NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
Rp 7000,- ( Luar Aceh Rp 10.000,- )
MODUS ACEH
2
Redaksi
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
TABLOID BERITA MINGGUAN
MODUS ACEH
SUARA ANDA
BIJAK TANPA MEMIHAK
P e n a n g g u n g j awa b / Pimpin an Red aksi Pimpinan Redaksi Muhammad Saleh Direktur Usaha Agusniar Man a ger Mana
liput an liputan
Juli Saidi Editor Salwa Chaira Kar tunis/Design Kartunis/Design
Grafis
Rizki maulana Pemasaran/Sirkulasi Firdaus, Hasrul Rizal, Ghifari Hafmar M. Supral, azhari usman iklan/Sirkulasi Lhokseuma we/a ceh Lhokseumawe/a we/aceh
ut ara utara
mulyadi
Sekret aria t/ADM ta at Yulia Sari Kep ala B a gian Keuang an Kepala Agusniar Bagian I T Joddy Fachri Wa r taw a n rt Muhammad Saleh Juli Saidi ZULHELMI
Ko r e s p o n d e n Aceh Selatan
Alokasi DIPA Aceh 2017 Rp 46,7 Triliun Alokasi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2017 untuk Provinsi Aceh berjumlah Rp 46,7 triliun. Anggaran tersebut mengalami penurunan dari tahun lalu, berkisar Rp 47,1 triliun. Hal tersebut disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Soedarmo, saat menyerahkan DIPA tahun 2017 kepada Satuan Kerja Pengelola Dana APBN, di Anjong Mon Mata, Sabtu, 27 Desember 2016. Penurunan tersebut terjadi pada alokasi untuk sumber dana dekonsentrasi, tugas pembantuan serta alokasi untuk kantor daerah yang berkisar Rp 885,7 miliar. Sementara, untuk dana desa mencapai Rp 4,892 triliun, meningkat hingga 21,72 persen dibanding tahun 2016 yang berkisar Rp 3,829 triliun. Rincian dari DIPA 2017 dialokasikan pada pagu dekonsentrasi sebesar Rp 308.080.554.000, untuk kantor daerah senilai Rp 6.884858.669.000, kantor pusat Rp 4.074.812.404.000, tugas pembantuan Rp 406.150.510.000, transfer daerah dan yang terbesar untuk dana desa, senilai Rp 35.038.130.594.000. “Hari ini, secara simbolis, dokumen DIPA saya serahkan. Saya minta kepada para bupati dan walikota, agar secepatnya menyerahkan DIPA kepada satuan kerja di daerah masing-masing,” ujar Soedarmo.
Soedarmo meminta agar semua satuan kerja di daerah dan Provinsi Aceh menggunakan DIPA sebagai dasar untuk mensinkronkan pelaksanaan anggaran, baik yang didanai APBN maupun dari APBK. Ia meminta, agar semua pelaksanaan kegiatan telah dimulai pada tahun ini, sehingga memberi hasil yang lebih berkualitas, sekaligus mampu menstimulasi kegiatan ekonomi secara seimbang. Selain itu, Soedarmo menyebutkan, di tahun 2017, ia menginginkan penganggaran disalurkan berdasarkan pada program yang prioritas bukan pada fungsi atau pembagian dana secara merata. “Berikan nominal besar (anggaran) pada yang prioritas, sehingga bisa bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.” Sementara itu, Kepala Kanwil Ditjen Pemberendaharaan Provinsi Aceh Bakhtaruddin, menyebutkan, selain DIPA, provinsi berjuluk Serambi Mekkah juga memperoleh dana intensif untuk tahun 2017, dengan nilai Rp 726 miliar. Dana itu diberikan sebagai penghargaan kepada Aceh, yang dinilai sebagai daerah yang menunjukkan kinerja pemerintahan yang baik. “Dengan adanya pemberian reward ini, diharapkan dapat mempercepat pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh,” ujar Bakhtaruddin saat membacakan pidato Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Kepada semua kepala daerah yang hadir dalam penyerahan DIPA 2017 tersebut, Bakhtaruddin berpesan untuk memberikan pengawasan dan instruksi kepada pengelola keuangan di semua instansi di daerah masing-masing. Bakhtaruddin menyebutkan, Provinsi Aceh di tahun 216 menjadi salah satu daerah yang cukup membanggakan. Aceh diketahui menyertakan 22 kabupaten dan kota serta provinsi sebagai daerah yang mendapatkan predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). “Itu yang terbesar di Indonesia dan harus dipertahankan.” Mewakili Menteri Keuangan, Bakhtaruddin kemudian menyerahkan piagam kepada 21 kabupaten/kota dan juga Provinsi Aceh, yang dinilai berhasil menyusun dan menyajikan laporan keuangan 2015 dengan capaian standar tertinggi dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah. Ke-21 kabupaten/kota tersebut adalah Aceh Besar; Aceh Jaya; Aceh Tengah; Nagan Raya; Aceh Barat; Gayo Lues; Aceh Tamiang; Bener Meriah; Aceh Barat Daya; Aceh Selatan; Aceh Tenggara; Aceh Timur; Aceh Utara: Bireuen; Pidie; Pidie Jaya; Simeuleu; Banda Aceh; Langsa; Lhokseumawe dan Kota Sabang.*** *Biro Humas Setda Aceh
Sabang Nagan Raya Takengon Aceh Besar Aceh Tenggara Gayo Lues Kuala Simpang Pidie, Langsa Bener Meriah Simeulue
Alama t Red aksi Alamat Redaksi Jl. T. Panglima Nyak Makam No. 4 Banda Aceh. Telp (0651) 635322 email:
[email protected] [email protected] [email protected] [email protected] www.modusaceh.com. Penerbit PT Agsha Media Mandiri Rek Bank Aceh: 01.05.641993-1 Rek Bank BRI Cabang Banda Aceh: 0037.01.001643.30.9 NPWP: 02.418.798.1-101.000 Percetakan PT. Medan Media Grafikatama
Foto Biro Humas Setda Aceh
Dalam Menjalankan Tugas Jurnalistik, Wartawan MODUS ACEH Dibekali Kartu Pers. Tidak Dibenarkan Menerima Atau Meminta Apapun Dalam Bentuk Apapun dan Dari Siapa Pun
MODUS ACEH
Fokus
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
3
■ Hasil Temuan Inspektorat Aceh
Lampu Kuning untuk Teuku Aznal dan Darmansyah
eka-teki itu akhirnya terjawab sudah. Kepala Inspektorat Aceh, Abdul Karim, mengaku sudah menuntaskan pemeriksaan dan audit terhadap kasus penerimaan tunjangan ganda pegawai negeri sipil (PNS) di Sekretariat Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan kasus dugaan pemalsuan surat keputusan (SK) jabatan di Biro Umum Sekretaris Daerah (Setda) Aceh. Nah, khusus kasus T Aznal, inilah yang kini menjadi perhatian publik di Aceh, khususnya di jajaran birokrasi. Maklum, kasus ini baru pertama kali terjadi dan berhasil diungkap oleh Plt Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo. “Hasil pemeriksaan kedua kasus itu telah kita laporkan kepada Plt Gubernur Aceh, Mayjen TNI (Purn) Soedarmo,” kata Kepala Inspektorat Aceh, Abdul Karim, usai rapat dengan Asisten I dan Asisten III Setda Aceh, Kamis, 15 Desember 2016 di ruang kerja Asisten III, Pemerintah Aceh di Banda Aceh. Didampingi Asisten I, Dr. Muzakkar dan Asisten III Setda Aceh, Syahrul Badaruddin, Kepala Inspektorat Aceh Abdul Karim mengatakan, khusus kasus dugaan pemalsuan SK jabatan, Teuku Aznal telah terbukti memalsukan SK jabatan saat di-
T Kabar tak sedap menimpa Kepala Biro Umum Setda Aceh yang juga Plt Walikota Sabang, Teuku Aznal serta Kepala Sekretariat KIP Aceh. Diduga, birokrat karir ini memalsukan persyaratan administrasi untuk usulan kenaikan pangkat. Sementara Darmansyah, ditengarai ikut ‘menilep’ tunjangan ganda. Kepala Inspektorat Aceh, Abdul Karim, membenarkan dugaan ini berdasarkan hasil penyelidikan dan pengusutan pihaknya. Kini, Teuku Aznal dan Darmansyah berada di lampu kuning. Bersiap-siaplah! Wartawan MODUS Aceh, Muhammad Saleh Saleh, menulisnya untuk Fokus pekan ini.
angkat menjadi Kabag Keuangan Biro Umum tahun 2013 lalu. Katanya, SK itu ditandatangani Setda Provinsi Aceh saat itu, Teuku Setia Budi, tanggal 18 Februari 2013, dengan nomor PEG.821.22003.2013. Dan, SK tersebut, kata Abdul Karim, dipalsukan dengan cara mengubah tanggal, bulan, tahun, serta memindahan tanda tangan Teuku Setia Budi yang ada di SK jabatan sebelumnya, tertanggal 18 Februari 2012. Cara itu dilakukan dengan men-scan dan kemudian memindahkan ke SK jabatan tertanggal 5 September 2012. Hal yang sama juga dilakukan terhadap paraf para asisten. Abdul Karim mengungkap-
kan, modus operandi ini diketahui karena dari dua SK yang ditemukan arsipnya di Setda Aceh dan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh, SK jabatan diteken Sekretaris Daerah (Sekda) Teuku Setia Budi, tanggal 18 Februari 2013. Sementara, yang diteken tertanggal 5 September 2012, tidak pernah ada. Kata Abdul Karim, menurut analisis tim pemeriksa Baperjakat, motif T Aznal memalsukan SK kenaikan jabatannya saat dilantik menjadi Kabag Keuangan Biro Umum untuk mempercepat kenaikan pangkat dari III/d ke IV/ a, atau lainnya. “Tindakan Saudara Aznal ini melanggar Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor
humas
53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri,” ujar Abdul Karim. Berdasarkan Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010, PNS yang melakukan pelanggaran disiplin berat, bisa dikenakan sanksi antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Terkuaknya kasus ini, kabarnya karena bisikan seseorang kepada Plt Gubernur Aceh, Mayjen (Purn) Soedarmo. Tak jelas Analisadaily
4
MODUS ACEH
Fokus
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
apa maksud dan tujuan dari bisikan tadi. Itu sebabnya, Plt Gubernur Aceh Soedarmo meminta Asisten III Setda Aceh, Syahrul Badaruddin bersama Kepala Inspektorat Aceh, Abdul Karim, untuk mengusut dan mengungkap tuntas dugaan tadi. Perintah itu diakui Syahrul. “Benar, Pak Plt Gubernur yang langsung memerintahkan kasus ini agar diusut dan diungkap secara tuntas,” sebut Syahrul. Menurut Syahrul Badaruddin pada media ini beberapa waktu lalu, dari laporan yang masuk pada pihaknya, si pelapor mengungkapkan bahwa kenaikan pangkat T Aznal belum cukup masa atau bulannya, tapi sudah diusul. Tak hanya itu, diduga Aznal juga melakukan pemalsuan surat keputusan (SK) kenaikan pangkat atau jabatannya dari IV/a ke IV/b. Sebelumnya, SK kenaikan pangkat T Aznal dari III/d ke IV/a diterbitkan Sekda Aceh, T Setia Budi atas nama Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah pada 18 Februari 2013 dengan nomor PEG 821/22003.2013. Untuk bisa mengusul kenaikan pangkat ke IV/b, menurut PP Nomor 12 Tahun 2002 ia harus duduk pada pangkat IV/a selama 24 bulan. Setelah itu, baru boleh mengusul naik pangkat ke IV/b. Tapi, sumber MODUS ACEH mengungkapkan, SK kenaikan pangkatnya dari III/d ke IV/a yang diteken Sekda Aceh T Setia Budi, 18 Februari 2013 lalu diduga dipalsukannya dengan mengubah tanggal SK menjadi 5 September 2012 dengan nomor PEG 821.22026/2012. Diakui Syahrul Badaruddin, jika pengusutan nantinya terbukti T Aznal melakukan dugaan pengunduran SK kenaikan pangkat dengan cara pemalsuan bisa
dikenakan sanksi penurunan pangkat setingkat. Pangkat IV/b yang dimilikinya saat ini bisa gugur dan sebagai sanksi kenaikan pangkat IV/a yang normal akan diturunkan menjadi III/d. Entah itu sebabnya, Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) Pemerintah Aceh akhirnya turun tangan. Nah, Senin, 5 Desember 2016, mereka melakukan pemeriksaan terhadap T Aznal Zahri M.Si, Kepala Biro Umum Setda Aceh yang juga Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Sabang. Pemeriksaan itu antara lain melibatkan Kepala Biro Hukum dan Kepala Biro Organisasi Setda Aceh, BKPP, serta Kepala Inspektorat. Pemeriksaan berlangsung di Kantor BKPP Aceh, kawasan Lampineung, Banda Aceh. Kepala Inspektorat Aceh Abdul Karim kepada media pers di Banda Aceh menjelaskan, Aznal dipanggil saat itu untuk dimintai klarifikasinya terkait laporan yang masuk ke Plt Gubernur Aceh, Mayjen TNI (Purn) Soedarmo, atas dugaan memalsukan dokumen kepangkatan pada saat menjabat Kabag Umum untuk menjadi Kepala Biro Umum Setda Aceh. “Teuku Aznal sudah pernah kita panggil pada tanggal 21 November 2016. Tapi, saat itu, yang bersangkutan tidak hadir karena sedang mengikuti rapat persiapan pilkada serentak di Jakarta. Aznal hadir pada rapat itu dalam kapasitasnya sebagai Plt Walikota Sabang,” ujar Abdul Karim seperti diwartakan Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh. Pemanggilan kedua, lanjut Abdul Karim, dilakukan Senin, 5 Desember 2016 dan T Aznal hadir. Menurutnya, pemanggilan itu dilakukan karena setiap laporan dugaan pelanggaran oleh
PNS sebelum dikenakan sanksi, maka tim Baperjakat wajib memeriksa apakah pelanggaran yang dilakukan itu termasuk pelanggaran berat, sedang atau ringan. Dalam laporan yang masuk ke Plt Gubernur Aceh, kata Abdul Karim lagi, Aznal diduga mengusulkan kenaikan pangkatnya dari III/d ke IV/a dengan cara memalsukan SK kenaikan jabatannya, agar cepat naik pangkat. “SK itulah yang kita periksa, apakah ada yang dipalsukan atau tidak. Sebab, laporan yang masuk kepada plt gubernur, ada dokumen kepangkatan dan kenaikan jabatan yang dipalsukan Aznal dengan cara mengundurkan tanggal, bulan, dan tahunnya,” jelas Abdul Karim. Tapi, ketika itu, Abdul Karim tak menjelaskan secara terbuka SK mana yang dipalsukan Aznal karena masih dalam penyelidikan. “Kalau memang benar Saudara T Aznal melakukan pelanggaran hukum dalam proses usulan kenaikan pangkat, saya siap menindaknya,” kata Abdul Karim, mengutip penegasan Plt Gubernur Aceh kepada tim Baperjakat.
Lantas, apa kata T Aznal? “Itu hanya miskomunikasi saja. Tidak ada dokumen yang saya palsukan. Proses yang dilakukannya terhadap diri saya justru sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2002. Tapi, tim Baperjakat melihatnya dari nomor 13 Tahun 2002,” ungkap T Aznal. Dia menduga, laporan tersebut sengaja dilakukan oleh pihak yang tidak senang terhadap promosi jabatan yang diberikan kepala daerah kepada dirinya. Begitupun, sepandai-pandai menyimpan bangkai, baunya pasti menebar ke mana-mana. Dugaan adanya pemalsuan dokumen yang dilakukan T Aznal, menurut keputusan Inspektorat Aceh benar adanya. “Hasil pemeriksaan kedua kasus itu telah kita laporkan kepada Plt Gubernur Aceh, Mayjen TNI (Purn) Soedarmo,” kata Kepala Inspektorat Aceh, Abdul Karim usai rapat dengan Asisten I dan Asisten III Setda Aceh, Kamis, 5 Desember 2016 di ruang kerja Asisten III, Setda Aceh di Banda Aceh. Itu sebabnya, Asisten I Setda Aceh, Dr. Muzakkar dan Asisten III Setda Aceh, Syahrul Ba-
Sekretaris KIP Aceh Drs Darmansyah.
daruddin, memberi apresiasi kepada tim pemeriksa dan audit dari Inspektorat Aceh yang telah menjalankan tugasnya secara profesional dan berintegritas tinggi. Muzakkar dan Syahrul mengatakan, jika ingin birokrasi berjalan baik dan tanpa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), maka penegakan disiplin harus dilaksanakan. Bagi yang melakukan pelanggaran, harus diberikan sanksi sesuai pelanggaran yang dilakukannya, dan bagi yang berprestasi, diberikan penghargaan. Hasil pemeriksaan dan audit Inspektorat Aceh terhadap dua kasus tadi yaitu dugaan pemalsuan dokumen oleh T Aznal dan penghasilan ganda di Sekretariat KIP Aceh, kata Syahrul dan Muzakkar, telah disampaikan Inspektur kepada Plt Gubernur Aceh, Mayjen TNI (Purn) Soedarmo. Nah, sanksi apa yang akan diberikan Plt Gubernur Aceh terhadap pejabat dan PNS yang melakukan pelanggar disiplin berat tersebut? Semua itu, kata Syahrul dan Muzakkar, tergantung pada Plt Gubernur Aceh, Mayjen (Purn) Soedarmo. Kita tunggu.***
MODUS ACEH
Fokus
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
5
Abdul Karim Membenarkan, Aznal Pasrah Mitrapol
Teuku Aznal mengaku pasrah dengan tuduhan telah memalsukan dokumen kenaikan pangkatnya, tapi Kepala Inspektorat, Aceh Abdul Karim, membenarkan, termasuk 22 PNS di Sekretariat KIP Aceh. Benarkah efek dari menjadi ‘anak emas’ dr. Zaini Abdullah yang disandang Teuku Aznal?
Plt. Walikota Sabang Aznal Zahri. epandai-pandai menyimpan bangkai, baunya pasti menebar ke manamana. Agaknya, itulah nasib apes yang kini dialami Teuku Aznal, Kabag Keuangan Biro Umum Setda Aceh. Bayangkan, bukan mustahil Plt Walikota Sabang ini, akan mendapat sanksi keras dari Plt Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo. Didampingi Asisten I, Dr. Muzakkar dan Asisten III Setda Aceh, Syahrul Badaruddin, Kepala Inspektorat Aceh Abdul Karim, ketiganya berkesimpulan bahwa Teuku Aznal telah memalsukan surat keputusan (SK) jabatan saat diangkat menjadi Kabag Keuangan Biro Umum pada tahun 2013 lalu. SK itu ditandatangani Sekda Aceh, Teuku Setia Budi, tanggal 18 Februari 2013 dengan nomor PEG.821.22003.2013. Tragisnya, SK tersebut dipalsukan dengan cara mengubah tanggal, bulan, tahun, serta memindahkan tanda tangan Sekda T Setia Budi yang ada di SK jabatan sebelumnya, tanggal 18 Februari 2012, dengan cara men-scan dan kemudian memindahkan ke SK jabatan tertanggal 5 September 2012. Hal yang sama juga dilakukan terhadap paraf para asisten. Abdul Karim mengungkapkan, modus operandi ini diketahui karena dari dua SK yang ditemukan arsipnya di Setda Aceh dan BKPP Aceh adalah SK jabatan yang diteken Sekda T Setia Budi tanggal 18 Februari 2013. Sementara, yang diteken tertanggal 5 September 2012 tidak pernah ada.
