SKRIPSI
DAMPAK PEMBERIAN BAKTERI ASAM LAKTAT PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP STATUS HEMATOLOGI TIKUS PERCOBAAN YANG DIPAPAR ENTEROPATOGENIK Escherichia coli (EPEC)
Oleh ERI SUHESTI F24062753
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DAMPAK PEMBERIAN BAKTERI ASAM LAKTAT PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP STATUS HEMATOLOGI TIKUS PERCOBAAN YANG DIPAPAR ENTEROPATOGENIK Escherichia coli (EPEC)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ERI SUHESTI F24062753
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) Nama : Eri Suhesti NIM : F24062753
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
(Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS) NIP : 19620202.198703.1.004
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.) NIP : 19650814.199002.1.001
Tanggal lulus :
Juni 2010
Eri Suhesti. F24062753. Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC). Dibawah bimbingan Made Astawan.
RINGKASAN Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), diare adalah penyebab nomor empat kematian dari seluruh penyakit di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Escherichia coli merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai bakteri penyebab diare. Budiarti (1997) menyatakan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia dengan prevalensi 55% dari jumlah anak penderita diare. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2008), sekitar 162 ribu balita di Indonesia meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap harinya. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit diare. Probiotik adalah zat nutrisi tambahan berupa mikroorganisme hidup yang bermanfaat bagi induk yang memakannya dengan jalan meningkatkan keseimbangan populasi mikroba usus (Fuller, 1992). Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 merupakan satu jenis probiotik yang telah ditemukan oleh Arief (2008) dari daging sapi mentah yang terbukti bersifat sebagai probiotik dan mampu menghasilkan senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba yang dihasilkan mampu menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogenik seperti Escherichia coli enterotoksigenik, Straphylococcus aureus dan Salmonella typhimurium. Namun sifat fungsional lainnya belum diteliti, khususnya sebagai pencegah suatu penyakit gastroenteritis, misalnya diare akibat infeksi EPEC. Beberapa strain proboitik juga mampu bersifat bakterisidal terhadap bakteri patogen termasuk EPEC, yaitu dengan cara meningkatkan status imun inang yang mengkonsumsinya atau bersifat imunomodulator. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan bakteri asam laktat probiotik indigenus berupa Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 sebagai antidiare pada tikus percobaan yang dipapar bakteri EPEC serta mengetahui dampaknya terhadap status hematologi (eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit). Tahap pertama penelitian ini meliputi persiapan kultur BAL dan EPEC. Kultur induk disegarkan kembali dalam media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB) untuk BAL dan media Nutien Agar untuk EPEC. Kemudian dilakukan pengenceran agar diperoleh populasi 108 cfu/ml untuk BAL dan 106 cfu/ml untuk EPEC. Kultur stok yang telah dibuat perlu diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang dengan cara menyimpan dalam refrigerator. Tahap penelitian selanjutnya adalah pengujian secara in vivo. Jumlah tikus yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 95 ekor, yang dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan. Setiap kelompok
terdapat 15 ekor tikus dan 5 ekor tikus sisanya digunakan sebagai kelompok baseline. Masa adaptasi tikus selama 3 hari dan masa perlakuan selama 21 hari. Selama masa perlakuan, secara berkala dilakukan penghitungan jumlah konsumsi ransum dan pengukuran berat badan. Pembedahan tikus selama masa perlakuan dilakukan setiap 7 hari sekali. Darah tikus digunakan untuk analisis hematologi dengan parameter eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit. Analisis hematologi dilakukan dengan menggunakan alat “Hematology Analyzer”. Pada umumnya berat badan tikus mengalami kenaikan selama pemeliharaan. Akan tetapi, pada tikus yang diinfeksi EPEC, yaitu tikus kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC, BAL L. fermentum 2B4 + EPEC, dan kontrol positif, mengalami penurunan berat badan sejak hari ke-12 hingga ke-21. Hal ini disebabkan tikus tersebut mengalami infeksi saluran pencernaan oleh EPEC, sehingga proses penyerapan zat-zat gizi di dalam usus menjadi terganggu. Kejadian diare pada tikus dimulai sejak satu minggu dicekok EPEC dan berlangsung secara terus-menerus. Feses tikus yang diinfeksi EPEC dengan atau tanpa pemberian BAL mengalami diare (yang ditunjukkan dengan penampakkan feses yang lebih lembek) sedangkan kelompok tikus yang tidak diberi cekok EPEC, fesesnya tidak mengalami diare (feses cukup keras). Namun Kelompok tikus yang hanya diberikan EPEC saja tanpa pemberian BAL mengalami diare yang lebih parah. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya kadar air feses mencapai 63.95% pada hari ke-14 dan 68,92% pada hari ke-21. Kelompok kontrol positif umumnya memiliki status hematologi yang paling rendah dibandingkan kelompok tikus lainnya kecuali pada jumlah leukosit. Jumlah eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit pada kelompok kontrol positif secara berturut-turut adalah 7,07 juta/L, 39,13%, 14,5 g%, 383 ribu/L, dan 4433 sel/L. Penambahan probiotik BAL L. plantarum 2C12 atau L. fermentum 2B4 pada tikus yang diinfeksi EPEC mampu mempertahankan jumlah eritrosit, hematokrit, dan hemoglobin tikus pada jumlah yang normal. Berdasarkan penelitian ini, pemberian BAL L. plantarum 2C12 lebih efektif dalam mempertahankan jumlah eritrosit, hematokrit dan hemoglobin tikus yang diinfeksi EPEC dibandingkan penambahan BAL L. fermentum 2B4.
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Tegal, pada tanggal 17 Agustus 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan keluarga H. Maskhuro, SE. dan Hj. Suci Nurhayati. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar selama 6 tahun (1997-2002) di SD Negeri Ngijo 3 Tasikmadu, Surakarta. Kemudian meneruskan ke sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Sragi, Pekalongan selama 3 tahun (2002-2004), dan setelahnya melanjutkan studi ke SMU Negeri 1 Wiradesa, Pekalongan sejak tahun 2004-2006 . Pada tahun 2006, penulis meneruskan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi dengan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis cukup aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjadi pengurus aktif Forum for Scientific Studies (FORCES), Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA), Food Processing Club (FPC), BAUR 2008, KPMDB. Penulis juga aktif di kegiatan non-akademik seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan PKM-AI. Pada bulan Mei 2010, penulis bersama timnya berhasil lolos menjadi finalis 3 besar lomba pangan internasional Developing Solutions for Developing Countries competition yang diadakan oleh Institute of Food Technologist Student Association di Chicago, Illinois Amerika Serikat pada tanggal 17-20 July 2010. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Biologi Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan asisten praktikum Kimia Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan melakukan penelitian pada tahun 2009 yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di IPB dan membuat skripsi yang berjudul “Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat (BAL) Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)”. Penelitian ini dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan karunia, rahmat, dan kasih sayangNya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat (BAL) Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)”. Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis tidak terlepas dari dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S., selaku dosen pembimbing akademik atas pengarahan, masukan serta kesabarannya untuk membimbing penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi. 2. Irma Isnafia Arief, SPt. MSi yang telah membimbing dan memberi masukan selama penelitian berlangsung. 3. Dr. Tutik Wresdiyati, Ph.D. dan Dr. Ir. Hj. Endang Prangdimurti, M.Si., selaku dosen penguji yang telah bersedia untuk menguji pada ujian saya. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, yang telah memberikan dana selama penelitian berlangsung. 5. Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, dan adik-adikku, atas segala dukungan yang tidak ternilai harganya, baik secara fisik dan moril, kasih sayang, cinta yang begitu besar, dan keceriaan, serta keluarga besar yang telah memberikan semangat bagi penulis. 6. Laboratorium Kesehatan Daerah Bogor yang telah membantu menganalisis dalam penelitian ini. 7. Seluruh dosen ITP yang banyak memberikan ilmu dan nasehat kepada penulis selama berkuliah dan staf departemen yang telah banyak membantu penulis. 8. Bapak Hadi selaku laboran Laboratorium Hewan Percobaan Seafast atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.
i
9. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu mewarnai hidup penulis selama di ITP, Della, Helen, Sadek, Laras, Henni, Yua, Ovi, Stefenus, Aan, Yogi, Idham, Riza, Iyus, Adit, Zikry. 10. Sahabat sepenelitian, Ebol, yang telah berjuang bersama dalam semangat dan keceriaan. 11. Sahabat satu bimbingan, Desong, yang mau bekerjasama dan memberi dukungan selama ini. 12. Temen-temen ITP 43, terimakasih banyak telah menjadi sahabat dan temen yang baik selama hampir tiga tahun. 13. Temen-temen MEGA 1, Dede, Dian, Ike, Ima, Ana, dll, yang selalu memberikan semangat dan mewarnai hidup yang indah selama ini. 14. Pegawai-pegawai UPT yang sangat baik dan ramah. 15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya atas semua bantuan, semangat, perhatian dan doa kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan kalian. Amin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu segala saran dan kritik yang membangun bagi penulis sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan informasi bagi seluruh pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2010
Penulis
ii
DAFTAR PUSTAKA
Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………… i DAFTAR TABEL………………………………………………………….. v DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. vi DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. vii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………………….. 1 B. Tujuan……………………………………………………………… 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Pendahulu………………………………………………. 4 B. Escherichia coli................................................................................. 8 C.
Bakteri Asam Laktat…………………………………………….. . 11
D.
Probiotik…………………………………………………………... 14
E.
Darah……………………………………………………………… 16
F.
Hematology Analyzer....................................................................... 25
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat 1. Bahan…………………………………………………………… 28 2. Alat……………………………………………………………… 28 B. Metoda Penelitian 1. Tahap 1 Pembuatan Kultur…….……………………………...... 29 2. Tahap 2 Pengujian In vivo……………………………………… 29 a. Pengelolaan Hewan Percobaan…………………………….. 29 b. Kandang dan Perlengkapan………………………………… 30 c. Persiapan dan Pembuatan Ransum…………………………. 30 d. Perlakuan anti- Enteropathogenik E. coli (EPEC) secara in vivo……………………………………………….. 30 e. Analisis Hematologi………………………………………... 32 f. Rancangan Percobaan………………………………………. 33
iii
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Berat Badan Tikus…………………………………... 34 B. Kejadian Diare pada Tikus Terinfeksi EPEC………………………. 35 C. Hematologi Tikus…………………………………………………... 37 1. Eritrosit…………………………………………………………. 37 2. Hematokrit…………………………………………………….... 41 3. Hemoglobin…………………………………………………….. 43 4. Trombosit……………………………………………………….. 44 5. Leukosit………………………………………………………… 46 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan…………………………………………………………. 50 B. Saran………………………………………………………………... 51 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 52 LAMPIRAN………………………………………………………………… 60
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Morfologi Isolat Indigenus Bakteri Asam Laktat………………. 4 Tabel 2. Hasil Fermentasi terhadap Beberapa Jenis Gula Sederhana……. 5 Tabel 3. Sifat Dasar Probiotik Isolat Indigenus Bakteri Asam Laktat…… 6 Tabel 4. Hasil Zona Hambat Isolat BAL terhadap EPEC………………... 7 Tabel 5. Hasil Identifikasi BAL dengan uji API test…………………….. 7 Tabel 6. Beberapa Mikroorganisme Probiotik............................................. 14 Tabel 7. Komposisi Ransum Standar…………………………………….. 30 Tabel 8. Kelompok tikus perlakuan............................................................. 31 Tabel 9. Kadar air Feses Tikus Pecobaan (%bb)......................................... 36 Tabel 10. Rataan Eritrosit Tikus Percobaan pada Hari ke-7, 14 dan 21........ 38 Tabel 11. Rataan Hematokrit Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21.... 39 Tabel 12. Rataan Hemoglobin Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21.. 42 Tabel 13. Rataan Trombosit Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21...... 45 Tabel 14. Rataan Leukosit Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21....... 47
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skema Pembentukan Sel Darah Merah....................................... 18 Gambar 2. Mekanisme eritropoetin dalam meningkatkan produksi eritrosit..........................................................................20 Gambar 3. Skema Perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen membentuk benang fibrin.......................................... 24 Gambar 4. Hematology Analyzer di Labkesda, Bogor…………………….. 27 Gambar 5. Bagan perlakuan pada tikus percobaan………………………… 32 Gambar 6. Pertumbuhan berat badan tikus selama 21 hari percobaan........... 34 Gambar 7. Feses tikus pada hari ke-14........................................................... 36 Gambar 8. Rataan Eritrosit Tikus (Juta/L) pada Hari ke-21 Percobaan........ 38 Gambar 9. Rataan Hematokrit Tikus (%) pada Hari ke-21 Percobaan......... 40 Gambar 10. Rataan Hemoglobin Tikus (g%) pada Hari ke-21 Percobaan...... 43 Gambar 11. Rataan Trombosit Tikus (Ribu/L) pada Hari ke-21 Percobaan.... 45 Gambar 12. Rataan Leukosit Tikus (sel/L) pada Hari ke-21 Percobaan.......... 47 Gambar 13. Mekanisme stimulasi imun non-spesifik...................................... 49
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok A pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke4………………………... 60 Lampiran 2. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok B pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………………………. 64 Lampiran 3. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok C pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………………………. 68 Lampiran 4. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok D pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………………………..72 Lampiran 5. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok E pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………………………. 76 Lampiran 6. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok F pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………………………. 80 Lampiran 7. Data Berat Badan Tikus Kelompok A………………………… 84 Lampiran 8. Data Berat Badan Tikus Kelompok B…………………………. 85 Lampiran 9. Data Berat Badan Tikus Kelompok C…………………………. 86 Lampiran 10. Data Berat Badan Tikus Kelompok D………………………... 87 Lampiran 11. Data Berat Badan Tikus Kelompok E………………………… 88 Lampiran 12. Data Berat Badan Tikus Kelompok F………………………… 89 Lampiran 13. Hasil Pemeriksaan Hematologi………………………………. 90 Lampiran 14. Prosedur Penggunaan Alat Hematology Analyzer…………… 92 Lampiran 15. Hasil Uji Duncan Eritrosit……………………………………. 93 Lampiran 16. Hasil Uji Duncan Hematokrit………………………………… 95 Lampiran 17. Hasil Uji Duncan Hemoglobin……………………………….. 97 Lampiran 18. Hasil Uji Duncan Trombosit…………………………………. 99 Lampiran 19. Hasil Uji Duncan Leukosit…………………………………… 101
vii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), Diare adalah penyebab nomor empat kematian dari seluruh penyakit di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2008), di Indonesia sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap harinya. Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar tiga kali atau lebih dalam satu hari dan tinja atau feses yang keluar berupa cairan encer atau sedikit berampas, kadang juga disertai darah atau lendir. Berdasarkan data identifikasi bakteri patogen, Escherichia coli merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai bakteri penyebab diare. Budiarti (1997) menyatakan pula bahwa Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia dengan prevalensinya 55% dari jumlah anak penderita diare. Kegagalan sistem pertahanan mukosa intestinal dalam produksi musin (sebagai pelumas, penghalang fisik, dan menghasilkan senyawa bakteriostatis maupun bakteriosidal sel) dan mikrovili (yang mendorong musin dan bakteri keluar dari membrane mukosa) dalam mencegah adhesi EPEC akan mengawali infeksi EPEC (Salyer dan Whitt, 1994). Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh tersebut menyebabkan terjadinya perlekatan bakteri pada permukaan sel intestinal inang, berupa lesi attaching dan effacing yang bersifat localized addherence. Perlekatan kuat antara sel bakteri dan sel epitel inang akan mengakibatkan kerusakan pada aktin dan mikrovili sel-sel mukosa inang sehingga kemampuan mukosa untuk mengabsorbsi air hilang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penyakit diare (Knutton et al., 1989). Penelitian Arief (2008) mendapatkan sepuluh BAL indigenus yang diisolasi dari daging sapi mentah yang mempunyai sifat dasar sebagai probiotik yang mampu bertahan hidup pada kondisi pH rendah dan adanya garam
1
empedu, sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Menurut Salminen et al. (1999), probiotik yaitu sediaan sel mikroba atau komponen dari sel mikroba yang mempunyai pengaruh menguntungkan bagi kesehataan dan kehidupan inangnya. Sebagian besar probiotik digolongkan ke dalam suatu grup organisme yang dikenal sebagai bakteri asam laktat. Kesepuluh bakteri tersebut menghasilkan senyawa antimikroba yang menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogenik seperti Escherichia coli enterotoksigenik, Staphylococcus aureus dan Salmonella typhimurium. Namun sifat fungsional lainnya belum diteliti, khususnya sebagai pencegah suatu penyakit gastroenteritis, misalnya diare karena infeksi EPEC. Hal yang sangat menarik lainnya adalah adanya suatu mekanisme dimana diketahui bahwa beberapa strain probiotik mampu bersifat bakterisidal terhadap bakteri patogen termasuk EPEC dengan cara meningkatkan status imun inang yang mengkonsumsinya atau berfungsi sebagai imunomodulator. Kesepuluh jenis BAL indigenus dari hasil penelitian Arief (2008) tersebut diseleksi untuk mendapatkan BAL probiotik unggul sebagai anti EPEC. Melalui uji API test diperoleh Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 yang memiliki penghambatan terbaik terhadap EPEC. Hematologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan penyakitnya. Pengukuran status hematologi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan alat berupa ‘Hematology Analyzer’ yang berada di Labkesda, Jln. Kesehatan No. 3 Tanah Sareal, kota Bogor. Hematology analyzer merupakan alat untuk menghitung sel-sel darah. Alat ini bekerja secara otomatis, mudah dan cepat. Keuntungan lainnya dari alat ini, hasil yang diperoleh sangat akurat dengan tingkat kesalahan kurang dari satu persen serta dibutuhkan sampel yang sedikit yaitu 100 µml. Sel darah yang diukur antara lain sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), kepingkeping darah (trombosit), kadar hemoglobin dan hematokrit.
2
B. TUJUAN Penelitian ini dilakukan untuk menguji kemampuan bakteri asam laktat probiotik indigenus berupa Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 sebagai antidiare pada tikus percobaan yang dipapar bakteri penyebab diare, yaitu Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) secara in vivo serta mengetahui dampaknya terhadap status hematologi dengan parameter eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Pendahulu Arief et al. (2008) berhasil mengisolasi 10 isolat indigenus bakteri asam laktat yang berasal dari daging sapi mentah di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor. Kesepuluh bakteri asam laktat tersebut diketahui mempunyai sifat sebagai probiotik dan menghasilkan senyawa antimikroba yang dapat menghambat bakteri patogen. Sifat dasar kesepuluh bakteri asam laktat dan kemampuannya sebagai probiotik dinyatakan pada Tabel 1, 2, dan 3.
