SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR
Oleh : ROSARIA F 24103043
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : ROSARIA F24103043 Dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1985 Di Serang Banten Tanggal lulus: 12 Juli 2007 Bogor, 25 Juli 2007 Menyetujui,
Prof. Dr. Winiati P. Rahayu Dosen Pembimbing Akademik Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ROSARIA F 24103043
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Rosaria. F24103043. Studi Keamanan Cabe Giling di kota Bogor. Dibawah Bimbingan Prof. Dr. Winiati P. Rahayu. RINGKASAN Masalah keamanan pangan selalu menarik perhatian masyarakat dan orangorang yang terkait dalam bidang pangan. Bahan baku dapat menjadi salah satu aspek yang dapat menimbulkan masalah keamanan pangan dan cabe merupakan bahan baku yang banyak digunakan untuk pengolahan pangan. Pada studi ini telah dilakukan survei lapang terhadap pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor untuk mengetahui kondisi umum proses pengolahan cabe giling sehingga dapat diketahui risiko keamanan pangannya. Berdasarkan survei terhadap 20 orang pedagang, umumnya cabe giling yang beredar di kota Bogor berbahan baku utama cabe merah dan penambahan garam, dan air. Namun berdasarkan analisis keamanan cabe giling menunjukkan bahwa selain penambahan garam NaCl yang berkisar 4,7-6,9 (%b/b), seluruh sampel cabe giling juga positif mengandung natrium benzoat yang berkisar 326-1284 ppm. Terdapat sekitar 33.3% pedagang yang menambahkan natrium benzoat melebihi batas maksimum yang diizinkan. Selain penggunaan benzoat yang melebihi batas, 36% sampel cabe giling positif mengandung Rhodamin B yang merupakan pewarna yang dilarang digunakan untuk pangan. Cabe giling memiliki kadar air 71,6–86,8% (b/b) dan pH 4,7-5.6 sehingga memungkinkan sejumlah mikroba dapat tumbuh pada medium tersebut. Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba pada cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor berkisar antara 7.9 x 104-1.9 x 107 koloni/g. Sedangkan untuk jumlah kapang dan kamir berkisar 9.5 x 103-3.8 x 105 koloni/g, bakteri pembentuk spora berkisar 1.2 x 103-5.6 x 104 koloni/g, jumlah S. aureus berkisar 5.2 x 102-1.2 x 104 koloni/g, koliform <3.0-210 MPN/g dan hasil kualitatif E. coli menunjukkan 62.5% sampel positif E. coli. Cabe giling di pasar tradisional sering kali tidak habis terjual dalam satu hari karena hanya 25% pedagang yang mengaku cabe gilingnya habis terjual tiap hari. Cabe giling yang tersisa tersebut biasanya disimpan untuk dijual esok harinya. Sebanyak 85% pedagang menyimpan sisa cabe giling hanya dalam wadah tertutup tanpa diberi es, sedangkan 15% pedagang menyimpannya dalam lemari es dan 5% pedagang mengaku membiarkan menyimpannya dalam wadah yang digunakan sebagai tempat menyajikannya tanpa ditutup dan tanpa diberi es. Umumnya (70%) pedagang mengaku cabe giling yang mereka jual dapat bertahan 2 hari, dan 15% pedagang mengatakan cabe giling yang mereka jual dapat bertahan hingga >8 hari. Pada studi penyimpanan, cabe giling dengan penambahan garam 6% hanya bertahan 1 hari, sedangkan dengan penambahan benzoat 500 ppm cabe giling masih bagus hingga 5 hari, dan penambahan benzoat 1000 ppm dapat memperpanjang daya tahan cabe giling hingga 12 hari.
KATA PENGANTAR Bismillahirromanirrohim, Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, SAW, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir, yang berjudul: STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR. Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. Pihak-pihak tersebut antara lain: 1. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan penulis. 2. Bapak Dr. Sukarno, MS dan Ibu Ir. Elvira Syamsir, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 3. Bapak H. Rusdi Sayuti dan Ibu Hj. Komala (Ayah-Bunda), Agus, Agung, yang selalu memberikan dukungan moril dan materil yang tak terhingga selama ini. 4. Saudara Azis Mustiko atas perhatian dan dorongan semangat kepada penulis. 5. Laboran dan Pusatakawan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. 6. KRUCIL: Rucit, Nisa, Epen, Irma, Abdy, Ika, Iin, Dini, Wati, Dian, Indach, dan teman-teman ITP 40, 41, 39. Terima kasih banyak atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dan telah banyak mendukung penulis selama ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Juli 2007 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………....... i DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ii DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. v DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. I.
II.
vi
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG …………………………………..........
1
B. TUJUAN ………………………………………………….......
2
TINJAUAN PUSTAKA A. GAMBARAN UMUM CABE MERAH DAN CABE GILING (Capsicum annum L. ) ………………………………………...
3
B. KOMPOSISI KIMIA DAN KONDISI MIKROBIOLOGI CABE MERAH ......................................................................... 5 C. BAHAN TAMBAHAN PANGAN ............................................
7
1. Bahan Pengawet ....................................................................
7
2. Bahan Pewarna ...................................................................... 10 III.
METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU ........................………………..........
13
B. BAHAN DAN ALAT ...............................................................
13
C. METODE PENELITIAN ..........................................................
14
1. Kerangka Penelitian ..............................................................
14
2. Studi Pendahuluan ................................................................. 15 3. Survei Kondisi Pedagang Cabe Giling .................................. 15 4. Keamanan Pangan Cabe Giling Komersial ........................... 15 5. Studi Penyimpanan ...............................................................
16
6. Analisis .................................................................................. 17
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI UMUM PEDAGANG CABE GILING DI KOTA BOGOR ....................................................................................
23
1. Profil dan Skala Usaha Pedagang Cabe Giling di Kota Bogor ..................................................................................
23
2. Produksi Cabe Giling ...........................................................
25
3. Upaya Pedagang Untuk Menjamin Keamanan Cabe Giling
29
4. Upaya Pengelola Pasar Dalam Memantau Keadaan Pasar ..
31
B. KEAMANAN PANGAN CABE GILING KOMERSIAL 1. Keamanan Kimiawi Cabe Giling ..........................................
32 33
2. Keamanan Mikrobiologi Cabe Giling.................................... 43 C. STUDI PENYIMPANAN........................................................... V.
54
KESIMPULAN DAN SARAN A.
KESIMPULAN ……………………………………..............
62
B.
SARAN ………………………………………………..........
62
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
65
LAMPIRAN …………………………………………………………....... 70
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Komposisi kimia cabe merah segar .............................................. 5
Tabel 2.
Zat warna yang diizinkan di Indonesia ......................................... 11
Tabel 3.
Zat warna sintetik yang dilarang di Indonesia .............................. 12
Tabel 4.
Data sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor .......................
Tabel 5.
Uji IMViC terhadap koliform ....................................................... 22
Tabel 6.
Uji jenis koliform .........................................................................
Tabel 7.
Bahan baku yang digunakan pedagang cabe giling ...................... 25
Tabel 8.
Mutu kimiawi cabe giling ............................................................. 33
Tabel 9.
Hasil kualitatif Rhodamin B ......................................................... 40
Tabel 10.
Mutu mikrobiologi cabe giling .................................................... 43
Tabel 11.
Pengamatan visual cabe giling hari ke-0....................................... 55
Tabel 12.
Pengamatan visual kerusakan cabe giling selama penyimpanan..
16 22
57
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Diagram alir metodologi penelitian....................................
14
Gambar 2.
Diagram alir pembuatan cabe giling kontrol......................
17
Gambar 3.
Tingkat pendidikan pedagang cabe giling .........................
23
Gambar 4.
Jangka waktu menekuni usaha berjualan cabe giling ........
24
Gambar 5.
Cara penyimpanan cabe giling yang tidak habis terjual ....
27
Gambar 6.
Daya tahan cabe giling ......................................................
29
Gambar 7.
Waktu pedagang membersihkan alat dan bahan ..........
30
Gambar 8.
Perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar 32
Gambar 9.
Jumlah total mikroba selama penyimpanan ....................... 56
Gambar 10.
Pengamatan kerusakan cabe giling selama penyimpanan..
59
Gambar 11.
Jumlah kapang kamir selama penyimpanan ......................
59
Gambar 12.
Jumlah bakteri pembentuk spora (koloni/g) selama penyimpanan ...................................................................... 60
Gambar 13.
Nilai pH cabe giling selama penyimpanan.........................
61
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Kuisioner untuk pedagang cabe giling............................................
Lampiran 2.
Identitas Pedagang cabe giling yang bersedia jadi responden ........ 73
Lampiran 3.
Data hasil kuisioner…………………………………….................
Lampiran 4. Lampiran 5.
Identitas cabe giling komersial yang menjadi sampel analisis keamanan ……………………………………............................... 75 Hasil uji one way cabe giling komersial ........................................ 76
Lampiran 6a.
Kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B.................
Lampiran 6b. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling A ..................................................................................................... Lampiran 6c. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling B ........................................ ........................................................... Lampiran 6d. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling C .................................................................................................... Lampiran 6e. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling D...................................................................................................... Lampiran 6f. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling E....................................................................................................... Lampiran 6g. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling F....................................................................................................... Lampiran 6h. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling G..................................................................................................... Lampiran 6i. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling H..................................................................................................... Lampiran 6j. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling I...................................................................................................... Lampiran 6k. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling J........................................................................................................ Lampiran 6l. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling K...................................................................................................... Lampiran 6m. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling L....................................................................................................... Lampiran 7. Hasil pengamatan TPC (koloni/g) cabe giling…………................
71 73
80 80 80 81 81 81 81 81 82 82 82 82 82 83
Lampiran 8.
Hasil pengamatan Kapang dan kamir (koloni/g) cabe giling .........
84
Lampiran 9.
Hasil pengamatan S. aureus (koloni/g) cabe giling ….................... 85
Lampiran 10. Hasil pengamatan Koliform (MPN/g) dan E coli (kualitatif) cabe giling……………………………………………………………… 86 Lampiran 11. Hasil pengamatan Bakteri pembentuk spora cabe giling..……….. 88 Lampiran 12. Pengamatan nilai pH cabe giling selama penyimpanan..................
89
Lampiran 13
Hasil uji one way cabe giling selama penyimpanan ....................... 89
Lampiran 14. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (tanpa penambahan Na-benzoat) selama penyimpanan ………………………………... Lampiran 15 Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (+ Na-benzoat 500 ppm) selama penyimpanan ………………………………….......… Lampiran 16. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (+ Na-benzoat 1000 ppm) selama penyimpanan ………………………………………. Lampiran 17. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling G selama penyimpanan ……………………………………………………... Lampiran 18. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling K selama penyimpanan ……………………………………………………...
90 90 91 92 93
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dewasa ini masalah keamanan pangan sangat menarik perhatian masyarakat dan orang-orang yang terkait dalam bidang pangan. Penyebab potensial utama masalah pangan terletak pada kenyataan bahwa sebelum mencapai konsumen, umumnya pangan terlebih dahulu melalui mata rantai produksi dan rantai pendistribusian yang kompleks serta panjang. Berita media massa seringkali memuat terjadinya kasus keracunan pangan serta penggunaan bahan kimia berbahaya yang membahayakan kesehatan. Menurut Rahayu (2006), kasus keracunan pangan yang paling sering dilaporkan di Indonesia tahun 2004-2006 adalah keracunan akibat pangan rumah tangga, pangan jajanan, dan pangan olahan. Dari pengujian terhadap 13.536 sampel pangan yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) tahun 2006 diketahui bahwa 11.871 (87.69%) sampel memenuhi syarat (MS) dan 1.665 (12.31%) sampel tidak memenuhi syarat (TMS). Pangan yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena menggunakan: pemanis buatan (31%) dan benzoat (7.93%) melebihi batas yang dipersyaratkan; penyalahgunaan: formalin (8.88%), boraks (8.05%), dan pewarna bukan untuk makanan (12.67%); cemaran mikroba (19.10%); dan TMS lainnya (12.13%) (Badan POM, 2007). Salah satu bahan pangan yang dapat menimbulkan masalah dalam hal keamanan pangan adalah bumbu. Salah satu jenis bumbu yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah cabe giling yang terbuat dari cabe merah. Cabe giling merupakan salah satu bentuk olahan cabe merah yang banyak dijual di sejumlah pasar di kota Bogor. Cabe giling banyak digunakan para ibu rumah tangga maupun pedagang pangan olahan karena praktis. Cabe giling merupakan hasil olahan cabe yang digiling menggunakan mesin giling dengan penambahan bahan-bahan lain seperti garam, dan sedikit air (Setiadi, 1987). Beberapa pedagang cabe giling bahkan telah menambahkan zat
pewarna kedalam dagangannya. Berdasarkan penelitian Djarisnawati et al. (2004), 63% cabe giling yang dijual di pasar tradisional DKI Jakarta positif menggunakan Rhodamin B untuk memperoleh keseragaman warna produk. Cabe giling yang beredar di kota Bogor biasanya dipasarkan dalam bentuk curah dan dijual secara eceran dalam wadah bak plastik yang terbuka atau dikemas dalam kantung plastik berbagai ukuran. Keadaaan seperti ini selain memungkinkan tumbuhnya mikroba penyebab kebusukan, juga memungkinkan tumbuhnya beberapa jenis mikroba yang dapat menimbulkan penyakit. Berdasarkan
risiko
keamanan
dari
cabe
giling
yang
dapat
menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, perlu dilakukan studi keamanan cabe giling yang beredar di masyarakat untuk mengetahui keamanan cabe giling komersil di kota Bogor. Pada studi ini telah dilakukan survei lapang terhadap pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor untuk mengetahui kondisi umum proses pengolahan cabe giling di kota Bogor, dengan demikian dapat diupayakan membuat cabe giling yang aman dan memiliki daya tahan yang lama. B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan kimia dan mikrobiologi cabe giling yang dijual pedagang di kota Bogor. Selain itu dilakukan pula penelitian tentang penggunaan bahan pengawet yang aman untuk cabe giling. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi keamanan konsumen cabe giling dan memberikan rekomendasi bagi produsen cabe giling untuk meningkatkan mutu dan keamanan produk cabe giling di pasar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. GAMBARAN UMUM CABE MERAH DAN CABE GILING (Capsicum annum L.) Cabe merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran dan rempah-rempah yang banyak dikonsumsi masyarakat. Tanaman cabe merah
diperkirakan
memiliki
±20-30
spesies.
Berdasarkan
tingkat
kematangannya cabe merah dibagi menjadi dua, yaitu buah muda atau cabe hijau dan buah tua atau cabe merah. Sedangkan berdasarkan morfologinya cabe dibedakan menjadi cabe besar panjang (C. annum var. longum), cabe keriting (C. annum sp.), cabe bulat pendek (C. annum var. abbreviate), paprika (C. annum var. grosum), cabe rawit (C. frutescens), C. baccatum, C. pubescens, dan C. chinese (Rukmana dan Yuniarsih, 2005). Produksi cabe merah di Indonesia seluruhnya merupakan hasil usaha rakyat. Daerah yang banyak ditanami cabe adalah Yogyakarta, Wonosobo, Pekalongan, dan Cirebon. Komoditi cabe di kota Bogor menempati 13,26% luas tanam dari jumlah produksi tanaman hortikultura di kota Bogor. Luas areal tanaman cabe merah di kota Bogor pada tahun 2005 adalah 112.41 Ha dengan jumlah produksi sebanyak 297.13 ton (BPS, 2006). Selama sepuluh tahun terakhir peningkatan permintaan cabe oleh konsumen rumah tangga mencapai 6.2% per tahun dan permintaan diperkirakan akan semakin meningkat ditahun-tahun mendatang untuk memenuhi kebutuhan bahan baku berbagai industri pengolahan pangan dan sasaran ekspor (Rukmana dan Yuniarsih, 2005). Dalam dunia perdagangan, cabe merah dipasarkan dalam bentuk seperti cabe merah segar, cabe giling, cabe kering, oleoresin, saus cabe, macam-macam sambal dan acar dalam botol. Pada industri obat-obatan, cabe merah terutama digunakan untuk campuran dalam pembuatan obat gosok untuk menghilangkan rasa gatal dan pegal, dan menghilangkan rasa lesu (Rukmana dan Yuniarsih, 2005).
Pengolahan pangan dapat menghasilkan produk yang lebih praktis digunakan, mudah dalam pengangkutan dan penyimpanan (Syarief dan Halid, 1993). Salah satu contoh produk olahan cabe adalah cabe giling. Ditinjau dari kepraktisannya, cabe giling relatif lebih praktis digunakan dibanding cabe segar. Selain itu dengan mengolah cabe segar tersebut menjadi cabe giling akan lebih mudah dalam hal pengangkutan dan penyimpanan (Hardiansyah, 2003). Cabe giling yang dijual dipasar ada dua jenis, yaitu cabe giling halus dan cabe giling kasar. Cabe giling halus diperoleh dari penggilingan cabe hingga semua komponen cabe halus dan tidak tampak sedikitpun sisa hancuran biji cabe tersebut, sedangkan cabe giling kasar masih mengandung biji cabe utuh. Cabe giling kasar biasanya dibuat tanpa penambahan air. Pembuatan cabe giling halus dan kasar hanya berbeda pada pengaturan jari-jari mesin penggiling cabe yang digunakan (Lubis, 2000). Penentuan mutu cabe giling masih merujuk pada syarat mutu cabe segar dan saus cabe karena hingga saat ini belum ada syarat mutu produk cabe giling menurut Standar Nasional Indonesia. Syarat mutu saus cabe yang baik menurut SNI 01-2976-1992 adalah mengandung jumlah padatan sebesar 20-40%, tidak mengandung logam berbahaya (Pb, Hg, Cu, dan Zn), kadar kotoran maksimum 1%, bau dan rasa normal dan khas cabe, secara mikroskopis tidak mengandung kapang, dan apabila menggunakan pengawet dan pewarna sesuai dengan yang diizinkan. Berdasarkan penelitian Lubis (2000), cabe giling halus yang diberi perlakuan panas oven microwave (selama dua menit) dan autoklaf (121 0C, tekanan 15 psi selama 15 menit) serta penambahan natrium benzoat 0.05, 0.75, dan 0.1% masih menunjukkan mutu mikrobiologis yang lebih baik dibandingkan dengan cabe giling kasar dengan perlakuan penambahan natrium benzoat yang sama selama penyimpanan 35 hari. Sedangkan hasil penelitian Sayekti (1998), cabe giling yang dibuat dengan penambahan 0.05% natrium benzoat, 0.8% asam asetat, 0.15% asam askorbat, dan 0.15% natrium bisulfit dapat bertahan hingga 56 hari.
B. KOMPOSISI
KIMIA
DAN
KONDISI
MIKROBIOLOGI
CABE
MERAH Komposisi buah cabe segar yang baru dipetik ditentukan oleh spesies, cara perawatan tanaman, kondisi lingkungan tempat tumbuh dan tingkat kematangan saat dipanen. Selanjutnya perubahan kimia relatif terjadi setelah pemanenan selama pematangan, pengeringan, pengolahan dan penyimpanan (Setiadi, 1987). Kondisi ini terefleksi dalam unsur penyusun pokok (komposisi kimia) yang relatif beragam. Komposisi kimia cabe merah segar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia cabe merah segar* Komponen Kadar Air Kadar Karbohidrat Kadar Pati Kadar Protein Kadar Total Abu Kadar Komponen volatil Kadar Komponen nonvolatil Kadar Asam Askorbat * (Setiadi, 1987)
Komposisi (% bb) 87-90 54-58 0.5-1.5 11-14 5-6 0.7-2.6 15-22 0.029-0.063
Warna merah pada cabe disebabkan adanya pigmen karotenoid yaitu capsanthin, capsorubin, lutein, zeaxanthin, caroten, dan kriptoxantin (Prabaningrum et al., 1996). Menurut Reeves (1987), sekitar 60% dari total karotenoid pada cabe merah tersusun atas capsanthin. Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang larut dalam lemak dan dapat mengabsorpsi cahaya tampak pada panjang gelombang 400-500 nm. Pigmen karotenoid mudah teroksodasi oleh cahaya,
udara,
dan
panas sehingga
menyebabkan
memudarnya warna pada buah dan sayur (Kanner et al., 1977). Jumlah dan perbandingan komponen karotenoid pada cabe bervariasi, tergantung kematangan, varietas, agroteknik, dan klimatologi (Purseglove et al., 1981). Komponen rasa pedas cabe yang utama adalah capsaicin dan dihidrocapsaicin
(1.5%
b/b),
dan
beberapa
komponen
lain
yaitu
homocapsaicin, nordihidrocapsaicin, dan homodihidrocapsaicin dalam konsentrasi sangat kecil. Capsaicin pada cabe juga dapat berfungsi sebagai
antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Purseglove et al., 1981). Menurut penelitian Dewanti (1984), bubuk cabe merah tanpa biji dapat menghambat pertumbuhan L. fermentum pada konsentrasi 1 mg/L dan pada konsentrasi 3 mg/L dapat menghambat B. subtilis, tetapi bubuk cabe merah tanpa biji tidak dapat menghambat pertumbuhan E. coli dan S. aureus. Sayuran merupakan bahan pangan yang sering terkontaminasi oleh tanah
dan
kotoran.
Kontaminasi
dapat
terjadi
selama
pemanenan,
pengangkutan maupun pemasaran. Penanganan pascapanen cabe merah di Indonesia masih tergolong sederhana. Selama pemanenan, cabe sering ditempatkan di tanah sehingga cabe menjadi kotor akibat tanah yang melekat. Kontaminasi dapat pula berasal dari tempat yang digunakan selama pengangkutan dan tempat-tempat penjualan cabe. Menurut Feng (1997), sayuran segar umumnya mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi yaitu sekitar 102-106 koloni/g termasuk koliform fekal 104 koloni/g dan koliform non-fekal sebanyak 102-103 koloni/g. Sedangkan jumlah kapang dan kamir pada sayuran segar adalah 105 koloni/g (Lund, 2000). Sedangkan menurut penelitian Isyanti (2001), jumlah mikroba pada sayuran segar di Bogor Barat adalah 106-108 koloni/g. Ruslan (2003) melaporkan jumlah mikroba pada sayur olahan pada gado-gado di Bogor Barat menunjukkan angka 104-107 koloni/g. Syarat mutu cabe yang baik tidak mengandung jumlah mikroba lebih dari 105 koloni/g dan tidak mengandung mikroba patogen seperti Salmonella, Shigella, dan Streptococcus (Prajnanta,1995). Mikroba yang banyak ditemukan pada cabe adalah Bacillus subtilis, koliform, dan Clostridium perfringens. Sedangkan kapang yang banyak terdapat pada cabe adalah Aspergillus sp., Rhizopus, Penicillium, dan Absidia (Feng, 1997). Salah satu syarat mutu produk olahan cabe antara lain SNI 01-2976-1992, menyebutkan syarat mutu untuk saus cabe adalah maksimal total mikroba 105 kol/g, koliform 102 MPN/g, S. aureus 10 MPN/g, serta tidak mengandung E. coli dan Salmonella. Sedangkan untuk bubuk cabe kering, pikel cabe, cabe giling, oleoresin dan lainnya belum memiliki standar mutu nasional.
