PENGGUNAAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DALAM FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
Oleh SLAMET PURWANTO F34101026
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGGUNAAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DALAM FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SLAMET PURWANTO F34101026
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGGUNAAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DALAM FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SLAMET PURWANTO F34101026 Dilahirkan pada tanggal 11 April 1982 Di Magetan, Jawa Timur Tanggal lulus : 27 April 2006 Disetujui, Bogor,
Mei 2006
Prof. Dr. Ir. H. E. Gumbira Sa’id, MA.Dev Pembimbing I
Ir. Agus Pratomo, MT Pembimbing II
Slamet Purwanto F34101026. Penggunaan Surfaktan Metil Ester Sulfonat dalam Formula Agen Pendesak Minyak Bumi. Di bawah bimbingan : E. Gumbira Sa’id dan Agus Pratomo RINGKASAN Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang memiliki kelebihan dalam hal daya deterjensi, tahan terhadap kesadahan, bersifat terbarukan dan ramah lingkungan. Kelebihan MES dapat dimanfaatkan dalam suatu formula yang digunakan dalam proses pendesakan minyak bumi melalui mekanisme surfactant flooding. Petroleum sulfonate yang selama ini digunakan dalam proses perolehan minyak bumi memiliki karakteristik tidak tahan terhadap salinitas (kadar garam) tinggi dan kesadahan tinggi. Selain itu, pada umumnya petroleum sulfonate (contohnya alkohol etoksilat) bersifat toksik sehingga bersifat tidak ramah bagi lingkungan. MES dapat disintesis dari metil ester minyak kelapa sawit (Elaeis guineensis). Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia (memasok 36 % total kebutuhan dunia) setelah Malaysia (47 %). Bila melihat potensi tersebut, maka Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan MES dalam skala komersial. Selain itu, pembuatan MES dari metil ester minyak sawit akan meningkatkan nilai tambah minyak sawit itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan produk turunan minyak sawit lainnya, surfaktan memiliki nilai tambah paling besar yaitu mencapai sekitar 795 persen. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia, Indonesia masih mengalami krisis bahan bakar minyak (energi). Apalagi peranan minyak bumi sebagai sumber energi saat ini belum tergantikan oleh sumber energi alternatif. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan produksi minyak bumi. Salah satu caranya adalah melalui proses Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan menggunakan surfaktan yang prosesnya disebut surfactant flooding. Proses EOR diperlukan karena residu minyak bumi yang tertinggal dalam reservoir masih cukup besar yaitu sekitar 60-70 persen dari kandungan minyak bumi awal. Kondisi ekstrim yang terdapat pada sumur minyak bumi, seperti suhu dan salinitas yang bervariasi merupakan penghalang bagi surfaktan untuk bekerja secara maksimal. Selain itu, mahalnya harga surfaktan juga merupakan kendala bagi digunakannya surfactant flooding dalam proses produksi minyak bumi. Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui pengaruh faktor salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi berdasarkan nilai tegangan antarmuka (IFT) dan (2) mendapatkan formula terbaik dari kombinasi antara MES, surfaktan non ionik, mutual solvent dan air berdasarkan kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka (IFT). Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian berbagai formula surfaktan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor perlakuan yaitu salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula. Faktor suhu diujikan pada taraf 25 oC (suhu ruang), 50 oC, 75 oC dan 100 oC, sedangkan salinitas diujikan pada taraf 5000 ppm, 10.000 ppm dan 20.000 ppm. Selain itu, konsentrasi pelarutan formula pun divariasikan menjadi tiga taraf yaitu 0,1%, 1% dan 10%.
Formula yang dibuat terdiri dari empat macam komponen yaitu MES, surfaktan nonyl phenol ethoxylate, mutual solvent dan air. Keempat bahan tersebut diformulasikan, sehingga diperoleh empat macam formula (A, B, C, D). Faktor pembeda empat macam formula tersebut adalah konsentrasi MES dan nonyl phenol ethoxylate. MES divariasikan ke dalam empat taraf mulai dari 10 % sampai 25 % dengan interval masing-masing 5 %, sedangkan nonyl phenol ethoxylate divariasikan ke dalam empat taraf sedemikian rupa sehingga kedua bahan tersebut menyusun 50 % dari total formula. Sisa 50 % formula yang terdiri dari mutual solvent (5%) dan air (45%) tidak dikombinasikan. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor perlakuan (salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula dalam air injeksi) dengan uji lanjut Duncan pada formula agen pendesak minyak bumi (A, B, C dan D) dapat disimpulkan bahwa pada formula A dan D, salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai tegangan antarmuka (IFT) yang menjadi parameter kinerja agen pendesak minyak bumi. Semakin tinggi salinitas dan semakin tinggi suhu maka kinerja agen pendesak minyak bumi semakin rendah, sedangkan semakin tinggi konsentrasi pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen pendesak minyak bumi. Pada formula B dan C, salinitas dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi, akan tetapi konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi. Dengan demikian, dapat dikatakan formula B dan C memiliki ketahanan yang baik terhadap salinitas dan suhu dan semakin tinggi konsentrasi pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen pendesak minyak bumi. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji T (T test) dapat disimpulkan bahwa nilai IFT terendah pada setiap formula tidak berbeda nyata. Formula B dan C memiliki kinerja (berdasarkan nilai IFT) yang sama yaitu tidak dipengaruhi oleh salinitas dan suhu. Namun demikian, formula C adalah formula terbaik, karena dari segi ekonomi lebih murah dan dari segi lingkungan lebih ramah.
Slamet Purwanto F34101026. Utilizing Methyl Ester Sulfonate Surfactant in the Surfactant Flooding Agent Formulae for Oil Recovery. Under supervision of: E. Gumbira Sa’id and Agus Pratomo SUMMARY Methyl Ester Sulfonate (MES) represents one kind of anionic surfactants, which has some excellent characteristics such as good detergency; endure to water hardness, and good biodegradable capability. Those characteristics mentioned could be used in the formula, which were used in the oil recovery process through surfactant flooding mechanism. Petroleum sulfonate has been used in the oil recovery process for several periods. It has weaknesses, does not persist to high salinity and high water hardness. On the others hand, petroleum sulfonate (example: alcohol ethoxylate) is toxic to environment. MES could be made from palm oil methyl ester (Elaeis guineensis). Indonesia produces palm oil and supplies 36% of the world demand, the second place after Malaysia (47 %). Indonesia is potential in producing MES at the commercial scale. Beside that, making MES from palm oil methyl ester would increase the value added of palm oil itself. Compare with other products that derived from palm oil, surfactant has the highest value added, approximately about 795%. Although Indonesia was listed as one of the country which produce petroleum oil in the world, Indonesia still face problem with fuel (energy) crisis. Petroleum’s contribution as the main energy resource has not been replaced by other alternatives yet. This problem could be overcome by increasing the petroleum production. One of the method is through Enhanced Oil Recovery (EOR) process by using surfactant which it process was well known as surfactant flooding. EOR process was needed, because much of the residual oil left in the reservoir, approximately about 60-70 percent from original oil in place (OOIP) content. Extreme conditions in the oil well such as temperature and salinity were the barrier for surfactant to work maximally. Beside that, the expensive price of surfactant also considers as the obstacle for applied surfactant flooding method in the oil recovery process. These research objectives are (1) to understand the effect of salinity, temperature, and concentration of dissolved formula against the performance of surfactant flooding agent based on the value of interfacial tension (IFT) and (2) determine the best formula from the combination of MES, nonionic surfactant, mutual solvent, and distillate water based on its capability to decrease the interfacial tension (IFT). Design of experiment (DOE) that is used in this research is full factorial randomized design with three treatment factors i.e. salinity, temperature and concentration of dissolved formula. Temperature factor is tested at level 25 °C (room temperature), 50 °C, 75 °C and 100 °C, while salinity is tested at level 5000 ppm, 10,000 ppm and 20,000 ppm and concentration of dissolved formula is tested at level 0.1%, 1% and 10%. Formula has been made from four kinds of material, i.e. MES, nonionic surfactant (nonyl phenol ethoxylate), mutual solvent, and distillate water. All of those materials then mixed, so that it obtain four kinds of formula (A, B, C, and
D). The distinction factor of these formula is concentration between MES and nonyl phenol ethoxylate. MES concentration is variated into four levels, start from 10% to 25% with each intervals was 5%, while nonyl phenol ethoxylate also variated into four levels, so that both of the material forms 50% of total formula. The rest of it consists of mutual solvent (5%) and distillate water (45%) that is not combined. Based on the statistical analysis result, it could be concluded that salinity, temperature and concentration of dissolved formula have the significant effect on the change of interfacial tension (IFT) of formula A and formula D. IFT is considered as the main parameter of surfactant flooding agent performance. The increased of salinity and temperature causes the performance of surfactant flooding agent progressively decrease, while the increased of concentration of dissolved formula causes the performance of surfactant flooding agent increase. While for formula B and formula C, salinity and temperature did not have significant effect on the performance of surfactant flooding agent. However, the concentration of dissolved formula B and C has significant effect on the performance of surfactant flooding agent. Thereby, it could be concluded that formula B and formula C has the resistance against salinity and temperature. The increased of the concentration of dissolved formula for all kinds of formula would increases the performance of surfactant flooding agent. Based on the statistical analysis result by using T-Test method, it could be concluded that the lowest IFT value of each formulae (A, B, C, and D) did not significantly differs. Nevertheless, formula C is considered as the best formula, because of economic and environment reasons. Formula C was cheap and safe to environment.
PERNYATAAN Saya
menyatakan
dengan
sesungguhnya
bahwa
skripsi
yang
berjudul
“Penggunaan Surfaktan Metil Ester Sulfonat dalam Formula Agen Pendesak Minyak Bumi” adalah hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung bahan/materi yang digunakan untuk mendapat gelar dari Universitas lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas.
Bogor,
Mei 2006
Slamet Purwanto F34101026
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Slamet Purwanto dilahirkan di Magetan, Jawa Timur dari ayah Muh. Gimin dan ibu Rusmiyati pada tanggal 11 April 1982. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara. Pendidikan penulis diawali dari TK Mardi Putra 2 Tamanan pada tahun 1988. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya ke SD Negeri Tamanan I. Semasa menuntut ilmu di Sekolah Dasar tersebut (1989-1995), penulis pernah mendapatkan penghargaan sebagai siswa teladan tingkat kecamatan dan nilai tertinggi matematika EBTANAS yang didukung nilai mata pelajaran lain sekabupaten Magetan. Setamat dari Sekolah Dasar, penulis meneruskan sekolahnya ke pendidikan menengah pertama (1995-1998) di SLTP Negeri I Magetan dan pendidikan menengah atas (1998-2001) di SMU 1 Magetan. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2002/2003, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM IPB) pada tahun 2003/2004, Forum Komunikasi Agroindustri (FKA) dan Lembaga Dakwah Kampus Forum Bina Islami Fateta. Selain itu, penulis juga pernah mendapat kepercayaan untuk menjadi asisten pratikum mata kuliah Laboratorium Bioproses. Pada tahun 2004, penulis melaksanakan Praktek Lapang (PL) di PT. Badranaya Putra Bandung. Perusahaan tersebut bergerak di industri daging segar dan daging olahan dengan produk utama sosis. Pada tahun 2005-2006, penulis melaksanakan penelitian di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian dan menulis skripsi dengan judul “Penggunaan Surfaktan Metil Ester Sulfonat dalam Formula Agen Pendesak Minyak Bumi”. Penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau
[email protected] atau mobile phone +62 85691189350.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan segala nikmat-Nya sehingga karya ilmiah dalam bentuk skripsi berhasil diselesaikan. Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor. Judul skripsi yang dipilih adalah “Penggunaan Surfaktan Metil Ester Sulfonat dalam Formula Agen Pendesak Minyak Bumi”. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan penulis di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, Laboratorium EOR PPTMGB Lemigas Jakarta dan Laboratorium SBRC IPB pada bulan Desember 2005 sampai dengan bulan Februari 2006. Selama penyusunan skripsi, penulis mendapatkan masukan, informasi, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan karya tulis ini, terutama kepada: 1. Kedua orang tua, Muh. Gimin (ayahanda), Rusmiyati (ibunda) dan Lasiman (adik) yang telah memberikan perhatian, kasih sayang, dorongan, motivasi dan doa restu, 2. Prof. Dr. Ir. H. E. Gumbira Said, MA.Dev. selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, bimbingan, nasehat dan motivasinya, 3. Ir. Agus Pratomo, MT. dari Kondur Petroleum, S.A. yang telah memberikan masukan, arahan, bantuan dan bimbingannya, 4. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA atas masukan, bimbingan dan kesediaannya menjadi dosen penguji, 5. Dr. Ir. Erliza Hambali, Msi. dan Prayoga Suryadarma, STP. MT., yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, kepercayaan serta bantuan moril dan materiil, 6. Ibu Sri Hidayati, kandidat Doktor dari Unila yang telah memberikan bantuan dan kesempatan dalam bentuk diskusi, pinjaman buku dan informasi mengenai surfaktan,
7. Bapak Hadi Purnomo, Ibu Suwartiningsih, Bapak Sugihardjo, Bapak Mahmud, pak Pri dan staf lemigas lain, yang telah berkenan memberikan kesempatan dan kerjasamanya yang baik kepada penulis untuk melakukan penelitian di Lemigas, 8. Anas Bunyamin yang telah memberikan bantuan moril dan materiil selama penulis melakukan penelitian, 9. Hevy Susanti dan Yeni Sulastri yang telah memberikan pinjaman loker untuk menyimpan alat dan bahan selama penelitian 10. Dani Satria Wibawa, Ardianto Mey Lesmana, Wawan Marwan Setiawan, Agus Suyanto, Kunandi Pramudianto, Herwanto, Azmidi Nazarudin, Edwin Widiansyah, Galih F.A. dan Aji C.P. yang telah memberikan pinjaman komputer dan kesempatan diskusi, 11. Staf pengajar, laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian serta seluruh pegawai Fakultas Teknologi Pertanian, 12. Seluruh staf dan karyawan PT. Adev Prima Mandiri atas kebersamaan dan kerja sama yang telah terjalin Penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima kasih.
Bogor, Mei 2006
Slamet Purwanto
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................... x DAFTAR ISI ................................................................................................. xii DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xvii I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1. LATAR BELAKANG.......................................................................
1
1.2. TUJUAN...........................................................................................
5
1.3. RUANG LINGKUP ..........................................................................
5
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
6
2.1. SURFAKTAN...................................................................................
6
2.2. SURFAKTAN NONIONIK ..............................................................
7
2.3. METIL ESTER SULFONAT (MES).................................................
7
2.4. PEROLEHAN KEMBALI MINYAK BUMI TAHAP LANJUT ATAU ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) .................................. 10 2.4.1. Proses termal ................................................................................ 11 2.4.2. Proses miscible displacement........................................................ 12 2.4.3. Proses Kimia ................................................................................ 12 2.5. PENDESAKAN MINYAK BUMI MENGGUNAKAN SURFAKTAN (SURFACTANT FLOODING) ................................. 14 2.6. MUTUAL SOLVENT ......................................................................... 15 2.7. TEGANGAN ANTARMUKA/INTERFACIAL TENSION (IFT)........ 15 III. BAHAN DAN METODE ........................................................................ 17 3.1. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 17 3.1.1. BAHAN ....................................................................................... 17 3.1.2. ALAT........................................................................................... 17 3.2. WAKTU DAN TEMPAT.................................................................. 18
Halaman 3.3. TATA LAKSANA ............................................................................ 19 3.3.1. PEMBUATAN SURFAKTAN MES ............................................ 19 3.3.2. PEMBUATAN AGEN PENDESAK MINYAK BUMI ................ 19 3.3.3. PENGUJIAN SAMPEL................................................................ 21 3.4. RANCANGAN PERCOBAAN......................................................... 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 23 4.1. SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES)......................... 23 4.2. FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI .......................... 27 4.3. PENGARUH PELARUTAN
SALINITAS, FORMULA
SUHU,
DAN
TERHADAP
KONSENTRASI TEGANGAN
ANTARMUKA (IFT) PADA FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI............................................................................... 32 4.3.1. FORMULA A .............................................................................. 33 4.3.2. FORMULA B............................................................................... 35 4.3.3. FORMULA C............................................................................... 37 4.3.4. FORMULA D .............................................................................. 39 4.4. PERBANDINGAN KINERJA SETIAP FORMULA DALAM MENURUNKAN TEGANGAN ANTARMUKA (IFT) .................... 41 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 43 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 44 LAMPIRAN .................................................................................................. 45
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Metil Ester Sulfonat produksi Chemiton Corp. Inc. ..........................
9
Tabel 2. Komposisi formula mikroemulsi komersial ...................................... 14 Tabel 3. Komposisi formula agen pendesak minyak bumi .............................. 20 Tabel 4. Karakteristik metil ester sulfonat ...................................................... 27 Tabel 5. Rekapitulasi nilai IFT terendah formula agen pendesak minyak bumi 42
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Histogram perbandingan nilai tambah beberapa jenis oleokimia dan produk-produk berbahan baku minyak sawit ......................
