SKRIPSI
OPTIMASI FORMULASI SOSIS BERBAHAN BAKU SURIMI IKAN PATIN (Pangasius pangasius) DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN (Eucheuma sp.) DAN SUSU SKIM UNTUK MENINGKATKAN MUTU SOSIS
Oleh: NI WAYAN TRI WULANDHARI F24103016
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
OPTIMASI FORMULASI SOSIS BERBAHAN BAKU SURIMI IKAN PATIN (Pangasius pangasius) DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN (Eucheuma sp.) DAN SUSU SKIM UNTUK MENINGKATKAN MUTU SOSIS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: NI WAYAN TRI WULANDHARI F24103016
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
OPTIMASI FORMULASI SOSIS BERBAHAN BAKU SURIMI IKAN PATIN (Pangasius pangasius) DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN (Eucheuma sp.) DAN SUSU SKIM UNTUK MENINGKATKAN MUTU SOSIS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: NI WAYAN TRI WULANDHARI F24103016
Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1985 di Jakarta Tanggal lulus : 30 Agustus 2007
Menyetujui, Bogor, September 2007
Ir. Budi Nurtama, M.Agr Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Ketua Depertemen ITP
Ir. Elvira Syamsir, M.Si Dosen Pembimbing II
Ni Wayan Tri Wulandhari. F24103016. Optimasi Formulasi Sosis Berbahan Baku Surimi Ikan Patin (Pangasius pangasius) dengan Penambahan Karagenan (Eucheuma sp.) dan Susu Skim untuk Meningkatkan Mutu Sosis. Di bawah bimbingan Budi Nurtama dan Elvira Syamsir. RINGKASAN Indonesia adalah negara kepulauan dengan potensi perikanan yang cukup tinggi, termasuk potensi budidaya ikan patin. Tetapi, potensi perikanan ini baru dimanfaatkan sekitar 20 persen. Ikan patin ini dapat diolah menjadi sosis yang merupakan salah satu produk olahan daging yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Permasalahan yang muncul adalah karena daya pembentukan gel ikan patin yang merupakan ikan air tawar lebih rendah daripada ikan air laut dan rendemen surimi yang cukup rendah, yaitu 26% dari bobot ikan utuh. Karagenan merupakan salah satu potensi alternatif yang melimpah di Indonesia, yang berfungsi sebagai bahan pengisi sekaligus pembentuk tekstur pada sosis yang belum termanfaatkan. Penelitian ini bertujuan mengoptimasi penggunaan surimi, air, karagenan, dan susu skim dalam pembuatan sosis ikan patin sehingga diperoleh respon biaya (RM cost), respon subyektif (tekstur dan rasa) serta respon obyektif (air bebas yang dikeluarkan, cooking loss, daya iris, dan kekenyalan yang optimal. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengetahui posisi produk sosis ikan patin formula optimum jika dibandingkan produk sosis ikan komersil yang berada di pasaran. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan penelitian pendukung. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk penetapan bumbu, penentuan jenis karagenan, range maksimum dan minimum surimi, air, karagenan, dan susu skim. Penelitian utama dilakukan untuk menentukan optimasi formula menggunakan program Design Expert version 7 dengan range maksimum dan minimum yang diperoleh pada penelitian pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian pendukung dengan melakukan uji proksimat, uji mikrobiologi terhadap sosis formula optimum, dan uji hedonik sosis formula optimum dengan sosis ikan komersil yang beredar di pasaran. Dilakukan perhitungan harga jual sosis ikan formula optimum secara kasar dan dibandingkan dengan harga jual sosis ikan komersil. Formula sosis ikan patin optimum yang terpilih melalui program Design Expert version 7 adalah sosis dengan komposisi surimi sebanyak 37.08%, air sebanyak 27.92%, karagenan (campuran 25% kappa-karagenan dengan 75% iotakaragenan) sebanyak 2%, dan susu skim sebanyak 5% dengan nilai desirability sebesar 0.602. Sosis formula optimum menghabiskan biaya (RM cost) sebesar Rp. 7307.93 (350 g), dengan nilai kesukaan terhadap tekstur sebesar 9.2 (berkisar antara netral hingga agak suka), nilai kesukaan terhadap rasa sebesar 9.8 (berkisar antara netral hingga agak suka), nilai air bebas yang dikeluarkan sebesar 79.55 mg H2O, nilai cooking loss sebesar 3.74%, nilai daya iris sebesar 483.0 gf, dan nilai kekenyalan sebesar 409.7 gf. Berdasarkan hasil uji hedonik, sosis ikan K1 memiliki nilai kesukaan tertinggi untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan overall, tapi tidak untuk atribut warna.
Sosis ikan K3 memiliki nilai kesukaan terendah untuk semua atribut, yaitu atribut tekstur, rasa, aroma, warna, dan overall. Secara statistik dari segi tekstur, kesukaan sosis ikan formula optimum sama dengan sosis ikan K1 dan K2. Kesukaan terhadap aroma sosis ikan formula optimum tidak berbeda dengan sosis K1 dan berada di atas sosis ikan komersil lainnya, sedangkan dari segi rasa dan overall, kesukaan terhadap sosis ikan formula optimum berada pada posisi kedua setelah sosis K1. Kesukaan terhadap warna sosis ikan formula optimum tidak berbeda dengan warna sosis ikan komersil lainnya. Secara keseluruhan jika dilihat dari segi atribut tekstur, rasa, aroma, warna, dan overall, kesukaan sosis ikan patin formula optimum berada pada kisaran antara netral hingga agak suka. Dilihat dari atribut organoleptik (tekstur, rasa, aroma, warna dan overall) maupun harga jualnya sebesar Rp. 4729.07 (100g pada skala lab), maka sosis ikan patin formula optimum cukup bersaing dengan sosis ikan komersil K1, K2, dan K3.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ni Wayan Tri Wulandhari, dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1985 sebagai anak pertama dari Bapak I Wayan Budiastra dan Ibu Ni Nyoman Suyodhari. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Polisi 4 Bogor pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Bogor dan selesai pada tahun 2000. Penulis mengikuti pendidikan tingkat menengah atas di SMU 1 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Bulan Juli 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB melalui jalur USMI. Selama masa kuliah, penulis aktif di berbagai kegiatan intra dan ekstra kampus. Penulis adalah anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Komunitas Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB (2003-2007), anggota Brahmacarya Bogor (2003-2007), Anggota Remaja Hindu Dharma (Rehida) Bogor (20052007), anggota Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia, anggota dari Music Agricultural Expression (MAX) (2005-2006). Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan diantaranya menjadi Penanggung Jawab Keluarga (PJK) Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Angkatan 41 IPB (2004), Koordinator Acara Penerimaan Anggota Baru Brahmacarya Bogor (2004), menjadi anggota Tata Tertib (Tatib) Kegiatan Pengenalan Departemen ITP kepada mahasiswa angkatan 41 (2005), Koordinator Acara Bazar yang diselenggarakan Brahmacarya Bogor (2005), anggota panitia National Student’s Paper Competition (NSPC 2006). Penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan, diantaranya adalah Konferensi Internasional IDF yang diselenggarakan FGW Student Forum for Milk and Milk Products tahun 2005, Seminar Buah Merah tahun 2005, Presenter dalam National Student’s Paper Competition (NSPC 2006), dan Pelatihan Auditor Hazzard Analytical Critical Control Point (HACCP) tahun 2006. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Kimia TPB alih semester 2005-2006 dan menjadi Administator Keuangan Sekolah Pasraman Giri
Kusuma Bogor Tahun 2005-sekarang. Tahun 2005-2007 penulis berkesempatan menerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Persembahan berupa ilmu pengetahuan lebih mulia daripada persembahan materi. Tak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menyamai kesucian ilmu pengetahuan.Walau seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan ini, lautan dosa akan engkau seberangi (Bhagawad gita IV-33, 36, 38)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas segala nikmat, kemudahan, petunjuk, dan berbagai hal yang telah dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Optimasi Formulasi Sosis Berbahan Baku Surimi Ikan Patin (Pangasius pangasius) dengan Penambahan Karagenan (Eucheuma sp.) dan Susu Skim untuk Meningkatkan Mutu Sosis. Skripsi ini penulis susun dibawah bimbingan Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si. Penulis sadar dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1. Papa, Mama, Yuko, Ayu, atas segala dukungan, kasih sayang, perhatian, dan doa kepada penulis selama ini. Penulis bersyukur telah dilahirkan dalam keluarga ini. 2. Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 3. Dr. Ir. Sukarno, M.Si selaku dosen penguji atas kesediaannya menguji, memberikan masukan, saran, dan koreksinya kepada penulis. 4. Bu Rubiyah, Pak Gatot, Mbak Ari, Mas Edi, Teh Ida, Pak Wahid, Bu Antin, Pak Sidik, Pak Rozak, Pak Sobirin, Pak Nurwanto, Bi Cacih, Pak Taufik, dan teknisi serta laboran Departemen ITP dan SEAFAST atas segala bantuan, kesediaan untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan penulis selama penelitian. 5. Bli Juli, yang telah memberikan dukungan, kasih sayang, perhatian, doa, dan bantuan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran dan kebesaran cintanya dalam menghadapi sifat ego dari penulis. 6. Sahabat-sahabat terbaikku “Genta”; Ade, Chietra, Mona, Aan, Widhi, dan Zano yang setia menemaniku dengan sabar dalam suka dan duka selama 4 tahun ini. Hidup penulis jadi lebih bermakna karena kalian. 7. Teman satu bimbingan, Fahrial yang selalu membantu dalam senyuman.
i
8. Bi Mumun, Ira, Teh Nia, Iis, Mbak Melvi, Bu Hernius, Mbah, Om Jamal, Umi Ade, yang banyak memberikan bantuan tenaga serta moril. 9. Mbak Asih, Martin, Dion, Lasty, Rina, Tathan, Kaninta, Oneth, Andrea, Rahmat, Meiko, Agnes, Fena, Dennya, Gilang, Angel, Hendi, Noor, Agus, Aji, Vina, Ari, Bos Lita, Dini, Herher, Mbak Dhani, Mbak Dorkas, Mbak Leni yang berjuang bersama-sama menyelesaikan penelitian dalam lab yang sama. 10. Teman-teman ITP 40; Idham, Tya, Jeng Yeni, Susanto, Yoga, Gading, Iin, Astuti, Helmi, Paula, Erick, Eneng, Aca, Ados, Hanifah, Mitoel, Arga, Ekus, Hayuning, Andini, yang telah memberikan dorongan dan semangat. 11. Teman-teman ITP 41; Hans, Sucen, Tomi, Yuke, Shinta, atas kesediaannya membantu menyelesaikan penelitian ini dan semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas semua kenangan indah selama ini.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR........................................................................................ i DAFTAR ISI....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... ix I.
PENDAHULUAN....................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................
1
B. TUJUAN PENELITIAN .....................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
4
A. IKAN PATIN (Pangasius pangasius) ................................................
4
B. SOSIS IKAN .......................................................................................
7
C. BAHAN-BAHAN PEMBUATAN SOSIS IKAN ..............................
10
D. KARAGENAN ...................................................................................
17
1. Karakteristik Karagenan..................................................................
17
2. Karagenan sebagai Bahan Pengisi dan Pembentuk Tekstur pada Sosis Ikan........................................................................................
23
E. SUSU SKIM......................................................................................
26
1. Karakteristik Susu Skim.................................................................
26
2. Susu Skim pada Pembuatan Sosis..................................................
28
F. MIXTURE EXPERIMENT................................................................ 28 III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................
32
A. BAHAN DAN ALAT .........................................................................
32
B. METODE PENELITIAN ....................................................................
32
1. Penelitian pendahuluan ................................................................
32
2. Penelitian Utama ..........................................................................
35
3. Penelitian Pendukung....................................................................
39
C. PROSEDUR ANALISIS..................................................................... 39 1. Analisis Proksimat........................................................................
39
a. Kadar Air dengan Metode Oven ………. ........................ 39
iii
b. Kadar Abu Total dengan Metode Pengabuan Kering ….. 40 c. Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl-mikro................. 40 d. Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet …......................... 41 e. Kadar Karbohidrat dengan Metode By Difference.……... 2. Pengukuran Daya Iris dan Kekenyalan........................................
41 41
3. Penentuan Air Bebas yang Dikeluarkan ...................................... 43 4. Penentuan Susut Masak (Cooking loss) ....................................... 44 5. Penentuan Rendemen ................................................................... 44 6. Analisis Biaya Bahan Baku.......................................................... 45 7. Analisis Mikrobiologi terhadap Total Plate Count (TPC)........... 45 8. Uji Organoleptik........................................................................... 46 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 47 A. PEMBUATAN SOSIS IKAN PATIN ................................................ 47 B. PENELITIAN PENDAHULUAN ...................................................... 53 1. Penetapan Bumbu ......................................................................... 53 2. Penentuan Batas Minimum dan Maksimum Penambahan Surimi dan Air........................................................................................... 54 3. Penentuan Perbandingan Kappa- dan Iota-Karagenan .................. 55 4. Penentuan Batas Minimum dan
Maksimum Penambahan
Karagenan ..................................................................................... 56 5. Penentuan Batas Minimum dan Maksimum Penambahan Susu Skim..............................................................................................
57
C. PENELITIAN UTAMA...................................................................... 58 1. Rancangan Formulasi....................................................................
58
2. Analisis Respon............................................................................. 59 a. Analisis Respon Biaya ............................................................. 61 b. Analisis Respon Tekstur .......................................................... 66 c. Analisis Respon Rasa ............................................................... 70 d. Analisis Respon Air Bebas yang Dikeluarkan ......................... 74 e. Analisis Respon Cooking loss .................................................. 79 f. Analisis Respon Daya Iris......................................................... 83 g. Analisis Respon Kekenyalan ................................................... 88
iv
3. Optimasi Formula..........................................................................
93
4. Uji Coba Formula Optimum .........................................................
97
D. PENELITIAN PENDUKUNG ...........................................................
98
1. Uji Proksimat dan Uji Mikrobiologi .............................................
98
2. Uji Hedonik ................................................................................... 101 a. Atribut Tekstur ......................................................................... 102 b. Atribut Rasa ............................................................................. 103 c. Atribut Aroma .......................................................................... 104 d. Atribut Warna .......................................................................... 105 e. Atribut Overall .......................................................................... 106 3. Perkiraan Harga Jual Sosis Formula Optimum................................ 107 V.
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 110 A. KESIMPULAN ................................................................................... 110 B. SARAN ............................................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 112 LAMPIRAN....................................................................................................... 119
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Komposisi kimia ikan patin.............................................................
6
Tabel 2.
Penggolongan ikan berdasarkan kandungan protein dan lemak......
6
Tabel 3.
Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995....................
8
Tabel 4.
Syarat mutu karagenan.....................................................................
18
Tabel 5.
Sifat-sifat karagenan........................................................................
20
Tabel 6.
Kandungan protein pada susu skim.................................................
27
Tabel 7.
Nilai gizi susu skim..........................................................................
27
Tabel 8.
Formulasi bumbu.............................................................................
33
Tabel 9.
Formula sosis dengan variasi persentase surimi dan air..................
33
Tabel 10. Formulasi perbandingan kappa- dan iota-karagenan......................
34
Tabel 11. Setting kondisi pengukuran daya iris dan kekenyalan pada Texture Analyzer TA-XT2i...........................................................................
42
Tabel 12. Rendemen surimi.............................................................................
48
Tabel 13. Hasil keseluruhan respon (biaya, tekstur, rasa, WHC, cooking loss, daya iris, kekenyalan) pada 19 formula..................................
60
Tabel 14. Harga bahan baku sosis ikan patin………………………………...
62
Tabel 15. Nilai respon yang diprediksikan program Design Expert version 7
98
Tabel 16. Hasil analisis proksimat dan uji TPC sosis formula optimum.........
99
Tabel 17. Rincian biaya pembuatan sosis ikan patin formula optimum.......... 108 Tabel 18. Perbandingan harga jual sosis formula optimum dengan sosis ikan komersil ................................................................................... 109
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ikan patin (Pangasius pangasius).................................................
4
Gambar 2. Struktur Struktur kappa-, iota-, dan lambda-karagenan (Imeson, 2000)…………………………………………………..
19
Gambar 3. Diagram alir pembuatan surimi (modifikasi dari Erdiansyah, 2006) …………………………………………………………… Gambar 4. Diagram alir pembuatan sosis ikan patin (modifikasi
37
dari
Erdiansyah, 2006)……………………………………………….
38
Gambar 5. Probe pisau dan probe tumpul......................................................
43
Gambar 6. Grafik pengukuran daya iris dan kekenyalan dengan Texture Analyzer TA-XT2i........................................................................
43
Gambar 7. Uji hedonik terhadap parameter rasa pada variasi persentase bumbu............................................................................................
54
Gambar 8. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi persentase surimi dan air............................................................... Gambar 9. Uji
hedonik
terhadap
parameter
tekstur
pada
55
variasi
perbandingan jenis karagenan.....................................................
56
Gambar 10. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi persentase karagenan.....................................................................
57
Gambar 11. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi persentase susu skim.....................................................................
58
Gambar 12. Grafik kenormalan Internally Student Residual respon biaya (RM cost)………………………………………………………...
64
Gambar 13. Grafik countour plot hasil uji respon biaya (RM cost)…………..
65
Gambar 14. Grafik tiga dimensi hasil uji respon biaya (RM cost)……………
65
Gambar 15. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon tekstur………………………………………………………...
68
Gambar 16. Grafik countour plot hasil uji respon tekstur……………………
69
Gambar 17. Grafik tiga dimensi hasil uji respon tekstur……………………..
69
Gambar 18. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon rasa..
72
Gambar 19. Grafik countour plot hasil uji respon rasa……………………….
73
vii
Gambar 20. Grafik tiga dimensi hasil uji respon rasa…………………...........
73
Gambar 21. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon air bebas yang dikeluarkan ...……………………………………….
77
Gambar 22. Grafik countour plot hasil uji respon air bebas yang dikeluarkan
78
Gambar 23. Grafik tiga dimensi hasil uji respon air bebas yang dikeluarkan..
78
Gambar 24. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon cooking loss……………………………………………………...
82
Gambar 25. Grafik countour plot hasil uji respon cooking loss……………...
82
Gambar 26. Grafik tiga dimensi hasil uji respon cooking loss……………….
83
Gambar 27. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon daya iris………………………………………………………………..
86
Gambar 28. Grafik countour plot hasil uji respon daya iris………………….
87
Gambar 29. Grafik tiga dimensi hasil uji respon daya iris…………………...
88
Gambar 30. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon kekenyalan………………………………………………………
91
Gambar 31. Grafik countour plot hasil uji respon kekenyalan……………….
92
Gambar 32. Grafik tiga dimensi hasil uji respon kekenyalan...........................
92
Gambar 33. Grafik countour plot desirability formula optimum…………….
96
Gambar 34. Grafik tiga dimensi desirability formula optimum.......................
97
Gambar 35. Sosis ikan patin formula optimum (O) dengan sosis ikan komersil (K1, K2, K3).................................................................. 101 Gambar 36. Hasil uji hedonik sosis formula optimum dan
komersil untuk
atribut tekstur................................................................................ 102 Gambar 37. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut rasa................................................................................................ 103 Gambar 38. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut aroma............................................................................................. 104 Gambar 39. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut warna............................................................................................. 105 Gambar 40. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut overall........................................................................................... 106
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil uji hedonik pada penetapan bumbu..................................... 119 Lampiran 2. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum penambahan surimi dan air........................................... 119 Lampiran 3. Skor kesukaan pada penetapan perbandingan jenis karagenan..... 119 Lampiran 4. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum penambahan karagenan................................................ 120 Lampiran 5. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum susu skim...................................................................... 120 Lampiran 6. Hasil perhitungan rendemen surimi ikan patin............................. 120 Lampiran 7. Hasil uji proksimat dan uji mikrobiologi sosis formula optimum 120 Lampiran 8. Fits summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon biaya (RM cost)............................................................................. 121 Lampiran 9. Fits summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon tekstur............................................................................................ 122 Lampiran 10. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon rasa respon rasa..................................................................................... 123 Lampiran 11. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon air bebas yang dikeluarkan................................................................. 124 Lampiran 12. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon cooking loss................................................................................... 125 Lampiran 13. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon daya iris.................................................................................................. 126 Lampiran 14. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon kekenyalan.................................................................................... 127 Lampiran 15. Numerical optimation sosis formula optimum………………….. 128 Lampiran 16. Point Prediction sosis formula optimum……………………….. 129 Lampiran 17. Form uji hedonik sosis ikan patin pada tahap optimasi................ 130 Lampiran 18. Form uji hedonik sosis ikan formula optimum dengan sosis ikan komersil untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan warna ....
131
ix
Lampiran 19. Form uji hedonik sosis ikan formula optimum dengan sosis ikan komersil untuk atribut overall.....................................................
132
Lampiran 20. Hasil uji hedonik sosis formula optimum dan sosis K1 untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan warna......................................... 133 Lampiran 21. Hasil uji hedonik sosis K2 dan sosis K3 untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan warna.................................................................. 134 Lampiran 22. Hasil uji hedonik atribut overall sosis optimum, sosis K1, sosis K2, dan sosis K3........................................................................... 135 Lampiran 23. Tabel ANOVA untuk atribut tekstur……………………………. 136 Lampiran 24. Tabel ANOVA untuk atribut rasa………………………………. 137 Lampiran 25. Tabel ANOVA untuk atribut aroma…………………………….. 138 Lampiran 26. Tabel ANOVA untuk atribut warna…………………………….. 139 Lampiran 27. Tabel ANOVA untuk atribut overall…………………………… 140
x
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia adalah negara kepulauan dengan potensi perikanan yang yang cukup besar. Budidaya ikan air tawar, terutama ikan patin termasuk salah satu diantara sekian banyak potensi perikanan di Indonesia yang menyumbang produksi ikan yang cukup besar. Produksi total perikanan budidaya secara nasional pada 2004 mencapai 1.48 juta ton, di mana produksi ikan patin di Indonesia pada tahun 2004 sebesar 24000 ton dari total produksi perikanan budidaya air tawar yang mencapai 488000 ton (Anonim, 2006 (c)). Ikan patin merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidayakan sepanjang aliran sungai, danau dan perairan umum lainnya di Indonesia dan banyak di jumpai di daerah Jambi, Riau dan Sumatera Selatan. Dari hasil evaluasi di lapangan menunjukan bahwa ikan ini mempunyai karakter yang menguntungkan untuk budidaya dan bisa mencapai ukuran yang lebih besar dari 20 kg bobot badan. Oleh karenanya ikan patin mulai diproduksi massal sejak tahun 2002 sehingga budidaya patin jambal dapat dijadikan alternatif komoditi air tawar untuk di masa mendatang. Secara teknis pemeliharaan ikan ini tidak sulit, sehingga dapat dibudidayakan semua orang (Anonim, 2006 (b)). Namun, produk yang melimpah ternyata belum dikelola dengan baik. Justru kecendrungan persaingannya makin ketat yang juga makin tak sehat karena segmen pasar ikan segar amat terbatas. Padahal, potensi perikanan budidaya maupun perikanan tangkap di Riau hingga saat ini baru dimanfaatkan sekitar 20 persen. Selama ini hasil budidaya ikan patin hanya dipasarkan di kota-kota di Riau dan terjauh hanya sampai Provinsi Jambi. Ikan patin dipasarkan berupa ikan segar sehingga daya tahan fisiknya amat terbatas (Anonim, 2006 (b)). Pemilihan pengolahan ikan patin menjadi produk sosis karena sosis merupakan salah satu produk olahan daging yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sosis merupakan produk olahan daging yang digiling atau dihaluskan kemudian dibungkus dengan casing (Pearson dan Tauber,
1
1984). Sosis yang digemari oleh masyarakat Indonesia adalah sosis segar yang dimasak (digoreng) dan disajikan panas sebelum dikonsumsi. Sayangnya karakteristik daging ikan berbeda dengan daging sapi maupun daging ayam. Daging ikan memiliki tekstur yang lebih lembut sehingga sosis yang dihasilkan pun berbeda daripada sosis yang dikenal masyarakat. Ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sosis yang baik. Sosis umumnya memiliki memiliki tekstur kenyal, cooking lost rendah, WHC yang tinggi sehingga memiliki juiceness yang baik, daya irisnya baik, dan memiliki rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan paling penting bagi konsumen dan dicari walaupun mengorbankan cita rasa, flavor, atau warna (Lawrie, 1961). Karagenan merupakan salah satu potensi alternatif bahan pengisi sekaligus pembentuk tekstur pada sosis yang belum termanfaatkan. Karagenan adalah polisakarida berantai lurus yang diekstrak dari berbagai rumput laut merah (Rhodophycae). Jenis Rhodophycae yang umum digunakan dalam produksi komersial karagenan adalah Eucheuma sp. termasuk Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum (Imeson, 2000). Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas dengan potensi pertumbuhan rumput laut yang cukup besar. Daerah-daerah yang berpotensi menghasilkan rumput laut adalah Kepulauan Seribu, perairan pantai di Kepulauan Riau, Bengkulu, Bangka, Sumatera Barat, Kepulauan Sulawesi tenggara, Bali Selatan dan Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Maluku, Lombok dan Irian (Darmajana et al., 2007). Produksi rumput laut di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 1.07 juta ton (Anonim, 2007 (c)). Rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis Eucheuma cottoni yang merupakan penghasil karagenan (Atmadja, 1988 yang dikutip Herminiati et al. 2007). Oleh karena itu, karagenan dapat diperoleh dalam jumlah melimpah dengan harga murah. Karagenan banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan, minuman, farmasi, keramik, tekstil, dan kosmetik (Herminiati et al., 2007). Selain karena harganya yang murah, hanya dibutuhkan penambahan
2
yang sedikit untuk memperoleh efek yang besar sebagai bahan pengental maupun pembentuk gel (Nussinovitch, 1997). Karagenan memiliki sifat yang unik, yaitu dapat membentuk gel yang baik bila berinteraksi dengan ion K+ dan Ca2+ sehingga banyak digunakan sebagai pengental, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi dan penstabil pada berbagai makanan dan minuman, termasuk produk olahan daging (Imeson, 2000). Pemilihan karagenan sebagai bahan pengisi sosis ikan patin dirasa tepat karena secara alami, ikan patin tersebut memiliki kandungan K+ dan Ca2+ yang cukup bagi karagenan untuk membentuk gel (Depkes RI, 2001). Penambahan susu skim dapat lebih memperkuat pembentukan gel sekaligus dapat meningkatkan nilai gizi, kehalusan, dan flavor dari sosis karena kandungan laktosa dalam susu bubuk skim dapat memperbaiki dan melengkapi aroma dari sosis sedangkan protein kasein dan albumin dari susu bubuk skim dapat meningkatkan nilai gizi dan aroma sosis (Karmas, 1976). Jenis karagenan yang digunakan pada penelitian ini adalah dari golongan Eucheuma sp. yaitu kappa-karagenan dan iota-karagenan. Iota-karagenan bereaksi secara kuat dengan adanya kation kalsium membentuk gel elastis yang lunak dan tidak mengalami sineresis sedangkan kappa-karagenan dapat mengembang bila bereaksi dengan ion Ca2+
dan K+ (Fardiaz, 1989).
Pemanfaatan sifat pengembangan ini dapat mengefisienkan penggunaan bahan baku ikan sehingga dapat mengurangi cost industri sekaligus meningkatkan mutu fisik dan mutu organoleptiknya.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengoptimasi penggunaan surimi, air, karagenan, dan susu skim dalam pembuatan sosis ikan patin sehingga diperoleh respon biaya (RM cost), respon subyektif (tekstur dan rasa), respon obyektif (air bebas yang dikeluarkan, cooking loss, daya iris, dan kekenyalan) yang optimal, serta mengetahui posisi produk formula optimum jika dibandingkan produk sosis ikan komersil.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. IKAN PATIN (Pangasius pangasius) Ikan patin merupakan ikan berkumis air tawar yang terdapat di seluruh Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm, suatu ukuran yang cukup besar untuk ukuran ikan air tawar domestik. Kepala patin relatif kecil dengan mulut terletak agak di sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan golongan catfish atau keluarga lele. Pada sudut mulutnya terdapat terdapat dua pasang sungut yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri, 1996).
Gambar 1. Ikan patin (Pangasius pangasius) Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara itu, jari-jari lunak sirip punggung terdapat enam atau tujuh buah. Terdapat sirip lemak pada punggungnya yang berukuran sangat kecil. Sirip ekornya berbentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak memiliki sisik. Sirip duburnya panjang, terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jarijari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal sebagai patil (Susanto dan Amri, 1996).