Beberapa saus cabe yang beredar di masyarakat masih belum memenuhi standar. Menurut penelitian Wati (1997), sebanyak 60% saus cabe di supermarket di Bogor ternyata belum memenuhi standar SNI 01-2976-1992 (tentang saus cabe) karena mengandung total mikroba lebih dari 105 koloni/g dan mengandung S. aureus lebih dari 10 MPN/g. Agustina (2002) melaporkan saus cabe di beberapa kantin sekolah di Bogor tidak memenuhi standar karena masih mengandung E. coli 1.3 x 101 koloni/g dan berpeluang 50% mengandung Salmonella. C. BAHAN TAMBAHAN PANGAN Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai pangan dan bukan merupakan ingredien khas pangan, memiliki atau tidak nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam proses pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas pangan tersebut. Tujuan penggunaan BTP dalam pangan diantaranya adalah untuk mengawetkan pangan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan, meningkatkan palatabilitas pangan, memberikan warna dan aroma yang lebih menarik, serta menghemat biaya. Berdasarkan fungsinya, bahan tambahan pangan dapat dikelompokkan menjadi antioksidan, antikempal, asidulan, enzim, pemanis buatan, pemutih dan pematang, penambah gizi, pengawet, pengemulsi dan pemantap, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, sekuestran, serta BTP lain. 1. Bahan Pengawet Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mudah rusak. Bahan ini berfungsi menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Bahan pengawet yang digunakan untuk pangan sangat beragam jenisnya dan dipengaruhi keadaan produk atau bahan yang akan diawetkan.
Umumnya, bahan pengawet yang sering digunakan sebagai pengawet pangan adalah garam dapur, asam dan garam benzoat, sorbat, propionat, asetat, etilen oksida (Winarno, 1990). Berdasarkan batasan konsentrasi penggunaannya, bahan pengawet terbagi menjadi golongan GRAS (Generally Recognize As Safe) dan mempunyai nilai ADI (Acceptable Daily Intake). Golongan GRAS merupakan zat yang relatif aman dan tidak berefek toksik misalnya garam, gula, dan asam cuka, sedangkan golongan lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake) memiliki ketetapan batas penggunaan harian demi menjaga dan melindungi kesehatan konsumen (Winarno, 1990). Bahan pengawet yang sering digunakan untuk mencegah kerusakan oleh mikroba dan memperpanjang umur simpan produk cabe giling adalah garam dapur (NaCl) dan benzoat (Lubis, 2000). a. Garam Dapur (NaCl) Garam dapur selain bertujuan memberi rasa asin pada pangan, mampu mengurangi kelarutan oksigen dan mempengaruhi Aw suatu substrat dengan mekanisme penyerapan air dari media sehingga mengontrol pertumbuhan mikroba. Sifat antimikroba garam dapur dikontribusikan oleh ion klorida. Menurut Soekarto (1985), penggunaan garam untuk memberi rasa asin pada pangan biasanya digunakan 1-2% (b/v), sedangkan untuk pengawetan digunakan garam dapur sebanyak 5-15% (b/v). Ketahanan mikroba terhadap garam NaCl sangat bervariasi. Konsentrasi NaCl yang relatif rendah akan memacu pertumbuhan mikroba
sedangkan
konsentrasi
yang
tinggi
akan
menghambat
pertumbuhannya. Menurut Fardiaz (1992), penggunaan garam dapur sebanyak 10% dapat menghambat semua galur Clostridium botulinum. Kadar garam 10% setara dengan Aw 0.94. Bakteri koliform tidak tumbuh pada kadar garam yang cukup tinggi. Nilai Aw minimum untuk beberapa galur koliform adalah 0.96. Berdasarkan penelitian Lubis (2000), penambahan garam dapur pada konsentrasi 6% pada cabe giling sudah
mampu memenuhi fungsi garam sebagai pengawet dengan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri pembentuk spora. Rasa asin pada kadar tersebut pun dapat diterima panelis. b. Asam Benzoat Asam benzoat (C6H5COOH) merupakan bahan pengawet yang luas penggunaannya dan sering digunakan pada bahan pangan yang asam. Bahan ini efektif digunakan untuk mencegah pertumbuhan kamir dan bakteri. Benzoat efektif pada pH 2.5-4.0 dan menjadi kurang efektif pada pH >4.5 (Winarno, 1997). Menurut Lewis (1989), mekanisme aktivitas benzoat sebagai pengawet adalah kemampuan asam benzoat melisis membran sel mikroba sehingga
menghambat
aktivitas
metabolisme
sel,
mengganggu
penggunaan asetat sehingga tidak terbentuk energi untuk metabolisme, serta kemampuan asam benzoat melepaskan koenzim dengan enzim sehingga enzim menjadi inaktif. Benzoat lebih sering digunakan dalam bentuk garamnya karena kelarutan benzoat lebih besar dalam bentuk garamnya. Menurut Lewis (1989), kelarutan garam Na-benzoat pada suhu 25 0C dalam air sebesar 50 g/100ml, sedangkan kelarutan asam benzoat dalam air hanya 0.34 g/100ml. Garam benzoat dalam bahan pangan akan terurai menjadi bentuk efektif, yaitu bentuk asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Natrium benzoat lebih efektif membunuh kamir dibandingkan dengan bakteri. Kebutuhan Na-benzoat pada pH 2.3-3.4 agar efektif adalah sebesar 0.02-0.03%, sedangkan pada pH 3.5-4.0 sebesar 0.06-0.1% (Lewis, 1989). Asam benzoat memiliki toksisitas yang rendah bagi hewan dan manusia karena asam benzoat dalam tubuh mengalami mekanisme detoksifikasi, sehingga tidak terjadi pemupukan di dalam tubuh. Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh (Winarno, 1997). Batas maksimum penggunaan natrium
benzoat
dalam
bentuk
tunggal
(penggunaan
tidak
dikombinasikan dengan jenis bahan pengawet lain) untuk produk saus, sirup, acar timun, keju, dan pangan lain kecuali daging, ikan, dan unggas diatur
dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.722/Menkes/Per/IX/1988 adalah 1000 ppm. Pemakaian natrium benzoat yang berlebihan selain dapat mengakibatkan bau menyengat yang tidak enak dan rasa pahit juga dapat menimbulkan keracunan yang ditandai gejala pusing, mual dan muntah (Davidson et al.,1993). 2. Bahan Pewarna Zat warna yang terdapat pada pangan dapat berasal dari: (a) pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan, sebagai contoh klorofil yang memberi warna hijau, karoten yang memberi warna jingga sampai merah, dan mioglobin yang memberi warna merah pada daging, (b) reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan sehingga akan memberikan warna cokelat sampai kehitaman, contohnya pada kembang gula karamel, atau pada roti bakar, (c) reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi, reaksi ini memberikan warna gelap misalnya pada susu bubuk yang disimpan lama, (d) reaksi senyawa organik dengan udara (oksidasi) yang menghasilkan warna hitam, misalnya warna gelap atau hitam pada permukaan buah-buahan yang telah dipotong dan dibiarkan di udara terbuka beberapa waktu, dan (e) penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik (Winarno, 1997). Penggunaan zat pewarna dalam pangan umumnya ditambahkan untuk menyeragamkan warna dan menambah daya tarik dan penerimaan suatu bahan pangan. Penggunaan zat pewarna dalam pangan perlu diwaspadai karena hanya zat pewarna yang diizinkan saja yang boleh digunakan. Peraturan mengenai bahan pewarna sintetis yang diizinkan untuk pangan dan minuman di Indonesia diatur dalam Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan bahan pewarna yang dilarang digunakan di Indonesia diatur dalam Peraturan Menkes RI No. 239/Menkes/Per/V/85 dapat dilihat pada Tabel 3.
Menurut Winarno (1993), lebih dari 90% zat pewarna yang digunakan untuk pangan adalah zat pewarna sintetik dan ironisnya sering kali masih ditemukan produk pangan dan minuman yang mengandung zat pewarna nonpangan. Pemakaian zat pewarna yang tidak diizinkan ini akan membahayakan kesehatan. Bahan pewarna yang demikian disebut bahan kimia berbahaya (Winarno, 1990). Tabel 2. Zat warna yang diizinkan di Indonesia Warna Merah Oranye Hijau Biru Kuning Kuning Ungu Hijau Coklat
Nama Erythrosin Sunset yellow FCF Fast green FCF Brilliant Blue FCF Tartrazine Quineline FCF Violet GB Food green S Chocolate Brown Hr
Batas pemakaian (ppm) 15-300 12-300 100-300 100-300 secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya
Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetik non pangan berwarna merah yang banyak disalahgunakan dalam pengolahan bahan pangan. Hasil penelitian Djarisnawati et al. (2004) menunjukkan 63% cabe giling yang dijual di pasar tradisional di DKI Jakarta positif menggunakan Rhodamin B. Hastuti (2005) melaporkan 70% terasi yang digunakan pedagang di lingkar kampus IPB Darmaga Bogor positif mengandung Rhodamin B. Penelitian yang dilakukan Hasanah (2005) menunjukkan kandungan Rhodamin B sebesar 33.39 mg/100g dan 1.56 mg/100g pada makanan jajanan makaroni dan sosis di Sekolah Dasar di Bogor Tengah. Rhodamin B memiliki rumus molekul C28H31N2O3Cl dan berat molekul 479. Rhodamin B berbentuk kristal hijau atau serbuk ungukemerahan, dapat larut dalam air, alkohol, HCl, dan NaOH dan menghasilkan warna merah kebiruan dan berflouresensi kuat (Sihombing, 1987). Zat warna ini memiliki banyak sinonim nama antara lain: D & C Red no.19, Food Red 15, Briliant Pink B, ADC Rhodamin B, dan Rheonine B (Anonim, 2006).
Tabel 3. Zat warna sintetik yang dilarang di Indonesia Nama pewarna Ammaranth Auramin Black 7984 Butter Yellow Chocolate Brown FB Metanil Yellow Oil Orange SS Fast Yellow AB Berdasarkan
Peraturan
Nama pewarna Oil Yellow OB Orchil & Oreein Orange G Orange GGN Rhodamin B Sudan I Magenta Violet GB Menteri
Kesehatan
RI
No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang zat warna, Rhodamin B dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Rhodamin B no. Indeks 45170 (C. I. Food red 15) bersifat karsinogenik dan menyerang hati. Rhodamin B bersifat toksik, menghambat pertumbuhan mencit, menyebabkan diare, urin berflouresensi, bahkan dapat menyebabkan kematian lebih awal sekalipun dosis yang digunakan cukup rendah (0.117 mg/kg berat badan) (Basrah, 1987). Umumnya pewarna ini digunakan untuk pewarna kertas, wol, dan sutra. Rhodamin B tidak dapat dicerna oleh tubuh dan akan mengendap secara utuh dalam hati sehingga lambat laun dapat menyebabkan kerusakan hati. Rhodamin B juga menyebabkan kanker hati pada mencit (16.6%), kanker limfa pada tikus (8.3%), dan dilatasi kantung kemih pada tikus (11.1%) (Samsudin, 2004). Menurut Sihombing (1987), tikus yang diberi 1 g Rhodamin B ke dalam setiap 3 kg makanan menunjukkan perubahan prilaku tikus yang abnormal. Tikus tersebut menjadi cenderung agresif dan menunjukkan tanda-tanda kanibal, diskolorasi dan degradasi warna rambut dan kulit menjadi kemerah-merahan dan kasar. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Hokoriku Jepang, efek Rhodamin B pada kosmetik dapat menghambat proliferasi fibroblas pada kultur sistem. Rhodamin B pada takaran 25 µg/ml secara signifikan menyebabkan pengurangan sel setelah 72 jam dalam kultur. Rhodamin B juga dapat mengurangi jumlah sel vaskuler endothelial pembuluh darah sapi dan sel otot polos pada pembuluh darah hewan berkulit duri setelah 72 jam dalam kultur (Anonim, 2006).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. LOKASI DAN WAKTU Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel di kota Bogor dan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan selama lima bulan (Januari-Mei 2007). B. BAHAN DAN ALAT Bahan yang diteliti adalah cabe merah giling halus komersial dari pasar-pasar tradisional di kota Bogor, sedangkan untuk membuat cabe giling kontrol dibutuhkan cabe merah segar, garam dapur, natrium benzoat, dan air. Bahan- bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah aquades, larutan standar Rhodamin B, amonium hidroksida 2% dalam etanol, dietil eter, NaOH 10%, HCl 0.1 M, K2CrO4 5%, larutan AgNO3 0.1 M, NaCl, klorofom, NaOH 10%, alkohol, fenolftalin, NaOH 0.05 M. Bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah larutan pengencer NaCl 0.85%, 5% alfa naftol dalam 40% KOH, indikator merah metil, pereaksi Kovacs dan media pertumbuhan mikroba (Plate Count Agar, Acidified Potato Dextrose Agar, Vogel Johnson Agar, Brilliant Green Lactose Bile Broth, Eosin Methylen Blue Agar, Trypthone Broth, medium Koser Sitrat, dan medium MR-VP). Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia dan mikrobiologi antara lain: kertas Whatmann No.4, labu pemisah, rotary evaporator, penangas air, cawan aluminium, cawan porselen, desikator, penangas air, labu takar, oven, pHmeter Beckmann, spektrofotometer UV 2010, dan alat-alat gelas lainnya.
C. METODE PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian Studi Pendahuluan Perumusan masalah dan tujuan penelitian Studi pustaka Pengambilan data pasar di kota Bogor
Penyusunan kuisioner (Lampiran.1)
Jumlah pedagang cabe giling di kota Bogor Survei Kondisi Pedagang Pengumpulan data dengan kuisioner Analisis data Penentuan pedagang Keamanan Cabe Giling Komersil Sampling Analisis Analisis mikrobiologi total mikroba (TPC), kapang dan kamir, S. aureus, E. coli dan koliform, bakteri pembentuk spora
Analisis kimia kadar air, kadar NaCl, kadar natrium benzoat, Rhodamin B, nilai pH
Mutu cabe giling komersial Studi Penyimpanan cabe giling yang dibuat dengan penambahan natrium benzoat 0, 500, 1000 ppm
cabe giling kode G dan kode K (natrium benzoat di bawah batas maksimum, tidak mengandung Rhodamin B dan E.coli)
Pengamatan kerusakan selama penyimpanan suhu ruang (Analisis: pH, TPC, kapang dan kamir, bakteri pembentuk spora)
Penyusunan Laporan Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian 2. Studi Pendahuluan Penelitian dimulai dengan studi pendahuluan yang mencakup perumusan masalah dan tujuan penelitian, serta pencarian literatur yang relevan dengan cabe. Selanjutnya dilakukan survei awal untuk mengetahui jumlah pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor. Menurut data Badan Pusat Statistik (2006), pasar tradisional yang terdapat di wilayah kota Bogor ada tujuh yakni Pasar Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, dan Pasar Merdeka. Berdasarkan observasi yang dilakukan di tujuh pasar tradisional di kota Bogor diperoleh data jumlah pedagang cabe giling di kota Bogor adalah 30 pedagang yang tersebar di tujuh pasar tradisional di kota Bogor. Pedagang yang didata adalah pedagang cabe giling yang berada di dalam kawasan gedung utama pasar. 3. Survei Kondisi Pedagang Cabe Giling Pada tahap ini dilakukan survei untuk mengetahui kondisi pasar secara umum melalui pengisian kuisioner (Lampiran 1) dan wawancara terhadap 20 orang pedagang cabe giling yang bersedia menjadi responden. Pengumpulan data meliputi profil pedagang (usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin), skala usaha (jangka waktu menekuni usaha cabe giling, kapasitas produksi, pemasaran), dan kondisi sanitasi cabe giling di pasar. Data identitas pedagang yang bersedia menjadi responden dapat dilihat pada Lampiran 2, sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor dan jumlah pedagang yang bersedia menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 4. 4. Keamanan Pangan Cabe Giling Komersial Penentuan sampel yang dianalisis berdasarkan keterwakilan tiap pasar dan daya simpan cabe giling yang mereka jual. Data ini diperoleh dari hasil
survei (Lampiran 3) sehingga ditentukan pedagang yang akan dijadikan sebagai sampel akan mewakili tiap pasar di kota Bogor dengan daya simpan yang berbeda-beda. Identitas sampel dapat dilihat pada Lampiran 4. Pengambilan sampel dilakukan dua kali ulangan untuk masing-masing pedagang dengan selang waktu antara ulangan ke-1 dan ulangan ke-2 adalah dua minggu dari pengambilan sampel ulangan pertama pada pedagang yang sama. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari (± pukul 06.00 WIB). Sampel dibawa dari pasar ke Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dengan menggunakan es batu dan rice bucket. Untuk analisis Rhodamin B dilakukan pengambilan sampel untuk ulangan ke-3 yang dilakukan pada akhir bulan Mei karena variasi data pada ulangan ke-1 dan ke-2 yang tinggi. Analisis keamanan meliputi analisis pH, kadar natrium benzoat, kandungan zat pewarna Rhodamin B, kadar air serta uji mikrobiologi (jumlah total mikroba (TPC), kapang dan kamir, bakteri pembentuk spora, Staphylococcus aureus, E. coli dan koliform). Analisis dilakukan duplo untuk setiap ulangan. Tabel 4. Data sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor Nomor 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi Berjualan Pasar Bogor Pasar Kebon Kembang Pasar Padasuka Pasar Sukasari Pasar Gunung Batu Pasar Jambu dua Pasar Merdeka Total
Pedagang Cabe Giling 12 10 1 1 3 1 2 30
responden 5 7 1 1 3 1 2 20
5. Studi Penyimpanan Pada tahap ini dilakukan pengamatan kerusakan cabe giling komersial. Sampel yang dipilih untuk diamati adalah sampel cabe giling kode G dan kode K (Lampiran 4) karena memiliki mutu yang lebih baik (penggunaan kadar natrium benzoat masih dalam batas yang diizinkan, tidak
mengandung Rhodamin B dan E. coli) dibandingkan dengan cabe giling lainnya. Sampel ini dibandingkan dengan cabe giling yang dibuat tanpa penambahan natrium benzoat, dan dengan penambahan natrium benzoat 500 dan 1000 ppm. Pembuatan cabe giling dilakukan seperti pada Gambar 2. Penyimpanan dilakukan pada suhu kamar pada wadah tertutup. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dihentikan sampai cabe giling tidak dapat diterima lagi secara organoleptik (visual: mulai terbentuk kapang di permukaan atau lendir; aroma: mulai tercium bau busuk seperti asam atau apek). Parameter kerusakan yang diamati adalah nilai pH, total mikroba, jumlah kapang kamir, dan bakteri pembentuk spora. Analisis dilakukan duplo. Cabe merah segar
Disortasi Dicuci
Natrium benzoat 0, 500, 1000 ppm
5 % air,
Digiling halus
6% NaCl (b/b)
Cabe merah giling Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan cabe giling 6. Analisis a. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989) Contoh sebanyak 25 g diencerkan dengan 225 ml aquades kemudian
diaduk
hingga
homogen.
Pengukuran
pH
dilakukan
menggunakan alat pHmeter Beckmann. b. Kadar Natrium benzoat (Apriyantono et al., 1989) Natrium benzoat dianalisis secara kuantitatif. Prinsip analisis adalah menghitung ppm natrium benzoat dari hasil titrasi NaOH standar terhadap
residu asam benzoat yang diekstrak dari larutan natrium benzoat yang diasamkan dengan HCl berlebih. 1) Persiapan sampel 25 g sampel ditempatkan ke dalam gelas piala 250 ml dan ditambahkan 4 g NaCl. Gelas piala dibilas dengan larutan NaCl jenuh (26% b/v) dan ditambahkan NaOH 10% hingga pH menjadi alkali (diukur dengan pHmeter menunjukkan nilai pH ±8.0). Kemudian ditempatkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan larutan NaCl jenuh. Kemudian dibiarkan semalaman dalam shaker suhu ruang. Larutan disaring dengan kertas Whatmann No.4. 2) Penetapan sampel Filtrat contoh dipipet sebanyak 50 ml dan ditempatkan dalam labu pemisah. Kemudian dinetralkan dengan penambahan HCl (diukur dengan pHmeter menunjukkan nilai pH ±7.0), kemudian ditambahkan 2.5 ml HCl. Larutan yang telah dinetralkan diekstrak menggunakan klorofom beberapa kali dengan volume kloroform 30, 30, dan 25 ml. Lapisan klorofom yang terbentuk dipisahkan dari emulsi. Kemudian ekstrak kloroform diuapkan dalam waterbath hingga kloroform menguap dan diperoleh residu asam benzoat. Residu asam benzoat dilarutkan dalam 50 ml alkohol, ditambahkan 15 ml aquades dan 1-2 tetes fenolftalin kemudian dititrasi dengan NaOH 0.05 N. Kadar natrium benzoat (ppm Na-benzoat anhidrat) dihitung dengan rumus = Vtiter x N NaOH x BM Na-benzoat x V1x 106 V2 x berat sampel (gram) Keterangan: Vtiter
= Volume NaOH titran yang digunakan (liter)
N NaOH
= Normalitas NaOH yang digunakan (0.05 N)
BM Na-benzoat = Bobot Molekul natrium benzoat (144) V1
= Volume larutan persiapan sampel (ml)
106
= Faktor konversi bilangan ppm
V2
= Volume penetapan sampel (ml)
c. Kadar Air (Harjadi, 1993) Cawan dikeringkan pada oven suhu 195 0C selama 30 menit. Kemudian ditimbang setelah sebelumnya didinginkan dalam desikator terlebih dahulu. Sebanyak tiga gram contoh dimasukkan kedalam cawan, kemudian dikeringkan pada oven suhu 105 0C selama tiga jam. Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh dikeringkan kembali selama 15-30 menit, lalu contoh ditimbang kembali hingga diperoleh berat relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang
0.0003 g). Kadar air dihitung sebagai
persentase kehilangan berat contoh. d. Kadar NaCl (Apriyantono et al., 1989) Kadar NaCl dianalisis dengan metode Mohr. Metode ini dilakukan dengan mentitrasi sampel kering hasil pengabuan dengan titran perak nitrat (AgNO3). Cawan dikeringkan pada suhu 550 0C selama 15 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator. Sampel ditimbang dan dimasukkan kedalam cawan, kemudian dikeringkan pada suhu 550 0C selama enam jam atau hingga diperoleh abu putih. Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang hingga diperoleh berat yang tetap. Abu ditempatkan dalam cawan dan dibilas dengan 10-15 ml aquades. Kemudian larutan abu tersebut dipindahkan kedalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan 1 ml larutan K2CrO4 5%. Titrasi dengan larutan AgNO3 0.1 M hingga larutan sampel berwarna oranye merah. Kadar NaCl (%b/b) dihitung dengan rumus = M AgNO3 x V AgNO3 x BM NaCl x 100% berat sampel (gram) Keterangan: M AgNO3 = Molaritas AgNO3 yang digunakan (0.1 M) V AgNO3 = Volume AgNO3 yang terpakai sebagai titran (liter)
BM NaCl = Bobot Molekul NaCl (58.4) e. Zat pewarna Rhodamin B (Metode Analisis 16/MM/00 PPOMN-BPOM) Prinsip analisis dengan metode ini adalah ekstraksi zat warna Rhodamin
B
dalam
sampel.