S
Tak hanya itu, menurut analisis tim pemeriksa Baperjakat, motif T Aznal memalsukan SK kenaikan jabatannya saat dilantik menjadi Kabag Keuangan Biro Umum adalah untuk mempercepat kenaikan pangkat dari III/d ke IV/a atau lainnya. “Tindakan Saudara Aznal ini melanggar Peraturan Pemerintah RI Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri,” ujar Abdul Karim. Termasuk, berdasarkan Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010, PNS yang melakukan pelanggaran disiplin berat, bisa dikenakan sanksi antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Sebenarnya, sas-sus ini sudah lama berseliweran di jajaran Pemerintah Aceh, di Banda Aceh. Namun, karena T Aznal dikenal dekat dengan Gubernur Aceh saat itu, dr. Zaini Abdullah, sehingga banyak pihak tutup mulut. Nah, begitu Zaini Abdullah tak lagi menjabat dan kecil kemungkinan akan menang dalam kontestasi Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2017 mendatang, baru kasus ini diungkap. Tak hanya itu, si pelapor juga yakin bahwa dengan latar belakang militer, khususnya satuan intelijen, Plt Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo tak akan neko-neko dan terpengaruh dari pihak mana pun dalam menegakkan disiplin
aparatur pemerintahan di Aceh. Lantas, apa kata T Aznal? “Itu hanya miskomunikasi saja. Tidak ada dokumen yang saya palsukan. Proses yang dilakukannya terhadap diri saya justru sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2002. Tapi, tim Baperjakat melihatnya dari nomor 13 tahun 2002,” ungkap T Aznal. Dia menduga, laporan tersebut sengaja dilakukan oleh pihak yang tidak senang terhadap promosi jabatan yang diberikan kepala daerah kepada dirinya. “Begitupun, saya tidak mau berpolemik dan mari kita tunggu keputusan selanjutnya,” katanya dan terkesan mulai irit bicara. Yang jadi pertanyaan adalah murnikah sanksi yang akan diberikan terhadap T Aznal untuk menegakkan aturan atau ada maksud lain? Misal, karena Teuku Aznal begitu melejit karirnya hingga diangkat Gubernur Aceh nonaktif dr. Zaini Abdullah sebagai Plt Walikota Sabang. Akibatnya, membuat cemburu rekan seangkatannya atau sesama alumni Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Kabar lain, karena Teuku Aznal begitu dekat atau menjadi ‘anak emas’ dr. Zaini Abdullah. Bahkan, dalam beberapa kegiatan ‘kampanye’ T Aznal ikut serta. Karena tudingan ini, dia bersama sejumlah Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) seperti Hasanuddin Darjo (Kadis Pendidikan Aceh), Kadis Sosial Aceh, Alhudri, sempat dipanggil anggota DPR Aceh dan dilaporkan ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi Reformasi (PANRB) di Jakarta serta Mendagri
beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, T Aznal kabarnya tidak mau menandatangani APBK Perubahaan Pemerintah Kota (Pemko) Sabang karena dinilai sarat dengan berbagai kepentingan petahana Walikota Sabang, Zulkifli Adam. Sementara, sejumlah proyek di sana telah menjadi kapling dari sejumlah pengusaha papan atas di Aceh. “Jadi, masalahnya sudah menumpuk dan membuat sejumlah pejabat di Setda Aceh menjadi tidak nyaman. Bahkan, saat Gubernur Aceh masih di tangan Zaini Abdullah, T Aznal dinilai terlalu ‘maju’ dan over acting, sehingga banyak yang tidak senang. Nah, mereka menunggu saat Zaini Abdullah tidak lagi menjabat dan baru dibuka kasus ini,” ungkap sumber MODUS ACEH di jajaran Pemerintah Aceh. Memang, pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2002, Pasal 7 disebutkan: kenaikan pangkat reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dapat diberikan setingkat lebih tinggi apabila: kenaikan pangkat reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dapat diberikan setingkat lebih tinggi apabila: a. Sekurang-kurangnya telah 4 (empat) tahun dalam pangkat terakhir; dan b. Setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurangkurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir. Tapi, tim Baperjakat dan Inspektorat Aceh berpegang pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 ayat (1), pegawai negeri sipil yang akan atau telah menduduki jabatan struktural harus mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan untuk jabatan tersebut. Ayat (2), pegawai negeri sipil yang telah memenuhi persyaratan kompetensi jabatan struktural tertentu dapat diberikan sertifikat sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi pembina dan instansi pengendali serta dianggap telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang dipersyaratkan untuk jabatan tersebut. Ayat (3), di antara Pasal 7 dan Pasal 8, disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal 7 a, yang berbunyi: “Pasal 7 a, pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan struktural dapat diangkat dalam jabatan struktural setingkat lebih tinggi apabila yang bersangkutan sekurang-kurangnya telah 2 (dua) tahun dalam jabatan struktural yang pernah dan/ atau masih didudukinya kecuali pengangkatan dalam jabatan struktural yang menjadi wewenang Presiden. Yang jadi soal adalah bagaimana dengan Darmansyah? Sumber media ini di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh mengungkapkan, sebenarnya banyak persoalan yang telah dilakukan Darmansyah di lembaga itu. Itu sebabnya, sejumlah pimpinan KIP Aceh telah beberapa kali mengusulkan pergantian Darmansyah dari lembaga itu. Tapi, selalu mentok. Ada sas-sus menyebutkan, bertahannya Darmansyah sebagai Sekretaris KIP Aceh, karena diback up oleh petinggi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat. “Padahal, sudah beberapa surat pergantian diajukan. Hasilnya tetap mentok. Harapan satu-satunya ada pada Plt Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo,” kata sumber media ini, Jumat pekan lalu. Lantas, bagaimana nasib Teuku Aznal yang juga ‘anak emas’ dr. Zaini Abdullah serta Darmansyah yang disebut-sebut memiliki ‘tameng’ di KPU Pusat? Tentu, semua berpulang pada Plt Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo dan waktu yang menjawabnya. Kita tunggu!***
6
MODUS ACEH NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
Di balik berita
■ Pasien Korban Bencana Tak Ditanggung BPJS
Ubah Perpres, Biar Pelayanan dan Jaminan Kesehatan Lebih Terjamin FB
Biaya kesehatan masyarakat Aceh 3,9 juta orang telah dialokasikan dari APBN dan APBA. Namun, bagi masyarakat yang terkena bencana alam seperti gempa Pidie Jaya, BPJS lepas tanggung jawab. Perlu tangan Presiden RI Joko Widodo untuk mengubah aturan. Juli Saidi | Azhari Usman atusan masyarakat korban gempa di Pidie Jaya, Pidie dan Bireuen sejak Rabu, 7 Desember 2016 lalu dirawat di rumah sakit. Mereka tersebar, ada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pidie Jaya, Rumah Sakit dr. Fauziah Bireuen, Rumah Sakit Tgk. Abdullah Syafie (RS TAS) Beureunuen Pidie, Rumah Sakit Sigli, Pidie serta Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA), Banda Aceh. Sudah pasti, setiap pasien ada yang rawat inap, baik karena menjalani operasi atau tidak. Namun, di balik bencana yang tak diduga itu, khusus pasien yang mendapat rawat inap operasi, membutuhkan biaya besar akibat bencana Rabu pagi, 7 Desember 2016. Misalnya, pasien yang mengalami patah tulang belakang dan operasi sejenisnya. Kepala Humas RSUZA Rahmady, SKM Selasa, 13 Desember 2016 lalu mengatakan, pasca gempa Pidie Jaya yang berkekuatan 6,5 skala richter (SR), jumlah penanganan pasien di ruang emergensi rawat inap mencapai 36 orang. Meski terkontrol, ternyata semua pasien akibat gempa (tanggap darurat), tak mendapat pelayanan anggaran dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). “Semua pasien gempa yang dirawat di RSUZA Banda Aceh, tidak ditanggung BPJS,” kata Rahmady, Banda Aceh, Selasa pekan lalu. Ini tentu kontradiksi. Sebab, fulus yang sebelumnya menga-
R
lir untuk program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA atau JKRA) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), sejak 2014 lalu telah integrasikan atau dialihkan dalam rekening BPJS. Jumlah anggaran untuk asuransi Rp 1,8 juta rakyat Aceh itu, Rp 460 miliar lebih. “Yang dialokasikan sekitar Rp 460 milar. Tetapi, kalau yang terdata dalam database hanya untuk dibayar Rp 400 miliar, maka akan dibayar segitu,” kata mantan Kepala Dinas Kesehatan Aceh yang juga kini menjabat Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BkkbN) Provinsi Aceh, Dr. dr. M. Yani, Banda Aceh, Kamis, 15 Desember 2016 lalu. Selain mendapat premi kesehatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), sebanyak 2,1 juta masyarakat Aceh yang kategorikan miskin di Bumi Serambi Mekkah ini juga mendapat pembayaran asuransi kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah angsurannya sama dengan JKRA dari APBA yaitu Rp 23 ribu per bulan untuk setiap jiwa masyarakat Aceh. Itu sebabnya, Aceh berbeda dengan provinsi lain, karena provinsi luar Aceh hanya mendapatkan asuransi dari Pemerintah Pusat. Sedangkan Aceh, anggaran kesehatan masyarakat ber-
partisipasi penuh setiap tahun. Artinya, dari 4,9 juta penduduk Aceh, ada 3,9 juta jiwa yang telah mendapat suntikan asuransi kesehatan dari APBN dan APBA setiap tahunnya. Maka, dapat dipastikan, korban musibah gempa di Pidie Jaya, Pidie dan Bireuen, harus-
Kesehatan, Nomor 28 Tahun 2914 dan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, Pasal 25 huruf (o), tidak disebutkan adanya tanggung jawab dari BPJS. Memang berdasarkan aturan itu, pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biaya atau
Rahmady Skm
Dr.dr. M. Yani
nya mendapat pelayanan dan pembiayaan rawat inap operasi dan non operasi dari BPJS. Sebab, dananya telah diintegrasikan ke BPJS. Itu artinya, negara telah membayar dua kali biaya kesehatan masyarakat Aceh, karena pasien yang dirawat akibat bencana, tak ditanggung BPJS. Kondisi ini diakui Kepala Unit Pelayanan BPJS Aceh, Cut Novita. Menurutnya, perawatan bagi korban bencana alam tidak menjadi tanggungan BPJS. Alasannya, sesuai Peraturan Menteri
wabah, tak masuk dari BPJS. “Tentunya kami bekerja sesuai dengan SOP (standard operating procedure) yang ada dan tidak menyalahi aturan-aturan yang sudah dibuat,” kata Cut Novita melalui sambungan telepon, Jumat pekan lalu. Tapi, mantan Kepala Dinas Kesehatan Aceh yang juga arsitek JKA Aceh dr. M. Yani secara pribadi berpendapat. Karena wilayah Aceh adalah rawan bencana (khususnya) gempa dan berdasarkan pengalaman pasien bencana gempa Pidie
Jaya lalu, harusnya menjadi momen atau kesempatan yang tepat untuk melakukan perubahan aturan BPJS tadi. Bahkan, M. Yani mengatakan, meskipun pembayaran pasien tanggap darurat tidak ada anggaran, namun jika masalah itu diubah, maka akan ada beberapa keuntungan kalau BPJS masuk dan mau membayarnya. “Kalau BPJS melakukan, rumah sakit atau siapa pun pemberi pelayanan seperti biasa akan jelas penjaminnya, waktu, tarif bayar itu sudah jelas. Kedua, instansi yang mengelola seyogyanya juga bisa cepat menjalankan program BPJS dan mereka bisa klaim ke rumah sakit. Perlu diketahui, pembayaran klaim BPJS itu setelah verifikasi,” ujar M. Yani, Kamis pekan lalu. M. Yani mengaku, memang ada masalah jika ditanggung BPJS, sebab dalam masa tanggap darurat, jumlah yang mengalami kecelakaan secara bersamaan dan singkat, tentu banyak. Tetapi, kata Kepala BkkBN Perwakilan Provinsi Aceh itu, jika ada inisiatif Pemerintah Aceh, bisa memasukkan premi kesehatan bencana dalam BPJS dan itu langkah yang tepat. “Supaya dikelola BPJS, termasuk kalau ada kecelakaan kerja. Jadi, rumah sakit hanya fisik saja. Ini kesempatan baik untuk dipikirkan. Jadi, aturan yang membuat BPJS yang tidak bisa membayar tadi diubah,” usulnya. Namun, beranjak dari pengalaman korban bencana dan pelayanan premi kesehatan di Aceh, tentu tak hanya Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 yang perlu dievaluasi. Khusus untuk Aceh, rumitnya administrasi kesehatan melalui BPJS juga perlu segera diambil tindakan tegas oleh Pemerintahan Aceh. Sebab, masyarakat Aceh mengakui bahwa pelayanan kesehatan dengan BPJS dibandingkan dengan sistem JKA jauh lebih mudah. Nah, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh perlu berpikir dan mengevaluasi kembali kerja sama dan kinerja BPJS di Bumi Serambi Mekkah. Sebab, di beberapa provinsi malah menolak untuk bekerjasama dengan BPJS.***
MODUS ACEH
Di balik berita
7
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
■ Raqan Pembangunan Olahraga Aceh
Gagal Ganti ‘Kulit’ dan Melirik Anggaran 2,5 Persen
Rancangan Qanun Pembangunan Keolahragaan Aceh telah disetujui bersama DPR Aceh. Namun, ada pasal yang digugurkan. Misal, nama KOA dikembalikan ke KONI serta alokasi anggaran 2,5 persen dari APBA. Cèt langèt? Juli Saidi
MODUS ACEH-DOK
ebelum dibawa pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), maka setiap lembaran Rancangan Qanun (Raqan) tentang Pembangunan Keolahragaan Aceh diparaf ramai-ramai, termasuk Ketua Komisi V DPR Aceh, Mohd. Al Fatah. Raqan yang telah mendapat persetujuan bersama itu mengatur berbagai hal. Salah satunya mengatur penghargaan yang disebutkan pada Pasal 70; Pemerintah Aceh, kabupaten/kota, organisasi olahraga, organisasi kemasyarakatan hingga perorangan dapat memberikan penghargaan kepada setiap pelaku olahraga, organisasi olahraga, lembaga pemerintah, swasta, dan perseorangan yang berprestasi atau berjasa dalam memajukan olahraga. Bahkan, dalam Pasal 71 ayat (2) menyebutkan bahwa; penghargaan dapat berbentuk pemberian beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, jaminan hari tua, perumahan, umrah/ haji, kendaraan atau bentuk penghargaan lain sesuai perundang-undangan. Aturan itu disambut positif semua fraksi yang ada di DPR Aceh. Sebab, dalam pendapat akhir fraksi, tak menyoalkan ada aturan pemberian penghargaan. Namun, tidak untuk Pasal 76 tentang Pendanaan. Padahal, Pasal 76 ayat (3) jelas diatur, alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal yang
S
sama harus memenuhi paling kurang 2,5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Ketua Komisi V DPR Aceh, Mohd. Al Fatah mengaku, adanya permintaan 2,5 persen anggaran untuk olahraga muncul dalam draf rancangan qanun yang diusulkan eksekutif. Kemudian, dalam pembahasan, dipertahankan Komisi V agar terakomodir. Itu sebabnya, saat rancangan qanun itu diselesaikan dan diserahkan pada pimpinan DPR Aceh, pasal yang mengatur anggaran 2,5 persen untuk olahraga tetap dimasukkan dalam rancangan Qanun Pembangunan Keolahragaan Aceh. “Pasal itu merupakan usulan eksekutif,” ujar Mohd. Al Fatah di ruang Komisi V DPR Aceh, Jalan Teungku Daud Beureuh, Banda Aceh, Selasa 13 Desember 2016. Kader Partai Amanat Nasional (PAN) itu melanjutkan, ketika eksekutif mengusulkan adanya perhatian serius terkait anggaran olahraga Aceh 2,5 persen, ini menunjukkan adanya harapan yang memungkinkan diambil dari APBA. Tentu, kata Mohd. Al Fatah, dengan melakukan berbagai efisiensi anggaran lain dalam kegiatan APBA. “Jika tidak memungkinkan, tentu tidak diusulkan oleh eksekutif. Ini artinya mungkin saja pengalokasian 2,5 persen dari APBA,” ujar Mohd. Al Fatah, Selasa pekan lalu. Pendapat sama juga pernah disampaikan Wakil Ketua Bidang
Litbang Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh, Teuku Rayuan Sukma. Dalam bincangbincang dengan media ini, usai mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU), Selasa, 6 Desember lalu mengaku, selama ini, peruntukan dana untuk olahraga, termasuk kegiatan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), dan pramuka tidak jelas. Sehingga, terkesan dalam mengalokasikan anggaran untuk kegiatan dimaksud seperti mengemis. Maka, kata Teuku Rayuan Sukma, adanya pasal yang mengatur peruntukan anggaran 2,5 persen. Tapi, yang jadi persoalan, persentase pengalokasian anggaran secara aturan nasional telah diatur jelas. Misal, untuk kegiatan pendidikan telah diatur 20 persen, kesehatan 10 persen dan belanja modal setidaknya 30 persen. Nah, bila mengacu pada rambu-rambu ini, jelas dari total APBA sudah terpakai untuk tiga kegiatan tersebut 60 persen. Sedangkan 40 persen sisa masih banyak kebutuhan lain. Contoh, berdasarkan Lampiran Satu Buku APBA 2016, dari total APBA, diperuntukkan bagi belanja pegawai senilai satu triliun rupiah lebih. Sudah pasti, anggaran membengkak untuk belanja gaji dan tunjangan senilai Rp 596 miliar lebih. Begitu juga belanja tambahan penghasilan pegawai negeri sipil (PNS) Rp 367 miliar lebih. Bahkan, dari total APBA 2016 Rp 12,5 triliun, termasuk transfer Dana Otsus untuk kabu-
paten/kota tiga triliun rupiah lebih. Begitu juga Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mencapai Rp 868 miliar lebih. Bukan hanya itu, dari total APBA senilai Rp 12,5 triliun tadi, sudah termasuk dana zakat dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Maka, jumlahnya hampir Rp 800 miliar lebih. Pengeluaran itu belum terhitung honorium pegawai tidak tetap alias kontrak yang pengeluarannya juga menguras APBA senilai Rp 325 miliar lebih. Hitung-hitung pengeluaran APBA dari total tahun 2016 senilai 12,5 triliun, masih berlangsung dalam APBA 2017. Sebab, soal transfer Dana Otsus Kabupaten/Kota masih berlaku kecuali tahun 2018 mendatang. Entah itu alasannya, enam fraksi di DPR Aceh tak menyetujui adanya pengaturan dalam Qanun Pembangunan Keolahragaan Aceh senilai 2,5 persen dari total APBA. “Semua fraksi tidak setuju kecuali Fraksi PAN yang tidak menyoalkannya. Saya kan tidak bisa juga mempertahankan itu,” kata Mohd. Al Fatah, Selasa pekan lalu. Itulah alasannya, pasal yang mengatur 2,5 persen berubah. Sesuai Pasal 76 ayat (3) disebutkan, alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan sesuai dengan kemampuan keuangan Aceh dan kabupaten/kota. Hanya itu? Tunggu dulu. Jika sebelumnya sempat digadanggadang bahwa nama KONI diganti