4
Menurut Susanto dan Amri (1996), ikan patin bersifat nokturnal (melakukan aktivitas di malam hari hari) sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Selain itu, ikan patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya. Hal yang membedakan patin dengan ikan catfish pada umumnya yaitu sifat patin yang termasuk omnivora atau golongan ikan pemakan segala. Di alam, makanan ikan ini antara lain ikan-ikan kecil lainnya, cacing, detrifus, serangga, biji-bijian, udang-udang kecil, dan molusca. Ikan patin termasuk ikan dasar. Hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah. Klasifikasi dan identifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phyllum
: Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Siluroidea
Famili
: Pangasidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius pangasius
Habitat dari ikan patin ini adalah di sungai-sungai besar dan muaramuara sungai yang tersebar di Indonesia, India, dan Myanmar. Menurut Khairuman dan Sudenda (2002), di Indonesia saat ini sedikitnya terdapat dua jenis ikan patin yang populer dan banyak dipelihara di kolam budidaya, yaitu patin lokal (Pangasius pangasius) dan patin siam (Pangasius hypotalamus). Patin lokal terdiri atas patin jambal (Pangasius djambal Bleeker) dan patin kunyit (ditemukan di sungai-sungai besar Riau). Komposisi kimia ikan bervariasi tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur, musim penangkapan, kondisi ikan, dan habitat (Zaitsev et al.,1969). Komposisi kimia ikan patin per 100 gram daging ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
5
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan protein ikan patin sebesar 17% dan kandungan lemaknya 6.6%. Bila dilihat dari kandungan komposisi protein dan lemaknya, ikan patin tergolong ikan berprotein tinggi dan berlemak sedang. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan protein dan lemaknya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi kimia ikan patin Komposisi Kimia
%bb
Air
74.4
Protein
17
Lemak
6.6
Abu
0.9
Sumber : Depkes RI, 2001
Tabel 2. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan protein dan lemak Tipe
Lemak (%) <5
Jenis ikan
A. Protein tinggi, lemak rendah
Protein (%) 15-20
B. Protein tinggi, lemak sedang
15-20
5-15
Salmon
C. Protein rendah, lemak tinggi
<5
>15
Trout
D. Protein sangat tinggi, lemak rendah
>20
<5
Tuna
E. Protein rendah, lemak rendah
<15
<5
Oyster
Cod
Sumber : Junianto, 2003
Daging ikan patin memiliki karakteristik rasa yang sangat khas. Dari semua jenis ikan keluarga lele-lelean, rasa daging patin termasuk yang paling enak, sangat gurih, dan lezat sehingga digemari olah masyarakat. Penyebaran konsumen penggemar daging patin tidak hanya sebatas di Indonesia saja tetapi sudah sampai ke negara-negara Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia, sehingga ikan ini berpeluang untuk diekspor (Khairuman dan Sudenda, 2002). Selama ini, untuk memenuhi permintaan konsumen di luar negeri hanya dipenuhi dari pasokan produksi peternak patin di Vietnam, yang memasoknya
6
dalam bentuk fillet (Khairuman dan Sudenda, 2002). Dengan menerapkan teknologi pengolahan pangan yang kita miliki, peluang tersebut dapat kita manfaatkan, tidak hanya dalam bentuk fillet, tetapi juga dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya.
B. SOSIS IKAN Sosis atau sausage awalnya berasal dari kata Latin ”salsus” yang berarti menggiling dengan garam. Istilah tersebut sesuai dengan tujuan awal pembuatan sosis yaitu untuk mengawetkan daging segar. Sosis adalah daging cincang atau daging giling yang diberikan sedikit pengawet berupa garam lalu ditambahkan bahan-bahan lainnya seperti bumbu-bumbu, bahan pengikat, dan air yang kemudian dibentuk dengan ukuran yang sama dengan menggunakan casing sehingga membentuk silinder (Bull, 1951). Menurut Kramlich et al.(1973) sosis adalah produk daging olahan yang diberi garam dan kadang-kadang ditambahkan bumbu. Menurut Bukle et al. (1987) sosis adalah bahan pangan yang berasal dari potongan kecil-kecil daging yang digiling dan diberi bumbu, yang dapat langsung disiapkan dan segera dimasak untuk dimakan. Menurut BSN (1995), yang dimaksud dengan sosis daging adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis. Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 dapat dilihat pada Tabel 3. Sosis dapat dibuat dari berbagai macam daging, antara lain daging sapi, babi, dan ayam (Pawitan, 1974), ikan tongkol (Ismargini, 1975), ikan cucut (Effie, 1980) yang digiling, ditambah lemak, air, dan bumbu sehingga membentuk emulsi sosis. Hampir semua jenis ikan dapat dibuat sosis. Ikanikan ini dipilih karena kemampuannya untuk dijadikan sosis dan jumlahnya yang banyak. Daging ikan yang biasa digunakan berbentuk lempengan atau lembaran yang biasa disebut fillet, daging lumat, dan surimi (Erdiansyah, 2006). Sosis yang dibuat pada penelitian ini adalah sosis ikan yang terbuat dari bahan baku surimi ikan patin.
7
Tabel 3. Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 No.
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
1
Keadaan :
1.1
Bau
-
Normal
1.2
Rasa
-
Normal
1.3
Warna
-
Normal
1.4
Tekstur
-
Bulat panjang
2
Air
%b/b
Maks 67.0
3
Abu
%b/b
Maks 3.0
4
Protein
%b/b
Min 13.0
5
Lemak
%b/b
Maks 25.0
6
Karbohidrat
%b/b
Maks 8
7
Bahan tambahan makanan
7.1
Pewarna
7.2
Pengawet
8
Cemaran logam :
8.1
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 2.0
8.2
Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks 20.0
8.3
Seng (Zn)
mg/kg
Maks 40.0
8.4
Timah (Sn)
mg/kg
Maks 40.0
8.5
Raksa (Hg)
mg/kg
Maks 0.03
9
Cemaran arsen (As)
mg/kg
Maks 0.1
10
Cemaran mikroba :
10.1
Angka total lempeng
koloni/g
Maks 105
10.2
Bakteri pembentuk koli
APM/g
Maks 10
10.3
Eschericia coli
APM/g
<3
10.4
Enterococci
Koloni/g
102
10.5
Clostridium perfringens
-
Negatif
10.6
Salmonella
-
Negatif
10.7
Staphilococcus aureus
Sesuai dengan SNI 01-02221995
Koloni/g
Maks 102
Sumber : BSN, 1995
8
Menurut Departemen Pertanian dan Kehutanan Jepang, yang disebut sosis ikan adalah daging ikan giling atau campuran daging ikan giling dengan daging babi, sapi, domba, kuda, kelinci, atau ayam, dengan penambahan lemak, bumbu, pati, dimasukkan ke dalam casing kemudian dikukus atau direbus, dapat diasap atau tidak diasap (Tanikawa, 1971). Soeparno (1994) membagi sosis menjadi beberapa jenis, yaitu (1) sosis segar
yang
dibuat
daging
segar,
tidak
dikuring
(tidak
dilakukan
penggaraman), dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbubumbu, dimasukkan dan dipadatkan di dalam selongsong serta harus dimasak sebelum dimakan, (2) sosis masak yang dibuat dari daging segar, bisa dikuring atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap, dan setelah dibuat harus segera dimakan, (3) sosis spesialis daging masak yang dibuat dari daging khusus, dikuring atau tidak dikuring, dimasak dan jarang diasap, sering dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf, dan biasa dijual dalam bentuk irisan-irisan yang dipak atau dibungkus, dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin, (4) sosis kering dan agak kering yang dibuat dari daging yang dikuring dan dikeringkan udara, dapat diasap sebelum pengeringan, serta dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setelah masak. Menurut Taylor (2002) yang dikutip Erdiansyah (2006) sosis ikan dibuat menyerupai pembuatan sosis yang terbuat dari daging. Pada dasarnya pencampuran daging ikan yang didapat dari lembaran fillet ikan, ditambahkan dengan bumbu dan bahan-bahan aditif ke dalam casingnya. Sosis merupakan salah satu produk emulsi minyak dalam air (o/w) dengan protein sebagai emulsifier. Pada suatu emulsi, biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir lemak, bagian kedua disebut media pendispersi yang dikenal sebagai continous phase, biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Molekul-molekul emulsifier mempunyai afinitas terhadap kedua cairan tersebut. Daya afinitasnya harus parsial dan tidak sama terhadap kedua cairan tersebut (Winarno, 1979).
9
Pada sistem emulsi daging ikan, protein yang paling berperan sebagai emulsifier adalah protein larut garam dan protein larut air. Protein yang larut garam pada daging ikan adalah protein miofibril yang terdiri atas protein struktural (aktin, miosin, dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin, tropomiosin, dan aktinin). Protein miofibril merupakan bagian terbesar protein ikan yaitu sekitar 66-77% dari total protein ikan dan bila dibandingkan daging mamalia dan unggas, daging ikan mengandung protein miofibril yang terbanyak. Miofibril ini sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan (Suzuki, 1981). Sedangkan menurut Suzuki (1981), protein yang larut air adalah sarkoplasma yang mengandung miogen. Kandungan protein sarkoplasma pada ikan tergantung pada jenis ikan dan biasanya terdapat dalam jumlah sekitar 10% dari total protein ikan. Protein ini harus dihilangkan karena dapat menghambat pembentukan gel. Setiap globula lemak dalam emulsi daging diselimuti protein daging yang terlarut. Protein akan membentuk suatu matriks yang menyelubungi butiran lemak sehingga globula lemak tidak mudah terpisah dari sistem (Wilson et al., 1981).
C. BAHAN-BAHAN PEMBUATAN SOSIS IKAN PATIN Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan adalah daging ikan patin, es batu, garam, lemak nabati, bahan pengikat (isolat protein kedelai, susu skim), bahan pengisi (tepung tapioka, tepung kappa- dan iotakaragenan), fosfat (STPP), bumbu-bumbu (bawang putih, bawang merah, jahe, pala, merica, dan MSG) dan casing. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan adalah daging ikan. Berbagai ikan tuna banyak digunakan karena warna dagingnya yang tetap bertahan pada produk akhir (Suzuki, 1981). Tapi sayangnya ikan tuna relatif mahal sehingga pembuatannya dapat menghabiskan banyak cost. Sebagai pengganti tuna, dapat digunakan ikan patin yang tersedia cukup melimpah dengan harga terjangkau dan memiliki rasa daging yang enak, gurih, dan lezat. Bagian ikan yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah
10
daging ikan putih yang telah dipisahkan dan dibersihkan dari kepala, kotoran, sirip, dan tulang (Erdiansyah, 2006). Daging ikan merupakan bahan utama dalam pembuatan sosis sehingga peranannya sangat menentukan produk sosis yang dihasilkan. Protein daging ikan yang larut dalam larutan garam (protein miofibril) lebih berperan dalam pembentukan emulsi dibandingkan protein yang larut dalam air murni. Pembuatan sosis ikan didahului pembuatan surimi yang merupakan produk antara yang kemudian akan diolah lebih lanjut menjadi sosis ikan. Menurut BSN (1992), surimi adalah produk olahan perikanan berupa sayatan daging ikan yang telah mengalami proses pencucian (leaching), pengurangan kandungan air, penambanahan bahan tambahan, dan umumnya mengalami proses pengepakan, pembekuan, dan penyimpanan beku. Menurut Suzuki (1981) , surimi merupakan produk olahan yang terbuat dari daging ikan lumat yang telah diekstrak dengan air dan diberi bahan anti denaturasi, lalu dibekukan. Surimi dapat dibuat dengan menggunakan bahan mentah hampir dari semua jenis ikan, sehingga sangat bermanfaat dalam pengolahan ikanikan bernilai ekonomi rendah (Koswara, 2006). Surimi merupakan produk antara atau bahan baku untuk pembuatan produk selanjutnya, antara lain bakso, sosis, kamaboko, ham ikan, “chikuwa”, “fish stick”, “agemono”, “detemaki”, dan beberapa produk imitasi seperti telur, kaki atau daging kepiting, udang, daging kerang, daging sapi dan lainlain (Koswara, 2006). Sebagai bahan penyusun produk olahan, surimi merupakan sumber protein bernutrisi yang berkualitas dan sangat fungsional (Lee et al.,
1988). Surimi juga merupakan sumber protein yang murah
(Anonim, 2006 (a)). Menurut Suzuki (1981), ada dua tipe surimi yang biasa dibuat, yaitu surimi yang dibuat tanpa penambahan garam (mu-en surimi) dan surimi yang dibuat dengan penambahan garam (ka-en surimi). Pembuatan surimi terlebih dahulu sebelum diolah menjadi sosis ikan sangat penting karena mampu menekan cooking loss hingga 0.21-0.27%, meningkatkan nilai kekerasan hingga 17.89-16.53%, dan meningkatkan nilai kekenyalan hingga 15.27-15.42%. Bahkan setelah surimi mengalami penyimpanan beku sampai 60 hari, masih mampu mempertahankan nilai cooking loss, kekerasan, dan
11
kekenyalan, yang tidak dapat dipertahankan oleh fillet dan daging giling (Erdiansyah, 2006). Surimi yang dikehendaki adalah yang berwarna putih, mempunyai flavor (cita rasa) yang baik dan berelastisitas tinggi (Koswara, 2006). Kemampuan pembentukan gel dari ikan merupakan sifat yang paling penting dalam pemilihan bahan baku surimi (Claus et al., 1994). Meskipun semua jenis ikan dapat diolah menjadi surimi, tetapi ada beberapa syarat bahan baku ikan yang disarankan, yaitu hidup diperairan dingin, ikan demersal lebih baik digunakan, dan ikan air tawar pada umumnya tidak sesuai untuk dibuat surimi, dan lebih baik jika digunakan daging putih ikan (Koswara, 2006). Selain itu makin segar ikan yang digunakan, elastisitas teksturnya makin tinggi. Nilai pH ikan yang terbaik untuk surimi adalah 6.5 – 7.0 dan sebaiknya ikan tersebut berlemak rendah. Untuk ikan yang berlemak tinggi, lemak tersebut harus diekstrak atau dikeluarkan lebih dulu karena akan berpengaruh terhadap daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah tengik (Koswara, 2006 ). Hasil-hasil
perikanan
mudah
mengalami
kerusakan
disebabkan
terjadinya autolisis dan akibat adanya pertumbuhan mikroba. Aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya menurun. Penggunaan suhu rendah dapat digunakan untuk mempertahankan kesegaran serta mempertahankan sifat-sifat asli dari ikan (Hadiwiyoto, 1993). Oleh karena itu, surimi yang juga merupakan hasil olahan produk perikanan perlu dilakukan penyimpanan suhu rendah untuk menjaga kesegaran, terutama untuk surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk akhir. Surimi yang tidak langsung diolah dan mengalami penyimpanan beku yang lama, protein miofibrilarnya mudah terdenaturasi yang menyebabkan kerusakan kemampuan gel. Maka dari itu perlu ditambahkan bahan antidenaturasi
(kryoprotektan).
Umumnya
bahan
antidenaturasi
yang
digunakan pada pembuatan surimi yang cukup lama disimpan untuk diolah menjadi sosis berupa sukrosa, sorbitol, dan polifosfat. Penambahan sukrosa dan sorbitol dapat mencegah terjadinya denaturasi protein. Pemberian
12
polifosfat berfungsi mengurangi drip, mengurangi penyusutan pemasakan dan menstabilkan emulsi. Jumlah bahan antidenaturasi yang biasa ditambahkan adalah 4-5% sorbitol, 4-5% sukrosa, dan 0.2-0.3% Na-Polifosfat (Suzuki, 1981). Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan adalah garam. Garam merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan sosis untuk menghasilkan emulsi, di mana protein daging berupa miosin dilarutkan dan dikeluarkan dari serat-serat daging sehingga dapat mempertinggi daya ikat pertikel daging. Menurut Wilson et al. (1981), larutan garam mempercepat kelarutan protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya. Tanpa penambahan garam, tidak akan terbentuk emulsi sosis dan biasanya sosis mengandung garam 1-5% atau 3% (Kramlich, 1971). Garam pada konsentrasi yang cukup juga bersifat sebagai pengawet, membentuk tekstur produk, menambah cita rasa dan flavour yang diinginkan (Soeparno, 1994). Air merupakan salah satu komponen dalam pembuatan sosis dengan kandungan sekitar 45-55% dari berat total sosis, tergantung jumlah cairan yang ditambahkan dan macam daging (Soeparno, 1994). Penambahan air atau es berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Selain itu, air atau es juga berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga dihasilkan emulsi yang stabil (Lawrie, 1961). Protein miosin ini hanya dapat larut pada suhu 4-5 oC sehingga sangat penting menggunakan air dingin atau air es (Kramlich et al., 1973) . Air atau es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu dan garam sehingga dapat tersebar lebih merata. Air akan banyak mempengaruhi tekstur produk, keawetan, dan penampakan (Winarno, 1979). Penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan membentuk sosis yang kompak, meningkatkan keempukan sosis, melembutkan tekstur sosis dan meningkatkan flavor. Menurut Swift et al. (1968) yang dikutip Hapsari (2002) penambahan lemak secara perlahan-lahan dapat memperbaiki stabilitas emulsi yang dihasilkan. Minyak nabati maupun minyak hewani dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis. Lemak nabati lebih mudah membentuk
13
emulsi daripada lemak hewani karena lemak nabati lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (oleat, linoleat) daripada lemak hewani. Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang. Lemak yang terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang tidak enak dengan permukaan sosis menjadi keriput setelah dimasak karena sebagian lemak terpisah dari emulsi sedangkan penggunaan lemak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering. Menurut Romans et al. (1994), jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganannya, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% bobot daging. Penambahan lemak untuk pembuatan sosis ikan ratarata 5 % (Amano, 1965) sedangkan menurut Tanikawa (1971) lemak yang dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan antara 7-10 %. Menurut penelitian Hapsari (2002), penggunaan kadar minyak nabati (10%, 15%, 20%) pada sosis ikan patin berpengaruh nyata terhadap warna dan rasa sosis tapi tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur dan aroma. Sosis patin terbaik menurut penilaian panelis adalah sosis patin dengan kadar minyak 15%. Karena biasanya daging ikan yang digunakan untuk membuat sosis ikan pada umumnya daging kurus yang mempunyai kandungan lemak rendah maka lemak biasa ditambahkan ke dalam emulsi daging (Amano, 1965). Penahanan lemak selama sosis dimasak tergantung dari komposisi sosis dan cara pembuatannya dan bukan akibat dari fosfat yang ditambahkan (Sherman, 1961 yang dikutip Effie, 1980). Penambahan minyak ke dalam pasta ikan akan menurunkan elastisitas pasta ikan (Tanikawa, 1971) dan juga dapat menurunkan elastisitas sosis ikan yang dihasilkan. Maksud penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi dalam pembuatan sosis adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya ikat air, meningkatkan flavor, mengurangi pengerutan selama pemasakan, meningkatkan karakteristik irisan produk, dan mengurangi biaya produksi (Kramlich et al., 1973). Bahan pengisi yang biasa digunakan adalah tepung tapioka, tepung jagung, tepung terigu, dan tepung beras sedangkan bahan pengikat yang biasa digunakan adalah kasein, albumin, susu skim, dan tepung kedelai (Wilson, 1960). Menurut Kramlich (1971), perbedaan antara
14
bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada kemampuannya mengemulsi lemak. Bahan pengikat mengandung protein lebih besar dibandingkan dengan bahan pengisi yang mengandung lebih banyak kerbohidrat. Bahan pengisi berfungsi sebagai pengisi ruang antar globula lemak sehingga sistem emulsi akan menjadi lebih stabil. Bahan pengisi ini dalam proses gelatinisasi dapat mengikat lebih banyak air, sedangkan air dapat membantu melarutkan garam dan meningkatkan jumlah protein yang terekstrak. Dengan demikian, produk yang dihasilkan akan menjadi tampak lebih berisi, bertekstur baik, dan menarik perhatian konsumen (Soeparno, 1994). Menurut Kramlich (1971) bahan pengikat dapat diklasifikasikan menurut asalnya, yaitu dari hewan serta dan tumbuhan. Bahan pengikat dari hewan antara lain susu bubuk tanpa lemak (skim), susu bubuk tanpa lemak tapi kalsiumnya dikurangi, sodium caseinat, tepung darah sedangkan bahan pengikat yang berasal dari tumbuhan biasanya adalah produk olahan kedelai. Menurut Soeparno (1994), produk-produk olahan kedelai tersebut terdapat dalam bentuk tepung kedelai, konsentrat protein, atau protein isolat. Bahan pengikat ini mengandung protein yang tinggi. Jumlah protein yang tinggi ini dapat menstabilkan emulsi sosis yang terbentuk. Pemilihan bahan pengikat dan pengisi yang digunakan dilakukan berdasarkan daya serap yang baik terhadap air, rasanya yang enak, pembentukan warna yang baik, dan harga yang relatif murah (Wilson, 1960). Penambahan bahan pengisi dalam pembuatan sosis ikan sebanyak 10 % (Tanikawa, 1971) dan menurut Amano (1965) sebanyak 5-10 %. Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan dalam pembuatan sosis. Tapioka sering digunakan dalam pembuatan sosis karena di samping harganya yang murah juga memberikan citarasa netral serta warna terang pada produk sosis (Radley, 1976). Menurut Hermawan (2002), berdasarkan uji oeganoleptik, penambahan tepung tapioka sebanyak 5-10% tidak berpengaruh nyata terhadap semua karakteristik penampakan, warna, tekstur, aroma, dan rasa dari produk kamaboko ikan lele dumbo. Menurut Khafidhin (2003), perlakuan penambahan tepung tapioka pada konsentrasi
15
0%, 2.5%, 5%, 7.5%, dan 10% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kekenyalan gel kamaboko ikan tambakan. Menurut Anggraini (2002), semakin tinggi konsentrasi tapioka yang ditambahkan belum tentu meningkatkan kekenyalan gel kamaboko. Baik perlakuan setting, konsentrasi tepung tapioka (0%, 5%, 15%) dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekenyalan produk kamaboko ikan bawal air tawar. Keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati tidak meningkatkan elestisistas gel (Niwa, 1992). Polifosfat (STPP) berfungsi memperbaiki stabilitas warna, mengurangi kehilangan cairan selama pemasakan, mengurangi waktu pemasakan, melarutkan protein larut garam sehingga memperbaiki sifat emulsifikasi, meningkatkan water holding capacity (WHC), dan memperbaiki pengikatan protein ketika pemanasan. Penambahan polifosfat pada gel ikan mentah bertujuan memperbaiki kekenyalan pada produk akhir. Konsentrasi polifosfat sebesar 0.2-0.5% dari berat daging ikan cukup efektif dalam memberikan efek terhadap tekstur sosis ikan (Amano, 1965). Polifosfat jika ditambahkan pada produk sosis akan meningkatkan daya ikat air dan daya ikat lemak dari gel yang terbentuk (Schmidt, 1988 yang dikutip Nussinovitch, 1997). Pengaruh penambahan polifosfat ini bervariasi tergantung pada suhu pemasakan. Kekenyalan meningkat bila suhu pemasakan di bawah 80oC dan menurun tajam pada suhu pemasakan 90oC akibat denaturasi protein daging pada suhu yang lebih tinggi (Amano, 1965). Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis dimaksudkan untuk menambah cita rasa sesuai selera konsumen. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah merica, bawang putih, bawang merah, pala, jahe, dan MSG. Menurut Soeparno (1994), penambahan bahan penyedap dan bumbu, terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan rasa, karena bahan penyedap dapat meningkatkan dan memodifikasi flavour yang berbeda. Beberapa bumbu ini bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba merugikan.
16
Casing berfungsi sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan bentuk dan ukuran sosis. Karakteristik casing akan berpengaruh terhadap kualitas sosis yang dihasilkan. Casing yang umum digunakan dalam industri adalah casing sintesis dan casing collagen. Penggunaan casing ini menggantikan casing alami dari usus hewan yang bersifat kurang awet dan keseragaman ukuran yang rendah. Casing collagen terbuat dari agar-agar atau kulit hewan sehingga dapat dimakan sedangkan casing sintesis umumnya terbuat dari plastik polyamid sehingga tidak dapat dimakan. Ada juga casing sintesis yang terbuat dari film vinylidene kloroda dan rubber hidroklorida yang bisa tahan pada suhu pemasakan 100oC selama 1-2 jam. Film vinylidene kloroda bersifat kurang permeable, transparan, dan tidak bereaksi secara kimia tetapi kurang tahan terhadap kerusakan mekanik. Film rubber hidroklorida lebih elastis dan kuat tetapi tidak transparan dan kurang permeable terhadap gas (Suzuki, 1981). Penggunaaan casing-casing sintesis ini lebih menguntungkan karena karakteristiknya (pori, ketahanan panas) dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, dapat diprinting atau diwarnai, dan keseragaman ukurannya tinggi.
D. KARAGENAN 1. Karakteristik Karagenan Karagenan adalah polisakarida berantai lurus dari D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung sulfat yang diekstrak dari berbagai rumput laut merah (Fardiaz, 1989). Menurut Towle (1973) yang dikutip Nussinovitch (1997), karagenan dihasilkan dari rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali panas yang diikuti proses dekolorisasi dan pengeringan. Karagenan diekstrak dari spesies tertentu kelas Rhodophyceae (alga merah), umumnya dari marga Eucheuma, yaitu Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, dan Chondrus crispus. Menurut Hellebust et al. (1978) yang dikutip Mukti (1987), karagenan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan karagenan merupakan bagian penyusun yang terbesar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen lain.
17
Jumlah dan posisi sulfat membedakan macam-macam polisakarida Rhodophyceae. Karagenan yang boleh diaplikasikan dalam makanan adalah ekstrak dari Rhodophyceae dengan kandungan ester sulfat sebanyak sama atau lebih dari 20%, dengan ikatan α-(1,3) dan β-(1,4) glikosidik (Nussinovitch, 1997). Food Chemical Codex III (1981) yang dikutip Mukti (1987) menyatakan bahwa karagenan seharusnya mempunyai sifatsifat seperti yang tercantum pada Tabel 4. Karagenan serta garam-garamnya diklasifikasikan dalam kategori GRAS (21 CFR 182.7255) dan telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai bahan tambahan pangan (21 CFR 172.620). Karagenan ini digunakan pada taraf GMP (Good Manufacturing Practice) yaitu suatu jumlah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan tidak lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengaruh yang diinginkan (Nussinovitch, 1997). Tabel 4. Syarat mutu karagenan Kandungan
Batas
Arsenik (As)
Tidak boleh lebih dari 3 ppm (0.0003%)
Abu (tidak larut asam)
Tidak lebih dari 1.0%
Abu (total)
Tidak lebih dari 35.0%
Logam berat (Pb)
Tidak boleh lebih dari 40 ppm (0.004%)
Timah hitam
Tidak boleh lebih dari 10 ppm (0.001%)
Kehilangan pada pengeringan
Tidak lebih dari 12%
Sulfat
Antara 18 dan 40% (berat kering)
Kekentalan dari larutan 1.5%
Tidak kurang dari 5 cps pada 75o
Sumber : Food Chemical Codex III, 1981 yang dikutip Mukti, 1987
Karagenan terutama terdiri dari ester-ester kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dari polimer galaktosa dan 3,6anhidrogalaktosa. Heksosa-heksosa ini secara bergantian terikat dalam polimer melalui ikatan α-1,3 dan β-1,4 (Fardiaz, 1989). Karagenan terdiri dari tiga fraksi utama, yaitu Kappa-karagenan, Iota-karagenan, dan Lambda-karagenan. Perbedaan kandungan fraksi
18
karagenan ini tergantung pada sumber rumput laut yang digunakan untuk ekstraksi karagenan. Spesies Chondrus crispus yang hidup di perairan dingin menghasilkan tipe kappa- dan lambda-karagenan, Eucheuma sp. yang hidup di perairan hangat menghasilkan kappa- dan iota-karagenan, dan Gigartina sp. yang hidup di perairan dingin menghasilkan kappa- dan lambda-karagenan. Rumput laut yang hidup di perairan dingin dipanen setahun sekali sedangkan rumput laut yang hidup di perairan hangat dipanen tiga bulan sekali (Thomas, 1992 yang dikutip Nussinovitch, 1997). Karagenan yang diekstrak dari berbegai spesies rumput laut merah secara prinsipil berbeda satu sama lainnya dalam jumlah 3,6-anhydro-Dgalaktosa (3,6-AG) yang dikandung, serta nomor, dan posisi grup ester sulfat. Kandungan rata-rata grup ester sulfat dan 3,6-anhidrogalaktosa pada kappa-karagenan berturut-turut adalah
25% dan 34% sedangkan
untuk iota-karagenan berturut-turut adalah 32% dan 30% (Imeson 2000). Kappa-karagenan mempunyai ikatan glikosidik α-1,3-D-galaktosa-4-sulfat yang berikatan dengan β(1,4)-3,6-anhydro-D-galaktosa. Iota-karagenan mempunyai ikatan α-1,3-D-galaktosa-4-sulfat yang berikatan dengan β(1,4)-3,6-anhydro-D-galaktosa-2-sulfat. Lambda- karagenan (λ-karagenan) mempunyai ikatan α-1,3-D-galaktosa-2-sulfat yang berikatan dengan β(1,4)-D-galaktosa-2,6-disulfat (Glicksman, 1969). Lambda-karagenan merupakan tipe karagenan yang tidak dapat membentuk gel dari ketiga tipe karagenan (Fardiaz, 1989). Struktur kappa-, iota-, dan lambdakaragenan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Struktur kappa-, iota- , dan lambda-karagenan (Imeson, 2000)
19
Semua karagenan larut dalam air panas, susu panas, sedangkan dalam air dingin dan larutan garam Na, hanya kappa- dan iota-karagenan yang larut. Dan dalam susu dingin, hanya Lambda- karagenan yang mempunyai kelarutan yang tinggi. Lambda- karagenan larut sepenuhnya dalam air dingin dan larutan garam tidak tergantung pada kation yang hadir. Iota- karagenan peka terhadap ion-ion kalsium dan membentuk dispersi thixotropic, yang membuatnya sangat baik sebagai pensuspensi (Glicksman, 1969). Sifat-sifat ketiga fraksi karagenan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sifat-sifat karagenan Karagenan
Sifat
Kappa-
Iota-
Lambda-
Pembentukan gel
Kasar
Elastis
-
Efek terhadap
Gel kuat dengan K+
Gel kuat dengan
Tidak
Ya
Tidak membentuk gel -
Sineresis
Ya
Tidak
-
Freeze thaw stable
Tidak
Ya
Ya
Stability in acid
Hidrolisis larutan, didukung panas ; Hidrolisis
kation Shear reversible
Ca++
gel
Gelnya stabil Sinergi dengan pati
Tidak
Reaktivitas protein
Spesifik dengan kappa-kasein Tidak Ya
Interaksi kuat saat asam Ya
Thickens/gels
Thickens/gels
K+ dan Ca2+ mengembang, sukar larut pada Na+ Larut
Ca2+ membentuk sol thixotropic, larut Na+
Meningkatkan pengentalan Larut dalam air
Salt tolerance Susu dingin (20oC) dengan TSPP Air dingin (20oC)
Air hangat (80oC)
Ya
Larut
Tidak
Larut
Sumber : Imeson, 2000
20
Kappa- dan iota-karagenan tidak larut dalam larutan garam dari kation-kation lain seperti K+ atau Ca2+, dan hanya menunjukkan pembengkakan mulai dari pembengkakan terbatas sampai pembengkakan besar. Hal ini tergantung dari tipe dan tingkat kation yang ada, densitas partikel karagenan, suhu, pH, adanya ion penghambat dan lain-lain (Glicksman, 1969). Larutan iota- dan lambda- karagenan dapat mentolerir elektrolit kuat berkonsentrasi tinggi, misalnya NaCl 20-25% sementara kappa-karagenan akan mengalami salting out. Kappa- dan iota-karagenan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel pada saat larutan panas mendingin. Proses ini bersifat reversibel, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan (Glicksman, 1969). Karagenan yang membentuk gel dalam sistem aqueous terjadi karena adanya formasi “double helix”. Baik kappa- maupun iota-karagenan tidak akan membentuk gel atau formasi “double helix” dengan ion Na+ (Imeson, 2000). Konsistensi gel karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan tipe karagenan, konsentrasi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat pembentukan hidrokoloid (Towle, 1973 yang dikutip Nussinovitch, 1997). Kappa- dan iota-karagenan hanya akan membentuk gel bila terdapat ion-ion tertentu. Kappa-karagenan akan membentuk gel yang tegar dan keras bila terdapat salah satu ion seperti NH4+, K+ , Rb+, dan Cs+ (Towle, 1973 yang dikutip Nussinovitch, 1997). Gel kappakaragenan akan mengalami getas dan sineresis karena pengkerutan bila bertemu dengan kation kalsium (Fardiaz, 1989). Sedangkan iota- karagenan bereaksi secara kuat dengan adanya kation kalsium membentuk gel elastis yang lunak dan tidak mengalami sineresis. Bentuknya hampir sama dengan gel gelatin tetapi dengan suhu pembentukan gel dan titik cair yang lebih tinggi, dan tidak membutuhkan refrigerasi untuk pembentukan dan mempertahankan gelnya. Dengan ion kalium atau amonium, iota karagenan juga akan membentuk gel tapi lebih lemah daripada gel yang dibuat dengan ion-ion kalsium (Fardiaz, 1989).
