PENGAR RUH EKSTR RAK BIJI BLIIGO (Benincassa hispida Thu unb Cogn) TE ERHADAP PENGHAM MBATAN EFE EK TOKSIK T TARTRAZIN DAN RHODA AMIN PADA A AKTIVITAS S PROLIFERASI LIMFO OSIT TIKUS
SKRIPSI
KEN NNY MULIA AWAN F24070033
FAKULTAS TEKNOLOGII PERTANIAN N INSTITU UT PERTANIA AN BOGOR BOGOR 2011
1
THE INFLUENCE OF BLIGO (Benincasa hispida Thunb Cogn) SEED EXTRACT TOWARDS THE INHIBITION OF TARTAZINE AND RHODMINE TOXIC EFFECT ON THE PROLIFERATION ACTIVITY OF A RAT LYMPHOCYTES Kenny Muliawan and Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat, M.sc Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone: +62 818 0899 7972, E-mail:
[email protected]
ABSTRACT
Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) is one of medical plants that would be useful as medicine for some diseases. Previous study of bligo showed that bligo extract has the ability to cure ulcer in rats and should no toxicity in rat serum analysis. This effect is estimated to be due to some bioactive compounds, like fenolic, terpene, flavonoid c-glycoside and sterols that have antioxidant effect. This bioactive compound were asumed to be able to increase lymphocyte cell proliferation activity. This research purpose is to get the scientific data and to know the effect of consuming bligo seed extract in rat growth and on spleen lymphocyte cell proliferation activity. Three groups of rats, including control or 0 g/kg bw of bligo seed extract, 0.1 g/kg bw bligo seed extract, and 1 g/kg bw bligo seed extract. After 90 day treatment, splenocytes of rats were cultured in the presence of LPS 12.5 µg/ml culture, tartrazine 90 µg/ml, 180 µg/ml, 270 µg/ml culture, or rhodamine 6 µg/ml, 12 µg/ml, 18 µg/ml culture. After 72 hours of incubation, spleen lymphocyte cell proliferation activity was measured by MTT method. Results of this research showed that 0.1 g/kg bw bligo seed extract has increased proliferation activity by 14.30% on treatment with LPS, -0.09% on tartrazine 90 µg/ml culture, 11.42% on tartrazine 180 µg/ml culture, 21.92% on tartrazine 270 µg/ml culture, meanwhile, lymphocyte cultured with rhodamine 6 µg/ml culture, rhodamin 12 µg/ml culture, and rhodamin 18 µg/ml culture, has increased proliferation activity of 25.22%, 7.42%, and 12.19% respectively, compare to that of lymphocyte cultured with media alone. And 1 g/kg bw bligo seed extract can increase proliferation activity by 12.30% on LPS, 24.38% on tartrazine 90 µg/ml, 11.54% on tartrazine 180 µg/ml, 52.74% on tartrazine 270 µg/ml, -4.03% on rhodamine 6 µg/ml, -15.04% on rhodamin 12 µg/ml, and -17.66% on rhodamin 18 µg/ml, compare to that of control culture. Bligo seed extract can prevent toxic effect of tartrazine and rhodamine. The effective result was from rats that gavaged with 0.1 g/kg bw bligo seed extract. The conclusion of this research is bligo is good for health. Keywords: bligo, Benincasa hispida, proliferation, lymphocyte, tartrazine, rhodamine, rats, MTT method
2
KENNY MULIAWAN. F24070033. Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) terhadap Penghambatan Efek Toksik Tartrazin dan Rhodamin pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus. Di bawah bimbingan Fransiska Rungkat Zakaria. 2011. RINGKASAN Dewasa ini produk pangan dari tanaman seperti sayur, buah, dan serealia dilaporkan memiliki keunggulan di bidang kesehatan dan menunjukkan kecendrungan menurunkan resiko penyakit kanker dibandingkan dengan sumber pangan hewani. Tanaman pangan di Indonesia yang belum banyak diteliti potensinya sebagai pangan yang memiliki komponen bioaktif yang baik untuk kesehatan salah satunya adalah bligo (Benincasa hispida). Benincasa hispida Thunb Cogn atau disebut bligo merupakan tanaman menjalar, batang berkayu, lunak, berbulu, warna hijau. Buah buni, bulat memanjang, berdaging, panjang 15-20 cm, warna hijau keputih-putihan dan bagian yang digunakan biji dan buah. Biji bligo berbentuk seperti biji mentimun tetapi sedikit lebih besar dan berwarna putih kekuningan. Biji buah bligo telah dimanfaatkan di Cina sebagai pengobatan antihelmitik. Komponen bioaktif yang terdapat pada bligo seperti komponen fenolik selain diduga dapat meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit juga diduga dapat menghambat efek toksik dari beberapa senyawa xenobiotik. Eksploitasi potensi bligo dapat dilakukan melalui kajian biologisnya atau secara in vivo menggunakan hewan percobaan terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek konsumsi ekstrak biji bligo dengan konsentrasi 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb terhadap kondisi tikus Sprague Dawley melalui kenaikan berat badan dan tingkat konsumsinya, mempelajari efek konsumsi ekstrak biji bligo terhadap tingkat proliferasi sel limfosit sebagai indikasi sistem imun atau sifat immunomodulator pada tikus Sprague Dawley, dan mempelajari pengaruh ekstrak biji bligo terhadap penghambatan efek toksik dari senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin terhadap tingkat proliferasi sel limfosit tikus Sprague Dawley. Penelitian terhadap ekstrak biji bligo ini dilakukan secara in vivo selama 90 hari. Tikus percobaan dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan yaitu, kelompok tikus kontrol, kelompok tikus yang disonde ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan kelompok tikus yang disonde ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Kemudian limfa dari tikus percobaan diisolasi untuk mendapatkan sel limfositnya. Sel limfosit yang didapatkan kemudian dikulturkan dan diberi perlakuan dengan media saja sebagai kontrol, penambahan LPS, atau penambahan senyawa xenobiotik berupa tartrazin atau rhodamin. Perhitungan sel limfosit hidup dilakukan dengan metode MTT. Hasilnya dibandingankan dengan nilai absorbansi perlakuan dengan kontrol dan dinyatakan sebagai Indeks Stimulasi (IS) dalam persen. Hasil dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak biji bligo baik pada konsentrasi 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb tidak mempengaruhi pertumbuhan tikus Sprague Dawley, pemberian ekstrak biji bligo tidak mempengaruhi nafsu makan atau tidak mengurangi nafsu makan tikus. Setelah 90 hari perlakuan, ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dapat meningkatkan aktivitas proliferasi sebesar 14.30% pada perlakuan dengan penambahan LPS, -0.09% pada tartrazin 90 µg/ml, 11.42% pada tartrazin 180 µg/ml, dan 21.92% pada tartrazin 270 µg/ml, sementara pada kultur rhodamin 6 µg/ml, rhodamin 12 µg/ml, dan rhodamin 18 µg/ml, ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dapat meningkatkan proliferasi limfosit secara berturut-turut sebesar 25.22%, 7.42%, dan 12.19% dibandingkan dengan kultur kontrol (proliferasi spontan). Ekstrak biji bligo 1 g/kg bb dapat meningkatkan aktivitas proliferasi sebesar 12.30% pada LPS, 24.38% pada tartrazin 90 µg/ml, 11.54% pada tartrazin 180 µg/ml, 52.74% pada tartrazin 270 µg/ml, -4.03% pada rhodamin 6 µg/ml, -15.04% pada rhodamin 12 µg/ml, dan -17.66% pada rhodamin 18 µg/ml dibandingkan dengan limfosit pada kultur kontrol.
3
Ekstrak biji bligo dengan konsentrasi 0.1 g/kg bb dapat digunakan sebagai imunomodulator baik pada kultur kontrol maupun pada kultur dengan xenobiotik. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb pada kultur dengan tartrazin (90 µg/ml, 180 µg/ml, dan 270 µg/ml) tidak berpengaruh secara nyata terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit tikus. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb pada kultur dengan rhodamin (6 µg/ml, 12 µg/ml, dan 18 µg/ml) berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan aktivitas proliferasi limfosit. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb dapat menghambat efek toksik dari tartrazin dan rhodamin. Perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb menunjukkan hasil paling efektif pada kondisi tubuh normal dan tidak sakit dengan aktivitas proliferasi limfosit limfa tertinggi dan paling resisten terhadap serangan xenobiotik terutama rhodamin. Komponen bioaktif yang diduga bertindak sebagai antioksidan dari ekstrak biji bligo adalah senyawa fenolik, terpene (alunsenol dan multiflurenol), flavonoid c-glikosida, dan sterol.
4
PENGARUH EKSTRAK BIJI BLIGO (Benincasa hispida Thunb Cogn) TERHADAP PENGHAMBATAN EFEK TOKSIK TARTRAZIN DAN RHODAMIN PADA AKTIVITAS PROLIFERASI LIMFOSIT TIKUS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh KENNY MULIAWAN F24070033
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
5
Judul Skripsi
Nama NIM
: Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) Terhadap Penghambatan Efek Toksik Tartrazin dan Rhodamin Pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus : Kenny Muliawan : F24070033
Menyetujui: Pembimbing I,
Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat, M.sc NIP 19490614.198503.2.001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.sc NIP 19680505.199203.2.002
Tanggal lulus
: 21 April 2011
6
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) terhadap Penghambatan Efek Toksik Tartrazin dan Rhodamin pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 21 April 2011 Yang membuat pernyataan
Kenny Muliawan F24070033
7
© Hak cipta milik Kenny Muliawan, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, Fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
8
BIODATA PENULIS
Kenny Muliawan. Lahir di Jakarta, 28 April 1989 dari ayah Rudi Muliawan dan ibu Yunita Tjen, sebagai putra kedua dari dua bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 13 Jakarta, selama SMA penulis berhasil menjadi juara kedua Olimpiade Sains SMA Mata Pelajaran Fisika Tingkat Kotamadya Jakarta Utara Tahun 2006. Penulis diterima di IPB pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi S1, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten mata kuliah Mikrobiologi Pangan pada tahun 2010. Penulis juga menjadi atlet catur IPB dan menjadi juara pertama kompetisi catur beregu pada OMI IPB 2008 sampai 2010. Pada tahun 2008 penulis memperoleh beasiswa dari Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Penulis melaksanakan penelitian pada tahun 2010 di Kampus IPB Darmaga, Bogor.
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa dan Hiyang Buddha atas karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Pengaruh Ekstrak Biji Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) terhadap Penghambatan Efek Toksik Tartrazin dan Rhodamin pada Aktivitas Proliferasi Limfosit Tikus dilaksanakan di Laboratorium SEAFAST dan Ilmu dan Teknologi Pangan Kampus IPB Darmaga, Bogor sejak bulan Febuari sampai April 2010. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. 2.
Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat, M.Sc sebagai dosen pembimbing. Dr. Ir. Hj. Endang Prangdimurti, M.Si dan Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc sebagai dosen penguji. 3. Mama dan Papa yang selalu memberi dukungan. 4. Cici yang selalu membantu iuran SPP. 5. Kak Sugito, Kak Anas, Kak Zatil, Kak Jali, Dinda, dan Anisa sebagai teman satu tim penelitian. 6. Pak Adi, Bu Sri, dan Pak Wahid sebagai teknisi yang telah membantu pelaksanaan penelitian. 7. Kak Anto dan Kak Nindi yang telah membantu selama penelitian. 8. Ko Kenci, Ci Kallista, Kak Umam, dan Kak Kamlit yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membagi pengalaman kepada penulis. 9. Sindhu, Eddy, dan Ricky (Sindhu’s Angel) yang selalu menghibur dan mendukung penulis. 10. Amel, Reggie, Eliana, dan teman-teman ITP 44 yang selalu mendukung dan memicu semangat penulis. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan.
Bogor, 21 April 2011
Kenny Muliawan
iii
10
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ……………………………………………………….…………..................... iii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….….………..……...... v DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………….……….…….…. vi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………….…………..………. vii PENDAHULUAN ………………………………………………………….….……………………... 1 Latar Belakang ……….……………………………………….…….………………....…….. 1 Tujuan …………………..………………………………………………………………….... 2 Hipotesis …………………..………………………………………………………………… 3 Manfaat Penelitian …………..………………………………………………………………. 3 TINJAUAN PUSTAKA ………………..…………………………………………………………….. 4 Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) …..………………………....……………………… 4 Tartrazin ……………………………………..…………………………….……………….... 6 Rhodamin ……………………………………..………………………….……………..…… 7 Limfosit ………………………………………..………………………….………................. 8 Proliferasi Limfosit ……………………………...……………………...……………….…. 10 Kultur Sel ………………………………………...………………………...……………..... 11 Tikus Percobaan …………………………………...………………………...…...……..….. 12 METODOLOGI ……………………………………………..…………………......…….…….……. 14 Waktu dan Tempat …………………………………..……………………...….…….…….. 14 Alat dan Bahan ………………………………………...…………………..………............. 14 Metode Penelitian ………………………………………...………………...………............ 14 Pembuatan Ekstrak Bligo ………………………...……………….…....….….….. 14 Pemeliharaan Tikus ………………………………...…………….……..…........... 15 Pengukuran Proliferasi Sel Limfosit Limfa …………...………….….…...…….… 15 A. Isolasi limfosit limfa ………………………………...…………..……...….… 15 B. Perhitungan sel limfosit limfa ………………………...………………...….... 16 C. Pengujian proliferasi sel limfosit limfa menggunakan MTT …………………………………......…….…………...… 16 HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………..…………...…………. 19 Kondisi Tikus Percobaan ………………………………………………..…….…………… 19 Berat Badan dan Sisa Pakan ……………………………………………..…....…………… 19 Proliferasi Sel Limfosit Limfa ……………………………………………....…………..…. 21 SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………………..……………….. 35 Simpulan ………………………………………………………….…………..……………. 35 Saran …………………………………………………………….……………..………....... 36 DAFTAR PUSTAKA ………………….……………………………………….………..………...... 37 LAMPIRAN ……………………………….……………………………………….……..…………. 43
iv
11
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Data Biologis Tikus ……………………………………….…………………………….….. 13 Tabel 2. Komposisi Bahan dalam 100 g Pakan ...…...…………………….…………………………. 15 Tabel 3. Rata-rata berat badan tikus selama 3 bulan ……………………………….……….……….. 20 Tabel 4. Rata-rata konsumsi pakan bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 …..……………....…….….………... 20
v
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Buah bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) ………………………………..…………… 4 Gambar 2. Diagram alir penelitian ………………………………………………...…………..…..… 18 Gambar 3. Sel limfosit limfa pada hemasitometer …………………………………...………...….… 22 Gambar 4. Pengambilan organ limfa dalam laminair flow steril ….……………………………….... 23 Gambar 5. Indeks stimulasi sel limfosit spontan, dengan mitogen LPS, dan senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin pada kultur kontrol dan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb ……………………………………….…...…….............. 25 Gambar 6. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan mitogen LPS pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb …..….………………………...……………. 26 Gambar 7. Reaksi penangkapan radikal bebas oleh komponen fenolik dan reaksi pengkelatan logam oleh komponen fenolik …………………...………………...………. 27 Gambar 8. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …………………………...………… 29 Gambar 9. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb ……….…………………..………… 30 Gambar 10. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …….…………………..................... 31 Gambar 11. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …….……………...……………….. 32 Gambar 12. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …….…….………...………………. 33 Gambar 13. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb …….………………...…………..… 34
vi
13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Perkembangan berat tikus selama 90 hari ………………….………………………….. 43 Lampiran 2a. Tabel konsumsi pakan selama 90 hari ………………………………….…………….. 49 Lampiran 2b. Tabel konsumsi pakan rata-rata bulan ke-1, ke-2 dan ke-3 ……….….………………. 60 Lampiran 3. Tabel ANOVA terhadap konsumsi pakan rata-rata bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 ……………………………………………………….………………..... 60 Lampiran 4. Berat tikus hari ke 0 ……………………………………….……….……..………….… 61 Lampiran 5. Tabel ANOVA berat tikus hari ke 0 ……………………………….………….……...... 61 Lampiran 6 . Berat tikus bulan ke-1 …………………………………….……….…………............... 61 Lampiran 7. Tabel ANOVA berat tikus bulan ke 1 …………………….……....………….…….….. 61 Lampiran 8. Berat tikus bulan ke-2 …………………………………….……….…………................ 61 Lampiran 9. Tabel ANOVA Berat tikus bulan ke-2 …………………………………………..…...... 62 Lampiran 10. Berat tikus bulan ke-3 …………………………………………………........................ 62 Lampiran 11. Tabel ANOVA Berat tikus bulan ke-3 ………………………………….…….…........ 62 Lampiran 12. Pertumbuhan tikus selama 3 bulan ………………………………………….…...…… 62 Lampiran 13. Tabel ANOVA Pertumbuhan tikus selama 3 bulan ……………………….……...…... 62 Lampiran 14. Data hasil absorbansi splenosit tikus pada setiap kelompok tikus …………......….…. 63 Lampiran 15. Data hasil Indeks Stimulasi splenosit tikus pada setiap kelompok tikus ……………………………………………………………………..…. 63 Lampiran 16. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan LPS …………………………..………………………………….……… 64 Lampiran 17. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml …………..…………………………………………………..……... 65 Lampiran 18. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml ………..……………………………………………..……………. 65 Lampiran 19. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml …………………………………………………………...………. 66 Lampiran 20a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml ………………………………………………………...…….…… 67 Lampiran 20b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml ………………………………………..…..……...… 67 Lampiran 21a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml ………………………………………………...………….……... 68 Lampiran 21b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml ……………………………………………...…...... 68 Lampiran 22a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml ……………………………………………….……..………........ 69 Lampiran 22b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml ……………………………………………….....… 69 Lampiran 23a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan LPS …………………………………………………………………..………..…..… 70
vii
14
Lampiran 23b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan LPS ……………………………………………………………………….….........… 70 Lampiran 23c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan LPS …………………………………………………………………………...……… 71 Lampiran 24a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml …………………………………………………………….……… 72 Lampiran 24b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml …………………………………………………………….……… 72 Lampiran 24c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml ……………………………………………………….………….... 73 Lampiran 25a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml ………………………………………………………………...… 74 Lampiran 25b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml ………………………………………………………….….….… 74 Lampiran 25c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml …………………………………………………….…….............. 75 Lampiran 26a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml …………………………………………………….…………..… 76 Lampiran 26b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml …………………………………………………………...……… 76 Lampiran 26c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml …………………………………………………….……….….… 77 Lampiran 27a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml ……………………………………………………..…....………... 78 Lampiran 27b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml ……………………………………………………………....…..... 78 Lampiran 27c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml …………………………………………………………..……...… 79 Lampiran 28a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml …………………………………………………..………..……... 80 Lampiran 28b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml …………………………………………………..………….....… 80 Lampiran 28c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml …………………………………………………..……………..... 81 Lampiran 29a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml ……………………………………………………..……….....… 82 Lampiran 29b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml ………………………………………………………………....... 82 Lampiran 29c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml ……………………………………….……………………..…... 83
viii
15
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman, manusia dituntut untuk menjadi lebih praktis dan lebih efisien dalam menjalankan kehidupannya. Akibatnya terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan. Konsumsi pangan pada zaman sekarang ini lebih cenderung pada konsumsi pangan dalam bentuk instan dan memiliki citarasa yang enak dengan banyak mengandung lemak, garam, gula, dan senyawa xenobiotik (pewarna, pengawet, dan lain-lain). Dimana hal ini dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, cardiovaskuler, osteoporosis, diabetes militus tipe II bahkan penyakit kanker (WCRF/AICR 1997). Perkembangan ilmu pangan dan gizi menunjukkan bahwa pangan nabati baik sayur-sayuran maupun buah-buahan selain mengandung komponen zat gizi juga mengandung zat non gizi yang sangat berguna bagi kesehatan yaitu serat makanan (dietary fiber) dan antioksidan. Pangan nabati tidak hanya diunggulkan karena kandungan seratnya, tapi juga senyawa fitokimia yang terkandung di dalamnya. Fitokimia (phytochemicals) atau disebut juga produk sekunder tanaman (secondary plant product) mulai dikenal tahun 1950-an. Dalam beberapa tahun terakhir fitokimia menjadi sorotan banyak peneliti karena kaitannya dengan status kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya. Di antaranya ada yang dapat memberikan efek fisiologis yang menguntungkan bagi kesehatan karena dapat mencegah penyakit-penyakit degeneratif (Nair 2001; Inoue et al. 2002). Komponen fitokimia meliputi berbagai kelompok senyawa, seperti fenol, alkaloid, turunan isoprene: terpen, dan steroid (Pandoyo 2000). Beberapa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glukosinolat, polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat. Fungsi fisiologis yang dimiliki antara lain sebagai antikanker, antimikroba, antioksidan, antiinflamasi, immunostimulan, pengatur tekanan darah, pengatur kadar gula darah dan penurun kadar kolesterol (Reyburn et al. 1998). Benincasa hispida Thunb Cogn atau disebut bligo merupakan tanaman menjalar, batang berkayu, lunak, berbulu, warna hijau. Buah berbentuk seperti buah buni, bulat memanjang, berdaging, panjang 15-20 cm, warna hijau keputih-putihan dan bagian yang digunakan biji dan buah. Buah ini secara tradisional digunakan sebagai laksatif (anti sembelit), diuretik, tonik, aphrodisiac, kardiotonik (penguat otot jantung), urynary calkuli (batu saluran kencing), penyakit darah, insanity, epilepsi, dan juga dalam kasus jaundice (penyakit kuning), dispepsia (kesalahan saluran pencernaan atas), demam dan gangguan mentruasi (Kirtikar dan Basu 1975). Buah ini secara umum digunakan sebagai sayuran di India dan negara tropis lainnya juga merupakan tanaman obat yang sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit epilepsi dan gangguan syaraf lainnya (Aslokar et al. 1992). Ekstrak metanolik buah ini dilaporkan memiliki khasiat antiulker (gangguan pencernaan) (Grover et al. 2001), antiinflamasi (Chandrababu et al. 2001), antihistamin dan aktivitas antidepresant (Anilkumar dan Ramu 2002). Selain itu, ekstrak metanol juga memiliki efek menstabilkan sel mast, aktivitas diuretik dan aktivitas nephroprotektif (perlindungan sel saraf) melawan keracunan merkuri pada tikus (Mingyu et al. 1995). Berdasarkan hasil penelitian (Rukumani et al. 2003) bahwa ekstrak metanol Benincasa hispida Thunb Cogn menunjukkan aktivitas antikanker yang signifikan, perlindungan terhadap bronchospasm yang diinduksi histamin, aktivitas neotropic (vitamin sel saraf) dan antidepresan. Menurut Kumar dan Vimalavathini (2004) bahwa kemampuan ekstrak Benincasa hispida terhadap aktivitas anorektik (penyakit yang berkaitan dengan anus dan rektum) dimediasi melalui sistem saraf pusat (CNS) tanpa mempengaruhi pengosongan gastrik.
1
Di Cina, biji dari buah Benincasa hispida Thunb Cogn digunakan dalam pengobatan antihelmitik. Minyak dari biji buah ini merupakan bahan saporifik, baik untuk otak dan liver dan efektif untuk pengobatan sifilis. Abu dari biji buah ini untuk pengobatan gonorhoea, pengobatan terhadap luka dan bengkak (Nadkarni’s 1995). Hasil penelitian Sugito (2010) menunjukkan bahwa ekstrak biji bligo tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 5 g/kg bb dengan metode akut, ekstrak biji bligo juga tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb. Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan bahwa ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme hati, dilihat dari berat hati, SGOT, SGPT, bilirubin, total trigliserida, kolesterol, dan protein total, ekstrak biji bligo secara nyata menurunkan kadar alkali fosfatase, bilirubin total, glukosa, lemak total, dan meningkatkan kadar albumin, dan ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme ginjal, dilihat dari kadar urea, fosfor, kalsium, dan kalium. Sejak beberapa tahun belakangan ini, tanaman herbal diyakini memiliki khasiat dalam mencegah dan menyembuhkan penyakit tertentu, tetapi tanaman herbal umumnya digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan atau konsumsi tanpa pengawasan dokter atau ahli terkait. Beberapa publikasi terbaru menyebutkan adanya konsekuensi serius dari efek samping beberapa produk herbal (Gurib dan Fakim 2006; Bush et al. 2007 dalam Fragoso et al. 2009). Beberapa efek samping yang letal dan berbahaya dilaporkan sebagai dampak penggunaan beberapa produk herbal. Efek samping ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, termasuk efek toksik langung dari herbal, efek dari kontaminan yang terkandung dalam produk herbal, dan interaksi antara herbal dengan obat. Tanaman herbal dapat mencegah penyakit tertentu karena senyawa fitokimia yang terdapat di dalamnya dapat meningkatkan status imun orang yang mengonsumsinya. Untuk melihat peningkatan status imun individu salah satunya dapat dilihat dari aktivitas proliferasi sel limfosit. Kemampuan sel limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon, menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik (Zakaria et al. 2003). Potensi bligo (Benincasa hispida) sebagai sumber senyawa fitokimia dan fenolik selain diduga dapat meningkatkan aktivitas proliferasi sel limfosit, juga diduga dapat menghambat efek toksik dari beberapa senyawa xenobiotik. Hal ini penting untuk dieksploitasi agar dapat menunjang perkembangannnya. Eksploitasi bligo dapat dilakukan melalui kajian potensi biologisnya atau secara in vivo menggunakan hewan percobaan terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Studi terhadap aktivitas proliferasi limfosit ini juga melibatkan beberapa parameter, seperti pengamatan ada tidaknya kematian tikus akibat pemberian ekstrak biji bligo, pengamatan dapat tidaknya ekstrak biji bligo digunakan sebagai immunomodulator, dan pengamatan ada tidaknya pengaruh ekstrak biji bligo terhadap penghambatan efek toksik dari senyawa xenobiotik (tartrazin dan rhodamin) terhadap aktivitas proliferasi limfosit.