4
Gambar 2. Struktur surfaktan (a. Unimer surfaktan b. Agregat surfaktan) .....
6
Gambar 3.
Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan metanol .............
8
Gambar 4.
Reaksi esterifikasi antara asam lemak dan alkohol ....................
8
Gambar 5.
Beberapa surfaktan MES komersial ..........................................
9
Gambar 6.
Struktur MES (Cox dan Weerasoriya, 2001) .............................
9
Gambar 7.
Diagram alir perolehan kembali (recovery) minyak bumi (Lake et al., 1995) .............................................................................. 11
Gambar 8.
Apparatus untuk sulfonasi metil ester (sulfonation apparatus) .. 18
Gambar 9.
Spinning Drop Tensiometer tipe Bodine 500............................. 20
Gambar 10. Reaksi sulfonasi pembentukan MES ......................................... 25 Gambar 11. Hasil pengujian (kanan) timol biru pada MES (kiri) .................. 25 Gambar 12. MES hasil reaksi sulfonasi metil ester dan Na-bisulfit............... 26 Gambar 13. Ilustrasi proses surfactant flooding............................................ 28 Gambar 14. Mekanisme interaksi surfaktan dan minyak (Hargreaves, 2003) 29 Gambar 15. Struktur molekul nonyl phenol ethoxylates................................ 30 Gambar 16. Penampakan formula agen pendesak minyak bumi ................... 31 Gambar 17. Mekanisme terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat
(Hov-
da, 2002 dan Mac Arthur et al.,2002)........................................ 33 Gambar 18. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula A............................................... 35 Gambar 19. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula B............................................... 34
Halaman Gambar 20. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula C............................................... 39 Gambar 21. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula D............................................... 41
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa Sawit ................................................... 50 Lampiran 2. Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit
dan
Perhitungan Mol reaksi antara Metil Ester dan Na-HSO3........ 51 Lampiran 3a. Karakteristik Minyak Bumi Mentah PT. X .............................. 53 Lampiran 3b. Karakteristik Air Formasi PT. X.............................................. 53 Lampiran 4.
Diagram alir pembuatan dan pemurnian Metil Ester Sulfonat . 54
Lampiran 5.
Prosedur pengukuran IFT (Gardner dan Hayes, 1983) ............. 55
Lampiran 6.
Rekapitulasi data IFT formula A (dalam satuan dyne/cm) ...... 57
Lampiran 7a. Analisis Keragaman Formula A............................................... 58 Lampiran 7b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula A .......... 58 Lampiran 8.
Rekapitulasi data IFT formula B (dalam satuan dyne/cm)....... 59
Lampiran 9a. Analisis Keragaman Formula B ............................................... 60 Lampiran 9b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula B........... 60 Lampiran 10. Rekapitulasi data IFT formula C (dalam satuan dyne/cm)....... 61 Lampiran 11a.Analisis Keragaman Formula C ............................................... 62 Lampiran 11b.Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula C........... 62 Lampiran 12. Rekapitulasi data IFT formula D (dalam satuan dyne/cm) ...... 63 Lampiran 13a.Analisis Keragaman Formula D............................................... 64 Lampiran 13b.Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula D .......... 64 Lampiran 14. Hasil analisis dengan uji T....................................................... 65
I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Minyak bumi dikategorikan sebagai golongan energi fosil. Peran energi fosil (minyak dan gas bumi) bagi suatu negara adalah sebagai sumber perolehan devisa dan sebagai sumber energi. Sebagai sumber energi, peranan minyak bumi saat ini belum tergantikan oleh bahan lain. Sampai tahun 2000, peran energi fosil sebagai sumber energi di Indonesia mencapai 95 persen dari total energi primer komersial. Banyak sumber daya lain yang keberlangsungannya sangat tergantung pada persediaan minyak bumi. Misalnya, alat transportasi, alat pembangkit listrik dan alat produksi untuk industri. Industri pupuk dan petrokimia, industri besi dan baja, dan kilang minyak merupakan industri yang menggunakan minyak dan gas bumi dalam jumlah besar (Anonim, 2005; Redaksi Warta Pertamina, 2004). Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Energi Nasional yang dilaporkan oleh Hehuwat (1992) diketahui bahwa total cadangan minyak bumi di Indonesia adalah 195 milyar barrel (1 barrel = 158,987 liter). Dari jumlah tersebut telah diproduksi sejumlah 48,4 milyar barrel. Bila diasumsikan bahwa produksi minyak bumi menggunakan teknologi konvensional mampu memproduksi 44 persen dari total minyak bumi, maka sisa minyak bumi yang masih dapat diusahakan adalah sekitar 38 milyar barrel. OPEC World Energy Model (OWEM) melaporkan bahwa permintaan minyak bumi dunia pada tahun 2002-2010 diperkirakan akan tumbuh 1,8 persen per tahun, atau meningkat sebesar 12 juta barrel per hari (bph) menjadi 89 juta bph. Pada tahun 2010-2020, permintaan akan tumbuh lagi menjadi 106 juta bph dengan tambahan sebesar 17 juta bph. Pada tahun 2025 permintaan minyak bumi mentah dunia meningkat hingga 115 juta bph dengan pertumbuhan rata-rata 1,7 persen per tahun pada periode 2010-2025 (Kusuma, 2004). Bila kebutuhan minyak bumi dunia (Indonesia) yang terus meningkat tidak diimbangi dengan produksi yang mencukupi, maka akan mendatangkan krisis energi. Krisis energi tersebut akan mengganggu roda
kehidupan (perekonomian) dunia. Pada tahun 2000 pernah terjadi krisis energi nasional dan internasional berupa kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Bahkan harga minyak mentah dunia sempat menembus US$ 74 per barrel pada awal Mei 2006. Krisis energi (BBM) yang terjadi dapat diatasi dengan cara mencari sumber energi alternatif atau meningkatkan produksi minyak bumi. Sumber energi alternatif yang telah digunakan antara lain biodisel, energi matahari, energi dari alam (air, geothermal/panas bumi, angin dan lain sebagainya). Namun, penggunaannya masih sangat terbatas dan dari segi kepraktisannya masih jauh dari yang diharapkan. Misalnya saja biodisel. Biodisel dapat disintesis dari beberapa sumber yang terbarukan seperti jarak (Jatropha sp) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Namun, pengembangan teknologi untuk produksi secara komersial di Indonesia masih dalam tahap uji coba dan diperkirakan baru siap pada tahun 2015. Alternatif lain untuk mengatasi krisis energi adalah meningkatkan produksi minyak bumi. Peningkatan produksi minyak bumi dapat dilakukan dengan cara
eksplorasi sumur baru (cekungan hidrokarbon) dan
meningkatkan perolehan kembali (recovery) minyak bumi yang terdapat pada sumur lama. Eksplorasi sumur baru terbentur pada kendala semakin terbatasnya sumur baru. BPMIGAS menyatakan bahwa Indonesia memiliki 60 cekungan hidrokarbon, dimana 22 cekungan diantaranya belum di eksplorasi serta 38 cekungan telah dieksplorasi. Dari 38 cekungan ini yang telah diproduksi minyak dan gas buminya adalah 15 cekungan, 11 cekungan belum produksi serta 12 cekungan sisanya belum terbukti (BPMIGAS, 2005). Menurut Lake (1995) residu minyak bumi yang terdapat pada sumur yang telah diproduksi masih besar, berkisar 40-70 persen dari jumlah minyak bumi semula. Minyak bumi yang tertinggal tersebut merupakan minyak bumi yang terperangkap pada pori-pori batuan dan tidak dapat diproduksi dengan teknologi konvensional (tahap primer dan sekunder). Salah satu metode perolehan kembali minyak bumi setelah dengan teknologi konvensional diterapkan adalah peningkatan perolehan minyak bumi tahap lanjut
(Enhanced Oil Recovery) melalui mekanisme penurunan tegangan antarmuka (Interfacial Tension disingkat IFT). Fenomena tegangan antarmuka (IFT) memainkan peranan penting di dalam metode perolehan minyak bumi (Lakatos-Szabó dan Lakatos, 2001). Bahan yang umum digunakan untuk memodifikasi tegangan antarmuka dan tegangan permukaan suatu zat adalah surfaktan yang berasal dari istilah asing surfactant (singkatan dari surface active agent). Proses perolehan kembali minyak bumi dengan menggunakan surfaktan termasuk ke dalam fase tersier atau tahap lanjut dalam produksi minyak bumi. Teknik perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan dikenal dengan nama surfactant flooding. Surfaktan yang biasa digunakan dalam proses EOR adalah petroleum sulfonate yang merupakan turunan dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan tersebut adalah sifatnya yang tidak terbarukan, tidak ramah lingkungan dan memiliki ketahanan yang buruk terhadap kondisi sadah, sedangkan kelebihannya adalah mempunyai kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antarmuka, bahkan dilaporkan mencapai 0,1 µN/m atau 10-4 dyne/cm (Salager, 2002). Surfaktan lain yang memiliki prospek cerah untuk dipalikasikan pada proses EOR adalah surfaktan yang diperoleh metil ester minyak kelapa sawit yang disebut dengan metil ester sulfonat (MES). Pohon industri tanaman kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 1. Sifatnya yang terbarukan,
dapat
didegradasi
oleh
lingkungan/mikroorganisme
(boidegradable), karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan surfaktan MES. Bila dibandingkan dengan petroleum sulfonate, MES memiliki kinerja yang lebih rendah dalam menurunkan tegangan antarmuka. Apabila dikaitkan dengan produksi surfaktan MES yang akan diaplikasikan dalam surfactant flooding, Indonesia mempunyai potensi besar untuk menjadi produsen surfaktan. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang cukup luas. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2004 adalah 5 juta hektar dengan produksi 11,08 juta ton per tahun. Luas areal kelapa sawit terus bertambah, demikian pula produksi dan ekspornya. Indonesia menempati produsen minyak sawit kasar (CPO dan PKO) kedua terbesar di dunia dan
diprediksikan pada tahun 2010 (bahkan pemerintah menargetkan tahun 2008) sebagai nomor satu di dunia, melampaui Malaysia. Pangsa pasar produksi CPO Indonesia adalah 36 persen dari total produksi dunia, Malaysia 47 persen. Bersama-sama, Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen produksi CPO dunia atau 23 persen dari produksi minyak hayati dunia (Samhadi, 2006). Konversi minyak kelapa sawit menjadi surfaktan yang merupakan pengembanganan produk ke arah hilir akan meningkatkan nilai tambah produk kelapa sawit. Pengembangan agroindustri yang lebih berorientasi ke arah hilir merupakan strategi yang harus dilaksanakan untuk beberapa jenis komoditas perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk hilir yang berorientasi ekspor (Suprihatini et al., 2004). Keluaran dari pembangunan agroindustri adalah perolehan nilai tambah yang signifikan atas input teknologi yang diberikan. Semakin canggih teknologi yang digunakan untuk melakukan diversifikasi produk dari bahan baku, maka semakin tinggi pula nilai tambah produk diversifikasi tersebut serta memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga komoditas awalnya (Gumbira Sa’id, 2001). Hambali et al. (2004) menyatakan bahwa surfaktan memiliki nilai tambah hampir delapan kali lipat bila dibandingkan dengan minyak sawit mentah (CPO dan PKO). Nilai tambah minyak kelapa sawit dan produk turunannya disajikan pada Gambar 1. 900
795
Nilai tambah (%)
800 700 600
500
500 400
296
300
180
200 100
46
80
86,4
Asam lemak
Asam stearat
210
0 Minyak Goreng
Margarin
Gliserin
Fatty Metil ester Surfaktan alcohol
Gambar 1. Histogram perbandingan nilai tambah beberapa jenis oleokimia dan produk-produk berbahan baku minyak kelapa sawit
Penelitian mengenai penggunaan surfaktan yang merupakan turunan minyak bumi untuk proses recovery minyak bumi telah banyak dilakukan, sedangkan penelitian mengenai penggunaan surfaktan yang berasal dari sumber terbarukan untuk proses recovery minyak bumi masih jarang dilakukan. Apabila surfaktan dari sumber yang berbeda tersebut dapat dikombinasikan dengan baik maka akan diperoleh suatu formula yang persediaannya terjamin dan berkualitas.
1.2. TUJUAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1. mengetahui pengaruh
faktor salinitas, suhu dan konsentrasi
pelarutan formula terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi berdasarkan nilai tegangan antarmuka (IFT) 2. mendapatkan formula terbaik dari kombinasi antara MES, surfaktan non ionik, mutual solvent dan air berdasarkan kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka (IFT) 1.3. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian meliputi pembuatan MES dari metil ester PKO berdasarkan kondisi terbaik menurut Hidayati (2006), pembuatan formula agen pendesak minyak bumi (Surfactant Flooding Agent) dan pengukuran tegangan antarmuka (Interfacial Tension disingkat IFT) formula agen pendesak minyak bumi.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan (Surface Active Agent) adalah suatu bahan yang dapat mengubah atau memodifikasi tegangan permukaan dan antarmuka antara fluida yang tidak saling larut (Unisource Canada, 2005; Schramm, 2000; Hackley dan Ferraris, 2001; Salager, 2002), atau molekul yang mengadsorbsi molekul lain pada antarmuka dua zat (Particle Engineering Research Center, 2005). Dalam satu molekulnya, surfaktan memiliki dua gugus yang berbeda polaritasnya yaitu gugus polar dan non polar. Gugus polar memperlihatkan afinitas (daya ikat) yang kuat dengan pelarut polar, contohnya air, sehingga sering disebut gugus hidrofilik. Gugus non polar biasa disebut hidrofob atau lipofilik yang berasal dari bahasa Yunani phobos (takut) dan lipos (lipid). Surfaktan sering diberi nama sesuai dengan tujuan penggunaannya yaitu sabun, deterjen, pembasah (wetting agent), pendispersi, pengemulsi,
pembusa, bakterisida, inhibitor korosi, dan agen
antistatis (Salager, 2002). Ada empat macam jenis surfaktan yang telah dikenal berdasar muatan pada gugus polarnya yaitu surfaktan anionik, nonionik, zwitterionik dan kationik. Berdasarkan jumlah konsumsi surfaktan dunia, surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan (50 persen), kemudian disusul nonionik (45 persen), kationik (4 persen) dan yang paling sedikit penggunaannya adalah surfaktan dari jenis amfoterik (1 persen) (Salager, 2002). Struktur surfaktan secara umum diperlihatkan pada Gambar 2 berikut.
a
b
Gambar 2. Struktur surfaktan (a. Unimer surfaktan b. Agregat surfaktan )
2.2. SURFAKTAN NONIONIK Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak mengandung gugus fungsional bermuatan baik positif maupun negatif dan tidak mengalami ionisasi di dalam larutan (Ayirala, 2005). Menurut Salager (2002) surfaktan nonionik mempunyai kelebihan dibandingkan surfaktan anionik dan kationik yaitu tidak dipengaruhi oleh kesadahan dan perubahan pH. Surfaktan nonionik dianggap memiliki karakteristik pembusaan medium-rendah. Keunikan surfaktan nonionik adalah tidak mengalami disosiasi menjadi ion-ion ketika dilarutkan dalam cairan (pelarut) sehingga sangat kompatibel bila dikombinasikan dengan tipe surfaktan lainnya. Surfaktan mampu memasuki struktur molekul yang kompleks. Karakter lain dari surfakan nonionik adalah tidak sensitif terhadap cairan elektrolit, pH, surfaktan ionik, dan dapat digunakan pada salinitas tinggi dan air sadah (Lambent Technologies, 2002; Salager, 2002). Surfaktan nonionik banyak digunakan sebagai bahan deterjen, wetting agent dan emulsifier. Beberapa kategori dari surfaktan nonionik memiliki toksisitas yang rendah dan digunakan pada farmasi, kosmetika dan produk makanan (Lambent Technologies, 2002 ; Salager, 2002). Konsentrasi surfaktan nonionik biasanya berada dalam selang 25% sampai dengan 75% dalam formula suatu produk. Menurut Australian Research Council's Research Centres Program (2005) surfaktan nonionik dari golongan Alcohol Ethoxylates dan Alkylphenol Ethoxylates telah digunakan luas dalam formulasi pembersih logam, pembersih di rumah sakit, pengeboran minyak bumi dan reaksi plomerisasi emulsi. Kebanyakan surfaktan nonionik menjadi bersifat tidak larut (insoluble) pada air panas. Suhu pada saat penampakan surfaktan menjadi berkabut (cloudy) dan surfaktan mulai mengalami presipitasi disebut sebagai cloud-point.
