SKRIPSI
OPTIM MASI PROS SES PEMBU UATAN TE EPUNG UBI JALAR UNGU U (Ipomoea batatas b (L.) Lam) DAN N APLIKAS SINYA DAL LAM PEMB BUATAN KERIP PIK SIMUL LASI (SIMU ULATED CH HIPS)
Oleh : SAFFIE ERA KARL LEEN F F24062384
2010 DEPARTEM D MEN ILMU U DAN TEK KNOLOGI PANGAN FAKULTAS TE EKNOLOGII PERTANIIAN NSTITUT PERTANIA P AN BOGOR R IN BOGOR
OPTIMASI PROSES PEMBUATAN TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas (L.) Lam) DAN APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN KERIPIK SIMULASI (SIMULATED CHIPS)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : SAFFIERA KARLEEN F24062384
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi: Optimasi Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L) Lam.) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Keripik Simulasi (Simulated Chips) Nama
: Saffiera Karleen
NRP
: F 24062384
Menyetujui: Pembimbing,
(Ir.Sutrisno Koswara, M.Si.) NIP 19640505.199103.1.003
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.) NIP 19650814.199002.1.001
Tanggal lulus :
Saffiera Karleen. F24062384. Optimasi Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L) Lam.) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Keripik Simulasi (Simulated Chips). Di bawah bimbingan Ir. Sutrisno Koswara, M.Si. RINGKASAN
Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan salah satu tanaman palawija yang banyak terdapat di Indonesia. Luas lahan ubi jalar di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 174.561 ha dengan produksi mencapai sekitar 1.947.311 ton. Komoditas ubi jalar sangat layak dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan yang berbasis tepung karena memiliki kandungan nutrisi yang baik, umur tanam yang relatif pendek, produksi yang tinggi. Tekstur ubi jalar yang lunak dengan kadar air tinggi memiliki sifat mudah rusak oleh pengaruh mekanis. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu upaya pengawetan ubi jalar. Selain itu, juga merupakan upaya peningkatan daya guna ubi jalar supaya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satunya dengan mengolah tepung ubi jalar menjadi chips ubi jalar. Chips merupakan produk makanan ringan yang paling digemari oleh penduduk Indonesia. Hal ini didukung oleh tekstur yang renyah serta selera konsumen di Indonesia yang cenderung lebih menyukai produk pangan yang digoreng. Ubi jalar yang akan ditepungkan adalah ubi jalar dengan daging berwarna ungu dengan varietas ayamurasaki. Jenis ubi jalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin merupakan pigmen pembentuk warna ungu dan adanya antosianin membuat tepung ubi jalar dan chips yang dihasilkan memiliki karakteristik warna yang menarik secara alami dan juga memiliki nilai fungsional bagi tubuh. Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari persiapan bahan baku (ubi jalar ungu basah) dan pembuatan tepung ubi jalar ungu serta penentuan metode terbaik dalam pembuatan tepung tersebut. Penelitian utama terdiri dari tahap penentuan formulasi adonan chips terbaik yang ditentukan melalui trial and error, kemudian formulasi lanjutan apabila ditemukan kekurangan pada produk, lalu dilakukakan analisis kimia (proksimat dan total antosianin) dan analisis fisik (warna) pada tepung dan chips ubi jalar ungu terpilih. Metode yang digunakan dalam pembuatan tepung ubi jalar ungu adalah pengukusan selama 7 dan 10 menit pada suhu 100oC serta pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet dan penjemuran dengan sinar matahari. Parameter mutu utama yang digunakan dalam penentuan tepung ubi jalar ungu terbaik adalah kadar total antosianin pada tepung yang dihasilkan. Tepung ubi jalar ungu terpilih dibuat dengan menggunakan cara pengukusan selama 7 menit pada suhu 100oC dengan ketebalan umbi sebesar 1 ± 0,5 cm dan dikeringkan menggunakan pengering kabinet pada suhu 50 – 55oC selama 6 – 8 jam. Tepung terpilih ini memiliki kandungan antosianin sebesar 3233,7390 mg CyE /L, kadar air 7,17%bb, kadar abu 1,72%bb, kadar lemak 0,89%bb, kadar protein 3,27%bb, kadar karbohidrat 86,66%bb dan serat kasar 3,60%bb.
Penambahan air yang paling optimum dalam pembuatan adonan chips ubi jalar ungu yang menggunakan 100% tepung ubi jalar ungu terpilih berkisar antara 30 – 35% dari jumlah tepung yang digunakan. Untuk memperbaiki eating quality dari adonan tersebut maka dilakukan formulasi lanjutan dengan menambahkan beberapa jenis tepung dan pati yang ditambahkan secara tunggal. Sifat tepung dan pati yang dapat berinteraksi dengan air sehingga dapat mengurangi panampakan produk yang terlalu berminyak setelah proses penggorengan. Tepung dan pati yang terpilih berdasarkan parameter pemberian efek yang cukup signifikan untuk masuk ke tahap uji organileptik adalah maizena, tepung beras, dan tapioka dengan perbandingan penambahan sebesar 5 dan 10 persen. Berdasarkan uji organoleptik penambahan tapioka, tepung beras, dan maizena meningkatkan kerenyahan produk ini dan memperbaiki intensitas warnanya. Selain itu, penambahan maizena sebanyak 10 persen juga memberikan pengaruh nyata pada penampakan minyak dibandingkan dengan control. Formula adonan chips ubi jalar ungu yang terpilih adalah adonan yang menggunakan maizena sebanyak 10 persen. Chips ubi jalar ungu yang dihasilkan dari formula terpilih memiliki kadar antosianin sebesar 2815,4320 mg CyE/L, kadar air sebesar 3,07%bb, kadar abu 2,18%bb, kadar protein 3,14%bb, kadar lemak 12,42%bb, kadar karbohidrat sebesar 79,20%bb dan kadar serat kasar sebesar 3,10 %bb. Kadar antosianin produk chips ubi jalar ungu mengalami penurunan sebesar 12,94% bila dibandingkan dengan tepung ubi jalar ungu (bahan bakunya).
RIWAYAT T HIDUP PENULIS P
Penullis dilahirkaan di Bogorr pada tangg gal 26 Juli 1988 1 yang merupakan m anak keduaa dari dua bersaudara pasangan p Drrs. Eddy Saantoso (Alm m.) dan Dra. Grace Sri Mulyati. M Pennulis menam matkan pendiidikan sekolaah dasar di SD S Mardi Y Yuana 2 Bogor B pada tahun 2000, sekolah lanjutan di SLTP Reginna Pacis Boogor tahun 2003, dan SLTA S Reginna Pacis Bogor B pada tahun 200 06. Penulis menyelesaika m an studinyaa tersebut ddengan prestasi yang m memuaskan sehingga paada tahun 20006 penulis diterima d di Innstitut Pertannian Bogor ( (IPB) melaluui jalur Unddangan Selekksi Masuk IP PB (USMI). Kemudian pada p tahun 2 2007, penullis bergabun ng menjadi mahasiswa Departemenn Ilmu dan Teknologi P Pangan sebaagai pendidiikan mayornnya, dan Maanajemen Fuungsional sebbagai mata k kuliah mino ornya. Menjaadi bagian ddari Departeemen Ilmu ddan Teknoloogi Pangan m merupakan s salah satu peencapaian terrbaik di dalaam hidupnyaa Penuulis aktif di berbagai keegiatan dan organisasi kemahasiswa k aan selama m menjalani s studi di Innstitut Pertaanian Bogo or, diantarannya menjaddi anggota H Himpunan M Mahasiswa Teknologi P Pangan (HIM MITEPA) ppada tahun 2007-2009, 2 m menjadi pannitia acara yaang diselengggarakan oleeh HIMITEP PA seperti HACCP H VI s sebagai sekssi acara dann LCTIP XV VI sebagai seeksi PDD (P Publikasi Do okumentasi d dan Dekoraasi). Pencap paian terbaikk penulis selama s mennempuh penndidikan di d departemen ini adalahh menjadi 1st Winnerr of IFTSA A-DSDC In nternational C Competition n held in IFT T 10 Annual Meeting, Chhicago, Illinnois, USA paada tanggal 17 – 20 Juli 2010. d judul “Optimasi Sebaagai tugas akkhir, penulis melakukan penelitian dengan P Proses Pem mbuatan Teppung Ubi Jaalar Ungu (Ipomoea ( baatatas (L) Lam.) dan A Aplikasinya dalam Pem mbuatan Keripik Simulasi (Simulatted Chips)” di bawah b bimbingan Ir. Sutrisno Koswara, K M..Si.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala bimbingan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dari penelitian yang dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul “Optimasi Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L) Lam.) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Keripik Simulasi (Simulated Chips)”. Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan baik moril, materil, maupun spirituil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Mami tercinta atas segala support dan “kuliah”nya serta atas segala doa, kasih sayang, dan kerja kerasnya selama ini. Opa tersayang atas pendidikan yang diberikan di masa pertumbuhan penulis dan atas gen positif yang diwariskan pada penulis. Papi yang telah mendukung baik moril dan materill dari surga sana. 2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam membimbing dan mengayomi penulis selama menyelesaikan studinya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. 3. Ibu Dr. Dra. Suliantari, M.S. dan Bapak Ir. Darwin Kadarisman, M.Si. atas kesediaannya menjadi dosen penguji pada ujian akhir serta masukan yang diberikan. 4. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat. 5. Prins Carl Santoso (kakak), Otniel Renato Sigit dan David Jessen atas perhatian, dukungan, dorongan, semangat, doa, dan waktu yang diberikan kepada penulis.
i
6. Saidatul Husnah sebagai teman satu bimbingan yang telah banyak membantu moril dan materil dari awal hingga akhir masa belajar dan selama penelitian. 7. Saidatul Husnah dan Margaret atas dukungan morillnya ketika final IFT, Agus dan Stefanus atas dukungan materillnya. 8. Teman-teman terbaik di ITP 43 Dessyana, Dewi P.L., Sandra, Septi, Mario, Dion, Wonojatun, Widhi, Prima atas sharing novelnya, Feriana, Yessica, Selma, Pales serta teman-teman ITP 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Teman-teman terbaik di ITP 42 Marcel atas masukan-masukannya dan Ci Irene untuk ceritanya. 10. Teman-teman satu laboratorium Fenny, Yurin, Dewi, Ka Nono, Mbak Aline, Yua P.O, Henni, Margie, Erinna, Steph, Nina atas bantuan dan semangatnya, Sandra, Dewi, Septi, Roni, Angga, Yenni (anak-anak yogurt) atas keceriaan pertikusan yang dibagi. 11. Jessica, Agus Danang, dan Stefanus atas pelajaran “berharga” dalam hidup yang telah diberikan kepada penulis. 12. Laboran yang sudah sangat membantu selama penelitian, Pak Junaedi, Pak Wahid, Abah, Pak Iyas, Pak Sidik, Pak Rojak, Mas Edi, Pak Sobirin, Pak Gatot, Pak Adi, Bu Rubiyah, Bu Antin, Pak Sobirin, Mas Aldi, Mba Darsih dan Bu Supiah. 13. Bu Novi, Bu Kokom, dan pengurus UPT lainnya, terima kasih atas kesabaran dan bantuannya dalam pengurusan surat-surat dan berkas-berkas perkuliahan sehingga semuanya dapat berjalan dengan lancar. 14. Keluarga besar ITP angkatan 42, 43, 44, 45 atas kebersamaannya selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang. 15. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama masa studi di Institut Pertanian Bogor yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
ii
DAFTAR ISI
halaman KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI...................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL...........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
vii
I. PENDAHULUAN......................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG...........................................................................
1
B. TUJUAN................................................................................................
2
C. MANFAAT............................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................
4
A. UBI JALAR...........................................................................................
4
1. Botani Ubi Jalar………...................................................................
4
2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Ubi Jalar .....................................
6
3. Pengolahan Ubi Jalar……………………………………………...
10
4. Tepung Ubi Jalar…………………………………………………..
11
B. ANTOSIANIN.......................................................................................
14
C. TEKNIK PENGERINGAN...................................................................
16
1. Pengeringan dengan Sinar Matahari………………………………
17
2. Pengering Oven……………………………………………………
18
D. TEPUNG DAN PATI............................................................................
19
E. CHIPS…………………………………………………………………
20
1. Pembuatan Adonan………………………………………………..
21
2. Pembuatan Lembaran Adonan…………………………………….
21
3. Penggorengan……………………………………………………...
22
III. METODOLOGI………………................................................................
24
A. BAHAN…………….............................................................................
24
B. ALAT………………………………………………………………….
24
C. METODE PENELITIAN.......................................................................
25
1. Penelitian Pendahuluan....................................................................
25
iii
a. Persiapan bahan baku……………………………………….…
25
b. Pembuatan tepung ubi ungu…………………………………...
25
2. Penelitian Utama..............................................................................
27
a. Formulasi awal…………………….………….…………..……
27
b. Formulasi lanjutan…………………..………………..………...
27
c. Uji organoleptik…………….…………………………...……...
27
d. Analisis formulasi terpilih…………..……..…………………...
28
D. METODE ANALISIS............................................................................
29
1. Analisis Sifat Kimia……………………….....................................
29
2. Analisis Sifat Fisik………………………………………………...
33
3. Uji Organoleptik…………………………………………...……...
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................
35
A. PENELITIAN PENDAHULUAN.........................................................
35
1. Persiapan Bahan Baku….................................................................
35
2. Pembuatan Tepung Ubi Ungu……………………..........................
37
3. Penentuan Tepung Terbaik……………………….……………….
42
4. Analisis Proksimat Tepung………………………………………..
48
B. PENELITIAN UTAMA.........................................................................
48
1. Formulasi awal ................................................................................
48
2. Formulasi lanjutan…………………………………………………
55
3. Uji Organoleptik..............................................................................
57
4. Analisis formulasi terpilih................................................................
62
V. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................
67
A. KESIMPULAN......................................................................................
67
B. SARAN..................................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
69
LAMPIRAN....................................................................................................
76
iv
DAFTAR TABEL
halaman Tabel 1. Komposisi ubi jalar segar per 100 gram.............................................
7
Tabel 2. Komposisi kimia ubi jalar ungu per 100 gram...................................
7
Tabel 3. Karakteristik fisiko-kimia tepung ubi jalar yang dihasilkan di Indonesia……………………………………………………………
13
Tabel 4. Kandungan gizi tepung ubi jalar, tepung terigu, dan tepung jagung per 100 gram………………………...……………………………… 13 Tabel 5. Kandungan gizi maizena, tapioka, sagu dan tepung beras.................... 20 Tabel 6. Pengukuran warna dengan chromameter………………………..…….
46
Tabel 7. Komposisi kimia tepung ubi jalar ungu terpilih…………………….
49
Tabel 8. Beberapa perbedaan sifat lembaran adonan dengan jumlah air yang ditambahkan………………………………………………………... 50 Tabel 9. Skor kesukaan terhadap parameter penampakan minyak chips ubi jalar ungu…………………………………………………………...
58
Tabel 10. Skor kesukaan terhadap parameter tekstur (kerenyahan) chips ubi jalar ungu…………………………………………………………...
59
Tabel 11. Skor kesukaan terhadap parameter warna chips ubi jalar ungu…….
61
Tabel 12. Komposisi kimia chips ubi jalar ungu terpilih……………………...
63
Tabel 13. Hasil analisis warna pada bahan baku dan produk chips ubi jalar ungu………………………………………………………..……….. 66
v
DAFTAR GAMBAR
halaman Gambar 1. Tanaman ubi jalar dan bunganya......................................................
5
Gambar 2. Ragam umbi ubi jalar.......................................................................
5
Gambar 3. Antosianidin……………………………………………..………… 14 Gambar 4. Antosianidin utama dalam pangan...................................................
15
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar......................................... 26 Gambar 6. Diagram alir pembuatan chips ubi ungu........................................... 28 Gambar 7. Ubi ungu var. Ayamurasaki………………………………………..
36
Gambar 8. Umbi yang terkena boleng………………………………………… 36 Gambar 9. Persiapan ubi jalar ungu…………………………………………...
39
Gambar 10. Ubi setelah dikukus ……………………………………………
40
Gambar 11. Tepung ubi jalar var. Ayamurasaki yang dimodifikasi dalam proses pembuatannya………...………………………………….
43
Gambar 12. Total Antosianin Tepung Ubi Ungu……………………………...
44
Gambar 13. Proses pembuatan adonan chips ubi ungu………………………..
50
Gambar 14. Proses pembentukan lembaran adonan…………………………... 52 Gambar 15. Proses pencetakan lembaran adonan chips………………………….
52
Gambar 16. Chips ubi ungu setelah digoreng dengan metode pengeringan oven dan penjemuran…………………………………………..... 53 Gambar 17. Chips ubijalar ungu yang telah digoreng dan alat penggorengnya. 54 Gambar 18. Penampakan chips yang telah mengalami modifikasi....................
56
Gambar 19. Skor kesukaan panelis terhadap penampakan minyak……...……
58
Gambar 20. Skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur………………......
60
Gambar 21. Skor kesukaan panelis terhadap atribut warna……….…………..
62
vi
DAFTAR LAMPIRAN
halaman Lampiran 1. Perhitungan rendemuen tepung ubi jalar ungu………………..
76
Lampiran 2. Hasil analisis antosianin awal dalam penentuan tepung terbaik
77
Lampiran 3. Analisis warna tepung dengan chromameter…………………….
78
Lampiran 4. Analisis proksimat dan nilai kalori tepung ubi jalar terpilih….
78
Lampiran 5. Kuisioner uji organoleptik…………………………………….
79
Lampiran 6. Data uji organoleptik penampakan minyak chips ubi jalar ungu. 80 Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik penampakan minyak chips ubi jalar ungu…………………………………..
81
Lampiran 8. Data uji organoleptik tekstur chips ubi jalar ungu…………….
82
Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik tekstur (kerenyahan) chips ubi jalar ungu…………………………….
83
Lampiran 10. Data uji organoleptik warna chips ubi jalar ungu……………..
84
Lampiran 11. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik warna chips ubi jalar ungu………………………………………………………
85
Lampiran 12. Analisis proksimat chips ubi jalar terpilih………..…………….
86
Lampiran 13. Hasil analisis antosianin tepung ubi ungu bahan baku…………
87
Lampiran 14. Hasil analisis antosianin chips ubi ungu……………….……….
87
Lampiran 15. Analisis warna tepung ubi ungu bahan baku dengan chromameter…………………………………………………………..
88
Lampiran 16. Analisis warna chips ubi ungu dengan chromameter……………
88
vii
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Saat ini pangan telah terdiferensiasi menjadi produk pemenuh kebutuhan psikologis, sosial dan lain-lain sehingga menjadikan masalah penyediaan pangan menempati posisi yang penting. Salah satu bentuk inovasi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan penyediaan pangan adalah dengan melalui
pengembangan
produk
pangan
untuk
mendukung
usaha
penganekaragaman pangan, yang sekaligus dapat meningkatkan budidaya dan pemanfaatan hasil pertanian seperti umbi-umbian. Penganekaragaman pangan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap bahan pokok tertentu dan memanfaatkan sumber daya lokal secara optimum sebagai bahan pangan. Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan salah satu tanaman palawija yang banyak terdapat di Indonesia. Luas lahan ubi jalar di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 174.561 ha dengan produksi mencapai sekitar 1.947.311 ton, yang teralokasi pada Jawa Barat sebesar 389.815 ton (BPS, 2009). Hampir seluruh produksi ubi jalar nasional digunakan sebagai bahan pangan. Komoditas ubi jalar sangat layak dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan yang berbasis tepung karena memiliki kandungan nutrisi yang baik, umur tanam yang relatif pendek, produksi yang tinggi (Widodo, 1989). Selain itu, ubi jalar juga merupakan salah satu komoditas lokal sumber serat pangan (dietary fiber). Salah satu ubi jalar yang sedang dikembangkan adalah ubi jalar dengan daging umbi berwarna ungu atau ubi ungu. Varietas untuk ubi jalar jenis ini pada umumnya adalah pakhong dan ayamurasaki. Ubi ini memiliki nilai gizi yang tidak kalah dengan ubi jalar jenis lain yang telah lama berada di Indonesia. Ubi jalar ungu juga memilki sifat fungsional lainnya bagi tubuh karena mengandung pigmen antosianin. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan karena berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, dan pencegah gangguan fungsi hati (Suda et al., 2003) Di Jepang, ubi jalar ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna alami
1
untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah, juga dapat menghalangi muncuknya sel kanker, serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner (Yashinaga, 1995). Tekstur ubi jalar yang lunak dengan kadar air tinggi memiliki sifat mudah rusak oleh pengaruh mekanis. Kerusakan ini memberi kesempatan masuknya mikroba ke dalam umbi dan merusak umbi secara keseluruhan. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu upaya pengawetan ubi jalar. Selain itu, juga merupakan upaya peningkatan daya guna ubi jalar supaya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung memberi beberapa keuntungan seperti meningkatkan daya simpan, praktis dalam pengangkutan dan penyimpanan, dan dapat diolah menjadi menjadi beraneka ragam produk makanan. Makanan ringan (snack) dewasa ini berkembang cukup pesat, baik dari segi jenis produk, rasa, bentuk, citarasa, maupun kemasannya. Saat ini, banyak sekali jenis makanan ringan di pasaran yang memanfaatkan bahan baku yang sudah tersedia di alam. Produk makanan ringan yang paling digemari adalah produk keripik dan chips. Hal ini didukung oleh tekstur yang renyah serta selera konsumen di Indonesia yang cenderung lebih menyukai produk pangan yang digoreng. Berdasarkan hal-hal diatas, timbul pemikiran untuk melakukan suatu pengembangan produk makanan ringan dengan inovasi berupa penggunaan ubi jalar ungu sebagai bahan baku. Selain untuk memanfaatkan sumber daya yang ada, produk ini diharapkan dapat memberikan warna baru bagi dunia makanan ringan dengan menghasilkan produk chips yang menggunakan pewarna alami disertai berbagai macam tambahan kelebihan seperti adanya kandungan antioksidan dan sumber prebiotik alami.
