BioSMART Volume 2, Nomor 2 Halaman: 1-7
ISSN: 1411-321X Oktober 2000
Toksisitas Ekstrak Tembakau Sisa Pabrik Rokok terhadap Lalat Rumah (Musca domestica L.)
EDWI MAHAJOENO Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta ABSTRACT The objectives of the research were to know nicotine concentration on the waste of tobacco from cigarrete factory (PT Reco Pentung Bojonegoro) that can be used as an insecticide, and the value of LD50-24hrs of tobacco extract on flies (Musca domestica L.). The materials were filtrated and isolated using a steam distillation technique, followed with thin layer chromatography to know the composition of the substance. Total nicotine concentrations were read using spectrophotometer, and the waste with highest concentration was used for the trial on flies. Seven dosage variations between 12,500 to 60,000 ppm were tested on 10 flies triplicate. The value of LD50-24hrs was resulted from probit analysis, and the result indicated that the highest concentration of nicotine on the waste was13,36%. The value of LD50-24 hrs on male flies was 86,46 µg/g, and 72,76 µg/g for female categorized as mild toxicity.
Key words: toxicity, tobacco extract, Musca domestica L. PENDAHULUAN Insektisida kimia sintetik sering digunakan sebagai bahan pengendali serangga, meskipun dapat menyebabkan kerugian terhadap lingkungan fisik dan biotik. Oleh karena itu pemanfaatan bahan-bahan alami saat ini digiatkan kembali. Bahan alami atau senyawa metabolit sekunder tanaman memiliki aktifitas yang dapat menolak, menghambat dan membunuh serangga vektor, serta mudah diurai menjadi bahan tidak berbahaya, murah, tersedia dalam jumlah banyak dan tidak membunuh hewan bukan sasaran (Jacobson, 1989; Mandhava, 1988; Metcalf and Flint, 1979). Salah satu tanaman penghasil metabolit sekunder adalah tembakau. Tanaman ini telah dimanfaatkan sejak lama sebagai insektisida, misalnya kutu buah anggur (Rhypiphorothrips cruentatus) dan kutu gandum (Macrosiphus miscanthi) dibasmi dengan nikotin konsentrasi 400-500 ppm (Kapur and Attal, 1982). Serangga rumah tangga, Aphis fabae dan Periplaneta americana berturut-turut dibasmi dengan nikotin dosis 48 dan 500 µg/g berat badan (Metcalf and Flint, 1979). Telah pula dilakukan pengujian laboratorium terhadap lalat rumah (Musca domestica L) baik jantan maupun betina, serta diperoleh kadar toksis sebesar 217,643 µg/g dan 295,776 µg/g (Mahajoeno, 1994). Akan tetapi penelitian terhadap nikotin yang diperoleh dari
tembakau sisa pabrik rokok untuk mengendalikan lalat rumah belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar nikotin ekstrak tembakau sisa pabrik rokok yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida, serta nilai LD50-24 jam ekstrak tersebut terhadap lalat rumah. Tanaman Tembakau Spesies tembakau yang biasa ditanam di negaranegara produsen termasuk Indonesia adalah Nicotina tabaccum dan Nicotina rustica (Makfoeld, 1982). Luas areal tanaman tembakau di Indonesia pada akhir 1992 lebih dari 200.000 ha, dengan produksi mencapai 120.103 ton (STIR, 1993). Sekitar 82% luas areal tanaman tembakau diusahakan rakyat, sisanya merupakan perkebunan negara dan swasta. Tembakau perkebunan negara dan swasta digunakan untuk pembuatan rokok putih dan cerutu, sedangkan tembakau rakyat digunakan untuk rokok kretek, rokok lintingan dan