2.3. METIL ESTER SULFONAT (MES) Penelitian pembuatan MES telah dilakukan oleh Chemiton Corporation, Inc. Sheats dan MacArthur (2002) melaporkan bahwa metil ester sulfonat dapat disintesis dari beberapa tanaman seperti kelapa, kelapa sawit (CPO dan PKO),
tallow dan kedelai. Metil ester termasuk ke dalam golongan ester. Ester dibuat dengan mereaksikan asam karboksilat dan alkohol. Cox dan Weerasoriya (2001) melaporkan bahwa sebagian besar metil ester diproduksi dari oleokimia. Metil ester dapat diproduksi melalui esterifikasi asam lemak dengan metanol. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 3. Metil ester juga dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan alkohol, seperti pada reaksi yang terlihat pada Gambar 4 berikut (Hart, 1990). O R
R'
R''
CH
C
R
CH 2
C
OH
O
O
O
+3
C
CH
O
C
H 3C
OH
R'
CH 2
+
C
OH
O
O
O
C
R''
CH 2
O
Metanol
H 2C
OH
HC
OH
H 2C
OH
CH 3
C
OH
Minyak/lemak
CH 3
CH 3
Metil ester
Gliserin
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan metanol
RCOOH + R’OH Asam lemak
Alkohol
RCOOR’ + H2O Ester
Air
Gambar 4. Reaksi esterifikasi antara asam lemak dan alkohol Karakteristik MES disajikan pada Tabel 1 dan gambar produk dan struktur MES dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa selain MES sebagai produk utama juga dihasilkan produk lain yang tidak diinginkan seperti garam di-natrium karboksi sulfonat (di-salt), metanol, hidrogen peroksida, air, petroleum eter, natrium karboksilat, natrium sulfat, dan natrium metil sulfat. Metanol sisa yang terdapat dalam produk komersial adalah 0.5 persen (bobot). Menurut Hovda (2002) dan MacArthur et al. (2002), di-natrium karboksi sulfonat merupakan pengotor pada MES yang dapat menurunkan deterjensi MES.
Tabel 1. Metil Ester Sulfonat produksi Chemiton Corp. Inc. Hasil reaksi sulfonasi
Minyak Kelapa C12-14
Minyak Inti sawit C8-C18
71.5 2.1 0.48 0,1 14 2.6 0.2
69.4 1.8 0.6 0.04 15.2 2.7 0.2 1.8 8.4 5.3 310
Natrium metil ester sulfonat (α-Mes) Dinatrium karboksi sulfonat (di -salt) Metanol (CH3OH) Hidrogen peroksida (H2O2) Air (H2O) Petroleum eter terekstrak (PEX) Natrium karboksilat (RCOONa) Natrium sulfate (Na2SO4) Natrium metil sulfat (CH3OSO3Na) 10% pH Klett color, 5% active (a-Mes + di -salt)
8 5 30
Stearin sawit C16-18 83 3.5 0.07 0,13 2.3 2.4 0.3 1.5 7.2 5.3 45
Gambar 5. Beberapa surfaktan MES komersial Keterangan : Sumber bahan baku MES tersebut : A : Minyak Kelapa (C12-C14) B
: Minyak inti sawit (C8-C18)
C
: Stearin sawit (C16-C18)
D : Lemak Tallow (C16-18) E
: Minyak kedelai (C18)
Lemak Tallow C16-18 77.5 5.2 0 0,15 2.9 4.8 0.3 2.3 7.7 5.4 180
Minyak Kedelai C18 75.7 6.3 0.03 0.05 1.4 7.2 0.5 2.4 2.5 5.8 410
O M O R
S
O
O
CH O
CH3
Gambar 6. Struktur MES (Cox dan Weerasoriya, 2001) Menurut Hovda (2002), ada tiga tipe proses pembuatan MES yaitu proses yang menggunakan dua tahap pemucatan sehingga diperlukan halogen, proses yang menggunakan pemurnian ultra, proses/teknologi yang dikembangkan Chemiton Corporation menggunakan agen peroksida untuk tahap pemucatan. Foster (1997) berpendapat bahwa untuk mendapatkan produk yang unggul dari reaksi sulfonasi, rasio mol reaktan merupakan faktor utama yang harus dikendalikan. Faktor lainnya adalah suhu reaksi, konsentrasi reaktan (gas SO3), pH netralisasi, lama penetralan, dan suhu selama penetralan. Faktor-faktor tersebut memang memberikan pengaruh
pada kualitas produk, namun
pengaruhnya tidak sebesar pengaruh akibat rasio mol. Agen sulfonasi yang digunakan secara luas pada reaksi sulfonasi adalah asam sulfat (H2SO4) dan oleum (SO3 · H2SO4). Tipe reaksi proses sulfonasi dibedakan berdasar agen sulfonasi yang digunakan. Faktor-faktor yang menentukan dalam pemilihan tipe reaksi sulfonasi adalah kuantitas dan kualitas produk yang diinginkan, harga reagen (bahan pereaksi), biaya peralatan, dan biaya pengolahan limbah.
2.4. PEROLEHAN KEMBALI MINYAK BUMI TAHAP LANJUT ATAU ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) Proses
perolehan
kembali
minyak
bumi
(oil
recovery)
dapat
dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada Gambar 7 diperlihatkan diagram perolehan kembali minyak bumi. Perolehan kembali minyak bumi pada fase primer menggunakan proses alami dan proses stimulasi. Proses alami sangat tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir. Proses stimulasi menggunakan metode fracturing, dan metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan proses immiscible gas flood, metode asam
(acidizing) dan water flood (Taber, 1997). EOR dibedakan menjadi tiga kategori yaitu proses termal, proses miscible displacement dan proses kimia.
Gambar 7. Diagram alir perolehan kembali (recovery) minyak bumi (Lake et al., 1995) 2.4.1 Proses Termal Proses termal meliputi injeksi uap panas (steam drive injection) dan pembakaran in-situ (in-situ combustion). Proses termal biasanya diaplikasikan pada reservoir dengan kandungan minyak bumi kental (viscous). Mekanisme yang terjadi adalah kenaikan suhu menurunkan kekentalan minyak bumi sehingga minyak bumi dan mudah mengalir. Akibatnya pendesakan minyak bumi (oil displacement) dari formasinya menjadi lebih efektif (Al Manhal, 2005).
2.4.2. Proses Miscible Displacement Proses miscible displacement meliputi injeksi pelarut seperti Liquified Petroleum Gas (LPG) atau gas CO2, yang dapat tercampur (miscible)
sempurna
pada
minyak
(http://www.engr.pitt.edu/
chemical/undergrad/lab_manuals/optimal_salinity.pdf).
Proses
tersebut
melibatkan introduksi fluida atau bahan pelarut ke dalam reservoir yang secara sempurna akan bercampur dengan minyak dan mengakibatkan terlepasnya minyak dari matriks batuan. Hal tersebut memungkinkan campuran pelarut dan minyak dapat tersapu ke sumur produksi minyak bumi. Beberapa fluida atau pelarut yang sering digunakan adalah alkohol, refined hydrocarbons, kondensat gas hidrokarbon, LPG, CO2 dan gas uap.
2.4.3. Proses Kimia Menurut Technology Assessment Board (1978) proses EOR yang termasuk secara kimia adalah surfactant/polymer flooding, polymer flooding dan alkaline flooding. Proses pendesakan minyak bumi secara kimia bertujuan sebagai berikut : 1.
Mengurangi mobilitas agen pendesak
2.
Menurunkan tegangan antarmuka minyak-air Proses kimia terdiri dari berbagai macam teknik seperti polymer-
augmented waterflooding, alkaline flooding, dan microemulsion atau micellar emulsion flooding. Microemulsion flooding juga dikenal sebagai surfactant flooding, melibatkan injeksi larutan yang mengandung surfaktan yang mampu mendesak minyak bumi lebih efektif dengan mekanisme penurunan tegangan antarmuka antara minyak dan air (http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_manuals/optimal_salinit y.pdf ). Larutan yang diinjeksikan pada umumnya mengandung 95% brine, 4% surfaktan, dan 1% aditif. Aditif biasanya ditambahkan untuk mengatur viskositas larutan. Lima persen surfaktan sebaiknya ditambahkan di atas Critical Micell Concentration (CMC). Di dalam larutan surfaktan, bentuk agregat molekulnya disebut misel yang mana molekul surfaktan menyusun
pola berbentuk bola, dengan gugus hidrofobik yang berorientasi ke dalam (ke arah pusat bola) dan gugus hidrofilik yang berorientasi keluar (ke arah air). Misel dapat mengikat cairan di dalam batuan sehingga ukurannya lebih besar dari semula dan disebut swollen micell atau mikroemulsi. Dalam konfigurasi miselar, surfaktan membantu menurunkan tegangan antar muka antara fase minyak dan fase air yang memungkinkan meningkatkan
perolehan
kembali
minyak
(http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/labmanuals/optimal_salinity .pdf). Selain penambahan air dan surfaktan, larutan injeksi juga mengandung bahan kimia lain seperti cosolvents, cosurfactants, dan electrolytes untuk mengontrol stabilitas, viskositas, tegangan antarmuka dan karakteristik formula lainnya. Setiap komponen memiliki peranan penting dalam ciri fisik formula dan menentukan efisiensi pendesakan minyak
(http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_manuals/
optimal_salinity.pdf). Larutan elektrolit yang biasa digunakan adalah larutan garam NaCl. Jumlah NaCl dalam larutan injeksi memberikan pengaruh yang sangat kuat pada kelakuan fasa surfaktan dengan mengubah tegangan antarmuka yang pada akhirnya mempengaruhi jumlah perolehan kembali minyak bumi. Salinitas larutan juga mempengaruhi karakteristik/sifat media
penyerapan
(http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_
manuals/optimal_salinity.pdf).
2.5. PENDESAKAN MINYAK BUMI MENGGUNAKAN SURFAKTAN (SURFACTANT FLOODING) Secara teknis, minyak bumi terdiri dari gugus pentana (hidrokarbon yang terdiri dari lima atom karbon dan 12 atom hidrogen) dan hidrokarbon yang lebih berat (hidrokarbon dengan panjang rantai karbon lebih lima atom karbon). Mungkin juga berisi material lain seperti air, gas-alam, belerang dan mineral lain. Pada dasarnya, minyak bumi adalah dapat mengalir secara alami tanpa dipompa atau dipanaskan dan diencerkan. Minyak bumi biasanya digolongkan
menjadi light, medium dan heavy, berdasarkan pada gaya beratnya yang dinyatakan dalam skala American Petroleum Institute (API). API dinyatakan dengan satuan derajat dan dihitung menggunakan rumus 141.5/S.G.)- 131.5= API gravity (S.G. = Specific Gravity). Minyak bumi dengan kategori light mempunyai API gravity yang lebih tinggi dari 31.1°, kategori medium mempunyai API gravity antara 22.3° dan 31.1°, dan kategori heavy mempunyai API gravity di bawah 22.3°. Formula yang diaplikasikan pada surfactant flooding yang biasanya disebut mikroemulsi memiliki viskositas rendah dan stabil terhadap perlakuan panas. Mikroemulsi mampu berperan sebagai bahan aktif permukaan
dan
memiliki tegangan antarmuka yang rendah. Mikroemulsi berbeda dengan emulsi biasa dalam hal stabilitas dan ukuran droplet. Stabilitas mikroemulsi lebih tinggi dan dipengaruhi oleh garam, zat aditif kesadahan dan suhu, sedangkan ukuran dropletnya lebih kecil bila dibandingkan dengan emulsi biasa. Pada Tabel 2 diperlihatkan komposisi mikroemulsi komersial. Tabel 2. Komposisi formula mikroemulsi komersial Komponen
Persen (bobot)
Carnauba wax
13,8
Asam lemak oleat
1,7
NaOH
0,5
Boraks
1,0
Air
83,0
Sumber : Becher, 1983 Surfactant/Polymer Flooding, dikenal dengan nama lain pendesakan mikroemulsi atau miselar. Proses tersebut merupakan proses EOR terbaru dan paling kompleks. Metode ini mempunyai potensi superior untuk perolehan kembali minyak bumi. Pendesakan surfaktan terdiri beberapa tahapan dimana bahan yang kerjanya seperti deterjen diinjeksikan sebagai fluida untuk memodifiksi interaksi kimia minyak dengan lingkungan sekitar. Proses ini mengemulsikan/melarutkan sebagian atau seluruh minyak di dalam air formasi.
Karena biaya bahan kimia yang mahal, maka volume slug surfaktan hanya sedikit merepresentasikan volume reservoir. Untuk mencegah integritas slug selama berada di dalam reservoir, maka slug tersebut didorong dengan air yang didalamnya telah ditambahkan polimer. 2.6. MUTUAL SOLVENT Mutual solvent adalah bahan aditif yang digunakan pada proses stimulasi sumur minyak, di mana mempunyai sifat larut dalam air, minyak dan fluida asam. Bahan aditif ini dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti menghilangkan deposit hidrokarbon fraksi berat dan mengendalikan wettability
dari batuan
formasi. Jenis mutual solvent yang sering dipakai di lapangan adalah etilen glikol monobutil eter atau sering disebut sebagai butyl cellosolve yang memiliki rumus kimia C6H1402 dengan sifat fisik berupa cairan jernih tidak berwarna (www.glossary.oilfield.slb.com). menyebabbkan
terjadinya
Penggunaan
emulsifikasi.
Mutual
mutual solvent
solvent
dapat
bekerja
dengan
memindahkan lapisan film organik sehingga menjadi bersifat water wet (http://www.messina-oilchem.com). Ethylene Glycol Monobutyl Ether (butoxy ethanol) telah digunakan sebagai oil spill dispersant oleh Exxon Mobile (Clark, 2004). 2.7. TEGANGAN ANTARMUKA atau INTERFACIAL TENSION (IFT) Interfacial Tension adalah ukuran gaya molekuler yang berada di batas antara dua fasa zat. Satuan gaya yang digunakan adalah dyne/cm. Cairan yang memiliki
IFT
lebih
rendah
lebih
mudah
diemulsifikasi
(http://web.engr.oregonstate.edu/~istokj/pdf/Field%20et%20al.%202000%20JCH. pdf). Drelich et al., (2002), menyatakan bahwa teknik pengukuran tegangan antarmuka mengunakan spinning drop tensiometer dilakukan atas dasar kenyataan bahwa percepatan gravitasi bumi memberikan pengaruh kecil pada bentuk drop fluida yang tersuspensi di dalam cairan, pada saat drop dan cairan berada di dalam tabung putar pada arah longitudinal. Pada saat kecepatan putaran rendah, drop fluida akan berbentuk elips dan jika kecepatan putar tinggi, maka drop fluida akan
berbentuk silinder. Pada saat drop fluida berbentuk silinder tersebut dilakukan pengukuran jari-jari silinder (r), perbedaan densitas drop dan cairan di sekeliling drop (∆ρ) dan kecepatan putar drop (ω). Alat spinning drop tensiometer mampu mengukur tegangan antarmuka (IFT) hingga 10-6 mN/m. Pada akhirnya, tegangan permukaan dihitung (γ) dengan menggunakan persamaan berikut (Drelich et al., 2002).
γ =
1 3 r ∆ρω 2 4
Keterangan : r
: jari-jari
γ
: tegangan antarmuka
∆ρ
: selisih densitas drop dan densitas cairan
ω
: kecepatan putar
III BAHAN DAN METODE 3.1. BAHAN DAN ALAT 3.1.1. BAHAN Bahan yang digunakan dalam penelitian dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu bahan untuk membuat surfaktan metil ester sulfonat (MES), bahan untuk membuat formula dan bahan untuk analisis. Untuk membuat surfaktan MES digunakan bahan-bahan; metil ester, natrium bisulfit (NaHSO3), metanol (CH3OH) dan NaOH. Metil ester yang digunakan diperoleh dari PT. Ecogreen Oleochemicals, Batam. Karakteristik metil ester PKO tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Natrium bisulfit (Nabisulfit), metanol dan NaOH diperoleh dari toko kimia Bratachem, Bogor. Ketiga bahan tersebut adalah bahan yang bersifat teknis. Untuk membuat formula digunakan surfaktan MES, surfaktan nonionik nonyl phenol ethoxylate (NPE), mutual solvent (butyl cellosolve) dan air. Untuk menganalisis formula digunakan NaCl PA (Pro Analysis). Untuk pengukuran tegangan antarmuka atau interfacial tension (IFT) sampel, digunakan minyak bumi mentah (crude oil) yang diperoleh dari PT. X. Minyak bumi merupakan campuran kompleks dari berbagai hidrokarbon, sebagian besar alkana, tetapi bervariasi dalam penampilan, komposisi,
dan
kemurniannya
(http://id.wikipedia.org/wiki/
Minyak_bumi). Karakteristik minyak bumi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3a.
3.1.2. ALAT Alat yang digunakan dalam penelitian dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu peralatan untuk membuat MES, peralatan untuk membuat formula (flooding agent) dan peralatan untuk analisis sampel. Peralatan untuk membuat MES terdiri dari rangkaian alat sulfonasi atau sulfonation apparatus (terdiri dari labu tiga leher 500 ml, termometer, hot plate yang dilengkapi magnetic stirrer, motor pengaduk, dan kondensor), neraca
analitik, gelas arloji, gelas ukur 100 ml, gelas ukur 10 ml, labu erlenmeyer, sentrifuge dan pH meter. Pada Gambar 8 diperlihatkan
sulfonation
apparatus yang digunakan untuk membuat MES. Untuk membuat formula digunakan labu takar 100 ml, pipet 10 ml; pipet 1 ml, labu takar 1 liter dan botol sampel. Peralatan untuk analisis sampel adalah spinning drop tensiometer, syringe (µm), neraca analitik, piknometer, refraktometer dan pipet.