Tujuan
1. 2. 3.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : Mengetahui efek konsumsi ekstrak biji bligo dengan konsentrasi 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb terhadap kondisi tikus Sprague Dawley melalui kenaikan berat badan dan tingkat konsumsinya. Mempelajari efek konsumsi ekstrak biji bligo terhadap tingkat proliferasi sel limfosit sebagai indikasi sistem imun atau sifat immunomodulator pada tikus Sprague Dawley. Mempelajari pengaruh ekstrak biji bligo terhadap penghambatan efek toksik dari senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin terhadap tingkat proliferasi sel limfosit tikus Sprague Dawley.
2
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa ekstrak biji bligo memiliki komponen bioaktif seperti komponen fenolik, terpene (alunsenol dan multiflurenol), flavonoid c-glikosida, dan sterol yang bersifat antioksidan yang dapat diserap sehingga memiliki peranan dalam mempertahankan aktivitas proliferasi limfosit sebagai indikasi respon imun atau sifat immunomodulator. Selain itu komponen fenolik dari ekstrak biji bligo mampu mengurangi efek toksik dari senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan suatu informasi berupa data ilmiah ekstrak biji bligo terhadap peranan untuk pangan dan pemeliharaan kesehatan melalui sifat immunomodulator secara in vivo. Informasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pangan fungsional berbasis bligo yang lebih bersaing.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) Benincasa hispida Thunb Cogn atau sering disebut bligo merupakan tanaman menjalar, berbatang berkayu, lunak, berbulu, warna hijau. Daun tunggal, bulat, tepi rata, ujung tumpul, pangkal membulat, panjang 10-17 cm, lebar 9-15 cm, warna hijau. Bunga tunggal, berkelamin dua, tumbuh di ketiak daun, mahkota berbulu halus, warna kuning. Buah berbentuk seperti buah buni, bulat memanjang, berdaging, panjang 15-20 cm, warna hijau keputih-putihan. Bligo mempunyai banyak nama daerah di Indonesia, antara lain: Kundo (Aceh), Gundur (Gayo), Kudul (Simalur), Undru (Nias), Kundue (Minangkabau), Sardak (Lampung), Butong (Dayak), Leyor (Sunda), Baligo (Jawa), Bhaligu, Kondur (Madura), Kunrulu (Bugis), Laha (Irian) (Hermanto 1993).
Gambar 1. Buah bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) (Anonim 2009) Di Indonesia, bligo digunakan sebagai tanaman obat yang dapat digunakan dalam penyembuhan berbagai penyakit antara lain; biji untuk obat: batu ginjal, demam, kencing manis, pelembut kulit, radang paru, radang usus, sembelit, tonik dan wasir. Buahnya untuk pengobatan: disentri, panas dalam, pendarahan pada organ bagian dalam danonik (Hermanto 1993). Benincasa hispida Thunb Cogn. yang merupakan famili Curcubitaceae dikenal dengan banyak nama antara lain: bhuru kulu atau safet kolu (Gujarat), petha (Hindi), white pumpkin, white gouard atau wax gourd atau ash gourd, chinese preserving melon, hairy melon (English) dan kushmanda (Sansekerta). Buah ini secara tradisional digunakan sebagai laksatif, diuretik, tonik, aphrodisiac, kardiotonik, urynary calkuli, penyakit darah, insanity, epilepsi, dan juga dalam kasus jaundice, dispepsia, demam dan gangguan mentruasi (Kirtikar dan Basu 1975). Buah ini secara umum digunakan sebagai sayuran di India dan negara tropis lainnya juga merupakan tanaman obat yang sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit epilepsi dan gangguan syaraf lainnya (Aslokar et al. 1992). Ekstrak metanolik buah ini dilaporkan memiliki khasiat antiulker (Grover et al. 2001), antiinflamasi (Chandrababu et al. 2001), antihistamin dan aktivitas antidepresant (Anilkumar dan Ramu 2002). Selain itu, ekstrak metanol juga memiliki efek menstabilkan sel mast, aktivitas diuretik dan aktivitas nephroprotektif melawan keracunan merkuri pada tikus (Mingyu et al. 1995). Berdasarkan hasil penelitian (Rukumani et al. 2003) bahwa ekstrak metanol Benincasa hispida Thunb Cogn menunjukkan aktivitas antikanker yang signifikan, perlindungan terhadap bronchospasm (gangguan saluran pernafasan) yang diinduksi histamin, aktivitas neotropic dan antidepresan. Menurut Kumar dan Vimalavathini (2004) bahwa kemampuan ekstrak Benincasa hispida terhadap aktivitas anorektik dimediasi melalui sistem saraf pusat tanpa mempengaruhi pengosongan gastrik. Menurut
4
Qodrie et al. (2009) bahwa Benincasa hispida yang diekstrak dengan etanol secara farmakologi membuktikan manfaatnya sebagai pengontrol suhu tubuh pada saat demam dan menghilangkan nyeri. Pada dosis 250 dan 500 mg/kg bb ekstrak buah ini secara signifikan mampu menurunkan antinociceptive tikus wistar. Menurut Sivarajan (1994) buah ini digunakan untuk pengobatan gastrointestinal, penyakit pernafasan, penyakit jantung, vermifuge, diabetes militus dan penyakit uriner. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kumar dan Vimalavathini (2004) menunjukkan bahwa buah Benincasa hispida mengandung fitokimia dari golongan triterpen yaitu alunsenol dan multiflurenol yang mempunyai efek menyetabilkan mast sel pada tikus. Selain itu buah Benincasa hispida Thunb Cogn yang diekstrak dengan metanol, mampu melindungi bronchospasm yang diinduksi oleh histamin. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak buah ini mempunyai aktivitas antihistaminik. Kemampuan perlindungan sudah ditunjukkan pada dosis 50 mg/kg bb dan dosis maksimalnya 400 mg/kg bb, karena diatas dosis ini tidak menunjukkan kenaikan perlindungan yang signifikan. Sedangankan perlindungan yang dilakukan oleh obat antihistaminik chlorphrniramine maleate dan atropine sulfat sudah ditunjukkan pada dosis 2 mg/kg bb. Berdasarkan penelitian Shetty et al. (2008) bahwa ekstrak buah Benincasa hispida Thunb Cogn mempunyai kemampuan penyembuhan pada ulcer di tikus percobaan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa aktif pada buah ini seperti terpene, flavonoid c-glikosida, dan sterol memiliki efek antioksidan. Senyawa ini menurunkan malondialdehid (MDA), kadar superoksida dismutase (SOD) di dalam sel darah merah, tingkat homogenat dan vitamin C pada plasma darah, jika dibandingkan dengan tikus kontol yang tidak diberi ekstrak buah Benincasa hispida Thunb Cogn. Mekanisme ini memungkinkan terjadinya penghambatan luka mukosa lambung dengan scavenging radikal bebas dan menekan produksi SOD dan vitamin C dalam tikus. Penurunan kadar SOD dan vitamin C pada tikus percobaan diduga disebabkan tingginya senyawa antioksidan pada ekstrak buah Benincasa hispida sehingga tubuh tikus percobaan menekan produksi SOD. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dari hasil eksplorasi bligo mengandung beberapa senyawa fitokimia yang antara lain; triterpenen (alnusenol, multiflasenol, isomultiflasenol), flavon (iso-vitesix) dan sterol (lupeol, lupeol asetat dan β-sitosterol). Beberapa konstituen penting yang diisolasi dari buah Benincasa hispida Thunb Cogn antara lain: triterpen, sterol dan glikosida serta minyak-minyak volatil (Yoshizumi et al. 1998; Wu et al. 1987). Beberapa komponen yang terdapat pada tanaman dan digunakan sebagai produk herbal antara lain: polisakarida (serat) dan pektin dari daun naupal (Reyburn et al. 1998). Daun dan minyak peppermint mengandung asetaldehida, amyl alcohol, methyl ester, limone, pinene, phellandrene, cardinene, pugelone dan dimethyl sulfide. Komponen minornya terdiri dari alpha-pinene, sabinene, terpinolene, ocimene, gamma-terpinene, fenchene, alpha- dan beta-thujone, citronellol dan senyawa lainnya (Nair 2001; Inoue et al. 2002). Daun bunga dan akar dandelion mengandung quercetin, luteolin, luteolin-7-O-glucoside, p-hydroxyphenylacetic acid, germacranolide acids, clhorogenic acid, chicoric acid. Monocaffeyltartaric acid, scopoletin, aesculetin, aesculin, cichoriin, amidiol, faradiol, caffeic acid, taraxacoside, taraxasterol, inulin dan kandungan kalium yang tinggi (Williams et al. 1995; Hu dan Kitts 2003; Seo et al. 2005). Mullein mengandung harpagoside, harpagide, aucubin, hesperidin, verbascoside, saponin, dan minyak atsiri (Turker dan Camper 2002). Akar dari stinging nettle mengandung polisakarida, vitamin C, karoten, beta sitosterol, flavonoid quercetin, rutin dan kaempferol (Newall et al. 1996; Schottner et al. 1997; Konrad et al. 2000). Di Cina, biji dari buah Benincasa hispida Thunb Cogn digunakan dalam pengobatan antihelmitik (anti cacing). Biji dari buah bligo ini berbentuk seperti biji mentimun tetapi sedikit lebih besar dan berwarna putih kekuningan. Minyak dari biji buah ini memberikan rasa yang pedas, baik
5
untuk otak dan liver dan efektif untuk pengobatan sifilis. Abu dari biji buah ini untuk pengobatan gonorhoea, pengobatan terhadap luka dan bengkak (Nadkarni’s 1995). Hasil penelitian Sugito (2010) menunjukkan bahwa ekstrak biji bligo tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 5 g/kg bb dengan metode akut, ekstrak biji bligo juga tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb. Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan bahwa ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme hati, dilihat dari berat hati, SGOT, SGPT, bilirubin, total trigliserida, kolesterol, dan protein total, ekstrak biji bligo secara nyata menurunkan kadar alkali fosfatase, bilirubin total, glukosa, lemak total, dan meningkatkan kadar albumin, dan ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme ginjal, dilihat dari kadar urea, fosfor, kalsium, dan kalium. Sejumlah tanaman curcubitaceae lainnya juga memiliki aktivitas antikanker dan antioksidan (Yang et al. 2007) seperti Curcubita moscata (buah), Momordica charantia (buah mentah), Cucumis melo (buah matang). Berdasarkan hasil penelitian Rach dan Sunita (2008) bahwa Benincasa hispida Thunb Cogn yang diekstrak dengan petroleum eter dan metanol mempunyai kemampuan antikanker dan antioksidan yang siknifikan terhadap tikus percobaan, dibandingkan dengan Benincasa hispida Thunb Cogn yang diekstrak dengan metanol, etil asetat, aqueous, dan omoprazol. Kumar dan Vimalavathini (2004) menyatakan bahwa Benincasa hispida Thunb Cogn yang diekstrak dengan metanol memiliki kemampuan antibakteri. Ekstrak ini mampu menghambat pertumbuhan Propionibakterium acne dan Staphylococcus epidermidis, dimana kedua bakteri ini menyebabkan inflamasi pada jerawat. Ekstrak buah ini mampu menghambat kedua bakteri uji baik pada metode difusi disk dan difusi agar. Nilai MIC ekstrak buah ini terhadap Propionibakterium acne dan Staphylococcus epidermidis sebesar 0.049 mg/ml dan nilai MBC nya sebesar 0.049 dan 0.186 mg/ml. Dari hasil analisa kimia, ekstrak metanol dari Benincasa hispida Thunb Cogn positif mengandung triterpenoid, flavonoid, carbohidrat, glikosida, vitamin dan asam uronic. Dengan demikian ekstak etanol dari buah ini mampu menghambat inflamasi pada jerawat dengan menghambat pertumbuhan bakteri Propionibakterium acne dan Staphylococcus epidermidis. Berdasarkan uji Toksisitas akut yang dilakukan oleh Qodrie et al. (2009) terhadap ekstrak etanol Benincasa hispida Thunb Cogn menunjukkan bahwa ekstrak ini tidak bersifat lethal sampai penggunaan 5 g/kg bb. Dan tidak menunjukkan adanya gejala keracunan selama dilakukan penelitian.
Tartrazin Tartrazin atau yang juga dikenal sebagai E102 atau FD&C yellow 5 merupakan pewarna sintetik azo dye berwarna kuning lemon yang diperoleh dari coal tar. Tartrazin memiliki nama kimia trinatrium 5-hidroksi-1-(4-sulfonatofenil)-4-[4-sulfanatofenilazo]-H-pirazol-3-karboksilat dengan C.I. No. 19140, nomor CAS 1934-21-0 dan beberapa nama sinonim antara lain acid yellow 23, filter yellow, food yellow 4, C.I. acid yellow 23, dan lain-lain (Burdock 1997). Tartrazin adalah garam trinatrium dari 4,5-dihidro-5-oxo-1-(4-sulfofenil)-4-[sulfofenil-azo]H-pirazol-3-asam karboksilat, berbentuk bubuk berwarna kuning-jingga yang mudah larut dalam air, dengan larutannya berwarna kuning keemasan. Bila dilarutkan dalam asam sulfat pekat, akan terbentuk larutan berwarna kuning-jingga yang akan menjadi kuning bila diencerkan dengan air. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, dalam gliserol dan glikol mudah larut. Tartrazin tahan terhadap cahaya, asam asetat, HCl, NaOH 10%. Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna menjadi keruh. Adanya tembaga (Cu) akan mengubah warna kuning menjadi kemerah-merahan. Tartrazin memiliki rumus molekul C16H9N4Na3O9S2 (Winarno 2004).
6
Pada umumnya tartrazin digunakan dalam dessert (misalnya puding, custard, gelatin, es krim), permen, minuman (termasuk minuman berkarbonasi dan serbuk minuman perisa), daging olahan, dan sayuran beku yang dikalengkan. Selain itu juga digunakan dalam kosmetik dan obat. Tartrazin diizinkan penggunaanya dalam pangan di Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat, Australia, dan Eropa (Burdock 1997). Tartrazin dapat menimbulkan reaksi alergi dan intoleransi seperti halnya pada semua pewarna azo dye, terutama pada orang yang menderita asma dan intoleransi terhadap aspirin. Mekanisme sensitifitasnya tidak diketahui dan biasanya disebut psudoalergi. Prevalensi intoleransi tartrazin diperkirakan kurang dari 0.12% dari populasi umum. Gejala sensitifitas tarhadap tartrazin dapat terjadi jika terpapar melalui kulit atau menelan senyawa yang mengandung tartrazin. Reaksi yang timbul antara lain anxiety (rasa takut dan bingung), migrain, depresi klinis, mata buram, gatal, rhinitis, urtikaria, lemah, panas, jantung berdebar, merasa lumpuh, pruritus, kulit bengkak dengan warna ungu, dan gangguan pola tidur. Pada kasus yang jarang, gejala sensitifitas tartrazin dapat timbul bahkan pada dosis kecil dan dapat berlangsung sampai 72 jam setelah terpapar. Beberapa peneliti menghubungkan tartrazin dengan gangguan obsessive-compulsive dan hiperaktif pada anak-anak. Menurut Depkes (1999) batas penggunaan maksimum tartrazin di Indonesia adalah 18-300 mg/kg. Menurut Inchem (1964), ADI tartrazin adalah 0-7.5 mg/kg bb.
Rhodamin Rhodamin adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas. Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya pada makanan melalui Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85 dan menurut Inchem (2006) LD50 rhodamin adalah sebesar 89.5 mg/kg. Namun penggunaan rhodamin dalam makanan masih terdapat di lapangan. BPOM di Makassar berhasil menemukan zat rhodamin B pada kerupuk, sambal botol, dan sirup melalui pemeriksaan pada sejumlah sampel makanan dan minuman. Rhodamin B ini juga adalah bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pewarna dasar dalam tekstil dan kertas. Pada awalnya zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam sinar matahari (Marmion 1991). Rumus Molekul dari rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar 479000. Zat yang sangat dilarang penggunaannya dalam makanan ini berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu kemerah-merahan, sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebirubiruan dan berfluorensi kuat. Rhodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl, dan NaOH, selain dalam air. Di dalam laboratorium, zat tersebut digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th dan titik leburnya pada suhu 165ºC (Winarno 2004). Dalam analisis dengan metode destruksi dan metode spektrofometri, didapat informasi bahwa sifat racun yang terdapat dalam rhodamin B tidak hanya saja disebabkan oleh senyawa organiknya saja tetapi juga oleh senyawa anorganik yang terdapat dalam rhodamin B itu sendiri, bahkan jika rhodamin B terkontaminasi oleh senyawa anorganik lain seperti timbal dan arsen (Subandi 1999). Dengan terkontaminasinya rhodamin B dengan kedua unsur tersebut, menjadikan pewarna ini berbahaya jika digunakan dalam makanan. Ciri makanan yang mengandung rhodamin B adalah warna kelihatan cerah (berwarna-warni), sehingga tampak menarik, ada sedikit rasa pahit (terutama pada sirup atau limun), muncul rasa gatal di tenggorokan setelah mengonsumsinya, dan baunya tidak alami sesuai makanannya. Di dalam rhodamin B sendiri terdapat ikatan dengan klorin (Cl) yang dimana senyawa klorin ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif dan juga berbahaya. Reaksi untuk mengikat ion klorin
7
disebut sebagai sintesis zat warna. Disini dapat digunakan reaksi Frield-Crafts untuk mensintesis zat warna seperti triarilmetana dan xentana. Rekasi antara ftalat anhidrida dengan resorsinol dengan keberadaan seng klorida menghasilkan fluoresein. Apabila resorsinol diganti dengan N-Ndietilaminofenol, reaksi ini akan menghasilkan rhodamin B (Kusmayadi dan Sukandar 2009). Selain terdapat ikatan rhodamin B dengan klorin terdapat juga ikatan konjugasi. Ikatan konjugasi dari Rhodamin B inilah yang menyebabkan Rhodamin B bewarna merah. Ditemukannya bahaya yang sama antara rhodamin B dan klorin membuat adanya kesimpulan bahwa atom klorin yang ada pada rhodamin B yang menyebabkan terjadinya efek toksik bila masuk ke dalam tubuh manusia. Atom Cl yang ada sendiri adalah termasuk dalam halogen, dan sifat halogen yang berada dalam senyawa organik akan menyebabkan toksik dan karsinogen (Kusmayadi dan Sukandar 2009). Beberapa sifat berbahaya dari rhodamin B seperti menyebabkan iritasi bila terkena mata, menyebabkan kulit iritasi dan kemerahan bila terkena kulit hampir mirip dengan sifat dari klorin yang seperti disebutkan di atas berikatan dalam struktur rhodamin B. Penyebab lain senyawa ini begitu berbahaya jika dikonsumsi adalah senyawa tersebut adalah senyawa yang radikal. Senyawa radikal adalah senyawa yang tidak stabil. Dalam struktur rhodamin kita ketahui mengandung klorin (senyawa halogen), sifat halogen adalah mudah bereaksi atau memiliki reaktivitas yang tinggi maka dengan demikian senyawa tersebut karena merupakan senyawa yang radikal akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan berikatan dengan senyawa-senyawa dalam tubuh kita sehingga pada akhirnya akan memicu kanker pada manusia. Klorin sendiri pada suhu ruang berbentuk sebagai gas. Sifat dasar klorin sendiri adalah gas beracun yang menimbulkan iritasi sistem pernafasan. Efek toksik klorin berasal dari kekuatan mengoksidasinya. Bila klorin dihirup pada konsentrasi di atas 30 ppm, klorin mulai bereaksi dengan air dan sel-sel yang berubah menjadi asam klorida (HCl) dan asam hipoklorit (HClO). Ketika digunakan pada tingkat tertentu untuk desinfeksi air, meskipun reaksi klorin dengan air sendiri tidak mewakili bahaya utama bagi kesehatan manusia, bahan-bahan lain yang hadir dalam air dapat menghasilkan disinfeksi produk sampingan yang dapat merusak kesehatan manusia. Klorit yang digunakan sebagai bahan disinfektan yang digunakan dalam kolam renang pun berbahaya, jika terkena akan menyebabkan iritasi pada mata dan kulit manusia (Kusmayadi dan Sukandar 2009).
Limfosit Limfosit adalah bagian dari sel darah putih (leucocytes) yang tidak memiliki granula dalam sitoplasma (Kuby et al. 2007). Limfosit merupakan sel berukuran kecil, memiliki bentuk bulat dengan diameter 7-15 µm dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limfa, kelenjar limfe, dan timus. Sel ini merupakan inti dalam proses respon imun spesifik karena sel-sel limfosit dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen yang terdapat pada intraselular maupun ekstraselular (Kresno 1996). Guyton dan Hall (2006) mengatakan bahwa limfosit manusia berjumlah sekitar 30% dari jumlah normal sel darah putih. Limfosit dapat membentuk ratusan jenis antibodi dan limfosit sensitif yang berbeda-beda. Masing-masing jenis, sifatnya spesifik untuk suatu antigen yang khusus dan tiap jenisnya dapat menggandakan diri mencapai jumlah yang sangat besar apabila distimulasi oleh antigen spesifik yang jumlahnya cukup. Limfosit dibawa ke hampir semua jaringan dan organ vertebrata tingkat tinggi lewat dua jaringan sirkulasi, darah dan sistem limfa. Limfosit terdapat sebanyak 20-80% dari sel bernukleasi dalam darah dan lebih dari 99% dalam cairan limfatik (limfa) (Weissman et al. 1978). Limfosit dibentuk di dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi menjadi sel limfosit B dan limfosit T. Berdasarkan fungsinya terdapat tiga kelompok sel limfosit, yaitu sel limfosit B, sel limfosit
8
T, dan sel limfosit NK (Natural Killer). Sel limfosit B dan T memiliki reseptor pada permukaan yang mampu mengenali antigen tertentu, sedangkan sel limfosit NK tidak mempunyai reseptor untuk mengenal antigen. Pada manusia normal, sel limfosit B berjumlah 5-15% dan sel limfosit T berjumlah sekitar 65-80% dari jumlah limfosit dalam tubuh. Kedua sel tersebut berperan sebagai respon spesifik di mana sel limfosit B berperan di dalam respon imun humoral dan sel limfosit T berfungsi dalam sistem imun seluler, sedangkan sel limfosit NK (Natural Killer) berperan dalam respon imun nonspesifik (Harris 1991). Sel limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem dalam sumsum tulang belakang, tumbuh menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel memori. Limfosit B termasuk sistem perthanan humoral yaitu tidak menggunakan sel dalam melawan antigen tetapi menghasilkan zat yaitu berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen (Sheeler dan Bianchi 1982). Sel limfosit B dewasa memiliki imunoglobulin permukaan atau Surface Immunoglobulin (sIg) yang bertindak sebagai reseptor antigen spesifik, terdapat 1.5 x 105 molekul sIg pada permukaan membrane sel limfosit B yang memiliki status peningkatan sesuai dengan antigen tertentu. Sel limfosit B dewasa bergerak ke jaringan limfoid primer dan sekunder untuk dapat memberikan respon terhadap rangsangan antigenik dengan cara pembelahan dan diferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori dibawah kontrol sitokin, khususnya limfokin yang disekresi oleh sel limfosit T (Roitt dan Delves 2001). Sel limfosit T merupakan sistem pertahanan seluler termasuk leukosit non fatogenik yang berasal dari stem sel (sumsum tulang belakang), kemudian bermigrasi ke organ timus untuk menjadi dewasa. Sel limfosit T membelah diri di dalam organ timus dengan sangat cepat. Sel limfosit T dalam proses pendewasaannya mengalami diferensiasi menjadi tiga bentuk, yaitu sel Thelper (Th), Tsuppresor (Ts), dan Tcytotoxic (Tc). Sel Thelper merupakan sel limfosit T yang berperan dalam stimulasi antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut sitokin. Sel Tsuppresor berperan menekan aktivitas sel limfosit T yang lain dan mempunyai aktivitas menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoxic berperan untuk menghacurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler seperti virus (Baratawijaya 2007). Menurut Roitt dan Delves (2001) sel Thelper dapat dibedakan dari sel Tcytotoxic berdasarkan adanya glikoprotein yang berbeda pada permukaan membran mereka. Sel limfosit T yang memiliki CD4 berfungsi sebagai sel Thelper sedangkan sel limfosit T yang memiliki CD8 pada permukaan membrannya berfungsi sebagai sel Tcytotoxic. Sel limfosit T memiliki T Cell Antigen Receptor (TCR) yang dapat mengenali epitop suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada Antigen Presenting Cell (APC) yaitu Mayor Histocompatibility Complex (MHC). Sel limfosit T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mengsekresikan berbagai sitokin. Sitokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel-sel fagosit, sel NK, dan sel lain yang terlibat dalam respon imun. Sel limfosit NK atau Natural Killer termasuk sel nul karena tidak memiliki reseptor antigen pada permukaan tetapi memiliki reseptor untuk komplemen (C) dan fragmen molekul antibodi (Kresno 1996). Sel limfosit NK memiliki granula yang banyak seperti granula azurofilik dan ukuran lebih besar dari sel limfosit B dan T sehingga dikenal dengan LGL (Roitt dan Delves 2001). Sel limfosit NK berfungsi sebagai sel efektor sitolitik yang dapat menyerang dan melisis sel target yaitu sel abnormal seperti sel neoplastik, sel terinfeksi virus atau patogen seluler, dan sel normal yang tidak dewasa (Roitt dan Delves 2001).
