i
ANALISIS KERAWANAN PANGAN MENURUT KECAMATAN DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2011
SARTIKA FITRIANA THEODORA PANGGABEAN
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 3 201 2013
ii
ABSTRACT SARTIKA FITRIANA THEODORA PANGGABEAN. Food vulnerability analysis by municipality in Bogor regency in 2011. Under the guidance of YAYUK FARIDA BALIWATI and YAYAT HERYATNO. This study was aimed to analyze food vulnerability problem in Bogor regency based on municipality. This study designed using retrospective by secondary data of three aspects of food security and vulnerability atlas (FSVA) such as aspect of food avaibility, aspect of food access, and aspect of food utility include policy of food vulnerability from Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) of Bogor regency. The data processing began by calculating the three aspects of food vulnerability by WFP (World Food Programme) and DKP (Dewan Ketahanan Pangan) in 2009. The three aspects consits of nine indicators namely food production, poor household, households without access to electricity, length of damaged road, life expectancy, nutritional status, illiteracy, access of clean water and health workforce. Policy of food vulnerability was analyzed using content analysis. Bogor regency consisting of 40 municipalities and the result showed that mostly municipalities (85%) in Bogor were in secure food situation but there are six municipalities (15%) were in food vulnerability situation (composite score more than 0,8). The food vulnerability policy are support the Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014 but some institutions don’t have complete programs related to the issue of food vulnerability. words: FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas), Bogor regency, policy Key words
i
RINGKASAN SARTIKA FITRIANA THEODORA PANGGABEAN. Analisis Kerawanan Pangan Menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011. Dibawah bimbingan YAYUK FARIDA BALIWATI dan YAYAT HERYATNO. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia agar dapat hidup dan beraktivitas. Kondisi terpenuhinya kebutuhan akan pangan dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Rawan pangan merupakan suatu resiko yang timbul akibat kerentanan terhadap kerawanan pangan yang ditandai dengan indikator ketersediaan pangan, angka kemiskinan, akses jalan, akses listrik, angka harapan hidup, akses listrik, balita underweight, akses kesehatan, dan penduduk buta huruf yang dikembangkan oleh DKP (Dewan Ketahanan Pangan) bekerjasama dengan WFP (World Food Programe) tahun 2009. Saat ini belum terdapat informasi yang jelas mengenai tingkat kerawanan pangan di Kabupaten Bogor dalam rangka antisipasi kejadian rawan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah kerawanan pangan di Kabupaten Bogor menurut kecamatan. Tujuan khususnya adalah menganalisis situasi kerawanan pangan di Kabupaten Bogor menurut kecamatan, menganalisis kebijakan mengenai penanggulangan masalah kerawanan pangan di Kabupaten Bogor, serta merumuskan rekomendasi pencegahan atau penanggulangan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor. Penelitian ini merupakan bagian dari Penyusunan Kaji Tindak Pengembangan Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor Tahun 2011. Penelitian ini menggunakan desain studi retrospektif yang dilaksanakan mulai dari bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor, Renstra dinas di Kabupaten Bogor yaitu Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Kesehatan serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,, indikator kerawanan pangan kronis yaitu produksi pangan sumber karbohidrat, jumlah rumah tangga miskin, jumlah RT tanpa akses listrik, panjang jalan rusak, angka harapan hidup, jumlah balita underweight, jumlah penduduk buta huruf, jumlah RT tanpa akses air bersih, jumlah tenaga kesehatan serta rekapitulasi bencana alam yang terjadi dan luas daerah kekeringan. Data tersebut diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statisik Kabupaten Bogor dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis antara lain sembilan indikator kerawanan pangan dan diolah menggunakan metode FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) yang dicetuskan oleh DKP (Dewan Ketahanan Pangan) bekerjasama dengan WFP (World Food Programme) tahun 2009. Kesembilan indikator tersebut kemudian diranking sehingga diperoleh enam kategori kerawanan pangan. Kategori kerawanan pangan diterjemahkan dalam bentuk prioritas yaitu prioritas 1 hingga prioritas 6. Prioritas 1 hingga prioritas 3 menunjukkan daerah yang rawan pangan, sedangkan prioritas 4 hingga 6 menunjukkan daerah yang tahan pangan. Analisis kebijakan terkait penanganan masalah kerawanan pangan menggunakan pendekatan content analysis. Pangan sumber karbohidrat yang digunakan sebagai dasar perhitungan aspek ketersediaan adalah gabah, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas. Berdasarkan aspek ketersediaan pangan, terdapat 21 kecamatan di Kabupaten Bogor tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Berdasarkan
ii
persentase rumah tangga miskin, Kecamatan Sukajaya dan Sukamakmur termasuk dalam kategori rawan pangan (prioritas 2). Indikator panjang jalan pada aspek akses pangan menggunakan data panjang jalan yang rusak ringan dan rusak berat. Kriteria yang digunakan adalah apabila persentase jalan rusak lebih dari 30% maka kecamatan tersebut tidak mempunyai akses dan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan perekonomian dan pelayanan jasa yang memadai. Berdasarkan indikator tersebut, terdapat 11 kecamatan yaitu Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Sukamakmur, Klapanunggal, Ciseeng, Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Tenjo dan Parung Panjang yang tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Berdasarkan indikator akses rumah tangga terhadap listrik, terdapat 1 kecamatan yaitu Kecamatan Klapanunggal yang tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Rata-rata angka harapan hidup di Kabupaten Bogor memiliki nilai diatas 65. Angka harapan hidup tertinggi pada tahun 2011 terdapat di Kecamatan Cariu (71,78) dan terendah terdapat di Kecamatan Tenjolaya (67,95). Apabila dibandingkan dengan rata-rata angka harapan hidup nasional (63 tahun), maka AHH di setiap kecamatan di kabupaten Bogor sudah diatas angka rata-rata nasional. Berdasarkan indikator penduduk buta huruf diperoleh hasil bahwa seluruh kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor bebas dari buta huruf. Persentase penduduk buta huruf di Kabupaten Boogr tergolong rendah dan tergolong dalam prioritas 6. Berdasarkan indikator rumah tangga tanpa akses air bersih, masih terdapat 6 kecamatan yaitu Kecamatan Cisarua, Kemang, Ciampea, Cibinong, Nanggung dan Rancabungur yang termasuk dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Hasil dari indikator balita underweight menunjukkan bahwa tidak terdapat kecamatan yang tergolong dalam prioritas 1 dan 2, sebanyak 60% balita di Kabupaten Bogor memiliki berat badan yang normal. Menurut rasio penduduk per tenaga kesehatan, masih terdapat 5 kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Tajurhalang, Sukaraja, Citeureup dan Kemang dalam kategori agak rawan pangan (prioritas 3). Situasi kerawanan pangan diperoleh dengan membuat suatu indeks komposit yang merupakan gabungan dari sembilan indikator kerawanan pangan kronis yang telah dihitung sebelumnya. Berdasarkan skor komposit kerawanan pangan diperoleh hasil bahwa terdapat 6 kecamatan yang tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 2-3) yaitu kecamatan Klapanunggal, Sukamakmur, Nanggung, Rumpin, Gunung Putri dan Tanjungsari. Sedangkan 34 kecamatan tergolong dalam kategori tahan pangan (prioritas 3-6) yaitu kecamatan Tenjo, Parung Panjang, Jasinga, Cigudeg, Sukajaya, Leuwiliang, Leuwisadeng, Cibungbulang, Pamijahan, Ciampea, Tenjolaya, Gn.Sindur, Parung, Ciseeng, Bojong Gede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Dramaga, Ciomas, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Sukaraja, Citeureup, Babakan Madang, Cibinong, Cileungsi, Jonggol dan Cariu. Fokus utama pembangunan Kabupaten Bogor adalah pada bidang sosial dan kehidupan beragama. Penjabaran misi Kabupaten Bogor dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) terkandung tujuan dan strategi yang terkait dengan penanganan masalah kerawanan pangan. Tujuan, sasaran dan strategi yang tertuang dalam RPJMD Kabupaten Bogor sudah mencakup semua indikator yang terdapat dalam KUKP (Kebijakan Umum Ketahanan Pangan) 2010-2014. Beberapa tujuan dan sasaran yang terkandung dalam RPJMD Kabupaten Bogor yang termasuk dalam kategori penanganan masalah kerawanan pangan adalah meningatkan produksi dan konsumsi pangan daerah, meningkatkan aksesibilitas wilayah pedesaan, meningkatkan kesejahteraan fakir miskin, meningkatkan infrastruktur wilayah yang mampu mendukung aktivitas ekonomi, meningkatkan taraf pendidikan masyarakat, meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, meningkatkan cakupan
iii
pelayanan listrik pedesaan dan penerapan energi alternatif lainnya. Program yang terdapat dalam RPJMD kemudian dituangkan dalam bentuk Renstra (rencana strategis) pada setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terdapat di Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian dan Kehutanan hanya mencantumkan 3 program dari 4 program yang terdapat dalam KUKP tentang penanganan kerawanan pangan. Program yang terdapat dalam Renstra Dinas Pertanian dan Kehutanan antara lain pemantauan perkembangan pola pangan, pemanfaatan lahan pekarangan dan pemanfaatan cadangan pangan. Dinas Kesehatan hanya mencantumkan 2 program penanganan kerawanan pangan yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan pemantauan perkembangan pola pangan. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya mencantumkan 1 program yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi. Rekomendasi program terkait pencegahan dan penanggulangan masalah pangan yang diberikan kepada pemerintah Kabupaen Bogor didasarkan pada hasil analisis kerawanan pangan di setiap kecamatan. Rekomendasi yang diberikan yaitu peningkatan pelayanan dan kebutuhan air bersih yang cukup, peningkatan dan pengelolaan produksi hasil pertanian tanaman pangan serta penyuluhan mengenai pentingnya gizi untuk balita.
iv
ANALISIS KERAWANAN PANGAN MENURUT KECAMATAN DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2011
SARTIKA FITRIANA THEODORA PANGGABEAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 3 201 2013
vi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian yang berjudul “Analisis Kerawanan Pangan di Kabupaten Bogor”. Penyusunan proposal penelitian ini merupakan syarat bagi penulis untuk dapat melakukan penelitian guna memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Banyak pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Bapak Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan proposal penelitian. 2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc sebagai dosen pemandu seminar dan penguji sidang skripsi yang banyak memberikan masukan dalam penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Ibu Dr.Ir. Lilik Kustiyah, Msi selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi untuk belajar dan mengerjakan segala hal. 4. Orang tua yang telah membesarkan dan mendidik dengan ketulusan, kesabaran serta dukungan dan doa yang tiada henti diberikan untuk penulis. 5. Dewi Panggabean S.Pi, Robby Panggabean SP, Dame Panggabean dan Ruben Panggabean sebagai saudara yang selalu mendoakan penulis. 6. Dwi Nuraini, Dwiyani, Dian Dwi, Rista, Stacey, Andra, Vilia, Wilda, Yudhi, Aryo, Rahmat, Anggrisya, Sondang, Amrina, Babe Ferry Irawan dan Efri selaku sahabat-sahabat terbaik yang selalu mendukung penulis. 7. Suci, Asep, Nur Indah Fitri dan Yulimiaris selaku mahasiswa satu bimbingan skripsi yang menemani dan membantu proses penyusunan. 8. Teman-teman pembahas dalam seminar (Arizki, Mbak Yulis dan Faqih) yang telah memberikan saran dan kritikan untuk perbaikan skripsi ini. 9. Teman-teman kost Bangka 15 (Egie dan Doddy) yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan kepada penulis. 10. Temen-teman seperjuangan di MIJMG 44 dan alih jenis Gizi Masyarakat (GM) angkatan ke-4 atas semangat dan dukungannya. 11. Seluruh teman dan pihak yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu atas bantuan dan doa yang diberikan pada penulis.
vii
Penulis
menyadari
bahwa
penyusunan
skripsi
ini
masih
jauh
dari
kesempurnaan, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya.
Bogor,
Maret 2013
Sartika F.T Panggabean
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1989 di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Parmian Panggabean dan Ibu Nurmala Sianipar. Penulis menyelesaikan pendidikan TK di TK Polisi Bhayangkara Sidikalang pada tahun 1995. Selanjutnya tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di SD St.Yosef Sidikalang dan pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Sidikalang. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Sidikalang. Saat duduk dibangku SMA, penulis aktif dalam keanggotaan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), menjabat sebagai sekretaris PASKIBRA (Pasukan Pengibar Bendera) dan kegiatan PMR (Palang Merah Remaja). Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor program Diploma Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi melalui jalur USMI pada tahun 2007. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang alih jenis Ilmu gizi Institut Pertanian Bogor. Selama perkuliahan, penulis termasuk anggota PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) dan pernah bergabung dalam tim asistensi mata kuliah Agama Kristen serta tim asistensi mata kuliah Dekorasi Hidangan dan Teknik Pelayanan Makanan pada Program Diploma. Selain itu, penulis termasuk dalam kepanitiaan FIT FESTIVAL (Food
and Nutrition Fresh, Fit Active and Health).
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.....................................................................................................................viii DAFTAR TABEL...............................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xii PENDAHULUAN...............................................................................................................1 Latar Belakang...........................................................................................................1 Tujuan......................................................................................................................... 3 Kegunaan Penelitian.................................................................................................3 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................4 Definisi dan Ruang Lingkup Pangan......................................................................4 Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan....................................................... 5 Definisi dan Ruang Lingkup............................................................................... 5 Indikator Kerawanan Pangan.............................................................................6 Kebijakan..................................................................................................................11 Definisi dan Ruang Lingkup Kebijakan...........................................................11 Kebijakan Ketahanan Pangan......................................................................... 11 KERANGKA PEMIKIRAN..............................................................................................13 METODE PENELITIAN................................................................................................. 15 Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................. 15 Jenis dan Cara Pengambilan Data...................................................................... 15 Pengolahan dan Analisis Data..............................................................................16 Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis........................................16 Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien....................................20 Analisis dan Pemetaan Situasi Kerawanan Pangan....................................22 Analisis Kebijakan Penanganan Kerawanan Pangan..................................23 Definisi Operasional................................................................................................23 HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................................24 Gambaran Umum Kabupaten Bogor................................................................... 24 Keadaan Geografis dan Administratif.............................................................24 Penduduk............................................................................................................25 Kondisi Perekonomian...................................................................................... 26 Situasi Kerawanan Pangan................................................................................... 28 Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis........................................28 Situasi Kerawanan Pangan Komposit............................................................ 28 Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien....................................53 Kebijakan terkait Kerawanan Pangan..................................................................56 Rekomendasi Program Pencegahan dan Penanggulangan Kerawanan Pangan..................................................................................................................... 60 KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................................62 Kesimpulan.............................................................................................................. 62 Saran.........................................................................................................................62 LAMPIRAN...................................................................................................................... 66
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan berdasarkan FSVA............. 7 2 Jenis dan cara pengambilan data........................................................................... 15 3 Faktor konversi penggunaan komoditas pangan untuk benih, pakan, ternak dan tercecer................................................................................................... 16 4 Range indikator kerawanan pangan kronis dan sementara............................... 21 5 Score kriteria gradasi warna prioritas.....................................................................22 6 Rasio ketersediaan pangan dan kategori prioritas kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan indikator ketersediaan pangan......................... 29 7 Luas lahan sawah per kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011.................30 8 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas ketersediaan pangan pokok........................................................................................................................... 32 9 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor...................................................................................................33 10 Persentase kecamatan berdasarkan indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor........................................................................................................................... 34 11 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator akses penghubung yang kurang memadai di Kabupaten Bogor...................................35 12 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses penghubung yang kurang memadai....................................................................... 37 13 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator persentase rumah tangga tanpa akses listrik di Kabupaten Bogor........................................ 37 14 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator persentase rumah tangga tanpa akses listrik............................................................................ 39 15 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator angka harapan hidup di Kabupaten Bogor........................................................................40 16 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator angka harapan hidup ...........................................................................................................................41 17 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator angka penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor.............................................................42 18 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator rumah tangga tanpa akses air bersih di Kabupaten Bogor............................................. 43 19 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator rumah tangga tanpa akses air bersih...............................................................................................45 20 Kecamatan dan golongan proritasnya berdasarkan indikator akses terhadap fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor................................................45 21 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses terhadap fasilitas kesehatan..................................................................................................... 47 22 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator balita underweight di Kabupaten Bogor............................................................................47
viii
23 Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah gizi................................................................................................................................49 24 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator balita underweight................................................................................................................ 49 25 Situasi kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Bogor............ 50 26 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator komposit kerawanan pangan....................................................................................................51 27Jumlah kecamatan pada setiap prioritas beserta indikator kerawanan pangan........................................................................................................................ 53 28 Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Bogor tahun 2011.............................54 29 Persentase daerah kekeringan di Kabupaten Bogor tahun 2011......................56 30 Perbandingan antara program KUKP dan RPJMD mengenai masalah kerawanan pangan....................................................................................................58 31 Analisis konsistensi renstra terkait kerawanan pangan...................................... 59
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka analisis kerawanan pangan menurut kecamatan di kabupaten Bogor tahun 2011……………..........................................................................14
1
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator ketersediaan pangan................................................................................................ 67 2 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase RT miskin...............................................................................................68 3 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase RT tanpa akses listrik.......................................................................... 69 4 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase jalan rusak............................................................................................. 70 5 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase angka harapan hidup........................................................................... 71 6 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase balita undeweight..................................................................................72 7 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase penduduk buta huruf............................................................................ 73 8 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase RT tanpa akses air bersih................................................................... 74 9 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase jumlah tenaga kesehatan.................................................................... 75 10 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Kabupaten Bogor....................76 11 Persentase daerah kekeringan di Kabupaten Bogor.......................................... 77 12 Prioritas permasalahan kerawanan pangan pada tiap kecamatan di Kabupaten Bogor...................................................................................................... 78
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Hak asasi atas pangan tersebut telah menjadi komitmen pemerintah, yang dinyatakan dalam UU No 7 Tahun 1996. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan telah menjadi prasyarat dasar yang harus dimiliki oleh daerah otonom. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 yang menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah urusan wajib pemerintah (pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota). Masalah pangan dan gizi merupakan masalah ekologi (Gibson 2005). Masalah pangan yang semakin kompleks lambat laun dapat menciptakan masalah kerawanan pangan. Kerawanan pangan diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien). Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas 35.377,76 km2 didiami penduduk sebanyak 46.497.175 juta jiwa. Penduduk ini tersebar di 26 kabupaten/kota, 625 kecamatan dan 5.899 desa/kelurahan. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Bogor sebanyak 4.966.624 Jiwa (11,03 %), sedangkan penduduk terkecil terdapat di Kota Banjar yaitu sebanyak 192.903 Jiwa (0,43 %) (BPS Jawa Barat 2011). Menurut hasil pendataan BPS (2011), Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan, 434 desa/kelurahan, 13.541 RW dan 913.206 RT. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor cukup tinggi. Berdasarkan data kependudukan Kabupaten Bogor, jumlah penduduk di Kabupaten Bogor tahun 2011 sebanyak 4.966.624 jiwa dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 196.067 RT (BPS 2011). Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Setiap tahunnya, rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor mencapai 3,19 % per tahun dalam kurun waktu 2006-2011. Saat ini kepadatan penduduk Kabupaten Bogor tergolong cukup tinggi, tetapi dibeberapa area masih jarang sehingga masih belum seimbang masalah pemerataan penduduk di Kabupaten Bogor. Bertambahnya jumlah penduduk
2
tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan. Berdasarkan hasil pemantauan status gizi (2010), kasus gizi buruk di Kabupaten Bogor masih tinggi dengan jumlah 252 kasus.