Gambar 8. Apparatus untuk sulfonasi metil ester (sulfonation apparatus)
3.2. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian untuk menguji kinerja penggunaan surfaktan MES dalam formula dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu dari bulan Desember 2005 sampai dengan bulan Februari 2006. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri (TIN) Fakultas Teknlogi Pertanian IPB, laboratorium Surfactant and Biodiesel Research Center (SBRC) LPPM IPB dan Laboratorium EOR (Enhanced Oil Recovery) PPTMGB Lemigas Jakarta.
3.3. TATA LAKSANA 3.3.1. PEMBUATAN SURFAKTAN MES MES dibuat melalui beberapa tahap yaitu sulfonasi, pengendapan, pemurnian, penguapan metanol dan penetralan. Reaksi sulfonasi antara metil ester dengan reaktan NaHSO3 merupakan tahapan utama proses pembuatan MES. Kondisi proses yang digunakan untuk membuat MES merujuk pada kondisi terbaik Hidayati (2006) dengan rasio mol metil ester dan reaktan NaHSO3 adalah 1:1,5, suhu reaksi 100 oC dan lama reaksi 4,5 jam. Pengendapan dilakukan selama 24 jam. Pemurnian dilakukan dengan menambahkan metanol. Metanol ditambahkan sebanyak 30 % (v/v) pada suhu 50 oC dan direaksikan selama 1,5 jam. . Setelah reaksi selesai, suhu larutan dinaikkan hingga mencapai 70 – 80 0C selama 10 menit, untuk menguapkan metanol dari larutan. Metanol yang menguap kemudian dikondensasi dan ditampung dalam erlenmeyer. Proses selanjutnya adalah penetralan menggunakan NaOH 20 %.
MES yang telah dinetralkan
kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 55 0C sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk selama 30 menit. Setelah proses pengadukan dan pemanasan selesai, MES kemudian dipindahkan ke dalam wadah yang terbuat dari kaca dan ditutup. Diagram alir pembuatan dan pemurnian MES disajikan pada Lampiran 4.
3.3.2. PEMBUATAN FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI Formula yang dibuat terdiri dari empat macam bahan, yaitu surfaktan MES, surfaktan nonionik nony phenol ethoxylate, air (H2O) dan mutual solvent (EGMBE-ethylen glycol monobuthyl ether atau buthyl cellosolve). Keempat bahan tersebut diformulasikan menjadi empat jenis formula yang disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Komposisi formula Jenis formula
Komposisi (% v/v) MES
Non ionik
H2O
Mutual solvent
Formula A
10
40
45
5
Formula B
15
35
45
5
Formula C
20
30
45
5
Formula D
25
25
45
5
Pencampuran keempat macam bahan tersebut dilakukan di dalam botol yang bermulut kecil. Setelah bahan dicampurkan kemudian diaduk sampai diperoleh campuran yang homogen. Keempat formula tersebut kemudian diberi perlakuan pelarutan pada air injeksi dan pemanasan. Air injeksi harus sesuai dengan air formasi. Contoh air formasi dari PT X dapat dilihat pada lampiran 3b. Pelarutan formula dilakukan pada taraf konsentrasi 0,1 persen, 1 persen dan 10 persen. Air injeksi yang digunakan memiliki taraf salinitas 5000 ppm, 10.000 ppm dan 20.000 ppm. Pemanasan dilakukan pada taraf suhu kamar (25 oC),
50 oC, 75 oC dan 100 oC. Semua sampel kemudian diukur
tegangan antar muka atau IFT-nya menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer tipe Bodine 500 (dapat dilihat pada Gambar 9). Pengukuran IFT dilakukan di PPTMGB Lemigas Jakarta. Percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan.
Gambar 9. Spinning Drop Tensiometer tipe Bodine 500
3.3.3. PENGUJIAN SAMPEL Setiap sampel diuji kinerjanya dengan mengukur IFT yang dimilikinya. Pengukuran dilakukan menggunakan alat spinning drop tensiometer. Prosedur pengukuran IFT dapat dilihat pada Lampiran 5. IFT dihitung menggunakan persamaan berikut (Gardner dan Hayes, 1983)
IFT =
Keterangan :
π
10 6 × π 2 × (ρ sampel − ρ crude⋅oil )× d 3 8 ×η 3 × Ρ 2
= phi (konstanta = 22/7)
ρsampel = densitas sampel (g/ml) ρcrude oil = densitas crude oil (g/ml) d
= lebar droplet (µm)
η
= indeks bias sampel
P
= periode (msec/rev)
3.4. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian berbagai formula surfaktan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor perlakuan dan dengan dua kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah salinitas (A), suhu (B) dan konsentrasi pelarutan formula (C). Konsentrasi pelarutan formula diujikan pada 3 taraf yaitu 0,1 persen, 1 persen dan 10 persen, salinitas yang diujikan adalah 5000 ppm, 10.000 ppm dan 20.000 ppm dan suhu diujikan pada taraf 25 (suhu ruang), 50, 75 dan 100 oC. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah (Sudjana, 1982 ) : Yijk = µ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij + (AC) ik + (BCjk + (ABC)ijk + ε(ijk) Keterangan : Yijk
= Variabel respon yang disebabkan oleh pengaruh bersama taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k untuk faktor C.
µ
= Rata-rata yang sebenarnya
Ai
= Pengaruh yang sebenarnya pada faktor A, taraf ke-i (i =1,2,3)
Bj
= Pengaruh yang sebenarnya pada faktor B, taraf ke-j (j =1,2,3)
Ck
= Pengaruh yang sebenarnya pada faktor C, taraf ke-k (k =1,2,3,4)
ABij
= Pengaruh yang sebenarnya karena interaksi faktor A taraf ke- i dengan faktor B taraf ke-j
ACik
= Pengaruh yang sebenarnya karena interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor C taraf ke-k
BCjk
= Pengaruh yang sebenarnya karena interaksi faktor B taraf ke-i dengan faktor C taraf ke-k
ABCijk = Pengaruh yang sebenarnya karena interaksi faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan faktor T taraf ke-k ε(ijk)
= Galat percobaan Penggunaan rancangan acak lengkap faktorial ini dimaksudkan
untuk mengetahui faktor apa saja dari ketiga faktor tersebut yang berpengaruh secara nyata terhadap kinerja formula. Selanjutnya dengan menggunakan uji Duncan akan dianalisis sejauh mana tingkat beda nyata masing-masing taraf dari faktor yang berpengaruh secara nyata.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) Pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) merupakan tahap awal penelitian, karena MES akan digunakan sebagai salah satu komponen dalam pembuatan formula agen pendesak minyak bumi. MES dibuat melalui beberapa tahap yaitu reaksi sulfonasi, pengendapan, pemurnian, penguapan metanol dan penetralan. Reaksi sulfonasi adalah tahapan utama dan pertama dalam proses pembuatan MES. Menurut Speight (2002) dan Kucera (2001), reaksi sulfonasi adalah reaksi pembentukan asam sulfonat (SO3H) pada molekul organik dengan menggunakan agen sulfonasi. Agen sulfonasi didefinisikan sebagai komponen atau bahan yang dapat menggantikan ikatan hidrogen dalam suatu senyawa dengan gugus sulfonat (SO3H). Pada penelitian ini agen sulfonasi yang digunakan adalah natrium bisulfit atau Na-bisulfit (NaHSO3). Proses sulfonasi menggunakan Na-bisulfit telah dilakukan oleh Syahmani (2001) pada proses pembuatan lignosulfonat. Syahmani (2001) menggunakan pulp Tandan Kelapa Sawit (TKS) sebagai bahan baku. Disamping Na-bisulfit, dalam reaksi sulfonasi juga digunakan asam sulfat, sulfur trioksida, metalik sulfat, oleum, asam klorosulfonat dan asam sulfamat sebagai agen sulfonasi. Selain agen sulfonasi, metil ester juga digunakan sebagai bahan untuk membuat MES. Metil ester yang digunakan berasal dari minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO). Studi yang telah dilakukan Hidayati (2006) menunjukkan bahwa MES yang berasal dari PKO memiliki kelarutan yang lebih baik daripada MES yang berasal dari minyak sawit (Crude Palm Oil disingkat CPO). Hal inilah yang mendasari digunakannya metil ester PKO dalam pembuatan MES. Hasil analisis pada metil ester PKO yang telah dilakukan oleh Hidayati (2006) menunjukkan bahwa metil ester PKO memiliki asam lemak dominan metil oleat (C18) dengan satu ikatan rangkap (63,69 persen) dan metil linolenat (C18) dengan dua ikatan rangkap (9,56 persen). Metil ester dengan komponen utama asam lemak yang memiliki panjang rantai karbon C18
(oleat) sangat sesuai bila dibuat menjadi surfaktan metil ester sulfonat, karena memiliki daya deterjensi yang baik dan tahan terhadap kesadahan (Sheats dan MacArthur, 2002; Sheats dan Foster, 2002). Kondisi proses yang digunakan untuk membuat MES merujuk pada kondisi reaksi terbaik Hidayati (2006) yaitu dengan rasio mol metil ester dan agen sulfonasi NaHSO3 adalah 1:1,5 atau setara dengan 500 ml metil ester dan 234 g Na-bisullfit, suhu reaksi 100 oC dan lama reaksi 4,5 jam. Nabisulfit direaksikan dalam jumlah berlebih. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan terbentuknya gugus sulfonat pada metil ester. Perhitungan detail mengenai rasio mol reaksi dapat dilihat pada Lampiran 2. Kucera (2001) berpendapat bahwa gugus sulfonat bersifat reaktif sehingga memungkinkan terjadinya reaksi crosslinking pada produk hasil reaksi dan produk menjadi lebih kompleks strukturnya dan lebih stabil. Mekanisme reaksi crosslingking sendiri masih belum diketahui secara pasti, walapun telah diketahui bahwa reaksi crosslingking akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu reaksi. Menurut Speight (2002), reaksi sulfonasi bersifat eksoterm tetapi tidak bersifat korosif. Secara ringkas, reaksi sulfonasi antara metil ester PKO dan Na-bisulfit digambarkan dalam persamaan reaksi pada Gambar 10 berikut. Adanya muatan negatif pada surfaktan mengindikasikan bahwa surfaktan tersebut adalah anionik. Penelitian ini konsisten dengan hasil yang dilaporkan oleh MacArthur et al. (2002), Hovda (2002), Sheats dan Foster (2002), Sheats dan MacArthur (2002), dan Foster (1997) bahwa MES merupakan surfaktan anionik. Pengujian terhadap surfaktan anionik dapat dilakukan dengan menggunakan uji fisik berupa metode pengujian timol biru (Rosen et al., 1981). Pada uji tersebut digunakan HCl dan timol biru sebagai indikator. Hasil yang positif (bahwa surfaktan tersebut merupakan surfaktan anionik) ditandai dengan munculnya warna ungu kemerahan pada sampel, yang menandakan bahwa surfaktan yang diuji merupakan surfaktan anionik seperti yang diperlihatkan pada Gambar 11. Selain uji tersebut, menurut Hidayati (2006) terbentuknya gugus sulfonat pada proses pembuatan MES dapat dideteksi dengan alat FTIR (Fourrier Transform Infrared).
O
O R
CH
CH
+
C O
CH3
Na
S
O OH
R
CH2
HC
O
O
Na
C -
O
CH3
S HO
Metil ester
Na-bisulfit
O
Metil ester sulfonat (α MES)
Gambar 10. Reaksi sulfonasi pembentukan MES
Gambar 11. Hasil pengujian (kanan) timol biru pada MES (kiri) Dengan mempertimbangkan jumlah Na-bisulfit yang berlebih dalam reaksi, terjadinya reaksi crosslingking dan kondisi proses lainnya, maka produk yang dihasilkan tidak seratus persen MES. Na-bisulfit sisa karena tidak bereaksi dengan metil ester dan produk samping lainnya perlu dipisahkan dari MES. Proses untuk memisahkan MES dari pengotornya adalah dengan cara diendapkan. Pengendapan dapat dilakukan dengan cara presipitasi dan bila perlu dilakukan sentrifus. Menurut MacArthur et al. (2002) produk yang terbentuk dari reaksi sulfonasi metil ester adalah MES, garam dinatrium karboksi sulfonat (di-salt), Natrium karboksilat (RCOONa), Natrium sulfate (Na2SO4), dan Natrium metil sulfat (CH3OSO3Na). Produk selain MES kemungkinan merupakan hasil dari reaksii crosslingking seperti yang diutarakan oleh Kucera (2001). Garam dinatrium karboksi sulfonat (di-salt) merupakan pengotor pada produk MES, walaupun sebenarnya garam tersebut adalah surfaktan. Namun, menurut MacArthur et al. (2002) keberadaan garam cenderung menurunkan kinerja MES secara keseluruhan. Maka dari itu, tahap pemurnian mutalak
diperlukan. Pemurnian untuk mengurangi terbentuknya garam dilakukan dengan cara menambahkan alkohol. Dalam penelitian ini alkohol yang digunakan adalah metanol (CH3OH). Metanol dipilih karena sifatnya yang reaktif dan mengurangi terjadinya substitusi gugus metil pada struktur MES. Menurut Hovda (2002), selain mengurangi terbentuknya garam, alkohol akan mengikat air yang terdapat pada MES. Penambahan
alkohol juga
memberikan pengaruh besar pada viskositas larutan sehingga menjadi lebih encer. Karena reaksi sulfonasi merupakan reaksi eksoterm, maka penambahan metanol memberikan keuntungan lain yaitu mampu meningkatkan pindah panas selama reaksi berlangsung. Setelah tahap pemurnian selesai, alkohol diuapkan untuk digunakan kembali. Tahap ini disebut tahap penguapan metanol. Karena MES yang dihasilkan masih bersifat asam dengan pH berkisar 4,5-5,5 maka diperlukan tahap penetralan. MES dinetralkan dengan menggunakan NaOH 20 % dan dipanaskan pada suhu 55 oC selama 30 menit. MES yang dihasilkan berwujud cair dengan warna kuning cerah. Menurut Hovda (2002) semakin tinggi suhu reaksi dalam reaksi sulfonasi maka produk yang dihasilkan menjadi semakin gelap warnanya. Pada Gambar 12 diperlihatkan foto MES yang diperoleh dari hasil reaksi sulfonasi metil ester PKO dan Na-bisulfit. Karakteristik MES yang dihasilkan dari proses sulfonasi dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Gambar 12. MES hasil reaksi sulfonasi metil ester dan Na-bisulfit
Tabel 4. Karakteristik metil ester sulfonat Parameter Tegangan antarmuka dengan metode Du Nuoy (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) Bilangan asam (mg KOH/g sampel) Bilangan Iod (g Iod/100 g sampel) Bilangan peroksida (mmol/1000 g sampel) Absorbansi sulfonat (AU) pH Densitas (g/ml) pada suhu 25 oC Wujud Sumber : Hidayati (2006)
Nilai 0.23 32.8 16.32 7.84 9.85 1.51 6,5-7,5 0,87 Cair
4.2. FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI Menurut Nummedal et al. (2003) peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan ke dalam air injeksi. Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut dengan surfactant flooding dan dikategorikan ke dalam proses tersier produksi minyak bumi. Dalam surfactant flooding, karakteristik air yang diinjeksikan ke dalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada di dalam cekungan minyak bumi (reservoir). Demikian pula dengan penginjeksian surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak bumi. Pada Gambar 13 diperlihatkan ilustrasi proses dalam surfactant flooding. Pada umumnya tidak hanya surfaktan yang digunakan dalam surfactant flooding, namun juga polimer (umumnya poliakrilamida). Polimer diijeksikan setelah campuran surfaktan air injeksi dipompakan ke dalam sumur minyak. Tujuannya adalah meningkatkan stabilitas genangan (flood) dan meningkatkan efisiensi penyapuan (sweep efficiency) minyak. Masih menurut Nummedal (2003), surfactant flooding paling jarang digunakan dalam proses recovery minyak bumi karena persoalan rancangannya yang sulit dan mahalnya harga bahan kimia (surfaktan). Hal senada juga diungkapkan oleh Technology Assesment Board 1978 bahwa surfactant
flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi recovery minyak yang superior. Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah surfaktan diinjeksikan dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya, mekanisme reaksi yang terjadi mirip dengan proses emulsifikasi kotoran pada pencucian menggunakan deterjen. Awalnya surfaktan tunggal yang disebut monomer akan mengikat minyak pada permukaan minyak (adsorpsi). Karena tenaga dorong dari pompa dan bobotnya yang ringan, surfaktan terlepas dari permukaan minyak dengan mengikat minyak pada bagian ekornya (lipofilik). Surfaktan tersebut kemudian membentuk agregat setelah bertemu dengan monomer surfaktan lain dalam larutan. Proses pengikatan minyak oleh surfaktan akan lebih mudah bila minyak terdispersi di dalam larutan. Mekanisme tersebut diilustrasikan pada Gambar 14.