9
Proliferasi Limfosit Proliferasi limfosit adalah suatu fungsi biologis, yaitu proses perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Proses tersebut menghasilkan sel-sel efektor atau sel-sel plasma yang berperan dalam respon spesifik dan non spesifik. Jika sel dikultur dengan senyawa mitogen, sel limfosit akan berproliferasi secara non spesifik. Respon proliferasi limfosit digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Zakaria et al. 2003). Kemampuan sel limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon, menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik. Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan merupakan indikator kualitas respon imun. Berbagai jenis bahan pangan seperti jahe, kunyit, dan bawang putih telah diketahui dan diteliti memiliki aktivitas imunostimulan, yaitu meningkatkan kemampuan proliferasi sel limfosit untuk meningkatkan sistem imunitas (Zakaria et al. 2003). Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel, baik sel T maupun sel B dalam persentase tinggi. Mitogen dikenal sebagai aktivator poliklonal karena dapat mengaktivasi banyak klon sel T atau sel B tanpa tergantung spesifitas antigennya. Stimulasi limfosit dengan antigen atau mitogen mengakibatkan berbagai reaksi biokimia di dalam sel, di antaranya adalah fosforilasi nukleoprotein, pembentukan DNA dan RNA, serta peningkatan metabolisme lemak, dan lain-lain. Aktivitas sel T dan sel B berproliferasi ini dapat diukur melalui Indeks Stimulasi (IS) (Zakaria et al. 2000). Beberapa jenis mitogen yang umum merupakan protein yang mengikat gula yang disebut lektin, yang secara spesifik mengikat glikoprotein pada pada permukaan berbagai sel, termasuk limfosit. Pengikatan molekul lektin ke glikoprotein membran sering memicu aglutinasi, atau pengklusteran sel, yang kemudian memicu aktivasi seluler dan proliferasi (Bartosz 1990). Menurut Tizar (1988), mitogen yang sering digunakan dalam proliferasi limfosit dapat berupa senyawa lektin dan non lektin. Contoh mitogen berupa senyawa lektin adalah PHA (Phytohaemagglutinin), PWM (Pokeweed), dan contoh mitogen berupa senyawa non lektin adalah Con A (Concanavalin A), dan LPS (Lipopolisakarida). Senyawa Con A berasal dari ekstrak tanaman kacang jaks (Conavalin ensiformis). LPS berasal dari suatu bakteri Gram negatif seperti E. coli dan Salmonella thyphymurium. Menurut Lao et al. (2001) aktivitas mitogen bersifat spesifik, seperti Con A dan PHA umumnya menginduksi proliferasi limfosit sel T, LPS menginduksi sel B, sedangkan PWM menginduksi sel T dan B. Pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan pewarnaan MTT (3-[4,5-dimetilthiazol2yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide; thiazolyl blue) yang ditambahkan pada media kultur (5 mg/ml) (Wyllie et al. 1998). Prinsip dari metode MTT ini adalah reduksi enzim suksinat dehidrogenase pada sel dari garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi kristal biru formazan yang kemudian dihitung absorbansinya menggunakan microplate reader atau ELISA Reader pada λ 570 nm. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesis oleh semua sel pada mitokondria. Semakin banyak terbentuk warna formazan, berarti jumlah enzim yang menghidrolisis garam tetrazolium juga banyak dan hal ini menunjukkan jumlah sel yang hidup banyak (Bounous 1992). Selain dengan metode MTT, terdapat juga jenis metode pengujian proliferasi sel lainnya, yaitu dengan menggunakan metode pewarnaan biru trifan dan dilihat menggunakan mikroskop pada perbesaran 400 kali. Prinsip metode ini adalah penyerapan zat warna melalui membran sel, biru trifan hanya dapat mewarnai jika sel tersebut rusak, sehingga digunakan untuk membedakan sel yang mati atau rusak dengan sel yang hidup. Sel yang hidup memiliki bentuk bulat dan berwarna terang,
10
sedangkan sel yang mati memiliki bentuk mengkerut dan berwarna biru. Sel mati tesebut berwarna biru disebabkan pecahnya dinding sel yang mengakibatkan warna biru dari biru trifan dapat masuk dan mewarnai keseluruhan sel (Shaper 1998).
Kultur Sel Kultur sel merupakan teknik mengembangbiakkan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel biasanya dilakukan pada sel limfosit. Biakan sel atau jaringan akan diamati untuk mempelajari sifat sel di luar tubuhnya. Pelaksanaan kultur sel secara in vitro ini memerlukan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi di dalam tubuh meliputi pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi (Davis 1994). Pengaturan kondisi untuk pertumbuhan merupakan suatu keuntungan karena kondisi fisiologis dari kultur sel relatif konstan, sedangkan kekurangannya adalah hilangnya spesifitas sel, karena sel bekerja tidak secara terintegritas dalam suatu jaringan, tetapi selnya terpisah-pisah. Kultur sel dilakukan dalam media yang kondisinya steril, butuh keahlian dan keterampilan khusus dan biaya relatif mahal (Malole 1990). Menurut Freshney (1994), terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel dalam kultur (in vitro) dengan sel di dalam tubuh (in vivo). Interaksi yang spesifik antar sel pada jaringan secara in vitro hilang karena sel tersebar dan mudah bergerak, laju pertumbuhan sel meningkat karena ada kemungkinan berproliferasi. Lingkungan kultur kekurangan beberapa komponen yang mempengaruhi pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem saraf dan sistem endokrin. Energi yang dibutuhkan dalam metabolisme in vitro berasal dari glikolisis, sedangkan meabolisme sel secara in vivo berasal dari glikolisis, daur Krebs, dan transpor elektron. Media pertumbuhan kultur sel berfungsi mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik, sehingga sel dapat bertahan hidup, berkembang dan berdiferensiasi dan menyediakan substansisubstansi yang tidak dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang umumnya terkandung adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu. Pemilihan media harus didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan dari studi penggunaan sel tersebut. Media yang sering digunakan untuk kultur sel limfosit adalah RPMI-1640. RPMI (Rosewell Park Memorial Institut). Selain RPMI-1640 terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI1629 (Davis 1994). Dalam pembuatan media kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik. Penambahan buffer bertujuan menjaga keseimbangan pH yaitu memiliki pH 7.4 karena jika pH sedikit lebih rendah dari pH 7, pertumbuhan sel akan terhambat (Freshney 1994). Buffer yang sering digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik bertujuan mencegah kontaminasi media. Antibiotik yang berbeda mempunyai spektrum antimikroba yang berbeda seperti Penicilin merupakan antimikroba untuk bakteri gram positif, Streptomicin untuk bakteeri gram positif dan negatif, sedangkan Gentamicin untuk bakteri gram positif, negatif, dan mikroplasma (Freshney 1994). Selain itu juga ditambahkan serum untuk menunjang pertumbuhan sel di luar tubuh dan pelekatan sel. Serum yang biasanya digunakan sebagai suplemen standar adalah serum janin sapi (Fetal Calf Serum atau Fetal Bovine Serum), karena kaya dengan faktor pertumbuhan dan rendahnya kandungan gamma globulin. Penambahan serum berkisar 5-20% (Walun et al. 1990). Disamping medium, jumlah atau konsentrasi sel yang dikulturkan harus diperhatikan. Jumlah sel limfosit yang dikulturkan sekitar 1-4 x 106 sel/ml, karena sel limfosit tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah atau kurang dari 1.5 x 105 sel/ml (Bellanti 1993). Sel limfosit memerlukan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi O2 yang rendah masih dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhannya tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob.
11
Temperatur kultur dipertahankan 37oC. konsentrasi 5 % CO2 dan 95% udara bertujuan membuat kondisi yang sama dengan kondisi di dalam tubuh. Temperatur dapat mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 misalnya pada temperatur rendah akan terjadi perubahan ionisasi sehingga terjadi perubahan pH (Freshney 1994). Kultur sel limfosit dapat digunakan sebagai model uji toksisitas karena limfosit adalah sel yang bertanggungjawab terhadap respon imun spesifik, dimana sel tersebut mempunyai kemampuan untuk mengenal berbagai macam antigen yang berbeda (Cambier 1987). Lebih dari satu juta struktur antigenik dapat dibedakan karena kemampuan pengenalan yang dimiliki limfosit. Limfosit mempunyai fungsi yang paling beragam dibanding semua sel dalam sistem imun. Menurut Kresno (1996), sel limfosit mampu mengenal setiap jenis antigen baik antigen yang terdapat pada intraseluler maupun ekstraseluler misalnya dalam cairan tubuh atau dalam tubuh.
Tikus Percobaan Tikus putih merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model untuk percobaan laboratorium. Hal ini disebabkan karena tikus putih sangat produkstif dan mudah dalam pengelolaannya. Selain itu, siklus hidup dari hewan ini relatif pendek, jumlah anak perkelahiran banyak, serta sifat produksi dan reproduksinya menyerupai hewan mamalia (Mariwaki 1987). Tikus putih termasuk dalam Kingdom Animalia, Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Superfamili Muroidea, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus Rattus dan Spesies Rattus sp (Robinson 1979). Penelitian toksikologi suatu sampel memerlukan serangkaian percobaan in vivo melibatkan hewan uji dengan harapan mendapatkan estimasi keamanan atau tingkat toksisitas suatu sampel pada manusia. Tikus laboratorium berasal dari tikus liar yang sudah didomistikasi. Mencit laboratorium biasanya berwarna putih, matanya berwarna merah dan biasanya tidak terlalu agresif. Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus; tingkat pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia; kekurangpekaan tikus pada senyawa neurotoksik dan teratogen. Tikus dapat membuat vitamin C sendiri sedangkan sumber vitamin C manusia hanya melalui makanan. Berbeda dengan manusia, tikus tidak mempunyai kantung empedu (Koeman 1987). Terdapat lima galur tikus putih, yaitu galur Sprague Dawley, Wistar, Sherman, OsborneMendel dan Long-Evans. Untuk studi kesehatan dan penyakit pada manusia, tikus Sprague Dawley merupakan model yang sangat bagus untuk toksikologi, reproduksi, farmakologi dan tingkah laku. Galur Sprague Dawley yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai ciri berwarna putih albino, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya (Malole dan Pramono 1989). Berikut ini beberapa karakteristik anatomis dan fisiologis tikus Sprague Dawley: Rumus gigi tikus Sprague Dawley adalah 2 (I 1/1, M 3/3) = 16. Gigi seri tumbuh terus menerus. Tikus akan menggigit atau menjepit dengan gigi serinya yang tajam jika salah penanganan. Esofagus masuk ke lambung melewati lubang yang kecil karena ada lipatan jaringan pada lambung. Karena struktur anatomis tersebut, tikus tidak mampu muntah. Seperti kuda, tikus tersebut tidak mempunyai kantung empedu. Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus sementara paru-paru kanan terdiri atas empat lobus. Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae tersebar, dari garis tengah ventral melewati panggul, toraks dan bagian leher. Uretra tikus betina tidak berhubungan dengan vagina atau vulva. Kelenjar membrane niktitasi (kelenjar Harderian) merupakan kelenjar lakrimal terpigmentasi yang teletak di belakang bola mata, melingkari saraf optik. Hasil sekresi dari kelenjar
12
ini kaya akan lemak dan porfirin. Meskipun banyak spesies lain memiliki kelenjar Harderian, pada tikus kelenjar ini memiliki fungsi khusus. Selama masa stress dan atau sakit tertentu, air mata mengalir dan mewarnai wajah di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata mengering, pigmen tersebut memberikan warna seperti darah kering. Pigmen tersebut akan berpendar saat dipaparkan pada sinar ultraviolet dan mengandung sedikit darah atau tidak sama sekali. Respon tikus terhadap penurunan suhu ruang/kandang berupa termogenesis tanpa gemetar. Sedangkan saat suhu kandang meningkat, terjadi vaskularisasi pada ekornya yang panjang, yang juga berperan sebagai organ termoregulator. Sebagian besar termogenesis tersebut terjadi pada jaringan lemak yang coklat, konsentrasi yang paling tinggi ditemukan pada jaringan subkutan di antara skapula (Malole dan Pramono 1989). Tabel 1. Data Biologis Tikus Kriteria Berat badan dewasa jantan Berat badan dewasa betina Berat lahir Suhu tubuh Harapan hidup Konsumsi makanan Konsumsi air minum Jumlah pernafasan Penggunaan oksigen Detak jantung Volume darah Tekanan darah Lama produksi ekonomis Lama bunting Umur sapih Umur dewasa kelamin Jumlah anak per kelahiran Kecepatan pertumbuhan
Nilai 450-520 g 250-300 g 5-6 g 35,9-37,5°C 2,5-3,5 tahun 10 g/100 g/hari 10-12 mL/100 g/hari 70-115/menit 0,68-1,10 mL/g/hari 250-450/menit 54-70 mL/kg 84-134/60 mmHg 9 bulan 19-21 hari 21 hari 35 hari 6 sampai 15 1 gram/hari
Sumber : Malole dan Pramono (1989)
13
III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Febuari 2010 sampai April 2010, bertempat Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen ITP dan SEAFAST CENTER IPB, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta IPB, dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Alat dan Bahan
a. b. c. d. e. f.
a. b. c. d.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Alat untuk pemeliharaan tikus, yaitu: kandang plastik dengan tutup yang terbuat dari kawat, botol minum, wadah pakan, dan timbangan. Alat untuk pembuatan ekstrak biji bligo, yaitu: blender kering, blender basah, kain kasa, botol, gelas piala, dan tabung reaksi. Alat untuk pemberian ekstrak biji bligo pada tikus, yaitu: alat sonde (syringe yang dilengkapi dengan jarum berujung bundar). Alat untuk anastesi tikus, yaitu: toples kaca besar. Alat untuk pengambilan sampel limfa, yaitu: alat bedah, alumunium foil, dan cawan petri steril. Alat untuk analisis proliferasi limfosit, yaitu: laminar flow hood steril, pipet mikro, tabung sentrifuse steril, syringe steril, pipet pasteur steril, sentrifuse, hemasitometer, microplate 96 sumur, ELISA reader, mikroskop, mikroskop inverted, inkubator, timer, dan counter. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Bahan untuk pemeliharaan tikus, yaitu: air minum dalam kemasan dan ransum yang mengikuti standar AIN 1976. Bahan untuk pembuatan ekstrak biji bligo, yaitu: biji bligo kering dan air akuades. Bahan untuk euthanasia tikus, yaitu: eter atau kloroform, dan alkohol 70%. Bahan untuk analisis proliferasi limfosit, yaitu: limfa tikus, RPMI-1640, Phosphat Buffer Saline (PBS), Fetal Bovine Serum (FBS), NH4Cl 0.85% steril, biru trifan, 3-[4,5-dimetilthiazol2yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide; thiazolyl blue (MTT), Lipopolisakarida (LPS) Salmonella thyphimurium, Tartrazin 0.3 mg/ml, 0.6 mg/ml, 0.9 mg/ml, Rhodamin 20 µg/ml, 40 µg/ml, 60 µg/ml, dan HCl-isopropanol 0.04 N.
Metode Penelitian Pembuatan Ekstrak Bligo (mengacu Sugito 2010)
a. b.
Pembuatan ekstrak bligo dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: Biji bligo kering yang didapat dari Fytagoras BV Plant Science Belanda digiling dengan menggunakan disk mill, kemudian diayak dengan ayakan 70 mesh. Tepung biji bligo ditambahkan dengan aquades. Untuk pembuatan ekstrak dengan dosis 0.1 g/kg bb, tiap 1 g bubuk biji bligo ditambahkan 50 ml akuades kemudian didiamkan selama 10
14
c.
menit sambil diaduk. Untuk dosis 1 g/kg bb, tiap 1 g bubuk biji bligo ditambahkan 5 ml akuades kemudian didiamkan selama 10 menit sambil diaduk. Selanjutnya, agar homogen ekstrak disaring dengan menggunakan saringan 70 mesh.
Pemeliharaan Tikus (mengacu Sugito 2010) Tahap-tahap pemilihan dan pemeliharaan tikus, sebagai berikut: 1. Tikus Sprague Dawley jantan dan betina berumur sekitar 2 bulan dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 8 tikus jantan dan 2 betina. Selisih berat rata-rata kelompok tidak lebih dari 5 g. 2. Kelompok 1 merupakan kontrol negatif, kelompok kedua diberikan ekstrak biji bligo sebanyak 0.1 g/kg bb, sedangkan kelompok 3 diberikan ekstrak biji bligo sebanyak 1 g/kg bb. Ransum yang digunakan sesuai dengan standar AIN (1976), ransum dan air diberikan secara ad libitum. 3. Tikus diadaptasi selama 10 hari. Setelah masa adaptasi selesai, tiap harinya tikus kelompok 1 disonde dengan air; tikus kelompok 2 disonde dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb; sementara tikus kelompok 3 disonde dengan ekstrak bligo 1 g/kg bb. 4. Tikus dipelihara selama 90 hari (3 bulan). 5. Pengamatan kondisi tikus mencakup observasi tanda-tanda klinis, berat badan dan konsumsi pakan. Tabel 2. Komposisi Bahan dalam 100 g Pakan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bahan Kasein Minyak jagung Serat (CMC) Campuran mineral Vitamin Air Karbohidrat (Maizena)
Berat (g) 23.06 4.79 5.00 3.25 1.00 8.77 54.13
Komposisi vitamin: vitamin A (1000 IU), vitamin B1 (1,4 mg), vitamin B2 (1,6 mg), vitamin B6 (2 mg), Vitamin B12 (3 mg), vitamin C (60 mg), vitamin D (100 IU), vitamin E (5 mg), nikotinamida (9 mg), kalsium pantotenal (5 mg). Campuran mineral : NaCl (139,3 mg), KI (0,790 mg), KH2PO4 (389 mg), MgSO4.7H2) (57,3 mg), CaCO3 (381,4 mg), FeSO4.7H2O (27 mg), MnSO4.7H2O (4,01 mg), ZnSO4.7H2O (0,548 mg), CuSO4.5H2O (0,477 mg) dan CoCl2.6H2O (0,023 mg).
Pengukuran Proliferasi Sel Limfosit Limfa A. Isolasi limfosit limfa (Prangdimurti 1999) Tikus yang sudah diterminasi dengan cara pembiusan diambil organ limfanya secara steril, kemudian dicuci dengan 5 ml PBS dalam botol steril selanjutnya pekerjaan dilakukan di bawah laminar flow hood steril. Limfa dipindahkan ke dalam cawan petri steril yang berisi 5 ml RPMI-1640. Limfa tersebut digerus sampai homogen dengan syringe steril, selanjutnya dimasukkan dengan pipet
15
pasteur ke dalam tabung sentrifuse 15 ml steril. Suspensi kemudian disetrifuse dengan kecepatan 2500 rpm (559.5 g) selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet (bagian bawah) dijentik-jentikkan, ditambah 2 ml NH4Cl 0.85% steril, didiamkan selama 2 menit, kemudian ditambahkan 3 ml RPMI1640, selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm (559.5 g) selama 5 menit. Supernatan yang berisi sel darah merah yang lisis dibuang. Pelet dijentik-jentikkan, ditambahkan 5 ml RPMI-1640, lalu disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm (559.5 g) selama 5 menit. Endapan sel limfosit disuspensikan dengan 5 ml RPMI-1640 lengkap yang sudah ditambah antibiotik.
B. Penghitungan sel limfosit limfa Sebelum dilakukan pengkulturan suspensi sel limfosit, dilakukan penghitungan sel limfosit dengan biru trifan. Suspensi sel limfosit sebanyak 50 µl ditempatkan dalam sumur microplate, ditambah 50 µl biru trifan (perbandingan 1:1). Perhitungan sel limfosit dilakukan dengan hemasitometer di bawah mikroskop pada pembesaran 400 kali, perhitungan dilakukan pada sel yang hidup (sel yang akan dikultur 95% hidup). Sel hidup tampak terang, jernih, dan berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati akan berwarna biru mengkerut. Berdasarkan hasil perhitungan pada area 2 kotak besar (@ 16 kotak kecil) kemudian ditentukan jumlah sel yang hidup setiap mililiter suspensi dengan rumus: N = V/2 x FP x 104 sel/ml Keterangan: N = jumlah sel/ml V/2 = rata-rata jumlah sel terhitung dari 2 bidang pandang berlawanan FP = Faktor Pengenceran 104 = jumlah sel per luas bidang pandang (1.0 mm x 1.0 mm x 0.1 mm)
C. Pengujian proliferasi sel limfosit limfa menggunakan MTT (mengacu Puspaningrum 2003; Keller et al. 2005) Tujuannya melihat kemampuan proliferasi sel limfosit melalui teknik kultur. Suspensi sel limfosit ditepatkan menjadi 2 x 106 sel/ml melalui pengenceran dengan RPMI-1640. Selanjutnya dikultur dalam microplate 96 sumur, ke dalam tiap sumur dimasukkan 60 µl suspensi sel limfosit, kemudian setiap kultur ditambah 30 µl RPMI-1640 lengkap untuk kultur kontrol, atau 30 µl mitogen LPS S. thyphimurium (0.417 mg dalam 10 ml PBS) sehingga konsentrasinya 12.5 µg/ml kultur, atau 30 µl tartrazin 0.3 mg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 90 µg/ml kultur, tartrazin 0.6 mg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 180 µg/ml kultur, atau tartrazin 0.9 mg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 270 µg/ml kultur, atau 30 µl rhodamin 20 µg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 6 µg/ml kultur, rhodamin 40 µg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 12 µg/ml kultur, atau rhodamin 60 µg/ml sehingga konsentrasinya menjadi 18 µg/ml kultur. Tiap suspensi sel limfosit limfa tikus dikultur dalam 3 sumur atau dibuat triplo. Selanjutnya ke dalam tiap sumur ditambah 10 µl FBS sehingga volume tiap sumur berisi 100 µl. Kultur sel diinkubasi pada suhu 37ºC dengan atmosfer 5% CO2, 95% udara, dan RH 96% selama 72 jam. Empat jam sebelum masa inkubasi berakhir ke dalam masingmasing sumur ditambahkan 10 µl larutan MTT 0.5%. Setelah masa inkubasi berakhir 80 µl HClisopropanol 0.04 N ditambahkan pada setiap sumur. Sebelum pengukuran absorbansi dilakukan, setiap sumur diperiksa apakah kultur terkontaminasi atau tidak menggunakan mikroskop inverted.
