PENGUJIAN TEKNIK PENEPUNGAN BIJI JUWAWUT (Setaria italica (L.) Beauv.) MENGGUNAKAN PIN MILL DAN DISC MILL
SISKA ANDRIANI F 14103117
SKRIPSI
2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PENGUJIAN TEKNIK PENEPUNGAN BIJI JUWAWUT (Setaria italica (L.) Beauv.) MENGGUNAKAN PIN MILL DAN DISC MILL adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2008
SISKA ANDRIANI F14103117
Siska Andriani. F14103117. ”PENGUJIAN TEKNIK PENEPUNGAN BIJI JUWAWUT (Setaria italica (L.) Beauv.) MENGGUNAKAN PIN MILL DAN DISC MILL ”. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sam Herodian, MS. 2008. RINGKASAN Pangan merupakan kebutuhan mutlak manusia. Keberadaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin, sehingga pemenuhan kualitas hidup yang sehat akan terpenuhi. Di Indonesia, pola konsumsi dan produksi secara nasional sampai sekarang sangat ditekankan pada beras. Oleh karena itu, perlu dilakukan diversifikasi bahan pangan dengan mengembangkan tanaman dan bahan pangan alternatif pengganti beras, khususnya yang dapat tumbuh pada lahan-lahan kering. Tanaman yang banyak terdapat di Indonesia dan biasa dijadikan pakan burung adalah juwawut. Kendala pasca panen juwawut salah satunya adalah penepungan. Oleh karena itu, penelitian tentang perlakuan perendaman biji juwawut dan uji performansi mesin penepung yang tepat serta di analisis karakteristik fisik dan kimianya, perlu dilakukan sebagai pengetahuan tahap lanjut terhadap pemanfaatan biji juwawut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai Februari 2008 dan bertempat di Bengkel Departemen Teknik Pertanian, Laboratorium Seafast Center, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan yang dipakai untuk penelitian adalah biji juwawut dan air. Waktu yang digunakan pada penepungan juwawut adalah 0 jam (kontrol), 15 menit dan 6 jam. Masing-masing akan diujicobakan pada mesin pin mill dan disc mill. Hasil uji performansi dengan kapasitas, rendemen yang tinggi terdapat pada penepung pin mill, sedangkan susut tercecer lebih tinggi pada penepung disc mill. Hal ini terjadi karena pada penepung pin mill tidak terdapat saringan sehingga input yaitu biji juwawut akan tergiling dan langsung keluar sebagai output. Untuk penepung disc mill di dalam rumah penepungnya terdapat saringan dengan ukuran saringan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan kehalusan tepung. Selanjutnya hasil tepung dari kedua penepung diayak, dengan target lolos saringan 80 mesh. Hasil pengayakkan yang lolos pada 80 mesh, terdapat pada tepung hasil penggilingan dengan mesin disc mill dengan lama waktu rendam 15 menit dan 6 jam masing-masing 64.00% dan 58.9%. Sedangkan pada tepung hasil pin mill kebanyakan hanya mampu tembus ayakan 60 mesh dan jika dilanjutkan pada saringan 80 mesh, hasil yang tersaring sangat sedikit sekitar 5 %. Oleh karena itu, diketahui bahwa walaupun dari hasil uji performansi dengan penepung disc mill lebih rendah tetapi hasil yang diperoleh untuk mencapai target tembus 80 mesh lebih baik dari penepung pin mill. Selanjutnya untuk analisis fisik di pilih lama waktu rendam 15 menit dan 6 jam dari penepung disc mill. Analisis fisik difokuskan pada derajat putih, oHue, densitas kamba, sudut repos, indeks penyerapan air, indeks kelarutan air dan nilai kalor. Nilai analisis fisik dari perendaman 15 menit dan 6 jam tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sehingga, melalui pertimbangan efisiensi waktu rendam, maka dipilih tepung dengan waktu rendam15 menit untuk analisis kimia. Hasil analisis kimia yang diperoleh yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat berturut-turut 11.13%, 0.39%, 2.53%, 8.34% dan 77.61%.
PENGUJIAN TEKNIK PENEPUNGAN BIJI JUWAWUT (Setaria italica (L.) Beauv.) MENGGUNAKAN PIN MILL DAN DISC MILL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: SISKA ANDRIANI F14103117
2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segenap rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga Skripsi yang berjudul ”PENGUJIAN TEKNIK PENEPUNGAN BIJI JUWAWUT (Setaria italica (L.) Beauv.) MENGGUNAKAN PIN MILL DAN DISC MILL” dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dengan keikhlasan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. H. Sam Herodian, MS., selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan ide dan gagasan dalam penelitian ini. 2. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi. Dan Ir. Mad Yamin, MT., selaku penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Sri Widowati, M ScApp., yang telah memberikan masukan bagi kelancaran penelitian ini. 4. Ayahanda Dr. Ir. M. Hasan Yahya, MP., Ibunda Abidah dan Adikku Ulya Maqhfirah yang terus memberikan doa, dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Kaltika, Chacha, Sarwo, Mitha, Hanifah, Yandra, Bagus dan teman-teman satu tim lainnya yang saling memberikan bantuan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Dow2, Gawa, Naren, Ojan, Tsoe, Tejoe, Irwan, Ale, Dani, Endrico, Wil-ice, Alin, Yulis, Ryan ce, Ryan co, Perry, Bobby dan teman-teman seperjuangan yang penuh semangad untuk setia di tingkat 5 serta seluruh civitas TEP 40. 7. Teman-teman TMA 40 dan TIN 40 yang telah memberikan banyak dukungan semangat agar skripsi ini dapat selesai. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan juga bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor,
Maret 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh, pada tanggal 29 April 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Ayah yang bernama M. Hasan Yahya dan ibu yang bernama Abidah. Penulis telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada SDN 9 Banda Aceh pada tahun 1996, SLTPN 2 Banda Aceh pada tahun 1999 dan SMU Muhammadiyah 3 Yogyakarta pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan di terima di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah penulis pernah mengikuti Praktek Kerja Lapang di Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna (PPKS) PT Sampoerna Tbk., Pandaan, Jawa Timur pada tahun 2006. Selama di IPB penulis mengikuti organisasi yang ada di kampus, yaitu anggota PSDM Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) (20042005), Wartawan Koran Kampus (2004-2005), Anggota International Association of Agriculture and Related Sciences (IAAS) (2005-2008) dan Penyiar Radio Komunitas AGRI FM FEMA-IPB (2007).
Penulis juga pernah menjadi
koordinator asisten praktikum untuk mata kuliah mata kuliah Gambar Teknik untuk Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian IPB (2007). Prestasi non-akademik yang penulis peroleh selama di IPB adalah Juara Harapan II Lomba Inovasi Teknologi Lingkungan Tingkat Nasional di Institut Teknologi Surabaya (2006) dan Juara II Lomba Proposal Kewirausahaan ”Make The Real Bussiness Plan” FEMA-IPB (2007). Untuk menyelesaikan studi di IPB, penulis melakukan penelitian sebagai tugas akhir skripsi dengan judul ”PENGUJIAN TEKNIK PENEPUNGAN BIJI JUWAWUT (Setaria italica (L.) Beauv.) MENGGUNAKAN PIN MILL DAN DISC MILL”, di bawah bimbingan Dr. Ir. H. Sam Herodian, MS.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
v
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................... 1 B. Tujuan ........................................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sekilas Tentang Juwawut .......................................................................... 3 B. Pengolahan Biji Juwawut .......................................................................... 6 C. Mesin Penepung ........................................................................................ 9 D. Perendaman ............................................................................................... 11
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ...................................................................................
12
B. Bahan dan Alat ........................................................................................
12
C. Metode Penelitian ....................................................................................
13
1. Penelitian Pendahuluan ...................................................................
13
2. Penelitian Lanjutan ..........................................................................
16
2.1. Analisa uji performansi pada pin mill dan disc mill .........
16
2.2. Pengayakkan Tepung Juwawut ........................................
16
2.3. Analisa karakteristik Fisik Tepung Juwawut ...................
17
2.4. Analisa karakteristik Kimia Tepung Juwawut .................
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Performansi Mesin Penepung Juwawut ...........................................
22
B. Pengayakan ............................................................................................
25
C. Analisis Sifat Fisik ................................................................................
25
D. Analisis Sifat Kimia ..............................................................................
28
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .............................................................................................
32
B. Saran .......................................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
33
LAMPIRAN ..................................................................................................
35
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Tanaman juwawut, malai juwawut dan biji juwawut ...................... 4 Gambar 2. Penepung Pin mill ............................................................................ 9 Gambar 3. Penepung Disc mill .......................................................................... 10 Gambar 4. Hubungan antara lama perendaman dengan sebaran partikel tepung beras .................................................................................... 11 Gambar 5. Biji juwawut hasil penyosohan ulang ............................................. 13 Gambar 6. Diagram alir penelitian tepung juwawut ......................................... 15 Gambar 7. Histogram Kapasitas Penepung dengan Waktu Perendaman ......... 22 Gambar 8. Bentukan Hopper dari penepung Pin Mill dan Dics Mill ............... 23 Gambar 9. Histogram Rendemen Penepung dengan Waktu Perendaman ....... 23 Gambar 10. Granula kasar juwawut yang tertampung pada saringan 80 mesh . 24 Gambar 11. Histogram Susut Tercecer Penepung dengan Waktu Perendaman . 24
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Kandungan Gizi Berbagai Jenis Serealia ............................................
5
Tabel 2. Pembagian sampel untuk ditepungkan ................................................ 13 Tabel 3. Kadar air biji juwawut setelah rendam (sebelum penepungan) .......... 14 Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik tepung juwawut dari penepung disc mill ....... 25 Tabel 5. Hasil analisis fisiko-kimia tepung juwawut pada perendaman 15 menit dengan penepung disc mill .................................................... 29 Tabel 6. Standar kadar air dan kadar abu tepung-tepungan menurut SNI ......... 29
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Uji Performansi penepung biji juwawut dengan mesin Pin Mill .... 36 Lampiran 2. Uji Performansi penepung biji juwawut dengan mesin Disc Mill ... 39 Lampiran 3. Distribusi Ukuran Tepung Juwawut (%) ......................................... 42 Lampiran 4. Data Hasil Analisa Fisik tepung juwawut dari penepung Disc mill pada ayakan mesh 80 ………………………………… 44 Lampiran 5. Perhitungan Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA) ............................................................ 45 Lampiran 6. Hasil analisa nilai kalor tepung juwawut dengan penepung Disc mill ........................................................................ 46 Lampiran 7. Data dan perhitungan analisis sifat kimia tepung juwawut ........... 48 Lampiran 8. Granula tepung juwawut pada perbesaran 1000 kali (data tambahan) ............................................................................. 51
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang Pangan merupakan kebutuhan mutlak manusia. Keberadaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin, sehingga pemenuhan kualitas hidup yang sehat akan terpenuhi. Pada tahun 1984 Indonesia pernah dinyatakan sebagai negara yang berswasembada beras oleh FAO (Food and Agricultural Organization). Namun saat ini Indonesia justru menjadi salah satu importir beras yang terbesar di dunia.
