4
TINJAUAN PUSTAKA Lalat Rumah (Musca Domestica)
Klasifikasi Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Hexapoda
Ordo
: Diptera
Subordo
: Cyclorrhapha
Family
: Muscidae
Genus
: Musca
Species
: Musca domestica
(West 1951)
Morfologi Terdapat lebih dari 60 spesies lalat dalam genus Musca, yang paling dikenal yaitu Musca domestica atau lalat rumah, yang tersebar di seluruh dunia dan terbagi dua dalam subspesies (Musca domestica curviforceps dan Musca domestica calleva). Lalat rumah memiliki ukuran tubuh yang panjangnya 6-9 mm dan memiliki berbagai macam warna dari yang hitam hingga abu-abu gelap. Mereka memiliki empat broadish dorsal yaitu garis gelap pada toraks. Antenanya terdiri dari tiga segmen, segmen terakhir mempunyai ukuran yang lebih besar yang berbentuk silinder dan memiliki rambut prominent, yang biasa disebut arista, arista ini memiliki rambut di kedua sisinya. Antena ini tersembunyi di bagian depan kepala yang sangat sulit terlihat. Mulut dari lalat atau probosis memiliki fungsi dalam menghisap cairan makanan. Tetapi ketika probosis ini tidak digunakan, maka akan dimasukkan kedalam kapsul kepala. Pada ujung dari probosis terdapat pseudotrachea yang dapat menghisap cairan makanan. Sayap dari lalat rumah memiliki pembuluh darah yang saling berhubungan. Ciri dari sayap ini dapat membedakannya dengan jenis spesies
5
Musca lainnya (Service 1996). Pada setiap tiga pasang kaki lalat terdapat sepasang cakar dan sepasang fleshy pad-like di tiap ujungnya yang disebut pulvili. Pada pulvili terdapat rambut perekat sehingga lalat dapat hinggap di permukaan yang licin, dan juga dapat membawa kotoran maupun bakteri yang patogen.
Gambar 1 Musca domestica dewasa (Sigit et al. 2006)
Mata lalat jantan lebih besar dan sangat berdekatan satu sama lain dibanding dengan mata lalat betina (Sigit et al. 2006). Lalat Musca domestica tidak menggigit, karena mempunyai tipe mulut menjilat, lalat ini dominan ditemukan di timbunan sampah dan kandang ternak. Jarak terbang lalat Musca domestica sangat bergantung pada ketersediaan makanan yang ada dilingkungannya, rata-rata memiliki jarak terbang 6-9 km dan dapat mencapai 19-20 km dari tempat berkembang biak. Lalat dewasa sangat aktif sepanjang hari untuk mencari makan. Lalat sangat tertarik pada makanan yang dimakan oleh manusia seperti gula, susu dan makanan lainnya. Protein pada makanan sangat diperlukan untuk berkembang biak. Berdasarkan bentuk mulutnya, lalat hanya makan dalam bentuk cair atau makanan yang basah, sedangkan makanan yang kering maupun makanan yang berbentuk padat dengan diameter lebih besar dari 0,045 mm, dibasahi atau dicairkan terlebih dahulu oleh ludah dan kemudian dihisap. Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu menyukai cahaya. Pada malam hari lalat tidak aktif, namun dapat aktif apabila ada cahaya maupun cahaya buatan. Banyaknya lalat dipengaruhi oleh efek sinar yang akan
6
meningkat pada temperatur 20-25 oC dan akan berkurang pada temperatur < 10 oC atau > 49 oC serta kelembaban yang optimum yaitu 90 % (Ghofar et al. 2011).
Siklus Hidup Setiap Musca domestica betina dapat menghasilkan 75-120 butir telur dalam satu kali bertelur. Telur diletakkan pada bahan-bahan organik yang lembab (sampah, kotoran binatang dan lain-lain) atau pada tempat yang tidak langsung terkena sinar matahari. Telur lalat berwarna putih dan berukuran 1-1,2 mm, telur dapat menetas menjadi larva setelah 6-12 jam. Larva lalat memiliki 11 segmen tubuh dengan kepala yang kecil. Diujung kepala terdapat sepasang mulut yang terlihat seperti garis hitam diantara integumen kepala dan segmen pertama dari thoraks. Larva lalat memakan cairan dari pembusukan bahan organik. Larva lalat memiliki 3 tahap instar. Larva yang baru menetas, disebut larva instar 1 berukuran panjang 2 mm, berwarna putih, tidak bermata dan berkaki, sangat aktif dan rakus terhadap makanan, setelah 1-4 hari melepas kulit menjadi instar 2. Pada tahap instar 2, larva memiliki ukuran dua kali dari instar 1, setelah 1-2 hari maka kulit akan mengelupas dan berubah menjadi larva instar 3. Larva instar 3 memiliki ukuran 12 mm atau lebih, tahapan ini berlangsung selama 3 sampai 9 hari hingga menjadi lalat dewasa. Pertumbuhan larva bergantung pada tingkat ketersediaan makanan maupun suhu lingkungan. Temperatur yang ideal untuk pertumbuhan larva pada kisaran suhu 30-35 oC (Ghofar et al. 2011). Stadium larva dapat terjadi sekitar 3-5 hari. Pada kondisi lingkungan yang buruk dapat mencapai 7-10 hari, sedangkan pada cuaca yang dingin dapat mencapai 24 hari. Jika habitat larva terlalu kering maka mereka akan mati, tapi jika terlalu basah maka larva akan tenggelam (Service 1996).