16
Kemudian absorbansi masing-masing sumur diukur dengan microplate reader (ELISA reader) pada λ 570 nm. Nilai OD (Optical Density) hasil pembacaan dengan ELISA reader bersifat proposional terhadap jumlah sel hidup dengan menentukan IS (indeks stimulus) sebagai penentuan aktivitas proliferasi. IS dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: IS = OD sel perlakuan (dengan mitogen, LPS, Tartrazin, Rhodamin) OD sel kontrol (tanpa mitogen, LPS, Tartrazin, Rhodamin) Besar peningkatan atau penurunan aktivitas proliferasi limfosit akibat penambahan LPS, tartrazin, atau rhodamin dalam % dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: % Aktivitas = (IS perlakuan (LPS, Tartrazin, Rhodamin) – IS spontan) X 100% IS spontan Besar % Aktivitas kultur dengan perlakuan LPS atau tartrazin atau rhodamin kemudian dibandingkan dengan kultur kontrol dan dianalisis dengan uji statistik yaitu dengan uji T.
17
Berikut ini adalah diagram alir penelitian:
Biji Bligo
Penggilingan dan pengayakan 70 mesh
Pembuatan ekstrak 1 gram dalam 5 mL, dan 1 gram dalam 50 mL aquades Aquades
Penyondean 1 mL aquades
0,1 g/kg bb
1 g/kg bb
Kontrol (10 ekor tikus)
Perlakuan 1 (10 ekor tikus)
Perlakuan 2 (10 ekor tikus)
Pemeliharaan selama 90 hari dan disonde 1 kali/hari Terminasi LPS atau Tartrazin atau Rhodamin
Pengambilan Limfa
1. 2. 3.
Analisis Proliferasi Limfosit: Hasil Dan Pembahasan Isolasi Limfosit Perhitungan Sel Limfosit Pengujian Proliferasi Dengan Metode MTT
Analisis ANOVA dan Uji T
Gambar 2. Diagram alir penelitian (Modifikasi metode Sugito 2010)
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Tikus Percobaan Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih galur Sprague Dawley jantan dan betina berumur 60 hari, yang diperoleh dari Laboratorium Bersama Hewan Percobaan (SEAFAST Centre dan Departemen Ilmu Teknologi Pangan) IPB sebanyak 30 ekor, dimana 24 ekor diantaranya adalah tikus jantan dan 6 ekor sisanya adalah tikus betina. Berat rata-rata tikus pada awal masa adaptasi adalah 166.77 ± 10.54 gram. Setelah diadaptasikan selama seminggu berat rata-rata tikus menjadi 195.07 ± 15.26 gram. Penggunaan tikus Sprague Dawley disebabkan tikus ini mudah didapat, banyak digunakan dalam penelitian imunitas, dan tidak bisa muntah. Selanjutnya tikus percobaan dipelihara dalam kandang individu yang terbuat dari bahan plastik. Kondisi ruangan diatur pada suhu 22-24 ºC, dan dengan siklus gelap terang masing-masing selama 12 jam. Menurut Muchtadi (1989) suhu optimum ruangan untuk tikus percobaan berkisar 22-24 ºC. Sebelum diberi perlakuan, tikus percobaan diadaptasikan selama seminggu tujuannya agar tikus percobaan menyesuaikan dengan lingkungan baru atau lingkungan laboratorium, mengamati apakah tikus terus digunakan atau tidak dalam penelitian misalnya tidak sakit dan berperilaku normal, dan menyeragamkan kondisi tikus sebelum diberi perlakuan (Muchtadi 1989). Pakan dan minuman diberikan secara ad libitum, dimana formulasi pakan standar yang diberikan mengacu pada America Institute of Nutrition (AIN 1976). Pakan standar dengan kadar protein 20% berasal dari kasein susu (komposisi pakan secara lengkap disajikan pada Tabel 2). Minuman yang diberikan berupa air aqua dengan menggunakan botol individu yang berwarna gelap. Pakan yang diberikan pada tikus percobaan dalam bentuk bubuk dan berjumlah 20 gram/ekor/hari. Pemberian pakan dalam jumlah 20 gram/ekor/hari sudah mencukupi kebutuhan konsumsi pakan tikus per hari untuk berat badan tikus 250-300 gram. Selain itu pemberian pakan 20 gram/ekor/hari bertujuan menentukan jumlah pakan riil yang dikonsumsi setiap harinya. Pakan ditempatkan dalam wadah alumunium yang diganti setiap 3 hari sekali. Pakan dan minum diberikan pada pukul 08.00-09.00 WIB untuk setiap harinya, dan sisa pakan ditimbang untuk mengetahui berat pakan yang dikonsumsi oleh tikus. Penggantian pakan diberikan pada kisaran waktu yang sama dengan tujuan untuk memberikan keseragaman dalam penelitian ini berkaitan dengan waktu konsumsi pakan, perubahan jumlah konsumsi, waktu sonde, dan perubahan berat badan. Penggantian botol minum dilakukan setiap 3 hari sekali. Penggantian kandang tikus juga dilakukan setiap 3 hari sekali, hal ini dilakukan karena setelah 3 hari kandang tampak basah dan berbau amoniak dari urin tikus.
Berat Badan dan Sisa Pakan Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap hari selama 15 hari pertama dan selanjutnya dilakukan setiap 2 hari sekali sampai 90 hari. Penimbangan berat badan tikus dilakukan dalam kisaran waktu yang sama, yaitu pada pukul 08.00-09.00 WIB, dan dilakukan sebelum pengggantian pakan dan penyondean ekstrak biji bligo. Berat badan tikus digunakan untuk menghitung volume ekstrak biji bligo yang akan disonde pada hari berikutnya. Volume ekstrak biji bligo untuk sonde rata-rata bertambah 0.1 ml dalam 4 hari pemeliharaan tikus atau setelah mengalami periode penimbangan sebanyak 2 kali. Penimbangan berat badan tikus bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tikus, memperkirakan tingkat kesehatan, dan indikasi keracunan subkronis akibat pemberian ekstrak biji bligo.
19
Tikus dibagi menjadi 3 kelompok setelah masa adaptasi, setiap kelompok terdiri atas 8 tikus jantan dan 2 tikus betina. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol yang disonde dengan aquades sebanyak 1 ml untuk setiap tikus. Kelompok kedua adalah kelompok perlakuan yang disonde dengan ekstrak biji bligo sebanyak 0.1 g/kg bb. Kelompok ketiga adalah kelompok perlakuan yang disonde dengan ekstrak biji bligo sebanyak 1 g/kg bb. Hasil penimbangan berat badan tikus selama 3 bulan disajikan pada Tabel 3. Data ini sama dengan yang dilaporkan oleh Sugito (2010). Tabel 3. Rata-rata berat badan tikus selama 3 bulan
Perlakuan Kontrol 0.1 g/kg bb 1 g/kg bb
Bulan ke0 (g) 165.6 ± 11.41 167.0 ± 6.79 166.3 ± 11.13
1 (g) 257.3 ± 34.70 255.1 ± 26.99 257.9 ± 37.30
2 (g) 296.5 ± 30.37 299.1 ± 27.32 290.1 ± 37.26
3 (g) 330.8 ± 43.76 319.1 ± 45.93 315.0 ± 47.91
Tabel 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata tikus setelah satu bulan pertama sebesar 91.7 g untuk tikus kontrol, 88.1 g untuk tikus perlakuan 0.1 g/kg bb, dan 91.6 g untuk tikus perlakuan 1 g/kg bb. Pertumbuhan rata-rata tikus satu bulan berikutnya (pertumbuhan berat badan tikus bulan ke-1 dan bulan ke-2) sebesar 39.2 g untuk tikus kontrol, 44.0 g untuk tikus perlakuan 0.1 g/kg bb, dan 32.2 g untuk tikus perlakuan 1 g/kg bb. Dan pertumbuhan rata-rata tikus satu bulan berikutnya adalah sebesar 34.3 g untuk tikus kontrol, 20.0 g untuk tikus perlakuan 0.1 g/kg bb, dan 24.9 g untuk tikus perlakuan 1 g/kg bb. Pertumbuhan rata-rata selama 3 bulan sebesar 165.2 ± 43.79 g untuk tikus kontrol, 152.1 ± 45.93 g untuk tikus perlakuan 0.1 g/kg bb, dan 148.0 ± 73.78 g untuk tikus perlakuan 1 g/kg bb. Berdasarkan uji statistik ANOVA (p>0.05), pemberian ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb tidak berpengaruh secara nyata terhadap berat badan tikus pada bulan ke-1, ke2, dan ke-3 dan pemberian ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb juga tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan berat badan tikus selama 3 bulan. Perhitungan jumlah konsumsi pakan pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan uji statistik ANOVA, konsumsi pakan tikus pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 tidak berbeda secara nyata antara tikus kontrol dan tikus yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi tikus baik tikus kontrol dan tikus perlakuan tidak memiliki perbedaan yang signifikan walaupun secara umum tikus perlakuan mengonsumsi pakan lebih banyak. Tabel 4. Rata-rata konsumsi pakan bulan ke-1, ke-2, dan ke-3
Perlakuan Kontrol 0.1 g/kg bb 1 g/kg bb
1 (g) 16.88 ± 1.06 17.89 ± 1.45 18.43 ± 1.24
Bulan ke2 (g) 16.52 ± 1.20 17.13 ± 1.78 18.48 ± 1.39
3 (g) 17.50 ± 0.77 17.79 ± 2.25 18.13 ± 1.71
Tabel 4 menunjukkan bahwa konsumsi pakan tikus yang diberi ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb lebih tinggi dari tikus kontrol baik pada bulan ke-1, ke-2, maupun ke-3. Selisih jumlah konsumsi pakan rata-rata antara tikus kontrol dengan tikus perlakuan pada bulan ke-1 adalah sebesar 1.01 g untuk tikus 0.1 g/kg bb dan sebesar 1.55 g untuk tikus 1 g/kg bb. Selisih jumlah
20
konsumsi pakan rata-rata antara tikus kontrol dengan tikus perlakuan pada bulan ke-2 adalah sebesar 0.61 g untuk tikus 0.1 g/kg bb dan sebesar 1.96 g untuk tikus 1 g/kg bb. Selisih jumlah konsumsi pakan rata-rata antara tikus kontrol dengan tikus perlakuan pada bulan ke-3 adalah sebesar 0.29 g untuk tikus 0.1 g/kg bb dan sebesar 0.63 g untuk tikus 1 g/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji bligo tidak mengandung senyawa yang mengganggu saluran pencernaan sehingga nafsu makan tikus perlakuan tidak berkurang. Penurunan nafsu makan dapat disebabkan bahan yang dikonsumsi mengandung senyawa toksik yang mengganggu kinerja enzim pencernaan, dimana hal ini dapat berlanjut hingga terganggunya metabolisme tubuh. Nafsu makan yang rendah juga dapat menggangu pertumbuhan tubuh (dalam hal ini tikus percobaan). Dari Tabel 4 dapat kita lihat bahwa ekstrak biji bligo tidak mengandung senyawa toksik yang mengganggu enzim pencernaan dan tidak mengandung senyawa yang dapat menutup permukaan usus atau mengkelat zat gizi tertentu sehingga penyerapan zat gizi menjadi terganggu. Hal ini terlihat dari tidak menurunnya nafsu makan tikus dan pertumbuhan berat badan tikus yang berbeda tidak nyata dengan tikus kontrol. Menurut Qodrie et al. (2009), biji bligo tidak mengandung senyawa-senyawa yang berbahaya bagi tikus percobaan, dan tidak menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, sehingga tikus dapat tumbuh normal, dan tidak toksik sampai dosis 5 g/kg bb. Dengan demikian, ekstrak biji bligo tidak menggangu kerja enzim pencernaan dan tidak mengganggu metabolisme zat gizi. Menurut Sugito (2010) ekstrak biji bligo juga tidak menyebabkan gangguan kesehatan atau tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 5 g/kg bb metode akut, dan juga tidak toksik pada pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb.
Proliferasi Sel Limfosit Limfa Proliferasi merupakan fungsi fisiologis yaitu proses pembelahan secara mitosis dan diferensiasi sel sebagai respon terhadap antigen atau mitogen (Zakaria et al. 2003). Proliferasi limfosit merupakan suatu proses yang dapat mengindikasikan aktivitas respon imun spesifik yang berkaitan dengan suatu sistem imun. Sel limfosit yang dapat berproliferasi adalah sel B dan sel T. Proses proliferasi diawali oleh bertambahnya sel B dan sel B tersebut berdifensiasi menjadi sel plasma (efektor) dan sel memori, sedangkan sel T berdiferensiasi menjadi sel Th, Tc, dan Ts. Sel B dan sel T merupakan bagian dari sel limfosit yang memiliki peranan dalam sistem imun spesifik. Sel T akan menghasilkan sitokin yang menginduksi sistem imun yang lain. Sel B akan menghasilkan antibodi dari sel plasmanya untuk melawan benda asing (antigen) yang dapat merugikan bagi kesehatan (Kuby 2006). Dengan adanya proliferasi maka jumlah sel B dan sel T semakin banyak, hal ini mengakibatkan kemampuan menghasilkan sitokin dan antibodi yang diperlukan untuk melawan antigen meningkat dan pertahanan tubuh (imun) meningkat. Menurut Roitt dan Delves (2001) sistem imun itu bekerja secara terintegrasi bukan sendiri-sendiri. Penentuan aktivitas proliferasi sel limfosit limfa tikus setelah 90 hari masa perlakuan melalui proses isolasi sel limfosit limfa, perhitungan sel limfosit, dan pengkulturan sel limfosit limfa. Penggunaan organ limfa ini disebabkan organ limfa merupakan organ limfoid sekunder. Organ limfoid sekunder memiliki fungsi menangkap dan mempresentasikan antigen dengan efektif, sel B dan sel T sudah dalam keadaan matang sehingga sudah siap untuk berproliferasi dan berdiferensiasi, dan merupakan tempat utama produksi antibodi. Organ limfa juga merupakan tempat untuk saringan darah dan tempat respon imun utama terhadap antigen asal darah (Baratawijaya 2007). Isolasi sel limfosit dilakukan dengan melisis sel eritrosit dan pencucian dengan medium RPMI-1640 sehingga didapatkan suspensi sel limfosit.
21
Perhitungan sel limfosit limfa menggunakan metode biru trifan, hemasitometer, dan mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan jumlah sel yang hidup atau mati. Sel yang hidup tidak akan mengalami kerusakan membran sel sehingga biru trifan yang diberikan tidak dapat masuk ke dalam sel. Sel yang hidup akan tampak berbentuk bulat utuh dan bening. Sedangkan pada sel yang mati, membran sel rusak, biru trifan dapat masuk ke dalam sel sehingga sel mengkerut dan berwarna kebiruan (seperti warna biru trifan). Suspensi sel limfosit yang dikultur harus memiliki jumlah sel ynag hidup sebesar 95%.
Gambar 3. Sel limfosit limfa pada hemasitometer Pengkulturan sel limfosit limfa dilakukan secara in vitro karena sel limfosit dapat tumbuh di luar tubuh hewan atau manusia (Lao et al. 2001). Suspensi sel limfosit yang akan dikultur ditepatkan menjadi 2 x 106 sel/ml didasari oleh penelitian yang telah dilakukan Krismawati (2007) dengan waktu kultur 72 jam. Ke dalam tiap sumur microplate dimasukkan 60 µl suspensi sel limfosit, 30 µl mitogen LPS S. thyphimurium atau senyawa uji berupa Tartrazin dan Rhodamin, dan 10 µl FBS (Fetal Bovine Serum), sehingga tiap sumur terdapat 100 µl kultur. Dengan demikian konsentrasi sel limfosit sebanyak 1.2 x 106 sel/ml kultur, jumlah sel limfosit sebanyak 106 sel/ml kultur merupakan syarat utama agar sel limfosit dapat tumbuh selama pengkulturan. Pengkulturan sel secara in vitro ini memerlukan kondisi lingkungan pertumbuhan hampir sama dengan in vivo (keadaan tubuh hewan atau manusia) seperti pH, suhu, udara, dan asupan nutrisi (asam amino, vitamin, mineral, garam organik) sehingga proses biologis yang terjadi mendekati keadaan sebenarnya di dalam tubuh. Pengkulturan sel limfosit dilakukan dengan media RPMI 1640. Media ini mengandung nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan sel. Selain RPMI 1640 pada pengkulturan sel limfosit ditambahkan FBS (Fetal Bovine Serum) sebanyak 10 µl, hal ini bertujuan menambah nutrien yaitu hormon-hormon penting untuk pertumbuhan, sebagai faktor penempel sel pada matriks tempat sel tumbuh (microplate), protein, mineral, lipid, serta mineral-mineral yang penting untuk pertumbuhan (Freshney 1994). Di dalam media juga ditambahkan antibiotik yang bertujuan mengatasi kontaminasi mikroorganisme. Di dalam media juga ditambahkan NaCO3 yang berfungsi sebagai buffer untuk mempertahankan pH yang diperlukan dalam pengkulturan sel limfosit (Freshney 1994). Pengkulturan sel limfosit limfa pada penelitian ini ada yang ditambahkan dengan mitogen berupa LPS (lipopolisakarida) dari S. thyphimurium dan ada yang ditambahkan dengan senyawa xenobiotik berupa tartrazin dan rhodamin. Penambahan LPS bertujuan memacu proliferasi karena LPS ini sejenis antigen yang dapat menginduksi terjadinya proliferasi. Menurut Watter et al (2002), LPS adalah komponen membran luar bakteri gram negatif yang dapat meningkatkan aktivitas sel imun. Sedangkan tujuan penambahan senyawa xenobiotik adalah untuk mengetahui apakah senyawa
22
tersebut (tartrazin dan rhodamin) dapat membunuh sel limfosit atau menghambat aktivitas proliferasi sel limfosit. Setelah kultur sel limfosit diinkubasi selama 72 jam, dilakukan pengecekan untuk memastikan apakah kultur terkontaminasi atau tidak dengan menggunakan mikroskop inverted. Dari hasil pengecekan, tidak ditemukan bakteri (berupa bintik-bintik kecil yang bergerak) ataupun kapang sehingga dapat dipastikan bahwa setiap sumur tidak terkontaminasi. Kemudian pengukuran absorbansi dilakukan dengan ELISA reader. Metode yang digunakan dalam pengujian proliferasi limfosit adalah metode MTT (3-[4,5-dimetilthiazol-2yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide). Metode ini termasuk metode kalorimetri. Prinsip kerja metode ini adalah senyawa MTT yang berwarna kuning akan bereaksi dengan enzim suksinat dehidrogenase yang ada dalam mitokondria sel, yang kemudian enzim ini mengubah senyawa tetrazolium dari MTT menghasilkan kristal formazan yang berwarna biru. Semakin banyak sel limfosit yang hidup semakin pekat warna biru yang dihasilkan sehingga absorbansi yang terbaca semakin besar. Kesalahan perhitungan absorbansi dapat terjadi pada metode MTT disebabkan adanya kontaminasi dari bakteri ataupun khamir. Mitokondria sel bakteri juga dapat menghasilkan enzim suksinat dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan garam tetrazolium dari MTT sehingga menghasilkan kristal formazan berwarna biru dan mengakibatkan kesalahan positif. Oleh sebab itu, penelitian harus dilakukan di dalam laminair flow steril agar tercapainya kondisi yang aseptis.
Gambar 4. Pengambilan organ limfa dalam laminair flow steril Penambahan HCl-isopropanol pada saat akhir masa inkubasi atau sebelum diukur absorbansi dengan ELISA reader bertujuan menghentikan aktivitas proliferasi sel limfosit sehingga stabil selama pengukuran absorbansi dan untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk sehingga memudahkan dalam pengukuran absorbansinya. Penentuan proliferasi sel limfosit ditentukan melalui perhitungan indeks stimulasi (IS). Semakin tinggi indeks stimulasi menandakan proliferasi limfosit semakin banyak atau semakin tinggi aktivitas proliferasi limfosit (Cambier 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Krismawati (2007) juga menggunakan pengujian proliferasi limfosit untuk mengetahui tingkat toksisitas dan efek imunomodulator pada sampel daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan bunga kecombrang. Diketahui bahwa sampel daun delima putih, ceremai, kemuning, dan bunga kecombrang memicu proliferasi sel limfosit, sedangkan ekstrak daun jati belanda dengan peningkatan konsentrasi menghambat proliferasi. Hal ini menyatakan bahwa keempat ekstrak bersifat tidak toksik dan mampu berperan sebagai
23
imunomodulator, sementara ekstrak daun jati belanda menghambat proliferasi limfosit dan tidak dapat berperan sebagai imunomodulator bagi sistem imun manusia. Selain penelitian oleh Krismawati (2007), penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2006) juga menggunakan pengujian proliferasi sel limfosit mencit secara in vivo, in vitro, dan in vivo-in vitro dengan metode MTT terhadap ekstrak buah merah. Diketahui bahwa pengujian secara in vivo, penambahan ekstrak buah merah yang disondekan pada mencit berpengaruh nyata terhadap peningkatan proliferasi sel limfosit mencit. Pengujian secara in vitro menunjukkan bahwa dosis ekstrak buah merah berpengaruh nyata terhadap peningkatan proliferasi sel limfosit mencit. Dan pada pengujian secara in vivo-in vitro ekstrak buah merah juga berpengaruh nyata terhadap peningkatan proliferasi sel limfosit mencit. Hasil aktivitas proliferasi sel limfosit limfa tikus dalam bentuk nilai indeks stimulasi (IS) dengan adanya mitogen LPS dan senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin pada semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5. Data absorbansi dan IS setiap kelompok tikus dapat dilihat pada Lampiran 15. Gambar 5 menunjukkan bahwa berdasarkan proliferasi limfosit spontan pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb pada tikus dapat meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit lebih tinggi dibandingkan kontrol dan pemberian ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Hasil indeks stimulasi pada tikus kontrol adalah 1, pada tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb adalah sebesar 1.097, dan pada tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb adalah sebesar 0.944. Aktivitas proliferasi limfosit pada pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb yang lebih tinggi dibandingkan pemberian ekstrak 1 g/kg bb menunjukkan bahwa konsentrasi yang efektif dalam meningkatkan proliferasi pada penelitian ini adalah pada konsentrasi 0.1 g/kg bb, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti konsentrasi yang paling efektif. Hal ini mendekati penelitian yang dilakukan oleh Krismawati (2007) yang menyebutkan, dari ekstrak daun delima putih, ceremai, kemuning, dan bunga kecombrang dengan aquades yang ditambahkan dalam konsentrasi berbeda didapatkan proliferasi limfosit tertinggi ada pada konsentrasi tertentu atau didapat juga konsentrasi yang efektif. Penelitian yang dilakukan Kumar dan Vimalavathini (2004) menunjukkan bahwa buah bligo mengandung fitokimia dari golongan triterpen yaitu alunsenol dan multiflurenol yang mempunyai efek menyetabilkan mast sel pada tikus. Selain itu buah Benincasa hispida Thunb Cogn atau bligo yang diekstrak dengan metanol, mampu melindungi bronchospasm yang diinduksi oleh histamin. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak buah ini mempunyai aktivitas antihistaminik. Kemampuan perlindungan sudah ditunjukkan pada dosis 50 mg/kg bb dan dosis maksimalnya 400 mg/kg bb, karena diatas dosis ini tidak menunjukkan kenaikan perlindungan yang signifikan. Hal ini juga yang diduga terjadi pada pemberian ekstrak biji bligo dengan konsentrasi 1 g/kg bb, dimana dosis yang berlebih tidak menunjukkan peningkatan aktivitas proliferasi yang signifikan.