Gambar 13. Ilustrasi proses surfactant flooding
Gambar 14. Mekanisme interaksi surfaktan dan minyak (Hargreaves, 2003) Mikroemulsi terbentuk setelah larutan surfaktan bereaksi dengan minyak. Mikroemulsi yang mengandung minyak tersebut kemudian didorong menggunakan larutan polimer (poliakrilamida) dan minyak bumi diproduksi pada sumur produksi. Pada kenyataannya, mekanisme reaski yang terjadi tidak sesederhana seperti yang telah dijelaskan. Kondisi geologis batuan turut mempengaruhi kinerja surfaktan. Surfaktan diharapkan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan batuan sehingga gaya adhesi minyak dan batuan berkurang. Gaya adhesi tersebut diperkuat oleh gaya kapiler, karena minyak terperangkap pada pori-pori batuan. Dengan turunnya tegangan antarmuka tersebut, minyak akan terkonsentrasi pada permukaan batuan. Pada akhirnya, surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak dapat diproduksi. Produksi minyak menggunakan proses surfactant flooding sangat dipengaruhi oleh kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka (Drelich et al., 2002). Maka dari itu, formula surfaktan yang dibuat harus memiliki kinerja dan stabilitas tinggi pada kondisi reservoir. Selain itu, surfaktan juga harus tersedia dalam jumlah yang cukup atau dengan kata lain availability-nya tinggi. Oleh karena itu kombinasi penggunaan surfaktan MES yang bersifat terbarukan dan surfaktan nonyl phenol ethoxylate yang memiliki kinerja tinggi dalam satu formula merupakan salah satu terobosan baru. Fomula yang dibuat terdiri atas empat macam bahan yaitu metil MES, nonyl phenol ethoxylate, air dan mutual solvent. Komposisi formula divariasikan berdasarkan jumlah masing-masing bahan sehingga diperoleh empat jenis formula yaitu formula A, B, C, dan D. Variasi dilakukan terhadap komposisi MES dan nonyl phenol ethoxylate. MES divariasikan dengan
konsentrasi mulai dari 10 persen sampai dengan 25 persen, sedangkan nonyl phenol ethoxylate divariasikan sedemikian rupa sehingga kedua bahan tersebut menyusun 50 % dari total formula. Sisa 50 % formula yang terdiri dari mutual solvent (5%) dan air (45%) tidak dikombinasikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui formula yang memiliki kinerja terbaik berdasarkan kandungan MES dan nonyl phenol ethoxylate dan pengaruh jumlah kedua bahan tersebut terhadap kinerja formula. Setiap bahan dalam formula akan dijelaskan sebagai berikut. MES merupakan surfaktan anionik yang bermuatan negatif sehingga cocok digunakan pada sumur yang batuannya mengandung silikat yang juga bermuatan negatif. Namun demikian MES tidak cocok bila digunakan pada sumur yang batuannya mengandung kapur karena kapur bermuatan positif. Perbedaan muatan akan mengakibatkan terikatnya MES pada batuan dan kehilangan sifat aktif permukaannya (Hidayati, 2006). ). Nonyl phenol ethoxylate yang disingkat NPE dengan rumus molekul C9H19C6H4(OCH2CH2)nOH adalah surfaktan nonionik yang mempunyai gugus polar berupa ethoxy (ethylene oxide atau etieln oksida) dan gugus nonpolar berupa alkohol. Etilen oksida juga disebut dengan epoxyethane dan oxirane, adalah eter siklis yang paling sederhana, dengan rumus C2H4O¯, merupakan bahan reaktif yang jika ditambahkan alkohol atau amina akan membentuk surfaktan etoksilat. Kelebihan nonyl phenol ethoxylates adalah dapat berfungsi sebagai zat pengemulsi dan deterjensinya yang sangat baik. Struktur molekul nonyl phenol ethoxylates divisualisasikan pada Gambar 15 berikut (http://www.chemicalland21.com).
Gambar 15. Struktur molekul nonyl phenol ethoxylates
Untuk meningkatkan kelarutan antara formula dalam air injeksi, maka ditambahkan pelarut yang mampu larut di dalam minyak maupun air yaitu mutual solvent. Mutual solvent yang digunakan adalah ethylene glycol monobutyl ether (EGMBE) atau lebih dikenal dengan nama butyl cellosolve. Mutual solvent dapat mereduksi terjadinya lapisan film organik pada permukaan minyak bumi dan mencegah terjadinya emulsifikasi antara film organik tersebut dengan minyak serta mencegah terjadinya penyumbatan poripori batuan. Dengan penambahan mutual solvent dalam formula, maka formula akan berpenetrasi lebih dalam pada batuan bersama dengan air injeksi sehingga produksi minyak lebih banyak (www.messina-oilchem.com). Air yang ditambahkan berfungsi sebagai pelarut. Selain itu, secara ekonomi juga akan menurukan biaya pembuatan formula. Pencampuran bahan-bahan untuk membuat formula dilakukan dalam wadah yang kontak dengan udaranya rendah. Saat pencampuran bahan, pengadukan diperlukan untuk menghasilkan formula yang homogen. Pencampuran bahan harus dilakukan dengan teliti, karena perbedaan cara pengadukan dan pencampuran akan mempengaruhi hasil akhir dari formula yang dihasilkan. Apabila pencampuran bahan dilakukan di udara terbuka, maka akan terbentuk formula berbentuk gel yang sangat kental. Pada Gambar 16
ditampilkan penampakan
formula yang telah dibuat. Formula yang
dihasilkan berbentuk cairan kental dengan tampilan bening tidak berwarna.
Gambar 16. Penampakan formula agen pendesak minyak bumi
Penampakan formula D sedikit berbeda dengan ketiga formula lainnya, yaitu agak keruh. Keruhnya penampakan formula D kemungkinan kemungkian disebabkan kombinasi surfaktan anionik (MES) dan surfaktan nonionik (nonyl phenol ethoxhylate) menghasilkan presipitat yang tidak larut. Hal ini sesuai dengan pendapat Allen dan Robert (1993) yang mengatakan bahwa pada umumnya surfaktan anionik dan nonionik tidak digunakan bersama karena menghindari terbentuknya presipitat. 4.3. PENGARUH SALINITAS, SUHU, DAN KONSENTRASI PELARUTAN FORMULA TERHADAP TEGANGAN ANTARMUKA (IFT) PADA FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI Reservoir atau cekungan minyak bumi memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap permukaan bumi. Kondisi batuan (porositas dan permeabilitas), kandungan garam atau ion, jenis batuan, suhu dan faktor lain yang belum teridentifikasi mempengaruhi penggunaan jenis produksi yang akan diterapkan. Bila digunakan proses produksi minyak yang menggunakan surfaktan (surfactant flooding), maka tegangan antarmuka (IFT) menjadi topik kajian yang perlu diperhatikan. Menurut Sampath (1998), tegangan antarmuka yang terjadi setelah injeksi larutan (biasanya air) yang mengandung surfaktan adalah tegangan antamuka minyak-batuan, air (surfaktan)-batuan dan minyak-air (surfaktan). Dalam sistem tersebut, tegangan antarmuka minyak-air (surfaktan) menjadi lebih penting dari pada tegangan antarmuka lainnya. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ajith et al. (1994) dan Sampath (1998)
menunjukkan
bahwa
nilai
IFT
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya salinitas atau kadar garam. Menurut Ajith et al. (1994) dan Sampath (1998), larutan garam (brine) berfungsi sebagai larutan elektrolit. Keberadaan elektrolit dalam sistem yang mengandung surfaktan akan mengurangi interaksi surfaktan-air. Gugus lipofilik surfaktan ionik akan berikatan sebagian atau seluruhnya dengan elektrolit, sehingga masingmasing molekul akan berikatan dengan molekul yang sesuai. Bila surfaktan anionik yang digunakan, maka muatan negatif pada gugus aktif (lipofilik) akan berinteraksi positif dengan muatan positif pada molekul garam, misalnya
molekul Na+ pada larutan NaCl. Akibatnya, surfaktan akan menurun kinerjanya. Hovda (2002) dan Mac Arthur et al. (2002) melaporkan bahwa keberadaan
garam
dalam
larutan
yang
mengandung
MES
akan
mengakibatkan MES kehilangan sifat aktif permukaannya karena MES bereaksi membentuk senyawa dinatrium karboksi sulfonat (di-salt). Surfaktan anionik (MES) yang semula mengikat satu molekul Na akan mengikat lagi Na yang berasal dari larutan garam NaCl sehingga dalam satu molekulnya akan terdapat dua Na. Mekanisme reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat dapat dijelaskan pada Gambar 17 berikut.
O R
CH2
O
Na
S
O
CH
O
O
+ NaCl (l)
C
R O
CH2
CH3
Metil ester sulfonat
O
Na
S
O
CH
O C O
Na
dinatrium karboksi sulfonat
Gambar 17. Mekanisme terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat (Hovda, 2002 dan Mac Arthur et al.,2002) Liu (2005) dan Schramm (2002) melaporkan bahwa nilai IFT surfaktan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Liu (2005) menguji surfaktan Chaser CD1045™ pada rentang suhu 25-75 oC.
4.3.1. FORMULA A Formula A mengandung komposisi MES 10 persen, nonyl phenol ethoxylate 40 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran 2,98 x 10-03 dyne/cm dan 4,36 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi 0,0122. Nilai rekapitulasi IFT formula A dan analisis statistik deskriptif selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan analisis keragaman terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa faktor salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata
terhadap perubahan nilai IFT. Selain faktor tunggal tersebut, interaksi faktor konsentrasi pelarutan formula dengan salinitas dan suhu juga berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis keragaman pada nilai IFT formula A selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7a. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT formula A pada berbeda pada salinitas, suhu dan konsentrasi tertentu. Untuk faktor salinitas, nilai IFT pada taraf 5000 ppm berbeda nyata dengan nilai IFT pada taraf 10.000 ppm dan 20.000 ppm, sedangkan nilai IFT pada taraf 10.000 ppm dan 20.000 ppm tidak berbeda nyata. Untuk faktor suhu, nilai IFT pada taraf 25 oC berbeda nyata dengan nilai IFT pada suhu 50, 75 dan 100 oC, sedangkan nilai IFT pada suhu 50, 75 dan 100 oC tidak berbeda nyata. Untuk faktor konsentrasi pelarutan formula, nilai IFT pada taraf 0,1 persen berbeda dengan taraf 1 persen dan 10 persen dan nilai IFT pada taraf 1 persen dan 10 persen tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor perlakuan salinitas 5000 ppm, suhu 25
o
C dan konsentrasi pelarutan formula 10 persen.
Walaupun nilai IFT tertinggi (secara kasar) diperoleh pada faktor perlakuan salinitas 20.000 ppm, suhu 100 oC dan konsentrasi pelarutan 0,1 persen, namun nilai IFT tertinggi tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai IFT pada perlakuan salinitas 10. 000 ppm serta pada suhu 50 dan 75 oC. Hasil uji lanjut pada formula A dengan metode Duncan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7b. Pada Gambar 18 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula A. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
0.045 0.04 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0
Salinitas 5000 ppm Salinitas 10.000 ppm Salinitas 20.000 ppm
K1T1 K1T2 K1T3 K1T4 K2T1 K2T2 K2T3 K2T4 K3T1 K3T2 K3T3 K3T4
IFT (dyne/cm)
IFT Formula A
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
Gambar 18. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula A Keterangan : Komposisi Formula A: MES 10%, NPE 40%, air 45% dan mutual solvent 5% K1 K2 K3
: Konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen T1 : Suhu kamar (25 oC) : Konsentrasi pelarutan formula 1 persen T2 : Suhu 50 oC : Konsentrasi pelarutan formula 10 persen T3 : Suhu 75 oC T4 : Suhu 100 oC
4.3.2. FORMULA B Formula B mengandung komposisi MES 15 persen, nonyl phenol ethoxylate 35 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran 5,741 x 10-03 dyne/cm dan 7,488 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi 0,01619. Nilai rekapitulasi IFT formula B dan analisis statistik deskriptif selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan analisis keragaman terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis keragaman pada nilai IFT formula B selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT formula B pada konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen berbeda dengan nilai IFT pada konsentrasi pelarutan formula 1 dan 10 persen dan nilai IFT pada konsentrasi pelarutan formula 1 persen berbeda dengan nilai IFT pada konsentrasi pelarutan formula 10 persen. Dengan kata lain, nilai IFT pada setiap taraf faktor konsentrasi pelarutan formula berbeda nyata satu sama lain. Karena faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai IFT, maka nilai IFT yang dihasilkan oleh setiap taraf pada faktor perlakuan salinitas dan suhu tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor perlakuan konsentrasi pelarutan formula 10 persen dengan nilai IFT 5,741 x 10-03 dyne/cm dan nilai IFT tertinggi diperoleh dengan faktor perlakuan konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen dengan nilai IFT 7,488 x 10-02 dyne/cm. Hasil uji lanjut pada formula B dengan metode Duncan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9b. Pada Gambar 19 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula B. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
0.055 0.05 0.045 0.04 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0
Salinitas 5000 ppm Salinitas 10.000 ppm Salinitas 20.000 ppm
K1T1 K1T2 K1T3 K1T4 K2T1 K2T2 K2T3 K2T4 K3T1 K3T2 K3T3 K3T4
IFT (dyne/cm)
IFT Formula B
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
Gambar 19. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula B Keterangan : Komposisi Formula B: MES 15%, NPE 35%, air 45% dan mutual solvent 5% K1 K2 K3
: Konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen T1 : Suhu kamar (25 oC) : Konsentrasi pelarutan formula 1 persen T2 : Suhu 50 oC : Konsentrasi pelarutan formula 10 persen T3 : Suhu 75 oC T4 : Suhu 100 oC
4.3.3. FORMULA C Formula C mengandung komposisi MES 20 persen, nonyl phenol ethoxylate 30 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran 6,374 x 10-03 dyne/cm dan 7,025 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi 0,01801. Nilai rekapitulasi IFT formula C dan analisis statistik deskriptif selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan analisis keragaman terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis keragaman pada nilai IFT formula C selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT formula C pada konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen berbeda dengan nilai IFT pada konsentrasi pelarutan formula 1 dan 10 persen dan nilai IFT pada konsentrasi pelarutan formula 1 persen berbeda dengan nilai IFT pada konsentrasi pelarutan formula 10 persen. Dengan kata lain, nilai IFT pada setiap taraf faktor konsentrasi pelarutan formula berbeda nyata satu sama lain dalam. Karena faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai IFT, maka nilai IFT yang dihasilkan oleh setiap taraf pada faktor perlakuan salinitas dan suhu tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor perlakuan konsentrasi pelarutan formula 10 persen dengan nilai IFT 6,374 x 10-03 dyne/cm dan nilai IFT tertinggi diperoleh dengan faktor perlakuan konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen dengan nilai IFT 7,025 x 10-02 dyne/cm. Hasil uji lanjut pada formula C dengan metode Duncan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11b. Pada Gambar 20 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula C. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
0.06 0.055 0.05 0.045 0.04 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0
Salinitas 5000 ppm Salinitas 10.000 ppm Salinitas 20.000 ppm
K1T1 K1T2 K1T3 K1T4 K2T1 K2T2 K2T3 K2T4 K3T1 K3T2 K3T3 K3T4
IFT (dyne/cm)
IFT Formula C
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
Gambar 20. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula C Keterangan : Komposisi Formula C: MES 20%, NPE 30%, air 45% dan mutual solvent 5% K1 K2 K3
: Konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen T1 : Suhu kamar (25 oC) : Konsentrasi pelarutan formula 1 persen T2 : Suhu 50 oC : Konsentrasi pelarutan formula 10 persen T3 : Suhu 75 oC T4 : Suhu 100 oC
4.3.4. FORMULA D Formula D mengandung komposisi MES 25 persen, nonyl phenol ethoxylate 25 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran 6,107 x 10-03 dyne/cm dan 5,822 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi 0,0158. Nilai rekapitulasi IFT formula D dan analisis statistik deskriptif selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan analisis keragaman terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis keragaman pada nilai IFT formula D selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT formula D pada berbeda pada salinitas, suhu dan konsentrasi tertentu. Untuk faktor salinitas, nilai IFT pada setiap taraf salinitas berbeda nyata satu sama lain. Artinya nilai IFT pada taraf 5000 ppm berbeda nyata dengan nilai IFT pada taraf 10.000 ppm dan 20.000 ppm dan nilai IFT pada taraf 10.000 ppm berbeda nyata dengan taraf 20.000 ppm. Untuk faktor suhu, nilai IFT pada taraf 25 oC berbeda nyata dengan nilai IFT pada suhu 50 dan 75 oC, sedangkan nilai IFT pada suhu 25 dan 100 oC tidak berbeda nyata. Untuk faktor konsentrasi pelarutan formula, nilai IFT pada taraf 0,1 persen berbeda dengan taraf 1 persen dan 10 persen dan nilai IFT pada taraf 1 persen dan 10 persen tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor perlakuan salinitas 5000 ppm, suhu 75 oC dan konsentrasi pelarutan formula 10 persen yaitu dengan nilai IFT 6,107 x 10-03 dyne/cm. nilai IFT tertinggi diperoleh pada faktor perlakuan salinitas 20.000 ppm, suhu 100 oC dan konsentrasi pelarutan 0,1 persen yaitu dengan nilai IFT 5,822 x 10-02 dyne/cm. Hasil uji lanjut pada formula D dengan metode Duncan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13b. Pada Gambar 21 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula D. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
0.06 0.055 0.05 0.045 0.04 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0
Salinitas 5000 ppm Salinitas 10.000 ppm
K3T4
K3T3
K3T2
K3T1
K2T4
K2T3
K2T2
K2T1
K1T4
K1T3
K1T2
Salinitas 20.000 ppm
K1T1
IFT (dyne/cm)
IFT Formula D
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
Gambar 21. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula D Keterangan : Komposisi Formula D: MES 25%, NPE 25%, air 45% dan mutual solvent 5% K1 K2 K3
4.4.
: Konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen T1 : Suhu kamar (25 oC) : Konsentrasi pelarutan formula 1 persen T2 : Suhu 50 oC : Konsentrasi pelarutan formula 10 persen T3 : Suhu 75 oC T4 : Suhu 100 oC
PERBANDINGAN
KINERJA
SETIAP
FORMULA
DALAM
MENURUNKAN TEGANGAN ANTARMUKA (IFT) Kinerja formula yang akan diaplikasikan pada proses surfactant flooding diukur dari kemampuannya dalam menurunkan tegangan antarmuka (IFT) minyak-air. Semakin kecil nilai IFT yang dihasilkan oleh formula, maka semakin tinggi kinerja formula tersebut. Pada penelitian ini, ada empat macam formula yang diukur nilai IFT nya. Setiap formula tersebut diuji ketahanannya terhadap faktor perlakuan salinitas dan suhu pada berbagai tingkat konsentrasi seperti yang telah dipaparkan di atas. Untuk menentukan formula yang memiliki kinerja terbaik berdasarkan nilai IFT dari keempat formula tersebut digunakan analisis statistik dengan uji T yang termasuk ke dalam uji pembedaan. Input yang digunakan untuk
analisis statistik tersebut adalah nilai IFT terendah yang dihasilkan oleh setiap formula. Hasil rekapitulasi nilai IFT terendah dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rekapitulasi nilai IFT terendah formula agen pendesak minyak bumi Jenis formula
Nilai IFT ulangan 1 ulangan 2 rata rata
A
0,00298
0,005261
0,004121
B
0,005741
0,006279
0,00601
C
0,006374
0,009709
0,008042
D
0,006107
0,009625
0,007866
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji T diketahui bahwa semua nilai IFT terendah pada setiap formula tidak berbeda nyata. Hasil analisis tatistik menggunakan uji T selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14. Oleh karena itu, dapat dkatakan bahwa tidak ada formula terbaik berdasarkan nilai IFT dalam penelitian ini. Dari semua pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa formula B dan C memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap salinitas sampai dengan 20.000 ppm dan suhu sampai dengan 100 oC bila dibandingkan dengan formula A dan formula D. Dari segi ekonomi, formula C memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan formula B karena mengandung MES 20 persen, sedangkan formula B mengandung 15 persen MES. Selain itu, penggunaan MES yang lebih besar dalam formula akan mengurangi penggunaan nonyl phenol ethoxylate yang bersifat toksik bagi lingkungan sehingga formula C bersifat lebih ramah lingkungan bila dibandingkan dengan formula B. Maka dari itu, untuk aplikasi di lapangan, formula C direkomendasikan untuk digunakan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor perlakuan (salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula dalam air injeksi) dengan uji lanjut Duncan pada formula agen pendesak minyak bumi (A, B, C dan D) dapat disimpulkan bahwa pada formula A dan D, salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai tegangan antarmuka (IFT) yang menjadi parameter kinerja agen pendesak minyak bumi. Semakin tinggi salinitas dan semakin tinggi suhu maka kinerja agen pendesak minyak bumi semakin rendah, sedangkan semakin tinggi konsentrasi pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen pendesak minyak bumi. Pada formula B dan C, salinitas dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi, akan tetapi konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi. Dengan demikian, dapat dikatakan formula B dan C memiliki ketahanan yang baik terhadap salinitas dan suhu dan emakin tinggi konsentrasi pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen pendesak minyak bumi. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji T (T test) dapat disimpulkan bahwa nilai IFT terendah pada setiap formula tidak berbeda nyata. Formula B dan C memiliki kinerja (berdasarkan nilai IFT) yang sama yaitu tidak dipengaruhi oleh salinitas dan suhu. Namun demikian, formula C adalah formula terbaik, karena dari segi ekonomi lebih murah dan dari segi lingkungan lebih ramah. 5.2. SARAN Penggunaan konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen, 1 persen dan 10 persen masih terlalu besar rentangnya (sepuluh kali lipat), sehingga penelitian lanjutan menggunakan rentang konsentrasi yang lebih kecil perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Ajith, S., A.C. John dan A.R. Rakshit. 1994. Physicochemical Studies of Microemulsions. Pure & Appl. Chem. Vol. 66, No. 3. Great Britain. http://www.iupac.org/publications/pac/1994/pdf/6603x0509.pdf [22 Desember 2005] Allen, T.O. dan A.P. Roberts. 1993. Production Operations 2: Well Completions, Work over, and Stimulation. Oil & Gas Consultants International (OGCI). Tulsa, Oklahoma, USA. Al Manhal. 2005. Boosting Oil Recovery No. 3. The Magazine Explaining the Oil and Gas Industry. http://www.pdo.co.om/NR/rdonlyres/174DAA4AD53B-49C9-93BD-D42F5AA9A2E2/0/almanhalIssue32005English.pdf [22 Desember 2005] Anomim. 2005. Chapter 1: Introduction. http://etd.lsu.edu/docs/available/etd1113102-143537/unrestricted/09_INTRO.pdf [22 Desember 2005] Australian Research Council's Research Centres Program. 2005. Uses of Nonionic Surfactants.http://www.kcpc.usyd.edu.au/discovery/9.5.5/9.5.5nonionic2.h tml [14 Maret 2005] Becher, P. 1983. Encyclopedia of Emulsion Technology. Vol 1. Marcel Dekker, Inc. New York, USA. BPMIGAS. 2005. Laporan Kegiatan BPMIGAS Periode 2002–2004. Jakarta. http://www.bp migas.com/Laporan.asp [14 Maret 2006] Clark, J. 2004. Dispersant Basics: Mechanism, Chemistry, and Physics of Dispersants in Oil Spill Response. Exxon Mobil Research and Engineering.http://enviro.nfesc.navy.mil/erb/erb_a/restoration/technologies /remed/physchem/sear/06-sear-surfactant-selection.pdf [20 Maret 2005] Cox, M. F. dan U. Weerasoriya. 2001. Methyl Ester Ethoxylates. Editor : Floyd E. Friedli. Marcel Dekker, Inc. USA. Drelich, J., Ch. Fang, dan C.L. White. 2002. Measurement of Interfacial Tension in Fluid-Fluid Systems. Marcel Dekker, Inc. http://pcserver.iqm.unicamp.br/~wloh/cursos/qf732/m2.pdf [22 Desember 2005] Foster, N.C. 1997. Sulfonation and Sulfation Processes. The Chemithon Corporation. http://www.chemithon.com/papers_brochures/Sulfo_and_ Sulfa.doc.pdf [30 November 2005] Gardner, J.E. dan M.E. Hayes. 1983. Spinning Drop Interfacial Tensiometer Instruction Manual. Department of Chemistry. Univ. of Texas, Austin.
Gumbira-Sa’id, E. 2001. Penerapan Manajemen Teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing Global Produk Agribisnis/Agroindustri Berorientasi Produksi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hackley, V.A. dan C.F. Ferraris. 2001. The Use of Nomenclature in Dispersion Science and Technology. National Institute of Standards and Technology: Special Publication 960-3. U.S. Government Printing Office, Washington www.nist.gov/public_affairs/practiceguidesember/SP960-3.pdf [17 Maret 2006] Hambali, E., K. Syamsu., A. Pratomo. 2004. Pemanfaatan Surfaktan Ramah Lingkungan Dari Minyak Sawit Sebagai Oil Well Stimulation Agent Untuk Meningkatkan Produksi Sumur Minyak Bumi. Proposal Hibah Kompetisi Pengembangan Masyarakat. Departemen Teknologi Industri Pertanian – IPB. Bogor. Hargreaves, T. 2003. Surfactants: The Ubiquitous Amphiphiles. http://www.chemsoc.org/help/hargreaves_jul03.htm [12 Desember 2005] Hart, H. 1990. Kimia Organik. Edisi Keenam. Suminar Ahmadi, Penterjemah. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hehuwat, F. 1992. Minyak Bumi di Indonesia. Jurnal No. 2. Puslitbang Geoteknologi LIPI. Bandung Hidayati, S. 2006. Optimasi Proses Pembuatan Metil Ester Sulfonat dari Minyak Sawit dan Uji Efektifitasnya untuk Pendesakan Minyak Bumi. Desertasi. FATETA, IPB. Bogor. http://www.chemicalland21.com/arokorhi/specialtychem/perchem/NONYLPHEN OL%20ETHOXYLATE.htm [20 Maret 2006] http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_bumi [14 Maret 2006] http://www.glossary.oilfield.slb.com/Display.cfm?Term=mutual%20solvent [14 Maret 2006] http://www.messina-oilchem.com/Stimulation/Stimulation-MS.html [14 Maret 2006] http://www.messina-oilchem.com/PDs/OILAID-MS-1%20PD.pdf [14 Maret 2006] http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_manuals/optimal_salinity.pdf [22 Desember 2005] http://web.engr.oregonstate.edu/~istokj/pdf/Field%20et%20al.%202000%20JCH. pdf [20 Desember 2005]
http://www.kapanlagi.com/h/0000076314.html [14 Maret 2006] http://www.dprin.go.id [23 Maret 2006] Hovda, K. 2002. The Challenge of Methyl Ester Sulfonation. The Chemithon Corporation. The Chemiton Corporation. http://www.chemithon.com/ papers_brochures/The_Challengeof_MES.doc.pdf [30 November 2005] Kucera, F. 2001. Homogeneous and Heterogeneous Sulfonation of Polystyrene. Short Version of PhD Thesis. BRNO University of Technology. ISSN 1213-4198. Kusuma, B. W. 2004. Jangan Panik! Produksi Minyak Indonesia Turun dan Impor Naik. Kompas Edisi Kamis, 08 Juli 2004. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/08/ekonomi/1136701.htm [14 Maret 2006] Lambent Technologies. 2002. Three Dimensional HLB. Petroferm Company. www.petroferm.com/lambent/Lambent%20Mini%20CD/PRESENTATIO NS/3dhlb.prn.pdf [24 November 2005] Lakatos-Szabo, J. dan I Lakatos. 2001. Effect of Non-Ionic Surfactant Homologues on Interfacial Rheological Properties of Oil/Water Systems. Research Institute of Applied Chemistry University of Miskolc, Hungary. [24 http://www.ogbus.com/eng/authors/Lakatos/effectofnon.pdf November 2005] Lake, L.W., R.L. Schmidt dan P.B. Venuto. 1995. A Niche for Enhanced Oil Recovery in the 1990’s. http://www.slb.com/media/services/resources/ oilfieldreview/ors92/0192/p55_61.pdf [22 Desember 2005] Liu, Y, R.B. Grigg, dan R.K. Svec. 2005. O2 Foam Behavior: Influence of Temperature, Pressure, and Concentration of Surfactant. Abstract SPE 94307. http://baervan.nmt.edu/publications/newpublications/gas/SPE% 2094307.htm [16 Maret 2006] MacArthur, B.W., B Brooks, W.B. Sheats dan N.C. Foster. 2002. Meeting The Challenge of Methylester Sulfonation. The Chemiton Corporation. http://www.chemithon.com/papers_brochures/Meeting_the_Challenge.doc. pdf [30 November 2005] Nummedal, D., B. Towler, C. Mason, dan M. Allen. 2003. Enhanced Oil Recovery in Wyoming: Prospects and Challenges. Univ of Wyoming. http://uwadmnweb.uwyo.edu/AcadAffairs/PolicyStatements/ EORfinal.pdf [30 November 2005] Particle Engineering Research Center. 2005. Surfactants. Univ of Florida. www.unmc.edu/pharmacy/wwwcourse/p_surfactants_00_files/p_surfactant s.ppt [20 November 2005]
Redaksi Warta Pertamina. 2004. Energi Fosil Masih Primadona, Bagaimana, Dong? Warta Pertamina Edisi 4 Januari 2004. http://www.pertamina.com/ indonesia/head_office/hupmas/news/Wpertamina/2004/Januari_04/wp0104 07.htm [14 Maret 2006] Sabatini, D.A., R.C. Knox, dan M.J. McInerney. 2005. Evaluation of Sub-micellar Synthetic Surfactants versus Biosurfactants for Enhanced LNAPL Recovery. EPA Agreement Number: R83-0633-010. http://ipec.utulsa.edu/31.d/31_Q3.pdf [15 Maret 2005] Samhadi, S.H. 2006. Ironi Sawit dan Ambisi Nomor Satu Dunia. Kompas edisi Sabtu, 25 Februari 2006. http://www.kompas.com/kompascetak/0602/25/Fokus/2462794.htm [14 Maret 2006] Sampath, R., L.T. Moeti, M.J. Pitts dan D.H. Smith. 1998. Characterization of Surfactants for Enhanced Oil Recovery. Proceedings. www.netl.doe.gov/publications/proceedings/98/98hbcu/SAMPATH2.PDF [24 November 2005] Salager, J.L. 2002. Surfactants Types and Uses. Version 2. FIRP Booklet # E300A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English. Universidad De Los Andes, Mérida-Venezuela. http://www.firp.ula.ve/cuadernos/E300A.pdf [20 Maret 2005] Schramm, L.L., E.N. Stasiuk, H. Yarranton, B.B. Maini. dan B. Shelfantook. 2002. Temperature Effects in the Conditioning and Flotation of Bitumen from Oil Sands in Terms of Oil Recovery and Physical Properties. Petroleum Society-Canadian Institute Of Mining, Metallurgy & Petroleum. Paper 2002-074. www.ucalgary.ca/~schramm/CIPC_2002_074.pdf [15 Maret 2006] Schramm, L.L. 2000. Surfactants: Fundamentals and Applications in the Petroleum Industry. Cambridge University Press. United Kingdom. http://assets.cambridge.org/052164/0679/sample/0521640679wsc00.pdf [30 November 2005} Sheats, W.B., dan B.W., MacArthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The Chemithon Corporation. USA. http://www.chemithon.com/ papers_brochures/MES_Products.doc.pdf [30 November 2005] Sheats, W.B. dan N.C. Foster. 2002. Concentrated Products from Methyl Ester Sulfonates. The Chemithon Corporation. http://www.chemithon.com/ papers_brochures/Concentrated_Products.doc.pdf [30 November 2005] Speight, J. G. 2002. Chemical And Process Design Handbook. McGraw-Hill. New York. Sudjana. 1982. Disain dan Analisis Eksperimen. Penerbit Tarsito, Bandung.