sugi (susur) (Anonim, 1988). Tembakau mengandung senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid, terutama nikotin dan isomernya, seperti nornikotin, nikotirina, anabasina dan lain-lain. Karena nikotin merupakan bagian terbesar penyusun alkaloid tembakau, maka seringkali total alkaloid tembakau dianggap sebagai nikotin. Tinggi rendahnya kandungan nikotin dipengaruhi oleh pemupukan, jarak tanam, irigasi, penyimpanan hasil dan pemangkasan, serta varietas tanaman, cuaca, musim, jenis dan kedalaman tanah 2000 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
2
BioSMART, Vol. 2, No. 2, Oktober 2000, hlm. 1-7
(de Ong, 1962; Kapur and Attal, 1982). Kebanyakan nikotin, sekitar 88%, terdapat pada daun, sedang sisanya, antara 0,08-9%, terdapat pada batang, akar dan bunga (Quraishy, 1977; Makfoeld, 1982). Nikotin memiliki rumus kimia C10 H14 N2;1metil-2(3-piridil)pirolidin atau α-piridil β-N-metil pirolidin dengan berat molekul 162,23 dan titik didih 247,3 oC. Dalam tembakau senyawa ini berikatan dengan asam malat atau asam sitrat. Di alam berbentuk cairan tak berwarna sampai kekuning-kuningan atau coklat, dan apabila terkena cahaya membentuk tar, seperti minyak dan sangat higroskopis. Larut dalam air, alkohol, eter, kloroform, kerosin dan pelarut organik lain. Nikotin murni dapat diperoleh dengan penyulingan uap atau penyulingan vakum (de Ong, 1969). Nikotin merupakan insektisida yang bersifat neurotoksis (racun sistem saraf). Sifat ini disebabkan karena adanya cincin piridin, atom nitrogen basa kuat pada cincin pirolidin, jarak optimum kedua atom nitrogen dan kedudukan cincin piridin (Yamamoto et al., 1965 cit Quraishy, 1977). Lalat rumah Musca domestica L. Lalat rumah berukuran lebih besar daripada lalat buah, secara taksonomi termasuk Phylum Arthropoda, Clasis Insecta, Ordo Diptera, Familia Dictyoptera (Muscidae). Lalat ini merupakan penyebar berbagai penyakit, serta menghasilkan sekresi persisten dan bau tak sedap (Zai, 1996; Scott and Rutz 1988). Penyakit yang ditularkannya antara lain amebiasis, kolera, tipus, disentri dan cacingan (Belding, 1965; Metcalf and Flint, 1979). Telur lalat rumah membentuk massa yang dilindungi kantong telur. Nympha biasanya berbentuk seperti lalat dewasa, hanya lebih kecil, belum memiliki sayap dan organ seksnya belum lengkap. Nympha mengalami 6-10 kali pergantian kulit sebelum dewasa penuh. Lalat jantan biasanya lebih cepat dewasa dan lebih sedikit proses pergantian kulitnya. Daur hidup lalat rumah dapat mencapai lebih dari 2 tahun, tetapi pada kondisi optimum, temperatur 20-30o C, dapat berlangsung kurang dari enam bulan (Metcalf and Flint, 1979). Lalat rumah dewasa berwarna kehitam-hitaman, ukurannya mencapai 20-27 mm. Bentuk tubuh agak pipih dorso-ventral. Pada bagian kepala ter-dapat sepasang antena panjang dan dua mata yang besar dengan tipe mulut mengunyah. Pronotum melapisi dasar tengkorak dan sayap. Sayap depan seperti kulit dan berwarna, sedangkan sayap belakang jernih seperti membran. Baik jantan maupun betina memiliki sersi besar dan bersegmen pada bagian atas abdomen. Hewan jantan dan betina dibedakan oleh bentuk dan ukuran segmen ujung abdomen,