24
1.6 1.4 1.2
Indeks Stimulasi
1
1.097 1 0.944
1.254 1.14 1.06
1.293 1.174 1.096
1.442 1.338
1.374
1.222 1.053
1.179
1.122
1.231
0.906
0.864
0.802
0.8
0.64
0.6
0.56
0.777 0.513
kontrol 0.1 g/kg bb 1 g/kg bb
0.4 0.2 0 Spontan
LPS
t90
t180
t270
r6
r12
r18
Gambar 5. Indeks stimulasi sel limfosit spontan, dengan mitogen LPS, dan senyawa xenobiotik tartrazin dan rhodamin pada kultur kontrol dan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb Gambar 6 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak biji bligo pada tikus meningkatkan proliferasi limfosit yang dikultur dengan LPS terutama pada pemberian dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb. Pada kultur limfosit tikus kontrol dengan pemberian LPS didapatkan nilai indeks stimulasi sebesar 1.140 ± 0.30, pada kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb nilai indeks stimulasinya sebesar 1.254 ± 0.17, dan pada kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb nilai indeks stimulainya sebesar 1.060 ± 0.04. Walaupun ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb memberikan indeks stimulasi yang lebih tinggi dibandingkan kultur limfosit tikus kontrol dan kultur limfosit tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb namun berdasarkan uji statistik ANOVA peningkatan proliferasi sel limfosit tersebut menunjukkan peningkatan yang tidak nyata (p>0.05). Hasil uji statistik ANOVA indeks stimulasi dengan mitogen LPS dapat dilihat pada Lampiran 16.
25
1.4
1.254 1.14
1.2 1
1.097
1
1.06 0.944
0.8
Spontan LPS
0.6 0.4 0.2 0 kontrol
0.1 g/kg bb
1 g/kg bb
Gambar 6. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan mitogen LPS pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb Berdasarkan perbandingan diantara aktivitas proliferasi limfosit dengan mitogen LPS dan tanpa mitogen LPS (proliferasi limfosit spontan) menunjukkan bahwa penambahan mitogen LPS dapat meningkatkan aktivitas proliferasi. Besar peningkatan indeks stimulasi oleh mitogen LPS pada kultur limfosit tikus kontrol adalah 14.04%, pada kultur limfosit tikus dengan perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb adalah 14.30%, dan pada kultur limfosit tikus dengan perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb adalah 12.30%. Berdasarkan uji t berpasangan, penambahan mitogen LPS tidak berpengaruh secara nyata pada kultur limfosit tikus kontrol, perlakuan 0.1 g/kg bb, dan pada perlakuan 1 g/kg bb. Penambahan LPS berfungsi sesuai dengan tujuannya yaitu untuk memicu proliferasi karena LPS ini sejenis antigen yang dapat menginduksi terjadinya proliferasi. Menurut Watter et al (2002), LPS adalah komponen membran luar bakteri gram negatif yang dapat meningkatkan aktivitas sel imun. Peningkatan aktivitas proliferasi oleh LPS juga menunjukkan bahwa LPS dapat bekerja secara sinergis dengan komponen bioaktif yang terdapat dalam ekstrak biji bligo. Peningkatan proliferasi limfosit pada kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan ekstrak biji bligo diduga adanya kandungan komponen bioaktif pada ekstrak biji bligo seperti komponen fenolik, terpene, flavonoid c-glikosida, dan sterol yang memiliki efek antioksidan. Adanya senyawa antioksidan tersebut dapat melindungi sel limfosit dari stres oksidatif. Stres oksidatif dapat merusak sel limfosit sehingga aktivitas proliferasi sel limfosit dapat terhambat. Menurut Shetty et al. (2008) bahwa ekstrak bligo mempunyai kemampuan penyembuhan pada ulcer di tikus percobaan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa aktif pada buah ini seperti terpene, flavonoid c-glikosida, dan sterol memiliki efek antioksidan. Senyawa ini menurunkan malondialdehid (MDA), kadar superoksida dismutase (SOD) di dalam sel darah merah, tingkat homogenat dan vitamin C pada plasma darah, jika dibandingkan dengan tikus kontol yang tidak diberi ekstrak bligo. Penurunan SOD ini diduga disebabkan oleh tingginya senyawa antioksidan yang terdapat pada ekstrak bligo sehingga tubuh tikus menekan produksi SOD.
26
Penelitian yang dilakukan oleh Huang et al (2004) menunjukkan bahwa ekstrak biji bligo memiliki kemampuan antioksidan yang tinggi dan hal ini diduga disebabkan oleh tingginya kandungan total fenol dan aktivitas superoksida dismutase (SOD). Mekanisme komponen bioaktif bligo (terutama komponen fenolik) seperti komponen fenolik, terpene, flavonoid c-glikosida, dan sterol sebagai antioksidan dalam melindungi sel limfosit dari stres oksidatif atau meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit diduga melalui kemampuan senyawa fenolik mendonorkan elektron atau mekanisme menangkap radikal bebas atau ROS menjadi produk yang non reaktif dan kemampuan sebagai pengkelat logam sehingga tidak memicu terbentuknya radikal bebas hidroksil (OH•) yang bersifat sangat reaktif merusak sel. Mekanisme penangkapan radikal bebas oleh senyawa antioksidan fenolik (MrOH) melalui pemberian elektron pada radikal peroksil (LOO•) sehingga radikal peroksil tidak bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh (LH) dan terbentuk radikal yang lebih stabil seperti hidroperoksida (LOOH) dan radikal fenoksil (MrO•), radikal fenoksil bereaksi dengan radikal alkosil (LO•) membentuk produk non radikal atau non reaktif (LOO-MrO) dan mekanisme pengkelat logam (M) (Hall dan Cuppet 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Puspawati (2009), sorgum dan jewawut memiliki mekanisme yang sama dalam meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit karena sorgum dan jewawut memiliki komponen fenolik berupa asam fenolik, flavonoid, dan kondensat tanin yang memiliki sifat antioksidan sehingga mencegah stres oksidatif sel limfosit. Mekanisme komponen fenolik dalam melindungi sel limfosit dari stres oksidatif dapat dilihat pada Gambar 7. LOO• + LH
MrOH + LOO• MrO• + LO• MrOH + M
LOOH + MrO• LOO MrO MrOH M
Gambar 7. Reaksi penangkapan radikal bebas oleh komponen fenolik dan reaksi pengkelatan logam oleh komponen fenolik Mekanisme lain adalah diduga adanya komponen fenolik dari bligo yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel limfosit yang tersusun atas protein. Menurut Albert et al. (1994) dan Tejasari (2007) komponen fenolik dapat berikatan dengan reseptor sel limfosit karena komponen fenolik dapat berikatan dengan protein. Adanya ikatan antara senyawa fenolik dengan protein pada reseptor sel limfosit (sel B dan sel T) ini dapat mengaktivasi protein G (G-protein) yang kemudian protein G ini mengaktivasi enzim fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol bifosfat (PIP2) menjadi produk reaktif berupa diasil gliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3), reaksi ini terjadi di membran. IP3 berdifusi dari membran ke sitosol dan berikatan dengan protein reseptor pada permukaan sitoplasmik calcium-sequestering compartement. Pengikatan ini menyebabkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+ sitosol. Diasil gliserol dan peningkatan konsentrasi Ca2+ mengaktivasi enzim protein kinase C. Protein kinase C akan menstimulasi produksi interleukin-2 (IL2), interleukin-2 ini kemudian mengaktivasi sel limfosit untuk berproliferasi (Tejasari 2000). Hasil penelitian Sugito (2010) menunjukkan bahwa ekstrak biji bligo tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 5 g/kg bb dengan metode akut, ekstrak biji bligo juga tidak toksik pada tikus percobaan dengan dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb. Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan bahwa ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme hati, dilihat dari berat hati,
27
SGOT, SGPT, bilirubin, total trigliserida, kolesterol, dan protein total, ekstrak biji bligo secara nyata menurunkan kadar alkali fosfatase, bilirubin total, glukosa, lemak total, dan meningkatkan kadar albumin, dan ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme ginjal, dilihat dari kadar urea, fosfor, kalsium, dan kalium. Dalam penelitian ini juga dilakukan penentuan indeks stimulasi dengan senyawa xenobiotik yaitu tartrazin dan rhodamin pada tiga konsentrasi, yaitu tartrazin 90 µg/ml, tartrazin 180 µg/ml, dan tartrazin 270 µg/ml kultur dan rhodamin 6 µg/ml, rhodamin 12 µg/ml, dan rhodamin 18 µg/ml kultur. Hal ini bertujuan melihat seberapa besar senyawa xenobiotik tersebut dapat menghambat aktivitas proliferasi sel limfosit. Sebagai pembanding adalah proliferasi limfoit spontan. Pemilihan senyawa tartrazin dan rhodamin didasarkan penggunaan senyawa xenobiotik ini memiliki paparan yang banyak pada berbagai produk makanan. Tartrazin merupakan pewarna sintetik yang diizinkan penggunaannya dalam produk pangan dengan batas maksimum 18-300 mg/kg (Depkes 1999). Menurut Inchem (1964), ADI tartrazin adalah 0-7.5 mg/kg bb. Dalam penelitian ini, batasan ADI inilah yang digunakan sebagai acuan pemilihan konsentrasi tartrazin. Rhodamin merupakan salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas. Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya pada makanan melalui Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85 dan menurut Inchem (2006) LD50 rhodamin adalah sebesar 89.5 mg/kg. Dalam penelitian ini, pemilihan konsentrasi rhodamin ditentukan berdasarkan nilai LD50 rhodamin. Rhodamin memiliki senyawa klorin yang reaktif dan juga berbahaya. Klorin dalam rhodamin diduga memiliki efek toksik dan karsinogenik. Efek toksik klorin berasal dari kekuatan mengoksidasinya (Kusmayadi dan Sukandar 2009). Gambar 8 menunjukkan bahwa limfosit yang dikultur dengan tartrazin 90 µg/ml, nilai indeks stimulasi atau aktivitas proliferasi limfosit dari tikus kontrol lebih tinggi 29.25% dibandingkan pada proliferasi limfosit spontan. Pada kultur limfosit tikus dengan perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, aktivitas proliferasi limfosit yang dikultur dengan tartrazin 90 µg/ml hampir sama dengan proliferasi limfosit tanpa penambahan tartrazin (proliferasi limfosit spontan), hanya lebih rendah 0.09%. Pada kultur limfosit tikus perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb, aktivitas proliferasi limfosit yang dikultur dengan tartrazin 90 µg/ml mengalami peningkatan sebesar 24.38%. Hasil uji statistik ANOVA menunjukkan bahwa pemberian ekstrak biji bligo lalu limfositnya dikulturkan dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml tidak berpengaruh secara nyata terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Hal ini menunjukkan bahwa pada pengkulturan dengan tartrazin 90 µg/ml, aktivitas proliferasi limfosit yang dihasilkan tidak berbeda secara nyata antara kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan dengan ekstrak biji bligo dengan yang tidak diberi ekstrak biji bligo (kultur kontrol). Sedangkan hasil uji t berpasangan antara proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml adalah, penambahan tartrazin 90 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol tidak berpengaruh secara nyata terhadap aktivitas proliferasi limfosit, pada kultur limfosit tikus dengan perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb juga tidak berpengaruh secara nyata terhadap aktivitas proliferasi limfosit, sedangkan pada kultur limfosit tikus dengan perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb dengan pemberian tartrazin 90 µg/ml memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan proliferasi limfosit. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tartrazin 90 µg/ml pada kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan proliferasi limfosit sebesar 24.38%. Hal ini berarti ekstrak biji bligo 1 g/kg bb memberikan perlindungan terhadap limfosit sehingga mampu berproliferasi. Pada tikus kontrol yang tidak diberi ekstrak biji bligo, limfositnya tidak peka terhadap tartrazin 90 µg/ml.
28
1.4
1.293 1.174
1.2 1
1.097
1.096
1
0.944
0.8
Spontan t90
0.6 0.4 0.2 0 kontrol
0.1 g/kg bb
1 g/kg bb
Gambar 8. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb Gambar 9 menunjukkan aktivitas proliferasi limfosit dengan tartrazin 180 µg/ml pada kultur limfosit tikus perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan proliferasi limfosit spontan. Sedangkan pada kultur limfosit tikus kontrol aktivitas proliferasi lebih tinggi pada proliferasi limfosit spontan dibandingkan dengan pemberian tartrazin 180 µg/ml. Besar peningkatan aktivitas proliferasi limfosit dengan tartrazin 180 µg/ml pada kultur limfosit tikus perlakuan 0.1 g/kg bb ekstrak biji bligo adalah 11.42% dan pada tikus perlakuan 1 g/kg bb ekstrak biji bligo adalah 11.54%. Sedangkan penurunan aktivitas proliferasi limfosit pada kultur limfosit tikus kontrol dengan pemberian tartrazin 180 µg/ml adalah sebesar 13.61%. Secara umum berdasarkan uji statistik ANOVA aktivitas proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml, pemberian ekstrak biji bligo tidak berpengaruh secara nyata pada semua perlakuan termasuk pada kultur limfosit tikus kontrol. Dan berdasarkan uji t berpasangan, peningkatan dan penurunan aktivitas proliferasi limfosit pada penambahan tartrazin 180 µg/ml dibandingkan dengan proliferasi limfosit spontan adalah, penambahan tartrazin 180 µg/ml tidak berpengaruh secara nyata baik pada kultur limfosit tikus kontrol, kultur limfosit tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan kultur limfosit tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Penarikkan kesimpulan bahwa peningkatan atau penurunan aktivitas proliferasi sel limfosit dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml tidak berpengaruh nyata adalah berdasarkan nilai probabilitas (Sig. 2-tailed) yang didapatkan dari uji t adalah >0.05. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tartrazin 180 µg/ml tidak mempengaruhi secara nyata atau mengganggu aktivitas proliferasi limfosit jika tikus diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb atau 1 g/kg bb.
29
1.4 1.222 1.2 1
1.097 1
1.053 0.944
0.864
0.8
Spontan t180
0.6 0.4 0.2 0 kontrol
0.1 g/kg bb
1 g/kg bb
Gambar 9. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb Gambar 10 menunjukkan penambahan tartrazin 270 µg/ml pada sel limfosit menghasilkan peningkatan aktivitas proliferasi limfosit baik pada kultur limfosit tikus kontrol maupun kultur limfosit tikus perlakuan dibandingkan dengan proliferasi limfosit spontan. Besar peningkatan aktivitas proliferasi limfosit pada kultur limfosit tikus kontrol akibat penambahan tartrazin 270 µg/ml adalah 12.23%, pada kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb adalah 21.92%, dan pada kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb adalah 52.74%. Berdasarkan uji statistik ANOVA aktivitas proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml pemberian ekstrak biji bligo tidak berpengaruh secara nyata pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pada pengkulturan dengan tartrazin 270 µg/ml, aktivitas proliferasi limfosit yang dihasilkan tidak berbeda secara nyata antara kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan dengan ekstrak biji bligo dengan yang tidak diberi ekstrak biji bligo. Dan berdasarkan uji t berpasangan, peningkatan aktivitas proliferasi akibat penambahan tartrazin 270 µg/ml adalah, tidak berpengaruh secara nyata pada kultur limfosit tikus kontrol, dan memberikan pengaruh yang nyata pada kultur limfosit tikus perlakuan baik pada pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb maupun 1 g/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tartrazin 270 µg/ml dapat meningkatkan secara nyata aktivitas proliferasi sel limfosit pada kultur limfosit tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb sebesar 21.92% dan 52.74%.
30
1.6
1.442 1.338
1.4 1.122
1.2 1
1.097
1
0.944 Spontan
0.8
t270
0.6 0.4 0.2 0 kontrol
0.1 g/kg bb
1 g/kg bb
Gambar 10. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb Secara umum, pemberian tartrazin pada konsentrasi 90 µg/ml, 180 µg/ml, dan 270 µg/ml pada kultur limfosit tikus perlakuan baik dengan pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb maupun 1 g/kg bb tampak tidak berbahaya, hal ini ditunjukkan dengan aktivitas proliferasi limfosit yang lebih tinggi dibandingkan proliferasi limfosit spontan. Hal ini diduga disebabkan komponen fenolik yang terdapat pada ekstrak biji bligo atau sistem antioksidan yang ada dapat mencegah terjadinya stres oksidatif pada sel limfosit limfa. Dugaan lain jumlah komponen fenolik yang sampai pada limfa kemudian dapat melekat pada reseptor sel limfosit sehingga memicu proliferasi sel limfosit. Dugaan berikutnya adalah komponen fenolik dapat bekerja sinergis dengan tartrazin dalam memicu proliferasi limfosit, tetapi ini memerlukan kajian lebih lanjut. Gambar 11 menunjukkan bahwa aktivitas proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml menurun pada kultur limfosit tikus kontrol dan kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan dengan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Sedangkan pada kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, rhodamin 6 µg/ml menghasilkan peningkatan aktivitas proliferasi limfosit. Besar penurunan aktivitas proliferasi limfosit akibat penambahan rhodamin 6 µg/ml pada kultur kontrol adalah 36.00%, pada kultur limfosit tikus yang diberi perlakuan dengan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb adalah 4.03%, dan peningkatan aktivitas proliferasi limfosit pada kultur limfosit tikus perlakuan 0.1 g/kg bb adalah sebesar 25.22%. Berdasarkan uji statistik ANOVA, aktivitas proliferasi limfosit dengan pemberian ekstrak biji bligo pada pengkulturan dengan rhodamin 6 µg/ml adalah tidak berbeda nyata antara kultur limfosit tikus kontrol dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 1 g/kg bb, berbeda nyata antara kultur limfosit tikus kontrol dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan berbeda nyata antara kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Hasil uji statistik ANOVA secara lengkap disajikan pada Lampiran 20a, 20b, dan 20c. Dan berdasarkan uji t berpasangan penurunan dan peningkatan aktivitas proliferasi akibat penambahan
31
rhodamin 6 µg/ml adalah, pemberian rhodamin 6 µg/ml berpengaruh secara nyata menurunkan proliferasi limfosit pada kultur limfosit tikus kontrol, berpengaruh secara nyata meningkatkan proliferasi limfosit pada kultur limfosit tikus perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan tidak berpengaruh secara nyata pada kultur limfosit tikus perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian rhodamin 6 µg/ml mengakibatkan penurunan aktivitas proliferasi sel limfosit pada kultur limfosit tikus kontrol, tetapi hal ini dapat dicegah dengan pemberian ekstrak biji bligo.
1.6 1.374
1.4 1.2 1 0.8
1.097 1
0.944
0.906 Spontan r6
0.64
0.6 0.4 0.2 0 kontrol
0.1 g/kg bb
1 g/kg bb
Gambar 11. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb Gambar 12 menunjukkan bahwa pada penambahan rhodamin 12 µg/ml, nilai indeks stimulasi atau aktivitas proliferasi limfosit dari kultur limfosit tikus kontrol lebih rendah 44.03% dibandingkan kultur limfosit tikus kontrol pada proliferasi limfosit spontan, pada kultur limfosit tikus dengan perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb aktivitas proliferasi limfositnya lebih tinggi 7.42% dibandingkan proliferasi limfosit tanpa penambahan rhodamin (proliferasi limfosit spontan), dan pada kultur limfosit tikus perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb aktivitas proliferasi limfositnya lebih rendah 15.04% dibandingkan pada proliferasi limfosit spontan. Hasil uji statistik ANOVA menunjukkan bahwa aktivitas proliferasi limfosit dengan pemberian ekstrak biji bligo dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml menghasilkan perbedaan yang nyata yaitu antara kultur limfosit tikus kontrol dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, tidak berbeda nyata antara kultur limfosit tikus kontrol dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 1 g/kg bb, dan berbeda nyata antara kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Sedangkan hasil uji t berpasangan antara proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml adalah penambahan rhodamin 12 µg/ml berpengaruh secara nyata pada kultur limfosit tikus kontrol dalam menurunkan proliferasi limfosit, penambahan rhodamin 12 µg/ml tidak berpengaruh secara nyata pada kultur
32
limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dalam meningkatakan proliferasi limfosit, dan penambahan rhodamin 12 µg/ml juga tidak berpengaruh secara nyata pada kultur limfosit tikus perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb dalam menurunkan proliferasi limfosit. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan rhodamin 12 µg/ml dapat menurunkan aktivitas proliferasi limfosit secara nyata pada kultur limfosit tikus kontrol dan penurunan aktivitas proliferasi limfosit ini dapat dicegah dan dihambat dengan pemberian ekstrak biji bligo.
1.4 1.179
1.2 1
1.097 1
0.944 0.802
0.8 0.6
Spontan r12
0.56
0.4 0.2 0 kontrol
0.1 g/kg bb
1 g/kg bb
Gambar 12. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb Gambar 13 menunjukkan penambahan rhodamin 18 µg/ml meghasilkan aktivitas proliferasi limfosit yang menurun pada kultur limfosit tikus kontrol dan kultur limfosit tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb dibandingkan dengan proliferasi limfosit spontan. Sedangkan pada kultur limfosit tikus dengan perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb aktivitas proliferasi limfosit lebih tinggi dibandingkan dengan proliferasi limfosit spontan. Penurunan aktivitas proliferasi limfosit pada kultur limfosit tikus kontrol dan kultur limfosit tikus perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb secara berturutturut adalah sebesar 48.74% dan 17.66%. Sedangkan peningkatan aktivitas proliferasi pada kultur limfosit tikus perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb adalah sebesar 12.19%. Berdasarkan uji statistik ANOVA penambahan ekstrak biji bligo dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml menghasilkan perbedaan yang nyata antara kultur limfosit tikus kontrol dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb terhadap aktivitas proliferasi limfosit, tidak berbeda nyata antara kultur limfosit tikus kontrol dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 1 g/kg bb terhadap aktivitas proliferasi limfosit, dan berbeda nyata antara kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dengan kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 1 g/kg bb terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Sedangkan pada uji t berpasangan, penambahan rhodamin 18 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan aktivitas proliferasi sel limfosit, penambahan rhodamin 18 µg/ml pada kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 0.1
33
g/kg bb tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan proliferasi limfosit, dan penambahan rhodamin 18 µg/ml pada kultur limfosit tikus perlakuan yang diberi ekstrak biji bligo 1 g/kg bb tidak berpengaruh secara nyata terhadap penurunan proliferasi limfosit. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan rhodamin 18 µg/ml dapat menurunkan aktivitas proliferasi limfosit secara nyata pada kultur limfosit tikus kontrol dan penurunan aktivitas proliferasi limfosit ini dapat dicegah dan dihambat dengan pemberian ekstrak biji bligo.
1.4 1.231 1.2 1
1.097 1
0.944 0.777
0.8 0.6
Spontan r18
0.513
0.4 0.2 0 kontrol
0.1 g/kg bb
1 g/kg bb
Gambar 13. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi limfosit spontan dan proliferasi limfosit dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml pada kultur limfosit tikus kontrol, yang diberi ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb Berdasarkan perbandingan diantara aktivitas proliferasi limfosit dengan penambahan senyawa xenobiotik rhodamin pada konsentrasi 6 µg/ml, 12 µg/ml, dan 18 µg/ml dan tanpa penambahan rhodamin (proliferasi limfosit spontan), penambahan rhodamin baik pada konsentrasi 6 µg/ml, 12 µg/ml, dan 18 µg/ml menghasilkan penurunan aktivitas proliferasi pada kultur limfosit tikus kontrol dan kultur limfosit tikus perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Penurunan yang terjadi pada kultur limfosit tikus kontrol lebih besar dibandingkan kultur limfosit tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb. Hal ini diduga kompoenen fenolik pada ekstrak biji bligo dapat melindungi sel limfosit limfa dari kerusakan oksidatif yang disebabkan senyawa klorin yang ada pada rhodamin. Dimana komponen fenolik dari ekstrak biji bligo bersifat antioksidan. Sedangkan peningkatan aktivitas proliferasi limfosit yang terjadi pada kultur limfosit tikus perlakuan dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb diduga pada konsentrasi inilah ekstrak biji bligo efektif memberikan efek antioksidan tertinggi sehingga pada perlakuan pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb bukan hanya mencegah kerusakan oksidatif akibat senyawa klorin dari rhodamin tetapi juga senyawa fenolik pada ekstak biji bligo dapat berikatan dengan reseptor di permukaan sel limfosit sehingga memicu protein kinase C dan protein ini menstimulasi sel limfosit untuk berproliferasi. Semakin tinggi konsentrasi rhodamin, aktivitas proliferasi limfosit pada kultur limfosit tikus kontrol semakin menurun.
