N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
Rp 5000,- (LUAR ACEH Rp 6000,-)
MODUS ACEH
2
Redaksi
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
TABLOID BERITA MINGGUAN
MODUS ACEH
■ Tempo/Dian Triyuli Handoko
LENSA
BIJAK TANPA MEMIHAK
Penanggungjawab/ Pimpinan Redaksi Muhammad Saleh Direktur Usaha Agusniar Sekretaris Redaksi Juli Saidi Redaktur Pelaksana Dadang Heryanto Koordinator Liputan Rahmat Taufik Kartunis/Design Grafis Olexs/Firmansyah Pemasaran/Sirkulasi Firdaus, Hasrul Rizal, Ghifari Hafmar Sekretariat/ADM Dewi Fitriana Yulia Sari Kepala Bagian Keuangan Agusniar Bagian IT Joddy Fachri Bagian Iklan Ari Pratama Wartawan Muhammad Saleh Juli Saidi, Dadang Heryanto Lhokseumawe/Aceh Utara Hasnul Yunus Aceh Barat Daya/Aceh Selatan Julida Fisma Sabang Tri Endang Sundari Taufik Kurahman Koresponden Nagan Raya Aceh Barat Takengon Aceh Besar Aceh Tenggara Gayo Lues Kuala Simpang Pidie, Langsa Bener Meriah Simeulue Bireuen
NASIB BALITA DI POSKO PENGUNGSIAN GUNUNG SINABUNG Seorang warga memandikan cucunya didalam ember kecil di Posko pengusian Univrsitas Karo, Sumut, (24/01). Minimnya fasilitas untuk para anak balita dipengusian korban erupsi gunung sinabung membuat sejumalh balita terkena sakit.
SUARA ANDA IPELMABAR Kecam Tindakan Penganiayan Narapidana Wakil Sekretaris Umum Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Aceh barat (IPELMABAR), Hamdani Mustika. A, meminta kepada aparat kepolisian dan KANWIL Hukum dan HAM Aceh, untuk menangkap dan memberi sanksi seberat-beratnya kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP) Meulaboh yang melakukan penganiayaan terhadap Ade Saswito bin Darqutni (26),warga Desa Cot Seumereung, Kec.Samatiga,Kab.Aceh Barat.Ade merupakan salah seorang narapidana dalam LP Meulaboh. Akibat penganiyaan yang tidak manusiawi itu, Ade Saswito meninggal dunia pada Sabtu, 18 Januari 2014 di Rumah Sakit Cut Nyak Dhien Meulaboh, Aceh Barat. Kami sangat
menyayangi peristiwa tersebut terjadi di tempat yang seharusnya setiap narapidana mendapatkan pembinaan untuk bisa di terima kembali dalam kehidupan masyarakat. Tapi faktanya, masih sering kita lihat penyimpangan yang terjadi dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP). Zulkifli Andi Govi (Ketua Umum IPELMABAR) mengatakan, kasus penganiyaan yang dilakukan petugas pemasyarakatan sangat menghina lembaga pemasyarakatan itu sendiri. Seharusnya Lembaga Pemasyarakatan menjadi tempat pembinaan narapidana, bukan tempat penyiksaan sebagaimana yang telah di atur di dalam Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 Ten-
tang Pemasyarakatan. Narapidana bukanlah orang untuk kita asingkan dalam kehidupan meskipun mereka telah melakukan kegiatan yang melanggar hukum. Sebab,mereka juga berhak mendapatkan perlakuan yang layak dari Lembaga Pemasyarakatan serta memperoleh layanan perawatan kesehatan yang memadai. IPELMABAR mengharapkan kepada pihak terkait dapat menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran penting serta masih banyak sistem yang ada di Lembaga Pemasyarakatan, yang perlu untuk di benahi baik dari segi pendidikan petugas maupun fasilitas yang ada (sesuai standar kehidupan yang layak).*** TRIBUNEWS
Alamat Redaksi Jl. T. Panglima Nyak Makam No. 4 Banda Aceh. Telp (0651) 635322 Fax. (0651) 635316, email:
[email protected] www.modusaceh.com.
Redaksi menerima sumbangan tulisan yang sesuai dengan misi tabloid ini. Tulisan diketik dua spasi, maksimal lima halaman kuarto. Redaksi berhak merubah isi tulisan tanpa menghilangkan makna, arti dan substansi dari tulisan tersebut. Setiap tulisan yang dikirim, harus disertai photo diri.
Duduk di depan sel dingin tahanan Meulaboh.
DALAM MENJALANKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MODUS ACEH DIBEKALI KARTU PERS. TIDAK DIBENARKAN MENERIMA ATAU MEMINTA APAPUN DALAM BENTUK APAPUN DAN DARI SIAPA PUN
MODUS ACEH
Abdya
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
3
■ Pembagian Delapan Unit Mobil Dinas
Sinyal tak Elok Pemerintah Jufri
■ MODUS ACEH/Julida Fisma
Jumlah rakyat miskin di Aceh Barat Daya (Abdya), mencapai 24 ribu jiwa lebih. Sementara, kondisi ekonomi kian tak menentu. Bupati Abdya, justru membagikan mobil baru untuk para pejabat dan saudaranya. ■ Laporan Julida Fisma DA yang beda di halaman parkir Kantor Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Rabu, 11 Desember 2013 silam. Lihatlah, delapan mobil baru dari berbagai merek,berada di sana. Usut punya usut, mobil plat merah tadi, memang sengaja dibeli atau diadakan Pemerintah Kabupaten Abdya di bawah kepemimpinan Jufri Hasanuddin. Kabarnya,kenderaan roda empat tersebut, memang sengaja dibeli untuk memenuhi tuntutan dinas bagi pejabat. Begitu pun, tersiar kabar, beberapa dari mobil tadi juga digunakan dan dibagikan kepada saudara Bupati Jufri. Walau masih dibutuhkan pengakuan dari Bupati Jufri, berita bagi-bagi mobil baru tadi begitu cepat tersiar di masyarakat. Itu sebabnya, sejumlah warga mengaku
A
kecewa dengan kebijakan Bupati Jufri Hasanuddin. Maklum, kebijakan itu dinilai tak tepat, di tengah karut marutnya kondisi ekonomi masyarakat Abdya. Betapa tidak, ada Rp 1,2 miliar lebih, Anggaran Pendapatan Kabupaten Perubahan (APBK-P) Abdya, tahun 2013, yang dikuncurkan untuk membeli mobil dinas baru ini. Jika diberikan kepada pejabat daerah, bisa jadi tak soal. Tapi, bila yang menerima fasilitas negara tersebut adalah keluarga Bupati Jufri. Maka, patut dipertanyakan. Sebut saja Sekretaris Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Sejahteran (BPM,PP dan KS). Instansi ini memperoleh satu unit mobil Toyota Avanza warna silver masih menggunakan plat putih BL 1286 XY. Sementara untuk pejabat eselon II setingkat kepala dinas dan badan di jajaran Pemkab Abdya, masih memanfaatkan fasilitas lama tahun 2005 silam. Tak hanya itu, Kepala Bagian Setdakab Abdya, yang juga adik ipar Bupati Jufri, menikmati mobil dinas baru yang bersumber dari APBK-P. Sedangkan beberapa kepala bagian (Kabag) lainnya, masih menggunakan mobil bekas dari kepala dinas. Kepala Bagian (Kabag) Umum Pemkab Abdya, Misriadi, kepada wartawan beberapa pekan lalu, di ruang kerjanya menjelaskan. Pengadaan Mobil dinas tersebut tidak melalui proses tender,melainkan kerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pemerintah (LKPP).“Ini tidak bisa ditender
Mobil Dinas yang di beli dari APBK-P Abdya 2013 lalu.
karena ada kerja sama dengan LKPP”, jelasnya. Misriadi merincikan, jenis dan merek mobil hasil pembelian dari sumber APBK-P 2013 itu, ada delapan unit diantaranya jenis Double Cabin yaitu, dua unit merek Toyota Hiluxe,tiga unit Toyota Avanza Velos (metik) tipe G. “Mobil-mobil itu akan diberikan kepada kepala pejabat di lingkungan Pemkab Abdya yang membutuhkan , seusai arahan Bupati Jufri Hasanuddin. Untuk mobil Double Cabin diberikan kepada Kadis PU, Perhubungan, dan mobil Toyota Inova akan diberikan kepada para Asisten Setdakab, sedangkan tiga unit Avanza diberikan kepada kepala Badan Kepegawaiaan Pendidikan dan pelatihan (BKPP), Kabag Keuangan dan Kepala BPM,PP dan KS Abdya,” jelasnya. Keterangan yang dihimpun
media ini dari berbagai sumber mengungkapkan. Di awal pelantikannya, Jufri Hasanuddin telah membeli mobil dinas baru untuk tiga asisten dan empat unit mobil untuk Ketua Fraksi di DPRK Abdya. Pembelian mobil baru untuk wakil rakyat itu, sempat menimbulkan polemik antar sesama mereka. Begitu pun, untuk meminimalisir polemik tersebut, pada APBK-P Tahun 2012 lalu, Jufri kembali menambah tiga unit mobil masing-masing untuk Fraksi Pelangi, Ketua Badan Anggaran dan Ketua Badan Kehormatan Dewan (BKD).Tidak hanya itu,lagi-lagi Jufri membeli mobil untuk operasional pendapa Bupati dan Wakil Bupati,termasuk menggantikan mobil dinas Sekda Abdya. Di sisi lain, ekonomi masyarakat Abdya, masih saja seperti biasa, jika tidak elok
disebut mundur. Muhammad Taufik, salah seorang pedagang, warga Desa Tanganta_ngan, mengaku sudah gulung tikar karena tidak ada pembeli. “Ekonomi masyarakat semakin hari tidak menentu. Jangankan laba, untuk modal saja susah, sebab daya beli masyarakat kurang,” ungkap Taufik. Sebab,tambah Taufik, “Bagaimana masyarakat membeli, ekonomi mereka saja tidak jelas, pendapatan kami tergantung dari pembelian masyarakat, jika masyarakat tidak ada uang, terpaksa kami puasa.” Apa yang disampaikan Taufik tadi benar adanya. Sebab, penduduk miskin di Kabupaten Abdya, menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik Abdya, mencapai, 2464 jiwa atau 18,51persen.***
4
MODUS ACEH
Sabang
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
■ Pengadaan Rumah Bantuan Duafa di Sabang
Siapa Dekat Dia Dapat? Pengadaan bantuan rumah bagi kaum duafa tahun 2013 di Sabang, dinilai masih belum lepas dari aroma kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Ada kesan, proyek murah ini sarat kepentingan dan berbau politik. Siapa dekat, dia dapat. Alamak! ■ Laporan: Taufik Kurahman ULKIFLI (50) hanya bisa diam. Raut wajahnya mengisyarakat kecewa dan tanda tanya besar.Ini terkait dengan kebijakan pengadaan dan bantuan rumah kaum duafa yang dilakonkan Pemerintah Kota (Pemko) Sabang.Warga Gampong Cot Ba’u Jurong Dapu Bata ini menilai, sebagian besar bantuan rumah duafa, diterima orang yang tidak tepat. Indikasi itu diungkapkan Zulkifli kepada MODUS ACEH di salah satu warung, Jalan Yos Sudarso, Kota Sabang, pekan lalu. Menurut pria yang selalu menggunakan topi pet berwarna hitam ini, dari sejumlah usulan atau rekomendasi dari keuchik setempat, tidak satu pun yang ditindak lanjuti Pemko Sabang.“Indikasi penyimpangan penerima rumah bantuan untuk kaum dhu’afa ini sudah terang benderang.Karena itu, sebagai warga kami diminta kepada aparat penegak hukum untuk mengusut, sesuai dengan hukum yang berlaku,” pinta Zulkfili. Tak hanya itu, dia juga meminta pihak terkait untuk melakukan verifikasi dan evaluasi ulang terhadap program bantuan rumah bagi kaum miskin tadi. Alasannya, ada dugaan, pihak yang menerima tidak tepat sasaran. Artinya, banyak penerima bantuan yang belum layak mendapat rumah. “Bisa tanyakan pada Pak Keuchik, semua usulan tidak satu pun yang ditindaklanjuti oleh pemerintah. Jadi saya lihat, ada dugaan KKN dalam penerimaan rumah bantuan ini,” ungkap Zulkfili. Yang sangat memprihatinkan, kata Zulkfili, sejak dikerjakan, proyek tersebut sangat amburadul dan rekanan pelaksana proyek dinilai tidak profe-
Z
sional. Ini terlihat dari batas waktu yang tertera dalam kontrak berakhir, namun kondisi rumah belum siap. “Dari pemasangan pondasi sampai plafon bisa kita lihat adanya kekurangan dan adukan semen asal-asalan. Bahkan, material plafonnya bisa kita patahkan dengan tangan. Yang penting rumah tersebut bisa berdiri dan ditempati oleh orang miskin.Tapi pemerintah terkait, tidak mengubris atau mengawasi rumah tersebut,” kata Zulkifli. Yang tak kalah ironis,menurut Zulkfili lagi, penerima rumah bantuan tersebut dinilai sarat dengan kepentingan politik dan oknum tertentu.Tujuannya, untuk memperoleh simpati masyarakat, menjelang Pemilu, 9 April 2014 mendatang. Dugaan ini bisa dilihat dari daftar penerima rumah bantuan duafa di daerah itu. “Aneh, seharusnya soal rumah miskin ini jangan dikaitkan dengan politik. Kalau memberi rumah bantuan harus
sebab usulan yang telah saya buat sesuai dengan kesepakatan orang-orang tua di Jurong Dapu Bata,” kata Ali, heran. Soal penerima rumah bantuan ini, Ali menegaskan agar Keuchik setempat lebih serius dalam menangani masalah. Sebab,Ali khawatir bisa terjadi hal yang tidak diinginkan oleh semua pihak.“Kami minta agar Keuchik bisa meluruskan semua ini. Jangan sampai ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Karena ada orang yang berhak mendapatkan rumah tapi tidak mendapatkan rumah bantuan,” ucap Ali. Kecuhik Gampong Cot Ba’u, Adnan Hasyim atau lebih akrab disapa Ayahnan mengaku. Ada sembilan rumah bantuan duafa yang dibangun. Bahkan, Adnan menilai, ada sembilan rumah bantuan duafa yang dibangun di daerah yang dia pimpin saat ini menuai masalah. “Ada datang surat dari Dinas BPM Sabang, jadi di Cot Ba’u ada sembilan unit.Tetapi
Kemala Dewi SH, MM
anya. Sedangkan rumah orang tuanya masih layak ditempati. Itu sebabnya, menurut Adnan, dari 72 unit penerima rumah bantuan yang diusulkan pihaknya, sesuai dengan kesepakatan Gampong dan Jurong. Hasilnya, hanya satu unit yang layak dibangun. Tetapi delapan unit lainnya bukan dari hasil rekomendasi yang diusulkan.“Namun,rumah sembilan unit ini jangan coba-coba mereka datang minta tanda tangan saya, tidak akan saya teken, jangan harap. Karena
Proyek rumah dhuafa hingga batas waktu yang tertera dalam kontrak berakhir, namun kondisi rumah belum siap.
