HUBUNGAN PEMANFAATAN MEDIA KOMUNIKASI PRIMA TANI DAN AKSESIBILITAS KELEMBAGAAN TANI DENGAN PERSEPSI PETANI TENTANG INTRODUKSI TEKNOLOGI AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN (Kasus di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan)
Yusuf Sapari
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “Hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan (Kasus di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Agustus 2008
Yusuf Sapari NIM I353060031
xi
ABSTRACT SAPARI, Y. Prima Tani Communications Media Uses Relation and Accessibility of Farmer Institution with Farmer Perception about Technology Introduction of Rural Agribusiness Industrial (Case in West Java and South Sulawesi). Under direction of AMIRUDDIN SALEH and MAKSUM. The objectives of research is to identify the relation among usage of Prima Tani communication media and accessibility of the farmer institution withperception of farmer about the rural industrial agribusiness introduction tecnology. This research aims to identify the personal characteristic, usage of Prima Tani communication media and accessibility of the farmer institution influencing the perception of farmer related the technology introduction of Rural Agribusiness Industrial in West Java and South Sulawesi province. This research uses the description correlation survai design and 96 responden are selected by the nonproporsionate cluster random sampling technique. Analyzing data uses rank Spearman and chi-square statistical test. The result shows that the nonformal education has significant correlation to the perception of farmer cooperator in West Java about introduction technology of Rural Agribusiness Industrial on biophysic, social and economic aspect. Age, formal and nonformal eduction has negative significant correlation to perception noncooperator farmer in West Java on social and economic aspect. In South Sulawesi, formal education and experience of farm has significant correlation about cooperator farmer perception with technology introduction Rural Agribusiness Industrial on economic aspect, average income and land use field has significant correlation on social aspect. Average income and land use field has negative significant correlation with noncooperator farmer perception on social aspect, land use field has significant correlation on economic aspect. In West Java, spread out technology has correlation with perception of cooperator farmer on biophysic and economic aspect. Prima Tani media communications has significant correlation with perception of cooperator farmer on biophysic and social aspect. Clinic of agribusiness has significant correlation with cooperator farmer perception on biophysic and economics aspect. Spread out technological has significant correlation with perception noncooperator farmer in West Java on social aspect, Prima Tani media communications has negative significant correlation on social aspect, clinic of agribusiness has significant correlation with perception noncooperator farmer on economic aspect. In South Sulawesi, spead out technological has significant correlation with perception cooperator farmer in biophysic and social aspect. Prima Tani media communications and clinic of agribusiness has significant correlation with perception cooperator farmer on social and economic aspect. Prima Tani media communication hasn’t correlation with noncooperator farmer perception in biophysic, social and economic aspect. In West Java, benefit of farmer group has significant correlaion with perception of cooperator farmer on biophysic, social and economic aspect. Advantage of group farmer has significant correlation with perception cooperator farmer on biophysic and social aspect. Perception of noncooperator farmer on social and economic aspect has significant correlation with benefit of farmer group. Advantage of group farmer has significant correlation with perception of noncooperator farmer on social aspect. In South Sulawesi, benefit of farmer group has significant correlation on social aspect of cooperator farmer perception, advantage of gorup farmer has significant correlation with cooperator farmer perception on biophysic aspect. Accessibility of farmer institution hasn’t significant correlation with noncooperator farmer perception in biofisic, social and economic aspect. Key words: Prima Tani, characteristic personal, accessibility, communication media
xi
RINGKASAN Sapari, Y. Hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan (Kasus di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh AMIRUDDIN SALEH dan MAKSUM. Perkembangan pembangunan nasional dan perubahan lingkungan strategis yang terjadi pada akhir-akhir ini mendorong Departemen Pertanian untuk terus meningkatkan peran serta yang lebih proaktif dan sistematis, khususnya mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat tani, umumnya memecahkan berbagai kendala pembangunan pertanian. Salah satu aktivitas Departemen Pertanian yang diprakarsai oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Program Prima Tani bertujuan untuk mempercepat proses diseminasi dan adopsi teknologi inovatif terutama dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian untuk mengatasi kebuntuan program sebelumnya. Adanya Prima Tani bertujuan untuk memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna secara spesifik pengguna (petani) dan di lokasi. Namun demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan masih ada perbedaan persepsi di antara petani dalam menterjemahkan program dan kegiatan Prima Tani. Adanya perbedaan persepsi tersebut menyebabkan pelaksanaan program Prima Tani terutama dalam penerapan dan aplikasinya di lapangan banyak mengalami hambatan. Adanya pemanfaatan media Prima Tani seperti gelar teknologi, klinik agribisnis, poster, leaflet, majalah Prima Tani, demplot dan lainnya serta aksesibilitas lembaga tani diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman petani serta mengurangi perbedaan persepsi antara petani dan pengelola Prima Tani, sehingga berhasil baik di lapangan. Secara umum penelitian ini disesuaikan dengan kedua kondisi wilayah yang berbeda baik dilihat dari aspek karakteristik petani, biofisik, aspek sosial maupun aspek teknis di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan persepsinya tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan, 2) menganalisis hubungan antara pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan, 3) menganalisis hubungan antara aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi petani tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan. Penelitian dirancang sebagai survai deskriptif korelasional dengan sampel 96 responden petani kooperator dan nonkooperator di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel dengan menggunakan nonproporsionate cluster random sampling. Analisa statistik dengan frekuensi, prosentase, persentil, rataan skor dan total rataan skor. Untuk melihat hubungan antar peubah menggunakan chi-square dan rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik petani kooperator Jawa Barat yaitu pendidikan nonformal berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Karakteristik pendidikan formal berkorelasi nyata negatif (p<0,05) dan pendidikan nonformal berkorelasi sangat nyata negatif (p<0,01) dengan persepsi petani nonkooperator Jawa Barat pada aspek sosial. Umur
xi
berkorelasi nyata negatif (p<0,05) dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek ekonomi. Untuk petani kooperator di Sulawesi Selatan terlihat bahwa pendidikan formal dan pengalaman bertani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya pada aspek ekonomi. Pendapatan dan luas lahan garapan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator pada aspek sosial. Sedangkan pendapatan berkorelasi nyata negatif (p<0,05) dan luas lahan garapan berkorelasi sangat nyata negatif (p<0,01) dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek sosial serta luas lahan garapan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani nonkooperator Sulawesi Selatan pada aspek ekonomi. Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani terutama gelar teknologi dan klinik agribisnis berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator Jawa Barat pada aspek biofisik dan ekonomi. Untuk media komunikasi lainnya terlihat berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi petani kooperator Jawa Barat pada aspek biofisik dan berkorelasi nyata (p<0,05) pada sosial. Sedangkan gelar teknologi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani nonkooperator Jawa Barat pada aspek sosial, klinik agribisnis berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek ekonomi. Sedangkan pemanfaatan media komunikasi lainnya berkorelasi sangat nyata negatif (p<0,01) dengan persepsi petani nonkooperator Jawa Barat pada aspek sosial. Berbeda kondisi di Sulawesi Selatan, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani terutama gelar teknologi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator pada aspek biofisik dan sosial. Klinik agribisnis berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi petani kooperator pada aspek ekonomi dan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator pada aspek sosial. Sedangkan, media komunikasi lainnya berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi petani kooperator pada aspek sosial dan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator pada aspek ekonomi. Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan tidak berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Aksesibilitas kelembagaan tani di Jawa Barat terutama manfaat adanya kelompok berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator pada aspek ekonomi dan sosial serta berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan persepsinya pada aspek biofisik. Keuntungan adanya kelompok tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator pada aspek biofisik dan sosial. Sedangkan aksesibilitas kelembagaan tani terutama manfaat adanya kelompok tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi petani nonkooperator Jawa Barat pada aspek sosial, berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya pada aspek ekonomi. Keuntungan adanya kelompok tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya pada aspek sosial. Berbeda dengan Jawa Barat, pada petani kooperator di Sulawesi Selatan aksesibilitas kelembagaan tani terutama manfaat adanya kelompok tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan petani kooperator pada aspek sosial. Keuntungan adanya kelompok tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator pada aspek biofisik. Sedangkan, aksesibilitas kelembagaan tani tidak berkorelasi nyata (p>0,05) dengan persepsi petani nonkooperator Sulawesi Selatan pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Saran yang diberikan hasil penelitian: 1) peran media komunikasi lain, gelar teknologi dan klinik agribisnis perlu ditingkatkan kuantitasnya dan berorientasi
xi
kepada kebutuhan petani lokal spesifik, 2) pelatihan dan sekolah lapang pertanian bagi petani perlu ditingkatkan sebagai upaya meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknologi introduksi yang direkomendasikan, 3) peran dan keberadaan kelompok tani dan gapoktan perlu dijabarkan mengenai tugas, fungsi dan manfaatnya bagi anggota melalui pertemuan kelompok, pembagian tugas, penerbitan brosur dan lainnya. Kata – kata kunci: Prima Tani, karakteristik petani, media komunikasi, aksesibilitas
xi
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang - Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
xi
HUBUNGAN PEMANFAATAN MEDIA KOMUNIKASI PRIMA TANI DAN AKSESIBILITAS KELEMBAGAAN TANI DENGAN PERSEPSI PETANI TENTANG INTRODUKSI TEKNOLOGI AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN (Kasus di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan)
YUSUF SAPARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
xi
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan (Kasus di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan ) Nama : Yusuf Sapari NIM : I 353060031 Program studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr.Ir. H.Amiruddin Saleh, M.S. (Ketua)
Drs. Maksum, M.Si (Anggota)
Diketahui,
Koordinator Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Prof. Dr.Ir.H.Sumardjo, M.S.
Tanggal Ujian: 19 Agustus 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir.H. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal lulus:
xi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan segala karunia dan hidayah-Nya tesis ini bisa diselesaikan dengan lancar. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Prima Tani dengan judul Hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan: Kasus di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, M.S. dan Drs. Maksum, M.Si selaku pembimbing yang dengan sabar membimbing dan memberi masukan yang berarti selama penyusunan proposal penelitian hingga tesis selesai. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, M.S. selaku Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, yang telah memberikan dukungan morilnya untuk menyelesaikan tesis ini. 3. Bapak Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA, selaku dosen penguji luar yang telah memberikan masukan dan saran bagi perbaikan tesis ini. 4. Staff administrasi Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan khususnya Mba Lia Mulyaningsih, A.Md, Bapak Jaenudin dan Bapak Komar yang dengan ikhlas dan tulus membantu penulis dalam kelancaran administrasi selama studi di Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 5. Panitia Sidang draft tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kelancaran dalam proses pembuatan sampai sidang tesis dilakukan. 6. Masyarakat Desa Jatiwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat dan Desa Sapanang, Kabupaten Pangkep dan Desa Kamanre, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan yang telah menerima penulis untuk melakukan studi di desa tersebut. 7. Kepala BPTP Jawa Barat dan Kepala BPTP Sulawesi Selatan, Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan pengelola Prima Tani di lokasi penelitian yang telah memberi ijin dan informasi yang sangat berarti saat pengumpulan data dilakukan penulis. 8. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan angkatan 2006.
xi
9. Kepada Istriku, Windyaningsih, A.Ma dan Anakku, Nabila Dzatihanani Yusuf yang telah memberi dukungan baik materi dan moril guna menyelesaikan tesis ini. 10. Kepada (Alm) Saleh Wiraatmadja dan Ny. Kanaah, yang turut mendoakan dan memberi nasehat kepada penulis selama kuliah di Pascasarjana IPB. 11. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada program KKP3T yang telah turut membantu studi penulisan tesis ini di Pascasarjana IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran demi kesempurnaan ini masih penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Agustus 2008
Yusuf Sapari
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 08 April 1973, putra dari (Alm) Saleh Wiraatmadja dan Ny. Kana’ah. Penulis merupakan putra keenam dari enam bersaudara. Tahun 1997 penulis lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, tahun 2006 lulus seleksi masuk sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pada tahun 1999, Penulis menikah dengan Windyaningsih, A.Ma dan dikaruniai seorang putri, Nabila Dzatihanani Yusuf. Di samping sebagai dosen tetap pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Cirebon, Penulis berpartisipasi aktif dalam tim program KKP3T yang diselenggarakan Departemen Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan IPB dalam rangka penulisan tesis.
xi
ABSTRACK Sapari, Y. Hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi dan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan. (Kasus Di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan). Dibawah bimbingan Amiruddin Saleh dan Maksum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi dam Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik personal, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan aksesibilitas kelembagaan tani mempengaruhi persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan di provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Penelitian ini didesain dengan menggunakan survai deskripsi korelasi, menggunakan metode teknik sampling acak kluster nonproporsional sebanyak 96 orang responden. Analisis korelasi menggunakan uji rank Spearman dan Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan nonformal berhubungan nyata dengan persepsi petani kooperator di Jawa Barat dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Umur, pendidikan formal dan nonformal berhubungan nyata negatif dengan persepsi petani nonkooperator Jawa Barat dengan persepsinya pada aspek sosial dan ekonomi. Di Sulawesi Selatan, pendidikan formal dan pengalaman tani berhubungan nyata dengan persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek ekonomi, pendapatan dan luas lahan garapan berhubungan nyata dengan persepsinya pada aspek sosial. Pendapatan dan luas lahan garapan berhubungan nyata negatif dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek sosial, luas lahan garapan berhubungan nyata dengan persepsinya pada aspek ekonomi. Di Jawa Barat, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani terutama gelar teknologi dan klinik agribisnis berhubungan nyata dengan persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik dan ekonomi. Media komunikasi lainnya berhubungan dengan persepsinya pada aspek biofisik dan sosial. Sedangkan gelar teknologi dan media komunikasi lainnya berhubungan nyata dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek sosial, klinik agribisnis berhubungan dengan persepsinya pada aspek ekonomi. Di Sulawesi Selatan, media komunikasi lainnya dan klinik agribisnis berhubungan nyata dengan persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek sosial dan ekonomi. Gelar teknologi berhubungan nyata dengan persepsinya pada aspek biofisik dan sosial. Sedangkan pemanfaatan media komunikasi Prima Tani tidak berhubungan nyata dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Di Jawa Barat, aksesibilitas kelembagaan tani terutama manfaat adanya kelompoktani berhubungan nyata dengan persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Keuntungan adanya kelompoktani berhubungan nyata dengan persepsinya pada aspek biofisik dan sosial. Sedangkan aksesibilitas kelembagaan tani terutama manfaat adanya kelompoktani berhubungan nyata dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek
xi
sosial dan ekonomi. Keuntungan adanya kelompoktani berhubungan nyata dengan persepsinya pada aspek sosial. Di Sulawesi Selatan, aksesibilitas kelembagaan tani terutama manfaat adanya kelompoktani berhubungan sangat nyata dengan persepsi petani kooperator pada aspek sosial, keuntungan adanya kelompoktani berhubungan nyata dengan persepsinya pada aspek biofisik. Sedangkan aksesibilitas kelembagaan tani tidak berhubungan nyata dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Kata kunci: Prima Tani, karakteristik personal, aksesibilitas kelembagaan tani dan media komunikasi
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………......
xiv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………..
xv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xvi
PENDAHULUAN ……………………………………………………………. Latar Belakang Penelitian ……………………………………………... Rumusan Masalah Penelitian................................................................... Tujuan Penelitian...................................................................................... Kegunaan Penelitian................................................................................. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ......................................................... Kerangka Pemikiran ............................................................................ Hipotesis ..............................................................................................
1 1 4 5 6 6 7 7 9
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………. Program Prima Tani……………………………………………………. Karakteristik Personal………………………………………………….. Aksesibilitas Kelembagaan Tani……………………………………….. Pemanfaatan Media Komunikasi……………………………………….. Persepsi…………………………………………………………………. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi…………………………… Komunikasi……………………………………………………………... Introduksi Teknologi ...………………………………………………… Adopsi Introduksi Teknologi ...………………………………………… Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan.............................. Implementasi Model Agribisnis Industrial Pedesaan.......................... Karakteristik Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan............... Elemen dalam Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan............. Penumbuhan Keterkaitan Antar Elemen dalam Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan............................................................
10 10 11 14 16 23 26 27 31 33 36 38 39 40
METODE PENELITIAN……………………………………………………… Desain Penelitian……………………………………………………….. Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………... Populasi………………………………………………………………… Sampel Penelitian………………………………………………………. Data dan Instrumentasi…………………………………………………. Data…………………………………………………………………... Instrumentasi………………………………………………………… Definisi Operasional……………………………………………………. Karakteristik Personal…………..…………………………………... Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani...................................... Aksesibilitas Kelembagaan Tani…………………..…………….….. Persepsi Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan.......…
43 43 43 44 44 45 45 46 46 46 47 47 48
xii
41
Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi………………………………... Validitas Instrumen…………………………………………………. Reliabilitas Instrumen……………………………………….………. Pengumpulan data………………………………………………………. Analisis Data…………………………………………………………….
48 48 49 50 51
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN……………………………… Gambaran Umum Desa Jatiwangi Kabupaten Garut, Jawa Barat…….... Gambaran Umum Desa Citarik Kabupaten Karawang, Jawa Barat……. Gambaran Umum Kelurahan Sapanang Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan………………………………………………………………….. Gambaran Umum Desa Kamanre Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan……...............................................................................................
53 53 55
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………….. Karakteristik Personal Responden……………………………………… Umur…………………………………………………………………. Pendidikan Formal…………………………………………………… Pendidikan Nonformal……………………………………………….. Pendapatan…………………………………………………………… Pengalaman Bertani………………………………………………….. Luas Lahan Garapan…………………………………………………. Status Lahan Garapan……………………………………………....... Status dalam Kelompok……………………………………………… Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani…………………………... Gelar Teknologi……………………………………………………… Klinik Agribisnis……………......…………………………………… Media Komunikasi Lainnya................................................................. Aksesibilitas Kelembagaan Tani……………………………………….. Persepsi Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan………… Hubungan Karakteristik Petani dengan Persepsi Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan…………………………………………. Hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dengan Persepsi Petani tentang Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan…………................................................................................... Hubungan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan…...
61 61 61 62 64 65 66 68 69 69 71 71 74 78 81 84
SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………... Simpulan………………………………………………………………... Saran…………………………………………………………………….
114 114 115
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. LAMPIRAN…………………………………………………………………...
116 122
xiii
57 59
89
98 107
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Populasi dan sampel penelitian ...………………….…………………….. 44
2.
Karakteristik responden………………………. …………………………
64
3.
Rataan skor pemanfaatan media komunikasi Prima Tani………………..
72
4.
Rataan skor aksesibilitas kelembagaan tani...……………………………. 83
5.
Rataan skor persepsi petani tentang introduksi teknologi AIP ..................
6.
Hubungan karakteristik petani dengan persepsinya tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan…………................................... 97 Hubungan pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani tentang intoduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan ........... 106 Hubungan aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi petani tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan……………. 113
7. 8.
xiv
87
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Kerangka Berpikir Penelitian Keterkaitan antara Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan………………………………………………………………...
9
2.
Model Komunikasi Linier .......................................................................
29
3.
Jaringan Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan………………… 41
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Hasil Uji Reliabilitas …………………………………………………….
123
2.
Kuesioner Penelitian ……………………………………………………..
124
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami perubahan yang pesat. Berbagai terobosan yang inovatif di bidang pertanian telah dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat dengan skala besar dan harga terjangkau. Berbagai program telah dilakukan seperti Padi Sentra dan Demonstrasi Massal. Di era Orde Baru, pemerintah telah melakukan beberapa program terarah dan terpadu melalui badan penelitian dan pengkajian pertanian yang bekerjasama dengan institusi luar seperti IRRI (International Rice Research Institute) dari Philipina telah menghasilkan program baru seperti Bimas, Inmas, Supra Insus dan varietas unggul padi. Selain kajian tentang varietas unggul dikenalkan pula pola usahatani dengan nama Panca Usaha Tani meliputi penggunaan bibit, olah tanah, pupuk, Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan pengairan. Setelah program Pasca Usaha Tani berjalan, kemudian Badan Litbang Pertanian menggulirkan program Sapta Usaha Tani yang merupakan perpaduan Panca Usaha Tani ditambah dengan panen dan pasca panen sehingga di tahun 1984 Indonesia telah mencapai swasembada beras (Deptan, 2006). Keberhasilan dalam swasembada beras, tidak terlepas dari adanya dukungan teknologi pertanian yang diciptakan dan dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Perkembangan selanjutnya terjadi perubahan di berbagai sektor, termasuk dalam penerapan teknologi oleh petani. Beberapa faktor yang menghambat kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian cenderung lambat. Menurut Suryana (2005) tingkat adopsi informasi dan teknologi kepada petani kian lambat dan menurun. Segmen rantai pasokan inovasi pada subsistem penyampai (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem) merupakan bottleneck yang menyebabkan lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian kepada masyarakat. Memperhatikan berbagai kendala yang ada selama ini, Badan Litbang Pertanian telah banyak menghasilkan berbagai program di bidang pertanian yang bertujuan untuk membantu petani dalam meningkatkan hasil pertaniannya. Salah satu
2
program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang disingkat Prima Tani. Program Prima Tani bertujuan untuk mempercepat proses diseminasi dan adopsi teknologi inovatif terutama yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian sebagai alternatif pemecahan dalam mengantisipasi hambatan dan kebuntuan program-program pertanian sebelumnya yang masih perlu kaji ulang. Adapun tujuan lain program Prima Tani adalah memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna secara spesifik untuk pengguna terutama petani dan lokasi. Tujuan terakhir dari Prima Tani adalah mempercepat pencapaian kesejahteraan petani, melahirkan sistem pertanian dan lingkungan. Di sisi lain dengan keberadaan program Prima Tani, maka fungsi BPTP membantu untuk mempercepat alih teknologi kepada pengguna dan penyampaian umpan balik bagi penajaman program pengkajian pertanian wilayah maupun nasional. Program pengkajian diarahkan kepada pemahaman proses difusi dan adopsi teknologi pertanian serta menganalisis metode komunikasi dalam alih teknologi pertanian. Sedangkan analisis metode komunikasi dalam alih teknologi pertanian mencakup aspek-aspek efektif dan efisien dalam percepatan alih, difusi dan adopsi teknologi pertanian, peningkatan pelayanan dan bimbingan teknis jaringan informasi dan kecepatan mengakses informasi baik bagi pengambil kebijakan atau pengguna lain khususnya petani untuk mendapatkan informasi lengkap. Salah satu dari pelaksanaan program Prima Tani khusus di lokasi, Badan Litbang telah menyiapkan perangkat model percontohan laboratorium Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) yang berfungsi memadukan sistem inovasi teknologi dan kelembagaan pedesaan. Di dalam laboratorium tersebut, dikembangkan model interaksi antara peneliti, penyuluh pertanian, petani dan praktisi agribisnis serta pengelola pendukung agribisnis sehingga mereka dapat berkomunikasi langsung secara tatap muka untuk membahas dan mengembangkan AIP di lokasi kegiatan Prima Tani. Dengan demikian, fungsi AIP dapat menjembatani segala keinginan dan kebutuhan petani di lapangan dalam menerapkan teknologi yang dianjurkan oleh program Prima Tani.
3
Namun demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan masih ada perbedaan persepsi di antara para pelaksana terutama para petani dalam menterjemahkan program dan kegiatan Prima Tani. Keadaan tersebut tidak dapat dipungkiri, karena perbedaan persepsi pada dasarnya adalah kurangnya informasi atau pengetahuan tentang program tersebut. Sebagaimana dikemukakan Lionberger dan Gwin (1982) bahwa sering terjadi masalah dalam komunikasi interpersonal yaitu adanya perbedaan persepsi di antara pemberi dan penerima pesan dari suatu objek atau peristiwa, penggunaan bahasa yang bersifat abstrak, adanya penggunaan kata-kata atau bahasa yang bersifat emosional, komunikator terlalu mendominasi jalannya komunikasi, kurangnya kredibilitas sumber dan seringkali komunikator hanya menempatkan kepentingannya sendiri. Adanya perbedaan persepsi tersebut menyebabkan pelaksanaan program Prima Tani terutama dalam penerapan dan aplikasinya di lapangan banyak mengalami hambatan. Hambatan ini akan mengganggu jalannya pelaksanaan program Prima Tani di lokasi terutama kepada petani ketika menerapkan program Prima Tani tersebut. Adanya pemanfaatan media Prima Tani seperti leaflet, poster, majalah Prima Tani, demplot dan lainnya diharapkan mampu menambah pengetahuan dan pemahaman petani sehingga dapat mengurangi perbedaan persepsi di antara petani dan pengelola Prima Tani di lapangan. Dengan demikian, pemanfaatan media Prima Tani dan aksesibilitas kelembagaan tani yang ada dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan petani didalam menerapkan program Prima Tani pada usahataninya. Secara umum penelitian ini disesuaikan dengan kedua kondisi wilayah yang berbeda baik dilihat dari aspek karakteristik petani, biofisik, aspek sosial maupun aspek teknis di lapangan. Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, maka pelaksanaan program Prima Tani terutama di wilayah Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan hasilnya akan dapat dilihat melalui penelitian ini. Selanjutnya penelitian ini ingin melihat bagaimana tingkat persepsi petani di provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan dalam menerapkan teknologi introduksi khususnya pelaksanaan program Prima Tani dalam kegiatan usahataninya. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian khusus mengenai pemanfaatan media Prima Tani
4
dan aksesibilitas lembaga tani oleh petani kooperator dan petani nonkooperator serta bagaimana persepsinya tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan di provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan dalam menerapkan teknologi di kegiatan usahataninya. Rumusan Masalah Penelitian Penerapan teknologi introduksi dalam program Prima Tani sebagian besar telah dilaksanakan dan masih disosialisasikan ke beberapa daerah yang telah melaksanakan program pertanian sebelumnya seperti Bimas, Inmas, Supra Insus, Sapta Usaha Tani. Secara teknis di lapangan berbagai teknologi introduksi usahatani baik padi, hortikultura, perkebunan dan ternak yang telah diperkenalkan kepada petani dan kelompoknya oleh penyuluh atau pemandu tidak semuanya dapat diterapkan dalam usahataninya. Penerapan terhadap adopsi teknologi introduksi banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial-budaya, faktor ekonomi dan faktor biofisik. Faktor penghambat pada aspek sosial-budaya petani lebih banyak bertumpu kepada karakteristik petani dan kelembagaan tani yang belum ada atau sudah ada tetapi tidak berjalan. Perilaku komunikasi petani untuk mendapatkan informasi yang benar dan jelas mengenai adopsi teknologi introduksi juga perlu dilakukan penelitian. Sedangkan dalam adopsi teknologi introduksi lebih banyak bertumpu kepada suatu ide, penerapan atau praktek, teknologi atau sesuatu hal yang dianggap baru oleh seseorang (Rogers, 2003). Menurut teori proses difusi inovasi dalam perspektif pengguna merupakan teori konvensional dalam pengambilan keputusan. Proses ini banyak kelemahannya yaitu: 1) proses tersebut selalu diakhiri dengan keputusan mengadopsi padahal faktanya mungkin saja diakhiri dengan penolakan, 2) kelima tahap proses adopsi inovasi tidak selalu dilalui berurutan atau tahapan tertentu akan dilewati, 3) proses tersebut jarang berakhir dengan adopsi (Havelock, 1971). Sehingga dalam keputusan adopsi teknologi introduksi Prima Tani ini, petani diharapkan dapat menerima secara cepat serta mampu menerapkannya sesuai anjuran yang diberikan oleh petugas. Keputusan adopsi teknologi introduksi dalam program Prima Tani diharapkan berpengaruh terhadap pengetahuan petani mengenai pentingnya teknologi introduksi, yaitu adanya keterlibatan di dalam melaksanakan program tersebut.
5
Secara singkat dari uraian di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah penelitian yang diangkat sebagai berikut: 1. Sejauh mana hubungan karakteristik petani dengan persepsinya tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan ? 2. Sejauh mana hubungan pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan ? 3. Sejauh mana hubungan aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan ? Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengetahui persepsi petani mengenai teknologi introduksi Prima Tani serta hubungannya dengan pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan aksesibilitas pada kelembagaan tani. Aksesibilitas pada kelembagaan ini lebih dititikberatkan pada kesempatan petani di dalam program Prima Tani untuk memanfaatkan lembaga petani seperti kelompok tani, penyuluh/ pemandu, peneliti, lembaga pemasaran, koperasi dan lembaga keuangan untuk mencari informasi penting. Di samping itu, petani juga memanfaatkan media komunikasi untuk mendapatkan informasi usahatani melalui gelar teknologi, brosur, surat kabar Sinar Tani, majalah Prima Tani, poster maupun konsultasi langsung ke klinik agribisnis. Dengan adanya pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan aksesibilitas kelembagaan tani diharapkan mampu mengubah persepsi petani mengenai teknologi introduksi yang didapatkan dari program Prima Tani. Untuk menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan persepsinya tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan. 2. Untuk menganalisis hubungan antara pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan. 3. Untuk menganalisis hubungan antara aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan.
6
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini dapat dilihat dari aspek akademis dan aspek praktis. Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang komunikasi dan peneliti lainnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai akses lembaga tani dan media komunikasi serta peubah komunikasi lainnya dalam program Prima Tani. Dalam aspek praktis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dan bahan informasi bagi perencana dan pengambil kebijakan oleh instansi tertentu yang terkait dengan pelaksanaan program Prima Tani.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meneliti mengenai karakteristik personal, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan aksesibilitas kelembagaan tani. Adapun karakteristik personal yang diteliti mencakup: umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani, luas lahan garapan, status lahan garapan dan status dalam kelompok. Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani yang diamati meliputi gelar teknologi, klinik agribisnis dan media komuniaksi lainnya seperti pamplet, poster, temuwicara, demplot dan pendekatan komunikasi interpersonal lainnya. Selanjutnya aksesibilitas kelembagaan tani yang diteliti meliputi: manfaatnya adanya kelompok tani dan keuntungan adanya kelompok tani. Persepsi petani tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan yang diamati mencakup aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Aspek yang dilihat pada biofisik yaitu kesesuaian komoditas utama dan sampingan, produk panen dan limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan dalam pertanian. Aspek yang diamati pada sosial yaitu kesesuaian faktor sosial dalam masyarakat setempat seperti melihat tingkat adopsi petani dalam menerapkan introduksi teknologi kepada petani, aspek psikologi, aspek kemandirian, aspek keinovatifan dan bidang manajemen usahatani. Aspek yang diamati pada ekonomi yaitu pengaruh penerapan introduksi kepada petani dimana
dapat
meningkatkan
produksi
pertanian
yang
secara
ekonomis
menguntungkan. Adapun aspek ekonomis yang diamati meliputi: mutu dan hasil
7
panen, harga jual setelah panen, tingkat kemudahan menjaul dan kesesuaian harga jual di pasar. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Kerangka Berpikir Program Prima Tani merupakan program terbaru yang diperkenalkan kepada petani. Program tersebut sebagai mengenai rintisan dan akselerasi diseminasi inovasi teknologi dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, dilaksanakan secara integratif vertikal dan horizontal serta daya saing melalui peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat khususnya petani. Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah dari sifat inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan diintroduksikan ke dalam Prima Tani, harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya yang ada di petani. Untuk itu, inovasi yang ditawarkan ke petani harus inovasi yang tepat guna. Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psichomotoric) ada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1995). Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa proses adopsi didahului oleh pengenalan suatu inovasi (introduksi) kepada masyarakat tani, selanjutnya terjadi proses mental untuk menerima atau menolak inovasi tersebut. Jika hasil dari proses mental tersebut adalah keputusan untuk menerima suatu inovasi maka terjadilah adopsi. Banyak faktor yang menentukan keberhasilan adopsi teknologi introduksi. Hal ini tidak hanya bergantung kepada sifat dan bentuk teknologinya tetapi juga sangat ditentukan oleh kesediaan petani dalam mengadopsi inovasi yang dianjurkan. Menurut Mosher (1981) petani memainkan peranan penting dalam pembangunan pertanian. Petani yang menentukan mengenai teknik berusahatani yang harus mereka laksanakan dan harus mampu mempelajari serta menetapkan metode baru yang diperlukan untuk membuat usahataninya lebih produktif.
8
Dalam mengadopsi teknologi baru, petani diberikan motivasi dan penjelasan untuk dapat mengembangkan kemampuannya. Kemampuan petani akan dapat dikembangkan apabila keterbatasan pengetahuan dan persepsinya, keterampilan dan modal dapat diatasi serta sikap petani yang statis tradisional dapat diubah menjadi lebih dinamis. Kemampuan menentukan persepsi petani untuk menerima (mengadopsi teknologi introduksi) atau menolaknya, erat kaitannya dengan karakteristik petani, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan aksesibilitas pada kelembagaan tani. Dalam penelitian ini peubah karakteristik petani dibatasi sembilan indikator yaitu: umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani, luas lahan garapan, status lahan garapan, status dalam kelompok tani. Sedangkan untuk peubah aksesibilitas pada kelembagaan tani indikator yang diteliti hanya dua yaitu manfaat keberadaan kelompok tani dan keuntungan adanya kelompok tani. Untuk peubah pemanfaatan media komunikasi Prima Tani indikator yang akan diteliti adalah gelar teknologi, media komunikasi, klinik agribisnis. Peubah persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) dalam penelitian ini dibatasi pada aspek biofisik, aspek ekonomis, aspek sosial (adopsi model Prima Tani, psikologi petani, kemandirian, keinovatifan dan manajemen usaha). Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, maka dalam penelitian ini secara skematis ingin melihat beberapa faktor terpilih yang diduga berhubungan dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP yang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
9
Peubah bebas
Peubah terikat
Karakteristik petani X1 Umur X2. Jenis kelamin X3. Pendidikan X4. Pendidikan nonformal X5. Pendapatan X6. Pengalaman bertani X7. Luas lahan garapan X8. Status lahan lahan X9. Status dalam kelompok
X10. Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani X10.1 gelar teknologi X10.2 media komunikasi X10.3 klinik agribisnis
X11.Aksesibilitas kelembagaan tani X11.1 manfaat adanya kelompok tani X11.2 keuntungan adanya kelompok tani
H1
Y. Persepsi petani
H2
tentang Teknologi Introduksi AIP Y.1 aspek biofisik Y.2 aspek ekonomi Y.3 aspek sosial
H3
Gambar 1 Kerangka Berpikir Keterkaitan antara Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini ingin menguji sejauh mana masing-masing peubah pada diri petani padi, hortikultura, kebun dan ternak di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan berhubungan dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP. Dalam penelitian ini terdapat tiga hipotesis yang ingin diuji yaitu: H1 : terdapat hubungan nyata antara karakteristik petani dengan persepsi mereka tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan. H2 : terdapat hubungan nyata antara pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan. H3 : terdapat hubungan nyata antara aksesibilitas pada kelembagaan tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan.