34
V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari penelitian in vivo pada tikus Sprague Dawley adalah pemberian ekstrak biji bligo baik pada konsentrasi 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb tidak mempengaruhi pertumbuhan tikus Sprague Dawley. Pertumbuhan tikus secara umum dalam kondisi normal dan dalam keadaan sehat. Pemberian ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb berpengaruh tidak nyata terhadap berat badan tikus pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 dan pemberian ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb juga tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan berat badan tikus selama 3 bulan. Konsumsi pakan tikus yang diberi ekstrak biji bligo pada dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb lebih tinggi dari tikus kontrol baik pada bulan ke-1, ke-2, maupun ke-3. Disamping itu pemberian ekstrak biji bligo tidak mempengaruhi atau tidak mengurangi nafsu makan tikus. Pemberian ekstrak biji bligo selama 90 hari (3 bulan) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit limfa dibandingkan kontrol. Aktivitas proliferasi sel limfosit limfa spontan pada perlakuan 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb secara berturut-turut adalah meningkat sebesar 9.71% dan menurun sebesar 5.60% dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan aktivitas proliferasi sel limfosit limfa pada perlakuan kontrol, 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb dengan mitogen LPS adalah sebesar 14.04%, 14.30%, dan 12.30%. Aktivitas proliferasi sel limfosit limfa pada perlakuan kontrol, 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb dengan tartrazin 90 µg/ml secara berturut-turut adalah meningkat 29.25%, menurun 0.09%, dan meningkat 24.38%. Aktivitas proliferasi sel limfosit limfa pada perlakuan kontrol, 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb dengan tartrazin 180 µg/ml secara berturut-turut adalah menurun 13.61%, meningkat 11.42%, dan meningkat 11.54%. Peningkatan proliferasi sel limfosit limfa pada perlakuan kontrol, 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb dengan tartrazin 270 µg/ml adalah sebesar 12.23%, 21.92%, dan 52.74%. Aktivitas proliferasi sel limfosit limfa pada perlakuan kontrol, 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb dengan rhodamin 6 µg/ml secara berturut-turut adalah menurun 36.00%, meningkat 25.22%, dan menurun 4.03%. Aktivitas proliferasi sel limfosit limfa pada perlakuan kontrol, 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb dengan rhodamin 12 µg/ml secara berturut-turut adalah menurun 44.03%, meningkat 7.42%, dan menurun 15.04%. Aktivitas proliferasi sel limfosit limfa pada perlakuan kontrol, 0.1 g/kg bb, dan 1 g/kg bb dengan rhodamin 18 µg/ml secara berturut-turut adalah menurun 48.74%, meningkat 12.19%, dan menurun 17.66%. Secara umum semakin tinggi konsentrasi rhodamin, aktivitas proliferasi limfosit pada tiap kelompok tikus semakin menurun. Ekstrak biji bligo dengan konsentrasi 0.1 g/kg bb dapat digunakan sebagai imunomodulator. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb pada perlakuan tartrazin (90 µg/ml, 180 µg/ml, dan 270 µg/ml) tidak berpengaruh secara nyata terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit tikus. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb pada perlakuan rhodamin (6 µg/ml, 12 µg/ml, dan 18 µg/ml) berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan aktivitas proliferasi limfosit. Pemberian ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb dapat menghambat efek toksik dari tartrazin dan rhodamin. Perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb menunjukkan hasil paling efektif pada kondisi tubuh normal dan tidak sakit dengan aktivitas proliferasi limfosit limfa tertinggi dan paling resisten terhadap serangan xenobiotik terutama rhodamin. Komponen bioaktif yang diduga bertindak sebagai antioksidan dari ekstrak biji bligo adalah komponen fenolik, terpene (alunsenol dan multiflurenol), flavonoid c-glikosida, dan sterol.
35
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang didapat maka perlu dilakukan kajian komponen bioaktif yang paling berperan karena komponen bioaktif yang terdapat dalam ekstrak biji bligo jenisnya lebih dari satu, selanjutnya perlu kajian lebih mendalam pada mekanisme komponen fenolik yang berkaitan dengan pangan atau kesehatan dalam sistem biologis, disamping itu perlu mengukur lebih jauh potensi biji bligo yang berkaitan dengan kesehatan melalui kajian in vitro atau in vivo pada hewan percobaan yang diberi kondisi seperti kanker atau stressing sehingga dapat diketahui mekanisme peningkatan aktivitas proliferasi sel limfosit dan potensi lainnya dari biji bligo, dan perlu kajian lebih lanjut pada hubungan sinergisme antara tartrazin dengan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb karena peningkatan aktivitas proliferasi yang terjadi pada kelompok kultur tartrazin belum tentu berfungsi sebagai immunomodulator mungkin saja tartrazin memicu growth factor, yang mana hal ini juga merupakan indikator timbulnya kanker.
36
DAFTAR PUSTAKA
[AIN] American Institute of Nutrition. 1976. Report AIN Ad Hoc Comitte on Standar for Nutrition Studie. J Nutr 107: 1340-1348. [WCRF/AICR]. 1997. Food, Nutrition, and The Prevention of Cancer: A Global Perspective. Washington: The American Institute for Cancer Research. Albert B, Bray D, Lewis J, Raff M, Roberts K, JD Watson. 1994. Molecular Biology of The Cell. New York: Garland Pub. Co. Anilkumar D dan Ramu P. 2002. Effect of methanolic extract of Benincasa hispida against histamine and acetylcholine induced bronchospasm in guinea pigs. Indian J Pharmacol 34: 365-6. Anonim.
2009. http://www.google.co.id/m/imgres?q=bligo&start=0&site=images&imgid =ANd9GcT_GnR0QaIR5ZnPD4oKZGX3ul78DPud=49838. [18 Maret 2009].
Aslokar LV, Kakkar KK, Chakre OJ, (ED). 1992. Glossary Of Indian Medicinal Plants With Active Principles. Part I. 1st Ed. New Delhi: CSIR. Baratawijaya KG. 2007. Immunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bartosz G. 1990. Erythrocyte membrane changes during aging in vivo. Di dalam: Blood Cell Biochemistry. Vol. 1 Erythroid Cell. Harris JR (ed.). New York: Plenum Press. Bellanti JA. 1993. Imunologi II. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Bounous JA. 1992. Imunologi III. Yogyakarta: UGM Press. Burdock GA. 1997. Encyclopedia of Food and Color Additives. Boca raton: CRC Press. Bush TM et al. 2007. Adverse interactions between herbal and dietary substances and prescription medications: a clinical survey. Altem. Ther. Health Med. 13. Cambier JC. 1987. B-Lymphocyte Differentiation. Florida: CRC Press. Chandrababu S dan Umamaheshwari S. 2002. Studies on the anti-inflammatory activity of fruit rind extract of Benincasa hispida Cogn. Indian Drugs 39: 651-3. Davis JM. 1994. Basic Cell Culture: A Practical Approach. London: Oxford University Press. Departemen Kesehatan. 1999. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/ MENKES/PER/X/1999 tentang Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Makanan. Jilid II. Jakarta: Depkes. Fragoso LR, Esparza JR, Burchiel SW, Ruiz DH, Torres E. 2009. Risk and benefits of commonly used herbal medicines in Mexico. Toxicology and Applied Pharmacology 227: 128-135. Freshney RI. 1994. Animal Cell Culture: A Practical Approach. Washington DC: Oxford IRL Press.
37
Grover JK, Adiga G, Vats V, Rathi SS. 2001. Extract of Benincasa hispida prevent development of experimental ulcers. J Ethnopharmacol 78: 64-159. Gurib-Fakim A. 2006. Medical plants: tradition of yesterday and drugs of tomorrow. Mol. Aspect Med. 27: 1-93. Guyton AC dan Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology 10th edition. London: W.B. Saunders Company. Hall CA, Cuppet SL. 1997. Structure Activities of Natural Antioxidant: Antioxidant Methodology in vivo and in vitro Concept. Auroma OI, Cuppet SL (editor). USA: AOAC Press. Harris JR. 1991. Blood Cell Biochemistry. Vol 3 Lymphocyte and Granulocytes. London: Plenum Press. Hermanto. 1993. Benincasa hispida Thunb Cogn. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/gambar/bligo.jpg[/img]. Di akses pada tanggal 3 April 2010. Hu C dan Kitts DD. 2003. Antioxidant, prooxidant, and cytotoxic activities of solvent fractionated dandelion (Taraxacum officinale) flower extracts in vitro. J. Agric. Food Chem. 52: 301-310. Huang HY, Huang JJ, Tso TK, Tsai YC, Chang CK. 2004. Antioxidant and angiotension-converting enzyme inhibition capacities of various parts of Benincasa hispida (wax gourd). Nahrung 48: 230-233. Inchem. 1964. JECFA Evaluation Tartrazine. http://www.inchem.org/jecfa/jeceval/jec_1614.htm. [18 Maret 2009]. ______.
2006. JECFA Evaluation of Rhodamine http://www.inchem.org/jecfa/jeceval/jec_2089.htm. [18 Maret 2009].
B.
Inoue T, Sugimoto Y, Masuda H, Kamei C. 2002. Antiallergenic effect of flavonoid glycoside obtained from Mentha piperita L. Biol. Pharm. Bull. 25: 256-258. Keller JM et al. 2005. Mitogen-Induced Limphocyte Proliferation in Loggerhead Sea Turtles: Comparison of Methods and Effects of Gender, Plasma Testosterone Concentration, and Body Condition on Immunity. J. Veterin Immuno & Immunophatology 103: 269-281. Kirtikar KR dan Basu BD. 1975. Benincasa hispida. In: Blatter E, Caius JF, Mhaskar KS, editors. Indian Medicinal Plants. Vol 2. 2nd ed. Dehradum: M/S Bishen Singh Mahendra Palsingh 1126-8. Koeman JH. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Yogyakarta: Gajah Mada Univerisity Press. Konrad L, Muller HH, Lenz C, Laubinger H, Aumuller G, Lichius JJ. 2000. Antiproliferative effect on human prostate cancer cells by a stinging nettle root (Urtica dioica) extract. Planta Med. 66: 44-47. Kresno SB. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
38
Krismawati A. 2007. Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai, Delima Putih, Jati Belanda, Kecombrang, dan Kemuning secara in vitro terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Kuby J, Kindt TJ, Richard AG, Barbara AO. 2007. Immunology. 6th Edition. New York: W.H. Freeman and Company. Kuby J. 2006. Immunology 3rd edition. New York: W.H. Freeman and Company. Kumar A dan Vimalavathini R. 2004. Possible anorectic effect of methanol extract of Benincasa hispida (Thumb) Cogn, fruit. Indian J Pharmacol 36 (6): 348-350. Kusmayadi A dan Sukandar D. 2009. Food Safety and Its Application in Daily Life to Prevent Dangers of Consuming Unsafe Foods and Promote SPFS Farmer’s Health. http://database.deptan.go.id/saims-indonesia/index.php?files [18 Maret 2009]. Lao CC, Lin TL, Wu CC. 2001. Factors Affecting Mitogenetic Respone of Turkey Lymphocytes. Acta Vet. BRNO 70: 433-442. Malole MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Malole MBM. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Mariwaki K. 1987. Genetic in Wild Mice. Its Application to Biomedical Research. Tokyo: Japan Scientific Societies Press. Marmion DM. 1991. Handbook of US Colorant: Food, Drugs, Cosmetics, and Medical Device 3rd ed. New York: John Wiley & Sons. Mingyu D, Mingzhang L, Quihong Y, Weiming U, Jianxing X, Weinming X. 1995. A study on Benincasa hispida contents effective for protection of kidney. Jiangsu J Agri Sci 11: 46-52. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi-PAU-IPB. Nadkarni’s. 1995. Indian Medical Plants. Indian Materia Media 1: 185-186. Nair B. 2001. Final report on the the safety assessment of Mentha piperita (Peppermint) oil, Mentha piperita (Peppermint) leaf extract, Mentha piperita (Peppermint) leaf, and Mentha piperita (Peppermint) leaf water. Int. J. Toxicol. 20: 61-73. Newall CA, Anderson LA, Philpson JD. 1996. Herbal Medicine: A Guide for Healthcare Professionals. London: The Pharmaceutical Press. Pandoyo AS. 2000. Pengaruh aktivitas ekstrak tanaman cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) terhadap proliferasi sel limfosit darah tepi manusia secara in vitro. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.
39
Prangdimurti E. 1999. Efek Perlindungan Ekstrak Jahe terhadap Respon Imun Mencit yang diberi Perlakuan Stress Oksidatif oleh Pestisida Praquat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Puspaningrum. 2003. Pengaruh Ekstrak Kayu Secang terhadap Proliferasi Sel Limfosit Limfa Tikus dan Sel Kanker k-562 (Chonic Myelogenous Leukimia) secara in vitro. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Puspawati Kadek GA. 2009. Kajian Aktivitas Proliferasi Limfosit dan Kapasitas Antioksidan Sorgum (Sorghum bicolor L Moench) dan Jewawut (Pennisetum sp) pada tikus Sprague Dawley. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Qodrie ZL, Najat TH, Mohammad WAK, Moses S, dan Anandan R. 2009. Antinocicepative and antipyretic activity of Benincasa hispida Thunb cogn in wistar albino rats. Pak. J. Pharm. Sci. 22 (3): 287-290. Rach Manish A dan Sunita J Jain. 2008. Gatroprotective effect of Benincasa hispida fruit extract. Indian J Pharmacol 40 (6): 271-275. Reyburn K, Martinez R, Escobedo M. 1998. Glycemic effects of various species of nopal (Opuntia sp.) in type 2 diabetes mellitus. Texas J. Rural Health. 26: 68-76. Robinson DR. 1979. Eicosonoids, Inflammation, and Antiinflammantory Drugs. Clin Exp Rheumatol 7: 155-61. Roitt IM dan Delves PJ. 2001. Essential Immunology. London: Backwell Scientific Publications, Osney Mead, Oxford. Rukumani R, Nidya ISR, Suresh N, Kumar A. 2003. Investigation of anxiolytic like effect of antidepressant activity of Benincasa hispida, methanol extract. Indian J Pharmacol 35: 12930. Schottner M, Gansser D, Spiteller G. 1997. Lignans from the roots of Urtica dioica and their metabolites bind to human sex hormone binding globulin (SHBG). Planta Med. 63: 529-532. Seo SW, Koo HN, An HJ, Kwon KB, Lim BC, Seo EA. 2005. Taraxacum officinale protects against cholecytokinin-induced acute pancreatitis in rats. World J. Gastroenterol. 11: 597-599. Shaper PT. 1998. Methods of Cell Separation. Amsterdam: Elsevier. Sheeler P dan Bianchi DE. 1982. Cell Bology Structure: Biochemistry and Fungtion. 2nd ed. New York: John Wiley & Sons Inc. Shetty BV et al. 2008. Effect of extract Benincasa hispida on oxidative strss in rats with indometacin induced gastric ulcers. Indian J. Physiol Pharmacol 52(2): 178-182. Sivarajan KK. 1994. Extract of Benincasa hispida prevent development of experimental ulcer. J Ethnopharmacol 78: 159-164. Subandi. 1999. Menganalisis Komponen Toksik dari Rhodhamin B dengan Metode Destruksi dan Metode Spektrofotometri. [Skripsi]. Jakarta: Fakultas MIPA Kimia. Universitas Indonesia.
40
Sugito. 2010. Uji Toksisitas Akut dan Subkronis Biji Buah Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) secara In Vivo pada Tikus Sprague Dawley. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Susanti. 2006. Karakterisasi Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) dan Uji Biologis terhadap Proliferasi Limfosit Mencit. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Tejasari. 2000. Efek Komponen Bioaktif Oleoresin Rimpang Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Terhadap Fungsi Limfosit secara in vitro. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. ______. 2007. Evaluation of Ginger (Zingiber officinale Roscoe) Bioactive Compounds in Increasing the Ratio of T-Cell Surface Molecules of CD3+CD4+: CD3+CD8+In-Vitro. Mal J Nutr 13 (2): 161-170. Tizar I. 1988. Pengantar Immunologi Veteriner. Surabaya: Airlangga Univ Press. Turker AU and Camper ND. 2002. Biological activity of common mullein, a medical plant. J. Ethnopharmacol 82: 117-125. Walun E, Stenberg K, Jenssen D. 1990. Understanding Cell Toxicology Principle and Practice. New York: Ellis Horwood. Watter JJ, Sommer JA, Pfeiffer ZA, Prabhu U, Guerra AN, Bertics PJ. 2002. A Differential Role for the Mitogen-Activated Protein Kinase in LPS Signaling: The MEK/ERK Pathway Is Not Essential for Nitric Oxide and Interleukin Iβ Production. The American Society for Biochemistry and Molecular Biology, Inc. hlm 1-39. Weissman IL, Hood LE, Wood WB. 1978. Essential concepts in immunology. California: the Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Williams PP, Burson JL. 1995. The Basic Science of Toxicity. Ed ke-3. New York: Macmillan Publ. Co. Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wu CM, Liou SE, Chang YH, Chiang W. 1987. Volatile compounds of the wax gourd (Benincasa hispida Cogn) and a wax guard beverage. J Food Sci 52: 132-4. Wyllie A, Donahue V, Ficher B, Hill D, Keesey, dan Manzow S. 1998. Apoptosis and Cell Proliferation Boehringer mannheim GmbH. Jerman: Biochemical. Yang X, Zhao Y, Lv Y. 2007. Chemical composition and antioxidant activity of an acidic polysaccharide extracted from Curcubita moschata Duchesne ex Poiret. J Agric Food Chem 55: 4684-90. Yoshizumi S et al. 1998. Histamine release inhibitors from wax gourd, the fruits of Benincasa hispida Cogn. Yakugaku Zasski 118: 188-92. Zakaria FR, Djaelani M, Setyana, Rumondang E, dan Nurrochmah. 2000. Carotenoid bioavailability of vegetable and carbohydrate containing foods measures by retinol accumulation in rats liver. J. Food Composition and Analysis. Vol. 13, pp. 297-310.
41
Zakaria FR, Nurahman, Prangdimurti E, Tejasari. 2003. Antioxidant and Immunoenhancement Activities of Ginger (Zingiber officinale Roscoe) Extract and Compounds in In Vitro and In Vivo Mouse and Human System. Nutraceutic Foods 8: 96-104.