ikhlas,jangan ada kepetingan,” tegas Zulkifli. Sementara itu, mantan Jurong Dapu Bata, Muhammad Ali, juga mempertanyakan hal yang sama. Menurut Ali, kebanyakan usulan dari dirinya tidak ditindaklanjuti pemerintah setempat. Anehnya, tambah Ali, ada penerima yang tidak diusulkan justru memperoleh rumah bantuan. “Saya sempat mempertanyakan kepada Keuchik, kenapa orang yang tidak saya usulkan justru mendapatkan rumah. Saya jadi tidak enak dengan masyarakat lainnya,
saya tidak tahu siapa-siapa, saya tidak tahu sungguh bukan saya menghindar. Saya telpon Sekrektaris BPM, saya tanya di Cot Ba’u dapat rumah duafa sembilan unit untuk siapa saja? Kok, kalian di BPM tidak koordinasi dengan saya. Mana yang layak dulu kita bantu. ‘Oh ini sudah urusan Pak Wali’, dia bilang,”ungkap Adnan, meniru perkataan Sekretaris BPM Kota Sabang. Anehnya lagi, sambung Adnan, ada pegawai pemerintah setempat yang memperoleh rumah bantuan duafa mengatasnamakan orang tu-
sampai hari ini ada rumah yang tidak siap.Nah,itu bukan tanggungjawab saya,karena mereka kerja tidak ada melapor,” kata Adnan mengancam. Padahal kata Adnan, setiap tahun ada usulan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), mana yang layak atau tidak.Tetapi, tambah Adnan lagi, anehnya hari ini yang dekat dengan ajudan Walikota dan Wakil Walikota, diduga justru mendapatkan bantuan tersebut. “Saya tidak tahu kalau ada warga yang minta surat miskin, ya saya keluarin. Eh, tern-
yata dia sudah dapat rumah entah dari siapa. Ini aneh, yang kita usul murni Musrenbang, malah tidak ada. Jadi, ini ada main kroni. Saya sudah tidak suka,” kata Adnan kesal. Untuk bantuan mendatang, Adnan berharap,tim verifikasi dan evaluasi benar-benar turun dan selalu koordinasi dengan Kecuhik setempat. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Keluarga Berencana Perlindungan Perempuan dan Anak (BPM KB PP) Kota Sabang, Kemala Dewi, S.H, M.M mengatakan, mekanisme kriteria penerima rumah bantuan biasanya berasal dari Gampong,dalam hal ini Keuchik. “Mekanismenya dari masyarakat mengusulkan ke Gampong,kemudian usulan itu diserahkan ke BPM dan di BPM ada tim. Nah, tim itu tergabung dari Camat, Polsek dan ke tim verifikasi untuk diseleksi calon peserta. Apa cocok atau tidak data yang ada, sesuai atau tidak dengan yang diajukan Keuchik,” kata Kemala menjelaskan. Saat proses verifikasi di lapangan, kata Kemala, tim turun didampingi masing-masing Keuchik Gampong, guna melihat secara langsung kelayakan calon penerima rumah bantuan tersebut. “Ini saya bercerita karena posisinya saya dengar dari tim. Jadi begitulah mekanismenya,karena saya sendiri belum turun ke lapangan,” kata Kemala dengan polos. Saat ditanya soal ada penerima yang tidak tepat sasaran seperti di Gampong Cot Ba’u. Kemala mengaku tidak tahu menahu, sebab kata Kemala, segala sesuatu harus berdasarkan usulan Keuchik setempat.“Tapi tadi kan ada pihak verifikasi, tim inilah yang melihat apa yang diusulkan,” kata Kemala, jujur. Asisten II Walikota,M Daud selaku Ketua Tim Koordinasi danVerifikasi Pelaksana Pembangunan Rumah Kaum Duafa anggaran tahun 2013 menjelaskan, ada 110 unit rumah yang dananya berasal dari Otonomis Khusus (Otsus) untuk Kota Sabang. Menurut Daud, kriteria penerima rumah bantuan itu sudah ada di BPM dan teknis untuk mendapatkan rumah duafa. Lantas, kenapa semua kebijakan itu masih berbau tudingan dan misteri, terutama mengenai si penerima rumah kaum duafa? Entahlah, hanya Walikota Sabang yang tahu.***
Lhokseumawe
MODUS ACEH N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
5
■ Nasib Napi di Lapas Aceh
Meretas Sangkar Besi Delapan narapidana yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Lhokseumawe, berhasil melarikan diri awal tahun ini. Tujuh orang lolos setelah memanjat tembok penjara. Satu kabur dari pintu depan. Kok bisa?
pada sebuah tiang di dekat SD Negeri 1 Lhokseumawe yang bersebelahan dengan Lapas. Jaraknya sekitar empat meter. Langkah mereka cukup mulus. Begitu keluar, para napi itu langsung menghilang dalam keremangan.Kuat dugaan, tali tersebut memang sudah disiapkan oleh orang lain yang menunggu
membuka pintu Blok 4. Lalu memeriksa kamar. Namun, betapa terkejutnya mereka saat menemukan bahwa kunci kamar sudah dalam kondisi rusak. Seketika para petugas mengadakan apel. Kemudian baru diketahui bahwa
kelalaian,” katanya Jumat pekan lalu. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa saat itu ada empat petugas yang
tujuh napi sudah berhasil kabur. Hanya itu? Tunggu dulu.Tiga hari kemudian seorang napi lainnya juga berhasil melarikan diri dari lapas ini. Napi yang bernama Ardiansyah atau biasa dipanggil Koko oleh rekan-rekannya itu, kabur lewat portir setelah berhasil mengelabui petugas karena alasan sakit. Maka, bertambahlah jumlah napi yang “terbang bebas” dari kurungan penjara ini. Entah karena itu pula, beberapa
berjaga pada malam kejadian tersebut.Mereka tersebar di ruang komandan, portir, blok napi dan pos atas. Karena kekurangan personil,pos-pos penjagaan yang ada di Lapas tidak terisi dengan maksimal. Padahal jumlah napi tidak sebanding dengan jumlah petugas yang berjaga. Perbandingannya saat ini, 100 napi dijaga oleh satu orang sipir. Memang jumlah penghuni Lapas Kelas II A Lhokseumawe sudah over kapasitas dan melebihi ambang batas normal. Seharusnya, Lapas tersebut menampung sekitar 150 napi. Namun kenyataannya, penjara yang dibangun pada zaman Belanda itu, sekarang dihuni 415 napi. Jumlah ini, hampir mencapai tiga kali lipat dari batas banyaknya penghuni yang semestinya menjalani masa hukuman di sana. Tak heran jika kemudian banyak napi yang berupaya meretas sangkar besi tempat mereka dikurung.Idealnya, sebut Muji, petugas yang bertugas seharusnya sebanyak lima belas orang.“Kita kekurangan sepuluh personil.” Pejabat Kanwil Hukum dan HAM Aceh yang baru tiga bulan menjabat sebagai Kadivpas ini juga mengatakan,keberadaan kamera CCTV, belum terpasang di semua tempat yang rawan dalam Lapas tersebut. “Karena terbatas jumlah CCTVnya, jadi tidak semua titik terpantau,” katanya. Jumlah titik rawan ternyata lebih banyak dari keberadaan kamera CCTV yang dipasang. Jumlah CCTV yang dipasang di sana menurut Muji ada sekitar sepuluh unit. Meski demikian Muji langsung membantah, pergantian Plt. Kalapas Lhokseumawe dengan Kalapas baru disebabkan oleh kaburnya para napi tersebut. “Pola mekanisme kita (dalam-red) pergantian pimpinan itu (adalah-red) pola mutasi yang sudah rutin,” katanya. Ah yang benar?***
■ Laporan HasnulYunus ARI belum terang. Jarum jam menunjuk sekira pukul 04.52 waktu setempat, Kamis, 2 Januari 2014. Dalam sel penjara, para penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Lhokseumawe, masih lelap dibawa mimpi. Berbeda dengan delapan orang yang penghuni barak empat blok B, Lapas Kelas II A tersebut. Mereka adalah Ballian, 25 tahun, warga Meunasah Mee Kandang Lhokseumawe, Yuzzar, 38 tahun, warga Padang Sakti Lhokseumawe, Iskandar 25 tahun, warga Pusong Lama Lhoskeumawe dan Usman 29 tahun warga Bayu Aceh Utara. Selain itu ada juga Muhammad Saini 28 tahun, warga Tanah Jambo Aye Aceh Utara,Saiful Bahri 32 tahun, warga Peusangan Bireuen, dan Idris 26 tahun, warga Banda Baru Aceh Utara dan Muhammad Nazar.Sebagian besar di antaranya narapidana kasus narkoba dan divonis antara enam hingga 18 tahun penjara. Tak seperti rekan-rekan mereka yang masih hanyut dibuai mimpi. Menjelang subuh, delapan orang ini bergerak meraih impian kebebasan. Meskipun waktunya belum tiba, tapi niat para napi ini untuk menghirup udara segar di luar sana, memang sudah tak bisa ditunda lagi. Lihat saja, setelah membobol gembok sel kamar,mereka memotong jeruji besi. Satu persatu para napi meloloskan diri melewati jeruji tersebut.Tak hanya itu,mereka juga membobol plafon. Setelah itu, para napi naik ke atas melewati lorong dapur. Dengan cara mengendap-ngendap, mereka keluar dari dalam penjara. Nah,saat berusaha kabur,hampir saja pelarian mereka terbongkar.Seorang napi lain keluar dan sempat mengagetkan mereka.Seketika para napi yang hendak kabur ini bersembunyi dalam parit untuk beberapa saat. Setelah itu mereka langsung mendekati pagar beton setinggi delapan meter. Menggunakan tali yang dirajut dari kain sarung, satu persatu mereka memanjat tembok yang posisinya berada di sebelah barat bangunan peninggalan kolonialis Belanda dimasa lalu itu. Tali tersebut dililitkan
H
Ilustrasi napi kabur dari lapas.
dari luar tembok penjara dan dilempar ke dalam.Disinyalir,rencana pelarian tersebut memang sudah disiapkan jauh-jauh hari dengan matang. Alhasil, hanya tujuh orang yang berhasil meloloskan diri dari hotel prodeo pada hari itu. Sedangkan Muhammad Nazar gagal menghirup udara segar.Bukan tanpa sebab,pria ini dalam kondisi sakit. Makanya dia tidak bisa memanjat tali yang menjulur di pagar beton. Sialnya, dia kemu-
Jumlah penghuni Lapas Kelas II A Lhokseumawe sudah over kapasitas dan melebihi ambang batas normal. Seharusnya, Lapas tersebut menampung sekitar 150 napi. Namun kenyataannya, penjara yang dibangun pada zaman Belanda itu, sekarang dihuni 415 napi. dian harus meringkuk kembali di penjara. Dari tujuh napi yang berhasil melarikan diri, enam orang di antaranya berstatus sebagai narapidana. Sedangkan satu orang lagi berstatus tahanan Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Drama pelarian para narapidana itu sempat terekam kamera CCTV yang baru dipasang di Lapas tersebut beberapa waktu lalu. Kamera yang berfungsi mengawasi aktifitas para napi. Lalu, sekitar pukul 05.00 WIB, kabarnya petugas piket di sana sempat mengadakan pemeriksaan rutin.Tapi saat itu mereka tidak menemukan kecurigaan apapun. Pemeriksaan tersebut dilakukan para sipir setiap satu jam. Pelarian para napi tersebut, baru diketahui dua jam kemudian, saat hari sudah terang. Seperti biasa, petugas kemudian
hari kemudian Plt. Kalapas Lhokseumawe, Badaruddin, SH, langsung diganti dengan pejabat baru. Namun pihak lapas sendiri saat dikonfirmasi media ini, Kamis dua pekan lalu, memilih irit bicara.Mereka meminta agar media ini melakukan konfirmasi langsung dengan pihak Kanwil Hukum dan HAM di Banda Aceh.Alasannya,karena persoalan kaburnya para napi itu sudah diambil alih oleh pihak Kanwil. Muji Raharjo, Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kanwil Hukum dan HAM Aceh, kepada MODUS ACEH, membenarkan adanya delapan napi yang melarikan diri dari Lapas Kelas II A Lhokseumawe, awal tahun 2014. Namun, Muji mengatakan tidak ada keterlibatan petugas dalam kasus pelarian para Napi tersebut.“Dari hasil pemeriksaan kami tidak ada (petugas yang terlibat-red),ini murni
6
MODUS ACEH
Puluhan miliar duit rakyat Aceh disalurkan tanpa diketahui untuk apa kegunaannya. Diduga, hanya dinikmati segelintir “Bromocorah” ■ Laporan Dadang Heryanto
S
Utama
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
UDAH hampir satu bulan, Zulfikar (34), Abdul Thalib (43), dan Burhanuddin (25), mendekam dalam penjara. Ketiganya ditangkap polisi lantaran melakukan aksi yang berujung anarkis di Kantor Gubernur Aceh, 27 Desember 2013 lalu. Kala itu, warga Aceh Utara ini ikut berdemonstrasi bersama ribuan masyarakat. Tujuannya, menuntut bantuan modal usaha senilai Rp 500 ribu dari Pemerintah Aceh. Kerasnya himpitan ekonomi, memaksa mereka untuk meminta sentuhan pemerintah daerah di bawah kepemimpinan dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf atau akrab disebut: ZIKIR! Sayang, para “pejuang” proposal bantuan ini tak mendapat atensi dari sang penguasa, meski telah berulang kali datang meminta. Mereka naik pi-
tam. Kekacauan sempat terjadi. Kekecewaan mereka terhadap Pemerintah Aceh dilampiaskan dengan merusak beberapa barang di sana. Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh Nurdin F Joes cepat-cepat merinci kerugian akibat kejadian itu.”Mencapai Rp 22 juta,” katanya dua hari berselang. Zulfikar, Abdul Thalib, dan Burhanuddin, dianggap yang paling bertanggungjawab dari aksi massa tersebut.
Aksi yang didorong oleh usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar itu, berakhir dengan proses hukum. Polisi menahan mereka hingga kini. Pemerintah Aceh selalu punya alasan. Menurut Nurdin F Joes, bantuan dana tersebut tak bisa disalurkan lantaran tidak masuk dalam rencana keuangan dan anggaran tahun 2013. “Jadi memang tidak bisa diproses,” katanya. Pengakuan ini tentu saja berbanding terbalik dengan fakta yang ada.
Untuk masyarakat kecil seperti Zulfikar, Abdul Thalib serta Burhanuddin, Pemerintah Aceh, mengaku tetap menjunjung tinggi regulasi. Tapi, lain halnya untuk penerima tertentu. Sebut saja Komite Peralihan Aceh (KPA). Meski regulasi melarang setiap organisasi masyarakat menerima bantuan hibah secara reguler, Pemerintah Aceh tetap saja menyalurkannya. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung: miliaran rupiah setiap tahunnya. Tapi jangan tanya kemana dan untuk apa dana itu digunakan. Sebab, hingga kini tak ada pertanggungjawaban. Bantuan hibah senilai Rp 6,1 miliar lebih dari Pemerintah Aceh untuk KPA pada 2012, misalnya. Meski telah lebih dari setahun, hingga saat ini, tak ada yang tahu untuk apa dana itu digunakan. Parahnya, sejumlah anggota KPA yang dikonfirmasi MODUS ACEH, juga mengaku tak tahu ada alokasi anggaran hingga miliaran rupiah untuk organisasi tersebut. “Kami menduga ini memang permainan para petinggi,” katanya pada MODUS ACEH, Rabu pekan lalu.Contoh lain, bantuan hibah untuk kegiatan operasional Badan Reintegrasi Aceh tahun 2012 senilai Rp 32,5 miliar. Dana hibah untuk badan yang telah bersalin rupa men-
■ MODUS ACEH/Dok
MODUS ACEH
Utama
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
7 ■ MODUS ACEH/Dok
Zulfikar (34), Abdul Thalib (43), dan Burhanuddin (25) dibekuk Polisi usai unjukrasa menuntut bantuan modal usaha di kantor Gubernur Aceh.