B. Tujuan 1. Mengembangkan teknologi proses pembuatan tepung ubi jalar ungu yang menghasilkan warna yang tetap ungu, serta dapat diterapkan dalam Usaha Kecil Menengah (UKM).
2
2. Memperoleh rasio antara tepung ubi ungu dan air dalam pembuatan chips. 3. Memperbaiki karakteristik produk akhir (chips) dengan menambahkan beberapa jenis pati dan tepung. 4. Mengetahui total antosianin yang terdapat pada chips ubi jalar ungu
C. Manfaat Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki mutu tepung ubi jalar ungu yang telah ada di pasaran, meningkatkan minat masyarakat terhadap ubi jalar ungu melalui penambahan produk olahannya (chips), serta merangsang produksi tepung ubi jalar ungu dengan standar yang lebih baik. Hal ini penting karena ubi jalar ungu merupakan komoditas yang memiliki nilai gizi tinggi serta memiliki nilai fungsional yang baik bagi tubuh.
3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. UBI JALAR Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam.) merupakan tanaman dikotil yang termasuk ke dalam famili Convolvulaceae (Onwueme,1988). Budidaya ubi jalar kemungkinan dimulai sekitar 3000 tahun SM oleh suku Peruvia dan suku Maya di Amerika (O’Brien, 1972). Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian Tengah (Rukmana, 1997). Menurut Onwueme (1988), Colombus memperkenalkan umbi ini dalam perjalanan pulangnya ke Eropa, sementara ubi jalar diperkenalkan ke Afrika dan Asia oleh penjelajah Spanyol dan Portugis. Ubi jalar merupakan tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubi kayu. Komoditas ubi jalar sangat layak untuk dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan berdasarkan kandungan nutrisi, umur yang relatif pendek, produksi tinggi, dan potensi lainnya. Sehingga apabila ditangani secara sungguh-sungguh, ubi jalar akan menjadi sumber devisa yang sangat potensial (Widodo, 1989). Ubi jalar termasuk salah satu tanaman yang paling tinggi daya penyesuaiannya terhadap kondisi lingkungan yang buruk, seperti angin kencang, musim kering yang panjang serta telah terbukti besar perannya dalam musim paceklik dan bencana alam sebagai makanan alternatif. Tanaman ini dapat ditanam sepanjang tahun dengan daya adaptasi yang luas, asalkan kebutuhan air pada awal pertumbuhannya cukup. 1. Botani Ubi Jalar Tanaman ubi jalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh dengan daerah penyebarannya terletak pada 30oLU dan 30oLS. Daerah yang paling ideal untuk mengembangkan ubi jalar adalah daerah bersuhu antar 21oC-27oC, mendapat sinar matahari 11-12 jam/hari, kelembaban udara (RH) 50-60% dengan curah hujan 750-1500 mm/tahun.
4
Pertumbuhan dan produksi yang optimal untuk pertanian ubi jalar tercapai pada musim kemarau (Rukmana, 1997). Klasifikasi lengkap taksonomi tanaman ini adalah kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan), divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), subdivisi Angiospermaae (berbiji tertutup), kelas Dicotyledonae (biji berkeping dua), ordo Convolvulales, famili Convolvulaceae, genus Ipomoea, dan spesies Ipomoea batatas L. Ciri-ciri khusus dari Famili Convolvulaceae ini antara lain mengandung getah, memiliki ikatan pembuluh bicallateral, daun menjari sederhana dan tersusun secara berselang-seling mengelilingi batang. Bunganya khas dengan putik yang istimewa, benangsari berjumlah 5 buah, corela berbentuk terompet, buah berbentuk bulat lonjong, dan bijinya mengandung embrio dengan kotiledon berlipat ganda (Edmond dan Ammerman, 1971). Ukuran bunganya relatif besar, berwarna putih atau putih keunguan pucat dan warna ungu di bagian tengahnya (Prana dan Danimiharja, 1981) seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman ubi jalar dan bunganya Umbi tanaman ubi jalar adalah akar yang membesar untuk menyimpan cadangan makanan, dengan bentuk antara lonjong sampai agak bulat. Umbi tanaman ubi jalar terbentuk dari penebalan lapisan luar akar yang dekat dengan batang dan berada dalam tanah atau bongkol yang tertinggal dalam tanah (Kay, 1973). Warna kulit umbinya berkisar dari warna putih sampai dengan krem, kuning, jingga, merah muda, merah, sampai ungu gelap. Warna dari daging umbinya sangat tergantung dari jenis dan banyaknya pigmen yang terkandung dalam bahan. Daging
5
umbinya berwarna putih, krem, kuning, merah muda kekuning-kuningan, jingga dan ada juga yang berwarna ungu (Steinbauer dan Kushman, 1971). Berbagai jenis ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 2.
a. Ubi jalar ungu b. Ubi jalar orange c. Ubi jalar putih Gambar 2. Ragam umbi ubi jalar (Anonima) Menurut Edmond dan Ammerman (1971), ubi jalar berkembang biak secara sexual dan axesual. Metoda asexual digunakan oleh petani dan para peneliti dalam memproduksi ubi, sedangkan metode sexual digunakan hanya oleh ahli pemuliaan tanaman dalam mengembangkan varietas baru dari biji. 2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Ubi Jalar Ubi jalar (Ipomoea batatas (L) Lam.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penghasil karbohidrat, protein, lemak dan serat yang tinggi diantara jenis umbi-umbian (Widodo, 1989). Selain itu, ubi jalar juga kaya akan vitamin (B1, B2, C dan E), mineral (kalsium, potassium, magnesium dan zink), dietary fiber serta karbohidrat bukan serat (Suda et al., 2003). Nilai gizi ubi jalar dalam 100 gram dapat dilihat pada Tabel 1. Komposisi kimia ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi penanaman, dan musim tanam. Menurut Atmawikarta (2001), pada musim kemarau, varietas yang sama akan menghasilkan kadar tepung yang lebih tinggi daripada musim penghujan. Ubi jalar mengandung beberapa komponen menguntungkan dan pigmen fungsional. Pigmen dominan pada ubi jalar ungu adalah antosianin yang cukup tinggi, sedangkan untuk ubi jalar kuning adalah flavon dan orange adalah betakaroten (Oki et al., 2002). Komposisi kimia ubi jalar ungu dalam 100 gram dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu berfungsi sebagai radical scavenging, antimutagenik, 6
hepato-protective, anti hipertensi, dan anti hiperglikemik (Suda et al., 2003). Tabel 1. Komposisi ubi jalar segar per 100 gram Komponen
Jumlah
Kadar air (%) 72,84 Pati (%) 24,28 Protein (%) 1,65 Gula pereduksi (%) 0,85 Mineral (%) 0,95 a 0,7 Lemak (%) mg 22,7 Asam askorbat ( /100g) mg 204,0 K ( /100g) mg 28,0 S ( /100g) mg 22,0 Ca ( /100g) mg 10,0 Mg ( /100g) mg 13,0 Na ( /100g) mg 0,59 Fe ( /100g) mg 0,355 Mn ( /100g) IU 20063,0 Vitamin A ( /100g) kJ 441,0 Energi ( /100g) Sumber: Kotecha dan Kadam (1998) a Direktorat Gizi Depkes RI (1993) Tabel 2. Komposisi kimia ubi jalar ungu per 100 gram Sifat Kimia dan Fisik
Jumlah
Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar pati (%) Gula pereduksi (%) Kadar lemak (%) Kadar antosianin (mg/100 g) Sumber : Widjanarko (2008)
67,77 3,28 55,27 1,79 0,43 923,65
Menurut Onwueme (1988), ubi jalar mengandung hampir semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup dari segi nutrisi. Protein ubi jalar sebanyak 2/3 bagiannya merupakan protein globulin. Namun penelitian Huang (1982) menunjukkan bahwa ubi jalar secara individual
7
tidak mampu memenuhi kebutuhan protein untuk manusia pada masa pertumbuhan. Sedangkan pada manusia dewasa, kebutuhan proteinnya dapat dipenuhi dengan konsumsi ubi sekeitar 2,5 kg per hari yang disuplementasi dengan sejumlah kecil ikan dan sayuran. Karbohidrat yang banyak terdapat di dalam ubi jalar adalah pati, gula, dan serat (Palmer, 1982). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik dalam wujud ikatan linear ataupun ikatan bercabang. Pati memiliki dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, dimana fraksi terlarut disebut sebagai amilosa dan fraksi tidak terlarut yang disebut sebagai amilopektin. Amilosa memiliki struktur linear
dengan
ikatan
α-(1,4)-D-glukosa,
sedangkan
amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa (Winarno, 2002). Molekul amilosa berupa rantai linear yang panjang dan fleksibel yang terdiri dari 500-2000 unit glukosa. Amilopektin mengandung beberapa ratus percabangan linear yang pendek, dengan percabangan sekitar 25 unit glukosa (Schoch, 1970). Kandungan amilopektin yang tinggi dan amilosa yang rendah diduga bertanggung jawab terhadap karakteristik tekstur ubi jalar (Woolfe, 1999). Rasio amilosa dan amolipektin pada ubi jalar secara umum adalah 1 : 3 atau 1 : 4. Perbandingan kandungan antara amilosa dan amilopektin berperan dalam pembentukan adonan. Semakin besar kandungan amilopektin atau semakin kecil kandungan amilosa pati yang digunakan, maka semakin lekat produk olahannya (Winarno, 1992). Pati ubi jalar memiliki sifat (viskositas dan karakteristik lain) yang berbeda dari pati kentang dan pati jagung atau pati tapioka. Granula pati ubi jalar berdiameter 2 – 25 µm. Granula pati ubi jalar berbentuk poligonal dengan kandungan amilosa dan amilopektin berturut-turut adalah 20% dan 80% (Swinkels, 1985). Pati ubi jalar memiliki derajat pembengkakan 20 – 27
ml
/gram, kelarutan 15 – 35% dan tergelatinisasi pada suhu 75 – 88oC
untuk granula berukuran kecil (Moorthy, 2000) Pati dari varietas ayamurasaki sesuai untuk produk yang memerlukan pati yang berviskositas tinggi pada perlakuan suhu relatif
8
rendah serta yang membutuhkan stabilitas gel tinggi (Ginting et al., 2005). Berdasarkan penelitian, Faizah (2004) menyatakan kadar pati varietas ayamurasaki sebesar 89.78% dan kadar amilosa sebesar 34.70%. Pati dari varietas ini memerlukan waktu 29 menit pada suhu 73.5oC untuk dapat bergelatinisasi, dan granulanya pecah pada suhu 88.5oC setelah 39 menit. Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya cenderung meningkat apabila dibandingkan dengan gula pada ubi jalar mentah. Hidrolisis pati menjadi dekstrin selama pemasakan akan mengakibatkan peningkatan maltosa secara signifikan. Akan tetapi gula dalam ubi jalar tetap didominasi oleh sukrosa (Woolfe, 1999). Total gula pada ubi jalar berkisar antara 0.38-5.64% dalam basis basah mentah (Bradbury dan Holloway, 1988). Komponen lainnya pada ubi jalar yang tidak kalah pentingnya adalah serat. Serat (dietary fiber) merupakan komponen jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dari lambung dan usus halus. Dietary fiber umumnya berupa karbohidrat atau polisakarida (Winarno, 2002). Kecenderungan timbulnya flatulensi setelah mengkonsumsi ubi jalar disebabkan oleh adanya komponen karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti oligosakarida (Darmadjati, 2003). Oligosakarida yang tidak dapat dicerna di dalam ubi adalah rafinosa dan masih tertinggal pada ubi jalar yang sudah dimasak (Palmer, 1982). Proses fermentasi dari karbohidrat tidak tercerna ini menghasilkan gas H, CH4, dan CO2 yang bersama-sama membentuk gas flatus. Metabolit terakhir inilah yang menyebabkan flatulensi (Johnson dan Southgate, 1994). Karbohidrat yang dikandung ubi jalar termasuk dalam klasifikasi Low Glycmix Index (LGI, 54) sehingga sangat cocok untuk penderita diabetes, karena tidak secara drastis menaikkan gula darah. Sebagian besar serat ubi jalar merupakan serat larut yang menyerap kelebihan lemak/kolestrol darah, sehingga kadar lemak/kolestrol darah tetap normal (Muchtadi, 2001).
9
Ubi merupakan sumber vitamin C yang cukup baik, thiamin juga tersedia dalam jumlah cukup berdasarkan kalori (0,8
mg
/100g) atau sekitar
dua kali kebutuhan manusia. Kalium atau potassium merupakan mineral terbanyak (200 – 300 mg/100g) dan kandungan zat besinya (0,8 mg/100g) dapat mencukupi kebutuhan manusia yang mengkonsumsi ubi jalar sekitar 2 kg per hari (Huang, 1982). Selain mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh, ubi jalar juga mengandung zat anti gizi yakni tripsin inhibitor, dengan jumlah 0,26 – 43,6
IU
/100g ubi jalar segar. Adanya tripsin inhibitor akan
menutup gugus aktif enzim tripsin sehingga aktivitas enzim tersebut terhambat dan tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Namun, aktivitas tripsin inhibitor ini dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yakni proses pemasakan, seperti perebusan dan pengukusan (Santosa et al., 1994). 3. Pengolahan Ubi Jalar Ubi jalar masih dinilai sebagai komoditas inferior, meskipun komoditas ini sudah lama dikenal dan diusahakan oleh petani. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi mengenai bentuk-bentuk pengolahan serta belum berkembangnya industri yang menggunakan ubi jalar sebagai bahan baku utama (Faizah, 2004). Ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai produk makanan ringan ataupun pencuci mulut dan umumnya dikonsumsi dalam bentuk segarnya yang telah direbus, dipanggang, ataupun dimasak dengan bahan-bahan lainnya. Komoditas ini juga dapat diolah menjadi keripik dengan bentuk potongan ataupun seperti bentuk kentang goreng (Mackay et al., 1989). Proses pemasakan akan menyebabkan perubahan pada tekstur dan flavor ubi jalar dan juga dapat meningkatkan daya cerna zat gizinya. Proses pemasakan juga dapat mengurangi jumlah toksin pada ubi jalar (toxic terpenoid phytoalexins) dan zat anti nutrisi berupa tripsin inhibitor. Namun, proses pemasakan yang terlalu lama akan menyebabkan hilangnya beberapa zat gizi melalui proses degradasi thermal, oksidasi dan reduksi ketersediaan biologis (Woolfe, 1993). 10
Pengeringan oleh sinar matahari pada ubi jalar yang telah diblansir merupakan proses pengolahan tradisional yang dilakukan negara-negara berkembang untuk menghasilkan keripik ubi jalar. Di Indonesia, umbi ubi jalar segar terkadang direndam dalam larutan garam 8-10% selama sekitar satu jam sebelum dipotong menjadi bentuk keripik dan dikeringkan. Perlakuan perendaman tersebut dilaporkan dapat mencegah pertumbuhan mikroba selama proses pengeringan (Winarno, 1982). Kegunaan ubi jalar pun sangat luas, disamping sebagai bahan dasar pembuatan kembang gula, es krim, jelly dan saus, ubi jalar juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri kimia, obat-obatan, tekstil, plastik biodegradabel dan bahan kosmetik (Faizah, 2004). Pengenalan tentang sifat fungsional dari ubi jalar ungu dan peran dari pigmen antosianin menyebabkan peningkatan pengembangan produkproduk berbasis ubi jalar di Jepang (Suda et al., 2003). Sekarang ini, di Jepang, pasta dan tepung dari ubi jalar ungu digunakan sebagai bahan dalam membuat mie, roti, jam, sweet potato chips, produk konfeksioneri, jus dan minuman beralkohol (Oki et al., 2002). Menurut Rozi dan Krisdiana (2006), warna ungu dari ubi jalar dapat digunakan sebagai pewarna alami makanan, sehingga menjadikan makanan terbebas dari zat-zat kimia. Selain itu, tampilan makanan yang dihasilkan mampu meningkatkan daya tarik konsumen untuk aneka produk penganan berbahan baku ubi ungu. 4. Tepung Ubi Jalar Salah satu potensi pengembangan ubi jalar adalah dengan diolah menjadi tepung. Proses pembuatan tepung cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga, maupun industri kecil. Pembuatan tepung ubi jalar meliputi pembersihan, pengupasan, pengecilan ukuran, dan pengeringan sampai kadar air tertentu. Menurut Sugiyono (2003), tepung ubi jalar dapat dibuat dengan dua cara yaitu pertama ubi diiris tipis lalu dikeringkan (chips/sawut kering) kemudian ditepungkan dan kedua dengan memarut umbi atau dibuat pasta lalu dikeringkan kemudian ditepungkan. 11
Tepung ubi jalar dapat dibuat dengan menggunakan beberapa metode pengeringan. Metode yang sering digunakan antara lain pengeringan menggunakan sinar matahari (Santosa et. al., 1994) dan pengeringan menggunakan alat pengering seperti mesin pengering sawut ubi jalar (Sutisno dan Ananto, 1999), oven serta drum drier (Koswara et. al., 2003). Pengolahan ubi jalar menjadi tepung memberikan beberapa keuntungan
seperti
meningkatkan
daya
simpan,
praktis
dalam
pengangkutan dan penyimpanan serta dapat diolah menjadi beraneka ragam produk makanan (Winarno, 1982). Tepung ubi jalar dapat digunakan untuk produk roti, makanana bayi, permen, saus, makanan sarapan, makanan ringan, biskuit dan lain sebagainya. Keunikan tepung ubi jalar adalah warna produk yang beraneka ragam, mengikuti warna daging umbi bahan bakunya. Proses yang tepat dapat menghasilkan tepung dengan warna sesuai warna umbi bahan. Sebaliknya, proses yang kurang tepat akan menurunkan mutu tepung, dimana tepung yang dihasilkan akan berwarna kusam, gelap, atau kecokelatan.
Untuk
menghindari
hal
tersebut,
Widowati
(2009)
menyarankan untuk merendam hasil irisan atau hasil penyawutan selama kurang lebih satu jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kontak antara bahan dengan udara, yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan. Di Indonesia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisikokimia tepung per 100 gram dari berbagai jenis ataupun varietas ubi jalar (Tabel 3). Tepung ubi jalar juga memiliki beberapa kelebihan yaitu sebagai sumber karbohidrat, serat pangan, betakaroten (Kadarisman dan Sulaeman, 1993), dan antosianin untuk ubi ungu. Selain itu, tepung ubi jalar memiliki kandungan gula yang cukup tinggi sehingga dalam pembuatan produk olahan berbahan baku tepung ubi jalar, dapat mengurangi penggunaan gula sebanyak 20% (Nuraini, 2004). Kandungan gizi tepung ubi jalar dibandingkan dengan tepung gandum dan tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 4.
12
Tabel 3. Karakteristik fisiko-kimia tepung ubi jalar yang dihasilkan di Indonesia Tepung Ubi Jalar Komponen Mutu a Kimia Putih Putihb Kuninga Ungua Air (% b/b) 10,99 7,00 6,77 7,00 Abu (%) 3,14 2,58 4,71 5,31 Lemak (%) 1,02 0,53 0,91 0,81 Protein (%) 4,46 2,11 4,42 2,79 Serat Kasar (%) 4,44 3,00 5,54 4,72 Karbohidrat (%) 84,83 81,74 83,19 83,81 Sumber: (a) Susilawati dan Medikasari (2008) (b) Antarlina dan Utomo (1997) dalam Widjanarko (2008)
Ratarata 7,94 3,94 0,82 3,44 4,42 83,39
Tabel 4. Kandungan gizi tepung ubi jalar, tepung terigu, dan tepung jagung per 100 gram Kandungan Gizi Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Karbohidrat (%) Serat(%) Kalori (kal/100g) Sumber: Antarlina (1998)
Tepung Ubi Jalar 7,00 5,12 0,58 3,22 85,26 1,95 366,89
Tepung Terigu 7,00 13,13 1,29 0,54 85,04 0,62 375,79
Tepung Jagung 16,04 4,28 1,32 74,27 -
Tepung ubi jalar mentah memberikan after taste pahit pada produk akhir sehingga dapat mengganggu cita rasa produk. Rasa pahit biasanya disebabkan oleh beberapa senyawa fenolik atau alkaloid (Woolfe, 1999). Pembuatan tepung ubi jalar pada penelitian kali ini menggunakan pengeringan dengan metode matahari
(penjemuran) dan dengan
menggunakan alat pengering seperti cabinet drier (pengering kabinet). Pengeringan dengan alat pengering buatan akan memperoleh hasil seperti yang diharapkan asalkan kondisi pengering dapat terkontrol dengan baik. Umumnya pengeringan dengan menggunakan alat pengering dapat lebih mempertahankan warna bahan yang dikeringkan.