Diantara 252 kasus tersebut tercatat 9 balita
meninggal dunia akibat gizi buruk. Penyebab dominan kasus tersebut adalah masalah ekonomi dan minimnya pengetahuan mengenai gizi. Penyebab lainnya adalah masalah pemahaman hidup sehat, layak dan bersih yang masih kurang ditengah masyarakat. Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,304 Ha dengan lahan sawah seluas 1.006 Ha dan 309.624 Ha lahan perkebunan. Lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian di Kabupaten Bogor sangat minim seiring dengan
meningkatnya
perkembangan
luas
lahan
pemukiman
penduduk
khususnya di daerah timur Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk lahan berupa situ dan kolam, memiliki luas sekitar 11.470 Ha. Kabupaten Bogor memiliki potensi besar pada sektor pertanian dengan komoditi pertanian yang dihasilkan antara lain lain gabah sawah, gabah gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, dan cabe. Akan tetapi pada kenyataannya, Kabupaten Bogor masih memiliki ketergantungan terhadap pasokan dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini didasarkan karena hasil produksi pertanian lokal saja tidak bisa diandalkan dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Bogor. Tidak terpenuhinya kebutuhan pangan akibat rawannnya kemampuan penduduk untuk mendapatkan akses pangan merupakan indikator input yang dapat mempengaruhi terjadinya masalah seperti kondisi buruknya status kesehatan dan gizi yang akan menurunkan kualitas sumber daya manusia. Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengatasi masalah pangan dan gizi. Salah satu program yang telah dilakukan di bidang kesehatan adalah menyiapkan kader kesehatan disetiap desa untuk memantau perkembangan setiap balita yang ada, termasuk masalah kesehatan dan gizi yang dibutuhkan. Namun jumlah balita yang mengalami gizi kurang masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa program yang menangani masalah kerawanan pangan harus ditingkatkan. Berdasarkan hal tersebut maka penentuan kondisi kerawanan pangan di Kabupaten Bogor merupakan data penting untuk digunakan sebagai bahan analisa untuk mencegah terjadinya bahaya kekurangan pangan dan gizi melalui pemahaman daerah rawan pangan.
3
Tujuan Tujuan
umum
dari
penelitian
ini
adalah
menganalisis masalah
kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor. Sedangkan tujuan khususnya yaitu: 1. Menganalisis situasi kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis kebijakan mengenai penanggulangan masalah kerawanan pangan di Kabupaten Bogor. 3. Merumuskan rekomendasi pencegahan atau penanggulangan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai tingkat kerawanan pangan di Kabupaten Bogor, provinsi Jawa Barat. Bagi bidang keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai kerawanan pangan juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi kepada pemerintah Kabupaten Bogor dan semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penanganan masalah pangan dan gizi di masa mendatang.
4
TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Ruang Lingkup Pangan Menurut Undang-undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang pangan, definisi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Definisi tersebut dipertegas dalam UU Pangan yang baru yaitu UU no 18 tahun 2012, pada pasal 1 Bab I, bahwa pangan merupakan segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Berdasarkan konsep pola pangan harapan (PPH) yang dirumuskan oleh FAO-RAPA (1989) dikenal sembilan kelompok pangan yaitu gabah-gabahan, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacangkacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain. Kesembilan kelompok pangan ini menjadi dasar pertimbangan dan penentuan dalam perhitungan nilai PPH. PPH atau desirable dietary pattern didefinisikan sebagai susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi pangan (Hardinsyah et al 2001). Melalui pendekatan PPH, mutu konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) atau dikenal dengan skor PPH. Skor PPH adalah suatu penilaian konsumsi pangan dalam jumlah, mutu, keragaman, dan keseimbangannya antar kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, maka konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang (Baliwati 2011). Pangan strategis adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik yang diolah maupun yang tidak diolah antara lain beras, tepung terigu, jagung, ubikayu/singkong, gula, kedelai dan daging sapi (Putri 2011). Menurut Simatupang (2004), pangan strategis merupakan jumlah komoditas strategis (special products) yang sangat penting bagi hajat hidup orang banyak, baik dari
5
aspek
lapangan
pekerjaan,
jaminan
perolehan
pangan
yang
cukup,
perlindungan dan dinamisasi kehidupan desa secara berkelanjutan serta preservasi dan stabilisasi sosial politik.
Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan Definisi dan Ruang Lingkup Hasil pertemuan World Food Summit pada tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi “when all people, at all time, have physical
and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life.” Ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi suatu daerah atau rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Kementan 2010). Konsep dasar ketahanan pangan dimaknai sebagai situasi dimana terdapat ketersediaan pangan yang cukup dan dengan harga yang stabil sepanjang waktu. Ketersediaan pangan yang cukup diartikan sebagai situasi dimana jumlah bahan pangan yang dibutuhkan oleh seluruh penduduk tersedia cukup baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi pedesaan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Rawan pangan adalah suatu kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya (Badan Ketahanan Pangan 2006). Suatu daerah dikatakan rawan pangan dapat diukur dengan banyaknya jumla rumah tangga prasejahtera yang relatif masih banyak karena alasan ekonomi, status gizi masyarakatnya yang ditunjukkan oleh status gizi balitanya, ketersediaan pangan daerah dan kerentanan pangan (Subagyo 2012). Dewan Ketahanan Pangan mendefinisikan kerawanan pangan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif, baik secara sementara maupun lama. Menurut Nainggolan (2006), kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-
6
ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien). Sedangkan Amin dkk (1998) mendefinisikan rawan pangan adalah suatu kondisi yang mengandung unsur berhubungan dengan state of poverty seperti masalah kelangkaan sumberdaya alam, kekurangan modal, miskin motivasi dan sifat malas yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mencukupi konsumsi pangan. Kondisi rawan pangan dapat disebabkan karena : (a) tidak adanya akses secara ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, (b) tidak adanya akses secara fisik bagi individu/rumah tangga untuk memperolah pangan yang cukup, (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif bagi individu/rumah tangga dan, (d) tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harga. Kerawanan pangan terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80% dari kebutuhan oangan dan gizi hariannya. Pada dasarnya kerawanan pangan dan kelaparan disebabkan masalah kekurangan pangan antara lain akibat: (1) rendahnya ketersediaan pangan, (2) gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta keamanan distribusi, (3) terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah terisolasi, (4) kegagalan produksi pangan, serta (5) gangguan kondisi sosial (DKP 2005). Tingkat kerawanan pangan dipengaruhi oleh (1) kemampuan penyediaan pangan kepada individu atau rumah tangga, (2) kemampuan individu atau rumah tangga untuk mendapatkan pangan, (3) proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumberdaya yang dimiliki individu atau rumah tangga (Amin dkk 1998). Ketiga hal tersebut pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara simultan dan relatif permanen. Sedangkan pada kondisi rawan pangan yang bersifat sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu faktor atau dua faktor saja dan sifatnya tidak permanen. Indikator Kerawanan Pangan Menurut
Dewan
Ketahanan
Pangan
(2009),
kerawanan
pangan
merupakan isu multi dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Meskipun tidak ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi yang
7
berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu. Indikator yang digunakan dalam FSVA (Food Security and Vulnerability
Atlas) berdasarkan DKP 2009 berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan berdasarkan konsepsi Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi. Selain itu, pemilihan indikator juga tergantung pada ketersediaan data pada tingkat kabupaten atau kecamatan. Indikator yang digunakan untuk FSVA dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan berdasarkan FSVA No Indikator Ketersediaan Pangan 1 Ratio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih gabah + jagung + ubi kayu + ubi jalar
Akses Pangan dan Penghidupan 2 Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan 3
4
Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai Persentase rumah tangga tanpa akses listrik
Definisi dan Perhitungan 1. Data rata-rata produksi bersih tiga tahun (2005-207) gabah, jagung, ubi kayu, talas dan ubi jalar pada tingkat kabupaten dihitung menggunakan faktor konversi standar. 2. Ketersediaan bersih pokok per kapita per hari dihitung dengan membagi total ketersediaan pokok kabupaten dengan jumlah populasinya. 3. Data bersih pokok dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan. 4. Konsumsi normatif pokok/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari. 5. Rasio konsumsi normatif perkapita dihitung terhadap ketersediaan bersih pokok perkapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 adalah surplus untuk produksi pokok. Nilai pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan konsumsi pangan. Lalu lintas antar desa yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN, misalnya generator.
8
Tabel 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan Kabupaten Bogor (lanjutan) No Indikator Pemanfaatan Pangan 5 Angka harapan hidup saat lahir
Definisi dan Perhitungan
Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. 6 Berat badan balita underweight Anak dibawah lima tahun yang berat badannya kurang dari -2 SD dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin tertentu. 7 Perempuan buta huruf Persentase penduduk diatas 15 tahun yang tidak dapat membaca atau menulis. 8 Persentase rumah tangga tanpa Persentase rumah tangga yang tidak akses air bersih memiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung. 9 Persentase rumah tangga terhadap Rasio jumlah tenaga kesehatan yang akses fasilitas kesehatan terdapat di setiap kecamatan dengan jumlah penduduk. Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Transien 10 Bencana alam Data bencana alam yang terjadi di Indonesia dan kerusakannya selama periode 200-2007. 11 Penyimpangan curah hujan Data rata-rata tahunan curah hujan pada musim hujan dan kemarau selama 10 tahun dihitung. 12 Persentase daerah puso Persentase daerah yang ditanami padi yang rusak akibat kekeringan dan banjir. 13 Deforestasi hutan Perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan Sumber: Dewan Ketahanan Pangan 2009
Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009), ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik dari produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah serta bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya. Ketersediaan pangan disuatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah serta jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia atau telah ditanam di daerah tersebut untuk waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Ketersediaan pangan harus dipertahankan atau memiliki jumlah yang lebih besar daripada kebutuhan penduduk terhadap pangan. Produksi pangan tergantung pada berbagai faktor seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan dan
9
bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan. Produksi meliputi produk pokok, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buahbuahan, rempah, gula dan produk hewani. Porsi utama kebutuhan kalori sehari penduduk Indonesia berasal dari sumber pangan karbohidrat yaitu sekitar setengah dari kebutuhan energi per orang per hari. Oleh karena itu, yang digunakan dalam analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang berasal dari produksi pangan pokok pokok yaitu gabah, jagung, umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Akses terhadap pangan merupakan salah satu dari tiga pilar ketahanan pangan. Indikator ini merupakan salah satu indikator utama yang digunakan untuk analisis peta ketahanan dan kerentanan pangan (food security and
vulnerability atlas). Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009), akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, baik dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, pinjaman dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, namun tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut. Rumah tangga atau daerah yang tidak memiliki sumber penghidupan yang memadai dan berkesinambungan, sewaktu-waktu dapat berubah dapat menyebabkan kemiskinan dan rentan terhadap kerawanan pangan. Menurut
Bank
Dunia,
secara
global,
penduduk
yang
tingkat
pendapatannya di bawah US$ 1,25 (Purchasing Power Parity/PPP) per hari dikelompokkan sebagai penduduk miskin. Pemerintah Indonesia menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar US$ 1,55 PPP per hari (Rp 166.697 orang/bulan pada tahun 2007). Semakin besar jumlah penduduk miskin di suatu daerah maka akses terhadap pangan akan semakin rendah dan angka kerawanan pangan akan semakin tinggi. Kurangnya akses terhadap infrastruktur dan fasilitas umum dapat menyebabkan “kemiskinan lokal” dimana masyarakat yang tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk sehingga kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai. Akses pemanfaatan pangan merupakan pilar ketiga dalam ketahanan pangan. Pemanfaatan pangan meliputi: a) pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga, dan b) kemampuan individu untuk menyerap zat gizi
10
(pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan oleh rumah tangga tergantung pada: a) fasilitas penyimpanan dan pengolahan makanan yang dimiliki oleh rumah tangga, b) pengetahuan dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk balita dan anggota keluarga yang sedang sakit atau sudah tua (ada juga pengaruh adat/kepercayaan dan hal tabu), c) distribusi makanan dalam keluarga, d) kondisi kesehatan masing-masing individu yang mungkin menurun karena penyakit, higiene, air dan sanitasi yang butuk dan kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan. Kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu yang panjang. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity). Bencana alam, perubahan harga atau goncangan terhadap
pasar,
epidemik
penyakit,
konflik
sosial
dan
lain-lain
dapat
menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan. Menurut
Dewan
Ketahanan
Pangan
(2009),
kerawanan
pangan
sementara dapat juga dibagi menjadi dua sub kategori menurut siklus, dimana terdapat suatu pola yang berulang terhadap kondisi rawan pangan misalnya musim paceklik yang terjadi dalam periode sebelum dan saat panen yang merupakan hasil dari suatu goncangan mendadak dari luar pada jangka waktu yang pendek seperti kekeringan atau banjir. Variabilitas iklim secara langsung mempengaruhi berbagai aspek ketahanan pangan, khususnya dalam hal ketersediaan dan distribusi pangan. Peristiwa bencana alam seperti kekeringan dan banjir berkaitan dengan karakteristik dan fluktuasi curah hujan. Kekeringan dan banjir disebabkan oleh besarnya variasi curah hujan yang diterima oleh setiap wilayah geografis. Variasi curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik global, regional maupun lokal. Faktor global antara lain fenomena El Nino dan Dipole Mode. Faktor regional antara lain Sirkulasi Monsun dan suhu muka laut perairan Indonesia. Faktor lokal yang berpengaruh yaitu ketinggian, posisi bentangan suatu pulau, sirkulasi angin darat dan angin laut. Daerah puso didefinisikan sebagai suatu daerah produksi pangan yang rusak
11
karena disebabkan oleh bencana alam (banjir, longsor dan kekeringan) dan penularan hama oleh organisme pengganggu tanaman (OPT). Produksi dan produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca. Kebijakan Definisi dan Ruang Lingkup Kebijakan Menurut Pratiwi (2008), kebijakan adalah suatu suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, misalnya
pertumbuhan, baik
besaran maupun arahnya pada
masyarakat umum. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi perubahan secara sektoral dalam masyarakat termasuk didalamnya kebijakan pada sektor pertanian. Menurut Simatupang (2003), kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan private (individu atau lembaga swasta). Bentuk-bentuk kebijakan publik yaitu: 1) kebijakan publik yang bersifat makro (umum, mendasar) yaitu peraturan perundang-undangan antara lain UUD 1945, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah (RPJMD / Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah); 2) kebijakan publik yang bersifat meso (menengah, penjelas pelaksanaan) yaitu berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati serta Peraturan Walikota; 3) kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya seperti renstra (rencana strategis) setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Bentuk kebijakan publik mikro adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik dibawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota (Dwidjowijoto 2006). Kebijakan Ketahanan Pangan Kebijakan ketahanan pangan adalah keputusan dan tindakan pemerintah untuk
mengarahkan,
ketahanan
pangan
mendorong, guna
mengendalikan
mewujudkan
tujuan
dan
mengatur
pembangunan
sistem
nasional.