dengan Komite Olahraga Aceh (KOA), yang merujuk pada Pasal 9 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor:11/2006, Hasilnya, nama KOA juga dihapus. Sementara itu, Kasubbag Qanun Aceh Biro Hukum Setda Aceh, Muhammad Junaidi SH, MH melalui telepon, Jumat, 16 Desember 2016 mengatakan, Rancangan Qanun Pembangunan Keolahragaan telah dibawa ke Jakarta untuk mendapat nomor register. Kata Muhammad Junaidi, pasca persetujuan bersama, Plt Gubernur Aceh Soedarmo, Selasa, 13 Desember 2016 telah menyampaikan pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, melalui Dirjen Otonomi Daerah (Otda) c/q Direktur Produk Hukum Daerah untuk mendapat nomor register (noreg). “Ini sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Mendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah,” kata Muhammad Junaidi, Jumat pekan lalu. Termasuk tiga rancangan qanun lain, yaitu Qanun Aceh tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh atau disebut Qanun SOTK, Qanun Aceh tentang Sistem Jaminan Produk Halal dan terakhir Qanun Aceh tentang Perubahan Kedua atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus (Otsus).***
8
MODUS ACEH NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
Nasional
■ Sidang Penistaan Agama Ahok
Asbabun Nuzul dan Keluarga Jenderal M Yusuf Disebut Hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terpaksa duduk di kursi terdakwa. Dia dijerat telah melakukan penodaan agama. Ahok didakwa sengaja menggunakan surat Al Maidah 51 untuk kepentingan proses Pilkada DKI. Muhammad Saleh | dbs
“
Bahwa dengan perkataan Terdakwa tersebut seolah-olah Al Maidah 51 telah dipergunakan oleh orang lain untuk membohongi atau membodohi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Padahal, Terdakwa sendiri yang mendudukkan atau menempatkan surat Al Maidah 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi dan membodohi dalam proses pemilihan kepala daerah,” begitu kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Mukartono saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara di eks PN Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa, 13 Desember 2016. Hari itu, merupakan sidang perdana Ahok terhadap kasus yang menjeratnya. Dalam dakwaan primer, Ahok didakwa dengan Pasal 156a huruf a KUHP. Mendengar dakwaan JPU tadi, Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sempat mengeluarkan air mata. Namun, sikap Ahok ini banyak mendapat tanggapan miring dari publik, melalui media sosial (medsos). “Itu air mata buaya. Oh, dia yang selama ini membuat pedagang kecil dan warga miskin di Jakarta menangis, ternyata bisa menangis juga, ya,” tulis Muzakir Ridha, seorang netizen di akun Facebook-nya. Saat membacakan pidato pembelaannya, Ahok sempat menceritakan riwayat hidupnya. Dia lahir dari pasangan keluarga non muslim di Belitung Timur, Indra Tjahaja Purnama (almarhum) dan Buniarti Ningsing. Dia kemudian diambil menjadi anak angkat keluarga muslim asal Bugis, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Haji Baso Amir. Haji Baso Amir, kata Ahok, adalah adik kandung dari mantan Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia Jenderal (Purn) M. Jusuf. Nah, penyataan-pernyataan yang disampaikan terdakwa Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok saat sidang perdananya berlangsung mengundang reaksi berbagai pihak. Terutama saat Ahok dengan terbata-bata menyampaikan jika dia memililiki saudara angkat dan ayah angkat dari keluarga Muslim bernama Andi Baso Amir. Ahok pun menyebutkan jika Andi Baso Amir adalah mantan Bupati Bone dan adik kandung Jenderal Purnawirawan M. Jusuf. Selasa pekan lalu, reaksi kemudian muncul. Salah seorang deklarator Komite Perjuangan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, Azwar Hasan, menilai, Ahok telah melakukan pembohongan. “Ahok berbohong mengatakan bahwa Andi Baso Amir saudara kandung Jenderal M. Jusuf,” kata Azwar kepada Republika.co.id, Kamis, 15 Desember 2016. Menurutnya, Ahok telah melakukan kesalahan berikutnya dengan menyeret tokoh masyarakat Bugis yang menjadi panutan bagi warga Sulsel khususnya. Salah satu keponakan Jenderal Purnawiran M. Jusuf, Andi Herry Iskandar, mengklarifikasi bahwa Andi Baso Amir memang bukan adik kandung Jenderal M Jusuf. Mantan Wakil Walikota Makassar ini menjelaskan, ayah Jenderal M Jusuf adalah H Andi Tappu, arung atau Raja Kajuara, Bone. Andi Tappu memiliki beberapa orang istri, salah satunya adalah Andi Baba Petta Bunga. Dari pernikahannya ini, lahirlah empat orang anak yakni Jenderal (Purn) AM Jusuf (meninggal 2004), Petta Cipaung (meninggal sejak lama), Andi Ishak (meninggal 1984) dan Andi Iskandar yang merupakan ayah Andi Herry (meninggal 1989). Lalu, Andi Tappu juga pernah menikah dengan Petta Sonna dan mempunyai seorang anak bernama: HA Baso Amir. Baso Amir inilah yang menjadi ayah angkat Ahok. Nah, karena lontaran pengakuan Ahok di persidangan itu pula, Herry selaku wakil keluarga besar Jendral M Jusuf di Makassar mengaku banyak dihubungi orang dan mempertanyakan hal itu. Mereka menyampaikan protes atas ucapan Ahok yang menyebut-nyebut nama Jenderal M Jusuf di persidangan itu. “Saya capek dan mulai terganggu dengan pertanyaan orang-
orang mengenai hal itu,” kata Andi Herry kepada Republika.co.id, Kamis pekan lalu. Sementara itu, menanggapi (eksepsi) pembelaan dari penasihat hukum Ahok, dinilai Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM), Muhammad Mahendradatta, adalah sebuah sikap blunder. Muhammad Mahendradatta meyakini hakim bersikap ‘lurus-lurus’ saja dan hanya akan menilai keberatan soal dakwaan. “Kalau nanti ditolak, akibatnya nota pembelaan yang akan disampaikan dalam proses selanjutnya tidak akan berarti. Ini strategi beracara yang salah,” ujarnya Mahendradatta kepada Republika.co.id, Selasa pekan lalu. Maklum, tim kuasa hukum Ahok menyampaikan bahwa reaksi terhadap pernyataan Ahok tentang surah Al Maidah ayat 51 muncul, setelah video tersebut diunggah Buni Yani. Padahal, sebut dia, saat video tersebut diunggah pertama kali oleh Kominfo Pemprov DKI Jakarta sembilan hari sebelumnya, tidak ada reaksi apa-apa dari masyarakat. Mengomentari hal itu, Mahendradatta mengatakan dalam delik pidana yang terdapat pada Pasal 156a KUHP, mengetahui atau tidak mengetahui bukanlah sebuah unsur. Begitupun, dengan ketahuan atau tidak ketahuan. Dia menduga tim kuasa hukum Ahok akan menyebarkan opini sesat, misalnya tentang trial by the mob atau pengadilan karena desakan massa. “Ini sebuah kebiasaan yang dilakukan musuh-musuh umat Islam. Kejadiannya selalu umat Islam dipojokkan karena bereaksi atas adanya aksi. Sementara, aksinya sendiri ditutup-tutupi. Jangan tutupi aksi dengan reaksi,” kata dia. Itu sebabnya, kepolisian disarankan segera menahan Ahok. Ini karena dalam sejarah hukum di Indonesia, tidak ada satu pun tersangka penistaan atau penodaan agama yang tidak ditangkap, kecuali Ahok. Namun, kata Mahendradatta, ada satu lagi alasan yang harus dipertimbangkan polisi yakni tidak mengulangi tindak pidana. Namun, hal itu dilanggar Ahok. “Beberapa jam setelah ditetapkan sebagai tersangka, dia mengulangi lagi dengan menyebut peserta 411 massa bayaran. Tetapi,
tetap tidak ditahan,” lanjut dia. Pengacara senior yang pernah menangani kasus Ambon dan Poso tersebut meminta kuasa hukum Ahok tidak ‘marah-marah’ dan menyalahkan reaksi masyarakat. Menurutnya, reaksi tersebut muncul atas aksi yang dilakukan Ahok sendiri. “Alhamdulillah, reaksinya masih bagus dan damai. Bukan marah-marah seperti penasihat hukumnya,” ujar Mahendradata. Sementara itu, DR. H. Abdul Chair Ramadhan SH, MH, MM dari Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menilai, eksepsi yang disampaikan Ahok tidak fokus dan lebih ke arah pembelaan (pledoi). “Sangat sedikit menguraikan tentang adanya dakwaan penuntut umum yang kabur (obscuur libel) dan lainlain sebagai syarat eksepsi,” sebut Abdul Chair. Abdul Chair Ramadhan menilai, Ahok menyatakan tidak ada niat (mens rea) dan tidak bermaksud untuk menista agama. Yang dia maksudkan kepada lawan-lawan politiknya yang tidak bisa bersaing dalam program. Menurut dia, ini tidak sesuai. “Bukankah pada tanggal tersebut belum masuk waktu kampanye dan bahkan belum ditetapkan calon oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) DKI Jakarta,” sebut Abdul Chair bertanya. Sejumlah pertanyaan dan analisis itu disampaikan Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI Pusat ini, melalui akun media sosialnya (Facebook) yang dikutip dan baca ribuan orang. Kata dia, jangan nyatakan telah menanyakan tentang asbabun nuzul (sebab turun ayat) kepada teman-temannya mengenai maksud Al Maidah 51. “Ini tidak dapat dibenarkan karena dia tidak ada legal standing untuk menjelaskan surah Al Maidah 51. Ia tidak mengimani Al-Quran dan dia bukan bersama Islam, sehingga bagaimana mungkin dia dapat mengetahui makna yang sebenarnya,” ungkap Abdul Chair. Terkait pendapat penasihat hukum (PH) Ahok, menurut Abdul Chair, tidak relevan dengan menyebut video yang diunggah Buni Yuni, karena sudah dilakukan uji labfor oleh penyidik dan hasilnya sah sebagai barang bukti. “PH Ahok tidak relevan
dengan mengaitkan Aksi Bela Islam terkait dengan tuntutan keadilan dalam proses penegakan hukum. Adalah sah dan dijamin UU setiap warga negara menyampaikan pendapat dan menuntut keadilan,” jelasnya. Mengenai cepatnya proses sidik dan pelimpahan ke pengadilan, menurut Abdul Chair, tidaklah menyalahi hukum acara pidana. Sebab, tahapan penyelidikan sudah gelar perkara dan sudah memenuhi ketentuan. Penetapan tersangka juga sudah sesuai dengan hukum acara dengan didahului oleh adanya dua alat bukti yang sah serta sudah dilakukan gelar perkara penyidikan seusai gelar perkara penyelidikan. “PH menyatakan bahwa harus diterapkan prinsip ultimum remedium. PH telah salah mengaitkan asas ini, terlebih lagi dikaitkan dengan SKB dalam penerapan Pasal 156a huruf a KUHP. Apalagi, disebut Pasal 156a adalah delik materil. Perlu diketahui prinsip ultimum remedium baru dikenal barubaru ini, sebagaimana diterapkan dalam UU Lingkungan Hidup. Jadi, tidak ada kaitannya dengan UU 1 PNPS 1965,” urai Abdul Chair. Katanya, adapun SKB hanya dapat diterapkan untuk penyalahgunaan terhadap ajaran agama yang menyimpang dari suatu aliran sesat, yang menyerupai ajaran agama yang bersangkutan. “Untuk penodaan tidak perlu SKB. Sifat delik pada Pasal 156a adalah delik formil, jadi tidak membutuhkan adanya akibat sebagaimana delik materil,” kata Abdul Chair. Mengenai kaitan yang disampaikan PH Ahok tentang asas restorative justice juga tidak relevan. “Ini teori dari Jhon Rawls yang tidak terkait dengan delik agama. Lebih tepat teori ini untuk pemidanaan terhadap tindak pidana lingkungan hidup,” ulas Abdul Chair. Termasuk pendapat PH Ahok yang menyatakan bahwa huruf b pada Pasal 156a KUHP harus dibuktikan, karena sifat delik adalah kumulatif. Ini menunjukkan bahwa PH Ahok tidak mengerti struktur Pasal 156a dan tidak mengerti nuansa kebatinan-historis Yuridis—masuknya Pasal 156a dalam KUHP. “Pasal 156a adalah alternatif. Oleh karena itu, ada dua kejahatan yang diatur yakni huruf a atau huruf b. Dalam huruf a, juga berlaku alternatif perbuatan (actus reus), permusuhan atau penyalahgunaan atau penodaan. “PH Ahok menyebut tidak ada kejelasan tentang subjek korban. Perlu dicatat bahwa perbuatan pidana pada Pasal 156a huruf a, tidak mensyaratkan subjek korban adalah manusia tetapi agama itu sendiri salah satunya kitab suci. Adapun Pasal 156 KUHP subjeknya sangat jelas yakni golongan penduduk yang salah satunya berdasarkan agama,” demikian pendapat Abdul Chair.***
MODUS ACEH
POLITIK
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
9
■ Syarat Terpidana dan Mundur dari Parpol Ditolak Kemendagri
Doto Zaini Mulus di Qanun Gagal di Partai Klikkabar
Seteru DPR Aceh dengan eksekutif terkait Pasal 24 huruf i dan Pasal 28 huruf h terjawab sudah. DPR Aceh telah menyesuaikan sesuai surat Kementerian Dalam Negeri. Namun, hajat Abu Doto ingin kembali sebagai pengurus PA tetap terbentur.
Juli Saidi erseteruan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) versus Pemerintah Aceh, terutama Pasal 24 huruf i terkait tidak dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan dan Pasal 28 huruf h, membuat surat pengunduran diri dari partai politik akhirnya terjawab sudah. Maklum, wakil rakyat yang berkantor di Jalan Teungku Daud Beureueh, Banda Aceh itu telah menyerahkan perbaikan rancangan qanun (raqan) tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di bumi Serambi Mekkah ini pada Pemerintah Aceh di bawah kendali Plt Gubernur Aceh, Mayjen (Purn) Soedarmo. Itu dilakukan setelah DPR Aceh mendapat surat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) nomor 188/8685/ Otda yang ditujukan pada Plt Gubernur Aceh Mayjen (Purn) Soedarmo, tanggal 3 November 2016 lalu, setelah dilakukan penyesuaian, Jumat, 16 Desember 2016. Informasi ini disampaikan
P
Asisten I Sekretariat Daerah (Setda) Aceh, Dr Muzakkar A Gani. Katanya, Qanun Pilkada Aceh ini akan segera dilembar-daerahkan pada pekan ini. Pengakuan serupa disampaikan Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky melalui pesan Blackberry Messenger (BBM), Kamis, 8 Desember 2016. Menurutnya, Banleg sudah melakukan rapat sinkronisasi sesuai dengan surat Kemendagri. “Kini, sudah kami teruskan kepada pimpinan DPRA,” kata Iskandar Usman, Kamis, 8 Desember 2016 dua pekan lalu. Alumni Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry (kini UIN) menjelaskan, apa yang disampaikan dalam surat Kemendagri sudah direvisi. Setali tiga uang, Ketua DPR Aceh, Muharuddin, Kamis dua pekan lalu juga mengaku sama. Perbaikan Qanun Pilkada diakuinya sudah diterima. Itu sebabnya, pada media ini, Muharuddin menegaskan, pertengahan Desember 2016 akan menyerahkannya pada Pemerin-
tah Aceh. “Pertengahan bulan ini, akan kita serahkan,” kata Muharuddin di ruang kerjanya. Nah, Kemendagri RI dalam suratnya yang ditujukan pada Plt Gubernur Aceh perihal harmonisasi, sinkronisasi dan evaluasi Rancangan Qanun Aceh, tanggal 3 November 2016, Kemendagri menjelaskan, berdasarkan isi surat itu, Kemendagri mengatakan, pengaturan dalam qanun agar mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), nomor 51/PUUXIV/2016, tanggal 23 Agustus 2016. Putusan MK itu yakni Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai--dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukan kepada publik yang bersangkutan mantan terpidana. Pasal 67 ayat (2) huruf g, itu judicial review (JR) mantan terpidana dalam kasus korupsi pengadaan pesawat helikopter, Abdullah Puteh, yang kini maju se-
bagai calon Gubernur Aceh dengan nomor urut tiga. Selanjutnya, tegas surat Kemendagri tadi, pada prinsipnya dalam Qanun Pilkada Aceh tentang Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah, tidak boleh melebihi apa yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Karena itu, jelas surat Kemendagri, jika terdapat kekosongan pengaturan dalam UUPA, maka untuk penjabaran lebih lanjut agar berpedoman pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Intinya, Kemendagri menegaskan, tidak mengatur tentang kewajiban bagi calon perseorangan untuk mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik sebagai salah satu syarat pencalonan, sehingga hal tersebut tidak perlu diatur dalam Qanun Aceh. Karena pengaturan pengunduran diri merupakan kewenangan internal partai politik. Memang, berseterunya DPR Aceh dengan eksekutif soal dua pasal dan ayat dalam Qanun Pilkada Aceh, karena DPR Aceh mengabaikan keputusan MK dan
memasukkan syarat bagi calon perseorangan untuk mundur dari keanggotaan partai politik. Ketika itu, Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah menyampaikan surat keberatannya terkait Qanun Pilkada Aceh. Salah satu yang dipersoalkan tentang ada aturan dalam Qanun Pilkada Aceh yang disetujui DPR Aceh, mencantumkan syarat mundur partai politik yaitu Partai Aceh. Adanya keberatan dr. Zaini Abdullah atau akrab disapa Abu Doto diduga berkaitan dengan surat pengunduran dirinya pada Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA) tertanggal 12 Juni 2016. Karena dalam surat pengunduran diri Abu Doto itu menyatakan: Perlu saya sampaikan bahwa pernyataan pengunduran diri ini mulai berlaku sejak saat ditandatangani, dengan ketentuan apabila pengunduran diri tersebut tidak dipersyaratkan lagi dalam ketentuan Pilkada 2017, maka surat pernyataan yang saya kirimkan tersebut dinyatakan tidak berlaku dan saya masih sebagai anggota Partai Aceh. Begitu kata mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu dalam surat tersebut. Nah, meskipun Qanun Pilkada Aceh sudah dilakukan sinkronisasi, tetap saja keinginan Abu Doto kembali dalam struktur Tuha Peut Partai Aceh akan terbentur dengan aturan rumah tangga (ART) Partai Aceh. Sebab, pada Pasal 4 yang mengatur gugurnya keanggotaan, karena: a. meninggal dunia, b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis, c. melanggar ketentuanketentuan partai dan/atau tidak menerima/menolak keputusankeputusan partai, dan melakukan perbuatan tercela atau zalim.***
10
MODUS ACEH NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
iklan
Sudut kutaraja
MODUS ACEH NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
11
■ Lika-Liku Janji Manis Program Telkomsel
Tukar Poin Dapat Pertamax MODUS ACEH/Juli Saidi
Eeh, sejumlah SPBU di Banda Aceh mengaku tidak tahu.