serta hewan jantan memiliki stylus dekat sersi (Metcalf and Flint, 1979). BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Sublab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS Surakarta. Bahan Bahan yang dibutuhkan meliputi: serbuk tembakau sisa pabrik rokok, bahan kimia untuk analisis kualitatif dengan metode ekstraksi yang dilanjutkan dengan kromatografi lapis tipis, bahan kimia untuk analisis kuantitatif dengan metode penyulingan uap, bahan kimia untuk pembuatan larutan uji dan pakan serangga. Tembakau sisa pabrik rokok didapatkan dari PT. Reco Pentung Bojonegoro (Pabrik 1, 2 dan 3). Bahan kimia dalam analisis kualitatif dengan metode ekstraksi/penyarian meliputi petroleum eter, asam khlorida, pereaksi Dragendorff, natrium bikarbonat dan kloroform untuk; dilanjutkan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) meliputi: silika gel GF 254 sebagai fase diam; sikloheksana-dietilamina (9:1, v/v), toluenaetilasetat-dietilamina (7:2:1, v/v) dan metanolamonia (200:3; v/v) sebagai fase pengembang. Bahan kimia dalam analisis kuantitatif dengan penyulingan uap meliputi: natrium hidroksida, asam khlorida dan natrium khlorida untuk membentuk garam alkali yang melarutkan serbuk tembakau; serta larutan asam silikotungstat sebagai pengikat alkaloid untuk mengetahui ada tidaknya alkaloid tersebut. Bahan kimia untuk pembuatan larutan uji antara lain: serbuk kapur (CaO), petroleum eter, air suling, tragacant dan aseton. Ekstraksi dilakukan bertahap hingga diperoleh fraksi petroleum eter, kemudian dikering-anginkan dan dilarutkan dalam aseton sebagai larutan persediaan (stok). Bahan-bahan kimia yang digunakan semua berkualitas pure-analysis, sedang larutan pembanding niktoin berkadar 98% (Gunawan dkk., 1993). Bahan dalam pembuatan pakan serangga uji merujuk pada Lee et al. (1996) dengan modifikasi meliputi: tepung pakan ayam (100 g), yeast roti (10 g), air suling (5 ml), larutan molase (5 ml) dan susu skim (15 g) yang dicampur hingga seperti bubur untuk pakan hewan muda, sedangkan sukrosa yang dicampur susu skim untuk pakan hewan dewasa. Alat Peralatan dalam penelitian ini meliputi alat untuk pembiakan serangga uji, seperangkat alat uji
MAHAJOENO - Toksisitas Tembakau pada Lalat Rumah (Musca domestica L.)
kualitatif, kuantitatif dan alat untuk pembuatan larutan uji. Alat yang digunakan untuk pembiakan lalat F1 antara lain: sangkar kasa, cawan dan mangkuk plastik kecil dengan diameter 6 cm, jala penangkap serangga dan serbuk gergaji/pasir. Alat untuk uji kualitatif meliputi alat ekstraksi dan kromatografi lapis tipis antara lain: tabung refluks, gelas ukur, termometer, waterbath, corong pisah, jarum injeksi dan lampu ultraviolet 254 dan 365 nm. Alat untuk uji kuantitatif meliputi labu Kjeldahl, kondensor, pemanas, tabung elenmeyer. Alat untuk pembuatan larutan uji antara lain: gelas erlenmeyer, pipet ukur, waterbath dan termometer, sedangkan untuk pengujian toksisitas digunakan mikropipet, gas karbon-dioksida, flowmeter dan stopwatch. Cara Kerja Penelitian ini meliputi pengumpulan serbuk tembakau sisa pabrik rokok, penyediaan serangga uji, analisis kualitatif ekstrak tembakau sisa, analisis kualitatif/kadar nikotin dan pengujian toksisitas ekstrak terhadap lalat. Penyediaan serangga uji Lalat rumah induk liar (P1) ditangkap dengan jala di sekitar rumah, selanjutnya lalat ini dibiakkan untuk mendapatkan lalat dewasa yang merupakan turunan pertamanya (F1), pembiakan diteruskan untuk mendapatkan turunan kedua (F2) yang