21
Iota- karagenan tidak mengalami sineresis bila ada ion Ca2+ (Glicksman 1969). Menurut Imeson (2000) dengan menaikkan konsentrasi kation dalam larutan akan menaikkan suhu pembentukan gel. Gel kappa-karagenan selama pembentukan gel dan thawing kurang stabil dibandingkan gel iotakaragenan karena mengalami perubahan tekstur gel dengan membebaskan sejumlah air. Larutan karagenan bersifat viscous dan viskositasnya tergantung pada konsentrasi, suhu, adanya molekul-molekul lain, tipe karagenan, dan berat molekulnya. Pembentukan gel terjadi pada konsentrasi karagenan 0.5%, 1%, dan 1.5% pada suhu 25oC, 40oC, atau 75oC dengan adanya ion seperti ion kalium. Jika konsentrasi larutan karagenan meningkat, maka viskositasnya akan meningkat secara logaritmik (Towle, 1973 yang dikutip Nussinovitch, 1997). Garam-garam kation monovalen mempunyai efek kecil terhadap viskositas larutan karagenan sedangkan kation-kation divalen mempunyai kecenderungan mengurangi viskositas secara nyata pada konsentrasi yang lebih tinggi tetapi meningkatkan viskositas pada konsentrasi yang lebih rendah (Towle, 1973 yang dikutip Nussinovitch,1997). Karagenan paling stabil pada pH netral dan alkalis. Penurunan pH menyebabkan hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel. Hidrolisa dipercepat oleh panas pada pH rendah (Imeson, 2000). Kemampuan karagenan untuk dapat bereaksi dengan protein dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi karagenan, tipe protein, suhu, pH, dan titik isoelektrik dari protein. Kemampuan ini juga dipengaruhi grup 3,6-anhydro-D-galaktosa. Glicksman (1969) melaporkan bahwa terdapat korelasi antara kekuatan menstabilkan dengan persentase dari 3,6-anhydro-D-galaktosa, pada percobaan stabilisasi susu. Karagenan tidak mempunyai nilai gizi yang berarti karena strukturnya berupa polisakarida kompleks yang sukar dicerna. Hawkins dan Yaphe (1969) yang dikutip Mukti (1987) menyimpulkan bahwa daya
22
cerna terhadap karagenan berkisar antara 9.4-16.1%. Kandungan kalorinya pun sangat rendah bahkan mencapai nol. Walaupun demikian, karagenan banyak digunakan sebagai bahan penstabil, pengental, dan pembentuk gel pada produk-produk susu, daging, dan ikan (Nussinovitch, 1997).
2. Karagenan Sebagai Bahan Pengisi dan Pembentuk Tekstur pada Sosis Ikan Sosis ikan yang dihasilkan paling tidak dapat memenuhi karakteristik mutu untuk dapat dikatakan sebagai sosis, antara lain memiliki tekstur kenyal, cooking lost rendah, WHC yang tinggi sehingga memiliki juiceness yang baik, daya irisnya baik, dan memiliki rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan paling penting bagi konsumen dan dicari walaupun mengorbankan cita rasa, flavor, atau warna (Lawrie, 1961). Ikan patin yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis merupakan ikan air tawar yang memiliki daya pembentukan gel yang rendah. Claus et al. (1994) juga menyatakan pada umumnya ikan air tawar dan daging merah dari ikan memiliki sifat pembentukan gel yang lebih rendah daripada ikan air laut dan daging putih dari ikan. Hal ini dapat mempengaruhi mutu dari produk akhir yang dihasilkan. Untuk ikan yang mempunyai elastisitas yang rendah dapat ditingkatkan elastisitasnya dengan menambahkan daging ikan dari spesies yang lain, dilakukan penambahan gula, pati atau protein nabati (Koswara, 2006). Pembentukan matriks gel dari protein miofibrilar dari surimi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi protein miofibrilar, jumlah air, tipe ionik dan kekuatannya, waktu atau suhu pencincangan, pH, dan interaksi antara protein miofibrilar dengan bahan tambahan pangan (Lee et al. 1988). Menurut Lee et al. (1988), dalam pembuatan produk olahan surimi, bahan penyusun dengan surimi akan membentuk suatu interaksi yang akan mempengaruhi tekstur dan karakteristik lain dari produk akhir. Karakteristik gel surimi dipengaruhi oleh tipe bahan penyusun yang
23
ditambahkan, yang dapat memberikan suasana pembentukan gel dengan mempengaruhi pH, ketersediaan air, dan mempengaruhi gabungangabungan protein penyusun protein miofibril. Karagenan telah banyak diaplikasikan untuk industri kosmetik, obatobatan, dan pada industri pangan. Karagenan memiliki kontribusi yang besar terhadap industri karena hanya dengan penambahan konsentrasi yang kecil dapat memberikan efek pembentukan gel yang kokoh. Produkproduk karagenan umumnya cocok bereaksi dan berfungsi baik dengan pati, gula, gum, dan lain-lain sehingga banyak diaplikasikan untuk produk pangan seperti digunakan sebagai penstabil pada berbagai produk olahan susu dan daging (Imeson, 2000). Bahan pengisi yang baik untuk sosis umumnya sebagian besar mengandung karbohidrat, harga tidak mahal, dan rasa tidak mengganggu rasa sosis (Wilson, 1960). Karagenan dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada sosis karena berasal dari golongan polisakarida (karbohidrat), stabil pada pH netral di mana daging umumnya juga memiliki pH yang netral, karagenan dapat bereaksi dengan protein membentuk emulsi dan harganya murah. Karagenan mudah didapatkan di pasaran dengan harga yang cukup murah, yaitu 0.5 g-1.5g karagenan memiliki harga Rp.750-900 (Anonim, 2003). Karagenan dapat membentuk gel menyerupai tekstur daging sehingga sangat cocok sebagai bahan pengisi pada sosis, sehingga dapat mengurangi pemakaian daging ikan tanpa mengubah mutu sosisnya (Anonim, 2003). Hal ini sangat penting untuk mengefisienkan penggunaan daging ikan mengingat yield surimi sebagai bahan baku pembuatan sosis ikan patin sangat rendah, yaitu 26% dari bobot total ikan (Mc Donald dan Lanier, 1988 yang dikutip oleh Lee et al.,1988). Selain itu, menurut Hapsari (2002) penggunaan daging ikan di atas 55% pada pembuatan sosis ikan patin memberikan sifat sensori yang tidak disukai oleh panelis. Menurut Imeson (2000), penambahan karagenan pada produk daging dapat mengoptimasi karakteristik produk dan cost.
24
Pada ikan lunak, karagenan (kappa- dan iota-) dan kombinasinya dengan LBG (Locust Bean Gum) ditambahkan untuk membantu mencapai flavor dan tekstur yang diinginkan (Glicksman, 1969). Karagenan juga diketahui cocok digunakan sebagai agen pengikat air pada hamburger rendah lemak dan sosis berkadar garam rendah (Egbert et al., 1991 yang dikutip Xiong et al., 1999). Menurut Xiong et al. (1999) iota- dan kappa-karagenan dapat mengurangi cooking lost, meningkatkan kekerasan, meningkatkan kekuatan ikatan pada sosis berkadar garam 1% dan 2.5%. Selain itu, penambahan karagenan juga dapat meningkatkan moisture retention produk daging, tanpa adanya penurunan mutu dari sifat fisiko-kimianya, sifat organoletik, dan
keamanan mikrobiologisnya tetap terjaga jika
disimpan pada suhu dingin (4±1oC) selama 21 hari dalam kemasan aerobik dan 35 hari dalam kemasan vakum. Menurut Towle (1973) yang dikutip Nussinovitch (1997), kappa- dan iota-karagenan pada konsentrasi 0.2-0.5% dengan garam kalium dan kadang kombinasinya dengan locus bean gum efektif sebagai pembentuk gel pada produk daging. Menurut Hsu dan Chung (2001), penambahan kappa-karagenan kurang dari 2% pada produk daging secara signifikan berefek pada peningkatan cooking yield, kekerasan, adesi, daya kunyah, kekenyalan, dan viskositas dengan penambahan air 23%. Menurut Trius et al. (1994) penggunaan kappa-karagenan dapat meningkatkan kekerasan dari produk daging tanpa lemak (kadar lemak 4%) dan tanpa air sedangkan iotakaragenan dapat meningkatkan kekerasan gel daging dengan penambahan lemak (kadar lemak 8%) dan penambahan air. Menurut Ziprin, et al. (1994) yang dikutip Hsu dan Chung (2001), penggunaan karagenan dapat mempengaruhi tekstur sosis emulsi. Menurut Huffman et al.(1992), sosis babi segar yang terbuat dari 15% lemak, 0.5% karagenan, dan 20-30% air memiliki karakteristik sensori keseluruhan yang sama dengan kontrol yang menggunakan 40% lemak.
25
Kombinasi kappa- dan iota-karagenan bersama dengan TSPP membantu
dalam
menginduksi
terjadinya
pembentukan
gel
dan
meningkatkan kehalusan serta creaminess dari produk. Penggunaan karagenan, pati, protein susu dan protein kedelai pada bologna rendah lemak dengan kandungan air yang tinggi dapat meningkatkan penerimaan sosis secara overall (Dexter et al. 1993 yang dikutip Nussinovitch, 1997).
E. SUSU SKIM 1. Karakteristik Susu Skim Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al., 1987). Karena telah dipisahkan dari lemaknya, maka susu skim hanya mengandung 0.5-2% lemak (Varnam dan Sutherland, 1994). Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat diklasifikasikan menjadi dua grup utama, yaitu kasein dan protein whey. Kasein merupakan fraksi utama protein yang mengendap saat susu segar diasamkan pada pH 4.6 pada suhu 20oC. Kasein menyusun 76-86% dari total protein susu skim dan terdapat pada susu dalam bentuk partikel koloidal, misel, yang mengandung kalsium, fosfat, sitrat, dan magnesium (Thomphson et al., 1965). Protein non-kasein yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut protein whey atau serum protein. Whey protein ini menyusun 1424% dari total protein susu skim (Thomphson et al., 1965). Protein whey bersifat labil terhadap panas di mana denaturasi protein terjadi pada suhu 80oC. Hal ini berbeda dengan kasein yang stabil pada suhu diatas 140oC. Kandungan protein pada susu skim dapat dilihat pada Tabel 6. Penggunaan susu skim dalam berbagai produk makanan memiliki keuntungan yaitu (1) mudah dicerna dan dapat dicampur dengan makanan padat atau semi padat, (2) susu skim mengandung nilai gizi yang tinggi,
26
protein susu mengandung asam amino esensial (3) susu skim dapat disimpan lebih lama daripada whole milk karena kandungan lemaknya yang sangat rendah. Walaupun susu skim merupakan sumber protein yang baik, susu skim memiliki kekurangan yaitu rendahnya energi yang dikandung (Anonim, 1983 yang dikutip Liana, 1987). Nilai gizi susu skim dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 6. Kandungan protein pada susu skim Protein Kasein
Whey
Jenis αs-kasein
Jumlah (% skim total) 45-55
β-kasein
25-35
γ- kasein
3-7
kappa-kasein
8-15
β- lactoglobuline
7-12
α- lactalbumin
2-5
Blood serum albumin
0.7-1.3
Sumber : Rimbawan, 1977
Tabel 7. Nilai gizi susu skim Nilai gizi
Jumlah
Kalori (cal)
36
Protein (g)
3.5
Lemak (g)
0.1
Karbohidrat (g)
5.1
Kalsium (mg)
123
Fosfor (mg)
97
Besi (mg)
0.1
Vitamin B1 (mg)
0.04
Vitamin C (mg)
1
Air (g)
90.5
b.d.d. (%)
100
Sumber : Depkes RI, 1989
27
2. Susu Skim pada Pembuatan Sosis Susu skim dapat digunakan sebagai campuran pada pembuatan sosis karena bersifat adesif dan menambah nilai gizi (Wilson, 1960). Penambahan susu skim pada pembuatan sosis juga dapat memacu pembentukan gel dari karagenan karena susu skim menyumbang ion Ca2+ yang dibutuhkan karagenan untuk pembentukan gel. Penggunaan susu bubuk skim pada sosis dapat menghambat pengumpulan lemak pada ruang antara selongsong dan daging sosis. Kemampuan susu bubuk skim dalam mencegah pemisahan lemak tergantung pada beberapa faktor, yaitu formulasi sosis, kelarutan relatif susu bubuk skim, pengolahan sosis, dan teknik pemasakan yang digunakan dalam pembuatan sosis (Karmas, 1976). Selama ini, bahan pengikat yang umum digunakan pada pembuatan sosis adalah isolat protein. Isolat protein ini sudah banyak digunakan dalam industri daging karena kemampuannya dalam mengikat air dan lemak
dan
kemampuannya
membentuk
gel
selama
pemanasan.
Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi coklat dan memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir. Oleh karenanya susu skim diharapkan dapat memperbaiki mutu sensori sosis karena menurut Karmas (1976), kandungan laktosa dalam susu bubuk skim akan memperbaiki dan melengkapi aroma dari sosis. Protein kasein dan albumin dari susu bubuk skim meningkatkan nilai gizi dan aroma sosis. Sosis yang menggunakan susu bubuk skim mempunyai tekstur dan kehalusan penampakan yang lebih baik dibandingkan dengan sosis yang tidak menggunakannya (Karmas, 1976). Sayangnya penggunaan susu skim yang berlebihan pada sosis dapat meningkatkan cost sehingga optimasi antara keduanya sangat diperlukan dalam formulasi sosis ikan.
F. MIXTURE EXPERIMENT Penggabungan beberapa ingredien atau bahan baku untuk menghasilkan suatu produk pangan yang dapat dinikmati, di mana hasil akhir dari produk
28
tersebut dipengaruhi oleh presentase atau proporsi relatif masing-masing ingredien yang ada dalam formulasi. Selain itu, penggabungan beberapa ingredien dalam mixture experiment bertujuan melihat apakah pencampuran dua komponen atau lebih tersebut dapat menghasilkan produk akhir dengan sifat yang lebih diinginkan dibandingkan dengan penggunaan ingredien tunggalnya dalam menghasilkan produk yang sama (Cornell, 1990). Terdapat relasi fungsional antar komponen penyusun dengan perubahan proporsi relatif ingredien tersebut sehingga dapat menghasilkan produk dengan respon yang berbeda. Tentunya kombinasi ingredien yang dipilih adalah kombinasi yang menghasilkan produk dengan respon yang maksimal, sesuai dengan yang diharapkan oleh perancang (Cornell, 1990). Penggunaan mixture experiment dalam merancang percobaan untuk memperoleh kombinasi yang optimal ini mampu menjawab permasalahan jika dilihat dari segi waktu (mengurangi jumlah trial and error) dan biaya (Cornell, 1990). Menurut Ma’arif et al. (1989), optimasi adalah suatu pendekatan normatif untuk mengidentifikasikan penyelesaian terbaik dalam pengambilan keputusan suatu permasalahan. Melalui optimasi, permasalahan akan diselesaikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan batasan yang diberikan. Tujuan dari optimasi adalah untuk meminimumkan usaha yang diperlukan atau biaya operasional dan memaksimumkan hasil yang diinginkan. Jika usaha yang diperlukan atau hasil yang diharapkan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari sebuah keputusan, maka optimasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapaian kondisi maksimum atau minimum dari fungsi tersebut. Optimasi pada salah satu atau seluruh aspek produk adalah tujuan dalam pengembangan produk. Hasil evaluasi sensori sering digunakan dalam menentukan apakah produk yang optimum telah dikembangkan dengan benar. Mixture experiment (ME) merupakan suatu metode perancangan percobaan yang merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika di mana variabel respon diasumsikan hanya tergantung pada proporsi relatif dari ingredien penyusunnya, bukan dari jumlah total campuran ingredien tersebut. Salah satu tujuan penggunaan perancangan percobaan ini adalah untuk
29
mengoptimalkan respon yang diinginkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa variabel respon merupakan fungsi dari proporsi relatif setiap komponen atau bahan penyusun dalam suatu formula (Cornell,1990). Menurut Cornell (1990), ME terdiri atas enam tahap utama, yaitu menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen penyusun campuran, mengidentifikasi batasan-batasan pada komponen campuran, mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih desain percobaan yang sesuai. ME ini sering digunakan untuk menentukan dan menyelesaikan persamaan polinomial secara simultan. Persamaan tersebut, dapat ditampilkan dalam suatu contour plot, baik berupa gambar dua dimensi (2-D) maupun grafik tiga dimensi (3-D) yang dapat menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon, menentukan hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon. Persamaan polinomial ME dapat memiliki berbagai macam orde, antara lain mean, linear, quadratic, cubic, dan special cubic. Namun model persamaan polinomial yang sering digunakan adalah model polinomial ordo linear dan quadratic. Model ordo linear dengan dua variabel uji dapat dilihat pada persamaan (1) sedangkan model ordo quadratic dengan dua variabel uji dapat dilihat pada persamaan (2). Y = b0 + b1X1 + b2X2 .................................................... (1) Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X22 + b12X1X2 ........(2) Persamaan
model polinomial dengan ordo linear seringkali memberikan
deskripsi bentuk geometri (3-D) permukaan respon yang kurang memadai. Oleh karena itu, penggunaan model polinomial dengan ordo quadratic lebih dianjurkan dalam formulasi (Cornell, 1990). Rancangan mixture experiment ini dalam program komputer Design Expert version 7 dinamakan dengan mixture design. Rancangan mixture design ini berfungsi menemukan formula optimum yang diinginkan formulator. Untuk mencapai kondisi tersebut, harus ditentukan respon atau parameter produk yang menjadi ciri penting sehingga dapat meningkatkan
30
mutu produk. Respon yang dipilih ini menjadi input data yang selanjutnya diproses oleh rancangan RSM mixture design sehingga diperoleh gambaran dan kondisi proses yang optimal (Anonim, 2007).
31
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin sebagai bahan baku pembuatan sosis. Ikan patin ini diperoleh dalam bentuk fillet dari Laboratorium Lapangan Fakultas Perikanan, IPB, Bogor. Bahan tambahan dalam pembuatan sosis ikan terdiri dari garam, bahan pengikat (isolat protein), bahan pengisi (tepung tapioka, tepung kappa- dan iotakaragenan), es, fosfat (STPP), sorbitol, gula, casing, dan bumbu-bumbu seperti merica, bawang putih, bawang merah, pala, dan MSG, dan jahe. Karagenan (kappa- dan iota-) diperoleh dari PT. Galic Artabahari, Bekasi. Casing yang digunakan adalah casing selulosa yang diperoleh dari Pilot Plant IPB, Bogor. Fosfat (STPP), sorbitol, isolat protein diperoleh dari Toko Setia Guna, Bogor. Bahan-bahan lain seperti bumbu, gula, tepung tapioka diperoleh dari Pasar Anyar, Bogor. Bahan yang digunakan untuk analisis yaitu kertas saring Whatman No.1, heksana, H2SO4, K2SO4, HgO, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, HCl 0.02N, indikator metilen merah dan metilen biru., PCA (Plate Count Agar), larutan pengencer dan alkohol. Alat yang digunakan untuk membuat sosis adalah refrigerator, penggiling daging (grinder), pembuat adonan (food processor), pengisi manual (stuffer), dan waterbath. Alat yang digunakan untuk analisis yaitu peralatan gelas (labu Kjeldahl, labu Soxhlet, pipet tetes dan volumetrik, gelas ukur, tabung reaksi, gelas piala, labu takar), oven, tanur listrik, desikator, timbangan analitik, cawan, penjepit cawan, pemanas listrik (hot plate), Texture Analyzer, pengepres hidraulik, tabung reaksi, pipet mohr, inkubator, bunsen, cawan, dan stomacher.
B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian pendahuluan Tahap penelitian pendahuluan meliputi penetapan bumbu, penetapan kisaran maksimum dan minimum surimi, air, karagenan, dan susu skim serta penentuan perbandingan jenis karagenan yang cocok (kappa-
32
karagenan atau iota-karagenan) yang dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan. Tahap penetapan bumbu dilakukan untuk mengetahui komposisi bumbu-bumbu yang paling disukai yang dapat ditambahkan pada sosis ikan patin. Bumbu-bumbu tersebut meliputi bawang putih, merica, MSG, bawang merah, pala, dan jahe. Tahap penetapan bumbu ini dilakukan secara trial and error sehingga dihasilkan formula dengan komposisi bumbu yang sama, kecuali untuk bumbu bawang merah, pala, dan jahe karena perbedaan persentase ketiga jenis bumbu ini dianggap cukup dominan dalam menghasilkan rasa yang berbeda. Formula bumbu dengan variasi persentase bawang merah, pala, dan jahe dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Formulasi bumbu Jumlah (%)
Bumbu Garam Bawang putih MSG Merica Bawang merah Pala Jahe Total
A1 1.8 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.2 4
A2 1.8 0.6 0.5 0.4 0.3 0 0.4 4
A3 1.8 0.6 0.5 0.4 0.3 0.1 0.3 4
A4 2 0.6 0.5 0.4 0.1 0.2 0.2 4
Tahap penetapan batas maksimum dan minimum penggunaan surimi dan air dilakukan untuk memperoleh nilai kisaran maksimum dan minimum penambahan surimi dan air sehingga dapat menghasilkan sosis dengan tekstur yang masih dapat diterima oleh panelis. Formula sosis dengan variasi persentase surimi dan air dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Formula sosis dengan variasi persentase surimi dan air Bahan Surimi Air Total
B1 30 42 72
B2 35 37 72
Jumlah (%) B3 B4 40 55 32 17 72 72
B5 60 12 72
B6 65 7 72
33
Tahap penetapan perbandingan jenis karagenan dilakukan untuk memperoleh perbandingan kappa- dan iota-karagenan yang dapat ditambahkan untuk
menghasilkan sosis dengan tekstur yang paling
disukai panelis. Formula sosis dengan variasi perbandingan kappa- dan iota-karagenan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Formulasi perbandingan kappa- dan iota-karagenan Karagenan KappaIotaTotal
C1 100 0 100
C2 75 25 100
Jumlah (%) C3 50 50 100
C4 25 75 100
C5 0 100 100
Tahap penetapan kisaran maksimum dan minimum penggunaan karagenan dilakukan untuk memperoleh batas maksimum dan minimum penambahan karagenan sehingga dapat menghasilkan sosis dengan tekstur yang masih dapat diterima oleh panelis. Penentuan hanya dilakukan terhadap
batas
maksimum
penambahan
karagenan
karena
tanpa
penggunaan karagenan pun tekstur sosis masih dapat diterima, sehingga batas minimum penggunaan karagenan ditetapkan sebesar 0 %. Jumlah karagenan yang diujikan adalah 2% (D1), 3% (D2), dan 4% (D3). Penentuan jumlah maksimum dimulai sebanyak 2% karena menurut hasil penelitian Hsu dan Chung (2001), penambahan kappa-karagenan kurang dari 2% pada produk daging secara signifikan berefek pada peningkatan cooking yield, kekerasan, adesi, daya kunyah, kekenyalan, dan viskositas. Tahap penetapan kisaran maksimum dan minimum penggunaan susu skim dilakukan untuk memperoleh batas maksimum dan minimum penambahan susu skim sehingga dapat menghasilkan sosis dengan tekstur yang masih dapat diterima oleh panelis. Penentuan susu skim hanya dilakukan terhadap batas maksimum karena tanpa penggunaan susu skim pun tekstur sosis masih dapat diterima, sehingga batas minimum penggunaan susu skim ditetapkan sebesar 0 %. Jumlah susu skim yang diujikan adalah 3.5 % (E1), 4% (E2), 5% (E3), dan 6% (E4). Penentuan
34
jumlah maksimum dimulai sebanyak 3.5% karena menurut Pearson dan Tauber (1984), penambahan susu skim diatas batas legalnya yaitu 3.5% dapat meningkatkan tekstur dan flavor pada sosis emulsi. Penelitian pendahuluan ini dilakukan secara trial and error dan hasil yang diperoleh pada tahap ini akan dimasukkan pada program Design Expert version 7 untuk merancang formula yang dilakukan pada tahap penelitian utama.
2. Penelitian utama Penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan formula optimum berupa proporsi relatif (%) masing-masing komponen. Penelitian utama ini dilakukan setelah diketahui jenis karagenan yang cocok dan batas maksimum dan minimum surimi, air, karagenan, dan susu skim yang diperoleh pada penelitian pendahuluan. Batas-batas ini yang akan menjadi input dalam tahap perancangan formula oleh program Design Expert version 7 dengan D-optimal untuk mencari formulasi dari komponenkomponen yang dicampurkan sehingga dihasilkan respon yang optimal. Setelah tahap perancangan formula, ditentukan respon yang diukur dan dioptimasi. Respon yang diukur dan dioptimasi adalah berdasarkan karakteristik yang berubah-ubah akibat perubahan proporsi relatif komponen surimi, air, karagenan dan susu skim. Respon-respon yang diukur dan dioptimasi yaitu RM cost (biaya / 350 g sosis), skor kesukaan berdasarkan analisis subyektif (tekstur dan rasa), analisis obyektif (air bebas yang dikeluarkan, cooking loss, daya iris, dan kekenyalan). Selanjutnya dilakukan pembuatan sosis ikan patin berdasarkan rancangan formula dari program Design Expert version 7 untuk mengukur masing-masing respon yang telah ditetapkan. Selanjutnya, respon-respon yang telah diukur tersebut dimasukkan sebagai input pada program Design Expert version 7 untuk mendapatkan formula sosis ikan patin optimum berdasarkan target yang telah ditetapkan. Setelah diperoleh formula optimum, dilakukan uji coba untuk membuktikan nilai respon dari formula optimum yang diprediksikan oleh program Design Expert version 7.
35
Tahap pembuatan sosis ikan patin dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pembuatan surimi dan pembuatan sosis ikan. Beberapa modifikasi dilakukan terhadap prosedur Erdiansyah (2006). Pada tahap pembuatan surimi, yaitu STPP yang digunakan lebih banyak, yaitu 0.3% bobot daging (Suzuki, 1981), bukan 0.2% bobot ikan. Surimi tidak divakum dan dibungkus dengan plastik PP (Polypropilene), tetapi dibungkus dengan plastik PE (Polyetilene) (Suzuki, 1981). Modifikasi juga dilakukan pada tahap pembuatan sosis ikan, yaitu pada tahap thawing, tidak dilakukan pada suhu dingin di dalam refrigerator selama 1 malam melainkan dilakukan pada suhu ruang sampai surimi dapat dipotong untuk memudahkan proses cutting (Suzuki, 1981). Penambahan sisa es pertama dilakukan setelah minyak dan bahan pengikat ditambahkan. Penambahan sisa es dilakukan setelah penambahan minyak dan bahan pengikat dengan tujuan menurunkan suhu adonan karena kenaikan suhu akibat penambahan minyak pada proses cutting cukup cepat. Lama serta suhu pada tiap proses cutting juga dilakukan modifikasi. Adonan dicutting hingga tercampur merata dengan menjaga suhu akhir 68o C, karena menurut Kramlich et al. (1973), pada tahap penggilingan bahan kuring (serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat dan bahan tambahan lain) ditambahkan sehingga dapat terdistribusi secara merata dan suhu adonan yang terbentuk dipertahankan serendah mungkin sekitar 3-11 oC agar diperoleh stabilitas emulsi maksimum. Stuffer yang digunakan bukan mesin stuffer melainkan stuffer manual karena kapasitas adonan yang tidak cukup banyak untuk dimasukkan ke dalam mesin stuffer. Kisaran suhu perebusan sosis lebih lebar, yaitu 80-83oC dengan waktu perebusan yang lebih lama, yaitu 20 menit. Hal ini dilakukan agar tercapai kecukupan panas pada titik coldest point sosis yaitu sebesar 72-75oC sehingga produk sosis aman dikonsumsi (Pearson dan Tauber, 1984). Diagram alir pembuatan surimi dapat dilihat pada Gambar 3 dan tahapan pembuatan sosis ikan dapat dilihat pada Gambar 4.