Rata-rata impor beras yang dilakukan oleh Indonesia adalah 1.4 juta
ton/tahun (Yudohusodho dalam Gendam, 2006).
Berkurangnya kemampuan
produksi pangan dalam negeri tersebut disebabkan karena terjadinya konversi penggunaan lahan pada daerah-daerah pertanian potensial yang memiliki tanah yang subur dan beririgasi teknis menjadi daerah hunian dan industri, sebagai contoh adalah Kawasan Pantai Utara Pulau Jawa (Hamzah dalam Gendam, 2006). Pola konsumsi dan produksi nasional sampai sekarang sangat ditekankan pada beras.
Ketergantungan kita pada beras merupakan suatu bahaya besar.
Upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dewasa ini dilakukan dengan intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian dan diversifikasi bahan pangan. Ekstensifikasi diarahkan menuju pemanfaatan lahan kering yang menjadi bagian terbesar dari potensi lahan (Abdurrachman dalam Gendam, 2006). Diversifikasi bahan pangan dilakukan dengan mengembangkan tanaman dan bahan pangan alternatif pengganti beras, khususnya yang dapat tumbuh pada lahan-lahan kering seperti juwawut. Menurut Gruben dan Partohardjono (1996), juwawut diproduksi dan diperdagangkan secara lokal. Di China, sekitar 90% dikonsumsi oleh penduduk lokal dan 10% diperdagangkan secara lokal maupun internasional. China merupakan negara produsen millet terbesar di dunia, sebanyak 4.5 juta ton telah diproduksi diatas lahan seluas 2.5 juta ha di tahun 1998. Harga pasar untuk butir juwawut di China kira-kira sekitar 0.2-0.3 dolar Amerika Serikat per kilogram. Namun, produksi dunia mengalami kemunduran secara drastis sejak tahun 1950 dan posisi juwawut tergantikan oleh tepung terigu (gandum) dan tepung jagung di Eropa dan Rusia. Sedangkan di Asia, juwawut tergantikan oleh beras. Padahal
kandungan gizi yang terdapat pada juwawut mampu bersaing dengan serelia lain yang menguasai pasaran dunia.
Karbohidrat juwawut sebesar 84.2% berada
diurutan kedua setelah beras 87.7%, dan di bawah juwawut terdapat sorghum sebesar 82.6% dan gandum sebesar 82.4% (Grubben dan Soetjipto, 1996). Berbeda dengan Eropa dan Indonesia, juwawut dan jenis Setaria lain ditanam sebagai makanan unggas dan burung peliharaan. Selain itu, jenis Setaria italica liar dianggap dapat menjadi gulma yang merugikan pada kebun gandum dan tanaman polong-polongan, terutama di daerah yang beriklim hangat. Walaupun menurut Andrawina (2005), ada sebagian masyarakat seperti di Magelang yang memanfaatkan juwawut menjadi bahan pangan yaitu dijadikan bubur atau jenang, dimana dalam prosesi pernikahan, jenang memiliki tempat yang khusus, seperti dalam upacara jenang sumsuman. Upacara ini biasanya dilakukan setelah semua acara perkawinan selesai dengan lancar. Oleh karena itu, untuk mengajak masyakarat mulai beralih dan mencari pengganti tepung impor, maka penanganan pasca panen, terutama dalam pengolahan tepung juwawut harus sangat diperhatikan. Sehingga, juwawut yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan baik di Indonesia, dapat dimanfaatkan secara maksimal.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan perendaman biji juwawut terhadap hasil penepungan pada mesin penepung, untuk selanjutnya dianalisis karakteristik fisik dan kimianya.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. SEKILAS TENTANG JUWAWUT Menurut Skinner (2006) sistem klasifikasi (Taxonomy) dari tanaman Juwawut, adalah sebagai berikut : Kingdom
=
Plantae
Subkingdom =
Tracheobionta
Superdivisi
=
Spermatophyta
Divisi
=
Magnoliophyta
Kelas
=
Liliopsida
Subkelas
=
Commelinidae
Order
=
Cyperales
Family
=
Poaceae
Genus
=
Setaria Beauv.
Spesies
=
Setaria italica (L.) Beauv.
Gruben dan Soetjipto (1996), menjelaskan mengenai Vernacular names atau sebutan yang biasa di pakai pada negara-negara tertentu.
Orang Indonesia
mengenal tanaman ini dengan sebutan Juwawut (Javanese) atau jawawut (Sundanese). Lain halnya di negeri jiran Malaysia, tanaman ini dikenal dengan nama Sekoi, Sekui atau rumput ekor kuching. Pada negara yang menggunakan bahasa inggris lebih banyak, juwawut dikenal dengan nama Foxtail millet, Italian Millet dan German millet. Di negara Perancis tanaman ini di sebut dengan Petit mil, millet des oiseaux dan miliade.
Di dalam beberapa jurnal ilmiah yang
ditemui, tanaman juwawut ini lebih sering ditulis dengan nama botaninya Setaria italica atau Foxtail millet. Tanaman
Juwawut
yang
ditampilkan
pada
perkembangannya mungkin berasal dari rumput liar.
Gambar
1,
awal
Di dalam Gruben dan
Soetjipto (1996), diperkirakan juwawut didomestikasi pertama kali didataran tinggi China tengah, yang selanjutnya menyebar ke arah dataran India dan Eropa. Di negara China sendiri, tanaman ini menjadi salah satu hasil pertanian pokok, terutama pada masyarakat golongan bawah di daerah kering bagian China utara.
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Tanaman juwawut (a); malai juwawut (b); biji juwawut (c) Menurut Gruben dan Soetjipto (1996), juwawut termasuk kedalam tanaman tahunan jenis rumput-rumputan. Ciri-ciri tanaman ini mempunyai tinggi 60-120 cm (kurang dari 175 cm), sistem perakarannya padat dengan akar liar tipis dan liat dari buku terbawah. Batang tegak, lampai, menyirip dari tunas terbawah, namun kadang-kadang bercabang. Pelepah daun silindris, terbuka diatas, ligula pendek, berjumbai, helaian daun memita-melancip. Perbungaan malai seperti bulir, buliran berbentuk menjorong, bunga bawah steril, bunga atas hermaprodit. Bentuk biji membulat seperti telur dan lebar, melekat pada sekam kelopak dan sekam mahkota, warnanya kuning pucat hingga jingga, merah, coklat atau hitam. Diameter rata-rata biji juwawut adalah 2.43 mm x 1.91 mm x 1.35 mm dan berat berkisar 3.68 mg. Berat biji ini termasuk kecil jika dibandingkan dengan diameter dan berat biji sorghum, masing-masing yaitu 4.0 mm x 2.5 mm x 3.5 mm dan 28 mg. Namun, jika dibandingkan dengan biji buru hotong yang memiliki diameter rata-rata 1.68 mm x 1.31 mm x 1.10 mm dengan berat biji rata-rata 1.2 mg, dimensi biji juwawut justru lebih besar. Massa jenis rata-rata biji juwawut adalah 0.674 g/ml, dengan massa dan volume rata-rata sebanyak 674 g dan 1000 ml. Massa jenis tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan massa jenis biji buru hotong yaitu sebesar 0.726 g/ml (Nuryati, 2008). Perbanyakan juwawut dilakukan melalui biji, baik dengan ditaburkan atau ditanam dalam lubang. Kebutuhan benih 8 sampai 10 kg/ha. Juwawut dapat ditanam di daerah semi kering dengan curah hujan kurang dari 125 mm dengan masa panen 3-4 bulan. Jenis ini tidak tahan terhadap genangan dan rentan terhadap periode musim kering yang lama. Di daerah tropis, tanaman ini dapat
tumbuh pada daerah semi kering sampai ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Tanaman ini menyukai lahan subur tetapi dapat tumbuh dengan baik pada berbagai jenis tanah dari tanah berpasir hingga tanah liat yang padat, dan bahkan tetap tumbuh pada tanah miskin hara atau tanah pinggiran. Pemanfaatan juwawut di beberapa negara, karena kandungan gizi tanaman ini. Pada Tabel 1, dapat dilihat perbandingan gizi pada beberapa jenis serelia, sehingga diketahui bahwa juwawut mampu bersaing dengan serelia lainnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai karbohidrat juwawut yang berada di urutan nomor dua setelah beras yaitu sebesar 84.2 gram. Tabel 1. Kandungan Gizi Berbagai Jenis Serealia per 100 gram (edible portion) basis kering (Wu Leung et al. dalam Gruben dan Soetjipto, 1996) Juwawut Komposisi Beras Sorghum Gandum (Foxtail Millet) Kadar Air (%) 11.3 13.5 12 12.5 Energi (kJ) 1607 1711 1628 1586 Karbohidrat (gr) 84.2 87.7 82.6 82.4 Protein (gr) 10.7 8.8 11.4 13.3 Lemak (gr) 3.3 2.1 4.2 2.5 Serat (gr) Abu (gr) Ca (mg) Fe (mg) Vitamin A (mg)
1.4 1.8 37 6.2 0
0.8 1.3 18 3.2 0
2.5 1.7 25 4.3 0
2.4 1.8 55 3.8 0
Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg)
0.48 0.14 2.5
0.39 0.08 5.8
0.37 0.2 4.4
0.42 0.14 5.3
Gruben dan Soetjipto (1996), menyatakan bahwa di negara China sejak tahun 1990 juwawut telah diolah dalam skala industri untuk keripik mini, juwawut gulung kering dan tepung sebagai makanan bayi. Selain itu di negara ini juwawut dianggap sebagai makanan bergizi dan sering dianjurkan untuk wanita-wanita yang hamil dan orang tua. Lain halnya di India, juwawut sering ditanam dalam campuran dengan padi-padian, kapas dan gandum. Juwawut di negara ini dihargai sebagai makanan dan diperlakukan sebagai hidangan `suci` dalam upacara-
upacara yang religius. Kawasan Asia, Eropa bagian tenggara dan Afrika Utara butir juwawut digunakan untuk makanan manusia, dimasak dan dimakan seperti beras, baik utuh maupun ditepungkan. Hasil tepung dari juwawut yang ditumbuk, dibuat roti tak beragi atau sebagai roti beragi apabila tepung juwawut dicampur dengan tepung terigu. Variasi lain, tepungnya dibuat bubur dan puding. Kecambah juwawut digunakan sebagai sayuran. Kecambah ini terutama di Rusia dan Burma (Myanmar) digunakan sebagai bahan untuk membuat bir dan alkohol, dan di Cina digunakan untuk membuat cuka dan anggur.