Suprihatini, R., B. Drajat dan U. Fajar. 2004. Kebijakan Percepatan Pengembangan Industri Hilir Perkebunan: Kasus Teh dan Sawit. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi/AKP_2_1_2004_4.pdf. [14 Maret 2006] Syahmani. 2001. Isolasi, Sulfonasi dan Asetilasi Lignin dari Tandan Kosong Sawit dan Studi Pengaruhnya Terhadap Proses Pelarutan Urea. ITB Central Library. http://library.gunadarma.ac.id/go.php?id=jbptitbpp-gdl-s22000-syahmani-1076-urea [4 April 2006] Taber, J.J., F.D. Martin, dan R.S. Seright. 1997. EOR Screening Criteria Revisited. Society of Petroleum Engineers. Tulsa, Oklahoma. USA. Technology Assessment Board. 1978. Enhanced Oil Recovery Potential in The United States. http://govinfo.library.unt.edu/ota/Ota_5/DATA/1978/ 7807.PDF [30 November 2005] Unisource Canada. 2005. GLOSSARY. Unisource Canada, Inc. http://www.unisource.ca/upload/tools/facility_supply_glossary_en_g.pdf [30 November 2006]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa Sawit
Sumber :http://www.dprin.go.id
Lampiran 2. Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit dan Perhitungan Mol reaksi antara Metil Ester dan Na-HSO3 Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit Parameter Bilangan asam (mg KOH/g) Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) Bilangan Iod (g/100g) Densitas (gr/ml) Kadar air (%) Lovibond colour, 5 ¼ red / yellow Warna, APHA Distribusi asam lemak (%) C16 C18 C18/1 C18/2 C20 Sumber : PT. Ecogreeen Oleochemicals (2003)
Nilai 0,19 1.88 83.20 0.87 0,03 0.2/1.7 65 0.2 10.6 75.4 13.3 0.5
Jika diketahui komposisi asam lemak dalam metil ester berbasis PKO adalah (%b): C16
= 0,2%
C18
= 10,6%
C18/1 = 75,4% C18/2 = 13,3% C20
= 0,5%
----------------100 % Massa Mol = -------------BM Basis : 100 g metil ester Massa C16
= 0,2 % x 100 g
= 2 ,0 g
BM C16
= 270 g/mol
Massa C18
= 10,6 % x 100 g
= 10,6 g
BM C18
= 298 g/mol
Massa C18/1 = 75,4 % x 100 g
= 75,4 g
BM C18/1
= 296 g/mol
Massa C18/2 = 13,3 % x 100 g
= 13,3 g
BM C C18/2 = 294 g/mol
Massa C20
= 0,5 g
BM C20
= 0,5 % x 100 g
= 326 g/mol
Lampiran 2. Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit dan Perhitungan Mol reaksi antara Metil Ester dan Na-HSO3 (lanjutan) Mol C16
= (2 g)
/ (270 g/mol)
= 0,0074
Mol C18
= (10,6 g) / (298 g/mol)
= 0,0356
Mol C18/1
= (75,4g) / (296 g/mol)
= 0,2547
Mol C18/2
= (13,3 g) / (294 g/mol)
= 0,0452
Mol C20
= (0,5 g) / (326 g/mol)
= 0,0015 -----------
Total Mol Berat molekul Metil Ester rata-rata
= 0,3444
= massa : total mol = 100 g / 0,3444 mol = 290,36 g/mol
Perbandingan mol Metil Ester dengan reaktan (NaHSO3) yang digunakan dalam proses sulfonasi adalah 1 : 1,5. Jika Metil Ester yang digunakan sebagai bahan baku adalah sebanyak 1 liter, maka molnya adalah : Mol ME
= Massa / BM = (ρ x volume) / BM = (0,87 g/ml x 1000 ml) / (290,36 g/mol) = 2,99 mol ~ 3 mol
Perbandingan mol Metil Ester : NaHSO3 = 1 : 1,5 Mol NaHSO3 BM NaHSO3 Massa NaHSO3
= 1,5 x 3
= 4,5 mol = 104 g/mol
= 4,5 mol x 104 g/mol = 468 g
Jadi setiap 1 L Metil Ester yang digunakan dibutuhkan reaktan NaHSO3 sebanyak 468 g atau setiap 500 ml metil ester yang digunakan dalam reaksi maka diperlukan 234 Na-HSO3
Lampiran 3a. Karakteristik Minyak Bumi Mentah PT. X Parameter
Nilai o
3
Densitas pada suhu 60 F (g/cm ) 0,8461 Bilangan Asam (mgKOH/g) o
0,09
Titik tuang ( F)
79
Kandungan Aspal (% b/b)
0,83
Kandungan resin (% b/b)
3,03
Kandungan lilin (wax) (% b/b)
25,45
Lampiran 3b. Karakteristik Air Formasi PT. X Kandungan
Kaji-Manfold Injection Water (mg/L)
Ca2+ Mg2+ Na+ K+ ClSO42CO32HCO3OHKonsentrasi total Sumber : PT. X (2006 )
KS-01 Formation Water (mg/L)
KS-93 Formation Water (mg/L)
126,1 54,3 5090,0 63,9 7040,0 43,8 0,0 658,9 0,0
154,2 44,4 3840,0 55,9 5900,0 59,3
229,9 50,8 5620,0 81,4 8040,0 29,6
754,5
960,2
13077,0
10808,3
15011,9
Lampiran 4. Diagram alir pembuatan dan pemurnian Metil Ester Sulfonat Metil Ester PKO 500 ml
NaHSO3 234 g
Sulfonasi Perbandingan mol metil ester : NaHSO3 = 1 : 1,5 Suhu 1000C, selama 4,5 jam
Disalt, sisa reaktan, dan produk samping lain
Metil Ester Sulfonat (MES) kasar 400 ml
Pengendapan 24 jam
Disalt, sisa reaktan, dan produk samping lain
Metil Ester Sulfonat (MES) ½ jadi
Metanol
Pemurnian Perbandingan volume MES : metanol = 70% : 30% 500C, 1,5 jam
Penguapan Metanol 70 – 80 0C, 10 menit
NaOH 20%
Penetralan pH 7, 550C, 30 menit
Metil Ester Sulfonat (MES)
Uap Metanol
Kondensasi
Metanol
Lampiran 5. Prosedur pengukuran IFT (Gardner dan Hayes, 1983) Tahapan untuk memperoleh nilai IFT sampel adalah pengukuran densitas sampel, indeks bias sampel, dan lebar droplet minyak bumi mentah di dalam larutan sampel. Nilai densitas sampel diukur dengan menggunakan piknometer, sedangkan nilai indeks bias diukur dengan menggunakan refraktometer. Untuk lebar droplet minyak bumi mentah diukur menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer. Nilai IFT dihitung dengan menggunakan Persamaan 3. Setiap tahap dalam pengukuran IFT dijelaskan sebagai berikut. 1. Pengukuran densitas Mula – mula ditimbang bobot piknometer kosong beserta tutupnya (catat sebagai a). Kemudian piknometer tersebut diisi sampel sampai penuh. Piknometer kemudian ditutup rapat, sisa sampel yang tumpah dibersihkan dan dikeringkan. Selanjutnya piknometer berisi sampel ditimbang bobotnya (catat sebagai b). Setiap piknometer memiliki kode tertentu dan volume yang tertera pada bagian luarnya (catat volume sebagai c). Nilai densitas sampel dihitung menggunakan Persamaan 1.
ρsampel =
b−a c
....................................Persamaan 1
Keterangan : a
= berat piknometer kosong (g)
b
= berat piknometer berisi sampel (g)
c
= volume piknometer (ml)
2. Pengukuran indeks bias Prisma pada refraktometer dibilas dengan air demineral (aquades) dan dilap sampai kering. Kemudian, diatasnya diteteskan sampel yang akan diukur indeks biasnya. Tutup kaca prisma dengan merapatkan penutupnya dan geser knop pengatur fokus, sehingga diperoleh garis batas jelas antara gelap dan terang. Knop lainnya digeser sampai diperoleh garis batas yang berimpit dengan titik potong dari dua garis bersilangan. Nilai indeks bias kemudian dibaca (catat sebagai n).
Lampiran 5. Prosedur pengukuran IFT (lanjutan) 3. Pengukuran lebar droplet Cara kerja Spinning Drop dijelaskan sebagai berikut: pertama, kondisikan alat spinning drop lebih kurang 15 menit, kemudian atur suhu dan periode jika diperlukan (catat suhu sebagai T dan perioede sebagai P). Setelah kondisi yang diinginkan stabil, ke dalam glass tube diisikan sampel. Jangan sampai terbentuk gelembung udara. Ke dalam glass tube yang telah berisi sampel, diberi butiran minyak bumi mentah (crude oil). Butiran minyak harus utuh dan tidak ada gelembung udara. Masukkan glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan permukaan glass tube menghadap ke arah luar. Nyalakan alat dan lampu pada alat. Ketika lebar butiran minyak terlihat stabil, geserlah pengukur batas butiran. Batas atas dicatat sebagai x dan batas bawah dicatat sebagai y. Ulangi pembacaan ini sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan lebar tetesan. Bila pembacaan kurang jelas aturlah knop yang digunakan untuk mendapatkan fokus bayangan.
d = ((40 − x) + y ) × faktor konversi alat
IFT =
10 6 × π 2 × (ρ sampel − ρ crude⋅oil )× d 3 8 ×η 3 × Ρ 2
………Persamaan 2
.....................Persamaan 3
Keterangan : d
= lebar droplet (µm)
x
= batas atas droplet (cm)
y
= batas bawah droplet (cm)
faktor konversi alat = 0,0025 π
= phi (3,142857)
ρsampel
= densitas sampel (g/ml)
ρcrude oil
= densitas crude oil = 0,942 g/ml
η
= indeks bias sampel
P
= periode (msec/putaran)
Lampiran 6. Rekapitulasi data IFT formula A (dalam satuan dyne/cm) Faktor perlakuan
suhu (C) 25
50
75
100
Konsentrasi Pelarutan
Salinitas
Ulangan1
Ulangan2
Rata-rata
Ulangan1
Ulangan2
Rata-rata
Ulangan1
Ulangan2
Rata-rata
Ulangan1
Ulangan2
Rata-rata
5000
0,016781
0,020641
0,018711
0,022474
0,039152
0,030813
0,030345
0,029127
0,029736
0,031237
0,036472
0,033854
10000
0,023787
0,026193
0,02499
0,034697
0,033182
0,033939
0,030774
0,039496
0,035135
0,038073
0,036886
0,037479
20000
0,032317
0,032317
0,032317
0,035093
0,032805
0,033949
0,037185
0,032878
0,035032
0,043643
0,033916
0,038779
5000
0,005162
0,012082
0,008622
0,012812
0,012812
0,012812
0,016767
0,010958
0,013863
0,012061
0,012061
0,012061
10000
0,011942
0,011039
0,011491
0,014354
0,012099
0,013227
0,012338
0,01309
0,012714
0,013223
0,012201
0,012712
20000
0,015174
0,009526
0,01235
0,014063
0,014063
0,014063
0,014229
0,009806
0,012018
0,013421
0,013421
0,013421
5000
0,00298
0,005261
0,004121
0,005697
0,004484
0,00509
0,003885
0,004931
0,004408
0,005067
0,004787
0,004927
10000
0,003901
0,004587
0,004244
0,005812
0,004305
0,005059
0,005416
0,004781
0,005098
0,005573
0,004255
0,004914
20000
0,003935
0,004714
0,004325
0,006168
0,004126
0,005147
0,004762
0,004026
0,004394
0,005729
0,004206
0,004968
Formula (%)
0,1
1
10
Descriptive Statistics N KONSENTRASI 72 SALINITAS 72 SUHU 72 IFT 72 Valid N (listwise) 72
Minimum 0,1 5000 25 0,002980
Maximum 10,0 20000 100 0,043643
Mean 3,700 11666,67 62,50 0,01641055
Std. Deviation 4,5013 6279,858 28,147 0,012219534
Lampiran 7a. Analisis Keragaman Formula A Analysis of Variance Table Source Term A: Salinitas B: Suhu AB C: Konsentrasi AC BC ABC S Total (Adjusted) Total
DF Sum of Squares 2 8,81E-05 3 2,23E-04 6 4,43E-05 2 9,53E-03 4 1,07E-04 6 2,16E-04 12 4,62E-05 36 3,43E-04 71 1,06E-02 72
Mean Square 4,41E-05 7,44E-05 7,38E-06 4,77E-03 2,68E-05 3,60E-05 3,85E-06 9,54E-06
F-Ratio Prob Level 4,62 0,016390* 7,8 0,000388* 0,77 0,596129 499,64 0,000000* 2,81 0,039904* 3,77 0,005158* 0,4 0,952867
Power (Alpha=0,05) 0,74471 0,980402 0,265175 1 0,708578 0,927475 0,185988
* Term significant at alpha = 0.05 Catatan : Jika Prob level kurang dari 0,05, maka faktor perlakuan yang terdapat pada kolom Source Term berpengaruh nyata pada variabel respon.
Lampiran 7b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula A Duncan's Multiple-Comparison Test Response: IFT Alpha=0,050 Error Term=S(ABC) DF=36 MSE=9,540232E-06 Term A: Salinitas Group 5000 10000 20000
Count 24 24 24
Mean 1,49E-02 1,68E-02 1,76E-02
Different From Groups 10000, 20000 5000 5000
Mean 1,35E-02 1,69E-02 1,71E-02 1,81E-02
Different From Groups 75, 50, 100 25 25 25
Term B: Suhu Group 25 75 50 100
Count 18 18 18 18
Term C: Konsentrasi Group 10 1 0,1
Count 24 24 24
Mean 4,72E-03 1,24E-02 0,0320612
Different From Groups 1, 0,1 10, 0,1 10, 1
Lampiran 8. Rekapitulasi data IFT formula B (dalam satuan dyne/cm) Faktor perlakuan
suhu (C) 25
50
75
100
Konsentrasi Pelarutan
Salinitas
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
5000
0,034874
0,035105
0,034989
0,045147
0,027661
0,036404
0,043173
0,025943
0,034558
0,044273
0,044273
0,044273
10000
0,037975
0,037975
0,037975
0,045705
0,037396
0,04155
0,074886
0,026791
0,050838
0,046198
0,046198
0,046198
20000
0,045382
0,038964
0,042173
0,047317
0,03826
0,042788
0,061407
0,038441
0,049924
0,061909
0,037827
0,049868
5000
0,02061
0,02061
0,02061
0,015864
0,018686
0,017275
0,021047
0,019155
0,020101
0,020153
0,020153
0,020153
10000
0,017462
0,017462
0,017462
0,020757
0,019987
0,020372
0,022625
0,020604
0,021614
0,023236
0,020467
0,021851
20000
0,020505
0,017879
0,019192
0,020451
0,020451
0,020451
0,023367
0,011894
0,017631
0,024993
0,024993
0,024993
5000
0,006355
0,007522
0,006938
0,007435
0,007435
0,007435
0,0064
0,008261
0,00733
0,006094
0,006094
0,006094
10000
0,006442
0,008057
0,007249
0,006942
0,007741
0,007342
0,006209
0,007336
0,006772
0,006816
0,005741
0,006279
20000
0,00913
0,006892
0,008011
0,007239
0,007239
0,007239
0,006847
0,006451
0,006649
0,006663
0,007131
0,006897
Formula (%)
0,1
1
10
Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013 SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858 SUHU 72 25 100 62,50 28,147 IFT 72 0,005741 0,074886 0,02326340 0,016194339 Valid N (listwise) 72
Lampiran 9a. Analisis Keragaman Formula B Analysis of Variance Table Source Term A: Salinitas B: Suhu AB C: Konsentrasi AC BC ABC S Total (Adjusted) Total
DF Sum of Squares 2 1,41E-04 3 1,39E-04 6 6,21E-05 2 0,0155664 4 1,89E-04 6 1,87E-04 12 1,38E-04 36 2,20E-03 71 1,86E-02 72
Mean Square 7,06E-05 4,62E-05 1,04E-05 7,78E-03 4,74E-05 3,12E-05 1,15E-05 6,10E-05
F-Ratio Prob Level 1,16 0,326108 0,76 0,525169 0,17 0,983283 127,54 0,000000* 0,78 0,548041 0,51 0,795344 0,19 0,998201
Power (Alpha=0,05) 0,237809 0,195741 0,087075 1 0,224199 0,181452 0,104202
* Term significant at alpha = 0.05 Catatan : Jika Prob level kurang dari 0,05, maka faktor perlakuan yang terdapat pada kolom Source Term berpengaruh nyata pada variabel respon.
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula B Duncan's Multiple-Comparison Test Response: IFT Alpha=0,050 Error Term=S(ABC) DF=36 MSE=6,102484E-05 Term A: Salinitas Group 5000 10000 20000
Count 24 24 24
Mean 2,13E-02 0,023792 2,47E-02
Different From Groups
Mean 2,16E-02 2,23E-02 2,39E-02 2,52E-02
Different From Groups
Term B: Suhu Group 25 50 75 100
Count 18 18 18 18
Term C: Konsentrasi Group 10 1 0,1
Count 24 24 24
Mean 7,02E-03 2,01E-02 0,0426283
Different From Groups 1, 0,1 10, 0,1 10, 1
Lampiran 10. Rekapitulasi data IFT formula C (dalam satuan dyne/cm) Faktor perlakuan
suhu (C) 25
50
75
100
Konsentrasi Pelarutan
Salinitas
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
5000
0,039707
0,041771
0,040739
0,052063
0,039356
0,04571
0,062696
0,040802
0,051749
0,054776
0,038012
0,046394
10000
0,041615
0,042185
0,0419
0,070258
0,040648
0,055453
0,063616
0,034488
0,049052
0,056923
0,036425
0,046674
20000
0,064905
0,044014
0,054459
0,056712
0,056712
0,056712
0,061848
0,043126
0,052487
0,047816
0,047816
0,047816
5000
0,033845
0,033845
0,033845
0,028158
0,031211
0,029685
0,023859
0,02814
0,025999
0,030999
0,029467
0,030233
10000
0,026713
0,033727
0,03022
0,023778
0,035368
0,029573
0,01764
0,0337
0,02567
0,028764
0,030195
0,029479
20000
0,031918
0,027324
0,029621
0,024342
0,026863
0,025602
0,025794
0,027598
0,026696
0,023233
0,025418
0,024325
5000
0,006573
0,006573
0,006573
0,007705
0,007705
0,007705
0,00674
0,009659
0,008199
0,008384
0,008384
0,008384
10000
0,006993
0,008572
0,007782
0,007423
0,008802
0,008113
0,006953
0,009665
0,008309
0,008375
0,008703
0,008539
20000
0,008813
0,008813
0,008813
0,008809
0,008809
0,008809
0,006374
0,009709
0,008041
0,008019
0,009945
0,008982
Formula (%)
0,1
1
10
Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013 SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858 SUHU 72 25 100 62,50 28,147 IFT 72 0,006374 0,070258 0,02856506 0,018016165 Valid N (listwise) 72
Lampiran 11a. Analisis Keragaman Formula C Analysis of Variance Table Source Term A: Salinitas B: Suhu AB C: Konsentrasi AC BC ABC S Total (Adjusted) Total
DF Sum of Squares 2 2,55E-05 3 3,45E-05 6 9,29E-05 2 2,01E-02 4 2,14E-04 6 2,43E-04 12 1,51E-04 36 2,20E-03 71 2,30E-02 72
Mean Square 1,28E-05 1,15E-05 1,55E-05 1,00E-02 5,35E-05 4,06E-05 1,26E-05 6,12E-05
F-Ratio Prob Level 0,21 0,812643 0,19 0,90375 0,25 0,954765 164,2 0,000000* 0,87 0,488896 0,66 0,679517 0,21 0,997242
Power (Alpha=0,05) 0,080077 0,081644 0,107955 1 0,249903 0,229169 0,110209
* Term significant at alpha = 0.05 Catatan : Jika Prob level kurang dari 0,05, maka faktor perlakuan yang terdapat pada kolom Source Term berpengaruh nyata pada variabel respon.