7
Gambar 2 Siklus hidup Musca domestica. (Sigit et al. 2006)
Untuk berubah ke tahap pupa, larva instar 3 akan bermigrasi ke daerah yang lebih kering. Pupa atau kepompong lalat berbentuk lonjong dan umumnya berwarna merah atau coklat. Jaringan tubuh larva berubah menjadi jaringan tubuh dewasa. Stadium ini berlangsung 3-9 hari dan temperatur yang disukai ± 35 oC. Tahap pupa terjadi ketika kulit larva berkontraksi, mengeras dan berubah menjadi warna coklat. Pupa berbentuk seperti tabung yang berukuran 6 mm, bentuk ini disebut puparium. Lalat dewasa akan menetas dari pupa setelah 7 hari, bergantung pada suhu lingkungan. Lalat dewasa keluar dari pupa dengan cara mendorong menggunakan ptilinum dan keluar melalui celah lingkaran pada bagian anterior, lalat akan bergerak keluar dan akhirnya terbang. Ptilinum adalah kantung udara yang menutup bagian dorsal kepala dan akan melepas sempurna setelah keluar dari pupa (West 1951). Lalat dewasa sangat menghindari cahaya matahari langsung, sehingga mereka mencari tempat untuk dijadikan sarang yang terlindung dari sinar matahari.
Lalat Musca domestica sebagai Vektor Penyakit Diantara ordo-ordo dalam kelas Hexapoda, maka ordo Diptera mempunyai anggota yang paling banyak berkaitan dengan bidang kedokteran, kesehatan dan
8
veteriner. Ordo Diptera terutama lalat mempunyai banyak jenis yang dapat menganggu kenyamanan hidup manusia, menyerang dan bahkan melukai hospesnya (manusia atau hewan) serta menularkan penyakit. Jenis lalat yang paling banyak merugikan kesehatan manusia adalah jenis lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau (Lucilia sertica) dan lalat biru (Calliphora vomitura). Lalat rumah dapat menyebarkan berbagai penyakit ke manusia maupun hewan dalam jumlah besar melalui tempat yang di hinggapi, feses, benda yang tidak higienis, dan juga pada makanan manusia. Lalat Musca domestica merupakan hama utama pada peternakan unggas (Axtell 1999). Cara transmisi penyebaran penyakit terdiri dari tiga kemungkinan yaitu melalui kaki lalat yang terkontaminasi, muntahan lalat pada makanan yang dihinggapinya dan melalui defekasi pada makanan (Service 1996). Lebih dari 100 patogen penyakit bakterial, virus dan protozoa yang dibawa oleh Musca domestica. Salah satunya yaitu bakteri penyebab disentri yang disebabkan oleh Shigella dysenteriae dan S. paradysentriae. Penyakit ini ditandai dengan adanya sakit pada intestinal dan diare berdarah. Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui kontaminasi dari makanan dan minuman. Di dalam tubuh larva lalat juga terdapat beberapa bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang bersifat patogen maupun nonpatogen (Banjo et al. 2005). Bakteri yang telah diisolasi dari tubuh larva Musca domestica yaitu Streptococcus aureus, S. pyogenes, S. faecalis, dan Bacilius cereus. Tidak hanya bakteri, tetapi ditemukan juga jenis jamur yaitu Fusarium oxysporum dan Cladosporium sp. Di dalam tubuh lalat Musca domestica juga pernah dilaporkan ditemukannya spora Bacillus anthracis, penyebab penyakit antraks (Fasanella et al. 2010). Dari 629 sampel lalat Musca domestica di wilayah Ahvaz Iran, 230 ekor diantaranya ditemukan mengandung bakteri Eschericia coli sebanyak 36,5% dan Staphylococcus aureus sebanyak 12,8% (Vazirianzadeh et al. 2008). Bakteri tersebut adalah bakteri yang paling banyak terdapat dalam tubuh lalat Musca domestica. Selain menjadi vektor berbagai penyakit, lalat juga sebagai pengganggu kenyamanan manusia. Hal ini dikarenakan populasi lalat yang tinggi dapat menganggu manusia
9
yang sedang bekerja dan istirahat. Lalat dapat memberikan efek psikologis negatif, karena keberadaanya sebagai tanda kondisi lingkungan yang kurang sehat.