36
Ikan Patin
Ditimbang
Disiangi kepala, ekor, sirip, kulit, jeroan
Difillet
Digiling
Dicuci air dingin (10oC), dua kali
Dicuci air dingin (10oC)
Garam 0.3%
Disaring sorbitol 4%, Sukrosa 4%, STPP 0.3%
Diaduk
Surimi
Dikemas dalam plastik PE Disimpan dingin (-18oC)
Surimi beku Gambar 3. Diagram alir pembuatan surimi (modifikasi dari Erdiansyah, 2006)
37
Surimi beku
thawing Garam 2%
Es 10%
Cutting 1 Es 5% Bahan pengikat (susu skim, IPK 2%)
Minyak 15% Cutting 2
Bumbu 2%
Es 5%
Bahan pengisi (tapioka 6 %, karagenan) Cutting 3
Stuffing Direbus (80-83oC), 20 menit Didinginkan
Sosis ikan patin
Gambar 4. Diagram alir pembuatan sosis ikan patin (modifikasi dari Erdiansyah, 2006)
38
3. Penelitian Pendukung Sosis ikan patin dari formula yang terpilih akan dianalisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar karbohidrat). Dilakukan pula uji mikrobiologi terhadap angka lempeng total (TPC) untuk mengetahui kandungan bakteri, kapang, dan kamir yang ada pada sosis formula optimum. Hasil yang diperoleh, akan dibandingkan dengan SNI sosis daging. Pembanding yang digunakan adalah SNI sosis daging karena di Indonesia sampai saat ini belum ada standar yang mengatur mengenai sosis ikan. Produk SNI sosis daging dianggap paling mendekati produk sosis ikan. Setelah itu, dilakukan uji kesukaan (hedonik) sosis formula terpilih dengan mengikutsertakan produk sosis ikan komersil yang beredar di pasaran. Dipilih 3 sosis ikan yang memiliki variasi harga jual yang besar sebagai pembanding. Pemilihan sosis ikan berdasarkan variasi harga jual yang besar ini dianggap mewakili sosis ikan komersil yang ada di pasaran sehingga hasil yang diperoleh nantinya dapat menggambarkan kedudukan sosis formula optimum secara lebih jelas diantara sosis sejenisnya di pasaran. Dilakukan juga perhitungan kasar biaya produksi (dalam skala lab) sosis ikan formula optimum yang dihitung hanya dari biaya variabel yang meliputi biaya bahan baku, listrik, gas, dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi sosis ikan formula optimum. Besarnya biaya produksi ini akan ditambahkan dengan asumsi laba yang diinginkan sehingga diperoleh perkiraan harga jual sosis ikan formula optimum (dalam skala lab). Perkiraan harga jual sosis formual optimum ini akan dibandingkan dengan harga jual sosis ikan komersil.
C. PROSEDUR ANALISIS 1. Analisis Proksimat a. Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1995) Sampel sejumlah 3-5 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian
39
sampel dan cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam. Cawan didinginkan dan ditimbang, kemudian dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar Air (% bb) = a-(b-c) x 100% a Kadar Air (% bk) = a-(b-c) x 100% (b-c) Keterangan : a = berat sampel awal (g) b = berat sampel akhir dan cawan (g ) c = berat cawan (g)
b.
Kadar Abu Total dengan Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1995) Sejumlah 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Kemudian cawan dan sampel tersebut dibakar dengan pemanas listrik dalam ruang asap, sampai sampel tidak berasap dan diabukan pada tanur pengabuan pada suhu 550oC sampai dihasilkan abu yang berwarna abu-abu terang atau bobotnya telah konstan. Selanjutnya kembali didinginkan di desikator dan ditimbang segera setelah mencapai suhu ruang. Cara perhitungan kadar abu total : Kadar Abu (% bb) =
Bobot abu (g) x 100% Bobot sampel (g)
c. Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl-mikro (AOAC, 1995) Mula-mula sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian ditambahkan 50 mg HgO, 2 mg K2SO4, 2 ml H2SO4, batu didih, dan didihkan selama 1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel
didestilasi
dengan.
penambahan
8-10
ml
larutan
NaOH-Na2S203. Hasil destilasi detampung dengan erlenmeyer yang
40
telah berisi 5 ml H3B03 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0.2% dalam alkohol). Destilat yang diperoleh dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Hasil yang diperoleh adalah dalam total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25. Kadar protein dihitung berdasarkan rumus : (ml HCL x ml Blanko)N HCI x 14.007 x 100 x 6.25 Kadar Protein (% bb) = mg sample
d. Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Sejumlah 5 gram sampel ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring. Kemudian dimasukkan dalam alat ekstraksi Soxhlet bersama dengan dietil eter. Selanjutnya direfluks selama 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwama jernih. Pelarut dalam labu lemak didestilasi, labu yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai pelarut menguap semua. Setelah didinginkan dalam desikator, labu lemak tersebut ditimbang sampai memperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak dihitung dengan rumus : Kadar Lemak (% bb) = Bobot lemak (g) x 100% Bobot sampel (g) e. Kadar Karbohidrat dengan Metode By Difference (AOAC, 1995) Kadar karbohidrat sampel dihitung dengan mengurangi 100% kandungan gizi sampel dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Nilainya dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut : Kadar Karbohidrat (% bb) = 100% - (% bb Air + % bb Protein + % bb Lemak+ % bb Abu) 2. Pengukuran Daya Iris dan Kekenyalan (Faridah et al., 2006) Pengukuran tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i. Prinsip dari pengukuran ini adalah memberikan gaya
41
tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan pangan dapat diukur. Jenis bahan pangan yang dianalisis berpengaruh terhadap jenis probe yang digunakan. Probe yang digunakan untuk mengukur daya iris sosis adalah probe berbentuk pisau yang disebut blade set sedangkan probe yang digunakan untuk mengukur kekenyalan adalah probe yang berbentuk tumpul. Probe pisau dan probe tumpul secara berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 5. Pengukuran daya iris dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah probe pisau dengan kecepatan 2 mm/s dengan jarak 30 mm sedangkan untuk pengukuran kekenyalan, sampel diletakkan di bawah probe tumpul dan sampel ditekan sebanyak 25% selama 60 detik. Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg. Texture analyzer TA-XT2i dinyalakan lalu dipasang probe. Komputer dinyalakan untuk menjalankan program Texture analyzer TA-XT2i. Dilakukan setting kondisi pengukuran seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Setting kondisi pengukuran daya iris dan kekenyalan pada Texture Analyzer TA-XT2i TA setting Mode Option Pre-test Test-speed Post-test speed Distance Trigger type Acquisition rate Rupture Test Dist Force Time
Daya iris Measure force in compression Return to start 2 mm/s 2 mm/s 10 mm/s 30 mm Auto 20 g 200 pps 1.0 mm 2500 g 5.00 secon
Kekenyalan Measure force in compression Return to start 1mm/s 1mm/s 10 mm/s 25% Auto 20 g 200 pps 1% 2500 g 60 sec
Sampel sosis diletakkan di atas meja uji dan dilakukan pengujian tekstur. Grafik akan tergambar pada layar komputer dan data tekstur dapat diperoleh seperti yang dapat terlihat pada Gambar 6.
42
Gambar 5. Probe pisau dan probe tumpul
kekenyalan
Gambar 6. Grafik pengukuran daya iris dan kekenyalan dengan Texture Analyzer TA-XT2i
3. Penentuan Air Bebas yang Dikeluarkan (Hamm, 1974 yang dikutip Yanis, 2006) Sampel sosis sebanyak 0.3 gram diletakkan diantara dua kertas saring Whatman kemudian ditekan dengan beban seberat 35 kg selama 5
43
menit. Makin tinggi jumlah air bebas yang dikeluarkan maka WHC makin rendah dan semakin rendah jumlah air bebas yang dikeluarkan maka WHC semakin tinggi. Daerah yang tertutup sampel daging yang telah menjadi rata serta luas daerah basah disekitarnya diberi tanda dan diukur menggunakan planimeter. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel dari total (basah ditambah sampel) dan luas daerah yang tertutup sampel dengan menggunakan rumus : mg H2O = Daerah basah (cm2) 0.0948
- 8.0
4. Penentuan Cooking Loss (Modifikasi dari Soeparno, 1994) Sampel ditimbang sebelum dan sesudah dimasak pada suhu 80-83oC selama 20 menit. Kehilangan yang terjadi menunjukkan banyaknya air dan lemak yang hilang selama pemasakan. Cooking loss dihitung
dengan
menggunakan rumus : Cooking loss (%) = a – b x 100 % a Keterangan :
a = Bobot sampel sebelum dimasak (g) b = Bobot sampel sesudah dimasak (g)
5. Penentuan Rendemen (BSN, 2000) Rendemen dihitung sebagai presentase bobot bahan baku awal dengan bobot produk yang dihasilkan. Pengukuran rendemen surimi dilakukan terhadap bobot fillet dan bobot ikan patin utuh. Rendemen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : Rendemen (% terhadap fillet)
=
Rendemen (% terhadap ikan utuh)
=
Bobot surimi Bobot fillet
x 100 %
Bobot surimi x 100 % Bobot ikan patin utuh
44
6. Analisis Biaya Bahan Baku Analisis biaya dilakukan terhadap bahan baku (biaya variabel) yang dilakukan dengan menghitung jumlah bahan baku yang digunakan dikalikan dengan harga per satuan bahan baku. Dalam perhitungan harga jual produk sosis optimum, dilakukan juga perhitungan terhadap biaya variabel lainnya selain harga bahan baku, yaitu perhitungan biaya listrik, gas, dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi sosis ikan formula optimum yang ditambahkan dengan asumsi laba yang ingin diperoleh.
7.
Analisis Mikrobiologi terhadap Total Plate Count (TPC) (Fardiaz, 1989) Analisis mikrobiologi dilakukan terhadap Total Plate Count menggunakan media PCA (Potato Count Agar). Sampel sebanyak 10 g disiapkan secara aseptik, lalu ditambah pengencer 90 ml dan dihancurkan dengan stomacher selama 2 menit sehingga diperoleh pengenceran 1:10. Kemudian dibuat pengenceran berturut-turut 1:100, 1:1000, 1:10000, dan 1:100000. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan untuk memisahkan sel-sel mikroba yang bergabung menjadi satu. Pemupukan dengan metode tuang dilakukan dengan mengambil sampel hasil pengenceran (1:100 hingga 1:100000) sebanyak 1 ml dipipet ke dalam setiap cawan petri. Setelah itu ke dalam setiap cawan petri dimasukkan agar cair steril (nutrient agar) sebanyak 12-15 ml. Setelah penuangan, cawan petri segera ditutup kemudian cawan digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk menyebarkan sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau gerakan seperti angka delapan. Setelah agar memadat, cawan tersebut diinkubasi ke dalam inkubator dengan posisi terbalik pada suhu 30-32 oC selama 2-3 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung sebagai total count per gram contoh.
45
8. Uji Organoleptik (Meilgaard et al., 1999) Analisis organoleptik dilakukan dengan uji hedonik dan uji penerimaan pada tahap penelitian pendahuluan. Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan 5 skala kesukaan, yaitu 1 (tidak suka), 2 (agak suka), 3 (netral), 4 (agak suka), dan 5 (suka). Jumlah panelis yang digunakan pada tahap penelitian pendahuluan sebanyak 5-9 panelis tidak terlatih yang pernah memakan produk sosis. Uji hedonik juga dilakukan pada tahap penelitian utama dengan menggunakan garis skalar sepanjang 15 cm mulai dari sangat tidak suka hingga suka dengan parameter tekstur (daya gigit, kekerasan, kekenyalan, juiceness) dan rasa. Uji organoleptik pada tahap penelitian utama menggunakan minimal 30 panelis tidak terlatih yang pernah memakan produk sosis. Uji hedonik formula sosis terpilih dengan sosis ikan komersil pada tahap penelitian pendukung menggunakan garis skalar sepanjang 15 cm mulai dari sangat tidak suka hingga suka dengan parameter tekstur (daya gigit, kekerasan, kekenyalan, juiceness), rasa, aroma, warna, dan overall. Uji organoleptik pada tahap penelitian pendukung menggunakan minimal 30 panelis tidak terlatih yang pernah memakan produk sosis. Pengolahan data uji hedonik pada tahap penelitian pendukung menggunakan bantuan program statistik, yaitu SPSS 11.0 dengan uji lanjut menggunakan uji LSD untuk melihat pengaruh satu per satu komponen terhadap komponen yang lain.
46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMBUATAN SOSIS IKAN PATIN Proses pembuatan sosis dibagi atas dua tahap, yaitu proses pembuatan surimi dan proses pembuatan sosis ikan dari bahan baku surimi. Menurut Suzuki (1981) ada empat tahapan prinsip dalam proses pembuatan surimi, yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan, dan pembekuan. Proses pembuatan surimi dimulai dengan penyiangan kepala, ekor, sirip, kulit, dan jeroan ikan patin. Setelah itu ikan patin difillet dan langsung digiling menggunakan penggiling daging (grinder). Menurut Forrest et al. (1975), daging segar (pre-rigor) adalah daging yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses penyimpanan. Dengan perlakuan fisik dan kimia, jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging pada fase pre-rigor lebih besar daripada post-rigor. Menurut Amano (1965), tahap rigor mortis pada ikan umumnya terjadi lebih cepat daripada proses rigor mortis yang terjadi pada mamalia. Proses rigor mortis pada ikan terjadi 1-7 jam setelah kematian. Oleh karena itu, ikan yang baru difillet langsung digiling agar protein miofibril (aktin dan miosin) yang terekstrak cukup banyak. Setelah penggilingan, dilakukan pencucian daging ikan. Daging ikan giling dicuci dengan air dingin (10oC) sebanyak tiga kali selama masingmasing 10 menit. Perbandingan air dengan daging ikan yang digunakan adalah 3 : 1. Ditambahkan garam sebanyak 0.3% pada pencucian terakhir ikan menggunakan air dingin. Menurut Lee et al. (1988), pencucian daging ikan dilakukan sekitara 9-12 menit. Jika terlau lama, daging ikan dapat menyerap air yang berlebihan sehingga pengeluaran air akan sulit dilakukan. Pencucian ikan sebaikanya dilakukan lebih dari dua kali karena dapat meningkatkan kekuatan gel dengan mengekstrak protein miofibril dan menghilangkan bau amis ikan, di mana perbandingan air dengan daging ikan yang digunakan adalah 3 : 1. Menurut Grantham (1981) yang dikutip Erdiansyah (2006), pencucian daging ikan dilakukan tiga sampai lima kali. Biasanya air pencuci yang terakhir mengandung NaCl sebanyak 0.01-0.3 % untuk memudahkan pembuangan air, karena pencucian yang berulang-ulang akan meningkatkan
47
sifat hidrofilik daging ikan. Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu 5-10oC. Pencucian dengan air kran (suhu kamar) dapat merusak tekstur dan mempercepat degradasi lemak sedangkan pencucian dengan air laut dapat meningkatkan kehilangan protein. Daging giling yang telah dicuci dengan air kemudian disaring dan ditekan sehingga kadar air di dalam daging giling menjadi < 80%, karena menurut Lee (1984) yang dikutip Rahmawati (2005), kadar air maksimal untuk daging ikan lumat sebaiknya berkisar antara 78-80%. Daging giling yang telah disaring ini dinamakan surimi. Surimi ini kemudian ditimbang dan dibandingkan dengan berat ikan utuh dan berat fillet sehingga rendemen surimi dapat diketahui. Perhitungan rendemen surimi dilakukan dengan membagi berat surimi dengan berat ikan utuh (% rendemen surimi berdasarkan berat ikan utuh) atau membagi berat surimi dengan berat fillet (% rendemen surimi terhadap fillet). Rendemen surimi yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 32.76 % (terhadap ikan utuh) dan 63.20 % (terhadap fillet) (Lampiran 6). Perbandingan rendemen surimi dari dua sumber dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rendemen surimi Rendemen surimi
Rendemen
terhadap ikan utuh (%)
terhadap fillet (%)
a
38.00 a
33.12 b
63.75 b
32.76
63.20
26.00
a b
surimi
Mc Donald dan Lanier, 1988 yang dikutip oleh Lee et al., 1988 Latifa (2003)
Perbedaan rendemen ikan sangat bervariasi tergantung jenis ikan, bentuk tubuh, dan umur ikan (Suzuki, 1981). Ikan patin merupakan jenis ikan yang memiliki kandungan lemak sedang. Semakin banyak kandungan lemak pada suatu ikan maka rendemen surimi akan semakin rendah, karena dalam pembuatan surimi dilakukan pemisahan terhadap protein larut air dan juga lemak. Menurut Koswara (2006), pada pembuatan surimi, untuk ikan yang
48
berlemak tinggi, lemak tersebut harus diekstrak atau dikeluarkan lebih dulu karena akan berpengaruh terhadap daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah tengik. Karena surimi yang dibuat tidak langsung digunakan, maka harus disimpan pada suhu beku untuk mencegah kerusakan surimi akibat panas maupun mikroba. Sebelum disimpan beku, ditambahkan bahan krioprotektan berupa sorbitol 4%, sukrosa 4%, dan STPP 0.3% yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan protein pada surimi akibat pembekuan. Menurut Afrianto (1995), sukrosa dan sorbitol berfungsi meningkatkan tegangan permukaan air sehingga proses pembentukan kristal es dan migrasi es dari protein menjadi terhambat sedangkan polifosfat berfungsi menghambat, mencegah pelunakan, dan mempertahankan kestabilan emulsi. Menurut Erdiansyah (2006) sebagai sumber acuan dalam pembuatan surimi, penambahan STPP pada pembuatan surimi adalah sebanyak 0.2%. Tetapi pada penelitian ini dilakukan modifikasi terhadap prosedur tersebut, dengan penambahan STPP lebih banyak, yaitu 0.3%. Hal ini dilakukan karena menurut Suzuki (1981), jumlah bahan antidenaturasi yang biasa ditambahkan untuk mu-en surimi adalah 4% sorbitol, 4 % sukrosa, dan 0.3% Na-Polifosfat. Surimi yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis mu-en surimi yang merupakan surimi yang dibuat tanpa penambahan garam. Surimi yang telah ditambahkan bahan krioprotektan dikemas dalam plastik PE (polyethilene) lalu disimpan beku pada freezer bersuhu -18oC. Modifikasi terhadap prosedur Erdiansyah (2006) juga dilakukan terhadap proses pengemasan dan bahan pengemas yang digunakan pada surimi. Surimi tidak divakum dan dibungkus dengan plastik PP (Polypropilene), tetapi dibungkus dengan plastik PE (Polyetilene). Hal ini dilakukan karena menurut Suzuki (1981), surimi yang siap dibekukan dimasukkan ke dalam plastik Polyetilene menggunakan mesin pengisi, tanpa proses pemvakuman. Proses pembuatan sosis ikan dimulai dengan proses thawing (pencairan) surimi beku. Proses ini dilakukan agar surimi beku mudah dipotong menjadi bagian yang kecil-kecil sehingga mempermudah proses cutting. Menurut Erdiansyah (2006), tahap thawing dilakukan pada suhu dingin di dalam
49
refrigerator selama 1 malam. Tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan karena menurut Suzuki (1981) surimi beku harus dithawing sebelum digunakan dengan cara membiarkannya pada suhu ruang sampai surimi cukup lunak untuk dipotong menggunakan pisau menjadi bentuk yang kecil, kemudian diolah dengan cutter. Surimi beku pada penelitian ini tidak dithawing sampai mencair, tetapi dithawing separuh beku sampai surimi beku dapat dipotong menggunakan pisau. Menurut Amano (1965), surimi beku tidak perlu dithawing sempurna hingga mencair, cukup separuh beku saja karena kristal es yang tersisa pada surimi beku dapat mengurangi kerusakan protein miofibril akibat panas yang dihasilkan saat proses cutting. Proses cutting terbagi atas 3 tahap, yaitu cutting 1, cutting 2 dan cutting 3. Pada proses cutting 1, surimi yang telah dipotong dicutter bersama garam sebanyak 2%, dan es sebanyak 10%. Penambahan garam dan es ini berfungsi mengekstrak dan melarutkan protein miofibil sehingga diperoleh daya pembentukan gel yang baik, karena protein miofibril akan larut pada air dingin dan larut pada larutan garam. Menurut Kramlich (1971), untuk keberhasilan pembuatan sosis, maka ketersediaan garam untuk melarutkan protein daging merupakan kebutuhan utama. Pada proses cutting 2, yaitu setelah penambahan es, adonan ditambahkan minyak sebanyak 15%. Penambahan minyak ini dilakukan karena surimi sebagai bahan baku pembuatan sosis telah mengalami pencucian dan pemisahan lemak. Produk sosis yang kekurangan lemak dapat menyebabkan teksturnya menjadi keras. Menurut penelitian Hapsari (2002), sosis patin terbaik menurut penilaian panelis adalah sosis patin dengan kadar minyak 15%. Maksud dari penambahan minyak pada pembuatan sosis adalah untuk mendapatkan sosis ikan yang kompak, tekstur yang empuk, rasa, dan aroma sosis yang lebih baik (Amano, 1965). Setelah itu, ditambahkan bahan pengikat berupa isolat protein kedelai dan susu skim. Bahan pengikat ini ditambahkan sebagai emulsifier yang menstabilkan emulsi antara lemak dengan air. Selain itu, penambahan susu skim ini dimaksudkan untuk mempertegar pembentukan gel oleh kappa-karagenan akibat adanya kappakasein dan ion kalium serta iota-karagenan akibat adanya kalsium.
50
Ditambahkan pula sisa es sebanyak 5% untuk menjaga suhu agar tetap dingin. Menurut Erdiansyah (2006), sisa es
pertama ditambahkan setelah
penambahan bumbu. Tetapi pada penelitian ini, penambahan sisa es pertama dilakukan setelah penambahan minyak dan bahan pengikat dengan tujuan menurunkan suhu adonan karena kenaikan suhu akibat penambahan minyak pada proses cutting cukup cepat. Proses cutting dapat menghasilkan panas yang dapat mendenaturasi protein miofibril (aktin dan miosin) sehingga penting untuk menjaga suhu selama proses cutting. Pada proses cutting 3, yaitu setelah penambahan es, ditambahkan bumbu sebanyak 2% untuk meningkatkan cita rasa sosis. Beberapa bumbu ini bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba merugikan (Soeparno,1994). Selain bumbu, ditambahkan bahan pengisi berupa tapioka sebanyak 6%, dan karagenan yang banyaknya berkisar antara 0-2%. Jumlah karagenan yang ditambahkan tergantung dari rancangan formula yang diberikan program Design Expert version 7. Tepung tapioka dipilih sebagai bahan pengisi karena menurut Nurhayati (1996), penambahan tepung tapioka berpengaruh nyata terhadap aroma, tekstur, dan rasa sosis ikan. Sosis yang menggunakan tapioka sebagai bahan pengisi mempunyai penerimaan terbaik. Terakhir, ditambahkan sisa es sebanyak 5% yang bertujuan menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Selain itu, es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu sehingga dapat tersebar lebih merata. Menurut Erdiansyah (2006), cutting 1 dilakukan selama 10 menit, cutting 2 selama 5 menit, dan cutting 3 selama 5 menit, dengan suhu akhir adonan 12oC. Tetapi, pada penelitian ini dilakukan modifikasi di mana tiap proses cutting ini dilakukan hingga adonan tercampur merata. Lamanya tiap proses cutting tidak dapat diseragamkan karena jumlah surimi, air, karagenan, dan susu skim yang digunakan tiap formula berbeda-beda. Bila proses cutting ini dilakukan terlalu lama, maka protein dapat terdenaturasi akibat panas yang dihasilkan cutter, sehingga pembentukan emulsinya rusak. Suhu akhir adonan
51
yang dicutter pada tiap formula dipertahankan 6-8oC. Menurut Karmlich et al. (1973), pada tahap penggilingan, bahan kuring (serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat dan bahan tambahan lain) ditambahkan sehingga dapat terdistribusi secara merata dan suhu adonan yang terbentuk dipertahankan serendah mungkin sekitar 3-11 oC agar diperoleh stabilitas emulsi maksimum. Setelah adonan dicutting secara merata, dilakukan proses stuffing, yaitu proses pengisian adonan ke dalam casing. Pengisian ini menggunakan stuffer manual. Hal ini berbeda dengan prosedur yang dilakukan Erdiansyah (2006), di mana pengisian adonan ke dalam sosis dilakukan menggunakan mesin stuffer. Stuffer yang digunakan pada penelitian ini bukan mesin stuffer melainkan stuffer manual karena kapasitas adonan yang tidak cukup banyak untuk dimasukkan ke dalam mesin stuffer. Diusahakan sebisa mungkin tidak ada udara yang terjebak pada saat pengisian adonan ke dalam casing. Saat sosis dimasak, udara yang terjebak pada adonan menguap dan menyisakan lubang-lubang pada permukaan dan bagian dalam sosis sehingga dapat merusak penampakan tekstur. Setelah dimasukkan ke dalam casing, sosis dimasak. Pemasakan sosis ini bertujuan menyatukan komponen utama adonan sosis (Lawrie, 1961), mengompakkan sosis karena denaturasi protein dan dehidrasi sebagian, serta mempasteurisasi sosis (Kramlich, 1971). Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan pada suhu 72oC selama 15 menit (Lewis dan Happell, 2000). Menurut Erdiansyah (2006), perebusan sosis dilakukan pada suhu 80oC selama 15 menit, tetapi pada penelitian ini dilakukan modifikasi, yaitu perebusan sosis dilakukan pada suhu 80-83oC selama 20 menit. Kisaran suhu perebusan yang digunakan pada penelitian ini lebih lebar dan waktu perebusan yang dilakukan lebih lama agar tercapai kecukupan panas pada titik coldest point sosis yaitu sebesar 72-75oC sehingga produk sosis aman dikonsumsi (Pearson dan Tauber, 1984). Berdasarkan hasil pengukuran suhu internal pada sosis dengan pemasakan di dalam waterbath bersuhu 80-83oC, pencapaian suhu internal sosis 72oC pada coldest point terjadi pada menit
52
kedua sampai menit ketiga sehingga bila memperhitungkan kecukupan pasteurisasi, maka perebusan sosis pada suhu 80-83oC selama 20 menit sudah cukup untuk mempasteurisasi sosis. Menurut Heinrickson (1978), pemasakan sosis paling baik dilakukan pada kisaran suhu optimal 70-80 oC dengan waktu yang sesingkat mungkin sehingga sosis matang. Pemasakan sosis sampai suhu 80oC akan meningkatkan kekenyalan sosis dan pemasakan sosis sampai lebih dari 100oC akan menurunkan elastisitas atau sosis menjadi rapuh dan lemak akan keluar (Amano, 1965). Setelah sosis dimasak, sosis didinginkan dengan diangin-anginkan.
B. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini meliputi penetapan formula bumbu untuk menambah cita rasa sosis, penentuan kisaran maksimum dan minimum dari penambahan surimi dan air, penentuan perbandingan jenis karagenan yang cocok, penentuan kisaran maksimum dan minimum dari penambahan karagenan serta susu skim. 1. Penetapan Bumbu Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap rasa yang dilakukan terhadap 9 panelis, diperoleh rata-rata skor kesukaan untuk A1 adalah 3 (netral), A2 adalah 3.6 (netral hingga agak suka), A3 adalah 4.2 (agak suka hingga suka) dan A4 adalah 4.6 (agak suka hingga suka). Hasil uji hedonik dengan parameter rasa pada variasi persentase bumbu dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa A4 lebih disukai daripada A1, A2, dan A3 karena nilai rata-rata skor kesukaan untuk A4 paling tinggi Oleh karena itu ditetapkan formula bumbu A4 dengan komposisi garam 2%, bawang putih 0.6%, MSG 0.5%, merica 0.4%, bawang merah 0.1%, pala 0.2% dan jahe 0.2% sebagai formula bumbu yang akan digunakan pada penelitian utama.
53
5
Skor
4 3
4.2
4.6
3.6 3
2 1 0 A1
A2
A3
A4
Formula Gambar 7. Uji hedonik terhadap parameter rasa pada variasi persentase bumbu
2. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Surimi dan Air Berdasarkan uji penerimaan terhadap tekstur yang dilakukan kepada 5 panelis, ditentukan batas minimum penggunaan surimi adalah 35% (B2). Tekstur dari sosis dengan penggunaan surimi sebanyak 30% (B1) tidak dapat diterima panelis karena teksturnya yang terlalu lembek dan mudah hancur bila digigit. Panelis mulai dapat menerima tekstur B2 yang teksturnya agak kenyal dan tidak mudah hancur bila digigit. Batas maksimum penggunaan surimi adalah 55% (B4) karena penerimaan tekstur B4 lebih besar daripada penerimaan tekstur B5 dan B6. Terlihat bahwa ada indikasi panelis sebanyak 20% mulai tidak menyukai penggunaan surimi sebesar 60% (B5) dan 65% (B6) karena teksturnya dianggap terlalu kenyal untuk produk sosis sehingga batas maksimum penambahan surimi yang diambil hanya sampai B4. Mengingat semakin banyak surimi yang digunakan dapat menambah biaya produksi, maka
maksimum penambahan surimi dibatasi hanya
sampai 55%. Hal ini juga didukung oleh penelitian Hapsari (2002) yang menyatakan bahwa sosis ikan patin dengan penambahan daging ikan lebih dari 55% akan menurunkan tingkat kesukaan panelis. Penentuan batas minimum air ditentukan berdasarkan batas maksimum surimi dan
54
penentuan batas maksimum air ditentukan berdasarkan batas minimum surimi sehingga diperoleh batas minimum dan maksimum air adalah berturut-turut sebesar 17% dan 37%. Hasil uji penerimaan dengan parameter tekstur pada variasi persentase surimi dan air dapat dilihat pada Gambar 8.