Simatupang (2003) menyatakan bahwa kebijakan ketahanan pangan merupakan salah satu bentuk kebijakan publik. Perumusan kebijakan ketahanan pangan harus
sesuai
dengan
standar
pelayanan
minimum
ketahanan
pangan.
Berdasarkan KUKP (Kebijakan Umum Ketahanan Pangan) 2010-2014, ruang
12
lingkup kebijakan ketahanan pangan mencakup tiga pilar utama yaitu ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan. Kebijakan umum ketahanan pangan terdiri dari 14 elemen penting yang diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah,
swasta
dan
masyarakat
untuk
bersama-sama
mewujudkan
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, tingkat wilayah dan tingkat nasional. Adapun elemen-elemen penting dalam kebijakan umum ketahanan pangan adalah menjamin ketersediaan pangan, menata pertanahan dan tata ruang wilayah, pengembangan cadangan makanan, mengembangkan sistem distribusi pangan
yang
efisien,
menjaga
stabilitas
harga
pangan,
meningkatkan
aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan, melaksanakan diversifikasi pangan, meningkatkan mutu dan keamanan pangan, mencegah dan menangani keadaan rawan
pangan
dan
gizi,
memfasilitasi
penelitian
dan
pengembangan,
meningkatkan peran serta masyarakat, melaksanakan kerjasama internasional, mengembangakan
sumberdaya
manusia
serta
kebijakan
makro
dan
perdagangan yang kondusif (Dewan Ketahanan Pangan 2006). KUKP mencantumkan tujuan kebijakan penanganan kerawanan pangan kronis dan transien dalam matriks rencana aksi kebijakan umum ketahanan pangan. Program terkait penanganan kerawananan pangan yang tercantum dalam KUKP 2010-2014 adalah pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi yang dilakukan lembaga utama Kemenkes (Kementrian Kesehatan)
dan
didukung
oleh
Kementan
(Kementrian
Pertanian)
dan
Kemendagri (Kementrian Dalam Negeri. Program berikutnya adalah pemantauan secara berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga karena gagal panen dan paceklik yang dilakukan oleh Kemendagri dan didukung oleh Kemenkes dan Pemda (Pemerintah Daerah), program pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga dilakukan oleh Kementan dan didukung oleh Kemenkes, Kemendagri dan Pemda. Sedangkan pada program pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di seluruh lapisan masyarakat untuk dapat menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi dilakukan oleh Bulog dengan lembaga pendukung Kementan, Kemendagri dan Kemenkes.
13
KERANGKA PEMIKIRAN Kerawanan pangan merupakan isu multi dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter yang tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien). Kerawanan pangan yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan kerwanan pangan dalam tingkat kecamatan. Kerawanan pangan kronis meliputi empat aspek yaitu aspek ketersediaan pangan, aspek akses pangan, aspek pemanfaatan pangan dan aspek komposit pangan. Sedangkan pada tingkat kerawanan transien dapat dianalisis berdasarkan deforestasi hutan, bencana alam yang terjadi, persentase daerah puso dan data curah hujan daerah. Akan tetapi pada tingkat kerawanan pangan transien ada dua data yang tidak dianalisis yaitu deforestasi hutan dan curah hujan daerah. Aspek ketersediaan pangan dihitung berdasarkan rata-rata produksi bersih produk pertanian daerah selama 3 tahun berturut-turut. Aspek pangan dihitung berdasarkan jumlah rumah tangga miskin, persentase rumah tangga tanpa akses listrik dan persentase akses jalan yang rusak. Aspek pemanfaatan pangan dihitung berdasarkan nilai angka harapan hidup daerah per kecamatan, persentase balita underweight, persentase penduduk buta huruf, persentase rumah tangga tanpa akses air bersih dan persentase akses kesehatan per kecamatan. Rekomendasi atau program intervensi oleh pemerintah adalah progam yang diberikan dan dilaksanakan oleh instansi terkait yang disesuaikan dengan prioritas masalah utama kerawanan pangan pada masing-masing kecamatan. Berdasarkan penilaian prioritas yang diperoleh dapat disampaikan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan untuk mengurangi tingkat kerawanan pangan di masing-masing kecamatan. Kerangka pemikiran penelitian tentang analisis ketahanan dan kerentanan pangan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah.
14
Aspek Ketersediaan Pangan Aspek Akses Pangan
Kerawanan Pangan Kronis
Aspek Pemanfaatan Pangan
Bencana Alam Daerah Kekeringan
Kebijakan/ Program
Rekomendasi Program
Kerawanan Pangan Transien
Keterangan: Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti
Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011
15
METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain retrospektif dengan data sekunder yang berkaitan dengan masalah kerawanan pangan pada tahun 2011. Penelitian ini berlokasi di daerah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu Oktober 2012-Januari 2013, yang meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis dan interpretasi data. Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder berdasarkan pendekatan FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) yang dicetuskan oleh Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme tahun 2009. Seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini berada dalam tingkat kecamatan. Data yang dikumpulkan merupakan data indikator penentuan kerawanan pangan dan beberapa kebijakan terkait ketahanan pangan yang terdapat di Kabupaten Bogor. Tabel 2 Jenis dan cara pengambilan data No 1.
Jenis Data Gambaran umum daerah
2. RPJMD Kabupaten Bogor dan SKPD terkait Aspek ketersediaan pangan 3. Produksi pangan sumber karbohidrat (gabah, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas) Aspek akses pangan 4. Jumlah rumah tangga miskin 5. Jumlah rumah tangga tanpa akses litrik 6. Panjang jalan yang rusak ringan dan rusak berat Aspek pemanfaatan pangan 7. Angka harapan hidup (AHH) 8.
Jumlah balita underweight
9. 10.
Jumlah penduduk buta huruf Jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih
11.
Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Bogor
12.
Bencana alam yang terjadi selama periode tahun 2011 Luas daerah kekeringan
13.
Sumber Data Kabupaten Bogor dalam Angka 2011 BAPPEDA Kabupaten Bogor Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor BPS Kabupaten Bogor BPS Kabupaten Bogor Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor BPS Kabupaten Bogor Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Dinas Kehutanan dan Perkebunan 2011 Dinas Pertanian dan Kehutanan
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi gambaran daerah Kabupaten Bogor, data produksi pangan sumber karbohidrat, data jumlah rumah tangga miskin, data jumlah rumah tangga dengan akses listrik, data akses penghubung
16
(panjang jalan yang rusak ringan dan rusak berat) yang terdapat di Kabupaten Bogor, data kesehatan dan gizi meliputi data angka harapan hidup (AHH), data jumlah balita underweight, jumlah tenaga kesehatan, jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih, jumlah perempuan yang buta huruf, serta data kawasan hutan yang meliputi data curah hujan, bencana yang terjadi, dan persentase daerah puso. Pengolahan dan Analisis Data Seluruh data diolah menggunakan pendekatan FSVA tahun 2009. Data pada setiap indikator mengalami proses entry kemudian diolah berdasarkan rumus yang berbeda pada setiap indikator. Proses pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer yaitu Microsoft
Excel 2007. Proses pengolahan data memiliki tahapan sebagai berikut: Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan aplikasi
Microsoft Excel 2007 dengan langkah sebagai berikut: 1. Penghitungan Indeks Ketersediaan Pangan Pertama, dihitung produksi netto pangan pokok sumber karbohidrat yaitu gabah, jagung, ubi kayu serta ubi jalar. Penghitungan produksi netto pangan tersebut dengan menggunakan rumus berikut: Produksi Netto = Produksi - (Penggunaan untuk benih+pakan ternak+tercecer)
Sedangkan untuk penggunaan benih, pakan, ternak, tercecer dihitung dengan rumus berikut: Benih (s)= P x Faktor Konversi Pakan ternak (f)= P x Faktor Konversi Tercecer (w)= P x Faktor Konversi
Adapun faktor konversi gabah, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar terdapat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Faktor konversi penggunaan komoditas pangan untuk benih, pakan ternak, dan tercecer Jenis Pangan Benih 0.9 0.9 -
Gabah Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar
Angka Konversi Penggunaan (%) Pakan Ternak Tercecer 0.44 5.4 6 5 2 2.13 2 10
Sumber: DKP 2009
Produksi netto beras adalah data netto gabah dikalikan dengan faktor konversi. Faktor konversi gabah menjadi beras menggunakan faktor konversi
Produk netto beras = faktor konversi x produksi netto ketersediaan gabah
17
nasional yaitu 0,632 (atau 63,2%). Maka, produksi netto beras dihitung sebagai berikut: Produksi netto pangan pokok dihitung dengan rumus berikut: Produksi Netto Pangan Pokok = Produksi netto (Gabah+Jagung+Ubi Kayu+ Ubi Jalar)
Kedua,, ketersediaan pangan pokok per kapita dihitung dengan rumus: F =
Keterangan: F Tpop
P Tpop*365
: ketersediaan pangan pokok per kapita (gram) : Jumlah populasi penduduk (jiwa)
Ketiga, penghitungan rasio ketersediaan pangan; dengan menggunakan rumus sebagai berikut: IAV = Cnorm F Keterangan: IAV : Rasio Ketersediaan Pangan Cnorm : Konsumsi Normatif (300 gram setara dengan beras); dan F : Ketersediaan Pangan Pokok
Jika nilai rasio ketersediaan pangan lebih dari 1, maka daerah tersebut defisit pangan pokok atau kebutuhan konsumsi normatif tidak bisa dipenuhi dari produksi bersih pokok (beras dan jagung) serta umbi-umbian yang tersedia di daerah tersebut. Jika nilai rasio ketersediaan pangan kurang dari 1, maka hal ini menunjukkan kondisi surplus pangan pokok di daerah tersebut. Keempat, rumus untuk penghitungan indeks adalah sebagai berikut: Indeks Xij = Keterangan: Xij : Nilai ke-j dari indikator ketersediaan pangan min : nilai minimum dari indikator ketersediaan pangan max : nilai maksimum dari indikator ketersediaan pangan
Data produksi yang digunakan adalah data rata-rata 3 tahun produksi. Tahun produksi yang digunakan pada penelitian ini adalah data tahun 2009 hingga tahun 2011. Dengan demikian dimungkinkan untuk mencakup adanya fluktuasi produksi tahunan. 2. Penghitungan Indeks Akses terhadap Pangan
18
Ada tiga indikator yang digunakan pada dimensi akses terhadap pangan yaitu (1) persentase penduduk miskin, (2) panjang jalan rusak ringan dan berat, dan (3) persentase RT tanpa akses terhadap listrik. Perhitungan persentase penduduk miskin menggunakan data rumah tangga miskin pada masing-masing kecamatan dibandingkan dengan total rumah tangga yang terdapat pada kecamatan tersebut. Perhitungan persentase panjang jalan yang rusak menggunakan panjang jalan rusak ringan dan rusak berat dibandingkan dengan panjang jalan berdasarkan data Dinas Bina Marga dan Pengairan pada masingmasing kecamatan. Perhitungan persentase RT (rumah tangga) tanpa akses listrik menggunakan data pengurangan 100% dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses listrik pada masing-masing kecamatan. Rumus untuk penghitungan indeks akses terhadap pangan adalah sebagai berikut: Indeks Xij = Keterangan: Xij : Nilai ke-j dari indikator ke-i min : nilai minimum dari indikator tersebut max : nilai maksimum dari indikator tersebut
Contoh: a. Indikator persentase RT miskin Rumus yang digunakan dalam perhitungan indeks indikator persentase RT miskin adalah: Indeks Xij = Keterangan: Indeks Xij min max
: Nilai ke-1 dari indikator persentase RT miskin : Nilai minimum indeks indikator persentase RT miskin : Nilai maksimum indeks indikator persentase RT miskin
Rumus yang sama digunakan untuk menghitung indeks pada indikator persentase jalan rusak dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik. 3. Penghitungan Indeks Pemanfaatan Pangan Pada akses pemanfaatan pangan terdapat lima indikator yang digunakan untuk penilaian indeks yaitu angka harapan hidup pada saat lahir; balita
underweight; penduduk buta huruf; rumah tangga tanpa akses air bersih; serta rasio tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk. Indikator angka harapan hidup pada saat lahir menggunakan data perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Indikator berat badan balita di bawah standar menggunakan data persentase
19
balita gizi buruk dan gizi kurang terhadap total balita di masing-masing kecamatan. Indikator penduduk buta huruf menggunakan data persentase penduduk buta huruf. Data penduduk buta huruf diperoleh dari informasi BPS tentang data penuntasan buta aksara. Indikator RT tanpa akses air bersih menggunakan data pengurangan 100% dengan persentase rumah tangga yang memiliki sumber air (berasal dari sumur, sumur pompa tangan dan pompa listrik, mata air terlindung dan ledeng) pada masing-masing kecamatan. Indikator rasio jumlah tenaga kesehatan (dokter, bidan, mantri, dan dukun bayi) dihitung terhadap jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Rumus untuk menghitung rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk adalah: Rasio = Jumlah tenaga kesehatan x 1000 Jumlah penduduk
Indeks komposit dari akses kesehatan dapat dihitung dengan cara: Indeks Akses Kesehatan = 1 - Rasio tenaga kesehatan
Rumus untuk penghitungan indeks pemanfaatan pangan adalah sama dengan cara penghitungan indeks ketersediaan pangan maupun akses terhadap pangan dan penghidupan sebagai berikut: Indeks Xij = Keterangan: Xij : Nilai ke-j dari indikator ke-i min : nilai minimum dari indikator tersebut max : nilai maksimum dari indikator tersebut
Contoh: a. Indikator persentase RT tanpa akses air bersih Rumus yang digunakan adalah Indeks Xij =
Keterangan: Indeks Xij min max
: Nilai ke-1 dari indikator persentase RT tanpa akses air bersih : Nilai minimum indeks indikator persentase RT tanpa akses air bersih : Nilai maksimum indeks indikator persentase RT tanpa akses air bersih
Rumus yang sama digunakan untuk menghitung indeks pada indikator angka harapan hidup, balita underweight dan persentase penduduk buta huruf. 4. Penghitungan Indeks Kerawanan Pangan Komposit Situasi kerawanan pangan diperoleh dengan membuat suatu indeks komposit. Indeks kerawanan pangan komposit diperoleh dari gabungan sembilan indikator kerawananan pangan kronis yang telah dihitung sebelumnya. Indikator
20
ketahanan pangan komposit berkisar antara 0-1. Jika indeks komposit yang diperoleh bernilai 0 maka kecamatan tersebut termasuk tahan pangan, namun jika indeks yang diperoleh bernilai 1 maka kecamatan tersebut termasuk rawan pangan. Indeks kerawanan pangan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Indeks Komposit =1/9 * ( Indeks Ketersediaan Pangan + Indeks RT Miskin + Indeks Panjang Jalan Rusak + Indeks RT Tanpa Akses Listrik + Indeks Penduduk Buta Huruf + Indeks AHH + Indeks Balita Underweight + Indeks RT Tanpa Akses Air Bersih + Indeks Akses Tenaga Kesehatan)
Range indikator yang digunakan untuk indeks kerawanan pangan komposit adalah sebagai berikut: a. Prioritas 1: >= 0,80 b. Prioritas 2: 0,64 – <0,80 c. Prioritas 3: 0,48 – < 0,64 d. Prioritas 4: 0,32 – < 0,48 e. Prioritas 5: 0,16 – < 0,32 f.