digunakan dalam uji toksisitas ini. Induk lalat (P1) dipelihara dalam sangkar dengan kelembaban 50%, temperatur 25-30 oC dan aliran udara baik. Dalam sangkar disediakan pakan lalat dewasa dan pakan nympha. Medium pakan nympha diperiksa setiap hari, apabila terdapat nympha (F1) dipindahkan ke sangkar baru yang sepertiga bagian dalamnya berisi pasir/serbuk gergaji bersih. Cara yang sama dilakukan untuk mendapatkan lalat F2 (Chalimah, 1994). Analisis kualitatif Analisis kualitatif ekstrak tembakau sisa dilakukan dengan penyarian yang diteruskan dengan kromatografi lapis tipis. Serbuk tembakau sisa sebanyak 3 g disari dengan petroleum eter 10 ml, pada temperatur 50 oC selama 5 menit, kemudian disari dengan 10 ml asam khlorida 1% selama 50 menit, fraksi yang diperoleh diuji dengan pereaksi Dragendorff. Apabila positif ditambah natrium bikarbonat 1 M sampai pH 8-9, lalu disari dengan 10 ml kloroform. Lapisan bawah yang diperoleh setelah melalui corong pisah ditotolkan pada lapisan tipis silika gel GF-254 yang dikembangkan dengan tiga macam fase gerak
3
yaitu: sikloheksana dietilamina (9:1), toluenaetilasetat-dietilamina (7:2:1) dan metanol-amonia (200:3). Larutan pembanding (larutan baku; standard) adalah nikotin 98% (Gunawan, 1993). Analisis kuantitatif Analisis kuantitatif ekstrak tembakau sisa dilakukan dengan penyulingan uap. Serbuk tembakau sisa sebanyak 5 g dimasukkan dalam labu Kjedahl dicampur dengan garam alkali 50 ml hingga mengendap. Dimasukkan asam khlorida 25 ml dalam gelas elenmeyer 1000 ml. Kedua labu dirangkai dalam perangkat penyulingan uap sehingga diperoleh sulingan sebanyak 1 liter. Disediakan larutan nikotin baku sebanyak 0,2 g dilarutkan dalam asam khlorida 0,05 N hingga sebanyak 1 liter. Diambil 10 ml larutan tersebut dicampur asam khlorida 0,05 N hingga sebanyak 100 ml, lalu ditentukan pada serapan A = 259 nm. Penetapan kadar nikotin atau total alkaloid sebagai nikotin dilakukan dengan spektrofotometer, dengan cara sebagai berikut: diambil 10 ml sulingan dilarutkan dalam asam khlorida 0,05 N hingga 100 ml, lalu diukur pada serapan A= 259 nm, dengan menggunakan pengenceran pelarut hingga diperoleh harga sekiar 0,5-0,8, kemudian dibaca pada A = 236; 259; dan 282 nm. Perhitungan: A' 259 nm yang dikoreksi A = 1,059 x (A 259-0,5 (A 236 + A 282)). Konsentrasi c (kadar alkaloid sebagai nikotin g/l) = A' 259 /a x b, dimana a = daya serap pada 259 nm dan b = panjang sel quartz (cm). Perhitungan persentase alkaloid sebagai nikotin = c x volume sulingan (lt) x 100 /g sampel (AOAC, 1970). Penyediaan larutan uji Setelah kadar nikotin tertinggi tembakau sisa pabrik rokok diketahui, maka dilakukan penyarian serbuk tersebut untuk memperoleh larutan uji. Serbuk tembakau sisa sebanyak 10 g dicampur dengan kapur (CaO) dan ditambah air suling 25 ml hingga lumat dalam labu gelas, lalu digojog menjadi bubur. Ditambahkan petroleum eter 25 ml digojog kuat-kuat selama 15 menit, dicampur dengan tragacant 1 g digojog kuat, kemudian disaring dan diperoleh fraksi (ml). Apabila fraksi petroleum eter diuapkan maka diperoleh residu (stok) total alkaloid sebagai nikotin (Gunawan, 1993). Kemudian untuk mendapatkan 5 kelompok dosis larutan uji, maka larutan stok dilarutkan dengan aseton ug/ml (ppm). Penetapan besarnya dosis perlakuan didasarkan pada hasil uji pendahuluan.