Juli Saidi
amis pagi, 14 Desember 2016 sekira pukul 8.00 WIB, saya mendapat pesan singkat (SMS) dari Telkomsel. Isinya, tentang program tukar poin dengan bahan bakar Pertamax. Ketik *777*1011# tulis pesan tersebut. Selanjutnya, berbagai arahan diberikan, termasuk memilih poin yang akan ditukar. Saya klik tukar Pertamax, lalu mesin penjawab Telkom menyatakan bahwa sesuai poin yang saya miliki atau tukar, saya mendapat lima liter Pertamax dengan kode khusus dan siap untuk diperlihatkan pada sejumlah SPBU di Kota Banda Aceh. Tunjukkan kode Voucher 112XXXX ke petugas SPBU sebelum 20-Dec-16, S&K. Info klik bit.ly/POINReMax, tulis pesan balasan tersebut. Dengan hati berbunga, sekira pukul 9.20 WIB, saya mendatangi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Lamnyong dan Jeulingke, Banda Aceh. Kepada petugas SPBU di sana, saya menunjukkan voucher dari
K
Telkomsel. Itu saya lakukan, karena Rabu, 13 Desember 2016 saya menukar 259 poin pada Telkomsel dengan Pertamax sebanyak lima liter. Namun, saat saya menunjukkan pesan yang ada di layar handphone dari pesan 777 Telkomsel yang sama terima, petugas SPBU mengaku tidak bisa melakukan penukaran itu. Alasan mereka beragam, sebagai pekerja pengisian bahan bakar, mereka belum mendapat arahan dari pimpinan terkait program tukar poin tadi. Selain itu, mereka juga mengaku tidak ada pihak Telkomsel yang datang dan memberi tahu pada mereka tentang adanya kerja sama terkait penukaran poin dengan Pertamax. “Sejauh ini,
Ilustrasi SPBU di Banda Aceh.
kami belum ada pemberitahuan,” kata petugas SPBU Lamnyong dan Jeulingke, Banda Aceh. Lantas, sekitar dua jam lebih, saya kembali menuju SPBU Simpang Jam dan Lambhuk, Banda Aceh. Jawaban petugas di sana juga sama. Mereka tidak bisa melakukan penukaran poin tersebut karena tidak ada pemberitahuan. “Sejauh ini, belum ada petugas Telkomsel yang datang ke sini,” ujar petugas SPBU Simpang Jam, Rabu, 13 Desember 2016. Keempat petugas SPBU tadi mengaku pada saya, dari kemarin banyak yang datang juga untuk menukar poin. Tetap tidak bisa dipenuhi karena alasan tidak ada pemberitahuan tadi.
Seriuskah PT Telkomsel atau hanya sekedar mengelabui pelanggan? Salah satu Customer Service (CS) Nomor 6 GraPARI Telkomsel Banda Aceh yang tak mau namanya ditulis, Kamis sore, 14 Desember 2016 mengatakan, terkait program tukar poin dengan Pertamax, telah dilakukan sosialisasi dan kerja sama dengan perusahaan Pertamina. Kemudian, tugas Pertamina-lah yang melakukan sosialisasi pada beberapa stasiun SPBU di Banda Aceh. Itu sebabnya, SPBU yang disepakati kerja sama dalam program tukar poin adalah SPBU 14231450 Lamnyong, SPBU 14231457 Lambhuk, SPBU 14231462 Desa Mibo, SPBU 14231482 Kuta Alam, SPBU
14231484 Simpang Surabaya, SPBU 1423404 Lueng Bata, SPBU 1423485 Baiturrahman, SPBU 14239411 Lamteumen dan SPBU 14239412 Kuta Alam, Banda Aceh. “Telah dilakukan sosialisasi dengan Pertamina,” kata CS Nomor 6 tadi, Kamis, 14 Desember 2016 di Banda Aceh. Karyawan perempuan itu juga mengaku, terkait program tukar poin, ada beberapa yang melakukan konfirmasi pada pihak GraPARI Telkomsel Banda Aceh sejak Rabu kemarin. “Kemarin juga ada yang konfirmasi masalah ini,” ujarnya. Namun, hasil penelusuran media ini, terkait penukaran poin dengan Pertamax, beberapa petugas SPBU tidak tahu, sehingga belum berani merealisasikan penukaran voucher Telkomsel dengan Pertamax tersebut. Padahal, ada SPBU yang disebut kerja sama, misal SPBU Lamnyong. Bahkan, setelah mendapat penjelasan dari CS GraPARI Telkomsel, saya kembali melakukan penukaran voucher di SPBU Lamnyong, namun petugas juga belum tahu ada kerja sama antara Telkomsel dengan SPBU tempat mereka bekerja. Akibatnya, pekerja meminta media ini untuk jumpa langsung dengan atasan mereka. Alhasilnya, setelah bagian administrasi melakukan kroscek, baru penukaran voucher dengan Pertamax dapat direalisasi meskipun pegawai administrasi SPBU Lamnyong sempat bingung. Alamak!***
12
MODUS ACEH
utama
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
Opini
MENUJU PUTARAN FINAL PILKADA 2017 acehabad.blogspot.co
P
ilkada Aceh Serentak, 15 Februari 2017 mendatang nyaris hanya tinggal kurang dari 60 hari lagi. Berbagai arus serta strategi terus digagas dan dilaksanakan oleh enam pasangan calon bersama tim pemenangan serta relawan dan partai politik pengusungnya. Ibarat bunga, ada yang terus mekar, tapi tak sedikit yang mulai layu. Ini disebabkan, dukungan logistik (dana) yang hingga kini belum ada tanda-tanda mengalir dan menetes ke bawah. Akibatnya, sadar atau tidak, mulai muncul kejenuhan dari anggota tim sukses, relawan serta politisi pendukungnya. Maklum, tak ada ‘pesta demokrasi’ yang gratis di negeri ini, termasuk Aceh. Janji-janji manis yang sempat ditebar oleh pasangan calon, saat membentuk tim sukses dan relawan maupun saat merajut koalisi antar partai politik (parpol), kini mulai mencapai titik kulminasi, sehingga membuat tim sukses (timses) dan relawan mulai hengkang atau jika tak elok disebut ‘membelot’, mengalihkan dukungan pada kandidat ‘basah’. Begitupun, sisa waktu 60 hari ke depan, masih memberikan kesempatan dan peluang bagi pasangan calon (paslon) untuk melakukan konsolidasi timses, relawan serta pemilih setianya. Lepas dari semua itu, tim riset MODUSACEH.CO bekerjasama dengan ACEH RESEARCH and EDUCATION ANALYSIS (AREA), satu lembaga baru yang didirikan mantan aktivis dan jurnalis aktif 2016 di Aceh, melakukan observasi dengan menakar tingkat persentase pemilih untuk pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang maju pada Pilkada Aceh Serentak, 15 Februari 2017 mendatang. Observasi ini bukan merupakan angka pasti tentang tingkat keterpilihan pasangan calon Gubernur Aceh pada Pilkada 2017 mendatang. Sebaliknya, hanya sebagai gambaran awal (per Desember 2017) mengenai persepsi publik, baik di perkotaan maupun desa (gampong) dari 23 kabupaten dan kota di Aceh, termasuk kekuatan atau pesona dari seorang calon serta dinamika dari gerakan parpol pendukung, pola kerja tim pemenangan serta relawan. Itu sebabnya, tim riset MODUSACEH.CO membagi tingkat pemilih menjadi tiga bagian yaitu: pemilih potensial (rasional), tradisional dan emosional. Makanya, sumber data, selain dari poling tiga media online seperti MODUSACEH.CO, AJNN serta GOACEH, tim riset juga menganalisis hasil data Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2006 dan 2012 lalu dengan margin error mencapai 10 per-
sen, termasuk suara terpecah serta asumsi tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai 75-80 persen. Nah, jika hasil poling media online (portal berita) dinilai mewakili pemilih potensial atau rasional, maka hasil yang dilakukan pekan lalu menunjukkan angka sebagai berikut: Portal MODUSACEH.CO. Tarmizi Karim-T. Machsalmina Ali baru meraih 24 persen, Zakaria Saman-T. Alaidinsyah (2 persen), Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab (2 persen), Zaini Abdullah-Nasaruddin (4 persen), Muzakir Manaf-TA. Khalid (22 persen) dan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah (47 persen). Menurut portal AJNN.CO, paslon Tarmizi Karim-T. Machsalmina (19 persen), Zakaria Saman-T. Alaidinsyah (2 persen), Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab (tidak dimasukkan), Zaini AbdullahNasaruddin (21 persen), Muzakir ManafTA. Khalid (12 persen) dan Irwandi YusufNova Iriansyah (37 persen). Ada persamaan hasil memang antara MODUSACEH.CO dan AJNN.CO terkait jumlah atau persentase yang diraih pasangan Zakaria Saman-T. Alaidinsyah yaitu 2 persen. Lantas, bagaimana dengan portal GOACEH.CO? Tarmizi Karim-T. Machsalmina (26 persen), Zakaria Saman-T. Alaidinsyah (6,7 persen), Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab (6,7 persen), Zaini Abdullah-Nasaruddin (16,7 persen), Muzakir Manaf-TA. Khalid (13 persen) dan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah (30 persen). Terjadi angka yang sangat mencolok memang dari poling MODUSACEH.CO dengan AJNN.CO dan GOACEH.CO terkait hasil poling terhadap Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah (47%-37% dan 30%). Sement-
ara, Muzakir Manaf-TA. Khalid (22%12%-13,3%). Sebaliknya, jika merujuk pada hasil Pilkada 2006, pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar (independen) meraih 38,20 persen dengan suara sah 768.745 pemilih, jauh meninggalkan paslon Humam Hamid-Hasbi Abdullah yang hanya meraih 16,62 persen (334.484 pemilih). Sedangkan pada Pilkada 2012, Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan meraih 28,68 persen dan dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf meraih 55,89 persen dengan tingkat partisipasi pemilih 74,44 persen. Lalu, bagaimana asumsi pada Pilkada 2017 mendatang? Dari daftar yang tercatat ada 3.434.722 jumlah pemilih yang akan memberikan suaranya untuk calon Gubernur-Wakil Gubernur. Terbanyak adalah Aceh Utara disusul Bireuen, Pidie serta Aceh Besar. Begitupun, dari Pilkada ke Pilkada Aceh, belum pernah terjadi munculnya partisipasi pemilih hingga mencapai 100 persen. Ada asumsi, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2017 mendatang antara 75-80 persen. Ini berarti, asumsi dan prediksi angka tadi bisa saja berubah dengan sangat signifikan, termasuk dengan segala kemungkinan yang terjadi dalam 60 hari ke depan. Itu sebabnya, diprediksi akan terjadi persaingan ketat antara pasangan calon Muzakir Manaf-TA. Khalid versus Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah dengan asumsi, Irwandi-Nova akan mewakili pemilih potensial-rasional 20 persen, ditambah 10 persen kelompok tradisional (tertarik dana JKA, Peumakmu Gampong, Beasiswa Anak Yatim dan Beasiswa Luar Negeri) serta 30 persen dukungan dari mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan partai politik pendukung (terutama
PNA dan Demokrat). Sementara, Muzakir Manaf-TA. Khalid akan mendapat dukungan dari massa emosional (ideologi GAM). Diprediksi mencapai 40 persen dan asumsi kerja mesin politik Komite Peralihan Aceh/Partai Aceh (KPA/PA) hingga ke gamponggampong serta akumulasi dari partai pendukung (PA, Gerindra, PAN, PPP, PBB) sekitar 20 persen. Sebab, ada 60 persen lainnya dukungan dari mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terbagi pada tiga kandidat lain yaitu Zaini Abdullah 10 persen, Zakaria Saman 20 persen dan Irwandi Yusuf 30 persen. Hanya itu? Nanti dulu. Dari sederet survei dan analisis asumsi yang beredar terkait Pilkada Gubernur Aceh 2017 mendatang, kekuatan atau daya tarik pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah memang lebih unggul dari pasangan calon Muzakir Manaf-TA. Khalid. Sebaliknya, dari sektor mesin politik, paslon Muzakir Manaf-TA. Khalid lebih unggul dari paslon Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah. Tak hanya itu, tingkat polarisasi paslon di kabupaten dan kota, Muzakir Manaf-TA. Khalid, sedikit di bawah Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah, khususnya di perkotaan. Tapi, di desa, sosok Muzakir Manaf lebih ‘menggigit’. Karena itulah, banyak pihak memprediksi bahwa pertarungan Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh, 15 Februari 2017 mendatang, paslon Muzakir Manaf-TA. Khalid versus Irwandi YusufNova Iriansyah akan lolos ke final dengan akan saling kejar-mengejar. Sisanya atau empat paslon lain bisa masuk final, tapi dengan angka di bawah kedua paslon ini. Wartawan MODUS ACEH, Muhammad Saleh Saleh, menulisnya untuk Laporan Utama pekan ini.***
MODUS ACEH
utama
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
13
MUALEM HEAD TO HEAD IRWANDI YUSUF EDUNG Amel Convention Hall, Banda Aceh, Senin malam, 12 Desember 2016 lalu ramai didatangi kader serta pengurus Komite Peralihan Aceh (KPA) maupun Partai Aceh (PA), PAN, Gerindra, PPP, PKS dan PBB. Maklum, koalisi partai politik lokal dan nasional ini sedang mengadakan hajatan bertajuk: pengukuhan tim pemenangan. Malam itu, ada ratusan orang yang dikukuhkan sebagai Tim Pemenangan Muzakir Manaf-TA. Khalid, pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 15 Februari 2017 mendatang. Ketua tim dipercayakan pada Kamaruddin Abu Bakar alias Abu Razak. Sisanya, ada sejumlah politisi nasional asal Aceh serta jenderal TNI-Polri, purnawirawan dan ulama sebagai dewan penasihat. Termasuk Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar, Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra), Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN), Sohibul Iman (Presiden PKS), Prof. Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB), Mayjen (Purn) M. Djali Jusuf, Tgk. Zulkarnaini Hamzah, Tgk. H. Usman bin Tgk. Ali (Abu Kuta Krueng), Tgk. H. Muhammad Ali bin Tgk. H. Abdul Muthaleb (Abu Paya Pasi), Waled Marhaban, Tgk. H. Hasanoel Basri HG (Abu Mudi Sama-
G Diprediksi, pertarungan Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Aceh pada arena Pilkada 15 Februari 2017 mendatang akan berakhir seru antara Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem versus Irwandi Yusuf. Selebihnya, hanya peulemak kuah (penyedap rasa).