Tanaman
juwawut dapat dikategorikan sebagai tanaman obat karena dipakai sebagai bahan diuretik dan astringent yang digunakan untuk mengobati rematik (Gruben dan Soetjipto, 1996).
B. PENGOLAHAN BIJI JUWAWUT b.1. Pembersihan Biji-bijian yang sudah dirontokan biasanya masih tercampur dengan tangkai biji-bijian, jerami, gabah hampa maupun kotoran lain yang tercampur pada waktu dirontokan, oleh sebab itu perlu dibersihkan.
Pembersihan yang
paling sederhana adalah dengan penampi (tampah). Pembersihan biji-bijian yang lebih modern adalah dengan menggunakan alat pembersih.
Cara kerja alat
pembersih biji-bijian ini adalah dengan prinsip perbedaan berat jenis.
b.2. Pengeringan Pengeringan biji-bijian bertujuan untuk menurunkan kadar air sampai batas kadar air yang aman untuk penyimpanan (Sutanto, 2006). Pengeringan merupakan kunci untuk menjamin mutu produk selama penyimpanan.
Untuk
skala kecil, pengeringan umumnya dilakukan secara alami dengan penjemuran. Penjemuran dilakukan dengan menghamparkan biji juwawut dengan ketebalan 10 cm dan dilakukan proses pembalikan secara berkala.
Pengeringan dilakukan
hingga mencapai kadar air layak simpan yang memerlukan waktu 3-4 hari tergantung pada kondis cuaca. Lantai penjemuran merupakan sarana pokok yang diperlukan untuk melakukan penjemuran.
Pengeringan juwawut secara mekanis dapat dilakukan dengan mesin pengering tipe bin dryer.
Laju pengeringan dipengaruhi oleh suhu dan
kelembaban udara pengeringan, aliran udara pengering dan kadar air bahan yang dikeringkan. Suhu pengeringan yang dianjurkan adalah 43oC untuk tujuan benih, 60oC untuk penggilingan atau pengolahan pangan dan 82oC untuk pakan ternak (Sutanto, 2006).
b.3. Penyosohan Menurut Hardjosentono et. al. dalam Sutanto (2006), mendefinisikan penyosohan sebagai suatu proses penghilangan sebagian atau seluruh katul yang terdapat pada beras pecah kulit hingga dihasilkan beras sosoh yang putih dan bersih. Terdapat dua bagian dalam proses penyosohan, yaitu (1) proses pemutihan dan penyosohan, pada proses pemutihan terjadi pengelupasan kulit perak dan lapisan dedak, dan (2) proses penyosohan biji-bijian menjadi biji-bijian putih, lapisan dedak yang masih tertinggal pada permukaan biji-bijian terpoles menjadi mengkilap. Penyosohan bertujuan untuk memisahkan kulit (sekam) dari butir biji dengan tingkat kerusakan minimum atau menghasilkan biji pecah kulit yang maksimum. Menurut Purwadaria dalam Sutanto (2006), dasar proses pengulitan dan penyosohan biji-bijian adalah sama seperti pada penggilingan padi yaitu memberikan gaya gesek pada biji sehingga kulit biji tersosoh dari dagingnya.
b.4. Penepungan (milling process) Menurut Hubeis (1984), penepungan terhadap serealia dan biji – bijian adalah salah satu proses tertua dan penting dalam pengolahan pangan yang dimulai dari penggunaan lumpang batu beserta alunya dan kemudian dilanjutkan dengan penepungan dengan batu pada pertengahan abad 19. Penepungan merupakan proses penghancuran bahan yang berada dalam ruang tertutup dimana terdapat bagian pemukul yang berputar pada porosnya, sehingga proses penghancuran berlangsung bersama perputaran bagian pemukul tersebut di dalam ruang penggiling (Soetojo, 1975). Proses penepungan dapat dilakukan beberapa kali sampai diperoleh hasil tepung dengan ukuran fraksi
tertentu, namun tidak mudah untuk memperoleh hasil tepung dengan ukuran partikel tertentu. Ukuran partikel hasil gilingan tersebar dalam banyak fraksi (Handerson dan Perry dalam Sutanto, 2006). Penepungan yang dilakukan pada biji – bijian menurut Hubeis (1984) bertujuan untuk 1) meningkatkan daya larut bahan dan daya pemisahannya, 2) mempercepat proses ekstraksi kandungan bahan mentah, 3) membuat ukuran tertentu yang berguna untuk konsumsi makanan manusia dan ternak, 4) meningkatkan luas permukaan bahan yang dapat mempersingkat waktu pengeringan dan waktu ekstraksi, 5) mempercepat proses pencampuran, 6) mempermudah proses penanganan lebih lanjut, 7) untuk penyimpanan, 8) meningkatkan ongkos produksi, 9) menimbulkan debu pada saat pengolahan, dan 10) kehalusan mengeringkan bahan asal pada tingkat kadar air tertentu untuk mendapatkan hasil giling yang memuaskan. Salah satu sifat fisik hasil pertanian yang penting hubungannya dengan penepungan adalah kekerasan bahan. Mengingat sifat biji – bijian yang keras, maka terdapat 2 (dua) cara yang dikenal dalam proses penepungan, yaitu penepungan cara basah dan cara kering. Penepungan cara kering (dry prosess) didefinisikan sebagai bahan yang ditepungkan melibatkan perlakuan fisik dan mekanik untuk membebaskan komponen – komponennya dari sifat aslinya. Sedangkan penepungan cara basah (wet prosess) adalah bahan yang digiling melibatkan perlakuan fisiko – kimia dan mekanik untuk memisahkan fraksi – fraksi yang diinginkan. Kedua cara tersebut pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian tepungnya. Tepung yang dihasilkan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu tepung yang mengandung lemak dan tidak mengandung lemak. Hal ini tergantung dari jenis bahan dasarnya (Hubeis, 1984). Penepungan secara kering relatif lebih baik dibandingkan dengan cara basah karena hasilnya dapat langsung disimpan tanpa harus mengalami proses pengeringan terlebih dahulu. Namun, dalam penepungan secara kering harus diperhatikan kemungkinan kerusakan produk karena panas yang terlalu tinggi serta kerusakan karena oksidasi.
C. MESIN PENEPUNG Menurut Leniger dan Baverloo (1975) ada dua jenis alat penepung bila dilihat dari keadaan bahan selama penepungan yaitu: 1) Penepungan tipe batch dimana selama penepungan bahan akan tetap ada dalam bak dan baru dikeluarkan bila penepungan telah selesai. 2) Penepungan tipe terusan (continue) yaitu dimana selama penepungan akan melewati penepungan selama sekali lintasan, dengan tipe alat ini hasil gilingan akan mempunyai ukuran yang tidak merata, karena itu alat harus diatur sedemikian rupa sehingga ukuran bahan sesuai yang diijinkan. Terdapat dua alat penepung yang digunakan pada penelitian ini yaitu pin mill dan disc mill. Perbedaan penepung pin mill dan disc mill terletak pada jenis mata penepung dan ada atau tidaknya saringan. c.1. Mesin Penepung Pin Mill Pin mil, penepung ini berbentuk lempengan besi dengan sirip pipih yang berada di sepanjang lempengan statis dan dinamis. Namun penepung ini tidak memiliki penyaring, sehingga semua bahan yang masuk akan tergiling dan langsung keluar sebagai output. Hal ini, berpengaruh pada keadaan kapasitas dan rendemen penepungan yaitu nilainya menjadi tinggi. Menurut Posner dan Hibbs (2005), pin mill banyak di pilih untuk menggiling biji-bijian menjadi tepung.
Tanpa saringa
output
(a)
(b)
Gambar 2. Penepung Pin mill (Posner et. al., 2005) (a); Mesin penepung Pin mill skala laboratorium (b)
c.2. Mesin Penepung Disc mill Disc mill merupakan suatu alat yang berfungsi untuk menggiling bahan serelia menjadi tepung, namun lebih banyak digunakan untuk menepungkan bahan yang sedikit mengandung serat dan juga suatu alat yang memperkecil bahan dengan tekanan dan gesekan antara dua piringan yang satu berputar dan yang lainnya tetap, seperti yang tampak pada Gambar 3. Kelebihannya penepung ini memiliki saringan dengan ukuran lubang saring yang dapat disesuaikan dengan kehalusan hasil penepungan. Seluruh tepung akan tersaring melalui saringan ini, sedangkan yang kasar akan tertinggal dibagian atas termasuk jika terdapat kotoran-kotoran seperti biji berkulit yang tidak ikut tersosoh. Pada penepung disc mill, bahan yang akan dihancurkan dilewatkan diantara dua cakram. Cakram yang pertama berputar dan yang lain tetap pada tempatnya. Prinsip kerja disc mill adalah berdasarkan gaya sobek dan gaya pukul. Bahan yang akan dihancurkan berada diantara dinding penutup dan cakram berputar. Bahan akan mengalami gaya gesek karena adanya lekukan–lekukan pada cakram dan dinding alat. Gaya pukul terbentuk karena ada logam–logam yang dipasang pada posisi yang bersesuaian. Efek penyobekan didapatkan karena adanya pergerakan salah satu cakram, selain itu bahan juga mengalami gesekan lekukan pada cakram dan dinding alat. Jarak cakram dapat diatur, disesuaikan dengan ukuran bahan dan produk yang diinginkan.
Saringan
(a)
(b)
Gambar 3. Mesin penepung disc mill (Posner et. al., 2005) (a); Mesin penepung disc mill skala laboratorium (b)
D. PERENDAMAN Perendaman merupakan cara paling sederhana yang sering dilakukan orang-orang jaman dahulu untuk memperoleh karakteristik fisik tepung yang halus dan biasanya dilakukan pada beras. Mengacu pada tujuannya, perendaman bermaksud untuk melunakkan endosprem dari biji yang akan ditepungkan. Artika (1987) dalam penelitiannya telah melakukan uji coba perendaman pada beras dalam pembuatan tepung beras.
Gambar 4. Hubungan antara lama perendaman dengan sebaran partikel tepung beras pada beberapa varietas dan jenis butir beras (Artika, 1987) Hasil
penelitian
Artika
menunjukkan
bahwa
perendaman
dapat
meningkatkan kehalusan pertikel tepung yang dihasilkan, seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Namun, penambahan waktu perendaman tidak memberikan
peningkatan terhadap kehalusan partikel tepung yang dihasilkan.
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu 1. Waktu Penelitian ini berlangsung selama 8 bulan, terhitung dari Juli 2007 sampai dengan Februari 2008.
Kegiatan penelitian meliputi penelitian pendahuluan;
penelitian lanjutan, yang terdiri dari uji performansi mesin penepung, analisis sifat fisik dan kimia; pengolahan data dan pembuatan laporan.