Ekstrak
diidentifikasi
dengan
membandingkan profil kurva serapan maksimum sampel dengan kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B. 1) Persiapan larutan standar Rhodamin B 0.01 gram Rhodamin B (BM= 479) dilarutkan dalam 100 ml HCl 0.1 N sehingga diperoleh larutan standar Rhodamin B 2.09 x 104 M (±200 ppm Molaritas). Larutan ini diencerkan hingga 5 ppm agar tidak terlalu pekat sehingga serapan larutan dapat terbaca alat spektrofotometer. 2) Penentuan sampel 20 gram sampel dilarutkan dalam 50 ml larutan NH4OH 2% dalam etanol, didiamkan kemudian disaring. Cairan diuapkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh filtrat. Filtrat dilarutkan dalam aquades 30 ml, ditambahkan NaOH 10%, dan diekstraksi menggunakan eter 30 ml. Ekstrak eter dicuci dengan 20 ml NaOH 5% dan dilakukan pengekstrakan menggunakan eter 30 ml sekali lagi. Kemudian ekstrak dicuci dengan 20 ml HCl 0.1 N hingga lapisan asam berwarna merah. 3) Pengukuran spektrofotometri Lapisan berwarna merah diukur absorbansinya untuk memperoleh kurva serapan maksimumnya dengan alat spektrofotometer HITACHI UV 2010 pada setiap panjang gelombang (scanning) dengan interval 450-600 nm, sehingga diketahui daerah spektrum yang diserap. Profil serapan
maksimum
sampel
dibandingkan
dengan
profil
serapan
maksimum larutan standar Rhodamin B. Sampel positif mengandung Rhodamin B jika profil serapan maksimum sampel sama dengan profil serapan larutan standar Rhodamin B. f. Analisis mikrobiologi (BAM, 2002)
Contoh sebanyak 25 g diencerkan dengan 225 pelarut garam fisiologis (NaCl 0.85%) kemudian dilakukan pengenceran menjadi beberapa seri pengenceran. Hasil pengenceran contoh dipipet satu ml dan dipupuk dengan media sebanyak ±10 ml. Untuk uji bakteri pembentuk spora, sampel dari pengenceran 10-1 dipanaskan dalam penangas air pada suhu 80 0C selama 15 menit. Setelah dibuat seri pengenceran yang sesuai, dilakukan pemupukan dengan media Plate Count Agar (untuk uji total mikroba dan uji bakteri pembentuk
spora),
media
Vogel
Johnson
Agar
(untuk
uji
Staphylococcus aureus), dan media Acidified Potato Dextrose Agar (untuk uji total kapang dan kamir). Kemudian cawan diputar membentuk angka delapan. Diamkan hingga agar membeku kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung berdasarkan Standard Plate Count. Untuk analisis koliform dan E. coli analisis terdiri dari uji penduga, penguat dan pelengkap. 1) Uji penduga Untuk uji penduga, sampel dari pengenceran 10-1 dibuat menjadi pengenceran 10-2, 10-3, dan 10-4 kemudian dipupuk menggunakan media Brilliant Green Lactose Bile Broth dalam tabung reaksi yang berisi tabung durham. Selanjutnya media tersebut diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 hari. Jumlah tabung positif (keruh atau terbentuk gas didalamnya) selanjutnya dicocokkan dengan tabel MPN 3 seri. 2) Uji penguat Tabung positif pada uji penduga dipilih dan diambil 1-2 ose kemudian digoreskan pada media Eosin Methylene Blue (EMB) dalam cawan petri. Selanjutnya cawan diinkubasikan pada suhu 37 0C selama 2 hari. Koloni koliform fekal (E. coli) berwarna gelap dengan sinar hijau metalik (keemasan) berdiameter 0.5-1.5 mm, sedangkan koloni koliform non-fekal memiliki diameter lebih besar (1.0-3.0 mm) dan berwarna merah muda dan bagian tengahnya gelap (seperti mata ikan). 3) Uji pelengkap
Uji pelengkap dilakukan dengan uji IMViC untuk mengetahui jenis koliform dalam sampel. Koloni fekal dan non-fekal disuspensikan kedalam 2 ml larutan pengencer. Selanjutnya 0.5 ml suspensi bakteri tersebut diinokulasikan ke dalam tabung masing-masing berisi media Tryptone Broth, media Kosser sitrat, dan medium MR-VP. Tabel 5. Uji IMViC terhadap koliform Uji
Medium
Pereaksi
Reaksi Positif
Indol
Trypthone Broth
Kovacs
Merah
Merah metil
MR-VP
Merah metil
Merah
Voges Proskauer
MR-VP
5% alfa naftol Merah tua dan 40% KOH
Sitrat
Koser Sitrat
Keruh
Semua tabung diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 hari kecuali satu tabung MR-VP diinkubasi selama 5 hari. Selanjutnya dilakukan uji IMViC dengan menambahkan pereaksi seperti yang tertera pada Tabel 5. Sedangkan untuk uji jenis koliform dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Uji jenis koliform Koliform
Jenis koliform E. coli (Fekal)
E.aerogenes (Nonfekal)
Indol
+
-
Merah metil
+
-
Voges Proskauer
-
+
Sitrat
-
+
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KONDISI UMUM PEDAGANG CABE GILING DI KOTA BOGOR 1. Profil dan Skala Usaha Pedagang Cabe Giling di Kota Bogor Berdasarkan data hasil survei pada para pedagang cabe giling, pedagang cabe giling di kota Bogor didominasi pria (85%) dan sisanya (15%) berjenis kelamin wanita. Sebagian besar (50%) pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor memiliki pendidikan terakhir Sekolah Menengah Umum. Persentase tingkat pendidikan pedagang cabe giling dapat dilihat pada Gambar 3. Data hasil kuisoner selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. Tidak Tamat SD 15% SMU 50% SMP 10%
SD 25%
Gambar 3. Tingkat pendidikan pedagang cabe giling Pengalaman pedagang cabe giling dalam menjalankan usahanya bervariasi. Sebanyak 40% pedagang baru berjualan cabe giling kurang dari 5 tahun (Gambar 4). Pedagang umumnya berjualan mulai dari pagi atau dinihari hingga sore. Namun adapula yang berjualan mulai dari dinihari hingga malam hari, bahkan ada pedagang cabe giling yang berjualan 24 jam. Pedagang yang berjualan 24 jam berlokasi di Pasar Bogor dan Pasar Anyar karena kedua pasar tergolong pasar yang cukup besar dan banyak pedagang grosir sehingga roda perekonomian berjalan sehari semalam tanpa henti.
5-10 tahun 35% > 10 tahun 25% < 5 tahun 40%
Gambar 4. Jangka waktu menekuni usaha berjualan cabe giling Volume cabe giling yang dijual pedagang perhari cukup variatif. Sebanyak 60% pedagang menjual cabe giling lebih dari 10 kg per hari, sedangkan 35% pedagang menjual cabe giling 5-10 kg per hari, dan 5% pedagang menjual cabe giling kurang dari 5 kg per hari. Hal ini menunjukkan konsumsi cabe giling di kota Bogor cukup banyak, bisa mencapai lebih dari 275 kg per hari atau lebih dari 2 kwintal per hari. Hal ini membuktikan cabe giling merupakan salah satu komoditi yang banyak digunakan sebagai bahan berbagai jenis bumbu masakan disamping konsumsi cabe segar. Harga cabe giling yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor berfluktuatif mengikuti harga cabe utuh. Harga cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor berkisar lebih dari Rp 20.000 per kg (35%), Rp 15.000-Rp 20.000 per kg (60%), dan Rp 15.000 per kg (5%). Perbedaan harga dapat disebabkan karena perbedaan varietas cabe yang mereka gunakan, dan dapat pula menjadi indikator baik tidaknya mutu bahan baku yang mereka pergunakan. Dengan biaya bahan baku yang lebih rendah, dapat menekan harga jual cabe giling. Dengan melihat harga jual cabe giling per kg maka dapat diperkirakan omset penjualan cabe giling di kota Bogor minimal mencapai Rp 4.125.000 per hari. Hal ini menunjukkan cabe giling merupakan salah satu komoditi sehari-hari yang cukup berkontribusi dalam perekonomian masyarakat kota Bogor.
2. Produksi Cabe Giling Pedagang cabe giling di kota Bogor memproduksi sendiri cabe giling yang mereka jual. Berdasarkan hasil survei, cabe giling yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor berbahan baku utama cabe merah yang diolah dengan penambahan air dan garam (Tabel 7). Tabel 7. Bahan baku yang digunakan pedagang cabe giling Bahan baku selain cabe Garam dapur Respon responden
100%
Air 60%
Pengawet Pewarna
Lainnya
0
0
0
Seluruh pedagang (100%) selain menggunakan cabe merah juga menggunakan bahan baku garam. Garam yang digunakan umumnya garam kasar, karena alasan lebih ekonomis dibanding garam halus (garam meja). Menurut Nasoetion dan Karyadi (1988), garam kasar dibuat tanpa proses pemurnian (refining) yang baik dan umumnya dilakukan secara sederhana sehingga seringkali terdapat kontaminasi fisik seperti pasir, kotoran plastik, dan bebatuan kecil. Hal ini dapat berdampak pada cabe giling yang dibuat karena bahan baku yang baik dapat menghasilkan produk yang baik. Tujuan utama pedagang menambahkan garam untuk memperlambat kerusakan cabe giling yang mereka jual namun tidak memberi rasa yang terlalu asin. Meski demikian para pedagang umumnya tidak mengetahui secara pasti berapa banyak (g/kg) jumlah garam yang mereka tambahkan. Hal ini disebabkan ketidakbakuan satuan pengukuran yang mereka gunakan. Mereka umumnya menambahkan garam dalam takaran sendok makan bahkan tak jarang beberapa dari mereka menambahkan garam dengan tangan. Lain halnya dengan 30% pedagang yang mengetahui penambahan garam yang mereka lakukan karena mereka menggunakan garam dalam kemasan ukuran tertentu sehingga ukuran penambahan garam dapat dinyatakan dalam jumlah yang jelas. Mereka mengaku penambahan berkisar berkisar 5-100 g/kg cabe (0.5-10%).
Sebanyak 60% pedagang menambahkan air pada cabe giling yang mereka jual. Alasan mereka menambahkan air adalah untuk mempermudah proses penggilingan dan memperoleh cabe giling yang tidak terlalu bulky, diperoleh rendemen lebih banyak dan menguntungkan mereka. Dari 60% jumlah
pedagang
yang
menambahkan
air
tesebut
sekitar
33.3%
menambahkan air dengan takaran tertentu, yakni berkisar 30-50 ml/kg cabe yang digiling. Sedangkan sisanya (40%) pedagang tidak menambahkan air pada cabe gilingnya karena merasa cabe sudah cukup berair saat penggilingan dan mereka justru beranggapan penambahan air akan menghasilkan cabe giling yang encer. Berdasarkan wawancara dan pengamatan, air yang digunakan untuk campuran maupun mencuci berasal dari PDAM. Berdasarkan pengamatan hampir seluruh pedagang memiliki mesin penggiling di kios mereka, sehingga penggilingan cabe giling dilakukan di pasar dan menggunakan air yang tersedia dari pengelola pasar, kecuali pedagang di Pasar Sukasari menggiling cabe gilingnya ditempat penggilingan karena tidak memiliki mesin penggilingan sendiri. Pedagang cabe giling (90%) menjual cabe gilingnya dengan cara dicurah dalam wadah dan baru ditempatkan di kantung plastik saat konsumen membeli. Wadah tempat cabe giling tersebut biasanya terbuat dari plastik seperti stoples atau bak plastik tanpa ditutup. Hal ini dapat memberi peluang besar terjadi kontaminasi baik kontaminasi fisik seperti debu, maupun kontaminasi biologi seperti bakteri, kapang, kamir, serta parasit. Terlebih lagi melihat kondisi lokasi pasar tradisional yang becek dan lembab, penetrasi sinar matahari kurang serta ventilasi udara yang kurang baik dapat memperbesar peluang kontaminasi terjadi. Sedangkan 10% pedagang lainnya menjual cabe giling sudah dalam kemasan kantung plastik berbagai ukuran. Hal ini disebabkan karena mereka sudah memiliki pelanggan tetap dan pembelian berdasarkan pesanan. Cabe giling di pasar tradisional (75%) seringkali tidak habis terjual dalam satu hari, dan hanya 25% cabe giling yang habis terjual tiap harinya. Pedagang tersebut umumnya (80%) menyimpan sisa cabe giling yang tersisa
di kios mereka hanya dalam wadah tertutup tanpa diberi es (Gambar 5). Umumnya wadah yang digunakan para pedagang untuk menyimpan cabe giling yang tersisa adalah ember plastik atau stoples bertutup. Meski penempatan cabe giling dalam wadah tertutup dapat mengurangi kontaminasi debu, mikroba, serta parasit selama penyimpanan, namun kondisi suhu ruang dan tanpa diberi es tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk selama penyimpanan, sehingga cara ini kurang efektif menghambat kerusakan. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), penyimpanan pangan pada suhu rendah dapat mengendalikan pertumbuhan mikroba. Kendala pedagang tidak melakukan penyimpanan suhu rendah dikarenakan para pedagang tidak memiliki lemari es di kios mereka. Alternatif yang dapat diupayakan adalah sebaiknya pedagang menyimpan cabe giling tersebut di dalam kantung plastik dan dimasukkan kedalam wadah yang berisi es, sehingga dapat memperlambat kerusakan cabe giling.
Gambar 5. Cara penyimpanan cabe giling yang tidak habis terjual Sebanyak 15% pedagang membawa cabe giling sisa ke rumahnya untuk disimpan dalam lemari es. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga mutu cabe giling agar tidak mudah rusak. Tindakan ini sudah tepat dilakukan pedagang karena proses pendinginan dapat memperlambat reaksi-reaksi dalam bahan pangan, begitu pula dengan proses perkembangbiakan mikroba menjadi terhambat. Hampir semua lemari es dioperasikan pada suhu 1-5 0C dan dapat dipakai sebagai tempat penyimpanan jangka pendek (Gaman dan Sherrington, 1981). Sedangkan 5% pedagang membiarkan cabe giling yang
tersisa dalam wadah yang digunakan sebagai tempat menyajikannya tanpa ditutup dan tanpa diberi es (Gambar 5). Penyimpanan di tempat terbuka ini dapat menyebabkan cabe giling mudah terkontaminasi dan menjadi lebih cepat rusak. Cabe giling yang tersisa biasanya disimpan untuk dijual esok harinya. Tindakan ini dilakukan para pedagang untuk menghindari kerugian dibandingkan jika mereka harus membuang cabe giling setiap kali tidak terjual habis dalam satu hari. Sebanyak 35% pedagang menjual cabe giling sisa tersebut dengan cara mencampurkannya dengan cabe giling yang baru dan segar. Rasio antara campuran cabe giling baru dan cabe giling sisa relatif tidak dapat dipastikan setiap harinya karena tergantung cabe giling yang tersisa dan kapasitas wadah tempat menjual cabe giling tersebut. Rasio pencampuran bisa mencapai 1:1 jika masih banyak cabe giling yang tersisa dan memenuhi setengah bagian wadah dan untuk memenuhi wadah tersebut berarti penambahan cabe giling baru pun setengah dari wadah tersebut. Sedangkan 65% pedagang menjual sisa cabe giling tersebut tanpa dicampur dengan cabe giling yang baru dan segar, mereka baru akan memproduksi kembali cabe giling jika cabe giling sisa sudah habis terjual. Sebaiknya pedagang tidak mencampur antara cabe giling sisa dan cabe giling yang baru untuk dijual kembali karena hal ini dapat menurunkan mutu cabe giling yang baru secara keseluruhan. Cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor menurut pedagang dapat bertahan 2 hingga lebih dari 8 hari. Umumnya (70%) cabe giling dapat bertahan hingga 2 hari, dan hanya 15% cabe giling yang dapat bertahan lebih dari 8 hari (Gambar 6). Meski demikian para pedagang ini sangat jarang menyimpan dan menjual cabe giling tersebut hingga lebih dari 3 hari karena mereka khawatir mengalami kerugian. Mereka akan mengurangi produksi jika merasa masih memiliki banyak stok cabe giling. Mereka membuat cabe giling sesuai kondisi pasar. Mereka menyediakan cabe giling secukupnya dan baru akan menambah kuantitas produksi mereka jika persediaan yang di display sudah sedikit atau habis sama sekali.
4 hari 10%
2 hari 70%
8 hari 5% > 8 hari 15%
Gambar 6. Daya tahan cabe giling versi pedagang Perbedaan daya tahan cabe giling di pasar dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya cara penanganan bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan, dan pemasaran yang dilakukan masing-masing pedagang. Kandungan nutrisi pada cabe serta kondisi pasar tradisional yang kondusif terhadap kontaminasi dapat menjadi faktor penyebab kerusakan cabe giling sehingga cabe giling tidak dapat bertahan lama. Penanganan bahan baku dan proses pengolahan yang dilakukan dengan baik dapat mengurangi jumlah mikroba awal pada cabe giling sehingga dapat memperpanjang
daya
tahan
cabe
giling.
Penelitian
Lubis
(2000)
menunjukkan cabe giling yang dibuat dengan pemanasan microwave selama dua menit dan autoclave serta penambahan natrium benzoat 0.05, 0.75, dan 0.1% dapat bertahan hingga 35 hari. 3. Upaya Pedagang Untuk Menjamin Keamanan Cabe Giling Berdasarkan tingkat pendidikan (Gambar 1), sebagian besar pedagang diperkirakan sudah mengerti pentingnya menjaga kebersihan. Hal ini diperkuat dengan pengakuan para pedagang dalam kuisioner mengenai upaya menjaga kebersihan cabe giling yang mereka jual. Usaha para pedagang dalam menjaga kebersihan cabe giling antara lain dengan menggunakan bahan baku yang segar dan bersih, mencuci tangan, membersihkan kios/tempat mereka berjualan, membersihkan alat seperti mesin penggiling cabe, sendok, wadah penampung dan bahan utama
yaitu cabe yang akan digiling. Meski demikian, upaya-upaya pembersihan yang mereka lakukan masih kurang tepat karena belum memenuhi cara sanitasi yang benar. Menurut Winarno (1993), semua peralatan yang mempunyai peluang bersentuhan dengan bahan pangan harus selalu dijaga dalam keadaan bersih. Peralatan-peralatan seperti bejana, pisau, penggilingan, pengaduk, talenan, panci dan piring perlu digosok, dicuci dengan detergen dan air hangat kemudian dibilas dengan air bersih, sedangkan para pedagang hanya menggunakan air tanpa sabun untuk membersihkan alat karena mereka beranggapan residu sabun akan meninggalkan aroma sabun pada cabe giling mereka, selain itu dapat membuat alat cepat berkarat. Begitu pula saat mereka
mencuci
Gambar
7
tangan,
menunjukkan
mereka sebagian
melakukannya besar
(85%)
tanpa pedagang
sabun. sudah
membersihkan alat dan bahan sebelum berjualan.
Sebelum berjualan 85%
Sesudah berjualan 5% Bila terlihat kotor 10%
Gambar 7. Waktu pedagang membersihkan alat dan bahan Umumnya (80%) pedagang membersihkan alat seperti sendok, pengaduk, wadah bak plastik dan bahan dengan air tergenang yang ditempatkan dalam wadah seperti bak plastik atau ember, kecuali mesin penggiling dibersihkan dengan cara menyiramnya dengan air yang dialirkan dari kran melalui selang-selang yang tersedia, sisanya (20%) membersihkan alat dan bahan dengan langsung mengalirkan air dari selang tersebut atau menyiramkan air dengan gayung ke alat dan bahan yang akan dicuci. Tindakan pedagang yang mencuci dengan air tergenang dapat dikatakan kurang tepat, karena air yang tergenang ini dapat menjadi sumber
kontaminasi bagi peralatan. Penanganan air pencuci yang baik sangat diperlukan karena itu sebaiknya pedagang menggunakan air yang dialirkan langsung dari kran atau dialirkan (disiram) menggunakan gayung dan menggunakan sabun untuk mencuci peralatan, atau jika tetap menggunakan air tergenang maka sebaiknya air pencuci sering diganti untuk mengurangi peluang terjadinya kontaminasi. Frekuensi penggunaan air tersebut harus dibatasi hanya untuk sekali penggunaan saja dan jumlah air harus menggenangi seluruh bagian bahan atau alat yang dicuci. 4. Upaya Pengelola Pasar Dalam Memantau Keadaan Pasar Selama ini pihak pengelola pasar dianggap kurang memberi perhatian berupa pemantauan keadaan atau kondisi pasar dan para pedagang. Sebanyak 45% pedagang merasa tidak ada perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar, sebaliknya 40% pedagang merasa pihak pengelola pasar sudah rutin memantau dan memperhatikan keadaan pasar. Respon pedagang terhadap perhatian pihak pengelola pasar dapat dilihat pada Gambar 8. Perhatian pihak pengelola pasar hanya sebatas ajakan dan himbauan menjaga kebersihan pasar. Namun tidak mengontrol pelaksanaan kebersihan pasar. Rendahnya perhatian pengelola pasar terhadap kondisi sarana dan prasarana di pasar tercermin dari kondisi pasar yang becek, gelap dan lembab. Kondisi pasar yang kurang mendapat perhatian pengelola pasar juga tercermin dari konstruksi kios yang buruk seperti lantai yang kotor dan tak bersemen, kurangnya ventilasi udara dan penetrasi sinar matahari, dan lubang-lubang pada atap dan meja pada bangunan kios-kios di pasar, pembuangan sampah sembarangan, dan selokan yang tersumbat. Hal ini seharusnya membuat pihak pengelola lebih peduli dan membenahi penyediaan sarana dan prasarana di pasar. Selain itu pihak pengelola perlu bertindak tegas dalam menertibkan banyaknya pedagang yang berjualan disepanjang jalan atau pelataran kios yang semakin membuat kondisi pasar menjadi tidak teratur, padat, dan pengap.
Kadangkadang 15% Ya 40%
Tidak 45%
Gambar 8. Perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar Penyuluhan tentang keamanan pangan pernah dilakukan pihak pengelola pasar. Hal ini diakui oleh 10% pedagang yang mengaku pernah dilakukan penyuluhan keamanan pangan dan kebersihan, yakni saat marak kasus pengawet formalin dan borak di Indonesia kurang lebih dua tahun silam. Namun baik 90% pedagang yang menyatakan tidak pernah ada penyuluhan, maupun 10% pedagang yang menyatakan pernah ada penyuluhan, tidak pernah mengikuti penyuluhan tersebut dengan alasan tidak sempat dan tidak tertarik karena penyampaian materi penyuluhan yang kurang menarik. Pihak pengelola pasar seharusnya lebih giat memberikan penyuluhan tentang keamanan pangan agar mutu cabe giling secara umum dapat
lebih
ditingkatkan.