TINJAUAN PUSTAKA Program Prima Tani Badan Litbang Pertanian sebagai lembaga pertanian dengan misi utamanya adalah menemukan atau menciptakan inovasi pertanian yang maju dan strategis, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik bagi pemakai dan lokasi. Berbagai kendala ditemukan oleh Badan Litbang Pertanian dalam mengkomunikasikan inovasi teknologi pertanian kepada petani. Adanya program Prima Tani, diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut sehingga petani lebih cepat memahami berbagai inovasi yang dapat diaplikasikan dalam usahataninya. Evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian oleh petani cenderung lambat bahkan menurun. Tenggang waktu sampainya informasi dan adopsi kepada petani melalui penyuluh mengalami kemacetan (bottleneck) sehingga dengan sendirinya informasi yang disampaikan kepada petani menjadi terlambat. Hal ini disebabkan karena subsistem penyampai (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem) mengalami kemacetan informasi sehingga menyebabkan lambannya penyampaian informasi kepada petani (Suryana, 2005). Dengan alasan di atas, maka Program Prima Tani ini digulirkan sebagai program untuk mengatasi kemacetan penyampaian informasi kepada petani dengan benar dan tepat sasaran. Program Prima Tani merupakan kepanjangan dari Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang dicetuskan oleh Badan Litbang Pertanian yang penerapannya di mulai tahun 2005 sebagai model baru dalam diseminasi teknologi yang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi. Program Prima Tani diharapkan sebagai jembatan penghubung antara Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampai maupun pelaku agribisnis pengguna inovasi di daerah. Di samping itu, Prima Tani digunakan sebagai wahana pengkajian partisipatif yang berarti merupakan implementasi dari paradigma baru penelitian untuk pembangunan dari paradigma lama penelitian dan pengembangan dari Badan Litbang Pertanian (Suryana, 2005).
8
Program Prima Tani ini berarti terobosan pembuka, pelopor atau inisiatif, penyampaian dan penerapan inovasi teknologi pertanian kepada dan oleh masyarakat luas. Dalam program Prima Tani terdapat arti bahwa: pertama, Prima Tani haruslah dipandang sebagai langkah inisiatif Badan Litbang Pertanian untuk mengatasi masalah
kebuntuan
atau
kelambanan
penerapan
inovasi
teknologi
dan
memperpendek waktu dari penciptaan inovasi teknologi ke pengguna. Kedua, Prima Tani hanyalah tindakan pembuka atau pelopor sehingga harus sesegera mungkin dilepaskan kepada masyarakat dan pemerintah setempat. Dengan demikian, pengembangan Prima Tani dilaksanakan dengan prinsip “bangun, operasikan dan serahkan” (build, operate and transfer). Adapun tujuan Prima Tani meliputi: 1) mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, 2) memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat-guna spesifik pengguna dan lokasi, 3) mewadahi dan mensinkronkan program lingkup Departemen Pertanian, departemen terkait, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, 4) mempercepat pencapaian kesejahteraan petani, melestarikan sistem pertanian dan lingkungan (Drajat, 2007). Prima Tani yang dimulai pada tahun 2005 di 14 provinsi dengan 22 lokasi, pada tahun 2006 bertambah menjadi 25 provinsi yang meliputi 33 desa. Mulai tahun 2007, Prima Tani akan melaksanakan di 200 desa yang tersebar di 200 kabupaten di seluruh provinsi. Kegiatan akhir Prima Tani diharapkan terbentuknya unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) dan Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) yang merupakan representasi industri pertanian dan usahatani berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu kawasan pengembangan. Kawasan ini mencerminkan pengembangan agribisnis lengkap dan sinergi antar subsistem yang berbasis agroekosistem dan mempunyai kandungan teknologi dan kelembagaan lokal yang diperlukan (Deptan, 2006). Karakteristik Personal Karakteristik personal menurut Rogers (2003) adalah meliputi status sosialekonomi, ciri kepribadian dan perilaku komunikasi. Secara lebih rinci karakteristik personal tersebut dijabarkan lagi ke dalam umur, pendidikan formal, pendidikan
9
nonformal, jumlah keluarga, pengalaman berusahatani, usaha keluarga, penghasilan keluarga, kekosmopolitan, partisipasi, kelembagaan masyarakat partisipasi dalam kelompok dan kontak media. Profil petani dan kelompoknya menentukan tingkat penerimaan inovasi dan kemampuan adopsinya. Pendidikan nonformal menurut Sudjana (2004) merupakan sistem pendidikan nasional yang terdiri dari subsistem pendidikan nonformal berlangsung di dalam keluarga dan lingkungannya serta subsistem pendidikan nonformal berlangsung secara optimal didapat di mana saja. Pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis di luar sistem sekolah yang mapan dilakukan secara mandiri atau bagian penting dari kegiatan yang lebih luas sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan nonformal mempunyai beragam nama misalnya kursus, pelatihan, penataran, upgrading, bimbingan belajar, tutorial. Dengan pendidikan nonformal maka seseorang akan meningkat pengetahuannya, sikap dan keterampilannya di samping pendidikan formal. Menurut Soekartawi (1988) pengalaman kursus yang dimiliki seseorang akan ikut mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan. Dari kursus atau pelatihan
pertanian
diperoleh
penambahan
pengetahuan,
kecakapan
dalam
pengelolaan usahatani, keterampilan dalam melaksanakan tugas operasional, kreativitas dan percaya diri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap tingkat penerimaan inovasi baik yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung atau melalui media. Slamet (1987) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dapat dibedakan dalam beberapa jenjang yang masing-masing mempunyai fase waktu tertentu, yang mudah diamati adalah pendidikan formal. Seseorang yang mempunyai jenjang pendidikan lebih tinggi
umumnya
lebih
cepat
mengadopsi
teknologi.
Prayitnohadi
(1987)
menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan petani mempengaruhi kecepatan dalam mengambil
keputusan
terhadap
teknologi
pertanian.
Abdurachman
(1998)
mengemukakan bahwa pengalaman mengikuti kursus mempunyai korelasi nyata dengan tingkat adopsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pendidikan nonformal dapat diketahui dengan cara mengukur frekuensi seseorang dalam mengikuti pendidikan nonformal yang berupa kursus, penataran dan pelatihan.
10
Hare (1962) mengemukakan ada beberapa hal yang mempengaruhi karakteristik individu yaitu: usia, jenis kelamin, kelas sosial, kesukuan dan kekeluargaan. Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa karakteristik individu antara lain umur, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola hubungan, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, fatalistik, sistem kepercayaan tertentu dan karakteristik psikologi. Anggota sistem sosial memegang peranan penting dalam proses adopsi inovasi suatu teknologi. Salah satu sifat penting yang berpengaruh pada proses penyebaran inovasi teknologi dalam program Prima Tani adalah profil petani. Jones dalam Soekartawi (1988) menyebutkan bahwa peubah yang berpengaruh terhadap penyebaran dan penyerapan inovasi adalah: (a) umur, (b) tingkat pendidikan, (c) tingkat pengetahuan, (d) tingkat pendapatan dan (e) latar belakang sosialekonominya. Gonzales dalam Jahi (1988) menyatakan individu dengan status sosialekonomi lebih tinggi umumnya berpeluang menduduki posisi atas seperti pemimpin formal dan informal. Status ekonomi biasanya diukur dari jumlah kepemilikan ternak sapi, pendapatan keluarga, jumlah materi serta fasilitas yang dimiliki oleh seseorang. Semakin banyak materi dan fasilitas yang dimiliki oleh seorang calon adopter maka semakin termotivasi untuk mengadopsi suatu inovasi. Prayitnohadi (1987) menyebutkan bahwa tingkat penyerapan teknologi dipengaruhi oleh umur, pendidikan, luas garapan, status penguasaan lahan yang mempengaruhi perilaku komunikasi dan jaringan komunikasi sehari-hari dipengaruhi oleh umur. Inovasi yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari memerlukan ketangguhan fisik. Pengalaman adalah suatu akumulasi ingatan individu dengan mewujudkan pemahamannya dalam bentuk ucapan, tindakan, perilaku dan sikap. Pengalaman bagi seseorang mengandung arti yang mendalam serta mempunyai nilai tersendiri dalam kehidupannya. Pengalaman bertani merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat adopsi teknologi inovasi. Menurut Soekartawi (1988) petani yang berpengalaman lebih cepat menyerap teknologi pertanian dibandingkan dengan petani yang belum atau kurang pengalaman bertaninya. Tamarli (1994) menyimpulkan bahwa pengalaman bertani mempunyai korelasi nyata dengan penerapan program Supra Insus. Abdurachman (1998) mengemukakan bahwa
11
pengalaman bertani dapat diketahui dengan cara mengukur berapa lama seseorang pernah melaksanakan usahatani. Lionberger (1968) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi difusi suatu inovasi meliputi: a) faktor sosial, b) faktor status, c) faktor budaya, d) faktor personal dan e) faktor situasional. Sementara Rogers (2003) dan Soekartawi (1988) mengatakan ada empat faktor yang saling berkaitan dalam proses difusi yaitu: a) adanya inovasi, b) adanya komunikasi, c) adanya sistem sosial, d) adanya kesenjangan waktu. Menurut Primawati (1988) bahwa keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi ditentukan oleh: a) proses pengambilan keputusan, b) keinovatifan petani, c) adanya manfaat yang besar, d) efektivitas tinggi, e) resiko yang kecil, f) kemudahan dalam pelaksanaannya. Menurut Soekartawi (1988) ada faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi suatu inovasi antara lain adalah umur dan ukuran usahatani. Sedangkan menurut hasil penelitian Prayitnohadi (1987) bahwa umur, pendidikan, luas lahan garapan dan status pemilikan lahan mempengaruhi faktor kecepatan inovasi. Begitu pula dengan Mulyani (1992) mengemukakan bahwa karakteristik individu seperti pendidikan nonformal, penghasilan petani, luas lahan garapannya, banyaknya kredit yang diambil dan curahan kerja ternyata berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan teknologi. Dengan demikian dari uraian hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek umur, jenis kelamin, pendidikan, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani, luas lahan garapan, status lahan garapan dan status dalam kelompok ternyata dapat mempengaruhi tingkat persepsi petani di dalam partisipasinya di bidang usahatani. Aksesibilitas Kelembagaan Tani Lazarsfeld dan Merton (1971) mengajukan gagasan mengenai komunikasi dua tahap (two step flows of communication) dan konsep pemuka pendapat. Seringkali informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada para pemuka pendapat dan dari pemuka pendapat kemudian kepada orang lain yang kurang aktif berkomunikasi dalam masyarakat. Secara garis besar menurut teori media massa tidak bekerja dalam suatu situasi sosial yang pasif, tetapi memiliki suatu akses ke dalam jaringan
12
hubungan sosial yang sangat kompleks dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan dan kekuasaan lainnya. Letak suatu wilayah juga sangat mempengaruhi aspek komunikasi atau aksesibilitas masyarakatnya. Pada kenyataannya, akses petani pada suatu daerah dengan daerah lainnya tidak selalu sama. Hal ini sangat terkait dengan ketersediaan fasilitas dan sumber informasi serta keragaman informasi yang diperlukan. Myers (2003), Tubbs dan Moss (2000) dan Purwanto (2003) menyatakan bahwa globalisasi yang dipicu oleh kemajuan teknologi komunikasi telah mendorong semua bangsa ke arah komunikasi massa. Pada kondisi seperti itu kerapatan maupun keterbukaan komunikasi menjadi relatif karena dipengaruhi oleh eksistensi fasilitas komunikasi. Fasilitas yang dimaksud adalah stasiun radio, televisi, surat kabar, majalah, buku, telepon, expert system, internet, fax, komputer, kantor pos, kelompok/ organisasi tani, lembaga penyuluhan, pusat informasi pasar dan kelembagaan lainnya. Fasilitas komunikasi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada yang dikelola oleh pemerintah semata, tetapi meliputi yang dikelola oleh swasta, komunitas dan swadaya masyarakat. Pada masyarakat pedesaan, fasilitas komunikasi seringkali berwujud ruang-ruang pertemuan dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang oleh Soekanto (2000) disebut ajang dialog sosial atau ruang semi-otonom dan otonom. Kelembagaan penyuluhan pertanian sebagai sumber informasi tampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Meskipun teknologi komunikasi sudah berkembang pesat, namun eksistensi kelembagaan penyuluhan masih dan akan tetap diperhitungkan sebagai mediator, fasilitator, agen konsultan atau pemberdaya bagi para petani. Hal ini dapat kita saksikan di negara-negara yang pertanian dan teknologi komunikasinya sudah canggih sebut saja Amerika, Jerman, Australia, Inggris, Belanda, Jepang dan negara maju lainnya. Kelembagaan penyuluhan yang dimaksud, tentu bukan hanya tertuju pada kelembagaan penyuluhan pemerintah semata seperti PPL, tapi juga kelembagaan penyuluhan swasta seperti perusahaan agribisnis, koperasi, asosiasi petani (farmers union), perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat dan kelompok tani (Ravera dan Daniel, 1991). Dalam praktek, sering penggunaan metode penyuluhan dilakukan dengan mengkombinasikan satu sama lain. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang
13
optimal. Pemilihan penggunaan metode penyuluhan perlu memperhatikan dua hal yaitu: a) isi pesan (umum/ khusus), b) target sasaran (individu, kelompok, umum). Dalam kegiatan Prima Tani, sifat pesan yang akan disampaikan dapat digolongkan khusus
karena
berupa
inovasi
(teknologi,
kelembagaan,
kebijakan)
yang
diperuntukkan bagi kelompok tertentu. Sedangkan target sasaran adalah terbatas pada sekelompok masyarakat tani di lokasi Prima Tani. Dengan demikian metode penyuluhan yang paling tepat adalah metode kelompok. Akan tetapi untuk beberapa kasus dapat dikombinasikan dengan metode media massa dan metode individu. Misalnya untuk mengatasi masalah spesifik pada individu petani, maka metode individu dapat diterapkan. Untuk menyebarkan keberhasilan program Prima Tani ke khalayak umum dapat menggunakan media massa (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Untuk lebih menjamin keberhasilan dalam diseminasi inovasi ke petani, maka penggunaan metode penyuluhan kelompok harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Menggunakan bahasa yang paling mudah dimengerti oleh petani 2. Penyampaian harus praktis, tidak bertele-tele agar mudah dipahami 3. Menggunakan alat bantu yang tepat sehingga diperoleh ilustrasi yang lengkap 4. Harus diperbanyak peragaan/ demonstrasi/ percontohan/ pembuktian teknologi untuk menyakinkan petani. Pemanfaatan Media Komunikasi Media komunikasi sebagai sarana atau alat penyampaian pesan atau informasi sangat diperlukan dalam setiap proses komunikasi. Di dalam pembangunan ternyata berbagai media komunikasi seringkali digunakan di dalam menyampaikan berbagai pesan atau informasi kepada masyarakat luas. Salah satu media yang digunakan adalah media tradisional yang kerapkali dipakai bagi sebagian besar masyarakat desa masih menikmatinya. Di Indonesia sendiri media tradisional masih cukup memikat bagi masyarakat banyak seperti pertunjukan rakyat. Menurut Jahi (1988) bahwa pertunjukkan rakyat biasanya lebih komunikatif sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan khususnya petani. Dalam penyajiannya, pertunjukkan ini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat. Pemanfaatan media komunikasi oleh masyarakat pedesaan, selama ini tidak hanya menggunakan media tradisional maupun media modern, juga penggunaan
14
media cetak ternyata dapat memberikan kontribusi besar untuk penyebaran informasi kepada petani khususnya masyarakat pedesaan. Media cetak seperti poster, leaflet dan brosur ternyata mempunyai peranan penting di dalam menyebarkan informasi kepada petani. Isi materi poster, leaflet ataupun brosur memuat semua peristiwa atau informasi yang berkenaan dengan kebijakan instansi kepada publik luarnya. Poster adalah selembar kertas atau karton yang diberi suatu ilustrasi dan beberapa kata sederhana. Menurut Maunder dalam Jahi (1988) bahwa poster didesain untuk menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang, menimbulkan kesan pada yang bersangkutan akan suatu fakta atau ide dan merangsangnya untuk menyokong suatu ide, mencari lebih banyak informasi atau melakukan semacam tindakan. Sekarang ini poster dipakai pula di bidang pertanian untuk memberikan informasi kepada petani mengenai pesan khusus tentang penemuan, penggunaan bibit unggul, pengolahan lahan, pemberantasan hama dan penyakit atau pengumuman kebijakan pemerintah. Di beberapa daerah telah menggunakan poster untuk memberikan informasi di bidang pertanian, perkebunan dan peternakan. Sekarang ini setiap departemen atau dinas di tingkat daerah sudah biasa menggunakan poster sebagai media komunikasi kepada masyarakat desa khususnya petani. Berbagai kebijakan dan teknologi dalam bidang pertanian dan peternakan disampaikan melalui media ini, di samping media cetak lainnya. Untuk lebih efektif digunakan kepada petani maka poster tersebut harus memiliki tujuan yang jelas. Desainnya harus baik, diujicoba pada sasaran yang dituju dan harus dipasang sesuai dengan prinsip-prinsip komunikasi yang baik (Lozare, 1981). Setiap orang melakukan hubungan dengan orang lain (melakukan transaksi) karena mengharapkan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya. Beberapa tahap hubungan interpersonal meliputi: (1) pembentukan hubungan, (2) peneguhan hubungan, (3) pemutusan hubungan. Duck dalam Melkote (1991) menyampaikan bahwa perkenalan adalah suatu proses penyampaian informasi dan upaya untuk memperoleh informasi dari petani yang merupakan proses komunikasi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1995) perilaku komunikasi dapat menggambarkan tingkatan petani dalam mengadopsi inovasi yang digambarkan oleh peubah perilaku komunikasi meliputi: (1) partisipasi sosial, (2) hubungan dengan orang di luar sistem
15
sosial, (3) hubungan dengan agen pembaharu, (4) penguasaan informasi, (5) tingkat kepemimpinan, (6) sistem norma yang dianut dan (7) aksesibilitas media massa. Aksesibilitas media komunikasi merupakan salah satu unsur dari perilaku komunikasi. Perilaku komunikasi diartikan sebagai suatu aktivitas verbal dan nonverbal yang berkaitan dengan penyampaian ide, informasi, sikap atau emosi. Media komunikasi berupa komunikasi personal, interpersonal dan komunikasi massa (Istiana, 1998). Kemudahan petani dalam mendapatkan benih padi varietas unggul tersebut mencerminkan bahwa aksesibilitas petani terhadap teknologi yang dikembangkan Badan Litbang Pertanian semakin baik. Kemudahan petani dalam mendapatkan benih padi yang sesuai kebutuhan dalam varietas, kuantitas, kualitas dan tepat waktu mencerminkan pula bahwa kaitan fungsional antara petani dan lembaga sarana produksi khususnya benih semakin baik. Bentuk media massa dapat dibedakan menjadi media audio, visual, audiovisual dan cetak. Contoh media audio adalah radio, media audio-visual seperti televisi, vcd, cd-interaktif, film sedangkan media cetak seperti surat kabar, buku, folder, poster dan lainnya (Fardiaz, 1996). Masing-masing bentuk media komunikasi ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Media massa seperti LIPTAN (Lembar Informasi Pertanian), siaran radio pedesaan, majalah pertanian mempunyai kemampuan untuk memberikan informasi secara efektif sehingga dapat dikatakan bahwa media massa dapat menjalankan peranannya yaitu memperluas cakrawala, memusatkan perhatian, menumbuhkan aspirasi, menciptakan suasana membangun, mengubah sikap dan sebagai pendidik dimana kontribusinya tergantung kepada perbedaan perilakunya (Jahi, 1988). Media komunikasi cetak mempunyai keuntungan karena dapat disimpan dan dibaca berulang-ulang. Kelemahan media komunikasi cetak adalah dibatasi oleh pendidikan pengguna. Hal ini berarti bahwa untuk dapat memahami isi pesan yang disampaikan maka pengguna harus melek huruf. Perilaku
komunikasi
petani
selalu
berkaitan
dengan
usaha
untuk
mendapatkan informasi teknologi usahatani sebagai bahan pengambilan keputusan inovasi. Perilaku komunikasi dapat menggambarkan tingkatan dalam pengadopsian suatu inovasi.
16
Mosher (1981) menyatakan kebanyakan petani enggan untuk mencoba suatu input baru atau teknologi pertanian pada waktu barang ini baru pertama kali ditawarkan. Kebanyakan orang dewasa dimana pun sebelum mau mencoba sesuatu yang baru dengan disaksikan oleh lingkungannya, terlebih dahulu ingin yakin benar bahwa barang itu betul-betul akan berhasil baik. Dalam model Prima Tani dilakukan gelar teknologi pertanian, sesuai yang dikatakan Mosher (1981) yaitu uji lokal atau pemeriksaan setempat. Wajar jika seorang petani bersikap skeptis terhadap manfaat teknologi atau metode baru untuk diterapkan di lahannya walaupun dapat dipakai, apakah menguntungkan juga kecuali kalau teknologi atau metode tersebut sudah dicoba di banyak tempat yang kondisinya praktis sama dengan lahannya. Maka inovasi Prima Tani untuk petani menggunakan pendekatan komunikasi secara persuasif atau bujukan, menyentuh aspek visual (Gelar Teknologi). Prima Tani memberikan contoh produknya dan teknik-tekniknya pada lahan percontohan program Prima Tani di Desa Jatiwangi Kabupaten Garut, Desa Citarik Kabupaten Karawang, Jawa Barat dan di Desa Sapanang Kabupaten Pangkep dan Desa Kamanre Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Melakukan peragaan/ demonstrasi/ percontohan/ pembuktian teknologi di lapangan harus diperbanyak agar petani dapat melihat secara langsung. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa indera penglihatan mempunyai pengaruh yang lebih besar dibanding indera yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekartawi (1988) bahwa tahapan mengetahui atau melihat lebih besar dilakukan oleh manusia (83%), lalu mendengar (11%), tahapan membau melalui indera hidung (3,5%), tahapan meraba dengan tangan (1,5%) dan merasa dengan indera lidah (1%). Di samping itu penggunaan media modern seperti radio dan televisi banyak digunakan untuk mendukung pembangunan pedesaan. Kedua media ini mempunyai kemampuan
besar
untuk
menghantarkan
dan
menyebarkan
pesan-pesan
pembangunan kepada masyarakat luas yang tersebar di pedesaan dan di perkotaan dengan cepat dan serentak. Tetapi penggunaan radio lebih banyak dijumpai di masyarakat pedesaan dalam mengakses informasi penting dan hiburan. Ternyata pemanfaatan radio di dalam bidang pertanian pun patut dicatat. Keberhasilan sekolah radio pertanian menarik minat sejumlah besar petani. Akibatnya banyak petani mendaftarkan diri untuk mengikuti pelajaran tentang cara
17
menanam padi dan gandum, memupuk, beternak sapi perah, beternak ayam, memelihara ikan dan cara-cara bertani lainnya melalui radio. Jahi (1988) menyatakan bahwa di beberapa negara seperti India telah melahirkan beberapa program sekolah melalui radio dan studi korespondensi radio bagi petani. Begitu pula di Taiwan telah berkembang radio pemerintah yang membuka sekolah di udara yang menawarkan berbagai program pendidikan kejuruan lengkap khusus petani di desa. Radio juga dipakai secara luas untuk menyiarkan program penyuluhan pertanian yang bernilai tinggi. Seperti di Nigeria Utara, Malawi dan Ekuador telah serius menggunakan radio sebagai alat penyebar informasi media pertanian (Jenkins, 1982). Untuk keberhasilan suatu program diperlukan agen penyuluhan dalam bidang pembangunan baik bidang pertanian maupun bidang lainnya. Agen penyuluhan diperlukan untuk melakukan sosialisasi dan mengenalkan suatu program kepada masyarakat luas. Keberhasilan suatu program dipengaruhi agen penyuluhan. Dengan demikian agen penyuluhan mempunyai korelasi yang sangat kuat terhadap keberhasilan suatu program. Menurut Mundy (2000) kecepatan adopsi suatu inovasi tergantung pada beberapa hal yaitu sifat inovasi, sifat adopter dan perilaku pengantar perubahan (peneliti atau penyuluh). Setelah inovasi tepat guna diperoleh, metode penyuluhan yang efektif diketahui, selanjutnya adalah memilih agen penyuluhan yang baik. Dengan kata lain, produk/ inovasi yang akan disampaikan ke petani harus bermutu (good innovations), cara menyampaikan produk/ inovasi ke petani harus bermutu (good extension methods) dan orang yang menyampaikan harus bermutu (good extension agent). Akhirnya dengan penerapan total quality management dalam penyuluhan, diharapkan percepatan adopsi dan difusi inovasi akan berhasil. Agen penyuluhan merupakan individu atau institusi yang mempunyai tugas pokok memberikan pendidikan informal kepada petani dan keluarganya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usahatani bertujuan agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan keluarganya dan masyarakat sekelilingnya. Klinik agribisnis merupakan tempat penyuluh, peneliti dan petugas dinas terkait dalam memberikan pelayanan terpadu kepada pelaku agribisnis. Lembaga tersebut dapat dipandang sebagai elemen lembaga lokal yang memasok teknologi spesifik lokasi dan spesifik pengguna teknologi. Klinik agribisnis terkait secara
18
langsung dan tidak langsung dengan lembaga inovasi milik pemerintah yang menghasilkan teknologi dasar (universitas), teknologi terapan (Balit/ Puslit), teknologi matang yang bersifat spesifik lokasi dan pengguna (BPTP) dan produsen teknologi komersial seperti benih varietas unggul, industri pupuk, industri pestisida serta industri rancang bangun alat dan mesin pertanian. Secara langsung klinik agribisnis memberikan pelayanan jasa kepada pelaku agribisnis melalui kegiatan konsultasi, advokasi dan penyampaian informasi teknologi (benih, budidaya dan pascapanen), informasi pasar komoditas dan memberikan informasi permodalan. Dalam prakteknya lembaga tersebut melibatkan empat institusi utama dengan peran masing-masing sebagai berikut: 1. BPTP yang berperan sebagai pemasok materi penyuluhan, menyiapkan teknologi matang dan advokasi kelembagaan. 2. Penyuluh (dari dinas daerah dan BPTP) yang berperan sebagai konsultan inovasi
teknologi,
manajemen
usaha,
manajemen
finansial
dan
pengembangan jaringan usaha. 3. Dinas pertanian yang berperan menyiapkan informasi pasar dan permodalan, memperkuat kelembagaan AIP, advokasi dan konsultasi
pengembangan
jaringan usaha. 4. Asosiasi komoditas yang berperan menyediakan informasi dan konsultasi pengembangan jaringan usaha. Klinik agribisnis merupakan salah satu lembaga pelayanan jasa konsultan, diseminasi dan informasi yang terkait dengan pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP), sehingga klinik ini dapat menjadi wadah untuk menampung permasalahan dan ketersediaan teknologi pertanian yang dibutuhkan oleh pelaku usahatani atau pelaku agribisnis. Inovasi teknologi pertanian tersebut berupa teknologi produksi, panen dan pascapanen, sosial ekonomi, kelembagaan sampai pemasaran. Peran klinik agribisnis adalah lebih mendekatkan sumber-sumber teknologi pertanian kepada khalayak pengguna, khususnya petani dan sekaligus menjadi wahana mendapatkan umpan balik untuk penyempurnaan penyelenggaraan penelitian, pengkajian dan diseminasi.
19
Pelayanan informasi melalui klinik agribisnis dilakukan dengan tiga kegiatan utama yakni: 1) penyebaran informasi melalui media cetak, 2) pemberian jasa konsultasi usahatani dan 3) pelayanan pemecahan masalah di lapangan usahatani. Hal-hal yang akan dipersiapkan antara lain: materi yang diseminasikan, lokasi klinik, tenaga pengelola, peralatan dan lahan sebagai tempat untuk mendemonstrasikan inovasi teknologi yang akan diterapkan (visitor plot). Materi yang diseminasikan, dirancang dan disusun dengan rinci dan disesuaikan dengan kebutuhan petani. Materi disajikan dengan menggunakan multimedia dan multimetoda. Berdasarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada klinik agribisnis, maka klinik agribisnis dilengkapi dengan: 1) tenaga konsultan agribisnis; 2) peragaan inovasi pertanian dalam bentuk leaflet, warta, poster, 3) informasi agribisnis yang mencakup aspek input dan output jenis komoditas, harga, kebutuhan pasar, permodalan, kualitas, 4) informasi inovasi teknologi budidaya, pascapanen, penyuluhan dan pemasaran, 5) informasi tentang manajemen pengelolaan alat dan mesin pertanian. Arah
kegiatan
klinik
agribisnis
ditujukan
untuk:
1)
memecahkan
permasalahan yang ada di lapangan, 2) memanfaatkan dan mengembangkan potensi dan peluang yang tersedia, 3) memperbaiki teknologi eksisting dengan inovasi teknologi sesuai kebutuhan lapangan, 4) meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam mengelola usaha pertaniannya (Tim LKDRIB Kabupaten Garut, 2007). Agar peranannya tidak menimbulkan ketimpangan, maka pembentukan klinik agribisnis dilaksanakan secara bersama-sama oleh BPTP, dinas terkait, Pemda, petani dan pelaku agribisnis lainnya. Sesuai dengan perannya untuk meningkatkan pelayanan informasi yang berkaitan dengan agribisnis maka lokasi klinik agribisnis harus memenuhi syarat berikut: 1. Strategis dan mudah diakses oleh masyarakat tani sebagai pelaku agribisnis di wilayah lokasi Prima Tani. 2. Mempunyai ruang yang bisa digunakan untuk menyimpan alat bantu kegiatan usaha dan memamerkan teknologi yang berkaitan dengan usahatani yang banyak dilakukan.