2. Tempat Penelitian telah dilakukan dibeberapa laboratorium, yaitu : 2.1. Bengkel Lewikopo, Departemen Teknik Pertanian - IPB 2.2. Laboratorium PAU, Seafast FTDC - IPB 2.3. Laboratorium Pengolahan Pangan, Ilmu dan Teknologi Pangan - IPB 2.4. Laboratorium L2, Ilmu dan Teknologi Pangan - IPB 2.5. Laboratorium Kimia Pangan, Ilmu dan Teknologi Pangan – IPB 2.6. Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Teknik Pertanian IPB
B. Bahan dan alat 1. Bahan Bahan yang akan digunakan pada saat penelitian adalah biji juwawut (Setaria italica (L.) Beauv.) dan air.
2. Alat Peralatan yang akan digunakan adalah mesin penyosoh, 2 mesin penepung yaitu : Disc Mill dan Pin Mill, Chromameter, ayakan, timbangan digital, Fluid Bed dryer, stopwatch, oven pengering,
sentrifuse, corong sudut respos, kain
saring, gelas ukur, vibrator, bomkalorimeter.
C. Metode Penelitian 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan juwawut adalah pembuatan tepung melalui perendaman. Waktu yang diambil berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Artika pada pembuatan tepung beras melalui perendaman.
Terdapat tiga
perlakuan yaitu kontrol (tanpa perendaman atau 0 jam) sebagai kontrol, 15 menit sebagai jangka waktu pendek dan 6 jam sebagai jangka waktu lama. Perlakuan perendaman dilakukan pada juwawut. Juwawut yang masih berkulit, di sosoh sebanyak 3 kali ulangan. Bertujuan untuk mendapatkan hasil biji sosohan yang bersih. Biji hasil sosohan dapat di lihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Biji juwawut hasil penyosohan ulang Hasil sosohan secara acak di ambil untuk dipersiapkan sebagai sampel kontrol dan perendaman, dengan berat masing-masing 1500 gram. Terdapat 12 sampel yang diperlukan. Pembagian sampel dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pembagian sampel untuk ditepungkan Waktu
Disc Mill
Pin Mill
Sampel 1 (g)
Sampel 2 (g)
Sampel 1 (g)
Sampel 2 (g)
Kontrol
1500
1500
1500
1500
15 menit
1500
1500
1500
1500
6 jam
1500
1500
1500
1500
Masing-masing sampel direndam dengan air biasa dengan perbandingan 1 : 2 atau hingga seluruh bahan dipastikan telah terendam. Sampel yang direndam
diletakkan pada suhu ruang. Pengontrolan harus dilakukan selama perendaman berlangsung. Selang waktu tertentu, bahan yang direndam diaduk perlahan, agar penyerapan air merata keseluruh biji juwawut. Biji juwawut yang telah mencapai waktu rendam, ditiriskan sambil diangin-anginkan. Kadar air dari biji tiris dan layak giling berkisar antara 15 % 16 % (Tabel 3), sedangkan biji juwawut sebagai kontrol kadar airnya sebesar 12.03%. Selanjutnya, biji tiris ditepungkan dengan mesin disc mill dan pin mill. Pada penepungan awal tepung hasil giling tiris dikering dengan fluid bed dryer sekitar 10 menit. Setelah itu baru dilakukan penepungan kembali. Proses dapat dilihat pada diagram alir Gambar 6. Tabel 3. Kadar air biji juwawut setelah rendam (sebelum penepungan) Waktu rendam 15 menit 6 jam
Pin mill Rataan KA Kadar air (%) (%) 16.29 16.21 16.13 15.73 15.69 15.65
Disc mill Kadar air Rataan KA (%) (%) 16.64 16.62 16.61 15.55 15.64 15.74
Mulai
Pembersihan biji juwawut
Penyosohan biji juwawut (3 kali lintasan)
Seluruh biji juwawut sosoh dihomogenkan
Kontrol (tanpa rendam)
Perendaman 15 menit
Perendaman 6 jam
Ditiriskan, KA : 15% – 16%
Penepungan I
Disc Mill
Pinn Mill
Pengeringan
Penepungan ke-2 dan ke-3
Disc Mill
Pinn Mill
Pengayakan pada saringan 80 mesh
Waktu perendaman yang dipilih
Analisis Lanjutan
Selesai
Gambar 6. Diagram alir penelitian tepung juwawut
2. Penelitian Lanjutan 2.1 Analisa uji performansi pada pin mill dan disc mill 2.1.1 Kapasitas Penepungan Kpn =
Wpn x 3600 ………………….. (1) t
dimana : Kpn = kapasitas penepungan (kg/jam) Wpn = berat biji juwawut sosoh (kg) t
= waktu penepungan (detik)
2.1.2 Efektivitas Penepungan (rendemen) ηt =
Wpn x 100% ............................. (2) Ws
dimana : ηt
= rendemen penepungan (%)
Wpn = berat hasil penepungan (kg) Ws
= berat biji juwawut sosoh (kg)
2.1.3 Susut Tercecer Penepungan Stp =
Wtc x 100% ............................ (3) Wts
dimana : Stp = susut tercecer penepungan (%) Wtc = berat tepung tercecer (kg) Wts = berat tepung keseluruhan (kg)
2.2
Pengayakan Tepung Juwawut Hasil pengayakan tyler kurang maksimal, maka dilakukan pengayakan
secara manual.
Pengayakan manual dipilih karena setelah beberapa kali
melakukan pengayakkan pada mesin pengayak, tepung tidak mampu tersaring secara maksimal, terutama pada saat mengayak di saringan mesh 80 atau lebih. Pengayakan manual dilakukan dengan tangan melalui gerakan menghentak dan memutar.
2.3 Analisa karakteristik Fisik Tepung Juwawut 2.3.1 Pengukuran Warna Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter. Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, setelah menekan tombol start akan diperoleh nilai L, a dan b, masing-masing dengan kisaran 0 sampai + / - 100. Ketiga parameter tersebut merupakan ciri sistem notasi warna hunter. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung °Hue dengan rumus : ° Hue = tan
−1
b ………………………. (4) a
Dimana jika hasil : §
18 – 54°
maka produk berwarna Red (R)
§
54 – 90°
maka produk berwarna Yellow Red (YR)
§
90 – 126°
maka produk berwarna Yellow (Y)
§
126 – 162°
maka produk berwarna Yellow Green (YG)
§
162 – 198°
maka produk berwarna Green (G)
§
198 – 234°
maka produk berwarna Blue Green (BG)
§
234 – 270°
maka produk berwarna Blue (B)
§
270 – 306°
maka produk berwarna Blue Purple (BP)
§
306 – 342°
maka produk berwarna Purple (P)
§
342 - 18°
maka produk berwarna Red Purple (RP)
Adapun nilai derajat keputihan diperoleh dengan rumus : W = 100 −
{(100
(
− L) + a2 + b2 2
)} ................... (5)
dimana : W
= derajat putih (diasumsikan nilai 100 paling sempurna yaitu BaSO2)
L
= menunjukkan kecerahan
a
= warna merah bila positif dan warna hijau bila negatif
b
= warna kuning bila positif dan warna biru bila negatif
2.3.2 Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) Gelas ukur yang digunakan memiliki volume 100 ml. Sampel dimasukkan ke dalamnya sampai volume mencapai 100 ml. Pengisian diusahakan tepat pada batas garis dan jangan dipadatkan.
Selanjutnya gelas ukur berisi sampel
ditimbang dan selisih berat menyatakan berat sampel per 100 ml. Densitas kamba dinyatakan dalam gr/ml. 2.3.3 Sudut Repos (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 100 gram dituang ke permukaan yang rata melalui corong dengan ketinggian 10 – 15 cm. Kemudian diukur tinggi dan lebar alasnya. Sudut repon = arc tan (t / 0.5 l), dimana : t = tinggi (cm) dan l = lebar (cm). 2.3.4
Indeks Penyerapan Air dan Indeks Kelarutan Air, metode Anderson (Paton dan Spratt dalam Umaryadi, 1998) Sebanyak 1.0 gram tepung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse dan
ditambahkan 10 ml aquades.
Bahan diaduk dengan sudip dan dilanjutkan
menggunakan vibrator dengan waktu yang seragam antara semua sampel agar bahan terdispersi. Selanjutnya tabung di sentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit pada suhu ruang. Supernatan yang diperoleh dituangkan secara hati-hati ke dalam wadah lain dan ditimbang. Tabung sentrifuse beserta residunya dipanaskan dalam oven 50°C selama 25 menit pada posisi miring (25°) dan setelah itu ditimbang. Sebanyak 2 ml supernatan dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan pada oven 105°C selama 1 jam, lalu didinginkan dan ditimbang bahan yang terlarut dalam supernatan. Indeks penyerapan air dinyatakan dalam ml/gr, dan indeks kelarutan air dinyatakan dalam gr/ml. Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 5. 2.3.4 Kandungan Kalori (Metode Bomb kalorimeter) Alat yang digunakan untuk menghitung nilai kalor tepung juwawut adalah Bomb kalorimeter tipe adiabatik. Satu gram tepung sampel yang telah dibuat dalam bentuk pelet, diikat pada kawat nikel yang terdapat pada wadah bakar, kedua ujung nikel dihubungkan ke elektroda lalu dimasukkan kedalam bomb dan ditutup dengan baik. Melalui drat
dialirkan oksigen sampai mencapai tekanan 20 – 30 atm.
Selanjutnya air
dimasukkan kedalam tangki pemanas sampai ketinggian maksimum (2 liter) dan dipanaskan sampai suhu 85°C. Air sebanyak 2100 gram dimasukkan ke bejana dalam yang kemudian diletakkan pada bejana tengah.