Tabel 1. Morfologi Isolat Indigenus Bakteri Asam Laktat. No
Kode
Bentuk
Pertumbuhan di
Pertumbuhan
Pertumbuhan
Menghasilkan
suhu
di NaCl
NH3 dari
gas dari
6.5%
arginin
glukosa
Isolat
15°C
45°C
1.
IA5
Batang
+
+
+
-
-
2.
IA32
Coccus
+
+
+
+
-
3.
IB1
Batang
+
+
+
-
+
4.
2B1
Coccus
+
+
+
-
-
5.
2B2
Batang
+
+
+
+
-
6.
2B4
Batang
+
+
+
-
+
7.
IC4
Batang
+
+
+
+
-
8.
2C2
Batang
+
+
+
-
-
9.
2C12
Coccus
+
+
+
+
-
10.
2D1
Batang
+
+
+
-
-
Keterangan : (+) = dapat tumbuh/ menghasilkan gas dari glukosa (-) = tidak dapat tumbuh/ tidak menghasilkan gas dari glukosa
4
Tabel 2. Hasil Fermentasi terhadap Beberapa Jenis Gula Sederhana. No
Kode
Kemampuan memfermentasi gula
Identifikasi
Isolat
1.
IA5
persuasif ara
gal
glu
lak
mal
man
raf
rham
-
+
+
+
+
-
+
-
tre -
Sorb
suk
xyl
awal*
-
+
-
Lactobacillus sp
2.
IA32
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
-
Lactococcus lactic
3.
IB1
+
+
+
+
+
+
d
+
+
d
+
d
Lactobacillus plantarum
4.
2B1
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
+
Streptococcus sp
5.
2B2
-
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
+
Lactobacillus fermentum
6.
2B4
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
+
Lactobacillus fermentum
7.
IC4
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
-
Lactobacillus sp
8.
2C2
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
-
Streptococcus sp
9.
2C12
-
+
+
+
+
+
+
d
d
d
+
d
Lactobacillus sp
10.
2D1
+
+
+
-
+
-
+
-
-
-
+
+
Lactobacillus sp
Keterangan : *= identifikasi presumtif berdasarkan software PIB Win (+) = dapat memfermentasi; (-) = tidak dapat memfermentasi, (d) = dubius ara = arabinosa, gal = galaktosa, glu = glukosa, lak = laktosa, mal = maltosa, man = manitol, raf = rafinosa, rham = rhamnosa, tre = trehalosa, sorb = sorbitol, suk = sukrosa, xyl = xilosa.
5
Tabel 3. Sifat Dasar Probiotik Isolat Indigenus Bakteri Asam Laktat. No
Kode
Kemampuan menghambat mikroba patogen
Isolat
Kemampuan tumbuh di kondisi saluran pencernaan (in vitro)
Staphylococcus
Salmonella
Escherichia
pH
pH
Garam
aureus ATCC
typhimurium
coli ATCC
lambung
usus
empedu
25923
ATCC 14028
25922/ETEC
(2,5)
(7,2)
(bile salt) 0,5%
1.
IA5
++
++
+++
+
+
+
2.
IA32
++
++
+++
+
+
+
3.
IB1
+
++
++
+
+
+
4.
2B1
++
++
++
+
+
+
5.
2B2
++
++
+++
+
+
+
6.
2B4
++
+++
+++
+
+
+
7.
IC4
++
++
++
+
+
+
8.
2C2
++
++
+++
+
+
+
9.
2C12
++
++
++
+
+
+
10.
2D1
++
+++
++
+
+
+
Dari kesepuluh isolat BAL probiotik kemudian dilakukan pengujian aktivitas antimikroba terhadap EPEC secara in vitro dengan menggunakan metode difusi sumur. Suspensi EPEC dengan konsentrasi 8x106 sel bakteri/ml, diambil sebanyak 1 ml kemudian di tuangkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya menuangkan media Mueller Hinton Agar (MHA) yang telah disterilkan. Cawan petri diputar-putar membentuk angka delapan di atas bidang datar agar media MHA dan suspensi bakteri EPEC menjadi homogen dan diamkan sampai media menjadi keras. Setelah keras dibuat lubang sumur berdiameter 5 mm dengan menggunakan ujung pipet pasteur. Sebanyak 50 µl supernatan bebas sel atau substrat antimikroba dituangkan ke dalam setiap lubang sumur. Seluruh cawan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur diamati dan diukur diameternya dengan memakai jangka sorong. Zona hambat 10 jenis isolat BAL terhadap EPEC yang dilakukan oleh Arief (2009) dapat dilihat pada Tabel 4.
6
Tabel 4. Hasil Zona Hambat Isolat BAL terhadap EPEC. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Isolat BAL 2B1 1A5 2B2 2B4 1B1 2D1 1C4 2C12 2C2 1A32
Zona Hambat terhadap EPEC (mm) 5,62 6,37 6,59 6,59 7,01 6,83 8,73 13,87 7,91 7,31
Pada tahapan kegiatan selanjutnya dilakukan pemilihan (seleksi) bakteri asam laktat yang akan digunakan pada tahapan penelitian secara in vivo. Penyeleksian ini berdasarkan pada kemampuan aktivitas antimikroba terhadap EPEC secara in vitro, selain itu pula dipertimbangkan genus dan spesies bakteri asam laktat yang berbeda sehingga akan dapat dilihat sifat fungsionalnya secara lebih jelas. Diperlukan pula uji konfirmasi identifikasi genus dari bakteri asam laktat tersebut yang dilakukan secara biokimiawi melalui uji API test. Hasil uji API test dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Identifikasi BAL dengan uji API test. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Isolat BAL 2B1 1A5 2B2 2B4 1B1 2D1 1C4 2C12 2C2 1A32
Genus dan spesies
Penamaan
Lactococcus sp
Lactococcus sp 2B1
Lactobacillus plantarum
Lactobacillus plantarum 1A5
Lactobacillus fermentum
Lactobacillus fermentum 2B2
Lactobacillus fermentum
Lactobacillus fermentum 2B4
Lactobacillus plantarum
Lactobacillus plantarum 1B1
Lactococcus sp
Lactococcus sp 2D1
Lactococcus sp
Lactococcus sp 1C4
Lactobacillus plantarum
Lactobacillus plantarum 2C12
Lactobacillus plantarum
Lactobacillus plantarum 2C2
Lacatobacillus plantarum
Lactobacillus plantarum 1A32
7
Berdasarkan hasil identifikasi Arief (2009) tersebut, dapat diketahui bahwa isolat yang dapat diidentifikasi sampai tingkat spesies melalui uji API test adalah Lactobacillus fermentum dan Lactobacillus plantarum, oleh karenanya pemilihan BAL dilakukan pada kedua spesies tersebut yang memiliki penghambatan terbaik terhadap EPEC. Berdasarkan hal tersebut maka dipilih Lactobacillus plantarum 2C12 yang memiliki penghambatan terbaik terhadap EPEC, sedangkan untuk Lactobacillus fermentum, keduanya memiliki daya hambat yang sama antara 2B2 dan 2B4, namun berdasarkan karakterisasinya terhadap ketahanan garam empedu di saluran pencernaan maka dipilih Lactobacillus fermentum 2B4.
B. Escherichia coli Escherichia coli (E. coli) adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang, bersifat anaerobik fakultatif dan tidak berspora. Escherichia coli dapat ditumbuhkan dengan mudah pada media umum atau media khusus pada suhu 37ºC di bawah kondisi aerob. Escherichia coli dari feses, biasanya dikulturkan pada
media
yang
hanya
akan
menumbuhkan
bakteri
dan
famili
Enterobacteriaceae, serta membuatnya berdiferensiasi sesuai morfologinya. Salah satu karakter Escherichia coli terpenting adalah kemampuannya untuk berkolonisasi pada permukaan mukosa usus walaupun terdapat gerakan peristaltik usus dan kompetisi dengan flora lokal untuk mendapatkan nutrisi. Seluruh galur Escherichia coli memiliki fimbriae permukaan, namun pada Escherichia coli penyebab diare terdapat antigen fimbriae spesifik yang meningkat kemampuannya untuk membentuk koloni dan memudahkannya untuk mengadakan perlekatan pada daerah yang tidak bisa digunakan untuk kolonisasi (Acheson et al., 1992). Escherichia coli tidak sekedar menyebabkan sindrom diare yang berlebihan, namun juga menunjukkan adanya kekhasan epidemiologi dan gejala-gejala di antaranya : Escherichia coli dapat menyebabkan infeksi saluran kemih mulai dari asimptomatik bakteriuria sampai pada gejala urosepsis. Escherichia coli juga dapat mengakibatkan neonatal meningitis, pneumonia, cholecystitis, dan infeksi rahim (Acheson et al., 1992).
8
Nataro dan Kaper (1998) membagi penyebab diare berdasarkan patogenitasnya menjadi enam kelompok yaitu: Enteropatogenic Escherichia coli (EPEC), Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC), Enterohaemorrhagic Escherichia
coli
(EHEC),
Enterotoxigenic
Escherichia
coli
(ETEC),
Enteroaggregative Escherichia coli (EAEC), dan Diffusely Adherent Escherichia coli (DAEC). Diare merupakan penyakit yang sering didapatkan di negara kita. Diare masih termasuk salah satu penyebab utama kematian di Indonesia yaitu sebesar 15% pada bayi dan 25% pada anak usia 1-4 tahun. Diare merupakan penyakit kedua terbanyak setelah infeksi saluran pernafasan akut dan merupakan penyebab pertama kematian di tahun 1986 (Mc Callum dalam Kolopaking, 2002). Escherichia coli yang menyebabkan diare akut pada manusia yaitu EPEC, EIEC, dan ETEC. EPEC merupakan salah satu kategori Escherichia coli penyebab diare yang dihubungkan dengan kejadian diare pada bayi di negara-negara berkembang (Nataro dan Kaper, 1998). Kurniasih (1995) melaporkan bahwa bakteri EPEC dari penderita diare anak-anak di RSU Ciawi Bogor adalah sereotipe O55, O86, O111, dan O127. Utsonomiya et al. (1995) melaporkan bahwa 38% isolat bakteri yang diisolasi dari penderita diare di Bolivia adalah EPEC, sedangkan di Indonesia diare yang disebabkan oleh EPEC pada anak-anak adalah 55% (Murtini, 2001). Penyakit yang disebabkan oleh EPEC sangat khas karena sebagian besar hanya terjadi pada bayi yang dicirikan dengan diare yang tidak berlendir, muntah, dan sedikit demam (Donnenberg, 1995). EPEC ditularkan melalui kontak langsung antar orang (Bower et al, 1989). Pemberian antibiotik pada diare akut seharusnya dihindari karena dapat menyebabkan kematian mikroflora usus yang bermanfaat untuk menjaga homeostasis tubuh. Antibiotik hanya diberikan pada disentri dan kholera, karena pemberian antibiotik selama kejadian diare akut merupakan resiko terjadinya diare yang berkepanjangan. Pemberian antibiotik untuk diare persisten adalah tidak efektif (Hidayat, 1997).
9
Patogenesis EPEC Transmisi EPEC dapat terjadi melalui feses-oral, tangan yang terkontaminasi, makanan yang terkontaminasi dan serangga vektor yang terkontaminasi (Levine dan Edelman, 1984). Pada bayi, transmisi bisa melalui alas kain bayi, mainan, toples, handuk tangan, timbangan, botol susu, dan lainlain. EPEC yang diisolasi dari debu dan aerosol diduga menjadi sumber transmisi yang potensial, baik yang dihirup secara langsung maupun tidak langsung melalui kontaminasi serangga. Kegagalan sistem pertahanan mukosa intestinal melalui produksi musin (sebagai penghalang fisik, pelumas, menghasilkan senyawa bakteriostatik maupun bakteriosidal sel) oleh sel goblet dan sel MALT (yang memproduksi secretory LgA) serta mikrovili (yang mendorong musin dan bakteri keluar dari membran mukosa) dalam mencegah adhesi EPEC akan mengawali infeksi EPEC (Salyer dan Whitt, 1994). Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh tersebut menyebabkan terjadinya perlekatan bakteri pada permukaan sel intestinal inang, berupa lesi attaching dan effacing yang bersifat localized addherence. Perlekatan kuat antara sel bakteri dan sel epitel inang akan merusak aktin dan mikrovili sel-sel mukosa inang yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mukosa untuk mengabsorbsi air sehingga terjadi diare akut berair yang persisten, selain kadang-kadang disertai demam ringan dan muntah (Knutton et al., 1989). Terdapat dua pendapat berbeda dalam menjelaskan mekanisme perlekatan EPEC pada sel intestinal inang. Berdasarkan penelitian Donnenberg dan Kaper (1992) yang menggunakan sel kultur Hep-2 menyebutkan bahwa patogenitas EPEC terjadi dalam tiga tahap: 1) Perlekatan terlokalisasi (localized addherence) yang ditandai perlekatan tidak erat yang diperantarai oleh bundle forming phillus (BFP), 2) Tranduksi sinyal yang diperantarai sekresi protein EPEC (Esc), dan 3) Pengikatan (intimate binding) yang melibatkan intimin dan tir (translocated intimin receptor). Hicks et al. (1998) menyatakan bahwa proses patogenitas EPEC tidak hanya terjadi tiga tahap tetapi melalui empat tahap diawali oleh perlekatan tidak erat antara bakteri dengan sel inang yang diperantarai oleh adhesin bukan
10
oleh BFP, kemudian diikuti dengan sekresi protein tir dan intimin sehingga terbentuk lesi A/E dan pada EPEC yang memiliki gen bfp akan menyandikan BFP yang mengakibatkan terjadinya ekspansi tiga dimensi EPEC. Dengan demikian ada tambahan faktor virulen lain, selain yang disampaikan oleh Donnenberg dan Kaper (1992) yaitu adhesin.
C. Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat adalah bakteri yang melakukan penguraian glukosa atau karbohidrat menghasilkan asam laktat yang akan menurunkan pH serta menimbulkan rasa asam (Muchtadi, 1997). Bakteri asam laktat dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri yang tergolong homofermentatif misalnya Streptococcus, Pediococcus, dan beberapa spesies Lactobacillus. Bakteri asam laktat yang tergolong heterofermentatif misalnya Leuconostoc dan beberapa spesies Lactobacillus (Rahman et al., 1992). Bakteri asam laktat dalam produk pangan memiliki peranan dalam meningkatkan keamanan pangan dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan perusak makanan yaitu bakteri Gram positif maupun Gram negatif (Hugas dan Monfort, 1997). Beberapa spesies spesifik bakteri asam laktat mempunyai kemampuan melekat pada sel mukosa dan mampu memproduksi respon imun (Salminen at al., 1999). Lactobacilli dapat menstimulir respon inang yang memiliki peranan penting dalam mekanisme pertahanan mukosa (Brassart dan Schiffrin, 2000).
1. Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, ordo Lactobacillales,
famili
Lactobacillaceae,
dan
genus
Lactobacillus.
Lactobacillus dicirikan dengan bentuk batang, biasanya panjang tetapi terkadang hampir berbentuk bulat, umumnya dalam rantai-rantai pendek. Lactobacillus merupakan bakteri Gram positif, tidak menghasilkan spora, anaerob fakultatif, berukuran 0,6-0,8 µm x 1,2-6,0 µm, konfeks, opak atau sedikit transparan dan tidak berpigmen. Genus tumbuh baik pada suhu 30-40°C
11
dan tersebar luas di lingkungan terutama dalam produk pangan asal hewan dan sayuran (Holt et al., 1994), mesofilik, tidak mereduksi nitrat menjadi nitrit, melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik yang lemah serta bersifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella dan Gram negatif lainnya (Jay, 2000). Lactobacillus plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahap terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayur, dan daging khususnya sosis. Lactobacillus plantarum tampaknya yang paling banyak berperan dalam fermentasi, ini mungkin karena suhu fermentasi yang digunakan lebih tinggi dibanding bakteri fermentasi yang lainnya. Selain itu, fermentasi dari Lactobacillus plantarum merupakan homofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987). Bakteri Lactobacillus plantarum merupakan bakteri penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa polipeptida atau protein yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel secara cepat walaupun pada konsentrasi rendah (Ray, 2000). Bakteriosin yang berasal dari Lactobacillus plantarum dapat menghambat Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif (Branen, 1993). Lactobacillus plantarum sering terdapat pada mukosa manusia, dari mulut hingga rektum, dan juga terdapat pada sistem pencernaan beberapa hewan domestik seperti anjing, babi, kuda, serangga, laba-laba dan ular. Siklus habitat Lactobacillus plantarum dapat berubah dari sistem pencernaan manusia atau hewan, melalui makanan-makanan fermentasi asam laktat dan tumbuhan, kembali ke mulut dan sistem pencernaan manusia dan hewan. Salah satu faktor penting yang memberikan kemampuan Lactobacillus plantarum dalam berpindah dari makanan ke sistem pencernaan adalah kemampuannya untuk bertahan dalam lingkungan sistem pencernaan dan mampu melekat pada mukosa (Molin, 2003).
12
Selain asam laktat yang merupakan produk utama di bawah kondisi anaerob, sejumlah asam asetat telah ditunjukkan diproduksi oleh Lactobacillus plantarum pada kondisi aerob. Sekitar sepertiga asam asetat dan dua pertiga asam laktat diproduksi oleh Lactobacillus plantarum pada kondisi aerob. Lactobacillus plantarum tidak hanya dapat memfermentasi heksosa dan pentosa (memproduksi masing-masing satu mol laktat, asetat, dan CO2 per mol pentosa), tetapi juga memanfaatkan beberapa asam-asam organik seperti asam malat, tartarat, dan sitrat untuk memproduksi CO2 dan asam laktat atau asetat dan produksi-produksi lainnya. Organisme ini juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap pH yang rendah dibandingkan bakteri asam laktat lainnya (Molin, 2003).