jadi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) itu, belum juga dipertanggunjawabkan hingga saat ini.Selain itu, tak sedikit juga dana hibah dan bantuan sosial (bansos) yang merupakan program aspirasi anggota DPRA, tak jelas laporan pertanggungjawabannya. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Aceh tahun 2012 terungkap. Sedikitnya ada 141 temuan penyaluran dana hibah dan bantuan sosial yang tak jelas pertanggungjawabannya. Total nilainya Rp 71,3 miliar lebih. Masing-masing, Rp 67,9 penyaluran hibah dan Rp 3,39 miliar dana bantuan sosial. BPK mencatat danadana tersebut disalurkan oleh 17 Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yaitu: Dinas Pendidikan, Badan Pendidikan dan Pembinaan Dayah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Kesatuan bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat, Dinas Sosial, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan, Biro Umum dan Protokoler, DPKKA, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Dinas Syariat Islam, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM. Ironisnya lagi, aparat hukum di Aceh justru terkesan “tutup muka” saat berhadapan dengan fakta-fakta ini-berbanding terbalik dengan sikap represif aparat jika melihat rakyat kecil melakukan kesalahan. Padahal, Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh telah menjadikan hal tersebut dalam temuan yang berpotensi terhadap penyimpangan, bahkan kerugian keuangan Negara. *** SURYANI hanya bisa mengurut dada. Mimpi warga Dusun Suka Damai, Gampong Bangka Jaya, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, untuk mendapat bantuan modal guna meningkatkan produktivitas usaha tahu tempe yang telah dirintisnya, kandas. “Sudah beberapa kali mengajukan proposal modal usaha, tapi belum sekali pun dapat,” katanya pada wartawan Sepetember 2013 lalu. Sejak 2011, kata Suryani, dia telah
mengajukan proposal para Pemerintah Aceh.Tapi tak terealisasi. Tak patah arang, dia lakukan hal yang sama pada 2012. “Tapi lagi-lagi tak ada dibantu,” katanya. Kondisi ini semakin membuat Suryani terjepit. Harga bahan baku tempe dan tahu melambung tinggi. Belum lagi kondisi gudang yang rusak berat dan perlu segera diperbaiki. “Saya dengar Pemerintah Aceh menyediakan banyak anggaran pada 2012 lalu untuk membantu meningkatkan perekonomian masyarakat.Tapi faktanya, itu tak dirasakan rakyat selain untuk penerima-penerima tertentu saja,” katanya. Apa yang dikatakan Suryani memang benar adanya. Pada 2012, Pemerintah Aceh mengalokasikan Rp 1,53 triliun lebih untuk hibah dan bantuan sosial dengan realisasinya senilai Rp 1,06 triliun lebih atau 92,38 persen. Banyak yang meyakini, Pemerintah Aceh hanya menyalurkan dana untuk penerima atau kelompok tertentu. Tapi sepandaipandainya menyimpan bangkai, bau busuknya pasti tercium juga. BPK menemukan 141 penerima hibah dan bansos senilai Rp71,3 miliar lebih yang belum mempertanggungjawabkan penggunaan dananya. (lihat: Ini penerima hibah-bansos nakal itu-red). Celakanya, sederet penerima tersebut diduga bukanlah mereka yang membutuhkan bantuan dana. BPK menilai, dana tersebut sangat berpotensi tidak direalisasikan sesuai usulan sehingga tujuan pemberian hibah dan bansos tidak tercapai. Dalam laporannya, BPK menyatakan bahwa dokumen pertanggungjawaban penerima bantuan yang terdiri atas laporan penggunaan bantuan dana dan surat pernyataan tanggung jawab dari penerima bantuan belum disampaikan pada Gubernur Aceh. “Seluruhnya senilai Rp 71,3 miliar lebih,” tulis BPK dalam LHP LKPD Provinsi Aceh tahun 2012. Ambil contoh, bantuan modal usaha pengadaan Sarana Penangkapan Ikan untuk Nelayan Tradisional pada DPD HNSI Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya senilai Rp 500 juta. Dana ini disalurkan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh meski tak dilengkapi dengan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Padahal, Pasal 18 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, NPHD wajib dibuat sebagai pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pemberian hibah dan pertanggungjawaban penerima hibah. Tak hanya itu. Bantuan untuk Biaya Umrah Bagi Tokoh Masyarakat dan PNS berprestasi di bidang agama yang disalurkan Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Aceh, juga tak dilengkapi dengan pakta integritas dari penerima hibah. Tapi yang lebih mencengangkan lagi, Pemerintah Aceh juga menyalurkan dana lebih besar dibanding nilai yang diusulkan oleh penerima. Pada proposal hanya diajukan Rp 235 juta, namun ditetapkan dalam SK Gubernur senilai Rp 300 juta. Gila! Itu sebabnya, BKP menilai, pemberian penyaluran dana senilai Rp 71,3 miliar dalam bentuk hibah dan bansos ini telah menabrak sederet peraturan perundang-undangan. Pasal 133 ayat 2 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, misalnya. Dalam pasal ini jelas disebutkan, penerima subsidi, hibah, bansos dan bantuan keuangan bertanggungjawab atas penggunaan uang/ barang dan/atau jasa yang diterimanya dan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaannya pada kepala daerah. Selain itu, BPK juga menilai, hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD. *** Pemerintah Daerah, khususnya para kepala SKPA sebagai penyalur dana hibah dan bansos, memang dianggap yang paling bertanggungjawab, terkait penggunaan keuangan negara tanpa laporan tersebut. Sebut saja PPKD atau Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (saat itu dijabat Paradis).BPK menilai, ini terjadi lantaran PPKD tak maksimal dalam melakukan penatausahaan pertanggungjawaban pemerintah daerah atas belanja hibah dan bansos. Selain itu, BPK juga menilai, Tim Verifikasi Belanja Hibah dan bantuan masing-masing SKPA penyalur juga tak maksimal melakukan verifikasi usulan
dana hibah dan bansos. Kecuali itu, para penerima hibah dan bansos juga tidak memedomani ketentuan yang berlaku dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas bantuan yang telah diterima. Bagitupun, Maman Abdurrahman kepada wartawan, mengatakan, pihaknya sudah menyurati Pemerintah Aceh, melalui Inspektorat mengenai SKPA yang belum menyampaikan laporan penyaluran dana hibah dan bansos yang telah disalurkan kepada penerima dana hibah dan bansos 2012. “Sedang menunggu laporan itu. Jika dalam batas waktu yang telah ditentukan SKPA yang bersangkutan belum bisa menunjukkan bukti penyaluran dana hibah dan bansosnya, maka akan ditindaklanjuti secara hukum,” kata Maman, seperti yang dikutip dari salah satu media lokal di Aceh, Senin, 20 Januari 2014 lalu. Sayangnya, upaya MODUS ACEH mengkonfirmasi Kepala BPK RI Perwakilan Aceh Maman Abdurahman untuk mengetahui langkah hukum apa yang akan diambil BPK, masih membentur tembok. Maman sangat sulit untuk diwawancarai. Disambangi ke kantornya, Rabu 22 Januari 2014, stafnya mengatakan, Maman sedang sibuk. “Tak bisa minggu ini, nanti dijadwalkan minggu depan,” kata Kepala Humas BPK Perwakilan Aceh, Eva Siregar. Tak hanya Maman. Kepala Dinas Sosial yang yang dihubungi MODUS ACEH mengaku sedang di Jakarta. Sementara Juru Bicara KPA Mukhlis Abee, juga enggan berkomentar. Dihubungi ke telepon selulernya, Muhklis tak menjawab.SMS yang dilayangkan juga tak dibalas. Begitu juga dengan Kepala BP2A Mirza Ismail. Saat MODUS ACEH meminta waktu wawancara terkait penggunaan dana hibah pada badan itu, Mirza mengaku sedang di Sigli. Agaknya, rakyat miskin Aceh masih harus bersabar dan mengurut dada untuk dapat memperoleh bantuan dana usaha yang pantas dan layak. Apalagi, bagi mereka yang tidak tercatat sebagai mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kalau pun ada, jika sudah kadung dianggap sebagai pengkhianat, tentu tetap gigit jari. Sebab, prinsip awak kamoe (orang kami—red), diamdiam masih berlaku hingga kini. Nasibnasib.***
MODUS ACEH
8
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
Ut ama Utama ■ MODUS ACEH/Dok
Penyerahan LHP LKPD Aceh 2012.
Ini Peraturan Perundang-undangan yang Dilanggar Penyaluran dana bansos dan hibah senilai Rp 71,3 miliar lebih tahun 2012 ditengarai melanggar sederet peraturan perundang-undangan. Mulai dari peraturan menteri hingga peraturan gubernur Aceh. Berikut ini pasal-pasal yang dilanggar baik penyalur daan penerima hibah: -
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah antara lain mengatur dalam Pasal 133 ayat (2) yang menyatakan bahwa Penerima subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan bertanggungjawab atas penggunaan uang/barang dan/atau jasa yang diterimanya dan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaannya kepada kepala daerah. - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah: 1). Pasal 18 yang menyatakan Pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pemberian hibah meliputi: (a) usulan dari calon penerima hibah kepada kepala daerah; (b) keputusan kepala daerah tentang penetapan daftar penerima hibah; (c) NPHD; (d) pakta integritas dari penerima hibah yang menyatakan bahwa hibah yang diterima akan digunakan sesuai dengan NPHD; dan (e) bukti transfer uang atas pemberian hibah berupa uang atau bukti serah terima barang/ jasa atas pemberian hibah berupa barang/ jasa. 2) Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan Pertanggungjawaban penerima hibah meliputi: (a) laporan penggunaan hibah; (b) surat pernyataan tanggung jawab yang menyatakan bahwa hibah yang diterima telah
digunakan sesuai NPHD; dan (c) bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan perundangundangan bagi penerima hibah berupa uang atau salinan bukti serah terima barang/jasa bagi penerima hibah berupa barang/jasa. 3). Pasal 19 ayat (3) yang menyatakan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan kepada kepala daerah paling lambat tanggal 10 bulan Januari tahun anggaran berikutnya, kecuali ditentukan lain sesuai peraturan perundang-undangan. 4). Pasal 36 yang menyatakan pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pemberian bantuan sosial meliputi: (a) usulan dari calon penerima bantuan sosial kepada kepala daerah; (b) keputusan kepala daerah tentang penetapan daftar penerima bantuan sosial; (c) pakta integritas dari penerima bantuan sosial yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang diterima akan digunakan sesuai dengan usulan; dan (d) bukti transfer/penyerahan uang atas pemberian bantuan sosial berupa uang atau bukti serah terima barang atas pemberian bantuan sosial berupa barang. 5). Pasal 37 ayat (2) yang menyatakan pertanggungjawaban penerima bantuan sosial meliputi: (a) laporan penggunaan bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial; (b) surat pernyataan tanggung jawab yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang diterima telah digunakan sesuai dengan usulan; dan (c) bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan perundangundangan bagi penerima bantuan sosial berupa uang atau salinan bukti serah terima barang bagi penerima bantuan sosial berupa barang. 6) Pasal 37 ayat (3) yang menyatakan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan kepada kepala daerah paling lambat tanggal 10 bulan Januari tahun anggaran berikutnya,
kecuali ditentukan lain sesuai peraturan perundang-undangan. - Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial. 1). Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban penerima hibah sebagaimana meliputi: (a) laporan penggunaan hibah; (b) surat pernyataan tanggung jawab yang menyatakan bahwa hibah yang diterima telah digunakan sesuai dengan NPHA; dan (c) bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai Peraturan Perundangundangan bagi penerima hibah berupa uang atau salinan Berita Acara Serah Terima Barang/ Jasa bagi penerima hibah berupa barang/ jasa. 2). Pasal 19 ayat (3) yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Gubernur melalui PPKA dengan tembusan kepada SKPA terkait paling lambat tanggal 10 bulan Januari tahun anggaran berikutnya, kecuali ditentukan lain sesuai Peraturan Perundangundangan. 3). Pasal 38 ayat (2) yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban penerima bantuan sosial meliputi: (a) laporan penggunaan bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial; (b) surat pernyataan tanggungjawab yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang diterima telah digunakan sesuai dengan usulan; dan (c) bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan perundangundangan bagi penerima bantuan sosial berupa uang atau salinan Berita Acara Serah Terima Barang bagi penerima bantuan sosial berupa barang. 4). Pasal 38 ayat (3) yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Gubernur paling lambat tanggal 10 bulan Januari tahun anggaran berikutnya.
Ut ama Utama
MODUS ACEH N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
INI PENERIMA HIBAH-BANSOS NAKAL ITU
9 ■ SUMBER: BPK RI
10
MODUS ACEH
Ut ama Utama
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
Yang Disebut Membantah Dalam LHP BPK RI, sedikitnya ada 141 penerima dana hibah dan bantuan sosial (bansos) tahun 2012, belum menyerahkan pertanggungjawaban.Tapi, penerima mengaku telah menyerahkan ke SKPA bersangkutan. ■ Laporan Juli Saidi OPERASI Serba Usaha (SKU) Tuah Shikai terlihat jelas di Simpang Empat, Jalan Darma Nomor: 21 Kampong Laksana,Banda Aceh. Koperasi yang berdiri sejak 2003 ini mendapatkan bantuan dana hibah Rp 450 juta. Bantuan itu berasal dari Pemerintah Aceh melalui Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM, yang disalurkan Desember 2012. Dana ini diperuntukan sebagai modal usaha koperasi dimaksud. Yang jadi soal adalah pertanggungjawabannya.Karena dalam lampiran 19 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) Perwakilan Aceh menyembutkan.Ada 141 penerima dana hibah dan bantuan sosial yang belum menyerahkan pertangungjawaban. Salah satunya Koperasi Serba Usaha Tuah Shikai. Temuan BPK RI itu, membuat Ketua KSU Tuah Shikai Zulfadli tercengang. Sepengetahuannya,mereka telah menyerahkan pertangungjawaban angga-
K
ran tersebut kepada dinas bersangkutan. “Sudah kami serahkan, ini bukti laporannya,” kata Zulfadli sambil memperlihatkan laporan dimaksud,Kamis sore pekan lalu, di Kampong Laksana, Banda Aceh. Dari Rp 450 juta yang diterima koperasi itu, digunakan untuk kegiatan investasi dan modal kerja: untuk investasi menghabiskan anggaran senilai Rp 283,900.000. Misal, pengadaan tempat usaha selama empat tahun senilai Rp 120 Koperasi Serba juta. Sedangkan biaya modal kerja, koperasi itu menghabiskan anggaran Rp 166.100.000, yaitu anggaran untuk modal kerja adalah pengadaan barang jualan sehari-hari, seperti beras, susu, dan gula pasir. Zulfadli tak membantah, laporan yang mereka serahkan itu pada April 2013. Sebab bantuan yang mereka terima akhir Desember 2012 lalu. Menurut Zulfadli tidak mungkin laporan dapat diserahkan sebelum tanggal 10 Januari 2013,karena peruntukan dana itu untuk pembelian barang dalam limit waktu tertentu. “Kami terima bantuan akhir Desember 2012, maka tidak mungkin kami gunakan sekaligus, apalagi barang yang kita beli tidak bertahan lama, maka penggunaan anggaran bertahap,” kata Zulfadli menjelaskan. Zulfadli adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dia menduga, ada miskomu-
■ MODUS ACEH /Juli Saidi
Usaha (SKU) Tuah Shikai.