Prioritas 6: < 0,16
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien Kerentanan terhadap kerawanan pangan adalah suatu kondisi dimana suatu masyarakat berada pada resiko menjadi rawan pangan. Kerentanan terhadap kerawanan pangan transien memiliki empat indikator yaitu deforestasi hutan, penyimpangan curah hujan, bencana alam dan persentase daerah puso, namun pada penelitian ini indikator kerawanan pangan transien yang diteliti hanya indikator bencana alam dan persentase daerah puso diganti dengan indikator persentase daerah kekeringan. Hal ini disebabkan karena belum tersedianya data yang memadai di Kabupaten Bogor. 1. Bencana alam Data berupa data sekunder yang berasal dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Data yang didapatkan diolah dengan menghitung frekuensi kejadian bencana. Data tersebut kemudian dianalisis terhadap dampak yang ditimbulkan berdasarkan jumlah korban (jiwa) dari bencana tersebut. 2. Persentase daerah kekeringan Data berupa data sekunder yang berasal dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Data diolah dengan menghitung persentase lahan yang terkena puso dengan membandingkan luas pertanaman sawah yang terkena puso terhadap total lahan pertanaman sawah. Berikut disajikan
21
pemetaan indikator individu untuk kedua kelompok indikator kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan sementara berdasarkan range pada peta indikator individu. Range individu yang digunakan pada peta ditunjukkan oleh Tabel 4. Tabel 4 Range indikator kerawanan pangan kronis dan sementara No. 1
Indikator Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih gabah+jagung+ubi kayu=ubi jalar
2
Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan
3
Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai
4
Persentase rumah tangga tanpa akses listrik
5
Angka harapan hidup pada saat lahir
6
Balita underweight
7
Persentase huruf
8
Persentase rumah tangga tanpa akses air bersih
perempuan
buta
Range >= 1,5 1,25 -1,5 1,00 – 1,25 0,75 – 1,00 0,50 – 0,75 <0,50 >= 35 25 - <35 20 - <25 15 - <20 10 - <15 0 - <10 >= 30 25 - <30 20 - <25 15 - <20 10 - <15 0 - <10 >= 50 40 - <50 30 - <40 20 - <30 10 - <20 < 10 < 58 58 - <61 61 - <64 64 - <67 67 - <70 >=70 >=30 20 - <30 10 - <20 <10 >=40 30 - <40 20 - <30 10 - <20 5 - <10 <5 >=70 60 – 70 50 – 60 40 – 50 30 – 40 <30
Tingkat Prioritas Defisit tinggi (1) Defisit sedang (2) Defisit rendah (3) Surplus rendah (4) Surplus sedang (5) Surplus tinggi (6) Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 3 Prioritas 2 Prioritas 1 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6
Tabel 4 Range indikator kerawanan pangan kronis dan sementara (lanjutan) No.
Indikator
Range
Tingkat Prioritas
22
9
Rasio jumlah tenaga kesehatan
10
Bencana alam
11
Persentase daerah yang mengalami kekeringan
>=0,23 0,19-0,23 0,15 – 0,19 0,11 – 0,15 0,08 – 0,11 <0,08
Priotitas 6 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 3 Prioritas 2 Prioritas 1 Tidak ada range,hanya menyoroti daerah dengan kejadian bencana alam dan kerusakannya dalam periode tertentu (menunjukkan daerah tersebut rawan)
>=15 10 – 15 5 – 10 3–5 1–3 <1
Sumber : DKP 2011 dan WFP 2009
Analisis dan Pemetaan Situasi Kerawanan Pangan Setelah dilakukan perhitungan terhadap indikator komposit, maka analisis situasi kerentanan dan kerawanan pangan Kabupaten Bogor dapat dilakukan untuk menentukan wilayah yang tahan pangan maupun rentan terhadap kerawanan pangan. Situasi kerawanan dan kerentanan pangan tersebut dipetakan dengan software Arc View atau Map-Info untuk mempermudah dalam pembacaan analisis. Peta kerawanan pangan komposit merupakan gabungan dari ketiga aspek/dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan. Adapun perhitungan untuk pemetaan, digunakan sejumlah indeks dari ketiga kelompok indikator tersebut.
Range indeks dari kerawanan pangan komposit adalah sebagai berikut: score dibuat dengan menghitung indeks komposit ketahanan pangan dengan dengan total score factor bernilai dari 0 sampai dengan 1, dimana nilai score semakin mendekati nilai 1 dianggap semakin rawan sebagai berikut: Tabel 5 Score kriteria gradasi warna prioritas Prioritas 1 2 3 4 5 6 Sumber : WFP 2009
GradasiWarna Merah Tua Merah Merah Muda Hijau Muda Hijau Hijau Tua
Ranges > = 0.80 0.64 -< 0.80 0.48 -< 0.64 0.32 -< 0.48 0.16 -< 0,32 < 0,16
Kriteria Sangat rawan Rawan pangan Agak rawan pangan Cukup tahan pangan Tahan pangan Sangat tahan pangan
23
Analisis Kebijakan Penanganan Kerawanan Pangan Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen kebijakan terkait ketahanan pangan selama tahun 2011 dan Renstra (Rencana Strategis) setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang bertanggung jawab dan memiliki pengaruh besar terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Bogor. Informasi tersebut diidentifikasi dan dianalisis dengan metode content
analysis dan menggunakan KUKP (Kebijakan Umum Ketahanan Pangan) 20102014 sebagai bahan acuan. Definisi Operasional Pangan adalah segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Rawan pangan adalah suatu resiko yang timbul akibat kerentanan terhadap kerawanan pangan yang ditandai dengan indikator ketersediaan pangan, angka kemiskinan, akses jalan, akses listrik, angka harapan hidup, akses listrik, balita underweight, akses kesehatan, dan penduduk buta huruf yang dikembangkan oleh Dewan Ketahanan Pangan dan World Food
Programme tahun 2009. Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan pokok (gabah, jagung, ubi kayu, ibi jalar dan talas) di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor dari segala sumber, baik dari produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan. Produksi pangan adalah jumlah keseluruhan masing-masing jenis pangan dalam satu tahun dari sektor pertanian (gabah, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas) yang belum mengalami proses pengolahan dan diasumsikan disediakan seluruhnya untuk dikonsumsi penduduk dalam bentuk energi (kkal/kap/hari). Buta huruf adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang belum bebas dari tiga buta, yaitu buta aksara, Latin dan angka, buta bahasa Indonesia dan buta pengamatan dasar.
24
Konsumsi normatif adalah rasio kebutuhan pangan pokok penduduk per tahun dibandingkan dengan produksi tanaman pangan setara beras per tahun di tiap kecamatan di Kabupaten Bogor. Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, yang dilihat dari akses jalan (akses penghubung), angka kemiskinan pada setiap kecamatan dan akses listrik. Jumlah penduduk adalah banyaknya penduduk suatu wilayah pada suatu waktu tertentu dan laju pertumbuhan peningkatannya. Tingkat kemiskinan adalah proporsi penduduk miskin yang terdiri dari keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 (KS1) dengan alasan ekonomi menurut BKKBN dengan jumlah kepala keluarga dalam suatu wilayah.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kabupaten Bogor Keadaan Geografis dan Administratif Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,304 Ha, secara geografis terletak di antara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" – 107º13'30" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya : - Sebelah Utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi; - Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak; - Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta; - Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur; - Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor. Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, yaitu sekitar 29,28% berada pada ketinggian 15-100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42,62% berada pada ketinggian 100-500 meter dpl, 19,53% berada pada ketinggian 500–1.000 meter dpl, 8,43% berada pada ketinggian 1.000–2.000 meter dpl dan 0,22% berada pada ketinggian 2.000– 2.500 meter dpl. Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air dimana kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu, beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor. Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2.500–5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2.500 mm/tahun.
25
Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20°- 30°C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25°C. Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata–rata 1,2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata– rata sebesar 146,2 mm/bulan. Secara hidrologis, wilayah Kabupaten Bogor terbagi ke dalam 7 buah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: (1) DAS Cidurian; (2) DAS Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub DAS Kali Bekasi; (6) Sub DAS Cipamingkis; dan (7) DAS Cibeet. Selain itu juga terdapat 32 jaringan irigasi pemerintah, 794 jaringan irigasi pedesaan, 93 situ dan 96 mata air. Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 417 desa dan 17 kelurahan (434 desa/kelurahan), 3.768 RW dan 14.951 RT yang tercakup dalam 40 kecamatan. Jumlah kecamatan sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah adanya hasil pemekaran 5 (lima) kecamatan di tahun 2011, yaitu Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan Bojonggede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea). Selain itu, pada akhir tahun 2006 telah dibentuk pula sebuah desa baru, yaitu Desa Wirajaya, sebagai hasil pemekaran dari Desa Curug Kecamatan Jasinga dan pada awal tahun 2011 telah dibentuk 2 ( dua) desa baru yaitu Desa Gunung Mulya hasil pemekaran dari Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya dan Desa Batu Tulis hasil pemekaran dari Desa Parakan Muncang Kecamatan Nanggung. Luas wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan pola penggunaan tanah dikelompokkan menjadi kebun campuran seluas 85.202,5 Ha (28,48%), kawasan terbangun/pemukiman 47.831,2 Ha (15,99%), semak belukar 44.956,1 Ha (15,03%), hutan vegetasi lebat/ perkebunan 57.827,3 Ha (19,33%), sawah irigasi/tadah hujan 23.794 Ha (7,95%), tanah kosong 36.351,9 Ha (12,15%). Penduduk Jumlah
Penduduk Kabupaten Bogor
pada
tahun 2011 setelah
pemutakhiran data Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 4.966.624 jiwa (angka sementara) yang terdiri dari penduduk laki-laki 2.573.931 jiwa dan penduduk perempuan 2.392.693 jiwa.
Jumlah
penduduk
tersebut
telah
mengalami
kenaikan bilamana dibandingkan dengan penduduk pada tahun 2010 yang berjumlah 4.771.932 jiwa. Kondisi ini menyebabkan tingginya rata-rata laju
26
pertumbuhan
penduduk
Kabupaten
Bogor,
laju
pertumbuhan
penduduk
Kabupaten Bogor pada tahun 2011 sebesar 3,15 %. Laju pertumbuhan penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Gunung Putri sebesar 6,27%, Kecamatan Bojonggede sebesar 5,86%, Kecamatan Cileungsi sebesar 5,72% dan Kecamatan Cibinong sebesar 4,62 %, Parung sebesar 4,22% ,Gunung Sindur sebesar 4,31% dan Tajur halang sebesar 4,16%. Pertambahan penduduk di tujuh kecamatan tersebut dapat dikatakan pesat karena merupakan pusat pengembangan usaha industri dan permukiman. Data sex ratio penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 106, artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 106 orang laki-laki. Hampir di semua kecamatan di Kabupaten Bogor memiliki sex ratio diatas 1, yang berarti berlaku umum bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan di daerah tersebut. Jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2011 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari 205.032 orang, menjadi 181.880 orang, turun sebanyak 23.152 orang (atau sekitar 11,29 %). Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah Kabupaten Bogor dalam menurunkan jumlah pengangguran telah menunjukan hasil yang memadai, baik yang dilakukan dengan cara mengundang investor, membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan keterampilan para pekerja maupun upaya lainnya melalui kemudahan untuk membuka usaha baru dan wirausaha mandiri di sektor formalaupun informal. Tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami peningkatan pada tahun 2011 bila dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu sebesar 3,12 %. Kondisi ini disebabkan implikasi dari bertambahnya angkatan kerja dari luar kabupaten yang mendapatkan kesempatan kerja atau peluang kerja sehingga berpengaruh terhadap proporsi dari tingkat partisipasi angkatan kerja lokal. Kondisi Perekonomian Kondisi ekonomi Kabupaten Bogor pada tahun 2011 relatif stabil bahkan mengalami peningkatan seiring dengan tumbuhnya beberapa sektor penggerak ekonomi dan membaiknya infrastruktur penunjang ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari pergerakan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada tahun 2011, PDRB Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku mencapai Rp.82,699 trilyun, lebih tinggi dari nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp. 73,801 triliyun atau meningkat 12,06 %, sedangkan PDRB berdasarkan harga konstan mencapai Rp. 34,379 triliyun, lebih tinggi dari tahun 2010 sebesar Rp. 32,526 triliyun atau naik 5,70 %. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa nilai PDRB, baik berdasarkan
27
harga konstan maupun berdasarkan harga berlaku mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi makro, kondisi ekonomi Kabupaten Bogor relatif meningkat, yang ditunjukkan oleh angka laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 berdasarkan harga konstan sebesar 5,70 %. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi tahun 2011 yang cukup rendah. Sebagaimana terlihat dari inflasi nasional sebesar 3,79 %, inflasi Jawa Barat sebesar 3,10 %, sedangkan tingkat inflasi di Bogor mencapai 2,85 %, jauh lebih rendah dibandingkan inflasi pada tahun 2010, yaitu sebesar 6,79 %. Selanjutnya, untuk melihat prosentase kontribusi laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor berdasarkan lapangan usaha, maka komposisi laju pertumbuhan ekonominya sebagai berikut : 1. Sektor primer yang meliputi lapangan usaha : pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar -0,04%, pertambangan dan penggalian sebesar 0,07%. Total kontribusinya terhadap LPE sektor primer sebesar 0,03%; 2. Sektor sekunder yang meliputi lapangan usaha : industri pengolahan sebesar 3,18%, listrik, gas dan air bersih sebesar 0,21% dan bangunan sebesar 0,30%. Total kontribusinya terhadap LPE sektor sekunder sebesar 3,69%; 3. Sektor tersier yang meliputi lapangan usaha : perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,37%, pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,27%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 0,13% serta jasa-jasa lainnya sebesar 0,21%. Total kontribusinya terhadap sektor tersier sebesar 1,98%. Berdasarkan uraian data di atas, dapat disimpulkan bahwa kontribusi laju pertumbuhan ekonomi dari kelompok lapangan usaha sektor sekunder lebih tinggi dari sektor primer maupun sektor tersier, terlihat dari total kontrbusi terhadap LPE tertinggi, yaitu sektor sekunder sebesar 3,69% dan terendah sektor primer sebesar 0,03%. Kondisi demikian mengindikasikan peranan pertumbuhan industri bergerak positif seiring dengan dimulainya realisasi investasi yang masuk ke Kabupaten Bogor pada kelompok lapangan usaha di sektor sekunder tersebut. Selain itu, tingginya kontribusi sektor sekunder ini membuka peluang dalam menunjang sektor lain bergerak terutama sektor primer, khususnya kelompok lapangan usaha pertanian yang kontribusi terhadap laju pertumbuhannya sebesar -0,04%.