4
BioSMART, Vol. 2, No. 2, Oktober 2000, hlm. 1-7
Pengujian toksisitas Berdasarkan hasil uji pendahuluan ditetapkan lima variasi dosis uji toksisitas yaitu 60.000, 50.000, 40.000, 30.000 dan 20.000, ug/ml dan kontrol. Larutan uji diteteskan pada notum (tergit torak) lalat yang sebelumnya telah dibius dengan gas karbondioksida (CO2) selama beberapa detik. Serangga kontrol hanya ditetesi aseton. Setiap variasi dosis dan kontrol diujikan pada 10 ekor serangga dengan tiga kali ulangan, dan ditimbang berat badannya. Jumlah serangga yang mati setelah 24 jam dicatat dan 30 ekor serangga yang mati kemudian ditimbang untuk mendapatkan rata-rata berat badan. Keseluruhan hasil uji kualitatif dan kuantitatif dianalisis secara diskriptif komparatif. Data mortalitas serangga selama 24 jam digunakan untuk menghitung LD50-24 jam dengan menggunakan analisis probit (Finney, 1962 cit Heinrich et al, 1981). HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kimia Tembakau Sisa Cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekumpulan tembakau sisa berbentuk debu
atau serbuk tembakau (tobacco dust) jenis Nicotiana tabaccum dari berbagai varietas. Serbuk tembakau sisa berbeda-beda dalam ukuran, warna dan lama waktu penyimpanan, namun secara umum tembakau sisa tersebut merupakan hasil perajangan dan pengomprongan tembakau bahan baku rokok sebelum dicampur dengan bahan-bahan lain dalam proses pembuatan rokok. Hasil uji kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis dengan tiga fase pengembang yaitu: sikloheksan-dietilamina, toluena-etilasetatdietilamina dan metanol-amonia. terhadap masingmasing sampel, berturut-turut seperti pada gambar 1 nomor 1, 2 dan 3. Pada gambar 1 nomor 1, 2 dan 3 tampak bahwa besar noda larutan pembanding nikotin 98% pada seluruh fase pengembang ukurannya relatif lebih besar dibanding noda ketiga sampel tembakau sisa pabrik rokok. Pada satu macam fase pengembang masing-masing sampel menunjukkan kandungan alkaloid yang identik yaitu menunjukkan satu gambaran noda ekstrak tembakau sisa. Gambaran noda ekstrak menunjukkan yang terkandung hanya satu macam senyawa kimia (Soebito dan Wattimena, 1993). Pada gambar 1 nomor 1 tampak bahwa masingmasing sampel tembakau sisa mempunyai nilai Rf
Gambar 1. Kromatogram lapis tipis ekstrak tembakau sisa pabrik rokok dengan fase pengembang: 1. sikloheksanadietilamina, 2. toluena-etilasetat-dietilamina dan 3. metanol-amonia. Keterangan: P: larutan pembanding nikotin 98%, A: Pabrik Rokok Reco Pentung 1, B: Pabrik Rokok Reco Pentung 2 dan C: Pabrik Rokok Reco Pentung 3.