SEBANYAK 141 penerima bantuan dana hibah dan bansos tahun 2012 senilai Rp 71,3 miliar belum melengkapi dokumen pertanggungjawaban atas penggunaan uang rakyat. Ini terungkap dari hasil audit BPK RI Perwakilan Aceh atas Laporan Keuangan Pemerintah Aceh tahun 2012. Sayang, sejumlah SKPA yang menyalurkan dana tersebut, enggan diwawancarai. Begitu juga upaya mewawancarai organisasi masyarakat penerima hibah dan bansos. Kepala BPK RI Perwakilan Aceh Maman Abdurachman juga ikut-ikutan irit bicara. Berikut kronologis upaya wawancara yang dilakukan MODUS ACEH. Seperti diketahui, BPK menemukan sederet ketidakpatuhan Pemerintah Aceh terhadap peraturan perundang-undangan. Salah satunya, penyaluran dana Hibah dan Bansos senilai Rp 71,3 miliar lebih yang tanpa dilengkapi dokumen pertanggungjawaban. Sayang, Maman sulit untuk diwawancarai. Kepala Humas BPK RI Perwakilan Eva Siregar yang menerima MODUS ACEH awalnya berjanji akan memberi kesempatan wawancara pada Jumat, 24 Januari 2014. Namun, Eva membatalkan janji wawancara tersebut. Alasan Eva tim auditor BPK sedang tidak ada di tempat. “Kirim rincian pertanyaan ke email terkait apa saja yang akan dipertanyakan. Tapi wawancara tidak bisa minggu ini (pekan lalu). Minggu depan saja,” katanya. Setiba di Dinsos Aceh, media ini ke Bagian Umum guna meminta siapa yang dapat memberi penjelasan terkait temuan dimaksud. Sayang, Kepala Bahagian (Kasubag) Umum Dinas Sosial Aceh, Mawarni tidak bisa menunjuk siapa yang akan memberikan penjelasan karena Kepala Dinas Sosial Aceh sedang di Jakarta dan Sekretaris Dinas, sakit. Tak berhenti di situ. Media ini juga mengirim pesan singkat (SMS) kepada Kadis Sosial, sayangnya hingga berita ini diturunkan upaya tersebut tidak mendapat jawaban.
nikasi antara BPK dengan dinas terkait. Alasannya, selain telah menyerahkan laporan penggunaan anggaran, pihaknya juga telah memberitahukan kepada BPK RI bahwa laporan pengunaan dana tadi telah diserahkan. “Setelah kami serahkan ke dinas pada tim audit BPK, juga telah kami beritahu. Apakah laporan ini kami serahkan juga pada BPK RI, tapi tim audit mengaku tidak perlu lagi,”ujar Zulfadli. Pengakuan yang sama juga datang dari PengurusYayasan SMA Laboratorium (SMA Lab School) Universitas Syiah Kuala. Menurut Koordinator Sarana dan Prasarana Muhammad Iqbal, pihaknya telah menyerahkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat. Selain Biro Isra,Yayasan SMA Laboratorium Unsyiah juga menyerahkan pada Dinas Pendapatan
Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA).“Kami menerima dana pada Oktober 2012, sebelum tanggal 10 Januari 2013 laporan telah kami serahkan,”kata Muhammad Iqbal yang juga didampingi kepala SMA Laboratorium Unsyiah Dr. Usman Kasim, Jumat pekan lalu. Itu sebabnya, Muhammad Iqbal mengaku heran dan dirugikan dengan temuan BPK RI.Tentu dengan alasan dapat bermakna negatif terhadap lembaga tempat Muhmmad Iqbal bekerja.“Ini sangat merugikan kami, asumsi saya ada miskomunikasi antara BPK RI dengan instansi terkait, karena kami telah serahkan,”ucap Muhmmad Iqbal,Jumat lalu. Sayangnya, untuk mendapakatn penjelasan lebih lanjut dari sejumlah temuan BPK RI, media ini tak berhasil bertemu Kepala BPK RI Perwakilan Aceh, Maman Abdul Rachman. Saat media ini mendatangi BPK RI, Kepala Bagian Humas, Eva mengaku tidak bisa memberikan keterangan. Alasan Eva karena tim auditor tidak ada di tempat. Eva meminta media ini untuk mengirimkan sejumlah rincian pertanyaan surat elektroniknya (email).“Saya minta maaf, wawancara tidak bisa minggu ini, Bapak bisa kirim rincian pertanyaan ke email saya. Minggu depan akan diberikan penjelasan karena sekarang tim auditor tidak ada di tempat,” kata Eva Kamis siang pekan lalu via telpon. Yang jadi soal adalah, benarkah para penerima dana hibah dan bansos telah membuat laporan dan menyerahkan kepada SKPA terkait, tapi tidak sampai kepada BPK RI Perwakilan Aceh sehingga menjadi temuan. Atau sebaliknya, oknum auditor BPR RI Perwakilan Aceh yang teledor? Hanya merekalah yang tahu.***
MODUS ACEH
Hukum
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
11
■ Keterangan Saksi Ahli Kasus JPD dan Cagurdacil Unsyiah
Dugaan Konspirasi Kian Terang dan Terasa Saksi ahli mengaku sebagian dana beasiswa Unsyiah 2009-2010 mengalir ke rekening pribadi Profesor Samsul Rizal. Karena itu, Jaksa diduga salah menetapkan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi JPD dan Cagurdacil. ■ MODUS ACEH /Juli Saidi
Nasir Usman saksi ahli Darni M Daud memberi penjelasan pada Majelis Hakim. DAFTAR CEK DANA JALUR PENGEMBANGAN DAERAH (JDP) 2009 PADA SAMSUL RIZAL No
Nomor Cek
Tanggal
Jumlah Penarikan
01 02 03 04 05 06 07
CK 482097 CK 482098 CK 482099 CK 482100 CO 486104 CO 846107 CO 846111 Total
08-01-2010 27-01-2010 03-02-2010 01-03-2010 17-03-2010 22-04-2010 01-06-2010
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
■ Sumber: Saksi Ahli Darni M Daud
316.000.000 470.331.000 577.240.000 729.032.000 316.000.000 300.000.000 395.000.000 3.103.603.000
■ Laporan Juli Saidi ASIR Usman duduk tenang di depan hakim Syamsul Qamar (Hakim Ketua), Ainal Mardhiah, dan Syaiful Has’ari (anggota) di ruang sidang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN), Jalan Cut Mutia, Banda Aceh, Kamis pekan lalu. Di tangan Nasir Usman yang disebut sebagai saksi ahli, ada empat lembar rincian dana dan keterangan yang dijelaskan pada hakim ketika itu. Dalam keterangannya, mantan auditor Inspektorat Aceh itu mengaku, sebagian dana Jalur Pengembangan Daerah (JPD) dan Calon Guru Daerah Terpencil (Cagurdacil) 2009-2010,mengalir ke rekening pribadi Profesor Samsul Rizal, kini Rektor Unsyiah. Memang, dalam proyek hibah Pemerintah Aceh melalui Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat (Biro Isra), Samsul Rizal disebut sebagai Ketua Panitia JPD. Selain itu, Samsul Rizal yang kini menjabat orang nomor satu di Universitas jantong Rakyat Aceh (Unsyiah) juga menjabat sebagai Pembantu Rektor (Purek I). Fulus yang mengalir pada Pak Rektor itu sedikitnya ada tujuh cek.Total dana dari tujuh cek yang dimaksud saksi ahli itu senilai Rp 3.103.603.000. Semua dana dimaksud adalah untuk program JPD 2009. Sebut saja untuk 2009, dalam program JPD dan Cagurdacil saksi ahli menyim-
N
pulkan, sisa lebih pada Profesor Samsul Rizal senilai Rp 1.039.667.000. Kedua, kekurangan Cagurdacil 2009, Rp 297.385.000. Dana itu telah dicairkan Samsul Rizal selaku Wakil Cagurdacil.KarenaYusuf Aziz selaku ketua panitia Cagurdacil dapat diambil pada Samsul Rizal. Alkisah, untuk anggaran 2010 juga ditemukan keanehan. Lihat saja dalam keterangan saksi ahli Darni M Daud. Menurutnya, Samsul Rizal seharusnya menyetor kembali kelebihan Rp 12.544.500 ke rekening 64336152.“Ini semua yang mengetahui Saudara Samsul Rizal. Dana ini belum dikembalikannya,” kata saksi ahli Nasir Usman pada majelis hakim yang juga didengar Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kamis pekan lalu. Nasir Usman mengaku, terdakwa Darni M Daud sebagai Rektor Unsyiah saat itu bukan tidak melaporkan pertanggungjawaban dari dana tersebut. Ini karena masih banyak bukti pencairan beasiswa yang belum diserahkan Samsul Rizal selaku pengelola Gurdacil kepad Darni M Daud. “Saya tegaskan dana program ini bukan tidak dipertanggungjawabakan oleh terdakwa Darni Daud, tetapi belum dipertanggungjawabkan. Ini akibat masih banyaknya administrasi pencairan dana dari program ini yang menyangkut di Samsul Rizal,” kata M Nasir menambahkan. Selain itu, Nasir Usman mengaku antara Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Badan Pengawasan Keuangan dan
Nasir Usman
Pembangunan (BPKP) dengan dakwaan Jaksa Penuntu Umum (JPU) tidak singkron. Nasir Usman mencontohkan, hasil audit BPKP menyebutkan semua dana tersebut telah dipertanggungjawabkan, maka tidak ada kerugian negara. Bukan hanya itu, dalam program JPD sebenarnya yang bertanggungjawab Samsul Rizal karena dia menjabat sebagai ketua panitia. Sedangkan Gurdacil adalahYusuf Aziz. Itu sebabnya, Nasir Usman menduga JPU salah menetapkan terdakwa karena yang bertanggungjawab yang sebenarnya adalah pengelola yang telah ditujuk Darni M Daud selaku rektor Unsyiah ketika itu. Keterangan Sekretaris Samsul Rizal, Rahmiana yang menyebut tidak semua anggaran diterima dianggap tidak patut Darni M Daud sebagai terdakwa. Alasannya, Rahmiana orang ke nomor 30 dari 31 dalam panitia JPD tersebut. “Saya lihat ada yang tidak singkron,” kata Nasir Usman. Begitupun, salah seorang JPU Ibnu Sakdan sempat menuding saksi ahli Nasir Usman yang diajukan penasehat hukum Darni M Daud itu.Karena ada beberapa pertanyaan JPU kepada Nasir Usman dianggap tidak sesuai.“Saudara ini ahli atau tidak? Tanya JPU.***
12
MODUS ACEH
HUKUM
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
■ MODUS ACEH/Dok
Rusman, Salah Seorang Warga Sedang Mmeperhatikan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Abdya, yang telah lama terbengkalai.di Dusun Lhok G.
Ups! Akmal Tersangka Diam-diam, Polda Aceh telah menetapkan mantan Bupati Abdya Akmal Ibrahim sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan tanah untuk lokasi pabrik kelapa sawit. Tapi, Akmal mengaku justru telah menghindari korupsi. ■ Laporan Dadang Heryanto dan Julida Fisma AMA tak terdengar, nama Akmal Ibrahim tiba-tiba jadi buah bibir.Maklum,polisi telah menetapkan dia sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan untuk pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Informasi meningkatnya status Akmal ini sebetulnya telah berkembang sejak dua minggu terakhir.Tapi Polda Aceh agaknya memilih untuk menutupnya rapat-rapat. Kabid Humas Polda Aceh Kombes Gustav Leo yang berulang kali dihubungi MODUS ACEH, selalu tak menjawab. Tapi menurut sumber MODUS ACEH, Akmal ditetapkan sebagai tersangka lantaran menggunakan dana APBK Abdya untuk membebaskan lahan Negara sebagai lokasi pembangunan PKS tersebut.“Jadi sebetulnya lahan tersebut milik Negara, tapi Akmal membebaskannya dengan membayar kepada masyarakat meng-
L
gunakan dana APBK Abdya 2011,” kata sumber MODUS ACEH. Selain membayar pada masyarakat, Akmal juga diduga menarik keuntungan dari pengadaan tanah tersebut. Sumber MODUS ACEH mengatakan, dia menerima sekitar Rp 700 juta dari hasil penjualan tanah, yang disebut-sebut miliknya, untuk pembangunan PKS tadi.“Unsur-unsur perbuatan melawan hukumnya memang sudah cukup.Dugaan kerugian negaranya juga sudah ada. Begitu juga dengan penyalahgunaan wewenang,” kata sumber itu. Informasi yang dimiliki MODUS ACEH, Akmal memang diduga menabrak sederet aturan dalam proses pembebasan lahan tadi. Misal, semula PKS tersebut direncanakan dibangun di Desa Gunung Sama Rinda, Kecamatan Babahrot.Tapi kemudian dialihkan ke Desa Lhok Gayo, kecamatan yang sama. Ini diduga lantaran Akmal Ibrahim juga memiliki lahan di kawasan tersebut. “Itu sebabnya, lokasi pembangunan PKS dipindah,” kata sumber MODUS ACEH. Celakanya, dalam proses pengadaan tanah tersebut, tidak dibentuk atau ditunjuk tim penilai/penafsir harga tanah dan tak ada pula lembaga penilai harga tanah. Kemudian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh dan Dishutbun Abdya, tak pernah membuat permohonan penetapan lokasi pembangunan PKS tersebut. Ini artinya, Akmal yang saat itu sebagai Bupati Abdya telah menetapkan lokasi meski tak ada permintaan dari Dishutbun. Kecuali itu, proses pembangunan PKS tersebut juga minus rekomendasi dari Badan Pertanahan Negara (BPN),
khususnya soal pengkajian kesesuain rencana pembangunan dari aspek tata ruang, penatagunaan tanah, sosial ekonomi, lingkungan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah. “Saat pembayaran pembebasan lahan Akmal Ibrahim juga tak menyerahkan bukti dokumen asli tanah tanah miliknya,”kata sumber tadi. Menurut sumber itu, pembangunan PKS yang diarahkan sebagai proyek untuk kepentingan umum juga tak bisa dianggap benar.Sebab,pengadaan tanah tersebut di luar dari kepentingan umum. Akmal Ibrahim yang dikonfirmasi MODUS ACEH, Sabtu pekan lalu, membenarkan peningkatan statusnya sebagai tersangka dalam kasus tersebut.“Iya,sudah sejak November 2013 lalu,” katanya santai saat ditemui diteras rumahnya, Jalan Gampong Guhang,Kecamatan Blangpidie. (Lihat: Karena Ada yang tak Dapat Fee-red).“Saya sudah menghindari korupsi Rp 3 miliar,kini menjadi koruptor.” Menurut Akmal, sangkaan bahwa tanah tersebut merupakan tanah Negara sama sekali tidak benar. Ini karena berdasarkan bukti dan saksisaksi, katanya, tanah tersebut memang sudah dikuasai masyarakat. “Bahkan ada akta jual beli yang dibuat PPAT,” katanya.“Jadi jika dikatakan tanah Negara, itu berlebihan,” Begitu juga soal pembentukan tim penilai/penafsir harga tanah. Hal tersebut, kata Akmal, dipakai dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Sementara itu, kata dia, dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, memang ada kewenangan penafsiran harga oleh penitia pengadaan tanah.