42
LAMPIRAN Lampiran 1. Perkembangan berat tikus selama 90 hari Kode tikus
01-Feb
02-Feb
04-Feb
05-Feb
06-Feb
07-Feb
08-Feb
G1
168
168
166
170
175
170
172
G2
175
172
176
181
192
182
184
G3
195
200
209
214
219
221
222
G4
202
206
210
212
218
220
228
G5
207
205
220
211
219
221
222
G6
150
146
157
155
156
165
165
G7
216
222
224
226
230
230
233
G8
209
220
220
226
225
226
230
G9
221
228
232
236
239
241
240
G10
199
205
208
213
215
216
220
Rerata
194,2
197,2
202,2
204,4
208,8
209,2
211,6
H1
208
202
218
218
219
220
224
H2
213
217
224
227
230
235
239
H3
186
193
195
196
196
205
205
H4
170
177
180
183
185
190
195
H5
180
181
188
187
187
190
192
H6
205
214
220
225
227
232
233
H7
189
200
205
209
212
215
218
H8
185
194
192
191
191
195
197
H9
190
223
227
220
230
238
237
H10
192
200
201
204
205
208
210
Rerata
191,8
200,1
205
206
208,2
212,8
215
I1
198
207
212
214
215
223
224
I2
189
195
200
202
203
208
209
I3
182
184
191
194
198
200
205
I4
198
200
204
205
207
210
215
I5
184
195
197
197
195
196
195
I6
215
224
230
233
235
242
247
I7
216
225
230
235
236
235
235
I8
197
210
220
221
222
227
226
I9
205
210
212
215
220
226
235
I10
200
205
217
219
220
228
230
Rerata
198,4
205,5
211,3
213,5
215,1
219,5
222,1
43
Kode tikus
09-Feb
10-Feb
11-Feb
12-Feb
13-Feb
14-Feb
16-Feb
18-Feb
G1
177
178
178
185
188
189
190
196
G2
187
188
195
195
200
202
203
205
G3
225
227
231
236
234
235
243
252
G4
229
233
233
237
242
246
252
259
G5
228
230
235
237
235
237
241
244
G6
165
166
168
174
177
179
170
182
G7
235
237
237
237
241
243
255
275
G8
232
238
239
238
257
259
258
260
G9
245
248
248
254
255
256
262
266
G10
215
231
233
236
237
238
245
253
Rerata
213,8
217,6
219,7
222,9
226,6
228,4
231,9
239,2
H1
223
222
224
228
229
230
235
237
H2
243
244
247
251
251
253
252
260
H3
210
209
217
220
220
220
222
222
H4
196
198
202
205
206
208
210
215
H5
194
190
193
200
200
200
205
195
H6
240
242
245
245
247
252
257
265
H7
219
218
224
225
228
232
237
240
H8
201
200
205
204
205
208
210
213
H9
238
238
241
248
250
253
259
259
H10
212
212
212
215
216
220
222
228
Rerata
217,6
217,3
221
224,1
225,2
227,6
230,9
233,4
I1
228
234
235
240
240
246
253
254
I2
217
217
218
221
224
229
232
238
I3
202
205
203
206
208
210
212
213
I4
215
215
217
219
219
219
217
217
I5
195
198
194
195
195
195
198
202
I6
247
247
255
261
263
267
273
278
I7
236
235
238
239
243
243
248
255
I8
229
235
235
239
242
243
245
251
I9
250
252
251
252
255
264
267
268
I10
232
236
238
244
245
246
250
255
Rerata
225,1
227,4
228,4
231,6
233,4
236,2
239,5
243,1
Kode tikus
20-Feb
22-Feb
25-Feb
27-Feb
02-Mar
04-Mar
06-Mar
08Mar
G1
214
221
222
225
229
233
235
237
G2
212
215
215
219
226
228
227
228
44
G3
260
263
261
270
281
290
293
295
G4
265
266
292
291
295
296
302
305
G5
242
245
252
251
257
258
258
260
G6
182
185
191
193
222
247
245
247
G7
280
282
290
302
305
298
304
310
G8
262
263
270
277
281
284
281
286
G9
270
273
275
275
279
226
230
245
G10
257
258
270
270
275
274
280
280
Rerata
244,4
247,1
253,8
257,3
265,0
263,4
265,5
269,3
H1
253
255
261
265
273
250
271
273
H2
271
273
282
285
297
270
268
302
H3
230
233
230
232
232
224
234
235
H4
228
229
239
237
240
222
247
248
H5
209
210
210
208
212
193
209
205
H6
274
275
283
290
296
306
310
315
H7
255
257
253
267
276
300
280
283
H8
225
227
233
236
240
278
245
244
H9
270
271
278
282
293
303
299
303
H10
238
239
250
249
257
294
271
265
Rerata
245,3
246,9
251,9
255,1
261,6
264
263,4
267,3
I1
266
267
275
245
255
272
280
280
I2
246
248
254
278
260
350
269
273
I3
215
217
215
215
219
233
226
228
I4
220
222
220
226
224
240
222
217
I5
199
199
189
188
195
212
200
200
I6
285
287
283
292
294
300
310
320
I7
272
274
286
289
304
274
314
319
I8
260
263
270
269
277
240
284
290
I9
281
284
287
295
299
298
301
305
I10
270
273
277
282
289
289
287
300
Rerata
251,4
253,4
255,6
257,9
261,6
270,8
269,3
273,2
Kode tikus
10-Mar
12Mar
G1
14-Mar
16-Mar
18-Mar
20-Mar
22-Mar
24-Mar
240
241
239
241
246
244
246
257
G2
233
231
225
231
234
233
235
240
G3
298
306
306
315
315
315
318
324
G4
291
298
302
282
304
305
308
305
G5
262
266
269
255
271
272
275
275
G6
240
248
253
252
251
247
249
254
G7
310
318
323
318
324
315
317
334
45
G8
290
293
307
298
300
290
305
303
G9
248
254
264
246
267
265
271
253
G10
275
283
288
290
292
295
298
298
Rerata
268,7
273,8
277,6
272,8
280,4
278,1
282,2
284,3
H1
272
268
274
273
279
262
265
285
H2
308
300
280
285
285
295
299
299
H3
235
238
243
248
248
250
253
254
H4
251
249
255
256
262
258
260
260
H5
187
190
188
190
198
194
196
202
H6
314
302
284
290
295
306
310
322
H7
288
286
292
301
304
309
311
302
H8
245
244
255
255
265
259
259
263
H9
306
309
311
311
312
315
317
324
H10
252
264
259
260
266
267
269
276
Rerata
265,8
265
264,1
266,9
271,4
271,5
273,9
278,7
I1
282
275
278
269
277
280
282
287
I2
273
267
270
269
271
279
280
285
I3
228
215
224
222
224
226
228
236
I4
218
210
215
215
220
219
220
223
I5
195
186
194
190
192
196
199
206
I6
324
321
327
330
326
329
330
337
I7
320
322
328
333
338
342
345
331
I8
295
284
264
273
280
281
283
283
I9
306
300
315
314
315
316
318
325
I10
301
308
306
307
315
316
319
325
Rerata
274,2
268,8
272,1
272,2
275,8
278,4
280,4
283,8
Kode tikus
26Mar
28-Mar
30-Mar
01-Apr
03-Apr
05-Apr
07-Apr
09-Apr
G1
285
285
286
299
300
308
310
312
G2
235
240
243
342
345
341
348
352
G3
330
333
336
239
240
242
242
247
G4
319
321
323
312
315
316
327
325
G5
279
281
282
288
289
288
290
292
G6
256
260
262
259
260
266
268
269
G7
343
348
349
348
349
358
359
360
G8
306
312
315
315
317
316
323
315
G9
256
266
267
268
269
268
280
278
G10
299
300
302
301
305
304
303
318
Rerata
290,8
294,6
296,5
297,1
298,9
300,7
305
306,8
H1
296
295
296
300
302
306
307
311
46
H2
306
311
313
320
322
314
318
318
H3
252
255
260
256
257
261
266
263
H4
262
266
267
266
268
268
270
267
H5
208
210
315
212
215
218
200
220
H6
316
322
335
315
317
328
333
332
H7
328
333
325
342
345
350
350
345
H8
266
272
274
272
273
276
280
354
H9
330
329
330
338
339
332
343
344
H10
279
285
286
288
290
294
300
300
Rerata
284,3
287,8
300,1
290,9
292,8
294,7
296,7
305,4
I1
301
291
293
310
312
268
344
342
I2
288
293
295
290
293
301
305
309
I3
240
242
243
248
249
255
250
255
I4
225
227
229
229
230
230
228
228
I5
208
208
210
210
215
220
221
220
I6
348
351
353
353
355
339
340
347
I7
347
350
286
350
351
342
353
352
I8
285
285
329
288
289
287
280
280
I9
325
327
430
328
329
335
335
337
I10
330
329
233
335
337
340
338
344
Rerata
289,7
290,3
290,1
294,1
296
291,7
299,4
301,4
Kode tikus
11Apr
13-Apr
15-Apr
17-Apr
19-Apr
21-Apr
23-Apr
25-Apr
G1
315
315
319
321
322
330
335
335
G2
356
359
364
367
368
374
380
386
G3
249
268
266
272
273
304
318
264
G4
327
332
334
342
345
345
353
357
G5
295
296
299
301
303
305
306
311
G6
270
268
270
268
269
270
275
275
G7
361
366
370
372
375
377
388
388
G8
317
327
330
330
333
335
335
336
G9
280
280
278
279
280
285
296
295
G10
320
320
319
324
325
310
320
326
Rerata
309
313,1
314,9
317,6
319,3
323,5
330,6
327,3
H1
313
310
318
320
322
325
333
334
H2
320
311
308
310
312
312
310
303
H3
265
260
259
255
256
266
268
272
H4
268
270
270
272
275
275
278
280
H5
225
215
220
220
222
220
228
224
H6
335
343
343
342
345
352
358
356
47
H7
247
351
355
354
356
360
367
361
H8
356
306
310
315
317
322
329
328
H9
347
349
351
355
356
357
365
365
H10
302
305
307
311
312
317
324
328
Rerata
297,8
302
304,1
305,4
307,3
310,6
316
315,1
I1
345
345
342
349
350
350
354
355
I2
310
305
304
303
305
300
305
300
I3
257
260
257
260
361
266
267
266
I4
229
230
230
229
230
228
231
230
I5
225
225
227
225
227
227
228
230
I6
249
353
345
361
362
364
371
371
I7
357
357
359
362
365
364
371
370
I8
282
282
279
280
282
285
290
285
I9
338
342
348
347
347
348
351
352
I10
345
346
356
356
357
357
365
361
Rerata
293,7
304,5
304,7
307,2
318,6
308,9
313,3
312
Kode tikus
27-Apr
29-Apr
01-Mei
G1
340
342
351
G2
385
387
386
G3
266
263
264
G4
355
355
360
G5
315
313
314
G6
274
274
277
G7
387
392
394
G8
337
340
337
G9
296
293
295
G10
330
325
330
Rata-rata
328,5
328,4
330,8
H1
330
335
339
H2
305
308
305
H3
275
275
277
H4
278
280
283
H5
222
225
228
H6
365
360
365
H7
365
364
368
H8
331
329
332
H9
363
367
367
H10
322
326
327
Rata-rata
315,6
316,9
319,1
I1
350
355
360
48
I2
309
310
316
I3
268
271
275
I4
232
232
235
I5
220
224
220
I6
368
371
370
I7
368
367
365
I8
282
278
285
I9
340
352
350
I10
367
372
374
Rata-rata
310,4
313,2
315
Lampiran 2a. Tabel konsumsi pakan selama 90 hari Perlakuan
31-Jan
01-Feb
02-Feb
03-Feb
04-Feb
05Feb
06-Feb
07-Feb
G1
16,8
19,7
18,4
12,0
13,5
11,2
10,9
13,5
G2
17,3
12,5
14,2
13,1
15,8
19,8
12,4
19,0
G3
15,3
16,2
17,2
17,3
17,5
16,9
17,5
16,5
G4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G5
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
15,1
20,0
G6
10,9
11,0
4,5
9,0
12,7
10,2
10,3
20,0
G7
17,8
20,0
19,2
20,0
20,0
20,0
20,0
16,6
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
11,1
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,1
G10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
17,4
17,1
17,5
15,6
16,7
17,0
15,2
17,3
H1
20,0
17,0
20,0
14,8
20,0
20,0
20,0
20,0
H2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H3
20,0
20,0
20,0
20,0
14,7
20,0
20,0
20,0
H4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,9
17,1
H5
19,0
18,7
18,2
19,4
13,8
17,2
15,8
17,4
H6
20,0
20,0
18,9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H7
20,0
20,0
20,0
20,0
16,0
15,7
15,8
20,0
H8
20,0
20,0
12,0
16,7
14,1
13,4
14,5
13,4
H9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
20,0
17,9
16,4
17,0
15,5
15,9
20,0
20,0
H11
20,0
19,4
18,5
18,8
17,4
18,2
18,4
18,8
Rerata
17,4
19,7
19,5
19,9
17,1
19,3
18,4
18,6
I1
20,0
19,2
15,3
18,4
15,0
20,0
12,5
16,2
49
I2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
I3
19,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,1
I4
20,0
19,1
16,6
20,0
20,0
20,0
16,0
18,9
I5
20,0
20,0
14,8
15,7
20,0
20,0
20,0
14,4
I6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
13,6
I7
20,0
17,5
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
12,4
I8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I9
20,0
17,0
15,5
16,4
18,7
20,0
17,1
20,0
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
15,8
20,0
Rerata
19,8
19,6
18,0
19,6
18,7
20,0
17,1
17,7
08-Feb
09-Feb
10-Feb
11-Feb
12-Feb
13Feb
14-Feb
15-Feb
G1
15,4
16,9
18,7
19,4
19,2
19,6
19,5
20,0
G2
18,7
20,0
19,7
19,1
16,2
16,7
20,0
20,0
G3
15,0
15,5
16,7
16,2
14,3
14,4
20,0
20,0
G4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,3
G5
20,0
20,0
16,0
18,0
20,0
20,0
20,0
18,7
G6
12,7
20,0
10,5
20,0
20,0
20,0
20,0
14,6
G7
20,0
20,0
20,0
20,0
14,1
20,0
20,0
20,0
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,7
20,0
G9
20,0
20,0
19,2
11,4
20,0
20,0
20,0
20,0
G10
20,0
19,1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
17,3
18,1
18,8
18,7
17,4
17,7
19,9
19,8
H1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H3
20,0
13,0
14,7
20,0
20,0
20,0
20,0
13,0
H4
20,0
14,4
20,0
20,0
17,9
17,1
20,0
14,4
H5
7,8
20,0
13,8
17,2
15,8
17,4
7,8
20,0
H6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H7
20,0
20,0
16,0
15,7
15,8
20,0
20,0
20,0
H8
14,3
15,4
14,1
13,4
14,5
13,4
14,3
15,4
H9
12,4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
12,4
20,0
H10
13,5
15,9
15,5
15,9
20,0
20,0
13,5
15,9
H11
16,8
17,9
17,4
18,2
18,4
18,8
16,8
17,9
Rerata
16,9
16,9
17,1
19,3
18,4
18,6
16,9
16,9
I1
20,0
20,0
15,0
20,0
12,5
16,2
20,0
20,0
I2
13,6
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
13,6
20,0
I3
20,0
12,4
20,0
20,0
20,0
18,1
20,0
12,4
Perlakuan
50
I4
15,0
17,8
20,0
20,0
16,0
18,9
15,0
17,8
I5
14,2
11,0
20,0
20,0
20,0
14,4
14,2
11,0
I6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
13,6
20,0
20,0
I7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
12,4
20,0
20,0
I8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I9
20,0
20,0
18,7
20,0
17,1
20,0
20,0
20,0
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
15,8
20,0
20,0
20,0
Rerata
17,1
17,5
18,7
20,0
17,1
17,7
17,1
17,5
Perlakuan
16Feb
17-Feb
18-Feb
19-Feb
20-Feb
21-Feb
22-Feb
23-Feb
G1
20,0
12,6
20,0
9,6
20,0
20,0
13,5
20,0
G2
20,0
20,0
20,0
15,0
15,9
20,0
13,0
13,2
G3
20,0
20,0
20,0
16,6
19,4
20,0
16,5
15,5
G4
20,0
20,0
20,0
20,0
14,0
20,0
20,0
18,0
G5
14,7
17,0
17,1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G6
20,0
15,5
16,2
20,0
19,2
13,9
20,0
20,0
G7
16,0
16,7
20,0
20,0
20,0
20,0
16,6
20,0
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
16,4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,1
20,0
G10
16,2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
20,0
18,2
20,0
15,3
17,3
20,0
15,8
16,7
H1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H2
20,0
14,8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H3
18,0
15,0
11,3
20,0
13,3
12,8
12,6
11,6
H4
20,0
20,0
20,0
13,1
12,7
12,3
12,9
12,8
H5
20,0
12,7
13,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H6
11,0
20,0
20,0
20,0
15,7
15,7
20,0
16,8
H7
6,6
15,7
20,0
20,0
20,0
19,7
20,0
20,0
H8
16,0
20,0
20,0
20,0
12,8
13,5
15,0
14,3
H9
14,9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
20,0
20,0
20,0
10,7
17,2
17,4
14,9
14,2
H11
16,6
17,8
18,5
18,4
17,2
17,1
17,5
17,0
Rerata
19,5
15,6
16,1
18,3
16,5
16,3
16,4
16,1
I1
12,7
15,9
20,0
20,0
15,1
15,5
20,0
20,0
I2
15,9
20,0
20,0
20,0
17,7
17,1
20,0
19,4
I3
17,1
20,0
20,0
12,6
20,0
20,0
20,0
20,0
I4
18,7
13,1
20,0
7,6
17,7
13,0
15,7
10,4
I5
20,0
20,0
12,4
20,0
18,8
16,3
18,6
14,6
51
I6
20,0
12,2
15,4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I7
17,4
20,0
12,4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
16,1
17,2
20,0
15,0
17,6
16,4
18,9
17,4
Perlakuan
24Feb
25-Feb
26-Feb
27Feb
28-Feb
01-Mar
02-Mar
03-Mar
G1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G2
20,0
17,1
20,0
17,6
20,0
18,5
20,0
20,0
G3
19,7
14,0
20,0
20,0
15,6
20,0
20,0
20,0
G4
16,6
20,0
17,9
20,0
20,0
20,0
18,0
15,7
G5
20,0
18,9
20,0
20,0
20,0
20,0
19,4
18,5
G6
12,6
13,9
12,8
12,9
9,9
16,0
20,0
20,0
G7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
5,7
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
20,0
20,0
16,2
20,0
20,0
20,0
20,0
G10
20,0
20,0
20,0
20,0
14,9
16,3
20,0
20,0
Rerata
19,1
17,8
19,5
19,4
18,9
19,6
19,5
18,9
H1
20,0
20,0
20,0
16,4
12,7
11,8
20,0
14,9
H2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
15,9
4,3
2,8
H3
11,9
12,0
13,2
16,0
13,5
14,0
14,9
13,1
H4
14,0
15,2
14,5
15,6
11,8
10,2
20,0
12,0
H5
20,0
19,6
20,0
20,0
20,0
16,7
20,0
20,0
H6
20,0
18,6
18,9
14,9
11,4
10,3
9,4
3,0
H7
20,0
20,0
20,0
20,0
18,8
17,0
20,0
20,0
H8
17,4
16,0
16,2
14,2
10,7
13,4
13,4
17,2
H9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
18,5
17,6
18,3
20,0
12,7
15,9
20,0
10,5
H11
18,2
17,9
18,1
17,7
15,2
14,5
16,2
13,3
Rerata
16,5
16,7
16,9
17,9
16,3
14,2
14,8
12,0
I1
20,0
18,4
20,0
18,4
9,4
13,9
18,2
16,8
I2
18,4
16,8
17,3
16,6
12,6
10,7
7,7
16,9
I3
19,3
16,7
18,1
16,6
5,9
7,2
9,4
15,0
I4
17,4
13,0
15,1
15,4
14,9
17,3
18,4
20,0
I5
16,2
17,4
18,0
9,8
5,4
8,4
7,9
11,0
I6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
11,9
7,7
20,0
I7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
52
I8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
16,3
1,3
2,5
I9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
15,6
19,3
20,0
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
14,1
20,0
Rerata
18,8
16,2
17,6
16,7
10,7
12,3
13,4
17,2
Perlakuan
04Mar
05-Mar
06-Mar
07-Mar
08-Mar
09-Mar
10Mar
11-Mar
G1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,0
G2
20,0
16,3
15,9
16,1
15,4
12,0
20,0
16,3
G3
20,0
20,0
19,4
17,5
17,4
18,2
13,8
20,0
G4
16,2
13,7
14,0
13,8
18,3
19,1
12,8
12,7
G5
18,9
20,0
20,0
20,0
20,0
13,0
9,0
11,0
G6
18,0
20,0
19,2
16,8
13,5
15,2
14,9
18,3
G7
17,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G10
20,0
20,0
20,0
18,5
18,7
18,3
20,0
14,8
Rerata
19,1
17,5
17,3
16,9
17,8
17,3
16,7
17,0
H1
12,4
14,0
16,7
14,6
20,0
20,0
20,0
20,0
H2
10,9
12,5
7,7
15,0
18,0
17,9
18,9
20,0
H3
20,0
17,4
16,3
14,1
14,9
13,0
11,0
15,3
H4
13,5
15,0
15,0
14,2
20,0
11,7
14,2
14,3
H5
12,5
15,3
18,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H6
13,5
10,0
20,0
12,8
19,4
15,0
19,1
17,0
H7
20,0
19,5
20,0
18,0
19,0
16,7
20,0
20,0
H8
17,8
15,8
16,3
15,8
14,6
20,0
19,6
20,0
H9
20,0
20,0
19,4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
13,4
11,9
13,9
13,7
12,4
16,2
17,9
14,9
H11
15,4
15,1
16,4
15,8
17,8
17,0
18,1
18,1
Rerata
14,2
15,0
14,5
15,8
18,2
15,7
16,0
17,4
I1
14,2
11,5
20,0
15,5
13,9
17,5
20,0
20,0
I2
14,1
13,6
14,7
15,1
17,9
18,0
18,0
20,0
I3
20,0
15,8
18,2
20,0
17,6
19,3
20,0
20,0
I4
20,0
20,0
19,5
20,0
18,4
20,0
20,0
20,0
I5
13,2
13,5
16,0
20,0
15,9
13,8
16,9
18,2
I6
13,4
20,0
14,5
17,2
20,0
20,0
20,0
20,0
I7
20,0
20,0
20,0
20,0
19,7
20,0
20,0
20,0
I8
12,4
15,5
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,2
53
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
17,1
15,2
18,1
17,7
16,9
18,7
19,5
20,0
Perlakuan
12Mar
13-Mar
14-Mar
15-Mar
16-Mar
17-Mar
18-Mar
19-Mar
G1
18,7
12,4
14,7
20,0
20,0
19,7
20,0
20,0
G2
12,4
12,0
17,2
17,4
20,0
17,1
20,0
20,0
G3
16,4
14,8
19,0
17,3
20,0
20,0
20,0
20,0
G4
16,5
5,0
15,1
17,9
18,8
20,0
20,0
20,0
G5
13,7
14,7
12,7
10,8
10,4
10,0
15,0
14,7
G6
15,9
16,0
14,9
15,4
16,4
15,2
12,7
20,0
G7
16,7
13,0
16,3
19,6
15,7
19,0
18,5
16,0
G8
20,0
20,0
20,0
15,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
17,2
19,4
16,2
13,1
17,9
18,0
16,4
G10
14,8
17,8
20,0
20,0
17,0
17,6
14,4
16,2
Rerata
16,0
11,0
16,5
18,2
19,7
19,2
20,0
20,0
H1
20,0
20,0
20,0
20,0
16,4
15,0
19,0
17,2
H2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H3
15,9
15,9
12,9
13,3
13,0
16,0
16,9
20,0
H4
12,0
13,9
11,3
13,3
13,3
14,2
15,8
15,3
H5
20,0
20,0
18,2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H6
15,9
20,0
20,0
20,0
20,0
18,7
13,7
16,0
H7
20,0
15,9
20,0
13,9
20,0
15,4
17,8
14,2
H8
18,0
15,6
16,0
13,3
17,5
15,2
20,0
16,4
H9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
13,6
17,5
15,2
13,3
14,9
14,9
16,0
20,0
H11
17,5
17,9
17,4
16,7
17,5
16,9
17,9
17,9
Rerata
17,0
17,5
15,6
16,6
16,6
17,5
18,2
18,8
I1
20,0
20,0
18,7
20,0
20,0
14,0
20,0
20,0
I2
13,9
20,0
20,0
19,3
20,0
19,1
20,0
18,0
I3
18,9
20,0
20,0
18,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I4
16,9
20,0
18,9
16,1
20,0
19,0
20,0
20,0
I5
20,0
16,9
17,2
13,4
12,7
13,2
20,0
14,7
I6
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
20,0
20,0
20,0
I7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
17,4
20,0
19,4
18,3
20,0
18,0
20,0
19,5
54
Perlakuan
20Mar
21Mar
22Mar
23Mar
24Mar
25Mar
26Mar
27Mar
28Mar
G1
12,6
20,0
20,0
20,0
20,0
15,3
20,0
20,0
20,0
G2
20,0
20,0
20,0
20,0
16,9
17,5
12,1
20,0
20,0
G3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G4
20,0
20,0
20,0
20,0
16,9
17,7
12,4
18,7
14,0
G5
17,0
17,1
20,0
17,4
20,0
15,2
15,2
20,0
20,0
G6
15,5
16,2
20,0
13,1
15,4
17,0
15,2
16,6
13,4
G7
16,7
20,0
20,0
20,0
20,0
19,2
20,0
20,0
20,0
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
16,0
20,0
16,8
20,0
Rerata
18,2
20,0
20,0
20,0
18,4
17,6
16,1
19,7
18,5
H1
19,0
17,1
20,0
20,0
20,0
15,9
20,0
20,0
20,0
H2
20,0
20,0
20,0
13,1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H3
20,0
20,0
18,1
15,9
14,2
11,3
13,8
20,0
16,8
H4
14,3
11,5
11,3
12,8
14,6
10,2
13,9
13,3
12,7
H5
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
14,5
20,0
20,0
H6
13,2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
11,3
20,0
20,0
H7
16,8
19,2
17,1
20,0
20,0
16,4
20,0
20,0
18,1
H8
20,0
15,9
14,4
16,5
20,0
20,0
16,0
16,8
16,1
H9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
20,0
20,0
20,0
16,5
17,5
15,8
20,0
18,0
18,8
H11
18,3
18,4
18,1
17,5
18,6
17,0
16,9
18,8
18,2
Rerata
18,6
17,9
17,3
15,4
17,2
15,4
15,6
18,3
17,4
I1
20,0
20,0
18,9
20,0
20,0
20,0
19,4
18,3
18,0
I2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,4
20,0
I3
20,0
20,0
17,1
20,0
17,4
17,2
20,0
20,0
20,0
I4
20,0
20,0
16,8
19,2
19,2
20,0
20,0
20,0
19,6
I5
14,7
12,9
20,0
17,4
15,8
18,0
20,0
15,9
14,5
I6
20,0
19,8
18,8
15,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
16,3
20,0
20,0
20,0
I9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I10
20,0
20,0
15,8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
20,0
20,0
18,2
19,8
19,2
19,3
19,8
19,4
19,4
55
Perlakuan
29Mar
30Mar
31Mar
01Apr
02Apr
03-Apr
04Apr
05Apr
06Apr
G1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
G2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
13,3
19,0
G3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G4
20,0
20,0
20,0
15,8
17,3
18,3
20,0
17,4
20,0
G5
20,0
12,2
12,1
18,4
19,3
16,5
20,0
19,5
16,4
G6
20,0
17,5
18,2
15,5
14,2
20,0
20,0
15,7
16,2
G7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G10
20,0
16,8
20,0
17,6
14,5
20,0
20,0
19,1
14,9
Rerata
20,0
20,0
20,0
18,9
19,3
19,6
20,0
17,7
19,2
H1
20,0
20,0
20,0
20,0
19,7
20,0
14,6
20,0
16,6
H2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,7
12,6
16,5
11,4
H3
13,3
18,4
17,5
13,1
12,2
20,0
15,5
13,9
13,4
H4
11,8
11,9
20,0
15,8
9,5
16,7
20,0
12,4
10,0
H5
20,0
20,0
20,0
18,9
20,0
15,8
19,1
20,0
20,0
H6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H7
15,8
20,0
14,1
20,0
13,0
18,8
16,7
20,0
9,5
H8
15,8
1,5
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H9
20,0
20,0
12,8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
14,9
13,9
16,0
16,2
16,5
18,8
12,6
19,1
11,4
H11
17,2
16,6
18,0
18,4
17,1
18,9
17,1
18,2
15,2
Rerata
16,3
17,6
19,4
17,0
15,4
17,8
16,8
15,7
13,7
I1
14,9
13,4
13,4
18,1
16,2
18,2
10,9
18,2
10,7
I2
20,0
18,5
18,9
20,0
20,0
20,0
20,0
6,9
20,0
I3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,2
13,0
19,3
20,0
I4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I5
16,2
12,7
13,1
20,0
20,0
18,1
16,1
12,0
10,0
I6
20,0
20,0
18,2
17,1
17,9
20,0
14,9
19,4
10,7
I7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,8
20,0
20,0
20,0
I8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
16,9
20,0
20,0
20,0
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
18,7
18,0
18,1
19,5
19,0
18,9
16,0
16,1
17,7
56
Perlakuan
07-Apr
08-Apr
09-Apr
10-Apr
11-Apr
13-Apr
14-Apr
15-Apr
G1
20,0
14,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G2
20,0
9,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,6
20,0
20,0
G4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G5
16,9
17,5
14,6
20,0
20,0
20,0
17,0
20,0
G6
17,3
13,9
16,8
11,7
13,8
13,5
20,0
12,9
G7
20,0
20,0
20,0
20,0
16,8
20,0
20,0
20,0
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G10
20,0
20,0
16,2
15,9
20,0
17,8
14,0
20,0
Rerata
20,0
15,9
20,0
20,0
20,0
19,7
20,0
20,0
H1
18,4
20,0
20,0
20,0
20,0
16,9
20,0
20,0
H2
20,0
14,9
19,6
17,8
18,6
18,2
12,4
20,0
H3
11,6
14,5
10,9
18,6
14,4
10,6
20,0
13,5
H4
9,7
12,6
13,0
17,4
13,6
12,6
15,2
12,3
H5
20,0
11,9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H6
20,0
20,0
20,0
15,6
20,0
18,9
20,0
20,0
H7
16,8
14,7
20,0
20,0
20,0
17,6
14,8
16,5
H8
20,0
20,0
20,0
16,9
20,0
20,0
20,0
20,0
H9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
15,9
16,4
17,0
20,0
20,0
15,4
15,3
15,8
H11
17,2
16,5
18,0
18,6
18,7
17,0
17,8
17,8
Rerata
15,3
13,5
15,9
18,5
16,6
15,3
16,9
16,5
I1
13,6
15,0
15,3
20,0
16,9
20,0
11,5
13,0
I2
20,0
20,0
16,3
15,8
19,1
20,0
13,2
15,2
I3
20,0
20,0
20,0
18,8
20,0
20,0
16,6
17,2
I4
20,0
20,0
20,0
17,8
20,0
20,0
20,0
20,0
I5
15,5
20,0
14,4
20,0
14,1
10,6
10,8
12,2
I6
20,0
18,6
20,0
20,0
20,0
20,0
18,0
20,0
I7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I8
20,0
20,0
20,0
16,7
20,0
20,0
20,0
20,0
I9
20,0
20,0
18,8
17,4
20,0
14,5
17,0
20,0