2. Lactobacillus fermentum Lactobacillus
fermentum
merupakan
bakteri
Gram
positif
heterofermentatif yang sering diasosiasikan dengan kerusakan fili atau carises. Namun, Pereira et al. (2003) menyatakan bahwa Lactobacillus fermentum secara in vitro diketahui memiliki potensi sebagai probiotik. Selain itu, bakteri ini secara in vivo diketahui tidak menimbulkan sifat yang merugikan, meningkatkan produksi SCFA, terutama propionat dan butirat. Menurut Henriksson et al. (1991) dikutip oleh Perdira et al. (2007), bakteri ini merupakan flora normal yang berada pada saluran pencernaan manusia dan mampu menempel pada usus halus. Galur Lactobacillus ini, berdasarkan hasil penelitian Reque at al. (2000), memiliki sifat microphilic, membentuk koloni yang teramati setelah ditumbuhkan pada media padat MRS selama 24 jam berbentuk cembung dan licin. Lactobacillus fermentum berdasarkan penelitian tersebut, memiliki sifat tahan terhadap garam empedu dan memiliki aktifitas antimikroba yang memiliki efek sama dengan antibiotik saat diuji pada daging ayam (Reque at al., 2000). Penelitian ini menggunakan Lactobacillus fermentum 2B4 yang memiliki sifat Gram positif, katalase negatif dan bersifat aerob. Menurut Nuraida et al. (2008) Lactobacillus fermentum secara in vivo dapat bertahan
13
dalam saluran pencernaan. Bakteri asam laktat tersebut juga memiliki sifat yang menguntungkan inangnya dengan meningkatkan proliferasi sel limfosit dan menurunkan jumlah patogen (E. coli, B. cereus, S. thyphimurium dan S. aureus).
D. Probiotik Fuller (1992) mengemukakan bahwa probiotik adalah zat nutrisi tambahan berupa mikroorganisme hidup yang bermanfaat bagi induk yang memakannya dengan jalan meningkatkan keseimbangan populasi mikroba usus. Keseimbangan yang baik dalam ekosistem mikrobiota usus bisa menguntungkan kesehatan tubuh dan dapat dipengaruhi oleh konsumsi probiotik setiap hari (Lisal, 2005). Spesies mikroba yang umum digunakan sebagai
probiotik
adalah
Lactobacillus,
Bifidobacteria,
Enterococcus,
Saccharomyces, dan Lactococcus (Gibson, 2000). Beberapa mikroorganisme yang tergolong probiotik dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Beberapa Mikroorganisme Probiotik Lactobacilli Bifidobacteria L. acidophilus B. adolescentis L. amylovorus B. animalis L. casei B. bifidum L. crispatus B. breve L. gasseri B. infantis L. johnsonnii B. longum L. paracasei L. plantarum L. reuteri L. rhamnosus Sumber: Holsapfel et al. (2000).
Bakteri Asam Laktat lainnya Enterococcus faecium Leuconostoc mesenteroides
Karakteristik probiotik yang diinginkan dari satu strain spesifik mencakup: (a) Mempunyai kapasitas untuk bertahan hidup (survive), untuk melakukan kolonisasi (colonize), serta melakukan metabolisme dalam saluran cerna, (b) Mampu mempertahankan suatu keseimbangan mikroflora usus yang sehat melalui kompetisi dan inhibisi kuman-kuman patogen, (c) Dapat menstimulasi bangkitnya pertahanan imun, (d) Bersifat non-patogenik dan nontoksik, serta (e) Harus mempunyai karakteristik teknologi yang baik, yaitu mampu bertahan hidup secara optimal dan stabil selama penyimpanan dan
14
penggunaan (storage and use) dalam bentuk preparat makanan yang diinginkan dan dikeringkan, agar dapat disediakan secara masal dalam industri (Lisal, 2005). Menurut Tannock (1999) manfaat yang diperoleh dari mengkonsumsi probiotik yaitu: (1) Meningkatkan sistem kekebalan tubuh, (2) Mengurangi gejala diare, (3) Menurunkan kolesterol dalam darah, (4) Mempunyai aktivitas anti karsinogenik, (5) Mengikis sel tumor, dan (6) Mengatur tekanan darah. Menurut Gibson dan Roberford (1995) prinsip kerja probiotik yaitu 1) Mikroorganisme
non-endogenus
mendesak
mikroorganisme
patogen
endogenus keluar dari ekosistem saluran pencernaan dan menggantikan lokasi mikroorganisme patogen (translokasi) di dalam saluran pencernaan, 2) Menyediakan enzim yang mampu mencerna serat kasar, protein, lemak, dan mendetoksifikasi zat racun atau metabolit, dan 3) Menghasilkan asam, selain itu beberapa mikroba probiotik dapat menghasilkan bahan antimikroba (bakteriosin). Probiotik dapat diberikan melalui pakan, air, minum, dan kapsul. Bakteri probiotik mampu bertahan hidup dalam saluran pencernaan setelah dikonsumsi. Bakteri ini tahan terhadap lisozim, asam lambung, dan asam empedu sehingga mampu mencapai usus dalam keadaan hidup. Bakteri probiotik mampu melekat pada sel-sel epithelial dan memproduksi zat metabolit yang berperan dalam menjaga dan mempertahankan mikroflora usus. Kondisi seimbang mikroflora usus memberikan aktivitas menguntungkan dan menghasilkan efek positif bagi kesehatan (Yukuchi et al., 1992). Bakteri supaya dapat berkolonisasi pada saluran pencernaan maka pertama kali harus melekat pada glikokonjugat yang ada pada membran mikrovili.
Glikokonjugat
merupakan
terminal
gula
pada
sisi
rantai
oligosakarida yang terletak pada membran mikrovili. Glikokonjugat ini dapat berupa glikoprotein atau glikolipid. Spesifik bakteri melekat pada spesifik gula. Bakteri probiotik dapat melekat pada permukaan usus untuk meningkatkan pertahanan saluran pencernaan inang. Probiotik dapat melindungi inang dari kolonisasi bakteri yang bersifat patogen dengan mekanisme yang berbedabeda, misalnya probiotik juga mempunyai preferensi pada sebuah reseptor karbohidrat. Jika preferensi untuk menempel pada gula spesifik, misalnya Bifidobacterium perfringens dan E. coli memiliki preferensi yang sama pada
15
manosa, maka probiotik dapat melakukan kompetisi dan menghambat kolonisasi E. coli. Penempelan probiotik tersebut dapat merangsang aktifitasnya sel-sel epithelial dan fungsi limfosit, sehingga dapat meningkatkan kapasitas perlindungan pada sistem pertahanan mukosa (Walker, 2008).
E. Darah Seluruh cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen utama yaitu cairan ekstraselular dan cairan intraselular. Cairan ekstraselular ini dibagi menjadi cairan ekstravaskular dan cairan intravaskular. Cairan ekstravaskular terdiri dari cairan interstitial yang merupakan tiga perempat cairan ekstravaskular dan cairan intravaskular yang terdiri dari plasma darah (Guyton dan Hall, 1997). Darah merupakan kumpulan elemen-elemen dalam bentuk suspensi atau kumpulan sel yang terendam di dalam cairan transparan berwarna kuning yang disebut plasma darah (Williams, 1987). Darah merupakan cairan yang terdiri dari plasma, sel-sel darah dan trombosit. Plasma mengandung zat-zat yang penting dalam proses digesti (asam-asam urat dan kreatin) dari metabolisme, antibodi, karbondioksida, garam inorganik, dan protein seperti albumin, globulin, dan fibrinogren (Van Tyne dan Berger, 1975). Menurut ini Martini et al. (1992) darah mempunyai beberapa fungsi di dalam sirkulasi diantaranya: (1) Membawa oksigen dari paru-paru ke dalam jaringan dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru, (2) Mendistribusikan nutrisi yang diserap dari saluran pencernaan, (3) Membawa sisa metabolit dari jaringan perifer ke tempat-tempat eksresi, (4) Membawa enzim dan hormon ke organ lain dalam tubuh, (5) Mengatur pH dan komposisi elektrolit cairan interstitial dalam tubuh, (6) Membantu tubuh melawan toksin dan bahan-bahan patogen dengan membawa sel-sel darah putih bermigrasi ke dalam jaringan yang terinfeksi. Volume sel darah umumnya 6-8% dari berat badan, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan volume plasma. Volume darah hewan dipengaruhi oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh,
16
waktu menyusui atau laktasi, derajat aktivitas dan faktor lingkungan (Phillis, 1978).
1. Eritrosit Eritrosit (sel-sel darah merah) merupakan sel darah terbanyak dan hampir mendekati seluruh volume sel darah pada hewan (Breazile, 1971). Eritrosit pada unggas berbeda dengan eritrosit pada mamalia karena eritrosit unggas berinti dan berukuran besar sedangkan eritrosit mamalia merupakan sel yang
tidak
berinti,
tidak
mempunyai
mitokondria,
kompleks
golgi,
ribonukleoprotein, dan sentriole selama pematangan (Breazile, 1971). Pada awal pembentukannya, eritrosit mamalia memiliki inti, tetapi inti tersebut akan perlahan-lahan menghilang karena tekanan saat eritrosit menjadi dewasa untuk memberikan ruangan kepada hemoglobin. Eritrosit yang dewasa berbentuk ellips, intinya terletak di tengah tetapi pada umumnya berbentuk oval (Van tyne dan Berger, 1975). Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel-sel tersebut melewati kapiler-kapiler. Dengan kata lain sel darah merah itu dianggap sebagai kantong yang dapat berubah bentuk menjadi berbagai macam bentuk, dimana perubahan bentuk ini tergantung pada lokasi organ yang dilaluinya. Bentuk normal sel darah merah adalah pelat, cekung ganda berdiameter 8 µm dengan ketebalan pada bagian tengahnya kurang lebih 1µm (Guyton dan Hall, 1997). Eritrosit dapat menunjang fungsi pernafasan dengan mensuplai oksigen yang diperlukan untuk metabolisme jaringan. Sel ini dapat membawa oksigen secara khusus dari paru-paru ke jaringan serta membantu membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Breazile, 1971). Selain itu, eritrosit berfungsi mengkatalisis reaksi antara karbondioksida dan air karena adanya kandungan enzim karbonat anhidrase dalam eritrosit (Guyton dan Hall, 1997). Pembentukan eritrosit melalui sebuah proses yang disebut Eritropoesis. Proses pembentukan sel darah merah pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah faktor pertumbuhan yang menggertak pembentukan sel darah merah dan faktor penunjang yang berperan dalam proses pembentukan hingga proses pematangan. Faktor-faktor ini adalah
17
Burst Forming Unit Erythroid (BFU-E) dan Coloning Forming Unit Erythroid (CFU-E) yang memiliki pengaruh langsung pada sumsum tulang sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan eritropoitin, yaitu hormon yang di hasilkan oleh ginjal untuk menggertak pembentukan sel darah merah. Adapun proses pembentukan sel darah merah memiliki beberapa tahapan, dimana proeritroblas merupakan sel pertama yang diketahui masuk dalam rangkaian pembentukan sel-sel darah merah (Guyton, 1993). Dari sebuah sel punca CFU-E akan didapatkan banyak sekali proeritroblas. Kemudian sel proeritroblas ini akan membelah menjadi 8 hingga 16 sel darah merah matang yang disebut basofil eritroblas yang dapat menyerap warna basa, sel ini sedikit menyerap hemoglobin. Pada tingkatan selanjutnya terbentuk sel polikromatofil eritroblas yang mulai banyak menyerap hemoglobin. Setelah mengalami pembelahan kembali, akan terbentuk sel generasi keempat yang disebut ortokromatik eritroblas dimana sekarang warnanya lebih merah oleh adanya hemoglobin. Ketika sitoplasma sel-sel tersebut telah dipenuhi hemoglobin yang mencapai 34% dari volume sel terbentuk endoplasmiretikulum, maka sel yang terbentuk disebut retikulosis, sel inilah yang nanti akan berkembang menjadi dewasa dan diedarkan dalam sistem peredaran darah (Guyton, 1993). Adapun proses pembentukan sel darah merah dapat dilihat Gambar 1. PROERITROBLAS Membelah beberapa kali hingga mencapai 8-16 sel darah merah matang BASOFIL ERITROBLAS Sel yang dapat mengambil warna basa, sedikit mengandung Hb POLIKROMATOFIL ERITROBLAS Mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warna lebih merah RETIKULOBLAS Konsentrasi Hb berkisar 34% nukleus memadat dan ukurannya mengecil ERITROSIT Gambar 1. Skema Pembentukan Sel Darah Merah (Guyton, 1993).
18
Pembentukan eritrosit awal mulanya terjadi di dalam hati dan limpa sebelum sumsum tulang terbentuk, setelah terbentuk barulah di hasilkan eritrosit dari sumsum tulang. Dalam sumsum tulang, eritrosit terus diproduksi seiring dengan penghancuran atau perombakan eritrosit oleh retikulo endoplasmik sistem (RES) sehingga jumlah eritrosit dalam aliran darah konstan. Paruh hidup dari eritrosit sendiri adalah sekitar 120 hari (Guyton dan Hall, 1997). Jumlah eritrosit dalam peredaran darah dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : umur, jenis kelamin, keadaan gizi, masa laktasi, kebuntingan, produksi telur, pelepasan epinefrin, siklus estrus, volume darah (Hemodilusi dan Hemokonsentrasi), waktu harian, temperatur lingkungan, dan ketinggian (Swenson, 1984). Menurut Dranville (1972) jumlah normal sel darah merah tikus berkisar 7.2-9.6 juta/L. Lama masa hidup eritrosit relatif tetap, sehingga menyebabkan jumlahnya tetap karena setiap hari sel eritrosit tua akan dihancurkan oleh retikulo endoplasmik sistem (RES). Dalam sistem pembentukannya eritrosit tergantung dari kecepatan pembentukan dalam sumsum tulang, yang dikontrol oleh sejenis hormon yang disebut eritropoitin yang merupakan molekul glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 40.000 Da (Guyton, 1993). Pada kasus-kasus hipoksia, jumlah hormon eritropoitin meningkat sehingga jumlah eritrosit juga meningkat. Meningkatnya hormon ini diakibatkan peranan ginjal, tetapi tempat pembentukan hormon ini belum diketahui secara pasti. Pengaruh eritropoitin dalam pembentukan sel darah merah sangat besar, yaitu merangsang pembentukan eritroblas dari sel-sel punca hematopoetik. Hormon eritropoitin juga dapat merangsang proses pembelahan sel menjadi lebih cepat (Guyton, 1993). Adapun peranan hormon eritropoitin disajikan pada Gambar 2.
2. Leukosit (Sel Darah Putih) Leukosit atau sel darah putih merupakan unit termobil atau aktif dalam sistem pertahanan tubuh (Guyton et al., 1996). Leukosit mempunyai bentuk yang beragam yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari banyak penyakit seperti bakteri, virus, dan parasit (Svendsen, 1974). Leukosit memiliki inti dan
19
Anemia Penurunan volume darah Hemoglobin rendah Gangguan aliran darah Penyakit pulmonum
HIPOKSIA
GINJAL Peningkatan PGE di medulla Peningkatan cAMP di Korteks Eritrogenin (REF)
HATI Sel kuffer
proeritropoetin Enzim
Primer Di fetus
plasma ERITROPOETIN
5-10% di dewasa
Pluripotensial sel punca
Eritroid Progenitor
Inaktif oleh neuroamidase
Pembelahan dan pematangan
Eritrosit dewasa
Gambar 2. Mekanisme eritropoetin dalam meningkatkan produksi eritrosit (Guyton, 1993).
bersifat amuboid (Bell, 1965). Menurut Svendsen (1974) terdapat dua golongan leukosit yaitu : polimorfonuklear/granulosit (neutrofil, eosofil, basofil) dan mononuklear/agranulosit (limfosit dan monosit). Dalam menjalankan fungsinya leukosit menggunakan darah sebagai media transportasi dari sumber pembentukkannya menuju jaringan-jaringan di dalam tubuh (Kelly, 1984). Sirkulasi darah sebagai media transportasi akan membawa sel-sel leukosit menuju lokasi invasi mikrooganisme atau perlukaan di dalam jaringan. Adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
20
akan menyebabkan sel-sel leukosit melakukan migrasi ke dalam jaringan (Martini et al, 1992). Leukosit memiliki lebih dari satu jenis sel yang bersirkulasi dengan fungsi yang berbeda-beda dalam kurun waktu yang bersamaan (Raphael, 1987). Sejumlah besar leukosit keluar dari dalam tubuh melalui saliva, susu dan saluran mekanisme pertahanan tubuh melawan penyakit (Kelly, 1984). Menurut Martini et al. (1992) adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah akan menyebabkan sel-sel leukosit bermigrasi ke dalam jaringan luka/infeksi. Secara fisiologis terjadi akibat peningkatan jumlah sel neutrofil atau sel limfosit di dalam sirkulasi darah dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total dan nilai absolut kedua sel tersebut. Peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara fisik maupun emosional atau akibat penyakit yang diderita dapat menyebabkan jumlah leukosit meningkat (Jain, 1993), sedangkan pada leukositosis patologis, peningkatan leukosit dalam darah disebabkan leukosit aktif dalam melawan infeksi dalam tubuh. Kondisi ini dapat meningkatkan jumlah leukosit hingga 20.000-40.000/µl (Doxey, 1971). Jumlah total leukosit per mililiter darah adalah refleksi dari keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan berbagai jaringan terhadap leukosit. Aktivitas yang cukup akan mempengaruhi jumlah total leukosit dalam keadaan sehat (Schalm dan Carrol, 1975). Dalam keadaan normal sebagian leukosit bersirkulasi dalam seluruh aliran darah, kira-kira tiga kali jumlah leukosit yang disimpan dalam sumsum tulang (Guyton at al., 1996).
3. Hemoglobin Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen yang membawa oksigen dalam sel darah merah. Pembentukan hemoglobin dimulai dalam eritroblas pada stadium retikulosis kemudian diteruskan sampai sel eritrosit matang (Schalm et al., 1975). Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme (Guyton, 1993).