Jumlah penerima (%)
120 100
100
80
80
80
80
B5
B6
60 40
40 20 0
0 B1
B2
B3
B4
Formula
Gambar 8. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi persentase surimi dan air 3. Penentuan Perbandingan Kappa- dan Iota-Karagenan Berdasarkan hasil uji hedonik yang dilakukan terhadap tekstur sosis kepada 8 panelis, diperoleh rata-rata skor kesukaan untuk C1 adalah 2.2 (antara agak tidak suka hingga netral), C2 adalah 3.2 (antara netral hingga agak suka), C3 adalah 3.6 (netral hingga agak suka), C4 adalah 4 (suka) dan C5 adalah 2.8 (antara agak tidak suka hingga netral).Uji hedonik terhadap parameter tekstur pada variasi perbandingan jenis karagenan dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa C4 paling disukai karena rata-rata skor kesukaan untuk C4 paling tinggi. Panelis menyukai tekstur C4 karena lebih kenyal diantara formula lainnya. Ditetapkan bahwa perbandingan jenis karagenan yang akan digunakan pada penelitian utama adalah karagenan dengan komposisi 25% kappa-karagenan dan 75% iota-
55
karagenan. Jumlah iota- karagenan lebih banyak daripada kappakaragenan dalam perbandingan karena menurut Trius et al. (1994) penggunaan kappa-karagenan dapat meningkatkan kekerasan dari produk daging tanpa lemak (kadar lemak 4%) dan tanpa air sedangkan iotakaragenan dapat meningkatkan kekerasan gel daging dengan penambahan lemak (kadar lemak 8%) dan penambahan air. Jumlah air dan minyak yang ditambahkan pada sosis ikan ini lebih banyak sehingga dapat dimaklumi penggunaan iota- karagenan lebih dominan daripada kappa-karagenan.
5
Skor
4 3
3.2
3.6
4 2.8
2.2
2 1 0 C1
C2
C3
C4
C5
Formula Gambar 9. Uji hedonik terhadap parameter tekstur pada variasi perbandingan jenis karagenan 4. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Karagenan Berdasarkan uji penerimaan terhadap tekstur yang dilakukan kepada 6 panelis, ditentukan batas maksimum penggunaan karagenan adalah 2% (D1) karena tekstur dari D2 (3%) dan D3 (4%) tidak dapat diterima panelis sedangkan panelis dapat menerima tekstur D1 (2%). Hasil uji penerimaan terhadap maksimum penambahan karagenan dapat dilihat pada Gambar 10. Tekstur D2 dan D3 tidak dapat diterima oleh panelis karena terlalu rapuh dan mudah hancur saat digigit, berbeda dengan tekstur D1 yang kenyal dan tidak mudah hancur saat digigit. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dapat ditentukan penambahan minimum karagenan adalah 0% dan penambahan maksimum karagenan sebanyak 2%.
56
Jumlah penerima (%)
100
83.33
80 60 40 20 0 D1
0
0
D2
D3
Formula
Gambar 10. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi persentase karagenan
5. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Susu Skim Berdasarkan uji penerimaan terhadap tekstur yang dilakukan kepada 8 panelis, ditetapkan batas maksimum penambahan susu skim adalah sebanyak 5% (E3) karena masih terdapat panelis sebanyak 37.5% yang dapat menerima tekstur. Panelis masih dapat menerima penambahan susu skim sampai 5% karena teksturnya masih cukup kenyal dan cukup kompak bila dibandingkan tekstur formula lainnya. Hasil uji penerimaan terhadap maksimum penambahan susu skim dapat dilihat pada Gambar 11. Menurut Pearson dan Tauber (1984), penambahan susu skim diatas batas legalnya yaitu 3.5% dapat meningkatkan tekstur dan flavor pada sosis emulsi. Penambahan susu skim dapat meningkatkan tekstur karena mengandung ion kalsium yang mendukung pembentukan gel dari iotakaragenan dan adanya kappa-kasein yang mendukung pembentukan gel dari kappa-karagenan (Fardiaz, 1989) sedangkan kandungan laktosa pada susu skim dapat meningkatkan dan melengkapi aroma pada sosis (Karmas, 1976). Maka ditetapkan batas minimum penambahan susu skim adalah 0% dan penambahan maksimum adalah 5%.
57
Jumlah penerima (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
75
37.5
37.5 12.5
E1
E2
E3
E4
Formula
Gambar 11. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi persentase susu skim
C. PENELITIAN UTAMA 1. Rancangan Formulasi Rancangan metode penelitian yang digunakan pada program Design Expert version 7 adalah rancangan Response Surface Methodology (RSM) mixture design D-optimal. Penggunaan rancangan RSM mixture design dikarenakan rancangan ini sesuai dengan faktor perlakuan pada penelitian ini, yaitu perlakuan pencampuran komponen yang diubah-ubah untuk memperoleh respon tertentu. Faktor perlakuan berupa komponen yang diubah-ubah pada penelitian ini adalah jumlah surimi, air, karagenan, dan susu skim. Output dari proses analisis respon yang diolah dengan rancangan statistik RSM mixture design adalah berupa persamaan polinomial. Persamaan polinomial yang diperoleh tiap respon ditunjukkan dengan variabel tertentu, yang dapat berbentuk Mean (M) = pangkat 0, Linear (L) = pangkat 1, Quadratic (Q) = pangkat 2, atau Cubic (C) = pangkat 3. Variabel tersebut menjadi faktor yang menentukan rancangan model polinomial untuk faktor perlakuan pada penelitian sehingga didapatkan respon yang mendukung terciptanya produk yang optimal (Anonim, 2007).
58
Pada tahap perancangan formula, digunakan kisaran maksimum dan minimum dari jumlah komponen yang didapat pada penelitian pendahuluan yang dilakukan secara trial dan error. Kisaran komponen yang digunakan adalah untuk surimi sebesar 35-55%, air 17-37%, karagenan (campuran 25% kappa-karagenan dan 75% iota-karagenan) sebesar 0-2%, dan susu skim sebesar 0-5%. Hal-hal tersebut merupakan kendala bahan dalam pembuatan rancangan percobaan. Rancangan formula yang disarankan program Design Expert version 7 adalah sebanyak 19 formula. Output dari proses ini dinamakan respon. Pemilihan respon dilakukan berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat perubahan proporsi relatif dari komponen-komponennya. Respon-respon ini yang akan diukur dan dioptimasi sehingga diperoleh formula optimum. Respon-respon pada penelitian ini adalah respon biaya, respon subyektif berupa tekstur dan rasa, respon obyektif berupa air bebas yang dikeluarkan, cooking loss, daya iris, dan kekenyalan. Respon-respon ini dipilih agar dapat diperoleh formula yang dapat menghasilkan sosis dengan mutu yang baik. Rancangan 19 formula yang disarankan Design Expert version 7 beserta hasil responnya dapat dilihat pada Tabel 13.
2. Analisis Respon Program Design Expert version 7 memiliki 5 model polinomial untuk setiap respon. Model-model polinomial itu adalah mean, linear, quadratic, special cubic, dan cubic. Model polinomial merupakan output dari proses analisis mutu awal produk yang diolah oleh rancangan statistik RSM mixture design yang menunjukkan hasil analisis mutu awal atau respon produk. Program Design Expert version 7 akan merekomendasikan salah satu model yang paling sesuai untuk setiap respon. Pemilihan model yang cocok dari tiap respon akan ditampilkan dalam fit summary.
59
Tabel 13. Hasil keseluruhan respon (biaya, tekstur, rasa, air bebas yang dikeluarkan, cooking loss, daya iris, kekenyalan) pada 19 formula
Std
Run
Block
Component 1 A:surimi %
4 5 2 6 1 15 12 9 3 14 13 10 8 7 11 16 17 18 19
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1 Block 1
53 55 43.75 51.5 35 35 48.125 35 50 55 41.5 48 44.5 35 39.125 35 50 53 44.5
Component 2 B:air %
Component 3 C:karagenan %
Component 4 D:susu skim %
17 17 25.75 17 37 31 21.125 31 17 17 23.5 17 26.5 35 30.125 37 17 17 26.5
2 0 0 1 0 1 1.5 1 0 0 2 2 1 2 1.5 0 0 2 1
0 0 2.5 2.5 0 5 1.25 5 5 0 5 5 0 0 1.25 0 5 0 0
Response 1 Biaya (Rp./ 350 g sosis)
8660.58 8615.36 7521.36 8655.11 6075.19 6894.13 8134.14 6894.13 8649.65 8615.36 7869.31 8694.86 7431.39 6374.42 6991.14 6075.19 8649.65 8660.58 7431.39
Response 2 tekstur (0-15)
Response 3 rasa (0-15)
Response 4 air bebas yang dikeluarkan (mg H2O)
Response 5 cooking loss (%)
Response 6 daya iris (gf)
Response 7 Kekenyalan (gf)
10.20 8.40 8.00 9.30 4.30 6.90 9.70 7.10 8.40 9.20 9.10 9.80 7.50 6.90 7.90 4.20 10.00 10.70 7.50
9.90 8.50 9.60 9.10 7.80 9.00 9.40 8.40 8.70 9.80 8.70 9.00 9.10 8.10 8.80 7.90 9.60 10.10 8.80
61.62 71.11 63.73 63.73 88.52 47.38 58.98 63.73 59.51 60.04 61.62 45.80 79.03 82.72 53.71 87.46 73.22 71.11 89.05
3.44 3.27 3.66 5.16 3.68 3.66 4.12 3.09 3.34 3.46 5.07 3.56 5.50 4.17 3.97 3.85 3.71 3.80 3.79
638.6 1367.4 534.1 1154.5 555.7 473.3 767.8 477.8 832.8 1374.1 394.3 548.9 680.8 302.6 552.9 278.7 811.7 621.9 519.8
538.9 423.1 208.9 424.4 79.5 201.1 449.7 251.4 291.8 470.7 456.4 552.5 267.5 218.2 261.4 83.7 292.8 578.2 245.0
60
Kesesuaian antara hasil aktual dengan hasil yang diprediksikan pada program Design Expert version 7 dapat dilihat melalui grafik plot kenormalan Internally Studentized Residual. Plot kenormalan Internally Studentized Residual adalah besarnya standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual dengan yang diprediksikan. Plot kenormalan mengindikasikan apakah residual (perbedaan antara nilai respon aktual dengan yang diprediksikan) mengikuti garis kenormalan (garis lurus). Semakin mendekati suatu titik-titik (data) dengan garis kenormalan, maka akan semakin baik, karena titik-titik (data) tersebut menyebar normal, yang berarti hasil aktual akan mendekati hasil yang diprediksikan program Design Expert version 7 (Anonim, 2007). Program Design Expert version 7 dapat menyelesaikan persamaan polinomial di mana persamaan tersebut dapat ditampilkan dalam suatu contour plot, yang berupa gambar dua dimensi (2-D) maupun grafik tiga dimensi (3-D). Grafik countour plot menggambarkan bagaimana kombinasi antar komponen saling mempengaruhi nilai respon (Anonim, 2007). Bentuk permukaan dari hubungan interaksi antar komponen ini dapat dilihat lebih jelas pada grafik tiga dimensi.
a. Analisis Respon Biaya (per 350 g sosis ikan) Respon biaya yang dihitung pada penelitian ini adalah raw material cost (biaya bahan baku) yang dapat dilihat pada Tabel 14. Biaya ini yang merupakan biaya variabel yang akan berubah-ubah akibat perbedaan penggunaan jumlah surimi, air, karagenan, dan susu skim. Berdasarkan Tabel 14, terlihat bahwa harga bahan baku yang paling mahal adalah pala, diikuti isolat protein, merica, karagenan, susu skim, dan surimi. Namun, bahan baku selain surimi, digunakan sangat sedikit, dan jumlahnya tidak lebih dari 5%, sehingga tidak berpengaruh banyak terhadap kenaikan biaya bahan baku. Surimi sebagai bahan baku dasar, sangat menentukan cost dalam pembuatan sosis. Hal ini selain dikarenakan jumlah surimi adalah yang paling banyak digunakan
61
diantara bahan lainnya, juga dikarenakan rendemen surimi yang rendah (32.76 % terhadap ikan utuh dan 63.20 % terhadap fillet). Tabel 14. Harga bahan baku sosis ikan patin No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Bahan Surimi Air Tapioka Minyak Isolat Protein Bw.putih Bw.merah merica MSG Jahe Pala Garam Karagenan Susu skim
Harga (Rp) 24779.4 2620 2195 15300 8000 840 899 5995 20000 1350 5200 1000 42750 15300
Satuan 682,8 g 1000 L 500 g 2L 100 g 100 g 100 g 85 g 1 kg 100 g 50 g 500 g 1 kg 400 g
Harga /g 36.29 0.003 4.39 8.50 80.00 8.40 8.99 70.53 20.00 13.50 104.00 2.00 42.75 38.25
Biaya (RM cost) dalam pembuatan sosis ikan berkisar antara Rp. 6075.19 hingga Rp.8694.86. RM cost terendah, yaitu Rp. 6075.19 berasal dari formula 5 dan formula 16 yang menggunakan surimi paling sedikit, yaitu 35%, dan air paling banyak, yaitu 37%, tanpa karagenan dan susu skim. RM cost tertinggi, yaitu Rp.8694.86 berasal dari formula 12 yang menggunakan surimi cukup banyak, yaitu 48%, air sebanyak 17% disertai penggunaan maksimum karagenan, yaitu 2% dan susu skim, yaitu 5%. Nilai rata-rata (mean) dari hasil uji respon biaya (RM cost) adalah Rp. 7731.21, dengan standar deviasi 0.09. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari respon biaya (RM cost) adalah linear. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu linear adalah signifikan, dengan nilai p “prob>F” lebih kecil daripada 0.05 (<0.0001). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linier mixture) komponen A (surimi), komponen B (air), komponen C (karagenan), dan komponen D (susu skim) memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon biaya (<0.0001). Nilai Lack of Fits
62
untuk respon biaya (RM cost) sangat kecil bahkan dapat diabaikan, yang berarti data respon biaya (RM cost) sangat sesuai dengan model (Lampiran 8). Nilai PRESS yang merupakan nilai sum of squares dari residual error yang diprediksikan untuk respon biaya (RM cost) adalah sebesar 0.1759. Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared berturut-turut untuk respon biaya (RM cost) adalah 1, yang menunjukkan bahwa datadata yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon biaya (RM cost) yang tercakup ke dalam model adalah sebesar 100% (Lampiran 8). Persamaan polinomial untuk respon biaya (RM cost) adalah sebagai berikut : Biaya (Rp.) = + 149.64604 x surimi + 22.63844 x air +172.26232 x karagenan + 156.50088 x susu skim Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa biaya (RM cost) meningkat seiring peningkatan jumlah surimi, air, karagenan, dan susu skim, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai positif. Besarnya biaya sangat ditentukan oleh penambahan karagenan, karena diantara komponen lainnya, nilai konstanta karagenan paling besar (172.26232) diikuti susu skim, surimi, dan air. Tetapi karena karagenan yang digunakan sangat sedikit (maksimum hanya 2%) dan jumlah susu skim yang digunakan pun sedikit (maksimum hanya 5%), maka yang sangat menentukan kenaikan biaya bahan baku adalah surimi. Surimi ini merupakan bahan baku utama dalam pembuatan sosis ikan dan jumlah yang digunakan paling banyak diantara bahan baku lainnya. Nilai konstanta surimi pun cukup besar (149.64604) sehingga sangat menentukan besarnya biaya (RM cost). Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon biaya (RM cost) dapat dilihat pada Gambar 12. Grafik contour plot untuk respon biaya (RM cost) terhadap komponen surimi, air, karagenan, dengan susu skim sebesar 2.128 % dapat dilihat pada Gambar 13 dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 14.
63
Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa jarak antara titik terjauh di atas dan di bawah garis lurus kurang lebih sama, dan beberapa titik lain berada di dekat di sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data hasil respon biaya (RM cost) menyebar normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual biaya (RM cost) dengan respon biaya (RM cost) yang diprediksikan tidak besar. Data-data respon biaya (RM cost) yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon biaya (RM cost). Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 13 menunjukkan besarnya biaya (RM cost). Warna biru menunjukkan biaya
terendah,
yaitu
Rp.6075.19
sampai
warna
merah
yang
menunjukkan biaya tertinggi, yaitu sebesar Rp.8694.86. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari keempat komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan respon biaya tertentu yang sama.
Gambar 12. Grafik kenormalan Internally Student Residual respon biaya (RM cost)
64
Gambar 13. Grafik countour plot hasil uji respon biaya (RM cost)
Gambar 14. Grafik tiga dimensi hasil uji respon biaya (RM cost)
65
b. Analisis Respon Tekstur Menurut Meilgaard et al. (1999), yang dimaksud dengan tekstur adalah sesuatu yang bersifat kompleks, dan didefinisikan sebagai manifestasi sensori dari struktur luar dan dalam dari suatu produk. Tiap produk pangan memiliki definisi tersendiri untuk tekstur. Respon tekstur yang dimasukkan pada respon yaitu tekstur secara keseluruhan yang penting dan erat kaitannya dengan produk sosis yang mencakup daya gigit, kekerasan, kekenyalan, dan juiceness. Respon ini diuji secara organoleptik dengan uji hedonik menggunakan 30 panelis yang pernah memakan produk sosis. Hasil nilai respon tekstur adalah berkisar antara 4.2 hingga 10.7. Nilai kesukaan tekstur terendah yaitu 4.2 (berkisar antara sangat tidak suka hingga tidak suka) berasal dari formula 16 yang menggunakan surimi paling sedikit, yaitu 35%, dan air paling banyak, yaitu 37%, tanpa karagenan dan susu skim. Kandungan surimi yang rendah dengan penambahan air yang banyak tanpa disertai penggunaan karagenan dan susu skim memungkinkan produk sosis yang dihasilkan menjadi terlalu lembek dan cepat hancur di mulut sehingga tidak disukai panelis. Nilai kesukaan tekstur tertinggi yaitu 10.7 (berkisar antara netral hingga agak suka) berasal dari formula 18 yang menggunakan cukup banyak surimi, yaitu 53%, air sebanyak 17%, menggunakan karagenan maksimum yaitu 2%, tanpa susu skim. Penggunaan surimi yang cukup banyak disertai adanya penambahan karagenan dan cukup air memungkinkan produk sosis yang dihasilkan menjadi empuk sehingga banyak panelis yang menyukainya. Nilai rata-rata (mean) dari respon tekstur adalah 8.16 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral), dengan standar deviasi 0.54. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari respon tekstur adalah linear. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu linear adalah signifikan, dengan nilai p
66
“prob>F” lebih kecil daripada 0.05 (<0.0001). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linier mixture) komponen A (surimi), komponen B(air), komponen C (karagenan), dan komponen D (susu skim) memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon tekstur (<0.0001). Nilai F dari Lack of Fit yang dihasilkan untuk respon tekstur adalah sebesar 1.04, yang menandakan Lack of Fit tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon tekstur dengan model (Lampiran 9). Nilai PRESS yang merupakan nilai sum of squares dari residual error yang diprediksikan untuk respon tekstur adalah sebesar 7.4381. Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared untuk respon tekstur berturut-turut adalah 0.8724 dan 0.9080, yang menunjukkan bahwa datadata yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon tekstur yang tercakup ke dalam model adalah berturut-turut sebesar 87.24% dan 90.80% (Lampiran 9). Persamaan polinomial untuk respon tekstur adalah sebagai berikut : Tekstur
=
+ 0.17182 x surimi + (-0.034558) x air + 0.92726 x karagenan + 0.21158 x susu skim
Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa nilai kesukaan terhadap tekstur akan meningkat seiring peningkatan jumlah surimi, karagenan, dan susu skim, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai positif. Sedangkan air dapat menurunkan nilai kesukaan terhadap tekstur, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif. Nilai kesukaan terhadap tekstur sangat ditentukan oleh penambahan karagenan, karena diantara komponen lainnya, nilai konstanta karagenan paling besar (0.92726), diikuti susu skim dan surimi sedangkan penambahan air dapat menurunkan nilai kesukaan terhadap tekstur tetapi besar konstantanya kecil (0.034558). Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon tekstur dapat dilihat pada Gambar 15. Grafik contour plot untuk respon tekstur terhadap komponen surimi, air, karagenan, dengan susu skim
67
sebesar 2.128 %
dapat dilihat pada Gambar 16 dan grafik tiga
dimensinya dapat dilihat pada Gambar 17. Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data untuk respon tekstur menyebar normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual tekstur dengan respon tekstur yang diprediksikan tidak besar. Data-data respon tekstur yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon tekstur. Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 16 menunjukkan nilai respon tekstur. Warna biru menunjukkan nilai respon tekstur terendah, yaitu 4.2 (sangat tidak suka hingga suka) sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon tekstur tertinggi, yaitu 10.7 (netral hingga agak suka). Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari keempat komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai respon tekstur tertentu yang sama.
Gambar 15. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon tekstur
68
Gambar 16. Grafik countour plot hasil uji respon tekstur
Gambar 17. Grafik tiga dimensi hasil uji respon tekstur
69
c. Analisis Respon Rasa Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al., 1999). Rasa dimasukkan sebagai respon karena perubahan jumlah surimi memungkinkan dapat mengubah rasa akibat adanya penambahan krioprotektan. Semakin banyak surimi yang digunakan sebagai bahan baku, maka rasa manis yang berasal dari krioprotektan akan semakin dominan. Selain itu, semakin banyak penggunaan surimi, maka dapat meningkatkan rasa ikan dalam produk. Respon ini diuji secara organoleptik dengan uji hedonik menggunakan 30 panelis yang pernah memakan produk sosis. Hasil nilai respon rasa adalah berkisar antara 7.8 hingga 10.1. Nilai kesukaan rasa terendah yaitu 7.8 (agak tidak suka hingga netral) berasal dari formula 5 yang menggunakan surimi paling sedikit, yaitu 35%, dan air paling banyak, yaitu 37%, tanpa karagenan dan susu skim. Kandungan surimi yang rendah dengan penambahan air yang banyak tanpa disertai penggunaan karagenan dan susu skim memungkinkan produk sosis yang dihasilkan menjadi terasa hambar sehingga tidak disukai panelis. Nilai kesukaan rasa tertinggi yaitu 10.1 (berkisar antara netral hingga agak suka) berasal dari formula 18 yang menggunakan cukup banyak surimi, yaitu 53% , air sebanyak 17%, menggunakan karagenan maksimum yaitu 2%, tanpa susu skim. Penggunaan surimi yang cukup banyak disertai adanya penambahan karagenan dan cukup air memungkinkan produk sosis yang dihasilkan terasa lebih enak sehingga banyak panelis menyukainya. Nilai rata-rata (mean) dari respon rasa adalah 8.96
(berkisar antara netral hingga agak suka), dengan
standar deviasi 0.48. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari respon rasa
adalah linear. Hasil uji sidik ragam
(ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu linear adalah signifikan, dengan nilai p
70
“prob>F” lebih kecil daripada 0.05 (0.0059). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linier mixture) komponen A (surimi), komponen B (air), komponen C (karagenan), dan komponen D (susu skim) memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon rasa (0.0059). Nilai F dari Lack of Fit yang dihasilkan untuk respon rasa adalah sebesar 0.89, yang menandakan Lack of Fit tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon rasa dengan model (Lampiran 10). Nilai PRESS yang merupakan nilai sum of squares dari residual error yang diprediksikan untuk respon rasa adalah sebesar 5.8497. Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared untuk respon rasa berturut-turut adalah 0.2561 dan 0.4647, yang menandakan data-data yang diprediksikan dan data-data aktual yang tercakup ke dalam model adalah berturut-turut hanya sebesar 25.61% dan 46.47% (Lampiran 10). Persamaan polinomial untuk respon rasa adalah sebagai berikut : Rasa = + 0.14567 x surimi + 0.081116 x air + 0.26197 x karagenan + 0.10985 x susu skim Berdasarkan persamaan terlihat bahwa nilai kesukaan terhadap rasa akan meningkat seiring peningkatan jumlah surimi, air, karagenan, dan susu skim, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai positif. Nilai kesukaan terhadap rasa sangat ditentukan oleh penambahan karagenan, karena diantara komponen lainnya, nilai konstanta karagenan paling besar (0.26197), diikuti oleh surimi, susu skim, dan air. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon rasa dapat dilihat pada Gambar 18. Grafik contour plot untuk respon rasa terhadap komponen surimi, air, karagenan, dengan susu skim sebesar 2.128 %
dapat dilihat pada Gambar 19 dan grafik tiga
dimensinya dapat dilihat pada Gambar 20.
71
Gambar 18. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon rasa Berdasarkan Gambar 18 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal sehingga dapat dikatakan bahwa data hasil respon rasa menyebar normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual rasa dengan respon rasa yang diprediksikan tidak besar. Data-data respon rasa yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon rasa. Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 19 menunjukkan nilai respon rasa. Warna biru menunjukkan nilai respon rasa terendah, yaitu 7.8 (agak tidak suka hingga netral) sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon rasa tertinggi, yaitu 10.1 (netral hingga agak suka). Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari keempat komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai respon rasa tertentu yang sama.
72
Gambar 19. Grafik countour plot hasil uji respon rasa
Gambar 20. Grafik tiga dimensi hasil uji respon rasa
73
d. Analisis Respon Air Bebas yang Dikeluarkan Water holding capacity (WHC) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat airnya sendiri atau air yang ditambahkan saat proses. (Offer dan Knight, 1988). Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging dan dalam pembuatan produk emulsi daging tersebut diperlukan WHC tinggi. WHC ini berkaitan erat dengan air bebas yang dikeluarkan. WHC merupakan faktor penting dalam pembentukan gel (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Perhitungan sejumlah air bebas yang dikeluarkan dapat dilakukan dengan menekan kertas saring Whatman yang berisi sampel dengan berat 35 kg selama 5 menit. Setelah ditekan selama 5 menit, sampel akan membebaskan air, dan besar penyebaran airnya dapat terlihat pada kertas saring. Luasan lingkaran penyebaran air dan luasan lingkaran sampel awal ditandai. Besarnya luasan diukur dengan alat yang disebut planimeter. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan luas lingkaran luar dengan luas lingkaran dalam (luasan sampel). Daerah basah menandakan air bebas yang dikeluarkan sampel pada saat ditekan. Perhitungan air bebas ini didasarkan banyaknya mg H2O yang dapat dibebaskan sampel. Semakin besar daerah basah, maka air bebas yang dikeluarkan semakin banyak sehingga produk tersebut memiliki daya mengikat air (WHC) yang semakin buruk, karena produk tidak dapat menahan air yang terkandung di dalamnya pada saat ditekan. Semakin kecil daerah basah, maka air bebas yang dikeluarkan semakin sedikit sehingga produk tersebut memiliki daya mengikat air (WHC) yang semakin baik karena produk dapat menahan kandungan air di dalamnya pada saat ditekan. Hasil nilai respon air bebas yang dikeluarkan adalah berkisar antara 47.38 mg H2O hingga 89.05 mg H2O . Nilai terendah air bebas yang dikeluarkan yaitu 47.38 mg H2O berasal dari formula 6 yang menggunakan surimi paling sedikit, yaitu 35%, air sebanyak 31%, karagenan 1% dan susu skim maksimum, sebesar 5%. Nilai tertinggi air
74
bebas yang dikeluarkan yaitu 89.05 mg H2O berasal dari formula 19 yang menggunakan surimi sebanyak 44.5%, air sebanyak 26.5%, karagenan sebanyak 1%, tanpa susu skim. Terlihat bahwa adanya susu skim berkontribusi besar dalam penahanan air. Jenis karagenan yang digunakan adalah 75% iota-karagenan dan 25% kappa-karagenan. Berarti, pengaruh iota-karagenan sangat dominan daripada kappakaragenan. Menurut Fardiaz (1989), iota-karagenan yang merupakan jenis karagenan yang digunakan bereaksi secara kuat dengan adanya ion kalsium membentuk gel elastis yang lunak dan tidak mengalami sineresis. Adanya susu skim yang mengandung banyak ion kalsium dapat membentuk jembatan antar rantai untuk membentuk gel yang lembut dan elastis (Imeson, 2000). Gel ini dapat menyerap dan menahan cukup banyak air, menghasilkan daya mengikat air yang tinggi. Nilai rata-rata (mean) dari respon air bebas yang dikeluarkan adalah 67.48 mg H2O dengan standar deviasi 9.84. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari respon air bebas yang dikeluarkan adalah linear. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu linear adalah signifikan, dengan nilai p “prob>F” lebih kecil daripada 0.05 (0.0084). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linier mixture) komponen A (surimi), komponen B(air), komponen C (karagenan), dan komponen D(susu skim) memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon air bebas yang dikeluarkan (0.0084). Nilai F dari Lack of Fit yang dihasilkan untuk respon air bebas yang dikeluarkan adalah sebesar 1.85, yang menandakan Lack of Fit tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon air bebas yang dikeluarkan dengan model (Lampiran 11). Nilai PRESS yang merupakan nilai sum of squares dari residual error yang diprediksikan untuk respon air bebas yang dikeluarkan adalah sebesar 2272.392. Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared
75
untuk respon air bebas yang dikeluarkan berturut-turut adalah 0.2664 dan 0.4376, yang menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon air bebas yang dikeluarkan, yang tercakup ke dalam model adalah berturut-turut hanya sebesar 26.64% dan 43.76% (Lampiran 11). Persamaan polinomial untuk respon air bebas yang dikeluarkan adalah sebagai berikut : Air bebas yang dikeluarkan (mg H2O) = + 0.87794 x surimi + 1.45881x air + (-3.12430) x karagenan + (-2.17283) x susu skim Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa nilai WHC akan meningkat seiring peningkatan jumlah karagenan dan susu skim, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif di mana jumlah air bebas yang dikeluarkan sedikit. Semakin kecil nilai mg H2O yang dikeluarkan, maka WHC semakin baik. Sedangkan surimi dan air dapat menurunkan nilai WHC yang ditandai dengan konstanta yang bernilai positif di mana jumlah air bebas yang dikeluarkan banyak. Semakin besar nilai mg H2O yang dikeluarkan, maka WHC semakin buruk. Meningkatnya respon WHC sangat ditentukan oleh penambahan karagenan dan susu skim, karena nilai konstanta karagenan paling besar (3.12430), diikuti susu skim (2.17283). Sedangkan penambahan air dan surimi dapat menurunkan nilai respon WHC (dengan konstanta berturut-turut sebesar 1.45881 dan 0.87794), tetapi nilai konstanta ini tidak sebesar nilai konstanta karagenan dan susu skim yang dapat meningkatkan nilai respon WHC. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon air bebas yang dilekuarkan dapat dilihat pada Gambar 21. Grafik contour plot untuk respon air bebas yang dikeluarkan terhadap komponen surimi, air, karagenan, dengan susu skim sebesar 2.128 % dapat dilihat pada Gambar 22 dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 23.