20
3. Mempunyai ruangan tempat petani/ pelaku usaha melakukan konsultasi tentang masalah–masalah usahataninya. Pada pelaksanaannya, ada tenaga yang khusus mengelola klinik agribisnis agar dapat memberikan pelayanan yang baik kepada khalayak pengguna. Mengingat jauhnya lokasi klinik agribisnis dengan pakar atau peneliti berada, maka dibuat jadwal kunjungan dari pakar atau peneliti yang menangani bidang tertentu dan jadwal disosialisasikan kepada masyarakat luas agar petani dapat memanfaatkan kesempatan berkonsultasi sesuai dengan permasalahan dan waktunya. Persepsi Seiler (1992) menyebutkan bahwa persepsi merupakan jantungnya dalam berkomunikasi. Persepsi adalah proses dimana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. Menurut DeVito (1997) bahwa persepsi mempengaruhi stimulus atau pesan yang diserap dan makna yang diberikan kepada komunikan ketika komunikan mencapai kesadaran. Sementara Rakhmat (2005) mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman mengenai objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Selanjutnya Krech dan Krutchfield dalam Rakhmat (2005) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan ditentukan oleh faktor personal dan situasional yang menghasilkan suatu gambaran unik tentang kenyataan yang berbeda dari fakta adanya. Menurut Kemp et al., (1975) bahwa persepsi adalah suatu proses dimana seseorang memperoleh kesadaran mengenai keadaan sekitar lingkungannya. Pengertian lebih spesifik dikemukakan oleh McMahon (1986) bahwa persepsi adalah proses penyusunan penginderaan terhadap informasi untuk membuat penafsiran dan pengertian. Mendukung pendapat di atas, Sadli (1976) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan suatu proses aktif dimana yang memegang peranan bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga keseluruhan pengalaman, motivasi dan sikap yang relevan terhadap stimulus. Thoha (1999) mengatakan bahwa persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah
21
terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Menurut Zanden (1984) bahwa persepsi adalah proses pengumpulan dan penafsiran dari informasi. Persepsi merujuk kepada beberapa proses dimana kita menjadi tahu dan berpikir mengenai beberapa hal berupa karakteristik, kualitas dan pernyataan diri. Kita membentuk pandangan mengenai beberapa hal untuk menetapkan dan membuat perkiraan serta mengatur pandangan kita mengenai masyarakat berdasarkan informasi. Sementara itu van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa persepsi adalah proses penerimaan informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Persepsi manusia sangat selektif menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat objek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Dalam hal ini kapasitas memproses informasi terbatas, tidak semua informasi dapat ditangkap dan tergantung pada faktor-faktor fisik serta psikologis seseorang. Lewis dalam Muhammad (2000) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses pengamatan, pemilihan, pengorganisasian stimulus yang sedang diamati dan membuat interpretasi mengenai pengamatan tersebut. Menurut Litterer dalam Asngari (1984) persepsi adalah the understanding or view people have of the things in the world around them. Selanjutnya persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada sesuatu yang ada di sekitarnya, keadaan, fakta atau tindakan. Ada tiga mekanisme pembentukkan persepsi yaitu selektivitas, pemaknaan dan interpretasi. Pada mulanya individu akan menanggapi secara selektif terhadap stimulus yang ada sebelum berlangsungnya proses pemaknaan. Setelah stimulus tersebut diseleksi dan kemudian disusun sedemikian rupa baru kemudian proses pemberian makna berlangsung, akhirnya terjadilah interpretasi tertentu secara menyeluruh tentang stimulus tersebut. Berlo (1960) dan Endaryanto (1999) mengemukakan bahwa individu dalam memberikan makna pada suatu stimulus seringkali tidak sama antara individu yang satu dengan yang lainnya tergantung pada faktor yang ada pada diri dan di luar individu tersebut yang mempengaruhi persepsi. Akibatnya tidak jarang terjadi ketidaksamaan persepsi antara individu yang satu dengan lainnya tentang objek yang sama sehingga peluang terjadinya kesalahan mempersepsikan selalu ada. Menurut
22
Irawan et al., (1997) seseorang dapat muncul dengan persepsi yang berbeda terhadap objek rangsangan yang sama karena tiga proses yang berkenaan dengan persepsi. Proses tersebut adalah penerimaan rangsangan secara selektif, perubahan makna informasi secara selektif dan mengingat sesuatu secara selektif. Menurut Myers (2003) setiap orang berbeda kebutuhan, motivasi, minat dan lainnya. Karena itu persepsinya terhadap sesuatu cenderung menurut kebutuhan, minat dan latar belakang masing-masing. Persepsi dua orang mengenai objek yang sama bisa berbeda, yang satu mungkin memiliki persepsi yang baik sedangkan yang satunya lagi mungkin sebaliknya. Adakalanya persepsi seseorang terhadap suatu objek bisa tepat dan bisa keliru atau mendua. Faktor terpenting untuk mengatasi kekeliruan persepsi adalah kemampuan untuk mendapatkan pengertian yang tepat mengenai objek persepsi. Menurut Schiffman dan Kanuk (1983) terkait dengan persepsi yang merupakan bagian dari sikap disebutkan terdapat tiga komponen yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu objek tertentu yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif menekankan kepada pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap objek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Pengetahuan dan persepsi ini akan menghasilkan kepercayaan terhadap objek tertentu. Komponen afektif menekankan kepada perasaan atau emosi dalam menilai objek tertentu. Komponen konatif menekankan kepada kecenderungan dan merupakan perilaku aktual seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang dipersepsikan. Selanjutnya Sujanto (1983) menjelaskan bahwa informasi yang sampai kepada seseorang merupakan perangsang (stimuli) yang diteruskan ke otak syaraf sensoris kemudian orang menyadari perangsang itu dan dilanjutkan dengan keputusan tindakan. Dari batasan-batasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa “persepsi ialah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepada dirinya sehingga orang tersebut dapat memandang, mengerti dan menginterpretasikan informasi itu dengan keadaan dirinya dan lingkungannya dimana ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya.“
23
Pandangan adalah masa persiapan menuju pengamatan atau perhatian yang mengarahkan persiapan menuju pengamatan atau perhatian yang mengarahkan persiapan diri untuk melakukan pengamatan terhadap suatu obyek ataupun terhadap pelaksanaan suatu perbuatan. Pengamatan ialah proses mengenal dunia luar dengan menggunakan indera (Sujanto, 1983). Menurut Kartono (1984) pengamatan adalah produk dari kesadaran dan pikiran terutama merupakan abstraksi yang dikeluarkan dari arus kesadaran. Selanjutnya dikemukakan bahwa pengamatan adalah kesan-kesan yang diterima sewaktu rangsangan menyentuh indera individu dan rangsangan masih terlihat. Bila kesannya masih tertinggal sedangkan perangsangnya sudah tidak tampak lagi maka peristiwa inilah yang disebut tanggapan. Pengertian adalah penerimaan cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Pengertian mempunyai fungsi penting bagi seseorang untuk menunjukkan benda, orang dan masalah baik mulai dari benda yang konkrit maupun sampai masalah yang diinformasikan kepadanya sehingga komunikasinya berjalan efektif (Kartono, 1984). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Rogers dan Shoemaker (1995) mengungkapkan bahwa sering terjadi jarak pemisah antara agen pembaharu dengan orang atau sistem yang menjadi sasarannya karena mereka berbeda dalam bahasa, status sosial-ekonomi, kemampuan teknis atau nilai dan sikapnya. Hal ini sering mengakibatkan konflik peranan pada diri agen pembaharu dan kesulitan dalam berkomunikasi. Dari hasil penelitian Rogers dan Svening dalam Rogers and Shoemaker (1995) menyatakan bahwa agen pembaharu mempunyai kredibilitas yang lebih tinggi dari beberapa sumber dan lebih banyak menggunakan saluran alternatif, pesannya akan mudah diterima oleh sasarannya. Kohler dalam Jahi (1988) mengatakan bahwa segmen khalayak yang dapat mempengaruhi khalayak dalam menggunakan media komunikasi yaitu karakteristik, geografis, demografis, perilaku atau psikografis. Tubbs dan Moss (2000) mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki penafsiran sendiri-sendiri terhadap objek yang sama. Cara penafsiran mengungkapkan suatu keinginan dan pengalaman masa lalu. Dari stimuli yang tersedia pengalaman masa lalu berpengaruh kepada cara
24
penilaian suatu stimuli. Selanjutnya digambarkan bahwa dalam mengorganisasikan persepsi, generalisasi (allness) yang didasarkan pada pengalaman pribadi yang amat terbatas seringkali tidak cermat dan tidak tepat. Dengan demikian cara kita mempersepsi orang tergantung pada generalisasi yang berasal dari pengalaman bersama sebagai anggota masyarakat. Berlo (1960) menyatakan bahwa seseorang membuat keputusan tentang apa yang akan diterima dan ditolaknya. Ia menyusun persepsi yang mendukung keputusannya itu. Dalam hal ini pengalaman sebelumnya serta nilai yang dianut tidak dapat dipisahkan dan saling mengkait dalam kebutuhan dan persepsinya. Lebih jauh Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa faktor-faktor personal yang secara langsung mempengaruhi kecermatan persepsi adalah: 1) pengalaman yang tidak selalu diperoleh lewat proses belajar formal, 2) motivasi dan 3) kepribadian. Sejalan dengan pendapat di atas, Tubbs dan Moss (2000) mengatakan bahwa perangkat psikologis mempengaruhi persepsi antarpesona. Cara penafsiran mengungkapkan suatu keinginan dan pengalaman masa lalu. Hal ini sejalan dengan pendapat DeVito (1997) yang mengemukakan bahwa karakteristik seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Komunikasi Komunikasi merupakan kebutuhan dasar manusia sejak lahir dan selama proses kehidupannya dimana manusia akan selalu terlibat dalam aktivitas komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses dimana komunikator menyampaikan pesan untuk orang lain. Kincaid dan Schramm (1987) mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses saling membagi atau menggunakan informasi secara bersama dan bertalian antara pelaku dalam proses komunikasi informasi. DeVito (1997) menyatakan bahwa komunikasi adalah mengacu kepada tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirimkan dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Kincaid dan Schramm (1987) menyatakan komunikasi sebagai suatu proses dimana para partisipannya saling membuat dan bertukar informasi dari seseorang kepada orang lain agar didapatkan suasana saling pengertian di antara mereka. Definisi hakekatnya menjelaskan suatu hubungan
25
dengan adanya pertukaran informasi (pesan) diharapkan akan menimbulkan perubahan sikap, tingkah laku dan kebersamaan dalam menciptakan suasana saling pengertian di antara orang yang ikut serta dalam proses komunikasi. Menurut Tubbs dan Moss (2000) bahwa berdasarkan hasil penelitian, 83% manusia
menggunakan
waktunya
untuk
berkomunikasi.
Djuarsa
(1993)
menyimpulkan bahwa tindakan komunikasi dapat terjadi dalam berbagai konteks kehidupan manusia mulai dari kegiatan yang bersifat individual, di antara dua orang atau lebih, berkelompok, keluarga (organisasi dalam konteks publik secara lokal, regional dan global) atau melalui media massa. Tindakan komunikasi dapat dilakukan secara verbal maupun nonverbal, langsung atau tidak langsung. Book (1980) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu transaksi yaitu proses simbolik yang menghendaki orang mengatur lingkungannya dengan: 1) membangun hubungan antarsesama manusia, 2) melalui pertukaran informasi, 3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta 4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu. Komunikasi pada hakekatnya bukan saja ilmu pengetahuan tetapi juga seni bergaul. Kincaid dan Schramm (1987) berpendapat bahwa untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan efektif seseorang dituntut tidak hanya memahami proses tetapi juga mampu menerapkan pengetahuannya secara kreatif. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi dimana makna yang distimulasikan oleh komunikan serupa dengan yang dimaksud komunikator. Komunikasi mempunyai multimakna dan memberikan cara pandang yang beragam, sehingga lahirlah berbagai paradigma. Salah satu paradigma komunikasi yang terkenal adalah karya Lasswell (Arifin, 1992). Proses komunikasi yang sering dipakai dalam menganalisa komunikasi politik di Amerika saat itu. Adapun formula Lasswell dari perspektif mekanistis adalah who–says what–in which channel–to whom–with what effect. Begitu pula dengan pendapat Berlo (1960) yang terkenal dengan model SMCR-nya mengusulkan bahwa ada lima unsur-unsur di dalam keduanya sumber atau encoder dan penerima yang mempengaruhi ketepatan. Ada paradigma model SMCR dilihat dari aspek sumber dan penerima yaitu agak berbeda dari yang diusulkan oleh model transmisi secara langsung di dalamnya menempatkan penekanan pada komunikasi dyadic, oleh karenanya menekankan aturan hubungan
26
antara sumber dan penerima sebagai suatu peubah penting di dalam proses komunikasi. Pada prinsipnya semakin maju keterampilan komunikasi dari sumber dan penerima, maka semakin efektif pesan akan disandikan dan dikodekan. Menurut Berlo (1960) menyatakan bahwa sumber mungkin ditentukan oleh keterampilan yang lebih tinggi yang tidak dimiliki satu penerima, tetapi bersama oleh yang lain. Kita tidak bisa meramalkan sukses sumber dari keterampilannya mengukur sendiri. Menurut Berlo (1960) bahwa komunikasi bisa mencapai efektif apabila terdapat kondisi yang homophili antara sumber (source) dan penerima (receiver). Bila digambarkan maka model komunikasi Berlo sebagai berikut : Sumber
Pesan
Saluran
Penerima
Pengaruh
feedback emphati
Gambar 2. Model Komunikasi Linier (Berlo, 1960) Ahli Komunikasi seperti DeVito (1997) memberikan pendapat bahwa komunikasi tidak terjadi secara linier atau satu arah melainkan secara berkesinambungan. Maksudnya, akan terjadi pergantian peran dan fungsi dari sumber dan penerima. Setelah pesan sampai kepada penerima, maka penerima akan memberi tanggapan atau umpan balik. Umpan balik yang disampaikan kepada orang yang semula menjadi sumber pesan, menempatkan orang yang semula pada posisi penerima pesan menjadi sumber pesan. Oleh karena itu tujuan komunikasi menurut Effendy (2000) ada empat yaitu: 1) mengubah sikap, 2) mengubah opini pendapat atau pandangan, 3) mengubah perilaku dan 4) mengubah masyarakat. Sering dijumpai dalam suatu organisasi terjadi salah pengertian antara satu anggota dengan anggota lainnya atau antara atasan dengan bawahannya mengenai pesan yang mereka sampaikan dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal di antaranya berasal dari cara orang memproses pesan yang mereka kirim atau diterima dan faktor-faktor personal ikut memberikan kontribusi pada distrosi pesan. Ketepatan komunikasi menunjukkan pada kemampuan orang untuk memproduksi pesan dengan tepat. Ketepatan memproduksi pesan digunakan untuk menguraikan tingkat persesuaian arti pesan yang dimaksudkan oleh si pengirim
27
dengan arti yang diinterpretasikan oleh si penerima. Perbedaan atau kekurangtepatan di antara yang dimaksud oleh si pengirim dengan interpretasi si penerima dinamakan distrosi. Perbedaan arti atau distorsi pesan dapat merupakan hal yang kritis dalam organisasi (Muhammad, 2000). Sejalan pendapat di atas, Sears et al., (1999) bahwa komunikasi semakin akan menemukan kesulitan apabila semakin besar kesenjangan pesan. Kesenjangan pesan dalam hal ini adalah perbedaan antara pendapat komunikan dengan pendapat yang dianjurkan oleh komunikator. Demikian juga dikatakan oleh DeVito (1997) bahwa komunikasi bisa macet atau menemui hambatan dalam proses dari pengiriman ke penerima dalam pesanpesan verbal yang disebut distrosi kognitif yang dapat muncul dalam komunikasi antarpesona, kelompok kecil atau pembicaraan di muka umum. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: 1) polarisasi yaitu kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikannya dalam bentuk ekstrim (baik atau buruk) padahal kebanyakan orang berada di tengah-tengah keadaan ekstrim tersebut, 2) orientasi intensional yaitu kecenderungan melihat manusia, objek dan kejadian sesuai dengan ciri (label) yang melekat pada diri mereka misalnya menilai seseorang sebagai orang yang ‘tidak menarik’ secara intensional menilainya ‘tidak menarik’ sebelum mendengar apa yang dikatakannya, 3) implikasi pragmatis adalah kesimpulan yang mungkin ada tetapi belum tentu benar. Dengan kata lain, pernyataan yang timbul dibuat berdasarkan bukan hanya kepada apa yang dilihat melainkan pada apa yang disimpulkan, 4) bypassing adalah pola kesalahan evaluasi dimana orang gagal mengkomunikasikan makna yang mereka maksudkan. Pola salah menurut Haney dalam DeVito (1997) mendefinisikan sebagai pola salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling menyalahartikan makna pesan mereka, 5) kesemuaan (allness) yaitu suatu pernyataan yang mengandung kata ‘selalu’ dan ‘tidak pernah.’ Padahal sesungguhnya orang tidak bisa mengetahui semua hal atau mengatakan tahu segalanya tentang sesuatu, 6) evaluasi statis yaitu suatu pernyataan perumusan verbal tentang suatu kejadian atau seseorang yang bersifat statis dan tidak berubah. Padahal disadari bahwa objek atau seseorang yang kita bicarakan bisa saja berubah dan (7) indiskriminasi yang terjadi bila kita memusatkan perhatian pada kelompok orang, benda atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik dan perlu diamati secara individual.
28
Hambatan komunikasi dapat terjadi karena adanya perbedaan kerangka acuan (frame of reference) dan bidang pengalaman antara komunikator dan komunikan. Akibatnya kedua orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut berbeda dalam penafsiran makna pesan (Tubbs dan Moss, 2000). Berdasarkan uraian di atas, komunikasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengiriman pesan oleh satu orang atau lebih sebagai sumber kepada penerima atau suatu pertukaran informasi melalui saluran untuk mencapai kesamaan makna pesan yang dapat terdistorsi oleh gangguan (noise) baik secara fisik maupun secara psikis. Di dalam penelitian ini faktor-faktor yang diduga menimbulkan kendala di dalam berkomunikasi mencakup: 1) perbedaan persepsi antara partisipan, 2) penggunaan kata-kata atau bahasa, 3) gangguan pada saluran komunikasi, 4) kredibilitas sumber, 5) perbedaan status, 6) menyimak selektif dan 7) perbedaan kerangka acuan. Teknologi Introduksi Salah satu konsep proses perubahan sosial adalah adanya penemuan baru yang dikomunikasikan kepada pihak lain kemudian diadopsi oleh masyarakat atau sistem sosial. Menurut Rogers dan Shoemaker (1995) bahwa inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Menurut Harper (1989) inovasi ada tiga yaitu: a) variasi yang merupakan modifikasi bentuk sesuatu yang telah ada, b) substitusi adalah dimana ide atau bahan baru digunakan untuk mengganti yang lama dan c) mutasi adalah kombinasi dan reorganisasi elemenelemen yang telah ada atau lama dengan yang baru. Penyebaran inovasi baru ke dalam suatu sistem sosial disebut difusi. Menurut Rogers (2003) menyebutkan bahwa faktor yang berhubungan dengan proses difusi adalah: a) adanya inovasi, b) adanya komunikasi, c) adanya sistem sosial dan d) adanya kesenjangan waktu. Adams (1988) menyatakan an innovation is an idea or object perceived as new by an individual. Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa dan ide yang dianggap baru oleh seseorang. Sedangkan van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan an innovation is an idea, method or object which is regarded as new by individual but which is not always the result of recent research. Dari beberapa definisi yang disebutkan, inovasi mempunyai tiga komponen yaitu: a) ide atau
29
gagasan, b) metode atau praktek dan c) produk (barang dan jasa). Untuk dapat disebut inovasi, ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat “baru.” Sifat “baru” tersebut tidak selalu berasal dari penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu pun dapat disebut inovasi apabila diintroduksikan kepada masyarakat tani yang belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi, sifat “baru” pada suatu inovasi harus dilihat dari sudut pandang masyarakat tani (calon adopter), bukan kapan inovasi tersebut dihasilkan. Pada tataran pemahaman yang lebih operasional, inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dapat berwujud teknologi, kelembagaan dan kebijakan. Ukuran dari kebaruan suatu inovasi adalah bersifat subjektif menurut pandangan individu sehingga diterima atau ditolaknya suatu inovasi merupakan suatu proses mental sejak ia mengetahui sampai dengan keputusan yang diambil untuk menolak atau menerima inovasi tadi. Inovasi menurut Rogers (2003) mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1) Keuntungan relatif (relative advantage) yaitu ketika suatu inovasi lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang lama. 2) Kesesuaian (compatibility) yaitu ketika suatu inovasi masih tetap konsisten dengan nilai-nilai budaya yang ada. 3) Kerumitan (complexity) yaitu ketika suatu inovasi mempunyai sifat-sifat yang rumit sulit dipahami dan diikuti. 4) Keujicobaan (trialability) yaitu ketika suatu inovasi dapat diuji-coba dengan mudah sesuai situasi dan kondisi setempat. 5) Kekasatmataan (observability) yaitu ketika suatu inovasi segera dapat dilihat atau kasat mata dan dirasakan hasilnya. Adopsi Teknologi Introduksi Rogers dan Shoemaker (1995) mendefinisikan adopsi inovasi sebagai suatu proses pengambilan keputusan seperti the mental process of an innovation to a decision to adopt or to reject and to confirmation of this decision. Selanjutnya Mardikanto (1993) mengartikan adopsi sebagai proses perubahan perilaku baik berupa pengetahuan, sikap maupun keterampilan pada diri seseorang yang telah menerima inovasi yang disampaikan dari penyuluh. Mengikuti definisi yang
30
diberikan Rogers dan Shoemaker (1995), maka ada beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam proses adopsi yaitu: (1) adanya sikap mental dan (2) adanya konfirmasi dari keputusan yang diambil. Proses adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis karena menyangkut proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi banyak faktor. Soekartawi (1988) menjelaskan tentang proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi inovasi dalam suatu sistem sosial dibutuhkan jangka waktu tertentu. Dimensi waktu terlihat pada proses pengambilan keputusan, kecepatan adopsi inovasi dalam sistem sosial dan keinovatifan individu terhadap inovasi. Lionberger (1968) menyebutkan faktor yang mempengaruhi difusi inovasi adalah: (a) faktor sosial, (b) faktor status, (c) faktor budaya, (d) faktor personal dan (e) faktor situasional, sedangkan faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi adalah: umur, tingkat pendidikan, pendapatan, ukuran luas, sumber informasi yang digunakan. Slamet (1987) menyebutkan lima hal yang mempengaruhi kecepatan adopsi yaitu: (a) sifat inovasi, (b) jenis keputusan inovasi, (c) saluran komunikasi yang digunakan, (d) ciri-ciri sistem sosial, (e) kegiatan promosi yang dilakukan oleh agen pembaharu. Proses penyebaran teknologi introduksi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan adopsi. Proses adopsi terjadi pada orang secara individual sedangkan proses difusi terjadi di masyarakat. Harper (1989) menyatakan bahwa untuk mengembangkan inovasi supaya berhasil diadopsi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: (a) kemudahan untuk dikomunikasikan (communication ability), (b) kesiapan adopter atau unit sosial untuk menerima resiko (perceived risk) dari inovasi yang diadopsi dan (c) terjadi proses perembesan (pervasiveness). Lebih jauh Mosher (1981) mengemukakan bahwa suatu teknologi baru akan diterapkan tidak segera diterima oleh petani dan bahkan mungkin akan menolak sama sekali, sebab ada kesangsian atau sifat petani yang selalu waspada terhadap setiap metode baru. Ada lima tahap dalam proses adopsi teknologi introduksi yaitu: (1) kesadaran, pada tahap ini petani untuk pertama kalinya belajar dan mengetahui tentang ide baru dimana tingkat pengetahuannya masih bersifat umum, (2) menaruh minat, petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minat untuk melakukan adopsi inovasi, (3) evaluasi, seseorang
31
yang telah mendapatkan informasi dan bukti yang telah dikumpulkan pada beberapa tahapan sebelumnya dalam menentukan apakah ide itu akan diadopsi atau tidak maka diperlukan evaluasi, (4) mencoba, petani dihadapkan pada suatu kondisi dimana harus menuangkan pikirannya untuk kemudian dituangkan dalam praktek, (5) adopsi, pada tahapan ini petani telah memutuskan bahwa ide baru yang dipelajari cukup baik untuk diterapkan (Soekartawi dan Anwar, 1987). Untuk pembangunan pertanian atau Agribisnis Industrial Pedesaan akan berhasil dengan baik bila adanya persamaan persepsi petani dalam menerapkan teknologi introduksi yang digulirkan dalam program Prima Tani. Dengan adanya persepsi petani yang benar diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai teknologi introduksi yang dianjurkan dalam program Prima Tani serta dapat menerapkannya di dalam usahataninya. Penerapan teknologi introduksi yang benar ini pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas hasil pertanian atau Agribisnis Industrial Pedesaan. Mosher (1981) menyebutkan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan pertanian atau Agribisnis Industrial Pedesaan untuk meningkatkan produksi hasil usahatani adalah: 1. Seseorang di suatu tempat yang mau membeli hasil-hasil usahatani perlu ada suatu permintaan (demand) untuk hasil-hasil ini. Permintaan yang dimaksud Mosher ini ada dua macam yaitu: permintaan pasaran yang kuat terhadap hasilhasil pertanian di dalam negeri itu sendiri (local demand) dan jika suatu negara sangat cocok untuk menghasilkan suatu tanaman yang banyak diminta oleh pasaran internasional (international demand). 2. Seseorang yang penyalur di dalam penjualan hasil-hasil usahatani suatu sistem tataniaga (marketing system). Hal-hal yang membentuk sistem tataniaga yang efisien, dengan adanya fungsi-fungsi yang dijalankan oleh sistem tataniaga yaitu: pengangkutan (transporting), penyimpanan (storage), pengolahan (processing), perkembangan fasilitas pengangkutan, pergudangan, pengolahan dan memperluas pasaran untuk hasil usahatani. 3. Kepercayaan para petani pada kelancaran sistem tataniaga itu. Walaupun ada orang yang bersedia menjadi pembeli (permintaan pasar) dan ada orang yang bersedia menjadi penyalur (sistem tataniaga). Keduanya tidak memberikan
32
sumbangan penuh kepada pembangunan pertanian, apabila para petani tidak menaruh kepercayaan terhadap sistem tataniaga itu. Ada syarat-syarat yang tercakup di dalam meningkatkan kepercayaan petani terhadap sistem tataniaga yaitu: (a) kesadaran dan pengertian petani tentang pentingnya jasa yang diberikan pedagang dan bahwa tiap jasa tersebut memerlukan biaya yang bisa dibenarkan, (b) lancar-tidaknya sistem tataniaga itu di masa lampau dan (c) derajat fluktuasi harga hasil pertanian dan kemungkinan meramalkan harga-harga tersebut jauh sebelumnya sehingga petani bisa tepat menyusun rencana produksinya. Mosher (1981) menambahkan bahwa meningkatnya produksi pertanian adalah akibat dari pemakaian teknologi pertanian atau metode-metode baru oleh petani di dalam usahataninya. Teknologi pertanian berarti cara-cara bertani yang sesuai dengan yang dianjurkan. Di samping diakibatkan oleh teknologi pertanian, diperlukan juga bahan dan alat produksi secara lokal. Kebanyakan metode baru yang dapat meningkatkan produksi pertanian memerlukan bahan-bahan dan alat-alat produksi yang khusus dipakai oleh para petani. Di antaranya termasuk bibit, pupuk, obat pemberantas hama, makanan dan obat ternak dan perkakas. Dengan demikian, pembangunan pertanian atau Agribisnis Industrial Pedesaan dapat dilakukan dengan melihat aspek biofisik seperti penerapan teknologi dalam sistem usahatani terpadu berdasarkan karakteristik agroekosistem terutama jenis komoditas pertanian unggulan, potensi pasar yang menyangkut daya jual dan daya tampung, kondisi sosial dan ekonomi di sekitar lingkungan petani. Sedangkan dalam aspek ekonomi, penerapan teknologi introduksi dengan melakukan pembinaan petani dalam kerjasama kelompok untuk menerapkan pola usahatani yang berorientasi pasar dan keuntungan serta dalam aspek sosial melihat lingkungan fisik, psikologis petani dan keterpaduan antara seluruh subsistem yang terkait dalam sistem bisnis pertanian atau Agribisnis Industrial Pedesaan. Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan Pelaksanaan Prima Tani pada intinya adalah membangun suatu model percontohan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) yang selanjutnya dapat berperan sebagai “laboratorium agribisnis”. Di dalam laboratorium agribisnis dikembangkan interaksi langsung antara kegiatan Penelitian-Penyuluhan-Agribisnis-Pelayanan
33
Pendukung. Di dalam laboratorium tersebut para peneliti, penyuluh, praktisi agribisnis dan pengelola lembaga pelayanan pendukung agribisnis dapat saling berinteraksi langsung dalam mengembangkan dan mewujudkan AIP di lokasi Prima Tani. Ada tiga upaya pokok yang dikembangkan melalui pembentukan model AIP yaitu: pertama, merajut ulang hubungan sinergis Penelitian-Penyuluhan yang cenderung semakin melemah bahkan putus di beberapa wilayah akibat belum mantapnya pelaksanaan otonomi daerah. Kedua, merajut hubungan sinergis Badan Litbang Pertanian dengan petani dan praktisi agribisnis secara umum, secara tidak langsung melalui perantara penyuluh lapang dan lembaga pelayanan maupun secara langsung melalui kolaborasi dalam pembangunan dan pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). Ketiga, merajut hubungan sinergis antara seluruh elemen lembaga agribisnis dan lembaga pendukungnya dalam suatu bingkai kelembagaan AIP yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan kegiatan produksi pertanian hingga pemasaran pertanian kepada konsumen. Melalui pendekatan kelembagaan AIP diharapkan dapat diwujudkan usaha pertanian yang berorientasi pasar, bernilai tambah tinggi, berdaya saing tinggi dan menghasilkan pembagian nilai tambah secara proporsional di antara pelaku usaha agribisnis. Maka model AIP yang dikembangkan melalui Prima Tani pada dasarnya merupakan perpaduan dari dua sistem yaitu sistem inovasi pertanian dan sistem agribisnis. Ada tiga fungsi utama dari elemen lembaga yaitu: 1) membantu pengguna agribisnis dalam mengatasi masalah teknis dan manajemen usaha, 2) menyediakan informasi yang berkaitan dengan teknologi siap guna, pasar komoditas dan permodalan, 3) sebagai umpan balik bagi pengembangan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan pengguna teknologi (Irawan, 2004). Kegiatan Prima Tani terdiri atas dua bagian besar yaitu ‘inovasi teknologi’ dan ‘inovasi kelembagaan’. Sebagaimana dengan aspek teknologi, maka aspek kelembagaan harus secara eksplisit diungkapkan dan dikaji dalam seluruh tahap. Secara berurutan, permasalahan kelembagaan dalam Prima Tani dimulai dari penggalian saat melakukan studi pendasaran (baseline survey), PRA dan penyusunan rancang bangun (roadmap) laboratorium agribisnis serta implementasi di lapangan. Intensitas perhatian kepada permasalahan kelembagaan dapat lebih besar dibandingkan dengan teknologi, karena kondisi sosial ekonomi dan budaya
34
masyarakat yang sangat variatif dan spesifik. Untuk itu, maka harus dipahami oleh seluruh pihak yang terlibat dalam Prima Tani tentang apa itu kelembagaan, bagaimana metodologi untuk memasukkan aspek kelembagaan dalam perencanaan, bagaimana mengkaji sebuah kelembagaan, bagaimana metodologi mengembangkan kelembagaan, serta bagaimana pula menyusun indikator dan variabel untuk mengukur bahwa kelembagaan telah berjalan dengan baik. Sedangkan untuk penentuan komoditas dan teknologi yang diintroduksikan kepada petani dalam usahataninya, maka disesuaikan dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi, budaya dan kebutuhan pengguna di lingkungan setempat. Kesesuaian inovasi teknologi dikembangkan dalam suatu usahatani terpadu yaitu integrasi antara komoditas pertanian dengan peternakan yang dapat digunakan untuk peningkatan usahataninya. Penentuan komoditas dan teknologi dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1. inventarisasi komoditas eksisting berdasarkan potensi, masalah dan kendala teknis (on farm dan off farm) dan kelembagaan melalui metoda PRA. 2. Survai tanah dan air. 3. Survei pendasaran (baseline survey). 4. Pertemuan perencanaan partisipatif dengan melibatkan peneliti (BPTP, Puslit, Balit), penyuluh, penyuluh lapang, Pemda, Dinas/ instansi terkait, petani, KTNA dan unsur pendukung kelembagaan agribisnis (Irawan, 2004). Dalam kegiatan Prima Tani ini, kelembagaan di tingkat lapang disebut dengan “Laboratorium Agribisnis” atau disebut dengan “Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan” (AIP). Kelembagaan di tingkat ini membutuhkan perhatian yang lebih mendalam dibandingkan kelembagaan di atasnya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Lembaga-lembaga yang dapat berada dalam sebuah kelembagaan AIP adalah lembaga-lembaga ekonomi pedesaan yang terlibat langsung dalam Prima Tani, di antaranya adalah: kelompok tani, koperasi, klinik agribisnis, kelompok arisan warga, kelompok simpan pinjam, kelompok pengguna air irigasi (P3A), kelompok pengolah hasil dan lain-lain. Jadi dimaksud dengan “kelembagaan AIP” adalah sejumlah lembaga-lembaga yang lebih kecil dan otonom, saling terkait satu sama lain secara fungsional, menggerakkan sistem agribisnis di lokasi Prima Tani.
35
Implementasi Model Agribisnis Industrial Pedesaan Model AIP diimplementasikan dengan pendekatan kawasan dan pendekatan agroekosistem. Pendekatan kawasan yang dimaksud melalui wilayah administrasi desa sedangkan pendekatan agroekosistem meliputi tujuh agroekosistem yaitu: 1) sawah intesif, 2) sawah semi intensif, 3) lahan kering dataran rendah iklim basah, 4) lahan dataran rendah iklim kering, 5) lahan dataran tinggi iklim basah, 6) lahan dataran tinggi iklim kering dan 7) lahan rawa pasang surut. Berdasarkan kondisi lokasi sasaran terdapat dua pola implementasi model AIP yaitu: pola introduksi dan pola lanjutan atau pola renovasi. Secara operasional perbedaan antara kedua pola tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pola introduksi merupakan implementasi model AIP yang dilaksanakan di daerah agroekosistem dimana komoditas dominan yang diusahakan petani di daerah tersebut belum tersentuh program pengembangan yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian dan institusi lainnya misalnya kimbun, Proksimantap dan sebagainya. 2. Pola lanjutan atau pola renovasi merupakan implementasi model AIP yang dilaksanakan di daerah agroekosistem dimana komoditas dominan yang diusahakan
petani
di
daerah
tersebut
sudah
melaksanakan
program
pengembangan yang diprakarsai oleh Departemen Pertanian dan institusi lainnya. Dengan demikian, implementasi model AIP di daerah tersebut hanya merupakan lanjutan dari program pengembangan yang sudah dilaksanakan sebelumnya (Irawan, 2004). Karakteristik Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan Pengembangan agribisnis diarahkan untuk melakukan proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Dalam agribisnis pola industrial, setiap perusahaan agribisnis tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horizontal. Setiap perusahaan memadukan diri dengan perusahaanperusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (dari hulu hingga hilir) dalam satu kelompok usaha yang selanjutnya disebut sebagai unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). AIP merupakan model inovasi agribisnis yang digunakan dalam Prima Tani, dimana keluaran akhir Prima
36
Tani adalah terbentuknya unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) dan Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID). AIP dan SUID merupakan representasi industri pertanian dan usahatani berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu kawasan pengembangan. Pada kawasan dimaksud tercermin pengembangan agribisnis lengkap dan padu padan antarsubsistem yang berbasis agroekosistem dan mempunyai kandungan teknologi dan kelembagaan lokal yang diperlukan (Tim Teknis Pusat Prima Tani, 2007). Di lokasi dengan AIP yang sudah matang akan terlihat di antaranya: 1. Sebagian besar produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan mutu termasuk konsistensinya dan dalam jumlah cukup. 2. Sebagian besar petani mengadopsi teknologi yang diimplementasikan. 3. Munculnya petani-petani progresif sebagai agen pembaharuan pertanian. 4. Sebagian besar petani menikmati nilai tambah secara proporsional. 5. Sebagian besar petani berkembang usahanya yang dapat dilihat dari kemampuan memupuk modal untuk pembiayaan operasional, tabungan dan investasi. 6. Sebagian besar petani mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah fluktuasi harga hasil usahataninya. 7. Hasil pertanian mempunyai daya saing tinggi di pasar lokal maupun internasional. Setidaknya ada tiga ciri AIP yang sudah matang yaitu: 1. Lengkap
secara
fungsional.