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
18,4
18,7
17,9
18,1
19,0
20,0
15,3
16,4
57
Perlakuan
16-Apr
17-Apr
18-Apr
19-Apr
20Apr
21-Apr
22Apr
23-Apr
G1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G5
15,5
20,0
20,0
20,0
20,0
17,9
20,0
20,0
G6
14,6
16,5
20,0
15,0
13,6
15,3
15,0
16,0
G7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G10
18,0
16,4
20,0
16,8
15,6
13,3
7,4
20,0
Rerata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H1
20,0
19,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H2
18,9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H3
13,8
11,9
14,5
15,8
16,6
10,7
15,4
10,3
H4
10,8
11,2
17,5
13,6
17,8
14,8
10,7
12,8
H5
16,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H7
20,0
10,1
20,0
17,9
18,8
15,9
16,0
16,0
H8
17,2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
20,0
15,7
20,0
13,6
14,1
15,5
16,1
16,6
H11
17,7
16,8
19,2
18,1
18,7
17,7
17,8
17,6
Rerata
15,1
15,8
18,0
17,3
18,6
16,4
16,5
15,8
I1
16,4
11,8
16,5
17,0
13,3
13,4
16,9
15,3
I2
16,8
14,8
18,3
19,6
14,2
16,6
16,4
18,8
I3
15,8
18,3
20,0
20,0
20,0
20,0
18,8
19,3
I4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I5
8,4
12,3
15,0
8,4
20,0
7,4
9,6
8,4
I6
16,4
15,8
20,0
19,2
20,0
18,8
18,9
18,5
I7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
I9
14,5
9,9
20,0
20,0
16,2
20,0
20,0
18,0
I10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Rerata
17,2
16,2
18,7
19,1
16,9
17,5
18,0
18,4
58
Perlakuan
24-Apr
25-Apr
26-Apr
27-Apr
28-Apr
29-Apr
30-Apr
01Mei
G1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G3
20,0
20,0
20,0
17,1
20,0
20,0
20,0
20,0
G4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G5
20,0
20,0
20,0
20,0
18,2
19,2
20,0
20,0
G6
11,4
14,9
15,6
13,8
15,8
20,0
10,8
15,7
G7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
G10
18,9
20,0
20,0
20,0
16,0
16,3
20,0
20,0
Rerata
20,0
20,0
20,0
19,3
20,0
20,0
20,0
20,0
H1
20,0
16,9
16,9
20,0
12,8
19,8
15,4
13,8
H2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H3
14,3
16,0
15,1
18,8
10,1
13,7
10,9
15,2
H4
17,8
13,2
16,3
18,8
11,8
11,3
16,0
16,4
H5
20,0
20,0
20,0
18,8
20,0
20,0
18,1
20,0
H6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H7
16,9
17,4
18,6
20,0
14,0
16,7
15,3
17,7
H8
20,0
20,0
20,0
17,8
20,0
20,0
20,0
17,6
H9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
H10
17,8
15,0
18,8
20,0
15,7
15,2
16,5
15,9
H11
18,7
17,9
18,6
19,4
16,4
17,7
17,2
17,7
Rerata
18,0
17,3
17,8
19,1
15,5
16,3
16,2
17,9
I1
18,8
12,3
20,0
20,0
20,0
18,9
17,8
16,8
I2
16,9
11,4
18,8
18,8
20,0
18,8
16,7
20,0
I3
20,0
13,5
17,8
18,0
18,7
17,9
18,9
17,7
I4
20,0
15,6
18,6
16,7
17,7
20,0
18,8
18,9
I5
10,0
11,9
20,0
20,0
15,7
20,0
17,9
17,9
I6
16,1
11,5
20,0
20,0
20,0
20,0
17,8
15,7
I7
20,0
20,0
16,8
18,8
17,8
18,8
20,0
16,7
I8
20,0
20,0
18,8
17,8
18,8
20,0
16,8
17,8
I9
14,1
14,0
20,0
20,0
20,0
17,8
16,9
17,8
I10
20,0
20,0
17,6
20,0
20,0
20,0
20,0
15,7
Rerata
18,9
13,2
18,8
18,4
19,1
18,9
18,1
18,4
Keterangan : Kode G = Tikus kontrol Kode H = Tikus yang diberi perlakuan ekstrak biji bligo 0.1 g/kg bb Kode I = Tikus yang diberi perlakuan ekstrak biji bligo 1 g/kg bb
59
Lampiran 2b. Tabel konsumsi pakan rata-rata bulan ke-1, ke-2 dan ke-3 Jantan
Perlakuan
Betina
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kontrol
17,3
17,5
19,5
19,5
19,2
19,7
19,2
19,7
17,4
14,9
0,1 g/kg bb
19,3
19,8
16,4
17,0
18,5
15,3
19,3
17,1
17,4
18,7
1 g/kg bb
17,4
18,4
18,1
19,1
19,0
20,0
19,3
19,7
16,7
16,5
Perlakuan
Jantan
Betina
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kontrol
19,1
17,8
17,0
16,1
18,5
19,8
19,3
18,5
19,1
16,7
0,1 g/kg bb
18,2
17,3
15,7
13,8
18,2
16,4
19,7
16,0
19,2
16,7
1 g/kg bb
17,8
17,9
18,4
18,5
20,0
18,2
19,8
19,7
19,3
15,3
Perlakuan
Jantan
Betina
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kontrol
19,7
19,4
19,6
18,9
19,9
20,0
20,0
17,6
19,9
15,5
0,1 g/kg bb
18,7
18,7
14,2
14,0
17,0
19,6
20,0
16,6
19,3
19,8
1 g/kg bb
16,1
17,4
18,6
18,2
19,6
19,6
18,1
19,8
19,5
14,6
Lampiran 3. Tabel ANOVA terhadap konsumsi pakan rata-rata bulan ke-1, ke-2 dan ke-3 Sumber
db
JK
KT
F hitung
F Tabel
0,287
3,35
Perlakuan
2
12,37
6,183
Galat
27
581,7
21,546
Total
29
594,1
Sumber
db
JK
KT
F hitung
F Tabel
Perlakuan
2
20,13
10,065
0,4257
3,35
Galat
27
638,4
23,644
Total
29
658,5
Sumber
db
JK
KT
F hitung
F Tabel
Perlakuan
2
1,979
0,9895
0,0406
3,35
Galat
27
657,3
24,344
Total
29
659,3
60
Lampiran 4. Berat tikus hari ke 0 Jantan
Betina
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ratarata
Kontrol
157
150
181
155
170
195
160
165
160
163
165,6
0,1 g/kg bb
178
175
172
160
160
160
170
170
163
162
167
1 g/kg bb
150
151
171
171
162
185
180
163
165
165
166,3
Perlakuan
Lampiran 5. Tabel ANOVA berat tikus hari ke 0 Sumber
db
JK
KT
F hitung
F Tabel
0,042
3,35
Perlakuan
2
9,8
4,9
Galat
27
3151
116,7
Total
29
3160
Lampiran 6 . Berat tikus bulan ke-1 Jantan
Perlakuan
Betina
Rerata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kontrol
225
219
275
291
251
270
302
277
270
193
257,3
0,1 g/kg bb
265
285
232
237
282
249
267
236
208
290
255,1
1 g/kg bb
245
278
215
295
282
292
289
269
226
188
257,9
Lampiran 7. Tabel ANOVA berat tikus bulan ke 1 Sumber
db
JK
KT
F hitung
F Tabel
Perlakuan
2
43,47
21,733
0,02
3,35
Galat
27
29924
1108,3
Total
29
29967
Lampiran 8. Berat tikus bulan ke-2 Perlakuan
Jantan
Betina
Rerata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kontrol
286
243
267
323
282
302
349
315
336
262
296,5
0,1 g/kg bb
296
313
250
267
330
286
325
274
315
335
299,1
1 g/kg bb
293
295
243
430
233
353
286
329
229
210
290,1
61
Lampiran 9. Tabel ANOVA Berat tikus bulan ke-2 Sumber
db
JK
KT
Fhitung
F Tabel
Perlakuan
2
429,07
214,5
0,098
3,35
Galat
27
58966
2184
Total
29
59395
Lampiran 10. Berat tikus bulan ke-3 Perlakuan
Jantan
Betina
Rerata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kontrol
351
386
295
360
314
330
394
337
264
277
330,8
0,1 g/kg bb
339
305
277
283
367
327
368
332
228
365
319,1
1 g/kg bb
360
316
275
350
374
370
365
285
235
220
315
Lampiran 11. Tabel ANOVA Berat tikus bulan ke-3 Sumber
db
JK
KT
F hitung
F Tabel
Perlakuan
2
1344,5
672,2
0,273
3,35
2461
Galat
27
66435
Total
29
67779
Lampiran 12. Pertumbuhan tikus selama 3 bulan Perlakuan
Jantan
Betina
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kontrol
194
236
114
205
144
125
234
172
104
114
0,1 g/kg bb
161
130
105
123
207
167
198
162
65
70
1 g/kg bb
210
165
104
179
212
185
185
122
70
55
Lampiran 13. Tabel ANOVA Pertumbuhan tikus selama 3 bulan Sumber Perlakuan
Db
JK
KT
2
653,4
326,7
Galat
27
72531
2686
Total
29
73185
Fhitung 0,1216
F Tabel 3,35
62
Lampiran 14. Data hasil absorbansi splenosit tikus pada setiap kelompok tikus Perlakuan Kontrol
OD Kontrol 1.364
OD LPS 1.244
OD T90 1.186
OD T180 0.981
OD T270 1.266
OD R6 0.652
OD R12 0.543
OD R18 0.509
Kontrol
1.216
1.197
1.529
0.992
1.223
0.597
0.616
0.539
Kontrol
0.792
1.310
1.709
0.942
1.157
0.652
0.543
0.509
Kontrol
1.136
1.209
1.264
0.993
1.399
0.962
0.708
0.660
Kontrol
1.226
1.333
1.306
0.884
1.208
0.688
0.717
0.641
Rata-rata
1.147
1.259
1.399
0.958
1.251
0.710
0.625
0.572
0.1 g/kg bb
1.116
1.536
1.410
1.337
1.670
1.643
1.717
1.428
0.1 g/kg bb
1.262
1.630
1.218
1.678
1.630
1.907
1.723
1.667
0.1 g/kg bb
1.379
1.367
1.383
1.684
1.763
1.564
1.499
1.405
0.1 g/kg bb
1.373
1.636
1.177
1.428
1.640
1.840
1.170
1.636
0.1 g/kg bb
1.161
1.648
1.616
1.536
1.657
1.639
1.219
1.560
Rata-rata
1.258
1.563
1.361
1.533
1.672
1.719
1.466
1.539
1 g/kg bb
1.030
1.079
1.172
1.414
1.876
1.137
1.262
1.098
1 g/kg bb
0.967
0.991
1.222
1.297
1.794
1.205
1.052
1.153
1 g/kg bb
1.080
1.195
1.522
0.878
1.240
0.791
0.591
0.674
1 g/kg bb
1.117
1.147
1.219
1.064
1.478
0.902
0.708
0.621
1 g/kg bb
1.219
1.335
1.181
0.957
1.294
0.780
0.629
0.546
Rata-rata
1.083
1.149
1.263
1.122
1.536
0.963
0.848
0.818
Lampiran 15. Data hasil Indeks Stimulasi splenosit tikus pada setiap kelompok tikus Perlakuan Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Rata-rata SD 0.1 g/kg bb 0.1 g/kg bb 0.1 g/kg bb 0.1 g/kg bb 0.1 g/kg bb
IS LPS 0.912 0.984 1.654 1.064 1.087 1.140 0.295 1.376 1.292 0.991 1.192 1.419
IS T90 0.870 1.257 2.158 1.113 1.065 1.293 0.503 1.263 0.965 1.003 0.857 1.392
IS T180 0.719 0.816 1.189 0.874 0.721 0.864 0.193 1.198 1.330 1.221 1.040 1.323
IS T270 0.928 1.006 1.461 1.232 0.985 1.122 0.222 1.496 1.292 1.278 1.194 1.427
IS R6 0.478 0.491 0.823 0.847 0.561 0.640 0.181 1.472 1.511 1.134 1.340 1.412
IS R12 0.398 0.507 0.686 0.623 0.585 0.560 0.111 1.539 1.365 1.087 0.852 1.050
IS R18 0.373 0.443 0.643 0.581 0.523 0.513 0.107 1.280 1.321 1.019 1.192 1.344
63
Rata-rata SD 1 g/kg bb 1 g/kg bb 1 g/kg bb 1 g/kg bb 1 g/kg bb Rata-rata SD
1.254 0.171 1.048 1.025 1.106 1.027 1.095 1.060 0.038
1.096 0.222 1.138 1.264 1.409 1.091 0.969 1.174 0.168
1.222 0.118 1.373 1.341 0.813 0.953 0.785 1.053 0.285
1.338 0.122 1.821 1.855 1.148 1.323 1.062 1.442 0.374
1.374 0.149 1.104 1.246 0.732 0.808 0.640 0.906 0.258
1.179 0.272 1.225 1.088 0.547 0.634 0.516 0.802 0.330
1.231 0.132 1.066 1.192 0.624 0.556 0.4479 0.777 0.330
Lampiran 16. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan LPS Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N control 0.1 g/kg BB 1 g/kg BB Total
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimu m
Maximu m
5
1.14020
.295424
.132118
.77338
1.50702
.912
1.654
5
1.25400
.170709
.076343
1.04204
1.46596
.991
1.419
5
1.06020
.038075
.017028
1.01292
1.10748
1.025
1.106
15
1.15147
.201124
.051930
1.04009
1.26285
.912
1.654
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic 2.655
df1
df2 2
Sig. 12
.111
ANOVA Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
.095 .471 .566
df
Mean Square 2 12 14
.047 .039
F 1.207
Sig. .333
64
Lampiran 17. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N control 0.1 g/kg BB 1 g/kg BB Total
Std. Deviation
Mean
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimu m
Maximu m
5
1.29260
.503198
.225037
.66780
1.91740
.870
2.158
5
1.09600
.222731
.099608
.81944
1.37256
.857
1.392
5
1.17420
.168475
.075344
.96501
1.38339
.969
1.409
15
1.18760
.318790
.082311
1.01106
1.36414
.857
2.158
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
1.612
df2 2
Sig. 12
.240
ANOVA Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
.098 1.325 1.423
df
Mean Square 2 12 14
F
.049 .110
Sig. .444
.652
Lampiran 18. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N control 0.1 g/kg BB 1 g/kg BB Total
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimu m
Maximu m
5
.86380
.193328
.086459
.62375
1.10385
.719
1.189
5
1.22240
.117861
.052709
1.07606
1.36874
1.040
1.330
5
1.05300
.284942
.127430
.69920
1.40680
.785
1.373
15
1.04640
.246641
.063683
.90981
1.18299
.719
1.373
65
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
3.660
df2 2
Sig. 12
.057
ANOVA Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
.322 .530 .852
Mean Square 2 12 14
F
.161 .044
Sig.
3.644
.058
Lampiran 19. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N control 0.1 g/kg BB 1 g/kg BB Total
Std. Deviation
Mean
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimu m
Maximu m
5
1.12240
.221856
.099217
.84693
1.39787
.928
1.461
5
1.33740
.121794
.054468
1.18617
1.48863
1.194
1.496
5
1.44180
.373901
.167213
.97754
1.90606
1.062
1.855
15
1.30053
.277831
.071736
1.14668
1.45439
.928
1.855
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic 7.054
df1
df2 2
Sig. 12
.009
ANOVA Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
.265 .815 1.081
df
Mean Square 2 12 14
.133 .068
F 1.952
Sig. .185
66
Lampiran 20a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N control 0.1 g/kg BB 1 g/kg BB Total
Std. Deviation
Mean
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimu m
Maximu m
5
.64000
.180986
.080939
.41528
.86472
.478
.847
5
1.37380
.148806
.066548
1.18903
1.55857
1.134
1.511
5
.90600
.257604
.115204
.58614
1.22586
.640
1.246
15
.97327
.364998
.094242
.77114
1.17540
.478
1.511
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
2.344
df2 2
Sig. 12
.138
ANOVA Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
1.380 .485 1.865
Mean Square 2 12 14
.690 .040
F 17.072
Sig. .000
Lampiran 20b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml Duncan Subset for alpha = .05 Perlakuan Control 1 g/kg BB 0.1 g/kg BB Sig.
N
1 5 5 5
2
.64000 .90600 .058
1.37380 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
67
Lampiran 21a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N Control 0.1 g/kg BB 1 g/kg BB Total
Std. Deviation
Mean
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimu m
Maximu m
5
.55980
.111269
.049761
.42164
.69796
.398
.686
5
1.17860
.272135
.121702
.84070
1.51650
.852
1.539
5
.80200
.330064
.147609
.39217
1.21183
.516
1.225
15
.84680
.353943
.091388
.65079
1.04281
.398
1.539
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
5.900
df2 2
Sig. 12
.016
ANOVA Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
.972 .782 1.754
Mean Square 2 12 14
.486 .065
F 7.465
Sig. .008
Lampiran 21b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml Duncan Subset for alpha = .05 Perlakuan Control 1 g/kg BB 0.1 g/kg BB Sig.
N
1 5 5 5
2
.55980 .80200 .159
1.17860 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
68
Lampiran 22a. Tabel ANOVA Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N Control 0.1 g/kg BB 1 g/kg BB Total
Std. Deviation
Mean
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimu m
Maximu m
5
.51260
.107382
.048022
.37927
.64593
.373
.643
5
1.23120
.132037
.059049
1.06725
1.39515
1.019
1.344
5
.77718
.330266
.147699
.36710
1.18726
.448
1.192
15
.84033
.365770
.094442
.63777
1.04288
.373
1.344
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
10.230
df2 2
Sig. 12
.003
ANOVA Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
1.321 .552 1.873
Mean Square 2 12 14
.660 .046
F 14.353
Sig. .001
Lampiran 22b. Tabel uji lanjut Duncan Indeks Stimulasi pada perlakuan dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml Duncan Subset for alpha = .05 Perlakuan Control 1 g/kg BB 0.1 g/kg BB Sig.
N
1 5 5 5
2
.51260 .77718 .075
1.23120 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
69
Lampiran 23a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan LPS Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.00000 1.14020
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .295424
.000000 .132118
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.14020 0
Std. Error Mean
Std. Deviation
.13211 8
.295424
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.50701 7
.22661 7
-1.061
Sig. (2tailed)
df 4
.348
Lampiran 23b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan LPS Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.09700 1.25400
5 5
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .170709
.000000 .076343
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
.
Sig. .
70
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.15700 0
Std. Error Mean
Std. Deviation
.07634 3
.170709
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.36896 3
.05496 3
-2.056
Sig. (2tailed)
df 4
.109
Lampiran 23c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan LPS Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
.94400 1.06020
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .038075
.000000 .017028
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.11620 0
Std. Deviation .038075
Std. Error Mean .01702 8
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.16347 6
.06892 4
-6.824
Sig. (2tailed)
df 4
.200
71
Lampiran 24a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.0000 1.2926
Std. Deviation
Std. Error Mean
.00000 .50320
.00000 .22504
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
Std. Error Mean
.29260
.50320
.22504
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.91740
.33220
-1.300
Sig. (2tailed)
df 4
.263
Lampiran 24b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.09700 1.09600
5 5
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .222731
.000000 .099608
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
.
Sig. .
72
Paired Samples Test
Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.00100 0
.222731
Std. Error Mean .09960 8
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.27555 7
.27755 7
.010
Sig. (2tailed)
df 4
.992
Lampiran 24c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 90 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
.94400 1.17420
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .168475
.000000 .075344
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.23020 0
Std. Deviation .168475
Std. Error Mean .07534 4
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.43938 9
.02101 1
-3.055
Sig. (2tailed)
df 4
.038
73
Lampiran 25a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.00000 .86380
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .193328
.000000 .086459
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
Std. Error Mean
Std. Deviation
.13620 0
.193328
.08645 9
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
.10384 8
.37624 8
t 1.575
Sig. (2tailed)
df 4
.190
Lampiran 25b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.09700 1.22240
5 5
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .117861
.000000 .052709
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
.
Sig. .
74
Paired Samples Test
Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.12540 0
.117861
Std. Error Mean .05270 9
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.27174 4
.02094 4
-2.379
Sig. (2tailed)
df 4
.076
Lampiran 25c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 180 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
.94400 1.05300
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .284942
.000000 .127430
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair IS Spontan - IS 1 Perlakuan
.10900 0
Std. Deviatio n
Std. Error Mean
.284942
.12743 0
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
.46280 2
.24480 2
t -.855
Sig. (2tailed)
df 4
.441
75
Lampiran 26a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.00000 1.12240
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .221856
.000000 .099217
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
Std. Error Mean
Std. Deviation
.12240 0
.221856
.09921 7
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.39787 1
.15307 1
-1.234
Sig. (2tailed)
df 4
.285
Lampiran 26b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.09700 1.33740
5 5
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .121794
.000000 .054468
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
.
Sig. .
76
Paired Samples Test Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.24040 0
.121794
Std. Error Mean .05446 8
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.39162 7
.08917 3
-4.414
Sig. (2tailed)
df 4
.012
Lampiran 26c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan tartrazin 270 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
.94400 1.44180
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .373901
.000000 .167213
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.49780 0
Std. Deviation .373901
Std. Error Mean .16721 3
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.96205 9
.03354 1
-2.977
Sig. (2tailed)
df 4
.041
77
Lampiran 27a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.00000 .64000
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .180986
.000000 .080939
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.36000 0
.180986
95% Confidence Interval of the Difference
Std. Error Mean
Lower
Upper
.08093 9
.13527 6
.58472 4
t 4.448
Sig. (2tailed)
df 4
.011
Lampiran 27b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.09700 1.37380
5 5
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .148806
.000000 .066548
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
.
Sig. .
78
Paired Samples Test Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.27680 0
.148806
Std. Error Mean .06654 8
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.46156 7
.09203 3
-4.159
Sig. (2tailed)
df 4
.014
Lampiran 27c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 6 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
.94400 .90600
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .257604
.000000 .115204
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.03800 0
Std. Deviation .257604
Std. Error Mean .11520 4
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.28185 8
.35785 8
.330
Sig. (2tailed)
df 4
.758
79
Lampiran 28a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.00000 .55980
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .111269
.000000 .049761
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.44020 0
.111269
Std. Error Mean .04976 1
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
.30204 2
.57835 8
t 8.846
Sig. (2tailed)
df 4
.001
Lampiran 28b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.09700 1.17860
5 5
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .272135
.000000 .121702
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
.
Sig. .
80
Paired Samples Test
Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.08160 0
.272135
Std. Error Mean .12170 2
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
.41950 0
.25630 0
t
Sig. (2tailed)
df
-.670
4
.539
Lampiran 28c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 12 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
.94400 .80200
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .330064
.000000 .147609
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.14200 0
Std. Deviation .330064
Std. Error Mean .14760 9
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.26782 9
.55182 9
.962
Sig. (2tailed)
df 4
.391
81
Lampiran 29a. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus kontrol dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.00000 .51260
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .107382
.000000 .048022
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test
Paired Differences
Std. Deviation
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
Std. Error Mean
.48740 0
.107382
.04802 2
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.35406 8
.62073 2
10.149
Sig. (2tailed)
df 4
.001
Lampiran 29b. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 0.1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
1.09700 1.23120
5 5
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .132037
.000000 .059049
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
.
Sig. .
82
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
Std. Error Mean
Std. Deviation
.13420 0
.132037
.05904 9
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
.29814 5
.02974 5
-2.273
Sig. (2tailed)
df 4
.085
Lampiran 29c. Tabel Uji T Indeks Stimulasi pada tikus 1 g/kg bb dengan penambahan rhodamin 18 µg/ml Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
IS Spontan IS Perlakuan
N
.94400 .77718
Std. Deviation
Std. Error Mean
.000000 .330266
.000000 .147699
5 5
Paired Samples Correlations N Pair 1
IS Spontan & IS Perlakuan
Correlation 5
Sig.
.
.
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
IS Spontan - IS Perlakuan
.16682 0
Std. Deviation .330266
Std. Error Mean .14769 9
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
.24325 9
.57689 9
t 1.129
Sig. (2tailed)
df 4
.322
83