21
Hemoglobin terbentuk dari dua komponen yaitu heme dan globin. Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi (Guyton, 1993). Heme mengandung protoporphirin dan ion Fe yang disintesis dalam mitokondria (Schalm et al., 1975). Dari beberapa penelitian dengan menggunakan isotop, pembentukan heme banyak terjadi di dalam mitokondria (Guyton, 1997). Kandungan zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami perusakan, akan segera menuju ke hati, kemudian akan dipergunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin baru (Ganong, 1995), sedangkan globin adalah suatu polipeptida untuk pembentukan hemoglobin yang disintesis dalam sitoplasma sel darah merah (Schalm et al., 1975). Sifat dasar rantai hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen, tetapi jika ada gangguan akan mengubah sifat-sifat fisik molekul hemoglobin (Guyton, 1997). Berat molekul hemoglobin 64.450 yang berbentuk bulat terdiri dari 4 subunit (Ganong, 1995). Biosintesis
hemoglobin
terjadi
terus-menerus
selama
proses
Eritropoesis hingga tahapan selanjutnya dalam perkembangan sel darah merah. Pembentukan hemoglobin terus berlangsung selama inti masih ada dalam sel, baik di dalam sel yang berada dalam sumsum tulang maupun didalam sirkulasi darah (Swenson, 1970). Lebih lanjut Swenson menegaskan bahwa hemoglobin berhubungan dengan oksigen. Pada saat eritrosit melewati kapiler paru-paru akan terjadi proses pengikatan O2 oleh Hb membentuk oksihemoglobin dan ketika melewati jaringan, oksigen yang terikat akan dibebaskan. Intensitas warna pada Hb tergantung keberadaan atau jumlah oksigen dalam eritrosit. Jika O2 banyak maka akan berwarna lebih terang sedangkan jika Hb mengalami reduksi akan berwarna lebih gelap atau ungu. Hemoglobin juga mampu berikatan dengan karbon monoksida membentuk ikatan karboksihemoglobin dan memiliki ikatan 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan ikatan dengan oksigen (Swenson, 1970).
4. Trombosit Darah terdiri dari plasma dan sel-sel darah. Sebanyak 45% dari volume darah terdiri dari sel-sel darah dan 55% terdiri dari plasma. Elemen darah
22
terbentuk oleh tiga jenis sel, yaitu sel darah merah (RBC- red blood cell), sel darah putih (WBC- white blood cell) dan sel pembekuan darah (trombosit). Trombosit mempunyai ukuran yang sangat kecil yaitu sebesar 2 µm. Trombosit tidak mempunyai inti sel dan merupakan fragmen sel, dan berbentuk giant cell di dalam sumsum tulang belakang (Gadjahnata, 1989). Keping-keping darah atau sering dikenal dengan sebutan trombosit berukuran kecil, tidak berwarna, dan berbentuk bulat atau batang (dalam sirkulasi darah hewan). Besar trombosit bermacam-macam, pada mamalia ratarata berdiameter 3 µ, dalam keadaan tertentu dapat berukuran besar. Pada ayam dan spesies lain di bawah mamalia, trombosit mempunyai inti dan biasanya berbentuk oval dengan lebar 3-5 µm dan panjang 7-10 µm. Trombosit dibentuk di hati fetus, limpa, dan sumsum tulang. Pada mamalia dewasa, sumsum tulang merupakan tempat pembentukan utama. Trombosit berasal dari megakariosit dan jumlahnya paling banyak pada darah yang bersirkulasi. Jumlah trombosit tergantung pada spesies hewan. Pada individu yang sama, jumlah trombosit darah vena dan arteri berbeda (Supriatna, 1988). Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit dibentuk di sumsum tulang belakang dari megakariosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik dalam sumsum tulang belakang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam sumsum tulang atau segera setelah memasuki darah. Trombosit mempunyai banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah sel, walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Membran sel trombosit juga memegang peranan yang penting. Di permukaannya terdapat lapisan glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari pelekatan pada endotel normal dan justru melekat pada dinding pembuluh yang terluka, terutama pada sel-sel endotel yang rusak, dan bahkan melekat pada jaringan kolagen yang terbuka pada bagian pembuluh. Waktu paruh hidup trombosit dalam darah berkisar antara 8-12 hari, setelah itu proses kehidupannya berakhir. Trombosit kemudian diambil dari sirkulasi oleh sistem makrofag jaringan dan diganti dengan sel yang baru. Menurut Sacher dan McPheson (2000), trombosit mempunyai dua fungsi yang berbeda: (1) Melindungi integritas endotel pembuluh darah, dan
23
(2) Memulai perbaikan apabila terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah. Interaksi trombosit dengan dinding pembuluh ini disebut hemostatis primer. Orang yang trombositnya terganggu dalam hal fungsi atau jumlah akan mengalami ptekie pada kulit dan selaput lendir. Mereka juga tidak dapat menghentikan pendarahan yang terjadi akibat cendera sengaja atau tidak sengaja pada pembuluh darah. Trombosit berfungsi dalam sistem pembekuan darah, dari trombosis jaringan yang rusak akan dikeluarkan tromboplastin yang bereaksi dengan protrombin dan kalsium membentuk trombin. Trombin akan bereaksi dengan fibrinogen membentuk fibrin yang akan menutupi jaringan yang terluka (Gadjahnata, 1989). Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit memegang peranan yang penting dalam mengubah protrombin menjadi trombin, karena banyak protrombin mula-mula melekat pada reseptor trombosit yang telah berikatan dengan jaringan yang rusak. Pengikatan ini akan mempercepat pembentukan trombin dari protrombin. Mekanisme terbentuknya benang fibrin yang akan menutup jaringan yang rusak dapat dilihat pada Gambar 3.
Protrombin
Trombin
Fibrinogen monomer
Fibrinogen
Benang- benang fibrin Trombin faktor stabilisasi fibrin yang teraktivasi Benang fibrin yang saling berikatan Gambar 3. Skema Perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen membentuk benang fibrin ( Guyton dan Hall, 1996). Trombosit adalah fragmen sitoplasma prekusor sel induk, yaitu megakariosit. Ukuran trombosit bervariasi dan beredar selama kurang lebih 10 24
hari sebagai sel berbentuk piringan dan tidak berinti. Pembentukan trombosit dilakukan oleh trombopoietin, yang analog dengan eritropoietin pada pembentukan eritrosit. Trombopoietin memiliki homologi yang subtansial dengan eritropoietin dan tidak hanya meningkatkan produksi trombosit, tetapi juga proliferasi megakariosit (Sacher dan McPherson, 2000). Gangguan
pada
jumlah
atau
fungsi
trombosit
menyebabkan
pemanjangan waktu pendarahan dan kelainan pembentukan bekuan. Keadaan dimana jumlah trombosit darah berkurang disebut dengan trombositopenia. Ini terjadi saat trombosit menghilang dari sirkulasi lebih cepat sebelum waktunya dan belum digantikan oleh trombosit baru. Trombositopenia juga dapat diakibatkan oleh gagalnya produksi trombosit yang masih ada dalam sirkulasi darah.
Menurut
Sacher
dan
McPherson
(2000),
penyebab
utama
trombositopenia dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) Kegagalan sumsum tulang belang untuk menghasilkan trombosit dalam jumlah memadai, dan (2) Peningkatan destruksi perifer atau sekuestrasi trombosit.
5. Hematokrit Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah suatu persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PVC sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Menurut Hodges (1977), nilai hematokrit menurun dengan bertambahnya temperatur dan dapat meningkat dalam temperatur yang lebih rendah. Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia dimana jumlah eritrosit lebih banyak dibanding dengan jumlah normal.
F. Hematology Analyzer Hematology analyzer (Gambar 4) merupakan suatu alat yang digunakan untuk memeriksa darah. Fungsi alat ini untuk menghitung jumlah sel-sel darah. Alat hematology analyzer ini dapat menghitung berbagai macam sel darah, seperti perhitungan volume rata-rata sel darah merah/Mean Cell Volume (MCV), jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, jumlah trombosit, jumlah leukosit
25
dan masih banyak parameter yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan alatnya. Alat Hematology analyzer yang dipakai pada penelitian ini berada di di Labkesda, Jln. Kesehatan No.3 Tanah Sareal, kota Bogor. Tipe alatnya yaitu Hemavet HV950FS multispecies hematology analyser. Prosedur penggunaan dari alat ini dapat dilihat pada Lampiran 14. Menurut Sofie (1994), dalam menghitung jumlah sel-sel darah alat ini mampu bekerja ganda. Pertama, metode otomatik optik mendasarkan pada pengumpulan hamburan cahaya dari sel-sel darah dan mengonversinya ke dalam bentuk pulsa-pulsa listrik untuk dihitung. Untuk analisis hemoglobin. Prinsip kerjanya : Cahaya sebagai sumber sinar dilewatkan melalui aliran sel kemudian diteruskan ke detektor cahaya seperti photo multiplier. Jika ada sel yang lewat maka cahaya yang ke detektor akan terhalang oleh sel. Besar kecilnya sel akan mempengaruhi banyak atau sedikitnya cahaya yang ke detektor. Detektor akan mengonversinya ke dalam pulsa-pulsa listrik dengan amplitudo yang berbeda-beda. Untuk hemoglobin diperlukan cahaya dengan panjang gelombang 535 nm. Pulsa-pulsa ini kemudian dikuatkan oleh amplifier berimpedansi inputan tinggi. Setelah melalui amplifier pulsa-pulsa ini masuk discriminator amplitudo yang dapat diatur untuk memilah-milah pulsa yang benar-benar dari sel. Kemudian dihitung dan ditampilkan ke penampil (display). Teknik ini membutuhkan waktu 30 detik untuk sekali proses penghitungan secara lengkap. Sistem ini memerlukan kurang lebih satu mililiter sample darah. Metode kedua yaitu metode elektrik konduksi, menggunakan prinsip mengukur perubahan konduktivitas yang terjadi pada saat tiap sel melewati sebuah lubang sel pada orifice (ruang penghitungan). Prinsip ini dikenal dengan nama Coulter Counter. Untuk analisis sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Prinsip pengukurannya, darah bukanlah konduktor yang baik dan pelarut yang digunakan adalah konduktor yang baik. Metode ini menggunakan dua buah elektrode, yang satu diletakkan dalam orifice dan yang lainnya ditempatkan di luarnya. Di antara kedua elektrode (terbuat dari platinum) itu dialirkan arus listrik konstan. Penghitungan sel terjadi saat sel-sel
26
darah dialirkan melewati lubang bersama mengalirnya larutan (reagen). Pada saat tidak ada sel yang melewati lubang orifice maka resistansi antara dua elektrode sangat kecil. Tetapi pada saat sebuah sel melewati lubang orifice maka resistansi akan menjadi besar, maka pulsa tegangan akan tebentuk sesuai dengan besar atau volume sel. Untuk mendapatkan hasil yang optimum maka panjang lubang harus 75% dari ukuran diameternya. Reagen yang digunakan untuk analisis sel darah merah adalah Larutan Lyse dan Diluent (1:50.000), Sel darah putih menggunakan Larutan Lyse (1:5000), dan Trombosit menggunakan Larutan Diluent. Larutan Lyse digunakan sebagai reagent yang mempunyai konduktifitas tinggi. Larutan lyse terdiri dari Garam ammonium < 50 g/L, Nonion surfaktan < 15 g/L, Isopropyl 0,1-1,5 ml/L, Etanol < 1,5 ml/L.
Gambar 4. Hematology Analyzer di Labkesda, Bogor.
27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat 1. Bahan a. Tikus Percobaan Tikus percobaan yang digunakan merupakan tikus jantan jenis Albino Norway Rats (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu hasil pengembangbiakan Badan POM RI. b. Bahan Makanan Tikus Bahan yang digunakan sebagai makanan tikus dalam penelitian ini adalah pati jagung, minyak jagung, kasein, mineral mix, vitamin mix, CMC, dan air. c. Bahan Pembuatan Kultur BAL dan EPEC Bahan yang digunakan media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB), media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA), media Nutrien Agar, media Nutrien Broth, dan standar Mc. Farland no 0.5. c. Bahan Analisis Bahan-bahan yang digunakan dalam pembedahan tikus antara lain alkohol 70% dan kapas. Bahan untuk analisis hematologi antara lain cube yang berisi larutan EDTA, batu es, larutan lyse dan diluent. 2. Alat a. Alat Pemeliharaan Tikus Alat yang digunakan untuk memelihara tikus dan membuat makanan tikus adalah kandang metabolik, botol minum, timbangan, baskom plastik, dan blender. b. Alat Pembedahan Tikus Alat yang digunakan dalam pembedahan tikus adalah papan bedah, gunting dan jarum suntik. c. Alat Analisis Alat yang digunakan untuk analisis hematologi menggunakan “Hematology Analyzer” yang berada di Labkesda, Bogor.
28
B. Metoda Penelitian 1. Tahap 1 Pembuatan kultur a. Pembuatan Kultur BAL L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4. Kultur induk L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4 dari penelitian Arief (2008) disegarkan terlebih dahulu pada media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB). Kemudian dari kultur yang disegarkan tersebut dibuat kultur kerja. Setelah itu, kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk diketahui populasinya. Kultur yang memenuhi syarat untuk digunakan cekok pada tikus percobaan yaitu kultur dengan jumlah populasi 108 cfu/ml. Kultur stok yang telah dibuat perlu diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang. Pemeliharaan kultur stok pada penelitian ini akan menggunakan metode Hariyadi et al. (2001) dengan cara membuat tusukan kultur pada MRSA chalk semisolid, kemudian menginokulasikannya pada MRSB, lalu kultur tersebut dapat disimpan di refrigerator.
b. Pembuatan Kultur EPEC Kultur EPEC dibiakkan pada media Nutrien Agar selama 24 jam pada suhu 37°C untuk dijadikan kultur kerja. Setelah itu diambil sebanyak satu ose kultur kerja tersebut lalu dibiakkan ke dalam tabung berisi media Nutrien Broth. Setelah 24 jam kultur bakteri uji disetarakan kekeruhannya dengan standar Mc. Farland no 0.5, yang memiliki kesetaraan dengan jumlah populasi bakteri sebesar 8x108 sel bakteri/ml. Suspensi bakteri EPEC yang terbentuk kemudian diencerkan sampai diperoleh konsentrasi 8x106 sel bakteri/ml.
2. Tahap 2 Pengujian In vivo a. Pengelolaan Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih albino Norway rats (Rattus novergicus) galur Sprague
29
Dawley
umur
5-6
minggu
berjenis
kelamin
jantan
hasil
pengembangbiakan dari Badan POM RI. b. Kandang dan Perlengkapan Kandang yang digunakan adalah kandang yang berukuran 17,5 x 23,75 x 17,5 cm milik Laboratorium Hewan Percobaan Seafast, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan. Kandang terbuat dari stainless steel. Kandang tikus harus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai harus mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24 ºC dan kelembaban udara 50 – 60 %, dengan ventilasi yang cukup (namun tidak ada jendela terbuka) (Muchtadi 1993). c. Persiapan dan Pembuatan Ransum Ransum yang diberikan kepada tikus percobaan mengacu pada AOAC (Association of Official Agricultural Chemists) (Muchtadi et al., 1992). Komposisi ransum standar disusun berdasarkan standar AOAC seperti pada Tabel 7. Semua kelompok tikus diberikan ransum standar. Tabel 7. Komposisi Ransum Standar Bahan-bahan campuran Jumlah (%) Protein kasein 10 Minyak jagung 8 Campuran mineral 5 Campuran vitamin 1 CMC 1 Air 5 Maizena (pati jagung) Untuk membuat 100% Sumber : Muchtadi et al. (1992). d. Perlakuan anti-E.coli Enteropatogenik (EPEC) secara in vivo Pengujian ini dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al. (2008) hanya berbeda bakteri patogen yang digunakan. Dua buah kultur bakteri asam laktat terpilih berumur satu hari pada media MRS broth sebanyak 1 ml dengan populasi 108 cfu diberikan sesuai dengan
30
perlakuan
kepada
tikus
percobaan,
sedangkan
populasi
Enteropatogenik E. coli penyebab diare yang diberikan adalah sebesar 106 cfu/ml sebanyak 1 ml yang didasarkan bahwa dosis infeksi Enteropatogenik E.coli adalah minimal 105 cfu/ml (Oyetayo, 2004). Tikus dibagi menjadi 6 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan dengan kelompok seperti disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 5. Sebelumnya, dilakukan adaptasi tikus terhadap lingkungan selama tiga hari dengan pemberian makan ransum standar terhadap semua tikus. Selain itu juga terdapat kelompok baseline, yang terdiri dari 5 ekor tikus, tikus kelompok ini juga dipelihara selama masa adaptasi tiga hari dan setelah itu dibedah untuk dilakukan analisa semua peubah sebagai data awal sebelum perlakuan. Tabel 8. Kelompok tikus perlakuan Kelompok tikus Kontrol negatif
Perlakuan Tikus normal diberikan ransum standar dan diberikan akuades secara oral menggunakan sonde
BAL L. plantarum Tikus yang hanya diberikan ransum standar, 2C12 diiringi pemberian BAL L. plantarum 2C12 BAL L. fermentum Tikus yang hanya diberikan ransum standar, 2B4 diiringi pemberian BAL L. fermentum 2B4 BAL L. plantarum Tikus yang diberikan ransum standar, diiringi 2C12 + EPEC pemberian BAL L. plantarum 2C12, tetapi diselingi dengan pemberian infeksi EPEC. BAL L. fermentum Tikus yang diberikan ransum standar, diiringi 2B4 + EPEC pemberian BAL L. fermentum 2B4, tetapi diselingi dengan pemberian infeksi EPEC. Kontrol positif Tikus yang diberikan ransum standar dan infeksi EPEC
Setiap perlakuan terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan. Pembedahan tikus untuk dilakukan analisis peubah yang diamati
31
dilakukan pada hari ke-7, 14 dan 21 masing-masing 4 ekor. Selain itu, terdapat pula 5 ekor tikus sebagai kelompok baseline yang akan dibedah pada hari ke-0 setelah masa adaptasi.
Dengan demikian
diperlukan 95 ekor tikus. Cekok BAL H(-3)
H(0)
H(7)
H(14)
H(21)
Cekok EPEC
Adaptasi
T0
T1
T3
T2
Keterangan : T0 = terminasi awal (4 tikus) T1 = terminasi 1 (4 tikus setiap kelompok) T2 = terminasi 2 (4 tikus setiap kelompok) T3 = terminasi 3 (4 tikus setiap kelompok)
Gambar 5. Bagan perlakuan pada tikus percobaan. Masa perlakuan dilakukan selama 21 hari. Selama masa perlakuan, semua kelompok tikus diberikan ransum stándar dan pemberian air minum diberikan secara ad libitum. Pengamatan yang dilakukan yaitu jumlah konsumsi ransum dan berat badan tikus percobaan. Banyaknya ransum yang dikonsumsi dihitung setiap hari dengan menimbang sisa ransum yang tidak dikonsumsi oleh tikus. Pengamatan berat badan masing-masing tikus dilakukan setiap tiga hari sekali selama perlakuan. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan antar kelompok. e. Analisis Hematologi Analisis kondisi hematologi dilakukan sesuai Aboderin dan Oyetayo (2006). Analisis kondisi hematologik dilakukan dengan alat diagnosa kesehatan tubuh dan parameter status imun darah yaitu leukosit (sel darah putih). Prosedur analisisnya sebagai berikut: Sampel darah tikus diambil dari tikus melalui ‘cardiac puncture’ ke dalam cube yang berisi EDTA.