Pada bejana dalam
diletakkan bomb yang bersama-sama dengan bejana tengah dimasukkan ke dalam jaket. Kabel penyulut dihubungkan dengan bautnya dan kalorimeter kemudian di tutup dengan sempurna. Jaket diisi dengan air sampai bejana tengah terendam. Setelah mengatur belt pemutar dan termometer Beckman kemudian penyulut dihubungkan. Pada saat motor dihidupkan strovoskop akan menunjukkan angka 800 – 850 rpm. Seterusnya suhu awal air dibaca. Tombol hot water valve ditekan selama 1-2 detik untuk memasukkan air panas ke dalam jaket. Kemudian tombol ignition ditekan untuk memulai pembakaran. Jika suhu air pada bejana dalam mulai naik, tombol hot water valve ditekan untuk menaikkan suhu air pada jaket mengikuti kenaikkan suhu air pada tabung dalam. Bagian terakhir suhu air pada bejana dalam dicatat (nilai sebelum, pada saat dan sesaat) setelah kenaikkan suhu tidak terjadi lagi. Nilai kalor bahan dihitung menggunakan rumus :
NK b =
T ( N a + Wa ) x 4.186 ……………… (6) Wb
dimana : NKb
= nilai kalor bahan (J/gr)
Wa
= berat air pada bejana dalam (gr)
Wb
= berat bahan (gr)
T
= kenaikkan suhu pada bejana dalam (°C)
Na
= 592.5 gr
2.4. Analisa karakteristik Kimia Tepung Juwawut 2.4.1 Kadar air Kadar air tepung ditentukan dengan menggunakan oven pada suhu 105oC (AOAC dalam Badrudin, 1994). Sampel awal ditimbang di dalam cawan kadar air yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya, kemudian dikeringkan dalam
oven sampai diperoleh berat tetap. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut : Ka (% bb) =
Wa − Wb x 100% …………...………………………..(7) Wa
dimana : Ka = kadar air (%) Wa = berat awal sampel (gram) Wb = berat akhir sampel (gram) 2.4.2 Kadar abu (Fardiaz et al. dalam Ainah 2004) Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC, selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3 – 5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 – 600 oC selama 4 -6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Perhitungan kadar abu menggunakan rumus berikut ini :
Kadar abu ( % ) =
Wabu ( g ) x 100 % ....................... (8) Wsampel ( g )
2.4.3 Kadar lemak Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC, setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana). Lamanya waktunya sekitar 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi.
Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstruksi
dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Rumus yang digunakan untuk menghitung kadar lemak adalah :
Kadar lemak ( % ) =
Wlemak x 100 % ......................... (9) Wsampel
2.4.4 Kadar Protein Metode analisis yang digunakan adalah Kjeldahlmicro (Fardiaz et al. dalam Badrudin, 1994).
Produk yang telah ditepungkan ditimbang dan
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml bersama dengan campuran K2SO4 dan CuSO4 (1:2) sebanyak 1 gram dan 2 ml H2SO4, lalu didestruksi sampai diperoleh larutan hijau jernih. Cairan dibiarkan dingin, lalu ditambahkan akuades secara perlahan-lahan. Setelah dingin, isi labu dipindahkan ke alat destilasi dengan penambahan NaOH sampai terbentuk warna hitam lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 100 ml yang berisi 5 ml asam borat jenuh dan 2-3 tetes indikator, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N. Larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut :
Kadar N ( % ) =
( ml HCl − ml blanko ) x Normalitas x 14.007 x 100 ...... (10) mg sampel
Kadar protein ( % ) = % N x faktor koreksi ( 6.25) ................................... (11)
2.4.5 Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (P + KA + A + L) ........................... (12) dimana :
P
= kadar protein (%)
KA
= kadar air (%)
A
= kadar abu (%)
L
= kadar lemak (%)
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. UJI PERFORMANSI MESIN PENEPUNG JUWAWUT Perlakuan perendaman berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dibandingkan biji juwawut yang tidak direndam (kontrol). a.1 Kapasitas Penepungan Juwawut Kapasitas penepungan menunjukkan kemampuan alat penepung, yaitu kemampuan menepung sejumlah bahan dalam waktu tertentu. Pada penepungan yang dilakukan sebanyak 3 kali lintasan per sampelnya, mesin penepung pin mill memiliki kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan disc mill seperti yang ditampilkan pada histogram Gambar 7. Kapasitas pin mill bernilai tinggi pada perendaman 6 jam yaitu 8.36 kg/jam sedangkan untuk perendaman 15 menit kapasitasnya tidak jauh berbeda yaitu 8.19 kg/jam. Mesin penepung disc mill memiliki kapasitas tinggi pada perendaman 15 menit yaitu 5.08 kg/jam dan tidak jauh berbeda dengan perendaman 6 jam yaitu 5.07 kg/jam.
10 8 Pin Mill Disc Mill
Kapasitas 6 (kg/jam) 4 2 0 kont r ol
1 5 men it
6 j am
Waktu perendaman
Gambar 7. Histogram Kapasitas Penepung dengan Waktu Perendaman Pada dasarnya, bahan yang dimasukkan harus dilakukan sedikit demi sedikit. Karena apabila dipaksakan maka akan terjadi penumpukan pada bagian penepungnya, sehingga mendorong motor penggerak mengeluarkan tenaga besar yang akan menyebabkan temperatur mesin meningkat dan akhirnya mesin akan mati atau bersuara tidak normal dan dapat terjadi konsleting atau kerusakkan pada motor penggerak.
Kapasitas menjadi rendah dikarenakan bentukan hopper dari kedua mesin yang berukuran kecil (Gambar 8) dan ada atau tidaknya saringan pada penepung. Bahan yang dimasukkan pada penepung disc mill harus dilakukan sedikit lebih lama dibandingkan pin mill yang tidak memiliki saringan, keadaan ini yang menyebabkan kapasitas pin milll menjadi lebih tinggi dibandingkan disc mill.
(a)
(b)
Gambar 8. Bentukan Hopper dari penepung Pin Mill (a) dan Dics Mill (b) a.2 Rendemen Penepungan Juwawut Rendemen menunjukkan persen hasil, yaitu perbandingan berat akhir dan berat awal penepungan dikalikan 100. Pada histogram Gambar 9, dapat diketahui bahwa rendemen pin mill masih memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan disc mill. Perendaman 15 menit dan 6 jam pada Pinn mill tidak menunjukkan perbedaan rendemen yang terlalu jauh yaitu 89.53% dan 89.70%. Disc mill pada perendaman 15 menit memiliki rendemen 81.40%, dimana pada perendaman 6 jam nilai yang diperoleh tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan yaitu 80.17%.
100 80
Pi n Mill Di sc Mil l
Rendemen 6 0 (%) 40 20 0 Ko n t r o l
1 5 men it
6 j am
Waktu Perendaman
Gambar 9. Histogram Rendemen Penepung dengan Waktu Perendaman
Perbedaan rendemen antara pin mill dan disc mill ini berdasarkan ada atau tidaknya saringan pada penepung. Rendemen pada pin mill menjadi tinggi karena semua bahan yang ditepungkan langsung keluar sebagai output tanpa melalui proses penyaringan terlebih dahulu, sedangkan juwawut yang ditepungkan dengan disc mill, output yang dihasilkan telah melalui proses penyaringan yang saringannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dalam penelitian ini digunakan saringan 80 mesh. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa bahan yang tidak lolos saringan berupa granula kasar yang masih tercampur dengan kulit yang tidak ikut tersosoh.
Gambar 10. Granula kasar juwawut yang tertampung pada saringan 80 mesh a.3 Susut Tercecer Penepungan Juwawut Besarnya susut tercecer tepung juwawut terdapat pada penepung Disc mill yaitu sebesar 18.90% pada perendaman 6 jam dan tidak jauh berbeda dengan perendaman 15 menit yaitu 17.27%. Hal ini berhubungan erat dengan adanya saringan pada mesin penepung. Apabila dibandingkan dengan kontrol dari kedua penepung seperti pada histogram Gambar 11, nilai susut tercecer lebih tinggi dibandingkan juwawut yang tidak direndam, sehingga diketahui melalui kedua penepung tersebut proses perendaman lebih baik dibandingkan tanpa di rendam.
25 20 Pin Mill Disc Mill
Susut tercecer 1 5 (%) 10 5 0 Ko n t r o l
1 5 men it
6 j am
Waktu perendaman
Gambar 11. Histogram Susut Tercecer Penepung dengan Waktu Perendaman
B. PENGAYAKAN Penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan tepung juwawut yang dapat melewati saringan dengan ukuran 80 mesh. Penepung disc mill, pada perendaman 15 menit memiliki hasil ayakan lebih tinggi yaitu 64% dan perendaman 6 jam sebesar 58.9%. (Lampiran 3). Penepung pin mill yang pada awalnya memiliki kapasitas dan rendemen lebih tinggi serta susut tercecer yang lebih kecil, justru tidak mampu menembus saringan 80 mesh. Hasil pengayakkan dari penepung pin mill hanya mampu tembus ayakan 60 mesh, dan jika dapat tembus 80 mesh hanya sekitar 4%. Hal ini berhubungan erat dengan ada tidaknya saringan pada penepung. Pin mill yang tidak memiliki penyaring di dalam mesinnya, menghasilkan tepung yang masih tercampur dengan sisa-sisa kulit sosoh juwawut atau tidak meratanya tingkat kehalusan tepung pada saat digiling. Sedangkan disc mill walaupun kapasitas dan rendemennya berada di bawah pin mill serta susut tercecer yang lebih tinggi, tetapi kualitas tepungnya ternyata lebih baik, karena akan terlihat granula tepung yang kasar dan halus terpisah melalui saringan.
Sehingga, berdasarkan hasil
pengayakan, penepungan melalui disc mill dengan perendaman 15 menit dan 6 jam dipilih untuk di analisis lebih lanjut. C. ANALISIS SIFAT FISIK Hasil analisis fisik tepung juwawut dari penepung disc mill dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik tepung juwawut dari penepung disc mill Waktu Perendaman Sifat Fisik 15 menit 6 jam Derajat putih (%)
65.18
65.09
°Hue (derajat)
60.68
50.23
Densitas kamba(g/ml)
0.72
0.71
Sudut repos (derajat)
49.33
48.72
Indeks Penyerapan Air (ml/g)
1.0827
1.2478
Indeks Kelarutan Air (g/ml)
0.0011
0.0008
Nilai kalor (kal/g)
4105.28
4154.63
c.1. Pengukuran Warna Pada umumnya mutu bahan pangan tergantung pada faktor-faktor seperti citarasa, tekstur, warna, nilai gizi dan sifat mikrobiologisnya. Namun sebelum faktor-faktor tersebut, secara visual konsumen akan lebih tertuju pada faktor warna dan biasanya akan sangat menetukan (Winarno dalam Artika, 1987). Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan chromameter. Dari alat tersebut dapat diketahui nilai L, a dan b, yang masing-masing mempunyai kisaran 0 sampai +/- 100 dan °Hue.
Pengaruh perendaman terhadap
meningkatnya derajat putih tepung dikarenakan perendaman bersifat melarutkan lapisan aleuron yang berwarna coklat cerah yang masih menempel pada biji juwawut sosoh. Derajat putih suatu bahan merupakan kemampuan bahan untuk memantulkan cahaya yang mengenai permukaannya (BPPIS dalam Ainah 2004). Derajat putih tepung dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5). Pada perendaman 15 menit derajat keputihannya bernilai 65.18% sedikit lebih tinggi dari perendaman 6 jam yaitu 65.09%. Oleh karena itu, perendaman 15 menit lebih efektif. Nilai tersebut masih berada di bawah berbagai jenis tepung yang beredar di pasaran. Contohnya derajat putih tepung terigu Cakra Kembar, Kunci Biru dan Tapioka merek Alini, masing-masing sebesar 78.2%, 80.3% dan 98.8% (Ainah, 2004). Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor. Misalnya proses pengupasan yang tidak segera diikuti oleh perendaman.