MAHAJOENO - Toksisitas Tembakau pada Lalat Rumah (Musca domestica L.)
yang relatif sama dengan larutan pembanding, demikian pula pada fase pengembang kromatogram yang lain (nomor 2 dan 3). Nilai Rfx100 total nikotin semua sampel rata-rata mendekati nilai Rfx100 larutan pembanding, oleh karena itu jenis alkaloid utama yang terdapat pada serbuk tembakau sisa pabrik rokok tersebut dapat dikatakan secara kualitatif sama. Tabel 1. Nilai Rf x 100 sampel ekstrak tembakau sisa pabrik rokok dan pembanding (nikotin 98%) Ekstrak tembakau sisa pabrik rokok Pembanding Pabrik 1 Pabrik 2 Pabrik 3
Fase Pengembang ekstrak tembakau sisa ketiga pabrik rokok MetanolSikloheksanToluenaamonia dietil amina etilasetat(200:3) (9:1) dietilamina (7:2:1) 90 88 85 86 87 86 85 86 84 87 86 83
Nilai rata-rata Rfx100 larutan pembanding adalah 87,6 pada fase pengemabng sikloheksanadietilamina seperti pada tabel 1 di atas, relatif sama dengan nilai Rf ketiga sampel tembakau sisa pabrik yang berkisar antara 83-87. Menurut Harborne (1987) nilai Rfx100 nikotin adalah 47 pada fase metanol-amonia (200:3), hal ini jauh berbeda dengan hasil analisis ekstrak tembakau sisa berbagai pabrik rokok yaitu antara 83-86. Namun nilai Rfx100 nikotin tembakau sisa relatif sama dengan pembanding nikotin 98% pada fase pengembang yang sama, yakni 85. Karena metode kromatografi lapis tipis merupakan metode pembandingan, maka identitas senyawa yang disarikan dari tembakau sisa pabrik rokok 1, 2 dan 3 adalah sama dengan senyawa pembanding , yaitu: nikotin (Soebito dan Wattimena, 1993). Tabel 2. Kandungan total nikotin sampel tembakau sisa. Ekstrak tembakau sisa Pabrik 1 Pabrik 2 Pabrik 3
Jenis serapan pada tembakau sisa (nm) A236 A259 A282 C=A’/a x b (%) 0,176 0,594 0,052 8,442 0,204 0,732 0,066 10,472 0,624 2,398 0,197 13,362
Hasil analisis kuantitatif seperti ditunjukkan pada tabel 2, terlihat kandungan nikotin yang tertinggi di antara ketiga sampel tembakau sisa pabrik adalah sampel serbuk tembakau Pabrik 3, yaitu 13,362%. Kandungan total nikotin tembakau sisa pabrik rokok yang lain juga tidak kecil/rendah, pada Pabrik 1 dan 2 masing-masing adalah 8,442%
5
dan 10,472%. Oleh karena itu diduga cukup efisien untuk pengembangan bahan insektisida nabati/ alami (Kapur and Attal, 1982). Adanya variasi kandungan total nikotin yang diperoleh di antara ketiga sampel tembakau sisa pabrik rokok, dimungkinkan karena banyak faktor lingkungan yang berpengaruh seperti pengolahan tanaman dan pengelolaan hasil tembakau sisa masing-masing lokasi (STIR, 1993, Makfoeld, 1982; Kapur and Attal, 1982). Pembiakan serangga uji Dalam pembiakan serangga uji beberapa faktor yang diperhatikan adalah kelembaban media telur dan nympha, serta kebersihan lingkungan agar terhindar dari serangga pengganggu seperti semut. Makanan nympha dan dewasa berupa bahan-bahan organik terlarut dalam media yang lembab, diupayakan tersedia dalam jumlah cukup untuk populasi yang dibiakan. Populasi serangga yang melimpah dihindari dengan membagi jumlah telur yang akan ditetaskan dalam samgkar yang berbeda-beda dan dijaga kebersihaan maupun persediaan bahan pakan yang diberikan setiap dua-tiga hari sekali. Untuk memperoleh nympha dalam jumlah yang cukup dan seragam dilakukan pemilahan ke dalam sangakar yang berbeda-beda dan penghitungan populasi telur untuk