Penyuluhan
sebaiknya
dilakukan
dengan
penyampaian materi yang lebih atraktif dan menarik, agar pedagang bersedia mengikuti penyuluhan dan memotivasi pedagang untuk selalu menjaga mutu dan keamanan cabe giling serta kebersihan lingkungan pasar. B. KEAMANAN PANGAN CABE GILING KOMERSIAL Cabe giling dapat dikatakan sebagai produk setengah jadi karena untuk mengkonsumsinya perlu pengolahan lebih lanjut. Penanganan cabe giling komersial mulai dari sederhana.
Pengolahan
pra pengolahan hingga penjualan masih tergolong tanpa
pemanasan
dapat
menimbulkan
risiko
kontaminasi mikroba yang tinggi dan dapat menimbulkan masalah terhadap kesehatan konsumen. Analisis keamanan cabe giling dilakukan terhadap cabe giling dari 12 pedagang yang mewakili sampel cabe giling di setiap pasar dan
mewakili daya tahan cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor. Identitas sampel dapat dilihat pada Lampiran 4. 1. Keamanan Kimiawi Cabe Giling Komposisi kimia dapat menjadi salah satu indikator mutu suatu produk. Sifat kimia bahan pangan sering mengalami perubahan-perubahan baik yang diharapkan maupun tidak diharapkan selama penanganan pengolahan hingga dikonsumsi. Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar terjadi akibat adanya reaksi kimia di dalam bahan pangan maupun akibat pengaruh lingkungan. Mutu kimiawi cabe giling yang diamati pada penelitian ini meliputi pH, kadar air, kadar garam, serta bahan tambahan lainnya yang diperkirakan digunakan pedagang. Hasil pengamatan mutu kimiawi cabe giling dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Mutu kimiawi cabe giling Sampel A B C D E F G H I J K L Rata-rata
Nilai pH 5.6 ± 0.0 4.8 ± 0.0 5.5 ± 0.2 5.2 ± 0.2 4.7 ± 0.2 5.4 ± 0.5 4.7 ± 0.1 5.4 ± 0.1 4.9 ± 0.3 5.0 ± 0.2 5.1 ± 0.1 4.7 ± 0.1 5.1 ± 0.2
Kadar NaCl (% b/b) 6.2 ± 0.2 6.5 ± 0.5 5.9 ± 0.2 6.9 ± 0.5 6.5 ± 0.5 5.8 ± 0.4 6.1 ± 0.2 5.5 ± 0.2 6.2 ± 0.2 6.8 ± 0.7 6.1 ± 0.1 4.7 ± 0.3 6.1 ± 0.3
Kadar Air (% bb) 77.8 ± 3.0 86.8 ± 5.0 76.3 ± 3.0 85.1 ± 1.0 81.1 ± 1.0 81.1 ± 1.0 83.5 ± 1.0 81.7 ± 1.0 75.6 ± 0.0 78.7 ± 0.0 85.5 ± 1.0 71.6 ± 1.0 80.4 ± 1.5
Kadar Natrium benzoat (ppm) 1231 ± 232 1038 ± 24 669 ± 64 1359 ± 19 968 ± 168 385 ± 60 428 ± 80 724 ± 115 1284 ± 89 412 ± 66 326 ± 6 398 ± 80 768.5 ± 84
Hingga saat ini belum ada standar yang mengatur mutu cabe giling. Syarat mutu cabe giling yang baik masih merujuk pada mutu cabe utuh dan saus cabe karena definisi cabe giling mirip dengan definisi saus cabe menurut SNI 01-2976-1992 yaitu hasil olahan cabe yang sudah matang dan
baik dengan tambahan bahan-bahan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan. a. Nilai pH Hasil pengamatan nilai rata-rata pH cabe giling komersial berkisar 4.7–5.6 (Tabel 8). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), pH cabe giling berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor seperti perbedaan varietas cabe yang digunakan, derajat kematangan cabe, dan penanganan selama pengolahan hingga tata cara penjualan cabe giling yang dilakukan para pedagang tersebut. Cabe giling merupakan hasil olahan cabe merah (termasuk kelompok sayur-sayuran) sehingga pH cabe giling berada pada kisaran pH sayur-sayuran yang tergolong pangan pH rendah. Menurut Fardiaz (1992), berdasarkan nilai pH dan keasaman, pangan dikelompokkan menjadi pangan berasam rendah (pH >4.5), pangan berasam sedang (pH 3.7–4.5), dan pangan berasam tinggi (pH <3.7). Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH, cabe giling termasuk kelompok pangan berasam rendah karena memiliki pH >4.5. Mikroba seperti kapang, kamir, bakteri asam laktat, koliform, dan beberapa jenis bakteri lainnya dapat tumbuh pada makanan berasam rendah. Nilai pH cabe giling halus dengan metode microwave dan autoklaf hasil penelitian Lubis (2000) adalah 5.9–6.1 dan 5.7–6.9. Nilai pH tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai pH cabe giling pada penelitian ini. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan varietas cabe yang digunakan, derajat kematangan cabe, dan penanganan selama pengolahan. Pemanasan microwave dan autoklaf dapat mengurangi jumlah mikroba awal pada cabe sehingga aktivitas mikroba yang menghasilkan metabolit dan berakibat penurunan pH dapat direduksi. Sedangkan jika dibandingkan dengan nilai pH cabe giling hasil penelitian Wati (1997) yaitu 3.2–3.3, cabe giling ini memiliki nilai pH yang lebih tinggi. Hal ini karena cabe
giling hasil penelitian Wati (1997) ditambahkan 57% ml asam asetat 25% (v/v). b. Kadar Garam (NaCl) Garam dapur (NaCl) sudah sejak lama dikenal masyarakat sebagai pemberi rasa asin dan dapat mencegah kebusukan. Garam termasuk bahan pengawet GRAS (Generally Recognize as Safe) sehingga aman dan tidak berefek toksik (Davidson et al., 1993). Kadar garam cabe giling rata-rata berkisar 4.7-6.9% (b/b) (Tabel 8). Penambahan garam dilakukan para pedagang untuk memperlambat kerusakan cabe giling yang mereka jual tetapi diusahakan tidak menimbulkan rasa yang terlalu asin. Kadar garam yang terdapat pada cabe giling sudah dapat berfungsi sebagai pengawet karena menurut Soekarto (1985), penggunaan garam sebanyak 5-15% dapat berfungsi sebagai pengawet pangan. Menurut penelitian Lubis (2000) penambahan garam 6% terhadap cabe giling dapat diterima panelis. Hal ini juga diakui pedagang yang merasa belum ada konsumen yang mengeluh karena rasa cabe giling yang terlalu asin. Kadar garam tertinggi (6.9% b/b) dimiliki oleh cabe giling D, sedangkan cabe giling dengan kadar garam terendah adalah sampel L (4.7% b/b). Kadar garam yang dimiliki masing-masing sampel ternyata berbeda nyata pada taraf 5%. Hasil ini ditunjukkan oleh hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5). Hal ini dapat disebabkan perbedaan kadar penambahan garam yang dilakukan para pedagang. Pada Tabel 8, nilai standar deviasi kadar garam cabe giling juga menunjukkan nilai yang tinggi (>5%) pada beberapa sampel yaitu B, D, E, F, dan J. Hal ini menunjukkan penambahan garam terhadap cabe giling cukup bervariasi. Hal ini dapat dikarenakan penambahan garam oleh pedagang terhadap cabe giling dilakukan tanpa takaran yang pasti. Berdasarkan survei pada tahap awal, pedagang B, D, E, F, J, dan L merupakan pedagang yang menambahkan garam tanpa takaran tertentu (Lampiran 4). Sedangkan untuk sampel A, C, dan I pedagang mengaku menambahkan garam dengan takaran tertentu yaitu ±100 g/kg cabe utuh yang digiling, sehingga
dengan adanya takaran tertentu menyebabkan variasi kadar garam sampel A, C, dan I lebih rendah dibandingkan dengan sampel lainnya karena penambahan garam relatif dilakukan dengan terukur. Namun kadar garam yang terukur pada sampel A, C, dan I lebih rendah (5.9-6.2% b/b) dibandingkan pengakuan mereka yang menambahkan garam sebesar 10%. Hal ini dapat disebabkan garam yang ditambahkan memiliki mutu kurang baik sehingga mengandung NaCl yang tidak murni dan masih mengandung mineral dan campuran lainnya yang mungkin berasal dari kontaminan fisik yang dapat menambah bobot garam, sedangkan yang terukur dalam penelitian ini hanya kadar garam NaCl. c. Kadar Air Hasil pengamtan pada Tabel 8 menunjukkan kadar air cabe giling berkisar 71.6-86.8% (b/b). Hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5) menunjukkan kadar air cabe giling berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan perbedaan varietas cabe yang digunakan dan volume penambahan air pada cabe giling yang dijual. Beberapa pedagang mengaku menambahkan air ke dalam cabe gilingnya, kecuali pedagang cabe giling A, I, J, dan L tidak menambahkan air ke dalam cabe giling yang mereka jual (Lampiran 4). Cabe giling yang tidak diberi tambahan air ini memang memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel lainnya. Penambahan air yang dilakukan para pedagang umumnya tidak dengan takaran tertentu. Meski pedagang C menambahkan air pada cabe gilingnya, kadar air terukur cabe giling C menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan cabe giling lainnya yang ditambahkan air dan tidak jauh berbeda dengan kadar air cabe giling tanpa penambahan air. Hal ini dapat disebabkan perbedaan varietas cabe yang digunakan dan penambahan air yang dilakukan pedagang C hanya secukupnya (tanpa takaran tetap) dan relatif lebih sedikit dibandingkan penambahan air yang dilakukan oleh pedagang yang lain.
Kadar
air
cabe
utuh
menurut
Setiadi
(1987)
adalah
87.0-90.0% (bb). Kadar ini lebih tinggi dibandingkan kadar air cabe giling komersial. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam cabe giling terdapat total padatan yang lebih tinggi dibanding cabe utuh. Padatan ini dapat berasal dari adanya penambahan garam. Selain itu, berdasarkan pengamatan, para pedagang juga menjual bumbu giling lainnya seperti bawang putih giling, bawang merah giling, dan sebagainya. Residu bumbu pada alat penggilingan yang tidak dibersihkan dengan benar dapat menyumbangkan padatan pada cabe giling. Keberadaan residu ini juga terbukti dari beberapa sampel cabe giling yang memiliki aroma bawang putih. Menurut Hartuti dan Sinaga (1994), saus cabe yang dapat diterima secara organoleptik adalah saus yang memiliki viskositas 24.143 cp dan kadar air lebih kecil dari 83.3% (b/b). Berdasarkan penelitian tersebut maka secara umum cabe giling di kota Bogor dapat diterima secara organoleptik. d. Kadar Natrium Benzoat Natrium benzoat merupakan salah satu pengawet yang umum digunakan di masyarakat sebagai antibasi (Winarno, 1993). Analisis natrium benzoat dilakukan karena produk olahan cabe seperti saus cabe biasa menggunakan natrium benzoat sebagai pengawet. Selain itu, berdasarkan survei daya tahan cabe giling yang dapat bertahan hingga lebih dari 8 hari tetapi dengan kondisi penanganan pengolahan yang sangat sederhana maka dalam penelitian ini dilakukan analisis natrium benzoat yang mungkin ditambahkan pedagang. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 8), semua sampel cabe giling komersial positif menggunakan natrium benzoat sebagai pengawet. Kadar benzoat pada cabe giling adalah 326-1284 (ppm). Hasil analisis ini ternyata bertolak belakang dengan jawaban para pedagang pada saat menjawab kuisioner bahwa mereka tidak menggunakan pengawet. Hal ini
diperkirakan karena mereka tidak mengetahui bahan yang mereka gunakan adalah salah satu jenis pengawet pangan. Berdasarkan penelitian Indrianti (2001), hanya 10% pedagang pedagang bakso dan mie ayam yang mengetahui tentang bahan pengawet dalam saus cabe, sehingga kemungkinan banyak pula pedagang cabe giling yang tidak mengetahui tentang bahan pengawet. Secara fisik, natrium benzoat mirip dengan garam meja, sehingga kemungkinan pedagang mengenalnya sebagai garam. Natrium benzoat diperjualbelikan secara eceran di pasar, dikemas dalam kantung plastik dan tidak disertai label. Natrium
benzoat
digunakan
pedagang
sebagai
pengawet
diperkirakan karena alasan lebih ekonomis dibandingkan penggunaan garam dapur yang harus ditambahkan dalam jumlah banyak. Selain itu natrium benzoat tidak berbau dan tidak menimbulkan rasa asin seperti halnya jika menggunakan garam NaCl sebagai pengawet. Kontradiksi antara jawaban dan hasil analisis laboratorium mungkin juga disebabkan karena pedagang khawatir jawaban mereka akan merugikan dan mengancam usaha mereka, sehingga mereka lebih memilih jawaban tidak menggunakan pengawet pada cabe gilingnya. Ketika pedagang ditanya apakah menggunakan pengawet dalam cabe giling, pemahaman pedagang tentang pengawet adalah boraks dan formalin yang selama ini ramai diberitakan sebagai pengawet berbahaya, sehingga mereka menjawab tidak menggunakan bahan pengawet dalam cabe giling mereka. Hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5) menunjukkan kadar natrium benzoat cabe giling komersial berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Pada Tabel 8 terlihat bahwa cabe giling A, B, D, dan I menunjukkan penggunaan benzoat melebihi batas yang diizinkan. Batas penggunaan benzoat yang diizinkan di Indonesia adalah tidak melebihi 1000 ppm (Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988). Penggunaan natrium benzoat yang berlebihan dapat menimbulkan keracunan
yang
ditandai
gejala
pusing,
mual,
dan
muntah
(Davidson et al., 1993). Pengawasan terhadap penggunaan benzoat pada cabe giling perlu dilakukan secara terpadu antara pedagang, pengelola pasar, dan Dinas Kesehatan kota Bogor agar tidak merugikan konsumen. Nilai standar deviasi yang tinggi (>5%) pada hasil analisis juga menunjukkan penambahan benzoat cukup variatif pada beberapa sampel pada pedagang yang sama, terutama pada pedagang A dan E (Tabel 8). Hal ini dapat disebabkan karena pedagang menambahkan benzoat dengan takaran yang tidak baku melainkan dengan perkiraan seperti halnya yang mereka lakukan ketika menambahkan garam dapur terhadap cabe giling. Penggunaan natrium benzoat sebagai pengawet akan berkorelasi terhadap umur simpan cabe giling. Hal ini dapat terlihat pada Lampiran 4, cabe giling A dan D yang memiliki daya tahan paling lama dibandingkan dengan cabe giling lainnya (lebih dari 8 hari) dikarenakan penambahan natrium benzoat yang tinggi pula. Sebaliknya, pada cabe giling yang berumur simpan lebih pendek dikarenakan kandungan natrium benzoat yang lebih rendah dibandingkan sampel A dan D. Untuk cabe giling I meski kadar natrium benzoat terukur cukup tinggi, namun menurut pengakuan pedagangnya daya tahannya hanya 2 hari dapat disebabkan faktor lain (kondisi pengolahan dan penyimpanan yang kurang baik) yang mempengaruhi daya tahan cabe giling lebih singkat sehingga peran natrium benzoat sebagai pengawet tidak efektif. Kasus penggunaan benzoat yang melebihi batas juga masih ditemukan pada 7.93% pangan yang diuji Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM, 2007). Hal ini menunjukkan perlu diberikan penyuluhan tentang pengetahuan tentang batas penggunaan bahan tambahan pengawet dan pengawasan terhadap produsen pangan agar tidak merugikan konsumen. e. Rhodamin B Rhodamin merupakan pewarna non pangan yang masih sering disalahgunakan oleh masyarakat. Analisis Rhodamin B pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan metode ekstraksi dan dilanjutkan
dengan pengamatan secara spektrofotometri. Rhodamin B merupakan zat pewarna yang dapat larut dalam asam. Sampel diekstrak dengan eter dalam keadaan basa agar Rhodamin B dalam sampel larut dalam fase eter. Rhodamin B yang terlarut dalam fase eter ditambahkan HCI sehingga Rhodamin B akan larut dalam HCl. Lapisan asam yang mengandung Rhodamin B akan berwarna merah muda-agak violet. Kemudian dilakukan pengamatan daerah serapan maksimum panjang gelombang melalui scanning panjang gelombang pada interval 400-600 nm, dan dibandingkan dengan profil larutan baku Rhodamin B. Hasil positif ditunjukkan dengan tampilan profil yang mirip antara sampel dan larutan standar. Hasil uji kualitatif Rhodamin B pada cabe giling dapat dilihat pada Tabel 9, dan profil hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum sampel secara spektrofotometri selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 9. Hasil uji kualitatif Rhodamin B cabe giling Hasil uji Sampel A B C D E F G H I J K L sebaran persentase (%)
Ulangan I + + + + + + + -
Ulangan II + + + -
58
25
Peluang penggunaan Rhodamin B Ulangan III (%) 0 + 100 33.3 + 100 33.3 0 0 + 100 33.3 33.3 0 0 25
Ket: + = Mengandung Rhodamin B - = Tidak mengandung Rhodamin B
36
Berdasarkan hasil analisis kualitatif, 36% sampel cabe giling positif mengandung pewarna Rhodamin B. Penggunaan zat pewarna ini diduga digunakan pedagang untuk meningkatkan warna merah pada cabe giling agar terlihat lebih menarik karena memudarnya warna cabe giling yang dapat disebabkan karena penggunaan bahan baku cabe merah yang kurang baik (tidak segar) atau dikarenakan penambahan air yang berlebihan sehingga warna merah memudar. Pada ulangan I menunjukkan 58% sampel positif mengandung pewarna Rhodamin B, sedangkan pada ulangan II dan III sampel yang positif menggunakan Rhodamin B adalah sebesar 25% (Tabel 9). Hal ini mengindikasikan penambahan Rhodamin B tidak dilakukan kontinu oleh sebagian pedagang. Dari Tabel 9 diketahui sampel B, D, H selalu menggunakan Rhodamin B pada cabe gilingnya. Sampel C, E, I, dan J menambahkan Rhodamin B pada cabe gilingnya dengan frekuensi 33.3%. Pedagang C, E, I, dan J diperkirakan tidak menambahkan Rhodamin B pada cabe giling secara kontinu (jarang). Sedangkan sampel A, F, G, K, dan L tidak pernah menggunakan Rhodamin B dalam cabe gilingnya. Alasan tingginya jumlah sampel positif Rhodamin B pada ulangan I dapat dipicu oleh harga cabe yang lebih tinggi pada saat pengambilan sampel ulangan I (± Rp 20.000/kg) dibandingkan dengan ulangan II (± Rp 8000/kg) dan ulangan III (± Rp 10.000/kg). Harga cabe yang tinggi diduga mendorong pemilihan penggunaan bahan baku yang tidak segar (karena harga bahan baku dapat lebih rendah) sehingga menimbulkan warna yang kurang menarik pada cabe giling sehingga pedagang menambahkan
pewarna pada
cabe
giling
mereka.
Alasan
lain
penambahan pewarna pada cabe giling diduga karena penambahan air yang berlebihan sehingga mengurangi intensitas warna merah cabe giling dan untuk mengembalikan warna, ditambahkan zat pewarna. Warna cabe giling yang ditambahkan Rhodamin B ini secara visual terlihat merah agak keungu-unguan sedikit. Cabe giling yang menggunakan Rhodamin B dinyatakan tidak aman secara kimiawi karena penggunaan Rhodamin B telah terbukti
membahayakan kesehatan. Hasil penelitian Siswati dan Slamet (2000) menunjukkan pemberian Rhodamin B dengan konsentrasi 150, 300, dan 600 ppm berakibat terjadinya kerusakan pada jaringan hati. Kerusakan ditandai dengan terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak, dan sitolisis hingga terjadi perubahan bentuk sel hati menjadi nekrosis, dan disintegrasi jaringan disekitarnya. Selain itu melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 239/Menkes/Per/IX/85 pemerintah melarang penggunaan Rhodamin B dalam pangan. Penyalahgunaan Rhodamin B pada cabe giling di Bogor diperkirakan karena pedagang tidak mengetahui pewarna yang dipakai adalah Rhodamin B. Menurut Hasanah (2005), pewarna yang beredar di masyarakat umumnya tidak berlabel, dan beberapa diantaranya ada yang mengandung Rhodamin B. Rhodamin B pada cabe giling juga ditemukan di pasar tradisional di DKI Jakarta sebesar 63% (Djarisnawati et al., 2004). Djarisnawati et al. (2004) menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan pedagang dengan penggunaan Rhodamin B, tetapi ada hubungan antara pengetahuan pedagang cabe merah giling tentang bahaya Rhodamin B dengan pemberian zat pewarna. Tingkat pendidikan pedagang baik yang lulusan Sekolah Dasar maupun Perguruan Tinggi tidak mempengaruhi prilaku pedagang dalam menggunakan pewarna pada cabe gilingnya. Sedangkan pengetahuan tentang bahaya Rhodamin B mempengaruhi prilaku pedagang, pedagang yang mengetahui bahaya penambahan Rhodamin B tidak menambahkan Rhodamin B pada cabe gilingnya. Jika dibandingkan dengan prilaku pedagang cabe giling di DKI, maka penyalahgunaan Rhodamin B pada cabe giling di Bogor dapat diperkirakan juga karena pedagang tidak mengetahui bahaya penambahan Rhodamin B pada cabe gilingnya terhadap kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya. Penggunaan
Rhodamin
B
dalam
pangan
tidak
hanya
disalahgunakan pada cabe giling, beberapa pangan lain yang mengandung Rhodamin B, misalnya kandungan Rhodamin B pada sosis dan makaroni
di Bogor yaitu masing-masing 1.56 mg/100g dan 33.39 mg/100g (Hasanah, 2005), 60% makanan jajanan anak SD di Jakarta (Triana, 2003), 70% terasi di Bogor (Hastuti, 2005), serta sirup, limun, es mambo, bakpao, es cendol, es kelapa, serta beberapa kue basah (Effendy, 2006) menunjukkan belum ada perbaikan yang berarti dalam hal keamanan pangan karena masih saja ditemukan pangan mengandung Rhodamin B. Hal ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih giat lagi oleh pemerintah terhadap keamanan pangan karena bahan kimia berbahaya sehingga dapat menjamin keamanan pangan pada masyarakat. 2. Keamanan Mikrobiologi Cabe Giling Mutu mikrobiologi cabe giling perlu diketahui untuk melihat tingkat cemaran mikroba pada cabe giling, sehingga dapat diketahui risiko keamanannya apabila dikonsumsi. Mutu mikrobiologi yang diamati pada cabe giling meliputi total mikroba, kapang dan kamir, S. aureus, bakteri pembentuk spora, koliform, dan E. coli. Mutu mikrobiologi cabe giling dapat dilihat pada Tabel 10 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 7-11. Tabel 10. Mutu mikrobiologi cabe giling Bakteri Total Kapang S.aureus pembentuk mikroba dan kamir Sampel (log10kol/g) spora (log10kol/g) (log10kol/g) (log10kol/g) A 5.5 ± 0.5 3.0 ± 0.1 4.4 ± 0.7 7.3 ± 0.2 B 5.4 ± 0.2 4.0 ± 0.1 2.9 ± 0.2 4.1 ± 0.4 C 6.5 ± 0.3 5.5 ± 0.1 4.0 ± 0.2 4.1 ± 0.1 D 6.0 ± 0.2 4.3 ± 0.2 2.8 ± 0.2 4.7 ± 0.5 E 4.7 ± 0.1 3.0 ± 0.1 3.8 ± 0.6 4.9 ± 0.1 F 5.3 ± 0.1 3.7 ± 0.5 4.0 ± 0.6 3.9 ± 0.3 G 5.9 ± 0.4 4.1 ± 0.3 3.0 ± 0.2 4.0 ± 0.1 H 6.5 ± 0.2 4.1 ± 0.1 5.6 ± 0.1 4.0 ± 0.8 I 5.6 ± 0.4 4.1 ± 0.1 2.9 ± 0.1 3.7 ± 0.1 J 5.3 ± 0.2 5.0 ± 0.3 2.3 ± 0.1 3.2 ± 0.3 K 6.5 ± 0.3 4.0 ± 0.2 2.9 ± 0.1 4.4 ± 0.2 L 5.1 ± 0.1 4.1 ± 0.1 2.7 ± 0.1 3.1 ± 0.1 Rata-rata 5.8 ± 0.2 4.6 ± 0.2 3.1 ± 0.2 4.0 ± 0.3
Koliform (MPN/g) 205 ± 120 1.5 ± 2 120 ± 0 135 ± 21 <3±0 185 ± 35 25 ± 20 24 ± 6 165 ± 64 210 ± 0 97.5 ± 32 185 ± 35 113 ± 28
Berdasarkan hasil analisis mutu mikrobiologi, jumlah total mikroba cabe giling di kota Bogor berkisar 7.9 x 104-1.9 x 107 koloni/g, kapang dan kamir 9.5 x 103-3.8 x 105 koloni/g, S. aureus 5.2 x 102-1.2 x 104 koloni/g, bakteri pembentuk spora 1.2 x 103-5.6 x 104 koloni/g, serta koliform <3-205 MPN/g. Secara umum tidak ada sampel yang memiliki mutu mikrobiologi yang baik karena hampir seluruh sampel memiliki jumlah mikroba yang tinggi, antara lain mengandung S. aureus, total mikroba, dan koliform yang tinggi, serta positif E. coli. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sampel A memiliki mutu mikrobiologi yang paling rendah diantara sampel lainnya, karena mengandung jumlah total mikroba, koliform dan kapang dan kamir lebih tinggi dibandingkan sampel lainnya. Hal ini mengindikasikan penanganan cabe giling oleh pedagang A kurang baik. Letak kios A yang berada disudut pasar yang gelap, berdekatan dengan kios pedagang ayam potong dan kondisi sanitasi kios yang tidak memadai dapat menjadi penyebab tingginya cemaran mikroba. Tingginya jumlah mikroba pada cabe giling dapat disebabkan mutu bahan baku (cabe utuh) yang kurang baik. Menurut Feng (1997), sayuran segar umumnya mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi yaitu sekitar 102-106 koloni/g, sedangkan total mikroba cabe giling ada yang mencapai 107 koloni/g. Tingginya mikroba juga dapat disebabkan karena kontaminasi silang dari bahan baku. Berdasarkan hasil pengamatan, selain berjualan cabe giling, penjual juga menjual cabe utuh. Penempatan cabe utuh yang berdekatan dengan cabe giling dapat menimbulkan kontaminasi silang dari cabe utuh. Cabe merah umumnya mengandung bakteri seperti Serratia, Klabsiella, Bacillus, Staphylococcus, dan Streptococcus (Feng, 1997). Selain itu, tingginya jumlah mikroba juga dapat disebabkan karena kontaminasi dari pedagang, peralatan, serta air yang digunakan untuk campuran cabe giling maupun mencuci peralatan dan bahan.