Hal ini menyebabkan adanya
kesempatan bagi enzim untuk aktif sehingga akan terbentuk komponen coklat (melanin). Selain itu, karena hasil sosohan dari biji juwawut masih belum sempurna. Walaupun telah dilakukan penyosohan sebanyak tiga kali ulangan, kemudian direndam dan saat menggiling pada penepung sudah di saring dengan penyaring 80 mesh serta dilanjutkan kembali di ayak dengan saringan 80 mesh (Lampiran 8b), dikhawatirkan masih terdapat bagian kulit yang tertinggal dan ikut menjadi butiran tepung, sehingga tercampur dan mempengaruhi warna tepung. Warna dari tepung juwawut ini juga dapat diketahui. Berdasarkan notasi warna Hunter maka perendaman 15 menit dengan nilai °Hue sebesar 60.68
memiliki warna kuning kemerahan, sedangkan perendaman 6 jam dengan nilai °Hue sebesar 50.23 memiliki warna merah. Semakin tinggi nilai °Hue maka warnanya semakin pucat (kuning) karena bahan yang °Hue-nya berkisar antara 90–126 adalah berwarna kuning.
c.2. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik dari bahan pangan berupa tepung. Nilainya dinyatakan dalam g/ml dan akan menurun dengan menurunnya massa bahan. Pengetahuan tentang densitas kamba diperlukan terutama dalam hal penyimpanan maupun pengangkutan. Semakin besar densitas kamba, maka biaya transportasi akan semakin murah karena memerlukan ruang yang lebih kecil dalam pengangkutan. Besar nilai densitas kamba dari tepung dengan perendaman 15 menit sebesar 0.72 g/ml, sedangkan perendaman 6 jam sebesar 0.71 g/ml. Apabila dibandingkan dengan nilai densitas kamba tepung terigu Cakra Kembar, Segitiga Biru, tepung tapioka cap Istana dan tepung sukun (Wincy, 2001) yang nilainya masing-masing 0.48, 0.50, 0.44, 0.53 g/ml, maka nilai densitas kamba tepung juwawut lebih tinggi. Tingginya nilai ini menunjukkan bahwa tepung juwawut yang dihasilkan lebih ekonomis dalam hal penyimpanan dan pengangkutan karena membutuhkan ruang yang lebih kecil.
c.3. Sudut Repos Sudut repos juga merupakan sifat fisik bahan yang dipengaruhi oleh ukuran dan kadar air bahan. Dalam dunia industri, pengetahuan mengenai sudut repos erat kaitannya dengan penyimpanan bahan berbentuk curah dalam silo. Nilai sudut repos juga dipakai sebagai dasar dalam menentukan besar kecilnya sudut corong yang digunakan untuk pengisian tepung ke dalam karung atau wadah pengepak lainnya sehingga pengemasan atau pengepakan dapat berjalan lancar. Sudut repos tepung juwawut pada perendaman 15 menit sebesar 49.33 derajat, sedangkan perendaman 6 jam sebesar 48.72 derajat. Nilai yang dihasilkan tersebut lebih besar dibandingkan sudut repos tepung terigu Cakra Kembar, Segitiga Biru, tepung tapioka cap Istana Bangkok dan tepung sukun yang masing-
masing sebesar 47.2, 47.6, 41.8 dan 40.4 derajat (Wincy, 2001).
Dengan
demikian, tepung juwawut bersifat menumpuk atau tidak menyebar.
c.4. Indeks Penyerapan Air dan Indeks Kelarutan Air Indeks penyerapan air untuk perendaman 15 menit dan 6 jam adalah 1.0827 ml/g dan 1.2478 ml/g, sedangkan indeks kelarutan air adalah 0.0011 g/ml dan 0.0008 g/ml. Menurut Gomez dan Aguilera dalam Umaryadi (1998), indeks penyerapan air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari makromolekul, yaitu pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Indeks penyerapan air merupakan jumlah air yang dapat diserap oleh tepung dengan satuan ml/g. Faktor-faktor yang terlibat dalam proses penyerapan air yaitu macam sifat protein serta keadaan fisik patinya (Ahza dalam Puspitaningtyas, 2004)
c.5. Kandungan Kalori Penentuan nilai kalor sangat berguna dalam membuat perkiraan potensi nilai nutrisi makanan. Unit yang umum digunakan untuk menentukan nilai energi dari makanan adalah besaran kilo kalori yang sama dengan 1000 kalori (Woods dalam Febriyanti, 1990). Kandungan kalori yang terdapat pada tepung juwawut dengan perendaman 15 menit dan 6 jam masing-masing adalah 4105.28 kal/g dan 4154.63 kal/g.
D. ANALISIS KIMIA Analisis fisik pada perendaman 15 menit dan 6 jam tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sehingga dipilih perendaman 15 menit untuk di analisis kimia dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5. Perendaman 15 menit dipilih karena tidak memakan waktu lama yang pengaruhnya akan terlihat pada saat memproduksi tepung dalam jumlah besar.
Tabel 5. Hasil analisis fisiko-kimia tepung juwawut pada perendaman 15 menit dengan penepung disc mill Variabel analisis
Hasil analisis (% bb)
Kadar air
11.13
Kadar abu
0.39
Kadar protein
8.34
Kadar lemak
2.53
Kadar karbohidrat
77.61
Tabel 6. Standar kadar air dan kadar abu tepung-tepungan menurut SNI SNI
Jenis tepung
Kadar air (% bb)
Kadar abu (%bb)
SNI 01-3751-2000 Terigu
maksimum 14.5
maksimum 0.6
SNI 01-4447-1998 Ketan
maksimum 12
maksimum 1.0
SNI 01-3729-1995 Sagu
maksimum 13
maksimum 0.5
SNI 01-3727-1995 Jagung
maksimum 10
maksimum 1.5
SNI 01-3726-1995 Hunkwe
maksimum 14
maksimum 0.5
SNI 01-3549-1994 Beras
maksimum 11
maksimum 1.0
SNI 01-2997-1992 Singkong
maksimum 12
maksimum 1.5
d.1. Kadar Air Proses pengeringan dalam pembuatan tepung bertujuan untuk menurunkan jumlah air yang dikandung bahan mentah sampai batas tertentu.
Melalui
pengeringan, laju kerusakan bahan akibat proses mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi dapat dihambat. Menurut Fardiaz dalam Noviarso (2003), batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14 -15 %. Oleh karena itu, agar produk tepung yang dihasilkan dapat awet maka kadar air sebaiknya di bawah 15 %. Hasil analisa tepung juwawut diperoleh kadar air sebesar 11.13 % bb. Nilai kadar air tersebut telah memenuhi standar kadar air tepung-tepungan menurut SNI (Tabel 6).
d.2. Kadar Abu Abu atau mineral merupakan komponen yang tidak mudah menguap pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik atau bahan alam (Soebito dalam Wincy, 2001). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Mineral-mineral terdiri atas kalsium, natrium, klor, fosfor, belerang, magnesium dan komponen lain dalam jumlah kecil. Kadar abu tepung juwawut adalah sebesar 0.39%. Hal ini menunjukkan bahwa komponen anorganik yang ada pada tepung juwawut sedikit. Tepung ini termasuk ke dalam tepung yang baik karena kadar abu yang rendah dan nilainya telah memenuhi kriteria kadar abu SNI untuk tepung-tepungan yaitu maksimal 0.6 - 1.5 %. d.3. Kadar Protein Kadar protein berperan di dalam pembentukan adonan yang baik serta pembentukan “crust” pada proses pembakaran adonan.
Dari hasil analisis di
peroleh nilai kadar protein tepung juwawut sebesar 8.34 %. Nilai tersebut berada diatas standar kadar protein tepung terigu menurut SNI 01-3751-2000, yaitu minimal 7.0 % bb (Wincy, 2001). Namun masih berada di bawah nilai kadar protein dari tepung terigu merek Cakra Kembar dan Segitiga Biru yaitu 13.5 % dan 11 % (Ainah, 2004). Tepung terigu yang dibuat dari biji gandum merupakan bahan pembuat kue dan produk bakery lainnya. Tepung yang ideal untuk menghasilkan kue kering dan bermutu tinggi adalah tepung terigu lunak. Tepung ini biasanya tidak diputihkan, berkadar protein 8-10 % dan berkadar abu 0.4 %.
Warna tepung
agak sedikit gelap, tetapi jenis tepung ini memungkinkan kue kering merata dengan baik (Anonimous dalam Wincy, 2001). Menurut Apriyantono (2006), tepung terigu keras mengandung gluten sekitar 13% dan tepung terigu lunak memiliki kandungan gluten sekitar 8.3%. Gluten inilah yang bertanggungjawab terhadap sifat pengembangan adonan tepung terigu setelah ditambah air dan ditambah bahan pengembang atau difermentasi dengan menggunakan ragi/yeast (gist)
Berdasarkan informasi tersebut, tepung juwawut yang memiliki gluten 9.4 % (Kulp dan Joseph, 2000), dengan kadar protein dan kadar abu yang memenuhi standar syarat kue kering dan bermutu tinggi, mungkin dapat menggantikan tepung terigu lunak sebagai alternatif lain pembuat kue kering. d.4. Kadar Lemak Lemak adalah polimer yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Dari hasil analisa, kadar lemak tepung juwawut 2.53 %. Kadar lemak tepung juwawut lebih besar dibandingkan kadar lemak tepung terigu Cakra Kembar, Segitiga Biru dan Kunci Biru, yaitu sebesar 0.9 % (Spesifikasi tepung PT. Indofood Sukses Makmur Bogasari Flour Mills dalam Wincy, 2001). d.5 Kadar Karbohidrat Rasa manis pada tepung salah satunya dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat yang terdapat dalam bentuk gula sederhana. Semakin manis rasa tepung, maka kandungan karbohidrat dalam bentuk gula sederhananya juga semakin tinggi dan kandungan patinya akan semakin rendah. Menurunnya kadar air bahan pangan selama proses pengeringan menyebabkan meningkatnya kadar karbohidrat di dalam massa yang tertinggal. Jumlah karbohidrat yang ada per satuan berat di dalam bahan pangan kering lebih besar dibandingkan dalam bahan pangan segar. Kadar karbohidat tepung juwawut (by difference) yang diperoleh adalah 77.61 %. Kadar karbohidrat yang cukup tinggi pada tepung juwawut memiliki potensi sebagai sumber karbohidrat baru.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Hasil uji performansi penepung pin mill dan disc mill dari biji juwawut dengan perlakuan perendaman selama 0 jam atau kontrol, 15 menit dan 6 jam diperoleh bahwa : •
Penepung pin mill memiliki kapasitas dan rendemen lebih tinggi dibandingkan disc mill, dengan susut tercecer lebih tinggi pada penepung disc mill.