Tapi setelah Perpres itu dirubah,pasal kewenangan penafsiran harga tanah dihilangkan. Kewenangan panitia langsung pada penetapan besaran ganti rugi tanah. “Jadi, jika pengadaan itu dianggap salah lantaran tidak dibentuk tim penafsiran harga tidak tepat, sebab, pengadaan tanah dalam kasus ini dilakukan pada 201-2011 atau sebelum berlaku Perpres pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.Hukum tak dapat berlaku surut,” katanya. Namun, Akmal mengakui memang benar tidak ada surat permintaan dari Dishutbun Aceh maupun Abdya terkait penetapan lokasi tersebut.“Tapi yang perlu diperhatikan, sampai saat ini tidak ada complain dari Dishutbun terkait penetapan itu. Ini artinya memang tidak ada perbuatan melawan hukum yang saya lakukan,” jelasnya. Begitu juga tentang rekomendasi BPN.Menurut Akmal, baik di Perpres 36 Tahun 2005 atau Perpres 65 Tahun 2006 Tentang Tanah Untuk Kepentingan Umum, tidak ada pasal yang mewajibkan permintaan rekomendasi dari BPN. Selanjutnya, Akmal menjelaskan, soal pembayaran lahan miliknya yang dilakukan sebelum dilengkapi bukti kepemilikan asli, juga bukan tindakan yang salah menurut hukum. Menurut Akmal,dalam Perpres 36 Tahun 2005 atau Perpres 65 Tahun 2006 yang berwenang dalam hal adminstrasi tersebut adalah panitia pengadaan tanah.“Dalam kasus ini, saya tak pernah memaksa panitia untuk membayar ganti rugi tanah milik saya. Jika ini memang dianggap kesalahan, maka yang patut disalahkan adalah panitia pengadaan,” katanya.***
MODUS ACEH
HUKUM
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
13
Akmal Ibrahim:
Beredar informasi, Anda telah ditetapkan sebagai tersangka? Itu benar. Sudah berapa lama? Kasus ini telah lama, dan saya ditetapkan sebagai tersangka hampir dua bulan yang lalu. Persisnya Anda tersangka kasus apa? Dalam kasus dugaan tindak pidana pengadaan tanahuntuklokasipembangunanPabrikKelapaSawit (PKS) Abdya tahun Anggaran 2011. Jadi bukan kasus proyek pembangunan Parbik Kelapa Sawit,tetapi tepatnya masalah pengalihan lahan.Sebab,kalau masalah pembangunan PKS, saya tidak tahu apaapa.Semuanya ditentukan oleh gubernur.Sedangkan bupati saat itu tidak mempunyai wewenang apa-apa, semua tim sudah ditetapkan oleh provinsi. Bisa diceritakan kronologis singkat terkait dengan pengalihan lahan? Awalnya begini. Program perkebunan rakyat Pemerintah Abdya pada 2009, berjalan sukses. Kegiatan-kegiatan, seperti, pembagian bibit gratis, land clearing dan lain-lain, semua berjalan memuaskan. Setelah itu kita buat seminar dua kali di Hotel Grand Lauser sehingga lahir inisiatif pembangunan PKS Abdya. Atas inisiatif itu kita usulkan anggaran ke provinsi.Alhamdulillah disetujui. Lalu? Kemudian ditetapkan lokasi pembangunan PKS tersebut di Desa Gunung Sama Rinda, Kecamatan Babahrot, dengan pertimbangan, aksesnya mudah serta srtategis. Selain itu, juga meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat Abdya. Karena pemerintah tidak ada anggaran saat itu, kita lakukan negosiasi, dibayar melalui APBK. Kemudian ada lahan, milik saudara Jasman. Setelah kita negosiasi harga dengan pemilik tanah, saat itu ditetapkan harga tanah mencapai Rp 5 sampai 7 juta per hektar, karena lahannya masih hutan. Dan itu semua melalui tim, bukan bupati yang bekerja sendiri. Dalam perjalananya, ternyata, pemilik tanah, menetapkan harga yang tinggi.Tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Berapa saat itu nilai yang diminta pemilik lahan? Jasman menetapkan Rp 100 juta per hektar. Saya juga tidak mau karena itu masih mahal. Rp 100 juta per hektar kali 30 hektar sudah Rp 3 miliar. Tanah di Blangpidie saja harganya Rp 150 juta per
hektar. Itukan tidak rasional. Dan saya tahu, senilai Rp 2 miliar itu akan dibagi-bagi.Karena saat itu ada orang yang menunggu fee dari penjualan tanah tersebut, bahkan agar saya setuju membayar di tawarkan satu unit Mitshubisi Pajero Sport. Itukan sudah tidak benar lagi. Kemudian? Karena saya tak setuju, Jasman menutup akses jalan.Traktor yang sedang memperbaiki jalan disita oleh Polsek setempat. Akhirnya saya lobi dengan Jasman dan Kapolres Abdya, Bapak Subakti. Kemudian di Polres diadakan rapat, diundang pemilik tanah, keluarga Jasman. Mewakili pemerintahan Pak Yunus dan Muslem (Kadis Kehutanan). Namun juga tidak ada hasil. Saya tetap tidak mau saya bayar seharga Rp 100 juta per hektar,karena itu juga korupsi.Sehingga saya ambil altenartif membentuk tim panitia pembebasan tanah, untuk memindahkan lokasi PKS. Ada tiga tempat,hasil kompromi tim,akhirnya dipilih di Desa Lhok Gayo.Saat itu,menurut tim dan ahli
membidangi itu,tanah dil okasi ini layak. Dikarenakan posisinya tinggi, strategis, dan setelah disortir tanah ini cukup layak. Itu sebabnya, PKS didirikan di Lhok Gayo. Bukankah karena di sana terdapat lahan Anda? Tidak! Tanpa sepengetahuan saya, ternyata di tempat pendirian PKS itu ada tanah milik saya pribadi, dan lengkap dengan sertifikat. Sekitar Rp 700 juta seluas 6 hektar. Atas dasar apa Anda ditetapkan sebagai tersangka? Atas dasar,mengeluarkan SK dan pembayaran memakai APBK itu saja.Tepatnya kasus pengadaan tanah.Saya menghindari korupsi Rp 3 miliar,kini menjadi koruptor, menghindari korupsi menjadi koruptor. Namun, menurut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat pihak penyidik tanggal 17 Agustus 2013, saya ditetapkan sebagai tersangka atas dasar perbuatan korupsi atau penyalahgunaan wewenang dan memperkaya diri. Berapa kali Anda dipanggil penyidik? Saya tidak ingat lagi, berapa kali saya dipanggil. Saya tidak tahu prosesnya sudah sampai dimana,saya tidak ikuti.Terakhir prosesnya sedang konsultasi antar Polisi dengan Kejaksaan. Kalau saya dipanggil saya hadiri, bahkan saya, tidak ada kuasa hukum tentang kasus ini,karena tidak ada.Polda menunjukkan pengacara untuk saya. Apakah ada kaitan dengan hal-hal lain sehingga Anda ditetapkan sebagai tersangka? Bisa jadi, sejauh logika hukum yang saya pelajari, tidak masuk akal. Saya seperti ini karena tidak memenuhi kebutuhan orang-orang yang sedang menunggu fee dari hasil penjualan lahan tersebut. Namun demikian saya tidak mau berburuk sangka. Harapan Anda? Saya berharap PKS Abdya itu harus diselesaikan. Sebab, PKS tidak ada masalah, biarkan saya yang tahan badan.***
■ MODUS ACEH/Julida Fisma
Akmal Ibrahim akhirnya menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan tanah untuk lokasi Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Gampong Lhok Gaya, Kecamatan Bahbahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Apa saja tanggapan Akmal Ibrahim terkait status barunya itu? Julida Fisma dari MODUS ACEH mewawancarainya, di Gampong Guhang, Kecamatan Blangpidie, Sabtu, pekan lalu. Mengenakan kaos oblong berwarna biru, wawancara berlangsung santai di teras rumah Akmal. Berikut petikannya.
14
MODUS ACEH
Hukum
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
foto hasanbasrimnur.wordpress.com
Saifuddin warga Desa Beureunuet Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar bersama tinggal di rumah gubuk.
tan Asli daerah. Pasal 12 ayat 1 yang mengatur tentang mekanisme pengeluaran zakat tersebut menyatakan,berdasarkan laporan Kepala Kas Umum Aceh pada setiap akhir tahun Kepala Baitul Mal mengajukan Surat Permintaan pembayaran (SPP) dan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada PPKA untuk selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) sesuai dengan jumlah yang dibukukan sebagai penerimaan Pendapatan Asli Aceh dari sumber zakat oleh Kepala Kas Umum Daerah. Itu sebabnya, kata Munandar, ketika dana tersebut tak disetorkan terlebih dahulu dan langsung dikelola Baitul Mal, maka sangat berpotensi diselewengkan sehingga diduga merugikan keuangan daerah.“Saat ini masih kita hitung berapa dugaan kerugian keuanganya,” kata Munandar. “Jika sudah lengkap, segera kami limpahkan ke pengadilan.” Kecuali itu. Lanjutnya, dalam melaksanakan program pembangunan rumah duafa di tahun 2010 dan 2011, Baitul Mal Aceh Besar juga diduga melakukan tindak pidana lainnya, yakni melakukan pungutan sebesar Rp 500 ribu per rumah. Kata Munandar, pada tahun 2010, Baitul Mal Aceh Besar membangun 26 unit rumah permanen untuk isteri dan dua puteranya bertahun-tahun duafa senilai total Rp 403 juta dan di tahun 2011 sebanyak 49 unit dengan nilai Rp 1,9 miliar. “Ini masih kami selidiki,” katanya. Munandar juga mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam menegakkan supremasi hukum. Jika memang ada penerima rumah duafa, dia minta segera melaporkannya ke kejaksaan. Sebagai Kepala Baitul Mal Aceh Besar, memang tak lazim bila Armiadi Musa tak mengetahui mekanisme pengumpulan dan penyaluran zakat tersebut. Apalagi, sesuai Qanun Aceh Nopendapatan daerah (PAD). Sementara mor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, untuk penyalurannya, juga harus mela- dinyatakan bahwa untuk dapat dilui bendahara umum daerah (BUD). angkat sebagai pejabat/pimpinan Artinya, Baitul Mal tidak dibenarkan badan Baitul Mal Kabupaten/Kota, sedimengelola langsung dana zakat terse- kitnya harus mempunyai pengetahuan tentang zakat, waqaf, harta ■ Google images agama dan harta lainnya serta manajemen. Proses seleksinya juga sangat selektif.Sebelum diangkat, Bupati/Walikota membentuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon-calon Kepala dan Wakil Kepala Baitul Mal Kabupaten/Kota. Ini artinya, Armiadi Musa memang dianggap cakap yang mahfum sehingga terpilih menjadi Baitul Mal Aceh Besar. Sayangnya, Armiadi Musa memilih irit berkomentar terkait statusnya yang telah ditetapkan menjadi tersangka. Armiadi Musa Dihubungi MODUS ACEH ke nomor handphonenya, pria but, seperti yang dilakukan Baitul Mal berjanggut itu tak menjawab. Pesan Aceh Besar pada 2010 dan 2011,” Musingkat (SMS) yang dilayangkan hanya nandar. dijawab singkat. “Maaf, kebetulan sePasal 11 ayat 1 Peraturan Gubernur dang padat (sibuk-red), nanti saya carNanggroe Aceh Darussalam Nomor 60 ikan waktu. Insya Allah,” tulis Armiadi tahun 2008,Tentang Mekanisme Penmenjawab MODUS ACEH, Rabu pekan gelolaan Zakat (Sebagai Peraturan Pelaksana dari Qanun Aceh Nomor 10 lalu. Di sambangi sehari kemudian ke Tahun 2007 tentang Baitul Mal-red) kantornya di Komplek Keistimewaan memang menyebutkan,semua peneri- Aceh, Armiadi Musa juga tak ditempat. maan zakat, baik zakat penghasilan ser- “Bapak sedang keluar,” kata staf peta zakat mal wajib disetor ke rekening rempuan di sana. Nah, akankah kasus ini singgah ke khusus zakat pada rekening Kas Umum Daerah dan dicatat sebagai Pendapa- pengadilan? Kita tunggu.***
Perilaku ‘Mudharat’ Amil Zakat Kejaksaan Negeri Jantho membidik Kepala Baitul Mal Aceh Armiadi Musa terkait dugaan penyelewengan dana ZIS, Aceh Besar Tahun 20102011. Astaghfirullah! ■ Laporan Dadang Heryanto UDAH hampir lima tahun Ferdi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Selama itu pula, 2,5 persen gajinya dan para PNS lainnya, dipotong untuk zakat oleh bendahara di dinas tempatnya bekerja. Lantas, dana itu disetorkan ke Baitul Mal. Baitul Mal adalah lembaga non struktural yang mengelola dan mengembangkan zakat. “Tapi saya tak tahu persis bagaimana cara mereka mengelola dana yang dihimpun dari gaji para PNS seperti saya,” kata Ferdi pada MODUS ACEH, Rabu pekan lalu.“Tapi terdengar, mekanisme pengelolaan zakat oleh Baitul Mal masih centang perenang.” Baitul Mal memang tengah menjadi sorotan. Ini lantaran Kepala Baitul Mal Aceh Armiadi Musa telah ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan penyelewengan dana Zakat,Infaq dan Sedekah (ZIS) tahun 2010-2011. Itu terjadi saat Armiadi Musa masih menja-
S
bat sebagai Kepala Baitul Mal Aceh Besar.Adalah Kejaksaan Negeri Jantho yang mencium adanya bau tak sedap dari proses pengelolaan dana zakat tersebut. Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Jantho Munandar kepada MODUS ACEH mengatakan, pengungkapan kasus ini berawal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Aceh atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Aceh Besar tahun 2011. “Dana zakat tahun 2011 sebesar Rp 7 miliar yang dihimpun Unit Pengumpul Zakat (UPZ) telah digunakan tanpa mengikuti mekanisme APBK,” kata Munandar. Menurut Munandar, pengelolaan dana ZIS tersebut, Armiadi diduga kuat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedikitnya, kata Munadar, ada tiga peraturan perundang-undangan yang dilanggar, masing-masing,Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta pelanggaran terhadap Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. “Zakat yang dihimpun Baitul Mal dari Muzakki (orang atau badan yang berkewajiban menunaikan zakat) seharusnya disetor ke kas pemerintah daerah sebagai salah satu sumber
MODUS ACEH
Hukum
15 Sinyal Redup Seorang Juragan N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
Ketua DPRK Nagan Raya Samsuardi alias Juragan berulangulang diterpa persoalan hukum. Kini dia berstatus tersangka dalam dua kasus berbeda: penganiayaan dan penyerobotan lahan. Sinyal redup sang mantan kombatan. ■ Laporan Dadang Heryanto ETIAP orang ada massanya, setiap massa ada orangnya. Ungkapan ini agaknya cocok dialamatkan pada Ketua DPRK Nagan Raya Samsuardi alias Juragan. Lihatlah, popularitas politisi Partai Aceh (PA) yang sudah mentereng sejak 2006 lalu,kini kian meredup seiring dengan berbagai dugaan pidana yang dilakukannya. Belum lagi selesai persoalan hukum yang menjeratnya karena menganiaya teman pria istrinya, kini Juragan sudah ditetapkan lagi sebagai tersangka dalam kasus penyerobotan lahan warga. Adalah lahan sawit seluas dua hektar milik Sumarsono yang diduga diserobot Juragan. Karena ulahnya ini, polisi akhirnya menetapkan pria berkulit hitam itu sebagai tersangka. Kasus tersebut bermula dari laporan Sumarsono ke Polres Nagan pada Agustus 2012 lalu. Polisi kemudian menindaklanjuti laporan itu dengan mengirim surat permintaan pemeriksaan Juragan pada Gubernur Aceh Zaini Abdullah pada November 2013 lalu. Ini dilakukan lantaran Juragan yang juga Ketua DPRK merupakan unsur Muspida Nagan Raya. Itu sebabnya, untuk melakukan pemeriksaan, polisi harus lebih dulu meminta izin dari gubernur.Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, mengharuskan hal itu.“Tapi setelah lebih 60 hari, surat permintaan itu tak direspon gubernur.Karena itu, penyidik bisa langsung memeriksanya,” kata Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Gustav Leo pada wartawan, Selasa pekan lalu. Dasar itu pula, kata Gustav,
S
Samsuardi
Polda Aceh mengirim tim penyidik yang dipimpin Kasubdit II AKBP Sigit Ali Ismato pergi ke Nagan Raya untuk memeriksa Juragan sebagai tersangka penyerobotan lahan.“Tapi dalam pemeriksaan, dia tetap menyatakan tanah yang digarap itu miliknya bukan milik pelapor Sumarsono,” kata Gustav. Gustav mengatakan, hak Juragan untuk memberikan keterangan apa saja,karena polisi juga sudah meminta keterangan dari Sumarsono. “Yang bersangkutan sudah memperlihatkan akta jual beli dan serti-
fikat tanah tersebut,” kata Gustav. Sebelumnya, kata Gustav, dua tersangka lainnya juga sudah diperiksa, masing-masing,Banta Lidan selaku pengawas lapangan saat lahan ini dibersihkan dan Raja Cut, selaku operator alat berat saat pembersihan lahan ketika berisi tanaman sawit. Juragan saat ini memang masih bisa melegang bebas. Penetapannya sebagai tersangka kasus penyerobotan lahan tak lantas membuat polisi langsung menahannya. Padahal, Pasal 29 ayat 3 Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh menyatakan, bila persetujuan tertulis dari gubernur tidak diberikan dalam waktu paling lama 60, penyidik bisa langsung menahan Juragan. Juragan memang tak berhenti menjadi buah bibir di Nagan Raya. Pasalnya, seiring dengan kasus penyerobotan lahan, Juragan juga tengah menjalani proses hukum kasus penganiayaan. Ya, selangkah lagi Juragan akan berstatus sebagai terdakwa. Saat ini, berkas perkara penganiayaan tersebut telah diterima Jaksa Penuntut Umum Kejari Suka Makmue dari kepolisian. Tapi agaknya, Juragan masih memiliki cara agar penegak hukum tak menahannya. Juragan menggunakan keluarganya untuk menjamin agar dia tak bermalam di “sangkar besi”. Kepala Kejaksaan Negeri Suka Makmue Munaji mengatakan, kejaksaan memang telah menerima permohonan dari pihak keluarga Juragan agar tak ditahan. “Beliu juga cukup kooperatif dalam pros-
es pemeriksaan selama ini,” kata Munaji. Sejurus dengan itu, JPU juga telah menyiapkan sederet pasal untuk menjerat sang Juragan. Munaji menjelaskan, penculikan yang dilakukan Juragan bersama-sama anak buahnya terkena pidana yang diatur dalam Pasal 328 juncto 55 ayat (1) KUHP, kemudian Pasal 170 KUHP tentang penggunaan kekerasan terhadap orang lain, serta Pasal 351 tentang penganiayaan yang mengakibatkan korban luka berat juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.“Pasal berlapis,” katanya. Sedangkan ancaman pidananya, kata Munaji, Pasal 328 penjara paling lama 12 tahun, ancaman Pasal 170 maksimal lima tahun enam bulan, sedangkan ancaman Pasal 351 paling lama lima tahun.“Tinggal pasal mana yang terbukti di persidangan nantinya,” tambah Munaji. Jika tak ada aral melintang, kata Munaji, Kejaksaan akan menyerahkan berkas perkara Juragan ke Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, Senin pekan ini.“Bagi teman-teman wartawan yang ingin meliput kasus ini nanti silakan datang ke Pengadilan Negeri Meulaboh,” kata Munaji. ***
16
MODUS ACEH
Politik
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
■ Kontroversi Bendera dan Lambang Aceh
Cooling Down dan Menunggu Lagi ■ MODUS ACEH/Dok
Pendinginan (cooling down) pembahasan Qanun Nomor 3 Tahun 2013, tentang Bendera dan Lambang Aceh kembali diperpanjang. Pemerintah Aceh dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), masih belum sepakat menyangkut qanun yang dianggap kontroversi itu. ■ Laporan Rahmat Taufik ERBARU,Pemerintah Aceh melalui Gubernur Zaini Abdullah bersama Tim Pemantau Pelaksanaan Undang-Undang Pemerintah Aceh dari DPR RI yang diketuai Priyo Budi Santoso, Kamis, 23 Januari 2014, mengumumkan perpanjangan masa cooling down hingga 15 April 2014. Perpanjangan dimaksud untuk menghindari memanasnya suasana menjelang pemilihan umum pada 9 April 2014 mendatang. “Kebijakan itu diambil dan disepakati kedua belah pihak untuk memberikan kedamaian dan kenyamaman bagi seluruh masyarakat di Aceh pada masa pelaksanaan Pemilu legislatif,” kata Zaini pekan lalu. Persoalan bendera dan lambang Aceh memang sudah memantik kontroversi sejak qanunnya disahkan Parlemen Aceh, 22 Maret 2013 lalu. Pengesahan bendera bulan bintang yang serupa dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebagai bendera Provinsi Aceh disambut dengan konvoi besar-besaran oleh masyarakat, tapi ditolak dan dilarang untuk dikibarkan oleh pemerintah pusat. Dalam Qanun No 3 Tahun 2013 disebutkan, Aceh berhak menggunakan bendera bintang bulan sebagai bendera daerah dan dikibarkan berdampingan dengan bendera merah putih. Selain itu, lambang Pancacita yang sebelumnya menjadi lambang daerah Aceh berganti dengan lambang buraq-singa. Segera setelah qanun itu disahkan, masyarakat di sepanjang jalur timur-utara Aceh mengibarkan bendera itu di jalan-jalan. Hal serupa juga terjadi di sepanjang garis pantai barat dan selatan Aceh. Di sisi lain, gerakan penolakan pengesahan bendera dan lambang Aceh juga
T
menyeruak ke permukaan. Sekelompok masyarakat di Aceh Tengah dan Meulaboh, Aceh Barat, juga menggelar aksi penolakan bendera bulan bintang menjadi bendera daerah dan lambang buraq-singa menggantikan pancacita. Itu sebabnya, pemerintah pusat melalui Kemendagri menolak qanun itu untuk disahkan dengan alasan bentuk bendera masih menyerupai bendera gerakan separatis GAM. Awal April 2013, pemerintah pusat melalui Kemendagri meminta Pemerintah Aceh merevisi qanun bendera dan lambang Aceh sebelum disahkan. Kedua pihak kemudian menyepakati masa jeda pembahasan atau cooling down selama 90 hari, terhitung 17 April 2013 hingga 17 Juli 2013. Hingga kemudian, cooling down itu sudah seperti sinetron striping saja: berulang kali diperpanjang tanpa ending yang pasti. Sebenarnya, qanun tentang bendera dan lambang Aceh adalah amanah dari nota kesepatakan damai atau Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 antara pihak GAM dan RI. Dalam satu klausul MoU Helsinki tertulis: Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne . Amanah itu kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No: 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dalam Pasal 246 ayat (2) tertulis: Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan
bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. Dasar itulah yang kemudian melahirkan Qanun No 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Namun setelah qanun itu menentukan bendera Aceh adalah bendera bulan sabit dan bintang dengan warna dominan merah disertai garis hitam dan putih yang sama persis dengan bendera GAM dulu, maka qanun dianggap telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) yang hirarkinya lebih tinggi. PP dimaksud adalah PP No 7 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Dalam pasal 6 ayat (4) PP itu, tertulis: Desain logo dan bendera tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain Pasal 6, menurut Kemendagri dalam klarifikasi terhadap Qanun No 3 Tahun 2013, masih terdapat beberapa pasal yang bertentangan dengan aturan undang-undang yang hierarkinya lebih tinggi. Singkat kata, bendera bintang bulan tak boleh berkibar sebelum revisi qanun disepakati oleh Kemendagri. Perpanjangan cooling down melalui pengumuman Zaini Abdullah pekan lalu itu, bukanlah yang pertama. Catatan MODUS ACEH, adalah ‘episode’ cooling down yang kesekian setelah qanun yang memicu kontroversi itu disahkan Maret 2013 lalu.