a. Total mikroba Total mikroba dapat dijadikan indikator kebusukan, sehingga mencerminkan mutu dan sebagai indikator daya simpan bahan pangan. Kontaminasi mikroba pada pangan dapat menyebabkan perubahan kimia dan dapat menimbulkan bau tak sedap akibat aktivitas dan hasil metabolit mikroba kontaminan. Sejauh ini belum ada standar mengenai batas maksimal kandungan total mikroba pada cabe giling. Jika dibandingkan dengan syarat mutu total mikroba saus cabe yang tidak boleh melebihi 1.0 x 105 koloni/g (SNI 01-2976-1992), maka hanya cabe giling E yang memenuhi syarat tersebut. Kandungan total mikroba yang tinggi pada cabe giling dibandingkan dengan standar saus cabe dikarenakan pengolahan cabe giling tidak mendapat proses panas yang dapat menurunkan jumlah mikroba awal dan tidak ada pengaturan pH seperti halnya pada pengolahan saus cabe. Kisaran pH cabe giling dalam penelitian ini merupakan pH kritis dimana mikroba masih dapat tumbuh. Menurut Syarief dan Halid (1995), umumnya mikroba dapat tumbuh baik pada
pH 6-8. Selain itu kondisi suhu tempat berjualan adalah suhu ruang
yang merupakan suhu mikroba dapat tumbuh dengan baik. Cara menjual cabe giling yang tidak dikemas dan dicurah dalam wadah bak plastik tanpa tutup juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kontaminasi dari lingkungan. Menurut New Hampshire Guideline dalam Frazier dan Westhoff (1981), batas maksimal total mikroba yang diizinkan untuk bahan makanan yang tidak dikemas adalah 1.0 x 105 koloni/g. Berdasarkan standar tersebut maka hanya cabe giling E (7.9 x 104 koloni/g) yang masih memenuhi standar tersebut karena jumlah mikroba pada cabe giling lainnya melebihi 1.0 x 105 koloni/g (Tabel 10). Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 5), pada taraf 5% jumlah total mikroba cabe giling komersial berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan komposisi cabe giling (pH, kadar air, kadar garam, dan kadar benzoat) tiap pedagang berbeda pula. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada cabe giling. Kandungan
nutrisi yang terkandung dalam cabe dapat menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba. Senyawa antimikroba yang terkandung dalam cabe (capsaicin) diduga mengalami penguapan saat penggilingan sehingga tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada cabe. Menurut Purseglove et al. (1981), capsaicin dapat menguap pada suhu >65 0C dan menurut Rukmana dan Yunarsih (2005), selama penggilingan cabe merah terjadi kenaikan suhu hingga mencapai 80-90 0C. Penambahan benzoat dan garam NaCl pada cabe giling tidak efektif dalam menekan pertumbuhan mikroba yang terkandung dalam cabe giling. Hal ini dapat terlihat pada sampel A yang mengandung natrium benzoat lebih tinggi (1231 ppm) dibandingkan dengan natrium benzoat sampel L (398 ppm), tetapi total mikroba A (1.9 x 107 koloni/g) lebih besar dibanding total mikroba L (1.3 x 105 koloni/g). Menurut Davidson et al. (1993), benzoat efektif pada pH 2.5–4.0, sedangkan pH cabe giling berkisar 4.6–5.5 sehingga peran benzoat sebagai antimikroba tidak optimal. Penambahan natrium benzoat 0.1% dan natrium metabisulfit 0.05% pada cabe giling hasil penelitian Wati (1997) pun tidak cukup efektif mengurangi jumlah total mikroba pada cabe giling (masih mengandung jumlah total mikroba 3.9 x 105 koloni/g). Lain halnya dengan hasil penelitian Suyekti (1998), cabe giling yang ditambahkan 0.05% natrium benzoat, 0.8% asam asetat, 0.15% asam askorbat ternyata efektif menghambat mikroba hingga 9.1 x 102 koloni/g. Hal ini menunjukkan penambahan asam askorbat secara sinergis meningkatkan efektifitas natrium benzoat dan asam asetat dalam menghambat pertumbuhan mikroba pada cabe giling. Jumlah mikroba awal yang tinggi pada cabe dapat pula direduksi dengan cara pemanasan. Menurut Bracket (1987), jumlah bakteri pada rempah-rempah menurun selama penggilingan jika terjadi kenaikan suhu hingga 80-95 0C dan selama penggilingan cabe terjadi penurunan jumlah bakteri dari 5.1 x 1010 koloni/g menjadi 1.0 x 105 koloni/g. Pemanasan dengan microwave selama dua menit menghasilkan cabe giling dengan total mikroba 4.0 x 105 koloni/g sedangkan untuk cabe giling halus hasil
pemanasan autoklaf mengandung total mikroba <1.0 x 104 koloni/g (Lubis, 2000). Tingginya total mikroba pada cabe giling di kota Bogor dapat pula mengindikasikan praktek sanitasi para pedagang yang kurang baik sehingga menyebabkan kontaminasi. Selain itu, kontaminasi juga dapat berasal dari tanah, air, dan debu yang mengkontaminasi cabe giling selama proses pengolahan hingga penyajian. Selama penggilingan kemungkinan dapat terjadi kontaminasi silang dari alat giling yang tidak bersih atau dari udara di sekeliling tempat penggilingan. Kontaminasi silang dapat pula berasal dari bahan baku utama yaitu cabe merah dan air (air yang ditambahkan dalam cabe giling maupun air yang digunakan untuk mencuci bahan dan alat). Meskipun pedagang mengaku mencuci bahan dan alat sebelum berjualan, seharusnya pedagang menggunakan air mengalir untuk mencuci, karena menggunakan air tergenang (dalam wadah) untuk mencuci tidak efektif untuk mensanitasi alat dan bahan karena berpeluang rekontaminasi dari air tersebut. Air yang digunakan pedagang umumnya berasal dari air PDAM yang disediakan pengelola pasar. Penggunaan air PDAM belum memberi jaminan rendahnya kandungan total mikroba pada air yang digunakan karena sangat memungkinkan adanya kontaminasi dari pipa kran yang kurang baik dan kotor. Hasil uji sanitasi air pada usaha katering di Bogor menunjukkan total mikroba air PDAM 1.4 x 104 koloni/100ml (Octavia, 2004). Jumlah ini melebihi syarat air minum yang baik menurut SNI tentang air bersih yaitu 1.0 x 104 koloni/100ml. Kondisi air seperti ini perlu diwaspadai, sehingga pencucian alat sebaiknya menggunakan sabun atau desinfektan untuk mengurangi jumlah mikroba. b. Kapang dan kamir Para pedagang umumnya menjual cabe giling dalam wadah bak plastik terbuka, hal ini dapat menyebabkan kontaminasi kapang dan kamir dari udara. Jumlah kapang dan kamir pada cabe giling komersial berkisar 9.5 x 103-3.8 x 105 koloni/g (Tabel 10). Jumlah kapang dan kamir ini lebih
tinggi dibandingkan dengan jumlah kapang dan kamir dalam sayuran segar. Menurut Lund (2000), jumlah kapang dan kamir pada sayuran segar adalah 1.0 x 105 koloni/g. Jenis kapang yang banyak terdapat pada cabe adalah Aspergillus sp., Rhizopus, Penicillium, dan Absidia (Feng, 1997). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), jumlah kapang dan kamir cabe giling komersial berbeda nyata antar pedagang. Jumlah kapang dan kamir cabe giling H mengandung jumlah tertinggi dibandingkan dengan cabe giling yang lain (Tabel 10). Hal ini disebabkan karena tempat berjualan pedagang H hanyalah meja dipan bukan didalam kios sehingga peluang cabe giling terekspos udara yang mengandung spora kapang sangat tinggi. Menurut penelitian Rahayu dan Kuswanti (2002), lingkungan kantin kampus dengan kondisi tempat berjualan semi terbuka memiliki densitas kapang dan kamir yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar densitas kapang dan kamir pada udara di ruang tertutup. Kondisi ruang yang terbuka memungkinkan kotoran dan debu dari luar masuk ke lingkungan pasar melalui udara maupun pengunjung yang datang ke pasar. Kondisi udara di lingkungan pasar umumnya lembab, gelap dan kurang penetrasi cahaya matahari, serta aliran udara yang disebabkan karena adanya gerakan manusia, ventilasi dan proses pernafasan dapat meningkatkan jumlah mikroba di dalam udara. Oleh karena itu udara disekitar tempat berjualan diusahakan mendapat sinar matahari karena sinar matahari langsung dapat membunuh mikroba yang ada di dalam udara sehingga jumlahnya dapat berkurang. Menurut Frazier dan Westhoff (1981), udara tidak mengandung mikroba alami namun pada udara ditemukan adanya mikroba yang berasal dari suspensi benda padat dan pada droplet-droplet air. Spora kapang dapat tumbuh di udara karena ukurannya kecil, tahan terhadap kekeringan, dan biasanya terdapat dalam jumlah besar. Sedangkan kamir yang sering ditemukan di udara adalah kamir yang tidak membentuk spora. Jumlah mikroba di udara tergantung dari banyak faktor seperti adanya aliran
udara, sinar matahari, kelembapan, lokasi serta jumlah debu yang tersuspensi di dalam udara (Jennie, 1989). Jumlah kapang dan kamir cabe giling ini lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kapang dan kamir cabe giling hasil penelitian Wati (1997) yaitu 7.9 x 102 koloni/g. Meski cabe giling juga terbukti mengandung natrium benzoat, bahkan beberapa diantaranya dengan kadar yang tinggi, penambahan garam NaCl dan natrium benzoat tidak efektif menghambat pertumbuhan kapang dan kamir pada cabe giling ini. Kapang dan kamir dapat tumbuh pada cabe giling karena kapang dan kamir dapat tumbuh pada kisaran Aw dan pH rendah yaitu 0.80 dan 0.88, pH 4.0-8.0, bahkan beberapa kamir dapat hidup pada pH 3.0 (Syarief dan Halid, 1995) sedangkan pH cabe giling ini berkisar 4.7-5.6. c. Staphylococus aureus Jumlah S. aureus cabe giling komersial di pasar tradisional di kota Bogor berkisar 5.2 x 102-1.2 x 104 koloni/g (Tabel 10). Jumlah S. aureus pada cabe giling ini lebih tinggi dari batas maksimum S. aureus untuk pangan tak dikemas menurut New Hampshire Guideline, yaitu 1.0 x 102 koloni/g (Frazier dan Westhoff, 1981). Adanya bakteri ini mengindikasikan kontaminasi dari pekerja. Selain itu kontaminasi juga dapat berasal dari konsumen yang berlalu-lalang di dalam lingkungan pasar. S. aureus dapat hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan seperti hidung, mulut, dan tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin (Gaman dan Sherrington, 1981). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), jumlah S. aureus cabe giling komersial berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan kebiasaan higiene pedagang yang berbeda. Kebiasaan buruk pedagang yang melakukan kontak langsung antara jari tangan dan cabe giling saat mengolah cabe giling dapat menyebabkan kontaminasi S. aureus dari jari tangan yang sering memegang berbagai bagian tubuh yang lain. Meski pedagang mengaku
telah melakukan sanitasi seperti mencuci tangan sebelum berjualan, namun tindakan ini kurang tepat karena para pedagang tersebut tidak mencuci tangan dengan sabun. Kontaminasi juga dapat berasal dari kulit, dan rambut pekerja yang kotor. Menurut Saksono (1986), bakteri S. aureus dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama pada debu, kotoran, lantai dan dinding. Dengan demikian kemungkinan kontaminasi dari debu dan lantai dapat meningkatkan kontaminasi S. aureus pada cabe giling. Penambahan garam NaCl pada cabe giling (4.7-6.9% b/b) tidak berpengaruh nyata dalam menghambat pertumbuhan S. aureus karena bakteri ini tergolong bakteri yang tahan garam dan dapat tumbuh baik pada medium yang mengandung garam hingga 7.5% NaCl. Selain itu kisaran pH cabe giling pun cocok untuk pertumbuhan S. aureus. Menurut Fardiaz (1983), S. aureus dapat tumbuh pada pH 4.0-9.8 dan tumbuh optimum pada suhu 35-37 0C. Bakteri ini akan terhambat pertumbuhannya pada konsentrasi garam 10-12%. Sebagian besar galur S. aureus bersifat patogen dan dapat menghasilkan enterotoksin yang tahan panas. Keracunan pangan oleh Staphylococcus adalah tipe keracunan yang paling umum. Gejala keracunan enterotoksin diantaranya adalah kejang perut, mual, pusing, muntah disertai diare yang biasa terjadi setelah 2-6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh enterotoksin tersebut (Supardi dan Sukamto, 1999). S. aureus dapat meracuni pangan tanpa menyebabkan perubahan warna, flavour, maupun bau (Marriott dan Norman, 1985). Meski S. aureus pada cabe giling tidak memenuhi standar untuk pangan tak dikemas, namun belum tentu menimbulkan keracunan. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), enterotoksin S. aureus baru dapat menyebabkan penyakit bila terdapat 1.0 x 106 koloni/g. Jumlah S. aureus cabe giling masih berada dibawah jumlah ini, sehingga kemungkinan untuk menimbulkan keracunan rendah.
d. Koliform dan E. coli Hasil uji koliform menunjukkan jumlah koliform cabe giling berkisar <3.0-210 MPN/g (Tabel 10). Dari hasil uji penguat diketahui sebagian besar sampel mengandung koliform fekal. Sampel yang positif mengandung koliform fekal dilakukan uji lanjut untuk identifikasi E. coli. Hasil analisis kualitatif E. coli pada cabe giling menunjukkan sebagian besar cabe giling positif mengandung E. coli. Hasil analisis menunjukkan hanya cabe giling D, G, H dan K negatif E. coli, sedangkan pada cabe giling B hasil negatif hanya pada ulangan I. Koliform merupakan petunjuk adanya polusi yang berasal dari kotoran manusia atau hewan dan menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk. Berdasarkan batas maksimum koliform yang diperbolehkan untuk pangan tak dikemas menurut New Hampshire Guideline yang diacu dalam Frazier dan Westhoff (1981) yakni 100 MPN/g, maka hanya sampel B, E, G, dan H dan K yang masih memenuhi standar karena jumlah koliformnya masing-masing adalah 3.0 MPN/g, <3.0 MPN/g, 25 MPN/g, dan 24
MPN/g,
sedangkan
sampel
lainnya
mengandung
koliform
>100 MPN/g. Jumlah koliform yang tinggi pada cabe giling kemungkinan besar disebabkan kontaminasi dari air untuk keperluan mencuci peralatan dan bahan baku yang tercemar koliform dan E. coli. Selain itu, tingginya jumlah koliform dapat disebabkan karena kebiasaan pedagang yang melakukan proses mencuci bahan dan alat tidak dengan air mengalir melainkan dalam wadah yang menampung air dalam jumlah terbatas, sehingga menyebabkan kontaminasi silang. Air yang mereka gunakan berasal dari PDAM. Menurut Winarno (1993), air PDAM sering mengalami kontaminasi selama perjalanan yang masuk melalui kebocoran pipa sehingga air comberan dan air buangan lain terserap masuk ke dalam pipa-pipa. Persyaratan Air Bersih dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/PerMenKes /IX/1990 menyebutkan syarat air bersih tidak boleh mengandung bakteri E. coli dan jumlah maksimum koliform air bersih untuk air PAM adalah 10 MPN/100 ml dan untuk air sumur adalah
50 MPN/100 ml. Dapat dipastikan air yang digunakan pedagang tidak memenuhi syarat air bersih. Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), jumlah koliform cabe giling berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan kondisi penanganan yang berbeda dari masingmasing pedagang. Tangan pekerja yang tidak bersih juga dapat menjadi faktor kontaminasi koliform dan E. coli. Kebiasaan buruk pedagang yang tidak mencuci tangan memakai sabun setelah buang air besar kemudian mengolah cabe giling dapat menyebabkan cabe giling tercemar E. coli. Keberadaan E. coli pada cabe giling patut diwaspadai karena beberapa galur E. coli merupakan patogen, yang dapat memberikan gejala diare. Contoh bakteri E. coli yang patogen adalah EEC (Enteropatogenic E. coli), ETEC (Enterotoxigenic E. coli), EIEC (Enteroinvasive E. coli), dan EHEC (Enterohaemorhagic E. coli). Meski demikian, tidak semua E. coli mampu memproduksi toksin yang dapat menyebabkan penyakit, tetapi hanya strain ETEC (Enterotoxigenic E. coli) saja (Fardiaz, 1992). e. Bakteri pembentuk spora Berdasarkan hasil analisis, jumlah bakteri pembentuk spora pada cabe giling berkisar 1.2 x 103-5.6 x 104 koloni/g (Tabel 10). Setelah pembersihan dan pengolahan pangan, jumlah mikroba dalam rempahrempah menurun dan yang tersisa terdiri dari bakteri pembentuk spora dan kapang (Supardi dan Sukamto, 1999). Berdasarkan analisis ragam sidik pada taraf 5% (Lampiran 5), jumlah bakteri pembentuk spora berbeda nyata antar pedagang satu dan yang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan mutu bahan baku cabe yang digunakan. Pada saat penggilingan cabe giling, jumlah bakteri dapat tereduksi namun kemungkinan beberapa bakteri yang dapat membentuk spora akan resisten terhadap panas dan akan bergerminasi selama penjualan. Jumlah bakteri pembentuk spora yang tinggi pada cabe giling karena cabe giling ini memiliki kisaran pH dimana bakteri masih dapat tumbuh. Selain itu lingkungan seperti suhu kamar, kondisi lembab juga
dapat memberikan kondisi nyaman bagi bakteri untuk tumbuh. Bakteri pembentuk spora dapat tumbuh pada suhu optimum 28-35 0C dan kisaran pH tumbuh 4.9- 9.3. Kadar garam cabe giling yang berkisar 4.7-6.9% (b/b) dapat melindungi resistensi spora terhadap pemanasan. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), kandungan garam 4% dapat melindungi spora yang resisten terhadap pemanasan dan resistensi spora terhadap pemanasan akan menurun jika berada pada kondisi kadar garam >8%. Mikroba pembentuk spora penting diperhatikan karena resisten terhadap panas dan beberapa strain diantaranya bersifat patogen. Spora-spora yang tahan panas mampu bertahan hidup pada suhu pemasakan dan akan bergerminasi saat kondisi dibiarkan hangat atau didinginkan perlahan. Bakteri pembentuk spora patogen yang sering mengkontaminasi bumbu adalah Bacillus cereus (Gaman dan Sherrington, 1981). Bacillus cereus bersifat aerobik, dapat membentuk spora dan memproduksi eksotoksin yang dilepaskan ke pangan. Sumber kontaminasi bakteri ini berasal dari tanah, debu, dan air. Gejala keracunan ditandai muntahmuntah, sakit perut, dan diare. Keracunan akibat Bacillus cereus dapat terjadi jika kandungan bakteri mencapai 104 koloni/g (Fardiaz, 1983). Berdasarkan pemaparan kondisi umum pedagang dan keamanan cabe giling, secara umum keamanan pangan cabe giling di kota Bogor masih perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dari lokasi penjualan yang kurang bersih dan upaya menjaga kebersihan cabe giling yang dilakukan pedagang masih sangat sederhana. Untuk memperoleh harga cabe giling yang lebih rendah, biaya produksi ditekan dengan penggunaan bahan baku yang bermutu rendah sehingga harga jualpun rendah. Penggunaan bahan baku yang rendah dapat menurunkan mutu, sehingga umur simpan cabe giling lebih singkat. Volume produksi dan kapasitas penjualan cabe giling per hari yang tidak seimbang terkadang menyebabkan cabe giling sering kali tersisa dan mendorong pedagang menambahkan pengawet ke dalam cabe giling mereka tersebut.