langa), dan Tgk. H. Mustafa Ahmad (Abu Paloh Gadeng). Sedangkan Dewan Pembina dan Pertimbangan, ada nama Irjen Pol (Purn) Iskandar Hasan (mantan Kapolda Aceh), Mukhlis Basyah S.Sos (Sekjen PA), Eddy Suparno (Sekjen PAN), Laksdya TNI (Purn) Moekhlas Sidik MPA (Ketua Harian Gerindra), Mustafa Kamal (Sekjen PKS), Jurhum Lantong (Sekjen PBB), Taufik Edi Zulkarnaini SE, Drs. Ilyas Abed, Ir.H. Jufri Hasanuddin MM, Ir. H. Azhar Abdurrahman dan Mirza Ismail S.Sos. Menurut Ketua DPD I Partai Gerindra Aceh yang juga calon Wakil Gubernur Aceh TA. Khalid, selain susunan tim pemenangan, ada 2.640 juru kampanye yang siap terjun ke lapangan, di samping ada 80 ribu anggota relawan. Itu sebabnya, TA. Khalid optimis dapat memenangkan kontestasi Pilkada 2017 mendatang. Tak hanya itu, jika dilihat dari preferensi pemilih parpol pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 lalu, menurut kajian data tim riset MODUSACEH.CO bekerjasama dengan ACEH RESEARCH and EDUCATION ANALYSIS (AREA), koalisi yang dibangun itu memiliki persentase yang juga lumayan baik. Partai Aceh misalnya, meraih 30,22 persen, PKS (2,45 persen), PBB (0,75 persen), Gerindra (2,90 persen), PKB (0,75
persen), PPP (2,70 persen) dan PAN (3,01 persen). Namun, jika arus dukungan dua parnas terbelah, PPP dan PAN (50 persen) dari total yang ada ke Mualem dan Tarmizi A. Karim, maka total seluruhnya preferensi pemilih untuk pasangan Muzakir Manaf-TA. Khalid ada 39,92 persen. Nah, risiko terjelek adalah andai PA tergerus suaranya 50 persen (dari 32,22 persen menjadi 16,11 persen) untuk Irwandi, Zaini Abdullah serta Zakaria Saman, maka Mualem akan meraih 23,81 persen. Rawan memang! Lantas, bagaimana dengan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah? Modal dasar dari Partai Nasional Aceh (PNA) dengan asumsi (7,20 persen), PDA (0,70 persen), PDIP (2,80 persen) dan Demokrat (5,30 persen). Maka, total didapat 16,00 persen. Sisanya, jika arus dukungan solid, maka akan beralih pada pasangan Tarmizi A. Karim-T. Machsalmina Ali yang didukung Partai Golkar (5,30 persen), NasDem (4,90 persen), dan PPP (50 persen dari 2,76 persen yaitu 1, 43) serta PAN (3,00 persen dikurang 50 persen) karena terpecah untuk Mualem menjadi dan PKPI (0,13 persen). Maka, total yang bisa didapat sekitar 13,26 persen. Begitupun, Tim Pemenangan
Muzakir Manaf-TA. Khalid tetap harus waspada. Sebab, preferensi (perbandingan antara popularitas dengan kesukaan) pemilih, Irwandi Yusuf dan Tarmizi Karim bersaing tipis dengan Mualem dan TA. Khalid sendiri. Ada 85 persen lebih pemilih mengaku mengenal Irwandi dan Mualem serta Zaini Abdullah. Tapi, ada 70 persen yang mengaku suka, sedangkan Mualem hanya 60 persen, setara dengan Zaini Abdullah, sementara Tarmizi A Karim berada di posisi 65 persen. Tak hanya itu, preferensi pemilih terhadap calon gubernur paling dikenal, Irwandi berada pada posisi 27 persen, sedangkan Mualem 25 persen atau berbeda 2 persen. Nah, yang menarik, terkait preferensi calon gubernur paling disukai, Irwandi berada pada angka 0,37 persen sedangkan Mualem 0,25 persen. Karena itu, bergerak pada preferensi pemilih dengan asumsi elektabilitas secara terbuka, Irwandi berada pada posisi 40,70 persen, sedangkan Mualem (25,90 persen). Dan, secara tertutup Irwandi 41,70 persen, sementara Mualem 24,52 persen. Itu sebabnya, walau asumsi ini bukan menjadi faktor penentu terpilihnya sosok Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2017, tapi setidaknya harus lebih ekstra hati-hati!***
14
MODUS ACEH
utama
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
■ Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya
KEKUATANNYA BEDA TIPIS Dosen antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, mengaku, dari enam pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang bertarung pada Pilkada 2017, tiga berpotensi kuat. Urutan pertama masih dikuasai Muzakir Manaf yang diusung Partai Aceh bersama empat parnas lainnya. Menurut Kemal, basis kekuatan Muzakir Manaf yang akrab dipanggil Mualem itu, tetap pada massa pemilih tradisional (gampong). Sedangkan Irwandi Yusuf unggul pada pemilih rasional (perkotaan), ketika masyarakat membandingkan realita Pemerintah Aceh saat ini dengan saat dijabat Irwandi Yusuf. Seperti apa pengakuan Teuku Kemal Fasya? Berikut penuturannya pada Juli Saidi dari MODUS ACEH melalui sambungan telepon, Selasa malam, 13 Desember 2016. Setiap pasangan calon gubernur terus bekerja. Menurut Anda, bagaimana pergerakan politik menuju Pilkada Aceh? Yang paling kompetitif itu Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, dan Tarmizi A. Karim. Itu hasil pandangan saya. Jadi, mereka punya peluang dengan potensi masing-masing. Kekuatan politiknya bagaimana? Kekuatan Irwandi Yusuf didukung partai politik yang cukup berpengaruh. Seperti Demokrat sebagai partai penguasa sebelumnya, PDI-P partai penguasa sekarang. Dua dukungan ini, tentu memberi kekuatan tersendiri bagi Irwandi Yusuf. Kalau peran PDI-P, jika dilihat dari hasil Pemilu, tidak signifikan di Aceh? Ingatan tentang masa kepemimpinan Irwandi Yusuf dulu, masih positif bagi masyarakat. Andalannya seperti beasiswa, JKA (Jaminan Kesehatan Aceh). Publik melihat lebih banyak prestasi masa Irwandi Yusuf dibandingkan pada pemerintah Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Lantas, bagaimana dengan kekuatan Muzakir Manaf? Kekuatan Mualem masih pada dukungan tradisional, artinya kekuatan Partai Aceh yang punya struktur dan mobilisasi yang lebih rapi, dibanding kandidat lain. Ada kader-kader militan untuk bekerja dalam pemenangan Muzakir Manaf. Apakah hanya karena dukungan tradisional dan militansi kader kekuatan Mualem? Di samping itu, dia masih merangkap struktur GAM dibanding Abu Doto, Apa Karya dan Irwandi sendiri. Jadi, representasi GAM masih dipegang
oleh Partai Aceh. Apa Karya menggunakan simbol yang sedikit disalahkan oleh Panwaslih itu sedikit menjadi keunggulan Mualem. Maksud Anda? Kita tahu, secara historis dan simbolis sosok Doto Zaini dan Apa Karya lebih senior dari Mualem, tetapi secara politik mereka lebih unggul mengklaim kelompok korban di masa lalu. Seharusnya, itu yang perlu disampaikan bahwa menggunakan simbol-simbol, tidak hanya dari Partai Aceh. Irwandi juga eks-GAM, dia punya klaim juga menggunakan simbol itu. Jadi, siapa saja boleh menggunakan simbol itu bukan sewenang-sewenang. Tetapi, dalam hal ini, Panwaslih agak sedikit kurang bijaksana dalam menanggapi itu, hanya melihat dari segi formalitas semata. Mereka anggap masih punya representasi adalah Partai Aceh, sedangkan yang keluar, tidak. Seberapa besar dukungan mengakar pada Irwandi Yusuf dan Tarmizi A. Karim? Kalau bicara mengakar, tidak begitu mengakar. Contohnya, yang memilih Irwandi Yusuf dan Tarmizi A. Karim adalah pemilih rasional. Jadi, semacam berpikir perlu pembaharuan dari kondisi saat ini. Orang-orangnya yang berpikir rasional, mereka dalam memilih, tidak takut memilih sesuatu yang berbeda. Itu keunggulan mereka. Kalau begitu, peran partai pendukung Irwandi Yusuf dan Tarmizi A. Karim tidak begitu besar? Hanya semacam menumpang kendaraan atau personalisasi, Irwandi Yusuf sendiri lebih mengakar dari pada partai pen-
dukung, cuma partai pendukung punya kekuatan dalam lobi politik di nasional. Mungkin Irwandi lebih nyaman karena didukung oleh nasional. Selama ini, disebut-sebut, ada 60 persen pemilih di Aceh yang cenderung memilih kandidat yang diusung PA sebagai mantan GAM? Mantan GAM sudah terpecah belah juga. Sofyan Dawood ke Tarmizi Karim, Irwandi hanya bisa mengkapitalisasi kelompok-kelompok yang sudah dikeluarkan dari Partai Aceh secara mantan GAM. Sebagian besar masih terhimpun di Partai Aceh. Walaupun ada yang terpecah, kelompok-kelompok yang di luar Partai Aceh itu tersebar ke beberapa kandidat yang sebagian besar ke Irwandi dan Tarmizi. Tetapi, ada juga kelompok-kelompok tua yang secara emosional, misalnya dengan Doto Zaini, Apa Karya dan Sayed Mustafa Usab. Keunggulan calon? Irwandi pintar dengan membuat tagline (semboyan) mengingatkan tentang kepemimpinan masa dia dulu. Misalnya, dia mengambil aspek-aspek kepemimpinan ketika para pemilih membuat perbandingan dengan pemerintahan sekarang yang kurang prestasinya. Dengan tagline Irwandi, dia sudah memperlihatkan hampir semua rintisan sekarang ini adalah yang dibangun di masa pemerintahannya. Hari ini, tidak ada kreativitas dan pengembangan lebih lanjut. Misalnya, Badan Dayah, beasiswa bagi anak yatim, JKA. Sekarang ini, kalaupun ada terjadi, itu hanya melanjut-
kan masa Irwandi dulu. Tidak ada yang bisa diandalkan. Infrastruktur tidak ada pembangunan apa-apa. Bicara kemiskinan masa Irwandi bisa turun hingga tujuh persen, tetapi sekarang malah stagnan. Lalu, bagaimana dengan Muzakir Manaf? Secara tradisional, Mualem lebih mengakar apalagi di basis GAM seperti Aceh Utara. Kalau Aceh Timur ada perpecahan karena adanya Nek Tu. Lhokseumawe Mualem lebih mengakar, tetapi beberapa survei yang memilih Tarmizi Karim juga lebih banyak. Itu karena dia pernah jadi Bupati Aceh Utara dan dia punya kedekatan dengan kelompok ulama. Dia pernah menyekolahkan anak yatim ke Thailand dan Malaysia, sekolah tahfidz. Itu untuk daerah yang bebas dalam memilih, tetapi untuk daerah pedalaman yang takut kalau PA kalah situasi konflik akan muncul lagi. Jadi, ada semacam propaganda juga. Misalnya tidak terjaminnya perdamaian kalau Mualem kalah. Ini menunjukkan Muzakir Manaf begitu kuat? Tidak semua kabupaten itu terisolir, misalnya Aceh Utara yang daerahnya dekat akses informasi, tentu punya pemilihan yang tersebar, tetapi kalau daerah Simpang Keuramat dan lainlain, itu lebih ke Mualem. Saya pikir, potensi pemilih di barat selatan dan tengah, Irwandi dengan cermat mengambil tokoh di wilayah tengah untuk mengikat suaranya. Zaini memilih wakilnya mantan Bupati Aceh Tengah. Jadi, ini upaya mereka untuk mengambil suara yang mungkin
Partai Aceh tidak bisa. Karena Partai Aceh lebih punya posisi di Utara dan Timur. Jadi, jika diurutkan kekuatan tiga calon tadi, siapa yang lebih kuat? Irwandi, Mualem dan Tarmizi punya peluang menang. Tinggal bagaimana mereka mampu mengambil kelompok yang belum punya pilihan atau kelompok yang bukan dari basis tradisional. Pemilih Mualem tentu yang tradisional tadi. Irwandi masih beberapa dari kekerabatan dia dan kelompok-kelompok basis GAM yang sudah keluar dari Partai Aceh. Pemilih Tarmizi Karim itu tradisionalnya di Aceh Utara atau wilayah Pase dan juga basis kekerabatan dari mereka, baik dia dan wakilnya sampai ke barat selatan. Dan, kelompokkelompok yang lain tentu karena kampanye dan nilai-nilai rasional yang bisa dilihat dari kelompok ini. Misalnya, Tarmizi Karim juga terkenal sebagai birokrat dan plt (pelaksana tugas) yang sukses di nasional. Jadi, mereka akan melihat kelompok-kelompok yang belum punya pilihan atau kelompok-kelompok yang masih terjadi transmigrasi suara tergantung masa kampanye. Lalu? Kalau menurut saya, dari beberapa survei dan sosial media, Mualem masih di atas, tetapi juga tidak cukup jauh dari dua kandidat yang lain. Di urutan kedua, baru Irwandi. Jadi, bisa kita bilang kompetisi dengan nilai marjin yang tidak cukup mencolok. Jadi, kekuatannya beda tipis.***
MODUS ACEH
utama
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
15
MUALEM ‘GEMPUR’ KOTA, IRWANDI ‘SERANG’ DESA MODUS ACEH/Juli Saidi
Komisi Independen Pemilihan (KIP) menetapkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilkada Aceh 2017 sebanyak 3.434.722 orang. Mereka tersebar di 6.477 gampong (desa) dalam 289 kecamatan di 23 kabupaten dan kota di Aceh.
“
Jumlah pemilih laki-laki ada 1.688.103 orang dan 1.746.619 pemilih perempuan. Mereka akan memberikan suaranya pada 9.592 tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Aceh, termasuk di lembaga pemasyarakatan,” kata Komisioner Bidang Umum, Rumah Tangga dan Organisasi KIP Aceh, Fauziah, Jumat, 9 Desember 2016 di Banda Aceh. Fauziah menyebutkan, jika dibandingkan data daftar pemilih sementara (DPS) yang telah diplenokan pada 3 November 2016, terjadi pengurangan sebanyak 41.702 pemilih. Rapat Pleno Rekapitulasi DPT telah dilangsungkan di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, pada Kamis 8 Desember 2016. Dipimpin langsung Wakil Ketua KIP Aceh, Basri M Sabi, dan dihadiri para komisioner KIP provinsi, kabupaten, kota, Panwaslih, kepolisian, tim pemenangan enam pasangan calon gubernur, serta unsur pemerintah. Basri mengatakan, proses penetapan DPT merupakan proses panjang yang membutuhkan partisipasi semua elemen. Proses penetapan daftar pemilih juga dipandang krusial karena menyangkut hak konstitusional warga negara. “Kita terus mengupayakan agar hak konstitusional warga negara tidak terabaikan,” ujarnya seraya meminta pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) agar tidak bosan dalam melayani masyarakat. Nah, entah karena fakta itulah, sejumlah tim pemenangan, relawan dan organ Komite Peralihan Aceh (KPA) serta Partai Aceh (PA), pendukung utama Muzakir Manaf-TA. Khalid mengawal dan memperkuat basis suara mereka di gampong-gampong di Aceh. Strategi selanjutnya adalah bagaimana bisa
meraih suara signifikan di perkotaan. Sebaliknya, arus dukungan kepada pasangan Irwandi YusufNova Iriansyah lebih berbasis pada pemilih di perkotaan, terutama kelompok pemilih rasional. Namun, jumlah mereka relatif lebih kecil dibandingkan pemilih tradisional (ideologis) di gampong-gampong. Karena itu, berbagai cara dan strategi terus dilakukan tim pemenangan Irwandi-Nova untuk meraih suara dari gampong-gampong. Sekedar informasi, berdasarkan data KIP Aceh, dari 3.434.722 pemilih yang tercatat dalam DPT Pilkada 2017 dari 23 kabupaten dan kota di Aceh, Kabupaten Aceh Barat memiliki 12 kecamatan, 321 gampong, dan 430 TPS Sedangkan pemilih laki-laki berjumlah 65.385 dan perempuan 65.987. Total pemilih kabupaten itu ialah 131.372. Kabupaten Aceh Barat Daya terdapat sembilan kecamatan, 132 gampong, dan 250 TPS. Pemilih laki-laki berjumlah 50.754 dan perempuan 51.584 dengan total keduanya 102.338 pemilih. Kabupaten Aceh Besar terdapat 23 kecamatan, 604 gampong, dan 802 TPS. Total pemilih sebanyak 255.335 pemilih yang terdiri atas laki-laki 126.693 pemilih dan perempuan 128.642 pemilih. Kabupaten Aceh Jaya ada sembilan kecamatan, 172 gampong, dan 183 TPS. Jumlah pemilih laki-laki ialah 30.788 dan perempuan 29.884 dengan total pemilih 60.672. Kabupaten Aceh Selatan ter-
diri atas 18 kecamatan, 260 gampong, dan 381 TPS. Di sana, terdapat 74.516 pemilih laki-laki dan 78.557 pemilih perempuan dengan total semuanya 153.073 pemilih. Kabupaten Aceh Singkil ada 11 kecamatan, 116 gampong, dan 237 TPS. Pemilih laki-laki berjumlah 35.103 orang dan perempuan 35.750 orang dengan total 70.853 pemilih. Kabupaten Aceh Tamiang ada 12 kecamatan, 213 gampong, dan 610 TPS. Di sana, ada pemilih laki-laki sebanyak 92.996 orang dan perempuan 93.054 orang dengan total pemilih 186.050 orang. Kabupaten Aceh Tengah terdapat 14 kecamatan, 295 gampong, 466 TPS. Total pemilih 130.528 orang yang terdiri atas pemilih laki-laki 64.290 dan perempuan 65.608. Kabupaten Aceh Timur terdapat 24 kecamatan, 513 gampong, dan 771 TPS. Ada 138.112 pemilih laki-laki dan 140.091 pemilih perempuan dengan total 278.203. Kabupaten Aceh Utara terdiri atas 27 kecamatan, mempunyai 852 gampong dan 1.051 TPS. Pemilih laki-laki di sana berjumlah 205.983 dan perempuan 214.497 dengan total pemilih 420.480. Kabupaten Bener Meriah ada 10 kecamatan, 233 gampong, dan 278 TPS. Di sana, terdapat pemilih laki-laki berjumlah 48.107 dan perempuan 48.300 dengan total 96.407 pemilih. Kabupaten Bireuen terdapat 17 kecamatan dan 609 gampong, serta 708 TPS dengan pemilih laki-laki berjumlah
143.885 dan perempuan 154.833, dan total pemilih 298.718 orang. Kabupaten Gayo Lues ada 11 kecamatan, 136 gampong, dan 245 TPS. Terdapat pemilih laki-laki 31.328 orang, perempuan 32.201 orang dan total pemilih 63.529 orang. Kota Banda Aceh terdapat sembilan kecamatan, 90 gampong, dan 415 TPS. Dengan pemilih laki-laki berjumlah 74.764 orang dan perempuan 76.341 orang, serta total pemilih 151.105 orang. Kota Langsa ada lima kecamatan, 66 gampong, dan 278 TPS. Dengan total pemilih lakilaki 53.084 orang dan perempuan 55.296 orang, serta total 108.380 pemilih. Kota Lhokseumawe ada empat kecamatan, 68 gampong, dan 210 TPS. Dengan jumlah pemilih laki-laki 61.976 dan perempuan 64.718. Sedangkan totalnya 126.946 pemilih. Kota Sabang ada dua kecamatan dan 18 gampong, mempunyai 65 TPS. Total jumlah pemilih di sana yaitu 24.634 orang yang terdiri atas laki-laki 12.010 pemilih dan perempuan 12.624 pemilih. Kabupaten Aceh Tenggara ada 16 kecamatan dan 385 gampong dengan 428 TPS. Total pemilih di sana berjumlah 147.113 pemilih, terdiri atas 71.020 pemilih laki-laki dan 76.093 pemilih perempuan. Kota Subulussalam terdapat lima kecamatan, 82 gampong, dan 170 TPS. Pemilih laki-laki berjumlah 25.625 orang dan perempuan 26.011 orang, serta total pemilih 51.636 orang.