76
Design-Expert® Software Air bebas yang dikeluarkan Color points by value of Air bebas yang dikeluarkan
Gambar 21. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon air bebas yang dikeluarkan Berdasarkan Gambar 21 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal. Jarak terjauh di atas garis masih sama dengan jarak terjauh di bawah garis sehingga saling menyeimbangkan. Dapat dikatakan bahwa data-data hasil respon air bebas yang dikeluarkan masih menyebar normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual air bebas yang dikeluarkan dengan respon air bebas yang dikeluarkan yang diprediksikan tidak besar. Datadata pada respon air bebas yang dikeluarkan yang menyebar normal menunjukkan adanya kesesuaian model dengan asumsi dari ANOVA terhadap respon air bebas yang dikeluarkan. Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 22 menunjukkan nilai respon air bebas yang dikeluarkan. Warna biru menunjukkan nilai terendah respon air bebas yang dikeluarkan, yaitu 45.8 mg H2O sampai warna merah yang menunjukkan nilai tertinggi respon air bebas yang dikeluarkan, yaitu 89.05 mg H2O. Garis-garis
77
yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari keempat komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai tertentu yang sama dari respon air bebas yang dikeluarkan. Design-Expert® Software air bebas yang dikeluarkan
air bebas yang dikeluarkan
Gambar 22. Grafik countour plot hasil uji respon air bebas yang dikeluarkan Design-Expert® Software air bebas yang dikeluarkan
Gambar 23. Grafik tiga dimensi hasil uji respon air bebas yang dikeluarkan
78
e. Analisis Respon Cooking loss Cooking loss atau susut masak adalah berat yang hilang selama pemasakan (Soeparno, 1994). Cooking loss dihitung sebagai presentase penurunan berat sosis sebelum dimasak dibandingkan dengan berat sosis setelah
dilakukan
proses
pemasakan.
Analisis
ini
dilakukan
menggunakan keranjang kawat agar pemisahan air dan zat-zat lain setelah pemasakan mudah dilakukan sehingga cooking loss dapat diukur. Berat sebelum dan setelah pemasakan adonan sosis dalam keranjang kawat ditimbang, sehingga kehilangan air, minyak, dan zat-zat bernutrisi lain selama pemasakan dapat diketahui. Produk dengan presentase susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan produk dengan presentase susut masak yang lebih tinggi karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit (Soeparno, 1994). Hasil nilai respon cooking loss adalah berkisar antara 3.09 % hingga 5.50 %. Nilai terendah yaitu 3.09 % berasal dari formula 8 yang menggunakan surimi paling sedikit, yaitu 35%, air sebanyak 31%, karagenan sebanyak 1% dan susu skim sebanyak 5%. Nilai tertinggi yaitu 5.50 % berasal dari formula 13 yang menggunakan surimi sebanyak 44.5%, air sebanyak 26.5%, karagenan sebanyak 1%, tanpa susu skim. Terlihat bahwa adanya susu skim pada produk yang ditambahkan karagenan berkontribusi besar dalam mengurangi cooking loss. Menurut Ariyani (2005), semakin tinggi konsentrasi karagenan yang ditambahkan maka semakin banyak lemak yang terlepas tetapi semakin banyak air yang dapat terikat. Hal ini disebabkan karagenan lebih berfungsi sebagai water binding (pengikat air) daripada sebagai fat binding (pengikat lemak). Pernyataan ini dapat ditunjukkan dengan tidak larutnya karagenan dalam lemak, tetapi karagenan dapat berikatan dengan protein. Penambahan karagenan menyebabkan protein akan lebih mengikat karagenan dan air sehingga ikatan lemak oleh protein menjadi berkurang. Maka dari itu, nilai cooking loss terendah terdapat pada
79
formula yang mengandung karagenan yang dapat mengikat air dan adanya susu skim yang mengandung ion kalsium dapat membantu mempertegar pembentukan gel yang elastis dan lembut oleh karagenan sehingga berakibat dapat menyerap air yang lebih banyak. Selain itu, susu skim juga bersifat sebagai emulsifier yang dapat mengikat lemak yang terpisah akibat penambahan karagenan, sehingga cooking loss menjadi rendah. Hal ini terbukti pada formula 13 yang tidak menggunakan susu skim, di mana cooking loss menjadi besar akibat penambahan karagenan tanpa adanya penambahan susu skim sehingga banyak lemak terpisah. Nilai rata-rata (mean) dari respon cooking loss adalah 3.91% dengan standar deviasi 0.68. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari respon cooking loss adalah mean. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu mean adalah tidak signifikan, dengan nilai p “prob>F” besar daripada 0.05 (0.6235). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linier mixture) komponen A (surimi), komponen B (air), komponen C (karagenan), dan komponen D (susu skim) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon cooking loss (0.6235). Nilai F dari Lack of Fit yang dihasilkan untuk respon cooking loss adalah sebesar 1.91, yang menandakan Lack of Fit tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon cooking loss dengan model (Lampiran 12). Nilai PRESS yang merupakan nilai sum of squares dari residual error yang diprediksikan untuk respon cooking loss adalah sebesar 10.0318. Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared untuk respon cooking loss berturut-turut adalah -0.2940 dan -0.0710. Tanda negatif pada Pred R-squared menunjukkan bahwa mean keseluruhan lebih tepat untuk memprediksi respon cooking loss daripada model. Nilai negatif pada Pred R-squared dan Adj R-squared terjadi karena hasil data aktual
80
respon cooking loss yang diperoleh menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada pada setiap perlakuan komponen (Lampiran 12). Persamaan polinomial untuk respon cooking loss adalah sebagai berikut : Cooking loss (%) = + 0.049859 x surimi + 0.055351 x air + 0.29803 x karagenan + 0.025765* susu skim Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa nilai cooking loss akan meningkat seiring peningkatan jumlah surimi, air, karagenan, dan susu skim yang ditandai dengan konstanta yang bernilai positif. Jika dilihat nilai konstanta yang kecil, maka penambahan surimi, air, karagenan, maupun susu skim tidak dapat meningkatkan cooking loss secara signifikan. Hal ini mengacu pada hasil ANOVA yang menunjukkan baik model mean maupun keempat komponen tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon cooking loss.. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon cooking loss dapat dilihat pada Gambar 24. Grafik contour plot untuk respon cooking loss terhadap komponen surimi, air, karagenan, dengan susu skim sebesar 2.128 % dapat dilihat pada Gambar 25 dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 26. Berdasarkan Gambar 24 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal. Jarak terjauh di atas garis masih sama dengan jarak terjauh di bawah garis sehingga saling menyeimbangkan. Dapat dikatakan bahwa data-data respon cooking loss menyebar normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual cooking loss dengan respon cooking loss yang diprediksikan tidak besar. Data-data respon cooking loss yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon cooking loss. Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 25 menunjukkan nilai respon cooking loss. Warna biru menunjukkan nilai respon cooking loss terendah, yaitu 3.09% sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon cooking loss tertinggi, yaitu 5.5%. Garis-
81
garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari keempat komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai respon cooking loss tertentu yang sama.
Gambar 24. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon cooking loss
Gambar 25. Grafik countour plot hasil uji respon cooking loss
82
Gambar 26. Grafik tiga dimensi hasil uji respon cooking loss
f. Analisis Respon Daya Iris Daya iris menunjukkan ketahanan produk untuk terputus akibat gaya potong yang diberikan. Semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk memotong suatu produk, maka produk tersebut semakin keras atau semakin alot. Menurut Soeparno (1994), daya iris atau daya potong merupakan indikasi kealotan miofibrilar. Besarnya daya iris dapat dianalisa menggunakan Tekstur Analyzer yang memberikan gaya kepada bahan dengan besaran dan waktu tertentu sehingga profil tekstur bahan panagan tersebut dapat diukur (Faridah, et al., 2006). Daya iris dapat ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan atau kompresi pertama. Hasil nilai respon daya iris adalah berkisar antara 278.7 gf hingga 1374.1 gf. Nilai daya iris terendah yaitu 278.7 gf berasal dari formula 16 yang menggunakan surimi paling sedikit, yaitu 35%, air paling banyak yaitu 37%, tanpa karagenan dan susu skim. Nilai daya iris tertinggi, yaitu 1374.1 gf berasal dari formula 10 yang menggunakan surimi paling
83
banyak, yaitu 55%, air paling sedikit, yaitu 17%, tanpa karagenan dan susu skim. Jumlah protein miofibril (aktin dan miosin) sangat menentukan pembentukan sifat gel dari sosis. Semakin banyak surimi yang sebagian besar terdiri atas protein miofibril (aktin adan miosin), maka semakin kuat pembentukan sifat gelnya. Pembentukan gel yang kuat menyebabkan suatu produk sulit untuk diiris atau dipotong. Nilai rata-rata (mean) dari respon daya iris adalah 678.30 gf dengan standar deviasi 79.93. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari tekstur adalah quadratic. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu quadratic adalah signifikan, dengan nilai p “prob>F” lebih kecil daripada 0.05 (<0.0001). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linier mixture) komponen A (surimi), komponen B(air), komponen C (karagenan), dan komponen D(susu skim) memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon daya iris (<0.0001). Interaksi AB, yaitu surimi dengan air (0.0013), interaksi AC, yaitu surimi dengan karagenan (0.0055), interaksi BC, yaitu air dengan karagenan(0.0035), dan interaksi CD, yaitu karagenan dengan susu skim (0.0009) memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon daya iris sedangkan interaksi AD, yaitu surimi dengan susu skim (0.0681) dan interaksi BD, yaitu air dengan susu skim (0.0650) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon daya iris. Nilai F dari Lack of Fit yang dihasilkan untuk respon daya iris adalah sebesar 0.22, yang menandakan Lack of Fit tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon daya iris dengan model (Lampiran 13). Nilai PRESS yang merupakan nilai sum of squares dari residual error yang diprediksikan untuk respon daya iris adalah sebesar 270883.9. Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared untuk respon daya iris berturut-turut adalah 0.8493 dan 0.9360, yang menandakan data-data yang diprediksikan dan data-data aktual untuk
84
respon daya iris yang tercakup ke dalam model adalah berturut-turut sebesar 84.93% dan 93.60% (Lampiran 13). Persamaan polinomial untuk respon daya iris adalah sebagai berikut : Daya iris (gf) = + 57.20891 x surimi + 64.35359 x air +(-14382.64361) x karagenan +(-1378.58030) x susu skim + (-3.06947 ) x surimi x air + 196.46355 x surimi x karagenan + 18.82179 x surimi x susu skim + 212.02340 x air x karagenan +19.45448 x air x susu skim + 266.48820 x karagenan x susu skim Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa nilai respon daya iris selain dipengaruhi oleh 4 komponen berupa surimi, air, karagenan, dan susu skim, respon daya iris juga dipengaruhi adanya interaksi antara keempat komponen tersebut. Respon daya iris akan meningkat seiring peningkatan jumlah surimi, air, interaksi surimi dengan karagenan, interaksi air dengan karagenan, dan interaksi karagenan dengan susu skim, yang ditandai dengan nilai konstanta yang bernilai positif. Interaksi surimi dengan susu skim dan air dengan susu skim dapat meningkatkan
daya
iris,
tetapi
pengaruhnya
tidak
signifikan.
Peningkatan respon daya iris sangat ditentukan oleh penambahan karagenan dengan dengan susu skim karena nilai konstanta dari interaksi ini paling besar (266.48820), diikuti interaksi air dengan karagenan (212.02340), interaksi surimi karagenan (196.46355), penambahan air (64.35359), penambahan surimi (57.20891). Sedangkan penambahan komponen karagenan saja, susu skim saja, atau penambahan surimi dengan air, dapat menurunkan nilai respon daya iris, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif. Konstanta penurunan daya iris dari penambahan karagenan paling besar (14382.64361), diikuti penambahan susu skim (1378.58030), dan interaksi surimi dengan air (3.06947).
85
Dari persamaan terlihat bahwa karagenan tidak dapat bertindak sendiri dalam meningkatkan daya iris. Karagenan membutuhkan bantuan ion kalsium yang berasal dari susu skim untuk membangun jembatan antar rantai sehingga membantu mempertegar pembentukan gel dan adanya air dapat mengisi matriks gel yang dibuat oleh karagenan dan ion kalsium dari susu skim. Susu skim juga mengandung kappa-kasein yang dapat berinteraksi dengan kappa-karagenan sehingga membentuk gel yang kuat dan keras. Karagenan, terutama iota-karagenan dapat berinteraksi dengan protein, yang dalam hal ini adalah surimi dan susu skim. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon daya iris dapat dilihat pada Gambar 27. Grafik contour plot untuk respon daya iris terhadap komponen surimi, air, karagenan, dengan susu skim sebesar 2.128 % dapat dilihat pada Gambar 28 dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 27. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon daya iris
86
Berdasarkan Gambar 27 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal. Ada satu titik yang terletak cukup jauh dari garis kenormalan. Dapat dikatakan bahwa data-data respon daya iris kurang menyebar secara normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual daya iris dengan respon daya iris yang diprediksikan cukup besar. Data-data respon daya iris yang kurang menyebar normal menunjukkan kekurangmampuan pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon daya iris. Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 28 menunjukkan nilai respon daya iris. Warna biru menunjukkan nilai respon daya iris terendah, yaitu 278.7 gf sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon daya iris tertinggi, yaitu 1374.1 gf. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari keempat komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai respon daya iris tertentu yang sama.
Gambar 28. Grafik countour plot hasil uji respon daya iris
87
Gambar 29. Grafik tiga dimensi hasil uji respon daya iris
g. Analisis Respon Kekenyalan Kekenyalan merupakan sifat reologi yang menggambarkan daya tahan produk untuk lepas atau pecah oleh adanya gaya tekan (Soekarto, 1990). Menurut deMan (1997), kekenyalan adalah kemampuan bahan pangan yang dimampatkan atau ditekan kembali ke kondisi awal setelah beban tekanan dihilangkan. Sifat kenyal adalah sifat reologi pada produk pangan elastis yang bersifat deformasi. Besarnya kekenyalan dapat dianalisa menggunakan Tekstur Analyzer yang memberikan gaya kepada bahan dengan besaran dan waktu tertentu sehingga profil tekstur bahan panagan tersebut dapat diukur (Faridah, et al., 2006). Kekenyalan dapat ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan/kompresi pertama yang dilakukan dalam selang waktu tertentu. Hasil nilai respon kekenyalan adalah berkisar antara 79.5 gf hingga 578.2 gf. Nilai kekenyalan terendah yaitu 79.5 gf berasal dari formula 5 yang menggunakan surimi paling sedikit, yaitu 35%, air paling banyak
88
yaitu 37%, tanpa karagenan dan susu skim. Nilai kekenyalan tertinggi, yaitu 578.2 gf berasal dari formula 18 yang menggunakan surimi cukup banyak, yaitu 53%, air paling sedikit, yaitu 17%, dengan karagenan maksimum sebanyak 2%, dan tanpa susu skim. Jumlah protein miofibril (aktin dan miosin) sangat menentukan pembentukan sifat gel dari sosis. Semakin banyak surimi yang sebagian besar terdiri atas protein miofibril (aktin dan miosin), maka semakin kuat pembentukan sifat gelnya. Ditambah lagi dengan penambahan karagenan yang ikut membantu dalam pembentukan gel yang elastis sehingga meningkatkan kekenyalan. Nilai rata-rata (mean) dari respon kekenyalan adalah 331.33 gf dengan standar deviasi 23.94. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari tekstur adalah quadratic. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu quadratic adalah signifikan, dengan nilai p “prob>F” lebih kecil daripada 0.05 (<0.0001). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linier mixture) komponen A (surimi), komponen B(air), komponen C (karagenan), dan komponen D(susu skim) memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon daya iris (<0.0001). Interaksi AB, yaitu surimi dengan air (0.0983), interaksi AC, yaitu surimi dengan karagenan (0.0850), interaksi AD, yaitu surimi dengan susu skim (0.5789), interaksi BC, yaitu air dengan karagenan (0.0818), interaksi BD, yaitu air dengan susu skim (0.3166), dan interaksi CD, yaitu karagenan dengan susu skim (0.3861) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon kekenyalan. Nilai F dari Lack of Fit yang dihasilkan untuk respon kekenyalan adalah sebesar 1.00, yang menandakan Lack of Fit tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon kekenyalan dengan model (Lampiran 14). Nilai PRESS yang merupakan nilai sum of squares dari residual error yang diprediksikan untuk respon kekenyalan adalah sebesar 22580.41. Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared pada
89
respon rasa berturut-turut adalah 0.9455 dan 0.9751, yang menandakan data-data yang diprediksikan dan data-data aktual yang tercakup ke dalam model adalah berturut-turut sebesar 94.55% dan 97.51% (Lampiran 14). Persamaan polinomial untuk respon kekenyalan adalah sebagai berikut : Kekenyalan (gf) = +13.73173 x surimi + 2.09871 x air + 2264.98169 x karagenan + (-152.00522) x susu skim + (-0.36986) x surimi x air + (-31.33461) x surimi x karagenan + 1.56602 x surimi x susu skim + (-31.66530) x air x karagenan + 2.94045 x air x susu skim + (-15.08107) x karagenan x susu skim Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa nilai respon kekenyalan dipengaruhi oleh 4 komponen berupa surimi, air, karagenan, dan susu skim. Respon kekenyalan akan meningkat seiring peningkatan jumlah surimi, air, dan karagenan yang ditandai dengan nilai konstanta yang bernilai positif. Interaksi surimi dengan susu skim dan interaksi air dengan susu skim dapat meningkatkan kekenyalan,tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Peningkatan respon kekenyalan sangat ditentukan oleh penambahan karagenan karena nilai konstanta dari penambahan ini paling besar (2264.98169), diikuti penambahan surimi (13.73173). Sedangkan penambahan komponen susu skim saja dapat menurunkan nilai respon daya iris, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif dan nilainya yang cukup besar (152.00522). Interaksi surimi dengan air, surimi dengan karagenan, air dengan karagenan, dan karagenan dengan susu skim dapat menurunkan kekenyalan, tetapi pengaruhnya tidak signifikan.. Dari persamaan terlihat bahwa karagenan sangat berperan dalam peningkatan kekenyalan. Karagenan yang digunakan adalah sebagian besar terdiri atas iota-karagenan yang dapat membentuk gel yang elastis sehingga dapat meningkatkan kekenyalan apabila ditambahkan dalam jumlah yang cukup banyak.
90
Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon daya iris dapat dilihat pada Gambar 30. Grafik contour plot untuk respon daya iris terhadap komponen surimi, air, karagenan, dengan susu skim sebesar 2.128 % dapat dilihat pada Gambar 31 dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 32. Berdasarkan Gambar 30 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal. Ada beberapa titik yang terletak cukup jauh dari garis kenormalan. Dapat dikatakan bahwa data-data respon kekenyalan kurang menyebar secara normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual kekenyalan dengan respon kekenyalan
yang
diprediksikan
cukup
besar.
Data-data respon
kekenyalan yang kurang menyebar secara normal menunjukkan kekurangmampuan pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kekenyalan.
Gambar 30. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon kekenyalan
91
Gambar 31. Grafik countour plot hasil uji respon kekenyalan
Gambar 32. Grafik tiga dimensi hasil uji respon kekenyalan
92
Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 31 menunjukkan nilai respon kekenyalan. Warna biru menunjukkan nilai respon kekenyalan terendah, yaitu 79.5 gf sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon kekenyalan tertinggi, yaitu 578.2 gf. Garisgaris yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari keempat komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai respon kekenyalan tertentu yang sama.
3. Optimasi Formula Proses optimasi dilakukan untuk mendapatkan suatu formula dengan respon-respon yang paling optimal. Respon yang paling optimal diperoleh jika nilai desirability mendekati 1. Komponen yang dioptimasi adalah surimi, air, karagenan, dan susu skim. Setiap komponen dilakukan pembobotan kepentingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pembobotan ini dinamakan importance, yang terdapat pilihan tanda positif 1(+) hingga tanda positif 5 (+++++). Semakin tinggi tingkat kepentingan dari komponen dan respon yang diukur, maka semakin banyak tanda positif yang diberikan. Komponen surimi dengan range 35%-55% dioptimalkan dengan target komponen minimize dan importance (++++). Hal ini dikarenakan surimi merupakan produk yang diperoleh dengan rendemen yang rendah, sehingga efisiensinya sangat diperlukan, apalagi penggunaan surimi cukup banyak dalam pembuatan sosis ikan karena surimi merupakan bahan baku utamanya. Walaupun ikan patin tersedia melimpah, tetapi rendemen yang rendah menyebabkan penggunaannya menjadi tidak efisien jika ditambahkan terlalu banyak dan menghabiskan banyak cost. Komponen air dengan range 17%37% dioptimalkan dengan target komponen in range dan importance (+++). Komponen karagenan dengan range 0%-2% dioptimalkan dengan target komponen in range dan importance (+++). Komponen susu skim dengan range 0%-5% dioptimalkan dengan target komponen in range dan importance (+++). Hal ini dikarenakan baik air, karagenan, maupun susu skim tersedia cukup melimpah dan penggunaannya tidak sebanyak penggunaan surimi sebagai bahan baku utama pembuatan sosis ikan.
93
Respon biaya (RM cost) dengan range Rp. 6075.19 – Rp. 8694.86 dioptimalkan dengan target minimize dan importance (+++++). Biaya (RM cost) dianggap sangat penting untuk mengefisiensikan cost sehingga dapat menekan harga jual, sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu meningkatkan mutu produk sosis ikan, termasuk mutu dari segi biaya produksi. Apalagi penggunaan surimi sebagai bahan baku sosis ikan yang memiliki rendemen yang rendah sehingga berpotensi untuk meningkatkan biaya produksi. Respon tekstur dengan range 4.2 -10.7 dioptimalkan dengan target maximize dan importance (+++++). Menurut Lawrie (1961), tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan paling penting bagi konsumen dan dicari walaupun mengorbankan cita rasa, flavor, atau warna, sehingga tekstur yang dinilai
secara
organoleptik
ini
menjadi
sangat
penting.
Menurut
Wirakartakusumah et al. (1992), tekstur adalah pelengkap mutu paling penting dan keempukan adalah faktor terpenting yang dipilih oleh sebagian besar responden (57%). Respon rasa dengan range 7.8 - 10.1 dioptimalkan dengan target maximize dan importance (+++++). Menurut Wirakartakusumah et al. (1992), rasa menempati urutan kedua sebagai faktor terpenting yang dipilih oleh responden (30%), sehingga respon rasa yang dinilai secara organoleptik ini juga menjadi sangat penting. Respon air bebas yang dikeluarkan dengan range 45.8 mg H2O – 89.05 mg H2O dioptimalkan dengan target minimize dan importance (++++). Respon cooking loss dengan range 3.09% – 5.50 % dioptimalkan dengan target minimize dan importance (++++). Respon air bebas yang keluar dan cooking loss merupakan respon yang penting yang menyangkut mutu produk sosis. Jika air bebas yang keluar dan cooking lossnya besar, maka produk akan mengkerut sehingga dapat menurunkan mutu sosis. Respon daya iris dengan range 278.7 gf – 1374.1 gf dioptimalkan dengan target in range dan importance (+++). Respon kekenyalan dengan range 79.5 gf – 578.2 gf dioptimalkan dengan target in range dan importance (+++). Hal ini dilakukan karena pengukuran daya iris dan kekenyalan
94
dilakukan dengan alat (obyektif) sehingga tidak dapat diketahui secara pasti berapa besar daya iris dan kekenyalan terbaik yang disukai panelis. Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah 11 formula, tetapi yang dipilih adalah formula pertama karena memiliki nilai desirability tertinggi. Target, importance, dan nilai desirability dapat dilihat pada numerical optimation (Lampiran 15). Formula optimum yang disarankan memiliki komposisi surimi sebanyak 37.08%, air sebanyak 27.92%, karagenan sebanyak 2%, dan susu skim sebanyak 5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan sosis dengan biaya sebesar Rp.7308.11, tekstur dengan skor kesukaan 8.3188, rasa dengan skor kesukaan 8.73947, air bebas yang dikeluarkan sebesar 56.1707 mg H2O, cooking loss sebesar 4.11906 %, daya iris sebesar 361.527 gf, dan kekenyalan sebesar 412.864 gf. Nilai desirability dari formula optimum ini adalah 0.602, yang artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 60.20%. Nilai desirability yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kompleksitas komponen, kisaran yang digunakan dalam komponen, jumlah komponen dan respon, serta target yang ingin dicapai dalam memperoleh formula optimum. Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah bahan baku yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap produk untuk menentukan formulasi. Jumlah masing-masing bahan baku ditentukan dalam selang yang berbeda-beda yang akan berpengaruh terhadap nilai desirability. Semakin lebar selang, maka penentuan formula optimum dengan desirability yang tinggi akan semakin sulit. Jumlah komponen dan respon juga turut mempengaruhi nilai desirability formula optimum. Semakin banyak jumlah komponen dan respon, semakin sulit untuk mencapai keadaan optimum sehingga desirability yang dihasilakan kemungkinan rendah. Nilai masingmasing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan formulator. Semakin besar tingkat kepentingan (importance) maka semakin sulit untuk memperoleh formula optimum dengan desirability yang tinggi.
95
Nilai importance yang besar (+++ hingga +++++), adanya keinginan yang tinggi untuk mencapai produk optimal yang ideal (dapat dilihat dari target), dan banyaknya respon yang dioptimasi (tujuh respon) membuat desirability pada penelitian ini hanya mencapai 0.602. Grafik contour plot untuk desirability formula optimum dapat dilihat pada Gambar 33 dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 34. Countour plot disajikan dengan menggunakan model prediksi untuk nilai respon biaya, respon tekstur, respon rasa, respon air bebas yang dikeluarkan, respon cooking loss, respon daya iris dan respon kekenyalan. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari keempat komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai desirability tertentu yang sama. Titik perpotongan pada Gambar 33 memiliki kombinasi surimi sebanyak 37.08%, air sebanyak 27.92%, karagenan sebanyak 2%, dan susu skim sebanyak 5%. Titik perpotongan tersebut berada pada garis countour plot dengan nilai desirability 0.602.
Gambar 33. Grafik countour plot desirability formula optimum
96
Gambar 34. Grafik tiga dimensi desirability formula optimum
4. Uji Coba Formula Optimum Setelah program Design Expert version 7 merekomendasikan formula optimum dengan nilai desirability yang tertinggi, lalu dilakukan pembuktian terhadap dugaan nilai dari respon-respon yang diberikan program Design Expert version 7. Berdasarkan hasil aktual dari pengamatan dan pengukuran, diperoleh bahwa formula optimum dengan nilai desirability tertinggi yang disarankan, menghasilkan produk sosis dengan biaya (RM cost) sebesar Rp. 7307.93, nilai kesukaan terhadap tekstur sebesar 9.2 (berkisar antara netral hingga agak suka), nilai kesukaan terhadap rasa sebesar 9.8 (berkisar antara netral hingga agak suka), nilai air bebas yang dikeluarkan sebesar 79.55 mg H2O, nilai cooking loss sebesar 3.74%, nilai daya iris sebesar 483.0 gf, dan nilai kekenyalan sebesar 409.7 gf. Hasil-hasil aktual dari pengamatan dan pengukuran tersebut masuk dalam selang nilai yang diprediksikan oleh program Design Expert version 7, di mana berada dalam selang 95% PI low dengan 95% PI high. Definisi dari 95% PI (Prediction Interval) low adalah nilai terendah dari interval
97
yang diprediksikan, di mana memiliki nilai kepercayaan dari pengamatan individual sebesar 95% sedangkan definisi dari 95% PI (Prediction Interval) high adalah nilai tertinggi dari interval yang diprediksikan, di mana memiliki nilai kepercayaan dari pengamatan individual sebesar 95% (Anonim, 2007). Nilai respon yang diprediksikan program Design Expert version 7 dapat dilihat pada Tabel 15. Karena hasil-hasil dari pengamatan dan pengukuran masih masuk dalam interval prediksi, berarti formula optimum dengan nilai desirability tertinggi, sesuai dengan yang direkomendasikan Design Expert version 7.
Tabel 15.