Pertama disepakati dari 17 April hingga 17 Juli tahun lalu. Pada saat itu, tim bersama dari Pemerintah Aceh dan Kemendagri sepakat melakukan penundaan keputusan qanun bendera dan lambang selama 90 hari. Namun, dalam tempo tersebut, kedua belah pihak tetap melakukan diskusi formal dan informal untuk pembahasan qanun. Hingga batas tempo yang dijanjikan, nasib qanun ini masih menggantung. Masa cooling down diperpanjang menjadi 14 Agustus, kemudian diperpanjang lagi hingga 15 Oktober, 17 November, 17 Desember,dan kini menjadi 15 April 2014. Pada 15 April 2014 nanti –
batas cooling down yang kesekian kalinya-,kontroversi bendera itu sudah berjalan lebih dari satu tahun. Di beberapa kesempatan, bendera memang masih berkibar meski tanpa kekuatan hukum yang tetap.Seperti pada 15 Agustus 2013 lalu saat masyarakat tumpah ruah ke Banda Aceh dengan membawa bendera bulan bintang dalam peringatan sewindu MoU Helsinki, juga pada pengukuhanWali Nanggroe serta peringatan Milad GAM 4 Desember 2013. Begitupun, hingga kini, publik setidaknya hanya bisa menanti kejelasan qanun itu untuk yang kesekian kalinya. Cooling down lagi, menunggu lagi.***
H. BRIO E M/T 1,4 WARNA PUTIH ‘2012, PLAT BL T. INNOVA ‘G 2,4 WARNA SILVER, 2008, PLAT BL H. JAZZ VTEC M/T, WARNA SILVER STONE , 2007, PLAT BL T. INNOVA ‘ G 2.0 WARNA HITAM, 2009, PLAT BL T. ALLNEW AVANZA ‘ G 1.3, HITAM, 2012 PLAT BL
COCOK UNTUK BISNIS RUMAH TANGGA, PERKANTORAN, & RESTORAN
MODUS ACEH
Kolom
17 Bantuan Hukum di Atas Kertas? N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
■ Google images
Oleh: Jecky Tengens *)
Ada perbedaan kultur birokrasi yang terlalu mengedepankan formalitas dengan gaya kerja OBH yang selama ini dipandang sebagai kelompok masyarakat sipil. enjelang periode tutup tahun anggaran tahun 2013 yang lalu terdapat berita menggelitik: “Sekitar 30 Miliar Dana Bantuan Hukum Tidak Terserap”. Berita ini mengandung arti hanya sekitar 13 miliar rupiah dana bantuan hukum untuk Tahun Anggaran 2013 yang terserap oleh total 310 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang telah diakreditasi dan diverifikasi sebelumnya oleh Kementerian Hukum dan HAM cq BPHN. Bisa dibayangkan, sekitar 70 persen dana yang diperuntukan untuk bantuan hukum masyarakat di Indonesia tidak dapat dinikmati dan mubazir begitu saja. Wakil Presiden Boediono bahkan ikut menyesali tidak maksimalnya penyerapan anggaran ini. Dana sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk keperluan pemberian bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan. Tentu bukan hanya Wapres Boediono saja yang menyesalkan kemandulan penyaluran dana bantuan hukum, para pemberi dan pengabdi bantuan hukum yang berada di lapangan juga menyesalkan. Penyerapan anggaran yang tidak maksimal akan berimbas kepada komponen penilaian anggaran yang dikucurkan tahun depan ke Kemenkumham, dalam hal ini BPHN sebagai penyelenggara program bantuan hukum. Ketika daya serap anggaran periode tahun 2013 tidak maksimal, dikhawatirkan anggaran untuk dana bantuan hukum 2014 akan berkurang. Apalagi melihat realitas 2014 adalah tahun politik dimana keuangan Negara akan lebih banyak terpusat untuk urusan pemilihan umum. Tanggung jawab negara Tanggung jawab negara untuk menjamin pemberian bantuan hukum di Indonesia merupakan buah perjalanan yang cukup panjang.Berbagai seminar dan pendekatan dilakukan untuk menyadarkan pemerintah atas pentingnya bantuan hukum sebagai salah satu akses terhadap keadilan bagi or-
M
ang yang tidak mampu. Hasilnya, pada tahun 2011 lahir Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bankum). Roh yang hendak ditanamkan ialah bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin adanya bantuan hukum bagi masyarakat miskin sebagai wujud perlindungan HAM dan akses terhadap keadilan. Oleh karena itu proses bantuan hukum yang telah berjalan selama ini tanpa campur tangan pemerintah coba dibuat standar menurut ukuran pemerintah dengan cara melakukan verifikasi dan akreditasi atas lembaga dan organisasi bantuan hukum. Dengan lahirnya UU Bantuan Hukum, dana bantuan hukum menjadi sistem satu pintu yakni melalui pintu Kemenkumham cq BPHN. Posisi ideal yang hendak dituju ialah agar dana bantuan hukum yang tersebar di berbagai instansi atau pos dapat disatukan melalui satu pintu, layaknya mesin pencari komputer, ketika mengetik key word “dana bantuan hukum” maka otomatis akan diarahkan melalui pintu BPHN.Proses ini pun kemudian melahirkan 310 organisasi bantuan hukum yang lolos verifikasi dan akreditasi, dan dana bantuan hukum sebesar 43 miliar rupiah dalam APBN 2013. Sebagai produk pelengkap dari UU Bankum ini, Pemerintah menerbitkan produk turunan.Antara lain Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP 42/2013), Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 3 tahun 2013 tentang Tata CaraVerifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan (Permen 22/2013), Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 22 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Permen 42/2013), Keputusan Menteri No. M. HH-03.03 tahun 2013 tentang Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi (Kepmen Bankum), serta Petunjuk Pelaksanaan tentang Penyaluran Dana dan Pelaporan Pelaksanaan Bantuan Hukum (Juknis Bankum) yang dikeluarkan oleh BPHN itu sendiri. Banyaknya peraturan pelaksana yang dikeluarkan ini ternyata sejalan dengan rumitnya teknis pelaksanaan dan penyaluran dana. Pekerja dan pengabdi bantuan hukum yang menjalankan pengabdiannya di lapangan masih kesulitan memenuhi persyaratan yang dibuat pemerintah. Misalnya, Pasal 43 Permen 42/2013 mensyaratkan adanya dokumen-dokumen pendukung sebagai bukti untuk dapat melakukan reimburse penyaluran dana kegiatan litigasi pendampingan bantuan hukum. Permen 42/2013 ini tidak mewajibkan dokumen-dokumen dan berkas yang dilampirkan harus berbentuk asli. Namun lebih lanjut lagi dalam Petunjuk Teknis BPHN disyaratkan bahwa dokumen yang dimaksud haruslah dokumen yang asli. Cobalah dibayangkan terlebih dahulu, para pihak yang terlibat dalam
proses beracara di pengadilan pun tahu jika dokumen asli sebuah perkara seperti Jawaban, Pledoi, Replik, Duplik dan lainnya ialah merupakan milik dari Hakim yang mengadili perkara. Para pihak yang berperkara hanya mendapatkan salinan.Parahnya lagi, regulasi teknis tersebut seakan luput dari depan mata para pembuat regulasi sehingga mereka mewajibkan para pihak menyediakan dokumen asli. Kemenkumham cq BPHN dalam hal ini boleh berkilah bahwa dalam mekanisme pencairan anggaran, Kementerian keuangan sebagai “kasir” negara mengharuskan adanya dokumen asli sebagai bukti penanganan perkara. Konsekuensinya, diperkirakan mayoritas organisasi bantuan hukum yang telah melaksanakan program bantuan hukum tidak dapat mengakses dana bantuan hukum secara maksimal akibat birokrasi dan persyaratan tersebut. Beberapa organisasi bantuan hu-
kum misalnya telah melaksanakan kegiatan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin dalam bentuk pendampingan perkara dan penyuluhan hukum.Namun karena mekanisme pelaporan perkara dan kegiatan yang sangat berbelit-belit dan mewajibkan formulir-formulir baru yang asing sebagai bentuk pelaporan kegiatan, maka kegiatan dan pendampingan yang telah dilaksanakan oleh OBH tidak dianggap sebagai sebuah proses pemberian bantuan hukum yang sesuai dengan standar dan otomatis tidak berhak mendapatkan dana bantuan hukum. Sayang sekali jika ternyata hasil kerja OBH tersebut tidak dianggap hanya karena masalah birokrasi administratif semata. Ketika diadakan rapat pertemuan dengan pihak BPHN,terdapat juga masukan mengenai porsi dana yang tidak seimbang dalam kegiatan litigasi dan non litigasi. Untuk perkara yang bisa diselesaikan dengan jalan perdamaian misalnya,digolongkan sebagai proses nonlitigasi yang diberikan kisaran dana lebih kecil daripada litigasi. Bisa jadi jika ada organisasi bantuan hukum yang bertujuan untuk “meraup” dana negara secara maksimal maka pastinya bukan jalur kekeluargaan melalui penyelesaian di luar pengadilan yang dipilih melainkan jalur penyelesaian lewat pengadilan yang dihargai lebih besar
‘jumlah nominalnya’ daripada jalur non litigasi. Menyamakan persepsi Jika ternyata pola pikir pemerintah tentang bantuan hukum hanya fokus pada aspek formalitas birokrasi, sedangkan roh dan semangat bantuan hukum adalah perwujudan akses keadilan bagi masyarakat miskin, maka bisa disebut pemerintah gagal. Kebijakan penganggaran bantuan hukum seolah menjadi ironi. Ada dana miliaran rupiah, ada jutaan warga miskin, tetapi dana itu tak terpakai maksimal. Ini berarti ada kesalahan memotret dan mengidentifikasi kebutuhan bantuan hukum di lapangan. Persoalannya terletak pada lemah dan minimnya koordinasi para pemangku kepentingan. Selain itu, ada perbedaan kultur birokrasi yang terlalu mengedepankan formalitas dengan gaya kerja OBH yang selama ini dipandang sebagai kelompok masyarakat sipil. Para pengabdi dan pengadvokasi masyarakat miskin lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan ketimbang formalitas semata. Akibatnya, pemberian bantuan hukum menjadi cenderung ruwet dan terkesan birokratis. Artinya, regulasi yang dibuat untuk mengatur standar dan teknis bantuan hukum sebenarnya masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan itu harus segera dicarikan solusinya,bisa melalui direvisi. Persoalan ini seharusnya diperhatikan secara serius oleh pemerintah (Kementerian Hukum dan HAM/BPHN) karena dana yang digunakan dalam pemberian bankum ini adalah uang negara. Salah pengelolaan karena administrasi yang berbelit-belit dapat menimbulkan potensi kriminalisasi bagi pemberi bantuan hukum. Jangan sampai kelak dana yang digunakan untuk keperluan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin berbalik “menerkam” para pemberi bantuan hukum. Intinya ialah proses bantuan hukum harus dapat dilaksanakan secara sederhana dan tidak berbelit-belit, persamaan persepsi antar Kementerian dalam hal ini Kementerian keuangan keuangan, kemenkumham dengan para pemangku kepentingan pun harus disamakan, jangan ada persepsi yang berbeda-beda yang mengakibatkan simalakama bagi masing-masing pihak, BPHN dianggap mandul karena tidak maksimal menyerap anggaran sehingga anggarannya dipotong oleh Kementerian keuangan, pemberi bantuan hukum tidak dapat mengakses dana karena rumitnya birokrasi. Imbasnya pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat yang membutuhkan pun menjadi terhambat, layaknya ungkapan hukum “Justice delayed is Justice denied”,terlalu banyak membuat peraturan dan regulasi yang berbelit-belit tanpa bisa diaplikasikan hanya akan membuat bantuan hukum di Indonesia layaknya bantuan hukum di atas kertas, kosong dan kehilangan makna.(Hukumonline) *Penulis adalah Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron Jakarta
18
MODUS ACEH N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
Olahraga
■ FOTO: FB
NAMA-NAMA OFFISIAL TIM BONTANG YANG MENDAPAT HUKUMAN ■ Camara Fode (manajer) mendapat hukuman dilarang terlibat sepak bola di seluruh dunia seumur hidup.