Seluruh fungsi yang diperlukan dalam
menghasilkan, mengolah, dan memasarkan produk pertanian hingga ke konsumen akhir (alur produk vertikal) dapat dipenuhi. 2. Satu kesatuan tindak. Seluruh komponen atau anggota melaksanakan fungsinya secara harmonis dan dalam satu kesatuan tindak. 3. Ikatan langsung secara institusional. Hubungan di antara seluruh komponen atau anggota terjalin langsung melalui ikatan institusional (nonpasar). Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) berusaha untuk menumbuhkan dua aspek pokok yaitu: 1. Menumbuhkan seluruh elemen lembaga agribisnis di antaranya berupa kelembagaan produksi pertanian, kelembagaan penyediaan sarana produksi, jasa
37
alsintan, jasa penyuluhan, pelayanan informasi, dan pelayanan permodalan, dan lain-lain. 2. Menumbuhkan keterkaitan fungsional yang harmonis dan keterkaitan institusional yang saling menguntungkan di antara pelaku agribisnis, terutama antara petani dan pelaku agribisnis lainnya. Untuk mewujudkan kelembagaan AIP yang operasional maka dibutuhkan serangkaian kegiatan penumbuhan kelembagaan secara efektif dan efisien untuk seluruh elemen serta penumbuhan keterkaitan fungsional dan institusional yang harmonis di antara elemen tersebut. Dalam tulisan ini dikemukakan aspek-aspek yang berkaitan dengan penumbuhan kelembagaan tersebut. Informasi yang dikemukakan bersifat dinamis, dalam arti dapat disempurnakan sesuai dengan kondisi setempat. Elemen dalam Kelembagaan AIP Gambar
3
memperlihatkan
elemen
kelembagaan
AIP
yang
akan
dikembangkan melalui pelaksanaan Prima Tani. Seluruh elemen lembaga tersebut saling terkait satu sama lain dan membentuk satu unit AIP di setiap lokasi Prima Tani. Kelembagaan penyedia input usahatani
Kelembagaan penyedia permodalan
Kelembagaan usahatani
Kelembagaan pengolahan hasil pertanian
Kelembagaan pemasaran hasil pertanian
Lembaga penyedia tenaga kerja
Kelembagaan penyedia air irigasi
Kelembagaan penyedia informasi (teknologi, pasar, dll)
Gambar 3 Jaringan Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan
38
Penumbuhan Keterkaitan Antar Elemen dalam Kelembagaan AIP Keterkaitan antar elemen AIP di lapangan perlu ditumbuhkan melalui upaya khusus. Paling tidak ada tiga aspek yang dibutuhkan, yaitu: 1. Penumbuhan keterkaitan fungsional antar elemen kelembagaan AIP. Setiap elemen kelembagaan AIP tidak hanya harus berfungsi, namun antar elemen harus memiliki keterkaitan hubungan fungsional. Sebagai gambaran, di suatu tempat bisa ditumbuhkan lembaga permodalan dan penyuluhan. Jika kedua lembaga tadi tidak berfungsi mendukung lembaga produksi, maka dapat dikatakan bahwa keduanya tidak memiliki keterkaitan fungsional. Setelah semua elemen kelembagaan AIP berhasil ditumbuhkan, seluruh elemen tersebut harus memiliki keterkaitan fungsional. Penumbuhan elemen lembaga pengolahan, pemasaran dan permodalan yang terkait fungsional dengan lembaga produksi, bisa dipandang sebagai kunci dibangunnya keterkaitan fungsional antar elemen. 2. Penumbuhan keterkaitan institusional antar elemen kelembagaan AIP. Tumbuh dan terbentuknya keterkaitan fungsional antarelemen kelembagaan AIP dinilai belum mencukupi, karena masing-masing elemen bisa jadi hanya berorientasi untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Jika hal ini terjadi, maka keterkaitan fungsional antarelemen diperkirakan akan rentan terhadap dinamika pasar dan aksi sepihak satu atau lebih elemen kelembagaan AIP yang kontra produktif. Oleh sebab itu, keterkaitan fungsional antar kelembagaan AIP harus ditempatkan dalam bingkai hubungan keterkaitan institusional. Dalam kaitan ini, keterkaitan antar elemen kelembagaan AIP harus tercermin dalam hubungan sharing system yang adil berdasar kesepakatan bersama. 3. Pembuatan aturan main bersama antar elemen kelembagaan AIP. Aturan main berfungsi sebagai panduan bersama antar elemen kelembagaan AIP ataupun panduan intern antar anggota dalam satu elemen kelembagaan AIP. Dalam aturan main dirumuskan juga sanksi jika ada pelanggaran terhadap panduan yang telah disepakati bersama, termasuk di dalamnya hak dan kewajiban masingmasing elemen dan juga masing-masing anggota dalam satu elemen. Mengingat aturan main adalah panduan bersama, maka harus dibuat bersama oleh semua anggota dalam satu elemen kelembagaan AIP. Aturan main antar elemen kelembagaan AIP dibuat oleh perwakilan dari masing-masing elemen AIP dengan
39
melibatkan aparat BPTP, pemda, pakar lokal dan tokoh masyarakat. Aturan main tidak bisa dibuat sekali jadi, tapi membutuhkan proses modifikasi dari waktu ke waktu. Hal ini perlu dilakukan agar aturan main memiliki kesesuaian dengan perkembangan mental anggota yang terlibat dalam elemen AIP, perubahan iklim usaha,
kebijakan
pemda,
dan
aspek
sosio-ekonomi-budaya
yang
belum
diperhitungkan sebelumnya. Aturan main yang perlu dibuat secara khusus adalah yang menyangkut (1) pembagian resiko, (2) penentuan harga, (3) sistem pembayaran, (4) cara transaksi, (5) sistem pemilikan usaha dan (6) cara memperoleh modal dan penentuan harga modal. Aturan main dibuat agar permasalahan antar anggota atau antar elemen kelembagaan AIP bisa diselesaikan secara kelembagaan (Tim Teknis Pusat Prima Tani, 2007). Oleh karena itu, peningkatan persepsi oleh petani dalam program Prima Tani diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan menerapkan teknologi introduksi AIP dalam usahataninya. Akibat penerapan teknologi introduksi dalam usahataninya diharapkan mampu meningkatkan hasil produktivitas hasil pertanian yang dilihat dalam aspek biofisik, sosial dan ekonomi yang membantu peningkatan kesejahteraan petani.
METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini di desain sebagai suatu penelitian survai yang bersifat deskriptif korelasional. Menurut Singarimbun dan Effendi (2006) penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Penelitian ini juga selain mendeskripsikan peubah yang ada juga berupaya menjelaskan hubungan di antara peubah karakteristik petani, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan aksesibilitas kelembagaan tani. Peubah terikat terdiri dari karakteristik petani, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan aksesibilitas kelembagaan tani. Peubah bebasnya adalah persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP. Indikator dan parameter pada setiap peubah ditetapkan berdasarkan teori yang telah diuji dan diakui kebenarannya. Kemudian berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang tertulis dalam jurnal atau majalah ilmiah maupun tesis dan disertasi. Di samping hasil penelitian dan teori yang ada, penetapan indikator dan parameter penelitian ditetapkan berdasarkan kaidah-kaidah statistik yang menghasilkan data kuantitatif dan kualitatif. Selanjutnya setiap indikator dan parameter yang telah ditetapkan lalu dituangkan dalam definisi operasional. Dari definisi operasional dikembangkan dalam bentuk daftar pertanyaan (kuesioner) sebagai acuan atau wawancara dengan responden. Kuesioner yang digunakan terlebih dahulu diuji terhadap petani lain di luar responden yang memiliki karakteristik sama atau hampir sama. Ini diperlukan untuk menetapkan nilai reliabilitas sebuah instrumen penelitian. Metode deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta serta menjelaskan hubungan antar fenomena yang diteliti (Nazir, 2003). Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Lokasi ini dipilih secara metode purposive. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah: 1) untuk melihat perbedaan produk unggulan yang dihasilkan
42 yaitu hortikultura, padi, kebun dan ternak, 2) survai dan rekomendasi dari BPTP Jawa Barat dan BPTP Sulawesi Selatan, 3) produk unggulan di lokasi Prima Tani yang mempunyai karakteristik yang berbeda, 4) penelitian dikhususkan untuk mengkaji secara teknis dan aplikasi teknologi untuk nilai tambah bagi penerapan teknologi yang dihasilkan oleh Balai Penelitian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang mengintegrasikan komponen teknologi introduksi ke dalam program Prima Tani. Untuk pengumpulan data primer dan data sekunder di lapangan serta pengolahan data dibutuhkan waktu selama tiga bulan yaitu bulan September sampai Nopember 2007. Populasi Populasi adalah kumpulan objek penelitian (Rakhmat, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah anggota kelompok tani yang terlibat langsung dengan kegiatan Prima Tani di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Jumlah petani dalam populasi sebanyak 1.298 orang yang berasal dari enam kelompok tani di Desa Jatiwangi, Kabupaten Garut dan 4 kelompok tani di Desa Citarik, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Di samping itu ada 5 kelompok tani di Desa Kamanre, Kabupaten Luwu dan 25 kelompok tani di Desa Sapanang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan (lihat Tabel 1). Tabel 1 Populasi dan Sampel Penelitian No
Lokasi Penelitian
Jumlah Sampel (orang)
Jumlah populasi (orang)
Kooperator
1. 2.
Jawa Barat 1.1. Desa Jatiwangi, Kab. Garut 1.2. Desa Citarik, Kab. Karawang Sulawesi Selatan 2.1. Desa Kamanre, Kab. Luwu 2.2. Desa Sapanang, Kab. Pangkep Jumlah
Nonkooperator
127 423
12 12
12 12
127 621 1.298
12 12 48
12 12 48
Sumber: BPTP Jawa Barat (2007) dan BPTP Sulawesi Selatan (2007)
43 Sampel Penelitian Cara untuk menghitung ukuran pada pendugaan proporsi populasi dapat menggunakan rumus Taro Yamane (Rakhmat, 2005). Rumus ini untuk mencari jumlah ukuran sampel dengan tingkat presisi yang kita inginkan. Rumus Taro Yamane adalah sebagai berikut : N n= N.d2 + 1
keterangan: N = jumlah populasi d2 = presisi yang ditetapkan n = jumlah sampel
Dari jumlah sampel yang didapatkan maka dipilih secara acak dengan pertimbangan semua sampel dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih (hukum probabilitas). Karena dalam praktek seringkali menemui kesulitan dimana kerangka sampel yang dipakai untuk dasar pemilihan tidak tersedia atau tidak lengkap dan biaya membuat kerangka sampel terlalu tinggi, maka unit analisa dalam populasi digolongkan dalam kluster atau gugus (Singarimbun dan Effendi, 2006). Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik nonproportionate cluster random sampling yang masing-masing kluster diambil sampel secara acak. Adapun kluster yang ditetapkan adalah petani kooperator dan petani nonkooperator. Jumlah responden yang dijadikan sampel berjumlah 96 orang. Data dan Instrumentasi Data Untuk data penelitian ini diperoleh dari data dan informasi berbagai instansi terkait. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pengurus kelompok tani dan anggota kelompok tani, dengan panduan wawancara yang digunakan adalah kuesioner yang telah diujicoba 20 orang petani di Desa Sukamulya, Kabupaten Garut yang memiliki karakteristik yang sama dengan lokasi penelitian, observasi lapangan dilakukan untuk mengamati langsung kondisi petani dalam melakukan kegiatan usahataninya, interaksi dengan kelompok tani dan pemanfaatan media komunikasi yang digunakan di Desa Jatiwangi, Kabupaten Garut dan Desa Citarik, Kabupaten Karawang, Jawa Barat;
44 di Desa Sapanang, Kabupaten Pangkep dan Desa Kamanre Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Data sekunder yang dikumpulkan pada penelitian ini didapatkan dari: (1) kantor desa, (2) kelompok tani dan data dari klinik agribisnis, (3) Dinas Pertanian Kabupaten Garut dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat dan Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, (4) BPP Pertanian Kecamatan Pakenjeng, Garut dan Kecamatan Tirtamulya, Karawang; BPP Kecamatan Bungoro, Pangkep dan Kecamatan Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan, (5) BPTP Jawa Barat dan BPTP Sulawesi Selatan yang menangani khusus pelaksanaan program Prima Tani. Instrumentasi Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibangun dalam bentuk instrumentasi berupa kuesioner. Kuesioner dikelompokkan menjadi empat bagian. Bagian pertama berkaitan dengan pencarian data karakteristik responden. Bagian kedua berisikan tentang pernyataan mengenai pemanfaatan media komunikasi Prima Tani. Bagian ketiga berisikan pernyataan mengenai aksesibilitas kelembagaan tani yang digunakan sebagai tempat saling tukar informasi tambahan dan bagian keempat mengenai pernyataan yang berisikan persepsi petani tentang teknologi introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan berkaitan dengan komoditas padi, hortikultura, kebun dan ternak. Definisi Operasional Untuk mengukur peubah yang telah ditetapkan dalam penelitian maka masing-masing peubah tersebut lebih dahulu diberi batasan atau diberi definisi operasional. Definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan penelitian dalam mengukur suatu peubah atau memanipulasinya (Kerlinger, 1998). Dengan adanya definisi operasional dapat ditentukan indikator pengukurannya dan batasan-batasan yang digunakan dalam mendapatkan data serta menganalisanya sehubungan dengan penarikan kesimpulan. Karakteristik Personal (a) Umur adalah usia responden yang dihitung sejak tahun kelahiran sampai waktu penelitian dilaksanakan dalam satuan tahun, diukur dengan skala rasio.
45 (b) Jenis kelamin adalah perbedaan seks responden yang melekat pada dirinya. Jenis kelamin ini dikategorikan: (1) laki-laki dan (2) perempuan, diukur dengan skala nominal. (c) Pendidikan formal adalah jenjang waktu sekolah formal yang pernah diikuti responden dalam satuan tahun, di ukur dengan skala rasio. (d) Pendidikan nonformal adalah kegiatan pembelajaran di luar sekolah formal yang pernah diperoleh seperti: kursus, pelatihan, magang, studi banding, penataran, dan sosialisasi dalam menunjang aktivitasnya dalam satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan, diukur dengan skala rasio. (e) Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh responden dalam mengelola lahannya baik pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan selama satu tahun usahatani dibagi 12 bulan, diukur dengan skala rasio. (f) Pengalaman bertani adalah lamanya responden sejak berusahatani dalam satuan tahun, diukur dengan skala rasio. (g) Luas lahan garapan adalah luas area lahan yang digarap responden untuk usahatani dinyatakan dalam satuan hektar, diukur dengan skala rasio. (h) Status lahan garapan adalah posisi responden terhadap lahan usahatani yang diusahakannya. Dikategorikan dengan (1) hak milik, (2) penyewa penggarap, (3) penggarap, (4) buruh tani, diukur dengan skala nominal. (i) Status dalam kelompok tani adalah posisi responden dalam keanggotaan kelompok tani yang diikutinya, dikategorikan (1) ketua, (2) sekretaris/ bendahara, (3) anggota, diukur dengan skala nominal. Pemanfaatan Media Komunikasi Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani adalah penggunaan media yang dilakukan petani untuk mencari tambahan informasi yaitu gelar teknologi, diukur dengan skala ordinal dikategorikan: (3) selalu lebih baik, (2) kadangkadang/ sebagian baik, (1) tidak tahu/ tidak ada. Untuk media komunikasi seperti brosur, leaflet, majalah Prima Tani, SK Sinar Tani, poster, temu wicara, percontohan/ demplot, diukur dengan skala ordinal dikategorikan: (3) jelas, (2) kurang jelas, (1) tidak tahu/ tidak ada. Pendekatan komunikasi lain diukur dengan skala ordinal dikategorikan: (3) sering, (2) jarang, (1) tidak pernah/tidak tahu.
46 Untuk aspek klinik agribisnis, diukur dengan skala ordinal yang dikategorikan: (3) sangat memadai/ tersedia/dipahami, (2) kurang/ sulit, (1) tidak tahu/ tidak ada. Aksesibilitas pada Kelembagaan Tani Aksesibilitas adalah aktivitas komunikasi petani dalam meningkatkan komunikasinya dengan lembaga tani lainnya yang ada dalam program Prima Tani yaitu manfaat keberadaan kelompok tani yang diukur skala ordinal yaitu: (3) sering, (2) jarang, (1) tidak pernah; sedangkan indikator keuntungan adanya kelompok tani yang diukur skala ordinal yaitu: (3) saling untung, (2) kurang untung, (1) tidak tahu/ tidak ada. Persepsi Teknologi Introduksi AIP Persepsi adalah pandangan petani tentang teknologi introduksi AIP dalam program Prima Tani yang diubah dalam skala ordinal, diukur berdasarkan indikator aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Aspek biofisik yaitu keuntungan relatif untuk melihat kesesuaian komoditas utama dan sampingan, hasil panen dan limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan dalam menerapkan teknologi introduksi. Aspek ekonomis yaitu keuntungan relatif dalam penerapan teknologi introduksi kepada petani secara ekonomis. Sedangkan aspek sosial yaitu keuntungan relatif yang dapat diterapkan sesuai dengan faktor sosial dan budaya setempat yang dilihat dalam tingkat adopsi, psikologi, kemandirian, keinovatifan dan manajemen usaha. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Validitas Instrumen Menurut Singarimbun dan Effendi (2006); Black dan Champion (1992) bahwa alat ukur dikatakan sah (valid) apabila alat ukur tersebut dapat mengukur data yang sebenarnya ingin diukur. Ada beberapa cara untuk menetapkan validitas alat ukur yang dapat dipakai yaitu: (a) validitas konstruktif artinya menyusun tolok ukur operasional berdasarkan kerangka dari konsep yang diukur, (b) validitas isi artinya isi alat ukur tersebut dapat mewakili semua aspek yang dianggap sebagai kerangka konsep, (c) validitas eksternal artinya alat ukur baru yang digunakan tidak berbeda hasilnya jika dibandingkan dengan alat ukur yang
47 sama. Karena itu validitas instrumen penelitian diusahakan agar semua pertanyaan disusun dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial budaya petani setempat. Upaya untuk memperkuat validitas dari instrumentasi penelitian dilakukan dengan menyusun daftar pertanyaan dengan cara: 1) Mencari definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang tertulis didalam literatur. 2) Menyesuaikan dengan instrumen yang telah dipakai para peneliti lain untuk mendapatkan data yang sama. 3) Mendiskusikan konsep tersebut dengan para ahli dan dosen pembimbing. 4) Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden atau orang yang mewakili karakteristik sama dengan responden (Singarimbun dan Effendi, 2006). Agar kuesioner mempunyai uji validitas tinggi maka daftar pertanyaan disusun dengan cara: a) mendefinisikan secara operasional konsep yang diukur, b) melakukan ujicoba skala pengukuran tersebut pada sejumlah responden, c) mempersiapkan tabulasi jawaban, e) menghitung korelasi antara masingmasing pernyataan dengan skor total menggunakan rumus teknik korelasi “product moment” Spearman Brown. Uji kuesioner dilakukan terhadap 20 orang petani di Desa Sukamulya Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Desa Sukamulya merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan lokasi program Prima Tani dengan karakteristiknya yang hampir sama dengan desa-desa di lokasi Prima Tani lainnya. Dari perhitungan diperoleh nilai untuk 8 subpeubah sebesar 0,819 dibandingkan r-tabel (db=18, α=5%) sebesar 0,443 maka berdasarkan ketentuan uji statistik kuesioner sudah valid. Reliabilitas Instrumen Suatu alat ukur dikatakan mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi apabila alat ukur tersebut mempunyai sifat konsisten, stabil atau ketepatan jika alat tersebut digunakan berulang kali terhadap suatu gejala yang sama walaupun dalam waktu yang berbeda.
48 Menurut Ancok dalam Singarimbun dan Effendi (2006) reliabilitas instrumen adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi untuk yang kedua kalinya atau lebih. Reliabilitas instrumen diuji dengan menggunakan metode teknik belah dua dimana pengukuran dilakukan hanya satu kali. Untuk melihat instrumen yang digunakan reliabel atau tidak maka nilai rtot yang diperoleh dikonfirmasikan dengan nilai tabel pada taraf signifikan (α=5%). Jika nilai rtot lebih besar dari nilai rtabel maka instrumen yang digunakan dinyatakan reliabel dan sebaliknya maka instrumen dinyatakan tidak reliabel. Menurut Ancok dalam Singarimbun dan Effendi (2006) bahwa teknik belah dua dapat digunakan manakala alat pengukur yang disusun harus mempunyai cukup banyak butir (pertanyaan/ pernyataan) yang mengukur aspek yang sama. Jumlah butir minimal sekitar 50-60 cukup memadai. Semakin besar jumlah item maka reliabilitas yang diperoleh akan semakin bertambah baik. Adapun rumus teknik uji reliabilitas belah dua (split half reliability test) yaitu :
rtot =
2 (r.tt) 1 + r.tt
Keterangan: r.tt = angka korelasi belahan pertama dan kedua r.tot = angka reliabilitas seluruh item
Uji reliabilitas kuesioner dilakukan pengujian terhadap 20 responden dengan menggunakan rumus split-half reliability
test di Desa Sukamulya,
Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai split-half reliability test untuk instrumen gelar teknologi yaitu 0,679, untuk media komunikasi sebesar 0,879; klinik agribisnis=0,771, untuk indikator manfaat adanya kelompok tani sebesar 0,864, untuk indikator keuntungan adanya kelompok tani sebesar 0,858 dan untuk persepsi petani pada aspek sosial sebesar 0,685 dibandingkan dengan nilai r-tabel (db=18; α=5%) adalah 0,443 maka kuesioner dinyatakan reliabel kecuali pada aspek biofisik dan aspek ekonomi.
49 Pengumpulan Data Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data dengan prosedur sebagai berikut: 1. Survai dan observasi berstruktur yaitu pengumpulan data melalui pengamatan langsung di lapangan dengan melihat secara langsung fakta yang ada di lokasi penelitian. 2. Wawancara tertutup dengan menggunakan kuesioner kepada responden. 3. Wawancara dengan petugas dan penyuluh pertanian yang terlibat dalam program Prima Tani dan tokoh masyarakat setempat. Tujuannya untuk mengumpulkan informasi yang akurat berhubungan dengan pelaksanaan program Prima Tani. 4. Studi dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data melalui studi dokumentasi terhadap laporan-laporan yang berkaitan dengan sumber data sekunder. Analisis Data Didasarkan pada tujuan penelitian, model teoritis yang dikembangkan dan hipotesis yang diajukan, maka untuk keperluan deskripsi dipergunakan data kategorisasi dari masing-masing peubah. Dengan demikian pada penelitian ini dilakukan beberapa analisis statistik deskriptif, di antaranya perhitungan frekuensi, prosentase, rataan skor dan total rataan skor. Untuk melihat hubungan antar peubah, maka dilakukan uji analisis chi-square bagi korelasi data nominal. Adapun rumus chi-square adalah sebagai berikut: r k 2
χ =∑ ∑ i=1 j=i
(Oij –Eij) Eij
Keterangan: χ2 = Nilai korelasi antara peubah Oij = Jumlah observasi untuk kasus yang dikategorikan dalam baris ke-I pada kolom ke-j Eij = Banyak kasus yang diharapkan dibawah H0 untuk kategori dalam beri ke-i pada kolom ke-j Untuk menentukan apakah H0 ditolak atau diterima, maka harus
membandingkan antara nilai chi-square hitung dengan nilai chi-square tabel pada
50 selang kepercayaan 95% (taraf nyata α=0,05). Bila nilai chi-square hitung lebih besar dari nilai chi-square tabel maka tolak H0 dan sebaliknya. Penentuan ini bisa juga dilihat dari probabilitas bila Pvalue < α=0,05 maka tolak H0. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan dan analisis data ini digunakan untuk melihat hubungan antara peubah-peubah yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Nazir (2003) korelasi rank Spearman digunakan jika mengamati dua peubah dalam bentuk skala ordinal. Data kuantitatif diolah dengan uji statistik korelasi rank Spearman dengan rumus sebagai berikut: rs = 1 -
6 Σ di2 n(n2 – 1)
keterangan: rs = nilai korelasi rank Spearman n = banyaknya pasangan data peubah d1 = jumlah selisih setiap pasangan peubah
Pengolahan data ujicoba kuesioner dilakukan dengan menggunakan program SPSS Versi 13 dari program Windows dan Microsoft Excel 2003. Alasan penggunaan korelasi rank Spearman adalah: 1. Tidak ada anggapan bahwa skor yang dianalisis ditarik dari populasi dengan distribusi tertentu. 2. Skor tidak eksak dalam pengertian kelangkaan melainkan semata-mata merupakan jenjang. 3. Efisiensi cukup tinggi yaitu 1% (Siegel, 1994). Setelah itu digunakan skala penilaian untuk menentukan posisi tanggapan sampel penelitian dengan menggunakan nilai skor setiap peubah dari kisaran satu sampai tiga yang menggambarkan posisi negatif ke posisi yang positif. Selanjutnya dihitung rentang skala dengan rumus sebagai berikut: R (bobot) Rs = M Keterangan: Rs R (Bobot) M
= Rentang skala = Bobot terbesar dikurangi bobot terkecil = Banyaknya bobot
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Desa Jatiwangi Kabupaten Garut, Jawa Barat Kabupaten Garut secara geografis terletak di Bujur Timur 1070-1080 dan Lintang Selatan 6057'–7044' dengan luas daerah 3065,19 km2 (1.183,48m2). Kabupaten Garut mempunyai iklim tropis dingin dengan suku rata-rata tiap tahun sebesar 240C dan iklim hujan rata-rata sekitar 2,590 mm/ tahun. Kondisi musim ini menjadikan Kabupaten Garut kaya akan komoditas hortikultura, perkebunan, palawija dan padi. Struktur ekonomi Kabupaten Garut dari tahun ke tahun selalu didominasi oleh sektor pertanian khususnya tanaman pangan. Dengan komposisi ini Kabupaten Garut tergolong kabupaten yang berbasis pertanian. Sektor pertanian yang menjadi andalan Kabupaten Garut pada dasarnya berpeluang lebih mendorong kepada roda perekonomian khususnya, bahkan lebih memberi andil terhadap perekonomian Jawa Barat. Kecamatan Pakenjeng ditetapkan oleh Badan Litbang Departemen Pertanian sebagai lokasi percontohan program Prima Tani pada tahun 2005. sebagian besar lahan pertanian di Kecamatan Pakenjeng yaitu 225,705 ha (83,42%) berupa lahan kering dengan sumber pengairan dari air hujan. Sebelum program Prima Tani diperkenalkan, lahan kering di Kecamatan Pakenjeng banyak ditanami palawija dan padi gogo. Untuk produksi padi gogo baru mencapai 1.388 ha atau 32,29% dari luas wilayahnya. Dengan produktivitas rata-rata panen sekitar 0,90–1,44 ton GPK/ Ha, varietas lokal yang digunakan Denok dan Jampang sapi. Kecamatan Pakenjeng terdiri dari 12 desa dengan ketinggian 0-900 meter di atas permukaan laut (dpl). Curah hujan rata-rata di Kecamatan Pakenjeng 3.742 mm per tahun dengan suhu udara 18-290C. Bulan basah terjadi selama delapan bulan (Oktober-Mei), bulan lembab tiga bulan (Juni, Juli dan September) dan satu bulan kering (Agustus), sehingga menurut penggolongan Schmidt dan Ferguson Kecamatan Pakenjeng termasuk iklim tipe C (Dinas SDA dan Tambang Kabupaten Garut, 2005). Berdasarkan jenis tanahnya, Kecamatan Pakenjeng dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Asosiasi Regosol 1.230 ha dan Asosiasi Podsolik 18.420 ha.
53 Desa Jatiwangi terletak di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Pusat pemerintahan Kecamatan Pakenjeng berada di wilayah Desa Jatiwangi. Luas Desa Jatiwangi adalah 2.234,73 ha. Lahan di Desa Jatiwangi secara garis besar terbagi ke dalam dua kategori lahan yaitu lahan kering dengan luas 2.124,73 ha dan lahan sawah dengan luas 110 ha. Secara administratif batas Desa Jatiwangi: sebelah utara Kecamatan Pamulihan, sebelah selatan Desa Sukamulya, sebelah barat Desa Wangunjaya dan Desa Depok, sebelah timur Desa Talagawangi. Desa Jatiwangi berada pada ketinggian 240 hingga 860 meter dpl dengan topografi datar sampai berbukit, berombak lalu berbukit dan bergunung. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklim di Desa Jatiwangi tergolong ke dalam tipe C (Balai Penyuluhan Pertanian Kec. Pakenjeng, 2005), suhu udara terendah 220C dan tertinggi 370C. Curah hujan tahun 2004 adalah 3.499 mm dengan hari hujan sebanyak 131 hari, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 757 mm. Bulan basah terjadi selama delapan bulan (November– Mei dan Juli) dan bulan kering terjadi selama empat bulan (Juni dan Agustus– Oktober) (Dinas SDA dan Tambang Kabupaten Garut, 2005). Berdasarkan status penguasaan lahan, sebagian besar lahan/ tanah di Desa Jatiwangi merupakan tanah milik dan digarap oleh pemilik lahan. Luas pemilikan lahan sebagian besar (33,17%) kurang dari 0,5 ha (antara 0,1-0,2 ha) dan 17,44% antara 0,51- 1 ha, sedangkan lebih dari 1 ha sebanyak 8,36 %. Pada tanah tersebut sebagian besar merupakan lahan kering dengan pola tanam polikultur terdiri atas berbagai jenis tanaman, yaitu tanaman semusim (padi gogo, jagung, ubi kayu, kacang tanah) dan tanaman tahunan (nilam, cengkeh, albasia, pisang, kopi, petai, kelapa, teh dll.), sedangkan lahan sawah pada umumnya merupakan sawah tadah hujan dengan luasan lebih kecil dibanding lahan kering karena terbatasnya ketersediaan air. Jenis tanah di Desa Jatiwangi yang dikategorikan Latosol sekitar 33,55%, dan 66,45% termasuk Podsolik Merah Kuning. Di atas lahan tersebut terdapat kegiatan pertanian berupa sawah irigasi sederhana (13,5 ha), sawah tadah hujan (56,5 ha), kebun (1.830,23 ha) dan perkebunan rakyat (334,5 ha) (Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, 2004). Selebihnya lahan darat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian lainnya berupa ruminansia kecil (domba)/ pengangonan.