Kabupaten Nagan Raya terdapat 10 kecamatan, 222 gampong, dan 352 TPS. Pemilih laki-laki di sana ialah 58.480 orang dan perempuan 60.454 orang dengan total 119.294 orang. Kabupaten Pidie ada 23 kecamatan, 730 gampong, dan 802 TPS. Dengan pemilih lakilaki 142.726 orang dan perempuan 153.370 orang, serta total pemilih 296.096 orang. Kabupaten Pidie Jaya terdapat delapan kecamatan, 222 gampong, dan 270 TPS. Total pemilih di sana ialah 106.577 pemilih yang terdiri atas 51.393 pemilih laki-laki dan 55.184 pemilih perempuan. Kabupaten Simeulue terdapat 10 kecamatan, 138 gampong, dan 180 TPS. Pemilih laki-laki di sana berjumlah 28.095 dan perempuan 27.540 dengan total 55.635 pemilih. Nah, dari total suara tadi, jajak pendapat yang dilakukan tim riset MODUS ACEH bersama ACEH RESEARCH and EDUCATION ANALYSIS (AREA), satu lembaga baru yang didirikan mantan aktivis dan jurnalis aktif (2016) di Aceh menunjukkan preferensi pemilih yang beragam. Misal, ada 42,50 persen pemilih akan memilih pasangan calon yang berpengalaman di pemerintahan, sebanyak 15,35 persen yang memiliki komitmen terhadap perdamaian, hanya 2,80 persen memilih petahana dan 13, 35 persen dengan rekam jejak (belum pernah cacat) serta 21,50 persen mengaku tidak tahu. Menariknya, hanya 4,50 persen yang memilih taat beragama. Padahal, Aceh adalah provinsi bersyariat Islam. Begitupun, setiap kandidat harus waspada, sebab preferensi pemilih bergeser suara pada pasangan calon (paslon) lain tetap terjadi. Misal, karena faktor pemberitaan positif media pers terhadap kandidat mencapai 13,20 persen, popularitas kandidat 12,45 persen, banyak kandidat yang memilih paslon tersebut 12,45 persen, adanya buah tangan atau pemberian sesuatu kepada pemilih 10,35 persen, janji politik untuk memperbaiki nasib dan pembangunan serta kesejahteraan ke arah lebih baik 6,15 persen, intimidasi 4,75 persen. Sisanya atau 40,65 persen mengaku tidak tahu. Jadi, bekerjalah lebih serius lagi.***
16
MODUS ACEH
Utama
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
■ Wakil Dekan I FISIP Unsyiah, Dr. Effendi Hasan, MA
ANTARA IRWANDI YUSUF-MUZAKIR MANAF Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. Effendi Hasan MA, mengaku, masyarakat masih menaruh kepercayaan pada Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf. Untuk itu, kata Effendi Hasan, dalam merebut suara pada Pilkada 2017, akan terjadi persaingan ketat atau head to head antara Muzakir Manaf dengan Irwandi Yusuf. Penilaian ini bukan maksud mengebiri pasangan lain. Tapi, ia berpendapat seperti itu karena pasangan lain masih ada persoalan internal, misal pasangan Tarmizi A. Karim-T. Machsalmina Ali. Sedangkan pasangan Abu Doto dianggap usia sudah lanjut dan kepemimpinannya selama ini dinilai masyarakat tidak berhasil. Begitu juga pasangan Zakaria Saman ini condong dianggap sebagai pemain cadangan. ,Kemudian Abdullah Puteh, diakui Effendi Hasan, sebagai uji coba untuk menuju Pemilu 2019 mendatang. Lantas, bagaimana penjelasan lengkap Effendi Hasan? Berikut petikan wawancara Juli Saidi dari MODUS ACEH dengan Effendi Hasan di ruang kerjanya, Darussalam, Banda Aceh, Kamis, 15 Desember 2016. Apa pendapat Anda dalam percaturan Pilkada Aceh Aceh-1? Untuk pasangan calon Gubernur Aceh pada pilkada 2017 mendatang, memang berdasarkan penelitian dan survei tentang peta konflik Pilkada Sabang, saya melihat dan mencoba untuk menyentuh kaitan dengan kategori siapa yang akan dipilih, berdasarkan sampel di Sabang. Nah, hasilnya mereka lebih condong kepada Muzakir Manaf dengan Irwandi Yusuf. Kenapa? Menurut mereka, Muzakir Manaf itu mantan Panglima GAM dan mereka memiliki kepercayaan. Ketika kita tanyakan sudah menjadi Wakil Gubernur, kata mereka, selama ini, terkesan kurang diberi kewenangan oleh Doto Zaini Abdullah. Jadi, pengakuan mereka ingin memberikan kepercayaan kepada panglima yang memang mengerti kondisi rakyat Aceh. Lalu? Kita tahu bahwa Sabang walaupun peta politik pada masa konflik tidak terlalu kuat, tetapi masyarakat lebih condong kepada Muzakir Manaf. Mereka berpendapat Aceh masih perlu sosok seperti Muzakir Manaf untuk lebih mudah mengatur. Karena selama ini, menurut mereka, Aceh kurang dipahami oleh orang luar garis mereka. Jadi, selama ini, orang dipimpin oleh orang luar negeri. Lantas, bagaimana dengan Irwandi Yusuf? Kalau Irwandi Yusuf, lebih kepada kesan mereka pada kepemimpinan sebelumnya. Irwandi punya visimisi bagus membangun Aceh, terutama berkaitan dengan konteks JKA, beasiswa dan BKPG (Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong). Jadi, itu yang mereka lihat ke depan masih perlu sosok seperti Irwandi yang bisa membangun Aceh seperti visi yang sudah dibangun sebelumnya. Bukankah ketika Irwandi Yusuf memimpin, Aceh berdatangan NGO (non-goverment organization)? Pernah kita tanyakan, bukannya
Irwandi sudah tidak berhasil membangun Aceh? Responden menjawab, selama kepemimpinan Irwandi, bukan dana yang dicari, tetapi banyak donor yang datang. Itu ada kaitannya dengan kemampuan Irwandi Yusuf, walaupun donor dari luar. Mereka menilai, NGO mau menyalurkan bantuan karena melihat Irwandi mampu mengembangkannya. Maksudnya? Irwandi dianggap punya akses ke luar negeri untuk meyakinkan investor. Jadi, menurut mereka, perlu sosok seperti Irwandi. Ini menunjukkan masyarakat membandingkan kondisi Pemerintah Aceh sekarang dengan Pemerintah Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar? Ada kecenderungan membandingkan kepemimpinan sekarang dengan terdahulu. Masyarakat melihat, ada perbedaan antara kepemimpinan Irwandi Yusuf dengan sekarang. Artinya bisa berdampak pada Muzakir Manaf? Saya pikir, Muzakir Manaf harus menghilangkan image (kesan) bahwa dia bukan bagian dari yang sekarang, itu susah. Tetapi, perspektif yang dibangun itu satu paket. Jadi, masyarakat Sabang melihat sangat jauh berbeda antara kepemimpinan Irwandi dengan yang sekarang. Walaupun kita tahu, pada masa Irwandi juga menciptakan kelas-kelas baru, tetapi ada juga program yang tersentuh. Walaupun pada masa sekarang dilanjutkan dengan nama yang berubah. Itu satu sampel di Sabang. Jika dipersentasekan? Saya pikir sama jumlah yang memberi pendapat antara Irwandi dengan Mualem. Dalam konteks ini, Pilkada 2017 akan terjadi persaingan sengit antara Irwandi dengan Mualem. Apakah satu sampel itu bisa mewarnai? Kita tidak bisa mengambil kesimpulan menyeluruh, tetapi sampel di Sabang juga bisa mewarnai. Di Sabang, itu berasal dari berbagai macam penduduk. Jadi, bisa kita
ambil kesimpulan sementara. Bagaimana dengan pasangan lain? Kenapa saya tidak melihat pasangan yang lain? Karena masih ada persoalan internal, seperti Tarmizi A. Karim, baru-baru ini tim inti mereka keluar. Jadi, ini ada kaitannya walaupun nantinya ada pemilih yang condong ke mereka, tetapi tidak akan dominan. Jangan salah diartikan oleh pasangan lain. Mereka juga tidak menutup kemungkinan. Tetapi, menurut saya, harus selesaikan dulu persoalan internal. Bagaimana mencari simpati rakyat, kalau internal saja belum selesai. Menurut Anda, akan terjadi pertarungan head to head antara Irwandi Yusuf dengan Muzakir Manaf? Ya, head to head antara Irwandi versus Muzakir Manaf. Kenapa Muzakir Manaf? Saya melihat dari visi-misi yang dibangun, itu masih menjadikan ikon memperjuangkan MoU Helsinki dan UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh), kemudian masuk sedikit Aswaja (Ahli sunnah wal jamaah). Tetapi, sejauh mana Muzakir Manaf bisa meyakinkan pemilih bahwa Aceh ke depan dalam konteks MoU dengan NKRI, Aceh akan berbeda nantinya? Karena dalam visi-misi, tidak disebutkan begitu jelas. Seharusnya, dijadikan ikon politik bahwa Aceh akan berbeda ketika kepemimpinan MualemTA. Khalid. Maksud Anda? Saya pikir, kita perlu belajar dengan pengalaman pemilu di Amerika Serikat, bagaimana Hillary yang sudah diprediksi menang, tetapi tibatiba kalah. Kekalahannya itu ditentukan oleh swing vote (suara tersembunyi). Jadi, yang belum menentukan pilihan, mereka akhirnya memilih Trump. Jadi, saya pikir, baik Irwandi maupun Muzakir Manaf harus menarik suara swing vote. Apakah itu hanya pada Muzakir Manaf saja yang tidak memperjelas visi-misinya? Bagi Irwandi, oke bisa membangun Aceh akan jauh berbeda dengan
masa sekarang ketika dipercayakan oleh rakyat. Jadi, harus jelas framenya dalam visi-misi Irwandi. Ini untuk menarik. Kalau kita belajar pada Pilkada 2012, ada sekitar 48 persen pada pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Jadi, bagaimana Irwandi perlu bekerja keras untuk menarik suara diluar 48 persen. Bagi Muzakir Manaf oke, 48 persen suara tetap mereka, terlepas apa pun yang dipasang. Jadi, suara tradisional atau pemilih ideologi itu ada, siapa pun yang dipasang PA (Partai Aceh). Ada garis komandonya. Dalam konteks ini, bagi Irwandi 48 persen itu jangan dipikirkan lagi, cari di luar itu. Kalau ini bisa digodok, saya yakin menang. Jadi, harus jelas frame-nya. Jika Pilkada 2012, cenderung 60 persen pemilih masih percaya pasangan yang diusung PA. Artinya dari mantan GAM? Makanya, jangan fokus itu lagi. Kemudian yang pecah itu juga karena ada persoalan di dalam. Irwandi harus mencari di luar 48 persen. Begitu juga Mualem, harus menarik suara swing vote tadi. Karena suara mereka belum tentu, bisa jadi akan memilih Apa Karya. Bisa jadi Apa Karya seperti Trump di Amerika Serikat. Jadi, ini harus diperhatikan. Harus menentukan marketing politik bahwa Aceh akan jauh berbeda ketika mereka memimpin dibandingkan saat ini. Di mana basis kekuatan Irwandi Yusuf-Muzakir Manaf? Basis suara terbanyak di Aceh Pidie, Utara, Timur. Menurut saya, pemilih di basis itu masih tertarik dengan Irwandi dan Muzakir Manaf. Walaupun di dalamnya ada pemilih ideologi. Jadi, swing vote itu masih banyak, harus dimanfaatkan untuk menang. Jika berharap suara tersembunyi, sementara Zakaria Saman juga sedang melirik itu dengan melakukan manuver politik, seperti melaporkan Muzakir Manaf ke Panwaslih? Perkiraan saya, tidak terlalu berpengaruh. Seharusnya, aturan yang
telah ditetapkan oleh KIP (Komisi Independen Pemilihan), pasangan harus memperhatikan itu. Harusnya Apa Karya juga perlu dipertanyakan salah atau tidak? Saya pikir, tidak terlalu pengaruh. Seharusnya, kalau Apa Karya mengerti itu harus memanfaatkan yang 48 persen lebih tadi. Bagaimana dia menarik simpati pemilih dengan program yang brilian. Selama ini, terkesan, Apa Karya hanya pemain cadangan untuk meramaikan. Itu sampai sekarang. Itu bagian marketing politik PA. Harusnya Apa Karya cari marketing politik yang lain dalam konteks menarik pemilih. Memasang foto Hasan Tiro dan Abdullah Syafi’i hanya untuk menarik suara tadi. Oke, bagaimana dengan pasangan inkumben? Kalau pasangan Abu Doto, orang melihat usia dan Abu dianggap tidak berhasil selama kepemimpinan dia. Mungkin itu catatan bagi Abu Doto. Bukankah Masjid Raya dan Jembatan Lamnyong sudah dibangun? Berhasil bukan dari segi infrastruktur, tetapi masyarakat merasakan yang lain, seperti kesejahteraan, lapangan kerja. Tetapi, jembatan Lamnyong, Masjid Raya itu tidak berdampak. Kita juga menyayangkan kenapa JKA dileburkan dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Sehingga, JKA itu hilang. Kemudian, program itu mempersulit bukan lebih memudahkan. Seharusnya, Abu Doto mencari solusi agar lebih mudah lagi, bukan mempersulit. Kemarin, saya sempat diskusi dengan beberapa dokter. Ada persoalan internal, misalnya siapa yang kuat, dia yang cepat. Mestinya, itu yang harus diselesaikan. Bagaimana dengan Abdullah Puteh? Kalau Abdullah Puteh, saya pikir hanya sekedar mencari event untuk tahun 2019, mungkin untuk DPR RI. Jadi, sekedar tes pengaruh. Sedangkan Apa Karya pemain cadangan. Maksudnya, Apa Karya dalam konteks ini harus membangun image bapak dengan anak. Seharusnya, Apa Karya menyatukan bukan maju. Tetapi, saya tidak tahu apa maksudnya di balik maju ini. Semestinya, dengan kondisi mantan GAM pecah, Zakaria Saman harus ambil peran menyatukan? Dengan konflik internal, seharusnya Apa Karya memainkan pengaruhnya untuk itu. Bagaimanapun, partai lokal itu potensi, tidak ada di daerah lain. Ini kepercayaan dari sejak lahirnya partai lokal sampai sekarang bertahan. Kalau ini terus dipertontonkan, masyarakat akan menghukum elit-elit (eks) GAM, jangan seperti kasus pemilu di Malaysia yang dikatakan tsunami politik. Masyarakat menghukum UMNO (United Malays National Organisation) karena masalah korupsi. Jadi, kita tidak mau partai lokal akan seperti UMNO yang pernah mengalami tsunami politik.***
MODUS ACEH
UTAMA
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
17
■ Berharap Pilkada Damai Tanpa Teror dan Intimidasi
Jangan Remehkan Swing Voter! Kota Lhokseumawe memiliki swing voter (pemilih mengambang) terbesar dari komposisi sebaran preferensi pemilih di zona pantai timur Aceh pada Pilkada 2017 mendatang yaitu 33,66 persen. Disusul Aceh Besar 25,88 persen, Aceh Tamiang 24, 57 persen dan Aceh Utara 24,33 persen. Ini berdasarkan hasil survei Indonesian Geoscience Association (IGA) pada November 2016 lalu.
M
OBIL yang saya kendarai terpaksa berhenti di salah satu warung kopi di lintasan jalan nasional Banda Aceh-Medan, persis di depan Masjid Al-Kubra Kuta Binje, Kabupaten Aceh Timur, awal Oktober 2017 lalu. Maklum, selain rasa lelah mulai menyerang, juga telah datang waktu shalat Asar. Usai melaksanakan kewajiban tadi, saya pun menikmati secangkir kopi, sambil bertegur sapa dengan beberapa warga di warung seberang masjid. Memang, ada beberapa dari mereka yang saya kenal atau mengenal saya. Sebab, mereka masih memiliki pertalian saudara dengan ibu dan ayah mertua saya yang berasal dari Gampong Ule Gajah (Kecamatan Nurussalam) dan Labuhan, Kecamatan Julok. “Kapan sampai?” tegur salah satu dari mereka. Selanjutnya, kami pun terlibat pembicaraan banyak hal. Misal, soal situasi dan kondisi politik jelang Pilkada 2017 mendatang. Sebut saja Ali (45) yang berprofesi petani, dia mengaku tak mau ambil pusing dengan sejumlah kandidat yang ada. Harapannya hanya satu, bisa ke tempat pemungutan suara (TPS) dan memilih dengan nyaman dan tenang tanpa ada teror dan intimidasi. “Nantilah kita lihat saat hari H. Siapa yang teringat, itu yang saya pilih,” ucap Ali enteng. Begitupun, diakui Ali, dibanding Pilkada 2012 lalu, pilkada mendatang dirasakan lebih baik. Namun, pada beberapa titik di desanya, tetap saja ada pihak-pihak tertentu yang
mulai mengarahkan untuk memilih kandidat mereka. “Masih tetap ada, tapi tidak seperti pilkada sebelumnya,” sebut Ali. Pendapat Ali diamini Usman (50), seorang tukang ojek (RBT) di sana. Kata Usman, pada Pilkada 2017 mendatang, dia dan keluarga lebih memilih pada posisi aman. Sebab, sampai saat ini, dia belum merasakan adanya jaminan bahwa pilkada ke depan akan berlangsung aman. Walaupun ada pernyataan dari pemerintah (Plt Gubernur Aceh Mayjen Purn Soedarmo), tapi bagi Usman dan Ali belum bisa dipercaya sepenuhnya. Menurut Ali, selebaran untuk ‘melawan teror dan intimidasi’ itu telah dia dapatkan dari kawankawannya dalam bentuk salinan (fotokopi). Itu dibagikan oleh salah satu tim sukses paslon Gubernur Aceh. Alasan keduanya memang sederhana. “Kamu enak tinggal di Banda. Sedikit saja ada masalah, langsung didatangi polisi dan aparat. Sementara, kami di gampong, satu granat saja meledak, terpaksa harus jaga malam lagi. Sudah cukuplah puluhan tahun kita jaga malam,” ungkap Ali yang terkesan masih trauma dengan sisa-sisa era konflik Aceh dulu. *** Tak lama memang saya bersama mereka. Sejalan jarum jam bergerak ke pukul 15.00 WIB, kami pun berpisah. Setelah membayar tiga gelas kopi plus beberapa potong pisang goreng, saya pun melanjutkan perjalanan menuju Kota Lhokseumawe dan tiba sekira pukul 16.30 WIB. Karena lelah, saya kembali me-
milih menikmati kopi panas di salah satu kafe di sudut kota yang sempat dijuluki sebagai kota petro dolar ini. Di kota kelahiran ini, saya berjumpa dengan beberapa teman satu sekolah dulu. “Saya paham posisi kamu. Tapi, bukannya saya tidak mau mendukung dan memilih paslon gubernur yang kamu harapkan, tapi beri saya waktu dan kesempatan. Insya Allah, Pileg 2018 mendatang saya maju sebagai calon anggota DPRK Lhokseumawe,” kata Nurdin meminta pengertian saat saya pancing dengan menyebut satu paslon Gubernur Aceh yang diusung koalisi beberapa partai nasional (parnas). Saat itu, Nurdin didampingi Imran, juga teman satu sekolah menengah atas (SMA) dulu. Dia menyebut, untuk kesempatan tadi, dia tak mau bergesek dengan partai politik mana pun, baik lokal maupun nasional, terutama Partai Aceh. Sebab, jika itu terjadi, diakui akan menyulitkan posisinya untuk maju pada pemilu legislatif (pileg) mendatang. “Kamu kan tahu, Pileg 2014 kemarin, saya gagal. Dan, apa perhatian partai untuk saya?” gugatnya. Menurut Nurdin, walau dia pengurus salah satu parnas di kota itu, tapi pilihan dan dukungannya tetap pada paslon Muzakir Manaf-TA. Khalid. Alasannya agar tidak terjadi pergesekan dengan kader KPA dan PA di sana. Selain itu, Mualem—panggilan akrab Muzakir Manaf—berasal dari Pase atau Aceh Utara. “Walaupun tidak menjadi caleg PA, tapi mereka tidak mengganggu posisi saya saja
sudah syukur. Insya Allah, saya bisa dapat satu kursi. Kami sudah duduk dan mereka akan memberi kesempatan buat saya pada Pileg 2018,” ujar Nurdin. Berbeda dengan Imran, walau sebagai pengurus partai, dia belum berminat untuk maju jadi caleg pada pileg mendatang. Itu sebabnya, dia berpikir pragmatis. “Saya dukung siapa yang punya uang. Bagaimana kami bisa bekerja kalau menghabiskan dana sendiri. Dalam politik, tidak ada makan siang gratis,” kata Imran enteng. Nah, jelang azan Maghrib, saya pun pamit dan pulang ke rumah kakak di kawasan Gampong Teumpok Teungoh, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Usai shalat Isya, saya kembali nongkrong. Lokasi yang saya pilih, warung kopi tertua di kota ini yaitu Atra. “Apa kabar? Kapan sampai?” tegur Jamal yang kini wajahnya tampak lebih tua dari umurnya. Jamal adalah rekan satu sekolah menengah pertama (SMP) dulu. Secara ekonomi, bisa jadi nasibnya kurang baik. Usai tamat SMA, dia tak melanjutkan kuliah dan bekerja serabutan, sehingga menggiringnya untuk menikah di usia muda. “Aku sudah punya cucu, Saleh. Anakmu berapa?” tanya dia. “Tiga. Yang tua, perempuan, sudah kuliah,’’ balas saya. Saya dan Jamal pun terlibat pembicaraan soal politik Aceh terkini sambil mengenang saat satu sekolah dulu. “Ah, bagi saya, ndak penting siapa yang terpilih. Nasib saya tetap saja tukang becak. Yang penting aman
dan bisa cari rezeki hingga pukul 3.00 WIB dini hari,” sebutnya. Menurut Jamal, memang ada kekhawatiran warga, terutama di kawasan pedalaman seperti Nisam, Kandang serta beberapa kawasan lainnya di Lhokseumawe dan Aceh Utara jika paslon Partai Aceh kalah dalam pilkada mendatang. ‘Ancaman’ di depan mata adalah akan terjadi keributan kembali. “Walau rezeki tidak menentu, tapi aku lebih senang seperti sekarang. Bisa narik sampai pagi. Bayangkan kalau ribut, jangankan narik becak, keluar rumah saja malas,” ujarnya. Itu sebabnya, daripada ribut dan konflik lagi, Jamal mengaku akan memilih gubernur, bupati dan walikota dari PA. “Paling tidak seperti sekarang, aku dapat beras raskin dari walikota,” katanya ringan. Nah, adakah yang salah dari pengakuan jujur Nurdin, Imran dan Jamal? Tentu saja tidak. Sebaliknya, itulah realitas sosial dan politik terkini di Aceh yang menjadi asumsi dan persepsi dari pemilih swing voter (mengambang). Tentu, tidak hanya para pemilih pemula (SMA), tapi juga dewasa yang selalu berharap adanya jaminan keamanan, kenyamanan berusaha serta kekhawatiran datangnya konflik baru sebagai alasan utama. Setidaknya, itulah beberapa pendapat warga masyarakat yang saya temui. Soal swing voter memang perlu perhatian serius bagi setiap paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, bupati dan wakil bupati serta walikota-wakil walikota. Sebab, mereka memiliki jumlah yang tidak sedikit. Tapi, tidak juga mayoritas. Hasil survei Indonesian Geoscience Association (IGA) November 2016 lalu di kawasan atau zona pantai timur misalnya, tercatat ada 25,88 persen di Aceh Besar, 24,57 persen di Aceh Tamiang, 23,33 persen di Aceh Utara, 33,66 persen di Kota Lhokseumawe, 21,72 persen di Banda Aceh, 18,10 persen (Pidie), 17,97 persen (Bireuen), 11,72 persen (Langsa), 9,41 persen (Pidie Jaya), 8,39 persen (Aceh Timur) dan 1,75 persen di Sabang. Nah, siapakah paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang mampu merebut suara mereka? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.***
18
MODUS ACEH NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
liputan Khusus
■ Potret Kota Lhokseumawe
Cerita Defisit, Pemerintah Auto Pilot hingga ‘Robin Hood’
TAHUN 2016 adalah masa krisis dari perjalanan Pemerintahan Kota (Pemko) Lhokseumawe. Betapa tidak, daerah yang sempat bertajuk Petro Dolar itu mengalami defisit anggaran menahun. Ada yang menyebut mencapai hingga Rp 300 miliar, kemudian berkurang Rp 280 miliar. Tapi, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Lhokseumawe, Bukhari AKS, mengatakan hanya Rp 40 miliar. Nah, mengapa semua itu terjadi? Benarkah selama dipegang Walikota Suaidi Yahya pemerintahan di sana berjalan secara auto pilot? Wartawan dan reporter MODUSACEH,Co Muhammad Saleh Saleh, Khairul Anwar menulisnya untuk Laporan Khusus pekan ini. Berikut kupasannya.