Menurut hasil penelitian, masih ditemukan penggunaan bahan pengawet yang berlebihan dan penggunaan Rhodamin B. Hal ini dapat merugikan keamanan konsumen. Secara khusus, cabe giling A yang berasal dari pasar Bogor keamanan pangannya masih rendah ditinjau dari parameter mikrobiologi, dan penggunaan natrium benzoat yang melebihi batas. Sedangkan cabe giling yang memiliki keamanan pangan relatif lebih baik dibandingkan sampel lainnya adalah cabe giling kode G yang berasal dari pasar Padasuka dan kode K dari pasar Jambu Dua karena aman dari segi penambahan natrium benzoat serta bebas dari penyalahgunaan Rhodamin B. Selain itu cabe giling ini juga terbukti tidak mengandung E. coli. Hal ini berkorelasi dengan kondisi penanganan dan tata cara penjualan masing-masing cabe giling tersebut. Adanya kandungan mikroba yang tinggi pada cabe giling dapat mempengaruhi daya tahan cabe giling. Untuk itu diperlukan studi penyimpanan untuk mengetahui daya simpan cabe giling dan membandingkan dengan daya simpan cabe giling yang dibuat dengan penambahan natrium benzoat dalam batas aman. C. STUDI PENYIMPANAN Cabe giling di kota Bogor menurut pengakuan pedagang memiliki daya tahan 2-8 hari. Pada studi penyimpanan, cabe giling yang dipilih untuk mewakili studi penyimpanan adalah kode G dan kode K (Lampiran 4), karena cabe giling ini memiliki mutu yang lebih baik dibandingkan dengan cabe giling lainnya. Cabe giling G dan K memiliki kadar natrium benzoat masingmasing sebesar 617 ppm dan 741 ppm, dan menurut pedagangnya tahan disimpan hingga 2 hari. Daya tahan cabe giling tersebut kemudian dibandingkan dengan cabe giling yang dibuat dengan penambahan natrium benzoat 0, 500, dan 1000 ppm, sehingga diperoleh perbandingan berapa lama daya tahan cabe giling sebenarnya. Sebelum dilakukan studi penyimpanan, dilakukan juga trial cabe giling tanpa penambahan garam, ternyata setelah 24 jam sudah berbau asam dan berlendir.
Beberapa penelitian yang mengkaji tentang cabe giling selama penyimpanan sudah pernah dilakukan, diantaranya penelitian yang telah dilakukan Lubis (2000), dengan metode microwave dan autoclave dan penambahan
NaCl
dikombinasikan
dengan
natrium
benzoat
dapat
meningkatkan daya tahan cabe giling hingga 35 hari. Namun metode ini belum aplikatif diterapkan pada pedagang cabe giling di pasar, mengingat peralatan microwave dan autoclave yang mahal harganya. Kondisi cabe giling pada awal penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 11. Cabe giling umumnya berwarna merah oranye dan beraroma khas cabe. Namun, terdapat perbedaan aroma pada sampel G dan K dibandingkan dengan cabe giling yang lain. Sampel G memiliki aroma tomat, sedangkan sampel K memiliki aroma bawang. Hal ini dapat disebabkan karena pedagang menggunakan alat penggilingan yang juga digunakan untuk menggiling jenis bumbu lain yang mereka jual. Alat giling yang tidak dicuci bersih dapat menimbulkan tercampurnya aroma cabe giling dengan residu aroma bahan yang digiling sebelumnya. Penampakan warna sampel G yang sedikit berbeda dengan warna cabe giling yang lain dapat disebabkan perbedaan varietas cabe yang digunakan atau kemungkinan lainnya adalah pedagang mencampur tomat merah kedalam cabe giling yang dijual agar mendapat keuntungan lebih besar karena penambahan tomat atau bahan pengisi lainnya dapat menambah bobot cabe giling. Hal ini diperkuat dengan terciumnya aroma tomat dan kekentalan cabe giling yang lebih tinggi dibandingkan cabe giling yang lain. Tabel 11. Pengamatan visual cabe giling hari ke-0 Sampel dengan penambahan Na-benzoat
Pengamatan visual Warna
Aroma
(ppm) 0
Merah orange
Khas cabe
500
Merah orange
Khas cabe
1000
Merah orange
Khas cabe
Sampel G
Merah tua
Tomat
Sampel K
Merah orange
Bawang
Jumlah total mikroba pada cabe giling selama penyimpanan menunjukkan peningkatan (Gambar 9). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 13), penambahan natrium benzoat tidak berpengaruh nyata dalam menekan pertumbuhan total mikroba pada cabe giling. Hal ini dapat disebabkan karena proses pembuatan cabe giling dilakukan tanpa pemanasan dan tidak ada pengaturan pH. Pada cabe giling tanpa penambahan Na-benzoat kerusakan terjadi pada hari ke-2. Sedangkan pada cabe giling dengan penambahan Na-benzoat 500 ppm mampu bertahan hingga hari ke-5, dan cabe giling dengan penambahan Na-benzoat 1000 ppm dapat bertahan hingga hari ke-12. Penambahan natrium benzoat ke dalam cabe giling menunjukkan pertumbuhan mikroba selama penyimpanan dapat dihambat sehingga dapat memperlambat kerusakan cabe giling. Daya tahan cabe giling komersial yang diwakili sampel G mengalami kerusakan pada hari ke-3, sedangkan sampel K mengalami kerusakan pada hari ke-6. Meski mengandung natrium benzoat lebih besar dari 500 ppm, cabe giling G dan K ternyata tidak dapat bertahan melebihi cabe giling dengan penambahan natrium benzoat 500 ppm. Jumlah mikroba awal yang tinggi pada cabe giling komersial dan terus meningkat mengakibatkan kerusakan lebih cepat terjadi. Hal ini dapat pula disebabkan karena penggunaan bahan baku cabe yang kurang baik serta penanganan pengolahan yang kurang bersih.
Jumlah TPC (log10 kol/g)
9.0 Na-benzoat 0 ppm
8.0 7.0
Na-benzoat 500 ppm
6.0 5.0
Na-benzoat 1000 ppm
4.0
Cabe giling Komerisal "G"
3.0 2.0
Cabe giling komersial "K"
1.0 0.0 0
1 2
3
4 5
6
7
8 9 10 11 12 13
Waktu simpan (hari)
Gambar 9. Jumlah total mikroba selama penyimpanan
Selama penyimpanan terjadi perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi pada cabe giling. Perubahan sifat cabe dapat diakibatkan oleh aktivitas enzim dan aktivitas mikroba yang terkandung dalam cabe. Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas enzim maupun mikroba dapat mengakibatkan perubahan flavour, tekstur, warna dan aroma. Kerusakan pada cabe giling ditandai dengan tumbuhnya miselium kapang yang berwarna putih dipermukaaan cabe giling dan gelembung gas. Hasil pengamatan kerusakan secara visual dapat dilihat pada Tabel 12. Perubahan warna merah orange menjadi merah pada cabe giling dapat terjadi karena reaksi pencoklatan enzimatik dan aktivitas mikroba selama penyimpanan. Menurut Winarno (1997), pencoklatan yang terjadi pada jaringan tanaman yang hancur dipengaruhi oleh sistem enzim oksidase (polifenolase) dalam jaringan tersebut sehingga disebut reaksi pencoklatan enzimatis. Perubahan warna dapat pula disebabkan karena terbentuknya asamasam organik hasil metabolisme mikroba yang menyebabkan warna menjadi gelap karena asam yang terdisasosiasi dalam bahan pangan akan mempengaruhi kestabilan warna (Syarief dan Halid, 1993). Tabel 12. Pengamatan visual kerusakan cabe giling selama penyimpanan Sampel Terjadi perubahan dengan Hari Warna Pertumbuhan penambahan ke- dan Kapang Na-benzoat penampakan (ppm) 0 2 Merah ++++ oranye (putih di permukaan) 500 6 Merah tua ++ (putih di permukaan) 1000 13 Merah tua + (putih di permukaan) Sampel G 3 Merah tua ++ dan (hitam di berlendir permukaan) Sampel K 6 Merah tua + dan (putih di permukaan) berlendir
Gas
Aroma
+++
Apek, asam Apek, asam Apek, asam Busuk
++ +++ ++
Apek, asam
Berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa cabe giling mengalami kerusakan saat jumlah total mikroba mencapai 107 koloni/g. Kerusakan terjadi karena adanya aktivitas mikroba pembusuk yang menghasilkan gelembung gas, aroma apek dan asam, lendir, serta timbul kapang dipermukaan cabe giling. Bakteri pembusuk yang biasa terdapat pada cabe adalah Bacillus subtilis, Pseudomonas. sp dan Leuconostoc. Gelembung gas yang terbentuk dapat berasal dari CO2 dan H2 hasil respirasi bakteri tersebut. Lendir yang terdapat pada sampel G dan K dapat berasal dari aktivitas Pseudomonas sp dan Leuconostoc. Menurut Frazier dan Westhoff (1981), lendir merupakan pembentukan kapsul oleh mikroba dalam bahan pangan yang dapat disebabkan oleh hidrolisis pati dan protein. Leuconostoc tergolong bakteri Gram positif yang dapat memfermentasi gula dan memproduksi asam berlebihan sehingga dapat menurunkan pH medium hingga dibawah 5.0, memproduksi lendir, dan CO2. Leuconostoc merupakan jenis bakteri yang bersifat heterofermentatif, dan halotoleran. Pseudomonas dapat menggunakan senyawa-senyawa nitrogen sederhana, memproduksi senyawa-senyawa yang dapat menimbulkan bau busuk, memproduksi lendir, pertumbuhan cepat pada kondisi aerob (Supardi dan Sukamto, 1999). Lendir dapat pula disebabkan adanya kontaminasi Enterobacter aerogenes dari air yang digunakan pedagang. Menurut Fardiaz (1992), Enterobacter aerogenes meski tidak bersifat patogen namun sering menimbulkan lendir pada pangan. Kapang yang tumbuh pada permukaan cabe giling (Gambar 10a) diperkirakan jenis Aspergillus candidus. Menurut Syarief dan Halid (1993), Aspergillus candidus sering ditemukan pada pangan yang rusak dengan ciri warna putih yang timbul di permukaan bahan pangan. Sedangkan lapisan hitam pada cabe giling G (Gambar 10b) diperkirakan akibat pertumbuhan kapang jenis Aspergillus niger yang dapat memiliki spora berwarna hitam dan sering ditemukan pada pangan yang rusak. Perbedaan penampakan kerusakan pada sampel G dapat disebabkan karena mutu bahan baku yang kurang baik. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), A. niger dan A. flavus sering ditemukan pada cabe, lada hitam, dan lada putih.
(a) (b) Gambar 10. Pengamatan kerusakan pada cabe giling (a) K dan (b) G Jumlah kapang kamir cabe giling selama penyimpanan menunjukkan peningkatan jumlah kapang kamir diawal penyimpanan dan berangsur-angsur menurun seiring bertambahnya lama penyimpanan (Gambar 11). Jumlah kapang kamir pada cabe giling dengan penambahan natrium benzoat 1000 ppm mengalami fluktuatif. Pada hari ke-2 mengalami kenaikan hingga
Jumlah kapang kamir (log 10 kol/g)
hari ke-6 kemudian berangsur turun. 6.0 Na-benzoat 0 ppm 5.0 Na-benzoat 500 ppm
4.0 3.0
Na-benzoat 1000 ppm
2.0
Cabe giling Komerisal "G"
1.0
Cabe giling komersial "K"
0.0 0
5
10
15
Waktu simpan (hari)
Gambar 11. Jumlah kapang kamir cabe giling selama penyimpanan Pengaruh penambahan natrium benzoat pada cabe giling terlihat mampu menghambat pertumbuhan kapang kamir dibandingkan dengan cabe giling tanpa penambahan natrium benzoat (Gambar 11). Menurut Tressler dan Joslyn (1961), natrium benzoat lebih efektif digunakan untuk menghambat kapang dan kamir dibandingkan dengan bakteri. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis ragam pada taraf 5% bahwa
penambahan natrium benzoat
berpengaruh nyata dalam mengurangi kapang dan kamir cabe giling selama penyimpanan. Penurunan jumlah kapang kamir juga dapat disebabkan kompetisi antar mikroba dan terbentuknya komponen antimikroba yang dihasilkan bakteri asam laktat. Menurut Fardiaz (1992), beberapa bakteri asam laktat dapat memproduksi antibiotik seperti niasin dan diplokokin yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba lainnya. Pertumbuhan bakteri pembentuk spora pada sampel K, cabe giling tanpa penambahan natrium benzoat, maupun dengan penambahan natrium benzoat 500 ppm, umumnya mengalami kenaikan selama penyimpanan. Sedangkan cabe giling dengan penambahan natrium benzoat 1000 ppm jumlah bakteri pembentuk spora mulai mengalami penurunan setelah hari ke-6 (Gambar 12). Jumlah bakteri pembentuk spora diawal penyimpanan relatif tidak berbeda jauh antara cabe giling dengan penambahan dan tanpa penambahan natrium benzoat. Hal ini disebabkan karena aktivitas natrium benzoat belum berpengaruh menghambat pertumbuhan bakteri. Penurunan jumlah bakteri pembentuk spora dapat terjadi karena nilai pH yang semakin menurun. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), bakteri pembentuk spora
Jumlah bakteri pembentuk spora (log10 kol/g)
akan terhambat pertumbuhannya pada pH <4.5. 6.0 Na-benzoat 0 ppm
5.0
Na-benzoat 500 ppm
4.0 3.0
Na-benzoat 1000 ppm
2.0
Cabe giling Komerisal "G"
1.0
Cabe giling komersial "K"
0.0 0
5
10
15
Waktu simpan (hari)
Gambar 12. Jumlah bakteri pembentuk spora selama penyimpanan Cabe giling dengan kadar garam 6% dan pH 4.6 memungkinkan bakteri yang dapat tumbuh adalah bakteri asam laktat. Menurut Fardiaz (1992), mikroba pembentuk asam laktat toleran terhadap garam hingga konsentrasi
18%. Adanya pertumbuhan bakteri asam laktat ditandai dengan penurunan pH cabe giling selama penyimpanan. Namun pada hari ke-3 nilai pH cenderung konstan. Hal ini terjadi karena aktivitas bakteri asam laktat yang terus berlanjut akan menghambat bakteri asam laktat sendiri, sehingga pH akan cenderung konstan. Selain itu aktifitas mikroba pembusuk yang mulai aktif dan memproduksi senyawa amin dapat menahan penurunan pH. Meski demikian, pada umumnya pH cabe giling selama penyimpanan tidak menunjukkan perubahan yang berarti atau relatif stabil (Gambar 13). Hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 13) menunjukkan penambahan natrium benzoat tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan pH cabe giling. Hal ini disebabkan aktivitas natrium benzoat yang dapat menahan aktivitas mikroba sehingga produksi metabolit mikroba berupa asam-asam organik yang dapat menurunkan pH dapat tertahan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah total mikroba yang cenderung tidak banyak bertambah selama penyimpanan cabe giling dengan penambahan natrium benzoat. 6.0
cabe giling Na Benzoat 0% cabe giling Na Benzoat 0.05% cabe giling Na Benzoat 0.1% cabe giling G
Nilai pH
5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
cabe giling K
Pengam atan hari ke-
Gambar 13. Nilai pH selama penyimpanan Meski pH cabe giling yang dibuat dalam penelitian ini berkisar 4.4-4.8 dan menurut Winarno (1997) benzoat efektif pada pH 2.5-4.0, penambahan natrium benzoat ternyata masih efektif memperpanjang umur simpan cabe giling 5-12 hari. Daya tahan ini sudah melebihi daya tahan cabe giling umumnya yang ada di pasaran.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Dari kondisi keamanan cabe giling baik secara kimiawi maupun mikrobiologi, secara umum aspek keamanan pangan cabe giling di kota Bogor masih perlu ditingkatkan. Cabe giling di kota Bogor umumnya memiliki pH 4,7– 5.6, kadar air 71,6– 86,8% (b/b), dan kadar garam 4,7-6,9% (b/b). Masih terdapat 33.3% cabe giling mengandung natrium benzoat melebihi batas maksimum yang diizinkan, serta 36% cabe giling mengandung Rhodamin B. Berdasarkan hasil analisis keamanan mikrobiologi, keamanan mikrobiologi cabe giling masih relatif rendah karena hampir sebagian besar cabe giling mengandung jumlah mikroba yang tinggi dan tercemar E.coli. Masalah kandungan jumlah mikroba yang tinggi, penggunaan natrium benzoat yang melebihi batas, dan pemakaian Rhodamin B sebagai pewarna pada cabe giling dapat menyebabkan masalah keamanan pangan bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Pengolahan cabe giling yang dilakukan tanpa: pemanasan, pengaturan pH, dan penambahan garam sudah rusak dan berbau asam pada jam ke-24, sedangkan penambahan garam 6% hanya memperpanjang masa simpan cabe giling sampai dengan 2 hari. Penambahan natrium benzoat dalam batas aman (500 dan 1000 ppm) mampu memperpanjang umur simpan cabe giling hingga 5 dan 12 hari pada kondisi penyimpanan wadah tertutup di suhu ruang. B. SARAN Untuk meningkatkan keamanan pangan cabe giling, diperlukan kerjasama dari pedagang, pengelola pasar, serta konsumen. Saran yang dapat direkomendasikan, yaitu: 1. Bagi pedagang a. Pedagang sebaiknya menjual cabe giling dalam wadah tertutup untuk mereduksi kontaminasi udara dan debu, menggunakan air yang dialirkan atau disiramkan langsung untuk keperluan mencuci alat dan bahan agar
peluang rekontaminasi akibat penggunaan air untuk mencuci yang berulang-ulang dapat direduksi. b. Pedagang lebih baik menggiling cabe giling saat konsumen membeli atau tidak menggiling cabe dalam jumlah banyak sehingga cabe giling yang dijual selalu baru. Jika cabe giling tersisa, sebaiknya disimpan dalam kantung plastik kemudian ditempatkan dalam wadah yang telah diberi es batu. c. Pedagang cabe giling di pasar Bogor, Pasar Anyar, dan Pasar Gunung Batu diharapkan tidak menggunakan benzoat melebihi batas yang diizinkan karena dapat merugikan konsumen. Penambahan garam 6% (± 60 g/kg cabe utuh yang digiling atau ± setengah sendok teh garam per kg cabe utuh yang digiling) sudah dapat memperpanjang umur simpan hingga 2 hari sedangkan penggunaan natrium benzoat dalam batas aman (± 1g/kg cabe utuh yang digiling atau ± seujung sendok teh natrium benzoat dalam 10 kg cabe yang digiling) sudah dapat memperpanjang umur simpan hingga 5-12 hari. d. Pedagang seharusnya tidak menggunakan Rhodamin B sebagai pewarna cabe giling karena dapat membahayakan kesehatan konsumen. Jika hendak menggunakan pewarna sebaiknya menggunakan zat pewarna untuk pangan, sesuai Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 (misalnya: Erythrosin, Cochineal red) 2. Bagi pengelola pasar: a. Sebaiknya memberikan perhatian yang lebih intensif mengenai sanitasi dan sarana dan prasarana seperti penyediaan air bersih dan konstruksi kios. b. Bekerjasama dengan pihak-pihak terkait (DinKes) untuk memberikan penyuluhan kepada para pedagang tentang keamanan pangan khususnya cabe giling. c. Melakukan pemantauan pelaksanaan sanitasi dan keamanan pangan yang berkesinambungan.
3. Bagi konsumen: a. Lebih teliti membeli dan menghindari cabe giling yang berwarna mencolok dan berbeda dengan warna alami cabe. b. Membeli cabe utuh sekaligus meminta jasa penggilingan di tempat. c. Tidak mengkonsumsi cabe giling dalam bentuk mentah, dan memasak cabe giling dengan sempurna untuk mematikan mikroba dalam cabe giling. 4. Untuk mendapatkan data keamanan cabe giling yang lebih komprehensif, perlu dilakukan analisis keamanan yang menyeluruh pada penelitian selanjutnya seperti analisis mikroba patogen (Salmonella. sp, Shigella. sp, Streptococcus fecalis), kontaminasi logam berat, dan zat pewarna merah Amaranth.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006. Rhodamin B: Zat Pewarna Nonpangan. http://www.depkes.go.id [29 Februari 2007]. Agustina, C. 2002. Keamanan Mikroba Makanan Jajanan dari Tiga Kantin Sekolah. Skripsi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Y. Sedarnawati dan S. Budijanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU IPB, Bogor. [BAM] Bacteriological Analitycal Manual. 2002. US Food and Drugs Administration. Center for Safety and Applied Nutrition. http://www.cfsanfda.gov [3 Juni 2007]. Badan POM RI. 2007. Laporan Tahunan 2006. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Republik Indonesia. Jakarta. ______________. 2000. Metode Analisis Pengujian Bahan Pangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta. Basrah, E. 1987. Zat Warna dan Pemakaiannya dalam Industri Pangan. Risalah Seminar Bahan Tambahan Makanan Kimiawi, Jakarta. Brackett, R. E., 1987. Vegetables and Related Products. Di dalam: Beuchat, L. R. (Ed.), Food and Beverage Mycology (2nd Edition). Van Nostrand Reinhold, New York, pp. 142-149. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Kota Bogor dalam Angka “Bogor Municipality in Figures”. Katalog BPS, Bogor. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-2976-1992. Mutu dan Cara Uji Saus Cabe. Badan Nasional Indonesia, Jakarta. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1987. Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Badan Nasional Indonesia, Jakarta. Davidson, P. M., A.L. Branen, S. Salminen. 1993. Antimicrobials in Food 2nd ed. Marcel Dekker Inc., New York. Djarisnawati, Sugiharti, dan R. Nainggolan. 2004. Pengetahuan dan Perilaku Pedagang Cabe Merah Giling dalam Penggunaan Rhodamin B di Pasar Tradisional di DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 3(1): 7-12.
Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/Menkes/Per/IX/1988, Tentang Bahan Tambahan Pangan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. ________________________. 1985. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 239/Menkes/Per/V/1985, Tentang Bahan Pewarna yang Dilarang untuk Pangan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. ________________________. 1997. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 236/MenKes/Per/IV/1997, Tentang Persyaratan Kesehatan Makanan Jajanan. Ditjen PPM dan PLP. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. ________________________. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 416/PerMenKes/IX/1990 tentang Persyaratan Air Bersih. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Dewanti, R. 1984. Pengaruh Bubuk Cabe Merah terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri Penyebab Kerusakan Pangan. Skripsi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Effendy, HMS. 2006. Waspadailah Penggunaan Bahan Tambahan Makanan. http://www.pikiran-rakyat.com [28 November 2006]. Fardiaz, S. 1983. Keamanan Pangan Jilid I. PAU IPB, Bogor. ________. 1988. Analisis Mikrobiologi Pangan. PAU IPB, Bogor. ________. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Feng. 1997. A Summary of Background Information and Foodborne Illness Associated with The Consumption of Spourts. US Food and Drugs Administration. Center for Safety and Applied Nutrition. http://www.cfsanfda.gov/nwow/sprouts.html [12 Mei 2007]. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1981. Food Microbiology. McGraw-Hill Publishing Co. Ltd., New Delhi. Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. 1981. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press. Hardinsyah. 2003. Cabai giling. http://www.gizinet.com [27 Januari 2007]. Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hasanah, R. I. 2005. Studi Pengetahuan dan Penggunaan Pewarna Makanan pada Makanan Jajanan di Sekolah Dasar Wilayah Bogor Tengah. Skripsi pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartuti, N., dan R. M. Sinaga. 1994. Aspek Panen dan Pasca Panen Cabe. Didalam: Agribisnis Cabe. Santika, A. (ed). Penebar Swadaya, Jakarta. Hastuti, R. K. 2005. Keragaan Pedagang dan Penggunaan Pewarna Sintetik (Rhodamin B) pada Terasi yang Digunakan oleh Pedagang di Lingkar Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hayes, P. R. 1985. Food Microbiology and Hygiene. Elsevier Applied Science Publisher, London. Indrianti, H. 2005. Prilaku dan Pengetahuan Konsumen dan Pedagang Terhadap Aspek Keamanan Pangan Produk Saus Cabai. Skripsi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Isyanti, M. 2001. Mutu Mikrobiologi Sayuran Lalapan dari Pasar Tradisional di Daerah Bogor dan Pengaruh Perlakuan Pascapanen Minimal untuk Menjamin Keamanannya. Skripsi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jennie, B. S. L. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Kanner, J., S. Harel, D. Palevitch, and I. Ben-gera. 1977. Color Retention in Paprika Powder as Affected by Moisture Contents and Ripening Stage. Journal of Food Technology 12:59-64. Lewis, R. J. 1989. Food Additive Handbook. Chapman and Hall International Thompson Pub, Amerika Serikat. Lubis, Y. 2000. Studi Proses Pembuatan Cabe Merah Giling. Skripsi pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lund, B. 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Vol. I. Aspen Publisher, Inc. Gathersburg, Maryland. Marriot. dan G. Norman. 1985. Principles of Food Sanitation. Van Nostrand Reinhold Company, New York. Nasoetion, A. H. dan D. Karyadi. 1988. Pengetahuan Gizi dan Mineral. PT. Gramedia, Jakarta.
Octavia, M. 2004. Kondisi Sanitasi dan Faktor-Faktor yang Mendukung Keamanan Pangan pada Katering (Studi Kasus Tiga Katering di Bogor). Skripsi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prabaningrum, L., Ati S. Duriat, A. Widjaya, dan Thomas Agus Soetiaso. 1996. Cabe Merah. Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran. BPPT, Bandung. Prajnanta, F. 1995. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya, Jakarta. Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green, dan S. R. J. Robbins. 1981. Spices and Condiments. National Book Trust, New Delhi. Rahayu, W.P. 2006. KLB Keracunan Pangan tahun 2006 (Per Tanggal 19 Desember 2006). Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta. Rahayu, W.P. dan Y. Kuswanti. 2002. Sanitary Condition of Campus Cafeteria. Paper presented in FIFSTA Conference. Bangkok. Reeves, M.J. 1987. Re-evaluation of Capsicum color data. Journal of Food Science 52:1047-1049. Rukmana, R dan Y. Yuniarsih. 2005. Penanganan Pascapanen Cabe Merah. Kanisius, Yogyakarta. Ruslan. 2003. Keamanan Mikrobiologi dan Survei Lapang Sayuran Olahan di Bogor Barat. Skripsi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Samsudin. 2004. Puskesmas Diminta Memantau Terasi Bercampur Zat Pewarna. http://www.suaramerdeka.com [12 Maret 2007]. Saksono, L. 1985. Pengantar Sanitasi Makanan. Penerbit Alumni Bandung, Bandung. Sayekti, P. 1998. Pencegahan Reaksi Pencoklatan Produk Cabe Giling Sebagai Salah Satu Kegiatan dalam Pengembangan Produk di PT Rodamas. Skripsi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setiadi. 1987. Bertanam Cabe. Penebar Swadaya, Jakarta. Siswati, P. dan J. S. Slamet. 2000. Uji Toksisitas Zat Warna Rhodamin B terhadap Jaringan Hati Mencit (Mus Muscullus). Jurnal Toksikologi Indonesia Vol.3(1): 18-27.
Sihombing, G. 1987. Latar Belakang Penggunaan Bahan Pewarna Sintetik, Risalah Seminar Bahan Tambahan Kimiawi, Jakarta. Soekarto, S. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni Bandung, Bandung. Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Penyimpanan Pangan. PAU IPB, Bogor. Triana, S. 2003. Penetapan Zat Warna Rhodamin B secara Spektrofotometri Cahaya Tampak dalam Jajanan Anak SD di Kelurahan Rawamangun Jakarta Timur. Pusat Penelitian dan Pelatihan Perindustrian dan Perdagangan. Akademi Kimia Analisis, Bogor. Tressler, D. K. dan M. A. Joslyn. 1961. Fruit and Vegetable Juice Proccesing Technology AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut. Wati, E. L. 1997. Kajian Aspek Teknologi Produk-Produk Olahan Cabe Merah (Capsicum annum var. longum). Skripsi pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F. G. 1990. Bahan Tambahan Pangan. PAU-IPB, Bogor. ____________. 1993. Proyek Makanan Jajanan IPB. Lembaga Pengabdian Masyarakat. IPB, Bogor. ____________. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lampiran 1. Kuisioner untuk pedagang cabe giling KUESIONER STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR (STUDI KASUS DI PASAR TRADISIONAL DI KOTA BOGOR) Kpd Yth. Bapak/Ibu pedagang cabe giling Dalam rangka penulisan tugas akhir di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor penulis (ROSARIA, F24103043) meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk diwawancarai dan menjawab kuisioner berikut ini. Atas bantuannya, penulis ucapkan terima kasih. Petunjuk pengisian: - Beri tanda cheklist (√) pada pilihan jawaban dibawah ini. - Pertanyaan bentuk isian dijawab dengan singkat dan jelas. A. Identitas Responden 1. Nama : 2. Alamat : 3. Pendidikan formal terakhir yang ditamatkan : Tidak tamat SD SD SMA Perguruan Tinggi 4. Jenis Kelamin : Pria Wanita 5. Sudah berapa lama anda berjualan cabe giling: Kurang dari 5 tahun 5-10 tahun
SMP
Lebih dari 10 tahun
B. Cabe Giling 1. Harga cabe giling(Rp/kg) : 2. Berapa banyak cabe yang anda giling perhari : Kurang dari 5 kg 5-10 kg Lebih dari 10 kg 3. Jam berapa anda berjualan : mulai pukul s.d 4. Berapa lama daya tahan cabe giling yang anda jual: 2 hari 4 hari 8 hari Lebih dari 8 hari 5. Bahan baku apa saja yang anda gunakan selain cabe merah (anda boleh menjawab lebih dari satu): Air Garam dapur Pengawet, sebutkan......... Pewarna, sebutkan....... Lainnya, sebutkan......... 6. Apakah anda menggunakan bahan baku tersebut dengan aturan/takaran tertentu Ya Tidak (Jika Anda menjawab Tidak, Lanjutkan ke pertanyaan no. 8)
7. Berapa banyak takaran tiap bahan tersebut ditambahkan Air :.......... lt/kg cabe Garam :.......... g/kg cabe Pengawet :...........g/kg cabe Pewarna :......... g/kg cabe Lainnya :......... 8. Usaha apa yang sudah anda lakukan untuk menjaga kebersihan cabe giling yang anda jual (anda boleh menjawab lebih dari satu) Menggunakan bahan baku yang segar dan bersih Mencuci bahan dengan air bersih Membersihkan kios/tempat berjualan Mencuci alat dengan air dan sabun Mencuci tangan Lainnya, sebutkan......... 9. Bagaimana anda membersihkan bahan dan alat tersebut: Mencuci bahan dan alat produksi dengan air mengalir Mencuci bahan dan alat produksi dengan air tergenang (dalam wadah) Lainnya, sebutkan...... 10. Kapan anda melakukan usaha-usaha tersebut Sebelum berjualan Sesudah berjualan Bila terlihat kotor 11. Bagaimana cara anda menjual cabe giling: Dicurah dalam bak plastik Dikemas dalam kantung plastik Lainnya, sebutkan...... 12. Apakah cabe giling yang anda jual habis terjual tiap hari : Ya Tidak 13. Jika masih ada cabe giling yang tidak habis terjual, apa yang anda lakukan: Dimasak sendiri Disimpan untuk dijual kembali Dicampur dengan yang baru Dibuang 14. Jika disimpan kembali, bagaimana anda menyimpannya Dalam lemari Es Dalam wadah tertutup diberi Es Dalam wadah terbuka diberi Es Lainnya, sebutkan....... C. Penyampaian Informasi Keamanan Cabe giling 1. Apakah selama ini pihak pengelola pasar memperhatikan/memantau keadaan pasar Ya Tidak Kadang-kadang 2. Apakah sudah pernah dilakukan penyuluhan mengenai keamanan pangan dan kebersihan cabe giling dari pengelola pasar Ya Tidak 3. Jika pernah,apakah anda mengikuti penyuluhan tersebut Ya Tidak 4. Apakah penyuluhan tersebut ada manfaatnya untuk anda Ya Tidak -TERIMA KASIH-
Lampiran 2. Identitas pedagang cabe giling yang bersedia menjadi responden kuisioner Nomor Nama Lokasi berjualan Alamat 1 Naman Pasar Bogor Ciampea, Bogor 2 Roni Pasar Bogor Bogor 3 Idris Pasar Bogor Warung Jambu, Bogor 4 Joni Pasar Bogor Cibinong 5 Anto Pasar Bogor Pulo Geulis 6 Doni Pasar Sukasari Sukasari 7 Anwar Pasar Jambu Dua Ciluar 8 Yanto Pasar Gunung Batu Bogor 9 Ahmad Pasar Gunung Batu Sindang Barang 10 Rani Pasar Gunung Batu Ciomas 11 Afria Pasar Merdeka Bogor 12 Malik Pasar Merdeka Cimanggu, Bogor 13 Adi Pasar Padasuka Bogor 14 Iwan Pasar Anyar Bogor 15 Yesi Pasar Anyar Cimanggu 16 Ratna Pasar Anyar Ciwaringin 17 Adi Pasar Anyar Ciwaringin 18 David Pasar Anyar Cimanggu 19 Sabid Pasar Anyar Ciawi 20 Maifaleno Pasar Anyar Cimanggu Lampiran 3. Data hasil kuisioner terhadap 20 pedagang cabe giling di kota Bogor Respon No Kategori Jawaban % Respon responden 1 Pendidikan formal Tidak tamat SD 3 15 terakhir yang SD 5 25 ditamatkan SMP 2 10 SMU 10 50 Perguruan Tinggi 0 0 2 Jenis Kelamin Pria 17 85 Wanita 3 15 3 Lama Berjualan < 5 tahun 8 40 cabe giling 5-10 tahun 7 35 > 10 tahun 5 25 4 Harga < Rp 15.000 1 5 Rp.15.000-20.000 12 60 > Rp. 20.000 7 35 5 Banyak cabe yang < 5 kg 1 5 digiling perhari 5-10 kg 7 35 >10 kg 12 60 6 Waktu berjualan 24 jam 2 10 dalam sehari 12 jam 11 55 >12 jam 7 35 7 Daya tahan cabe 2 hari 14 70 giling yang dijual 4 hari 2 10 8 hari 1 5 >8 hari 3 15 8 Bahan baku yang Air 12 60 digunakan selain Garam dapur 20 100 cabe merah Pengawet 0 0 Pewarna 0 0 Lainnya,..... 0 0
Lampiran 3. Data hasil kuisioner terhadap 20 pedagang cabe giling di kota Bogor (Lanjutan) Respon No Kategori Jawaban % Respon responden 9 Penggunaan bahan Ya 6 30 baku selain cabe Tidak 14 70 dengan takaran tertentu 10 Takaran yang Air digunakan untuk 50 ml/kg 1 16.67% tiap bahan baku 30ml/kg 1 16.67% selain cabe Garam dapur 100g/kg 3 50% 50g/kg 1 16.67% 5g/kg 1 16.67% Pengawet 0 0 Pewarna 0 0 Lainnya,..... 0 0 100 11 Upaya sanitasi Menggunakan bahan baku yang 20 yang dilakukan segar dan bersih 100 20 pedagang Mencuci bahan dengan air bersih 18 90 Membersihkan kios/ tempat berjualan Mencuci alat dengan air dan 0 0 sabun 100 Mencuci tangan 20 19 95 Lainnya, Mencuci alat dengan air tanpa sabun 12 Cara Dengan air mengalir 4 20 membersihkan Dengan air tergenang (dalam 16 80 alat dan bahan wadah) Lainnya,…. 0 0 13 Waktu Sebelum berjualan 17 85 membersihkan Sesudah berjualan 1 5 alat dan bahan Bila terlihat kotor 2 10 14 Cara menjual cabe Dicurah dalam bak plastik 18 90 giling Dikemas dalam kantung plastik 2 10 Lainnya,.... 0 0 15 Cabe giling habis Ya 5 25 terjual tiap hari Tidak 15 75 16 Tindakan terhadap Dimasak sendiri 0 0 cabe giling yang Disimpan untuk dijual kembali 7 35 tersisa Dicampur dengan yang baru 13 65 Dibuang 0 0 17 Penyimpanan Dalam lemari Es 3 15 cabe giling yang Dalam wadah tertutup diberi Es 0 0 tersisa Dalam wadah terbuka diberi Es 0 0 Lainnya: Dalam wadah tertutup 16 80 tanpa diberi Es Dalam wadah terbuka tanpa Es 1 5
Lampiran 3. Data hasil kuisioner terhadap 20 pedagang cabe giling di kota Bogor (Lanjutan) No Kategori Jawaban Respon % Respon responden 18 Perhatian dari Ya 8 40 pihak pengelola Tidak 9 45 pasar Kadang-kadang 3 15 19 Pernah ada Ya 2 10 penyuluhan Tidak 18 90 keamanan pangan dan kebersihan cabe giling 20 Pernah mengikuti Ya 0 0 penyuluhan Tidak 20 100 21 Apakah pedagang Ya 0 0 merasa Tidak 0 0 penyuluhan yang mereka ikuti memberi mereka manfaat Lampiran 4. Identitas cabe giling yang dijadikan sebagai sampel analisis keamanan Wadah Nama Kode Daya tahan Lokasi Bahan tambahan penyimpanan pedagang sampel cabe giling cabe giling sisa Garam (100g/kg Joni A 8 hari Wadah tertutup cabe merah utuh) Garam dan Air (tanpa Naman B 4 hari Wadah tertutup Pasar takaran tertentu) Bogor Garam (100g/kg cabe utuh) dan Air Anto C 2 hari Wadah terbuka (tanpa takaran tertentu) Garam dan Air (tanpa takaran Ratna D > 8 hari Wadah tertutup tertentu) Pasar Kebon Garam dan Air (tanpa Adi E 4 hari Wadah tertutup Kembang takaran tertentu) Garam dan Air (tanpa David F 2 hari Wadah tertutup takaran tertentu) Garam (tanpa Pasar Adi G 2 hari takaran tertentu) dan Wadah tertutup Padasuka Air (50 ml/kg) Pasar Garam dan Air (tanpa Doni H 2 hari Wadah tertutup Sukasari takaran tertentu) Garam (100g/kg Pasar Ahmad I 2 hari Wadah tertutup cabe merah utuh) Gunung Garam (tanpa takaran Batu Rani J 2 hari Wadah tertutup tertentu) Pasar Garam dan Air (tanpa Wadah tertutup Jambu Anwar K 2 hari takaran tertentu) Dua Pasar Garam (tanpa takaran Afria L 2 hari Wadah tertutup Merdeka tertentu)
Lampiran 5. Hasil uji one way cabe giling
ANOVA
Sum of Squares pH
Between Groups Within Groups Total
Kadar Air
Between Groups Within Groups Total
Kadar NaCL
.043
3.050
23
517.395
11
47.036
44.825
12
3.735
11
.736
Within Groups
1.785
12
.149
Total
9.886
23
3267798.00
11
129166.000
12
3396964.00
23
11.105
11
1.010
1.345
12
.112
12.450
23
9.595
11
.872
.665
12
.055
10.260
23
5.015
11
.456
Within Groups
1.690
12
.141
Total
6.705
23
145167.500
11
22891.000
12
Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups
Between Groups Within Groups Total
S.aureus
.230
12
23
Between Groups
Koliform
11
.515
8.101
Total
Bakteri pembentuk spora
2.535
562.220
Within Groups
Kapang Kamir
Mean Square
Between Groups
Kadar Na-benzoat Between Groups
Total mikroba
df
297072. 545 10763.8 33
13197.0 45 1907.58 3
168058.500
23
Between Groups
4.191
11
.381
Within Groups
1.265
12
.105
Total
5.456
23
F
Sig.
5.369
.004
12.592
.000
4.951
.005
27.599
.000
9.007
.000
15.740
.000
3.237
.027
6.918
.001
3.614
.018
* The mean difference is significant at the .05 level
Post Hoc (Homogeneous Subsets) SAMPEL
pH N
Subset for alpha = .05 1
Duncan(a)
2
3
12
2
4.650
5
2
4.700
4.700
7
2
4.750
4.750
2
2
4.850
4.850
9
2
4.850
4.850
10
2
5.050
5.050
5.050
11
2
5.100
5.100
5.100
4
2
5.200
5.200
6
2
5.450
3
2
5.500
Lampiran 5. Hasil uji one way cabe giling (Lanjutan) pH
SAMPEL
N
Subset for alpha = .05 1
Duncan(a)
2
3
8
2
5.500
1
2
5.550
Sig.
.075
.051
.051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. Kadar Air SAMPEL Duncan(a)
N
Subset for alpha = .05
2
1 71.550
2
11
3
4
5
6
5
2
75.600
75.600
3
2
76.300
1
2
77.900
77.900
6
2
78.700
78.700
10
2
81.050
81.050
8
2
81.750
81.750
81.750
7
2
83.500
83.500
83.500
4
2
85.050
85.050
85.050
12
2
85.500
85.500
85.500
9
2
86.150
86.150
2
2
86.800
Sig.
.058 .162 .089 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
.057
.060
.145
NaCL SAMPEL
N
Subset for alpha = .05 1
Duncan(a)
2
3
4
12
2
4.700
8
2
5.500
6
2
5.750
5.750
3
2
5.850
5.850
7
2
6.050
6.050
6.050
11
2
6.100
6.100
6.100
9
2
6.150
6.150
6.150
1
2
6.200
6.200
6.200
2
2
6.500
6.500
5
2
6.500
6.500
10
2
4
2
Sig.
.060 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
5.500
6.800 6.950 .129
.108
.060
Lampiran 5. Hasil uji one way cabe giling (Lanjutan)
Natrium benzoat
SAMPEL Duncan(a)
N
Subset for alpha = .05
11
2
1 377.00
2
3
6
2
385.00
12
2
398.50
10
2
412.50
7
2
427.50
3
2
669.50
8
2
724.50
5
2
968.00
2
2
1038.50
1
2
9
2
4
2
4
5
1038.50 1231.00
1231.00 1284.50 1359.50
Sig.
.663 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
.606
.510
.088
.261
S.aureus SAMPEL
N
Subset for alpha = .05 1
Duncan(a)
2
3
4
12
2
2.700
4
2
2.750
9
2
2.800
1
2
2.900
2.900
11
2
2.900
2.900
2
2
2.950
2.950
2.950
8
2
2.950
2.950
2.950
5
2
3.000
3.000
3.000
10
2
3.300
3.300
3.300
3.300
6
2
3.650
3.650
3.650
7
2
3.700
3.700
3
2
4.050
Sig.
.125 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
.061
.059
.053
Koliform SAMPEL
N
Subset for alpha = .05 1
Duncan(a)
2
5
2
2
2
1.50
8
2
24.00
24.00
7
2
25.00
25.00
12
2
97.50
3
2
4 9
3
4
.00
97.50
97.50
120.00
120.00
120.00
2
135.00
135.00
2
165.00
165.00
Lampiran 5. Hasil uji one way cabe giling (Lanjutan)
Koliform (lanjutan)
SAMPEL
N
Subset for alpha = .05 1
Duncan(a)
2
3
4
6
2
185.00
185.00
11
2
185.00
185.00
1
2
10
2
205.00 210.00
Sig.
.064 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
SAMPEL Duncan(a)
12 10 9 5 6 2 7 1 3 8 11 4 Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
.064
.095
.089
Bakteri pembentuk spora Subset for alpha = .05 1 3.050 3.200 3.400 3.600 3.800
.093
2
3
3.200 3.400 3.600 3.800 4.050 4.050 4.100 4.100
4
3.400 3.600 3.800 4.050 4.050 4.100 4.100 4.150
.054
5
3.600 3.800 4.050 4.050 4.100 4.100 4.150 4.350
.099
.099
3.800 4.050 4.050 4.100 4.100 4.150 4.350 4.650 .066
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. Kapang Kamir SAMPEL
N
Subset for alpha = .05 1
Duncan(a)
2
3
4
5
6
2
3.900
11
2
3.950
7
2
4.000
1
2
4.050
9
2
4.100
12
2
4.100
4
2
4.250
5
2
10
2
2
2
8
2
5.550
3
2
5.600
Sig.
4.250 4.700
.205 .080 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
4.700 5.000
5.000 5.350
.227
.163
5.350
.332
Lampiran 5. Hasil uji one way cabe giling (Lanjutan) TPC
Subset for alpha = .05 Duncan(a)
SAMPEL 5
N 2
1 4.900
12
2
5.050
6
2
5.200
5.200
10
2
5.250
5.250
2
2
5.350
5.350
9
2
5.450
5.450
7
2
5.700
5.700
5.700
4
2
5.900
5.900
3
2
6.400
8
2
6.400
11
2
6.400
1
2
Sig.
2
3
4
7.250 .053
.083
.080
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
Lampiran 6a. Kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B 5 ppm.