54 Penduduk Desa Jatiwangi pada tahun 2004 berjumlah 6.244 orang terdiri atas laki-laki 3.154 orang dan perempuan 3.090 orang, sebagian besar (77,15%) berada pada kelompok usia produktif. Sumber mata pencaharian penduduk sebagian besar petani sebanyak 2.216 orang atau 35,49% dari jumlah penduduk, buruh tani sebanyak 2.350 orang (37,64%). Sedangkan mata pencaharian lainnya seperti buruh/ swasta sebanyak 600 orang (9,61%), PNS/ pensiunan sebanyak 150 orang (2,40%) dan pedagang sebanyak 142 orang (2,27%). Sisanya sebanyak 753 orang (12,06%) tidak bekerja/ tidak sekolah. Sarana dan prasarana yang terkait dengan usahatani yang tersedia di Desa Jatiwangi antara lain: kelompok tani lima kelompok, Rice Milling Units (RMU) sembilan buah, pabrik penyulingan nilam empat buah dan kios sarana produksi lima buah. Prasarana jalan yang tersedia adalah jalan desa sepanjang 3 km, jalan kecamatan 23 km dan jalan kabupaten 52 km dengan kondisi 16 km jalan aspal, delapan km jalan tanah, dan 3 km jalan batu. Jenis angkutan yang masuk ke desa berupa ojeg dan kendaraan jenis elf. Seiring dengan pesatnya pembangunan sarana yang telah masuk adalah listrik sedangkan sarana telekomunikasi yang tersedia pada saat ini adalah jaringan telepon seluler melalui satelit yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Gambaran Umum Desa Citarik Kabupaten Karawang, Jawa Barat Kabupaten Karawang terletak di bagian Utara Jawa Barat, berbatasan langsung dengan laut Jawa di utara, kabupaten Subang di Timur, Kabupaten Purwakarta di Tenggara, Kabupaten Bogor dan Cianjur di Selatan dan Kabupaten Bekasi di sebelah Barat. Luas wilayah Kabupaten Karawang 175.327 km2 atau 3,73% dari luas provinsi Jawa Barat. Morfologi yang sebagian besar berupa dataran rendah dengan ketinggian 1 sampai 5 meter di atas permukaan laut (dpl) dan sebagian kecil wilayah lainnya berbukit dengan ketinggian mencapai 1200 m dpl. Keadaan iklim dengan suhu udara rata-rata sebesar 290C, tekanan udara rata-rata 0,01 milibar, kelembaban nisbi sebesar 80%, memiliki kecepatan angin rata-rata 30-35 km/jam (BPS Karawang, 2004). Secara administrasi, Kabupaten Karawang terbagi ke dalam empat wilayah pembantu Bupati, 20 kecamatan, 4 kantor pembantu kecamatan, 296
55 desa dan 10 kelurahan. Kabupaten Karawang termasuk salah satu kabupaten yang memiliki lahan subur terluas di Jawa Barat, sehingga sebagian lahannya digunakan untuk pertanian (BPS Karawang, 2004). Tirtamulya adalah salah satu kecamatan dari 20 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Karawang. Batas wilayah Kecamatan Tirtamulya sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lemahabang, sebelah Selatan dengan Kecamatan Cikampek, sebelah Timur dengan Kecamatan Kotabaru dan sebelah Barat dengan Kecamatan Purwasari. Luas wilayahnya 40,02 km2, luas lahan 3.798 Ha, terdiri dari lahan sawah 2.521 Ha dan lahan darat 1.277 Ha. Ketinggian wilayah dari permukaan laut berkisar antara 20 meter sampai keadaan topografi datar. Rata-rata curah hujan per tahun 120-130 mm. Dari segi wilayah penyuluhan pertanian, Kecamatan Tirtamulya memiliki 10 desa terbagi empat wilayah kerja penyuluhan pertanian. Jumlah penduduk Kecamatan Tirtamulya tahun 2006 sebanyak 43.085 orang tersebar di sebelas desa. Berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 21.465 laki-laki dan 21.620 wanita. Jumlah kepala keluarga sebanyak 11.248 KK meliputi 9.878 KK tani dan 1.370 KK nontani. Perkembangan tingkat usahatani padi sawah pada tahun 2006 dan 2007, di Kecamatan Tirtamulya umumnya menunjukkan penurunan produksi walaupun di beberapa daerah seperti di Desa Citarik dan sekitarnya masih terjadi peningkatan produksi. Berdasarkan luas tanam padi di musim tanam 2006/2007 seluas 2.521 ha, mencapai produksi padi rata-rata 6,9 ton/ha, sedangkan pada musim tanam 2007 produksi padi hanya mencapai 6,5 ton/ha. Artinya terjadi penurunan produksi padi per satuan luas. Penurunan produksi padi diantaranya disebabkan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT), sedangkan faktor penyebab lainnya karena penerapan teknologi pertanian masih rendah, biaya usahatani atau faktor input yang semakin tinggi, harga jual produksi pertanian rendah. Adapun lembaga-lembaga yang turut menggiatkan kegiatan sosial dan teknis di Kecamatan Tirtamulya dan di desa sekitarnya terdapat tiga organisasi kelembagaan yaitu kantor Kecamatan, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan Puskesmas. Sedangkan kelembagaan di tingkat desa terdiri atas sembilan kelembagaan yaitu: Kantor Desa, Koperasi Unit Desa (KUD), Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), P3A Mitra Cai, gabungan kelompok tani (Gapoktan), Bank
56 Pemerintah Daerah (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Posyandu dan Kios Saprotan. Keberadaan air sangat penting untuk berusahatani padi, irigasi salah satu teknologi yang ada di Kecamatan Tirtamulya. Jumlah saluran irigasinya sebanyak sepuluh irigasi yang tersebar di 10 desa. Irigasi tersebut mengairi lahan seluas 1.230 ha atau hanya 49% lahan yang dapat diairi dengan baik dibanding luas lahan sawah yang ada di Kecamatan Tirtamulya seluas 2.521 Ha. Gambaran Umum Desa Sapanang Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan Kabupaten Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan) terletak antara 1100 BT dan 4040'LS sampai dengan 8010'LS, terletak di Pantai Barat Sulawesi Selatan dengan batas administrasi: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Barru, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bone dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan Madura, Pulau Nusa Tenggara dan Pulau Bali. Luas wilayah Kabupaten Pangkep 1.112,29 km2 terletak 51 km dari Kota Makasar, terdiri dari 12 kecamatan yaitu sembilan kecamatan terletak di dataran dan tiga kecamatan terletak di kepulauan. Kabupaten Pangkep mempunyai topografi dataran rendah dan pegunungan. Luas dataran rendah 73.721 ha, membentang dari garis pantai barat ke timur terdiri dari persawahan, tambak dan rawa-rawa. Sedangkan daerah pegunungan dengan ketinggian 100-1000 m dpl terletak di sebelah timur batu cadas dan sebagian mengandung batu bara serta jenis batu marmer. Temperatur udara Kabupaten Pangkep berada pada kisaran 210C sampai dengan 310C atau rata-rata 26,40C. Keadaan angin berada pada kecepatan lemah sampai sedang. Tempat pendeteksian curah hujan berada di stasiun Tabo-Tabo, Leang Lonrong dan stasiun Segeri. Luas areal pertanian tanaman pangan (sawah seluas 16.167 ha terdiri dari sawah berpengairan teknis 6.025 ha, setengah teknis 1.408 ha, irigasi sederhana/ desa 377 ha, pengairan non PU 1.939 ha dan sawah tadah hujan 6.418 ha). Tanaman pangan yang dibudidayakan antara lain padi sawah dengan luas panen 18.248 ha dengan produksi sebanyak 102.116 ton, kacang tanah luas panen 1.084 ha dengan produksi sebanyak 1.961 ton, di samping itu diusahakan kedelai, kacang hijau dan
57 ketela. Areal perkebunan seluas 17.451,1 ha terdiri dari berbagai jenis tanaman antara lain mente, kemiri, jeruk, kelapa, kapok, dan kopi. Dari luas areal tersebut, yang menjadi andalan adalah jambu mente dengan areal tanam seluas 7.872 ha dan kelapa 4.694 ha, jumlah produksi selama setahun masing-masing sebanyak 3.384 ton jambu mente dan 4.141 ton kelapa. Kelurahan Sapanang mempunyai luas 662,8 km2, jumlah penduduk 4.246 jiwa (laki-laki 2.050 jiwa dan perempuan 2.196 jiwa) dan kepadatan penduduk 615 jiwa/ km. Kelurahan Sapanang terletak: sebelah utara Desa Batara, sebelah timur Desa Pa'bundukang, sebelah barat Kelurahan Sama Lewa, sebelah selatan Desa Bontoa. Suhu di Kelurahan Sapanang rata-rata 24oC, rata-rata curah hujan 1.050 mm, dan ketinggian tempat 100 m dari permukaan laut. Jarak dari ibu kota kecamatan 3,2 km, jarak dari ibu kota kabupaten 6,2 km dan jarak dari ibu kota provinsi 60 km. Luas lahan pertanian di Kelurahan Sapanang sekitar 617 Ha dengan luas sawah irigasi teknis sekitar 386,86 Ha. Jumlah penduduk 4.229 jiwa dan usia kerja 1.746 jiwa yang terdiri atas penduduk usia kerja yang bekerja 820 jiwa dan penduduk usia kerja yang belum bekerja sebanyak 926 jiwa. Tingkat produksi padi yang dicapai petani di Kelurahan Sapanang rata-rata panen 4,5-5,0 ton/ha, kacang hijau 0,5-0,9 ton/ha, kacang tanah 0,7–1,24 ton/ha, jagung 1,0–2,4 ton/ha. Untuk tanaman sayuran seperti kacang panjang 0,9 ton/ha, terong 0,8 ton/ha, ketimun 0,75 ton/ha, semangka 1,0 ton/ha, dan pepaya 0,50 ton/ha. Untuk tanaman perkebunan seperti jambu mente 1,0 ton/ha, kelapa 0,8 ton/ha dan pisang 1,0 ton/ha. Sedangkan ternak yang ada di Kelurahan Sapanang seperti kerbau jumlah 30 ekor, jumlah Sapi 93 ekor, jumlah kuda 153 ekor, jumlah kambing 16 ekor, jumlah ayam 2535 ekor dan jumlah itik 1.730 ekor. Gambaran Umum Desa Kamanre Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan Kabupaten Luwu terletak di pesisir timur Sulawesi Selatan yang luasnya 3.000,25 km2 terdiri atas laut, dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian mencapai 2000 m dpl. Secara geografis terletak pada 203'45'' LS – 3037'30'' LS dan 119041'15 BT – 121043'11 BT. Secara administrasi Kabupaten Luwu dibagi menjadi
58 13 Kecamatan. Jarak dari provinsi Sulawesi Selatan/ Makasar sekitar 300 km. Luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.247,77 km2 atau 324.777 ha sekitar 5,20% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan. Luas usahatani komoditas perkebunan 63.560 ha (19,58%) dari luas wilayah Kabupaten Luwu dan luas komoditas perkebunan kakao dalam wilayah pemukiman dan perkebunan (KIM-BUN) kakao mencapai 27.795,60 ha atau 43,75% dari luas komoditas perkebunan. Usahatani sawah 22.690 ha (6,95%) dan usahatani tambak 20.775 ha (6,22%). Hal ini menunjukkan sektor perkebunan memegang peranan penting di Kabupaten Luwu. Selain kakao, tanaman perkebunan yang dominan adalah kelapa. Berdasarkan ketinggian tempat dari muka laut, terdapat 40,2% berada pada ketinggian 0–100 dpl; 18,09% pada ketinggian 100–500 m dpl 18,09% lalu 22,98% berada pada ketinggian 500–1000 m dpl dan 20,2% pada ketinggian > 1000 m dpl. Temperatur rata-rata harian bervariasi antara 230C-240C, memiliki curah hujan relatif tinggi dan merata sepanjang tahun. Tipe iklimnya termasuk tipe A dan B dan sebagian kecil C. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Luwu adalah Alluvial sebanyak 25,69%, Podzolik 1,08%, Latosol 8,39%, Regosol 50,17%. Penggunaan tanah meliputi pemukiman 2,61%, sawah 11%, kebun campuran 26,40%, tegalan/ladang 1,17%, perkebunan 13,01%, tambak 2,68 % dan padang rumput 2,68%. Jumlah penduduk 315.720 jiwa pada tahun 2003. Pendapatan perkapita pada tahun 1999 hingga 2001 berdasarkan harga berlaku dan harga konstan tahun 1999 menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 pendapatan per kapita Rp 2.305.536 atau meningkat 9,36% dibanding tahun sebelumnya. Total PDRB Kabupaten Luwu pada tahun 2002 atas harga berlaku adalah Rp 811.339,06 juta atau meningkat 12,04% dibanding tahun sebelumnya. Kontribusi PDRB Kabupaten Luwu terhadap PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2002 sebesar 4,45 %. Kecamatan Kamanre merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Belopa. Berdasarkan data statistik Kecamatan Kamanre (Tim LKDRIB Kabupaten Luwu, 2006) luas kecamatan mencapai 52,44 km2 dengan jumlah penduduk 10.176 jiwa dengan kepadatan penduduk 194 jiwa/ km2. Lahan umumnya datar sampai agak datar (lereng 0–3%) dan sebagian berbukit/ lereng (>15%), elevasi umumnya 5 – 20 m dpl dan tertinggi (bukit) 300 m
59 dpl. Penggunaan lahan berupa kebun (dominan kakao), sawah, tambak dan pekarangan. Komoditas yang diusahakan yaitu: padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kakao, kelapa, pisang, cengkeh, langsat, durian, rambutan, nangka, kedongdong, jambu, tambak dan sedikit ternak. Adapun sagu berupa vegetasi alami yang dimanfaatkan penduduk untuk diambil sagunya sehingga penyebarannya semakin sedikit. Luas wilayah Desa Kamanre 11,80 km2 , terdiri atas empat dusun, 19 RW terletak pada ketinggian + 100 m dpl, curah hujan rata-rata 1900 mm/ tahun dan relatif merata sepanjang tahun. Curah hujan terendah umumnya terjadi pada bulan September-Oktober yaitu 50-90 mm/bulan. Tipe iklim menurut Smith dan Fergusson termasuk tipe A (amat basah) dan B (basah). Jarak dari ibu kota kabupaten ± 30 km, dari ibu kota kecamatan 11 km. Transportasi yang umum untuk masuk dan ke luar desa adalah ojek (sepeda motor). Berdasarkan data curah hujan 10 tahun (tahun 1995–2004) dari Stasiun Kecamatan Belopa (stasiun CH terdekat), rata-rata curah hujan 1995,6 mm/tahun dengan 111 hari hujan. Curah hujan tersebut hampir merata setiap bulan. Curah hujan tertinggi tercatat pada bulan April sebanyak 276 mm dan terendah pada bulan September 76 mm. Kondisi iklim yang demikian sangat cocok untuk tanaman kakao, secara ekonomi sangat menguntungkan. Secara umum petani di Desa Kamanre hanya mengandalkan tanaman kakao dan sedikit tanaman kelapa dan pisang sebagai sumber pendapatan. Aktivitas petani berlangsung sepanjang tahun dengan aktivitas utama pemangkasan, pemupukan, panen dan penyemprotan.
60 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Personal Responden Karakteristik personal responden yang diamati meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani, luas lahan garapan, status lahan garapan dan status dalam kelompok tani. Umur Umur seseorang berpengaruh dalam setiap aktivitas individu internal yang kuat kepada fungsi biologis dan psikologis individu (Setiawan, 2002). Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden menunjukkan bahwa struktur umur di lokasi penelitian sebagian besar berkisar antara 41-60 tahun. Dalam hubungan dengan produktivitas, mengacu pada umur produktif menurut Departemen Pertanian yaitu berumur antara 15-60 tahun, maka responden dalam penelitian ini umumnya tergolong produktif. Secara khusus, usia dewasa responden lebih nampak pada petani kooperator Jawa Barat (8,33%) dibanding dengan petani kooperator di Sulawesi Selatan hanya 2,08%. Responden petani kooperator usia paruh baya (41-60 tahun) terlihat lebih banyak ada di Sulawesi Selatan (18,75%) dibanding di Jawa Barat hanya 15,63%. Maka dilihat dari proporsisi umur produktif ini memungkinkan petani dapat menggarap lahan sawah pertanian dengan baik. Di samping itu petani juga mampu menyerap berbagai informasi dan inovasi teknologi yang diseminasikan dalam program Prima Tani. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Mubyarto dalam Pudjiastuti (1992) bahwa kelompok usia muda produktif cenderung responsif atau tanggap terhadap suatu pembaharuan. Hal ini memungkinkan kelompok usia muda dapat berpartisipasi aktif dalam program dan dengan sendiri akan berakibat kepada sukses dan kelancaran dalam program tersebut. Pendapat tersebut didukung Rogers dan Shoemaker (1995) yang mengutip hasil penelitian Mort (1953), Allen (1956) dan Carlson (1965) berkesimpulan bahwa orang yang berumur lebih muda lebih mudah melakukan adopsi dibandingkan dengan orang berumur tua. Usia responden yang tergolong tua (61-80) lebih banyak terlihat pada petani nonkooperator di Jawa Barat sebanyak 6,25% dan petani nonkooperator di Sulawesi Selatan sebanyak 7,29%. Dilihat dari usia petani nonkooperator yang berumur tua
61 menunjukkan mereka masih kuat bekerja tetapi cenderung menolak inovasi dibidang pertanian maupun teknologi yang diintroduksikan dalam usahataninya. Kondisi seperti ini seperti dianalisa Rakhmat (2005) bahwa semakin tua usia seseorang maka akan semakin lemah daya biologis, daya psikologis, tingkat kepekaan dan potensipotensi diri lainnya. Secara fisik petani yang berusia tua masih kuasa dan produkstif melakukan aktivitas usahataninya, tetapi usia tua membatasi manajemen dan perilakunya terutama dalam mengakses sumber informasi yang produktif. Pendapat ini didukung Kartasapoetra (1991) bahwa di antara sekian banyak petani yang telah menerapkan teknologi baru terdapat pula sebagian kecil petani yang mengabaikan usaha-usaha penyuluhan bahkan mereka menolak mengikutinya. Kebanyakan mereka berusia lanjut berumur sekitar 50 tahun ke atas, biasanya fanatik terhadap tradisi dan sulit diberikan pengertian yang dapat mengubah cara berpikir. Pendidikan Formal Tingkat pendidikan menjadi cermin bagi penguasaan seseorang terhadap pengetahuan dan penerapannya di dalam hidup bermasyarakat. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap penerimaan informasi, diseminasi teknologi dan inovasi. Tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian dan perubahan lingkungan yang ada di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka proses penyesuaian terhadap perubahan di sekitarnya dapat di atasi. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden sebagian besar tamat SD. Bila melihat komposisi tingkat pendidikan tamat SD, jumlah petani kooperator di Jawa Barat sebanyak 13,54% sama jumlahnya dengan petani nonkooperator di Sulawesi Selatan. Jumlah ini lebih sedikit dibanding jumlah petani nonkooperator di Jawa Barat (12,50%) dan jumlah petani kooperator di Sulawesi Selatan (9,38%) (lihat Tabel 2). Melihat komposisi tingkat pendidikan responden dapat dikemukakan bahwa rata-rata pendidikan responden hanya tamat SD. Kondisi ini berpengaruh terhadap adopsi teknologi pertanian yang dikenalkan lewat program Prima Tani. Ini terlihat dari banyaknya petani kooperator dan nonkooperator yang belum mampu memahami informasi mengenai teknologi introduksi yang diperkenalkan melalui program Prima Tani. Hasil wawancara dengan responden, sebagian besar awalnya mereka menduga
62 kedatangan program Prima Tani sebagai program pemerintah yang membagikan dana untuk usahatani. Fenomena ini hampir terlihat di beberapa lokasi Prima Tani bahwa kurangnya informasi tentang program Prima Tani menimbulkan perbedaan persepsi yang menyebabkan kendala bagi petani. Akibatnya informasi penting tentang teknologi introduksi dalam bidang pertanian penerapannya dalam usahatani banyak mengalami hambatan. Melihat tingkat pendidikan petani yang masih terbatas, diperlukan pembinaan petani yang lebih serius dan intensif. Di samping itu, para pengelola Prima Tani dan penyuluh perlu lebih memahami dan mencermati pesan komunikasi yang harus dikomunikasikan secara tepat kepada petani sehingga mereka cepat memahami dan mau mengadopsi program yang di bawa Prima Tani. Hal lain yang perlu mendapat perhatian pada pengelola dan penyuluh Prima Tani yaitu agar dapat memanfaatkan penggunaan media komunikasi yang tepat dan efisien untuk membantu petani memahami teknologi yang dibawanya. Fenomena ini telah dilukiskan sebelumnya oleh Slamet (1987) bahwa seseorang yang mempunyai jenjang pendidikan makin tinggi, umumnya cepat mengadopsi teknologi yang diterimanya. Dalam penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap tingkat penerimaan inovasi baik diperoleh langsung atau melalui media. Prayitnohadi (1987) menyatakan bahwa tingkat pendidikan petani mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan terhadap teknologi pertanian.
63 Tabel 2 Karakteristik responden No
Karakteristik responden
1
Umur a.Dewasa (<40 thn) b.Paruhbaya (41-60 thn) c.Tua (>60 thn) Jenis kelamin a.Laki-laki b.Wanita Pendidikan formal a.Tidak Tamat SD b.Tamat SD c.Sekolah lanjutan Pendidikan nonformal a.Jarang (< 5 kali/ tahun) b.Cukup sering (5-10 kali/tahun) c.Sering (> 10 kali/tahun) Pendapatan (Rp/ bulan) a.Rendah (173.350-3.459.170) b.Sedang (3.459.200-6.745.020) c.Tinggi(6.745.050-10.030.800) Pengalaman bertani a.Cukup pengalaman (2-23 thn) b.Pengalaman (24-45 thn) c.Sangat pengalaman (46-68 thn) Luas lahan garapan a.Cukup luas (0,25-2,17 ha) b.Luas (2,18-4,09 ha) c.Sangat luas (4,10-6,0 ha) Status lahan garapan a.Pemilik b.Penyewa penggarap Status dalam kelompok a.Ketua b.Sekretaris/ bendahara c.Anggota
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Jawa Barat (%)
Sulawesi Selatan (%)
kooperator
nonkop
kooperator
nonkop
8,33 15,63 1,04
4,17 14,58 6,25
2,08 18,75 4,17
1,04 16,67 7,29
22,92 2,08
25,00 0,00
25,00 0,00
25,00 0,00
5,21 13,54 6,25
7,29 12,50 5,21
7,29 9,38 8,33
4,17 13,54 7,29
14,58 10,42 0,00
19,79 5,21 0,00
15,63 9,37 0,00
20,84 2,08 2,08
25,00 0,00 0,00
25,00 0,00 0,00
16,66 4,17 4,17
22,92 2,08 0,00
17,71 7,29 0,00
12,50 10,42 2,08
2,08 19,79 3,13
4,17 16,66 4,17
22,92 2,08 0,00
25,00 0,00 0,00
18,74 3,13 3,13
18,74 6,26 0,00
25,00 0,00
23,96 1,04
25,00 0,00
22,92 2,08
4,17 7,29 13,54
2,08 5,21 17,71
8,33 3,13 13,54
2,08 5,21 17,71
Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal adalah proses pembelajaran di luar sekolah formal seperti kursus, pelatihan, penataran maupun magang. Data hasil penelitian pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan nonformal responden
64 umumnya tergolong rendah. Hal ini terlihat dari jumlah kursus dan sejenisnya jarang diikuti oleh petani kooperator Jawa Barat (14,58%) dan petani kooperator di Sulawesi Selatan (15,63%). Responden yang mengikuti pendidikan nonformal cukup sering yaitu petani kooperator Jawa Barat (10,42%) dan petani kooperator Sulawesi Selatan (9,37%). Responden yang sering mengikuti pendidikan nonformal lebih dari 10 kali adalah petani nonkooperator di Sulawesi Selatan (2,08%.). Melihat keragaan pendidikan nonformal tersebut, responden jarang mengikuti pendidikan nonformal baik yang diadakan oleh BPTP atau setingkat Pemda seperti Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Peternakan maupun setingkat provinsi. Pendidikan nonformal yang diadakan oleh BPTP, dinas pertanian maupun lainnya diharapkan mampu mengimbangi kurangnya pendidikan formal yang dimiliki oleh petani. Dengan mengikuti pendidikan nonformal seperti kursus, pelatihan, magang maupun sosialisasi diharapkan petani mampu menyerap informasi yang diterimanya dan dapat menerapkannya ke dalam pola usahataninya. Dampak lain yang diharapkan dari penyelenggaraan pendidikan nonformal khususnya bagi petani kooperator adalah penyebaran informasi kepada anggota kelompoknya maupun petani dari luar kelompoknya. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa pengalaman kursus yang dimiliki seseorang akan ikut mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan. Begitu juga dari kursus atau pelatihan pertanian diperoleh penambahan pengetahuan, kecakapan dalam pengelolaan usahatani, keterampilan dalam melaksanakan tugas operasional, kreativitas dan percaya diri. Pendapatan Tingkat pendapatan rata-rata petani dihitung berdasarkan seluruh penghasilan dalam satu bulan yang bersumber dari pendapatan usahatani on-farm maupun offfarm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan petani di Jawa Barat adalah Rp 1.816.260/bulan. Nilai rata-rata pendapatan ini tergolong tinggi pada petani kooperator dan nonkooperator di Jawa Barat bila dilihat pendapatan petani di Jawa Barat sendiri yaitu antara Rp 543.000 – Rp 635.175/bulan (BPS Jawa Barat, 2007). Dari hasil penelitian pendapatan rata-rata petani kooperator dan nonkoooperator di Sulawesi Selatan adalah Rp 5.102.075/bulan dimana tergolong tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan petani di Sulawesi Selatan yaitu antara
65 Rp 1.875.350 – Rp 2.478.550/bulan (BPS Sulawesi Selatan, 2007). Terungkap dalam penelitian ini petani kooperator dan nonkooperator di Jawa Barat sebanyak 25,00% berpendapatan rendah. Di Sulawesi Selatan, petani kooperator yang berpendapatan rendah (16,66%) dan petani nonkooperator sebanyak 22,92%. Dalam kategori pendapatan sedang, petani kooperator di Sulawesi Selatan (4,17%) dan petani nonkooperator sebanyak 2,08%. Dari data Tabel 2 di atas, kecenderungan penghasilan petani di dua lokasi penelitian masih rendah terutama pendapatan rata-rata petani di Jawa Barat yang jumlahnya 25,00%. Kondisi ini dapat dipahami bahwa pendapatan petani di Jawa Barat lebih banyak menggantungkan hidupnya pada pertanian khususnya padi gogo dibandingkan dengan petani di Sulawesi Selatan yang menggantungkan hidupnya pada perkebunan dimana hasil panennya banyak diekspor ke luar negeri. Rendahnya pendapatan petani akan berpengaruh kepada rendahnya adopsi teknologi inovasi yang dibawa Prima Tani. Kurangnya adopsi teknologi inovatif yang diintroduksi Prima Tani berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi pada akhirnya berdampak kepada pendapatan usahatani petani. Asumsi di atas didukung Soekartawi (1988) menyatakan bahwa pendapatan usahatani yang tinggi seringkali berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi pertanian. Adopsi inovasi menyebabkan pendapatan petani meningkat, kemudian petani kembali akan menanam modalnya untuk inovasi selanjutnya. Responden yang pendapatannya tergolong tinggi antara Rp 6.745.030Rp 10.030.800 oleh petani kooperator di Sulawesi Selatan sebanyak 4,17% yang lebih mendominasi jumlah dari kategori pendapatan lainnya. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program Prima Tani di beberapa lokasi penelitian pembinaannya masih perlu ditingkatkan disebabkan teknologi introduksi yang berdampak kepada peningkatan pengetahuan dan pendapatan petani belum terlihat secara nyata. Keadaan ini diakui sebagian besar responden bahwa pembinaan dan pengenalan teknologi introduksi masih memerlukan waktu banyak dan terus menerus sehingga petani mampu mandiri dan kreatif.
66 Pengalaman Bertani Pengalaman bertani adalah satuan tahun usahatani yang dilakukan oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan secara umum responden mempunyai pengalaman tani cukup bervariasi. Dimulai pada kategori cukup berpengalaman tani terlihat dari lamanya usahatani yang telah dilakukan oleh petani kooperator (17,71%) dan petani nonkooperator (12,50%) di Jawa Barat. Pada kategori ini, petani kooperator di Sulawesi Selatan (2,08%) lebih sedikit jumlahnya dengan petani nonkooperatornya (4,17%). Tetapi dalam kategori pengalaman tani antara 24-45 tahun, jumlah petani kooperator di Sulawesi Selatan lebih banyak (19,79%) dibanding petani nonkooperatornya (16,66%). Di Jawa Barat, pengalaman tani petani kooperator antara 24-45 tahun hanya 7,29% lebih sedikit dibanding jumlah petani nonkooperatornya (10,42%). Pada kategori berpengalaman tani antara 46-68 tahun, jumlah petani nonkooperator di Sulawesi Selatan (4,17%) lebih banyak dibanding jumlah
petani kooperatornya (3,13%). Pada kategori ini,
jumlah
petani
berusahatani
petani
nonkooperator Jawa Barat hanya 2,08%. Dari
uraian
tersebut,
tingginya
pengalaman
menggambarkan kinerja petani pada tingkatan yang kuat. Namun pengalaman bertani yang tinggi belum dapat dimaknai berkinerja kuat. Rogers (2003) menyatakan bahwa petani yang tergolong dalam kelompok laggard, sebagian besar adalah petani berusia tua dan berpengalaman tinggi dalam berusahatani. Pengalaman yang tinggi seringkali membuat mereka taklid dan apriori terhadap inovasi-inovasi baru yang diintroduksikan. Di sisi lain, wawancara dengan petani di lapangan mengakui bahwa kurang lamanya program Prima Tani yang dilakukan, belum sepenuhnya dapat mendidik dan menciptakan petani untuk menjadi lebih mandiri, inovatif terhadap teknologi yang diintroduksikan walaupun pengalaman mereka cukup tinggi. Ini disebabkan budaya setempat yang masih melekat dalam masyarakat. Hal ini diakui pula ketika melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan BPTP Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menyatakan bahwa ada kesulitan untuk mengubah kebiasaan petani dalam berusahatani, perilaku mereka yang spesifik dan cenderung tradisional. Analisa tersebut didukung Soejanto dalam Setiawan (2002) bahwa golongan orang-orang tua mempunyai pandangan yang didasarkan kepada tradisi kuat sehingga sukar
67 mengadakan perubahan yang nyata. Mereka yang berpengalaman tinggi juga sudah jenuh dengan berbagai program rekayasa sosial. Luas Lahan Garapan Luas lahan garapan menjadi faktor penentu produksi, produktivitas, pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani. Tingginya pertambahan penduduk berdampak pada konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan, akibatnya luas lahan pertanian makin berkurang. Oleh sebab itu, luas lahan garapan pertanian baik dimiliki sendiri, disewakan maupun bagi hasil menjadi semakin sempit. Penelitian menunjukkan bahwa luas lahan yang digarap oleh petani baik di Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan pada umumnya tergolong cukup luas yaitu antara 0,25-2,17 ha. Pada kategori ini, secara umum luas lahan banyak dimiliki oleh petani kooperator (22,92%) atau 25,00% dimiliki oleh petani nonkooperator di Jawa Barat dan dimiliki sama banyaknya oleh petani kooperator maupun nonkooperator di Sulawesi Selatan (18,74%). Pada luas garapan antara 2,18-4,09 ha dimiliki petani kooperator Jawa Barat (2,08%) dimana jumlah ini lebih sedikit dibanding luas lahan yang dimiliki petani kooperator di Sulawesi Selatan (3,13%), tetapi banyak dimiliki oleh petani nonkooperator (6,25%) di Sulawesi Selatan. Responden yang mempunyai luas lahan 4,10-6,0 ha dimiliki oleh petani kooperator di Sulawesi Selatan (3,13%). Fenomena ini dapat dipahami bahwa sebagian besar luas lahan garapan lebih banyak dimiliki oleh petani di Sulawesi Selatan karena sebagian besar mereka adalah petani kebun. Hal ini dikuatkan wawancara dengan petani kooperator bahwa mereka mempunyai luas lahan garapan banyak digunakan untuk menanam pohon tahunan seperti kakao yang menurut mereka menguntungkan. Keuntungan yang didapatkan dari hasil perkebunan akan diinvestasikan pada pembelian lahan baru, alat pertanian dan teknologi baru yang menguntungkan. Luas lahan garapan juga dapat berpengaruh terhadap penggunaan teknologi baru atau inovasi. Senada pendapat tersebut, Hartoyo (1982) dari hasil penelitiannya bahwa petani yang mempunyai luas lahan garapan sempit kurang responsif untuk menggunakan teknologi baru atau inovasi. Hal ini disebabkan karena petani kurang memiliki keberanian dan keuletan serta kesanggupan untuk menghadapi resiko dalam menggunakan inovasi. Mengutip istilah Geertz dalam Setiawan (2002) tampak jelas
68 bahwa banyak petani dalam penelitian ini masuk kategori kinerja lemah. Secara faktual, ketimpangan struktur penguasaan lahan semakin tajam. Meskipun persentase rumah tangga tani yang menguasai lahan di atas satu hektar menurun, namun luas penguasaan lahannya cenderung tetap dan meluas. Status Lahan Garapan Berdasarkan Tabel 2 digambarkan umumnya status lahan garapan yang dimiliki oleh petani kooperator dan nonkooperator di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan dimiliki oleh perorangan. Ini terlihat dari jumlah pemilik lahan garapan sebesar 25,00% dimiliki oleh petani kooperator di Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan luas lahan yang dimiliki oleh petani nonkooperator di Jawa Barat yaitu 23,96% dan 22,92% lahan dimiliki oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan. Sebagian kecil status lahan garapan disewa dan digarap oleh petani nonkooperator di Jawa Barat (1,04%) dan oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan sebanyak 2,08%. Kondisi ini diakui petani ketika wawancara bahwa mereka umumnya secara ekonomi mampu membeli lahan garapan seperti sawah maupun kebun sebagai asset usahataninya. Ini berarti pemilikan dan penambahan luas lahan akan berpengaruh terhadap pola usahataninya. Status dalam Kelompok Kedudukan seseorang dalam kelompok merupakan perilaku di dalam dimensi tugas dan sosial pada proses interaksi kelompok. Kedudukan seseorang dalam kelompok juga terkait erat dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban. Mengacu pada pengertian di atas, kedudukan atau keanggotaan dalam kelompok pada penelitian ini adalah jabatan yang dipegang atau yang diberikan kepada seseorang sebagai ketua, sekretaris/ bendahara dan anggota, juga hubungannya dengan hak-hak, tugas dan kewajiban anggota dalam kelompok. Hasil penelitian menggambarkan bahwa komposisi status petani dalam kelompok ternyata bervariasi. Dari jumlah responden, ternyata ada 4,17% petani kooperator Jawa Barat dan 8,33% petani kooperator Sulawesi Selatan berkedudukan sebagai ketua kelompok. Sebanyak 7,29% petani kooperator di Jawa Barat berkedudukan sebagai sekretaris/ bendahara dan 3,13% petani kooperator di Sulawesi Selatan berposisi sebagai sekretaris/ bendahara. Sisanya sebanyak 13,54%
69 masing-masing petani kooperator Jawa Barat dan petani kooperator Sulawesi Selatan berkedudukan sebagai anggota. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan jumlah petani nonkooperator Jawa Barat (17,71%) dan sebanyak 17,71% petani nonkooperator di Sulawesi Selatan yang berposisi sebagai anggota. Keragaan keanggotaan tersebut menyimpulkan bahwa posisi dalam kelompok berbeda baik menurut jumlah maupun posisinya. Setiap kelompok mempunyai jumlah keanggotaan yang bervariasi dengan pembagian posisi yang agak berbeda dengan kelompok lainnya. Gambaran umum di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok tani telah ada pembagian tugas dan wewenangnya. Pembagian tugas dan wewenang itu dilakukan untuk memberikan peranserta para anggota untuk aktif dalam membantu sesama anggota dan kelompok tani lainnya. Hal ini diungkap petani di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan menyatakan adanya pembagian kerja dengan dibentuknya beberapa seksi tugas berguna untuk memudahkan pekerjaan kelompok tani di dalam membantu para anggotanya. Menurut Berlo dalam Harun (1987) bahwa status keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi baik sebagai pengurus atau anggota biasa berhubungan dengan persepsinya terhadap organisasinya. Seiring dengan uraian di atas, Azahari (1988) menyatakan bahwa lama berdirinya kelompok, lamanya petani menjadi anggota kelompok, kedudukan dan aktivitasnya dalam kelompok tani, cenderung berhubungan dengan tingkat partisipasi petani dalam pembangunan pertanian. Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani adalah aktivitas petani dalam menggunakan dan mengikuti kegiatan promosi, sosialisasi dan informasi melalui gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis. Gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis diselenggarakan untuk tujuan: 1) memperkenalkan inovasi pertanian, 2) menjelaskan secara teknis bagaimana menerapkan teknologi tersebut, 3) menyediakan informasi dalam berbagai bentuk tercetak maupun elektronik yang mendukung kegiatan usahatani petani di wilayah binaan Prima Tani. Untuk mengetahui pendapat petani mengenai komponen-
70 komponen yang ada dalam media gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis, maka dilakukan penelitian yang mendalam. Gelar Teknologi Gelar teknologi adalah kegiatan komunikasi atau diseminasi yang menampilkan teknologi hasil program Prima Tani yang di lihat secara visual. Gelar teknologi dalam program Prima Tani mempertunjukkan aspek visual dengan cara menampilkan contoh produk dan teknik-tekniknya kepada petani di lahan percontohan Prima Tani. Pendekatannya lebih bersifat persuasif dan diharapkan terjadi proses tanya-jawab dalam kegiatan tersebut. Gelar teknologi yang dilakukan di wilayah Garut dan Karawang, Jawa Barat; Pangkep dan Luwu, Sulawesi Selatan, bertujuan untuk memperkenalkan hasil atau produk-produk pertanian yang dihasilkan para petani di wilayah binaan Prima Tani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden lebih responsif terhadap penyelenggaraan gelar teknologi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keuntungan usahatani dan bertambahnya pengetahuan mengenai teknologi pertanian yang di gelar pada acara tersebut. Adapun gambaran umum dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Rataan skor pemanfaatan media komunikasi Prima Tani Rataan Skor *) No Pemanfaatan media Prima Jawa Barat Sulawesi Selatan Tani kooperator nonkooperator kooperator nonkooperator 1. Gelar teknologi 2,27 2,06 2,62 1,54 2. Media komunikasi 2,66 1,84 2,54 1,50 Prima Tani 3. Klinik agribisnis 2,62 2,33 2,72 1,00 Total rataan skor 2,52 2,07 2,63 1,35 Keterangan: *) 1,00-1,66 = buruk; 1,67-2,33 = jarang/kurang; 2,34-3,00 = baik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan media komunikasi Prima Tani di dua provinsi berbeda. Di Jawa Barat, petani kooperator dan nonkooperator kurang merespons kegiatan gelar teknologi yang diadakan dalam program Prima Tani. Ini terlihat pada petani kooperator di Jawa Barat yang memiliki rataan skor 2,27 dan petani nonkooperatornya memiliki rataan skor 2,06. Kondisi ini berbeda dialami oleh petani kooperator di Sulawesi Selatan dimana kegiatan gelar teknologi yang diadakan dalam program Prima Tani sangat direspons dibuktikan nilai rataan skor 2,62 tetapi masih belum di respons oleh petani nonkooperator di Sulawesi
71 Selatan (1,54) terhadap kegiatan gelar teknologi seperti varietas baru, teknologi budidaya baru, teknologi panen, pengolahan hasil panen maupun cara pemasaran. Di samping itu, keuntungan lainnya yang sering di terima petani kooperator Jawa Barat dalam mengikuti gelar teknologi yaitu pengenalan varietas baru teknologi lebih sering direspons, tetapi dalam pengenalan teknologi budidaya, teknologi panen, teknologi pengolahan hasil dan teknologi pemasaran masih jarang direspons oleh petani kooperatornya. Kondisi ini dialami sama oleh petani nonkooperator di Jawa Barat dimana setiap kegiatan gelar teknologi masih jarang direspons. Dalam gelar teknologi di Sulawesi Selatan secara umum ada perbedaan dengan di Jawa Barat, dimana petani kooperator sangat merespons setiap kegiatan tersebut. Kegiatan gelar teknologi yang diadakan dalam program Prima Tani seperti pengenalan varietas baru (2,58), teknologi budidaya baru (2,63), teknologi panen (2,58), teknologi pengolahan hasil (2,71) dan teknologi pemasaran (2,58) direspons dengan baik oleh petani kooperator. Di lain pihak, kegiatan gelar teknologi oleh petani nonkooperator seperti pengenalan teknologi baru (1,54), teknologi panen (1,50), teknologi pengolahan hasil dan teknologi pemasaran (1,33) tidak direspons dengan baik. Kondisi tersebut dapat dipahami karena sebagian besar petani nonkooperator baik di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan masih menggunakan alat-alat sederhana dan masih tradisional dalam mengolah hasil panen masih. Di samping itu, banyak ditemui kendala terutama dalam memasarkan hasil pertanian disebabkan belum adanya lembaga pemasaran khusus yang menampung hasil pertanian mereka. Para petani biasanya menjual langsung kepada pedagang, tengkulak atau ke pasar yang terdekat. Media Komunikasi Prima Tani Media komunikasi yang dimanfaatkan dalam kegiatan program Prima Tani lebih banyak metodenya dan bervariasi dalam media yang digunakan. Penyajian media komunikasi dalam program Prima Tani di lapangan diharapkan lebih efektif dan efisien untuk memberikan informasi penting bagi petani. Media komunikasi interpersonal perlu ditunjang dengan media cetak seperti poster, pamplet/ brosur atau tabloid Sinar Tani dan majalah Prima Tani untuk membantu penyebaran informasi kepada petani. Indikator yang diamati dalam pemanfaatan media komunikasi Prima
72 Tani adalah pamplet, poster, temu wicara, demplot/ percontohan serta pendekatan komunikasi lain seperti: a) diskusi/ musyawarah, b) dialog/ tukar pendapat, c) ceramah/ pengarahan, d) kunjungan usahatani, e) kunjungan petani ke petugas, f) instruksi/ perintah dan g) himbauan/ anjuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan media Prima Tani oleh petani kooperator baik di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan lebih bervariasi. Di Jawa Barat sendiri, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani oleh petani kooperator lebih banyak digunakan untuk menambah pengetahuan dan informasi di bidang pertanian dibuktikan rataan skor 2,66. Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani terlihat pada temu wicara, demplot/ percontohan, diskusi/ musyawarah, dialog/ tukar pendapat, sistem ceramah/ pengarahan, instruksi dan anjuran petugas banyak dimanfaatkan petani kooperator untuk menambah informasi dan pengetahuan mereka dalam bidang pertanian. Keberadaan media komunikasi Prima Tani di lokasi tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani nonkooperator di Jawa Barat seperti media pamplet (1,58), tetapi metode lain seperti poster (1,67), temu wicara (2,33) dan demplot/ percontohan (2,92) sudah dimanfaatkan walaupun jarang digunakan. Begitupun metode pendekatan komunikasi lain seperti diskusi, dialog, ceramah, kunjungan usahatani, instruksi maupun anjuran masih jarang digunakan sebagai upaya untuk menambah pengetahuan dan informasi pertanian. Dengan demikian, efektivitas media Prima Tani sebagai media penyebaran di tingkat petani perlu dipertahankan dan dikembangkan lebih baik lagi. Berbeda kondisi di Sulawesi Selatan, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani lebih lebih banyak digunakan oleh petani kooperator untuk menambah informasi dan pengetahuan mereka dibidang pertanian seperti temu wicara dan demplot/ percontohan, tetapi media lain seperti poster dan pamplet masih kurang dimanfaatkan. Disamping itu, pendekatan komunikasi lain banyak dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan dengan cara berdiskusi, dialog/ tukar pendapat, ceramah, instruksi dan anjuran petugas. Sebaliknya, petani nonkooperator di Sulawesi Selatan belum memanfaatkan media komunikasi Prima Tani yang ada seperti poster, pamplet, demplot maupun pendekatan komunikasi lainnya terlihat pada rataan skor 1,50.