D
EFISIT (kekurangan) anggaran pembangunan bagi suatu kabupaten/kota memang biasa. Tapi, menjadi tak lazim jika jumlahnya berkisar puluhan atau ratusan miliar rupiah. Maklum, selain mengorbankan berbagai pembangunan pro rakyat, persoalan tata kelola keuangan daerah juga patut dipertanyakan. Tapi, fakta miris itulah yang dialami Pemerintah Kota (Pemko) Lhokseumawe. Lihat saja, kabarnya, Pemko Lhokseumawe dilaporkan mengalami defisit anggaran mencapai Rp 280 miliar. Akibatnya, banyak proyek fisik dan bantuan untuk
masyarakat tak dapat direalisasikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/ Kota (APBK) Perubahan 2016, bahkan terutang pada pihak ketiga. Tak hanya itu, dana aspirasi dewan juga banyak tak bisa direalisasikan. Hasil pantauan dan wawancara MODUSACEH.CO dengan sejumlah sumber di Lhokseumawe mengungkapkan, proyek fisik seperti pembangunan jalan dan lainnya, misal bantuan alat tangkap ikan untuk nelayan dan jenis bantuan lainnya tak dapat dilunasi. Tak hanya itu, proyek langsung (PL) yang sudah dikerjakan di sejumlah Satuan Perangkat Kerja Kabupaten/Kota
(SKPK) juga banyak tak dapat dilunasi. Kondisi ini terjadi karena dana perimbangan dari Pemerintah Pusat belum ditransfer oleh Kementerian Keuangan. Selain itu, dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga belum bisa dimanfaatkan. Padahal, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) Lhokseumawe sudah mengesahkan APBK Perubahan pada 7 September 2016, Rp 1,1 triliun. Dipercepat pengesahan APBK Perubahan tersebut supaya realisasi anggaran pada akhir tahun tidak buru-buru. “Benar, kas Lhokseumawe defisit, tapi jumlah tidak mencapai Rp 300 miliar, hanya sekitar Rp 40 miliar,” kata Sekda Lhokseumawe, Bukhari AKS, pada media ini beberapa waktu lalu. Menurut Bukhari AKS, proyek atau pekerjaan yang sudah dilaksanakan dan belum bisa dibayar dengan Dana Perubahan 2016, akan diluncurkan pada 2017. Menurut Bukhari, kondisi itu terjadi karena sumber dana dari Pemerintah Pusat belum ditransfer. “Tapi, untuk gaji pegawai masih lancar, hanya untuk proyek fisik saja, seperti jalan dan bantuan itu yang belum bisa direalisasikan,” demikian Sekda Lhokseumawe, Bukhari AKS. Nah, sejumlah pihak ber-
pendapat, kondisi ini terjadi karena Pemko Lhokseumawe tidak disiplin dalam perencanaan anggaran dan pembangunan. Akibatnya, roda pemerintahan persis berjalan secara auto pilot. Itu sebabnya, banyak pihak berharap, tahun 2017 atau selanjutnya, Pemko Lhokseumawe harus benar-benar melakukan perencanaan terhadap sejumlah program dengan melihat kemampuan dan sumber pendapatan daerah, sehingga tak terjadi defisit seperti saat ini. “Kenapa saya sebutkan auto pilot? Karena perencanaan dan program yang dilakukan selama ini melebihi pendapatan yang diterima oleh daerah, sehingga tidak mampu merealisasikannya. Itu sebabnya, kata sumber yang juga seorang pengusaha di kota itu, pada APBK 2017, Pemko Lhokseumawe harus menyesuaikan pendapatan daerah dengan kemampuan anggaran yang ada. “Kita berharap Pemko Lhokseumawe tidak bersandiwara soal defisit anggaran. Sampaikan saja kepada masyarakat kondisi yang sebenarnya, agar warga pun mengetahuinya,” ungkap sumber tadi yang mengaku masih tersisa penarikan dana proyek di Pemko Lhokseumawe, terhadap pekerjaan yang telah dilakukannya tahun ini. Memang, hampir sebagian besar pelaksana proyek di Kota Lhokseumawe dikelola para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau para kolega Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA), yang tentu satu induk dengan mantan Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya. Inilah strategi petahana tersebut untuk naik kembali ke kursi Lhokseumawe-1 pada Pilkada 2017 mendatang. Itu sebabnya, banyak pihak di Kota Lhokseumawe berpendapat, tak sulit bagi petahana Suaidi Yahya untuk maju dan diprediksi akan menang kembali para Pilkada Aceh Serentak, 15 Februari 2017 mendatang. Maklum saja, jalan menuju Kursi Lhokseumawe-1 telah dipersiapkan sejak lima tahun lalu (periode pertama). Selain itu, berbagai perangkat atau tim sukses sudah berjalan, mulai dari gampong (desa), kecamatan
hingga kota. “Apalagi, Wakil Walikota Nazaruddin tidak naik kembali, sehingga tidak ada rivalitas secara internal yang harus diperhitungkan Suaidi Yahya,” begitu seorang sumber menilainya. Sumber dari jajaran pegawai negeri sipil (PNS) di Pemko Lhokseumawe itu menyebutkan, hampir sebagian besar proyek di kota ini dikelola para tim sukses Suaidi Yahya yang berasal dari KPA dan PA. “Ya, mulai dari yang bernilai puluhan miliar hingga penunjukan langsung (PL), Rp 150 juta. Istilah kami hanya bermodal kertas kuninglah,” ungkap sumber yang tak mau ditulis namanya ini. Pengakuan ini diamini sejumlah pengusaha lokal di sana, termasuk sejumlah mantan kombatan GAM yang mendapat fasilitas dari Suaidi Yahya. “Saya kira ini wajar saja. Kami juga punya hak untuk mendapatkan kesempatan berusaha,” kata salah seorang mantan kombatan GAM pada media ini beberapa waktu lalu di Lhokseumawe. Kertas kuning dimaksud adalah begitu pengesahan ABPK dilakukan DPRK Lhokseumawe, maka beredar sejumlah memo berwarna kuning. Isinya, perintah agar proyek tadi diserahkan pada seseorang yang dipercaya. Kertas kuning itu bisa saja berasal dari Suaidi sendiri atau beberapa anggota DPRK setempat, khususnya Fraksi PA. Begitupun, sumber tadi menduga, para mantan kombatan tadi hanya sebagai pelaksana lapangan, sementara para pemodal tetap saja berasal dari elit atau penguasa di sana. “Warna baju saja berbeda, tapi sesungguhnya merek tetap sama. Artinya, mereka hanya dipakai sebagai pelaksana lapangan, tapi pemilik proyek tetap saja dari keluarga penguasa,” ujarnya. Karena itu, jangan heran, walau ada yang selesai, tapi tidak sedikit proyek yang terbengkalai atau dikerjakan dengan kualitas rendah. “Bayangkan saja, satu proyek bisa dua atau tiga kali berganti tangan. Itu disebabkan karena proyek tadi dijual dan hanya diambil fee saja,” sebut sumber ini.***
liputan Khusus
MODUS ACEH NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
19
Jatah ‘Perjuangan’ dan Logika ‘Arisan’ atjehbisnis
Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya.
Pemberian ‘jatah’ proyek untuk kalangan KPA/PA Kota Lhokseumawe dinilai wajar. Selain bermakna jatah bagi kaum ‘perjuangan’, juga logika ‘arisan’ yang didapat secara bergantian. endapat itu disampaikan sejumlah mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Lhokseumawe dalam wawancara khusus dengan media ini dua pekan lalu. Namun, karena pertimbangan untuk menjaga soliditas antar sesama rekan, dia minta namanya tidak dipublikasi. “Kami kira wajar. Siapa pun yang berkuasa juga seperti itu, termasuk Anda! Jika jadi penguasa pasti akan memberikan fasilitas dan kesempatan untuk kawan-kawan serta timses,” ungkap Norman (bukan nama sebenarnya—red). Kata dia, saat Aceh dilanda konflik dan mereka masih berger-
P
ilya di hutan, semua pekerjaan atau proyek dimiliki dan dikelola para pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, misal, bupati, walikota, pejabat militer maupun Polri. “Faktanya kan begitu, mereka juga bagi-bagi jatah. Satu orang bisa mendapat tiga atau empat paket. Jadi, sama saja,” sebut dia. Ibarat ‘arisan’, sebutnya, tentu akan menjadi jatah secara bergantian. “Dulu mereka, kita giliran kami. Kami juga butuh makan dan biaya hidup untuk keluarga serta pendidikan anak,” kata sumber ini jujur. Karena itu, dia berharap, soal fasilitas tadi tidak dipersoalkan. Sebab, ada juga para pengusaha di luar mantan kombatan GAM
yang mendapat kesempatan sama. “Paling tidak, kami bekerjasama dengan mereka. Kami yang cari paket, mereka yang mengeluarkan modal atau samasama bekerja. Sebab, tidak semua fasilitas kami miliki,” ungkap dia. Terkait adanya ‘memo’ atau dikenal dengan kertas kuning, itu juga diakui sumber tersebut. “Ini hanya cara untuk memudahkan saja, jangan sampai terjadi keributan dalam pembagian. Sebab, orang yang harus dilayani itu banyak, terutama untuk paket PL (penunjukan langsung),” ungkap mantan kombatan ini. Entah itu sebabnya, munculnya sosok petahana Suaidi Yahya sebagai calon Walikota Lhokseumawe untuk kali kedua, diramalkan banyak pihak akan mulus menduduki kursi orang nomor satu kota itu. Jikapun ada rivalitas dari paslon Zulkifli (Doli)-Amni dan Rahmadsyah, dinilai warga di sana tak mampu
berbuat banyak. Kenapa? Mungkin, itulah salah satu pertanyaan yang muncul. Bayangkan saja, walau mengalami defisit anggaran hingga mencapai ratusan miliar rupiah, ternyata tak menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat di kota itu, kecuali para pegawai negeri sipil (PNS) yang mengalami pemotongan tunjangan. Ini disebabkan, berbagai program sosial yang dilakukan Suaidi Yahya. Posisinya persis ‘Robin Hood’. Ini benar-benar di luar kelaziman dan patut diberi acungan jempol. Bayangkan saja, walau anggaran pembangunan Kota Lhokseumawe 2016 mengalami defisit hingga mencapai Rp 300 miliar lebih. Tapi, kondisi sosial, politik dan keamanan di kota itu tetap tenang tanpa gejolak. Padahal, akibat dari defisit tersebut, disadari atau tidak, pasti akan berpengaruh pada stabilitas perekonomian masyarakat,
terutama bagi yang berekonomi lemah atau kecil. Jikapun ada, hanya bagi PNS yang mengumpat. Ini disebabkan, berbagai tunjangan jabatan yang selama ini mereka peroleh mengalami pemotongan. “Ya, itu kan hanya pencitraan politik saja di masyarakat, sementara kami PNS terus terjepit. Kalau ada yang makmur, hanya pejabat. Karena itu, pada pilkada mendatang, kami akan berpikir ulang untuk memilih dia,” ungkap seorang PNS di jajaran Pemko Lhokseumawe pada media ini dua pekan lalu. Di sisi lain, bisa jadi kepemimpinan Suaidi Yahya sedikit tertolong, karena perputaran uang di kota itu ditopang oleh karyawan perusahaan vital seperti PT PIM, PNS dari Pemkab Aceh Utara dan sejumlah prajurit TNI-Polri yang memang tinggal di Kota Lhokseumawe. Andai, tiga kekuatan ini tak ada atau hanya mengandalkan penghasilan dari PNS Pemko Lhokseumawe, bukan mustahil para pedagang di sana ‘sesak napas’ juga. Tapi, jangan coba-coba membicarakan masalah ini di kalangan pimpinan dayah, anak yatim, warga miskin dan berusia lanjut (lansia), Suaidi Yahya yang maju kembali sebagai petahana calon Walikota Lhokseumawe pada Pilkada 2017 mendatang tak ubahnya seperti sosok seorang ‘Robin Hood’ yang selalu membela warganya. Lihat saja, di tengah minusnya anggaran daerah, Suaidi Yahya masih sempat memikirkan untuk memberi bantuan mobil kepada sejumlah pimpinan dayah atau pesantren. Selain itu, juga ada biaya untuk anak yatim, beras raskin gratis bagi warga
20
MODUS ACEH
liputan Khusus
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
portalsatu
miskin serta memberi subsidi bagi warga lanjut usia (lansia 70 tahun ke atas) yang diamprah setiap tiga bulan sekali. Program ini memang jarang dirasakan warga di sana sejak Lhokseumawe memisahkan diri dari kabupaten induk, Aceh Utara. Bahkan, saat kota itu dipimpin Rahmadsyah yang mau kedua kalinya sebagai calon setelah gagal pada Pilkada 2012 silam. Sekedar mengulang, sejak Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintahan Negara Republik Indonesia belum terbentuk sistemik sampai kecamatan ini. Pada mulanya, Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder Van Cunda. Penduduk di daratan ini makin ramai berdatangan dari daerah sekitarnya seperti Buloh Blang Ara, Matangkuli, Blang Jruen, Lhoksukon, Nisam, Cunda serta Pidie. Pada tahun 1956 dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, terbentuk daerah-daerah otonom kabupaten-kabupaten dalam lingkup daerah Provinsi Sumatera Utara, di mana salah satu kabupaten di antaranya adalah Aceh Utara dengan ibukotanya Lhokseumawe. Nah, tahun 1964 dengan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Aceh nomor 34/G.A/ 1964 tanggal 30 November 1964, ditetapkan bahwa kemukiman Banda Sakti dalam Kecamatan Muara Dua dijadikan Kecamatan tersendiri dengan nama Kecamatan Banda Sakti. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berpeluang meningkatkan status Lhokseumawe menjadi Kota Administratif, pada tanggal 14 Agustus 1986 dengan Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 1986 Pembentukan Kota Administratif Lhokseumawe ditandatangani Presiden Soeharto, yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Soeparjo Roestam pada 31 Agustus 1987. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka secara de jure dan de facto, Lhokseumawe telah menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah 253,87 kilometer persegi yang meliputi 101 desa dan 6 kelurahan yang tersebar di lima kecamatan yaitu: Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Dewantara, Kecamatan Muara Batu, dan Kecamatan Blang Mangat. Sejak 1988, gagasan peningkatan status Kotif Lhokseumawe menjadi Kotamadya mulai diupayakan, sehingga lahir UU Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe tanggal 21 Juni 2001 yang ditandatangani Presiden RI Abdurrahman Wahid, yang
Proyek Drainase di Jalan Perniagaan Kota Lhokseumawe. wilayahnya mencakup tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat. Pada 2006, Kecamatan Muara Dua mengalami pemekaran menjadi Kecamatan Muara Dua dan Muara Satu, sehingga jumlah kecamatan di Kota Lhokseumawe menjadi empat kecamatan. Bisa jadi, walau dinilai sebagai pro rakyat miskin, program Suaidi Yahya tadi tetap saja menuai kritik. Sebab, dijalankan secara auto pilot atau tanpa memikirkan sumber anggaran yang berimbang. Itu sebabnya, walau disebut-sebut tampil bak ‘Robin Hood’, semua itu tak lebih hanya sebagai pencitraan politik saja. “Kalau mau jujur, apa sih kemajuan pembangunan Kota Lhokseumawe saat ini. Kalaupun ada jalan dan sebagainya, itu semua berasal dari APBN dan APBA. Karya Suaidi sendiri yang nyata mana?” gugat seorang PNS di sana. Lepas dari semua itu, inilah fenomena Suaidi Yahya di tengah minusnya (defisit) anggaran, namun tampil penuh pesona dan pencitraan. Menariknya, warga di sana pun menerima apa adanya tanpa protes apa pun. Begitupun, diam-diam kepala para pemegang kekuasaan di kota itu pusing juga. Sebab, kebijakan Pemerintah Pusat yang memangkas dana bagi hasil hingga Rp 300 miliar. Ini jelas mengganggu program atau kegiatan pembangunan di sana. Pada APBK Perubahan, 7 September 2016 misalnya, jumlah anggaran yang ditransfer Menteri Keuangan hanya Rp 1,1 triliun lebih. Akibatnya, berimbas pada sejumlah proyek pembangunan yang telah dilakukan secara penunjukan langsung yang tertunda pembayaran. Belum lagi utang kepada kontraktor yang bisa tak terbayar akibat desifit anggaran. Tragisnya lagi, defisit
anggaran itu ikut menyasar sektor pendidikan dan ekonomi. Belum lagi perencanaan dari hasil Musrembang yang terancam dihapus, termasuk program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, yakni bantuan sosial (bansos) dan hibah. Pada anggaran APBK Perubahan tahun 2016, Kota Lhokseumawe mematok angka Rp 1.167.645.303.800. Jumlah ini terdiri dari belanja daerah Rp 1.233.375.866.172, yang berarti surplus Rp 65.730.562.363.