13
B. ANTOSIANIN Antosianin merupakan salah satu senyawa polifenol yang memegang peranan penting dalam grup pigmen setelah klorofil. Antosianin berasal dari bahasa Yunani, anthos yang berarti bunga dan kyonos yang berarti biru gelap. Antosianin banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran, dan bunga (Jackman dan Smith, 1996). Menurut Markakis (1982), molekul antosianin tersusun atas sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula. Semua antosianin
merupakan
turunan
dari
kation
flavilium
(3,5,7,4’-
tetrahidroksiflavilium) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin, dapat dilihat pada Gambar 3 (Timberlake dan Bridle, 1997). R1 dan R2 biasanya ditempati oleh kombinasi antara H, OH dan OCH3; dimana kombinasi tersebut akan membentuk jenis-jenis antosianidin yang ada di alam.
Gambar 3. Antosianidin (Hutchings, 1999) Menurut Jackman dan Smith (1996), ada 18 jenis antosianidin yang telah ditemukan, namun hanya enam yang memegang peranan penting dalam bahan pangan dan sering ditemukan yaitu pelargonidin, sianidin, delpinidin, peonidin, petunidin dan malvidin. Struktur keenam jenis antosianidin tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Struktur antosianin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin. Jumlah gugus hidroksi atau metoksi pada struktur antisoanidin akan mempengaruhi warna antosianin. Jumlah gugus metoksi yang dominan akan menyebabkan warna cenderung merah dan stabil, sedangkan jumlah gugus hidroksi yang dominan akan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak stabil (Jackman dan Smith, 1996).
14
Gambar 4. Antosianidin utama dalam pangan (Eskin, 1979) Warna dan kestabilan antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain struktur, konsentrasi, suhu, pH, cahaya, keberadaan dari senyawa kopigmen, ion logam, enzim, oksigen, asam askorbat, produk hasil degradasi, protein dan sulfur dioksida (Seda, 2006). Perubahan pH dapat menyebabkan struktur dari antosianin merubah warna serta kestabilannya. Antosianin akan berwarna merah pada pH asam (pH < 3). Warna kemudian akan menjadi ungu atau biru pada pH sekitar netral mendekati basa, dan kemungkinan akan kehilangan warna apabila pHnya terus naik. Kestabilan antosianin akan menurun seiring meningkatnya suhu. Selain itu, senyawa antosianin tidak stabil apabila terkena sinar baik UV, visible, maupun sumber radiasi yang lain (Jackman dan Smith, 1996). Ubi jalar ungu mengandung antosianin dalam jumlah yang tinggi. Pigmen antosianin pada ubi jalar ungu ada dalam bentuk mono- atau di- asetil
15
dari sianidin dan peonidin. Satu karakteristik umum dari semua tipe antosianin ubi jalar ungu adalah bahwa mereka terikat pada satu gugus kafeoil terkecil yang membuatnya menjadi penangkap radikal bebas yang sangat baik. Antosianin ubi jalar akan berwarna merah pada kondisi pH asam, ungu pada kondisi pH netral, dan berwarna hijau pada kondisi pH basa (Suda et al., 2003). Pigmen antosianin dan senyawa flavonoid lainnya terbukti memiliki efek positif terhadap kesehatan (Timberlake dan Bridle, 1997). Di jepang, ubi jalar ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah. Antosianin juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner (Yashinaga, 1995). Menurut Suda et al. (2003), antosianin pada ubi jalar ungu berfungsi sebagai radical scavenging, antimutagenik, hepato-protective, anti hipertensi, dan anti hiperglisemik. Selain itu, antosianin dapat pula membantu fungsi mata (Ichiyanagi et. al., 2007).
C. TEKNIK PENGERINGAN Pengeringan adalah suatu cara untuk mengurangi kadar air suatu bahan, sehingga diperoleh hasil akhir yang kering. Pengeringan ini umumnya bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Menurut Desrosier (1963) pengeringan adalah suatu proses pindah panas dan pindah massa. Sedangkan menurut Brooker et. al. (1973), pengeringan adalah proses pindah panas dari udara pengering ke bahan dan penguapan kandungan air dari bahan ke udara pengering secara simultan. Pengeringan akan lebih efektif pada aliran udara yang terkontrol (Van Arsdel et al., 1964). Brown et al., (1964) menyatakan bahwa metode pengeringan yang paling baik adalah metode yang tidak mahal dan dapat menghasilkan kualitas, serta karakteristik produk yang diinginkan. Menurut Desrosier (1963) agar bahan pangan kering dapat diterima konsumen, harganya harus dapat bersaing dengan berbagai jenis bahan pangan awet yang baik; memiliki rasa, bau, dan
16
penampakkan yang sebanding dengan produk-produk segar atau produkproduk yang diolah dengan cara yang lain; dapat direkonstitusi dengan mudah, masih memiliki nilai gizi yang tinggi serta harus memiliki stabilitas penyimpanan yang baik. Menurut Buckle et. al. (1987), keuntungan pengawetan dengan pengeringan dibandingkan dengan metode lainnya adalah (1) Bobot yang ringan karena kadar air makanan, yang umumnya berkisar antara 60 – 90 %, hampir semuanya dapat dikeluarkan dengan dehidrasi; (2) Membutuhkan tempat lebih sedikit daripada aslinya; (3) Stabil dalam penyimpanan pada suhu kamar dan tidak memerlukan alat pendingin, tetapi ada batasan pada suhu penyimpanan maksimum untuk masa simpan yang cukup baik. Kerugian dari teknik pengeringan antara lain peka terhadap panas dan cepat hilangnya flavor yang mudah menguap. Jenis bahan yang akan dikeringkan, mutu hasil akhir, dan pertimbangan ekonomi mempengaruhi pemilihan alat dan kondisi pengering yang akan digunakan. Bahan berbentuk lempeng atau bahan padatan paling sesuai apabila dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet atau tray drier, sedangkan untuk bahan yang berbentuk pasta atau puree maka alat yang sesuai untuk mengeringkannya adalah pengering drum (Brennan et al., 1974). Pindah panas dapat berlangsung dengan cara konveksi, konduksi dan radiasi. Ada dua cara pengeringan yang biasa digunakan pada bahan pangan yaitu pengeringan dengan penjemuran dan pengeringan dengan alat pengering. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terdiri atas faktor yang berhubungan dengan alat pengering, faktor yang berhubungan dengan sifatsifat bahan yang dikeringkan, dan perlakuan pra pengeringan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pengeringan adalah peletakan dan pengadukan bahan selama pengeringan berlangsung, sifat-sifat pengantar panas dari bahan alat pengering serta cara pemindahan panas dari sumber alat pemanas ke bahan yang dikeringkan (Richey et. al., 1961 dan Hall, 1957). 1. Pengeringan dengan Sinar Matahari Pada umumnya proses pengeringan dengan sinar matahari disebut sebagai penjemuran. Dua keuntungan penjemuran di bawah sinar 17
matahari, yaitu adanya daya pemutih karena sinar ultra violet matahari dan mengurangi degradasi kimia yang dapat menurunkan mutu bahan (Grace, 1977). Selain itu biaya produksi lebih rendah, tidak diperlukan bahan penolong lain seperti bumbu dalam pengalengan, serta upah buruh lebih murah karena tidak memerlukan keahlian khusus dan alat-alat yang digunakan lebih sederhana (Sutijahartini, 1985). Kelemahan proses penjemuran adalah proses pengeringan hanya bisa berlangsung apabila sinar matahari cukup, sering terjadi perubahan warna pada bahan, serta proses pengeringan tidak berlangsung secara konstan karena bergantung sekali pada kondisi cuaca setempat (Sutijahartini,
1985).
Kelemahan
lainnya
antara
lain
dapat
terkontaminasinya bahan oleh debu yang dapat mengurangi derajat keputihan tepung, sulitnya mengontrol suhu dan kelembaban udara serta terjadinya kontaminasi mikroba (Grace, 1977). 2. Pengering Oven Oven pengering merupakan alat pengering yang paling mudah dalam pemeliharaan dan penggunaan dengan biaya operasional yang rendah. Komoditas yang akan dikeringkan dimasukkan ke dalam oven, kemudian diatur pada suhu dan waktu tertentu, untuk selanjutnya digiling setelah kering. Prinsip kerja oven pengering secara umum adalah memanaskan bahan dengan menggunakan prinsip pindah panas secara konveksi. Elemen pemanas akan memanaskan udara dalam kabinet, kemudian partikel-partikel udara tersebut akan mengenai bahan secara bergantian. Salah satu jenis oven pengering yang paling sering ditemukan adalah pengering kabinet. Pengering kabinet (cabinet drier) terdiri dari suatu ruangan yang terisolasi dengan baik untuk mencegah kehilangan panas. Pengering kabinet umumnya digunakan untuk potongan-potongan buah atau umbi dengan kecepatan aliran 500-100 ft/menit. Pengeringan akan memakan waktu 5-10 jam atau kurang tergantung dari jenis bahan dan tingkat kadar air yang diinginkan (De Leon, 1988). Kipas yang berada di dalam pengering kabinet mengalirkan udara melalui elemen-elemen pemanas dan 18
menyebarkannya secara merata melalui nampan-nampan yang berisi bahan yang dikeringkan. Alat pengering ini dilengkapi sebuah saluran untuk mengeringkan udara yang penuh dengan uap air sebelum proses resirkulasi.
D. TEPUNG DAN PATI Pati pada prinsipnya adalah produk olahan yang diperoleh dengan memisahkan komponen-komponen non-pati, yaitu serat kasar, lemak, dan protein, dengan cara memisahkan bagian-bagian seperti kulit, lembaga, dan protein telaru. Pati terkadang tertukar dengan tepung karena mereka memiliki penampakan yang tidak jauh berbeda, sama-sama berwarna putih. Hanya komposisi kimia dan karakteristik fisikokimia saja yang dapat membedakan antara tepung dan pati, tidak dapat dibedakan secara kasat mata. Pati merupakan salah satu jenis bahan pengisi. Bahan pengisi ini dapat menstabilkan, memekatkan, atau mengentalkan makanan yang dicampur air untuk membentuk kekentalan tertentu. Bahan pengisi yang digunakan dari jenis ini umumnya adalah maizena (pati jagung), tapioka (pati singkong), pati sagu dan tepung beras. Kandungan gizi keempatnya per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan gizi maizena, tapioka, sagu dan tepung beras Kandungan Gizi
Maizenaa
Tapiokab
Air (%) 14 11,30 Abu (%) 0,8 0,09 Protein (%) 0,3 0,50 Lemak (%) 0 0,10 Karbohidrat (%) 98,8 88,01 Sumber: (a) Departemen Kesehatan RI (1995) (b) Brautlecht (1953) (c) Departemen Kesehatan RI (1996) (d) Hubeis (1984)
Saguc
Tepung Berasd
10,25 0,255 0,31 0,25 87,71
12,0 0,146 7,0 0,5 80,0
Pati juga dapat berfungsi sebagai bahan pengikat. Menurut Tanikawa, et al. (1985), bahan pengikat adalah bahan yang digunakan dalam makanan
19
untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Fungsi bahan pengikat adalah untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan. Bahan makanan yang ditambahkan pati umumnya akan mengalami penurunan kadar air. Penurunan kadar air ini diakibatkan adanya mekanisme interaksi pati dengan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk interaksi pati dan protein (Manullang et. al., 1995).
E. CHIPS Chips adalah salah satu bentuk makanan ringan yang beredar di pasaran. Makanan ringan dapat diartikan sebagai makanan yang dikonsumsi di antara waktu makan reguler (Lusas, 2001). Makanan ringan mencakup banyak jenisnya antara lain keripik, produk ekstrusi, sup rekonstitusi, biskuit, cookies, dan banyak lainnya. Selanjutnya menurut Lusas (2001), makanan ringan secara umum memiliki ciri-ciri yakni lezat, aman dan bebas dari bahan-bahan berbahaya, umumnya disiapkan dalam jumlah besar melalui proses kontinyu, serta diberi bumbu seperti garam atau flavor tambahan. Makanan ringan biasanya dikemas dalam kemasan siap makan, dalam ukuran sekali gigit, mudah dipegang dengan jari, dan memiliki penampakan yang disesuaikan dengan keinginan konsumen (berminyak ataupun kering). Selain itu makanan ringan, biasanya memiliki shelf-stable, dimana tidak membutuhkan pendinginan untuk mengawetkan produk serta dijual dalam kondisi segera dengan menggunakan bahan pengemas yang inert dan menggunakan sistem penanggalan sebagai informasi pada label kemasan. Menurut Matz (1984), secara umum fabricated chips dapat digolongkan menjadi empat grup berdasarkan cara pengolahannya. Salah satunya adalah membentuk adonan yang bertotal-padatan tinggi menjadi lembaran tipis yang yang kemudian dipotong kecil-kecil kemudian digoreng.
20
Istilah Simulated Potato Chips untuk produk kentang hasil olahan proses tersebut dan secara komersil, produk tersebut mencapai keberhasilan terbesar. Menurut Sudibyo (1979) keripik dibuat dengan cara mengiris-iris umbi dan direndam dalam larutan garam lalu dikeringkan dan digoreng. Chips dibuat dengan mengubah umbi menjadi tepung ataupun pasta, kemudian dibuat menjadi adonan dan mengalami pencetakan agar penampakannya menjadi lebih menarik, sehingga chips mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dari keripik. 1. Pembuatan Adonan Leipa (1976) mengatakan bahwa telah banyak dibuat tiruan dari produk chips yang berasal dari adonan, seperti yang telah disebutkan diatas. Bahan-bahan utama diadon, dibuat lembaran, kemudian digoreng setelah dicetak sesuai dengan selera. Adonan ini umumnya mempunyai kadar air 30 – 45% (berat kering). Adonan dibuat menjadi lembaran kemudian dikeringkan sampai kadar air lebih kecil dari 15%, sehingga bentuk lembaran tersebut tidak berubah selama penggorengan. Air yang ditambahkan pada bahan baku dapat berupa air panas atau air suhu ruang biasa. Air yang panas berguna untuk mempermudah pembuatan adonan menjadi lembaran yang kemudian akan dicetak. Suhu adonan yang baik adalah 26,7 – 76,7 oC sebelum dibuat lembaran. Kadar air adonan yang baik adalah 25 – 55 % (yang terbaik adalah 35 – 45 %) untuk dapat menghasilkan lembaran yang tipis. 2. Pembuatan Lembaran Adonan Adonan dibentuk menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu. Keseragaman
ukuran
memegang
peranan
penting,
selain
untuk
memperoleh penampakan yang baik, juga agar penetrasi panas merata pada saat pengolahan (Muchtadi et. al., 1979). Ketebalan adonan berhubungan dengan jumlah produk yang dihasilkan serta jumlah minyak yang diserap selama penggorengan (Boyle, 1975). Dalam mencetak lembaran, ukuran ketebalam dapat divariasikan, tergantung pada kebutuhan. Pada pembuatan keripik secara konvensional,
21
ketebalan kentang yang digunakan adalah 0,125 – 2,5 mm atau yang terbaik adalah 0,175 – 0,5 mm. Bentuk yang biasa digunakan adalah bulat dengan diameter sekitar 65 mm (Liepa, 1976). Dilain pihak, Toft (1980) mengemukakan kisaran ketebalan adalah antara 0,25 – 1 mm. Potongan – potongan adonan yang telah terbentuk kemudian diturunkan kadar airnya sampai mencapai kisaran 9 – 13 % (Toft, 1980). 3. Penggorengan Fellows (2000) menyatakan bahwa penggorengan adalah unit operasi yang secara umum digunakan untuk meningkatkan eating quality dari suatu bahan pangan. Penggorengan pada dasarnya merupakan imersi dari bagian bahan pangan ke dalam minyak nabati bersuhu tinggi (Singh dan Oliviera, 1994). Fungsi minyak goreng dalam proses penggorengan adalah sebagai medium penghantar panas, penambah cita rasa, dan menambah nilai kalori bahan pangan (Ketaren, 1986). Saat bahan pangan ditempatkan ke dalam minyak bersuhu tinggi, temperatur bahan pangan akan meningkat secara cepat sehingga terjadi evaporasi air yang terkandung di dalam bahan menjadi uap panas. Permukaan bahan pangan kemudian mulai mengering dan evaporasi semakin bergerak menuju bagian dalam bahan pangan sehingga terbentuklah kerak (crust). Suhu permukaan bahan pangan kemudian semakin meningkat mendekati suhu minyak goreng dan suhu bagian dalam bahan
meningkat perlahan
mendekati suhu 100oC. Laju
perpindahan panas dikendalikan oleh perbedaan suhu antara minyak dan bahan pangan serta oleh koefisien pindah panas permukaan bahan pangan. Sementara itu, laju penetrasi panas ke dalam bahan pangan dikendalikan oleh konduktivitas thermal bahan pangan. Selama proses penggorengan, air dan uap air dikeluarkan dari bahan pangan dan digantikan oleh minyak (Fellows, 2000). Fungsi lain dari proses penggorengan adalah sebagai bagian dari proses pengawetan nahan pangan karena adanya proses penghancuran mikroorganisme dan enzim oleh panas serta karena adanya reduksi kandungan aw pada bahan pangan. Umur simpan dari hasil penggorengan 22
ditentukan oleh kadar air produk setelah digoreng, dimana produk yang memiliki kondisi lembab di bagian dalam memiliki umur simpan yang relatif pendek karena adanya proses migrasi air dan minyak selama penyimpanan (Fellows, 2000). Kecukupan suhu dan waktu penggorengan berbeda untuk setiap bahan, kondisi dan perlakuan. Suhu terbaik penggorengan keripik kentang yang dapat digunakan menurut Leipa (1976) adalah 157-190oC. Waktu terbaik yang dibutuhkan untuk menggoreng adalah 5 – 25 detik. Dan media penggorengan yang dapat digunakan adalah semua jenis minyak masak atau shortening. Toft (1980) menyatakan, penggorengan dapat dilakukan pada kisaran suhu 160 – 210oC dengan waktu penggorengan selama 10 – 60 detik. Dengan demikian keseragaman warna dapat diperoleh karena setiap potongan adonan mengalami kontak dengan minyak goreng selama jangka waktu yang sama. Selanjutnya Woolfe (1993) menambahkan bahwa suhu penggorengan keripik ubi jalar yang optimum adalah diantara 143 - 177oC. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses penggorengan adalah kadar air bahan yang akan digoreng. Selain itu Shallenberger et. al. (1959) dalam penelitiannya, menemukan bahwa warna keripik berkorelasi baik dengan kandungan gula pereduksi, berkorelasi cukup baik dengan total gula, dan berkorelasi buruk dengan sukrosa (gula non-pereduksi).
23
III.
METODOLOGI
A. BAHAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Ayamurasaki) dalam pembuatan tepung ubi ungu. Sedangkan untuk pembuatan chips ubi ungu, bahan baku yang digunakan adalah tepung ubi ungu, garam, air dan berbagai jenis tepung atau pati (pati jagung, pati singkong serta tepung beras). Bahan yang akan dianalisis antara lain tepung ubi terpilih dan chips ubi ungu terpilih. Sedangkan bahan-bahan kimia yang dipakai untuk analisis adalah n-heksana, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, larutan H3BO3, larutan NaOHNa2S2O3, air destilata, indikator metil merah dan methylene blue, larutan NaOH dan larutan H2SO4, larutan K2SO4, etanol, aseton, larutan HCl, KCl, Na-CH3COO, CH3COOH pekat, metanol, buffer potasium klorida pH 1, buffer sodium asetat pH 4.5, HCl pekat, dan.
B. ALAT Alat-alat yang digunakan dalam penelitian persiapan dan pembuatan tepung ubi ungu adalah timbangan, wadah plastik, pisau, alat pengupas ubi, panci, steamer, pengering kabinet, pin disc mill, ayakan 100 mesh. Sedangkan alat yang digunakan dalam formulasi dan pembuatan chips ubi ungu adalah sendok, mangkok, sarung tangan, rooler noodle machine, pisau, cetakan cookies, rumah kaca pengering, deep fat fryer, termometer, dan stopwatch. Alat-alat yang digunakan untuk pengujian sifat kimia dan fisik adalah cawan aluminium, oven pengering, desikator, neraca analitik, cawan porselen, gegep, tanur, labu kjeldahl 30 ml, sudip, pipet mohr 1/2/5/10/25 ml, pipet tetes, botol akuades, lap, batu didih, tissue, gunting, penangas, alat destilasi, buret, erlenmeyer 250/300 ml, alat soxlet, kertas saring, kapas wool, labu lemak, kondensor, labu ukur 50/100/250/500/1000 ml bertutup, gelas pengaduk, pinset, inkubator, pH meter, crucible, gelas piala, sentrifuse, waring blender, tabung reaksi, tabung reaksi bertutup, gelas ukur, botol fial gelap, waterbath, spektrofotometer, corong, aluminium foil, cawan porcelain 24
penumbuk dan refrigerator. Alat-alat lain yang digunakan adalah alat-alat untuk uji organoleptik seperti piring kecil, sendok dan kertas label.
C. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan terdiri atas dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahan penelitian utama. Tahap penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan tepung ubi ungu dengan kriteria terbaik. Tahap penelitian utama bertujuan untuk mendapatkan formulasi terbaik dari chips berbahan baku tepung ubi jalar ungu. Penelitian pendahuluan terdiri dari persiapan dan optimasi bahan baku serta analisis proksimat tepung terpilih. Penelitian utama adalah formulasi pembuatan chips ubi jalar ungu dilakukan dengan trial and error. Disini terjadi penentuan rasio tepung ubi jalar dengan jumlah air dan bahan lainnya yang ditambahkan, formulasi lanjutan untuk memperbaiki formula awal terpilih, analisis organoleptik untuk menentukan chips ubi jalar terpilih serta analisis kimia dari chips ubi jalar ungu yang terpilih. 1. Penelitian Pendahuluan a. Persiapan bahan baku Tahapan persiapan ini meliputi penentuan jenis dan spesifikasi ubi jalar yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan chips. Terdapat beberapa jenis ubi jalar dipasaran, dapat dibedakan dengan mudah berdasarkan warna umbinya, seperti putih, kuning, merah jingga, dan biru keunguan. Pemilihan jenis ubi jalar didasarkan pada kemudahan pembuatan tepung, warna tepung yang dihasilkan, dan jenis ubi yang akan diangkat ke permukaan untuk lebih dikenal. Untuk penelitian kali ini digunakan ubi jalar dengan varietas Ayamurasaki, yang memiliki umbi dengan warna ungu pekat gelap. b. Pembuatan tepung ubi ungu Pada tahap ini dipelajari berbagai kondisi pembuatan tepung ubi jalar sehingga dihasilkan tepung dengan mutu baik, berkaitan 25
dengan kadar antosianin serta kestabilan warna dari produk yang dihasilkan. Proses pembuatan tepung ini diawali proses pengukusan pada suhu 100oC selama 7 menit (teknik 2 dan 4) dan 10 menit (teknik 1 dan 3). Dilanjutkan dengan pengeringan yang dilakukan dengan dua metode yaitu metode sinar matahari (teknik 3 dan 4) dan metode pengering kabinet (teknik 1 dan 2) pada suhu 55 - 60oC, selama 5 - 6 jam. Ubi jalar kering kemudian ditepungkan dengan meggunakan pin disc mill lalu disaring dengan ayakan ukuran 100 mesh. Diagram proses pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 5. Ubi Jalar
Pengupasan Pengirisan ketebalan 1 ± 0,5 cm Pengukusan 5’
10’ Pengecilan Ukuran Pengeringan Pengering Kabinet 55 – 60o C, 5 – 6 jam
Sinar Matahari 9 – 12 jam
Penggilingan Pengayakan Tepung Ubi Jalar
Teknik 1 = 10 menit kukus, oven
Teknik 3 = 10 menit kukus, matahari
Teknik 2 = 7 menit kukus, oven
Teknik 4 = 7 menit kukus, matahari
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar 26
2. Penelitian Utama Penentuan formulasi produk dilakukan berdasarkan trial and error dengan disertai adanya studi pustaka. Adonan yang baik adalah adonan yang mudah diolah, relatif kalis, dan mudah dibentuk. Adonan ini kemudian diproses menjadi lembaran adonan dengan roller noodle machine ketebalan 0.1 - 0.15 cm dan kemudian dicetak dengan cetakan cookies berdiameter sekitar 2 cm. Dilanjutkan dengan pengeringan sehingga diperoleh chips kering lalu dilakukan penggorengan pada suhu 190oC selama 5 – 10 detik. a. Formulasi awal Formulasi awal dilakukan dengan menentukan jumlah tepung ubi ungu yang digunakan serta dipelajari pula jumlah penambahan air yang paling sesuai untuk menghasilkan lembaran yang baik. Dilakukan pula penentuan penambahan bahan lainnya mengikuti komposisi bahan bakunya seperti garam, margarin, dan putih telur dengan acuan pembuatan keripik simulasi ubi jalar ungu berbahan dasar hancuran ubi jalar (Hadisetiawati, 2005). Selain itu dilakukan pula penetapan teknik pengeringan yang terbaik, yaitu dengan oven pengering atau dengan penjemuran pada sinar matahari, untuk menghasilkan penampakan chips yang tebaik saat digoreng. Proses pembuatan chips ubi ungu dapat dilihat pada Gambar 6. b. Formulasi lanjutan Formulasi lanjutan dilakukan apabila ditemukan kekurangan pada produk terpilih dari formulasi awal. Namun apabila tidak ditemukan kekurangan pada produk tersebut, maka tahap ini tidak perlu dilakukan. Pada tahap ini dilakukan formulasi ulang untuk memperbaiki formulasi awal dengan disertai studi pustaka. c. Uji organoleptik Uji organoleptik pada penelitian kali ini ditujukan untuk pengujian hedonik (kesukaan) untuk menilai penerimaan dan kesukaan 27
konsumen terhadap produk chips dengan uji rating skala katagori. Uji organoleptik ini juga bertujuan untuk mengkarakterisasi formulaformula adonan dasar yang diperoleh secara organoleptik dan untuk mengetahui formula dasar yang terbaik. Kemudian akan dikarakterisasi lebih lanjut dengan adanya analisis karakter kimia dan fisik. Sifat mutu yang diujikan adalah warna, tekstur (kerenyahan) dan penampakan minyak. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang panelis. Sampel disajikan secara acak lengkap pada seluruh panelis yang dilibatkan. Tepung ubi jalar ungu Bahan lainnya
Air Pengadonan
Penipisan dan Pembentukan Tekstur Pencetakan
Pengeringan dengan sinar matahari
Penggorengan 190 C selama 5-7 detik o
Chips Ubi
Gambar 6. Diagram alir pembuatan chips ubi ungu d. Analisis formulasi terpilih Pada tahap ini dilakukan analisis proximat pada sampel tepung terpilih dan pada sampel chips terpilih. Selain itu pula dilakukan uji kadar antosianin yang masih tersisa pada produk akhir dan uji kandungan total dietary fiber yang tersisa, serta pengukuran warna dengan menggunakan chromameter 28
D. METODE ANALISIS 1. Analisis Sifat Kimia a. Kadar air, metode oven (AOAC, 1995) Cawan kosong dikeringkan dengan oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sampel 4 – 5 gram dimasukan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-105oC selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir. Penetapan kadar air berdasarkan perhitungan : a
%
b a
a
%
b b
x 100% x 100%
Dimana: a = berat bahan awal b = berat bahan akhir b. Kadar abu, metode tanur (AOAC, 1995) Pengukuran kadar abu ditentukan dengan menggunakan tanur. Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 600oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3–5 g sampel ditimbang dan dimasukkan dalam cawan porselen kemudian dipijarkan di atas bunsen sampai tidak berasap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur bersuhu 600oC selama 4–6 jam sampai semua terbentuk abu berwarna putih dan beratnya konstan. Cawan dan sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang segera setelah suhu ruang tercapai. Penetapan kadar abu berdasarkan perhitungan: % %
berat abu x 100% berat sampel berat abu x 100% berat sampel kering 29
c. Kadar protein, metode kjeldahl (AOAC, 1995) Penentuan kadar protein dilakuan dengan metode MikroKjeldahl. Sejumlah kecil sampel ditimbang (0,1 – 0,15 g), kemudian ditempatkan dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2,0 ± 0.1 ml H2SO4. Ditambahkan pula beberapa batu didih. Sampel dididihkan selama 1 – 1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Cairan
yang
dihasilkan
didinginkan
untuk
kemudian
ditambahkan 8 – 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan dimasukkan ke alat destilasi. Di bawah kondensor alat destilasi diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Ujung selang kondensor harus terendam dalam larutan tersebut untuk menampung hasil destilasi sekitar 50 ml. Hasil destilasi kemudian dititrasi oleh HCl 0.02M sampai terbentuk warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (yang tidak mengandung sampel). Penetapan kadar protein berdasarkan perhitungan: %
%
Kadar Protein % Dimana:
a
b x N HCl x 14.007 x 100% mg sampel
a
b x N HCl x 14.007 x 100% mg sampel kering
% N x FK
a = ml titrasi HCl pada sampel b = ml titrasi HCl pada blanko FK = faktor konversi (6.25 untuk chips ubi jalar)
d. Kadar lemak, metode soxhlet (AOAC, 1995) Penentuan
kadar
lemak
dilakukan
berdasarkan
metode
ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100 – 110oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dalam bentuk tepung,
30
dibungkus dengan kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut (heksana atau dietil eter) kemudian dirangkaikan dengan kondensor. Refluks dilakukan selama lima jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven yang bersuhu 100oC sampai beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Penetapan kadar lemak berdasarkan perhitungan: berat lemak x 100% berat sampel
%
berat lemak x 100% berat sampel kering
%
e. Kadar karbohidrat (AOAC, 1995) Kadar karbohidrat sampel dihitung dengan mengurangi 100% kandungan gizi sampel dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar serat dan kadar lemak. Nilainya dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut :
Kadar Karbohidrat %
100% ‐ Kadar Air Kadar Protein
Kadar Abu
Kadar Lemak
f. Nilai energi (Almatsier, 2002) Perhitungan nilai energi makanan dapat dilakukan dengan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal makanan tersebut. Perhitungan :
Nilai energi
faktor atwater x kandungan gizi bahan pangan
Energi kkal/100g
4 kkal/g x kadar karbohidrat kkal/g x kadar protein
4
9 kkal/g x
kadar lemak 31
g. Kadar serat kasar (AOAC, 1995) Sampel digiling sampai halus sehingga dapat melewati saringan berdiameter 1mm. Sebanyak 2 g sampel ditimbang. Lemak dalam sampel sebelumnya diekstrak dengan menggunakan soxhlet dengan pelarut petroleum eter. Setelah bebas lemak, sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam gelas piala 600 ml. Kemudian ke dalam larutan ditambah 200 ml larutan H2SO4 0.255N. Letakkan gelas piala di dalam pendingin balik (wadah harus dalam keadaan tertutup). Gelas piala didihkan selama 30 menit dengan sesekali digoyang-goyangkan. Tambahkan 200
ml larutan NaOH 0.625 N.
Didihkan kembali sampel selama 30 menit dengan pendingin balik sambil sesekali digoyang-goyangkan. Saring sampel melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu di kertas saring dengan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring dalam oven 110oC hingga tercapai berat konstan (1-2 jam). Setelah didinginkan dalam desikator, kertas saring ditimbang. %bb
%bk
W
W W
X 100%
Kadar Serat Kasar %bb X 100% 100 kadar air
Keterangan: W2 = berat residu dan kertas saring yang telah dikeringkan (g) W1 = kertas saring yag telah dikeringkan (g) W = berat sampel yang dianalisis (g) h. Penentuan Total Antosianin (Giusti dan Worlstad, 2001) Sebanyak masing-masing 1 gr sampel dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama ditambah larutan buffer potasium klorida (0.025 M) pH 1 sebanyak 9 ml dan tabung reaksi kedua ditambahkan larutan buffer sodium asetat (0.4M) pH 4.5 sebanyak 9 ml. Pengaturan pH dalam pembuatan buffer potasium klorida menggunakan HCl pekat dan dalam pembuatan buffer sodium
32
asetat menggunakan CH3CHOOH pekat. Absorbansi dari kedua perlakuan
pH
diukur dengan
spektrofotometer pada panjang
gelombang 510 nm untuk larutan buffer potasium klorida dan untuk larutan buffer sodium asetat 700 nm setelah didiamkan 15 menit. Nilai absorbansi sampel ekstrak dihitung dengan menggunakan persamaan: .
Total
antosianin
dihitung
sebagai
sianidin-3-glikosida L
menggunakan koefisien ekstingsi molar sebesar 26900 /mol
cm
dan
g
berat molekul sebesar 449,2 /mol. Total antosianin dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
ɛ dimana: A
= Absorbansi ε = Koefisien absorbtivitas (26900 L/mol cm) b = Diameter kuvet (1 cm) g BM = Berat molekul Sianidin-3-Glikosida (449.2 /mol) FP = Faktor pengenceran Konsentrasi antosianin selanjutnya dinyatakan dalam
mg CyE
/g
sampel (CyE = sianidin equivalen). Pada penelitian ini, kadar antosianin diukur pada chips ubi jalar ungu yang merupakan produk akhir.
2. Analisis Sifat Fisik a. Penghitungan rendemen (Toledo, 1991) Penghitungan rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan bobot awal ubi jalar beserta kulitnya setelah dibersihkan. Rendemen dihitung menggunakan rumus berikut: %
Bobot tepung ubi jalar g x 100 bobot bahan awal g
33
b. Pengukuran warna (Faridah et al, 2009) Pengukuran warna menggunakan Minolta Chromameter CR 300. Hasil pengukuran dinyatakan dalam sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L, a, dan b. Notasi L menyatakan parameter kecerahan yang memiliki nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih), notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (dari 0 s/d 100) adalah merah dan –a (0 s/d -80) adalah hijau, sedangkan notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (0 s/d 70) adalah kuning dan nilai –b (0 s/d -70) adalah biru.
3. Uji Organoleptik (Meilgard, 1999) Uji organoleptik pada chips ubi ungu adalah uji rating hedonik. Panelis diminta untuk menilai produk chips ubi ungu pada 7 skala hedonik. Penilaian panelis ditransformasikan menjadi skala numerik 1-7, di mana 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka. Parameter yang digunakan dalam uji rating hedonik terhadap chips ubi ungu adalah penampakan minyak, tekstur (kerenyahan) dan warna. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang berjumlah 30 orang, akan tetapi penggunaan panelis yang semakin banyak akan semakin baik. Sampel disajikan secara acak lengkap pada seluruh panelis yang dilibatkan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (Analysis of Variance / ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan, dan jika terdapat perbedaan, analisis dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Test.
34
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Persiapan Bahan Baku Ubi jalar yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung ubi ungu pada penelitian kali ini adalah ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki. Varietas ini diperoleh berdasarkan kerjasama dengan koperasi setempat di daerah Ciampea, Bogor. Koperasi tersebut telah dibimbing untuk menanam ubi jalar ungu ini, dimulai dari pembibitan, pemanenan hingga pengolahan menjadi produk akhir, salah satunya tepung ubi jalar ungu. Pemilihan jenis ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki sebagai bahan baku utama pada penelitian ini dikarenakan jenis ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis ubi jalar lainnya. Ubi jalar jenis ini memiliki kandungan antosianin yang cukup tinggi yaitu sekitar 923,65 mg
/100g ubi segar (Widjarnako, 2008). Antosianin ini berfungsi sebagai
radical scavenging, antimutagenik, hepato-protective, anti hipertensi, dan anti hiperglisemik (Suda et al., 2003). Selain itu, warna daging umbi yang berwarna ungu ini diharapkan dapat menghasilkan tepung dan produk akhir dengan atribut warna alami yang lebih menarik dibandingkan dengan produk lainnya yang sejenis di pasaran. Alasan lain yang mendukung pengunaan ubi jalar jenis ini adalah karena jenis ubi ini masih cukup baru dan belum dikenal secara luas baik umbi segarnya maupun produk olahannya. Oleh karena itu, ubi jenis ini membutuhkan usaha pengembangan di bidang pengolahan produk antara yang lebih baik maupun di produk akhir, sehingga penerimaan konsumen dapat ditingkatkan. Ubi jalar ungu yang digunakan pada percobaan ini memiliki warna kulit gelap keunguan dengan klasifikasi ukuran medium sehingga memudahkan dalam proses pengupasan dan pemotongan. Ubi yang digunakan pada penelitian kali ini dapat dilihat pada Gambar 7. Selain itu
35
ubi jalar ini harus bebas dari penyakit yang akan menyebabkan rasa pahit dan menurunkan kadar antosianin pada produk akhir.
Gambar 7. Ubi ungu var. Ayamurasaki Kumbang Cylas formicarius F. merupakan hama utama pada ubi jalar di dunia, baik di daerah tropika maupun subtropika. Hama ini dikenal juga dengan sebutan hama lanas. Di Indonesia, hama ini terdapat di semua daerah penghasil ubi (Supriyatin, 2001). Hama ini dapat merusak umbi di lapangan maupun pada saat penyimpanan. Kerusakan yang ditimbulkan ditandai dengna adanya lubang-lubang kecil pada umbi dan mengeluarkan bau tidak sedap yang khas. Larva Cylas formicarius F. merusak umbi dengan menggerek, membuat lorong-lorong dan sisa gerekan ditumbuk di sekitar lubang gerekan dalam umbi. Bagian umbi yang rusak karena serangan hama lanas sering disebut sebagai bagian yang boleng. Ubi yang terserang hama lanas dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Umbi yang terkena boleng Tidak ada perbedaan dalam penampakan antara ubi ungu atau ubi putih yang terserang hama ini, hanya saja penggunaan ubi putih sebagai contoh untuk memperjelas bagian yang telah terkena hama boleng. Umbi yang rusak akibat serangan hama kumbang penggerek Cylas formicarius
36
akan menghasilkan phtoalexin dalam bentuk senyawa sesquiterpen yang rasanya pahit (Palaniswami dan Chattopadhyays, 2003) sehingga tidak dapat dikonsumsi dan dikhawatirkan berbahaya bagi kesehatan. 2. Pembuatan Tepung Ubi Ungu Tepung ubi jalar ungu dapat dibuat dengan berbagai teknik pengolahan baik tanpa modifikasi sesuai dengan pembuatan tepung pada umumnya maupun dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Pada penelitian kali ini dilakukan pemilihan metode pembuatan berdasarkan modifikasi pada perlakuan yang dibutuhkan. Modifikasi yang diberikan adalah modifikasi sifat fisik melalui perlakuan pemasakan awal dan perlakuan pengeringan. Tepung ubi ungu dari varietas Ayamurasaki yang telah berhasil diproduksi dan dijual ke pasaran ternyata memiliki warna yang kemerahan dan aroma yang agak asam. Aroma yang agak asam ini menunjukkan terjadinya proses fermentasi, yang terjadi selama proses pembuatan. Proses fermentasi akan menurunkan pH, pH yang rendah akan merubah warna ungu menjadi warna merah. Suda et al. (2003) menyatakan bahwa antosianin ubi jalar ungu akan berwarna merah pada kondisi pH asam, ungu pada kondisi pH netral, dan berwarna biru pada kondisi pH basa (Suda et al., 2003). Terjadi penurunan tingkat preferensi masyarakat karena warna tepung ubi ungu yang dihasilkan ternyata tidak berwarna ungu, meskipun setelah direhidrasi akan kembali berwarna ungu. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi dalam proses pembuatan tepung ubi ungu ini sehingga diperoleh warna tepung yang benar-benar ungu. Perlakuan pemasakan awal diharapkan dapat memfiksasi komponen-komponen ubi termasuk warna sehingga memiliki kestabilan yang lebih baik selama proses pembuatan tepung selanjutnya. Pembuatan tepung ubi jalar meliputi pembersihan, pengupasan, perendaman, pengirisan, pengukusan dengan menggunakan steamer, penghancuran (penyawutan) dan pengeringan sampai ubi yang telah disawut dapat dipatahkan. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung diawali 37
dengan pembersihan umbi dari tanah kering, biasanya hanya dilakukan dengan pengerikan dan dijaga agar tetap kering. Hal ini dilakukan untuk menghindari pelekatan tanah basah pada getah yang dihasilkan umbi selama proses pengupasan. Tepung yang dibuat dari ubi jalar mentah terkadang memberikan after taste pahit pada produk akhir sehingga dapat mengganggu cita rasa produk. Rasa pahit biasanya disebabkan oleh beberapa senyawa fenolik atau alkaloid yang berlokasi dibawah kulit umbi (Woolfe, 1999). Oleh karena itu, pada proses pembuatan tepung kali ini dilakukan proses pengupasan terlebih dahulu yang dilanjutkan dengan proses pengukusan untuk mengurangi bahkan menghilangkan rasa pahit pada produk akhir. Proses pengupasan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pengupasan manual dengan menggunakan pisau, pengupasan dengan menggunakan mesin abrasive peeler, uap tekanan tinggi dan pengupasan dengan menggunakan larutan NaOH panas yang tidak mungkin dilakukan karena akan merubah warna umbi yang ungu menjadi hijau. Pada penelitian ini dilakukan pengupasan secara manual dikarenakan jumlah bahan baku yang cukup terbatas serta menghindari perolehan rendemen yang kecil akibat proses pengupasan yang berlebihan. Setelah proses pengupasan, kemudian dilakukan proses perendaman dengan air untuk menghilangkan kotoran dan getah yang masih menempel pada permukaan ubi jalar yang telah dikupas serta untuk menghindari terjadinya proses pencoklatan (browning) enzimatis. Kerusakan warna pada produk ubi jalar (browning) disebabkan oleh adanya aktivitas enzim cathecol oksidase jika terdapat tanin atau zat semacam tanin. Proses kerusakan tersebut diakibatkan oleh adanya reaksi antara besi bervalensi dua dengan o-dihidroksiphenol dan pembentukan senyawa feri yang berwarna gelap jika dibiarkan di udara terbuka (Jenie et. al., 1978). Aktivitas dari senyawa feri yang terbentuk ini dikhawatirkan dapat merusak kandungan antosianin yang terdapat dalam ubi ungu, dikarenakan antosianin sangat sensitif terhadap logam besi. Oleh karena
38
itu, dilakukan proses perendaman untuk mencegah aktivasi reaksi enzimatis oleh udara. Pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunakan pisau beberapa saat setelah steamer mencapai suhu yang diinginkan yakni 100oC, untuk mengurangi intensitas terpaparnya permukaan ubi jalar dengan udara. Ubi jalar ungu dipotong hingga diperoleh potongan umbi dengan ketebalan sekitar 1 – 1,5 cm yang kemudian diletakkan di atas wadah steamer. Gambar ubi yang direndam setelah pengupasan dan yang telah dipotong dan siap untuk di-steam dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Persiapan ubi jalar ungu Proses pengukusan bertujuan untuk menginaktivasi senyawa tripsin inhibitor, serta menonaktifkan senyawa alkaloid dan fenolik yang terdapat secara alamiah di dalam ubi jalar. Selain itu proses pengukusan ini diharapkan dapat mengunci warna dengan komponen pati disekitarnya sehingga warna ungu yang dihasilkan akan lebih stabil selama proses pengeringan dan penyimpanan. Hal ini terjadi karena adanya proses gelatinisasi pati sehingga pati berikatan dengan komponen warna, dalam hal ini antosianin, membentuk komponen warna yang stabil (Eskin, 1979). Pengukusan dilakukan pada suhu 100oC selama 7 dan 10 menit. Pengambilan suhu dan waktu pengukusan ini didasarkan pada pernyataan Faizah (2004), yang menyatakan bahwa pati dari varietas Ayamurasaki ini memerlukan waktu 29 menit pada suhu 73.5oC untuk dapat bergelatinisasi, dan granulanya pecah pada suhu 88.5oC setelah 39 menit. Proses pengukusan menggunakan suhu 100oC, diasumsikan bahwa pati ubi ungu ini dapat mencapai gelatinisasi, sehingga waktu pengukusan diperpendek manjadi dua variabel yaitu 7 dan 10 menit. Ketebalan yang dimiliki oleh ubi serta suhu yang digunakan pun mendukung pendeknya 39
waktu pengukusan sehingga tidak diperlukan waktu 29 menit untuk dapat bergelatinisasi. Tujuan gelatinisasi ini adalah untuk memfiksasi komponen warna, dalam hal ini antosianin, sehingga intensitas warnanya dapat lebih stabil dibandingkan dengan tanpa proses pemasakan. Selain itu, granula pati akan langsung menyerap air dan mengembang stabil pada saat proses rehidrasi tepung akibat adanya proses gelatinisasi ini.