73 Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam kegiatan penyuluhan, selain komunikasi dan pengarahan, demplot, temu wicara, diskusi, tukar pendapat, diskusi dan pengarahan banyak dilakukan oleh petani kooperator. Mereka banyak mendapatkan poster dan pamplet dari klinik agribisnis ketika melakukan pertemuan dengan penyuluh atau peneliti. Dengan demikian, penyebaran informasi dengan menggunakan media komunikasi Prima Tani efektif dan efisien dilakukan kepada petani kooperator untuk menambah pengetahuan dan informasi dibidang pertanian. Hal ini dikuat ketika dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan BPTP Jawa Barat dan Sulawesi Selatan bahwa penggunaan media seperti leaflet sangat mendukung untuk penyebaran informasi kepada petani dimana format isi dan penyajiannya disamakan dengan penyuluh sehingga diharapkan dapat dimengerti oleh petani. Di sisi lain, keberhasilan usahatani berhubungan dengan petugas dari lembaga terkait karena masalah usahatani yang memerlukan masukan-masukan (kinerja input) diantaranya motivasi, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman orang lain. Semua itu hanya didapat melalui proses komunikasi seperti dialog, diskusi dan sebagainya. Esman (1974) menyatakan bahwa pentingnya memelihara dialog dan saling tukar menukar informasi sebagai wujud adanya komunikasi dua arah antara petugas proyek pembangunan dengan masyarakat setempat. Ini berarti bahwa keberhasilan petani dalam mengelola usahatani karena ada dukungan seperti dialog dan saling tukar informasi antara petugas Prima Tani dengan petani di lapangan. Selanjutnya Just dan Zilberman (1985) berpendapat bahwa suatu kegagalan dalam proses adopsi teknologi pertanian disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh petani mengenai suatu teknologi. Kurangnya informasi dikarenakan rendahnya frekuensi hubungan antara petani dengan penyuluh. Pendapat tersebut didukung Mundy (2000) yang menyatakan bahwa kecepatan adopsi inovasi tergantung pada beberapa hal yaitu sifat inovasi, sifat adopter dan perilaku pengantar perubahan (peneliti atau penyuluh). Menurut Bunch (2001) rancangan terbaik di dunia pun tidak akan menjadi pogram yang berhasil kalau petugasnya tidak berkemampuan dan kemauan untuk menjadikannya berhasil.
74 Klinik Agribisnis Klinik agribisnis adalah wadah yang dapat memberikan nuansa perubahan ke arah yang lebih baik pada komunitas petani, karena di dalamnya terjadi interaksi antara sumber informasi teknologi dengan pengguna di tingkat lapang. Klinik agribisnis merupakan metode pendekatan diseminasi antara lembaga penelitian dan penyuluhan kepada sasaran, sesuai tugas dan fungsinya yakni berperan sebagai lembaga pengkaji dan penyedia teknologi spesifik lokasi. Peran klinik agribisnis lebih mendekatkan sumber-sumber teknologi pertanian kepada khalayak pengguna, khususnya petani dan sekaligus menjadi wahana mendapatkan umpan balik untuk penyempurnaan penyelenggaraan penelitian, pengkajian dan diseminasi. Pelayanan informasi melalui klinik agribisnis dilakukan dengan tiga kegiatan utama yakni: 1) penyebaran informasi melalui media cetak, 2) pemberian jasa konsultasi usahatani, 3) pelayanan pemecahan masalah usahatani. Hal-hal yang dipersiapkan antara lain: materi yang akan didiseminasikan, lokasi klinik,
tenaga
pengelola,
peralatan
dan
lahan
sebagai
tempat
untuk
mendemonstrasikan inovasi teknologi yang akan diterapkan (visitor plot). Materi yang akan didiseminasikan, dirancang dan disusun dengan rinci dan disesuaikan dengan kebutuhan petani. Materi disajikan dengan menggunakan multimedia dan multimetoda (Tim LKDRIB Kabupaten Garut, 2007). Klinik agribisnis dilengkapi dengan: 1) tenaga konsultan agribisnis, 2) peragaan inovasi pertanian dalam bentuk leaflet, warta dan poster, 3) informasi agribisnis yang mencakup aspek input dan output (jenis komoditas, harga, kebutuhan pasar, permodalan, kualitas), 4) informasi inovasi teknologi budidaya, pascapanen, penyuluhan dan pemasaran, 5) informasi tentang manajemen pengelolaan alat dan mesin pertanian. Arah kegiatan klinik agribisnis ini ditujukan untuk
memecahkan:
1) permasalahan yang ada di lapangan, 2) memanfaatkan, mengembangkan potensi dan peluang yang tersedia, 3) memperbaiki teknologi eksisting dengan inovasi teknologi sesuai kebutuhan lapangan, 4) meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam mengelola usaha pertaniannya (Tim LKDRIB Kabupaten Garut, 2007).
75 Dalam penelitian ini klinik agribisnis yang diamati adalah narasumber, fasilitas klinik, media yang dipakai dalam pelayanan, bahan brosur, metode pelayanan, penjelasan pelayanan, anjuran dalam pelayanan dan keberadaan petugas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari delapan faktor klinik agribisnis terlihat nilai rataan skor bervariasi di dua provinsi yang berbeda. Di Jawa Barat, pemanfaatan klinik agribisnis telah dilakukan oleh petani kooperator dibuktikan dengan skor rata-rata 2,62. Ini berarti keberadaan klinik agribisnis di lokasi sangat menguntungkan dalam peran dan fungsinya sebagai wadah interaksi antara sumber informasi teknologi dan petani serta pengguna lainnya di lapangan (lihat Tabel 3). Di samping itu, peran klinik agribisnis mampu menjembatani peran lembaga pengkaji dan penyedia teknologi spesifik lokasi. Hal ini dibuktikan rataan skor 2,67 dimana petani kooperator di Jawa Barat menganggap narasumber pada klinik agribisnis sangat menguasai masalah pertanian, penjelasannya mudah dipahami (2,96) dan setiap anjuran diberikan oleh petugas masuk akal dan keberadaan petugas sangat mudah ditemui (3,00). Tetapi, peran klinik agribisnis belum semuanya dirasakan oleh petani kooperator seperti fasilitas klinik, media yang digunakan dan metodenya masih jarang dimanfaatkan. Keberadaan klinik agribisnis di lokasi dimanfaatkan pula oleh petani nonkooperator Jawa Barat untuk menambah informasi dan pengetahuan di bidang pertanian. Ketika konsultasi di klinik agribisnis, mereka merasakan narasumber lebih menguasai persoalan pertanian (2,83), penjelasannya memuaskan (2,75) dan anjuran petugas klinik agribisnis masuk akal. Tetapi manfaat lain yang masih jarang dirasakan oleh petani nonkooperator yaitu fasilitas, media yang digunakan, bahan brosur, metode dan keberadaan petugas. Hal ini dikuatkan wawancara dengan petani bahwa sebagian besar mereka telah memanfaatkan keberadaan klinik agribisnis untuk menanyakan kesulitan dalam memberantas hama dan penyakit serta teknik menanam yang baik di lahan pertanian kepada petugas atau penyuluh. Di Sulawesi Selatan, keberadaan klinik agribisnis sangat dirasakan manfaatnya oleh petani kooperator dibuktikan rataan skornya 2,72. Ini terlihat dimana dalam setiap konsultasi di klinik agribisnis menurut mereka narasumber sangat menguasai persoalan, fasilitasnya tersedia, medianya tepat digunakan, bahan brosur banyak tersedia, metode dalam penjelasannya lebih komunikatif dan mudah
76 dipahami, anjuran oleh narasumber masuk akal serta menemui petugas sangat mudah setiap saat. Dengan demikian, efektifitas keberadaan klinik agribisnis menunjukkan manfaat dan perannya sebagai wadah konsultasi, tukar informasi dan penyedia teknologi perlu dikembangkan lagi di masa akan datang. Sebaliknya, peranan dan manfaat klinik agribisnis masih belum banyak dirasakan oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan baik narasumber, fasilitas, media, brosur yang tersedia, metodenya, anjuran dari petugas, penjelasan bahkan keberadaan petugasnya belum dimanfaatkan oleh mereka. Keadaan tersebut dapat dimengerti karena metode pelayanan yang ditetapkan berorientasi pada petani untuk memanfaatkan klinik agribisnis sebagai penyedia informasi teknologi pertanian. Diharapkan klinik agribisnis sebagai wadah penyedia informasi dan teknologi benar-benar dapat dimanfaatkan baik oleh petani khususnya dan stakeholder lainnya. Hasil wawancara dengan beberapa petani di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan klinik agribisnis di lokasi Prima Tani sangat berperan sebagai tempat konsultasi antara petani dengan petugas, dimana petani bisa mendapatkan informasi tambahan dengan cara membaca poster atau pamplet yang disediakan. Aksesibilitas Kelembagaan Tani Aksesibilitas kelembagaan tani adalah perilaku komunikasi petani dalam mendapatkan informasi dan meningkatkan pengetahuan tentang program Prima Tani baik melalui media massa maupun media interpersonal seperti penyuluh, peneliti, pemandu, sesama petani dan yang terkait dengan model Prima Tani dalam usahataninya. Aksesibilitas kelembagaan tani yang diamati dalam penelitian ini adalah keuntungan kelompok tani dan manfaat keberadaan kelompok tani. Hasil penelitian menunjukkan, dari empat indikator peubah keuntungan dan delapan indikator manfaat adanya kelompok tani mempunyai nilai skor rata-rata bervariasi di dua provinsi yang berbeda. Di Jawa Barat, aksesibilitas keberadaan kelompok tani dirasakan manfaatnya dengan rataan skor 2,70 dan keuntungannya oleh petani kooperator dibuktikan rataan skor 2,78. Manfaat adanya kelompok tani lebih terlihat pada mengatasi masalah kebutuhan usahatani, mengatasi kesulitan di bidang
77 pertanian, menjaga harga produk, menyediakan fasilitas dan tempat silaturahmi. Di samping itu, manfaat lain yang dirasakan oleh petani kooperator seperti adanya kepemimpinan kelompok membantu meningkatkan produksi, memasarkan hasil dan mengatasi
kesulitan
petani.
Keberadaan
kelompok
tani
dirasakan
pula
keuntungannya oleh petani kooperator di Jawa Barat terlihat pada kerjasama dengan pihak pedagang dan sesama petani kelompok, penyuluhan oleh petugas kepada kelompok dan jaringan kerjasama dalam sistem agribisnis. Di sisi lain, aksesibilitas keberadaan kelompok tani pun dirasakan memberi keuntungan terlihat rataan skornya 2,36. Keuntungan yang dirasakan dari adanya kelompok tani hanya pada kerjasama sesama anggota, kegiatan penyuluhan petugas dan kerjasama jaringan dalam sistem agribisnis. Keadaan tersebut dapat dipahami dalam hasil wawancara dengan petani kooperator di Jawa Barat bahwa budaya mereka sejak kecil telah menanamkan kerjasama dan gotong royong dalam panen, meminjam benih maupun alat pertanian yang masih kurang kepada sesama anggota kelompok bahkan peminjaman kredit uang untuk usahatani telah dilakukan. Kondisi berbeda dialami oleh petani nonkooperator di Jawa Barat dimana aspek manfaat adanya kelompok tani masih kurang dirasakan petani nonkooperator dibuktikan rataan skor 2,31. Manfaat adanya kelompok tani ini seperti kelompok menyediakan
fasilitas,
kepemimpinan
membantu
meningkatkan
produksi,
memasarkan hasil dan mengatasi kesulitan petani masih kurang dirasakan tetapi indikator lainnya seperti mengatasi kebutuhan usahatani, mengatasi kesulitan di bidang pertanian, menjaga harga produk dan menjadi tempat silaturahmi lebih banyak dirasakan oleh petani nonkooperator (lihat Tabel 4). Tabel 4 Rataan skor aksesibilitas kelembagaan tani No
1. 2.
Rataan skor *) Jawa Barat Sulawesi Selatan kooperator nonkooperator kooperator nonkooperator Manfaat adanya lembaga 2,70 2,31 2,70 2,27 tani Keuntungan lembaga tani 2,78 2,36 2,92 2,76 Total rataan skor 2,74 2,33 2,81 2,52
Aksesibilitas kelembagaan tani
Keterangan:
*)
1,00-1,66 = buruk/ tidak ada ; 1,67-2,33 = jarang/kurang; 2,34-3,00 = baik
78 Di Sulawesi Selatan, keberadaan kelompok tani sangat dirasakan keuntungan (2,92) dan manfaatnya (2,70) bagi petani kooperator. Keuntungan adanya kelompok tani dirasakan oleh petani kooperator seperti kerjasama dengan pedagang, kerjasama sesama petani, kegiatan penyuluhan dan jaringan kerjasama dalam agribisnis. Pada aspek manfaat adanya keberadaan lembaga tani pun dirasakan di lokasi. Hal ini terlihat pada peran kelompok tani dapat mengatasi masalah, mengatasi kesulitan di bidang pertanian, menjaga harga hasil panen, menyediakan fasilitas dan menjadi tempat silaturahmi bagi anggota kelompok. Manfaat lain yang dirasakan lembaga tani adalah pemimpin kelompok membantu memasarkan hasil, meningkatkan hasil produksi dan mengatasi kesulitan anggota kelompok. Kondisi di atas dikuatkan dalam wawancara dengan petani di lapangan bahwa mereka telah melakukan kerjasama antarkelompok di dalam meminjam pupuk, obat hama dan gotong royong ketika panen tiba. Kerjasama itu telah menjadi kegiatan rutinitas mereka untuk membantu sesama anggota kelompok. Kondisi ini jauh berbeda dirasakan petani nonkooperator di Sulawesi Selatan. Mereka hanya merasakan manfaat lembaga tani dalam menjaga harga hasil panen agar tidak turun (2,80) dan menyediakan fasilitas bagi pengelolaan anggota kelompok (2,42). Keberadaan kelompok tani dirasakan pula keuntungannya oleh petani nonkooperator terlihat rataan skor 2,76 dimana kerjasama dengan pihak pedagang, kerjasaman sesama petani, kegiatan petugas penyuluhan dan jaringan kerjasama dalam sistem agribisnis sangat menguntungkan. Di sisi lain, tujuan program Prima Tani adalah untuk meningkatkan dan memperkuat aksesibilitas kelembagaan tani. Hal ini dimaksudkan untuk menunjang penguatan dalam integrasi antara kelembagaan tani seperti kelembagaan kios saprodi, kios alsintan, KUD dan lembaga pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan kelembagaan tani cenderung kurang menguntungkan bagi petani. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa peran kelembagaan tani seperti gapoktan dan lembaga pemasaran masih belum berfungsi semestinya disebabkan kurangnya koordinasi antara pengurus dengan anggotanya dan kesibukan rutin yang dilakukan oleh masing-masing petani. Kondisi seperti ini didukung wawancara dengan petugas Prima Tani bahwa hampir sebagian di lokasi Prima Tani ketika dilakukan PRA (Partisipatory Rural Appraisal), menunjukkan bahwa kelompok tani sebagai lembaga
79 produksi belum berfungsi optimal, organisasi kelompok belum berjalan dan belum teratur sebagaimana mestinya. Hal ini berpengaruh terhadap organisasi dan manfaat kelompok belum dipahami secara baik oleh petani. Persepsi Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan Persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan objek yang diinformasikan kepada dirinya,
sehingga
orang
tersebut
dapat
memandang,
mengerti
dan
menginterpretasikan informasi itu dengan keadaan dirinya dan lingkungannya dimana ia berada, sehingga dapat menentukan tindakannya. Dalam penelitian ini persepsi petani mengenai teknologi introduksi AIP berarti pandangan, pengamatan dan pengertian serta interpretasi petani mengenai teknologi introduksi AIP yang dikenalkan dalam program Prima Tani, sehingga dapat memandang dan mengerti hal tersebut dengan interpretasinya terhadap lingkungannya hingga dapat menentukan tindakan selanjutnya. Teknologi introduksi AIP merupakan inovasi teknologi yang dapat dikembangkan dan diterapkan pada daerah agroekosistem yang berbeda-beda sesuai dengan lokasi Prima Tani, bertujuan meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani secara berkelanjutan. Pengembangan dan penerapan teknologi introduksi AIP mencakup penataan kembali tata letak pertanaman dalam satu lahan yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah optimalisasi dan konservasi lahan. Komoditas dan teknologi yang diintroduksi disesuaikan dengan kondisi biofisik, sosial budaya, ekonomi dan kebutuhan pengguna di lingkungan setempat. Kesesuaian inovasi teknologi dikembangkan dalam suatu sistem usahatani terpadu yaitu integrasi antara tanaman dan ternak yang ada di lokasi Prima Tani dalam kerangka Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). Keluaran akhir dari Prima Tani adalah terbentuknya unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) dan Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) yang merupakan representasi industri pertanian dan usahatani berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu kawasan pengembangan. Dalam penelitian ini persepsi petani mengenai teknologi introduksi yang dikembangkan dalam program Prima Tani meliputi aspek biofisik, sosial dan
80 ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum persepsi petani terhadap teknologi introduksi AIP dilihat dari aspek biofisik, ekonomi dan sosial mempunyai skor nilai yang berbeda dari dua provinsi. Di Jawa Barat, persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik terlihat meningkat dibuktikan rataan skor 2,42 berarti persepsinya tentang penampilan biofisik pertanian tergolong baik terutama pada penghasilan komoditas sampingan sebelum dan sesudah adanya Prima Tani serta pemanfaatan limbah pertanian yang dihasilkan sepenuhnya telah dimanfaatkan oleh petani (2,79) berarti menunjukkan perhatian petani dalam pemanfaatan limbah hasil pertanian untuk keperluan usahatani telah meningkat. Pada aspek ekonomi juga telah terjadi peningkatan persepsi petani kooperator di Jawa Barat (2,37) berarti kegiatan usahatani yang dilakukan secara ekonomi banyak menguntungkan bagi mereka terutama produk yang dihasilkan mutunya baik dan melimpah, ada nilai tambah setelah ada Prima Tani dan ada tambahan pendapatan setelah diterapkan dalam usahatani serta ada investasi setelah pendapatan meningkat. Begitu pula pada aspek sosial, petani kooperator di Jawa Barat telah meningkat persepsinya tentang teknologi introduksi AIP terutama adopsi terhadap model Prima Tani, pada indikator sosial psikologi terjadi perubahan pengetahuan, sikap dan tindakan, pada indikator sosial kemandirian telah terjadi peningkatan, pada indikator sosial keinovatifan terjadi peningkatan tetapi pada aspek lain terutama penerapan teknologi benih, teknologi budidaya, teknologi pengolahan hasil dan teknologi pemasaran tidak diterapkan dalam usahataninya. Begitu pula dalam indikator sosial manajemen usaha masih terjadi kendala dirasakan petani kooperator untuk menerapkan teknologi yang ada pada program Prima Tani. Kondisi seperti ini didukung pendapat petani dalam Focus Group Discussion (FGD) dilapangan bahwa mereka telah menerapkan varietas padi yang diintroduksi karena tahan hama penyakit dan tidak terlalu banyak kehilangan waktu panen, penampilan vigur tanaman baik untuk komoditas padi, palawija, sayuran dan pola tanam yang baik disertai pengairan yang cukup serta telah memanfaatkan limbah pertanian untuk ternak dan pupuk. Kondisi berbeda dialami petani nonkooperator di Jawa Barat, dimana persepsi mereka belum meningkat tentang teknologi introduksi AIP terutama penampilan biofisiknya dibuktikan rataan skor 1,26 berarti petani nonkooperator
81 belum memanfaatkan teknologi untuk penampilan biofisik pertanian yang baik. Pada aspek ekonomi, hanya sebagian saja yang dirasakan oleh petani nonkooperator terutama penjualan mutu produk baik dan melimpah, ada nilai tambah, pendapatan lebih dan ada investasi dilakukan petani. Pada aspek sosial, petani nonkooperator belum terjadi peningkatan persepsi tentang teknologi introduksi terutama sosial adopsi, sosial psikologi, sosial keinovatifan dan sosial manajemen usaha. Tetapi, pada sosial kemandirian dirasakan petani nonkooperator telah terjadi peningkatan persepsinya (lihat Tabel 5). Tabel 5 Rataan skor persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP No
1. 2. 3.
Persepsi petani
Biofisik Ekonomi Sosial Total rataan skor
Rataan Skor *) Jawa Barat Sulawesi Selatan kooperator nonkooperator kooperator nonkooperator 2,42 1,26 2,51 1,42 2,37 2,42 2,46 2,24 2,35 2,19 2,41 2,02 2,38 1,96 2,46 1,89
Keterangan: *) 1,00-1,66 = buruk; 1,67-2,33 = kurang/ jarang; 2,34-3,00 = baik
Secara umum persepsi petani kooperator di Sulawesi Selatan telah meningkat persepsinya tentang teknologi introduksi AIP. Peningkatan persepsi ini terlihat pada aspek biofisik dengan rataan skor 2,51 berarti petani kooperator telah meningkat persepsinya tentang penerapan teknologi introduksi untuk diterapkan pada penampilan biofisik pertanian yang baik terutama dalam komoditas sampingan yang diusahakan sebelum dan sesudah Prima Tani dan pemanfaatan limbah pertanian. Pada aspek ekonomi, persepsi petani kooperator telah meningkat persepsinya tentang teknologi introduksi AIP, tetapi pada bagian tertentu belum terbukti peningkatan persepsinya terutama adanya kendala ketika menjual produk dan harga penjualan produknya. Persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi telah terjadi peningkatan terutama aspek sosial psikologi dan sosial kemandirian. Tetapi, pada aspek sosial adopsi dan sosial manajemen usaha persepsi petani kooperator belum terjadi peningkatan. Ada sebagian pada aspek sosial keinovatifan diakui petani kooperator telah meningkat persepsinya terutama penerapan perubahan teknologi benih (2,92), teknologi budidaya/ produksi (2,75), teknologi pengolahan hasil (2,58) dan teknologi pemasaran (2,50).
82 Keadaan ini didukung pendapat petani ketika wawancara di lapangan bahwa mereka telah menerapkan teknologi introduksi dalam pola tanam baik padi gogo, sayuran maupun coklat dengan memperhatikan pola tanam dan pemupukan yang dianjurkan. Kotoran ternak telah dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos, ada peningkatan produk hasil pertanian diiringi harga jual yang tinggi dan mudah. Kondisi berbeda dirasakan petani nonkooperator Sulawesi Selatan dimana persepsinya pada aspek biofisik belum meningkat dibuktikan rataan skor 1,42 berarti penerapan teknologi introduksi AIP pada penampilan biofisik pertanian belum dilakukan. Pada aspek ekonomi, petani nonkooperator kurang merasakan peningkatan persepsinya mengenai teknologi introduksi yang diterapkan dalam usahataninya terlihat pada rataan skor 2,24. Walaupun begitu, penerapan teknologi introduksi AIP ada sedikit peningkatan persepsinya terutama pada nilai tambah setelah adanya Prima Tani, penghasilan meningkat dan adanya investasi dilakukan petani nonkooperator. Pada aspek sosial adopsi, sosial psikologi, dan sosial manajemen usaha belum terlihat adanya peningkatan persepsi petani nonkooperator, tetapi pada sosial keinovatifan ada sebagian peningkatan persepsinya dan telah diterapkan pada teknologi pada usahataninya seperti kerjasama pengadaan saprodi, pengolahan lahan, pengolahan hasil, norma dalam pengolahan lahan, norma pemanenan hasil, norma pengolahan hasil dan pemodalan usaha. Dengan demikian, kondisi kurang baik sama dialami oleh petani nonkooperator di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan. Persepsi mereka terhadap teknologi introduksi dalam aspek manajemen usaha cenderung menurun dan buruk. Teknologi introduksi yang dibawa program Prima Tani terutama dalam perencanaan usaha, mendapat modal usahatani, mengembangkan kerjasama kemitraan dan komunikasi dengan petugas/ penyuluh cenderung sering mengalami kesulitan. Kondisi ini dipahami ketika wawancara dengan petani nonkooperator bahwa mereka belum semuanya merasakan manfaat teknologi introduksi yang dibawa Prima Tani, sehingga dalam perencanaan usahatani sampai kepada komunikasi dengan penyuluh/ petugas sering mengalami kesulitan. Kendala lain yang dialami petani nonkooperator cenderung tidak diperhatikan dan pembinaannya tidak intensif seperti yang dilakukan petugas kepada petani kooperator.
83 Hubungan Karakteristik Petani dengan Persepsi Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan Karakteristik petani responden merupakan ciri khas yang dimiliki dan melekat pada diri petani. Dalam penelitian ini karakteristik responden yang diamati meliputi umur petani, jenis kelamin, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani, luas lahan garapan, status lahan garapan dan status dalam kelompok. Untuk mengetahui derajat hubungan antara karakteristik petani dengan persepsi mereka terhadap teknologi introduksi AIP, dilakukan uji korelasi chi-square untuk data nominal dan uji korelasi rank Spearman untuk data ordinal. Data penelitian tentang derajat hubungan antara karakteristik petani dengan persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik petani kooperator di Jawa Barat berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP. Peubah karakteristik tersebut yaitu pendidikan nonformal berkorelasi nyata (p<0,05) dengan aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Artinya semakin banyak pendidikan nonformal yang diikuti petani maka persepsi mereka terhadap teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi semakin meningkat. Dengan kata lain, tingginya persepsi petani dalam penampilan biofisik pertanian tentang teknologi introduksi AIP turut dipengaruhi oleh pendidikan nonformal yang pernah diikuti petani. Asumsi ini dapat dikemukakan bahwa pendidikan nonformal seperti kursus, pelatihan maupun pendidikan yang diadakan oleh dinas pertanian, peternakan maupun lainnya sepenuhnya diterima oleh masyarakat sekitar karena teknologi introduksi AIP yang dibawa program Prima Tani walaupun masih dianggap baru, tetapi petani telah menerapkannya dalam penampilan biofisik pertaniannya karena menganggap teknologi tersebut sudah dikenal. Hal ini diperkuat dengan pengamatan dibeberapa lokasi penelitian bahwa ada peningkatan penggunaan varietas padi maupun komoditas lain yang diintroduksikan telah digunakan oleh petani, penampilan vigur tanaman baik, penanganan hama dan penyakit telah diterapkan sesuai rekomendasi, pengolahan tanaman sampai pascapanen sesuai rekomendasi dan ada peningkatan hasil produksi pertanian. Peubah pendidikan nonformal pun berkorelasi nyata (p<0,05) dengan aspek sosial. Artinya semakin banyak pendidikan
84 nonformal yang diikuti petani kooperator di Jawa Barat, maka persepsinya tentang teknologi introduksi pada aspek sosial semakin tinggi. Dengan kata lain, semakin tingginya persepsi petani kooperator di Jawa Barat secara sosial dipengaruhi oleh banyaknya pendidikan nonformal yang telah diikutinya. Oleh karena itu, adanya pendidikan nonformal yang telah diikuti petani selama ini seharusnya dijadikan tolok ukur oleh penyuluh dan petugas Prima Tani sebagai faktor penting dalam proses difusi inovasi teknologi yang diintroduksikan. Analisa ini diperkuat dengan pendapat Rogers dan Shoemaker (1995) bahwa kekayaan (pendapatan) dan status sosial berjalan seiring dengan keinovativan. Tetapi faktor-faktor ekonomi tidak memberikan penjelasan yang lengkap mengenai perilaku inovatif. Pendapat tersebut didukung Soekartawi (1988) bahwa pengalaman mengikuti kursus, pelatihan maupun pendidikan nonformal lainnya yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan. Dari kursus, pelatihan atau pendidikan nonformal lainnya dibidang pertanian diperoleh penambahan pengetahuan, kecakapan dalam mengelola usahatani, keterampilan dalam pelaksanaan tugas operasional, kreativitas dan percaya diri. Begitu pula, persepsi petani kooperator Jawa Barat pada aspek ekonomi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan pendidikan nonformal. Artinya semakin banyak pendidikan nonformal yang diikuti oleh petani kooperator Jawa Barat, maka persepsinya tentang teknologi introduksi pada aspek ekonomi semakin meningkat. Asumsi ini dapat dikatakan bahwa petani kooperator telah mengaplikasikan pendidikan nonformal yang telah diikutinya untuk meningkatkan pengetahuan dalam usahataninya yang berdampak pada peningkatan produksi yang akhirnya meningkatkan pendapatan petani itu sendiri. Kondisi ini didukung wawancara dengan petani di lapangan bahwa banyak petani merasakan adanya berbagai kursus, pelatihan yang dilakukan oleh BPTP, Dinas pertanian dan dinas terkait dapat meningkatkan pengetahuan dalam pertanian. Bekal pengetahuan ini diterapkan dalam usahataninya seperti informasi harga pasar, teknik pengolahan pascapanen seperti pisang menjadi produk yang bernilai ekonomis. Walaupun umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pengalaman tani, pendapatan, status lahan, luas lahan garapan dan status petani dalam kelompok tidak berhubungan dengan persepsinya tentang teknologi introduksi, tetapi dapat diasumsikan bahwa umur, perbedaan jenis kelamin, pendidikan formal, pengalaman tani, status lahan dan status
85 dalam kelompok akan berpengaruh terhadap kinerja usahatani di bidang pertanian, semakin banyak petani laki-laki yang berpendidikan dan berposisi dalam kelompok tani, memiliki pengalaman tani dan luas lahan garapannya akan berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi pertanian yang secara ekonomi menguntungkan dan diterima secara sosial, maka pengaruhnya terhadap penampilan biofisik pertanian selalu diperhatikan, status keanggotaannya dalam kelompok berpengaruh terhadap setiap keputusan untuk menentukan kebijakan kelompok yang dapat membantu anggotanya menghadapi masalah. Di sisi lain, ada perbedaan yang diterima petani nonkooperator di Jawa Barat dalam hubungan karakteristik dengan persepsinya tentang teknologi introduksi yang dibawa program Prima Tani. Ada tiga peubah karakteristik yaitu umur, pendidikan formal dan pendidikan nonformal yang berkorelasi dengan persepsi teknologi introduksi terutama pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Peubah umur petani nonkooperator Jawa Barat berkorelasi nyata (p<0,05) negatif dengan aspek ekonomi. Artinya semakin bertambahnya umur petani nonkooperator yang dimiliki maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek ekonomi semakin menurun. Kondisi ini disebabkan bertambahnya usia petani nonkooperator tidak digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan yang dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produksi pertanian dan menguntungkan. Hal ini didukung pendapat Klausmier dan Gwin dalam Mardikanto (1993) bahwa semakin tua seorang petani maka semakin lemah daya biologis, daya psikologis, tingkat kepekaan dan potensi lainnya. Usia tua akan membatasi manajemen dan perilakunya terutama perilakunya didalam mengakses informasi maupun peningkatan produksi pertanian. Begitu pula dengan pendidikan formal petani nonkooperator Jawa Barat berkorelasi nyata (p<0,05) negatif dengan persepsinya tentang teknologi introduksi pada aspek sosial. Artinya semakin tinggi pendidikan formal yang telah diikuti oleh petani nonkooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP aspek sosial semakin menurun. Kondisi seperti ini menimbulkan ketimpangan di dalam pengetahuan yang diterima petani nonkooperator berpendidikan tinggi dengan petani berpendidikan rendah lainnya. Hal ini disebabkan bahwa pendidikan formal yang dimiliki oleh petani nonkooperator Jawa Barat tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya sebagai petani sehingga kurang dimanfaatkan dalam bidang pertanian.