28
Situasi Kerawanan Pangan Analisis
situasi
kerawanan
Kabupaten
Bogor
menggunakan
dua
komponen indikator yaitu: (a) kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis, yang dicerminkan melalui indikator ketersediaan pangan, indikator akses terhadap pangan serta pemanfaatan pangan (9 indikator) dan (b) kerentanan terhadap kerawanan pangan transien, dicerminkan melalui indikator kerentanan terhadap bencana alam dan bencana lainnya (4 indikator). Analisis situasi tersebut diperoleh dari dukungan data yang tersedia dari berbagai instansi terkait dalam unit kecamatan. Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis Kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis dilihat dari indikator ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan penghidupan serta pemanfaatan pangan. a. Ketersediaan pangan Ketersediaan pangan yang mencukupi kebutuhan wilayah merupakan hal dasar yang harus dipenuhi agar suatu wilayah tahan pangan.Pangan yang harus disediakan meliputi kelompok pokok, umbi-umbian, kacang-kacangan, pangan hewani, minyak dan lemak, sayur dan buah-buahan. Sebanyak 23% hasil pertanian di Indonesia adalah beras, yang merupakan makanan pokok penduduk. Jagung dan ubi kayu adalah 2 komoditi sumber pangan pokok yang cukup diperhitungkan untuk masa mendatang dan merupakan 13% dari total hasil pertanian. Oleh karena itu, sumber karbohidrat yang berasal dari pokok (gabah, jagung) dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) digunakan dalam analisa ketersediaan pangan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Ketersediaan pangan yang memenuhi kebutuhan dapat dilihat dengan menggunakan indikator rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto pangan sumber karbohidrat perkapita perhari. Ketersediaan pangan dinyatakan defisit apabila rasio ketersediaan pangan pokok terhadap penduduk lebih atau sama dengan 1 dan surplus apabila rasio bernilai kurang dari 1. Perhitungan rasio ketersediaan pangan Kabupaten Bogor didapatkan dari perbandingan konsumsi normatif dengan produksi netto pangan pokok. Selama kurun waktu 2009-2011, produksi pangan pokok yaitu gabah, jagung, ubi kayu dan ubi jalar menurun setiap tahunnya dengan rata-rata sebesar 2,6%. Jumlah produksi pangan pokok tertinggi terdapat di Kecamatan Citeureup
29
dengan total produksi 72.187 ton, dan produksi pangan pokok terendah terdapat di Kecamatan Tanjungsari yaitu sebesar 1.667 ton. Tabel 6 di bawah ini menyajikan rincian rasio ketersediaan pangan dan kategori prioritas kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan indikator ketersediaan pangan. Tabel 6 Rasio ketersediaan pangan dan kategori prioritas kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan indikator ketersediaan pangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Tenjo Parung Panjang Jasinga Cigudeg Sukajaya Nanggung Rumpin Leuwiliang Leuwisadeng Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Gunung Sindur Parung Ciseeng Bojong Gede Tajurhalang Kemang Rancabungur Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Megamendung Cisarua Sukaraja Citeureup Babakan Madang Cibinong Gunung Putri Cileungsi Klapanunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjungsari
Rasio Ketersediaan 0,71 1,05 0,64 0,64 0,43 0,90 0,93 0,86 0,98 0,80 0,53 1,19 0,48 2,60 5,75 2,84 13,78 9,44 5,06 1,86 1,52 3,93 1,29 1,36 1,63 1,60 1,92 2,02 8,44 2,92 2,08 2,11 7,94 5,11 4,90 1,74 0,87 0,39 0,31 0,33
Prioritas 5 3 5 5 6 4 4 4 4 4 5 3 6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4 6 6 6
Keterangan Surplus sedang Defisit rendah Surplus sedang Surplus sedang Surplus tinggi Surplus rendah Surplus rendah Surplus rendah Surplus rendah Surplus rendah Surplus sedang Defisit rendah Surplus tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit sedang Defisit sedang Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Defisit tinggi Surplus rendah Surplus tinggi Surplus tinggi Surplus tinggi
30
Terdapat 21 kecamatan yang termasuk dalam kategori defisit tinggi dan menjadi prioritas utama. Kecamatan-kecamatan tersebut yakni Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Bojong Gede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Dramaga, Ciomas, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Sukaraja, Citeureup,
Babakan
Madang,
Cibinong,
Gunung
Putri,
Cileungsi,
dan
Klapanunggal. Kecamatan dengan kategori defisit rendah yaitu kecamatan Parung Panjang dan Ciampea. Kecamatan dengan kategori defisit sedang yakni Tamansari dan Cijeruk.Kecamatan yang memiliki rasio paling buruk adalah kecamatan Gunung Putri dan Bojong Gede. Rasio ketersediaan pangan pokok dengan jumlah penduduk di dua kecamatan ini sangat tinggi yaitu pada kecamatan Gunung Putri sebesar 52,11 dan Bojong Gede sebesar 13,78. Hal ini menandakan bahwa produksi pangan pokok dan umbi-umbian yang dimiliki kecamatan tersebut sangat rendah. Kurangnya tingkat ketersediaan pangan penduduk antara lain disebabkan oleh sempitnya luas lahan sawah yang dimiliki oleh suatu kecamatan. Selain itu, dapat disebabkan juga oleh tingginya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan pemukiman
penduduk
setempat.Berdasarkan
data
Dinas
Pertanian
dan
Kehutanan Kabupaten Bogor, Kecamatan Bojong Gede dan Gunung Putri memiliki lahan sawah yang sangat sempit yaitu 45 dan 46 Ha (Tabel 7). Tabel 7 Luas lahan sawah per kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kecamatan Tenjo Parung Panjang Jasinga Cigudeg Sukajaya Nanggung Rumpin Leuwiliang Leuwisadeng Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Gunung Sindur Parung Ciseeng Bojong Gede Tajur Halang Kemang Ranca Bungur Dramaga Ciomas
Jumlah luas lahan sawah (Ha) 1.384 1.485 2.055 2.160 1.600 1.625 2.404 1.792 1.244 1.915 3.234 1.611 1.406 315 288 833 45 142 592 930 948 511
31
Tabel 7 Luas lahan sawah per kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011 (lanjutan) No 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Megamendung Cisarua Sukaraja Citeureup Babakan Madang Cibinong Gunung Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jumlah Lahan
Jumlah luas lahan sawah(Ha) 685 721 653 1.414 846 632 264 375 361 256 86 46 763 942 3.535 3.932 2.610 2.445 48.185
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor 2011
Ketersediaan pangan pokok di Kecamatan Parung Panjang dan Ciampea tergolong dalam kategori defisit rendah dengan rasio ketersediaan sebesar 1,05 dan 1,19. Ketersediaan pangan pokok di Kecamatan Tamansari dan Cijeruk tergolong dalam kategori defisit sedang dengan rasio ketersediaan pangan secara berturut-turut sebesar 1,29 dan 1,36. Kecamatan yang memiliki ketersediaan pangan utama yang mencukupi seperti Kecamatan Sukajaya, Tenjolaya,
Sukamakmur,
Cariu
dan
Tanjungsari
belum
tentu
memiliki
ketersediaan pangan lain yang memadai pula. Suatu daerah dapat dikatakan memiliki ketersediaan pangan yang mencukupi apabila pangan yang tersedia di daerah tersebut telah cukup baik dalam jumlah atapun mutu keberagamannya. Peta
kerantanan
terhadap
kerawanan
pangan
berdasarkan
indikator
ketersediaan pangan dapat dilihat pada Lampiran 1. Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator ketersediaan pangan pokok ditunjukkan oleh tabel 8. Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa sebanyak 21 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor mengalami kerawanan pangan pada tingkat indikator ketersediaan pangan sumber karbohidrat. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor yang kurang memiliki hasil produksi sumber pangan karbohidrat yang memadai untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
32
Tabel 8 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator ketersediaan pangan pokok Prioritas 1 2 3 4 5 6 Jumlah
Kecamatan N 21 2 2 6 4 5 40
% 52,5 5,0 5,0 15,0 10,0 12,5 100,00
b. Akses terhadap Pangan dan Penghidupan Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. Akses pangan tergantung pada daya beli rumah tangga yang ditentukan oleh penghidupan rumah tangga tersebut. Penghidupan terdiri dari kemampuan rumah tangga, modal/aset (sumber daya alam, fisik, sumber daya manusia, ekonomi dan sosial) dan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar, pangan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Akses terhadap pangan dan penghidupan didasarkan pada indikator penduduk miskin, akses jalan yang memadai dan akses terhadap listrik.Analisis terhadap akses jalan yang memadai, digunakan persentase panjang jalan rusak dan rusak berat berdasarkan kriteria Dinas Bina Marga dan Perairan pada masing-masing kecamatan.Indikator untuk penduduk miskin, digunakan data persentase rumah tangga miskin berdasarkan sumber data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor pada masing-masing kecamatan. Kemiskinan merupakan indikator ketidakmampuan untuk mendapatkan pangan yang cukup karena rendahnya kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan lainlain (BKP 2008). Berdasarkan garis kemiskinan dunia, sejak tahun 2000 Indonesia telah mencapai target yang ditetapkan dalam Millenium Development Goal untuk mengurangi jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 yaitu sebesar 10,3% dari penduduk nasional. Namun, terdapat 34,96 juta orang (15,42%) yang hidup dibawah garis kemiskinan nasional pada tahun 2008 yang kurang lebih setara dengan angka sebelum krisis pada tahun 1996
33
(34,01 juta orang yang hidup dibawah garis kemiskinan pada tahun 1996). Hampir 64% dari penduduk miskin tinggal didaerah pedesaan dan dari seluruh masyarakat miskin tersebut, lebih dari 57% tinggal di pulau Jawa. Penduduk miskin memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini menyebabkan akses untuk mendapatkan pangan menjadi rendah pula dan berakibat pada konsumsi pangan yang tidak memenuhi kebutuhan. Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka akan mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan balita dengan status gizi kurang atau buruk. Lebih lanjut lagi hal ini akan mengakibatkan sumber daya manusia di suatu daerah menjadi tidak produktif sehingga menjadi siklus kemiskinan yang berkelanjutan. Kemiskinan masih menjadi masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten Bogor. Tabel 9 dibawah ini menunjukkan persentase rumah tangga di Kabupaten Bogor yang hidup dibawah garis kemiskinan. Rata-rata persentase rumah tangga miskin di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor adalah sebesar 8,65%. Adapun kecamatan yang termasuk dalam prioritas 2 adalah Kecamatan Sukajaya (31,11%) dan Sukamakmur (30,33%). Tabel 9 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kecamatan Jasinga Cigudeg Sukajaya Parung Panjang Tenjo Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Rumpin Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Ciomas Tamansari Dramaga Cisarua Megamendung Ciawi Caringin Parung Ciseeng Gn.Sindur Bojong Gede
Persentase RT Miskin 19.37 19.13 31.11 10.51 16.55 17.42 14.45 14.06 12.92 9.63 10.45 3.81 12.20 2.24 4.47 5.41 2.56 4.66 5.43 7.16 4.32 11.03 4.50 1.42
Prioritas Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 2 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 6
34
Tabel 9 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor (lanjutan) No 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Tajur Halang Cibinong Sukaraja Citeureup Kemang Ranca Bungur Cigombong Cijeruk Babakan Madang Gn. Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjung Sari
Persentase RT Miskin 2.65 0.69 3.61 3.58 3.31 7.63 4.79 12.60 5.98 0.38 0.61 5.24 6.00 30.33 6.00 7.89
Kecamatan Jasinga, Cigudeg, Tenjo dan Nanggung
Prioritas Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 2 Prioritas 6 Prioritas 6 termasuk dalam
prioritas 4 dengan persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan berturut-turut sebesar 19,37%; 19,13%; 16,55%; dan 17,42%. Kecamatan yang termasuk dalam prioritas 5 adalah Kecamatan Parung Panjang (10,51%), Leuwiliang (14,45%), Leuwisadeng (14,06%), Pamijahan (10,45%), Rumpin (12,92%), Tenjolaya (12,20%), Cijeruk (12,60%) Ciseeng (11,03%). Sedangkan kecamatan yang berada dalam prioritas 6 adalah Kecamatan Cibungbulang, Ciampea, Ciomas, Tamansari, Dramaga, Cisarua, Megamendung, Ciawi, Caringin, Parung, Gn. Sindur, Bojong gede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Citeureup, Kemang, Rancabungur, Cigombong, Babakan Madang, Gn. Putri, Cileungsi, Klapanunggal, Jonggol, Cariu dan Tanjung Sari. Peta kerantanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase RT miskin dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 10 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor Prioritas 1 2 3 4 5 6 Jumlah
Kecamatan N 2 4 8 26 40
% 5,0 10,0 20,0 65, 100.00
35
Data yang digunakan dalam analisis kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Bogor untuk menghitung persentase panjang jalan rusak dan rusak berat di masing-masing kecamatan bersumber dari Dinas Bina Marga dan Perairan Kabupaten Bogor. Hipotesis yang digunakan adalah apabila sebuah kecamatan memiliki persentase jumlah jalan rusak lebih dari 30% maka kecamatan tersebut mempunyai akses dan infrastruktur yang tidak mendukung terhadap peningkatan perekonomian dan pelayanan jasa yang memadai. Menurut Purwantini (2010), kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan “kemiskinan lokal” dimana masyarakat yang tinggal didaerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk sehingga kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai. Investasi pada infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi (jalan) dapat sepenuhnya mengubah suatu wilayah sehingga menciptakan landasan pertumbuhan ekonomi dan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat yang tinggal didaerah terpencil. Selain itu, akses jalan yang baik juga berpengaruh terhadap kelancaran distribusi pangan kepada penduduk. Jika terdapat banyak jalan rusak maka akan menghambat distribusi pangan sehingga terjadi kerusakan pangan dan berujung pada tingginya harga pangan. Tabel 11 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator akses penghubung yang kurang memadai di Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kecamatan Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Sukamakmur Cariu
Persentase Jalan Rusak 46.36 47.14 0.00 10.14 11.55 0.00 0.00 10.27 4.73 1.89 0.00 5.34 22.71 15.97 1.85 22.80 0.00 10.17 34.85 16.76
Prioritas 1 1 6 5 5 6 6 5 6 6 6 6 3 4 6 3 6 5 1 4
36
Tabel 11 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator akses penghubung yang kurang memadai di Kabupaten Bogor (lanjutan) No 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunung Putri Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunung Sindur Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjo Parung Panjang
Persentase Jalan Rusak 15.00 10.21 26.21 30.68 3.22 13.56 12.97 25.48 1.77 3.24 10.53 13.11 40.70 14.50 60.08 53.40 34.89 33.92 56.96 71.27
Prioritas 5 5 2 1 6 5 5 2 6 6 5 5 1 5 1 1 1 1 1 1
Berdasarkan hasil pengolahan data yang ditunjukkan pada tabel 12, akses jalan penghubung merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten Bogor. Hal tersebut ditunjukkan dari adanya beberapa kecamatan yang memiliki akses jalan yang termasuk dalam prioritas 1. Kecamatan tersebut adalah Nanggung (44,36%), Leuwiliang (47,14%), Sukamakmur (34,85%), Klapanunggal (30,68%), Ciseeng (40,7%), Rumpin (60,08%), Cigudeg (53,4%), Sukajaya (34,89%), Jasinga (33,92%), Tenjo (56,96%) dan Parung Panjang (71,27%). Kecamatan Rumpin dan Parung Panjang merupakan dua kecamatan dengan persentase akses jalan rusak yang paling besar. Kecamatan yang termasuk dalam golongan prioritas 2 adalah Kecamatan Cileungsi (26,21%) dan Bojong Gede (25,48%). Kecamatan dengan golongan prioritas 3 adalah Kecamatan Caringin (22,71) dan Megamendung (22,8%). Kecamatan yang termasuk dalam prioritas 4 adalah Kecamatan Ciawi (15,97%) dan Cariu (16,76%). Sedangkan Kecamatan Pamijahan (10,14%), Cibungbulang (11,55%), Dramaga (10,27%), Babakan Madang (10,17%), Tanjung Sari (15%), Jonggol
(10,21%),
Citeureup(13,56%),
Cibinong
(12,97%),
Rancabungur
(10,53%), Parung (13,11%) dan Gunung Sindur (14,5%) termasuk dalam prioritas 5. Kabupaten Bogor memiliki beberapa kecamatan dengan akses jalan yang baik yaitu Leuwisadeng, Ciampea, Ciomas,Tamansari, Cigombong,
37
Tenjolaya, Cisarua, Cijeruk, Gunung Putri, Tajurhalang, Kemang dan Sukaraja. Kecamatan-kecamatan tersebut memiliki persentase akses jalan yang lebih rendah dan termasuk dalam prioritas 6. Peta kerantanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase jalan rusak dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel
12
Persentase kecamatan berdasarkan penghubung yang kurang memadai
prioritas
indikator
akses
Kecamatan
Prioritas
N 11 2 2 2 11 12 40
1 2 3 4 5 6 Jumlah
% 27,5 5,0 5,0 5,0 27,5 30,0 100,0
Akses terhadap penghidupan dilihat pula dari akses penduduk terhadap keberadaan listrik. Akses listrik merupakan salah satu infrastruktur yang harus dibangun dan dikembangkan dalam upaya menciptakan pertumbuhan dan pengurangan angka kemiskinan. Investasi terhadap sumber daya untuk pembangunan suplai energi, telekomunikasi dan infrastruktur dasar lainnya adalah
sangat
penting
untuk
menopang
pertumbuhan
ekonomi
dan
meningkatkan standar hidup masyarakat. Data akses terhadap listrik diperoleh persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik di tiap kecamatan. Tabel 13 menunjukkan persentase kecamatan yang belum memperoleh akses listrik di Kabupaten Bogor. Tabel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
13
Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator persentase rumah tangga tanpa akses listrik di Kabupaten Bogor
Kecamatan Jasinga Cigudeg Sukajaya Parung Panjang Tenjo Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Rumpin Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya
Persentase RT tanpa akses listrik 8,08 9,74 21,28 9,98 9,93 19,42 10,93 10,23 18,30 4,0 6,79 4,88 8,34
Prioritas 6 6 4 6 6 5 5 5 5 6 6 6 6
38
Tabel
No 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
13
Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator persentase rumah tangga tanpa akses listrik di Kabupaten Bogor (lanjutan)
Kecamatan Ciomas Tamansari Dramaga Cisarua Megamendung Ciawi Caringin Parung Ciseeng Gn.Sindur Bojong Gede Tajur Halang Cibinong Sukaraja Citeureup Kemang Ranca Bungur Cigombong Cijeruk Babakan Madang Gn. Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjung Sari
Persentase RT tanpa akses listrik 3,40 5,15 6,97 2,08 3,95 3,64 5,70 3,65 7,69 5,02 2,79 3,79 2,34 6,74 6,16 4,56 7,72 5,90 9,42 12,91 2,36 3,67 76,58 15,10 33,04 23,02 45,01
Prioritas 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 6 6 1 5 3 4 2
Berdasarkan data yang ditunjukkan pada tabel 14, akses listrik bukan merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten Bogor karena sebagian besar dari kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor termasuk dalam prioritas 6. Hanya 11,3% rumah tangga di Kabupaten Bogor yang tidak memiliki akses listrik yang cukup. Terdapat satu kecamatan yaitu Kecamatan Klapanunggal yang termasuk dalam kategori prioritas 1 dengan persentase rumah tangga yaitu sebesar 76,59%. Kecamatan yang termasuk dalam prioritas 2 adalah Kecamatan Tanjungsari dengan persentase sebesar 45,01%. Kecamatan yang termasuk dalam prioritas 3 adalah Kecamatan Sukamakmur (33,04%) dan kecamatan yang termasuk dalam prioritas 4 adalah Kecamatan Sukajaya (21,28%) serta Cariu (23,02%). Sedangkan kecamatan Nanggung ((19,42%), Leuwiliang (10,93%), Leuwisadeng (10,23%), Rumpin (18,30%), Babakan Madang (12,91%) dan Jonggol (15,10%) termasuk kedalam prioritas 5.