Gambar 10. Ubi setelah dikukus Proses gelatinisasi yang menyeluruh amat penting kaitannya dengan proses pembuatan lembaran adonan. Pada proses ini, akan lebih baik jika seluruh pati sudah tergelatinisasi, karena setelah gelatinisasi terjadi, akan terbentuk daya kohesi antar pati yang tergelatinisasi tersebut. Daya kohesi ini sangat dibutuhkan pada proses pembuatan lembaran adonan. Ubi jalar mentah yang langsung dibuat tepung tidak akan dapat membentuk lembaran adonan yang baik, karena tidak adanya daya kohesi tersebut (Aryanti, 1991). Proses pengecilan ukuran untuk mempersingkat waktu pengeringan dengan tujuan memperluas permukaan yang akan terkena panas sehingga mempercepat penetrasi panas sampai ke tengah bahan. Pengecilan ukuran tidak dilakukan dengan blender karena akan menghasilkan hancuran yang besarannya tidak seragam and lengket. Hal ini terjadi karena adanya putaran yang kencang dari blender mengakibatkan banyak sel-sel umbi yang pecah dan melepaskan pati bebas. Pengecilan ukuran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan mesin sawut dengan menggunakan pisau jenis schredder atau dengan menggunakan alat sawut tradisional yang biasanya digunakan di dapur. Penyawutan dengan menggunakan mesin memang lebih cepat dibandingkan dengan manual, hanya saja dikarenakan kondisi ubi yang
40
telah matang sehingga terjadi kondisi dimana ubi matang ini lengket dan menempel pada alat. Hal ini menurunkan rendemen dari produksi tepung ubi yang tentunya sangat dihindari karena keterbatasan bahan baku. Oleh karena itu, proses pengecilan ukuran atau penyawutan dilakukan secara manual menggunakan peralatan rumah tangga. Proses selanjutnya adalah proses pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan dengan beberapa cara, namun yang paling umum digunakan adalah dengan metode tradisional (penjemuran) dan metode oven, keduanya diterapkan dalam penelitian kali ini. Pertimbangan yang digunakan saat menggunakan metode penjemuran adalah mengurangi terjadinya degradasi kimia yang dapat menurunkan mutu bahan (Grace, 1977). Suhu penjemuran tidak akan melebihi suhu 55oC, dimana pada suhu diatas 65oC, antosianin akan mulai terdegradasi. Selain itu faktor biaya produksi pun lebih rendah, sehingga dapat diterapkan dengan lebih mudah. Penjemuran dilakukan selama 24 – 48 jam bergantung pada keadaan cuaca saat itu, sampai serpihan ubi yang sudah kering dapat dipatahkan. Metode pengeringan lain yang juga digunakan pada penelitian ini adalah metode pengeringan menggunakan oven. Oven merupakan alat pengering yang paling mudah dalam pemeliharaan dan penggunaan serta biaya operasional yang rendah. Prinsip kerja oven pengering secara umum adalah memanaskan bahan dengan menggunakan prinsip pindah panas secara konveksi. Elemen pemanas akan memanaskan udara kemudian partikel-partikel udara mengenai bahan secara bergantian. Oven yang digunakan adalah pengering kabinet (cabinet dryer). Pengering kabinet (cabinet drier) terdiri dari suatu ruangan yang terisolasi dengan baik untuk mencegah kehilangan panas. Kipas yang berada di dalam pengering kabinet mengalirkan udara melalui elemen-elemen pemanas dan menyebarkannya secara merata melalui nampan-nampan yang berisi hancuran ubi ungu matang yang dikeringkan. Suhu yang digunakan berkisar antara 50 – 55oC, suhu yang tidak melewati suhu kristis antosianin. Pengeringan dilakukan selama 6 – 8 jam, sampai
41
serpihan ubi yang sudah kering dapat dipatahkan. Produk yang benarbenar kering memiliki kadar air sekitar 7 – 9%. Warna ubi jalar setelah penggilingan mengalami perubahan yang cukup signifikan, menjadi lebih terang dibandingkan dengan setelah pengeringan. Pada proses penggilingan, sel-sel akan hancur dan pati akan terlepas. Menurut Petersen (1975), pati bebas tersebut berfungsi untuk meningkatkan sifat kohesif adonan sehingga memudahkan proses pembentukan lembaran adonan. Penggilingan untuk produk yang sudah kering dilakukan dengan menggunakan pin disc mill dimana pisau penghancurnya terbuat dari stainless steel. Jika menggunakan yang terbuat dari besi, komponen Fe nya dikhawatirkan akan mereduksi senyawa antosianin sehingga intensitas warnanya menurun. Penggilingan dengan pin disc mill tersebut menghasilkan tepung yang kasar. Pengayakan dilakukan untuk memperoleh tepung yang lebih halus dengan menggunakan ayakan ukuran 100 mesh. Penggunaan ayakan ini agar diperoleh tepung yang ukurannya sama dengan tepung yang dijual dipasaran, sehingga proses pengaplikasiannya menjadi lebih mudah. Rendemen yang diperoleh dalam pembuatan tepung ubi jalar ukuran 100 mesh adalah sebesar 14,79% terhadap berat ubi jalar segar dengan kulit atau sekitar 16,99% terhadap bagian ubi jalar yang dapat dimakan, dikarenakan kandungan air pada ubi yang cukup tinggi yaitu sekitar 6769%. Dan berdasarkan perhitungan rendemen tepung yang dapat digunakan terhadap bagian ubi jalar yang dapat dimakan adalah sebesar 35,12%. 3. Penentuan Tepung Terbaik Penelitian ini menghasilkan empat jenis tepung, yaitu tepung hasil pengolahan dengan teknik 1 (pengukusan selama 10 menit dan dikeringkan dengan kabinet oven), teknik 2 (pengukusan selama 7 menit dan dikeringkan dengan kabinet oven), teknik 3 (pengukusan selama 10 menit dan dikeringkan dengan penjemuran) dan teknik 4 (pengukusan selama 10 menit dan dikeringkan dengan penjemuran). Keempat tepung
42
tersebut dibuat untuk menghasilkan karakteristik tertentu yang diinginkan yaitu ketahanan warna dan disajikan pada Gambar 11. Perbedaan perlakuan ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya perbedaan komposisi kimia antar tepung yang diberi perlakuan yang berbeda. Parameter yang dijadikan bahan pembanding adalah analisis kimia untuk kandungan antosianin dan didukung oleh analisis fisik untuk penampakan warna. Kedua parameter tersebut akan dijadikan acuan untuk menentukan proses pembuatan tepung yang terbaik, kemudian dijadikan standar pembuatan tepung ubi ungu yang diterapkan untuk penelitian selanjutnya.
Teknik 1
Teknik 2
Teknik 3
Teknik 4
Gambar 11. Tepung ubi jalar var. Ayamurasaki yang dimodifikasi dalam proses pembuatannya a. Analisis antosianin Antosianin merupakan salah satu dari sekian banyak pigmen yang terdapat di alam dan memiliki sifat yang larut air. Pigmen ini tergolong ke dalam senyawa flavonoid. Antosianin memberikan warna yang bervariasi dari warna merah hingga biru. Kestabilan antosianin sangat dipengaruhi oleh pH, suhu, enzim, oksigen, senyawa kopigmentasi, asam askorbat, protein dan SO2 (Ersus dan Yurdel, 2007). Antosianin ini memberikan warna ungu pada ubi jalar varietas Ayamurasaki. Warna antosianin sangat dipengaruhi oleh pH. Ubi akan berwarna merah dalam keadaan pH asam dan akan berwarna hijau pada keadaan pH basa. Selama dalam proses pengolahan, kondisi
43
pembuatanny p ya stabil seehingga keaadaan pH ubi jalar segar tidak berubah b secaara signifikann pada produuk akhir. Kadaar antosianinn tepung ubi jalar ungu ini diukur berdasarkan b pH p differenttial, dan daalam satuan sianidin ekkuivalen (C CyE). Hasil analisis a terhaadap total anntosianin menunjukkan bbahwa tepunng ubi ungu memiliki m kan ndungan antosianin sebeesar 1680,122 1; 1 1880, 50
mg CyE
/L unntuk teknik
mg m CyE
dan d 1873,61
/L unttuk teknik 2 ; 1677,61 mmg CyE/L untuuk teknik 3
mg CyE
/L unntuk teknik 4. 4 Dapat disimpulkan bah hwa teknik
2 dalam peembuatan teepung ubi jalar ungu memiliki kandungan antosianin a teertinggi. Hassil perhitunggan dapat diilihat pada Lampiran L 2 dan d grafiknya dapat dilihhat pada Gam mbar 12.
Haasil Analissis Kadar Antosian nin (mg CyEE/L) 1880,50
1900 1850 1800 1750 1700 1650 1600 1550
1680,12
10' steam 1 oven
187 73,61
1677,61
7' steam oven
10' steam m matahari
7' ste eam matah hari
Gambar 12. Total Anto osianin Tepuung Ubi Ungu warna antossianin dipenngaruhi olehh beberapa Kestaabilan dan w faktor f sepertti yang telaah disebutkaan diatas. N Namun, suh hu menjadi faktor f utamaa yang mennyebabkan penurunan p t total antosiaanin (CyE) pada p proses pembuatan p ttepung ubi jaalar ungu. Selam ma proses peembuatan meenjadi tepunng, ubi jalar ungu segar bersentuhan b dengan suhuu yang cukupp banyak. Prroses pengukkusan yang dilakukan d sellama 7 meniit (teknik 2 dan d 4) serta 10 menit (teeknik 1 dan 3) 3 pada suhuu 100oC dipeerkirakan memengaruhi m kandungan antosianin dalam d ubi jalar tersebbut. Selain n itu juga, terjadi juuga proses
44
pengeringan yang cukup lama sekitar 4 – 6 jam pada suhu 55 – 60oC di dalam oven kabinet dan selama 24 – 48 jam dengan proses penjemuran. Antosianin akan terdegradasi secara signifakan pada suhu diatas 65oC (Hutchings, 1999). Pada saat proses pengukusan meskipun waktu yang digunakan cukup singkat, tetapi suhu yang digunakan cukup tinggi yaitu sekitar 100oC dengan ketebalan umbi sekitar 1 cm. Diharapkan dengan ketebalan tersebut dapat mempercepat pematangan ubi tanpa merusak pigmen antosianin secara signifikan. Namun ternyata tidak demikian, kerusakan antosianin terjadi cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan pada pembuatan tepung dengan teknik 1 dan 3 yang menggunakan waktu pengukusan selama 10 menit memiliki kandungan antosianin yang cukup berbeda nyata dengan 7 menit waktu pengukusan, dapat dikatakan bahwa kontak antara bahan dengan suhu tinggi yang cukup lama menyebabkan kadar antosianin turun dengan signifikan. Faktor lainnya yang mungkin adalah teroksidasinya ubi jalar mentah saat dipotong. Selain itu, ketebalan umbi mentah yang cukup tipis, menyebabkan penetrasi panas cukup merata dan mempengaruhi kandungan antosianin di dalam ubi. Selain itu terjadi proses pengeringan di oven maupun dengan proses penjemuran. Dengan oven, proses pemanasan berlangsung secara konstan sehingga meskipun suhu yang digunakan cukup rendah (55 – 60oC), kandungan antosianin di dalam tetap turun secara signifikan. Hal ini disebabkan karena udara panas yang terperangkap dan terkonsentasi di dalam oven sehingga kondisinya menjadi jenuh dan mendegradasi komponen antosianin. Penjemuran memiliki suhu yang cukup rendah dan stabil serta adanya sirkulasi udara yang cukup baik. Hanya saja terlalu banyak faktor lain yang menyebabkan kadar antosianin menjadi rendah. Proses pengeringan yang terlalu lama dan penempatannya dalam keadaan terbuka menyebabkan kemungkinan terjadinya proses fermentasi pada ubi jalar ketika yang sedang dijemur. Meskipun pada produk kering
45
akhir tidak terbentuk aroma asam, tapi proses fermentasi akan menurunkan kandungan antosianin. b. Analisis warna Warna merupakan atribut sensori penting pada sebuah produk makanan. Sifat sensori yang pertama dilihat konsumen sebelum mengkonsumsi produk makanan adalah warna. Karakteristik sensori inilah yang menjadi salah satu daya tarik pada produk chips ubi ungu. Warna ungu yang cukup pekat menjadi daya tarik tersendiri dari produk ini, ditambah warna tersebut berasal dari komponen yang natural. Antosianin memberikan kontribusi yang cukup besar dalam memberikan warna ungu tersebut. Bekerja sama dengan pati yang terdapat dalam ubi jalar ungu, tingkat kecerahan dan kestabilannya meningkat setelah proses pemanasan. Hal demikian dapat dikatakan bahwa proses pemanasan memfiksasi komponen warna dari ubi jalar ungu, dimana diduga proses gelatinisasi pati mengikat komponen antosianin menjadi lebih stabil dan memperkuat warna yang muncul. Bila ditinjau dari perlakuan suhu, pemberian perlakuan suhu yang makin tinggi, akan menunjukkan nilai L (nilai kecerahan) yang semakin tinggi, nilai a (warna merah) dan b (warna biru) yang semakin rendah. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran warna dengan chromameter yang dapat dilihat pada Tabel 6 dan Lampiran 3. Tabel 6. Pengukuran warna dengan chromameter Perlakuan
L
a
b
hue
10’ steam oven 7’ steam oven 7’ steam matahari 10’ steam matahari
42.78 41.79 40.28 39.86
12.73 12.95 13.08 12.80
-2.83 -3.17 -3.59 -3.62
-12.53 -13.75 -15.34 -15.79
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa tepung yang dihasilkan menunjukkan warna ungu, hasil pencampuran antara warna merah
46
dengan biru. Warna ungu pada tepung berasal dari senyawa antosianin yang secara alamiah terdapat pada ubi ungu tersebut. Pada proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari maupun menggunakan oven kabinet menunjukkan peningkatan nilai L serta penurunan nilai a dan b. Intensitas warna yang tertinggi adalah teknik 4, dimana memiliki tingkat kecerahan terendah serta nilai a dan b tertinggi, yang dapat diartikan bahwa tepung memiliki warna ungu yang lebih pekat dibanding lainnya. Tujuan utama dari proses optimasi ini adalah mendapatkan tepung dengan intensitas warna ungu terbaik. Peningkatan nilai L dan penurunan nilai a serta b pada perlakuan lama pengukusan dan metode pengeringan. Penurunan intensitas warna ini dapat disebabkan oleh rusaknya komponenkomponen penyusun pigmen yang terdapat pada ubi ungu. Secara umum, suhu sangat mempengaruhi stabilitas antosianin. Semakin tinggi suhu dan semakin stabil suhu selama proses pengeringan maka kerusakan antosianin akan semakin intensif. Mekanisme kerusakan senyawa antosianin karena suhu belum dapat dijelaskan secara detail. Meskipun pengunaan suhu pada pengering kabinet sudah cukup rendah sekitar 55-60oC, namun suhu saat pengeringan menggunakan matahari tidak pernah mencapai suhu tersebut dan adanya sirkulasi udara secara bebas selama proses pengeringan dapat mendukung kestabilan warna ubi tersebut. c. Tepung terpilih Pemilihan tepung terbaik dilakukan dengan menggunakan analisis kadar antosianin dan analisis warna. Penentuan ini didasarkan pada sifat fungsionalnya yaitu sebagai radical scavenging atau antioksidan serta penampakan warna ungu yang paling baik dan stabil sehingga masih dapat memberikan warna ungu meskipun hanya sebagai pewarna. Kadar antosianin ditentukan sebagai faktor primer dalam menentukan keputusan karena sifat-sifat fungsionalnya yang sangat banyak terhadap kesehatan, terutama sebagai radical scavenging. 47
Pembuatan
tepung
ubi
jalar
ungu
dengan
teknik
2
menghasilkan tepung dengan kandungan antosianin tertinggi sebesar 1880,50
mg CyE
/L. Selain itu, hasil pengukuran warna tepung yang
dibuat dengan teknik 2 tidak terlalu berbeda nyata dengan teknik 3 dan teknik 4, serta lebih tinggi dari teknik 1. Selama
proses
pengeringan
menggunakan
penjemuran,
ditemukan ketidakstabilan suhu sehingga memungkinkan terjadinya proses fermentasi. Proses fermentasi ini dimungkinkan menurunkan kadar antosianin dari bahan yang dikeringkan. Namun penjemuran memiliki kemampuan untuk mengurangi degradasi dari komponen warna yang telah terbentuk yang dapat menurunkan mutu bahan (Grace, 1977). Hal ini mengakibatkan intensitas warna dari bahan yang dijemur masih cukup tinggi dan baik meskipun kadar antosianinnya lebih rendah. Oleh karena itu, diputuskan bahwa proses pembuatan tepung dengan teknik 2 adalah yang terbaik. Hal ini didukung dengan kandungan antosianin yang tertinggi dengan intensitas warna yang masih dapat diterima. Pertimbangan lainnya adalah kestabilan waktu produksi selama proses pembuatan tepung karena menggunakan oven.
4. Analisis Proksimat Tepung Dalam 100 gram tepung ubi jalar ungu dapat menghasilkan energi sebanyak 367,73
kkal
/100gr. Hasil analisis proksimat tepung ubi jalar
terpilih dapat dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran 4. Perhitungan tersebut didasarkan pada dua kali ulangan pengukuran dari dua kali proses produksi. Apabila dibandingkan dengan standar mutu tepung ubi ungu di Indonesia yang terdapat pada Tabel 3, kadar abu dan kadar serat kasar tepung ini yang masih berada di bawah standar literature sebesar 5.31% dan 4,72%. Namun kadar protein dan karbohidratnya ternyata lebih tinggi dibandingkan literature yang diperoleh yang hanya sebesar 2.79% dan 83.81%.