mencegah populasi yang terlalu tinggi, sehingga diperoleh ukuran nympha yang seragam. Uji toksisitas Hasil uji toksisitas ekstrak tembakau sisa pabrik rokok terhadap lalat rumah Musca domestica dan dimanifestasikan dengan nilai LD50-24 jam adalah 72,765 µg/g untuk lalat jantan, sedangkan dosis efektif terhadap lalat betina adalah 86,649 µg/g. Toksisitas ekstrak tembakau sisa terhadap serangga uji ini dikategorikan dalam toksis sedang (WHO, 1983). Toksisitas ekstrak tembakau sisa pabrik rokok yaitu efek toksis nikotin terhadap lalat uji lebih tinggi daripada toksisitas tembakau yang pernah dilakukan terhadap lalat, juga dibandingkan dengan toksisitasnya terhadap lalat rumah liar. Hal ini dimungkinkan karena perbedaaan morfologi fisiologi tubuh, dimana serangga uji relatif masih stadium nympha setelah beberapa (3-5) kali pergantian kulit dan belum terdapat sayap sempurna sebagai ciri khas lalat dewasa, dapat pula disebabkan karena adanya perbedaan virietas jenis serangga tersebut (Chalimah, 1994). Hasil statistika Analisis Probit ekstrak tembakau sisa pabrik rokok terhadap lalat rumah Musca domestica disajikan pada gambar 2.
BioSMART, Vol. 2, No. 2, Oktober 2000, hlm. 1-7
6
Gambar 2. Garis logaritma dosis-probit ekstrak tembakau sisa terhadap lalat jantan dan betina.
Metode uji topikal terhadap lalat yang lain untuk mengetahui daya resistensinya telah cukup banyak dilakukan (Scharf et al, 1995). Pemakaian secara laboratoris toksisitas niktoina terhadap serangga ini menurut WHO 1983 dalam kategori peringatan (moderat beracun) perlu adanya penerapan di lapangan dan penanganan maupun penelitian lebih lanjut. Tabel 3. Toksisitas ekstrak tembakau sisa pabrik rokok terhadap lalat jantan dan betina LD50-24 jam Jenis Indeks SE Kelamin LD50 Batas Batas kemiringan kemiringan µg/g bawah atas Jantan 72,765 4,489 4,486 4,306 0,719 Betina
86,649 4,228 4,665
4,612
0,769
Nilai LD50-24 jam cukup tinggi bila dibandingkan dengan nilai LD50 dari insektisida kimiawi sintetik terhadap lalat ini, misalnya resistensi terhadap pemakaian carbamat, organoklorin maupun organofosfat (Hemingway et al., 1993). Hal ini dapat dimungkinkan karena sifat nikotin yang mudah mengendap dan menguap pada larutan uji dan tidak berarti bahwa lalat telah mengembangkan resistensi ganda terhadap nikotin, karena lalat yang telah mengembangkan resistensi antikolinesterase tidak akan mampu mengembangkan resistensi ganda terhadap nikotin (Eldefrawi,
1983). Termasuk lalat yang telah resisten terhadap hampir semua insektisida kimiawi sintetik. (Scott and Rutz, 1988; Hemingway et al., 1993). KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar nikotin tertinggi pada ekstrak tembakau sisa pabrik rokok adalah 13,36%. Nilai LD50-24 jam ekstrak tembakau sisa pabrik rokok terhadap lalat rumah betina adalah 86,46 µg/g dan jantan adalah 72,76 µg/g atau termasuk dalam kategori toksisitas sedang. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ekstrak tenmbakau sisa pabrik rokok mampu menjadi bahan insektisida untuk pengendakian lalat rumah Musca domestica. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Terapan, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI selaku penyandang dana serta pihak-pihak lain yang membantu penelitian.
MAHAJOENO - Toksisitas Tembakau pada Lalat Rumah (Musca domestica L.)