39
Peta kerantanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase RT tanpa ases listrik dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 14 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator persentase rumah tangga tanpa listrik Kecamatan
Prioritas
N 1 1 1 2 6 29 40
1 2 3 4 5 6 Jumlah
% 2,5 2,5 2,5 5,0 15,0 72,5 100
c. Pemanfaatan Pangan Pemanfaatan pangan meliputi pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap zat gizi (pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh). Penilaian pemanfaatan pangan dilihat dari indikator angka harapan hidup pada saat lahir; balita
underweight; penduduk buta huruf; rumah tangga tanpa akses air bersih; serta rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk. Angka harapan hidup pada saat lahir adalah perkiraan lama hidup ratarata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Angka harapan hidup merupakan salah satu indikator tingkat kesehatan masyarakat. Indikator angka harapan hidup menunjukkan tingkat kesehatan masyarakat. Indikator angka harapan hidup pada saat lahir menggunakan data perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Angka rata-rata harapan hidup Kabupaten Bogor memiliki nilai diatas 60 tahun (Tabel 15). Sebesar
65% kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor memiliki
angka harapan hidup saat lahir tergolong dalam prioritas 5. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat kesehatan masyarakat di Kabupaten Bogor sudah baik. Nilai angka harapan hidup tertinggi terdapat di Kecamatan Cariu yaitu sebesar 71,78 dan terendah terdapat pada kecamatan Tenjolaya yaitu sebesar 67,95. Dengan demikian, Kecamatan Cariu merupakan daerah dengan angka harapan hidup dengan prioritas 1.
40
Tabel 15 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator angka harapan hidup di Kabupaten Bogor No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Jasinga Cigudeg Sukajaya Parung Panjang Tenjo Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Rumpin Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Ciomas Tamansari Dramaga Cisarua Megamendung Ciawi Caringin Parung Ciseeng Gn.Sindur Bojong Gede Tajur Halang Cibinong Sukaraja Citeureup Kemang Ranca Bungur Cigombong Cijeruk Babakan Madang Gn. Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjung Sari
Sumber: BPS 2011 (diolah)
Angka Harapan Hidup 68,76 68,73 70,96 70,34 69,60 71,70 68,11 68,30 69,35 71,03 69,05 69,20 67,95 68,67 69,13 68,60 68,28 68,10 68,28 68,00 71,21 70,73 68,59 69,56 70,71 69,14 69,13 70,63 70,30 69,91 69,11 69,35 69,58 70,71 69,41 71,03 70,89 70,86 71,78 71,25
Prioritas 5 5 6 6 5 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6 5 5 6 5 5 6 6 5 5 5 5 6 5 6 6 6 6 6
41
Data angka harapan hidup di suatu daerah berguna untuk mengevaluasi kinerja
pemerintah
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
peduduk
dan
meningkatkan drajat kesehatan. Angka harapan hidup yang rendah di suatu daerah harus di ikuti dengan program pembangunan kesehatan dan program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, mencakup gizi dan kalori termasuk program pemberantasan kemiskinan. Angka harapan hidup yang tinggi dapat menunjukkan telah terjadinya peningkatan kemampuan penduduk dalam memperbaiki kualitas hidup dan lingkungannya. Peningkatan kualitas hidup akan sebanding dengan peningkatan status sosial ekonomi keluarga. Peta kerantanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator angka harapan hidup dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 16 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator angka harapan hidup Prioritas 1 2 3 4 5 6 Jumlah
Kecamatan N 0 0 0 0 26 14 40
% 0 0 0 0 65,0 35,0 100
Penduduk buta huruf merupakan persentase penduduk dengan usia diatas 15 tahun yang tidak dapat membaca dan menulis. Subagyo (2012) menyatakan tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi keluarga sehingga tingkat pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam aspek pemanfaatan pangan. Data penduduk buta huruf diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor dan hasil olah data persentase penduduk buta huruf pada setiap kecamatan dan golongan prioritasnya dapat dilihat pada Tabel 17 dibawah. Berdasarkan data yang disajikan pada tabel di bawah, semua kecamatan di Kabupaten Bogor masih terdapat penduduk buta huruf. Persentase penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor tergolong rendah dan masuk pada prioritas 6. Kecamatan yang memiliki persentase penduduk buta huruf paling tinggi adalah Kecamatan Sukamakmur dan Cariu dengan persentase sebesar 3,26% dan 3,20%. Persentase penduduk buta huruf terendah terdapat di Kecamatan Cibinong (0,21%).
42
Tabel 17 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator angka penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Jasinga Cigudeg Sukajaya Parung Panjang Tenjo Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Rumpin Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Ciomas Tamansari Dramaga Cisarua Megamendung Ciawi Caringin Parung Ciseeng Gn.Sindur Bojong Gede Tajur Halang Cibinong Sukaraja Citeureup Kemang Ranca Bungur Cigombong Cijeruk Babakan Madang Gn. Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjung Sari
Persentase Penduduk Buta Huruf
Prioritas
0,75 0,91 1,20 0,53 1,00 0,86 0,77 1,10 0,77 1,43 0,54 0,39 1,17 1,21 0,37 2,00 1,33 1,33 0,47 0,30 1,28 0,54 1,20 0,27 0,44 0,21 0,27 1,33 2,21 0,84 0,32 0,62 0,40 0,85 0,34 0,57 0,64 3,26 3,20 2,36
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
43
Rendahnya persentase penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor diharapkan selaras dengan tingkat pengetahuan dan pendidikan keluarga sehingga mampu memberikan pola pengasuhan yang baik bagi keluarga. Studi di berbagai Negara juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan kesadaran keluarga dapat menjelaskan situasi gizi anak-anak disuatu daerah. Hal ini sudah terbukti secara global bahwa kekurangan gizi berkaitan erat dengan tingkat pendidikan keluarga. Peta kerantanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator penduduk buta huruf dapat dilihat pada Lampiran 7. Akses air bersih sangat penting untuk kesehatan dan akan meningkatkan kemampuan dalam menyerap makanan dan zat gizi. Air yang tidak bersih menjadi salah satu penyebab pernyakit infeksi contohnya diare. Diare merupakan penyakit yang dapat meningkatkan risiko terjadinya underweight. Tabel 18 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator rumah tangga tanpa akses air bersih di Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Kecamatan Jasinga Cigudeg Sukajaya Parung Panjang Tenjo Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Rumpin Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Ciomas Tamansari Dramaga Cisarua Megamendung Ciawi Caringin Parung Ciseeng Gn.Sindur Bojong Gede Tajur Halang Cibinong Sukaraja Citeureup Kemang
Persentase RT tanpa air bersih 68,73 54,34 34,91 43,18 45,74 70,37 63,65 58,43 67,66 52,93 59,30 71,79 44,04 68,36 51,29 62,36 77,82 55,98 55,47 54,94 67,18 65,97 8,84 28,37 62,53 70,90 29,67 3,16 75,04
Prioritas 2 3 5 4 4 1 2 3 2 3 3 1 4 2 3 2 1 3 3 3 2 2 6 6 2 1 6 6 1
44
Tabel 18 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator rumah tangga tanpa akses air bersih di Kabupaten Bogor (lanjutan) No 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Ranca Bungur Cigombong Cijeruk Babakan Madang Gn. Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjung Sari
Persentase RT tanpa air bersih 70,13 51,79 58,05 62,51 64,59 30,13 44,98 55,53 23,48 32,22 57,93
Prioritas 1 3 3 2 2 5 4 3 6 5 3
Sumber: Dinas Kesehatan 2011 (diolah)
Berdasarkan data yang ditunjukkan pada tabel 40 dapat disimpulkan bahwa masalah air bersih merupakan masalah utama disebagian kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa banyak rumah tangga yang belum menggunakan air bersih dari sumber yang terlindung seperti sumur, ledeng dan mata air terlindung. Kecamatan di Kabupaten Bogor yang memiliki masalah akses air bersih tertinggi adalah di Cisarua (77,82%), diikuti oleh Kecamatan Kemang (75,04%), Ciampea (71,79%), Cibinong (70,90%), Nanggung (70,37%) dan Ranca Bungur (70,13%). Keenam kecamatan ini memiliki nilai persentase rumah tangga tanpa akses air bersih yang tinggi sehingga tergolong kedalam prioritas 1. Kecamatan yang tergolong dalam prioritas 6 dan tidak termasuk ke dalam prioritas utama masalah akes air bersih adalah Kecamatan Gunung Sindur, Bojong Gede, Sukaraja, Citeureup dan Sukamakmur. Persentase rumah tangga tanpa akses air bersih terendah dimiliki oleh Kecamatan Citeureup (3,16%) dan Gunung Sindur (8,84%). Pemerintah Kabupaten Bogor berkewajiban untuk menyediakan akses air bersih untuk semua penduduknya. Jika hal ini tidak dilaksanakan maka resiko akan tingginya angka kesakitan dan kurang gizi tidak dapat ditanggulangi. Berdasarkan Tabel 19, terdapat enam kecamatan yang tergolong dalam kategori sangat rawan pangan pada indikator akses air bersih. Sedangkan pada prioritas dua (rawan pangan) terdapat 10 kecamatan, prioritas 3 (agak rawan pangan) terdapat 12 kecamatan, prioritas 4 (cukup tahan pangan) terdapat 4 kecamatan, prioritas 5 (tahan pangan) terdapat 3 kecamatan, dan prioritas 6 (sangat tahan pangan) terdapat 5 kecamatan. Peta kerantanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase RT tanpa akses air bersih
45
dapat dilihat pada Lampiran 8. Persentase kecamatan berdasarkan indikator rumah tangga tanpa akses air bersih di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 19 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator rumah tangga tanpa akses air bersih Kecamatan
Prioritas
N 6 10 12 4 3 5 40
1 2 3 4 5 6 Jumlah
% 15,0 25,0 30,0 10,0 7,5 12,5 100.00
Indikator akses terhadap kesehatan menggunakan rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk di masing-masing kecamatan. Akses terhadap fasilitas kesehatan dikategorikan baik jika rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk adalah 23:10.000 atau skor rasio sebesar 0,23. Tabel 20 dibawah ini menunjukkan persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses fasilitas kesehatan. Tabel 20 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator akses terhadap fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Jasinga Cigudeg Sukajaya Parung Panjang Tenjo Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Rumpin Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Ciomas Tamansari Dramaga Cisarua Megamendung Ciawi Caringin Parung Ciseeng
Rasio Tenaga Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk 0,23 0,18 0,25 0,19 0,22 0,18 0,20 0,31 0,24 0,22 0,26 0,28 0,17 0,27 0,18 0,20 0,25 0,24 0,30 0,37 0,38 0,18
Prioritas Prioritas 6 Prioritas 4 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 4 Prioritas 6 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 4
46
Tabel 20 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator akses terhadap fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor (lanjutan) No
Kecamatan
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Gn.Sindur Bojong Gede Tajur Halang Cibinong Sukaraja Citeureup Kemang Ranca Bungur Cigombong Cijeruk Babakan Madang Gn. Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjung Sari
Rasio Tenaga Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk 0,13 0,26 0,11 0,20 0,13 0,11 0,14 0,22 0,34 0,22 0,19 0,20 0,21 0,26 0,32 0,29 0,20 0,22
Prioritas Prioritas 3 Prioritas 6 Prioritas 3 Prioritas 5 Prioritas 3 Prioritas 3 Prioritas 3 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 5
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada tabel 43, akses terhadap fasilitas kesehatan bukan merupakan masalah utama pada sebagian besar kecamatan. Kecamatan dengan akses kesehatan tertinggi adalah Kecamatan Tanjungsari (0,38). Namun terdapat beberapa kecamatan yang memiliki masalah terhadap akses fasilitas kesehatan yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Tajurhalang, Sukaraja, Citeureup, Kemang (prioritas 3). Kecamatan Tajurhalang dan Citeureup memiliki rasio sebesar 0,11 sehingga tergolong prioritas 3 dan memiliki rasio terendah dibandingkan kecamatan yang lain. Pemerintah berkewajiban menyediakan dan menambah akses fasilitas kesehatan yang memadai pada kelima kecamatan tersebut sehingga dapat mempermudah akses penduduk dan menurunkan angka kesakitan. Rumah tangga yang terdapat di Kabupaten Bogor sudah memiliki akses kesehatan yang baik. Hal ini ditunjukkan dari 42,5 % (17) kecamatan di Kabupaten Bogor tergolong dalam kategori sangat tahan pangan (prioritas 6). Tabel 21 menunjukkan bahwa tidak terdapat kecamatan di Kabupaten Bogor yang tergolong dalam kategori rawan pangan. Peta kerantanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase jumlah tenaga kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 9. Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 21.
47
Tabel 21 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses terhadap fasilitas kesehatan Prioritas 1 2 3 4 5 6 Jumlah
Kecamatan N 0 0 5 5 13 17 40
% 0 0 12,5 12,5 32,5 42,5 100
Suhartono (2010) menyatakan ketahanan pangan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi status kesehatan dan gizi. Status gizi anak ditentukan oleh asupan makanan dan penyakit yang dideritanya. Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang sangat baik digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan pangan di suatu wilayah. Masalah kekurangan gizi pada balita akan mempengaruhi tumbuh kembang balita tersebut. Balita yang mengalami kekurangan gizi kurang dan buruk akan memiliki resiko yang lebih besar terkena berbagai penyakit. Jika tidak segera ditangani, kekurangan gizi pada balita bahkan dapat menyebabkan resiko kematian. Tabel 22 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator balita underweight di Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kecamatan Jasinga Cigudeg Sukajaya Parung Panjang Tenjo Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Rumpin Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Ciomas Tamansari Dramaga
Persentase Balita Underweight 14,94 6,67 8,21 8,05 10,26 12,75 11,64 5,06 11,58 16,9 12,9 7,79 12,03 10,33 10,96 9,61
Prioritas 3 4 4 4 3 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 4
48
Tabel 22 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator balita underweight di Kabupaten Bogor (lanjutan) No 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Cisarua Megamendung Ciawi Caringin Parung Ciseeng Gn.Sindur Bojong Gede Tajur Halang Cibinong Sukaraja Citeureup Kemang Ranca Bungur Cigombong Cijeruk Babakan Madang Gn. Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjung Sari
Persentase Balita Underweight
Prioritas
7,96 11,40 7,21 9,21 8,72 10,94 6,98 7,95 8,27 6,58 7,45 5,29 8,5 12,42 4,78 6,95 13.72 4,22 9,71 15,11 4,65 7,85 7,88 11,39
4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 4 3
Tabel 22 menunjukkan persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator balita underweight. Berdasarkan Depkes (2000), prevalensi di kecamatan tersebut sudah tergolong kedalam masalah tingkat berat sehingga perlu dilakukan upaya untuk menurunkan nilai prevalensi balita underweight dengan cara meningkatkan status gizi balita. Terdapat 16 kecamatan yang tergolong kedalam prioritas 3 yang termasuk dalam masalah gizi buruk tingkat sedang. Sedangkan 24 kecamatan lainnya termasuk dalam prioritas 4 yang termasuk dalam masalah gizi tingkat ringan. Kecamatan Gunung Putri memiliki persentase berat badan balita di bawah normal terendah yaitu sebesar 4,22%.