48
Tabel 7. Komposisi kimia tepung ubi jalar ungu terpilih Komposisi
Jumlah (%bb)
Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar karbohidrat Serat kasar
7,17 1,72 0,89 3,27 86,66 3,60
B. PENELITIAN UTAMA 1. Formulasi Awal Formulasi awal dilakukan dengan mengkombinasi antara tepung ubi jalar ungu terpilih dengan penambahan air dan bahan lainnya seperti margarine, garam serta putih telur yang diacu berdasarkan pembuatan keripik simulasi berbahan dasar hancuran ubi jalar matang (Hadisetiawati, 2005). Formulasi yang terpilih diambil berdasarkan bentukan adonan yang terbaik dimana kriterianya adalah mudah diolah, relatif kalis, dan mudah dibentuk. Dalam setiap penambahan margarin pada formulasi, didapatkan adonan yang sulit terbentuk dan tepung ubi jalar ungu membentuk tekstur berpasir. Tekstur tersebut tetap tidak dapat dihilangkan meskipun telah dilakukan penambahan air yang cukup banyak. Diduga hal ini disebabkan karena margarin, yang bersifat nonpolar, melapisi granula pati dari tepung dan kemudian menghalangi terjadinya penyerapan air, yang bersifat polar, oleh granula pati tepung ubi jalar ungu. Penambahan air sebanyak 30 – 40% dari bobot bahan merupakan formulasi yang terbaik, dimana banyaknya penambahan air tersebut bergantung pada jenis tepung yang digunakan. Untuk jenis tepung yang tidak lolos ayakan 100 mesh dapat menggunakan air sebanyak 35 – 40%. Pada penelitian kali ini digunakan tepung yang lolos ayakan 100 mesh, sehingga penambahan air terbaik adalah sebanyak 30 – 35%, bergantung pada kadar air bahan baku. Kadar air awal dari tepung ubi jalar ungu yang digunakan dalam pembuatan kali ini adalah sekitar 7 – 7,5%. Semakin
49
rendaah kadar air tepung ubbi jalar ungu u yang diguunakan makka semakin tingggi jumlah airr yang ditam mbahkan. Penambaahan air sebaanyak 30% (30 ( ml/100gg) – 50% (500 ml/100g) terhaadap adonann ternyata maasih dapat digunakan, teetapi proses pembuatan lembbaran menjaddi lebih sulitt. Dalam pem mbuatan keriipik kentangg formulasi, adon nan yang baiik mempunyyai kadar aiir antara 25 – 55% (Leiipa, 1976). Bebeerapa perbeedaan sifat fisik dari adonan yaang diperoleeh dengan penaambahan air yang berbedda dapat dilihhat pada Tabbel 8. Tabeel 8. Beberaapa perbedaaan sifat lem mbaran adonnan dengan jumlah air yang diitambahkan. % Air
Sifatt Fisik Adon nan
≤ 30%
- Pembuuatan adonan n sedikit sullit - Lembaran sulit dissatukan/dibeentuk puh dan - Apabiila terbentukk, lembarann akan rap mudahh patah.
300 – 35%
-
≥ 35%
- Adonaan agak lenggket sampai lengket l - Terkaadang adonnan menem mpel pada pembuuat lembarann - Pembuuatan adonann cukup suliit - Lembaran yang diihasilkan agaak lembek.
Pembuuatan adonan n mudah Lembaran memiliki kohesivitaas yang baikk Lembaran tidak mudah m retak dan d patah Dapatt dicetak denngan mudah mesin
Gambar 13. Proses pembuatan ad donan chips ubi ungu Dari hasiil trial and error, didaapatkan air yyang digunaakan untuk prosees rehidrasi adalah air dengan suh hu ruang, daan dapat meenghasilkan adon nan yang baiik untuk dibbuat lembaraan. Air hanggat sebenarnyya berguna
50
dalam memudahkan proses pembuatan adonan menjadi lembaran. Leipa (1976) menyatakan bahwa pada pembuatan keripik kentang simulasi, suhu air yang ditambahkan yaitu sekitar kisaran suhu 26,7 – 76,7 oC. Proses penambahan air dan pembuatan adonan dapat dilihat pada Gambar 13. Penambahan putih telur pada awalnya adalah untuk memperbaiki pembentukan adonan dikarenakan kandungan ovomusin dalam putih telur mempengaruhi pembentukan jala-jala yang dapat mengikat air dan membentuk struktur gel putih telur (Sirait, 1986). Proses penambahan putih telur memberikan pengaruh pada warna tepung ubi jalar ungu yang digunakan. Putih telur ayam memiliki pH awal antara 7,6 – 7,9 yang akan meningkat selama penyimpanan sampai mencapai maksimum pada pH 9,7 dimana laju peningkatannya dipengaruhi oleh suhu (Powrie, 1976). Sifat putih telur tersebut merubah warna tepung menjadi agak kehijauan sehingga dihasilkan adonan yang agak gelap. Di lain pihak, hanya dengan penambahkan air tekstur adonan yang baik sudah dapat terbentuk. Oleh karena itu, penggunaan putih telur ditiadakan karena sifatnya sebagai penguat tekstur adonan tidak berfungsi secara signifikan. Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan chips ubi ungu ini adalah garam. Garam biasanya ditambahkan untuk memperkuat tekstur yang tebentuk. Apabila garam dilarutkan terlebih dahulu di dalam air, maka hal itu akan mempercepat terbentuknya lembaran adonan. Namun apabila proses sheeting terlalu lama, maka dapat menyebabkan adonan yang terbentuk sudah terlampau lengket sehingga menempel di bagian roller pada noodle roller machine. Hal ini disebabkan pada kemampuan garam untuk meningkatkan kohesivitas komponen pati pada tepung ubi ungu yang telah direhidrasi (Aryanti, 1991). Proses pembuatan ubi ungu dilanjutkan dengan proses sheeting menggunakan nooddle roller machine, dapat dilihat pada Gambar 14. Karena tepatnya jumlah air yang ditambahakan beserta sifat kohesivitas tepung ubi ungu sendiri, sehingga mengakibatkan lembaran adonan tidak menempel di roller dan memiliki tekstur yang cukup liat, tidak mudah patah atau sobek.
51
Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa adonan digiling setahap demi setahap hingga didapatkan lembaran adonan dengan ketebalan tertentu. Ketebalan dari lembaran adonan ini sekitar 0,5 mm dan maksimum 1 mm.
Gambar 14. Proses pembentukan lembaran adonan Setelah proses pembentukan lembaran adonan kemudian dilakukan proses shaping menggunakan cetakan cookies. Pertama-tama meja stainless steel dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan alkohol 70%, kemudian setelah kering, lembaran adonan diletakan diatas meja. Proses pencetakan, dapat dilihat pada Gambar 15, harus dilakukan secepatnya, maksimal 20 menit dari proses pembentukan lembaran adonan. Semakin lama kontak antara lembaran adonan dengan udara, maka lembaran tersebut akan menjadi lebih kering dan mengakibatkan lembaran adonan tersebut akan semakin sulit untuk dicetak.
Gambar 15. Proses pencetakan lembaran adonan chips Setelah proses pencetakan selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses penyusunan di atas tray, dapat dilihat pada Gambar 15, dan produk siap untuk dikeringkan di rumah kaca. Pada awalnya proses pengeringan
52
dilakukan dengan menggunakan oven cabinet agar proses pengeringan dapat berjalan lebih singkat. Namun, proses pengeringan menggunakan oven kabinet menghasilkan produk yang memilki banyak sekali gelembung udara di permukaan chips setelah produk digoreng. Penampakan produk yang seperti ini tidak disukai oleh konsumen. Oleh karena itu, dilakukan perubahan tempat pengeringan, yaitu menggunakan rumah kaca dan proses pengeringan dilakukan dengan
metode
penjemuran. Lama waktu penjemuran bergantung pada cuaca setempat, biasanya penjemuran dilakukan selama 24 – 48 jam. Hasil pengeringan dengan menggunakan metode penjemuran, memang memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode oven kabinet. Pengeringan dengan oven kabinet menggunakan suhu yang cukup tinggi sekitar 55 – 60oC. Pada saat kepingan chips basah dimasukkan ke dalam oven, kondisi di dalam oven yang sudah jenuh dan tidak sirkulasi udara secara aktif langsung memerangkap permukaan luar kepingan dan memaksanya untuk kering. Hal ini mengakibatkan air di dalam kepingan chips terperangkap tidak dapat keluar sehingga menghasilkan penampakan permukaan yang bergelembung pada saat penggorengan, dapat dilihat pada Gambar 16.
Oven
Penjemuran
Gambar 16. Chips ubi ungu setelah digoreng dengan metode pengeringan oven dan penjemuran Pengeringan dengan penjemuran menggunakan suhu yang cukup rendah, tidak mencapai suhu 50oC. Selain itu kondisi penjemuran didukung dengan sirkulasi udara yang cukup baik dan stabil, sehingga menyebabkan air yang terperangkap di dalam terlepas ke luar secara 53
merata dan perlahan-lahan. Kepingan chips diberikan kesempatan untuk mengembang dan mengeluarkan komponen airnya sehingga diperoleh hasil yang benar-benar kering. Chips yang dikeringkan dengan metode ini akan memperoleh penampakan permukaan yang rata, tidak ada gelembung, dapat dilihat pada Gambar 16. Pertanda bahwa ubi telah selesai dikeringkan adalah kemudahan dalam mematahkan kepingan menjadi dua. Ada dua cara yang dapat dilakukan setelah kepingan chips ubi ungu kering yaitu, kepingan chips dikemas dalam kemasan aluminium foil yang gelap atau kepingan chips digoreng terlebih dahulu kemudian ditiriskan lalu dikemas dalam kemasan aluminium foil dan dilengkapi dengan silica gel di dalam kemasannya untuk menjaga agar tetap kering. Penggorengan dilakukan sebagai tahap akhir dari pembuatan chips ubi jalar ungu ini. Penggorengan dilakukan untuk meningkatkan kualitas makan dari produk ini, selain itu apabila dilihat dari preferensi masyarakat hingga saat ini, permintaan untuk makanan ringan yang digoreng masih menempati posisi yang cukup tinggi. Penggorengan dilakukan menggunakan deep fat fryer dengan suhu o
190 C selama 1 – 3 detik setelah produk mengembang (Aryanti, 1991) atau sekitar 5 – 10 detik dari awal kepingan chips dimasukkan. Waktu penggorengan ini jauh lebih singkat dibandingkan dengan penggorengan chips konvensional yang membutuhkan waktu sekitar 1 – 3 menit (Leipa, 1976). Dapat disimpulkan bahwa waktu kontak antara minyak dan bahan yang cukup singkat ini hanya berfungsi sebagai medium penghantar panas.
Gambar 17. Chips ubijalar ungu yang telah digoreng dan alat penggorengnya
54
Produk yang telah digoreng beserta alatnya dapat dilihat pada Gambar 17. Menurut William (1951) semakin tinggi suhu minyak maka densitasnya akan semakin menurun sehingga minyak yang terserap oleh bahan yang digoreng akan sedikit. Adanya pengeringan awal akan mengurangi penyerapan minyak dan waktu penggorengan, atau dapat dikatakan semakin rendah kadar air bahan yang digoreng maka semakin sedikit minyak yang akan diserap (Davis, 1976). Setelah chips diangkat dan ditiriskan, chips harus didiamkan terlebih dahulu selama 1 menit agartercapai suhu ruang kemudian dikemas ke dalam kemasan aluminium foil. Pengemasan harus menggunakan kemasan yang gelap dikarenakan antosianin yang merupakan komponen utama dalam memberikan warna ungu pada chips ini sifatnya sangat sensitif terhadap cahaya. Selain itu, penggunaan kemasan aluminium foil ini dapat mengurangi kerusakan produk akibat oksidasi lemak dan menghalangi peningkatan kadar air produk. 2. Formulasi Lanjutan Pada penelitian tahap pertama telah ditemukan formulasi utama dari pembuatan chips ubi jalar ini. Produk ini sudah bisa diterima oleh sensori secara umum. Namun terdapat satu permasalahan dimana minyak benar-benar hanya berperan sebagai media penghantar panas sehingga minyak
menempel
cukup
banyak
di
permukaan
chips.
Diduga
penyebabnya adalah karakteristik ubi yang tidak dapat menyerap minyak secara maksimal dan berakibat pada kurang renyahnya produk akhir, hal ini merupakan sesuatu yang tidak diinginkan karena dapat menurunkan eating quality. Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan formulasi lanjutan untuk mengatasi masalah tesebut. Bahan-bahan yang mengandung pati memiliki kecenderungan sebagai bahan pengikat. Menurut Tanikawa, et al. (1985), bahan pengikat adalah bahan yang digunakan dalam makanan untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Fungsi bahan pengikat adalah untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari 55
adonan. Fungsi yang terakhir inilah yang digunakan sebagai dasar dari pengambilan keputusan dalam penambahan pati atau tepung secara tunggal. Penambahan pati atau tepung diharapkan dapat mengurangi penampakan minyak pada permukaan produk. Sifat pati yang dapat mengikat air mengakibatkan air terperangkap selama pengadonan dan meskipun telah melalui proses penjemuran, masih ada air yang terperangkap. Pada saat penggorengan dengan suhu yang tinggi, air yang terperangkap akan menguap, dan pada proses penirisan, minyak akan masuk kedalam produk menggantikan posisi air tersebut. Hal inilah yang menyebabkan penampakan produk tidak terlalu berminyak. Saat proses pembuatan adonan pelarutan garam dalam air sebelum proses pencampuran. Dengan adanya pelarutan garam, maka pada saat proses pembentukan lembaran adonan, daya ikat antar sesama tepung ubi jalar ungu akan menjadi lebih tinggi. Kondisi ini diakibatkan adanya peningkatan daya ikat air antar sesama komponen ubi jalar karena komponen garam telah mengion (Aryanti, 1991). Pelarutan garam ini akan membantu meningkatkan kohesivitas dari tepung ubi jalar dikarenakan tepung yang digunakan sudah tidak seragam lagi. Tepung yang terpilih dalam memberikan perbedaan yang cukup signifikan dalam penampakan minyak adalah tepung beras, maizena dan tapioka. Batas maksimal penambahan tepung atau pati adalah 10%. Apabila penambahan tepung melampaui 10%, maka chips akan terasa seperti tepung. Hasil dari penambahan tepung tersebut dapat dilihat pada Gambar 18.
Tp. Beras
Maizena
Tapioka
Gambar 18. Penampakan chips yang telah mengalami modifikasi
56
Selanjutnya ketiga jenis tepung yang terpilih diujikan secara organoleptik kepada 30 orang panelis. Ada 7 sampel yang diujikan pada uji organoleptik ini yaitu chips dengan 100% tepung ubi jalar ungu (U) serta enam sampel dengan kombinasi antara tepung ubi jalar ungu dengan maizena 5% (M5), tepung beras 5% (B5), tapioka 5% (T5), maizena 10% (M10), tepung beras 10% (B10) dan tapioka10% (T10).
3. Uji Organoleptik Uji rating hedonik digunakan untuk menentukan organoleptik chips ubi jalar ungu yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya. Uji dilakukan terhadap 30 orang panelis dengan menggunakan 7 taraf kesukaan yaitu sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak tidak suka (3), netral (4), agak suka (5), suka (6) dan sangat suka (7). Kuisioner uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji rating hedonik kemudian dianalisis menggunakan ANOVA dengan uji lanjut Duncan. Parameter yang digunakan pada uji organoleptik chips ubi jalar ungu adalah penampakan minyak, tekstur dan warna. a. Penampakan Minyak Penampakan minyak merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan parameter yang digunakan oleh masyarakat untuk menerima suatu produk yang digoreng adalah terlihat berminyak atau tidak. Kisaran waktu dan suhu penggorengan yang kurang tepat dapat menyebabkan minyak menempel dipermukaan produk. Selain itu dimungkinkan pula akibat karakteristik produk tersebut yang tidak dapat menyerap minyak setelah atau saat penggorengan. Oleh karena itu, perlu dilakukannya penambahan tepung atau pati untuk mengurangi bahkan menghilangkan masalah ini. Nilai skor kesukaan terhadap penampakan minyak masing-masing formulasi chips ubi jalar ungu dapat dilihat pada Tabel 9.
57
Hasil uji ANOVA (Lampiran 7) yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 7) terhadap parameter penampakan minyak menunjukkan bahwa penggunaan tepung atau pati berpengaruh pada skor kesukaan panelis terhadap parameter penampakan minyak (p<0.05) pada kisaran penggunaan tepung atau pati sebanyak 5 dan 10%. Tabel 9. Skor kesukaan terhadap parameter penampakan minyak chips ubi jalar ungu Komposisi (Tepung ubi : tepung/pati) 100 : 0 95 : 5 95 : 5 95 : 5 90: 10 90: 10 90: 10
Chips U M5 B5 T5 M10 B10 T10
Skor Kesukaan 2.6a 5.1d 5.0d 3.8b 5.6e 5.1d 4.3c
*)
Keterangan : Skor kesukaan yang memiliki huruf yang sama berarti antar formula tersebut tidak berbeda nyata Maizena
5.1d
5
Tapioka
5.1d
5.0d
4.3c
3.8b
4 3
Tp. Beras
5.6e
6
2.6a
2 1 0 Kontrol (U)
Tepung 5
Tepung 10
Gambar 19. Skor kesukaan panelis terhadap penampakan minyak Hasil
uji
organoleptik
terhadap
penampakan
minyak
menunjukkan bahwa chips ubi jalar ungu yang memiliki skor kesukaan paling tinggi adalah chips ubi jalar ungu yang memiliki rasio antara tepung ubi jalar ungu dengan maizena 90 : 10 (M10), yaitu 5.6 (suka). 58
Skor ini menunjukkan bahwa penampakan produk chips yang awalnya kurang diminati oleh panelis dan maizena memberikan penampakan yang lebih baik yang kemudian diikuti oleh tepung beras lalu tapioka. Dilihat dari Gambar 19, tepung beras dan maizena memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (simbol d) dan masih disukai oleh panelis
sehingga
dimungkinkan
dapat
dilakukan
penggantian
penggunaan bahan baku. b. Tekstur Tekstur merupakan parameter penting pada penerimaan produk, terutama pada chips. Tekstur yang diinginkan dalam chips atau keripik simulasi adalah renyah dan tidak melukai rongga mulut. Parameter renyah itu sendiri adalah dapat memberikan suatu suara saat proses penggigitan dan pengunyahan. Hasil uji ANOVA (Lampiran 9) yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 9) terhadap parameter tekstur (kerenyahan) menunjukkan bahwa penggunaan tepung/pati berpengaruh pada skor kesukaan panelis terhadap parameter tekstur (p<0.05) pada kisaran penggunaan tepung atau pati sebanyak 10%. Tabel 10. Skor kesukaan terhadap parameter tekstur (kerenyahan) chips ubi jalar ungu Chips U M5 B5 T5 M10 B10 T10
Komposisi (Tepung ubi : tepung/pati) 100 : 0 95 : 5 95 : 5 95 : 5 90: 10 90: 10 90: 10
Skor Kesukaan 4.5a,b 4.2a 4.5a 5.1b,c 5.3c 5.6c 5.2c
*)
Keterangan : Skor kesukaan yang memiliki huruf yang sama berarti antar formula tersebut tidak berbeda nyata Hasil uji organoleptik terhadap tekstur (kerenyahan) , yang
dapat dilihat pada Tabel 10, menunjukkan bahwa chips ubi jalar ungu
59
yang memiliki skor kesukaan paling tinggi adalah adalah chips ubi jalar ungu yang memiliki rasio antara tepung ubi jalar ungu dengan tepung beras sebanyak 90 : 10 (B10), yaitu 5.6 (suka). Skor ini menunjukkan bahwa tekstur produk dengan menggunakan tepung beras lebih disukai dibandingkan dengan maizena. Berdasarkan analisis sidik ragam pada Gambar 20, dapat dilihat bahwa penambahan tepung sebanyak 5% tidak memberikan dampat yang cukup signifikan pad tekstur. Namun penambahan tepung sebanyak 10% ternyata memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap tekstur produk dan dapat dilihat sekali lagi bahwa penggunaan maizena dan tepung beras tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Maizena 6
5.1b,c
5
4.5a,b
4.2a
Tp. Beras
5.3c
5.6c
Tapioka
5.2c
4.5a
4 3 2 1 0 Kontrol (U)
Tepung 5
Tepung 10
Gambar 20. Skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur c. Warna Warna merupakan karakteristik sensori yang mempengaruhi kesukaan terhadap suatu produk. Warna merupakan atribut sensori yang pertama dilihat oleh konsumen. Warna produk yang unik akan lebih menarik perhatian konsumen dari pada warna produk lainnya. Warna harus menarik dan menyenangkan konsumen, seragam serta dapat mewakili citarasa yang ditambahkan. Hasil uji ANOVA (Lampiran 11) yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 11) terhadap parameter warna menunjukkan bahwa
60
penggunaan tepung/pati berpengaruh pada skor kesukaan panelis terhadap parameter tekstur (p<0.05) pada kisaran penggunaan tepung/pati sebanyak 5 dan 10%. Hasil uji organoleptik terhadap warna, yang dapat dilihat pada Tabel 11, menunjukkan bahwa chips ubi jalar ungu yang memiliki skor kesukaan paling tinggi adalah chips ubi jalar ungu yang memiliki rasio antara tepung ubi jalar ungu dengan maizena sebanyak 90 : 10 (M10), yaitu 5.6 (suka). Skor ini menunjukkan bahwa warna produk dengan menggunakan maizena lebih disukai dibandingkan dengan tepung beras yang hanya 5.3. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh warna dari maizena yang sangat putih memberikan kontribusi dalam memperbaiki warna asal dari bahan baku utama dengan memberikan kecerahan pada warna ungu. Tabel 11. Skor kesukaan terhadap parameter warna chips ubi jalar ungu Chips U M5 B5 T5 M10 B10 T10
Komposisi (Tepung ubi : tepung/pati) 100 : 0 95 : 5 95 : 5 95 : 5 90: 10 90: 10 90: 10
Skor Kesukaan 3.9a 4.6b 5.2c 5.3c 5.6c 5.3c 4.6b
*)
Keterangan : Skor kesukaan yang memiliki huruf yang sama berarti antar formula tersebut tidak berbeda nyata Berbeda halnya dengan tepung beras yang memiliki warna
tidak terlalu putih, sehingga tidak dapat memberikan kontribusi warna yang cukup menarik pada rasio 10%. Dan dilihat pada Gambar 21 bahwa penambahan tapioka sebanyak 10% memperoleh warna dengan tingkat kesukaan yang cukup rendah. Hal ini dikarenakan chips menjadi lebih tipis dan lebih cepat terjadi browning pada waktu penggorengan yang sama.