Analisis dilakukan dengan
32
menggunakan alat otomatik ‘Hematology Analyzer’ dengan parameter eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit. f. Rancangan percobaan Rancangan
penelitian
menggunakan
Rancangan
Acak
Lengkap, dengan model matematika sbb : Yij
= µ + αi +βj + ε ij
Yij : pengaruh perlakuan pada tikus (kelompok tikus) ke -i dan ulangan ke-j. µ
: nilai tengah perlakuan.
αi : pengaruh perlakuan ke.-i. βj : pengaruh ulangan ke-j. ε ij : galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Jika terdapat perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1995).
33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Berat Badan Tikus Pertumbuhan berat badan tikus selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 6. Pada umumnya berat badan tikus mengalami kenaikan selama pemeliharaan. Akan tetapi, pada tikus yang diinfeksi EPEC, yaitu tikus kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC, BAL L. fermentum 2B4 + EPEC, dan kontrol positif, mengalami penurunan berat badan sejak hari ke-12 hingga ke-21. Hal ini disebabkan tikus tersebut mengalami infeksi saluran pencernaan oleh EPEC, sehingga proses penyerapan zat-zat gizi di dalam usus menjadi terganggu. Data konsumsi ransum standar selama masa perlakuan masingmasing kelompok tikus dapat dilihat pada Lampiran 1 - Lampiran 6. Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) merupakan bakteri penyebab diare terutama pada anak-anak. Infeksi EPEC mengakibatkan hilangnya mikrovili usus di sekitar bakteri sehingga terjadi gangguan penyerapan makanan yang mengakibatkan hambatan tumbuh kembang. Data berat badan tikus masing-masing kelompok dapat dilihat pada Lampiran 7 – Lampiran 12. Adesi atau pelekatan bakteri patogen pada permukaan mukosa menjadi tahap awal infeksi saluran usus. Pelekatannya pada sel epitelial usus akan mengakibatkan kolonisasi, kerusakan sel, gangguan mekanisme pengaturan sel, serta pertumbuhan dan perkembangbiakan intraselular (Coconnier et al., 1993).
Bobot badan (gram)
Bobot badan selama pemeliharan 250 kontrol negatif BAL L.plantarum BAL L. fermentum BAL L. plantarum + EPEC BAL L. frementum + EPEC kontrol positif
200 150 100 50 0 H0
H1
H3 H6 H9 H12 H15 H18 H21 Periode pemeliharan (hari ke-)
Gambar 6. Pertumbuhan berat badan tikus selama 21 hari percobaan. 34
B. Kejadian Diare pada Tikus Terinfeksi EPEC BAL memberikan manfaat positif bagi kesehatan, khususnya menjaga keseimbangan mikroflora dan saluran pencernaan. Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang mengidentifikasi 12 komponen bahan pangan yang dikategorikan dapat meningkatkan kesehatan, dan BAL termasuk salah satu di antaranya (Surono, 2004). Manfaat kesehatan yang berkaitan dengan BAL adalah mengendalikan bakteri patogen dalam saluran pencernaan (Surono, 2004). EPEC merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menyebabkan diare. EPEC melekat pada sel mukosa usus dan menyebabkan terjadinya perubahan struktur sel, kemudian melakukan invasi menembus sel mukosa. Kejadian diare pada tikus dimulai sejak satu minggu dicekok EPEC dan berlangsung secara terus-menerus. Hal ini dapat dilihat pada kondisi feses yang dikumpulkan pada minggu kedua pemeliharaan (hari ke-14) dan minggu ketiga pemeliharan (hari ke-21). Pada Tabel 9 terlihat bahwa feses tikus yang diinfeksi EPEC tanpa perlakuan cekok BAL (kelompok kontrol positif) menjadi lembek, yang ditunjukkan oleh tingginya kadar air feses mencapai 63.95%, jauh berbeda dengan feses tikus yang diinfeksi EPEC tetapi diberi perlakuan BAL, yaitu kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 + EPEC. Kadar air feses pada tikus kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 + EPEC, masing-masing sebesar 48.22% dan 46.63%. Tikus yang sehat (tanpa infeksi EPEC) tidak mengalami diare, yang ditunjukkan oleh kadar air feses antara 49.16-52.07%, yaitu pada tikus kelompok kontrol negatif, kelompok BAL L. plantarum 2C12 dan kelompok BAL L. fermentum 2B4. Feses tikus kelompok kontrol positif terlihat lebih lembek sebagai tanda terjadi infeksi pada saluran pencernaannya, sedangkan feses pada kelompok tikus lainnya tidak lembek (cukup keras). Untuk lebih jelasnya, penampakan feses tikus seluruh kelompok pada hari ke-14 (minggu II) pemeliharaan dapat di lihat pada Gambar 7.
35
Tabel 9. Kadar air Feses Tikus Pecobaan (%bb) Kelompok tikus
Hari ke-14 (n=2) 52,07
Hari ke-21 (n=2) 53,20
BAL L. plantarum 2C12
49,20
46,00
BAL L. fermentum 2B4
49,16
48,30
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
48,22
57,75
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
46,63
53,37
Kontrol positif
63,95
68,92
Kontrol negatif
Gambar 7. Feses tikus pada hari ke-14. Keterangan tikus: Kelompok A (kontrol negatif), Kelompok B (BAL L. plantarum 2C12), Kelompok C (BAL L. fermentum 2B4), Kelompok D (BAL L. plantarum 2C12 + EPEC), Kelompok E (BAL L. fermentum 2B4 + EPEC), Kelompok F (kontrol positif). Pada hari ke-21, semua tikus yang diinfeksi dengan EPEC termasuk kelompok tikus yang dicekok dengan BAL (yaitu kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 + EPEC), mengalami diare. Akan tetapi, tikus yang diinfeksi oleh EPEC tanpa pemberian BAL (kontrol positif) mengalami diare yang lebih parah. Hal ini dapat dilihat melalui kadar air feses yang dikoleksi pada hari ke-21, tikus kelompok kontrol positif mempunyai kadar air feses 68,92%, sedangkan tikus kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 + EPEC adalah 57,75 % dan 57,37%. Sedangkan pada tikus yang sehat (kelompok
36
kontrol negatif, kelompok BAL L. plantarum 2C12 dan kelompok BAL L. fermentum 2B4) kadar air fesesnya berkisar antara 46,00% sampai 53,20%.
C. Hematologi Hematologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan penyakitnya. Asal katanya dari bahasa Yunani “haima” yang artinya darah. Pengamatan status hematologi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi jumlah eritrosit, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah trombosit, dan jumlah leukosit. Hasil pemeriksaan hematologi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 13.
1. Eritrosit Eritrosit merupakan jenis sel darah yang paling banyak dan berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh hewan bertulang belakang. Bagian dalam eritrosit terdiri dari hemoglobin, sebuah biomolekul yang dapat mengikat oksigen. Hemoglobin akan mengambil oksigen dari paru-paru dan insang, dan akan dilepaskan saat eritrosit melewati pembuluh kapiler. Warna merah sel darah merah sendiri berasal dari warna hemoglobin yang unsur pembuatnya adalah zat besi. Dalam proses pembentukan eritrosit terdapat peran hormon Eritropoitin yang membantu mengatur kecepatan pembentukan eritrosit. Pada penelitian ini, dilakukan penghitungan jumlah eritrosit selama pemeliharan tikus percobaan dengan menggunakan alat ”Hematology Analyzer”. Jumlah rataan eritrosit tikus percobaan dapat dilihat pada Tabel 10. Jumlah eritrosit semua kelompok tikus mengalami peningkatan dari hari ke-7, ke-14, dan ke-21 (Tabel 10). Hal ini dikarenakan tikus mengalami pertumbuhan
yang
merupakan
faktor
penting
dalam
mempengaruhi
pembentukan sel darah merah di sumsum tulang. Dibandingkan dengan kelompok tikus lain, kelompok kontrol positif memiliki jumlah eritrosit yang paling rendah pada hari ke-14 dan ke-21. Penambahan infeksi EPEC tersebut menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada jumlah eritrosit. Pada hari ke21, semua kelompok tikus selain kontrol positif memiliki jumlah eritrosit
37
dalam kisaran normal, yaitu 7.2-9.6 juta/L (Dranville, 1972). Untuk pria normal jumlah eritrositnya mencapai 5-5,5 juta/dL sedangkan pada wanita normal mencapai 4,5-5 juta/dL (Vander et al., 1994).
Tabel 10. Rataan Eritrosit Tikus Percobaan pada Hari ke-7, 14 dan 21. Jumlah Eritrosit (Juta/L) Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 (n=3) (n=3) (n=3)
Kelompok Tikus Kontrol negative
6,47
7,30
8,03
BAL L. plantarum 2C12
6,85
7,08
8,22
BAL L. fermentum 2B4
6,84
7,00
8,09
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
6,66
7,01
8,49
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
6,93
7,45
8,26
Kontrol positif
6,66
6,97
7,07
Gambar 8, menunjukkan jumlah eritrosit berbagai kelompok perlakuan tikus pada hari ke-21. Analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap jumlah eritrosit dan uji lanjut Duncan (Lampiran 15) menunjukkan bahwa kelompok tikus kontrol positif memiliki jumlah eritrosit terendah (7.07 juta/l) dan berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok tikus yang diinfeksikan BAL baik dengan EPEC maupun tanpa pemberian EPEC.
Jumlah Eritrosit (juta/l)
Eritrosit 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8,03b
Kontrol negatif
8,22b
8,09b
8,49b
8,26b 7,07a
L. plantarum L. L. plantarum L. 2C12 fermentum 2C12 + EPEC fermentum 2B4 2B4 + EPEC Kelompok Tikus
Kontrol positif
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05).
Gambar 8. Rataan Eritrosit Tikus (Juta/L) pada Hari ke-21 Percobaan.
38
Pembentukan eritrosit tergantung pada kecepatan pembentukan sumsum tulang, yang dikontrol oleh sejenis hormon yang disebut eritropoitin, yaitu molekul glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 40.000 Da (Guyton, 1993). Agar EPEC dapat berkolonisasi pada saluran pencernaan maka pertama kali harus melekat pada glikokonjugat yang ada pada membran mikrovili. Glikokonjugat merupakan terminal gula pada sisi rantai oligosakarida yang terletak pada membran mikrovili. Glikokonjugat ini dapat berupa glikoprotein atau glikolipid. Salah satu glikoprotein yang digunakan EPEC agar dapat berkolonisasi
adalah
eritropoitin.
Hal
tersebut
yang
menyebabkan
terganggunya aktivitas hormon eritropoitin untuk merangsang pembentukan eritroblas dari sel-sel punca hematopoetik. Hormon eritropoitin juga dapat merangsang proses pembelahan sel menjadi lebih cepat (Guyton, 1993).
2. Hematokrit Hematokrit menunjukkan persentase sel darah merah dari volume darah. Nilai hematokrit normal pada manusia adalah 42-50% pada laki-laki dan pada wanita 37-45% (Vander et al., 1994). Nilai hematokrit yang tinggi menunjukkan tingginya persentase sel darah merah (polisitemia) atau kekurangan cairan. Nilai rataan hematokrit tikus percobaan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rataan Hematokrit Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21.
Kelompok Tikus
Jumlah Hematokrit (%) Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 (n=3) (n=3) (n=3)
Kontrol negatif
33,97
38,00
40,03
BAL L. plantarum 2C12
37,17
38,20
42,33
BAL L. fermentum 2B4
37,07
37,83
40,53
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
36,30
37,63
42,37
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
36,93
38,30
40,13
Kontrol positif
36,97
38,70
39,13
39
Jumlah hematokrit semua kelompok tikus mengalami peningkatan dari hari ke-7, ke-14, dan ke-21 (Tabel 11). Hari ke-21, kontrol positif memiliki jumlah hematokrit yang paling rendah dibandingkan kelompok tikus lain. Penambahan probiotik BAL L. plantarum 2C12 dan BAL L. fermentum 2B4 mampu mempertahankan jumlah hematokrit dalam kisaran normal yaitu 3953% (Dranville, 1972). Penambahan BAL L. plantarum 2C12 pada tikus yang diinfeksi
EPEC
lebih
mampu
mempertahankan
jumlah
hematokrit
dibandingkan dengan penambahan BAL L. fermentum 2B4.
Jumlah Hematokrit (%)
Hematokrit 43 42 41 40 39 38 37
42,37c
42,33c 40,03b
40,53b
40,13b 39,13a
Kontrol negatif
L. plantarum L. L. plantarum L. 2C12 fermentum 2C12 + EPEC fermentum 2B4 2B4 + EPEC
Kontrol positif
Kelompok Tikus Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05).
Gambar 9. Rataan Hematokrit Tikus (%) pada Hari ke-21 Percobaan.
Gambar 9, menunjukkan nilai hematokrit berbagai kelompok perlakuan tikus pada hari ke-21. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan kepada tikus percobaan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap nilai hematokrit tikus. Uji lanjut Duncan (Lampiran 16) menunjukkan bahwa tikus kelompok kontrol positif memiliki nilai terendah (39,13%) dan berbeda nyata dengan kelompok tikus normal dan kelompok tikus yang diinfeksi BAL dan EPEC. Dengan adanya kolonisasi EPEC yang dapat mengikat eritropoitin yang merupakan glikokonjugat, menyebabkan fungsi hormon ini kurang efektif. Hormon eritropoitin membantu mengatur kecepatan pembentukkan sel darah merah di dalam sumsum tulang serta dapat merangsang proses pembelahan sel menjadi lebih cepat (Guyton, 1993). Dengan adanya penurunan
40
jumlah eritrosit mengakibatkan pula penurunan jumlah hematokrit. Pada hewan normal nilai hematokrit sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Hal yang sangat menarik dari penelitian ini adalah adanya perbedaan nyata antara jumlah hematokrit kelompok BAL L. plantarum 2C12 dan BAL L. plantarum 2C12 + EPEC berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif, BAL L. fermentum 2B4, dan BAL L. fermentum 2B4 + EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa BAL L. plantarum 2C12 lebih efektif mempertahankan jumlah hematokrit akibat pengaruh infeksi EPEC dibandingkan BAL L. fermentum 2B4. Menurut Salminen at al (1999), probiotik merupakan sediaan sel mikroba atau komponen dari sel mikroba yang mempunyai pengaruh menguntungkan bagi kesehataan dan kehidupan inangnya. Lactobacillus plantarum umumnya lebih tahan terhadap asam dan merupakan bakteri penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa polipeptida atau protein yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah (Ray, 2004).
3. Hemoglobin Hemoglobin adalah metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh pada mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin terbuat dari empat molekul protein (globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang masih dalam perut atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama, maka disebut sebagai HbF (Guyton, 1993).
41
Setiap rantai globulin mengandung sebuah struktur penting yang disebut sebagai molekul “Heme”, di dalam molekul heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah. Hemoglobin juga berperan penting dalam mempertahankan bentuk sel darah yang bikonkaf, jika terjadi gangguan pada bentuk sel darah ini, maka keluwesan sel darah merah dalam melewati kapiler menjadi kurang maksimal. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kekurangan zat besi bisa menyebabkan anemia (Guyton, 1993). Jumlah hemoglobin normal pada manusia yaitu pria 14-16 gram/dL dan wanita 12,5-15 gram/dL (Vander et al., 1994). Kadar rataan hemoglobin tikus percobaan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataan Hemoglobin Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21.
Kelompok Tikus Kontrol negatif BAL L. plantarum 2C12 BAL L. fermentum 2B4 BAL L. plantarum 2C12 + EPEC BAL L. fermentum 2B4 + EPEC Kontrol positif
Jumlah Hemoglobin (g%) Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 (n=3) (n=3) (n=3) 13,07 14,50 15,43 13,60 14,30 16,27 13,77 14,30 15,53 13,60 14,43 16,37 13,57 14,60 15,60 13,83 14,63 14,50
Tabel 12, menunjukkan adanya peningkatan jumlah hemoglobin semua kelompok pada hari ke-7, ke-14 dan ke-21. Hal ini dikarenakan pemberian pakan setiap harinya mampu diserap dengan baik oleh tikus untuk pembentukkan hemoglobin di dalam hati. Namun ion Fe dari pakan yang diberikan kurang mampu diserap dengan baik pada kelompok kontrol positif karena adanya infeksi EPEC, dapat dilihat pada hari ke-21 kontrol positif mengalami penurunan jumlah hemoglobin menjadi 14,50 g%. Hari ke-21, penambahan probiotik baik berupa BAL L. plantarum 2C12 dan BAL L. fermentum 2B4 mampu mempertahankan jumlah hemoglobin dalam kisaran normal yaitu 12-17,5 g% (Dranville, 1972). Namun dengan
42
penambahan BAL L. plantarum 2C12 pada tikus yang diinfeksi EPEC lebih mampu
mempertahankan
jumlah
hemoglobin
dibandingkan
dengan
penambahan BAL L. fermentum 2B4. Gambar 10, menunjukkan nilai hemoglobin berbagai kelompok perlakuan tikus pada hari ke-21. Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan kepada percobaan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah hemoglobin tikus. Uji lanjut Duncan (Lampiran 17) menunjukkan bahwa kelompok tikus kontrol positif memiliki jumlah hemoglobin terendah (14,5 g%) dan berbeda nyata dengan kelompok tikus kontrol negatif dan kelompok tikus yang diinfeksikan BAL dan EPEC. Guyton (1993) menjelaskan bahwa ketika zat besi (Fe) diabsorbsi dari lumen usus akan berikatan langsung dengan sejenis protein yang disebut apotransferin yang akan membawa Fe tersebut menuju sel (sel hati) untuk digunakan dalam pembentukan hemoglobin, zat besi yang digunakan dalam pembentukan hemoglobin adalah ion Fe. Tetapi dengan adanya EPEC yang mampu merusak dinding-dinding sekitar usus menyebabkan lumen usus tidak mampu menyerap zat besi dengan baik sehinggga pembentukan hemoglobin
Jumlah Hemoglobin (g%)
akan terhambat.