86 Hal ini diperkuat wawancara dengan petani bahwa sebagian besar pendidikan mereka adalah tamatan SD yang cukup bisa membaca dan menulis sehingga pola pikir ini tidak seimbang dengan pekerjaannya sebagai petani yang harus banyak belajar dan membaca mengenai teknologi introduksi pertanian yang lebih inovatif. Dengan kata lain, pendidikan yang kurang dan tidak sesuai ini berdampak kepada adopsi program Prima Tani yang ada di wilayahnya dimana mereka cenderung menolak, kurang tertarik dan belum sepenuhnya menerapkan teknologi yang dibawa oleh Prima Tani. Pendidikan nonformal petani nonkooperator Jawa Barat berkorelasi sangat nyata (p<0,01) negatif dengan aspek sosial. Hal ini berarti, semakin banyak pendidikan nonformal yang pernah diikuti petani nonkooperator Jawa Barat, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP secara sosial semakin menurun. Kondisi seperti ini disebabkan lingkungan di Jawa Barat ada asumsi bahwa pendidikan nonformal yang tinggi akan meningkatkan status seseorang di dalam masyarakat. Peningkatan status petani yang banyak mengikuti pendidikan nonformal mengakibatkan ketimpangan pengetahuan dan informasi yang dirasakan orang lain yang berpendidikan rendah dan kurang mengikuti pendidikan nonformal. Hal lain ini disebabkan karena pendidikan nonformal yang telah diikuti petani nonkooperator tidak sesuai dengan kebiasaan pekerjaan di masyarakat petani dan pengetahuan yang diterima belum diterapkan karena masih dianggap baru. Pada karakteristik petani kooperator di Sulawesi Selatan terdapat hubungan dengan persepsinya tentang teknologi introduksi yang dibawa program Prima Tani. Peubah karakteristik itu adalah pendidikan formal, pendapatan, pengalaman bertani dan luas lahan garapan. Peubah pendidikan formal petani kooperator berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP aspek ekonomi. Artinya semakin tinggi pendidikan formal yang telah diikutinya, maka semakin tinggi pula persepsinya yang diterima mengenai teknologi introduksi pada aspek ekonomi. Asumsi ini dapat dikatakan bahwa tingginya pendidikan formal yang telah diikuti oleh petani kooperator Sulawesi Selatan berdampak kepada peningkatan pengetahuan mereka dalam bidang pertanian, akhirnya berdampak pada peningkatan hasil produksi pertanian yang menguntungkan secara ekonomis. Sejalan dengan itu, Legens dalam Adiwar (1986) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan formal yang tinggi relatif lebih cepat dalam menangkap adanya
87 kesempatan ekonomi di dalam kehidupannya. Dengan demikian, penyampaian gagasan baru terhadap teknologi produksi yang lebih maju akan mudah diterima bagi mereka yang berpendidikan formal lebih tinggi. Begitu pula Soekartawi (1988) bahwa mereka yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Peubah pendapatan petani kooperator Sulawesi Selatan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya terutama aspek sosial. Ini berarti bahwa tingginya pendapatan yang diterima oleh petani kooperator Sulawesi Selatan, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP secara sosial semakin meningkat. Kondisi seperti ini dapat diasumsikan bahwa pendapatan yang diterima petani kooperator Sulawesi Selatan membawa suatu perubahan bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya dimana secara norma sosial sudah menjadi budaya umum pada masyarakat sekitar. Hal ini dapat dipahami bahwa pendapatan yang diterima petani kooperator di Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi oleh penjualan hasil panen dimana harga jual selalu dipengaruhi perubahan harga pasar. Analisa tersebut didukung Iqbal dan Dalimi (2006) bahwa usahatani yang dikerjakan petani menjadi sumber utama ekonomi keluarga. Karena itu, ketidakstabilan harga akan berdampak langsung terhadap pendapatan petani. Hal serius adalah penurunan harga drastis dimana dampaknya dapat menurunkan pendapatan petani dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap optimalisasi pengelolaan usahataninya. Kondisi ini didukung wawancara sebagian petani di lapangan bahwa pendapatan yang diterima dari hasil pertanian sebagian kecil dialokasikan untuk keluarga dan selebihnya untuk membayar hutang, beli pupuk dan peralatan lainnya yang harganya mahal. Peubah pengalaman tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP pada aspek ekonomi. Artinya semakin banyak pengalaman bertani yang telah digeluti petani kooperator Sulawesi Selatan, maka semakin meningkat persepsinya secara ekonomi mengenai teknologi introduksi AIP. Asumsi ini dikatakan bahwa banyaknya pengalaman bertani akan meningkatkan wawasan dan pengetahuan petani kooperator Sulawesi Selatan dimana berdampak pada penerapan teknologi yang pernah diterima dan diketahuinya. Peningkatan pengetahuan ini digunakan untuk mengolah hasil produk pertanian yang menguntungkan secara ekonomis. Hal ini didukung oleh pendapat Kuntjoro dalam Hermawanto (1993) bahwa petani lama berpengalaman dalam usahatani akan memiliki kemampuan dan
88 keterampilan teknik produksi yang tinggi. Di samping itu, petani berpengalaman lama lebih pandai memilih cara-cara berusahatani yang paling menguntungkan baginya terutama dalam memilih varietas yang digunakan dalam usahataninya. Pendapat lain Havelock (1971) menyatakan bahwa pengalaman masa lalu telah dimiliki seseorang akan cenderung mempengaruhi sifat memerlukan dan siap menerima pengetahuan baru. Azahari (1988) menyatakan bahwa pengalaman berusahatani akan semakin mudah memahami inovasi dan semakin tinggi partisipasinya dalam program pembangunan pertanian yang ada. Begitu pula, luas lahan garapan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi yang diterimanya pada aspek sosial. Ini berarti semakin luas lahan garapan yang dimiliki petani kooperator Sulawesi Selatan, maka persepsinya secara sosial telah meningkat mengenai teknologi introduksi AIP yang diterimanya. Asumsi ini dapat dikatakan bahwa makin luas lahan garapan yang dimiliki petani kooperator Sulawesi Selatan, secara sosial di masyarakat telah diterima. Luasnya lahan yang digarap petani kooperator Sulawesi Selatan akan berdampak kepada hasil produk pertanian akhir dimana dapat meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini didukung oleh Hernanto (1989) bahwa luas lahan usahatani akan menentukan pendapatan, taraf hidup dan derajat kesejahteraan rumah tangga tani. Dengan demikian, luas lahan garapan akan berpengaruh terhadap penerimaan inovasi baru yang menguntungkan dan dapat meningkatkan status sosial di dalam masyarakat. Kondisi ini didukung wawancara dengan petani kooperator di lapangan bahwa sebagian besar mereka telah merasakan manfaat adanya program Prima Tani di wilayahnya karena telah membawa perubahan banyak seperti pengetahuan teknologi inovasi yang dibawa Prima Tani sehingga dapat meningkatkan hasil produksi pertaniannya, informasi pasar harga produk yang diperlukan dan pengolahan tanaman sampai pascapanen yang sesuai kondisi lahan pertaniannya. Petani nonkooperator di Sulawesi Selatan berkorelasi dengan karakteristik terutama pendapatan dan luas lahan garapan dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP pada aspek sosial dan ekonomi. Peubah pendapatan berkorelasi nyata (p<0,05) negatif dengan persepsinya pada aspek sosial. Artinya semakin tinggi pendapatan yang diterima petani nonkooperator Sulawesi Selatan, maka secara sosial persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP yang diterimanya semakin menurun.
89 Hal ini disebabkan bahwa pendapatan yang diterima oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan sesama petani lainnya terutama petani kooperator sehingga mengakibatkan ketimpangan sosial di dalam masyarakat. Perbedaan pendapatan ini disebabkan oleh perbedaan luas lahan yang dimiliki dimana berdampak kepada hasil produksi pertanian yang diterimanya. Hal ini didukung pendapat Rogers dan Shoemaker (1995) bahwa pendapat dan status sosial berjalan seiring dengan keinovatifan dalam usahataninya, tetapi inovatif tidak dipengaruhi oleh kaya. Faktor ekonomi tidak memberikan penjelasan lengkap mengenai perilaku inovatif walaupun status sosial tidak tinggi di dalam masyarakat. Pada peubah luas lahan garapan berkorelasi sangat nyata (p<0,01) negatif dengan persepsi petani nonkooperator yang diterima pada aspek sosial. Artinya, semakin luas lahan yang digarap oleh petani nonkooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP secara sosial semakin menurun. Kondisi ini disebabkan karena adanya asumsi bahwa luas lahan garapan yang dimiliki menandakan tingginya status sosial seseorang di mata masyarakat, sehingga makin luas lahan garapan yang dimilikinya akan meningkatkan status petani di masyarakat. Hal ini akan menyebabkan ”kecemburuan sosial” bagi petani yang mempunyai luas lahan garapan yang sempit. Begitu pula, luas lahan yang dimiliki petani nonkooperator Sulawesi Selatan berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsinya tentang teknologi introduksi pada aspek ekonomi. Artinya, semakin luas lahan garapan yang dimiliki petani nonkooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP dalam program Prima Tani pada aspek ekonomi semakin meningkat. Asumsi ini dikatakan bahwa luas lahan garapan berdampak kepada banyaknya produksi pertanian yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dimana akhirnya dapat menguntungkan secara ekonomi. Pendapat ini didukung Kartasapoetra (1991) bahwa petani kaya memiliki luas lahan garapan lebih banyak akan menggunakan inovasi lebih awal, intensif dan lebih kontinu sehingga dapat meningkatkan lagi pendapatan mereka. Dengan demikian, luas lahan garapan akan mempengaruhi terhadap besarkecilnya pendapatan yang diterima petani dalam mengolah lahannya dengan menggunakan teknologi yang menguntungkan. Dari uraian tersebut, dapat dianalisis bahwa karakteristik petani berpengaruh terhadap peningkatan persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP yang dibawa
90 Prima Tani. Ada hal penting lain perlu dilihat bahwa dalam peningkatan persepsi petani tentang teknologi introduksi dalam program Prima Tani adalah: 1) inovasi harus dirasakan sebagai kebutuhan petani kebanyakan, 2) inovasi harus memberikan keuntungan secara konkrit oleh petani, 3) inovasi harus mempunyai keselarasan antara teknologi lama dan teknologi baru, 4) inovasi harus mengatasi faktor penghambat, 5) inovasi harus terjangkau kemampuan finansial petani, 6) inovasi tidak rumit dan mudah dicoba, 7) inovasi mudah diamati (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Berdasarkan hasil analisis hubungan antara karakteristik petani dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP, maka hipotesis pertama yang menyatakan terdapat hubungan antara karakteristik petani dengan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP dapat diterima pada peubah umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, pengalaman bertani dan luas lahan garapan. Dengan demikian hipotesis H1 sebagian besar diterima.
91
92 Hubungan Pemanfaatan Media Komunikasi Prima Tani dengan Persepsi Petani tentang Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani yang diteliti meliputi gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis. Untuk mengetahui hubungan antara pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani mengenai teknologi introduksi AIP, maka dilakukan uji korelasi rank Spearman. (Tabel 7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan media komunikasi berkorelasi dengan persepsi petani kooperator di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan tentang teknologi introduksi AIP. Dalam Tabel 7 terlihat gelar teknologi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator di Jawa Barat pada aspek ekonomi. Artinya semakin banyak kegiatan gelar teknologi yang diadakan oleh program Prima Tani dirasakan semakin tinggi persepsi petani kooperator Jawa Barat mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek ekonomi semakin meningkat. Hal ini diasumsikan bahwa kegiatan gelar teknologi merupakan kegiatan diseminasi yang menampilkan teknologi hasil program Prima Tani secara visual sehingga dapat dilihat oleh petani kooperator di Jawa Barat. Pengetahuan dari gelar teknologi ini akan
dimanfaatkan
untuk
diterapkan
pada
usahataninya
sehingga
dapat
meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan petani yang secara ekonomis menguntungkan. Gelar teknologi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan peningkatan persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik. Ini berarti semakin banyak gelar teknologi yang dilakukan dalam program Prima Tani maka semakin meningkat persepsi petani kooperator mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik. Asumsi ini dikatakan bahwa kegiatan gelar teknologi yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi dalam teknologi yang dibawa oleh Prima Tani dimana kegiatan tersebut langsung disaksikan oleh petani kooperator. Hasil kegiatan gelar teknologi itu diharapkan dapat diterapkan dalam penampilan biofisik lahan pertaniannya. Kondisi ini didukung wawancara petani dilapangan bahwa gelar teknologi yang dilakukan dalam Prima Tani telah meningkatkan pengetahuan mereka dalam pengolahan lahan pertanian, pola tanam, penanganan hama dan penyakit tanaman sehingga mereka menjadi paham ketika menghadapi hama penyakit tanaman yang menyerang pertaniannya. Biasanya
93 informasi ini didapat dari konsultasi dengan petugas yang langsung terjun melihat kondisi pertanian mereka. Media komunikasi Prima Tani yang digunakan dalam diseminasi informasi Prima Tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi petani kooperator Jawa Barat terutama aspek biofisik. Artinya pemanfaatan media komunikasi Prima Tani sebagai media penyebaran informasi yang dilakukan oleh petani kooperator maka semakin meningkat persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik. Hal ini dapat diasumsikan bahwa adanya media yang tersedia dalam program Prima Tani ternyata dimanfaatkan petani kooperator Jawa Barat sebagai media untuk meningkatkan pengetahuan teknologi di bidang pertanian terutama penampilan biofisik pertaniannya yang baik sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Media komunikasi Prima Tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator Jawa Barat tentang teknologi introduksi AIP pada aspek sosial. Ini berarti bahwa banyaknya pemanfaatan media komunikasi Prima Tani oleh petani kooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi pada aspek sosial semakin meningkat.
Hal ini diperkuat wawancara petani di
lapangan bahwa mereka telah memanfaatkan media komunikasi Prima Tani ini sebagai informasi tambahan dari penjelasan petugas Prima Tani sehingga lebih mengerti benar. Mereka mendapatkan media komunikasi tersebut dari klinik agribisnis ketika melakukan konsultasi dengan petugas atau pertemuan rutin kelompok. Pemanfaatan klinik agribisnis berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator mengenai teknologi introduksi AIP terutama pada aspek biofisik dan ekonomi. Artinya, klinik agribisnis yang disediakan sebagai wadah interaksi pengguna dan penyuplai teknologi semakin banyak dimanfaatkan, maka persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik dan ekonomi semakin meningkat. Asumsi ini dikatakan bahwa pemanfaatan klinik agribisnis telah dilakukan petani sebagai wadah informasi dan penyuplai teknologi yang berguna bagi usahatani petani kooperator sehingga teknologinya diterapkan pada penampilan biofisik pertanian yang baik dan secara ekonomi dapat meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Kondisi ini diperkuat wawancara dengan petani bahwa sebagian besar mereka mendapatkan media komunikasi seperti brosur, leaflet, poster maupun benih unggul dari klinik agribisnis ketika konsultasi dengan petugas dan pertemuan kelompok yang diadakan rutin. Biasanya brosur dan poster sering
94 digunakan oleh petani kooperator sebagai bahan tambahan informasi untuk pengetahuan dalam pertanian. Kondisi ini didukung ketika dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan pengelola Prima Tani bahwa banyak petani memanfaatkan aneka media komunikasi seperti brosur, leaflet dan poster untuk menambah pengetahuan mereka dalam pertanian. Jenis brosur yang sering dimanfaatkan mengenai cara pengolahan, menangani hama penyakit dan pemupukan tanaman yang benar sesuai rekomendasi. Kondisi ini berbeda dialami petani nonkooperator di Jawa Barat. Persepsi petani nonkooperator terhadap teknologi introduksi mengalami peningkatan terutama pada gelar teknologi, media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis. Pada gelar teknologi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani nonkooperator tentang teknologi introduksi terutama aspek sosial. Artinya, semakin banyak kegiatan gelar teknologi yang diadakan program Prima Tani, maka persepsi petani nonkooperator di Jawa Barat mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek sosial semakin meningkat. Hal ini dapat dikemukakan bahwa kegiatan gelar teknologi sebagai kegiatan diseminasi menampilkan teknologi program Prima Tani yang dilihat secara visual dengan menampilkan contoh produk dan tekniknya kepada petani di lahan percontohan akan meningkatkan pengetahuan petani nonkooperator di Jawa Barat dimana kegiatan tersebut secara sosial tidak bertentangan dengan norma masyarakat. Kondisi ini dipahami oleh sebagian besar petani nonkooperator di Garut maupun di Karawang telah memanfaatkan informasi teknologi Prima Tani dari petani kooperator yang telah menerapkan terlebih dahulu lalu menerapkannya dalam usahatani. Keberhasilan peningkatan hasil panen (pendapatan) menjadi penentu bagi petani nonkooperator di Jawa Barat untuk menerima atau menolak teknologi Prima Tani. Pendapat ini didukung Soekartawi (1988) menyatakan bahwa pendapatan usahatani yang tinggi seringkali berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi pertanian. Adopsi inovasi menyebabkan pendapatan petani meningkat, kemudian petani kembali akan menanam modalnya untuk inovasi selanjutnya. Hal ini didukung Bunch (2001) bahwa faktor tunggal yang menentukan dalam menimbulkan semangat akan suatu program adalah peningkatan pendapatan seseorang yang dapat dicapai dengan program teknologi anjuran. Media komunikasi Prima Tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) negatif dengan persepsi petani nonkooperator tentang teknologi
95 introduksi AIP pada aspek sosial. Hal ini berarti semakin banyak pemanfaatan media komunikasi oleh petani nonkooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek sosial semakin menurun. Kondisi ini disebabkan media komunikasi Prima Tani belum dikenal oleh petani nonkooperator seperti majalah Prima Tani, poster dan leaflet untuk kalangan mereka sehingga kehadirannya masih dianggap asing. Dengan demikian, media komunikasi belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani nonkooperator untuk menambah pengetahuan dan wawasan di bidang pertanian dimana informasinya dapat diterapkan pada usahataninya. Begitu pula, adanya klinik agribisnis berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani nonkooperator pada aspek ekonomi. Artinya, semakin tinggi pemanfaatan klinik agribisnis oleh petani nonkooperator maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek ekonomi semakin meningkat. Hal ini dapat diasumsikan bahwa adanya klinik agribisnis di lokasi Prima Tani telah membantu petani nonkooperator di dalam mengatasi masalah usahataninya. Konsultasi dengan petugas di klinik agribisnis dapat membantu mengatasi kesulitan mereka dalam usahataninya. Pengetahuan dan wawasan yang diterima dari klinik agribisnis tersebut oleh petani nonkooperator diterapkan dalam usahataninya dimana berdampak kepada peningkatan pendapatan mereka. Walaupun klinik agribisnis diperuntukkan petani kooperator, tetapi ada sebagian petani nonkooperator telah memanfaatkan kehadirannya untuk berkonsultasi dan menimba ilmu dengan petugas maupun penyuluh di klinik agribisnis tersebut, sehingga hasil informasi dan konsultasinya dapat diterapkan dalam usahataninya. Kesimpulan tersebut sesuai pernyataan Rogers (2003) bahwa adopsi teknologi oleh petani dikarenakan adanya keuntungan relatif dimana teknologi tersebut memberikan keuntungan lebih dibandingkan teknologi yang sudah ada, secara praktis kesesuaian teknologi dapat diterima oleh norma yang ada, secara teknis tingkat kerumitan mudah diterapkan yang merupakan indikator dari teknologi introduksi. Di Sulawesi Selatan, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani oleh petani kooperator telah meningkatkan persepsinya tentang teknologi introduksi AIP. Peningkatan persepsi mereka terlihat pada gelar teknologi, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis. Gelar teknologi berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator di Sulawesi Selatan tentang teknologi
96 introduksi AIP pada aspek biofisik dan sosial. Artinya, semakin tinggi gelar teknologi yang dilakukan pada program Prima Tani, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik dan sosial semakin meningkat. Hal ini diasumsikan bahwa gelar teknologi yang dilakukan program Prima Tani telah menyebabkan meningkatnya persepsi petani untuk menerapkan teknologi introduksi pada penampilan biofisik pertanian mereka yang baik dan kegiatan ini diakui petani sangat bermanfaat sehingga tidak bertentangan dengan norma sosial yang ada. Hal ini dikuatkan wawancara dengan petani dilapangan bahwa kegiatan gelar teknologi yang diadakan Prima Tani telah menambah pengetahuan mereka dalam pengolahan lahan, pola tanam, pemupukan dan jenis benih yang digunakan cocok ditanam. Pengetahuan ini lalu ditularkan kepada sesama petani lain sehingga mereka menerapkan teknologi yang didapatkan pada usahataninya. Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsi petani kooperator terutama aspek sosial dan berkorelasi nyata (p<0,05) pada aspek ekonomi. Hal ini berarti semakin tinggi pemanfaatan media komunikasi oleh petani kooperator di Sulawesi Selatan, maka persepsi mereka mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek sosial dan ekonomi semakin meningkat. Hal ini diasumsikan bahwa mereka telah memanfaatkan media komunikasi Prima Tani untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai teknologi yang dibawa Prima Tani. Teknologi yang diperkenalkan secara sosial telah diterima oleh petani di lokasi Prima Tani sehingga tidak menimbulkan pertentangan norma di masyarakat yang ada sehingga pengetahuan yang telah diterima diterapkan pada usahatani dimana dapat meningkatkan produksi pertanian secara ekonomis menguntungkan. Adanya klinik agribisnis berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi pada aspek sosial dan berkorelasi sangat nyata (p<0,01) pada aspek ekonomi. Artinya, adanya pemanfaatan klinik agribisnis ini oleh petani kooperator, maka persepsinya mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek sosial dan ekonomi semakin meningkat. Asumsi ini dapat dikatakan bahwa keberadaan klinik agribisnis di lokasi telah dimanfaatkan oleh petani kooperator Sulawesi Selatan untuk berkonsultasi dengan petugas maupun penyuluh mengenai berbagai masalah usahataninya. Pengetahuan dan informasi yang telah diterima secara logis dan anjurannya tidak bertentangan norma yang ada serta pengetahuan dan teknologi
97 ini dapat diterapkan pada pertanian dimana dapat meningkatkan pendapatan petani secara ekonomis menguntungkan. Kondisi ini dikuatkan pengamatan dilapangan bahwa sebagian besar petani kooperator di Sulawesi Selatan telah memanfaatkan media komunikasi seperti brosur, poster dan berbagai benih unggul yang didapatkan dari klinik agribisnis ketika dilakukan pertemuan rutin kelompok. Jenis brosur yang sering dimanfaatkan petani biasanya mengenai penanganan hama padi, jagung, kakao dan kacang tanah. Di sisi lain, kondisi petani nonkooperator di Sulawesi Selatan berbeda jauh dengan petani kooperatornya. Mereka tidak merasakan adanya peningkatan persepsi tentang teknologi introduksi yang di bawa Prima Tani. Hal ini terlihat dalam Tabel 7 bahwa kegiatan gelar teknologi yang dilakukan, pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan klinik agribisnis tidak berhubungan nyata (p>0,05) dengan persepsi petani nonkooperator baik pada aspek biofisik, sosial maupun ekonomi. Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi maka hipotesis kedua yang menyatakan terdapat hubungan nyata antara pemanfaatan media komunikasi dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP sebagian besar diterima. Dengan demikian, secara umum hipotesis H2 sebagian besar diterima.
Tabel 6. Hubungan karakteristik petani dengan persepsinya tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan No
Karakteristik Responden
Jawa Barat
Uji korelasi
Kooperator
Biofisik Sosial 1. Umur 0,060 0,068 rs 2. Jenis kelamin χ2 0,859 0,133 3. Pendidikan formal -0,080 0,078 rs 4. Pendidikan nonformal 0,380* 0,516* rs 5. Pendapatan 0,051 0,064 rs 6. Pengalaman tani 0,117 0,103 rs 7. Luas lahan garapan 0,337 -0,182 rs 8. Status lahan χ2 0,000 0,000 9. Status dalam kelompok χ2 0,320 0,253 Keterangan: * berhubungan nyata pada p<0,05 ** berhubungan sangat nyata pada p<0,01
Nonkooperator Ekonomi
-0,177 0,190 -0,204 0,455* 0,072 -0,112 0,047 0,000 0,574
Biofisik -0,225 0,000 -0,182 -0,244 0,061 -0,034 0,048 0,390 0,094
Sosial 0,108 0,000 -0,352* -0,544** 0,084 -0,324 0,054 0,065 0,761
Ekonomi
-0,389* 0,000 -0,251 -0,179 0,079 -0,302 0,036 0,390 0,290
Kooperator Biofisik 0,144 0,000 0,191 -0,023 0,227 0,084 -0,156 0,000 0,653
Sosial 0,024 0,000 -0,246 -0,334 0,389* -0,105 0,404* 0,000 0,231
Sulawesi Selatan Nonkooperator Ekonomi
-0,325 0,000 0,363* 0,178 0,092 0,381* 0,005 0,000 0,480
Biofisik 0,135 0,000 -0,008 0,159 0,283 -0,041 -0,195 0,120 0,053
Sosial -0,108 0,000 0,058 -0,284 -0,439* 0,050 -0,511** 0,170 0,472
Ekonomi
-0,061 0,000 0,061 0,302 0,011 -0,033 0,350* 0,592 0,414
96
99 Hubungan Aksesibilitas Kelembagaan Tani dengan Persepsi Petani tentang Teknologi Introduksi Agribisnis Industrial Pedesaan Aksesibilitas kelembagaan tani adalah perilaku komunikasi petani dalam meningkatkan informasi dan pengetahuan terhadap program Prima Tani baik melalui media massa maupun media interpersonal seperti penyuluh, peneliti, pemandu, sesama petani dan yang berkaitan dengan model Prima Tani dalam usahataninya. Ada dua yang diamati yaitu adanya manfaat kelompok tani dan keuntungan adanya kelompok tani. Kedua amatan tersebut menjadi perhatian dalam penelitian ini. Penelitian ini ingin melihat hubungan antara aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi tentang teknologi introduksi AIP. Untuk melihat sejauh mana hubungan antara aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi mengenai teknologi introduksi, maka dilakukan uji rank Spearman. Berikut ini hasil uji korelasi rank Spearman dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
ada
hubungan
aksesibilitas
kelembagaan tani dengan persepsi petani kooperator di Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan tentang teknologi introduksi AIP. Pada indikator manfaat keberadaan kelompok tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) pada persepsi petani kooperator Jawa Barat tentang teknologi introduksi pada aspek biofisik, berkorelasi nyata (p<0,05) dengan aspek sosial dan ekonomi. Ini berarti bahwa semakin tinggi manfaat keberadaan kelompok tani yang dirasakan, maka persepsi petani kooperator mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi semakin meningkat. Asumsi ini dapat dikemukakan bahwa adanya kelompok tani ini dapat menambah pengetahuan petani kooperator di Sulawesi Selatan mengenai teknologi introduksi sehingga penampilan biofisik dalam pertanian yang baik menjadi meningkat, secara sosial didukung sepenuhnya norma yang ada dalam masyarakat dan adanya kelompok tani ini berfungsi sebagai wadah untuk menambah pengetahuan dan saling tukar informasi yang bermanfaat bagi peningkatan hasil produksi pertanian dimana berdampak peningkatan pendapatan petani secara ekonomis menguntungkan. Keuntungan adanya kelompok tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani kooperator di Jawa Barat tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik dan sosial. Artinya, semakin tinggi keuntungan yang dirasakan oleh petani kooperator di Jawa Barat dalam kelompok tani, maka
100 persepsi mereka meningkat tentang penampilan biofisik pertanian dan adanya kelompok tani ini menjadi norma bagi petani dalam berusahatani sehingga persepsinya secara sosial meningkat. Kondisi ini diperkuat dalam pengamatan dilapangan bahwa banyak petani telah memanfaatkan beberadaan kelompok tani sebagai wadah dalam membantu usahataninya seperti meminjam benih, alat pertanian bahkan kredit untuk memulai usahatani yang baru. Seringkali pada waktu tertentu mereka berkumpul dengan sesama anggota kelompok mendiskusikan masalah yang dihadapi dalam usahatani seperti harga produk, pemasaran dan penanganan hama penyakit yang terjadi menyerang tanaman mereka. Pengamatan ini didukung pula ketika dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan petugas Prima Tani bahwa ada pembinaan kelompok tani telah dilakukan untuk menanamkan rasa kebersamaan, gotong royong dan sebagai tukar diskusi ketika anggota kelompok menemui kesulitan dalam usahataninya. Dengan pembinaan kelompok tani, diharapkan adanya peningkatan kelompok petani yang handal, kuat dan berperan dalam membantu anggotanya. Kondisi petani nonkooperator di Jawa Barat berbeda dengan petani kooperatornya. Petani nonkooperator Jawa Barat terlihat adanya peningkatan persepsi mereka tentang teknologi introduksi terutama pada aspek sosial dan ekonomi. Pada indikator manfaat adanya kelompok tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsinya terutama pada aspek sosial dan berkorelasi nyata (p<0,05) pada aspek ekonomi. Ini berarti bahwa semakin tinggi manfaat adanya kelompok tani dirasakan petani nonkooperator, maka persepsi mereka tentang teknologi introduksi yang dibawa Prima Tani dimana secara sosial telah meningkat dan
pada
aspek
ekonomis
telah
meningkat
persepsinya
dimana
banyak
menguntungkan bagi pendapatan mereka. Kondisi ini dapat dipahami bahwa manfaat kelompok tani bagi petani nonkooperator telah dirasakan sebelum adanya program Prima Tani datang sehingga mereka dapat memanfaatkan kelompok tani ini sebagai wadah kumpulan sesama petani dalam membantu usahataninya. Hal ini didukung wawancara petani di lapangan bahwa kelompok tani yang telah ada sebelumnya membantu masalah yang dihadapi anggota kelompok. Kelompok tani dipandang sebagai wadah untuk berdiskusi, bertukar pikiran dan informasi yang penting dalam pertanian serta menekankan saling gotong royong untuk membantu masalah yang
101 dihadapi oleh anggotanya. Keuntungan adanya kelompok tani dirasakan pula oleh petani konkooperator di Jawa Barat. Keuntungan adanya kelompok tani berkorelasi nyata (p<0,05) dengan persepsi petani nonkooperator di Jawa Barat tentang teknologi introduksi pada aspek sosial. Artinya, peningkatan persepsi petani nonkooperator di Jawa Barat tentang teknologi introduksi pada aspek sosial meningkat seiring dengan meningkatnya keuntungan adanya kelompok tani. Hal ini diasumsikan bahwa adanya kelompok tani banyak memberikan manfaat bagi petani nonkooperator di dalam menerapkan teknologi introduksinya dimana sudah diterima pada aspek sosial. Hal ini diasumsikan bahwa adanya kelompok tani sebagai wadah sesama anggota petani telah adanya sebelum adanya program Prima Tani sehingga sudah menjadi norma umum di masyarakat petani. Kelompok tani ini berfungsi menjalin kerjasama agribisnis dan kegiatan usahatani yang menguntungkan sesama anggotanya. Hal ini didukung wawancara dengan petani bahwa mereka merasakan manfaat adanya kelompok tani ketika dalam merencanakan dan kesulitan usahatani, kelompok tani juga berfungsi menjaga harga produk dan tempat diskusi dalam menentukan kebijakan kelompok selanjutnya untuk membantu anggota kelompok. Di Sulawesi Selatan, ada peningkatan persepsi oleh petani kooperator tentang teknologi introduksi pada aspek sosial dengan manfaat adanya kelompok tani. Ini terlihat bahwa manfaat adanya kelompok tani berkorelasi sangat nyata (p<0,01) dengan persepsinya tentang teknologi introduksi yang dibawa terutama pada aspek sosial. Artinya semakin banyak manfaat yang dirasakan petani kooperator dengan adanya kelompok tani, maka persepsi mereka mengenai teknologi introduksi AIP secara sosial meningkat. Kondisi ini dapat dipahami bahwa teknologi yang dibawa Prima Tani telah dirasakan manfaatnya oleh petani kooperator di Sulawesi Selatan karena adanya kelompok tani sebagai wadah penyebaran informasi sangat bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan petani dan sebagai tempat saling tukar informasi mengenai kegiatan agribisnis yang berlaku. Pertukaran informasi dan pengetahuan ini berkisar pada hasil produksi, harga jual produk pertanian dan pemasaran produk. Begitu pula hadirnya teknologi Prima Tani seperti pengolahan limbah pertanian dimanfaatkan sebagai pengganti pupuk kimia, cara mengolah tanah, menanam, pemberantasan hama/ penyakit dan lain-lain bisanya dikenalkan melalui kelompok tani sehingga dirasakan manfaatnya oleh anggota kelompok. Dengan
102 demikian, kelompok tani berfungsi sebagai wadah untuk menyebarkan informasi yang penting dan bermanfaat bagi anggotanya dalam bidang pertanian. Peningkatan persepsi petani kooperator tentang teknologi introduksi seiring dengan keuntungan yang dirasakan adanya keuntungan kelompok tani. Peningkatan persepsi petani kooperator di Sulawesi Selatan tentang teknologi introduksi pada aspek biofisik berkorelasi nyata (p<0,05) dengan keuntungan adanya kelompok tani. Artinya, semakin tinggi keuntungan adanya kelompok tani dirasakan petani kooperator, maka persepsi mereka mengenai teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik semakin meningkat. Hal ini dapat diasumsikan bahwa peningkatan persepsi tentang teknologi introduksi dapat diterapkan pada penampilan biofisik pertanian sehingga menjadi lebih baik dan bagus. Penampilan biofisik yang baik dan bagus ini dapat meningkatkan hasil produk pertanian yang akhirnya membawa keuntungan bagi pendapatan petani. Kondisi seperti ini didukung pengamatan di lapangan bahwa sesama anggota kelompok tani seringkali bertemu untuk membicarakan harga produk di pasaran, pemasaran produk lalu diskusi tentang pengolahan tanaman, pemupukan dan tenaga kerja petani ketika siap panen. Pertemuan ini seringkali dilakukan secara informal ketika mereka bertamu dengan sesama anggota kelompok tani. Kondisi berbeda dialami oleh petani nonkooperator di Sulawesi Selatan. Persepsi petani nonkooperator tentang teknologi introduksi AIP terhadap aksesibilitas kelembagaan tani tidak saling berkorelasi (p>0,05). Walaupun tidak berkorelasi antara persepsi petani nonkooperator dengan aksesibilitas kelembagaan tani disebabkan program Prima Tani belum sepenuhnya menyentuh kepada petani luar karena proses diseminasi informasi terhambat jaraknya lokasi antara lokasi program Prima Tani dengan petani di luar lokasi. Kondisi ini diperkuat wawancara petani dilapangan bahwa lokasi pelaksanaan program Prima Tani di beberapa lokasi jauh dengan petani luar sehingga penyebaran informasi yang bermanfaat bagi teknologi inovasi menjadi lama sampainya kepada petani di luar program. Selama pengatana di lapangan menunjukkan bahwa petani nonkooperator jarang berinteraksi secara intensif dengan petani kooperator yang telah menerima program Prima Tani, karena mereka mempunyai persepsi bahwa program Prima Tani khusus untuk petani kooperator bukan untuk petani diluar program, sehingga penyebaran informasi yang penting menjadi terhambat oleh perbedaan persepsi tersebut. Tetapi penyebaran
103 informasi penting ini masih bisa dilakukan oleh petani kooperator ketika mereka berinteraksi dengan petani diluar program yang mempunyai tempat tinggal jauh diluar lokasi Prima Tani. Berdasarkan analisis hubungan antara aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi, maka hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi petani tentang teknologi introduksi AIP diterima. Dengan demikian hipotesis H3 sebagian besar diterima.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan nonformal petani kooperator di Jawa Barat
berkorelasi dengan persepsinya tentang teknologi
introduksi AIP pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Umur petani nonkooperator berkorelasi negatif dengan persepsinya pada aspek ekonomi. Pendidikan formal petani nonkooperator berkorelasi negatif dengan persepsinya pada aspek sosial. Pendidikan nonformal nonkooperator berkorelasi negatif dan sangat nyata dengan persepsinya pada aspek sosial. Pendidikan formal petani kooperator Sulawesi Selatan berkorelasi dengan persepsinya pada aspek ekonomi. Pendapatan petani kooperator berkorelasi dengan persepsinya pada aspek sosial. Pengalaman tani petani kooperator berkorelasi dengan persepsinya pada aspek ekonomi. Luas lahan garapan petani kooperator berkorelasi dengan persepsinya pada aspek sosial. Pendapatan petani nonkooperator di Sulawesi Selatan berkorelasi negatif dengan persepsinya pada aspek sosial. Luas lahan garapan berkorelasi negatif dan sangat nyata dengan persepsinya pada aspek sosial dan berkorelasi dengan persepsinya pada aspek ekonomi. Secara umum hipotesis H1 sebagian besar diterima 2. Gelar teknologi, media komunikasi lainnya dan klinik agribisnis berhubungan nyata dengan persepsi petani koperator Jawa Barat tentang teknologi introduksi AIP pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Persepsi petani nonkooperator Jawa Barat berkorelasi nyata dengan gelar teknologi, media komunikasi dan klinik agribisnis. Di Selawesi Selatan, gelar teknologi berkorelasi nyata dengan persepsi petani kooperator pada aspek biofisik dan sosial. Media komunikasi dan klinik agribisnis berkorelasi sangat nyata dengan persepsi petani kooperator pada aspek sosial dan ekonomi. Persepsi petani nonkooperator Sulawesi Selatan tidak berkorelasi nyata dengan pemanfaatan media komunikasi Prima Tani. Secara umum hipotesis H2 sebagian besar diterima.