61
Maizena 6
5.2c
5 4
5.3c
Tp. Beras
5.6c
Tapioka
5.3c
4.6b
4.6b
3.9a
3 2 1 0 Kontrol (U)
Tepung 5
Tepung 10
Gambar 21. Skor kesukaan panelis terhadap atribut warna d. Formula Terpilih Berdasarkan ketiga kriteria diatas, dapat dilihat berdasarkan hasil pengujian secara obyektif oleh panelis, dipilih formula M10 yaitu formula yang menggunakan maizena sebayak 10%. Keputusan ini didasarkan pada penerimaan panelis yang cukup tinggi dalam segi penampakan minyak dan warna. Sedangkan untuk tekstur, meskipun tepung beras lebih unggul, namun penerimaan pada maizena tidak terlalu berbeda nyata dibandingkan dengan tepung beras.
4. Analisis Formulasi Terpilih Tahap selanjutnya adalah analisis kimia dari produk dengan formula terpilih. Analisis yang dilakukan antara lain analisis proksimat, analisis kadar antosianin dan analisis warna. a. Analisis Proksimat Produk Dalam 100 gram chips ubi jalar ungu dapat menghasilkan energi sebanyak 441,14
kkal
/100gr. Hasil analisis proksimat chips ubi
jalar terpilih dapat dilihat pada Tabel 12 dan Lampiran 12. Perhitungan tersebut didasarkan pada dua kali ulangan pengukuran dari dua kali proses produksi.
62
Tabel 12. Komposisi kimia chips ubi jalar ungu terpilih Komposisi Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar karbohidrat Serat kasar
Jumlah (%bb) 3,07 2,18 12,42 3,14 79,20 3,10
Apabila dibandingkan dengan hasil analisis proksimat tepung ubi jalar terpilih, dapat dilihat pada Tabel 7, terdapat beberapa peningkatan pada kadar lemak dan kadar abu. Peningkatan kadar lemak yang semula hanya 0,87 % bb menjadi 12,42 % bb dikarenakan proses penggorengan deep fat frying. Namun apabila dibandingakan dengan produk chips konvensional yang memiliki kadar lemak sekitar 35% - 50% (Leipa, 1976), produk chips ubi jalar ungu ini memilki kandungan lemak yang cukup rendah. Adanya penggunaan maizena di dalam adonan mengikat air bebas sehingga saat air menguap pada saat penggorengan dan posisinya digantikan oleh minyak. Dengan kata lain, adanya penambahan maizena dapat meningkatkan penyerapan minyak ke dalam produk. Hal ini berimbas pada penurunan kadar karbohidrat per 100 gram. Peningkatan kadar abu produk, dari 1,72 % bb menjadi 2,18 % bb, diperkirakan karena adanya penambahan maizena pada adonan. Namun selain itu adanya kemungkinan dipengaruhi oleh penyebaran mineral yang tidak merata pada ubi yang telah ditepungkan. Penurunan kadar air pada produk yang cukup signifikan, dari 7,17 % bb menjadi 3,07 % bb, dikarenakan proses penggorengan dalam proses pembuatannya. Penggorengan diketahui memberikan panas yang cukup tinggi, tidak hanya meningkatkan eating quality dari produk namun juga menyebabkan air yang terikat dalam produk dapat terlepas dan menguap selama proses penggorengan berlangsung.
63
Penurunan
kadar
protein
disebabkan
karena
adanya
penggunaan maizena dalam adonan yang sebanyak 10%. Seperti yang kita ketahui, maizena merupakan pati jagung. Pati merupakan komponen karbohidrat sehingga otomatis tidak menyumbangkan protein dalam produk ini, seandainya menyumbangkan protein pun diperkirakan
jumlahnya
sangat
kecil
sehingga
tidak
dapat
meningkatkan kadar protein secara signifikan. Selain itu, ada pula kemungkinan protein semula rusak selama proses penggorengan. Meskipun proses penggorengan dilakukan secara singkat, antara 5 – 10 detik, masih dimungkinkan terjadinya kerusakan karena suhu penggorengan yang digunakan adalah 190oC. Serat kasar dari produk diperoleh sebesar 3,10 % bb. Bila dibandingkan dengan serat kasar tepung ubi jalar ungu yang sebesar 3,60 % bb, dapat dikatakan terjadi penurunan yang cukup signifikan. Penggorengan mengakibatkan terbentuknya crust pada bagian permukaan produk. Sebagian besar crust sifatnya tidak dapat tercerna oleh komponen enzim di dalam tubuh sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah serat kasar pada produk (Hadisetiawati, 2005). Namun, perlu diperhatikan lagi, bahwa chips ini tidak 100% menggunakan tepung ubi jalar ungu sehingga penurunan kadar serat kasar masih dapat diterima. b. Analisis Antosianin Proses pengolahan yang lebih lanjut terhadap tepung ubi ungu dikhawatirkan dapat menurunkan kadar antosianin awal yang terdapat dalam tepung ini. Kondisi penggorengan pada suhu yang teramat sangat tinggi yaitu sekitar suhu 190oC merupakan kondisi yang paling kritis karena seperti yang kita ketahui bahwa antosianin akan rusak dan rusak secara signifikan apabila terpapar suhu diatas 65oC. Tepung bahan baku telah diukur kadar antosianinnya terlebih dahulu sebelum digunakan dan diperoleh kandungan antosianinnya sebesar 3233,7390
mg CyE
/L dan perhitungannya dapat dilihat pada
Lampiran 13. Kandungan antosianin tepung ini berbeda dengan tepung 64
ubi jalar ungu di awal pada saat penentuan tepung terbaik yang dapat dilihat pada Lampiran 2 bagian teknik 2. Hal ini disebabkan karena bahan baku utamanya yaitu ubi jalar ungu basahnya berbeda. Meskipun varietas yang digunakan tetap sama, pada analisis awal umbi basah yang digunakan mayoritas terkena hama boleng, sedangkan yang digunakan untuk produksi tepung akhir dan pembuatan produk, umbi basah yang digunakan dalam kedaan mulus tidak terkena hama. Dapat disimpulkan bahwa kandungan antosianin pada ubi jalar ungu berpengaruh sensitif terhadap perbedaan waktu tanam dan terkena hama atau tidaknya. Produk chips ubi jalar ungu memiliki kandungan total antosianin sebanyak 2815,4320
mg CyE
/L dan dapat dilihat pada
Lampiran 14. Apabila dibandingkan dengan kandungan antosianin pada bahan baku, tidak terjadi penurunan kandungan antosianin yang cukup signifikan, hanya sekitar 400
mg CyE
/L atau sekitar 12,94%.
Dapat disimpulkan bahwa produk chips ini masih memiliki kandungan antosianin yang masih cukup tinggi meskipun telah melalui proses penjemuran dan penggorengan pada suhu 190oC. Hal ini kemungkinan disebabkan dengan adanya interaksi antara antosianin yang berikatan dengan komponen pati pada ubi jalar sendiri (Eskin, 1979), yang kemudian berikatan pula dengan komponen pati jagung yang memang sengaja ditambahkan ke dalam adonan untuk memperbaiki penerimaan konsumen terhadap produk ini.
c. Analisis Warna Analisis warna dilakukan dengan proses yang sama seperti pada saat melakukan analisis antosianin. Analisis warna terhadap bahan baku, yang dapat dilihat pada Lampiran 15, dilakukan terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan analisis produk akhir yang telah dibuat, dapat dilihat pada Lampiran 16. Perbandingan warna antara bahan baku dengan produk chips dapat dilihat pada Tabel 13.
65
Apabila dibandingkan dengan hasil analisis warna pada awal penentuan tepung terbaik, tentu saja hasil yang diperoleh tidak sebaik seperti yang ditampilkan pada Tabel 9. Hal ini disebabkan oleh alasan sama seperti yang diungkapkan pada kandungan antosianin diatas. Adanya hama boleng menyebabkan ubi segar tidak berwarna ungu pekat, tapi agak kemerahan. Tabel 13. Hasil analisis warna pada bahan baku dan produk chips ubi jalar ungu Jenis Produk
L
a
b
hue
Tepung ubi jalar ungu Chips ubi jalar ungu
42.15 36.06
12.82 13.32
-2.65 -2.01
348.42 351.50
Proses pembuatan adonan dan pemanasan diduga kuat sebagai salah satu faktor yang menyebabkan tingkat keputihan (L) dari produk menurun cukup signifikan. Pada saat berbentuk tepung, butiran tepung teramat sangat halus sehingga memiliki tingkat keputihan yang cukup tinggi. Saat proses pengadonan dilakukan penambahan air yang kemudian merubah warna tepung karena proses rehidrasi yang kemudian difiksasi dengan proses pengeringan kepingan chips. Proses ini menghasilkan kepingan yang agak gelap dan bila dilanjutkan ke penggorengan akan terjadi proses fiksasi dan degradasi warna dan mengakibatkan perobahan warna pada produk akhirnya. Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan warna merah (a) dan penurunan warna biru (b) pada produk chips. Diduga kuat hal ini disebabkan oleh adanya proses pemanasan yang menyebabkan komponen warna terdegradasi. Namun pada produk akhir masih memiliki warna ungu yang cukup pekat.
66
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Proses pengolahan tepung ubi jalar ungu menghasilkan tepung yang tetap berwarna ungu pada produk akhirnya. Suhu yang digunakan untuk mengukus dalam proses pembuatan tepung ubi jalar ungu ini adalah 100oC dengan ketebalan umbi mentah sekitar 1 ± 0,5 cm dengan lama pengukusan yang paling optimal adalah 7 menit. Selama proses tersebut terjadi proses fiksasi warna dari ubi jalar, yang kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan hingga kadar air yang ditentukan. Proses pengeringan yang terbaik adalah dengan menggunakan pengering kabinet selama 6 – 8 jam pada suhu 50 – 55OC. Proses yang dipilih ini dapat diterapkan dalam UKM yang ada sehingga dapat dipastikan tepung ubi jalar selalu tersedia. Chips ubi jalar ungu dapat dibuat dari 100 % tepung ubi jalar ungu ini dengan penambahan air sekitar 30 – 35% dari jumlah tepung ubi jalar ungu yang digunakan. Penambahan air ditujukan untuk proses rehidrasi tepung, menghasilkan adonan yang kalis dan tidak terlalu kering atau lengket saat proses pembuatan lembaran. Perlu dilakukan proses pengeringan untuk menghilangkan air yang ditambahkan dan untuk menghindari terbentuknya gelembung udara di permukaan produk pada saat pengorengan. Penggorengan dilakukan pada suhu 190oC selama 5 – 10 detik. Penambahan tepung atau pati dalam proses pembuatan adonan dapat meningkatkan kualitas makan dari produk akhir chips ubi jalar ungu. Pati yang terpilih dalam penelitian kali ini adalah maizena atau pati jagung. Penambahan maizena sebanyak 10% memberikan perbaikan yang cukup signifikan pada penampakan minyak produk akhir yang kemudian didukung oleh terbentuknya tekstur dan warna yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Kandungan antosianin pada chips ubi jalar ungu sebesar 2815,4320
mg
CyE
/L yang turun sekitar 12,94% dari kandungan antosianin tepung ubi jalar
ungu awal yang sebesar 3233,7390
mg CyE
/L. Penurunan yang tidak terlalu
signifikan ini menjadikan produk chips ubi ungu ini daoat dikatakan masih memiliki komponen antosianin yang cukup tinggi. 67
B. SARAN Analisis karakteristik fisik dari tepung ubi jalar ini masih perlu dilakukan karena tepung jenis ini masih tergolong baru dan belum ada literatur yang dapat dijadikan acuan. Selain itu dengan dilakukannya analisis ini diharapkan dapat mengertahui komponen amilosa dan amilopektin secara pasti serta aktivitas rheologinya. Perlu dilakukannya peningkatan efisiensi proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari. Peningkatan proses efisiensi tersebut dapat dilakukan dengan melakukan beberapa modifikasi dalam proses penjemuran atau pengeringan kepingan chips basah.
68
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anonim a. 2009. Purple Sweet Potato. http://sclvshan.en.alibaba.com/product/25 4141351-209551965/purple_sweet_potato.html [23 Juni 2010]. Anonima. 2009. Budidaya Ubi Jalar. http://ayobertani.wordpress.com/2009/04/16/ budidaya-ubi-jalar/ [23 Juni 2010]. Anonima. 2010. 10 Makanan Alami Penguat Sistem Imun Tubuh . http://haris ahmad.blogspot.com/2010/06/10-makanan-alami-penguat-sistemimun.html [23 Juni 2010]. Antarlina, S.S. 1998. Utilization of sweet potato flour for making cookies and cakes. Di dalam Hendroatmodjo, K.H., Y. Widodo, Sumarno dan B. Guritno (Eds.). Research Accomplishment of Root Crops for Agriculture Development in Indonesia. Research Institute for Legume and Tuber Crops, Malang. Indonesia. Page 127-132. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist. Inc., Washington D.C. Aryanti, Ivonne. 1991. Pembuatan Keripik Ubi Jalar Simulasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Atmawikarta, A. 2001. Komposisi Zat Gizi Makanan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2009. Food Crops Statistic. http://www.bps.go.id. [18 Juni 2010]. Boyle, F.P. 1975. Dehydrated Mashed Potatoes – Potato Granules. Di dalam Talburt, W.F. dan O. Smith. 1977. Potato Processing 3rd Ed. The AVI Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut, USA. Bradbury, J.H. dan W.D. Holloway. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops : Significance for Nutritional and Agriculture in Pacific. ACIAR Monograph Series No. 6, Canberra. Brautlecht, C. A. 1953. Starch: Its Sources, Production and Uses. Reinhold Publishing Corporation, New York. Brennan, J. G., J. R. Butter, N. D. Cowell dan A. V. E. Lily. 1974. Food Engineering Operations. Applied Science Publishers Limited, London.
69
Brooker, D.B., F.W. Bakker dan C.W. Hall. 1973. Drying Cereal Grains. The AVI Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut, USA. Damardjati, D.S. 2003. Penelitian dan Potensi Bahan Serta Produk untuk Kesehatan dan Kebugaran. Makalah Seminar. Keseimbangan Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Bogor. Davis, C.O. 1977. Potato Processing. Di dalam: O, Smith (ed.). Potatoes: Production, Storing, Processing. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. De Leon, S. Y., O. C. Bravo dan L. O. Martirez. 1988. Fruits and Vegetables Dehydration Manual. Kalayan Press Mktg. Ent., Inc. Quizon City. Departeman Kesehatan R.I. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Departeman Kesehatan R.I. 1996. Daftar Komposisi Kimia Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Desrosier, N. W. 1963. The Technology of Food Preservation, 3rd ed. The AVI Publishing Company Inc., Wesport, Connecticut. Direktorat Gizi Depkes RI. 1993. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Edmond, J. B. dan G. R. Ammerman. 1971. Sweet Potatoes Production, Processing, Marketing. AVI Publishings Co. Inc., Westport, Connecticut. Eskin, N.A. Michael. 1979. Plant Pigments, Flavors and Textures: The Chemistry and Biochemistry of Selected Compounds. Academic Press, New York Faizah, Nisfatul. 2004. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L) Lam) Varietas Ayamurasaki dan Pakhong. Skripsi, Dept. Biologi-UMM, Malang. http//:
[email protected]. (10-08-2004). Faridah, D.N., F. Kusnandar, D. Herawati, H.D. Kusumaningrum, N. Wulandari, D. Indrasti. 2009. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Bogor Fellows, P.J. 2000. Food Processing Techniques; Principles and Practice 2nd edition. Woodhead Publishing Limited, London. Ginting, E., Y. Widodo, S.A. Rahayuningsih, dan M. Jusuf. 2005. Karakteristik Pati Beberapa Varietas Ubi Jalar. Jurnal Tanaman Pangan, Vol.24(1). http//:puslittan.bogor.net. (29-04-2009).
70
Giusti, M.M. dan R.E. Worlsdtad. 2001. Characterization and Measurement of Anthicyanins by UV-Visible Spectroscopy. Oregon State University. http//does.org/masterly/facsample. (28-11-2009). Grace, M. A. 1977. Cassava Processing. FAO, Rome. Hadisetiawati, Herlina. 2005. Formulasi dan Karakterisasi Fisk, Kimia serta Organoleptik Produk Reconstituted Chips Berbahan Baku Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam) dan Pati Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasbullah. 2008. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatra Barat. http://bapeda.pemda.com [16 Juni 2010]. Huang, P.C. 1982. Nutritive value of sweet potato. Di dalam: Villareal, R.L. dan Giggs, T.D. Sweet Potato. Proc. of the First Int. Symposium. AVRDC Publishers, Los Banos. Hutchings, John B. 1999. Food Color and Appearance 2nd Edition. A Chapman and Hall Food Science Book, Aspen Publication, Inc., Gaithersburg, Maryland. Ichiyanagi T., M. M. Rahman, Y. Hanano, T. Konishi dan Y. Ikeshiro. 2007. Protocatechuic acid is not the major metabolite in rat bloodplasma after oral administration of cyanidin 3-O-b-D-glucopyranoside. Food. Chem, 105: 1032-1039 Iryanto. 1985. Pembuatan Sirup Glukosa dan Suspensi Pati Hasil Perasan Ubi Kayu secara Enzimatis. Skripsi FATETA, IPB-Press, Bogor. Jackman, R. L. dan J. L. Smith. 1996. anthocyanins and betalains. Di dalam Hendry, G. A. P. dan J. D. Houghton. Natural Food Colorants (2nd Ed). Chapman and Hall, London. 245-271. Johnson, I.T. dan D.A.T. Southgate. 1994. Dietary Fiber and Related Subtances. Chapman and Hall, London. Kadarisman, D. dan A. Sulaeman. 1993. Monograph Teknologi Pengolahan Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Kay, D.E. 1973. Crop and Product Digest No.2 Root Crops. The Tropical Product Institute, London. Ketaren. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pakan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan dan Berat Jenis. J. Media Peternakan, 1 (22): 1-11
71
Koswara, S., Subarna dan Rohmatul. 2003. Diversifikasi Pangan Berbasis Ubi Jalar. Laporan Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Tahun I 2002/2003. Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kotecha, PM., and S.S. Kadam. 1998. Sweet Potato, in Handbook of Vegetable Science and Technology (Salunkhe, D.K and S.S Kadam eds). Marcel Dekker Inc. New York. Leipa, A.L. 1976. Potato Chips Products and Process for Making Same. U.S. Patent 3, 998, 975. Lusas, E. W. 2001. Overview. Di dalam : Lusas, R. W. dan Rooney, l. W. (eds.). 2001. Snack Food Processing. CRC Press, New York. Mackay, K. T., M. K. Palomar dan R. T. Sanico. 1989. Sweet Potato Research and Development for Small Farmer. P. 17-32. SEAMEO-SEARCA College, Laguna, The Phillippines. Manullang, M., M. Theresia dan H.E. Irianto. 1955. Pengaruh Konsentrasi Tepung Tapioka dan Sodium Tripoliphospfat Terhadap Mutu dan Daya awet Kamaboko Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen). Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 6 (2) : 21 – 26. Markakis, P. 1982. stability of anthocyanin in foods. Di dalam Markakis, P (ed). Anthocyanin as Food Colors. Academic Press, New York. 163-175. Matz, S. A. 1984. Snack Food Technology 2nd edition. The AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut. Meilgaard, M., G.V. Civille dan B.T. Carr, 1999. Sensory Evaluation Techniques (3rd Ed). CRC Press, New York. Meilianti. 2003. Pengembangan Buah Sukun (Artocarpus altilis) menjadi Keripik Simulasi dalam Rangka Diversifikasi Pangan Produk Lokal. [Skripsi]. FATETA-IPB, Bogor. Moorthy, S.N. 2000. Tropical sources of starch. Di dalam Eliasson A.C. (ed.). Starch in Foods: Structure, Function and Application. CRC Press LLC, USA. Muchtadi, D. 2001. Sayuran sebagai Sumber Serat Pangan untuk Mencegah Timbulnya Penyakit Degeneratif. J. Tek. Dan Ind. Pan. 12: 61 – 71. Muchtadi, D., N.S. Palupi, dan M. Astawan. 1992. Metode Kimia, Biokimia, dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Petunjuk Laboratorium PAU Pangan dan Gizi-IPB, Bogor.