•
Tingkat kelolosan pada saringan 80 mesh lebih banyak pada penepung disc mill dengan perlakuan perendaman 15 menit sebesar 64% dan perendaman 6 jam sebesar 58.9%, sedangkan pin mill hasil pengayakan terbesar hanya berada pada 60 mesh yaitu perendaman 15 menit sebesar 54.20% dan perendaman 6 jam sebesar 60.05%.
2. Metode kering dengan perlakuan perendaman dapat meningkatkan kehalusan tepung juwawut. 3. Karakteristik fisik diujikan pada tepung hasil giling penepung disc mill. Dari sampel 15 menit dan 6 jam yang dianalisis dari tingkat derajat putih, oHue, densitas kamba, sudut repos, indeks penyerapan air, indeks kelarutan air, dan nilai kalor, hasil yang diperoleh tidak menunjukkan perbedaan angka yang signifikan, sehingga dipilih waktu rendam 15 menit untuk efisiensi waktu. 4. Tepung juwawut hasil perendaman 15 menit memiliki kadar protein dan kadar abu masing-masing bernilai 8.34 % dan 0.39 %. Hasil analisis ini memenuhi persyaratan sebagai alternatif pengganti tepung terigu lunak.
B. Saran 1. Untuk mendapatkan produktivitas penggilingan yang lebih baik sebaiknya jumlah juwawut yang digiling lebih banyak, sehingga persen susut tercecer semakin kecil. 2. Modifikasi hopper pada disc mill, untuk melancarkan pemasukan biji juwawut yang akan digiling sehingga hasil penepungan dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, K., Tambunan, A.H., dan Yamin, M. 1990. Pedoman Praktikum Energi dan Listrik Pertanian. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. IPB, Bogor. Andrawina. 2006. Nikmatnya Aneka Jenang Berkhasiat dari Magelang. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/19/jateng/35917.htm. Ainah, Nurul. 2004. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Biji Bunga Teratai Putih (Nymphae pubescens Willd) dan Aplikasinya Pada Pembuatan Roti. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. AOAC.1984.Official Methode of Analysis. Assosiation of Official Agricultural Chemists, Washington DC, USA. Apriyantono, A. 2006. Titik Kritis Kehalalan Bahan Pembuat Produk Bakery dan Kue. http://www.halalguide.info/content/view/410/38/
G.J.H. Gruben and Soetjipto Partohardjono. 1996. Plant Resources of South-East Asia. Cereals No. 10. Prosea, Bogor. Hubeis, Musa. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji – Bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kulp, K. and Joseph G. ponte, Jr. 2000. Handbook of Cereal Science and Technology. 2nd edition. Marcel Dekker, Inc., New York. Leniger, H.A., dan W.A. Baverloo. 1975. Food Prosess Engineering. D. Reidel Publishing Company, Dordreht, Holland. Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Praktikum. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Noviarso, Cahyo. 2003. Pengaruh Umur Panen dan Masa Simpan Buah Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap Kualitas Tepung Sukun yang Dihasilkan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Nuryati, Ratna. 2008. Uji Performansi Mesin Penyosoh Biji Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv.) Tipe Abrasive Roll. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Posner, E.S. and Arthur N.H. 2005. Wheat Flour Milling. 2nd edition. American Assosiation of Cereal Chemists, Inc. Minnesota, USA. Prakoso, Wahyu G. 2006. Kajian Metode Tanam Pada Budidaya Tanaman Hotong Buru. . Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Skinner, M.W. 2006. The Plants Database. National Plant Data Center, USA. http://www.gramene.org/species/setaria/foxtailmillet_taxonomy.html
SNI 01-2997-1992. Tepung Singkong. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. SNI 01-3549-1994. Tepung Beras. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. SNI 01-3726-1995. Tepung Hunkwe. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. SNI 01-3727-1995. Tepung Jagung. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. SNI 01-3729-1995. Tepung Sagu. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. SNI 01-4447-1998. Tepung Ketan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. SNI 01-3751-2000. Tepung Terigu. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. . Sutanto. 2006. Uji Performansi Mesin Penyosoh dan Penepung Biji Buru Hotong. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Umaryadi, M.E.W. 1998. Mempelajari Sifat-Sifat Fisik dan Kimia Tepung Tape Ubi Kayu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Wincy. 2001. Karakterisasi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Prasamak Hasil Pengeringan Kabinet dan Aplikasinya Untuk Substitusi Tepung Terigu Pada Pembuatan Kukis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor
Lampiran 1. Uji Performansi penepung biji juwawut dengan mesin Pin Mill Kontrol (tanpa direndam) dengan 1 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 316.00 295.00 305.50
Wtp (gr) 1404.00 1412.00 1408.00
Wst (gr) 94.00 85.00 89.50
Kapasitas (kg/jam) 17.09 18.31 17.69
Rendemen (%) 93.60 94.13 93.87
Tepung susut (%)
Wst (gr) 149.00 126.00 137.50
Kapasitas (kg/jam) 10.95 10.57 10.76
Rendemen (%) 89.87 91.33 90.60
Tepung susut (%)
Wst (gr) 192.00 174.00 183.00
Kapasitas (kg/jam) 7.94 7.58 7.76
Rendemen (%) 86.80 87.73 87.27
Tepung susut (%)
6.27 5.67 5.97
Kontrol (tanpa di rendam) dengan 2 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 493.00 511.00 502.00
Wtp (gr) 1348.00 1370.00 1359.00
9.93 8.40 9.17
Kontrol (tanpa di rendam) dengan 3 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 680.00 712.00 696.00
Wtp (gr) 1302.00 1316.00 1309.00
12.80 11.60 12.20
Lanjutan lampiran 1 Perendaman 15 menit dengan 1 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
tgiling
Wtp
Wst
Kapasitas
Rendemen
Tepung susut (%)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
(detik) 301.00 290.00 295.50
(gr) 1410.00 1406.00 1408.00
(gr) 89.00 91.00 90.00
(kg/jam) 17.94 18.62 18.28
(%) 94.00 93.73 93.87
Wst (gr) 110.00 112.00 111.00
Kapasitas (kg/jam) 10.89 11.27 11.08
Rendemen (%) 91.67 92.00 91.83
Tepung susut (%)
Wst (gr) 155.00 148.00 151.50
Kapasitas (kg/jam) 8.16 8.21 8.19
Rendemen (%) 89.20 89.87 89.53
Tepung susut (%)
5.93 6.07 6.00
Perendaman 15 menit dengan 2 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 496.00 479.00 487.50
Wtp (gr) 1375.00 1380.00 1377.50
7.33 7.47 7.40
Perendaman 15 menit dengan 3 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 661.00 657.00 659.00
Wtp (gr) 1338.00 1348.00 1343.00
10.33 9.87 10.10
Lanjutan lampiran 1 Perendaman 6 jam dengan 1 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
tgiling
Wtp
Wst
Kapasitas
Rendemen
Tepung susut (%)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
(detik) 298.00 280.00 289.00
(gr) 1395.00 1380.00 1387.50
(gr) 100.00 118.00 109.00
(kg/jam) 18.12 19.28 18.70
(%) 93.00 92.00 92.50
Wst (gr) 127.00 133.00 130.00
Kapasitas (kg/jam) 10.93 11.44 11.18
Rendemen (%) 91.13 90.87 91.00
Tepung susut (%)
Wst (gr) 146.00 150.00 148.00
Kapasitas (kg/jam) 8.26 8.47 8.36
Rendemen (%) 89.80 89.60 89.70
Tepung susut (%)
6.67 7.87 7.27
Perendaman 6 jam dengan 2 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 494.00 472.00 483.00
Wtp (gr) 1367.00 1363.00 1365.00
8.47 8.87 8.67
Perendaman 6 jam dengan 3 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 654.00 637.00 645.50
Wtp (gr) 1347.00 1344.00 1345.50
9.73 10.00 9.87
Lampiran 2. Uji Performansi penepung biji juwawut dengan mesin Disc Mill Kontrol (tanpa direndam) dengan 1 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 380.00 388.00 384.00
Wtp (gr) 1349.00 1337.00 1343.00
Wst (gr) 148.00 158.00 153.00
Kapasitas (kg/jam) 14.21 13.92 14.06
Rendemen (%) 89.93 89.13 89.53
Tepung susut (%)
Wst (gr) 263.00 260.00 261.50
Kapasitas (kg/jam) 6.97 7.02 6.99
Rendemen (%) 82.13 82.00 82.07
Tepung susut (%)
Wst (gr) 369.00 355.00 362.00
Kapasitas (kg/jam) 4.80 4.77 4.79
Rendemen (%) 75.53 75.07 75.30
Tepung susut (%)
9.87 10.53 10.20
Kontrol (tanpa di rendam) dengan 2 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 775.00 769.00 772.00
Wtp (gr) 1232.00 1230.00 1231.00
17.53 17.33 17.43
Kontrol (tanpa di rendam) dengan 3 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 1125.00 1131.00 1128.00
Wtp (gr) 1133.00 1126.00 1129.50
24.60 23.67 24.13
Lanjutan lampiran 2 Perendaman 15 menit dengan 1 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
tgiling
Wtp
Wst
Kapasitas
Rendemen
Tepung susut (%)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
(detik) 375.00 390.00 382.50
(gr) 1334.00 1355.00 1344.50
(gr) 150.00 141.00 145.50
(kg/jam) 14.40 13.85 14.12
(%) 88.93 90.33 89.63
Wst (gr) 226.00 233.00 229.50
Kapasitas (kg/jam) 7.40 7.26 7.33
Rendemen (%) 83.00 84.00 83.50
Tepung susut (%)
Wst (gr) 257.00 261.00 259.00
Kapasitas (kg/jam) 5.06 5.11 5.08
Rendemen (%) 80.93 81.87 81.40
Tepung susut (%)
10.00 9.40 9.70
Perendaman 15 menit dengan 2 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 730.00 744.00 737.00
Wtp (gr) 1245.00 1260.00 1252.50
15.07 15.53 15.30
Perendaman 15 menit dengan 3 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 1068.00 1056.00 1062.00
Wtp (gr) 1214.00 1228.00 1221.00
17.13 17.40 17.27
Lanjutan lampiran 2 Perendaman 6 jam dengan 1 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
Tgiling
Wtp
Wst
Kapasitas
Rendemen
Tepung susut (%)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
(detik) 399.00 391.00 395.00
(gr) 1323.00 1350.00 1336.50
(gr) 165.00 144.00 154.50
(kg/jam) 13.53 13.81 13.67
(%) 88.20 90.00 89.10
Wst (gr) 250.00 226.00 238.00
Kapasitas (kg/jam) 7.20 7.29 7.24
Rendemen (%) 82.40 84.33 83.37
Tepung susut (%)
Wst (gr) 306.00 261.00 283.50
Kapasitas (kg/jam) 5.02 5.11 5.07
Rendemen (%) 78.53 81.80 80.17
Tepung susut (%)
11.00 9.60 10.30
Perendaman 6 jam dengan 2 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 750.00 741.00 745.50
Wtp (gr) 1236.00 1265.00 1250.50
16.67 15.07 15.87
Perendaman 6 jam dengan 3 kali lintasan No. Sampel
Wo (gr)
1 2 Rataan
1500.00 1500.00 1500.00
tgiling (detik) 1075.00 1056.00 1065.50
Wtp (gr) 1178.00 1227.00 1202.50
20.40 17.40 18.90
Lampiran 3. Distribusi Ukuran Tepung Juwawut (%) Penepungan biji juwawut dilakukan dengan mesin pin mill Saringan yang digunakan Perlakuan
Total
20 mesh
40 mesh
60 mesh
80 mesh
100 mesh
(g)
1.00
76.00
21.20
1.8
-
100
1.90
73.40
22.40
2.3
-
100
Rataan
1.45
74.70
21.80
2.05
-
100
Perendaman
1.10
43.00
55.00
0.90
-
100
15 menit
3.10
41.30
53.40
2.20
-
100
Rataan
2.10
42.15
54.20
1.55
-
100
Perendaman
3.20
32.40
59.60
4.80
-
100
6 jam
2.50
33.70
60.50
3.30
-
100
Rataan
2.85
33.05
60.05
4.05
-
100
Kontrol
Keterangan : saringan dengan ukuran 8 dan 10 mesh di setiap pengayakkan berjumlah sama dengan nol
Lanjutan lampiran 3 Penepungan biji juwawut dilakukan dengan mesin disc mill Saringan yang digunakan Perlakuan
Total
20 mesh
40 mesh
60 mesh
80 mesh
100 mesh
(g)
0.40
24.10
48.30
25.10
2.10
100
0.70
23.80
43.00
30.90
1.60
100
Rataan
0.55
23.95
45.65
28.00
1.85
100
Perendaman
3.30
14.00
11.30
63.30
8.10
100
15 menit
3.20
13.30
11.20
64.70
7.60
100
Rataan
3.25
13.65
11.25
64.00
7.85
100
Perendaman
1.10
18.10
14.00
63.00
3.80
100
6 jam
1.60
18.20
14.40
54.80
11.00
100
Rataan
1.35
18.15
14.2
58.9
7.40
100
Kontrol
Keterangan : saringan dengan ukuran 8 dan 10 mesh di setiap pengayakkan berjumlah sama dengan nol
Lampiran 4.