Pengendalian Pengendalian Musca domestica dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu pengendalian fisik dan mekanik, sanitasi lingkungan dan pengendalian menggunakan insektisida (Service 1996). Pengendalian fisik pada dasarnya adalah pengendalian yang berorientasi pada pengelolaan lingkungan, yaitu mencakup segala upaya untuk membuat keadaan lingkungan menjadi tidak sesuai bagi perkembangan serangga. Pengendalian fisik dan mekanik dapat dilakukan dengan cara menggunakan pelindung ventilasi udara yang terbuat dari kain kasa, dan juga dengan menggunakan ultraviolet light trap pada dinding. Sanitasi lingkungan dapat dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan tempat berkembang biak lalat. Membuang sampah pada tempat sampah yang tertutup dan berada diluar pemukiman maupun kandang. Untuk mencegah terjadi perkembangbiakan, maka sampah tersebut dapat dikubur atau dibakar. Penggunaan insektisida juga dapat mengendalikan populasi lalat dengan efektif (Service 1996). Insektisida merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia, ternak, tanaman dan sebagainya. Insektisida kimiawi telah dikenal sejak kurang lebih 3000 tahun yang lalu oleh orang Yunani, Romawi dan Cina (Hadi dan Soviana 2010). Menurut macam bahan kimia insektisida dibagi menjadi tiga jenis yaitu insektisida anorganik, insektisida organik dan insektisida organik sintetik (Zulkarnain 2010). Insektisida anorganik terdiri dari sulfur, merkuri, golongan arsenikum, golongan fluor. Insektisida organik terdiri dari peritrum, piretrin, rotenon, nikotin, sabadila, dan golongan insektisida berasal dari bumi (minyak tanah, minyak solar, minyak pelumas). Sedangkan Insektisida organik sintetik terdiri dari golongan organoklorin, golongan organofosfor, golongan organonitrogen, golongan karbamat, dan golongan tiosianat. Di peternakan unggas New York, dilakukan pengendalian lalat rumah dewasa menggunakan piretrin (Kaufman et al. 2005). Piretrin adalah salah satu kandungan pada insektisida yang bersifat neurotoksik dan memiliki efek
10
repelan bagi serangga. Zat ini dapat ditemukan pada bunga Chrysantemum dan piretrin ini juga sebagai zat organik yang aman bagi lingkungan (Schleier dan Peterson 2011). Kelemahan insektisida anorganik adalah sifatnya yang tidak spesifik dan tidak terlalu beracun terhadap serangga. Kelemahan ini menyebabkan penggunaan insektisida anorganik diganti dengan insektisida organik maupun sintetik. Senyawa organoklorin adalah salah satu senyawa pada insektisida sintetik. Senyawa ini bekerja sebagai racun syaraf dan sangat mematikan terhadap serangga (Hadi dan Soviana 2010). Tetapi organoklorin mempunyai daya resisten yang tinggi dan dapat meracuni lingkungan disekitar, termasuk manusia. Senyawa fosfat dan karbamat dianggap sebagai insektisida yang lebih aman dan kurang mencemari lingkungan, tetapi senyawa-senyawa ini juga membahayakan manusia karena mempunyai sifat racun pada syaraf. Selain untuk membunuh serangga, insektisida ada juga yang mempunyai fungsi sebagai pengusir (repelan). Repelan adalah bahanbahan yang memiliki kemampuan untuk melindungi manusia, hewan dan tumbuhan dari serangga dengan cara menyamarkan bau sekitar dan memberi efek penolakan. Banyak produk repelan yang telah beredar dipasaran, tetapi masih banyak mengandung zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan kerusakan kulit dan pernafasan (Thavara et al. 2001). Produk repelan dapat diaplikasikan dengan cara dioles ke kulit maupun dengan media asap.
Asap Cair (Liquid Smoke) Asap cair merupakan salah satu hasil pirolisis tanaman atau kayu pada suhu sekitar 400 oC (Soldera et al. 2008). Pirolisis tanaman atau kayu dapat menghasilkan senyawa kimia yang kompleks. Komponen yang terkandung dalam proses pembakaran itu antara lain terdiri dari selulosa hemiselosa dan lignin yang mengalami pirolisa sehingga menghasilkan asap dengan komposisi yang sangat kompleks. Proses pirolisis berjalan secara bertahap diawali dari tahap pertama penghilangan air biomasa pada suhu 120-150 oC, diikuti tahap kedua proses pirolisis hemiselulosa pada suhu 150-200 oC, kemudian tahap ketiga proses pirolisis selulosa pada suhu 250-300 oC, dilanjutkan tahap ke empat proses pirolisis lignin pada suhu 400 oC.