49
Tabel 23 Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah gizi Masalah gizi Gizi buruk (severe underweight) Gizi kurang (moderate underweight) Gizi lebih (overweight)
Berdasarkan prevalensi Masalah Masalah Ringan Sedang
Bebas Masalah
Masalah Berat
< 1%
≥ 1%
< 5%
5 – 9,9%
10 – 19,9%
>20%
< 5%
5 – 9,9%
10 – 19,9%
>20%
Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes (2000) dalam Ali AR (2007)
Masalah kurang gizi terutama stunting pada usia dini dapat enghambat perkembangan fisik dan mental yang akhirnya mempengaruhi prestasi dan tingkat kehadiran anak di sekolah. Anak yang kurang gizi lebih cenderung untuk masuk sekolah lebih lambat dan lebih cepat putus sekolah. Dampak ke masa depannya adalah mempengaruhi potensi kemampuan mencari nafkah sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.Untuk dapat mempertahankan pencapaian MDGs mengenai prevalensi underweight dan menurunnya kasus stunting, maka intervensi gizi harus segera direncanakan dan dilakukan secara efektif pada semua tingkat mulai dari rumah tangga hingga daerah kabupaten setempat. Untuk mencegah dan mengatasi masalah kekurangan gizi secara efektif, perlu prioritas untuk kelompok rentan gizi, memahami penyebab kekurangan gizi dan mengatasi penyebabnya, serta meningkatkan komitmen dan investasi dalam bidang gizi. Peta kerantanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator balita underweight dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel
24
Persentase kecamatan underweight
Prioritas
berdasarkan
prioritas
indikator
balita
Kecamatan
1 2 3 4
N 0 0 16 24
% 0 0 40,0 60,0
Jumlah
40
100
Situasi Kerawanan Pangan Komposit Indeks kerawanan pangan komposit Kabupaten Bogor diperoleh dari gabungan sembilan indikator kerawanan pangan kronis, yaitu (1) ketersediaan
50
pangan, (2) persentase rumah tangga miskin, (3) persentase jalan rusak, (4) persentase rumah tangga tanpa akses listrik, (5) angka harapan hidup saat lahir, (6 balita underweight, (7) persentase penduduk buta huruf, (8) persentase rumah tangga tanpa askes air bersih, dan (9) rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk. Tabel 25 Situasi kerentanan terhadap kerawanan pangan Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Kecamatan Tenjo Parung panjang Jasinga Cigudeg Sukajaya Nanggung Rumpin Leuwiliang Leuwisadeng Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Gunung Sindur Parung Ciseeng Bojong Gede Tajurhalang Kemang Rancabungur Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Megamendung Cisarua Sukaraja Citeureup Babakan Madang Cibinong Gunung Putri Cileungsi Klapanunggal
Skor Komposit 0.34 0.30 0.45 0.33 0.45 0.48 0.51 0.36 0.40 0.31 0.25 0.31 0.28 0.05 0.46 0.34 0.24 0.18 0.34 0.35 0.32 0.37 0.14 0.26 0.25 0.36 0.30 0.32 0.41 0.04 0.01 0.31 0.23 0.59 0.16 0.76
Prioritas Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 3 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 6 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 4 Prioritas 6 Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 5 Prioritas 3 Prioritas 6 Prioritas 2
Keterangan Cukup tahan pangan Tahan pangan Cukup tahan pangan Cukup tahan pangan Cukup tahan pangan Agak rawan pangan Agak rawan pangan Cukup tahan pangan Cukup tahan pangan Tahan pangan Tahan pangan Tahan pangan Tahan pangan Sangat tahan pangan Cukup tahan pangan Cukup tahan pangan Tahan pangan Tahan pangan Cukup tahan pangan Cukup tahan pangan Cukup tahan pangan Cukup tahan pangan Sangat tahan pangan Tahan pangan Tahan pangan Cukup tahan pangan Tahan pangan Cukup tahan pangan Cukup tahan pangan Sangat tahan pangan Sangat tahan pangan Tahan pangan Tahan pangan Agak rawan pangan Sangat tahan pangan Rawan pangan
51
Tabel 25 Situasi kerentanan terhadap kerawanan pangan Kabupaten Bogor (lanjutan) No 37 38 39 40
Kecamatan Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjungsari
Skor Komposit 0.33 0.65 0.42 0.63
Prioritas Prioritas 4 Prioritas 2 Prioritas 4 Prioritas 3
Keterangan Cukup tahan pangan Rawan pangan Cukup tahan pangan Agak rawan pangan
Berdasarkan skor komposit indeks ketahanan pangan yang disajikan pada tabel 25, Kecamatan Klapanunggal (0,76) dan Sukamakmur (0,65) termasuk dalam prioritas 2 dan tergolong dalam kelompok daerah rawan pangan. Kecamatan Nanggung (0,48), Rumpin (0,51), Gunung Putri (0,59) dan Tanjungsari (0,63) termasuk dalam prioritas 3 dan tergolong kedalam daerah agak rawan pangan. Sebanyak 17 (42,5%) kecamatan di Kabupaten Bogor termasuk dalam prioritas 4 atau cukup tahan pangan. Sebanyak 12 (30%) kecamatan termasuk dalam prioritas 5 (tahan pangan) dan hanya 5 (12,5%) kecamatan yang termasuk dalam prioritas 6 atau daerah yang sangat tahan pangan. Kelima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Gunung Sindur (0,05), Tamansari (0,14), Sukaraja (0,04), Citeureup (0,01) dan Cileungsi (0,16). Kecamatan Citeureup dan Sukaraja memiliki skor komposit terendah (nilai skor komposit <0,1) dan merupakan daerah sangat tahan pangan di Kabupaten Bogor. Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Lampiran 10. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 26 dibawah ini. Tabel 26 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator komposit kerawanan pangan Prioritas 1 2 3 4 5 6 Jumlah
Kecamatan N 2 4 17 12 5 40
% 5,0 10,0 42,5 30,0 12,5 100
Uraian dibawah ini menyajikan data rekapitulasi prioritas kecamatan berdasarkan semua indikator kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis (Tabel 25 dan 26). Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa meskipun hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor sudah termasuk dalam kategori
52
cukup tahan pangan namun masih terdapat beberapa permasalahan utama yang harus ditangani oleh Kabupaten Bogor yaitu: • Prioritas pertama penanganan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor adalah dalam hal aspek ketersediaan pangan, yang terdapat di 21 kecamatan yaitu Kecamatan Ciomas, Dramaga, Cisarua, Megamendung, Ciawi, Caringin, Parung, Ciseeng, Gunung Sindur, Bojong Gede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Citeureup, Kemang, Rancabungur, Cigombong, Babakan Madang, Gunung Putri, Cileungsi dan Klapanunggal. Kecamatan ini bukan merupakan daerah sentra produksi pertanian di Kabupaten Bogor. • Prioritas kedua penanganan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor adalah dalam hal akses air bersih, yang terdapat di 10 kecamatan yaitu Kecamatan Jasinga,
Leuwiliang,
Rumpin,
Ciomas,
Dramaga,
Parung,
Ciseeng,
Tajurhalang, Babakan Madang dan Gunung Putri.. • Prioritas ketiga penanganan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor adalah dalam hal berat badan balita dibawah normal (terutama dengan prevalensi 10 - <20%), yang terdapat 16 kecamatan yaitu Kecamatan Jasinga, Tenjo, Nanggung, Leuwiliang, Rumpin, Pamijahan, Tenjolaya, Ciomas, Tamansari, Megamendung,
Ciseeng,
Kemang,
Rancabungur,
Babakan
Madang,
Klapanunggal. • Prioritas keempat penanganan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor adalah dalam hal kemiskinan, yang terdapat 4 kecamatan yaitu Jasinga, Cigudeg, Tenjo dan Nanggung. • Prioritas kelima penanganan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor adalah dalam hal angka harapan hidup, yang terdapat 26 kecamatan yaitu Jasinga, Cigudeg, Tenjo, Leuwiliang, Leuwisadeng, Rumpin, Cibungbulang, Pamijahan, Ciampea, Tenjolaya, Ciomas, Tamansari, Dramaga, Cisarua, Megamendung, Ciawi,
Caringin,
Gunung
Sindur,
Bojong
Gede,
Cibinong,
Sukaraja,
Rancabungur, Cigombong, Cijeruk, Babakan Madang,Cileungsi. • Prioritas keenam penanganan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor adalah dalam hal akses listrik, yang terdapat di 29 kecamatan yaitu Gunung Putri, Cileungsi,
Jasinga,
Cigudeg,
Parung
Panjang,
Tenjo,
Cibungbulang,
Pamijahan, Ciampea, Tenjolaya, Ciomas, Tamansari, Dramaga, Cisarua, Megamendung, Ciawi, Caringin, Parung, Ciseeng, Gunung Sindur, Bojong Gede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Citeureup, Kemang, Rancabungur, Cigombong, Cijeruk.
53
Prioritas permasalahann kerawanan pangan pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Lampiran 12. Jumlah kecamatan pada setiap indikator terdapat pada Tabel 27 dibawah ini. Tabel 27 Jumlah kecamatan pada setiap prioritas beserta indikator kerawanan pangan Indikator 1. Ketersediaan pangan 2. Persentase penduduk dibawah garis kemiskinan 3. Akses jalan (rusak ringan dan rusak berat) yang kurang memadai 4. Akses listrik 5. Angka harapan hidup 6. Berat badan balita dibawah normal 7. Penduduk buta huruf 8. Akses air bersih 9. Akses fasilitas kesehatan Komposit
1 21 0
2 2 2
3 2 0
Prioritas 4 5 6 4 4 8
6 5 26
Jumlah 40 40
11
2
2
2
11
12
40
1 0 0
1 0 0
1 0 16
2 0 24
6 26
29 14
40 40 40
0 6 0 0
0 10 0 2
0 12 5 4
0 4 5 17
0 3 13 12
40 5 17 5
40 40 40 40
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien Kerawanan pangan transien (sementara) dapat dibagi menjadi dua sub kategori menurut siklus, dimana terdapat suatu pola yang berulang terhadap kondisi rawan pangan, misalnya “musim paceklik” yang terjadi dalam periode sebelum panen, dan sementara yang merupakan hasil dari timbulnya suatu masalah jangka pendek seperti kekeringan dan banjir. Pada aspek kerentanan terhadap kerawanan pangan transien, kerawanan pangan dianalisa dari segi lingkungan hidup. Kerawanan terhadap kerawanan pangan transien dilhat dari indikator deforestasi hutan, penyimpangan curah hujan, bencana alam dan daeah puso. Data yang didapatkan adalah data bencana alam seperti banjir, angin puting beliung, longsor dan kebakaran. a. Bencana Alam Kerawanan pangan selalu terjadi di daerah yang rentan terhadap bencana alam. Kerentanan pangan (food vulnerability) terhadap bencana inilah yang menimbulkan kerawanan pangan transien yang pada akhirnya akan berdampak terhadap ketahanan pangan nasional. Bencana alam (banjir, kebakaran, angin kencang, dan lain-lain) yang terjadi di setiap kecamatan terdapat pada Tabel 28.
54
Tabel 28 Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Bogor tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Babakan Madang Bojong Gede Caringin Cariu Ciampea Ciawi Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunung Putri Gunung Sindur Jasinga Jonggol Kemang Klapanunggal Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung Nanggung Pamijahan Parung Parung Panjang Rancabungur Rumpin Sukajaya Sukamakmur Sukaraja Tajurhalang Tamansari Tanjungsari Tenjo Tenjolaya Jumlah
Tanah Longsor 0 0 4 0 2 2 0 0 7 4 6 0 2 4 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 3 1 2 0 0 0 0 1 0 4 0 1 0 0 0 44
Banjir
Kebakaran
1 0 0 0 0 0 3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 7
6 6 3 2 5 6 31 6 2 3 4 8 8 3 1 15 1 15 2 5 2 2 7 7 1 6 3 5 2 3 0 4 3 2 9 0 1 0 0 2 191
Angin Kencang 2 9 7 1 5 1 4 4 7 2 5 0 6 1 1 3 11 0 1 0 3 3 0 1 1 2 6 3 0 0 0 0 0 1 4 6 6 0 1 1 108
Lain-lain 1 0 7 10 0 1 0 0 2 0 0 1 2 0 1 8 3 0 0 3 4 0 0 0 8 1 0 2 0 2 1 0 5 0 6 0 0 0 9 0 77
55
Berdasarkan
tabel di atas, bencana alam yang terjadi di Kabupaten
Bogor yang paling banyak terjadi pada tahun 2011 adalah kebakaran dan angin kencang. Angka bencana kebakaran tertinggi dialami oleh Kecamatan Cibinong, Citeurep dan Gunung Putri. Kecamatan Cibinong memiliki angka bencana kebakaran tertinggi yaitu sebesar 31 kejadian sedangkan Citeureup dan Gunung Putri masing-masing memiliki angka yang sama yaitu sebesar 15 kejadian. Angka
bencana angin kencang tertinggi dialami oleh Kecamatan Dramaga
dengan angka sebesar 11 kejadian. b. Daerah Kekeringan Kekeringan
merupakan
salah
satu
bencana
alam
yang
dapat
menyebabkan suatau daerah terancam gagal panen. Kekeringan dapat dipengaruhi oleh faktor perubahan musim, iklim dan cuaca. Data kekeringan yang digunakan adalah tahun 2011. Persentase kecamatan yang mengalami kekeringan di Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 29. Perhitungan persentase daerah kekeringan yang dilakukan pada analisis kerawanan pangan transien dilakukan dengan cara membandingkan luas daerah kekeringan pada lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Bogor dengan jumlah total lahan sawah pada setiap kecamatan. Kekeringan terjadi di 13 kecamatan di Kabupaten Bogor. Kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Megamendung, Cisarua, Ciawi, Ciomas, Tamansari, Leuwiliang, Leuwisadeng, Nanggung, Rumpin, Klapanunggal, Citereup, Jasinga dan Cigudeg. Persentase kekeringan tertinggi terjadi di Kecamatan Klapanunggal yaitu sebesar 10,19% dengan luas lahan sawah yang mengalami kekeringan sebanyak 96 Ha.
Luas dan persentase
daerah kekeringan di Kabupaten Bogor selama tahun 2011 dapat dilihat pada Lampiran 11.
56
Tabel 29 Persentase daerah kekeringan di Kabupaten Bogor tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan Tenjo Parung Panjang Jasinga Cigudeg Sukajaya Nanggung Rumpin Leuwiliang Leuwisadeng Cibungbulang Pamijahan Ciampea Tenjolaya Gunung Sindur Parung Ciseeng Bojong Gede Tajur Halang Kemang Ranca Bungur Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Megamendung Cisarua Sukaraja Citeureup Babakan Madang Cibinong Gunung Putri Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjungsari
% daerah kekeringan 0,00 0,00 0,15 1,39 0,00 0,86 1,76 0,39 1,29 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 000 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,16 0,73 0,00 0,00 0,00 0,59 0,00 0,00 0,00 0,55 0,00 0,00 0,00 0,00 10,19 0,00 0,00 0,00 0,00
Kebijakan terkait Kerawanan Pangan Maxwell (2003) menyatakan bahwa kebijakan ketahanan pangan dimasa lalu hanya fokus terhadap masalah kelaparan, penyediaan pangan dan subsidi pangan. Oleh karena itu diperlukan perubahan dan pembaharuan dari kebijakan ketahanan pangan yang berlaku mengingat masalah kerawanan pangan merupakan salah satu urusan wajib pemerintah daerah, maka penanganan
57
masalah kerawanan pangan suatu wilayah dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang mendukung terselesaikannya masalah kerawanan pangan yang terjadi. Kebijakan penanganan masalah kerawanan pangan berperan dan berfungsi sebagai manajemen pencapaian ketahanan pangan sesuai dengan standar pelayanan minimal ketahanan pangan. Kebijakan penanganan masalah kerawanan pangan harus sesuai dengan visi dan misi Kabupaten Bogor. Visi Kabupaten Bogor tahun 2008-2013 adalah “terwujudnya masyarakat Kabupaten Bogor yang bertakwa, berdaya dan berbudaya menuju sejahtera”.Berdasarkan pernyataan visi tersebut, misi Kabupaten Bogor dijabarkan dalam tujuh misi sebagai berikut: 1. Meningkatkan
kesolehan
sosial
masyarakat
dalam
kehidupan
kemasyarakatan 2. Meningkatkan perekonomian daerah yang berdaya saing dengan titik berat pada revitalisasi pertanian dan pembangunan yang berbasis pedesaan 3. Meningkatkan infrastruktur dan aksesibilitas daerah yang berkualitas dan terintegrasi secara berkelanjutan 4. Meningkatkan pemerataan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan 5. Meningkatkan pelayanan kesehatan berkualitas 6. Meningkatkan
tata
kelola
pemerintahan
yang
baik
dan
kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah 7. Meningkatkan kerjasama pembangunan daerah Berdasarkan visi dan misi Kabupaten Bogor diketahui bahwa fokus utama pembangunan Kabupaten Bogor adalah pada bidang sosial budaya dan kehidupan beragama. Misi pemerintah Kabupaten Bogor juga relevan dengan misi pemerintah Jawa Barat yaitu meningkatkan kesolehan sosial masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan, meningkatkan pemerataan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan, serta mewujudkan sumberdaya manusia Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing. Berdasarkan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Bogor tahun 2008-2013 diketahui bahwa dalam penjabaran misi Kabupaten Bogor terkandung tujuan dan strategi yang terkait dengan penanganan masalah kerawanan pangan. Tujuan dalam RPJMD Kabupaten Bogor sudah mencakup semua indikator yang terdapat dalam KUKP (Kebijakan Umum Ketahanan Pangan) 2010-2014, dan tujuan dan sasaran yang terdapat dalam RPJMD Kabupaten Bogor sudah meliputi seluruh indikator dalam penanganan masalah kerawanan pangan.
58
Perbandingan antara program KUKP dan RPJMD mengenai masalah kerawanan pangan dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Perbandingan antara program KUKP dan RPJMD mengenai masalah kerawanan pangan Aspek 1. Ketersediaan pangan
KUKP 2010-2014 Peningkatan produksi dan produktivitas untuk swasembada komoditas pangan strategis (beras, jagung, kedelai, tebu, daging). Pemberian insentif sistem produksi meliputi subsidi input pertanian dan permodalan usaha pertanian. Pengembangan bibit unggul berkualitas. Pengendalian hama terpadu.
2. Akses pangan
Pengembangan cadangan dan lumbung pangan di setiap lapis pemerintahan: daerah dan desa. Pengembangan reforma agraria dengan menata kembali kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian. Peningkatan efektivitas program beras untuk keluarga miskinraskin. Penguatan kelembagaan di tingkat desa untuk membantu aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pangan strategis. Pengembangan pangan lokal untuk meningkatkan pendapatan RT dan daya beli masyarakat. Pengembangan (pembangunan dan rehabilitasi) sarana dasar, jalan desa dan jalan usahatani.