Data Hasil Analisa Fisik tepung juwawut dari penepung Disc mill pada ayakan mesh 80
Hasil analisa derajat putih dan °Hue Waktu
Pembacaan Chromameter
Ulangan
Rendam
W
Wrataan (%)
L
a
b
(%)
15
1.
65.72
+3.04
+5.37
65.17
menit
2.
65.75
+3.03
+5.44
65.19
1.
65.39
+3.34
+4.02
65.00
2.
65.55
+3.32
+3.98
65.16
6 jam
65.18
65.09
°H
°Hrataan
60.48 60.88 50.28 50.17
60.68
50.23
Hasil analisa densitas kamba Berat
Berat tepung
Berat
Densitas
Densitas
Gelas ukur
+ gelas ukur
tepung
kamba
kamba rataan
(g)
(g)
(g)
(g/ml)
(g/ml)
100
133.2
205.9
72.7
0.727
100
133.2
204.7
71.5
0.715
100
133.2
204.6
71.4
0.714
100
133.2
205.4
72.2
0.722
Waktu
Gelas ukur
Rendam
(ml)
15 menit 6 jam
0.721
0.718
Hasil analisa sudut repos Waktu
Tinggi
Lebar
Sudut repos
Sudut repos rataan
Rendam
(cm)
(cm)
(derajat)
(derajat)
7.38
12.64
49.42
7.23
12.47
49.23
7.32
12.52
49.46
7.00
12.62
47.97
15 menit
6 jam
49.33
48.72
Hasil analisa indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air Waktu
Indeks penyerapan
Rendam
air (ml/g)
15 menit
6 jam
1.0836 1.0817 1.2672 1.2284
Indeks penyerapan air rataan (ml/g) 1.0827
1.2478
Indeks kelarutan
Indeks kelarutan
air (g/ml)
air rataan (g/ml)
0.0012 0.0010 0.0007 0.0008
0.0011
0.0008
Lampiran 5. Perhitungan Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA) Sampel 15 menit pada mesin penepung Disc Mill ulangan 1
= 0.0109 gr
Diketahui : Wtabung sentrifuse = 5.6723 gr Wsampel
= 1.0000 gr
Waquades
= 10 ml = 10 gr
ρaquades
= 1 gr/ml
∑ bahan yang menjadi residu
= 1 gr – 0.0109 gr = 0.9891 gr
∑ berat air yang terserap
= 2.0609 gr – 0.9891 gr = 1.0718 gr = 1.0718 ml
Setelah Senrifugasi : Wresidu
= 7.7332 gr – 5.6723 gr
Indeks Penyerapan Air (IPA)
=
= 2.0609 gr (setelah oven 50°C,25 menit) Wsupernatan
= 1.0836 ml/gr
= 8.7729 gr
Wsampel supernatan = 2 ml = 2 gr Wbahan terlarut/2ml = 0.0025 gr (setelah oven, 105°C, 1 jam)
1.0718 ml 0.9891 gr
Indeks Kelarutan Air (IKA)
=
0.0109 gr 10 ml − 1.0718 ml
= 0.0012 gr/ml Ditanyakan
: IPA dan IKA?
dengan dua kali ulangan setiap sampelnya.
Penyelesaian : ∑ berat padatan terlarut =
Perhitungan sampel lainnya mengikut sampel 15 menit,
0.0025 gr x 8.7729 gr 2 gr
Lampiran 6. Hasil analisa nilai kalor tepung juwawut dengan penepung Disc mill Perendaman 15 menit Suhu yang diamati
Sampel 1
Sampel 2
T1 awal
31.86
31.86
31.87
32.52
32.53
32.53
T2 awal
31.83
31.86
31.87
32.70
32.71
32.74
T1 akhir
33.37
33.43
33.44
34.09
34.14
34.16
T2 akhir
33.34
33.40
33.44
34.08
34.13
34.16
Selisih T1
1.51
1.57
1.57
1.57
1.61
1.63
Selisih T2
1.51
1.54
1.57
1.38
1.42
1.42
Rata-rata
1.51
1.555
1.57
1.475
1.515
1.525
0
0.03
0
0.19
0.19
0.21
17018.92
17526.10
17695.16
16624.44
17075.27
17187.98
Selisih T1 dan T2 < 0.3 Nilai Kalor Nilai Kalor rataan
17413.39
16962.56
Lanjutan lampiran 6 Perendaman 6 jam Suhu yang diamati
Sampel 1
Sampel 2
T1 awal
32.22
32.22
32.23
31.50
31.51
31.51
T2 awal
32.38
32.39
32.40
31.86
31.87
31.88
T1 akhir
33.95
33.96
33.96
33.14
33.14
33.15
T2 akhir
33.93
33.94
33.95
33.10
33.13
33.14
Selisih T1
1.73
1.74
1.73
1.64
1.63
1.64
Selisih T2
1.55
1.55
1.55
1.24
1.26
1.26
Rata-rata
1.64
1.645
1.64
1.44
1.445
1.45
Selisih T1 dan T2 < 0.3
0.18
0.19
0.18
0.40
0.37
0.38
18484.12
18540.47
18484.12
16229.96
16286.31
16342.67
Nilai Kalor Nilai Kalor rataan
18502.90
16286.31
Lampiran 7. Data dan perhitungan analisis sifat kimia tepung juwawut Data dan perhitungan kadar air tepung juwawut
Ulangan
Berat cawan (g)
Berat sampel (g)
Berat cawan + sampel (g)
1.
5.0205
5.0046
10.0251
Berat cawan + sampel kering (g) 9.4709
2.
4.4038
4.3813
8.7851
8.2949
Rata-rata kadar air
Kadar air (%bb) 11.07 11.19 11.13
Contoh perhitungan untuk ulangan 1 :
Kadar air ( % berat basah ) = =
Wsampel − Wakhir Wsampel
x 100 %
5.0046 − 4.4504 x 100 % 5.0046
= 11.07 %
Data dan perhitungan kadar abu tepung juwawut
4.3078
Berat cawan + sampel (g) 25.7642
Berat cawan + abu (g) 21.4718
4.5702
23.8996
19.3488
Ulangan
Berat cawan (g)
Berat sampel (g)
1.
21.4564
2.
19.3294
Rata-rata kadar abu
Contoh perhitungan untuk ulangan 1 :
Kadar abu ( % ) =
Wabu x 100 % Wsampel
=
0.0154 x 100 % 4.3078
= 0.36 %
Kadar abu (%) 0.36 0.42 0.39
Lanjutan lampiran 7 Data dan perhitungan kadar protein tepung juwawut
1.
Berat sampel (g) 0.0850
HCl titrasi sampel (ml) 3.9
Kadar N (%) 1.31
Kadar protein (%) 8.24
2.
0.1168
5.45
1.35
8.44
1.33
8.34
Ulangan
Rata-rata
Contoh perhitungan untuk ulangan 1 :
Kadar N ( % ) = =
( ml HCl − ml blanko ) x Normalitas x 14.007 x 100 mg sampel (3.9 − 0.1) x 0.021073 x 14.007 x 100 85
= 1.31 % Kadar protein ( % ) = % N x faktor koreksi = 1 .31 x 6 .25 = 8.24 %
Data dan perhitungan kadar lemak tepung juwawut Ulangan
Berat labu (g)
Berat sampel (g)
1.
93.1255
2.8266
Berat labu + sampel (g) 93.1976
2.
97.9422
2.7517
98.0110
Berat lemak (g)
Kadar lemak (%)
0.0721
2.55
0.0688
2.50
Rata-rata kadar abu
Contoh perhitungan untuk ulangan 1 :
Kadar lemak ( % ) =
Wlemak x 100 % Wsampel
=
0.0721 x 100 % 2.8266
= 2.55 %
2.53
Lanjutan lampiran 7 Perhitungan kadar karbohidrat tepung juwawut Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (P + KA + A + L) Dimana :
P
= kadar protein (%)
KA
= kadar air (%)
A
= kadar abu (%)
L
= kadar lemak (%)
Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (8.34 + 11.13 + 0.39 + 2.53) = 77.61 %
Lampiran 8. Granula tepung juwawut pada perbesaran 1000 kali (data tambahan)
5 μm
Gambar granula tepung perendaman 15 menit
5 μm
Gambar granula tepung perendaman 6 jam