11
Pada tahap lebih lanjut proses pirolisis akan menghasilkan senyawa-senyawa baru hasil pirolisis produk kondensasi seperti fenol, tar dan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang terjadi pada suhu > 500 oC (Young et al. 2008). Menurut (Mappiratu 2009) model peralatan destilator-pirolisis yang digunakan tidak berpengaruh terhadap kandungan kimia (fenol, karbonil dan asam asetat) dan keasaman (pH) asap cair yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu pirolisis cenderung kadar total fenolnya meningkat dan mencapai optimum pada suhu 505 oC (Gani et al. 2007). Senyawa kimia yang kompleks tersebut mengandung berbagai kelompok senyawa dan beberapa metode pemisahan berdasarkan polaritas, tingkat keasaman, dan volatilitas (Putnam et al. 1999).
A
B
C
Gambar 3 Produk asap cair : (A) grade 1, (B) grade 2, (C) grade 3.
Proses pirolisis ini menghasilkan asap cair grade 3. Asap cair grade 3 masih memiliki kandungan tar yang sangat tinggi. Untuk mendapatkan asap cair yang memiliki kandungan tar yang lebih sedikit, maka dilakukan proses destilasi dari asap cair grade 3. Proses destilasi adalah proses pemisahan komponen dalam campuran berdasarkan perbedaan titik didihnya, atau pemisahan campuran berbentuk cairan atas komponennya dengan proses penguapan dan pengembunan sehingga dihasilkan destilat dengan komponen-komponen yang hampir murni. Dari hasil destilasi asap cair grade 3, maka akan dihasilkan asap cair grade 2 dan grade 1 dengan kandungan
12
tar yang lebih sedikit dan tingkat kejernihan yang lebih tinggi. Pembentukan berbagai senyawa HPA atau tar selama pembuatan asap tergantung dari beberapa hal, seperti suhu dan waktu pembuatan asap serta kandungan udara dalam kayu (Fatimah dan Gugule 2009). Asap cair mempunyai fungsi dalam bidang industri dan pangan. Di bidang industri, asap cair yang digunakan adalah asap cair grade 3. Asap cair grade 3 digunakan untuk pengawetan kayu, penghilang bau pada pengolahan karet dan juga sebagai desinfektan kandang. Asap cair grade 3 tidak dapat digunakan dalam bidang pangan karena masih memiliki kandungan tar yang sangat tinggi. Dalam bidang pangan, asap cair yang digunakan adalah asap cair grade 2 dan grade 1. Karena asap cair grade ini tidak mengandung tar dalam jumlah banyak. Asap cair ini dimanfaatkan sebagai pengawet makanan pengganti formalin. Dengan penggunaan asap cair grade 2 (redestilasi), dapat mempertahankan mutu makanan lebih lama dibanding asap cair grade 3 (destilasi) dan juga makanan lebih disukai konsumen (Himawati 2010).
A
B
Gambar 4 Proses pembuatan asap cair : (A) proses pembakaran (pirolisis), (B) proses destilasi.
Warna dari asap cair adalah kuning cerah dan akan berubah menjadi gelap apabila asap cair itu disimpan. Senyawa hasil pirolisis adalah kelompok fenol, karbonil dan kelompok asam yang secara simultan mempunyai sifat antioksidasi dan antimikroba. Kelompok-kelompok senyawa ini mampu mencegah pembentukan
13
spora, pertumbuhan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan virus. Sifat-sifat tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengawetan makanan. Beberapa jenis senyawa yang telah diidentifikasi pada asap cair, yaitu 85 fenolik, 45 karbonil, 35 asam, 11 furan, 15 alkohol dan ester, 13 lakton, dan 21 hidrokarbon alifatik (Girard 1992). Dalam produk asap cair terdapat senyawa fenol, hidrokarbon, dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbon dalam jumlah yang sangat sedikit. Senyawa fenolik berperan sebagai antioksidan dan antifeedant beberapa serangga. Senyawa karbonil berperan sebagai pembentuk cita rasa dan pewarnaan. Asap cair sangat adaptif dan dapat diproduksi secara komersial. Adapun keuntungan yang dapat diperoleh antara lain untuk mengurangi kandungan senyawa karsinogenik yaitu PAH yang tidak diperlukan seperti benzo(a)pirena atau lebih dikenal dengan nama tar. Konsentrasi benzo(a)pirena dapat diturunkan dengan cara redestilasi dan penyerapan menggunakan arang aktif (Fatimah dan Gugule 2009).