72
Nuraini. 2004. Pengolahan Tepung Ubi Jalar dan Produk – Produknya untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Di dalam: http://tumoutou.net/pps 702_9145/nuraini.pdf [26 Juni 2010] O’Brien, P.J. 1972. The Sweet Potato: Its Origin and Dispersal. American Anthropologist: 74. Oki, T., M. Masuda, S. Furuta, Y. Nishiba, N. Terahara, dan I. Suda. 2002. Involvement of Anthocyanins and Other Phenolic Compounds in RadicalScavenging Activity o Purple-Fleshed Sweet Potato Cultivars. Journal of Food Science, Vol. 67(5) : 1752-1756. Onwueme, I.C. 1988. The Tropical Tuber Crops. John Wiley and Sons, New York. Palmer, J.K. 1982. carbohydrate in sweet potato proc di dalam Villareal, R.J., T.D. Griggs (ed.). Sweet Potato Proceeding of the 1st International Sympsium AVRDC, Phillipines. Powrie, W.D. 1976. Characteristic of Edible Fluids of Animal Origin: Eggs. Di dalam: Fennema, O.R. (eds.). Food Science. Marcel Dekker Inc., New York and Basel. Prana, M. S. dan Danimiharja, S. 1981. Root and Tuber Crops. IBPGR Secretariat, Rome. Richey, C.B., P. Jacobson dan C.W. Hall. 1961. Agricultural Engineering Hand Book. Mc Graw Hill Book Co., Inc., New York. Rozi, F. dan R. Krisdiana. 2006. Prospek Ubi Jalar Berdaging Ungu sebagai Makanan Sehat dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Balitkabi, Malang. Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta. Santosa, B.A.S., Widowati dan S. Darmajati. 1994. Evaluasi Sifat-Sifat Fisik dan Kimia Tepung Dua Varietas Ubi Jalar. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubi Jalar Mendukung Agroindustri Balittan, Malang. Scales, H. 1982. The U.S. Snack Food Market. Cereal Food Market. Cereal Foods World 27: 203 – 205. Seda, E. dan Unal Y. 2006. Microencapsulation of Anthocyanin Pigments of Black Carrot (Daucuscarota L.) by Spray Drier. Journal of Food Enginering, Vol. 80: 805-812. Shallenberger, R.S., O. Smith dan R.H. Treadway. 1959. Role of The Sugar in the Browning Reaction in Potato Chips. J. Agr.
73
Singh, P.R. dan F. A. R. Oliveira. 1994. Minimal Processing of Foods and Process Optimization-An Interface. CRC Press, California. Sirait, C.H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Steinbauer, C. E. dan L. J. Kushman. 1971. Sweet Potatoes Culture dan Diseases. Agr, Res Service. USDA Agr. Hand Book no. 388, Washington, D.C. Suda I, T. Oki, M. Masuda, M. Kobayashi, Y. Nishiba, dan S. Furuta. 2003. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins and Their Utilization in Foods. JARQ, Vol. 37(3) :167-173. Sudibyo, A.B.R. 1979. Majalah Hortikultura no.6. Sugiyono. 2003. Teknologi Pengolahan Tepung Serealia dan Umbi-Umbian. Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susilawati dan Medikasari. 2008. Kajian Formulasi Tepung Terigu dan Tepung dari Berbagai Jenis Ubi Jalar Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Biskuit Non-Flaky Crackers. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II 2008. Universitas Lampung, 17-18 November 2008. Sutijahartini, S. 1985. Pengeringan. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sutisno, E. dan E. Ananto. 1999. Peralatan Industri Tepung Ubi Jalar untuk Bahan Baku Industri Olahan. Balitkaki, Malang. Swinkles, J.J.M. 1985. Source of starch, its chemistry and physic. Di dalam Van Beynum,G.M.A. dan J.A. Roels. Starch Conversion Technology. Marcel Dekker Inc., New York. Tanikawa, E.T., Motohiro, dan Akita. 1985. Marine Products in Japan. Kosersha Kosikaku Co. Ltd., Tokyo. Timberlake, B., C. F. dan P. Bridle. 1997. The anthocyanin. Di dalam J. B. Horborne (ed). The Flavanoid, Chapman and Hall, London. 215-230. Toft, J.G. 1980. Snack Food Process. U.S. Patent 4, 221, 842. Toledo, R.T. 1999. Food science, technology and engineering overview for product development. Di dalam: Developing New Products for a Changing Marketplace. Brody A.L. dan J.B. Lord (eds.). Lancaster, Penn: Technomic. P 129-152. Van Arsdel, W. B., M. J. Copley dan A. I. Morgan. 1964. Food Dehydration. The AVI Publishing Company Inc., Wesport, Connecticut.
74
Widjanarko, Simon B. 2008. Efek Pengolahan Terhadap Komposisi Kimia dan Fisik Ubi Jalar Ungu dan Kuning. http://simonbwidjanarko.wordpress. com/. (19-06-2008). Widodo, Y. 1989. Prospek dan Strategi Pengembangan Ubi Jalar sebagai Sumber Devisa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8(4):83-88. Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi: Sebuah Solusi Ketahanan Pangan. Tabloid Sinar Tani. 6 Mei 2009. Winarno, F. G. 1982. Sweet potato processing and by-product utilization in the tropics. Di dalam: Villareal, R.L. dan Grigs, T.D. (eds.). 1982. Sweet Potato : Proceedings of The first International symposium. P. 373-384. AVRD Center, Taiwan, R. O. C. Winarno, F.G. 1988. Teknologi pengolahan jagung. Di dalam: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Woolfe, J. A. 1993. Sweet Potato: an Untapped Food Resource. Cambridge University Press, New York. Woolfe, J.A. 1999. Sweet Potato: an Untapped Food Resources. Chapman and Hall, New York. Yashinaga, M. 1995. New Cultivar ‘Ayamurasaki’ for Colorant Production. Sweetpotato Res. Front, Vol 1: 2.
75
Lampiran 2. Hasil analisis antosianin awal dalam penentuan tepung terbaik
pH 1 Teknik
Ulangan
A510
A700
pH 4,5 A510-
A510
A700
700
1 1 2 1 2 2 1 3 2 1 4 2
A510-
A
Total antocyanin (mg CyE/L)
700
1.170
0.124
1.046
0.492
0.124
0.368
0.678
1698.2766
1.170
0.126
1.044
0.480
0.113
0.367
0.677
1695.7717
1.160
0.124
1.036
0.497
0.136
0.361
0.675
1690.7621
1.160
0.126
1.034
0.489
0.130
0.359
0.675
1690.7621
1.240
0.136
1.104
0.490
0.137
0.353
0.751
1881.1294
1.240
0.138
1.102
0.480
0.129
0.351
0.751
1881.1294
1.230
0.133
1.097
0.482
0.139
0.344
0.753
1886.1390
1.230
0.135
1.095
0.485
0.138
0.347
0.748
1873.6149
1.090
0.090
1.000
0.416
0.080
0.336
0.664
1663.2089
1.090
0.086
1.004
0.410
0.076
0.334
0.670
1678.2379
1.086
0.080
1.006
0.438
0.102
0.336
0.670
1678.2379
1.076
0.079
0.997
0.426
0.096
0.330
0.667
1670.7234
1.090
0.038
1.052
0.382
0.072
0.310
0.742
1858.5859
1.080
0.023
1.057
0.366
0.054
0.312
0.745
1866.1004
1.084
0.030
1.054
0.371
0.060
0.311
0.743
1861.0907
1.090
0.034
1.056
0.370
0.058
0.312
0.744
1863.5955
Rerata Total antocyanin (mg CyE/L)
SD
RSD analisis
RSD hitung
1693.8931
4.4280
0.2614
1.3064
1880.5032
0.8856
0.0471
1.8186
0.0000
1.2860
0.1588
1.3088
1672.6020
1862.3431
0.0000
2.6568
77
Lampiran 1. Perhitungan rendemuen tepung ubi jalar ungu Bahan
Berat (kg) 33.27 4.31 28.96 28.91 28.635 10.925 0.775 10.170 5.250 4.920
Ubi jalar segar (a) Kulit dan tanah Ubi jalar segar kupas dan dipotong 1 cm (b) Ubi yang disteam Ubi sawut Ubi kering setelah dioven selama 7 jam (c) Tepung yang tidak dapat digunakan dan terbuang Tepung yang dapat digunakan dan terbuang - Tepung ubi lolos ayakan 40 mesh (d) - Tepung ubi lolos ayakan 100 mesh (e) Rendemen * - Tepung ubi jalar 100 mesh terhadap bahan baku dengan kulit - Tepung ubi jalar 100 mesh terhadap ubi yang dapat dikonsumsi - Tepung ubi jalar yang dapat digunakan terhadap ubi yang dapat dikonsumsi
14.79% 16.99% 35.12%
Perhitungan: Tepung ubi jalar 100 mesh terhadap bahan baku dengan kulit %
x 100%
. .
x 100% = 14.79%
Tepung ubi jalar 100 mesh terhadap ubi yang dapat dikonsumsi %
x 100%
. .
x 100% = 16.99%
Tepung ubi jalar yang dapat digunakan terhadap ubi yang dapat dikonsumsi %
x 100%
. .
x 100% = 35.12%
78
Lampiran 3. Analisis warna tepung dengan chromameter Teknik
Y
y
X
L
a
b
Hue tan-1 (b/a)
1
13.02
0.3353
0.3046
42.78
12.73
- 2.83
- 13.53
2
12.37
0.3350
0.3028
41.79
12.95
- 3.17
- 13.75
3
11.17
0.3007
0.3337
39.86
12.80
- 3.62
- 15.79
4
11.43
0.3006
0.3344
40.28
13.08
- 3.59
- 15.35
Lampiran 4. Analisis proksimat dan nilai kalori tepung ubi jalar terpilih Keterangan Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar karbohidrat Serat Kasar
Ulangan
Nilai (%bb)
1
6.98
2
7.36
1
1.86
2
1.66
1
0.87
2
0.91
1
3.31
2
3.23
1
86.76
2
86.57
1
3.55
2
3.65
Nilai Kalori kkal/100g
Rerata
SD
RSD analisis
RSD hitung
7.17
0.27
3.8378
2.9736
1.72
0.14
8.0589
3.6721
0.89
0.03
2.9140
4.0729
3.27
0.05
1.51902
3.3461
86.66
0.13
0.1511
2.0436
3.60
0.07
1.9643
3.2981
4 kkal/g x kadar karbohidrat kadar protein
4 kkal/g x
9 kkal/g x kadar lemak
4 kkal/g x 86.66 g
4 kkal/g x 3.27 g
9
kkal/g x 0.89 g 346.64 kkal
13.08 kkal
8.01 kkal
367.73 kkal/100 g tepung ubi jalar ungu
79
Lampiran 5. Kuisioner uji organoleptik
Nama No. HP Sampel
: : : Chips ubi jalar ungu
Tanggal
:
Uji Rating Hedonik Instruksi: 1. Amati penampakan minyak pada permukaan chips dan warnanya terlebih dahulu, kemudian lakukan pencicipan terhadap sampel. Hal tersebut dilakukan dari sampel kiri ke kanan. 2. Setelah mengamati dan mencicip satu sampel, berikan penilaian anda terhadap sampel tersebut dengan menggunakan angka. Dimulai dari angka 7 (sangat suka), 6 (suka), 5 (agak tidak suka), 4 (netral), 3 (agak tidak suka), 2 (tidak suka), dan 1 (sangat tidak suka); pada kolom yang telah disediakan di bawah ini. 3. Netralkan mulut dengan air minum setelah selesai memberi nilai, kemudian cicip sampel berikutnya dan lakukan penilaian lagi. Demikian seterusnya
hingga
sampel
terakhir.
Anda
tidak
diperkenankan
membandingkan sampel.
Parameter
Kode Sampel
Penampakan minyak Warna Tekstur
80
Lampiran 6. Data uji organoleptik penampakan minyak chips ubi jalar ungu
Panelis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. rerata
U 2 3 3 2 2 3 2 2 4 2 1 3 2 2 2 3 4 2 3 2 3 5 1 3 4 3 3 3 2 3 2.63
M5 4 6 4 6 7 6 5 6 3 4 6 2 4 3 3 6 5 5 5 6 6 7 4 6 5 6 5 6 6 5 5.07
B5 6 6 4 6 7 3 6 6 4 4 5 6 4 5 4 3 5 6 6 7 7 6 3 5 4 4 4 6 5 3 5.00
T5 4 5 4 3 5 3 6 2 4 3 3 3 3 3 3 3 5 4 5 2 6 6 3 4 5 3 5 4 3 3 3.83
M10 6 5 6 6 6 4 6 6 6 4 6 6 5 6 5 6 6 6 4 7 5 7 3 6 6 7 5 6 6 6 5.64
B10 7 4 6 7 6 5 6 6 6 4 6 5 4 5 4 5 5 6 4 6 5 6 2 4 6 5 5 5 5 4 5.13
T10 4 4 4 6 6 2 6 6 4 2 5 6 4 3 4 6 4 4 6 3 3 4 3 3 5 4 5 5 5 4 4.33
81
Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik penampakan minyak chips ubi jalar ungu Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SCORE Source Corrected Model Intercept PANELIS SAMPEL Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 275.319a 4288.576 88.995 186.324 165.105 4729.000 440.424
df 35 1 29 6 174 210 209
Mean Square 7.866 4288.576 3.069 31.054 .949
F 8.290 4519.629 3.234 32.727
Sig. .000 .000 .000 .000
a. R Squared = .625 (Adjusted R Squared = .550)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SCORE Duncan
a,b
SAMPEL 1 4 7 3 2 6 5 Sig.
N 30 30 30 30 30 30 30
1 2.63
2
Subset 3
4
5
3.83 4.33 5.00 5.07 5.13 1.000
1.000
1.000
.621
5.63 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .949. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
82
Lampiran 8. Data uji organoleptik tekstur chips ubi jalar ungu
Panelis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. rerata
U 4 5 4 6 6 5 6 6 3 3 2 5 5 4 6 5 5 3 6 5 5 4 3 6 3 3 4 5 5 4 4.53
M5 6 3 5 2 6 3 2 2 6 5 4 3 5 2 6 4 5 4 6 4 4 6 2 5 5 6 4 4 6 2 4.23
B5 6 3 4 5 6 4 6 2 6 3 5 5 6 1 6 5 5 5 7 5 4 3 1 4 3 5 4 3 7 5 4.47
T5 6 6 5 4 6 2 4 3 4 6 5 6 5 5 6 5 5 3 6 7 6 5 5 5 5 7 4 4 7 6 5.10
M10 7 4 5 2 6 5 6 3 4 6 5 5 5 6 7 4 5 5 5 5 5 7 6 6 6 7 5 5 7 6 5.33
B10 6 2 7 7 7 5 4 4 6 4 6 5 6 7 7 5 6 6 7 7 7 7 4 5 4 4 6 6 7 5 5.63
T10 7 3 7 6 6 4 5 3 6 6 4 6 5 7 7 4 6 4 7 5 7 4 4 3 4 7 5 5 5 3 5.17
83
Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik tekstur (kerenyahan) chips ubi jalar ungu Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SCORE Source Corrected Model Intercept SAMPEL PANELIS Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 179.905a 5091.219 47.981 131.924 232.876 5504.000 412.781
df 35 1 6 29 174 210 209
Mean Square 5.140 5091.219 7.997 4.549 1.338
F 3.841 3804.048 5.975 3.399
Sig. .000 .000 .000 .000
a. R Squared = .436 (Adjusted R Squared = .322)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SCORE a,b
Duncan
SAMPEL 2 3 1 4 7 5 6 Sig.
N 30 30 30 30 30 30 30
1 4.23 4.47 4.53
.348
Subset 2
4.53 5.10
.059
3
5.10 5.17 5.33 5.63 .105
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.338. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
84
Lampiran 10. Data uji organoleptik warna chips ubi jalar ungu
Panelis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. rerata
U 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 3 4 6 5 3 3 3.93
M5 4 6 6 3 4 6 4 2 3 4 6 6 5 2 3 4 6 4 6 2 5 7 6 5 3 6 6 5 6 3 4.60
B5 5 6 4 2 6 6 5 2 5 4 6 5 5 5 4 6 6 4 6 6 5 6 7 6 5 6 6 6 6 6 5.23
T5 5 5 6 9 4 6 6 6 4 4 6 6 5 5 5 6 6 5 6 6 5 3 6 5 4 5 6 6 5 5 5.30
M10 6 6 5 6 4 6 5 5 6 6 6 5 6 5 5 6 6 6 6 5 6 5 6 6 6 6 6 6 7 5 5.57
B10 5 5 6 5 5 6 6 5 5 5 5 5 5 6 5 5 5 6 5 5 5 6 5 5 6 5 6 5 6 5 5.30
T10 4 3 6 6 5 6 6 4 5 4 6 2 5 2 3 4 4 4 3 5 4 6 7 5 5 6 6 5 5 3 4.60
85
Lampiran 11. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik warna chips ubi jalar ungu Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SCORE Source Corrected Model Intercept PANELIS SAMPEL Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 114.452a 5120.805 55.624 58.829 151.743 5387.000 266.195
df 35 1 29 6 174 210 209
Mean Square 3.270 5120.805 1.918 9.805 .872
F 3.750 5871.908 2.199 11.243
Sig. .000 .000 .001 .000
a. R Squared = .430 (Adjusted R Squared = .315)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets SCORE a,b
Duncan
SAMPEL 1 2 7 3 4 6 5 Sig.
N 30 30 30 30 30 30 30
1 3.93
Subset 2
3
4.60 4.63
1.000
.890
5.23 5.30 5.30 5.57 .213
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .872. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
86
Lampiran 12. Analisis proksimat chips ubi jalar terpilih Keterangan Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar karbohidrat Serat Kasar
Ulangan
Nilai (%bb)
1
2.86
2
3.27
1
2.02
2
2.34
1
13.01
2
11.82
1
3.04
2
3.23
1
79.07
2
79.34
1
3.26
2
2.93
Nilai Kalori kkal/100g
Rerata
SD
RSD analisis
RSD hitung
3.07
0.29
9.5249
3.3791
2.18
0.22
10.2411
3.5566
12.42
0.86
6.9326
2.7377
3.14
0.13
4.2348
3.3678
79.20
0.19
0.2410
2.0714
3.10
0.24
7.7101
3.3741
4 kkal/g x kadar karbohidrat kadar protein
4 kkal/g x
9 kkal/g x kadar lemak
4 kkal/g x 79.20 g
4 kkal/g x 3.14 g
9
kkal/g x 12.42 g 316.80 kkal
12.56 kkal
111.78 kkal
441.14 kkal/100 g chips ubi jalar ungu
87
Lampiran 13. Hasil analisis antosianin tepung ubi ungu bahan baku pH 1 Ulangan
1 1 2 1 2 2
pH 4,5 A
Total antocyanin (mg CyE/L)
0.231
0.640
3206.1859
0.100
0.232
0.639
3201.1982
0.332
0.101
0.231
0.641
3211.1955
0.871
0.332
0.101
0.231
0.640
3206.1859
0.098
0.877
0.335
0.104
0.231
3236.2439
0.975
0.097
0.878
0.333
0.104
0.229
0.646 0.649
0.980
0.097
0.883
0.333
0.104
0.229
0.654
3276.3212
0.980
0.097
0.883
0.333
0.105
0.228
0.655
3281.3308
A
Total antocyanin (mg CyE/L)
A510
A700
A510-700
A510
A700
A510-700
0.955
0.084
0.871
0.332
0.101
0.955
0.084
0.871
0.332
0.955
0.083
0.872
0.955
0.084
0.975
3251.2729
Rerata Total antocyanin (mg CyE/L)
Rerata Total antocyanin (mg CyE/L)
SD
RSD analisis
RSD hitung
3233.7390
38.9660
1.2050
1.6761
Rerata Total antocyanin (mg CyE/L)
SD
RSD analisis
RSD hitung
2815.4320
181.8416
6.4587
1.7115
3206.1859
3261.2922
Lampiran 14. Hasil analisis antosianin chips ubi ungu pH 1 Ulangan
1 1 2 1 2 2
pH 4,5
A510
A700
A510-700
A510
A700
A510-700
1.120
0.308
0.812
0.090
0.078
0.012
0.800
2671.8216
1.120
0.308
0.812
0.089
0.078
0.011
0.801
2675.1613
1.080
0.263
0.817
0.083
0.075
0.008
0.809
2701.8796
1.090
0.262
0.828
0.085
0.069
0.016
0.812
2711.8989
1.230
0.330
0.900
0.890
0.980
0.02
0.880
2939.0037
1.220
0.290
0.930
0.870
0.871
0.049
0.881
2942.3436
1.250
0.354
0.896
0.104
0.092
0.012
0.884
2952.3628
1.240
0.351
0.889
0.103
0.095
0.008
0.881
2942.3435
Rerata Total antocyanin (mg CyE/L)
2686.8506
2944.0134
88
Lampiran 15. Analisis warna tepung ubi ungu bahan baku dengan chromameter L
a
b
Hue tan-1 (b/a)
42.19
12.63
-2.42
349.2
42.21
12.62
-2.43
349.1
42.22
12.6
-2.42
349.2
42.23
12.57
-2.41
349.2
41.96
13.45
-3.33
346.2
41.96
13.46
-3.34
346.2
42.21
12.62
-2.43
349.1
42.22
12.60
-2.42
349.2
42.15
12.82
-2.65
348.42
Ulangan 1 1 2 1 2 2 Rata-Rata
Lampiran 16. Analisis warna chips ubi ungu dengan chromameter Ulangan
1
2 Rata-Rata
L
a
b
Hue tan-1 (b/a)
35.45
12.71
-1.83
351.90
35.46
12.69
-1.81
351.90
35.45
12.71
-1.84
351.80
36.66
13.93
-2.20
351.10
36.66
13.93
-2.19
351.20
36.67
13.95
-2.20
351.10
36.06
13.32
-2.01
351.50
89