Lampiran 6b. Kurva serapan maksimum cabe giling A Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6c. Kurva serapan maksimum cabe giling B Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6d. Kurva serapan maksimum cabe giling C Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6e. Kurva serapan maksimum cabe giling D Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6f. Kurva serapan maksimum cabe giling E Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6g. Kurva serapan maksimum cabe giling F Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6h. Kurva serapan maksimum cabe giling G Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6i. Kurva serapan maksimum cabe giling H Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6j. Kurva serapan maksimum cabe giling I Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah) Ulangan III (kanan)
Lampiran 6k. Kurva serapan maksimum cabe giling J Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6l. Kurva serapan maksimum cabe giling K Ulangan I (kiri), Ulangan II (tengah), Ulangan III (kanan)
Lampiran 6m. Kurva serapan maksimum cabe giling L Ulangan I (kiri) Ulangan II (tengah) Ulangan III (kanan)
Lampiran 7. Hasil pengamatan jumlah total mikroba (kol/g) cabe giling ULANGAN I ULANGAN II Sampel
A
B
C
D
E
F
G
H
TP 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5
I
J
K
L Ket:
10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5 TP TBUD
1
2
TBUD TBUD 248 TBUD 41 7 TBUD 124 12 TBUD 46 8 63 19 7 180 60 11 220 18 5 TBUD 120
TBUD TBUD 242 TBUD 49 6 TBUD 164 11 TBUD 49 9 69 10 3 212 30 5 180 21 2 TBUD 100
69 145 30 4 179 72 12 TBUD 150 20 131 12 1
71 85 25 2 183 69 7 TBUD 94 15 147 20 4
Ratarata (kol/g) 2,5E+07
4,5E+05
1,3x106
4,6E+05
6,6E+04
2,2E+05
2,0E+05
1,6E+06
1,3E+05
2,3E+05
1,2E+06
1,4E+05
= Tingkat Pengenceran = Terlalu Banyak Untuk Dihitung
1
2
TBUD TBUD 83 122 11 2 TBUD TBUD 63 TBUD 135 13 90 10 2 108 33 5 TBUD 164 14 TBUD TBUD
TBUD TBUD 53 110 10 2 TBUD TBUD 38 TBUD 145 22 91 14 3 122 17 1 TBUD 125 11 TBUD TBUD
45
39
TBUD 67 9 135 13 8 TBUD TBUD 42 97 31 5
TBUD 77 22 145 22 10 TBUD TBUD 54 94 12 4
Rata-rata (kol/g)
Rata-rata ULANGAN I dan ULANGAN II (kol/g)
1,2E+07
1,9E+07
1,2E+05
2,9E+05
5,1E+06
3,2E+06
1,40E+06
9,3E+05
9,1E+04
7,9E+04
1,3E+05
1,8E+05
1,4E+06
8,0E+05
4,2E+06
2,9E+06
7,E+05
4,3E+05
1,4E+05
1,9E+05
4,8E+06
3,E+06
1,1E+05
1,3E+05
Lampiran 8. Hasil pengamatan jumlah kapang-kamir (kol/g) cabe giling ULANGAN I ULANGAN II Sampel
A
B
C
D
E F
G
H
I
J
TP 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4
1
2
TBUD TBUD 39 95 8 0 TBUD TBUD 40 160 21 3 TBUD 125 10 115 20 1 74 18 4 TBUD TBUD 45 145 30 5 94 13
TBUD TBUD 54 98 12 4 TBUD 290 24 180 24 7 TBUD 112 7 118 19 3 43 10 2 TBUD TBUD 21 134 42 8 92 10
2
0
Rata-rata (kol/g) 4,7E+05
9,8E+03
3,2E+05
2,3E+04
6,1E+04
1,2E+04
6,6E+03
3,3E+05
1,6E+04
9,5E+03
256 237 6,1E+04 63 58 9 4 102 98 L 1,2E+04 32 30 2 5 Ket: TP = Tingkat Pengenceran TBUD = Terlalu Banyak Untuk Dihitung K
1
2
TBUD 105 25 124 12 1 TBUD TBUD 48 158 16 8 TBUD 36 5 61 4 0 TBUD 45 21 TBUD TBUD 51 109 21 7 105 38
TBUD 97 18 119 17 1 TBUD TBUD 46 140 10 1 TBUD 39 4 44 3 0 112 30 11 TBUD TBUD 32 93 15 4 TBUD 36
17
10
TBUD 150 14 TBUD 67 20
TBUD 143 19 TBUD 59 9
Ratarata (kol/g)
Rata-rata Ulangan I dan II (kol/g)
1,1E+05
2,9E+05
1,2E+04
1,1E+04
4,7E+05
4,0E+05
1,4E+04
1,9E+04
3,8E+04
5,0E+04
5,3E+03
8,7E+03
1,8E+04
1,2E+04
4,2E+05
3,8E+05
1,1E+04
1,4E+04
1,8E+04
1,4E+04
1,5E+05
1,1E+05
7,0E+03
9,5E+03
Lampiran 9. Hasil pengamatan S.aureus (kol/g) cabe giling Ulangan I Ulangan II Sampel TP Rata-rata 1 2 1 2 (kol/g) -1 103 121 75 81 10 1,1E+03 8 A 24 9 10-2 10 0 2 2 10-3 1 -1 50 63 118 124 10 B 5,7E+02 17 9 21 10-2 6 1 6 11 10-3 0 TBUD TBUD 10-1 TBUD TBUD C 7,9E+03 148 82 135 10-2 75 5 32 40 10-3 7 45 80 76 10-1 30 3,8E+02 32 D 6 18 10-2 4 -3 0 0 19 7 10 -1 60 95 114 173 10 E 7,8E+02 22 6 17 10-2 4 0 4 5 10-3 0 131 TBUD TBUD 10-1 225 F 2,0E+03 81 40 83 10-2 50 0 21 28 10-3 8 62 92 112 10-1 73 G 6,8E+02 25 18 34 10-2 11 -3 1 5 14 11 10 -1 115 120 TBUD TBUD 10 H 1,4E+03 223 39 186 10-2 32 4 33 21 10-3 5 79 56 52 10-1 99 I 8,9E+02 18 9 12 10-2 10 0 0 0 10-3 1 243 157 120 10-1 215 J 2,3E+03 31 25 21 10-2 21 -3 3 4 11 7 10 -1 62 59 79 81 10 K 6,1E+02 20 6 29 10-2 8 0 7 13 10-3 0 36 79 49 10-1 43 L 4,0E+02 19 17 13 10-2 14 7 5 1 10-3 2 Ket: TP = Tingkat Pengenceran TBUD = Terlalu Banyak Untuk Dihitung
Rata-rata (kol/g)
Rata-rata Ulangan I dan II (kol/g)
7,8E+02
9,4E+02
1,2E+03
8,9E+02
1,6E+04
1,2E+04
8,9E+02
6,4E+02
1,4E+03
1,0E+03
9,1E+03
5,1E+03
1,2E+03
9,4E+02
2,1E+04
1,1E+04
5,4E+02
7,2E+02
1,5E+03
1,9E+03
9,0E+02
7,6E+02
6,4E+02
5,2E+02
Lampiran 10. Hasil pengamatan koliform dan E. coli cabe giling Ulangan I Sampel
Uji Penduga Koliform
TP
Kombinasi
A
B
C
D
E
F
10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4
+++ +- ++ -------+--++ +-+---+++ ++ ---++++ ---+--+++ +-+ --++ -
Nilai MPN
Jumlah koliform (MPN/g)
Ulangan II
Uji penguat & identifikasi E coli Jenis Koliform
E.coli
312 (1.2)
120
Fekal Non Fekal
001 (0.03)
3.0
Fekal
+
211 (1.2)
120
Fekal
+
321 (1.5)
150
Non Fekal
-
301 (0.39)
39
Fekal
+
322 (2.10)
210
Fekal
+
+
Uji penguat & identifikasi E coli
Uji Penduga Kombinasi +++ +++++ ----------+++-+-+-+-+ -+--+-+-------+++ +- +++--
Nilai MPN
Jumlah koliform (MPN/g)
323 (2.9)
290
Fekal Non Fekal
+
000 (<0.03)
<3.0
-
-
211 (1.2)
120
Fekal
+
211 (1.2)
120
Non Fekal
-
111 (0.11)
11
Fekal
+
313( 1.6)
160
Fekal
+
Lampiran 10. Hasil pengamatan koliform dan E. coli cabe giling (Lanjutan) Ulangan I Sampel
Uji Penduga Koliform
TP
Kombinasi
G
H
I
J
K
L
10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4 10-1 10-2 10-3 10-4
--------++ +++---+++ -+--+ --+ +++ +++-+- ++-+--+-+++ +-+ --++ -
Nilai MPN 000 (<0.03) 221 (0.28) 312 (1.2)
Jumlah koliform (MPN/g)
Jenis Koliform -
NonFekal
211 (1.2)
322 (2.10)
Kombinasi
-
--------+-++++--+++ -+--+ --+ +++ ++ ++--+++ -+-+--+++ -++++--
-
28 Fekal
+
120 +
210
120
210
Uji Penduga
E.coli
<3
Fekal 322 (2.10)
Ulangan II
Uji penguat & identifikasi E coli
Non Fekal
-
Fekal Non Fekal
+
Nilai MPN 000 (<0.03)
122 (0.20)
322 (2.10)
322 (2.10)
311 (0.75)
313( 1.6)
Jumlah koliform (MPN/g)
Uji penguat & identifikasi E coli
-
-
NonFekal
-
Fekal
+
Fekal
+
Non Fekal
-
Fekal Non Fekal
+
<3
20
210
210
75
160
Lampiran 11. Hasil pengamatan bakteri pembentuk spora (kol/g) cabe giling
Ulangan I Sampel
TP 1
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
Ket:
10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3 TP TBUD
2
Ulangan II Ratarata (kol/g) 4,3E+04
1
TBUD TBUD TBUD 275 TBUD 124 42 44 58 TBUD TBUD 2,0E+04 TBUD 195 154 92 43 41 17 TBUD TBUD 1,5E+04 TBUD 115 127 144 40 37 22 TBUD TBUD 1,9E+04 TBUD 171 168 TBUD 50 32 98 135 148 1,6E+03 TBUD 29 31 106 5 6 21 212 198 2,7E+03 TBUD 91 87 125 23 18 34 TBUD 296 1,4E+04 TBUD 117 128 106 32 41 21 TBUD TBUD 1,3E+04 TBUD 102 110 158 37 40 21 256 191 2,9E+03 230 84 72 51 21 12 23 99 84 1,1E+03 198 34 29 52 8 7 13 TBUD TBUD 1,7E+04 TBUD 121 133 TBUD 71 56 38 92 109 1,0E+03 139 11 20 41 0 2 11 = Tingkat Pengenceran = Terlalu Banyak Untuk Dihitung
2 239 93 24 TBUD 48 14 TBUD 83 19 TBUD TBUD 85 TBUD 95 17 TBUD 140 46 TBUD 95 17 TBUD 149 22 148 45 18 205 83 29 TBUD TBUD 32 97 18 2
Ratarata (kol/g) 4,2E+03
Rata-rata Ulangan I dan II (kol/g) 2,4E+04
7,0E+03
1,4E+04
1,1E+04
1,3E+04
9,2E+04
5,6E+04
1,0E+04
5,8E+03
1,6E+04
9,2E+03
1,0E+04
1,2E+04
1,5E+04
1,4E+04
2,2E+03
5,1E+03
2,4E+03
1,8E+03
3,5E+04
2,6E+04
1,3E+03
1,2E+03
88
Lampiran 12. Pengamatan nilai pH cabe giling selama penyimpanan
Pengamatan hari ke-
Tanpa Na Benzoat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
4.8 4.6 (*)
Nilai pH cabe giling Na Benzoat 500 ppm 4.8 4.8 4.8 4.7 4.7 4.6 (*)
Na Benzoat 1000 ppm
Sampel G
4.8 4.8 4.6 4.6 4.6 4.6 4.5 4.5 4.5 4.5 4.5 4.4 4.4 (*)
3.9 3.9 3.8 (*)
Sampel K 4.7 4.6 4.2 4.4 4.3 4.3 (*)
Ket: (*) = cabe giling dinyatakan rusak dan analisis dihentikan karena secara visual tidak dapat diterima Lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam cabe giling selama penyimpanan ANOVA
pH
TPC
Kapang dan Kamir
Bakteri pembentuk spora
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
,175
12
,015
,132
,999
Within Groups
1,877
17
,110
Total
2,052
29
Between Groups
7,200
12
,600
1,388
,261
Within Groups
7,347
17
,432
Total
14,547
29
Between Groups
16,906
12
1,409
3,097
,017
Within Groups
7,733
17
,455
Total
24,639
29
Between Groups
6,852
12
,571
,856
,600
Within Groups
11,342
17
,667
Total
18,195
29
* The mean difference is significant at the .05 level
Post Hoc
Kapang kamir SAMPEL
N
Subset for alpha = .05
G
13
3.323
1000 ppm
3
4.067
4.067
500
6
4.283
4.283
0
2
4.450
4.450
K
6
1 Duncan(a,b)
Sig.
2
4.633 .074
.362
89
Lampiran 14. Pengamatan mikrobiologi cabe giling (tanpa penambahan Na benzoat) selama penyimpanan Hari ke-
0
1 2*
Total mikroba TP 10-3 10-4 10-5 10-4 10-5 10-6
1 240 108 79 TBUD TBUD 234
Kapang kamir 2 108 97 36 TBUD 98 76
koloni/ g 3.0x105
3.4x107
TP 10-1 10-2 10-3 10-2 10-3 10-4
1 TBUD 119 25 TBUD TBUD 60
Bakteri pembentuk spora 2 140 71 3 TBUD 224 24
koloni/g 2.9 x 103
2.6 x 105
TP 10-1 10-2 10-3 10-1 10-2 10-3
1 TBUD 124 58 TBUD 275 42
2 239 93 24 TBUD TBUD 44
koloni/g 4,2x103 4.3x104
Ket: TP = Tingkat Pengenceran TBUD = Terlalu Banyak Untuk Dihitung (*) = cabe giling dinyatakan rusak dan tidak dilakukan analisis karena secara visual tidak dapat diterima
Lampiran 15. Pengamatan mikrobiologi cabe giling (+Na benzoat 500 ppm) selama penyimpanan 10-4 156 92 10-3 36 37 10-2 102 110 Total mikroba Kapang kamir Bakteri pembentuk spora -5 -4 10 14 20 10 9 9 10-3 37 40 Hari ke- TP 1 2 koloni/g TP 1 2 koloni/g TP 1 2 koloni/g 10-3 112 98 10-1 TBUD 135 10-1 225 131 0 1.7x105 10-2 2.7 x103 10-4 79 49 120 56 10-2 32 39 2.0 x103 -5 -3 -3 10 10 10 26 22 17 12 5 4 10-3 202 224 10-2 80 63 10-1 212 198 1 2.3x105 10-3 7.2 x103 2.7x103 10-4 41 33 20 15 10-2 87 91 -5 -4 -3 10 20 21 2 4 23 18 10 10 10-3 TBUD 247 10-2 105 96 10-1 TBUD 296 2 3.3x105 10-3 1.2 x104 1.4x104 10-4 71 60 30 28 10-2 117 128 -5 -4 -3 10 10 10 25 13 6 5 32 41 -3 -2 -1 10 TBUD TBUD 10 164 189 10 TBUD TBUD 6 4 3 1.2x10 1.8 x10 1.7x104
88
Lampiran 15. Pengamatan mikrobiologi cabe giling (+Na benzoat 500 ppm) selama penyimpanan (Lanjutan) Hari ke-
4
Total mikroba TP 1 10-3 TBUD 10-4 TBUD 50 10-5 10-4 TBUD 10-5 245 -5 10 53
5 6* Ket: TP TBUD (*)
2 TBUD TBUD 51 TBUD 198 56
koloni/g 1.5x106
2.5x107
Kapang kamir TP 1 10-3 35 10-4 20 10-5 4 10-3 TBUD 10-4 37 10-5 2
2 40 27 2 TBUD 1 0
koloni/g 3.8 x104
3.6 x105
Bakteri pembentuk spora TP 1 2 10-1 TBUD TBUD 10-2 TBUD TBUD 32 10-3 38 10-1 TBUD TBUD 10-2 195 154 -3 10 43 41
koloni/g
2.6x104
2.0x104
= Tingkat Pengenceran = Terlalu Banyak Untuk Dihitung = cabe giling dinyatakan rusak dan tidak dilakukan analisis karena secara visual tidak dapat diterima
Lampiran 16. Pengamatan mikrobiologi cabe giling (+Na benzoat 1000 ppm) selama penyimpanan 10-4 150 94 10-3 38 52 10-2 102 110 Total Kapang kamir Bakteri pembentuk spora -5 mikroba -4 Hari 10 20 15 10 4 5 10-3 37 40 keTP 1 2 koloni/g TP 1 2 koloni/g TP 1 2 10-3 109 89 10-1 245 182 10-1 135 148 1.2x105 10-4 69 49 10-2 65 74 10-2 29 31 2.1x103 -5 -3 0 10-3 5 10 10 26 22 9 6 6 10-3 215 205 10-2 32 40 10-1 215 243 5 -4 -3 3 2.0x10 10 46 33 10 3 4 10-2 21 25 3.6x10 1 10-3 3 10-4 18 21 0 0 4 10-5 -3 -2 10 TBUD 235 10 136 147 10-1 TBUD TBUD 2.3x105 10-4 71 58 10-3 46 32 85 1.6 x104 10-2 75 2 10-3 7 25 13 18 11 5 10-5 10-4 10-3 TBUD TBUD 10-2 TBUD TBUD 10-1 TBUD TBUD 1.2x106 4 3 4.5 x10
koloni/g 1.6 x103
2.3 x103
7.9x103 1.3x104
88
Lampiran 16. Pengamatan mikrobiologi cabe giling (+Na benzoat 1000 ppm) selama penyimpanan (Lanjutan) Hari ke4
5
6
7
8
9
10
11
12 13*
Total mikroba TP 1 10-3 TBUD 10-4 164 10-5 34 10-3 TBUD -4 10 205 10-5 34 10-3 217 10-4 98 17 10-5 -3 10 TBUD 10-4 TBUD 42 10-5 10-3 TBUD 10-4 TBUD 10-5 42 10-3 TBUD 10-4 TBUD 10-5 50 -3 10 TBUD 10-4 TBUD 10-5 64 10-3 TBUD 10-4 TBUD 10-5 50 10-4 TBUD 10-5 150 10-6 25
2 TBUD 124 47 TBUD 192 47 220 95 25 TBUD TBUD 39 TBUD TBUD 48 TBUD TBUD 51 TBUD TBUD 67 TBUD TBUD 51 TBUD 78 26
koloni/g 1.6x106
1.9x106
2.5x106 4.2x106
4.8x106
5.1x106
6.5x106
9.8x106
1.2x107
Kapang kamir TP 1 10-2 TBUD 10-3 48 10-4 18 10-2 118 -3 10 40 10-4 25 10-2 37 10-3 14 4 10-4 -1 10 93 10-2 43 10-3 9 10-1 79 10-2 20 10-3 0 10-1 85 10-2 22 10-3 8 -1 10 53 10-2 33 10-3 2 10-1 91 10-2 21 10-3 9 10-1 72 10-2 15 10-3 7
2 143 37 13 90 35 27 32 7 3 107 37 8 98 18 1 48 15 1 78 40 0 85 15 8 84 18 5
koloni/g 2.2 x104
1.5 x104
3.5 x103 1.0 x103
9.8 x103
5.2 x103
3.7 x103
1.8 x103
2.1x103
Bakteri pembentuk spora TP 1 2 10-1 TBUD TBUD 10-2 115 127 40 37 10-3 10-1 TBUD TBUD 10-2 171 168 50 32 10-3 10-1 TBUD 239 10-2 124 93 58 24 10-3 -1 10 TBUD TBUD 10-2 106 140 10-3 21 17 10-1 256 191 10-2 72 84 10-3 21 18 10-1 139 97 10-2 41 18 10-3 11 2 -1 10 157 120 10-2 31 21 10-3 7 13 10-1 99 84 10-2 34 29 10-3 8 7 10-1 92 109 10-2 11 20 10-3 3 5
koloni/g
1.5x104
1.9 x104
2.4x104 1.0x104
2.9 x103
1.3x103
1.9x103
1.1x103
1.0 x103
Lampiran 17. Pengamatan mikrobiologi cabe giling komersial G selama penyimpanan Hari Total mikroba Kapang kamir Bakteri pembentuk spora keTP 1 2 kol/g TP 1 2 cfu/g TP 1 2 kol/g 10-3 214 TBUD 10-2 138 90 10-1 73 62 -2 9.8 x105 10-4 86 47 10-3 39 35 11 18 2.5 x104 10 -5 -4 0 6.8 x102 10 10-3 1 10 19 13 15 22 5 -1 -3 -2 43 36 10 10 TBUD TBUD 10 TBUD 132 3.8 x106 3.7 x104 10-2 14 17 4.2 x102 10-4 84 97 10-3 74 89 10-3 2 7 1 10-5 24 25 13 10-4 24 -3 -1 10-1 3 2 10 TBUD TBUD 10 93 107 3.6 x106 1.6 x103 10-2 0 25 10-4 58 79 10-2 45 39 0 2 10-3 9 10-3 0 10-5 15 28 8 0 3* Ket: TP = Tingkat Pengenceran TBUD = Terlalu Banyak Untuk Dihitung (*) = cabe giling dinyatakan rusak dan tidak dilakukan analisis karena secara visual tidak dapat diterima
Lampiran 18. Pengamatan mikrobiologi cabe giling komersial K selama penyimpanan Hari ke-
0 1
TP 10-3 10-4 10-5 10-3 10-4 10-5
Total mikroba 1 2 206 198 79 69 26 22 TBUD TBUD 68 83 19 21
kol/g 6.9x105
7.8x105
TP 10-2 10-3 10-4 10-2 10-3 10-4
Kapang kamir 1 2 kol/g 160 180 2.3 x104 21 24 3 7 256 237 6.1x104 58 63 9 4
Bakteri pembentuk spora TP 1 2 kol/g 10-1 101 211 9.8x103 10-2 95 98 10-3 18 24 10-1 214 TBUD 1.2x104 10-2 115 118 -3 20 19 10
Lampiran 18. Pengamatan mikrobiologi cabe giling sampel K selama penyimpanan (Lanjutan) Hari ke2
3
4
5 *
Total mikroba TP 1 10-3 TBUD 10-4 171 10-5 25 10-3 TBUD -4 10 156 20 10-5 10-3 TBUD 10-4 TBUD 215 10-5 10-4 TBUD 10-5 145 53 10-6
2 TBUD 154 13 TBUD TBUD 34 TBUD TBUD 248 TBUD 98 56
koloni/g 3.3x106
5.2x106
2.7x107
4.9x107
Kapang kamir TP 1 10-2 TBUD 10-3 TBUD 10-4 45 10-2 105 10-3 38 17 10-4 10-2 135 10-3 26 5 10-4 10-2 164 10-3 36 9 10-4
2 TBUD 158 21 164 36 10 TBUD 98 8 189 37 9
koloni/g
3.8x105
1.8x104
3.5x104
1.8x 104
Bakteri pembentuk spora TP 1 2 10-1 TBUD TBUD 10-2 TBUD TBUD 10-3 125 112 10-1 TBUD TBUD 10-2 145 132 10-3 30 42 10-1 207 108 10-2 74 43 10-3 18 10 10-1 259 178 10-2 94 92 10-3 15 13
6
Ket: TP TBUD (*)
= Tingkat Pengenceran = Terlalu Banyak Untuk Dihitung = cabe giling dinyatakan rusak dan tidak dilakukan analisis karena secara visual tidak dapat diterima
koloni/g
6.1x104
1.6x104
6.6x103
9.5x103