Nilai respon aktual yang diperoleh dan nilai respon yang diprediksikan program Design Expert version 7
Respon biaya tekstur rasa air bebas yang dikeluarkan cooking loss daya iris kekenyalan
95% PI rendah tinggi 7307.93 7308.11 0.105127 7307.89 7308.34 9.2 8.32 0.616839 7.00 9.63 9.8 8.74 0.546445 7.57 9.90 Aktual
Prediksi
SE Pred
79.55
56.17
11.11731
32.47
79.87
3.74 483.0 409.7
4.12 361.53 412.86
0.767448 106.6528 31.94119
2.48 120.26 340.61
5.75 602.79 485.12
D. PENELITIAN PENDUKUNG Penelitian pendukung dilakukan dengan uji proksimat dan uji mikrobiologi pada produk sosis ikan patin. Selain uji proksimat dan uji mikrobiologi, dilakukan juga uji hedonik (kesukaan) terhadap produk sosis ikan patin yang berasal dari formula optimum dengan produk sosis ikan komersial yang beredar di pasaran.
1. Uji Proksimat dan Uji Mikrobiologi Uji proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat) dilakukan terhadap produk sosis formula optimum. Selain itu, dilakukan uji mikrobiologi terhadap angka lempeng total
98
mikroba (Total plate count) terhadap produk sosis formula optimum. Hasil dari uji proksimat dan uji mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16. dapat dilihat bahwa produk sosis formula optimum sebagian besar terdiri atas air. Kadar air produk sosis formula optimum adalah sebesar 59.37 % (bb). Kadar air yang besar ini diperoleh selain dari penambahan air itu sendiri, juga berasal dari surimi dan bumbubumbu yang ditambahkan pada saat proses pembuatan sosis. Tapi kadar air ini lebih rendah dan masuk ke dalam batas yang diizinkan oleh SNI sosis daging, yaitu maksimal 67% (bb). Tabel 16. Hasil analisis proksimat dan uji TPC sosis formula optimum No. Karakteristik 1
Kadar Air (% bb)
Nilai produk optimum 59.37
Standar SNI
2
Kadar Abu (% bb)
1.91
Maks. 3.0
3
Kadar Protein (% bb)
10.52
Min. 13.0
4
Kadar Lemak (% bb)
22.28
Maks. 25.0
5
Kadar Karbohidrat (% bb)
5.93
Maks. 8.0
6
TPC (koloni/g)
3.0 x 102
Maks. 105
Maks. 67.0
Komponen penyusun terbesar kedua setelah air adalah lemak. Kadar lemak produk sosis formula optimum adalah sebesar 22.28 %. Kadar lemak yang cukup tinggi ini diperoleh dari penambahan minyak nabati pada saat proses cutting. Kadar lemak pada sosis formula optimum lebih rendah dan masuk dalam batas yang diizinkan oleh SNI sosis daging, yaitu maksimum 25 % (bb). Komponen penyusun terbesar ketiga adalah protein. Kadar protein produk sosis formula optimum adalah sebesar 10.52 % (bb). Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan batas yang diizinkan SNI sosis daging, yaitu minimum 13 % (bb). Nilai kadar protein dari sosis formula optimum lebih rendah dikarenakan penggunaan surimi dalam jumlah yang tidak terlalu
99
banyak. Penggunaan surimi memang diupayakan sesedikit mungkin untuk menghemat biaya (RM cost) sekaligus mengefisienkan penggunaan surimi yang memiliki rendemen yang rendah. Namun di lain pihak, penggunaan surimi yang sedikit ini berakibat pada turunnya kadar protein pada produk. Walaupun sudah diupayakan dengan penambahan susu skim yang kaya akan protein, ternyata jumlah penambahan susu skim yang diperkirakan dapat meningkatkan kadar protein tidak sebanding dengan penurunan kadar protein akibat pengurangan jumlah surimi. Kandungan protein pada sosis formula optimum sebagian besar berasal dari protein miofibril yang terdapat pada surimi ikan patin, kasein yang terdapat pada susu skim, dan isolat protein kedelai yang ditambahkan saat pembuatan sosis. Komponen penyusun terbesar keempat adalah karbohidrat. Kadar karbohidrat produk sosis formula optimum adalah sebesar 5.93 %. Nilai ini lebih kecil dan masuk dalam batas yang diizinkan SNI sosis daging, yaitu maksimum 8 % (bb). Kandungan karbohidrat dalam sosis formula optimum ini diperoleh dari penambahan tepung tapioka, karagenan, dan laktosa dari susu skim. Menurut Miller (2003), karbohidrat sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan kecuali laktosa yang terdapat pada susu. Tepung tapioka memiliki kadar pati sebesar 51.36 %, yang merupakan polisakarida dari unit D-glukosa (Harris, 2001). Karagenan merupakan polisakarida berantai lurus dari D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung sulfat (Fardiaz, 1989) sedangkan laktosa atau gula susu merupakan disakarida yang terdiri atas D-glukosa dan D-galaktosa (Varnam dan Sutherland, 1994). Komponen penyusun terakhir dari sosis optimum adalah kadar abu. Kadar abu produk sosis formula optimum adalah sebesar 1.91 %. Nilai ini lebih kecil dan masuk dalam batas yang diizinkan SNI sosis daging, yaitu maksimum 3 % (bb). Kandungan abu menggambarkan jumlah mineral total yang terdapat pada makanan (Harbers dan Nielsen, 2003). Kandungan abu pada sosis optimum ini berasal dari kandungan mineral yang sebagaian besar terdapat pada ikan patin, susu skim, dan garam,
100
seperti Kalsium (Ca), Phosfor (P), Besi (Fe), Natrium (Na), dan Kalium (K). Angka lempeng total untuk produk sosis formula optimum adalah sebesar 3.0 x 102 koloni/g . Angka ini berada di bawah batasan maksimum angka lempeng total menurut SNI sosis, yaitu 105 koloni/g . Hal ini menunjukkan bahwa sosis formula optimum aman untuk dimakan.
2. Uji Hedonik Selain dilakukan uji proksimat dan uji mikrobiologi, produk sosis ikan patin dari formula optimum bersama-sama dengan produk sosis ikan komersil diuji kesukaannya oleh 35-36 panelis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kedudukan sosis ikan patin dari formula optimum terhadap produk sosis sejenisnya yang beredar di pasaran. Pemilihan sosis ikan komersil dilakukan berdasarkan variasi harga jualnya. Dipilih tiga sosis ikan komersil dengan variasi harga jual yang besar. Sosis K1 merupakan sosis ikan bermerek “Bosco” dengan harga jual paling murah, yaitu Rp. 3200 (100 g), sosis K2 merupakan sosis ikan bermerek “Viena” dengan harga jual yang sedang, yaitu Rp. 6444.44 (100 g), dan sosis K3 merupakan sosis ikan dengan merek “Ranch Market” dengan harga jual yang mahal, yaitu Rp. 10.500 (100 g).
Gambar 35. Sosis ikan patin formula optimum (O) dengan sosis ikan komersil (K1, K2, K3)
101
Pemilihan sosis ikan komersil berdasarkan variasi harga jual yang besar ini dianggap mewakili produk sosis yang beredar di pasaran, sehingga hasilnya dapat menggambarkan secara lebih jelas kedudukan sosis formula optimum diantara produk-produk sejenisnya. Atribut yang diujikan adalah atribut tekstur, rasa, aroma, warna dan overall menggunakan garis skalar sepanjang 15 cm. a. Atribut Tekstur Nilai kesukaan terhadap atribut tekstur untuk sosis ikan K3 adalah sebesar 5.5 (tidak suka hingga agak tidak suka), sosis ikan K2 sebesar 8.7 (berkisar antara netral hingga agak suka), sosis ikan formula optimum sebesar 9.3 (berkisar antara netral hingga agak suka), dan sosis ikan K1 sebesar 10.1 (berkisar antara netral hingga agak suka). Sosis K1 memiliki tekstur yang sangat kenyal dan empuk, sosis formula optimum memiliki tekstur cukup kenyal, sosis K2 memiliki tekstur kurang kenyal, agak lembek, berongga, dan sosis K3 memiliki tekstur berair, alot, dan sangat berongga tapi keras. Grafik hasil uji hedonik terhadap atribut tekstur dapat dilihat pada Gambar 36.
12
Skor kesukaan
10
9.3
8.7
10.1
8 6
5.5
4 2 0 K3
K2
Opt
K1
Sosis
Gambar 36. Hasil uji hedonik sosis formula optimum dan komersil untuk atribut tekstur
102
Berdasarkan sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut LSD pada taraf signifikansi 5% diketahui sosis ikan formula optimum tidak berbeda nyata dengan sosis K1 dan K2, tetapi berbeda nyata dengan sosis K3 (Lampiran 23). Tekstur sosis formula optimum, K1, dan K2 ini dengan kisaran skor 8.7-10.1 lebih disukai daripada tekstur sosis K3 yang memiliki skor 5.5. Dapat dikatakan bahwa penggunaan karagenan dan susu skim cukup berhasil untuk membentuk tekstur yang diinginkan panelis.
b. Atribut Rasa Nilai kesukaan terhadap atribut rasa untuk sosis ikan K3 adalah sebesar 3.0 (sangat tidak suka hingga tidak suka), sosis ikan K2 sebesar 6.9 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral), sosis ikan formula optimum sebesar 9.8 (berkisar antara netral hingga agak suka), dan sosis ikan K1 sebesar 11.4 (berkisar antara agak suka hingga suka). Grafik hasil uji hedonik terhadap atribut rasa dapat dilihat pada Gambar 37.
11.4
12 9.8
Skor kesukaan
10 8
6.9
6 4
3
2 0 K3
K2
Opt
K1
Sosis
Gambar 37. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut rasa Sosis K1 memiliki rasa gurih dan rasa seperti daging sapi karena dalam pembuatannya, sosis K1 ditambahkan flavor daging sapi. Sosis
103
formula optimum memiliki rasa agak manis, gurih, agak pedas, dan sedikit rasa ikan. Sosis K2 memiliki rasa agak asin, agak asam, berasa rempah-rempah. Dan sosis K3 memiliki rasa agak asin, kecut, pedas, dan asam. Berdasarkan sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut LSD pada taraf signifikansi 5% diketahui sosis ikan formula optimum berbeda nyata dengan sosis K1, K2, dan K3 (Lampiran 24). Rasa sosis K1 dengan skor 11.4 lebih disukai panelis, diikuti rasa sosis formula optimum dengan skor 9.8, rasa sosis K2 dengan skor 6.9, dan rasa sosis K3 dengan skor 3.0. Kesukaan terhadap rasa sosis formula optimum berada pada posisi kedua setelah sosis K1.
c. Atribut Aroma Nilai kesukaan terhadap atribut aroma untuk sosis ikan K3 adalah sebesar 5.2 (berkisar antara tidak suka hingga agak tidak suka), sosis ikan K2 sebesar 6.6 (berkisar antara tidak suka hingga agak tidak suka), sosis ikan formula optimum sebesar 9.6 (berkisar antara netral hingga agak suka) dan sosis ikan K1 sebesar 10.4 (berkisar antara netral hingga agak suka). Grafik hasil uji hedonik terhadap atribut aroma dapat dilihat pada Gambar 38.
12 9.6
Skor kesukaan
10 8 6
10.4
6.6 5.2
4 2 0 K3
K2
Opt
K1
Sosis
Gambar 38. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut aroma
104
Sosis K1 memiliki aroma daging, sosis formula optimum memiliki aroma agak amis dengan aroma ikan yang lemah, sosis K2 memiliki aroma amis dengan aroma ikan yag kuat, dan sosis K3 memiliki aroma daging asap bercampur aroma ikan asin dan rempahrempah. Berdasarkan sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut LSD pada taraf signifikansi 5% diketahui sosis ikan formula optimum tidak berbeda nyata dengan sosis K1 tetapi berbeda nyata dengan sosis K2 dan K3 (Lampiran 25). Aroma sosis K1 dan sosis formula optimum dengan kisaran skor 9.6-10.4 lebih disukai daripada aroma sosis K2 yang memiliki skor 6.6 dan aroma sosis K3 yang memiliki skor 5.2. d. Atribut Warna Nilai kesukaan terhadap atribut warna untuk sosis ikan K3 adalah sebesar 7.2 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral), sosis ikan K1 sebesar 8.3 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral), sosis ikan K2 sebesar 8.4 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral), dan sosis ikan formula optimum sebesar 8.6 (berkisar antara netral hingga agak suka). Grafik hasil uji hedonik terhadap atribut warna dapat dilihat pada Gambar 39.
9 8.5 Skor kesukaan
8.4
8.3
8.6
8 7.5
7.2
7 6.5 K3
K1
K2
Opt
Sosis
Gambar 39. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut warna
105
Sosis K1 memiliki warna merah cerah, sosis formula optimum memiliki warna putih susu (pada bagian dalam) dan warna coklat (pada bagian luar), sosis K2 memiliki warna putih pucat, dan sosis K3 memiliki warna coklat gelap. Berdasarkan sidik ragam (ANOVA), sosis ikan formula optimum, K1, K2, dan K3 tidak berbeda nyata untuk atribut warna pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 26). Kesukaan panelis terhadap warna sosis formula optimum, sosis K1, K2, dan K3 dengan kisaran skor 7.2-8.6 dapat dikatakan sama. e. Atribut Overall Nilai kesukaan terhadap atribut overall untuk sosis ikan K3 adalah sebesar 2.4 (sangat tidak suka hingga tidak suka), sosis ikan K2 sebesar 7.4 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral), sosis ikan formula optimum sebesar 8.9 (berkisar antara netral hingga agak suka), dan sosis ikan K1 sebesar 11.7 (berkisar antara agak suka hingga suka). Grafik hasil uji hedonik terhadap atribut overall dapat dilihat pada Gambar 40.
14
11.7
Skor kesukaan
12 8.9
10 7.4
8 6 4
2.4
2 0 K3
K2
Opt
K1
Sosis
Gambar 40. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut overall
106
Berdasarkan sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut LSD pada taraf signifikansi 5% diketahui sosis ikan formula optimum berbeda nyata terhadap sosis ikan K1, K2, dan K3 (Lampiran 27). Secara overall, panelis lebih menyukai sosis K1 dengan skor 11.7, diikuti sosis formula optimum dengan skor 8.9, sosis K2 dengan skor 7.4, dan sosis K3 dengan skor 2.4. Kesukaan sosis formula optimum secara overall berada pada posisi kedua setelah sosis K1. Jika dilihat dari hasil uji kesukaan terhadap atribut tekstur, rasa, aroma, warna, dan overall, sosis ikan formula optimum dapat bersaing dengan sosis ikan komersil (K1, K2, dan K3). Secara keseluruhan, baik dari segi atribut tekstur, rasa, aroma, warna, dan overall, kesukaan sosis ikan patin formula optimum berada pada kisaran antara netral hingga agak suka. Pencapaian nilai kesukaan terhadap keseluruhan produk sosis ikan (baik optimum maupun komersil), yang tertinggi hanya mencapai agak suka hingga suka. Kemungkinan besar hal ini disebabkan masyarakat Indonesia sudah terbiasa memakan produk sosis berbahan baku daging sapi atau ayam dan belum terbiasa memakan produk sosis berbahan baku ikan. Produk sosis berbahan baku ikan kemungkinan masih terasa agak asing sehingga dapat menurunkan nilai kesukaan terhadap seluruh atribut dari sosis ikan, yaitu hanya sampai agak suka hingga suka. 3.
Perkiraan Harga Jual Sosis Formula Optimum Perkiraan harga jual sosis ikan formula optimum dapat dihitung dari biaya produksi (skala lab) yang ditambahkan asumsi laba yang diinginkan, sehingga dapat dibandingkan dengan harga jual sosis ikan komersil K1, K2, dan K3. Rincian perhitungan harga jual produk sosis ikan formula optimum dalam skala lab yang terdiri atas biaya variabel berupa RM cost, gaji pegawai, biaya listrik, gas, dan asumsi laba dapat dilihat pada Tabel 17. Biaya produksi total dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya tetap total dan biaya variabel total (Pramudya dan Dewi, 1992). Menurut William dan Jackson (1984), biaya tetap adalah biaya yang totalnya tetap
107
sampai batas kapasitas tertentu, meskipun volume produksi berubah. Biaya variabel adalah biaya yang sebanding dengan perubahan volume produksi. Perhitungan harga jual dari biaya produksi untuk sosis ikan formula optimum dalam penelitian ini merupakan perhitungan kasar karena belum memperhitungkan biaya variabel secara keseluruhan (biaya pengemasan dan biaya transportasi) serta biaya tetap (biaya sewa peralatan dan bangunan). Perbandingan harga jual sosis ikan formula optimum dengan sosis ikan komersil dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 17. Rincian biaya pembuatan sosis ikan patin formula optimum No. 1
Keterangan Bahan : * Surimi * Air * Tapioka * Minyak * Isolat Protein * Bw.putih * Bw.merah * Merica * MSG * Jahe * Pala * Garam * Karagenan * Susu skim * Casing
Harga
Pemakaian Biaya (Rp.)
36290.9 /kg 2.60 /kg 4390.00 /kg 8500.00 /kg 80000.00 /kg 8.400.00 /kg 8990.00 /kg 70529.40 /kg 20000.00 /kg 13500.00 /kg 104000.00 /kg 2000.00 /kg 42750.00 /kg 38250.00 /kg 1142.86 / kg
0.371 kg 0.279 kg 0.150 kg 0.060 kg 0.030 kg 0.020 kg 0.006 kg 0.005 kg 0.004 kg 0.001 kg 0.002 kg 0.002 kg 0.020 kg 0.050 kg 1 kg
13456.65 0.73 658.50 510.00 2400.00 168.00 53.94 352.65 80.00 13.50 208.00 4.00 855.00 1912.50 1142.86
Listrik a : * Grinder 217.80 /jam 0.12 jam 25.41 * Cutter 148.50 /jam 0.17 jam 24.75 3 Gas 333.33 /jam 0.33 jam 111.11 4 Tenaga kerja b(pembelian 3445.00 / jam 5 jam 17225.00 bahan, pembuatan sosis) Total biaya /kg 39408.93 Ditambah laba (20% dari cost) 47290.70 Harga jual / 100g 4729.07 a Tarif listrik per kwh untuk wilayah Bogor tahun 2007 sebesar Rp.495.00 b Upah minimal regional per bulan tahun 2007 untuk wilayah Bogor sebesar Rp. 689000.00 (Anonim, 2007 (b)). 2
108
Tabel 18. Perbandingan harga jual sosis formula optimum dengan sosis ikan komersil No. Sosis 1 2 3 4
Formula optimum K1 (Bosco) K2 (Vienna) K3 (Ranch Market)
Harga jual /100g (Rp.) 4729.07 3200.00 6444.00 10500.00
Berdasarkan Tabel 18. terlihat bahwa harga jual sosis formula optimum lebih mahal daripada sosis ikan K1 (yang memiliki skor kesukaan tertinggi untuk seluruh atribut kecuali warna), tetapi memiliki harga jual yang lebih murah dibandingkan K2 dan K3, di mana K3 merupakan sosis ikan yang memiliki skor kesukaan terendah untuk seluruh atribut. Harga jual sosis ikan formula optimum yang lebih mahal daripada sosis ikan K1 dapat dimaklumi mengingat perhitungan harga jual yang dilakukan menggunakan asumsi kasar dan masih dalam kapasitas lab (kecil). Sosis ikan komersil diproduksi dalam skala industri dan dalam jumlah yang besar sehingga biaya produksi per satuan sosis bisa menjadi lebih murah dibandingkan biaya produksi per satuan sosis jika diproduksi dalam skala lab. Jika dilihat secara keseluruhan, baik terhadap harga jual sosis maupun atribut-atribut organoleptik (tekstur, rasa, aroma, warna, dan overall), sosis ikan patin formula optimum dapat bersaing dengan sosis ikan komersil lainnya.
109
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Formula sosis ikan patin optimum yang terpilih melalui program Design Expert version 7 adalah sosis dengan komposisi surimi sebanyak 37.08%, air sebanyak 27.92%, karagenan (campuran 25% kappa-karagenan dengan 75% iota-karagenan) sebanyak 2%, dan susu skim sebanyak 5% dengan nilai desirability sebesar 0.602. Hal ini berarti bahwa kemampuan formula untuk menghasilkan sosis yang sesuai dengan keinginan kita (optimum) adalah sebesar 60.20%. Sosis formula optimum menghabiskan biaya (RM cost) sebesar Rp. 7307.93 (350 g), dengan nilai kesukaan terhadap tekstur sebesar 9.2 (berkisar antara netral hingga agak suka), nilai kesukaan terhadap rasa sebesar 9.8 (berkisar antara netral hingga agak suka), nilai air bebas yang dikeluarkan sebesar 79.55 mg H2O, nilai cooking loss sebesar 3.74%, nilai daya iris sebesar 483.0 gf, dan nilai kekenyalan sebesar 409.7 gf. Sosis ikan patin formula optimum memiliki kadar air sebesar 59.37 % (bb), kadar abu sebesar 1.91 % (bb), kadar protein sebesar 10.52 % (bb), kadar lemak sebesar 22.28 % (bb), kadar karbohidrat sebesar 5.93 % (bb), dan angka lempeng total (TPC) sebesar 3.0 x 102 koloni/g. Berdasarkan hasil uji hedonik, sosis ikan K1 memiliki nilai kesukaan tertinggi untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan overall, tapi tidak untuk atribut warna. Sosis ikan K3 memiliki nilai kesukaan terendah untuk semua atribut, yaitu atribut tekstur, rasa, aroma, warna, dan overall. Secara statistik dari segi tekstur, kesukaan sosis ikan formula optimum sama dengan sosis ikan K1 dan K2. Kesukaan terhadap aroma sosis ikan formula optimum tidak berbeda dengan sosis K1 dan berada di atas sosis ikan komersil lainnya, sedangkan dari segi rasa dan overall, kesukaan terhadap sosis ikan formula optimum berada pada posisi kedua setelah sosis K1. Kesukaan terhadap warna sosis ikan formula optimum tidak berbeda dengan warna sosis ikan komersil lainnya. Secara keseluruhan jika dilihat dari segi atribut tekstur, rasa, aroma,
110
warna, dan overall, kesukaan sosis ikan patin formula optimum berada pada kisaran antara netral hingga agak suka. Dilihat dari atribut organoleptik (tekstur, rasa, aroma, warna dan overall) maupun harga jualnya sebesar Rp. 4729.07 (100g pada skala lab), maka sosis ikan patin formula optimum cukup bersaing dengan sosis ikan komersil K1, K2, dan K3.
B. SARAN Untuk meningkatkan kesukaan sosis dari bahan baku surimi ikan patin sampai melebihi produk K1 (sosis ikan komersil dengan nilai kesukaan tertinggi untuk seluruh atribut kecuali warna) perlu dilakukan perbaikan lagi terhadap atribut rasa. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memasukkan tepung tapioka sebagai variabel yang perlu dioptimasi karena dapat mempengaruhi respon biaya, kekerasan, air bebas yang dikeluarkan, dan cooking loss. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji kesukaan sosis ikan patin formula optimum terhadap sosis yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, yaitu sosis sapi dan ayam.
111
DAFTAR PUSTAKA Afrianto, 1995. Pengaruh jenis bahan baku, lama penyimpanan beku dan metode pengasapan terhadap karakteristik sosis ikan. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Amano, K., 1965. Fish Sausage Manufacturing. In Fish As Food Vol III. (G. Borgstorm. Ed). Academic Press, New York. Anggraini, N., 2002. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suhu, dan waktu perebusan terhadap mutu kamaboko Ikan Bawal air tawar (Colossoma macropomum). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Anonim, 2003. Alginat dan Karagenan. http : // www.pikiran-rakyat.com. [ 15 September 2006]. Anonim, 2006 (a). Surimi. http : // www.wikipedia.com. [16 Oktober 2006]. Anonim, 2006 (b). Butuh Promosi dan Perluasan Pemasaran. http :// www.kompas.com [7 November 2006]. Anonim, 2006 (c). Peluang Ekspor Udang Galah. http://www.agrina-online.com. [7 September 2007]. Anonim, 2007. Desain Expert 7. http : // www.statease.com [9 Agustus 2007] Anonim, 2007 (a). DKP Luncurkan Tiga Varietas Ikan Unggulan. http :// www.republika.co.id [18 Agustus 2007]. Anonim, 2007 (b). Tinjauan Upah Minimum Regional. http : // www.apindo.com [4 September 2007]. Anonim, 2007 (c). RI- Jerman Sepakat Budidayakan Rumput Laut. http :// www.kompas.com [7 September 2007]. AOAC, 1995. Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry. Washington D.C. Ariyani, F. R. N., 2005. Sifat fisik dan palatabilitas sosis daging sapi dengan penambahan karagenan. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor. Buckle K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., Wootton, M., 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh Hadi Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia. Jakarta. Bull, M. S. S., 1951. Meat for The Table. Mc. Graw-Hall, New York.
112
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. SNI Surimi Beku (SNI 01-2694-1992). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1995. SNI Sosis Daging (SNI 01-38201995). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2000. SNI Syarat Mutu Bahan Baku Surimi (SNI 19-1705-2000). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Claus J. R., Colby J. W., dan Flick, G. J., 1994. Di dalam : D. M. Kinsman, A. W. Kotula, dan B. C. Breidenstein (Eds.), Muscle Foods. Chapman and Hall, New York and London. Cornell, J. A., 1990. Experiment With Mixtures, Design, Models, and The Analysis of Mixture Data. 2nd Edition. John Wiley and Sons, Inc., New York. deMan, J. M., 1997. Kimia Makanan. Penerjemah Kokasih Padmawinata, ITB, Bandung. Depkes RI, 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara, Jakarta. Depkes RI, 2001. Komposisi Zat Gizi Makanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Bogor. Darmajana, D. A., Saparita, R., Sasongko, E., Widiyanti, F., Sadono, C. dan Erwan, C., 2007. Penelitian Penguasaan Teknologi. http :// www.lipi.go.id. [7 September 2007]. Effie, 1980. Pembuatan sosis Ikan Cucut. Skripsi. Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian ,IPB, Bogor. Erdiansyah, 2006. Teknologi penanganan bahan baku terhadap mutu sosis Ikan Patin (Pangasius pangasius). Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Eryanto, I., 2006. Karakteristik surimi fillet Ikan Nila (Oreochromis sp.) yang disimpan pada suhu dingin. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Fardiaz, D.,1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Faridah, N. F., Kusumaningrum, H. D., Wulandari, N., dan Indrasti, D., 2006. Modul Praktikum Analisis Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
113
Febrianata, E., 2006. Pengaruh pencampuran kappa- dan iota-karagenan terhadap kekuatan gel dan viskositas karagenan campuran. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Forrest, J. C., Aberlen, E. D., Hedrick, H. B., Judge, M. D., Merkel, R. A., 1975. Principle of Meat Science. W. H. Freeman and Co. San Fransisco. Glicksman, M., 1969. Gum Technology in The Food Industry. Food Science and Technology Monographs. Academic Press, New York. Hadiwiyoto, S., 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Hapsari, R. D., 2002. Pengolahan daging Ikan Patin (Pangasius pangasius) menjadi bakso, sosis, nugget, dan pemanfaatan limbahnya menjadi tepung ikan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Harbers, L. H., dan Nielsen, S. S., 2003. Ash analysis. Di dalam : S. S. Nielsen (Ed.), Food Analysis. 3 rd Edition. Kluwer Academic / Plenum Publisher, New York. Harris, H., 2001. Kemungkinan penggunaan edible film dari pati tapioka untuk pengemas lempuk. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (3) : 99-106. Heinrickson, R. L., 1978. Meat, Poultry, and Seafood Technology. Prentice Hall, Inc., Englewood Cliff, New Jersey. Hermawan, D., 2002. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka dan kalsium karbonat (CaCO3) terhadap mutu kamaboko Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Herminiati, A., Surahman, D. N. dan Erwan, C., 2007. Pengembangan Teknologi Makanan Kesehatan. http :// www.lipi.go.id [ 7 September 2007]. Hsu, S. Y. dan Chung, H. Y., 2000. Effects of k-carrageenan, salt, phosphates and fat on qualities of low fat emulsifed meatballs. J. Food. Eng. (47) : 115121. Huffman, D. L., Mikel, W. B., Egbert, W. R., Chen, C. dan Smith, K. L., 1992. Development of lean pork sausage product. J. Food. Sci. 37 : 439-442. Imeson, A., 2000. Carrageenan. Di dalam : G. O. Philips dan P. A. Williams (Eds.), Handbook of Hydrocolloids. CRC Press, Boca Raton. Ismargini, 1975. Mempelajari pengaruh penggunaan lemak, bahan pengikat, dan lama pemasakan terhadap mutu sosis Ikan Tongkol (Euthynnus sp.). Tesis. Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, IPB, Bogor.
114
Karmas, E., 1976. Process Meat Technology. Noyes Data Corporation. New Jersey, London. Khairuman dan Sudenda, D., 2002. Budidaya Ikan Patin Secara Intensif. PT> Penebar Swadaya, Jakarta. Khafidhin, M., 2003. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka terhadap karakteristik kamaboko Ikan Tambakan (Helostoma temminckii). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Koswara, S., 2006. Surimi, Suatu Alternatif http://www.ebookpangan.com [ 15 Oktober 2006].
Pengolahan
Ikan.