3. Pemanfaatan pangan
Perbaikan sistem komunikasi, informasi dan edukasi gizi. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga. Pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi. Pelestarian sumberdaya air.
RPJMD 2008-2013 Peningkatan produksi, produktivitas, distribusi dan konsumsi pangan daerah. Peningkatan infrastruktur sumberdaya air, waduk, dan irigasi yang optimal. Peningkatan produksi hasil pertanian dan kehutanan. Pemberdayaan penyuluh pertanian dan kehutanan.
Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan fakir miskin, penyandang cacat dan penyandang masalah sosial lainnya. Peningkatan cakupan pelayanan listrik pedesaan dan penerapan energi alternatif lainnya. Peningkatan infrastruktur terutama sarana jalan dan jembatan. Peningkatan cakupan layanan kesehatan dan gizi bagi masyarakat. Peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat. Peningkatan taraf pendidikan masyarakat dan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah.
Beberapa tujuan dan sasaran yang terkandung dalam RPJMD Kabupaten Bogor yang termasuk dalam kategori penanganan masalah kerawanan pangan adalah meningatkan produksi dan konsumsi pangan daerah, meningkatkan
59
aksesibilitas wilayah pedesaan, meningkatkan kesejahteraan fakir miskin, meningkatkan infrastruktur wilayah yang mampu mendukung aktivitas ekonomi, meningkatkan taraf pendidikan masyarakat, meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, meningkatkan cakupan pelayanan listrik pedesaan dan penerapan energi alternatif lainnya. Penanganan masalah kerawanan pangan harus didukung oleh seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait. SKPD yang terkait dalam penelitian analisis masalah kerawanan pangan ini adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Bina Marga dan Pengairan, Dinas Kesehatan dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Analisis konsistensi program tersebut dapat dilihat pada tabel 31 dibawah ini. Tabel 31 Analisis konsistensi renstra terkait kerawanan pangan Kebijakan Menangani kerawanan pangan kronis dan transien
Program KUKP 1
2
3
4
Program KUKP Pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi Pemantauan secara berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga, karena gagal panen dan paceklik Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga Pemanfaatan cadangan pangan pemerintah diseluruh lapisan untuk daoat menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi
Persentase kesesuaian renstra dengan KUKP Keterangan:
Renstra A
Renstra B
Program Renstra -
Program Renstra √
Renstra C Program Renstra √
√
√
-
√
-
-
√
-
-
3 75%
2 50%
1 25%
Renstra A: Dinas Pertanian dan Kehutanan Renstra B: Dinas Kesehatan Renstra C: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Tujuan dan strategi dalam RPJMD diterjemahkan dalam setiap program SKPD yang terkait yang tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra)
SKPD
terkait, kemudian dilakukan pemilihan program terkait penanganan masalah kerawanan pangan untuk mengetahui sejauh mana komitmen mengenai
60
pencapaian ketahanan pangan wilayah. Pemilihan program yang terkait penanganan masalah kerawanan pangan menggunakan KUKP 2010-2014 yang telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Kabupaten Bogor. Merujuk pada tabel 28, program SKPD yang paling mendekati acuan KUKP 2010-2014 adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan. Dinas Pertanian dan Kehutanan hanya mencantumkan 3 program dari 4 program yang terdapat dalam KUKP tentang penanganan kerawanan pangan. Program yang terdapat dalam Renstra Dinas Pertanian dan Kehutanan antara lain pemantauan perkembangan pola pangan, pemanfaatan lahan pekarangan dan pemanfaatan cadangan pangan. Dinas Kesehatan hanya mencantumkan 2 program penanganan kerawanan pangan yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan pemantauan perkembangan pola pangan. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya mencantumkan 1 program yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi. Rekomendasi Program Pencegahan dan Penanggulangan Kerawanan Pangan Berdasarkan hasil analisis terhadap tingkat kerawanan pangan di setiap kecamatan dan program yang telah dilakukan pemerintah maka dapat diberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Bogor untuk penanganan masalah pangan dalam usaha pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi di masa mendatang. Rekomendasi program yang dapat dilakukan antara lain: • Perlu ditetapkan prioritas terkait penanganan kerawanan pangan pada masing-masing rencana strategis SKPD yang memiliki tugas dan fungsi terkait masalah pencapaian ketahanan pangan. • Perlunya peningkatan kualitas pelayanan air bersih yang baik melalui kerjasama intensif antara PDAM (Perusahaan Air Minum Daerah) Kabupaten Bogor dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor . Hal ini ditunjukkan dari rendahnya akses air bersih rumah tangga di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor. • Peningkatan dan pengelolaan produksi hasil pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan yang belum diolah dan cocok untuk daerah pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Hal ini dilakukan karena angka ketersediaan pangan di Kabupaten Bogor dari segi produksi
61
sangat rendah sehingga dibutuhkan pengelolaan lebih lanjut. Program ini dapat dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan. • Penyuluhan mengenai pentingnya gizi balita untuk meningkatkan cakupan balita dengan berat badan normal yang dapat dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah Kabupaten Bogor diharapkan dapat dilaksanakan oleh dinas terkait dibantu oleh dinas-dinas yang terkait dengan pencapaian ketahanan pangan daerah sehingga pada tahun 2015 tidak terdapat kecamatan yang mengalami kerawanan pangan baik dari aspek ketersediaan pangan, aspek akses pangan maupun aspek pemanfaatan pangan.
62
SIMPULAN DAN SARAN KE KESIMPULAN Kesimpulan Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor sudah tergolong dalam kategori tahan pangan. Hal ini ditunjukkan dari skor komposit kerawanan pangan yang
diperoleh
hasil
bahwa
terdapat
6
kecamatan
yaitu
Kecamatan
Klapanunggal, Sukamakmur, Nanggung, Rumpin, Gunung Putri dan Tanjungsari yang tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 2-3) dan 34 kecamatan tergolong dalam kategori tahan pangan (prioritas 4-6). Berbagai tujuan dan sasaran telah dituangkan dalam RPJMD Kabupaten Bogor tahun 2008-2013 terkait dengan penanganan masalah kerawanan pangan. Renstra dinas yang digunakan pada analisis konsistensi renstra adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Kesehatan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dinas Pertanian dan Kehutanan hanya mencantumkan 3 program dari 4 program yang terdapat dalam KUKP tentang penanganan kerawanan pangan antara lain pemantauan perkembangan pola pangan, pemanfaatan lahan pekarangan dan pemanfaatan cadangan pangan.. Dinas Kesehatan hanya mencantumkan 2 program penanganan kerawanan pangan yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan pemantauan perkembangan pola pangan. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya mencantumkan 1 program yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi. Rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Bogor untuk penanganan masalah kerawanan pangan di masa mendatang antara lain diadakannya pemantauan jumlah rumah tangga miskin secara berkala untuk menghindari terjadinya kerawanan pangan di suatu kecamatan, peningkatan pelayanan dan kebutuhan air bersih yang cukup oleh PDAM, peningkatan dan pengelolaan produksi hasil pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan yang belum diolah, serta penyuluhan mengenai pentingnya gizi. Saran Apabila hendak dilakukan penelitian lanjutan mengenai kerawanan pangan pada tingkat desa, maka diperhatikan kehati-hatian dalam penggunaan formula atau rumus pengolahan data. Dinas Pertanian dan Kehutanan sebaiknya melengkapi 4 program penanganan kerawanan pangan karena Dinas Pertanian dan Kehutanan merupakan lembaga utama dalam penanganan kerawanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA
63
Apdita Frema. 2012. Analisis Sumberdaya Pangan di Kota Pagaralam Sumatera Selatan Tahun 2001-2010 [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Amin M, Suharno P, Saifullah. 1998. Konsep dan Kebijakan Pangan Masalah Rawan Pangan. Dalam F.G Winarno dkk (eds). Jakarta: Widiyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (hlm 715-729). Atmawikarta, Murniningtyas E. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi tahun 2006-2010. Dalam: Seminar Nasional Pangan dan Gizi Jakarta 2324 November 2006. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan DPP PERGIZI Pangan. Baliwati YF. 2011. Modul Pelatihan Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan Berbasis Ketersediaan Pangan Wilayah (NBM/PPH). Bogor: Lembaga Tata Kelola Ketahanan Pangan MWA. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun Anggaran 2011. Kabupaten Bogor: Bogor. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2006. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan (MAPAN). Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2010. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Badan Pusat Statistik RI. __________________. 2011. Inventarisasi Dampak Kekeringan tahun 2011. Kabupaten Bogor: Bogor. ________________________. Laporan Penuntasan Buta Aksara Kabupaten Bogor tahun 2011. Kabupaten Bogor: Bogor _______________. 2011. Profil Kependudukan Provinsi Jawa Barat Tahun 2011. Jawa Barat: Bandung. [DBMP] Dinas Bina Marga dan Pengairan. 2011. Laporan Kegiatan: Data Kondisi Jalan Kabupaten Bogor Status bulan Oktober-Desember 2011. Kabupaten Bogor: Bogor. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2005. Pedoman Operasional Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. _______________. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan.
64
_____________________. Kegiatan Operasional Pembangunan Ketahanan Pangan 2006-2009. Jurnal Gizi dan Pangan 1(2), 55-67. _______________. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. _______________. 2010. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. Febi Nesyi. 2011. Perkembangan Sumberdaya dan Kecukupan Pangan di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gibson. 2005. Principal of Nutrition Assessment. Oxford: Oxford University Press. Hardinsyah, Briawan D. 2001. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press. Herawati Tin, Basita Ginting & Asngari. 2011. Ketahanan Pangan Keluarga Peserta Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan. Jurnal Gizi dan Pangan, 4(3), 208-216. Kant Maya, Samiksha Singh. 2010. System Analysis of Food Security Situation in India. Journal of Food Security 1(1), 24-32. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2010. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jakarta: Peraturan Kementrian Pertanian. Kementrian Pertanian RI. Khudori. 2010. Kondisi Pertanian Pangan Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan 19(3), 211-232. Luciasari E. 2009. Analisis Kerawanan Pangan di Tingkat Kecamatan Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Maxwell S, Siater R. 2003. Development Policy Review “Food Policy Old and New”. Development Policy Review 21(5), 531-553. Nainggolan K. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan DPP PERGIZI Pangan. Praja HG. Analisis Realisasi Kebutuhan Pangan Berdasarkan Sumberdaya Pangan di Kabupaten Muara Enim Tahun 2004-2011 [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Purwantini Tri B, Mewa Ariani & Yuni Marisa. 2010. Analisis Kerawanan Pangan Wilayah dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Saifullah A. 2002. Badan Penyangga Kebijakan Pasar Hasil-hasil Pertanian dalam Usaha Menciptakan Ketahanan Pangan. Majalah Pangan, 38(9). Jakarta: Badan Urusan Logistik.
65
Simatupang P. 2003. Analisis Kebijakan, Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Analisis Kebijakan Pertanian 1(1), 15-35. Subagyo. 2012. Antisipasi Masalah Rawan Pangan di Kabupaten Tuban sebagai Prioritas Kedua Daerah Rawan Pangan di Provinsi Jawa Timur. Jurnal FISIP UNAIR 31(12), 1-14. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. _______. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Suhartono. 2010. Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan dalam Mendeteksi Kerawanan Pangan di Kecamatan Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan. Embryo, 1(2), 97-110. Suryana A. 2001. Critical Review on Food Security in Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan: Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Jakarta, 29 Maret 2001. Tanziha Ikeu, Hardinsyah & Mewa Ariani. 2010. Determinan Intensitas Kerawanan Pangan serta Hubungannya dengan Food Coping Strategis dan Tingkat Kecukupan Energi di Kecamatan Rawan dan Tahan Pangan. Jurnal Gizi dan Pangan, 4(1), 39-48. Timmer C peter, Walter P. Falcon, Scott R. Pearson.1983..Food Policy Analysis. Stanford University: USA.
66
LAMPIRAN
67
Lampiran 1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator ketersediaan pangan
Lampiran 2 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator perentase RT miskin Lampiran 2 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator perentase RT miskin
68
Lampiran 2 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator perentase RT miskin
69
Lampiran 3 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase RT tanpa akses listrik
70
Lampiran 4 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase jalan rusak
71
Lampiran 5 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase angka harapan hidup
72
Lampiran 6 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase balita underweight
73
Lampiran 7 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase penduduk buta huruf
74
Lampiran 8 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase RT tanpa akses air bersih
75
Lampiran 9 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator persentase jumlah tenaga kesehatan
76
Lampiran 10 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Kabupaten Bogor
77
Lampiran 11 Persentase daerah kekeringan di Kabupaten Bogor No
Kecamatan
Luas Daerah Kekeringan (Ha) 0
Luas Lahan Sawah (Ha) 1384
% daerah kekeringan 0.00
1
Tenjo
2
Parung Panjang
0
1485
0.00
3
Jasinga
3
2055
0.15
4
Cigudeg
30
2160
1.39
5
Sukajaya
0
1600
0.00
6
Nanggung
14
1625
0.86
7
Rumpin
42.4
2404
1.76
8
Leuwiliang
7
1792
0.39
9
Leuwisadeng
16
1244
1.29
10
Cibungbulang
0
1915
0.00
11
Pamijahan
0
3234
0.00
12
Ciampea
0
1611
0.00
13
Tenjolaya
0
1406
0.00
14
Gunung Sindur
0
315
0.00
15
Parung
0
288
0.00
16
Ciseeng
0
833
0.00
17
Bojong Gede
0
45
0.00
18
Tajur Halang
0
142
0.00
19
Kemang
0
592
0.00
20
Ranca Bungur
0
930
0.00
21
Dramaga
0
948
0.00
22
Ciomas
0.8
511
0.16
23
Tamansari
5
685
0.73
24
Cijeruk
0
721
0.00
25
Cigombong
0
653
0.00
26
Caringin
0
1414
0.00
27
Ciawi
5
846
0.59
28
Megamendung
0
632
0.00
29
Cisarua
0
264
0.00
30
Sukaraja
0
375
0.00
31
Citeureup
2
361
0.55
32
Babakan Madang
0
256
0.00
33
Cibinong
0
86
0.00
34
Gunung Putri
0
46
0.00
35
Cileungsi
0
763
0.00
36
Klapa Nunggal
96
942
10.19
37
Jonggol
0
3535
0.00
38
Sukamakmur
0
3932
0.00
39
Cariu
0
2610
0.00
40
Tanjungsari
0
2445
0.00
78
Lampiran 12 Prioritas permasalahan kerawanan pangan pada tiap kecamatan di Kabupaten Bogor No
Kecamatan
1
Jasinga
Prioritas Masalah Akses jalan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
2
Cigudeg
Akses jalan, akses air bersih
3
Sukajaya
Kemiskinan, akses jalan
4
Parung Panjang
Ketersediaan pangan, akses jalan
5
Tenjo
Akses jalan, prevalensi balita underweight
6
Nanggung
Akses jalan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
7
Leuwiliang
Akses jalan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
8
Leuwisadeng
Akses air bersih
9
Rumpin
Akses jalan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
10
Cibungbulang
Akses air bersih, prevalensi balita underweight
11
Pamijahan
Akses air bersih, prevalensi balita underweight
12
Ciampea
Ketersediaan pangan, akses air bersih
13
Tenjolaya
Kemiskinan, akses jalan, prevalensi balita underwight
14
Ciomas
Ketersediaan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
15
Tamansari
Ketersediaan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
16
Dramaga
Ketersediaan, akses air bersih,
17
Cisarua
Ketersediaan, akses air bersih,
18
Megamendung
Ketersediaan, akses jalan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
19
Ciawi
Ketersediaan, akses air bersih,
20
Caringin
Ketersediaan, akses jalan, akses air bersih
21
Parung
Ketersediaan, akses air bersih
22
Ciseeng
Ketersediaan, akses jalan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
23
Gn.Sindur
Ketersediaan, akses tenaga kesehatan
24
Bojong Gede
Ketersediaan, akses jalan,
25
Tajur Halang
Ketersediaan, akses air bersih, akses tenaga kesehatan,
26
Cibinong
Ketersediaan, akses air bersih
27
Sukaraja
Ketersediaan,akses tenaga kesehatan,
28
Citeureup
Ketersediaan, akses tenaga kesehatan,
29
Kemang
Ketersediaan, akses air bersih, akses tenaga kesehatan,
30
Ranca Bungur
Ketersediaan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
31
Cigombong
Ketersediaan, akses air bersih
32
Cijeruk
Ketersediaan akses air bersih
33
Babakan Madang
Ketersediaan, akses air bersih, prevalensi balita underweight
34
Gn. Putri
Ketersediaan, akses air bersih
35
Cileungsi
Ketersediaan, akses jalan,
36
Klapa Nunggal
Ketersediaan, akses jalan, akses listrik, prevalensi balita underweight
37
Jonggol
Akses air bersih
38
Sukamakmur
Akses jalan, akses listrik,
39
Cariu
-
40
Tanjung Sari
Akses listrik, akses air bersih, prevalensi balita underweight