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1988. Pelaksanaan Program Intensifikasi Tembakau. Lokakarya Peningkatan Produksi dan Kualitas Tembakau Virginia di Bojonegoro Jakarta. Lembaga Tembakau Indonesia. AOAC, 1970 Official Methods of Analysitical Chemist. Horwitz, W. editor. Exelent edition Washington. PO Box 540 Benjamin Franklin. Belding, DL. 1965. Textbook of Clinical Parasitology. New York. Appleton Century Croffts Inc. Chalimah, S. 1994. ................................... De Ong, ER. 1962. Chemistry and Uses of Pesticides. Reinhold Publishing Company. NewYork. Eldefrawi, M.E. 1985. Nicotine. In Comprehensive Insect Physiology Biochemistry and Pharmocology. Kerkurt, G.A and L.I Gilbert (eds). New York. Pergamon Press. Gunawan, D., Soegihardjo, C.J., Mulyani, S., Susanto, S. Wahyuningsih dan Untoro,P. 1993. Petunjuk Praktikum Farmakognosi 2. Yogyakarta, Laboratorium Farmakologi Jur. Biologi Farmasi Fak. Farmasi UGM Harborne, J. 1987. Metode Fitokimia. Terbitan kedua terj. Padmawinata K dan Soediro, I. Bandung. Penerbit ITB. Hemingway, J., Dunbar, SJ, Monro, AG. and GJ. Small. 1993. Pyrethroi Resistance in German Cochroach (Dictyoptera: Blattellidae): Resist-ance Levels and Underlying Mechanism. J. Econ. Entomology 86(6): 1631-1638 Hemingway, J., Small, GJ and AG. Monro, 1993. Possible Mechanisms of Organophosphorus and Carbamate Insecticide Resistance in German Cockroaches (Dityoptera: Blattellidae) from Different Geographical Areas. J. Econ. Entomology 86(6): 1623-1630
7
Jacobson, M. 1989. Botanical Insecticides: Past, Present, Future. In: Washington DC. Insecticides of Plant Origin ACS Seminar Series American Chemical Society. Kapur, BM and CK Attal,1982. Cultivation Utilization of Nedicinal Plants. India. Regional Research Laboartory. Lee, RST, Lee, CY, Yap, HH and NL, Chong. 1996. Insecticide Resistance and Synergism in Field Collected German Cockroaches (Dyctyoptera: Blattellidae) in Peninsular Malaysia. Bull. Entomological Research (86): 675-681 Makfoeld, D.1982. Mengenal Beberapa Penilaian Fisik Mutu Tembakau di Indonesia. Yogyakarta. Penerbit Liberty. Metcalf, CL and WP Flint, 1979. Destructive and Use Insect. Michigan. Edward Brothers Inc. Scharf, ME, Bennet GW, Reid BL and Qui Chunfu, 1995. Comparisons of three Insecticide Resistance Detection Methods for the German Cockroach (Dictyoptera: Blattellidae). J. Econ. Entomology 88(3): 536-542 Scott, JG and DA Rutz. 1988. Comparative Toxicities of Seven Insecticides to Housefly (Diptera:Muscidae) and Urolepis rufipes (Ashmead) (Hymenoptera:Pteromalidae). J. Econ. Entomology 81(3): 806-807 Soebito, S. dan JR Wattimena, 1983. Metode Analisis untuk studi Farmakologi Toksisologi Farmakokinetik. Lab. Manual. Bandung. PAU Ilmu Hayati ITB. STIR. 1993. Industri Hasil Tembakau Tantangan dan Peluang. Penyunting Satuan Tugas Industri Rokok. Jakarta. World Health Organization, 1983. Integrated Vector Control Sevent Report. Geneva. WHO Tech Rep. Ser. No. 688. Zai, J and WH Robinson, 1996. Instability of Cypermethrin Resistance in Field Population of the German Cockroach (Orthoptera: Blattellidae). J. Eco. Entomology 89 (2): 332336.