17 16,5 16 15,5 15 14,5 14 13,5
Hemoglobin 16,37c
16,27c 15,43b
15,53b
15,60b 14,50a
Kontrol negatif
L. plantarum L. L. plantarum L. 2C12 fermentum 2C12 + EPEC fermentum 2B4 2B4 + EPEC Kelompok Tikus
Kontrol positif
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)
Gambar 10. Rataan Hemoglobin Tikus (g%) pada Hari ke-21 Percobaan.
43
Hal yang sangat menarik dari penelitian ini adalah adanya perbedaan nyata antara jumlah hemoglobin kelompok BAL L. plantarum 2C12 dan BAL L. plantarum 2C12 + EPEC berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif, BAL L. fermentum 2B4, dan BAL L. fermentum 2B4 + EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa BAL L. plantarum 2C12 lebih efektif mempertahankan jumlah hemoglobin akibat pengaruh infeksi EPEC dibandingkan BAL L. fermentum 2B4. Seperti yang dijelaskan pada bagian hematokrit penambahan L. plantarum mempunyai keuntungan yang lebih dibandingkan L. fermentum. Lactobacillus plantarum umumnya lebih tahan terhadap asam dan merupakan bakteri penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa polipeptida atau protein yang bersifat bakterisidal serta dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah. Hal tersebut yang menyebabkan BAL L. plantarum 2C12 lebih efektif mempertahankan jumlah hemoglobin akibat pengaruh infeksi EPEC dibandingkan BAL L. fermentum 2B4.
4. Trombosit Trombosit atau keping-keping darah adalah sel anuclear (tidak mempunyai nukleus pada DNA-nya) dengan bentuk yang tidak beraturan yang merupakan fragmentasi dari megakariosit. Keping darah bersirkulasi dalam darah dan terlibat dalam mekanisme hemostasis tingkat sel yang menimbulkan pembekuan darah (trombus). Disfungsi atau jumlah keping darah yang sedikit dapat menyebabkan pendarahan, sedangkan jumlah yang tinggi dapat meningkatkan risiko trombosis. Fungsi utama dari trombosit adalah dalam proses pembekuan darah. Jumlah trombosit normal manusia berkisar 150-400 ribu/dL (Vander et al., 1994). Jumlah rataan trombosit tikus percobaan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Terdapat kelompok tikus yang mengalami peningkatan dan penurunan jumlah trombosit (Tabel 13). Kelompok tikus kontrol positif mengalami
44
penurunan yang cukup tinggi, dapat dilihat hari ke-21 tikus kontrol positif memiliki jumlah trombosit paling rendah dibandingkan kelompok tikus yang lain. Hanya kelompok tikus kontrol negatif dan kelompok tikus BAL L. plantarum 2C12 saja yang memiliki jumlah trombosit dalam kisaran normal yaitu 562-948 ribu/l (LBPPK, 1994).
Tabel 13. Rataan Trombosit Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21. Jumlah Trombosit (ribu/l) Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 (n=3) (n=3) (n=3) 471 532 613
Kelompok Tikus Kontrol negatif BAL L. plantarum 2C12
584
605
665
BAL L. fermentum 2B4
584
510
545
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
512
545
435
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
584
625
452
Kontrol positif
468
539
383
Jumlah Trombosit (Ribu/L)
Trombosit 700 600 500 400 300 200 100 0
613bc
665c 545abc 435ab
Kontrol negatif
452ab
L. plantarum L. L. plantarum L. 2C12 fermentum 2C12 + EPEC fermentum 2B4 2B4 + EPEC Kelompok Tikus
383a
Kontrol positif
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)
Gambar 11. Rataan Trombosit Tikus (Ribu/L) pada Hari ke-21 Percobaan.
Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah trombosit tikus. Uji lanjut Duncan (Lampiran 18) menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif memiliki jumlah trombosit terendah (383 ribu/l) dan berbeda nyata dengan kelompok kontrol
45
negatif. Aktivitas patogen dari EPEC mampu melisis dinding mukosa usus yang menyebabkan pendarahan. Bila terjadi luka maka trombosit jaringan yang rusak akan mengeluarkan trombosiplastin yang bereaksi dengan protrombin dan kalsium membentuk trombin. Trombin akan bereaksi dengan fibrinogen membentuk fibrin yang akan menutupi jaringan yang terluka (Gadjahnata, 1989). Dapat dilihat pada Gambar 11, penambahan BAL Lactobacillus plantarum 2C12 mampu mempertahankan jumlah trombosit dalam jumlah normal. BAL Lactobacillus plantarum 2C12 merupakan suatu bakteri probiotik yang mampu melekat pada sel-sel epithelial dan memproduksi zat metabolit yang berperan dalam menjaga dan mempertahankan mikroflora usus (James et al., 1992). Penempelan probiotik dapat merangsang aktifnya sel-sel epithelial dan fungsi limfosit sehingga dapat meningkatkan kapasitas perlindungan pada sistem pertahanan mukosa (Walker, 2008). BAL Lactobacillus plantarum 2C12 itu sendiri memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan BAL Lactobacillus fermentum 2B4, seperti yang telah dijelaskan pada bagian hematokrit dan hemoglobin.
5. Leukosit Leukosit adalah komponen aktif dari sistem pertahanan tubuh yang dibentuk sebagian dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam organ limfoid seperti timus dan limpa. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung (Effendi, 2003). Jumlah leukosit normal manusia yaitu 5000-10.000 sel/dL (Vander et al., 1994). Jumlah rataan leukosit tikus percobaan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 14.
46
Tabel 14. Rataan Leukosit Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21.
Kelompok Tikus Kontrol negative BAL L. plantarum 2C12 BAL L. fermentum 2B4 BAL L. plantarum 2C12 + EPEC BAL L. fermentum 2B4 + EPEC Kontrol positif
Jumlah Leukosit (sel/l) Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 (n=3) (n=3) (n=3) 4700 4567 4933 4367 4000 6200 4133 4567 6333 5067 6067 3767 6000 5433 3767 5267 4733 4433
Tabel 14, menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan jumlah leukosit akibat perlakuan yang diberikan. Kelompok tikus yang diberikan infeksi EPEC dengan atau tanpa penambahan BAL mengalami penurunan jumlah leukosit, sedangkan kelompok tikus tanpa infeksi EPEC dengan penambahan BAL mampu mempertahankan jumlah leukosit dalam kisaran normal yaitu 5000-25.000 sel per L (Dranville, 1972).
Jumlah Leukosit (sel/L)
Leukosit 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
6200c
6333c
4933b 3767ab
Kontrol negatif
3767ab
L. L. L. L. plantarum fermentum plantarum fermentum 2C12 2B4 2C12 + 2B4 + EPEC EPEC
4433a
Kontrol positif
Kelompok Tikus Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)
Gambar 12. Rataan Leukosit Tikus (sel/L) pada Hari ke-21 Percobaan.
Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 19) pada kelompok tikus kontrol positif berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok
47
kontrol negatif, kelompok BAL L. plantarum 2C12, dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 (Gambar 12). Hal yang menarik perhatian pada penelitian ini bahwa jumlah leukosit pada tikus kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC, dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 + EPEC, berada di bawah jumlah leukosit normal, sedangkan untuk kelompok L. plantarum 2C12 dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 mempunyai jumlah leukosit yang berada pada kisaran normal, yaitu 5000-25.000 sel per L. Peningkatan jumlah leukosit pada kelompok tikus yang diberikan probiotik karena probiotik mampu bertindak sebagai immonomodulator (imunostimulan) yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Tannock, 1999). Walker (2008) juga menambahkan bahwa probiotik dapat merangsang aktifnya sel-sel epithelial dan fungsi limfosit sehingga dapat meningkatkan kapasitas perlindungan pada sistem pertahanan mukosa. Imunomodulator
merupakan
senyawa
tertentu
yang
dapat
meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh, baik secara spesifik maupun nonspesifik. Beberapa strain bakteri asam laktat yang bersifat probiotik menstimulir
sistem
imun
seperti
memperbaiki
aktivitas
makrofag,
meningkatkan antibodi, mengaktifkan sel NK. BAL probiotik dapat meningkatkan respon imun baik spesifik maupun nonspesifik, serta mengendalikan infeksi saluran usus. Pertahanan non-spesifik terhadap antigen disebut paraimunitas, dan zat bersangkutan disebut penginduksi paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak atau sedikit sekali kerja antigennya, bahkan sebagian bekerja sebagai mitogen yaitu menaikkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor paraimunitas ini terutama menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini dapat bekerja langsung maupun tak langsung (misalnya melalui sistem komplemen atau limfosit, melalui produksi interferon atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro dan makro (Gambar 13). Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahanan
48
mungkin terjadi, hingga mempersulit penggunaan imunomodulator ini dalam praktek (Widianto, 1987). Penurunan jumlah leukosit pada tikus kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 + EPEC, dimungkinkan adanya luka di sekitar usus akibat pelekatan EPEC pada mukosa intestinal sehingga leukosit yang berfungsi dalam pertahanan tubuh terpakai. Kondisi tersebut mengakibatkan leukosit berkurang jumlahnya. Imunomodulator (mitogen)
Radang lokal
Komplemen aktif
γ- interferon
Limfosit T Makrofag yang diberikan limfokin mel. penstimulasi limfosit Sel “penolong” T monokin
Sel “penekan” T Sel limfosit T yang sitotoksin
granulosit
Sel “pembunuh” (K)
Limfosit B
Pembentuk antibodi nonspesifik
Mikro fagositosis granulosit
Makro fagositosis
Interferon α
Sel “pembunuh alam” (NK)
Gambar 13. Mekanisme stimulasi imun non-spesifik (Widianto, 1987).
49
BAB V KESIMPULAN
a. Kesimpulan Penelitian ini membuktikan bahwa penambahan EPEC pada tikus dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kejadian diare pada tikus. Pada umumnya semua kelompok tikus mengalami kenaikan berat badan, namun untuk kelompok tikus yang diinfeksi EPEC dengan atau tanpa penambahan BAL mengalami penurunan berat badan pada hari ke-12 sampai hari ke-21. Kelompok tikus yang diinfeksi EPEC dengan atau tanpa penambahan BAL, fesesnya mengalami diare sedangkan kelompok tikus tanpa infeksi EPEC fesesnya tidak mengalami diare. Untuk kelompok tikus yang hanya diinfeksi EPEC saja tanpa penambahan BAL mengalami diare yang lebih parah yang ditunjukkan oleh kadar air fesesnya sebesar 63,95 % pada hari ke-14 dan 68,92% pada hari ke-21. Status hematologi menunjukkan bahwa jumlah eritrosit, hematokrit, hemoglobin tikus kontrol positif memiliki jumlah yang paling rendah dan berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok tikus yang diberikan BAL, dengan atau tanpa penambahan EPEC. Kelompok kontrol positif masih memiliki jumlah trombosit yang paling rendah dan berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok tikus yang diberikan BAL L. plantarum 2C12, sedangkan jumlah leukosit tikus kelompok kontrol positif tidak menunjukkan jumlah yang terendah, dan juga tidak berbeda nyata dengan kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC dan kelompok BAL L. fermentum 2B4 + EPEC. Penambahan probiotik berupa BAL L. plantarum 2C12 dan BAL L. fermentum
2B4
pada
kelompok
tikus
yang
diberikan
EPEC
mampu
mempertahankan status hematologi tikus untuk parameter eritrosit, hematokrit, hemoglobin dalam jumlah yang normal. Kisaran normal eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit berturut-turut yaitu 7.2-9.6 juta/L, 39-53 %, 12-17,5 g%, 562-948 ribu/L, dan 5000-25.000 /L (Dranville, 1972 dan LBPPK, 1994). Pemberian BAL L. plantarum 2C12 menunjukkan kemampuan yang lebih besar dalam mempertahankan jumlah eritrosit, hematokrit, dan hemoglobin tikus yang diinfeksi EPEC, dibandingkan dengan pemberian BAL L. fermentum 2B4.
50
b. Saran Hal-hal yang dapat disarankan untuk penelitian berikutnya adalah: 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang potensi imunomodulator dari L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4. 2. Agar dapat bermanfaat bagi tubuh kita diperlukan pembuatan pangan fungsional yang menggunakan BAL L. plantarum 2C12 dan BAL L. fermentum 2B4.
51
DAFTAR PUSTAKA Acheson, D.W.K. 1992. Translocation of Shiga Toxin Across Polarized Intestinal Cell in Tissue Culture. Infect Immun 64: 3294-3300. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis in The Association of Official Agricultural Chemist. Association of Official Agricultural Chemist. Washington D.C. Arief, I.I., Maheswari, R.R.A., dan Suryati, T. 2008. Aktivitas Anti mikroba Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi dari Daging Sapi. Makalah Seminar Hasil Penelitian Departemen IPTP Fakultas Peternakan IPB. Bell, G. 1965. Textbook of Physiologi and Biochemistry. 6th Ed, The William and Wilkinds Co., Baltimore. Bowel, J.R., Congei, B.L., Clearly, T.G., Stone, R.T., dan Wanger, A. 1998. Escherichia coli O114: non Motile as a Pathogen in an Outbreak of Severe Diarrhea Associated with a Day Care Center. J Infect Dis 160: 243-247. Branen, A.L. 1993. Antimicrobials in Food. 2nd Adition. Marcell Dekker Inc, New York. Breazile, J.E. 1971. Text Book of Veterinary physiology. Philadelphia: Lea and Febiger. Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wooton, M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: Hari Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Budiarti, S. 1997. Pelekatan pada sel Hep-2 dan keragaman serotipe O Escherichia coli Enteropatogenik isolat Indonesia. J. Berkala Ilmu Kedokteran 29: 105-110. Coconnier, M.H., Bernet, M.F., Chauviere, G., dan Servin, A.L. 1993. Adhering Heat Killed Human Lactobacillus acidophilus, Strain LB, Inhibit The
52
Process of Pathogenicity of Diarrheagenic Bacteria in Cultured Human Intestinal Cells. J. Diarrhoeal Dis. Res. 11:235-242. Danville, I. 1972. The Breeding, Care and Management of Experimental Animals. University of Florida. The Inter State Printers and Publishers, Inc. Donnenberg, M.S dan Kaper, J.B. 1992. Mini review: Enterophatogenic Escherichia coli. Infect Immun 60: 3953-3961. Donnenberg, M.S. 1995. Enteropatogenik Escherichia coli. Raven Pr. New York. Pp 709-726. Doxey, D.L. 1971. Veterinary Clinical Pathology. Bailliere Tindall. London. Effendi, Z. 2003. Peranan Leukosit dalam Anti Inflamasi Alergi dalam Tubuh. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. Fuller, R. 1999. Probiotics from Animal. Dalam: G. W. Tannock (Editor). Probiotic A Critical Review. Horizon scientific Press, London. Gadjahnata, K.H.O. 1989. Biologi Kedokteran I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
Pusat Antar
Universitas Hayati IPB, Bogor. Ganong, W.F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Riview of Medical Physiology). Edisi ke-4. Diterjemahkan oleh Andiarto, P. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. Gibson, G.R dan Roberford, M.B. 1995. Dietary Modulation of the Human Colonic Microbiota: Introducing the Concept of Probiotics. J. Nutr. 125: 1401-1412. Gibson, G. 2000. Introduction. Dalam: Gibson, G dan Angus, F (Editors). LFRA Ingredients Handbook: Prebiotics and Probiotics. LFRA Limited. Randalls Road, Leathershead, England.
53
Guyton, A.C. 1993. Sel Darah, Imunitas dan Pembekuan Darah. Di dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-7 bagian I. Diterjemahkan oleh Dr. Ken Ariata Tengadi, dkk. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Guyton, A.C dan Hall, J.E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Guyton, A.C dan Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hariyadi, R. T., Anjaya, N., Suliantari, Nuraida, L., dan Satiawiharja, B. 2001. Penuntun Praktikum Teknologi Fermentasi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hicks, S., Frankel, G., Kapel, J.B., Dougan, G., dan Phillips, A.D. 1998. Role of Intimin and Bundle Forming Pili of Entherophatogenic Escherichia coli Adhesion to Pediatric Intestinal Tissue in Vitro. Biotech Biochem 66: 1570-1578. Hidayat, A. 1997. Diare Salah Satu Penyebab Utama Kematian Bayi Indonesia. Kompas 1 Mei 1997. Jakarta. Holt, J.G., Krieg, N.R., Sneath, P.H.A., Staley, J.T., dan Williams, S.T. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteoriology. 9th ed. Williams and Wilkins, Maryland. Hodges, R.D. 1977. Normal Avian Haemology. Didalam: RK Archer dan LP Jeffcott, Editor. Comperative Clinical Haematology. Blackwell Scientific Publication. Oxfird. pp:484-517. Hugas, M. dan Monfort, J.M. 1997. Bacterial Starter Cultur for Meat Fermentation. J. Food Chemistry. 59: 547-554. Jain, N.C, 1993. Essential of Veterinary Hematology. Lea and Febiger. Philadelphia.
54
James, R., Lazdunski, C., dan Pattus, F. 1992. Bacteriocins, Microcins, and Lantibiotics. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg. Jay, M.J. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edit. Appen Publishers Inc., Maryland. Kelly, W.R. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. 3rd Ed. Baillere Tindall. London Knutton, S., Baldwin, T., Williams, P.H., dan McNeish, A.S. 1989. Actin Accumulation at sites of Bacterial Adhesion to Tissue Culture Cells: Basis of a New Diagnostic Test for Enteropathogenic and Enterohaemorrhagic Escherichia coli. Infect Immun 57: 1290-1298. Kurniasih, D.A. 1995. Identifikasi Escherichia coli Enteropatogenik dari Feses Penderita Diare di RSU Ciawi Bogor dan Uji Kepekaan terhadap Beberapa Jenis Antibiotik. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. 12 hal. Laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LBPPK). 1994. Penentuan nilai rujukan parameter faal hewan percobaan sebagai model penyakit manusia dan hewan. Bandung. Levine dan Edelman, 1984. Enteropatogenik Escherichia coli of class serotypes associated with infant diarrhea: epidemiology and pathogenesis. Epidemiol Rev 6: 31-51. Lisal, J.S. 2005. Konsep Probiotik dan Prebiotik untuk Modulasi Mikrobiota Usus Besar. J. Med. Nus. 26(4): 259-262. Martini, F., Ober, W.C., Garsson, C.W., dan Welch, K. 1992. Fundamentals of Anatomy Physiology. 12
th
Ed. Prentice hall, Englewood Clifts, New
Jersey.
