aktivitas hambatan α adrenergik (Thurmon et al. 1996). Kombinasi dengan tiletamin dapat menyebabkan peningkatan penekanan pada SSP, selain itu juga dapat mencegah kekejangan dan memperbaiki relaksasi otot akibat tiletamin (McKelvey dan Wayne 2003). Zolazepam dapat menimbulkan efek kelemahan pada periode pemulihan pada babi dewasa. Untuk meminimalkan hal tersebut maka penggunaan zoletil harus dikombinasikan dengan ketamin. Xylazin juga ditambahkan untuk meningkatkan efek sedasi dan analgesi pada kombinasi tersebut. Untuk melakukan sedasi dan anestesi ringan pada babi digunakan dosis yang kecil, karena dosis yang terlalu tinggi akan menimbulkan efek kejang (Lumb dan Jones 2007).
Onset dan Durasi Proses dimana hewan mulai kehilangan kesadaran normal dan memasuki keadaan tidak sadar disebut sebagai induksi. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau inhalasi. Awalnya akan terlihat gejala inkoordinasi diikuti dengan relaksasi dan ketidaksadaran. Idealnya, sikap yang berlebihan dan meronta-ronta harus dihindari selama induksi, karena hal ini sangat tidak menyenangkan untuk hewan dan merupakan predisposisi aritmia jantung. Kecepatan induksi bergantung pada kecepatan dicapainya kadar efektif zat anestetik di otak, begitu pula masa pemulihan setelah pemberian dihentikan. Onset anestesi umum juga ditandai dengan hilangnya beberapa reflek, termasuk kemampuan menelan dan batuk (McKelvey dan Wayne 2003). Onset atau mulai kerja anestetikum dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk kelarutan anestetikum dalam lemak. Faktor lain yang mempengaruhi adalah seperti kemudahan untuk berdifusi melalui jaringan ikat. Pemberian anestetikum secara IM atau subcutan (SC) langsung masuk interstitium jaringan otot atau kulit ke pembuluh darah kapiler kemudian memasuki peredaran darah sistemik. Anestetikum larut lemak masuk ke dalam darah kapiler dengan melintasi
7 membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya anestetikum yang larut air masuk darah melalui celah antar sel endotel bersama air, dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan besar molekulnya (Gunawan et al. 2009). Durasi merupakan masa kerja suatu anestetikum, masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk malakukan tindakan operasi. Secara umum durasi kerja berkaitan dengan kelarutan anestetikum dalam lemak. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi mempunyai durasi yang lebih panjang, karena lebih lama diekresikan dari dalam darah. Setelah periode induksi, hewan memasuki periode maintenance, selama periode ini ketersediaan anestetikum disuplai untuk menjaga hewan tetap dalam kondisi anestesi yang dalam. Pada periode maintenance terjadi relaksasi otot skelet, sedikit terjadinya reflek palpebrae, sedikit terjadinya depresi respirasi dan kardiovaskular. Jika kedalaman anestesi meningkat maka hewan akan menunjukkan depresi respirasi dan kardiovaskular yang lebih, dan pada kondisi over dosis anestesi, kegagalan respirasi dan kardiovaskular dapat terjadi. Monitoring beberapa parameter fisiologis yang intensif seperti temperatur tubuh, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi sangat dibutuhkan pada periode ini (McKelvey dan Wayne 2003). Periode maintenance berakhir dan mulai memasuki periode recovery atau disebut sebagai masa pemulihan, konsentrasi anestetikum di otak berkurang (McKelvey dan Wayne 2003). Selama masa pemulihan, dilakukan pemeriksaan pada hewan sampai hewan dapat mempertahankan posisi tubuhnya sternal recumbency, mempunyai frekuensi denyut jantung dan frekuensi respirasi stabil, dan memiliki temperatur tubuh nomal, atau satu sampai dua derajat dari temperatur tubuh normal (McCurnin dan Joanna 2006). Proses pemulihan dari anestesi merupakan suatu hal yang bertentangan pada proses induksi. Pada proses pemulihan ini aktivitas reflek dan kepekaan terhadap rasa sakit telah kembali (McKelvey dan Wayne 2003). Periode pemulihan didefinisikan sebagai periode antara penghentian anestesi dan waktu hewan tersebut mampu berdiri dan berjalan tanpa bantuan. Periode pemulihan ini tergantung pada banyak faktor, seperti: 1. Panjang anestesi. Semakin lama periode pemberian anestesi, semakin lama periode pemulihannya. 2. Kondisi hewan. Pemulihan yang panjang terlihat pada hewan yang memiliki penyakit (terutama penyakit hati dan ginjal). 3. Jenis anestetikum yang diberikan dan rute pemberiannya. Hewan yang diberikan anestetikum inhalasi mempunyai periode pemulihan yang lebih pendek dari pada hewan yang diberikan anestetikum secara injeksi. Periode pemulihan yang lebih panjang terlihat pada pemberian IM dari pada IV. 4. Temperatur tubuh hewan. Hewan yang mengalami hypothermia memiliki metabolisme yang lambat dan lambat dalam mengeskresi anestetikum dari tubuh. 5. Jenis hewan (McKelvey dan Wayne 2003).
8 Focal Animal Sampling Focal animal sampling merupakan suatu metode pengamatan langsung yang digunakan untuk mengamati semua penampakan aksi spesifik dari satu individu atau kelompok individu tertentu berdasarkan waktu periode pengamatan yang telah ditentukan (Altman 1973). Menurut kuncoro (2004), Focal time sampling merupakan suatu metode pengambilan data pengamatan perilaku yang menggunakan satu individu hewan sebagai objek pengamatan dan menggunakan teknik pencatatan perilaku satwa tersebut pada interval waktu tertentu. Metode ini merupakan penggabungan dari dua metode, yaitu focal animal sampling dan scan sampling. Focal animal sampling dilakukan dengan cara mengamati satu invidu atau kelompok (saat beberapa kelompok tampak) secara berkesinambungan selama satu peride waktu, dan semua perilaku yang teramati dilakukan secara naluri tanpa ada gangguan. Individu yang diamati dipilih secara acak. Tantangan yang dihadapi dalam metode ini adalah individu yang terpilih dapat bergerak dari pandangan atau meninggalkan tempat mereka sebelum periode waktu pengamatan berakhir. Focal animal sampling dapat memberikan informasi mengenai rangkaian peristiwa yang teramati, interaksi antar individu dan durasi perilaku yang teramati.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011. Pengujian anestetikum dilakukan di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor serta kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan hewan coba babi lokal (Sus domestica) Indonesia. Anestetikum yang digunakan yaitu ketamin 10% (Ilium ketamil®-100, Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100, Troy) dan zoletil 5% (Zoletil®, Virbac). Alat yang digunakan yaitu timbangan hewan besar, syringe (3 ml, 10 ml), jarum 18 gauge, kapas beralkohol, termometer, stetoskop, dan alat bedah mayor.