102 3. Aksesibilitas kelembagaan tani berkorelasi nyata dengan persepsi petani kooperator Jawa Barat tentang introduksi teknologi AIP pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi, sedangkan persepsi petani nonkooperator berkorelasi nyata dengan aksesibilitas kelembagaan tani pada aspek sosial dan ekonomi. Di Sulawesi Selatan, aksesibilitas kelembagaan tani berkorelasi nyata dengan persepsi petani kooperator pada aspek biofisik dan sosial, sedangkan kelembagaan tani dengan persepsi petani nonkooperator tidak ada korelasi nyata pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Secara umum hipotesis H3 sebagian besar diterima. Saran Dari simpulan di atas untuk lebih meningkatkan hubungan dan keberhasilan antara pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dan aksesibilitas kelembagaan dengan persepsi mengenai teknologi introduksi AIP, disarankan sebagai berikut: 1. Peran media komunikasi lainnya, gelar teknologi dan klinik agribisnis perlu ditingkatkan kuantitas dan harus berorientasi kepada kebutuhan petani yang local spesifik. 2. Pelatihan dan sekolah lapang pertanian bagi para petani perlu ditingkatkan dalam upaya meningkatkan pemahaman dan keterampilan penerapan teknologi introduksi dan rekomendasi lainnya. 3. Peran dan keberadaan kelompok tani, gabungan kelompok tani perlu dijabarkan secara rinci mengenai tugas, fungsi dan manfaatnya bagi anggota. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pertemuan kelompok, pembagian tugas, penerbitan brosur dan lainnya.
Tabel 7. Hubungan pemanfaatan media komunikasi Prima Tani dengan persepsi petani tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan No
1. 2. 3.
Pemanfaatan media komunikasi Prima Tani
Jawa Barat Kooperator Biofisik
Sosial
Ekonomi
Gelar teknologi 0,123 0,150 0,431* Klinik agribisnis 0,281* 0,103 0,287* Media komunikasi 0,579** 0,096* 0,043 lainnya Keterangan: * berhubungan nyata pada p<0,05 ** berhubungan sangat nyata pada p<0,01
Sulawesi Selatan Kooperator Nonkooperator
Nonkooperator Biofisik
Sosial
0,391 0,163 0,008
0,588* 0,497 -0,682**
Ekonomi
Biofisik
Sosial
Ekonomi
Biofisik
Sosial
Ekonomi
0,540 0,514* 0,145
0,233* 0,154 0,215
0,258* 0,367* 0,512**
0,194 0,593** 0,438*
0,142 0,092 -0,013
0,055 0,078 0,022
0,224 0,067 0,145
104
Tabel 8. Hubungan aksesibilitas kelembagaan tani dengan persepsi petani tentang introduksi teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan No
Aksesibilitas kelembagaan tani
Jawa Barat Kooperator Biofisik
1.
Sosial
Sulawesi Selatan Kooperator Nonkooperator
Nonkooperator Ekonomi
Manfaat adanya 0,677** 0,461* 0,384* kelompok tani 2. Keuntungan adanya 0,225* 0,203* -0,083 kelompok tani Keterangan: * berhubungan nyata pada p<0,05 ** berhubungan sangat nyata pada p<0,01
Biofisik
Sosial
Ekonomi
Biofisik
Sosial
Ekonomi
Biofisik
Sosial
Ekonomi
0,306
0,704**
0,483*
0,122
0,653**
-0,014
0,079
0,112
0,233
0,410
0,552*
0,407
0,253*
0,065
0,209
-0,024
0,069
0,292
110
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, D.H. 1998. “Hubungan Profil Petani Peserta SL PHT dengan Tingkat Penerimaan Informasi PHT Berdasarkan Wilayah Di Kabupaten Sukabumi.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adams, M. E. 1988. Agricultural Extension in Developing Countries. First Edition. Longman Singapore Publisher Pte Ltd. Singapore. Adjid, D. A. 1980. “Pengembangan Kelompok Tani Menuju Penerapan Pasca Usaha Lengkap Secara Swakarsa dan Swadaya (Inmas Murni).” Satuan Pengendali Bimas. Departemen Pertanian. Jakarta. Adimihardja, K.1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Humaniora Utama Press. Bandung. Adiwar, P. 1986. “Pengaruh Pendidikan Nonformal Terhadap Peluang Berusahatani Bagi Wanita Pedesaan Bogor.” Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arifin, A. H. 1992. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas. Rajawali Press. Jakarta. Asngari, P. S. 1984. “Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat Keresidenan dan Kepala Penyuluh Pertanian Terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga Penyuluhan Pertanian di Negara bagian Texas Amerika Serikat”. Media Peternakan 9, (2): 139-148. Azahari, A. 1988. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Petani Padi. AMDC. Deptan. Bogor. Balai Penyuluhan Pertanian Kec. Pakenjeng. 2005. “Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Pakenjeng Tahun 2005.” BPP Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Garut. Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. Holt, Rinehart and Winston Inc. New York. Black, J.A dan D. J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Terjemahan: Koeswara E., et al., Eresco. Bandung. Book, C.L. 1980. Human Communication: Principle, Context and Skills. St. Martins Press. New York. BPS Jawa Barat, 2007. “Pertanian Jawa Barat dalam Angka Tahun 2006.” Badan Pusat Statistik Jawa Barat. Bandung. BPS Karawang, 2004. “Karawang dalam Angka.” Badan Pusat Statistik Karawang. Karawang. BPS Sulawesi Selatan, 2007. “Pertanian Sulawesi Sealatan dalam Angka Tahun 2006.” Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. Makasar
117
BPTP Jabar. 2007. “Laporan Hasil Kegiatan Prima Tani Desa Jatiwangi Tahun 20052006 Pakenjeng Kabupaten Garut, Jawa Barat.” Bandung. BPTP Sulsel. 2007. “Laporan Hasil Kegiatan Prima Tani Desa Kamanre Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan Tahun 2006-2007.” Kabupaten Luwu. Sulawesi Selatan. Bunch, R. 2001. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal pada Rakyat. Edisi ke-2. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Deptan, 2006. “Pedoman Umum Prima Tani.” Departemen Pertanian RI. Jakarta DeVito, J. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Kuliah Dasar. Edisi Kelima. Professional Book. Jakarta. Dinas SDA dan Tambang Kabupaten Garut. 2005. “Data Curah Hujan Harian Tahun 2000-2004 Kecamatan Pakenjeng.” Laporan Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Garut Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2004. “Sistem Pendataan Profil Desa dan Profil Kelurahan Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut.” Direktorat Jenderal PM dan Desa, Departemen Dalam Negeri. Jakarta. Djuarsa, S. 1993. Pengantar Komunikasi. Universitas Terbuka. Jakarta. Drajat, B. 2007. “Pengembangan Kemitraan Sebagai Strategi dan Alat Implementasi Prima Tani.” Makalah pada Workshop Koordinasi Pelaksanaan Prima Tani: Perkembangan Prima Tani 2005 & 2006 dan Penajaman Rancangbangun Laboratorium Agribisnis 2007. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Effendy, O.U. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti. Bandung. Endaryanto, T. 1999. “Persepsi dan Partisipasi Masyarakat yang Terlibat dan Tidak Terlibat Program Makanan Tambahan Anak Sekolah.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Esman, M. 1974. “Popular Participation and Feedback System In Rural Development” dalam Proceeding of Communication Strategies for Rural Development. Disunting: Robert H. Crawford dan William B. Ward. Ithaca. Cornel University. New York. Fardiaz, 1996. Bahan Kuliah Evaluasi Media. IPB Press. Bogor Hare, A. P.1962. Handbook of Small Group Research. The Free Press. New York. Harper, C. L. 1989. Exploring Social Change. Prentice Hall. Engel Wood Cliffs. New Jersey. Harun, R. 1987. “Extension Workers Perceptions Information Media Publisher by The Agriculture Information Centre, West Java.” Disertasi. University of Philippines at Los Banos. Philippines.
118
Hartoyo, S. 1982. “Perbedaan Tingkat Produksi dan Penggunaan Tenaga Kerja di Jawa Timur.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Havelock, R. G. 1971. Planning For Innovation: Center for Research on Utilization of Scientific Knowledge. Institute For Social Research. The University of Michigan. Michigan. Hermawanto, V. R. 1993. “Hubungan Karakteristik Petani yang Menanam Varietas Padi Unggul Lokal dan Persepsi Mereka Tentang Varietas Tersebut di Desa Gledeg Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dan di Desa Jambudipa Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hernanto, F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Swadaya. Jakarta. Iqbal, M. dan A. Dalimi. 2006. “Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao Melalui Prima Tani: Kasus Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan.” J. Analisis Kebijakan Pertanian, 4:1 [Maret 2006: 39-53]. Irawan, B. 2004. “Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya Dalam Pembangunan Pertanian.” Monograph Series 25: 101-117. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Irawan, F., M. N. Wijaya dan Sudjani. 1997. Pemasaran: Prinsip dan Kasus. BPFE. Yogyakarta. Istiana, I. N. 1998. “Analisis Sistem Komunikasi Teknologi Usahatani Padi Pada Petani Non Koperator: Studi Kasus di Kecamatan Rambah Samo Kabupaten Kampar, Riau.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jahi, A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Gramedia. Jakarta. Jenkins, J. 1982. “Do Audiovisual Media Have Unique Teaching Capabilities?” J.Media Asia. 2 (9): 183-191. Just, R. E. dan D. Zilberman. 1985. Adoption of Agricultural Innovation in Developing Countries: A Survey. The University of Chicago. Chicago. Kartasapoetra, A. G. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bina Aksara. Jakarta. Kartono, K. 1984. Psikologi Umum. Yayasan Penerbit Kosgoro. Jakarta. Kemp, J. E. ; R. Carroher ; R. F. Szumski dan W. R. Card. 1975. Planning and Producing Audiovisual Materials. New York. 3rd Edition. Thomas Y. Crowell Company Inc. Kerlinger, F. N. 1998. Asas–asas Penelitian Behavioral. Gama University. Yogyakarta. Kincaid, L. D. dan W. Schramm. 1987. Asas–asas Komunikasi Antar Manusia. LP3ES. Jakarta.
119
Kotler, P. 2003. Manajemen Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Lazarsfeld, P. F. dan R. K. Merton. 1971. Mass Communication: Popular Taste and Organize Social Action. Urbana. University of Illinois. Illinois. USA. Lionberger, H. F. 1968. Adoption New Idea and Practices. The IOWA State University Press. Ames. USA. Lionberger, H. F. and P. H. Gwin. 1982. Communication Strategies: A Guide For Agricultural Change Agent. University of Missouri. Columbia. Lozare, B. V. 1981. “Communication and Child/ Family Welfare.” J. Media Asia 4. ( 8) : 13-19. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. McMahon, F. B. 1986. Psycology: The Hybryd Science. Illinois. 5th Edition. The Dorsey Press. New York. Melkote, S. R. 1991. Communication for Development in The Third World: Theory and Practise. Sage Publication India Pvt. Ltd. New Delhi. Mosher, A. T. 1981. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasa Guna. Jakarta. Muhammad, A. 2000. Komunikasi Organisasi. Bumi Aksara. Jakarta. Mulyani, E. S. 1992. “Hubungan Keterdedahan pada Media Komunikasi, Partisipasi dan Ciri-ciri Individu Petani dengan Tingkat Penerapan Teknologi Sistem Usahatani Tanaman-Ternak di Batumarta Sumatra Selatan.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mundy, P. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PAATP3. Bogor. Musyafak, A dan T. M. Ibrahim. 2005. “Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani.” J. Analisis Kebijakan Pertanian. 3 (1): 20-37. Myers, M. T. 2003. The Dynamics of Human Communication a Laboratory Approach. McGraw Hill Books Company. New York. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Pakpahan, A. 2004. Petani Menggugat. Gapperindo. Jakarta. Primawati, N. 1988. “Perbandingan Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Jeruk Pengadopsi dan Bukan Pengadopsi Teknologi Infus Antibiotika di WKBPP Wanaraja Kecamatan Garut Jawa Barat.” Tesis. Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Prayitnohadi, M. 1987. “Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Program Intensifikasi Serat Karung Rakyat di Lahan Bonorowo.” Tesis. Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
120
Pudjiastuti, W. 1992. “Pengaruh Aktivitas Komunikasi, Tingkat Pemahaman dan Karakteristik Sosial Ekonomi Anggota pada Partisipasinya di KUD Kabupaten Sleman Yogyakarta.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwanto, J. 2003. Komunikasi Bisnis. Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. Rosda Karya. Bandung. Ravera, W.M. dan D.J. Gustafson. 1991. Agricultural Extension: Worldwide Institutional Evolution and Forces for Change. Elsevier Science Publishing. Amsterdam. Ravera, W.M dan J. G. Daniel. 1991. Agricultural Extension: Internal Case Studies and Emerging Practies. Cabi Publisher. New York. Rogers, E. M. 2003. Diffussion of Innovations. Fifth Edition. The Free Press. New York. Rogers, E. M. dan F. F. Shoemaker. 1995. Communication of Innovations. New Edition. The Free Press. New York. Sadli, S. 1976. Persepsi Mengenai Perilaku Menyimpang. Dept. P dan K. Jakarta. Schiffman, B and L. Kanuk. 1983. Consumer Behavior. PrenticeHall Inc. New Jersey. Sears, D. O., L. L. Freedman and L. A. Peplau. 1999. Psikologi Sosial. Alih Bahasa Ardryanto, M dan S. Soekrisno. Erlangga. Jakarta. Seiler, W. J. 1992. Introduction To Speech Communication. University of Nebraska at Lincoln. Setiawan, I. 2002. “Tingkat Keberdayaan Komunikasi Petani dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya: Kasus di Kabupaten Bandung.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siegel, S. 1994. Statistik Non Parametrik. Gramedia. Jakarta. Singarimbun, M. dan S. Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta. Sitorus, F., E.Sutarto, J.P.Lubis, I.Agusta dan R.Pambudi. 2001. Agribisnis Berbasis Komunitas: Strategi Modal Ekonomi dan Modal Sosial. Pustaka Wirasusaha Muda. Bogor. Slamet, M. 1987. Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Edisi ketiga. IPB Press. Bogor. Soekanto, S. 2000. Sosiologi: Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. University Press. Jakarta. Soekartawi dan Y. Anwar. 1987. “Proses Adopsi Inovasi dalam bidang Pertanian.” Artikel Pendukung MK. Komunikasi Pertanian Faperta Unibraw Malang. Univeritas Brawijaya Press. Malang.
121
Soewardi, H. 1980. Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian Terutama Padi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Steer, R.M and L.W. Porter (1979). Motivation and Work Behavior. 2th Edition. McGraw-Hill. Book Company. New York. Sudjana, N. 2004. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah. Sinar Baru. Bandung. Sujanto, A. 1983. Psikologi Umum. Aksara Baru. Jakarta. Suryana, A. 2005. “Rancangan Dasar Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani).” Makalah. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Tamarli. 1994. “Partisipasi Petani dalam Penyuluhan dan Penerapan Program Supra Insus: Studi Kasus di WKPP Glumpang Tiga Kabupaten Pidie Di Aceh.” Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thoha, M. 1999. Perilaku Organisasi. Rosda Karya. Bandung. Tim LKDRIB Kabupaten Garut. 2007. “Rancang Bangun Laboratorium Agrobisnis Prima Tani LKDRIB, Desa Jatiwangi, Pakenjeng Kabupaten Garut.” Laporan Akhir. BPTP Jawa Barat. Bandung. Tim LKDRIB Kabupaten Luwu. 2006. “Laporan Hasil PRA Desa Kamanre Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.” BPTP Sulawesi Selatan. Makasar. Tim Teknis Pusat Prima Tani, 2007. Petunjuk Teknis Penumbuhan dan Pengembangan Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan. Balai Besar Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Bogor. Tubbs, S. L dan S. Moss. 2000. Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi. Terjemahan: Deddy Mulyana. Remaja Rosdakarya. Bandung van den Ban, A.W dan H. S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Terjemahan A.D. Herdiasti. Kanisius. Yogyakarta. Winarno, B. 2003. Komparasi Organisasi Pedesaan dalam Pembangunan: Indonesia Vis a Vis Taiwan, Thailand dan Filipina. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Zanden, J. W. V. 1984. Social Psychology. Random House Inc. Ohio.
120 Lampiran 1.
Hasil Uji Reliabilitas
Jenis Subpeubah Gelar Teknologi Media Komunikasi Klinik agribisnis Manfaat Kelompok tani Keuntungan Kelompok tani Aspek Biofisik Aspek Ekonomi Aspek Sosial
Hasil koefisien Split half ,679 ,879 ,771 ,864 ,858 -,668 ,212 ,685
Nilai r-tabel (α=5%,db=18) ,443 ,443 ,443 ,443 ,443 ,443 ,443 ,443
Keputusan Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Tidak Reliabel Tidak Reliabel Reliabel
121 Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Tanggal : ____________________ No. Responden : ____________________ Numerator : ____________________
HUBUNGAN PEMANFAATAN MEDIA KOMUNIKASI PRIMATANI DAN AKSESIBILITAS KELEMBAGAAN TANI DENGAN PERSEPSI PETANI TENTANG TEKNOLOGI INTRODUKSI AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN
Petunjuk Pengisian Kuesioner : 1. Berilah tanda silang (x) pada setiap jawaban yang menurut anda paling tepat. 2. Isilah titik-titik kosong ( …..) dengan jawaban yang paling sesuai pendapat anda. 3. Coret jawaban yang bukan pilihan anda. 4. kejujuran anda dalam mengisi setiap pertanyaan yang diajukan sangat mendukung penelitian ini. Atas kesediaan Anda mengisi kuesioner ini, diucapkan terima kasih.
Identitas Responden / Petani 1. Nama lengkap 2. Jenis kelamin 3. Masuk kelompok tani 4. Alamat
: _____________________________________________ : pria/ wanita * (coret tidak perlu) : ____________________________________________ : Kampung/ dusun ________________Rt/Rw _________ Desa/ kelurahan ________________________________ Kecamatan ____________________________________ Kab/Kota _____________________________________
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
122 BAGIAN I Identitas Responden 1. Usia Bapak/ Ibu saat ini 2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan formal 4. Pendidikan nonformal
5. Pendapatan No Jenis usahatani Padi Palawija : - jagung - kacang tanah - kacang kedelai - ketela pohon - …………………….. 3 Sayur-sayuran 4 Buah-buahan : - mangga - nangka - pisang - pepaya - …………………….. Jumlah
: ___________ tahun (dibulatkan keatas) : laki-laki / perempuan * (coret tidak perlu) :.____________ tahun : : Kursus : __________kali/ 1 tahun terakhir Pelatihan singkat : __________kali/ 1 tahun terakhir Penataran : ___________kali/ 1 tahun terakhir Sosialisasi : ___________kali/ 1 tahun terakhir : Produksi tiap Harga per kg Penerimaan musim tanam (kg) (Rp) total (Rp)
1 2
No 1
2
3
…………………….. …………………….. ……………………. …………………….. …………………….. ……………………..
………………. ……………… ………………. ………………. ………………. ………………..
………………. ………………. ………………. ………………. ……………….. ………………..
……………………. ……………………. ……………………. ……………………. ……………………..
……………….. ………………. ………………. ………………. ………………..
………………. ………………. ………………. ………………. ………………..
Pendapatan Bapak/ ibu diluar pendapatan utama : Jenis Usaha Harga satuan (Rp) …………………….. Ternak : a. kambing/ domba …………ekor …………………….. b. ayam/ itik ………………...ekor …………………….. c. sapi/ kerbau ………………ekor …………………….. d. bebek/ ................................ekor ……………………... Perikanan : a. benih……….……………..ekor ……………………... b. benih……………………...ekor ……………………... Dagang/ bisnis : a. ……………………………./bln ……………………... b. ……………………………/bln ……………………... c. ……………………………/bln ……………………...
Pendapatan total (Rp) ……………………... ……………………... ……………………... …………………….. ……………………... …………………….. ……………………... ……………………... ……………………... ……………………...
Jumlah Jadi jumlah rata-rata pendapatan total tiap bulan : Rp …………………………….......
123 6. Pengalaman bertani 7. Luas lahan garapan
: _______________tahun : ________________ha : (_____________ha sawah ; _____________ha kebun) 8. Status lahan garapan : (1) pemilik (2) penyewa penggarap (3) penggrap (4) buruh tani 9. Status dalam kelompok tani : (1) ketua (2) sekretaris/ bendahara (3) anggota BAGIAN II Media Komunikasi Prima Tani Bagaimana pendapat Bapak/ Ibu tentang Media Komunikasi Prima Tani dibawah ini: (Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang Bapak/ Ibu paling benar !) No 1. 2. 3 4. 5. 6 7. 8. 9. 10. 11 12 13 14 15 16 17.
Pendapat Anda terhadap Pernyataan dibawah ini 1 Menurut Bapak/ ibu varietas baru yang diperkenalkan program primatani dinilai lebih menguntungkan Menurut Bapak/ ibu teknologi budidaya yang diperkenalkan program Prima Tani dinilai lebih baik Menurut bapak/ ibu teknologi pascapanen yang diperkenalkan program Prima Tani dinilai lebih baik Menurut bapak/ ibu teknologi pengolahan hasil yang diperkenalkan program Prima Tani dinilai lebih baik Menurut Bapak/ ibu teknologi pemasaran yang dikembangkan program Prima Tani dinilai lebih baik Menurut Bapak/ ibu kejelasan cara penyebaran informasi dalam program Prima Tani melalui pamflet dinilai jelas Menurut Bapak/ ibu penyebaran informasi dalam program Prima Tani melalui poster dinilai jelas Menurut Bapak/ ibu penyebaran informasi dalam program Prima Tani melalui temu wicara dinilai jelas Menurut Bapak/ ibu penyebaran informasi program Prima Tani melalui demplot/ percontohan dinilai jelas Menurut Bapak/ ibu pendekatan komunikasi dengan cara diskusi/ musyawarah sering dilakukan Menurut Bapak/ ibu dialog/ tukar pendapat sering dilakukan Menurut Bapak/ ibu, ceramah / pengarahan sering dilakukan dalam program Prima Tani Menurut Bapak/ ibu, pendekatan komunikasi dengan melalui kunjungan usahatani sering dilakukan Menurut Bapak/ ibu, kegiatan kunjungan petani ke petugas/ pemandu sering dilakukan Menurut Bapak/ ibu, pendekatan komunikasi melalui instruksi/ perintah sering dilakukan Menurut Bapak/ ibu, kegiatan himbauan/ anjuran dalam pendekatan komunikasi program Prima Tani sering dilakukan Menurut Bapak/ Ibu, narasumber dalam pelayanan di klinik Agribisnis sangat menguasai masalah pertanian
2
3
124 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Menurut Bapak/ Ibu, fasilitas yang ada dalam klinik Agribisnis dinilai memadai Menurut Bapak/ ibu, media yang disediakan dalam klinik Agribisnis dinilai tepat Menurut Bapak/ ibu bahan brosur yang disediakan dalam klinik Agribisnis cukup tersedia Menurut bapak/ ibu, pelayanan terhadap petani dalam klinik Agribisnis metodenya komunikatif Menurut Bapak/ ibu, penjelasan yang disampaikan oleh petugas/ pemandu mudah dipahami Menurut Bapak/ ibu, anjuran yang disampaikan oleh petugas/ pemandu dalam klinik Agribisnis sangat masuk akal Menurut Bapak/ ibu, keberadaan petugas/ ahli pertanian lainnya mudah ditemui di klinik Agribisnis
Keterangan : (1)tidak tahu/ tidak ada ; (2) jarang/ kadang-2/ kurang ; (3) selalu lebih baik/ jelas/ sangat
Bagian III Aksesibilitas pada Kelembagaan Tani Bagaimana pendapat Bapak/ Ibu tentang Aksesibilitas kelembagaan tani dibawah ini. (Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang Bapak/ Ibu anggap paling benar !) No 1. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8. 9. 10 11
Pendapat Anda terhadap pernyataan dibawah ini 1 Menurut bapak/ ibu, keberadaan kelompok tani bermanfaat dalam mengatasi masalah kebutuhan usahatani Menurut Bapak/ ibu, kelompok tani berfungsi dalam mengatasi kesulitan di bidang pertanian Menurut Bapak/ ibu, kelompok tani berfungsi dalam menjaga harga hasil panen agar tidak turun Menurut Bapak/ ibu, kelompok tani menyediakan fasilitas yang berguna bagi pengelolaan usahatani Menurut bapak/ ibu, kelompok tani berfungsi sebagai tempat silaturahmi/ komunikasi yang berguna bagi petani Menurut Bapak/ ibu, Kepemimpinan dalam kelompok tani sangat membantu meningkatkan produksi hasil pertanian Menurut Bapak/ ibu, kepemimpinan dalam kelompok tani sangat membantu dalam memasarkan hasil pertanian Menurut Bapak/ ibu, kepemimpinan dalam kelompok tani sangat bermanfaat dalam mengatasi kesulitan petani Menurut Bapak/ ibu, hubungan kerjasama dengan pedagang dinilai saling menguntungkan Menurut Bapak/ ibu, ada kerjasama yang saling menguntungkan antara petani (anggota kelompok tani) Menurut Bapak/ ibu, kegiatan penyuluhan yang dilakukan petugas selama ini dinilai menguntungkan
2
3
125 12
Menurut bapak/ ibu, jaringan kerjasama dalam sistem agribisnis yang diusahakan dengan nilai yang dianut masyarakat saling menguntungkan
Keterangan : (1) tidak tahu/ tidak pernah; (2) jarang/ kadang2/kurang ; (3) sering/ selalu / saling
Bagian IV Introduksi Teknologi Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) Bagaimana pendapat Bapak/ Ibu tentang Introduksi Teknologi AIP (Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang Bapak/ Ibu anggap paling benar !) I. Biofisik 1.
2
3
Jenis komoditas Utama
Produksi sebelum Produksi sesudah Setara dengan Prima Tani Prima Tani Rupiah (kg/Ha) / ekor (kg/Ha) / ekor ............................ ............................. ................................... Rp........................ ............................ ............................. .................................. Rp......................... sesudah Setara dengan Jenis komoditas Produksi sebelum Produksi Sampingan Prima Tani (kg/ Prima Tani (kg/Ha) / Rupiah ekor Ha)/ ekor ............................ ............................. ................................... Rp ........................ ............................ ............................. ................................... Rp ........................ Ada limbah pertanian yang digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi pertanian: a. ada,....................................................b. tidak ada c. Tidak tahu
II. Ekonomi Pendapat Anda terhadap pernyataan dibawah ini 1 4. Menurut Bapak/ ibu, produk yang dihasilkan dengan mutu baik dan hasil melimpah 5. Menurut Bapak/ ibu, ada nilai tambah atau peningkatan pendapat setelah ada Prima Tani 6. Menurut Bapak/ ibu, pendapatan selalu lebih besar dari tambahan input setelah ada Prima Tani 7. Menurut Bapak/ ibu, ada investasi yang dilakukan dalam usahatani 8. Menurut Bapak/ ibu, penjualan produk pertanian dilakukan dilakukan pada saat layak dan harga tinggi 9. Menurut Bapak/ ibu, ada kemudahan menjual produk dan harga tinggi
III. Sosial – Adopsi
2
3
126 III 10. 11.
Pendapat Anda terhadap pernyataan dibawah ini 1 Menurut Bapak/ ibu, selama ini telah meniru model Prima Tani dalam usahatani Menurut Bapak/ ibu, Prima Tani berdampak memunculkan leader/ kreatif petani
IV. Sosial – Psikologi Pendapat Anda terhadap pernyataan dibawah ini 1 12. Menurut Bapak/ ibu, ada perubahan pengetahuan terhadap Prima Tani 13. Menurut Bapak/ ibu, ada perubahan sikap tertarik terhadap Prima Tani 14. Menurut bapak/ ibu, ada perubahan tindakan dalam menerapkan program Prima Tani V. Sosial - Kemandirian Pendapat Anda terhadap pernyataan dibawah ini 1 15 Menurut bapak/ ibu, interaksi kerjasama dalam pengadaan sarana produksi dengan pihak lain saling menguntungkan 16. Menurut Bapak/ ibu, kerjasama dalam pengolahan lahan dengan pihak lain saling menguntungkan 17. Menurut Bapak/ ibu, kerjasama dalam pemanenan hasil dengan pihak lain saling menguntungkan 18. Menurut bapak/ ibu, kerjasama dalam pengolahan hasil dengan pihak lain saling menguntungkan 19 Menurut bapak/ ibu, kerjasama dalam bidang pemasaran dengan pihak lanin saling menguntungkan 20. Menurut Bapak/ ibu, kerjasama dalam pemodalan usaha dengan pihak lain saling menguntungkan 21 Menurut bapak/ ibu, sudah ada nilai/ aturan yang dipatuhi dalam pengadaan sarana produksi dinilai jelas 22 Menurut Bapak/ ibu, ada nilai/ aturan dalam pengolahan lahan dinilai jelas 23 Menurut bapak/ ibu, ada nilai/ aturan dalam pemanenan hasil dinilai jelas 24 Menurut Bapak/ ibu, ada nilai/ aturan dalam pengolahan hasil dinilai jelas 25 Menurut Bapak/ ibu, ada nilai/ aturan yang jelas mengenai pemasaran hasil 26 Menurut Bapak/ ibu, ada nilai/ aturan yang jelas dalam permodalan usaha
VI. Sosial – keinovatifan
2
3
2
3
2
3
127
27 28 29 30 31. 32 33 34 35
Pendapat Anda terhadap pernyataan dibawah ini 1 Menurut bapak/ ibu, telah tersedia teknologi yang mutakhir dalam perbenihan Menurut Bapak/ ibu, telah tersedia teknologi mutakhir dalam budidaya/ produksi Menurut Bapak/ ibu, telah tersedia teknologi mutakhir dalam pemanenan hasil Menurut Bapak/ ibu, telah tersedia teknologi mutakhir dalam pemasaran hasil Menurut Bapak/ ibu, telah tersedia teknologi mutakhir dalam pengolahan hasil Menurut Bapak/ ibu, tertarik melakukan perubahan teknologi dalam menerapkan perubahan benih Menurut bapak/ ibu, tertarik melakukan perubahan teknologi dalam menerapkan teknologi budidaya/ produksi Menurut Bapak/ ibu, tertarik melakukan perubahan dalam menerapkan teknologi pengolahan hasil Menurut Bapak/ ibu, tertarik melakukan perubahan dalam menerapkan teknologi pemasaran
VII. Sosial – Manajemen Usaha Pendapat Anda terhadap pernyataan dibawah ini 1 36 Menurut Bapak/ ibu, sering alami kesulitan dalam merencanakan usaha tani yang menguntungkan 37. Menurut Bapak/ ibu, sering alami kesulitan dalam mendapatkan modal dalam usahatani 38 Menurut Bapak/ ibu, sering alami kesulitan dalam mengembangkan teknologi usahatani pertanian 39 Menurut Bapak/ ibu, sering alami kesulitan dalam mengembangkan kerjasama kemitraan usaha dengan pihak lain 40 Menurut Bapak/ ibu, sering alami kesulitan dalam konsultasi dengan petugas/ penyuluh pertanian
2
3
2
3
Ket : 1) tidak tahu/ tidak ada; 2) jarang/ kurang ; 3) ada/ selalu/ saling/ sering
VIII. Saran dan Rekomendasi Mohon Saran/ harapan Bapak/ Ibu untuk perbaikan dan penyempurnaan program Prima Tani di masa yang akan datang. .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... ....................................................................................................................................