■ Hariadi (asisten manajer) mendapat hukuman dilarang terlibat sepak bola di seluruh dunia seumur hidup.
■ Dedi Siswanto (pelatih) mendapat hukuman dilarang terlibat sepak bola selama 24 bulan. Seluruh pemain Bontang FC yang menerima uang suap (kecuali kiper Bayu Anggara) mendapat hukuman dilarang terlibat sepak bola selama 24 bulan.
NAMA-NAMA OFFISIAL TIM PSLS YANG MENDAPAT HUKUMAN ■ Nyak Rani (asisten pelatih) mendapat hukuman larangan tampil di dunia sepak bola selama lima tahun. ■ Mahyudin Oki (officer) mendapat hukuman larangan tampil di dunia sepak bola selama lima tahun.
Jaringan mafia olahraga sepakbola di tanah air, terbongkar setelah adanya laporan FIFA. PSLS Lhokseumawe dan Bontang FC diputuskan terlibat dalam pengaturan skor. Manajemen, PSLS mempertanyakan semua tuduhan tersebut. ■ Laporan HasnulYunus ABAR mengejutkan datang dari dunia olahraga sepakbola di tanah air.Ini tentang pertandingan antara PSLS Lhokseumawe melawan Bontang FC di babak play-off Indonesia Primer League (IPL) Group K, di Stadion Bumi Kartini, Jepara, Jawa Tengah, pada Oktober 2013 silam. Laga dua klub sepakbola itu dikabarkan telah tercoreng dengan keberadaan para mafia sepakbola. Para pelaku, oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI dinyatakan telah melakukan match fixing atau tindakan pengaturan skor dalam pertandingan tersebut. Namun, pihak PSLS sendiri hingga saat ini belum mendapatkan pemberitahuan secara resmi terkait dengan tuduhan itu. Karuan saja, peristiwa ini mengejutkan banyak pihak.Tudingan tak elok ini terungkap setelah adanya pemberitahuan dari Direktur Keamanan FIFA,Ralf Mutschke kepada induk organisasi sepakbola di tanah air,PSSI beberapa waktu lalu.
K
Awalnya, FIFA mendeteksi indikasi kecurangan tersebut dengan menggunakan Early Warning System (EWS). Meski demikian, Mutschke sendiri enggan membeberkannya secara detail. Dia lebih memilih untuk menyerahkan persoalan tersebut kepada PSSI. Praktik tidak terpuji ini terungkap saat Direktur Keamanan FIFA melakukan pertemuan khusus dengan PSSI. Ketika itu, kedua pihak membahas bagaimana caranya melindungi sepak bola dari pengaturan skor. Mutshcke lalu menyerahkan dokumen yang mengindikasikan adanya pengaturan skor di dua pertandingan play off IPL tersebut. Syahdan, PSLS Lhokseumawe masuk dalam line-up ketika bertanding melawan Bontang FC.Namun, dalam laga itu,PSLS menelan kekalahan 3-4. Sementara kala bertanding dengan Pro Duta, Laskar Pase menyerah kalah dengan skor telak ‘setengah lusin’ alias 6-0. Bahkan, nama klub Pro Duta juga dicurigai terlibat dalam pengaturan skor. Nah, dari hasil analisa video pertandingan serta keterangan yang diperoleh dari perangkat pertandingan, Komdis menjelaskan, terdapat dua klub yang melakukan pengaturan skor yakni PSLS Lhokseumawe dan Bontang FC. Ceritanya begini. Pada babak play off IPL, ternyata ada pihak ketiga yang menjadi sorotan Komdis. Keberadaan para mafia sepak bola tercium oleh komisi ini. Ada tiga orang yang diduga memiliki peran penting dalam pengaturan skor tersebut. Ketiganya terlibat dalam mengatur pertandingan saat Bontang menghadapi PSLS. Mereka adalah Michael dan David.Dua orang ini diduga warga negara asing dari negeri jiran Malaysia atau India. Satu nama lagi yang
MODUS ACEH
Olahraga
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
19 ■ FOTO: FB
diduga menjadi kaki tangan mereka adalahYusuf yang berasal dari Surabaya. Modus operandi yang digunakan cukup unik. Pada pertandingan, Michael selalu diposisikan oleh klub Bontang sebagai meussure (tukang pijat). Padahal menurut Ketua Komdis PSSI, Hinca Pandjaitan, Michael merupakan seorang mafia. Keberadaannya bukan hanya di satu pertandingan saja, tapi di tiga laga. Michael ini berada di bench pemain Bontang. Ketika pertandingan berlangsung, Michael terlihat memegang handphone. Dialah yang menentukan pada menit keberapa gol akan tercipta.Sementara itu pelatih Bontang, Camara Fode berteriak dengan bahasa daerah. Penggunaan bahasa ini, sebut Hinca, agar tidak dimengerti orang lain. Hal itu dilakukan untuk menentukan gol akan terjadi di menit ke berapa. Nah, setelah pertandingan berakhir, Michael memberikan uang kepada Yusuf. Lelaki asal Surabaya ini, langsung mengantarkan uang tersebut kepada Camara Fode. Baru kemudian sang pelatih membagikan uang tersebut kepada para pemain. Kejadian itu diketahui official tim. Namun, kata Hinca, pihak Bontang menyebut kalau itu adalah sponsor. Kejadian ini tentu saja membuat Komdis gerah. Untuk mencegah hal serupa tidak terulang kembali, Hinca pun bertekad akan membasmi keberadaan ketiga mafia itu dari dunia persepakbolaan Indonesia.Tak hanya itu, Komdis juga akan melaporkan hal itu kepada FIFA. “Untuk menjaga integritas sepak bola, virusnya harus dibasmi dan klub itu harus memiliki finansial yang sehat. Saya sudah berkomunikasi dengan kepolisian untuk menangani kasus ini. Bulan April 2014, kami akan melakukan pembahasan ini secara khusus dengan FIFA dan AFC,karena lintas negara,” terang Hinca seperti yang dilansir situs inilah.com beberapa waktu lalu. Hanya itu? Tunggu dulu. Hinca juga membeberkan bahwa dari pengakuan pihak Bontang, ada hal yang menarik. Dari pertemuan itu ada yang mengganjal Komdis, yakni status Camara Fode sebagai manajer Bontang, padahal dia merupakan seorang pel-
atih. Menariknya, setelah ditelisik lebih jauh masalah ini terletak pada Camara Fode. Sebagai seorang pelatih, Camara ternyata baru mengantongi lisensi C. Padahal kalau masih berlisensi C, orang tersebut tidak diperbolehkan menjadi pelatih.Tapi itu semua, sebut Hinca, diakalakali oleh pihak Bontang,dia menjadi manajer tim. Sedangkan pelatih kipernya dinaikkan menjadi pelatih kepala. Karena itu Hinca memastikan akan menelusuri seluruh pertandingan tersebut. Semua pertandingan baik yang di Jepara maupun Bantul akan di investigasi kembali. Namun pihak Komdis akan menyelesaikan terlebih dahulu persoalan yang terjadi di Jepara.Karena kasus itu menjadi perhatian FIFA. Dalam kurun waktu kurang dua bulan, sejak memulai sidang pada 4 November lalu, Komdis sudah melakukan 12 kali persidangan. Di penghujung November 2013 lalu,Komdis juga telah memanggil perwakilan dua klub tersebut. PSLS diwakili Nasrul Koto, sementara Bontang FC diwakili manajer Camara Fode dan pelatih Edi Siswanto. Dalam pertemuan itu, Komdis memutar video yang diduga terjadi pengaturan skor. Naas bagi kedua tim sepakbola tersebut. Alhasil, mereka kemudian menerima hukuman dari Komisi Disiplin PSSI. Para pemain dan juga official di larang bermain pada dua kali turnamen di Indonesia. Kedua klub sepakbola tersebut, terbukti melakukan pengaturan skor dalam pertandingan tersebut. PSLS sendiri didiskualifikasi dan atau turun kasta ke divisi yang paling rendah yakni Divisi Tiga.Tidak hanya itu, klub yang terbukti terlibat match fixing tidak boleh aktif di dunia sepak bola selama dua tahun.Artinya,mereka baru bisa mengikuti kompetisi tersebut pada tahun 2015 mendatang.
Mereka juga harus membayar denda Rp 100 juta Rupiah. Hal itu mengacu pada peraturan PSSI Pasal 63 ayat 6 Komdis PSSI. Menurut Hinca, hukuman yang diberikan Komdis PSSI kepada Bontang dan PSLS lebih ringan.“Seharusnya klub yang terlibat pengaturan pertandingan itu diminta membubarkan diri. Sebab, mereka sudah mencederai integritas sepak bola profesional.” Sofyan Abdullah, (CEO) PSLS, kepada MODUS ACEH, Kamis pekan lalu menjelaskan, pihaknya belum bisa berkomentar terkait tuduhan yang ditujukan kepada PSLS. Karena sampai sejauh ini, setelah gembar-gembor adanya kabar pengaturan skor, PSLS sendiri belum pernah menerima surat resmi dari Komdis PSSI. “Hukuman itu kan belum ada, jadi amar putusan itu harus dalam bentuk surat resmi.Jadi tidak bisa kita komentar, karena (informasi-red) itu hanya melalui media. Apakah benar seperti itu, kita juga belum tahu,” jelasnya. Nah, karena amar putusan itu belum ada Sofyan menekankan bahwa mereka tidak bisa berbuat banyak. Bahkan Sofyan mengatakan secara lisan juga belum diberitahukan. Makanya, kata Sofyan, jika ada dasar surat tersebut mereka baru bisa tahu persis apa yang menjadi persoalan. Sofyan sulit mengomentari karena sejauh ini belum ada pegangan apapun untuk pihaknya.Jika surat resmi sudah
Menyediakan : Berbagai macam produk adventure, peralatan untuk outdoor ataupun untuk backpacker dengan berbagai Barang yang berkualitas. Seperti: Tas , Jaket, Kaos, Celana, Tenda untuk berkemah, Sandal, Sepatu Dll.
Kunjungi Toko kami yang ber alamat : Jl.T. Nyak Arief No. 4 Lamnyong – Banda Aceh Telp. ( 0651 ) 7431224 atau Hp 081360398334
mereka terima terima, sebut Sofyan, bisa mengambil langkah-langkah yang diperlukan, seperti melakukan banding terhadap putusan tersebut. Logikanya, pengaturan skor memang tidak mungkin dilakukan oleh satu pihak dalam sebuah pertandingan. Kuncinya, terletak pada pemain yang ada dilapangan. Nah, Sofyan menyampaikan bahwa pemain sudah dipanggil oleh Komdis.“Tapi pemain bersikukuh tidak ada terlibat pengaturan skor.Mereka tidak tahu (masalah tersebut-red),” kata Sofyan. Meski demikian, Sofyan tidak ingin menduga-duga ada apa dibalik semua ini.“Kita tidak tahu persis apa maunya (mereka-red), pada siapa ditujukan dan siapa yang ingin dikorbankan? Kita tidak tahu,”jelas Sofyan. Memang sebelumnya , sebut Sofyan, tim Offisial PSLS pernah diundang Komdis.Tapi pihaknya sudah memberikan penjelasan pada mereka.“ Bahwa kita pada saat ini, jangankan untuk berangkat, untuk menyelesaikan berbagai persoalan ditingkat internal saja belum kita selesaikan.” Sikap PSLS sendiri menurut Sofyan, jika tuduhan itu memang benar adanya maka mereka akan mempertanyakan kembali.“Kenapa itu jatuh ke PSLS? Indikasinya apa? Soal pengaturan skor,siapa yang atur dan siapa yang menerima?” Sofyan balik mempertanyakan. Dia berharap agar dalam masalah ini, PSLS tidak dikorbankan. Nah, lho! ***
MODUS ACEH
OLAHRAGA 20 Rindu Persiraja Kembali Berjaya N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
■ FOTO-FOTO MODUS ACEH/Dok
Persiraja
makin berat untuk anak-anak Kutaraja. Namun Bustamam dan kawankawan tetap bermain tenang. Bola terus mengalir ditendang dan ditanduk ke sana-kemari. Aliran serangan dari kedua tim terus terjadi hingga babak per-
jarak 45 meter, masih dekat dengan lingkaran tengah lapangan. Saya menendang dengan kaki kanan. Bola menluncur deras ke arah kanan gawang bagian atas,” kisahnya. Sedangkan gol kedua, lahir dari tendangan keras kaki kiri. Juga dari luar kotak penalti. Bola pantulan yang mengenai bagian belakang badan seorang pemain Persipura bisa dikontrol dengan kaki kanan, lantas disambung dengan volley kaki kiri. Bola kembali
tama nyaris usai. Hingga pada menit 45 lewat sepersekian detik, Rustam Syafari berhasil mengubah keadaan. Golnya disambut meriah skuadra Persiraja. Gol itu pula yang menjadi awal kebangkitan Persiraja. “Setelah gol itu, saat kick off, wasit langsung meniup peluit jeda. Masuk break, skor satu sama,” cerita Bustamam. Pertandingan lantas menjadi milik Persiraja pada babak kedua. Bustamam tampil sebagai tokoh protagonis dengan dua golnya. Masing-masing pada menit 55 dan 81.“Gol pertama melalui tendangan bebas. Itu dari
meluncur deras ke dalam gawang tanpa bisa dihadang kiper Persipura. Kemenangan atas Persipura itu membawa Persiraja untuk pertama kalinya mengoleksi tropi juara Liga Indonesia (saat itu namanya Liga Perserikatan). Itu adalah kompetisi kasta tertinggi dalam persepakbolaan Indonesia. Hingga kini, belum ada skuad Persiraja lain yang mampu mengulangi prestasi yang ditoreh Bustamam dan kolega. Gelar itu pertama dan satu-satunya tropi pada kasta tertinggi yang pernah diraih Persiraja. *** Nyaris seperempat abad berlalu setelah Bustamam, Rustam Syafari, dan
Persiraja pada satu ketika pernah hebat, menjadi juara kompetisi sepak bola kasta tertinggi di Indonesia. Kini, klub justru sedang terpuruk, surut jauh dari prestasi masa lalu. Pecinta rindu Persiraja kembali jaya. ■ Laporan Rahmat Taufik
H
ARI terakhir bulan Agustus, 1980. Dua tim sepak bola dari dua ujung Indonesia bertemu di stadion sepak bola terbesar di Indonesia: Gelora Bung Karno.Penonton menyesaki seisi stadion. Menanti siapa jawara sepak bola Indonesia tahun itu. Bustamam, 62 tahun, mengenang hari itu sebagai momen bersejarah dalam hidupnya. Saat menceritakan kembali kisah itu,Kamis sore yang cerah pekan lalu, sesekali pandangannya menerawang jauh, seperti sedang kembali ke lorong waktu pada masa mudanya dulu. Kedua tim yang bertanding tadi adalah Persiraja Banda Aceh dari ujung barat Indonesia, serta Persipura Jayapura dari ufuk timur Nusantara. Pemenang dari duel keduanya akan dicatat dalam sejarah persepakbolaan Indonesia.Ya, itulah laga final Liga Perserikatan Indonesia tahun 1980. Bustamam ada di pihak Persiraja. Ia menjadi sosok penting dalam pertandingan saat itu hingga dia kelak menggoreskan namanya sebagai salah satu legenda klub berjuluk Laskar Rencong. “Stadion penuh,” kenang Bustamam.“Entah dari mana-mana orang kita Aceh di Pula Jawa datang menonton ke stadion. Bukan hanya dari Jakarta, dari kota-kota lain juga. Bahkan ada yang dari Bali.” Gemuruh stadion menjadi saksi dari pertarungan sengit kedua tim. Baru seperempat jam laga berlangsung, Persiraja sudah kebobolan. Leo Kapisa mencetak gol untuk membawa keunggulan Persipura Jayapura. Persiraja sudah tertinggal bahkan saat pertandingan baru memasuki menit kelima belas. Ambisi untuk menorehkan sejarah