Lampiran 11b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula C Duncan's Multiple-Comparison Test Response: IFT Alpha=0,050 Error Term=S(ABC) DF=36 MSE=6,115167E-05 Term A: Salinitas Group 5000 10000 20000
Count 24 24 24
Mean 2,79E-02 2,84E-02 2,94E-02
Different From Groups
Mean 2,79E-02 2,82E-02 2,85E-02 2,97E-02
Different From Groups
Term B: Suhu Group 100 25 75 50
Count 18 18 18 18
Term C: Konsentrasi Group 10 1 0,1
Count 24 24 24
Mean 8,19E-03 2,84E-02 4,91E-02
Different From Groups 1, 0,1 10, 0,1 10, 1
Lampiran 12. Rekapitulasi data IFT formula D (dalam satuan dyne/cm) Faktor perlakuan
suhu (C) 25
50
75
100
Konsentrasi Pelarutan
Salinitas
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
ulangan1
ulangan2
rata-rata
5000
0,038193
0,041061
0,039627
0,037944
0,037944
0,037944
0,041614
0,046132
0,043873
0,041722
0,041722
0,041722
10000
0,045454
0,045454
0,045454
0,043573
0,045974
0,044774
0,039101
0,044723
0,041912
0,058226
0,051631
0,054929
20000
0,051719
0,051719
0,051719
0,044879
0,050045
0,047462
0,055641
0,048503
0,052072
0,057129
0,057129
0,057129
5000
0,034106
0,034106
0,034106
0,02845
0,034174
0,031312
0,031335
0,033319
0,032327
0,033454
0,032458
0,032956
10000
0,035061
0,035061
0,035061
0,028999
0,033916
0,031457
0,024415
0,032295
0,028355
0,028481
0,031782
0,030131
20000
0,033305
0,035857
0,034581
0,033293
0,032948
0,03312
0,027891
0,02887
0,028381
0,027923
0,031585
0,029754
5000
0,008446
0,010596
0,009521
0,008768
0,008768
0,008768
0,008548
0,011786
0,010167
0,010381
0,010381
0,010381
10000
0,008076
0,011569
0,009823
0,008989
0,008989
0,008989
0,008641
0,011343
0,009992
0,01046
0,010669
0,010565
20000
0,010984
0,009978
0,010481
0,008723
0,009225
0,008974
0,006107
0,009625
0,007866
0,010025
0,010025
0,010025
Formula (%)
0,1
1
10
Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013 SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858 SUHU 72 25 100 62,50 28,147 IFT 72 0,006107 0,058226 0,02932524 0,015807826 Valid N (listwise) 72
Lampiran 13a. Analisis Keragaman Formula D Tabel Analysis of Variance Table Source Term A: Salinitas B: Suhu AB C: Konsentrasi AC BC ABC S Total (Adjusted) Total
DF Sum of Squares 2 1,26E-04 3 9,62E-05 6 6,03E-05 2 1,66E-02 4 3,96E-04 6 1,89E-04 12 1,00E-04 36 1,96E-04 71 0,017742 72
Mean Square 6,29E-05 3,21E-05 1,01E-05 8,29E-03 9,91E-05 3,15E-05 8,33E-06 5,43E-06
F-Ratio
Prob Level 11,58 0,000131* 5,9 0,002207* 1,85 0,116831 1525,24 0,000000* 18,23 0,000000* 5,8 0,000264* 1,53 0,15761
Power (Alpha=0,05) 0,989604 0,931843 0,610531 1 1 0,992452 0,690453
* Term significant at alpha = 0.05 Catatan : Jika Prob level kurang dari 0,05, maka faktor perlakuan yang terdapat pada kolom Source Term berpengaruh nyata pada variabel respon.
Lampiran 13b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula D Duncan's Multiple-Comparison Test Response: IFT Alpha=0,050 Error Term=S(ABC) DF=36 MSE=5,434715E-06 Term A: Salinitas Group Count 5000 24 10000 24 20000 24
Mean 2,77E-02 2,93E-02 3,10E-02
Different From Groups 10000, 20000 5000, 20000 5000, 10000
Mean 3,00E-02 2,81E-02 2,83E-02 3,08E-02
Different From Groups 50, 75 25, 100 25, 100 50, 75
Term B: Suhu Group 25 50 75 100
Count 18 18 18 18
Term C: Konsentrasi Group 0,1 1 10
Count 24 24 24
Mean 4,66E-02 3,18E-02 9,63E-03
Different From Groups 10, 1 10, 0,1 1, 0,1
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T Uji T formula A dengan formula B Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section Variable Count Mean Standard Standard 95% LCL Deviation Error of Mean Formula_A 2 0.0041205 1.61E-03 0.0011405 -1.04E-02 Formula_B 2 0.00601 3.80E-04 0.000269 2.59E-03 Note: T-alpha (Formula_A) = 12.7062, T-alpha (Formula_B) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section Variance DF Mean Standard Standard 95% LCL Assumption Difference Deviation Error of Mean Equal 2 -0.0018895 1.17E-03 1.17E-03 -6.93E-03 Unequal 1.11 -0.0018895 1.66E-03 1.17E-03 -1.37E-02 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 10.0677 Tests of Assumptions Section Assumption Skewness Normality (Formula_A) Kurtosis Normality (Formula_A) Omnibus Normality (Formula_A) Skewness Normality (Formula_B) Kurtosis Normality (Formula_B) Omnibus Normality (Formula_B) Variance-Ratio Equal-Variance Test Modified-Levene Equal-Variance Test
Value 0
Ha: µform A
95% UCL of Mean 3.15E-03 9.91E-03
Probability Decision(5%) 1
Cannot reject normality
1
Cannot reject normality
0
17.9757 0.294918
Equal-Variance T-Test Section Alternative T-Value Prob Level Hypothesis Difference <> 0 -1.6125 0.248184 Difference < 0 -1.6125 0.124092 Difference > 0 -1.6125 0.875908 Difference: (Formula_A)-(Formula_B) Catatan : Hypothesis Ho: µform A -µform
95% UCL of Mean 1.86E-02 9.43E-03
Cannot reject equal variances
Decision -5% Power (Alpha=.05) Accept Ho 0.163098 Accept Ho 0.295124 Accept Ho 0.001857
Power (Alpha=.01) 0.035284 0.068829 0.000347
=0, nilai rata-rata formula A dan formula B tidak berbeda secara statistik -µform B ≠0, nilai rata-rata formula A dan formula B berbeda secara statistik B
Lampiran 14 . Hasil analisis dengan uji T (lanjutan) Uji T formula A dengan formula C Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section Variable Count Mean Standard Standard 95% LCL Deviation Error of Mean Formula_A 2 0.0041205 1.61E-03 0.0011405 -1.04E-02 Formula_C 2 0.0080415 2.36E-03 0.0016675 -0.0131461 Note: T-alpha (Formula_A) = 12.7062, T-alpha (Formula_C) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section Variance DF Mean Standard Standard 95% LCL Assumption Difference Deviation Error of Mean Equal 2 -0.003921 2.02E-03 2.02E-03 -1.26E-02 Unequal 1.77 -0.003921 2.86E-03 2.02E-03 -1.38E-02 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 4.8929 Tests of Assumptions Section Assumption Skewness Normality (Formula_A) Kurtosis Normality (Formula_A) Omnibus Normality (Formula_A) Skewness Normality (Formula_C) Kurtosis Normality (Formula_C) Omnibus Normality (Formula_C) Variance-Ratio Equal-Variance Test
Value 0
95% UCL of Mean 1.86E-02 0.0292291
95% UCL of Mean 4.77E-03 5.96E-03
Probability Decision(5%) 1
Cannot reject normality
1
Cannot reject normality
0
2.1377
Equal-Variance T-Test Section Alternative TProb Hypothesis Value Level
0.763789
Cannot reject equal variances
Decision - Power 5% (Alpha= .05) Accept Ho 0.209377 Accept Ho 0.369995 Accept Ho 0.000755
Power (Alpha=.01 ) 0.04642 0.090296 0.00014
Difference <> 0 -1.9409 0.191793 Difference < 0 -1.9409 0.095896 Difference > 0 -1.9409 0.904104 Difference: (Formula_A)-(Formula_C) Catatan : Hypothesis Ho: µform A -µform C =0, nilai rata-rata formula A dan formula C tidak berbeda secara statistik Ha: µform A -µform C ≠0, nilai rata-rata formula A dan formula C berbeda secara statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan) Uji T formula A dengan formula D Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section Variable Count Mean Standard Standard 95% LCL Deviation Error of Mean Formula_A 2 0.0041205 1.61E-03 0.0011405 -1.04E-02 Formula_D 2 0.007866 2.49E-03 0.001759 -1.45E-02 Note: T-alpha (Formula_A) = 12.7062, T-alpha (Formula_D) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section Variance DF Mean Standard Standard Assumption Difference Deviation Error Equal 2 -0.0037455 2.10E-03 2.10E-03 Unequal 1.71 -0.0037455 2.96E-03 2.10E-03 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 5.0677
95% UCL of Mean 1.86E-02 3.02E-02
95% LCL of Mean -1.28E-02 -1.44E-02
95% UCL of Mean 5.27E-03 6.88E-03
Tests of Assumptions Section Assumption Value Probability Decision(5%) Skewness Normality (Formula_A) 0 Kurtosis Normality (Formula_A) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_A) Skewness Normality (Formula_D) 0 Kurtosis Normality (Formula_D) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_D) Variance-Ratio Equal-Variance Test 2.3787 0.732412 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section Alternative T-Value Prob Hypothesis Level Difference <> 0 -1.7866 0.215908 Difference < 0 -1.7866 0.107954 Difference > 0 -1.7866 0.892046 Difference: (Formula_A)-(Formula_D) Catatan :
Hypothesis Ho: µform A -µform Ha: µform A
Decision -5% Accept Ho Accept Ho Accept Ho
Power (Alpha=.05) 0.186906 0.334264 0.001164
Power (Alpha=.01) 0.04095 0.079807 0.000216
=0, nilai rata-rata formula A dan formula D tidak berbeda secara statistik -µform D ≠0, nilai rata-rata formula A dan formula D berbeda secara statistik D
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan) Uji T formula B dengan formula C Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section Variable Count Mean
Standard Standard 95% LCL Deviation Error of Mean Formula_B 2 0.00601 3.80E-04 0.000269 2.59E-03 Formula_C 2 0.0080415 2.36E-03 0.0016675 -0.0131461 Note: T-alpha (Formula_B) = 12.7062, T-alpha (Formula_C) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section Variance DF Mean Standard Standard Assumption Difference Deviation Error Equal 2 -0.0020315 1.69E-03 1.69E-03 Unequal 1.05 -0.0020315 2.39E-03 1.69E-03 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 11.3137
95% LCL of Mean -9.30E-03 -2.11E-02
95% UCL of Mean 9.43E-03 0.0292291
95% UCL of Mean 5.24E-03 1.71E-02
Tests of Assumptions Section Assumption Value Probability Decision(5%) Skewness Normality (Formula_B) 0 Kurtosis Normality (Formula_B) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_B) Skewness Normality (Formula_C) 0 Kurtosis Normality (Formula_C) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_C) Variance-Ratio Equal-Variance Test 38.4262 0.203644 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section Alternative T-Value Prob Level Hypothesis Difference <> 0 -1.2027 0.352145 Difference < 0 -1.2027 0.176073 Difference > 0 -1.2027 0.823927 Difference: (Formula_B)-(Formula_C) Catatan :
Decision -5% Accept Ho Accept Ho Accept Ho
Power (Alpha=.05) 0.114687 0.21047 0.005091
Power (Alpha=.01) 0.024148 0.046709 0.000962
Hypothesis Ho: µform B -µform C =0, nilai rata-rata formula B dan formula C tidak berbeda secara statistik Ha: µform B -µform C ≠0, nilai rata-rata formula B dan formula C berbeda secara statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan) Uji T formula B dengan formula D Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section Variable Count Mean
Standard Standard 95% LCL Deviation Error of Mean Formula_B 2 0.00601 3.80E-04 0.000269 2.59E-03 Formula_D 2 0.007866 2.49E-03 0.001759 -1.45E-02 Note: T-alpha (Formula_B) = 12.7062, T-alpha (Formula_D) = 12.7062
95% UCL of Mean 9.43E-03 3.02E-02
Confidence-Limits of Difference Section Variance DF Mean Standard Standard 95% LCL Assumption Difference Deviation Error of Mean Equal 2 -0.001856 1.78E-03 1.78E-03 -9.51E-03 Unequal 1.05 -0.001856 2.52E-03 1.78E-03 -2.22E-02 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 11.4406
95% UCL of Mean 5.80E-03 1.85E-02
Tests of Assumptions Section Assumption Value Probability Decision(5%) Skewness Normality (Formula_B) 0 Kurtosis Normality (Formula_B) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_B) Skewness Normality (Formula_D) 0 Kurtosis Normality (Formula_D) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_D) Variance-Ratio Equal-Variance Test 42.759 0.193217 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section Alternative T-Value Prob Level Hypothesis Difference <> 0 -1.043 0.406444 Difference < 0 -1.043 0.203222 Difference > 0 -1.043 0.796778 Difference: (Formula_B)-(Formula_D)
Decision -5% Accept Ho Accept Ho Accept Ho
Power (Alpha=.05) 0.09907 0.181073 0.007296
Power (Alpha=.01) 0.020658 0.039497 0.001386
Catatan :
Hypothesis Ho: µform B -µform Ha: µform B
=0, nilai rata-rata formula B dan formula D tidak berbeda secara statistik -µform D ≠0, nilai rata-rata formula B dan formula D berbeda secara statistik D
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan) Uji T formula C dengan formula D Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section Variable Count Mean
Standard Standard 95% LCL Deviation Error of Mean Formula_C 2 0.0080415 2.36E-03 0.0016675 -0.0131461 Formula_D 2 0.007866 2.49E-03 0.001759 -1.45E-02 Note: T-alpha (Formula_C) = 12.7062, T-alpha (Formula_D) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section Variance DF Mean Standard Standard 95% LCL Assumption Difference Deviation Error of Mean Equal 2 0.0001755 2.42E-03 2.42E-03 -1.03E-02 Unequal 1.99 0.0001755 3.43E-03 2.42E-03 -1.03E-02 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 4.3144
95% UCL of Mean 0.0292291 3.02E-02
95% UCL of Mean 1.06E-02 1.06E-02
Tests of Assumptions Section Assumption Value Probability Decision(5%) Skewness Normality (Formula_C) 0 Kurtosis Normality (Formula_C) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_C) Skewness Normality (Formula_D) 0 Kurtosis Normality (Formula_D) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_D) Variance-Ratio Equal-Variance Test 1.1128 0.966008 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section Alternative T-Value Prob Hypothesis Level Difference <> 0 0.0724 0.948867 Difference < 0 0.0724 0.525567 Difference > 0 0.0724 0.474433
Decision -5% Accept Ho Accept Ho Accept Ho
Power (Alpha=.05) 0.050243 0.044733 0.055716
Power (Alpha=.01) 0.010052 0.008906 0.011196
Difference: (Formula_C)-(Formula_D) Catatan :
Hypothesis Ho: µform C -µform Ha: µform C
=0, nilai rata-rata formula C dan formula D tidak berbeda secara statistik -µform D ≠0, nilai rata-rata formula C dan formula D berbeda secara statistik D