55
Martini, S. 2001. Produksi Antibodi Monoklonal Antiprotease Enteropathogenik Escherichia coli (EPEC). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Molin, G. 2003. The Role of Lactobacillus plantarum in Food and in Human Health. Di dalam: E. R. Farnworth (Editor). Handbook of Fermented Functional Foods. CRC Press, Boca Raton. Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, D., Palupi, N. S., dan Astawan, M. 1992. Metoda Kimia, Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Muchtadi, T.R. 1997. Teknologi Pengolahan Pangan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nataro, J.P dan Kaper, J.B. 1998. Diarrheagenic Escherichia coli. American Society for mikrobiology. J Clin Microbial 142-201. Nuraida, I., Susanti dan Palupi, N.S. 2008. Probiotic Propertion of Lactobacillus fermentum A17 Isolated from Milk. Symposium on Diet, Nutrition and Immunity. Singapore, 16-17 April 2008. Oyetayo, V.O. 2004. Performance of rats orogastrically dosed with faecal strains of Lactobacillus acidophilus and challenged with Escherichia coli. Afr J Biotechnol 3 (8): 409-411. Phillis, J.W. 1976. Veterinary Physiology. Bristol Wright Scientechnica. Rahman, A., Fardiaz, S., Rahayu, W.P., Suliantari dan Nurwitri, C.C. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
56
Raphael, S.S. 1987. Lynch’s Medical Laboratory Technology. 4th Ed. W.B. Saunders. Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology. 3rd. Edition. CRC Press, New York. Reque, E.D.F, Pandey, A., Franco, S.G., dan Soccol, C.R. 2000. Isolation, Identification and Physiological Study of Lactobacillus fermentum for Use as Probiotic in Chichen. Journal of Microboilogi 31: 303-307. Sacher, R.A dan McPherson, R.A. 2000. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Saliminen, S., Oumehand, A., Benno, Y., dan Lee, Y.K. 1999. Probiotics: How should They be Defined?. Trends Food Sci Tech 10: 107-110. Schalm, O.W. N.C. J dan Carroll, E. J. 1975 Veterinary Hematology. 3rd Ed. Lea. Sofie, M. 1994. Hematology Analyzer Pendeteksi Kanker Darah. Universitas Diponegoro, Semarang. Steel, R.G.D dan Torrie, J.H. 1995. Principles and Procedures of Statistic. A Biometrical Approach. 2 nd edition. Mc Graw Hill Book Co., New York. Supriatna, E.R. 1998. Patologi Klinik. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. Surono, I.S. 2004. Probiotik: Susu Fermentasi dan Kesehatan. Yayasan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia, Jakarta. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 2008. Kasus Diare di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga, Indonesia. Swenson, M.J. 1970. Physiological Properties and Cellular and Chemical Constituents of Blood. Didalam : Duke’s Physiology of Domestic
57
Animals. Publishising Associattes a Division of Cornell University. Ithaca and London. Swenson, M.J. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal. 11 th ed. London: Cornell University Press. 3: 22-41. Svendsen. 1974. An Introduction to Animal Phusiology. The Avi Publishing, Inc. Westpart, Conecticut, U.S. Tannock, G.W. 1999. Probiotic: A Critical Review. Horizon Press. Norfolk. Utsonomiya, A. 1995. Major of Enteropathogenic Bacteria Isolated from Diarrheal Patients in Bolivia: a hospital based study. Microbial Immunol 39: 845-851. Van, T.J., dan Berger, A.J. 1975. Fundamental of Ornithology. 2th ed. USA : Iowa. Vander, A.J., Sherman, J.H., dan Luciano, D.S. 1994. Human Physiology : Edisi ke 6, Edisi Internasional, McGraw Hill, Inc. Walker, W.A. 2008. Role of Nutriens and Bacterial Colonization in the development of Intestinal Host Defense. J. Ped. Gastroenterol. Nutr. 30: 22000. Widianto, M.B. 1987. Imunomodulator. Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung. Bandung. Widjajakusuma, R. dan Sikar, H. 1986. Fisiologi Hewan Laboratorium. Fisiologi dan Farmakologi. FKH-IPB. Bogor. Williams, D.F. 1987. Blood Compability. Vol.I, CRC. Press Inc. Bocarotan. Florida. World Health Organization (WHO). 2005. Diarrhea. World Health Organization, New Delhi.
58
Yukuchi, H., Goto, I., dan Okogoni, S. 1992. Fermented Milk. Lactid Drinks and Functions of Fermented Milk. Chalenges for the health Science. Elsevier Applied Science Published Ltd., London. Zoumpopoulou, G., Foligne, B., Christodoulou, K., Grangette, C., Pot, B., dan Tsakalidou, E. 2008. Lactobacillus fermentum ACA-DC 179 displays probiotic potential in vitro and protects against trinitrobenzene sulfonic acid (TNBS)-induced colitis and Salmonella infection in murine models. Int J Food Microbiol 121: 18-19.
59
LAMPIRAN 1. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok A pada Minggu ke-1.
Kelompok
MINGGU 1
Keterangan :
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
A1
10
15
14,09
A2
9,85
13,72
15
17,05
17,02
17,3
15,81
A3
10
15
15
18,36
18,37
17,68
17
A4
10
15
15
19,34
19,41
19,62
20
A5
10
14,85
15
A6
10
15
15
20
19,79
20
18,35
A7
10
15
15
16,4
20
20
20
A8
10
15
15
20
20
20
20
A9
10
15
15
20
20
20
18,53
A10
10
15
15
20
19,72
20
20
A11
10
15
15
18,37
20
20
20
A12
10
15
15
20
20
20
15,86
A13
7,69
9,94
12,43
16,28
14,07
13,32
15,37
A14
10
15
15
12,78
8,28
20
20
A15
10
15
15
20
20
20
20
= Tikus yang di bedah
60
LAMPIRAN 1. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok A pada Minggu ke-2 (Lanjutan).
Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
A2
14,43
11,83
19,93
A3
20
20
20
A4
20
0
20
A6
19,18
18,29
18,36
14,05
5,95
16,19
20
A7
20
18,27
20
20
20
20
20
A8
20
20
20
20
20
20
20
A9
18,67
18,05
20
A10
20
20
20
20
20
13,75
20
A11
20
0
20
20
20
16,65
20
A12
16,93
12,08
18,01
20
15,4
20
20
A13
15,29
4,71
18,49
20
17,58
20
20
A14
18,61
14,97
15,49
20
0
20
20
20
20
20
20
20
20
A1
A5
MINGGU 2
Keterangan :
A15 18 = Tikus yang di bedah
61
LAMPIRAN 1. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok A pada Minggu ke-3 (Lanjutan).
Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
A6
17,9
20
20
A7
20
20
20
A8
20
20
20
20
20
20
20
A10
20
20
20
A11
20
20
20
20
20
20
20
A12
20
20
20
A13
20
20
20
20
0
20
18,53
A14
20
9,2
20
20
20
20
20
A15
20
20
20
20
20
20
20
A1 A2 A3 A4 A5
MINGGU 3
A9
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
62
LAMPIRAN 1. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok A pada Minggu ke-4 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
20
20
20
20
18,58
1,42
A13
20
18
17,52
A14
17,77
2,23
17,77
A15
17,32
20
19,39
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
2,48
17,52
20
17,88
A1 A2 A3 A4 A5 A6 MINGGU 4
A7 A8 A9 A10 A11 A12
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
63
LAMPIRAN 2. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok B pada Minggu ke-1.
MINGGU 1
Keterangan :
Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
B1
10
15
15
20
20
20
20
B2
10
15
15
20
20
20
20
B3
10
15
15
20
19,39
20
20
B4
10
15
15
20
20
20
20
B5
10
12,95
15
B6
10
15
15
20
20
20
20
B7
10
15
15
20
20
20
20
B8
10
15
15
20
20
20
20
B9
10
15
15
20
20
20
20
B10
10
15
15
20
19,42
19,31
19,44
B11
10
15
15
20
20
20
20
B12
10
15
15
18,19
20
20
20
B13
10
15
15
7,55
20
20
20
B14
10
15
15
20
20
20
20
B15
10
15
15
20
19,69
20
20
= Tikus yang di bedah
64
LAMPIRAN 2. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok B pada Minggu ke-2 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
B1
20
20
20
B2
20
19,41
20
B3
20
18,89
18,54
B4
20
20
19,06
B6
20
20
20
20
20
16,65
20
B7
20
17,39
18,19
15,60
20
20
20
B8
20
19,48
20
20
20
20
20
B9
20
20
20
20
20
20
20
B10
18,05
16,11
20
19,16
20
20
16,83
B11
20
20
20
20
20
17,01
20
B12
20
20
20
18,53
20
20
20
B13
20
20
17,19
13,92
13,98
20
20
B14
20
20
20
20
20
20
20
19,61
18,05
7,99
20
20
17,67
20
B5
MINGGU 2
B15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
65
LAMPIRAN 2. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok B pada Minggu ke-3 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
B6
17,02
15,85
20
20
20
20
15,2
B7
17,86
19,73
20
20
20
20
20
B8
20
20
20
B9
20
20
20
B10
20
15,19
17,64
B11
20
20
20
B12
20
15,67
17,89
20
20
20
20
B13
18,10
18,03
16,32
18,04
20
20
18,27
B14
20
20
20
20
20
20
20
B15
14,02
20
19,27
15,23
20
14,64
20
B1 B2 B3 B4 B5 MINGGU 3
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
66
LAMPIRAN 2. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok B pada Minggu ke-4 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
B6
20
20
7,41
B7
20
20
17,89
19,16
B12
20
20
20
15,67
B13
20
20
14,92
B14
20
18,85
20
15,98
15,31
20
Jumat
Sabtu
Minggu
17,43
20
20
18,89
20
20
B1 B2 B3 B4 B5
MINGGU 4
B8 B9 B10 B11
B15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
67
LAMPIRAN 3. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok C pada Minggu ke-1.
MINGGU 1
Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
C1
10
15
15
20
17,22
18,68
17,14
C2
10
15
15
16,16
19,38
16,3
19,64
C3
10
15
15
20
20
20
20
C4
10
15
15
20
17,54
20
20
C5
10
15
15
C6
10
14,51
15
20
18
19,37
14,25
C7
10
15
15
20
20
20
20
C8
10
15
15
18,05
14,68
18
20
C9
10
15
15
20
20
20
20
C10
10
15
15
20
18,22
14,9
15,47
C11
10
15
15
20
20
20
15,95
C12
10
15
15
20
20
20
20
C13
10
15
15
20
20
20
20
C14
10
15
15
20
18,65
20
17,53
10
15
15
20
20
19,4
20
C15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
68
LAMPIRAN 3. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok C pada Minggu ke-2 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
C1
15,5
15,05
20
C2
20
20
20
C3
20
20
20
18,25
20
20
20
C4
16,76
20
20
C6
20
16,71
18,61
15,34
20
20
20
C7
20
20
20
20
20
20
20
C8
10,64
20
19,55
20
20
20
20
C9
18,14
18,87
18,72
19,38
17,7
20
19,72
C10
14,74
17,09
13,98
20
13,99
20
15,02
C11
12,81
17,58
19,32
C12
20
20
20
20
20
20
20
C13
20
20
20
20
20
20
20
C14
20
20
20
20
20
17,89
20
C15
20
20
20
20
20
20
20
C5
MINGGU 2
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
69
LAMPIRAN 3. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok C pada Minggu ke-3 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
14,04
20
20
20
20
20
20
C6
20
20
20
20
20
17,89
19,56
C7
20
20
20
C8
20
20
20
C9
18,19
20
20
20
20
20
20
C10
15,6
20
14,74
C12
20
20
20
20
20
20
20
C13
20
20
20
20
20
20
20
C14
17,89
18,67
20
20
20
20
20
20
20
20
C1 C2 C3 C4 C5
MINGGU 3
C11
C15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
70
LAMPIRAN 3. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok C pada Minggu ke-4 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
20
20
16,81
20
20
20
20
18,4
20
C12
20
20
20
C13
20
18,42
20
C14
18,45
20
20
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
18,90
19,67
20
20
20
20
18,67
20
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 MINGGU 4
C8 C9 C10 C11
C15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
71
LAMPIRAN 4. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok D pada Minggu ke-1.
MINGGU 1
Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
D1
10
15
14,68
13,82
16,34
18,39
17,95
D2
10
13,43
14,3
16,5
19,32
12,63
9,52
D3
10
14,45
12,89
14,38
14,12
19,24
19,12
D4
10
15
15
16,41
17,89
19,07
13,37
D5
10
15
15
20
20
20
20
D6
10
15
14,68
16,23
10
18,26
19,3
D7
10
14,1
13,89
16,16
15,13
18,09
12,65
D8
9,67
12,84
14,58
20
10,29
11,31
19,5
D9
10
15
15
20
20
20
20
D10
10
14,77
15
20
20
20
20
D11
10
15
14,68
20
17,71
18,96
17,07
D12
9,96
15
14,09
20
20
20
20
D13
10
15
15
20
19,95
6,39
10,26
D14
10
15
15
20
18,12
20
18,39
D15
10
15
15
20
20
18,78
20
72
LAMPIRAN 4. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok D pada Minggu ke-2 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
D2
12,52
14,76
13,94
15,89
13
20
13,92
D3
17,9
20
10,15
16,99
20
20
18,34
D4
20
8,44
10,24
13,46
12,51
16,46
14,17
D5
20
20
20
20
17,28
20
20
D8
20
20
20
20
19,59
20
20
D9
20
20
20
20
20
20
20
D10
20
20
20
20
20
20
20
D11
17,83
16,16
18,39
12,86
13,46
18,02
18,81
D12
20
20
20
20
20
16,79
20
D14
17,91
13,65
15,49
10,98
13,91
20
17,49
D15
17,05
13,15
20
20
20
20
20
D1
D6 MINGGU 2
D7
D13
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
73
LAMPIRAN 4. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok D pada Minggu ke-3 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
D2
20
17,02
19,28
20
20
19,09
20
D3
20
20
20
20
20
20
20
D4
20
20
20
20
20
20
20
D8
13,91
16,44
20
20
17,83
16,73
20
D9
20
20
20
20
20
20
20
D10
20
20
20
20
20
20
20
12,74
20
20
20
20
20
20
D1
D5 D6 MINGGU 3
D7
D11 D12 D13 D14 D15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
74
LAMPIRAN 4. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok D pada Minggu ke-4 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
15,72
20
18,42
15,52
16,89
20
15,88
20
20
20
16,97
17,5
17,7
20
20
17,53
20
18,4
19,29
20
16,49
D1 D2 D3 D4 D5 D6 MINGGU 4
D7 D8 D9 D10 D11 D12 D13 D14 D15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
75
LAMPIRAN 5. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok E pada Minggu ke-1.
MINGGU 1
Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
E1
9,31
15
14,26
14,64
20
14,65
14,44
E2
10
12,65
7,13
14,75
12,72
14,89
14
E3
10
12,94
15
13,04
16,16
20
20
E4
10
15
15
17,22
14,58
15,19
20
E5
10
13,07
14,12
13,08
10,18
12,33
17,21
E6
10
15
15
15,48
14,08
16,5
14,41
E7
10
13,2
14,73
13,99
13,4
13,06
20
E8
10
15
15
18,51
11,67
17,93
13,55
E9
10
12,25
14,22
11,89
10,77
12,71
15,46
E10
10
11,34
14,31
14,95
18,85
15,33
20
E11
10
13,83
14,74
13,98
9,48
14,21
14,85
E12
10
15
15
20
20
20
20
E13
10
15
15
20
15,27
20
15,06
E14
10
15
15
18,86
16,44
20
17,71
E15
10
15
13,58
16,44
14,35
13,84
15,68
76
LAMPIRAN 5. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok E pada Minggu ke-2 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
E1
20
20
5,74
16,89
13,3
15,18
17,34
E2
20
9,8
15,85
12,09
12,89
18
20
E3
20
13,39
20
20
20
13,64
20
E4
16,8
12,21
20
10,45
18,36
20
20
E5
20
20
11,69
13,99
15,73
17,93
20
E10
16,1
7,84
20
12,91
20
20
19,62
E11
20
13,6
6,13
20
15,49
17,1
20
E12
19,04
20
20
20
20
20
20
E13
18,38
19,22
14,87
14,48
14,86
15,83
20
E14
20
20
20
20
20
17,22
20
E15
20
20
17,72
16,5
14,97
18,94
20
E6 MINGGU 2 E7 E8 E9
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
77
LAMPIRAN 5. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok E pada Minggu ke-3 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
E1
20
20
20
20
20
20
20
E2
14,79
20
10,8
15,59
20
18,29
20
20
20
14,52
20
20
20
20
E10
20
20
20
20
20
20
17,79
E11
14,07
20
20
20
20
20
20
E12
20
20
19,42
17,98
11,85
20
14,84
20
18,72
20
20
20
20
20
E3 E4 E5 E6 MINGGU 3 E7 E8 E9
E13 E14 E15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
78
LAMPIRAN 5. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok E pada Minggu ke-4 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
E1
16,63
12,79
13,11
14,85
18,35
20
16,3
20
17,53
20
17,6
17,86
18,06
16,97
17,32
20
13,01
20
17
17,88
20
E2 E3 E4 E5 E6 MINGGU 4
E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
79
LAMPIRAN 6. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok F pada Minggu ke-1.