2017, juga mengalami pengurangan. Namun, utang dengan SKPD maupun pihak ketiga, tetap saja ditampung pada APBK murni tahun 2017. Tak hanya itu, untuk menutupi utang, Pemko Lhokseumawe telah membuat komitmen dengan sejumlah rekanan maupun SKPD. Sebelumnya, pihak Pemko Lhokseumawe telah menandatangani naskah pembayaran dengan pihak ketiga. Kabar tersebut dibenarkan Sekretaris Daerah Kota (Sekda-
M. Hasbi
Bukhari AKS
Sedangkan pembiayaan daerah atas penerimaan pembiayaan Rp 66.230.562.363 dan pengeluaran Rp 500.000.000. Namun demikian, dana Rp 1,1 triliun lebih yang dikucurkan tadi ternyata tidak mampu melunasi sejumlah proyek di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kabarnya, untuk menutupi utang pada pihak ketiga, Pemko Lhokseumawe kembali mengotak-atik rencana program kegiatan pembangunan yang telah disusun berdasarkan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) sebagai pedoman dalam penyusunan APBK tahun anggaran 2017. Nah, berdasarkan Rencana Kerja Prioritas Daerah (RKPD), kabarnya beberapa pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Kota (APBK) tahun
ko) Lhokseumawe Bukhari AKS. Katanya, kas Pemko Lhokseumawe mengalami defisit. Namun demikian, Bukhari membantah defisit anggaran mencapai Rp 300 miliar. “Benar, kas Lhokseumawe defisit, tapi jumlah tidak mencapai 300 miliar, hanya sekitar Rp 40 miliar,” kata Bukhari AKS pada media ini, Rabu, 14 Desember 2016, pekan lalu. Kata Bukhari, sebelumnya juga sempat beredar informasi di warung kopi bahwa kas Lhokseumawe mengalami defisit mencapai ratusan miliar. Ditambah lagi, sejumlah proyek terancam gagal dikerjakan karena keterbatasan anggaran. “Isu itu tidak benar. Isu sesat yang menyesatkan orang lain. Kenyataannya, kas Lhokseumawe tidak kosong,” ujarnya. Bukhari AKS mengakui, proyek atau pekerjaan yang
sudah dilaksanakan, belum bisa dibayar dengan Dana Perubahan 2016. Sebab, dana yang telah dikucurkan pada APBK Perubahan tidak mencukupi. Sehingga, Pemko Lhokseumawe terpaksa menunda proses pembayaran dan akan diluncurkan kembali pada APBK murni tahun 2017. “Pemko saat ini masih terutang dan akan dilunasi pada APBK murni. Tapi, Pemko telah berkomitmen dengan pihak ketiga, semua anggaran sudah masuk ke KUA-PPAS,” paparnya. Menurut Bukhari, kondisi itu terjadi karena sumber dana dari Pemerintah Pusat belum ditransfer. “Tapi, untuk gaji pegawai masih lancar, hanya untuk proyek fisik saja, seperti jalan dan bantuan yang belum bisa direalisasikan,” demikian Sekda Lhokseumawe, Bukhari AKS. Wakil Ketua Komisi C, M. Hasbi, juga membidangani Anggota Badan Anggran (Banggar) berpendapat. Defisit anggaran yang dialami Pemko Lhokseumawe seiring minimnya pendapatan daerah (PAD), ditambah dengan terutang pada Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang jumlahnya diperkirakan enam miliar rupiah per tahun. “PT Arun tidak aktif lagi, jadi untuk PAD Kota Lhokseumawe minim. Belum lagi untuk melunasi lampu penerangan jalan dengan pihak PLN. Sebelumnya, lampu itu dibayar PT Arun. Karena tidak beroperasi lagi, terpaksa bebannya ditanggung Pemko,” ungkap Hasbi. Kata Hasbi, persoalan kedua adalah terjadi pengurangan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Kementerian Keuangan RI yang dipangkas sekitar 13 persen. Sementara, untuk program pembangunan yang telah disepakati kedua belah pihak antara legislatif dan eksekutif juga ikut gagal. “Tiba-tiba turun surat dari Kemendagri adanya pengurangan dana 13 persen dari dana yang telah dikucurkan. Namun demikian, proses pembangunan tetap dilanjutkan. Sedangkan tahapan proses pembayarannya akan dilanjutkan pada tahun 2017 nanti,” papar Hasbi. Dia mengakui, defisit anggaran diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Sebab, pihak Pemko Lhokseumawe belum menghitung jumlah utang karena belum penutupan buku APBK 2016. “Saat ini, sedang dihitung berapa jumlah hutang yang belum dibayar. Nantinya akan kita lihat secara jelas pada akhir bulan ini. Saya juga mengharapkan kepada masyarakat jangan resah setelah ada defisit anggaran. Legislatif dan eksekutif sedang mengupayakan agar masalah defisit dapat teratasi,” harapnya.***
Kriminal
MODUS ACEH NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
21 MODUS ACEH-DOK
Akhir ‘Permainan’ Empat Sekawan Hanya butuh waktu dua bulan, Tim Polda Aceh bersama Polres Pidie dan Densus 88 berhasil menciduk Abdul Manaf, Zakaria alias Jek, M. Hasballah alias Amad Lapoh dan Ruslan, diduga pelaku penembakan rumah Ibrahim, warga Gampong Cot Cantek, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie pertengahan Oktober 2016 lalu. Muhammad Saleh | Kontributor Pidie
“
Berikan waktu kepada polisi untuk meringkus pelaku. Saya percaya kepada Kapolres Pidie bersama jajarannya mampu menangkap pelaku yang memiliki senjata secara ilegal,” begitu kata Kapolda Aceh, Irjen Pol Rio S Djambak, saat melakukan kunjungan kerja (kunker) di Meuligoe Bupati Pidie, Kamis, 17 November 2016 lalu. Hasilnya, benar saja. Janji Kapolda Aceh, Irjen Pol Drs Rio S Djambak, untuk mengungkap dan menangkap pelaku penembakan terhadap Ibrahim bin Abu (48) warga Gampong Cot Cantek, Kecamatan Sakti, Pidie, Rabu malam, 19 Oktober 2016, terba-
yar sudah. Sabtu, 10 Desember 2016, sekira pukul 8.00 WIB, Tim Gabungan Resintel Polres Pidie, di-back up Reskrim Polda Aceh dan Densus 88 di bawah pimpinan AKBP Subekti, berhasil menangkap empat pelaku penembakan terhadap Ibrahim, yaitu Abdul Manaf (41), Zakaria alias Jek (42), Ruslan alias Bang Lan (49) serta M Hasballah alias Amad Lapoh (32). Empat sekawan ini diciduk di empat tempat berbeda. “Benar, motif dan pelaku penembakan di Cot Cantek Pidie telah berhasil kita ungkap dan tangkap. Ini sesuai dengan janji
Pak Kapolda untuk mengungkap kasus ini secepatnya, sehingga memberikan rasa nyaman dan aman bagi masyarakat jelang Pilkada 2017 mendatang,” kata Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Goenawan SH, MH pada media ini, Senin sore, 12 Desember 2016. Masih kata Kombes Goenawan. “Tim gabungan itu dipimpin AKBP Subekti dan pencapaian target ini merupakan bagian dari Operasi Kilat Rencong 2016,” jelas Goenawan. Sekedar mengulang, Sabtu, 12 November 2016 sekitar pukul 19.20 WIB, Ibrahim (48) warga Gampong Cot Cantek, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, yang berprofesi sebagai petani, kembali menjadi sasaran penembakan orang tak dikenal (OTK). Pelaku menggunakan senjata api laras panjang. Mujur, saat itu, Ibrahim luput dari terjangan timah panas yang ditembak tiga kali dari jarak enam meter. Sebelumnya, pada 9 Oktober 2016 atau hanya berselang delapan hari, teror menggunakan
senjata api juga dialami Ibrahim. Dua peluru tajam menembus jendela rumahnya yang terbuat dari bambu dan mengenai bingkai foto yang terpajang di dinding rumah tersebut. Ainal Mardhiah (18), anak ketiga Ibrahim, yang saat itu sedang nonton televisi selamat dari tembakan. Sementara, Ibrahim bersama isterinya sedang tidak di rumah. Keduanya pergi ke Pasar Sakti untuk membeli kado perkawinan tetangga. Karena sudah berulangkali atau lebih dari satu peristiwa, kasus ini menjadi atensi Kapolda Aceh Irjen Pol Rio S Djambak. “Meski pelaku telah teridentifikasi, kita tidak serta merta menangkap pelakunya. Kita mengimbau kepada pelaku supaya menyerahkan diri kepada polisi. Cepat ataupun lambat, pelaku tetap ditangkap,” kata Irjen Pol Rio S Djambak saat itu. Kapolda Aceh, Irjen Pol Rio S Djambak juga mengungkapkan, hasil analisa polisi bahwa penembakan terhadap Ibrahim bukanlah rekayasa. Tindakan itu
sebagai bentuk upaya pembunuhan terhadap korban. Untuk itu, lanjutnya, polisi akan terus menyelidiki kasus tersebut dalam upaya penangkapan pelaku. Irjen Rio S Djambak juga memastikan kasus tersebut tidak berkaitan dengan tahapan pilkada yang sedang berjalan di Pidie, melainkan motif pribadi. Menurutnya, penembakan itu bentuk teror kepada Ibrahim. Meski bermotif pribadi, polisi tetap konsisten mengungkap kasus ini hingga tuntas. Sebab, tindakan yang dilakukan pelaku merupakan perbuatan melanggar hukum. Itu sebabnya, satu tim khusus (gabungan) Reskrimum Polda Aceh, Polres Pidie dan Densus 88 dibentuk untuk memburu pelaku. Hasilnya, Tim Gabungan Polda Aceh berhasil mengukir prestasi, mengungkap motif dan menangkap empat pelaku penembakan terhadap Ibrahim pada Rabu malam, 19 Oktober 2016 lalu. Walau awalnya relatif men-
22
MODUS ACEH NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
Kriminal lintasnasional.com
galami sedikit kendala, namun tak menyurutkan semangat aparat penegak hukum ini untuk terus memburu para pelaku. Apalagi, atensi serius benar-benar diperlihatkan Kapolda Aceh, Irjen Pol Rio S Djambak. Nah, Sabtu, 10 Desember 2016, sekira pukul 8.00 WIB, Tim Gabungan Resintel Polres Pidie dan di-back up Reskrim Polda Aceh dan Densus 88 di bawah pimpinan AKBP Subekti berhasil menangkap empat pelaku penembakan terhadap Ibrahim di empat tempat yang berbeda. Sebut saja, Abdul Manaf (41) yang bertindak sebagai eksekutor. Dia diamankan di halaman rumahnya, Dusun II, Mainu Tengah, Kecamatan Dolok Merawan, Kabupaten Serdang Begadai, Sumatera Utara. Nah, dari Abdul Manaf, tim mendapat banyak informasi tambahan. Lalu, bergerak pada hari dan tanggal yang sama atau sekira pukul 8.30 WIB ke Jalan Asia Medan Kota serta Jalan Benteng, Dusun Duku, Tembung, Medan, Provinsi Sumatera Utara. Saat ditangkap, kepada tim gabungan Polda Aceh, Abdul Manaf mengaku telah melakukan penembakan dengan menggunakan senjata api (senpi) laras panjang jenis AK 56 yang diperoleh dari Zakaria alias Jek, warga Gampong Cot Cantek, Kecamatan Sakti, Pidie. Abdul Manaf juga menceritakan kronologis kejadian penembakan itu. Pertama, saat dia pulang dari Medan menggunakan bus dan turun di Pasar Beureunuen. Lalu, ia dijemput Zakaria dan dibawa ke kebunnya. Sampai di sana, Zakaria sudah menyediakan senpi laras panjang jenis AK 56 (AK lipat). Lalu, dari kebun Zakaria, Abdul Manaf bergerak ke arah rumah
Ibrahim, Korban Penembakan di Pidie.
Ibrahim dan memuntahkan peluru. Setelah melakukan penembakan atau eksekusi ke arah rumah Ibrahim, Abdul Manaf melarikan diri ke arah persawahan dan menyembunyikan senpi di pinggir hutan dekat persawahan dalam kawasan Gampong Cot Cantek. Selanjutnya, Abdul Manaf dijemput Bang Lan (nama panggilan), warga Gampong Pulo Lhoih Titue, Kecamatan Keumala, Kabupaten Pidie dan diantar langsung ke Bambi dan langsung kembali berangkat ke Medan menggunakan bus. Terkait penembakan kedua, masih pengakuan Abdul Manaf, dia pulang dari Medan ke Pidie menggunakan bus dan turun di Pasar Lueng Putu, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Lalu, dijemput Bang Lan.
Dan, dengan berjalan kaki, mereka menuju Gampong Cot Cantek setelah mengambil senjata yang disimpan di pinggir hutan dekat persawahan. Selanjutnya, Abdul Manaf menunggu korban di pinggir jalan Gampong Cot Cantek, kemudian melakukan tembakan ke arah korban. Usai mengeksekusi, Abdul Manaf melarikan diri ke arah Jalan Titue Keumala dan menuju rumah Bang Lan serta senjata tersebut dititip kepada Bang Lan dan kemudian Abdul Manaf diantar ke arah Blang Malu. Selanjutnya, ia naik bus dan kembali ke Medan. Dalam melakukan aksinya, Abdul Manaf menerima uang Rp 1,7 juta dari Zakaria alias Jek. Sebelum kejadian pertama, Zakaria mentransfer uang pada Abdul Manaf satu juta rupiah untuk ongkos pulang dari Med-
an ke Pidie. Sebelum kejadian kedua, Jek kembali mentransfer uang Rp 700 ribu kepada Abdul Manaf untuk ongkos pulang dari Medan ke Pidie. Pada hari dan tanggal yang sama, sekira pukul 13.00 WIB, di Keude Sakti, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, Tim Gabungan Opsnal Resintel di bawah pimpinan Kasat Intelkam dan Kasat Reskrim Polres Pidie telah melakukan penangkapan terhadap Zakaria alias Si Jek (42). Bersamaan dengan penangkapan Zakaria, yang sehari-hari bekerja sebagai petani, tim gabungan juga melakukan penangkapan terhadap M Hasballah alias Amad Lapoh, warga Gampong Lhok Panah, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, dengan cara memancing mereka keluar dari kampung.
Minggu, 11 Desember 2016, sekira pukul 1.30 WIB, di Gampong Pulo Lhoih, Kecamatan Titeu, Kabupaten Pidie, tim gabungan juga menangkap Ruslan. Dari Ruslan, ditemukan barang bukti satu pucuk senjata AK 56 dengan nomor seri MN5922 beserta satu buah magasin dan sepuluh butir peluru yang disimpan Ruslan di kandang ternak miliknya yang berada di depan rumahnya. Selain senjata laras panjang, Tim Gabungan Polda Aceh juga berhasil menyita barang bukti (BB) seperti dompet, KTP, handphone serta lainnya telah diamankan di Polres Pidie untuk proses penyelidikan lebih lanjut. Dengan demikian, berakhir sudah “permainan” berbahaya dan melanggar hukum itu dari empat sekawan tadi.***
MODUS ACEH
HUKUM
NO 34/TH XIV 19 -25 DESEMBER 2016
23
■ Bom Canda, Ancaman Hukuman Serius
Aneuk Geutu Masuk Sel MODUS ACEH-DOK
ika berani bermain api, maka bersiaplah untuk terbakar. Pepatah itu cocok diarahkan pada Irwan (38) alias Aneuk Geutu alias Abu Rayeuk, pelaku teror peletakan bom (yang kemudian diketahui batu dan wayer) di Gereja Methodist Bireuen, 7 November 2016 lalu. Entah serius menebar teror atau hanya sebatas bercanda, yang pasti jeratan hukum sudah menanti Aneuk Geutu. Setidaknya, dia bisa dijerat dengan pasal berlapis. Misal, perbuatan tidak menyenangkan dan menebar teror. Syahdan, benda asing yang menyerupai bom rakitan ditemukan warga Bireuen di pintu masuk Gereja Methodist Bireuen Jalan Prof. Majid Ibrahim atau Jalan Bengkel, Senin 7 November 2016 lalu. Awalnya, bom rakitan tersebut diperkirakan diletakkan orang tak dikenal (OTK) sekira pukul 6.00 WIB. Sontak, warga Kota Juang, Kabupaten Bireuen heboh. Maklum, pasca konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia yang berujung damai pada 15 Agustus 2005 silam di Helsinki, barang mematikan itu nyaris tak terdengar lagi. Begitupun, tak mau sepele dan timbul korban, Tim Penjinak Bom (Jibom) dari Sat-Brimob Jeulikat, Lhokseumawe berhasil
J Jajaran Polda Aceh, khususnya Polres Bireuen berhasil membekuk Irwan alias Aneuk Geutu alias Abu Rayeuk, pelaku teror peletakan bom (yang kemudian diketahui batu dan wayer) di Gereja Methodist Bireuen, 7 November 2016 lalu.
Muhammad Saleh | Zulhelmi
menjinakkan benda asing itu. Eh, benda yang diduga bom itu ternyata berisi batu dan wayer. Saat itu, Kapolres Bireuen, AKBP Heru Novianto, kepada sejumlah awak media mengatakan, bom tersebut diketahui setelah ada laporan masyarakat sekitar pukul 7.30 WIB. Kemudian, pihak kepolisian mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan mengamankannya. “Untuk mengamankan TKP, jalan di depan gereja ditutup. Harapannya agar tidak tersentuh oleh masyarakat yang melintas, karena kita khawatirkan bom itu bom benaran,” ujar Kapolres Bireuen, Heru Novianto. Lanjutnya, tim Jibom telah berhasil mengamankan benda asing yang diletakkan di pintu masuk Gereja Methodist Bireuen. “Namun demikian, saya berpesan kepada masyarakat bahwa ancaman seperti ini tidak perlu ditanggapi secara ekspresif,” tegasnya. Kapolres Heru mengaku akan mencari pelaku yang meletakkan benda asing yang menyerupai bom itu setelah melakukan olah TKP. Hasilnya, benar saja. Setelah lama diendus, jajaran Polda Aceh, khususnya Polres Bireuen menuai sukses. Tim Polres Bireuen berhasil membekuk Irwan alias Aneuk Geutu alias Abu Ray-
euk, pelaku teror peletakan bom (yang kemudian diketahui batu dan wayer) di Gereja Methodist Bireuen, 7 November 2016 lalu. Aneuk Geutu diciduk, Senin,
Irwan
12 Des 2016, sekira pukul 15.00 WIB di wilayah itu. Saat ini, Aneuk Geutu sudah diamankan di ruang Unit Pidum Sat Reskrim Polres Bireuen. Dia bisa dijerat dengan pasal menebar teror. Aneuk Geutu adalah warga Desa Blang Cot Baroh, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Demikian disampaikan Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Goenawan pada wartawan. Menurut Goenawan, Irwan adalah pelaku yang meletakkan barang yang diduga bom (batu sungai, wayer dan antena) di
depan pintu gerbang Gereja Methodist Ezen Haebert Bireuen, Senin, 7 Nov 2016. Tertangkapnya Aneuk Geutu berdasarkan hasil penyelidikan Tim Gab Opsnal Reserse dan Intelkam Polres Bireuen. Ini berdasarkan informasi dari masyarakat. Saat ditangkap, pelaku sedang berada di Desa Meunasah Drang, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara. Selanjutnya, sekira pukul 9.00 WIB, Tim Opsnal Gab Res dan Intel Polres Bireuen langsung menuju desa tersebut untuk melakukan pencarian selama lima jam. Kemudian, pelaku ditemukan di salah satu warkop pinggir jalan Banda Aceh - Medan. Selanjutnya, tim langsung mengamankan pelaku dan membawa ke Mapolres Bireuen. Begitupun, hingga Sabtu pekan lalu, Polres Bireuen belum menyampaikan motif dari perbuatan Aneuk Geutu apakah benar-benar serius menebar teror atau hanya sekedar iseng alias bercanda, termasuk pasal yang akan menjeratnya. “Sabar, sedang kami dalami. Nanti akan kami sampaikan pada kawankawan wartawan,” kata Kapolres Bireuen, AKBP Heru Novianto pada MODUS ACEH, Kamis, 15 Desember 2016 di Bireuen. Ada-ada saja.***