skuad Persiraja lainnya menorehkan tinta emas dalam perjalanan sejarah sepak bola klub Persiraja –bahkan Aceh secara umum. Kini, goresan emas itu telah memudar. Prestasi Persiraja tak pernah lagi sama. Awal 2014, Persiraja bahkan mungkin sedang berada di titik nadir. Nasib tim ini belum menemui kejelasan, bahkan hanya untuk mengikuti kompetisi tahun 2014 mendatang. Selasa, 21 Januari pekan lalu, jauh dari Pulau Jawa sana, Joko Drioyono mengumumkan kompetisi Divisi Utama (DU) Liga Indonesia besar kemungkinan akan digelar pada bulan April 2014 mendatang. Ada 64 tim diproyeksi ikut serta, termasuk salah satunya Persiraja. Divisi Utama adalah kompetisi sepak bola kasta kedua, di bawah Liga Super Indonesia yang berada pada kasta tertinggi. Untuk tahun kompetisi 2014, apa boleh buat jika Persiraja hanya berlaga pada liga kelas dua. Joko Driyono adalah Chief Executive Officer PT Liga Indonesia, penyelenggara liga sepak bola Indonesia. Jadwal kompetisi diatur oleh mereka,baik untuk kasta pertama di LSI maupun kasta kedua di DU. Namun hingga berita ini ditulis jadwal DU itu sifatnya belum pasti. Perubahan masih mungkin terjadi saat seluruh peserta diundang untuk memusyawarahkan kompetisi DU 2014, Senin, 27 Januari pekan ini. “Akan tetapi, sudah hampir pasti kick-off akan dilaksanakan pada bulan April. Atau setelah Pemilu Legislatif,” kata Joko seperti diwartakan okezone.com, Selasa, awal pekan lalu. Katakanlah kompetisi DU bergulir April nanti. Itu berarti hanya tiga bulan berjarak dari sekarang. Masalahnya, Persiraja belum melakukan persiapan
MODUS ACEH
OLAHRAGA untuk ikut kompetisi. Hingga kini, tim yang dipersiapkan untuk ikut kompetisi nanti bahkan masih belum terbentuk Kepala Bidang Operasional Persiraja, Jaja, kepada MODUS ACEH, Jumat, 24 Januari 2014 menyebut.Persiraja rencananya masih akan menggunakan sebagian besar tim musim lalu.“Kirakira 60 persen tim musim lalu akan dipertahankan. Termasuk Miftahul Hamdi dan Hendra Sandi Gunawan,” kata Jaja. Hamdi dan Hendra Sandi adalah dua dari tiga pemain Aceh yang terpilih mengikuti pemusatan latihan bersama Tim Nasional Under 19 di Malang, Jawa Timur.Satu lainnya Zulfiandi,yang bermain bersama PSSB Bireuen musim lalu. Ketiganya tergabung dalam Timnas U-19 yang diproyeksikan mengikuti Piala Asia U-19 di Myanmar Oktober 2014 nanti. Musim lalu, Persiraja memang diperkuat oleh barisan pemain muda minim pengalaman di level tinggi. Skuad ini berhasil menghadirkan kejutan pada awal kompetisi dengan sempat bertengger di papan atas klasemen Liga Primer Indonesia. Seiring perjalanan kompetisi, penampilan tim terus melorot hingga hanya mampu bertengger di peringkat 11 dari 16 klub peserta saat kompetisi dihentikan bulan September 2013. Penghentian kompetisi dilakukan untuk alasan unifikasi liga IPL dan ISL. Pada babak play-off grup L untuk menentukan tujuh tim terbaik yang berhak ikut proses verifikasi ke LSI, nasib Persiraja lebih tragis lagi. Dari empat tim: Persepar Palangkaraya, Persiba Bantul, Perseman Manokwari, dan Persiraja Banda Aceh; Laskar Rencong selalu menjadi sasaran empuk tim lawan. Sebanyak 16 gol bersarang ke gawang Persiraja hanya dari empat pertandingan. Rasio kebobolan mencapai empat gol dalam satu pertandingan! Namun, Jaja masih optimis dengan tim itu. Ia menilai performa musim lalu tak bisa menjadi ukuran kapasitas tim. Apalagi tim ini mayoritas berisi pemain muda yang masih‘hijau’ soal pengalaman bertanding. “(Tahun) kemarin mereka kalah mental saja,” katanya. Ia yakin ini akan lebih siap jika diturunkan untuk kompetisi tahun ini. Basis fans Persiraja, Suporter Kutaraja Untuk Lantak Laju (SKULL), tak
Persiraja
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
sepenuhnya setuju jika tim hanya mengandalkan pemain muda. Bukan meragukan kemampuan mereka,tapi Teuku Iqbal Djohan, Ketua SKULL, menganggap Persiraja hanya akan menjadi pelengkap penggembira jika hanya terjun kompetisi dengan bermaterikan
putih. Pengakuan Jaja sendiri, menyebutkan, kontrak pemain untuk kompetisi 2013 sudah habis, sedangkan penawaran kontrak untuk musim kompetisi 2014 belum dilakukan. Ini berarti Persiraja saat ini tak memiliki skuad. “Mereka latihan sendiri di lapangan
Bustamam (duduk kiri).
pemain muda.“Jangan menjadi bulanbulanan tim lain di laga tandang,” katanya. Masalah berikutnya adalah, hingga kini,pemain yang diproyeksikan untuk ikut serta dalam kompetisi DU 2014 belum disodorkan kontrak hitam di atas
Lampineung, menjaga kebugaran,” kata Jaja. *** Persiraja memang belum pernah mengulangi prestasi serupa tahun 1980. Tapi perjalanan panjang tim setidaknya masih menyisakan beberapa cerita.
21
Beberapa manis, sisanya pahit. Medio akhir 90-an, Persiraja menjadi tim papan tengah Divisi Utama Wilayah Barat (kasta satu). Lalu pada awal 2000-an, Persiraja sempat terdegradasi ke kompetisi kasta kedua. Persiraja kembali promosi ke kompetisi DU pada 2006, namun karena pada saat itu ISL (Indonesia Super League, nama Inggris dari LSI) baru lahir,kompetisi DU menjadi kasta kedua. Klub seharusnya promosi ke kasta tertinggi di LSI setelah menjadi runner up Divisi Utama pada tahun 2011. Namun perpecahan kompetisi Liga Super Indonesia dengan Liga Primer Indonesia pada saat itu membuat Persiraja memilih bermain di kompetisi LPI. Kini, pada kompetisi tahun 2014, Persiraja akan kembali ikut kompetisi bersama di bawah payung LSI. Hanya saja,karena tidak lolos dalam tim yang berhak mengikuti verifikasi untuk ikut serta di kompetisi LSI (dari tim LPI), Persiraja harus mengawali lagi dari kompetisi Divisi Utama. Jika pada akhir musim berhasil menjadi dua yang terbaik, kerinduan pecinta sepak bola di Kutaraja untuk dapat melihat klub Aceh berlaga di kompetisi kasta tertinggi bisa kembali terwujud. Namun jika melihat persiapan yang dilakukan sejauh ini, Iqbal pesimis hal itu bisa terwujud. Ia memang menginginkan Persiraja bangkit, namun hal itu menurutnya hanya bisa terjadi jika pengurus dan manajemen serius mengurusi Persiraja. Sejauh ini, Iqbal belum melihat adanya keselarasan antara harapan untuk membangkitkan Persiraja dengan persiapan tim. “Kita harus menemukan solusi jangka panjang. Jangan setiap tahun (persiapan mengikuti kompetisi) selalu seperti ini,” katanya.“Sekarang, marwah Persiraja sebagai klub yang disegani di sepak bola Indonesia seperti sudah hilang.” Di Mireuk Taman,Darussalam,Aceh Besar,Kamis pekan lalu, 24 tahun setelah membawa Persiraja juara kompetisi Liga Perserikatan, Bustamam menyampaikan harapanya tentang Persiraja. Ia ingin tim itu bangkit seperti sedia kala. Sangat mungkin, menurutnya, andai Persiraja diurus secara benar. “Jika pola latihannya benar, manajemennya bagus, pemain kita di Aceh sebenarnya lebih orang,” katatanya. Semoga.***
MODUS ACEH
22
MODUSIANA
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
Selingkuh dan Isu Keretakan Michelle-Obama
■ Foto-foto: Google images
Isu perselingkuhan adalah mimpi buruk dalam kehidupan setiap pasangan. Tak peduli berapa pun usia pernikahan. Masalah ini bisa memunculkan keretakan rumah tangga. Kabar tentang keretakan rumah tangga Barrack Obama dan Michelle, salah satunya.
■ Laporan Muhammad Saleh/dbs
K
INI, kabar mengenai keretakan rumah tangga Barrack Obama semakin menjadi pemberitaan
ramai. Sang istri, Michelle Obama, akan menggugat orang nomor satu di Amerika ini karena dikabarkan Michelle cemburu dengan aksi selfie yang dilakukan Obama dengan PM Denmark HelleThorning-Schmidt di pemakaman Mandela pada Desember 2013 lalu. Isu cemburu dan perselingkuhan muncul di antara Obama dan Michelle. Memang tak diketahui siapa wanita yang menjadi selingkuhan Obama, dan apa benar Michelle sebegitu cemburunya dengan suami yang dinikahinya sejak tahun 1992 ini? Namun seperti dilaporkan laman The Examiner, diamdiam Michelle sudah bertemu dengan seorang pengacara untuk membantunya mengajukan gugatan cerai. Itu sebabnya, isu perselingkuhan dimaknai sebagai mimpi buruk dalam kehidupan setiap pasangan.Tak peduli berapa pun usia pernikahan yang telah dilalui. Masalah ini bisa memunculkan keretakan rumah tangga. Cemburu dalam pasangan suami istri adalah hal yang biasa. Psikolog keluarga Retno Pudjiati mengartikan cemburu sebagai sebuah perasaan yang mempunyai karakter naluriah serta alami. Dan biasanya ditandai dengan adanya rasa takut, nyata atau tidak nyata, malu kehilangan cinta dari sang kekasih atau pasangan.
MODUS ACEH
MODUSIANA “Pada dasarnya kecemburuan ini terkait dengan kurangnya kepercayaan terhadap orang lain dan atau dirinya sendiri. Ada perasaan marah dan berkurangnya kepercayaan terhadap nilai-nilai yang ditanamkan kepada pasangan. Apabila cemburu kemudian menjadi berlebihan merupakan patologis dan berubah obsesi,” kata Retno, Selasa pagi, 21 Januari 2014. Retno menegaskan pada cemburu dalam sebuah rumah tangga merupakan hal yang biasa.“Yang perlu dijaga adalah supaya cemburu jangan atau sampai ke tahapan cemburu yang membabi buta.” Dia mengingatkan perasaan cemburu jangan dilawan, yang utama seharusnya dikendalikan dengan sebaik mungkin. “Untuk memberikan tips atau cara atasi cemburu kepada setiap pasangan hidup berbeda-beda, sebab setiap pribadi dan individu memiliki karakter unik dalam menghadapi dan mengatasi sebuah masalah termasuk cemburu,”ujar dia. Secara bijak, kata Retno kita bisa menggunakan cara mengatasi rasa cemburu apabila memang kita ada rasa curiga terhadap pasangan,“Sebaiknya dibuktikan dulu jangan bertindak gegabah yang akan membuat menyesal kemudian. Seandainya memang tidak menemukan bukti-bukti yang mebuat kita harus cemburum jangan pula lalu mencari alasan untuk mencurigai pasangan kita.” Retno menyarankan untuk selalu menerapkan berpikir dan bersikap positif untuk menghadapi cemburu. “Dengan mengedepankan prasangka baik, pikiran dan sikap positif maka akan meminimalisirkan peerasaab cemburu apalagi yang mengarah berlebihan dan akan berakibat fatal.” Yang jadi pertanyaan adalah,kena-
N0 40/TH.XI EDISI 27 JANUARI - 2 FEBRUARI 2014
23
Barack Obama dan Vera Baker.
pa muncul dan terjadi perselingkuhan? Situs Psychology Today menuliskan beberapa penyebab umum yang mungkin memunculkan niat untuk berselingkuh.Pertama,karena kebutuhan seksual tak terpenuhi. Ini adalah alasan yang paling sering menjadi penyebab perselingkuhan. Jika salah satu di antara pasangan merasa tak terpenuhi kebutuhannya, mereka akan mudah mencari yang lain. Namun, kurangnya kebutuhan ini bisa jadi karena jam kerja yang sangat sibuk. Untuk menutupi kekurangan ini, sebaiknya diisi dengan pesan-pesan romantis atau ajak makan siang bersama pasangan Anda. Kedua, karena balas dendam. Masalah perselingkuhan juga bisa terjadi karena salah satu pihak tersakiti. Akhirnya, pihak tersebut merasa perlu melakukan balas dendam dengan
pasangannya. Namun, masalahnya bukan selalu karena pasangannya lebih dulu berselingkuh.Terkadang,saat ia merasa kepercayaannya dirusak,keinginan untuk balas dendam semakin besar. Jika merasa adalah masalah, jangan hanya ucapkan kata maaf, tapi tunjukkan penyesalan dengan melakukan tindakan. Ketiga, karena tidak intim.Saat berduaan di rumah, pasangan justru perlu perhatian lebih. Hari-hari yang berlalu begitu saja bisa membuat pasangan Anda bosan dan menjadikannya alasan untuk selingkuh. Keintiman tetap perlu dijaga, tapi tak selalu harus dengan hubungan seksual.Tindakan-tindakan sederhana dapat membuat pasangan tetap terhubung dengan Anda. Misalnya, dengan saling menyentuh, beri kecupan, atau berpelukan. Bisa juga adakan makan malam kecil yang romantis
untuk berkomunikasi secara santai. Keempat, karena merasa tak dihargai.Suami banting tulang mencari uang, sementara si istri hanya marah-marah. Ini sama buruknya ketika istri telah melayani suaminya, tapi tetap tak dihargai. Biar bagaimana pun, suami atau istri Anda adalah makhluk sosial yang perlu dihargai. Jangan mentang-mentang sibuk bekerja atau merasa lebih “berkuasa” di rumah, Anda jadi tak menghargai pasangan. Dan kelima,karena memang sudah tak cinta. Ini adalah alasan utama sekaligus yang paling mengerikan. Pemicunya bisa disebabkan dari gabungan di antara keempat alasan sebelumnya. Komunikasi dan perhatian telah dicurahkan,ternyata itu jadi sia-sia karena pada dasarnya pasangan Anda sudah tak memiliki rasa cinta yang sama.***
Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un
Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un
Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya Atas Berpulang ke Rahmatullah
Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya Atas Berpulang ke Rahmatullah
H. Rusli bin Djuned (81 Thn)
H. Rusli bin Djuned (81 Thn)
Meninggal hari Minggu, 19 Januari 2014 dan dikebumikan, Senin 20 Januari 2014 di Desa Bantayan, Kec. Simpang Ulim, Aceh Timur
Meninggal hari Minggu, 19 Januari 2014 dan dikebumikan, Senin 20 Januari 2014 di Desa Bantayan, Kec. Simpang Ulim, Aceh Timur
AYAHANDA Drs. AZHAR RUSLI CALEG DPRK BANDA ACEH PARTAI GOLKAR DAPIL 2, KEC. KUTA ALAM
AYAHANDA Drs. AZHAR RUSLI CALEG DPRK BANDA ACEH PARTAI GOLKAR DAPIL 2, KEC. KUTA ALAM
Semoga amal ibadah almarhum diterima di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan tabah dalam menghadapi cobaan ini. Amin
Semoga amal ibadah almarhum diterima di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan tabah dalam menghadapi cobaan ini. Amin
dari
dari
H. Marhab an Makam Marhaban Calon Anggota DPR RI Dapil 2 Nomor Urut 2 (NAD 2) Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa. Aceh Tamiang, Bener Meriah, Aceh Tengah.
Par tai Persa tuan Pemb angun an art Persatuan Pembangun angunan
Muhammad Saleh Calon Anggota DPR Aceh Dapil 1 Nomor Urut 7 (Banda Aceh, Aceh Besar dan Sabang)
Par tai N asion al A ceh (PN A) art Nasion asional Aceh (PNA)