MINGGU 1
Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
F1
9,31
13,02
13,73
11,14
13,34
12,03
10,5
F2
10
11,92
14,83
13,03
14,28
12,7
12,8
F3
10
15
13,89
16,31
17,4
15,6
17,16
F4
6,71
15
11,54
15,67
18,42
15,39
16,5
F5
10
13,52
13,6
14,11
10,91
10,8
20
F6
10
12,27
14,09
15,4
11,87
11,8
20
F7
10
13,68
13,43
15,42
17,11
16,26
18,07
F8
10
13,48
13,68
14,88
13,65
13,56
11,25
F9
9,36
10,1
9,2
6,69
10,77
12,5
13,04
F10
10
11,65
11,67
14,01
15,72
13,66
10,93
F11
6,02
8,54
10,47
10,68
10,2
12,43
9,8
F12
8,65
7,82
8,04
15,1
17,86
19,71
18,67
F13
9,25
10,1
11,38
19,62
19,41
13,84
19,24
F14
10
15
11,98
9,34
8,45
13,8
10,05
F15
10
15
13,91
12,43
11,61
13,7
12,44
80
LAMPIRAN 6. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok F pada Minggu ke-2 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
F1
13,48
15,15
8,37
13,76
14,25
15,85
12,04
F2
18,58
16,46
15,38
20
5,63
20
20
F4
20
15,98
20
20
20
20
20
F5
8,64
17,57
14,75
12,83
16,81
18,38
20
F7
16,06
20
20
20
20
20
20
F8
18,71
12,04
20
17,39
20
20
20
F9
20
18,12
17,19
14,82
20
14,68
20
F11
10,35
7,83
8,48
20
20
17,1
20
F12
12,79
20
14,72
9,23
11,72
15,57
20
F13
11,15
16,79
13,72
20
9,35
13,31
20
9,67
20
13,33
16,63
9,8
20
17,5
F3
F6
MINGGU 2
F10
F14 F15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
81
LAMPIRAN 6. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok F pada Minggu ke-3 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
18
20
20
19,39
20
17,73
17,08
F7
20
20
20
20
20
20
20
F8
20
15,24
19,2
15,21
20
14,01
17,24
F9
20
13,78
20
13,73
14,24
13,4
20
F11
15,46
20
15,39
8,9
15,25
15,22
20
F12
20
20
20
20
20
20
19,71
F13
20
20
20
20
20
19,6
20
F1 F2 F3 F4 F5 F6 MINGGU 3
F10
F14 F15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
82
LAMPIRAN 6. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok F pada Minggu ke-4 (Lanjutan). Kelompok
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
20
20
15,72
19,27
18,22
20
20
F11
20
20
18,55
17,78
20
19,15
19,38
F12
20
20
20
14,5
20
15,71
19,57
F1 F2 F3 F4 F5 F6 MINGGU 4
F7 F8 F9 F10
F13 F14 F15
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
83
Lampiran 7. Data Berat Badan Tikus Kelompok A. Kelompok
H0
H1
H3
H6
H9
H12
A1
110
118
A2
108
A3
120
130
145
108
120
129
141
A4
110
120
132
144
A5
115
118
A6
110
121
138
154
168
183
A7
112
123
134
148
166
177
A8
110
124
135
154
175
185
A9
120
125
129
140
A10
108
121
137
144
148
155
A11
115
125
135
155
175
191
A12
112
125
137
155
169
A13
82
85
91
100
A14
168
178
183
A15
175
185
Rataan
117,53
127,20
Keterangan :
H15
H18
H21
186
205
203
181
198
205
208
103
108
115
121
123
192
200
203
214
233
241
190
202
215
231
249
260
265
138,46
151,85
168,78
179,33
192,40
204,80
208,00
= Tikus yang di bedah 84
Lampiran 8. Data Berat Badan Tikus Kelompok B. Kelompok
H0
H1
H3
H6
H9
H12
H15
H18
H21
B1
121
130
135
159
B2
115
130
130
148
B3
116
126
136
154
B4
115
127
138
153
B5
116
125
B6
132
135
153
173
195
203
218
227
235
B7
120
130
145
152
165
173
186
200
192
B8
112
125
138
155
172
186
B9
125
140
150
165
185
191
B10
110
125
138
158
171
191
B11
120
132
142
145
172
182
B12
112
127
139
152
161
172
174
179
181
B13
155
165
171
187
199
215
227
240
244
B14
154
160
168
175
189
204
216
226
224
B15
151
165
168
191
199
210
228
247
248
Rataan
124,9333333
136,1333
146,5
161,9286
180,8
192,7
208,1667
219,8333
220,6667
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
85
Lampiran 9. Data Berat Badan Tikus Kelompok C. Kelompok
H0
H1
H3
H6
H9
H12
H15
H18
H21
C1
129
140
149
166
C2
125
138
148
152
C3
125
138
152
172
190
215
231
237
238
C4
122
136
148
160
C5
116
125
C6
134
135
142
157
165
188
200
208
209
C7
120
135
146
157
177
180
C8
125
140
150
163
176
189
C9
124
140
147
163
172
194
212
226
230
C10
132
144
155
162
189
190
C11
135
143
155
169
C12
136
145
157
174
189
203
207
217
225
C13
140
148
155
173
183
203
213
222
225
C14
134
168
167
184
198
213
225
238
244
C15
154
155
164
176
179
192
Rataan
130,07
142,00
152,50
166,28
181,80
196,70
214,67
224,67
228,50
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
86
Lampiran 10. Data Berat Badan Tikus Kelompok D. Kelompok
H0
H1
H3
H6
H9
H12
H15
H18
H21
D1
114
127
148
D2
110
120
135
156
161
172
172
178
165
D3
114
115
124
136
152
163
166
160
155
D4
130
137
148
161
165
165
170
166
162
D5
116
135
149
165
185
193
D6
111
135
138
D7
118
125
141
D8
116
137
142
165
166
170
172
168
164
D9
131
145
156
172
173
179
189
183
177
D10
125
136
147
167
173
187
193
187
181
D11
125
140
152
168
185
197
D12
121
141
158
172
183
191
D13
128
125
138
D14
130
143
150
170
180
192
D15
130
142
153
165
174
180
180
176
172
Rataan
121,27
133,53
145,27
163,36
172,45
180,82
177,43
174,00
168,00
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
87
Lampiran 11. Data Berat Badan Tikus Kelompok E. Kelompok
H0
H1
H3
H6
H9
H12
H15
H18
H21
E1
116
116
132
155
159
168
165
163
160
E2
105
113
120
133
140
150
158
152
150
E3
119
130
143
172
180
186
E4
118
132
141
161
165
168
E5
112
113
124
145
148
150
146
140
135
E6
117
122
138
E7
111
120
137
E8
107
125
136
E9
111
120
138
E10
110
120
128
148
153
156
158
155
152
E11
104
113
120
147
150
153
155
151
150
E12
165
173
198
227
230
234
238
230
223
E13
159
175
180
192
195
198
E14
125
138
141
181
187
185
E15
111
118
134
145
164
168
172
167
161
Rataan
119,3333333
128,5333
140,6667
164,1818
170,0909
174,1818
170,2857
165,4286
161,5714
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
88
Lampiran 12. Data Berat Badan Tikus Kelompok F. Kelompok
H0
H1
H3
H6
H9
H12
H15
H18
H21
F1
110
110
125
135
148
155
F2
117
126
131
140
152
156
F3
111
116
123
F4
113
120
133
145
154
151
F5
112
113
135
152
165
167
165
160
155
F6
111
121
118
F7
112
117
130
136
147
149
151
150
148
F8
113
120
130
142
152
160
158
156
155
F9
97
105
112
125
137
146
157
150
143
F10
105
111
120
F11
98
105
114
122
120
130
129
127
125
F12
97
102
113
125
135
138
149
140
135
F13
105
120
131
147
155
160
158
158
156
F14
108
110
116
F15
111
125
135
142
145
150
Rataan
108,00
114,73
124,40
137,36
146,36
151,09
152,43
148,71
145,28
Keterangan :
= Tikus yang di bedah
89
Lampiran 13. Hasil Pemeriksaan Hematologi.
Tanggal 16/07/2009 NORMAL
No Identitas T02 T03 T05 Rata-rata
Hb (g%) 13,3 13,6 14 13,63
Pemeriksaan Darah Leukosit Trombosit Hematokrit (per l) (ribu/l) (%) 4600 381 34,3 4300 587 34,6 3900 422 37,9 4266,67 463,33 35,60
23/07/2009
T1A2 T1A4 T1A3 Rata-rata
13,8 13,1 12,3 13,07
4700 4000 5400 4700,00
458 496 460 471,33
35,7 33,3 32,9 33,97
6,91 6,27 6,24 6,47
T1B3 T1B4 T1B1 Rata-rata
14,4 14,2 12,2 13,60
3200 5400 4500 4366,67
701 563 488 584,00
38,4 38,2 34,9 37,17
7,19 7,17 6,2 6,85
T1C1 T1C4 T1C11 Rata-rata
13,6 13,7 14 13,77
3500 4400 4500 4133,33
547 571 634 584,00
36,6 36,1 38,5 37,07
6,9 6,74 6,89 6,84
T1D2 T1D7 T1D13 Rata-rata
13,3 13,6 13,9 13,60
4300 5800 5100 5066,67
523 360 654 512,33
35,7 36,2 37 36,30
6,53 6,38 7,06 6,66
T1E7 T1E8 T1E9 Rata-rata
14,2 12,7 13,8 13,57
6200 5700 6100 6000,00
588 653 510 583,67
38,6 35,2 37 36,93
7,56 6,32 6,9 6,93
T1F6 T1F10 T1F14 Rata-rata
14,1 14,3 13,1 13,83
7200 4800 3800 5266,67
452 551 400 467,67
37,8 37,9 35,2 36,97
6,78 6,87 6,32 6,66
T2A7 T2A10 T2A6 Rata-rata
14,4 14,4 14,7 14,50
4700 3900 5100 4566,67
493 545 558 532,00
37,3 38 38,7 38,00
7,15 7,34 7,42 7,30
T2B8 T2B11 T2B10 Rata-rata
14,4 14,6 13,9 14,30
4000 3700 4300 4000,00
605 640 570 605,00
38,5 38,7 37,4 38,20
7,23 7,13 6,89 7,08
27/07/2009
30/07/2009
Eritrosit (juta/l) 6,5 6,33 6,84 6,56
90
03/08/2009
06/08/2009
10/08/2009
T2C7 T2C10 T2C8 Rata-rata
14,8 14,3 13,8 14,30
4200 5700 3800 4566,67
464 589 478 510,33
38,8 37,9 36,8 37,83
7,25 7,15 6,61 7,00
T2D12 T2D14 T2D11 Rata-rata
15,2 14,3 13,8 14,43
5400 5900 6900 6066,67
549 497 589 545,00
38,9 37,8 36,2 37,63
7,24 7,12 6,67 7,01
T2E4 T2E13 T2E14 Rata-rata
13,9 14,9 15 14,60
4100 6200 6000 5433,33
631 650 594 625,00
37,2 38,1 39,6 38,30
7,08 7,71 7,56 7,45
T2F4 T2F15 T2F2 Rata-rata
14,4 14,9 14,6 14,63
4100 4500 5600 4733,33
531 574 511 538,67
38,5 39,1 38,5 38,70
6,89 6,95 7,06 6,97
T3A8 T3A14 T3A15 Rata-rata
15,1 15,5 15,7 15,43
4400 5000 5400 4933,33
670 634 534 612,67
39,8 40 40,3 40,03
8,12 7,89 8,08 8,03
T3B14 T3B15 T3B13 Rata-rata
17,1 16,2 15,5 16,27
6200 7500 4900 6200,00
680 641 674 665,00
44,0 42,5 40,5 42,33
8,58 8,17 7,91 8,22
T3C9 T3C12 T3C3 Rata-rata
15,3 15,2 16,1 15,53
7400 6300 5300 6333,33
679 532 423 544,67
40,7 40,7 40,2 40,53
7,86 8,32 8,09 8,09
T3D1 T3D15 T3D10 Rata-rata
16,2 16,3 16,6 16,37
3200 2700 5400 3766,67
370 438 497 435,00
42,6 41,9 42,6 42,37
8,51 8,53 8,43 8,49
T3E10 T3E11 T3E15 Rata-rata
14,9 15,1 16,8 15,60
3000 2300 6000 3766,67
529 366 461 452,00
40,60 39,30 40,50 40,13
8,13 7,73 8,92 8,26
T3F5 T3F8 T3F13 Rata-rata
14,2 14,8 14,5 14,50
3900 4000 5400 4433,33
249 352 548 383,00
39,7 38,7 39,0 39,13
6,96 7,23 7,02 7,07
91
Lampiran 14. Prosedur Penggunaan Alat Hematology Analyzer. Prosedur penggunaan alat Hematology Analyzer yaitu: 1. Homogenkan sampel darah yang akan di periksa. 2. Tekan “NEW SAMPLE”. 3. Masukkan identitas sampel. 4. Alat akan menghisap darah yang akan diukur melalui pipet yang tersedia pada alat. Ingat tabung reaksi atau sampel di tarik bila sudah ada bunyi “Tik” atau terdapat tulisan “REMOVE TUBE” pada monitor. 5. Hasil akan keluar dalam waktu 57 detik. 6. Tekan “SAMPLE” untuk melihat hasil. Hasil akan di print out secara otomatis. Hasil yang sudah di print out, sudah tersimpan secara otomatis di memori instrument. 7. Tekan “NEW SAMPLE” untuk pemeriksaan sampel berikutnya.
92
Lampiran 15. Hasil Uji Duncan Eritrosit
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label ULANGAN
PERLAKUAN
N
1
6
2
6
3
6
0
kontrol negatif
3
BAL L. plantarum 2C12
3
BAL L. fermentum 2B4
3
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
3
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
3
kontrol positif
3
1
2
3
4
5
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Corrected Model Intercept ULANGAN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
3,705(a)
7
,529
4,746
,014
1159,693
1
1159,693
10397,413
,000
,028
2
,014
,126
,883
PERLAKUAN
3,677
5
,735
6,594
,006
Error
1,115
10
,112
Total
1164,513
18
4,821
17
Corrected Total
a R Squared = ,769 (Adjusted R Squared = ,607)
93
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets NILAI Duncan
a,b
PERLAKUAN
N
Subset 1 7,0700
2
kontrol positif
3
kontrol negatif
3
8,0300
BAL L. fermentum 2B4
3
8,0900
BAL L. plantarum 2C12
3
8,2200
3
8,2600
3
8,4900
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC BAL L. plantarum 2C12 + EPEC Sig.
1,000
,152
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,112. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.
94
Lampiran 16. Hasil Uji Duncan Hematokrit
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label ULANGAN
PERLAKUAN
N
1
6
2
6
3
6
0
kontrol negatif
3
BAL L. plantarum 2C12
3
BAL L. fermentum 2B4
3
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
3
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
3
kontrol positif
3
1
2
3
4
5
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Corrected Model Intercept ULANGAN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
28,079(a)
7
4,011
6,361
,005
29898,276
1
29898,276
47415,767
,000
2,054
2
1,027
1,629
,244
26,024
5
5,205
8,254
,003
Error
6,306
10
,631
Total
29932,660
18
34,384
17
PERLAKUAN
Corrected Total
a R Squared = ,817 (Adjusted R Squared = ,688)
95
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets NILAI a,b
Duncan
PERLAKUAN
N
Subset 1
kontrol positif kontrol negatif
3
2
3
39,1333
3
40,0333
3
40,1333
BAL L. fermentum 2B4
3
40,5333
BAL L. plantarum 2C12
3
42,3333
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
3
42,3667
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
Sig.
1,000 ,072 ,960 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,631. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.
96
Lampiran 17. Uji Duncan Hemoglobin
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label ULANGAN
PERLAKUAN
N
1
6
2
6
3
6
0
kontrol negatif
3
BAL L. plantarum 2C12
3
BAL L. fermentum 2B4
3
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
3
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
3
kontrol positif
3
1
2
3
4
5
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 7,388(a)
7
Mean Square 1,055
F 2,751
Sig. ,072
4389,845
1
4389,845
11441,820
,000
,570
2
,285
,743
,500
6,818
5
1,364
3,554
,042
Error
3,837
10
,384
Total
4401,070
18
Intercept ULANGAN PERLAKUAN
df
Corrected Total
11,225 17 a R Squared = ,658 (Adjusted R Squared = ,419)
97
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets NILAI a,b
Duncan
PERLAKUAN kontrol positif kontrol negatif
N
Subset 3
1 14,5000
2
3
3
15,4333
3
15,5333
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
3
15,6000
BAL L. plantarum 2C12
3
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
3
BAL L. fermentum 2B4
Sig.
16,2667 16,3667 1,000
,070
,120
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,384. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.
98
Lampiran 18. Hasil Uji Duncan Trombosit
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label ULANGAN
PERLAKUAN
N
1
6
2
6
3
6
0
kontrol negatif
3
BAL L. plantarum 2C12
3
BAL L. fermentum 2B4
3
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
3
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
3
kontrol positif
3
1
2
3
4
5
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Corrected Model Intercept ULANGAN
Type III Sum of Squares 186448,056(a ) 4781262,722 4315,111
df
Mean Square
F
Sig.
7
26635,437
2,486
,093
1
4781262,722
446,295
,000
2
2157,556
,201
,821
3,400
,047
PERLAKUAN
182132,944
5
36426,589
Error
107132,222
10
10713,222
Total
5074843,000
18
Corrected Total
293580,278 17 a R Squared = ,635 (Adjusted R Squared = ,380)
99
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets NILAI Duncan
a,b
PERLAKUAN
N
Subset 3
1 383,0000
3
435,0000
435,0000
3
452,0000
452,0000
BAL L. fermentum 2B4
3
544,6667
544,6667
544,6667
kontrol negatif
3
612,6667
612,6667
BAL L. plantarum 2C12
3
kontrol positif BAL L. plantarum 2C12 + EPEC BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
Sig.
2
3
665,0000 ,105
,078
,204
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 10713,222. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.
100
Lampiran 19. Hasil Uji Duncan Leukosit
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label ULANGAN
PERLAKUAN
N
1
6
2
6
3
6
0
kontrol negatif
3
BAL L. plantarum 2C12
3
BAL L. fermentum 2B4
3
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC
3
BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
3
kontrol positif
3
1
2
3
4
5
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Corrected Model Intercept ULANGAN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F 1,817
,189
252,637
,000
,644
,546
2,286
,036
21803888,889(a)
7
433160555,556
1
2207777,778
2
3114841,270 433160555,55 6 1103888,889
PERLAKUAN
19596111,111
5
3919222,222
Error
17145555,556
10
1714555,556
Total
472110000,000
18
Sig.
Corrected Total
38949444,444 17 a R Squared = ,560 (Adjusted R Squared = ,252)
101
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets NILAI Duncan
a,b
BAL L. plantarum 2C12 + EPEC BAL L. fermentum 2B4 + EPEC
3
1 3766,6667
Subset 2 3766,6667
3
3766,6667
3766,6667
kontrol positif
3 3 3 3
4433,3333
PERLAKUAN
kontrol negatif BAL L. plantarum 2C12 BAL L. Fermentum 2B4 Sig.
N
3
4933,3333
6200,0000 6333,3333 ,054 ,078 ,106 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1714555,556. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.
102