Kramlich,W. E., 1971. Sausage product. Di dalam : J. F. Price dan B. S. Schweigert (Eds.), The Science of Meat and Meat Product .2 nd Ed. W. H. Freeman and Co., San Fransisco. Kramlich , W. E., Pearson, A. M., dan Tauber, F. W., 1973. Processed Meats. The AVI Publishing Co., Westport-Connecticut. Latifa, Y. K., 2003. Pengaruh lama penyimpanan beku surimi Ikan Patin (Pangasius hypothalmus) dan penambahan tepung umbi lokal (tepung garut dan tepung talas) terhadap mutu olahannya (kamaboko). Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB, Bogor. Lawrie, R. A.,1961. Meat Science. 5th Edition. Pergamon Press, Oxford. Lee C. M., Wu, M. C., dan Okada, M., 1988. Ingredient and Formulation Technology for Surimi-Based Product. Di dalam : T. C. Lanier dan C. M. Lee (Eds.), Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc., New York. Lewis, M. Dan Heppell, N., 2000. Continous Thermal Processing of Foods, Pasteurization and UHT Sterilization. Aspen Publishers, Inc., Maryland. Liana, 1987. Pembuatan produk pasta berprotein tinggi : campuran susu skim, yoghurt, dan pasta kacang tanah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Meilgaard, M., Civille, G. V., dan Carr, B. T., 1999.Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC Press, USA. Ma’arif, M. S., Machfud dan Sukron, M., 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Miller, J. N. B., 2003. Carbohydrate Analysis. Di dalam : S. S. Nielsen (Ed.), Food Analysis. 3 rd Edition. Kluwer Academic / Plenum Publisher, New York.
115
Muchtadi T. R. dan Sugiyono, 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Mukti, E. D. W.,1987. Ekstraksi dan analisa sifat fisiko-kimia karagenan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Niwa, E., 1992. Chemistry of surimi Gelation. Di Dalam : T. C. Lanier dan C. M Lee (Eds.), Surimi Technology. Mrcel Dekker, Inc., New York. Nurhayati, 1996. Mempelajari pembuatan sosis campuran Ikan Cunang (Congresox talabon) dengan tepung kedelai rendah lemak serta perubahan mutunya selama penyimpanan dingin. Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Nussinovitch, A., 1997. Hydrocolloid Application. Blackie Academic and Professional, London. Offer, G., dan Knight, P., 1988. The structural basic of water holding in meat. Di Dalam : R. Lawrie (Ed.), Development in Meat Science-4. Elsevier Applied Science, London dan New York. Pawitan S., 1974. Mempelajari pengaruh pembekuan dan perendaman daging ayam dalam larutan Na-pirofosfat, penambahan lemak, serta penambahan jenis bahan pengikat pada pembuatan sosis daging ayam. Tesis. Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, IPB, Bogor. Pearson, A. M. dan Tauber, F. W., 1984. Processed Meat. The Avi Publ. Co., Inc., Westport-Connecticut. Pramudya, B. Dan Dewi, N., 1992. Ekonomi Teknik. Jurusan Mekanisasi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Radley, J. A., 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publisher Ltd., London. Rahmawati, D., 2005. Karakteristik fisika kimia gel Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dari bahan baku surimi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Rimbawan, J. W., 1977. A study of some physico-chemical properties of nonfat dry milk as affected by process temperature. Thesis. The Faculty of Agricultural Engineering and Product Technology, Bogor Agricultural University, Bogor. Saanin, M. H., 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid 1 dan 2. Penerbit Bina Cipta, Bogor.
116
Soekarto, S. T., 1990. Dasar Pengawasan Mutu dan Standarisasi Mutu Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Susanto, H. dan Amri, K., 1996. Budidaya Ikan Patin. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Suzuki, 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. Aplied Science Publishers Ltd., London. Tanikawa, E., 1971. Marine Product In Japan Koseisha Kaseikaku.Co., Tokyo. Thomphson M. P., Tarassuk, N. P., Jenness, R., Lillevik, H. A., Ashworth, U. S., dan Rose, D., 1965. Nomenclature of the proteins of cow’s milk-second revision. J. Dairy Sci 48 : 159. Trius, A., Sebranek, R. E., dan Carr, J. M., 1994. Low-fat bologna and beaker sausage : effect of carrageenans and chloride salts. J. Food. Sci, 59 : 941945. Varnam, A. H. dan Sutherland, J. P., 1994. Milk and Milk Product Technology, Chemistry, and Microbiology. Chapman and Hall, London. William, R. P. Dan Jackson, D. E., 1984. Cost Engineering Analysis. 2nd Edition. John Wiley and Sons, New York. Wilson, G. D., 1960. Sausage product. Di dalam : J. B. Evans, B. S. Scweigert, C. F. Liven, dan D. M. Doty (Eds.), The Science of Meat and Meat Product. W. H. Freeman Co., San Fransisco. Wilson, N. R. P., Dyett, E. J., Hughes, R. B., dan Jones C. R. V., 1981. Meat and Meat Product : Factor Effecting Quality Control. Aplied Sciences Publishers, Ltd., London and New Jersey. Winarno, F. G., 1979. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakartakusumah, M. A., Abdullah, K., Syarif, A., 1992. Sifat Fisik Pangan. Departemen Pendididkan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendididkan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Xiong, Y. L., Noel, D. C., dan Moody, W. G., 1999. Textural and sensoryproperties of low-fat beef sausages with added water and polysaccarides as affected by pH and salt. J. Food. Sci. Vol. 64 (3) : 550554.
117
Yanis, M., 2006. Peningkatan manfaat daging itik melalui pembuatan sosis dengan teknologi surimi. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Zaitsev, V., Kizevetter, I., Lagunov, L., Makarova, T., Minder, L. Dan Podsevalov., 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher, Moscow.
118
Lampiran 1. Hasil uji hedonik pada penetapan bumbu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Fitri Eko Wati Angel Mona Nur Zano Agnes Dian
A1 4 3 4 4 4 4 3 1 3
Skor Rasa A2 A3 4 5 4 5 4 2 4 3 4 3 4 4 2 2 4 5 5 4
A4 5 5 2 2 3 5 3 5 5
Lampiran 2. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum penambahan surimi dan air No. 1 2 3 4 5
Nama Ade Andriansyah Andal Hendy Rucitra
B1 -
B2 + +
Skor penerimaan B3 B4 + + + + + + + + +
B5 + + + + -
B6 + + + + -
Keterangan : - = tidak dapat diterima, + = dapat diterima
Lampiran 3. Skor kesukaan pada penetapan perbandingan jenis karagenan No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Ade Rahmat Agnes Aji Meiko Asih Helmi Gilang
C1 2 2 2 1 2 3 4 2
Skor kesukaan C2 C3 C4 2 4 5 3 2 4 4 4 3 4 5 5 1 2 3 4 4 4 5 5 4 3 3 4
C5 1 3 5 1 3 4 3 3
119
Lampiran 4. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum penambahan karagenan No. 1 2 3 4 5 6
Nama
Skor penerimaaan D2 -
D1 + + + + +
Rahmat Janathan Andal Dian Maya Mona
D3 -
Keterangan : - = tidak dapat diterima, + = dapat diterima
Lampiran 5. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum susu skim No.
Skor penerimaan E1 E2 E3 1 Rina + 2 Ayuni + + 3 Yusmaneti + + 4 Rina + + 5 Tomi + + + 6 Paula + 7 Andrea + 8 Christine Keterangan : - = tidak dapat diterima, + = dapat diterima Nama
E4 + -
Lampiran 6. Hasil perhitungan rendemen surimi ikan patin Rendemen terhadap
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Ikan patin utuh (%)
31.15
34.37
32.76
Fillet (%)
61.04
65.35
63.20
Lampiran 7. Hasil uji proksimat dan uji mikrobiologi sosis formula optimum Analisis Kadar Air (%bb) Kadar Abu (%bb) Kadar Protein (%bb) Kadar Lemak (%bb) Kadar Karbohidrat (%bb) Angka Lempeng Total (Koloni/g)
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 59.44 59.35 59.34 59.33 59.37 1.75 2.05 1.96 1.88 1.91 10.38 10.36 10.43 10.89 10.52 21.84 21.91 22.63 22.73 22.28 6.59 6.33 5.64 5.17 5.93 3.3×10²
2.6×10²
3.0×10²
120
Lampiran 8. Fits summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon biaya (RM cost)
Response 1 biaya Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Source Squares df Mean vs Total 1.14E+09 1 Linear vs Mean 16440251 3 Quadratic vs Linear 0.08886 6 Sp Cubic vs 0.040956 3 Quadratic Cubic vs Sp Cubic 0 0 Residual 1.24E-05 6 Total 1.15E+09 19
Transform:
None
Mean Square 1.14E+09 5480084 0.01481
F Value
p-value Prob > F
6.33E+08 3.253477
< 0.0001 0.0550
Suggested
6610.948
< 0.0001
Aliased Aliased
0.013652 2.07E-06 60636840
ANOVA for Mixture Linear Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square Model 16440251 3 5480083.644 Linear Mixture 16440251 3 5480083.644 Residual 0.129828 15 0.008655185 0.129828 9 0.014425308 Lack of Fit Pure Error 0 6 0 Cor Total 16440251 18
Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
0.093033 7731.207 0.001203 0.175883
R-Squared Adj R-squared Pred R-squared Adeq Precision
F Value 6.33E+08 6.33E+08
p-value Prob > F < 0.0001 < 0.0001
significant
1 1 1 61369.61
Final Equation in Terms of Actual Components: biaya 149.646 22.63844 172.2623 156.5009
= * surimi * air * karagenan * susu skim
121
Lampiran 9. Fits summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon tekstur Response 2 tekstur Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Source Squares df Mean vs Total 1266.106 1 Linear vs Mean 53.81446 3 Quadratic vs Linear 2.531773 6 Sp Cubic vs Quadratic 0.187972 3 Cubic vs Sp Cubic 0 0 Residual 1.75 6 Total 1324.39 19
Transform:
None
Mean Square 1266.105789 17.938155 0.421962181 0.062657485
F Value
p-value Prob > F
60.19858 1.959605 0.214826
< 0.0001 0.1750 0.8827
Aliased Aliased
0.291666667 69.70473684
Response 2 tekstur ANOVA for Mixture Linear Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square Model 53.81446 3 17.938155 Linear Mixture 53.81446 3 17.938155 Residual 4.469746 15 0.297983036 2.719746 9 0.302193949 Lack of Fit Pure Error 1.75 6 0.291666667 Cor Total 58.28421 18
F Value 60.19858 60.19858
p-value Prob > F < 0.0001 < 0.0001
1.036094
0.5018
Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
0.923311 0.907973 0.872382 23.30542
0.545878 8.163158 6.687096 7.438117
Suggested
R-Squared Adj R-squared Pred R-squared Adeq Precision
significant
not significant
Final Equation in Terms of Actual Components: tekstur 0.171818 -0.03456 0.92726 0.211579
= * surimi * air * karagenan * susu skim
122
Lampiran 10. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon rasa respon rasa
Response 3 rasa Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Source Squares df Mean vs Total 1526.426 1 Linear vs Mean 4.356422 3 Quadratic vs Linear 1.92632 6 Sp Cubic vs Quadratic 0.081469 3 Cubic vs Sp Cubic 0 0 Residual 1.5 6 Total 1534.29 19
Transform:
None
Mean Square 1526.425789 1.452140742 0.321053256 0.027156255
F Value
p-value Prob > F
6.209642 1.827086 0.108625
0.0059 0.1998 0.9520
Suggested Aliased Aliased
0.25 80.75210526
Response 3 rasa ANOVA for Mixture Linear Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square Model 4.356422 3 1.452140742 Linear Mixture 4.356422 3 1.452140742 Residual 3.507788 15 0.233852553 2.007788 9 0.223087589 Lack of Fit Pure Error 1.5 6 0.25 Cor Total 7.864211 18
F Value 6.209642 6.209642
Std. Dev. Mean
0.483583 8.963158
0.553955 0.464747
C.V. %
5.395231
PRESS
5.849798
R-Squared Adj R-squared Pred Rsquared Adeq Precision
0.89235
p-value Prob > F 0.0059 0.0059 0.5788
significant
not significant
0.256149 6.867077
Final Equation in Terms of Actual Components: rasa = 0.145671 * surimi 0.081116 * air 0.261967 * karagenan 0.109848 * susu skim
123
Lampiran 11. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon air bebas yang dikeluarkan air bebas yang Response 4 dikeluarkan Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Source Squares df Mean vs Total 86510.69 1 Linear vs Mean 1645.838 3 Quadratic vs Linear 632.3669 6 Sp Cubic vs Quadratic 434.8338 3 Cubic vs Sp Cubic 0 0 Residual 384.7071 6 Total 89608.44 19
Transform:
None
Mean Square 86510.69265 548.6126217 105.3944892 144.9446023
F Value
p-value Prob > F
5.667845 1.157417 2.260597
0.0084 0.4048 0.1817
9.838387 67.47736 14.58028 2272.392
Aliased Aliased
64.11785169 4716.233598
air bebas yang Response 4 dikeluarkan ANOVA for Mixture Linear Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square Model 1645.838 3 548.6126217 Linear Mixture 1645.838 3 548.6126217 Residual 1451.908 15 96.79385681 1067.201 9 118.5778602 Lack of Fit Pure Error 384.7071 6 64.11785169 Cor Total 3097.746 18 Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
Suggested
R-Squared Adj R-squared Pred R-squared Adeq Precision
F Value 5.667845 5.667845
p-value Prob > F 0.0084 0.0084
1.849374
0.2339
significant
not significant
0.531302 0.437562 0.266437 7.72586
Final Equation in Terms of Actual Components: air bebas yang dikeluarkan = 0.87794 * surimi 1.458813 * air -3.1243 * karagenan -2.17283 * susu skim
124
Lampiran 12. Fit summary, ANOVA , dan persamaan polinomial respon cooking loss cooking Response 5 loss Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Source Squares df Mean vs Total 290.5521 1 Linear vs Mean 0.833388 3 Quadratic vs Linear 2.664318 6 Sp Cubic vs Quadratic 2.464339 3 Cubic vs Sp Cubic 0 0 Residual 1.79025 6 Total 298.3044 19
Transform:
None
Mean Square 290.5521053 0.277796021 0.444052922 0.82144638
F Value
p-value Prob > F
0.602254 0.939333 2.753067
0.6235 0.5122 0.1346
Suggested
Aliased Aliased
0.298375 15.70023158
Response 5 cooking loss ANOVA for Mixture Linear Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square
F Value
p-value Prob > F
Model Linear Mixture Residual
0.833388 0.833388 6.918907
3 3 15
0.277796021 0.277796021 0.461260445
0.602254 0.602254
0.6235 0.6235
Lack of Fit Pure Error Cor Total
5.128657 1.79025 7.752295
9 6 18
0.569850741 0.298375
1.909847
0.2221
Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
0.679162 3.910526 17.36752 10.03178
R-Squared Adj R-squared Pred R-squared Adeq Precision
not significant
not significant
0.107502 -0.071 -0.29404 2.296601
Final Equation in Terms of Actual Components: = cooking loss 0.049859 * surimi 0.055351 * air 0.298027 * karagenan 0.025765 * susu skim
125
Lampiran 13. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon daya iris Response 6 daya iris Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Source Squares df Mean vs Total 8741727 1 Linear vs Mean 1322451 3 Quadratic vs Linear 417380.9 6 Sp Cubic vs Quadratic 5778.45 3 Cubic vs Sp Cubic 0 0 Residual 51719.62 6 Total 10539057 19
Transform:
None
Mean Square 8741726.91 440817.1161 69563.48361 1926.150015
F Value
p-value Prob > F
13.92409 10.88856 0.223453
0.0001 0.0011 0.8768
8619.936667 554687.2226
Response 6 daya iris ANOVA for Mixture Quadratic Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square Model 1739832 9 193314.6944 Linear Mixture 1322451 3 440817.1161 AB 134213.8 1 134213.7548 AC 84323 1 84323.00351 AD 27441 1 27441.00183 BC 98544.89 1 98544.89335 BD 28206.55 1 28206.55196 CD 148445.1 1 148445.0536 Residual 57498.07 9 6388.67445 5778.45 3 1926.150015 Lack of Fit Pure Error 51719.62 6 8619.936667 Cor Total 1797330 18
F Value 30.25897 68.99978 21.00808 13.19883 4.295257 15.42494 4.415087 23.23566
p-value Prob > F < 0.0001 < 0.0001 0.0013 0.0055 0.0681 0.0035 0.0650 0.0009
0.223453
0.8768
Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
0.968009 0.936018 0.849285 18.05861
79.92918 678.3 11.78375 270883.9
Suggested Aliased Aliased
R-Squared Adj R-squared Pred R-squared Adeq Precision
significant
not significant
Final Equation in Terms of Actual Components: daya iris 57.20891 64.35359 -14382.6 -1378.58 -3.06947 196.4636 18.82179 212.0234 19.45448 266.4882
= * surimi * air * karagenan * susu skim * surimi * air * surimi * karagenan * surimi * susu skim * air * karagenan * air * susu skim * karagenan * susu skim
126
Lampiran 14. Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon kekenyalan Response 7 kekenyalan Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Source Squares df Mean vs Total 2085765 1 Linear vs Mean 381449.3 3 Quadratic vs Linear 27841.13 6 Sp Cubic vs Quadratic 1724.549 3 Cubic vs Sp Cubic 0 0 Residual 3432.615 6 Total 2500213 19
Transform:
None
Mean Square 2085765.423 127149.7816 4640.188087 574.8495279
F Value
p-value Prob > F
57.79835 8.097803 1.004802
< 0.0001 0.0032 0.4529
572.1025 131590.1611
Response 7 kekenyalan ANOVA for Mixture Quadratic Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square Model 409290.5 9 45476.71925 Linear Mixture 381449.3 3 127149.7816 AB 1948.665 1 1948.66452 AC 2145.016 1 2145.016295 AD 189.9642 1 189.9642031 BC 2198.031 1 2198.03109 BD 644.3747 1 644.3746886 CD 475.4166 1 475.4166066 Residual 5157.164 9 573.018176 1724.549 3 574.8495279 Lack of Fit Pure Error 3432.615 6 572.1025 Cor Total 414447.6 18
F Value 79.36348 221.8948 3.400703 3.743365 0.331515 3.835884 1.124527 0.829671
p-value Prob > F < 0.0001 < 0.0001 0.0983 0.0850 0.5789 0.0818 0.3166 0.3861
1.004802
0.4529
Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
0.987557 0.975113 0.945517 27.80068
23.9378 331.3263 7.224841 22580.41
Suggested Aliased Aliased
R-Squared Adj R-squared Pred R-squared Adeq Precision
significant
not significant
Final Equation in Terms of Actual Components: kekenyalan 13.73173 2.098711 2264.982 -152.005 -0.36986 -31.3346 1.566018 -31.6653 2.94045 -15.0811
= * surimi * air * karagenan * susu skim * surimi * air * surimi * karagenan * surimi * susu skim * air * karagenan * air * susu skim * karagenan * susu skim
127
Lampiran 15. Numerical optimation sosis formula optimum
Constraints Lower
Upper
Lower
Limit
Limit
Weight
Upper
Name
Goal
surimi
minimize
35
55
1
1
air
is in range
17
37
1
1
3
karagenan
is in range
0
2
1
1
3
susu skim
is in range
biaya
minimize
Weight
Importance 4
0
5
1
1
3
6075.187
8694.863
1
1
5
tekstur
maximize
4.2
10.7
1
1
5
rasa air bebas yang dikeluarkan
maximize
7.8
10.1
1
1
5
minimize
45.8
89.05
1
1
4
cooking loss
minimize
3.09
5.5
1
1
4
daya iris
is in range
278.7
1374.1
1
1
3
kekenyalan
is in range
79.5
578.2
1
1
3
Solutions Number
surimi
air
karagenan
susu skim
biaya
tekstur
rasa
air bebas yang dikeluarkan
cooking loss
daya iris
kekenyalan
1
37.081
27.919
2.000
5.000
7308.114
8.319
8.739
56.171
4.119
361.527
412.864
Desirability 0.602
2
35.000
30.000
2.000
5.000
7043.793
7.889
8.605
57.380
4.130
402.510
396.129
0.598
3
40.457
24.646
1.897
5.000
7721.421
8.917
8.939
54.682
4.076
386.333
425.956
0.587
4
39.255
26.319
1.426
5.000
7498.294
8.215
8.776
57.541
3.968
475.143
326.245
0.581
5
40.319
25.399
1.282
5.000
7611.920
8.296
8.819
57.581
3.927
498.345
313.598
0.573
6
41.250
24.594
1.156
5.000
7711.332
8.368
8.856
57.616
3.891
520.310
304.114
0.565
7
42.479
23.383
1.138
5.000
7864.721
8.604
8.932
56.985
3.880
553.402
315.805
0.555
8
41.250
25.125
0.625
5.000
7631.858
7.857
8.760
60.051
3.762
466.727
231.598
0.550
9
42.044
28.094
1.862
0.000
7248.444
7.979
8.891
72.079
4.206
278.704
307.305
0.525
10
36.000
31.878
0.648
3.475
6764.301
6.420
8.381
68.534
3.842
550.458
178.916
0.505
11
50.425
17.912
1.284
2.378
8544.840
9.739
9.396
61.222
3.950
1015.449
452.644
0.377
128
Selected
Lampiran 16. Point Prediction sosis formula optimum Component
Name surimi air karagenan susu skim Total =
Level 37.08 27.92 2 5 72
Response
Prediction 7308.11 8.32 8.74 56.17 4.12 361.53 412.86
A B C D
biaya tekstur rasa air bebas yang dikeluarkan cooking loss daya iris kekenyalan
Low Level 35 17 0 0
High Level 55 37 2 5
Std. Dev. 0 0 0 0
Coding Actual Actual Actual Actual
SE Mean 0.048954 0.28724 0.25446
95% CI low 7308.01 7.71 8.2
95% CI high 7308.22 8.93 9.28
SE Pred 0.105127 0.616839 0.546445
95% PI low 7307.89 7 7.57
95% PI high 7308.34 9.63 9.9
5.176938 0.357373 70.61264 21.14761
45.14 3.36 201.79 365.03
67.21 4.88 521.26 460.7
11.11731 0.767448 106.6528 31.94119
32.47 2.48 120.26 340.61
79.87 5.75 602.79 485.12
129
Lampiran 17. Form uji hedonik sosis ikan patin pada tahap optimasi
UJI HEDONIK Nama : No. HP : Sampel : Sosis ikan patin
Tanggal :
Instruksi : 1. Cicipi sampel dari kiri ke kanan dan minumlah air putih secukupnya sebelum mencoba setiap sampel. 2. Tentukan kesukaan Anda dengan memberi tanda garis vertikal (l) pada garis horizontal yang tersedia untuk atribut tekstur (daya gigit, kekerasan, kekenyalan, juiceness/air yang keluar dari sampel saat digigit dan dikunyah) serta rasa. 3. Jangan membandingkan antar sampel. Sosis 829 Sangat tidak suka tekstur
Sangat suka
rasa
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sosis 822 tekstur
Sangat tidak suka Sangat suka Sangat tidak suka Sangat suka
rasa Sosis 688 Sangat tidak suka tekstur
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sosis 959 Sangat tidak suka tekstur
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
rasa
rasa
Berikanlah komentar Anda mengenai atribut (tekstur dan rasa ) dari sampel-sampel di atas :
130
Lampiran 18. Form uji hedonik sosis ikan formula optimum dengan sosis ikan komersil untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan warna
UJI HEDONIK Nama : No. HP : Sampel : Sosis ikan
Tanggal :
Instruksi : 1. Cicipi sampel dari kiri ke kanan dan minumlah air putih secukupnya sebelum mencoba setiap sampel. 2. Tentukan kesukaan Anda dengan memberi tanda garis vertikal (l) pada garis horizontal yang tersedia untuk atribut tekstur (daya gigit, kekerasan, kekenyalan, juiceness/air yang keluar dari sampel saat digigit dan dikunyah), rasa, aroma, dan warna. 3. Jangan membandingkan antar sampel. Sosis 829 tekstur rasa aroma warna Sosis 822 tekstur rasa aroma warna
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Berikanlah komentar Anda mengenai atribut (tekstur, rasa , aroma, warna) dari sampel - sampel di atas :
131
Lampiran 19. Form uji hedonik sosis ikan formula optimum dengan sosis ikan komersil untuk atribut overall
UJI HEDONIK Nama : No. HP : Sampel : Sosis ikan
Tanggal :
Instruksi : 1. Cicipi sampel dari kiri ke kanan dan minumlah air putih secukupnya sebelum mencoba setiap sampel. 2. Tentukan kesukaan Anda pada sampel secara overall dengan memberi tanda garis vertikal (l) pada garis horizontal yang tersedia. 3. Jangan membandingkan antar sampel. Sosis 829 overall
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sosis 822 overall
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sangat tidak suka
Sangat suka
Sosis 688 overall Sosis 959 overall
Berikanlah komentar Anda mengenai atribut overall dari sampel-sampel di atas :
132
Lampiran 20. Hasil uji hedonik sosis formula optimum dan sosis K1 untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan warna No
Nama
tekstur 1 Trifena 12.5 2 Rosliana 10.1 3 Astrida 5.8 4 Shabrina 9.8 5 Devi 10.6 6 Shinta 9.9 7 Arie 13.6 8 Erma 6.0 9 Wachyu 12.0 10 Tenni 8.2 11 Sabinazan 6.6 12 Tri 9.1 13 Irfa 13.7 14 Dhieta 6.8 15 Eneng 10.8 16 Angga 7.9 17 Hanifah 6.9 18 Agus 10.9 19 Eka 9.7 20 Hayuning 9.6 21 Arga 7.2 22 Mardiati 13.5 23 Yusmaneti 4.7 24 Beti 11.8 25 Paula 11.5 26 Tomi 11.5 27 Mona 5.6 28 Noor 11.2 29 Prima 11.6 30 Adi P. 9.8 31 Idham 8.7 32 Rachmat 5.5 33 Hendy 10.1 34 Adie M.R. 7.5 35 Andal 5.1
Sosis Optimum Sosis K1 rasa aroma warna tekstur rasa aroma warna 12.4 12.5 11.9 13.5 13.1 13.9 9.9 7.1 10.1 8.2 4.5 8.1 5.5 5.8 10.7 11.7 7.9 7.5 12.5 12.8 11.1 8.5 11.1 9.7 10.0 12.3 8.1 3.0 10.8 10.9 10.8 10.4 9.2 11.3 8.3 8.9 9.9 9.6 7.4 9.3 8.4 1.9 11.7 10.5 12.3 14.4 14.4 14.1 4.0 6.8 6.2 5.8 7.8 7.0 7.0 7.1 6.3 7.4 9.4 12.3 14.7 6.8 9.0 6.0 4.1 11.6 5.0 7.2 12.9 5.9 9.9 10.0 7.2 11.8 13.8 9.7 14.8 10.7 10.0 8.2 2.7 7.3 8.0 10.0 13.8 12.6 12 13.5 13.5 12.1 11.9 11.7 7.2 7.3 6.8 12.5 6.0 6.9 10.8 10.6 9.8 12.8 13.1 13.0 13.0 10.3 8.9 7.4 8.9 12.2 6.8 5.4 7.0 6.9 8.5 7.1 5.1 5.2 4.3 6.8 6.8 6.9 11.0 15.0 15.0 7.4 9.8 13.9 11.7 7.9 13.3 14.3 9.8 10.4 7.3 7.9 10.3 10.9 10.2 7.1 8.9 6.6 7.3 11.0 11.1 11.1 12.1 13.9 13.1 10.3 13.3 13.6 6.5 4.4 11.7 7.7 14 14.1 14.1 14.1 14.1 12.4 9.2 9.6 6.1 4.5 6.0 6.4 12.3 10.4 5.2 11.6 13.4 8.8 9.5 10.2 14.2 7.7 14.2 14.7 14.6 12.1 8.3 12.7 8.3 12.2 13.8 13.8 8.4 10.4 7.1 7.0 12.7 12.8 12.2 5.2 14.1 12.7 10.0 14.1 14.6 14.5 14.4 11.6 9.1 8.6 7.8 9.9 8.7 9.6 5.7 7.6 3.6 10.6 11.5 12.2 11.7 6.2 8.0 3.4 8.2 7.2 9.6 8.8 7.7 8.9 3.2 10.4 9.4 9.7 4.7 7.2 7.8 7.8 8.5 9.9 8.3 5.9 11.4 12.4 11.7 14.2 14.5 14.3 7.6
133
Lampiran 21.
Hasil uji hedonik sosis K2 dan sosis K3 untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan warna
No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Trifena Rosliana Astrida Shabrina Devi Shinta Arie Erma Wachyu Tenni Sabinazan Tri Irfa Dhieta Eneng Angga Hanifah Agus Eka Hayuning Arga Mardiati Yusmaneti Beti Paula Tomi Mona Noor Prima Adi P. Idham Rachmat Hendy Adie M.R. Andal
tekstur 13.4 8.6 5.1 9.6 9.0 6.8 12.7 8.2 11.9 10.3 6.1 3.6 13.0 7.3 12.7 7.7 5.4 5.4 9.8 7.1 7.5 5.6 14.9 11.5 4.9 6.8 7.2 10.9 13.1 10.2 10.1 7.4 5.7 7.2 8.7
Sosis K2 rasa aroma 11.0 14.3 3.4 4.9 6.7 4.6 7.6 9.7 7.4 7.5 7.4 7.4 6.5 2.1 5.3 6.2 13.3 7.4 4.1 2.4 4.3 6.7 6.0 1.6 11.2 12.8 6.7 6.7 12.1 11.8 3.2 2.8 3.1 5.3 4.6 7.4 7.3 6.8 7.5 5.6 8.4 9.3 1.6 3.1 14.3 14.9 13.3 9.9 5.5 7.1 5.8 2.3 3.9 6.1 5.3 5.4 9.9 10.5 6.3 6.5 4.9 3.5 4.4 2.0 2.6 3.9 6.4 5.3 10.6 7.0
warna tekstur 11.6 10.5 9.2 4.3 5.9 6.9 11.4 5.3 7.8 5.2 5.1 4.7 10.0 9.7 6.2 5.3 12.5 6.4 8.0 9.3 11.9 0.1 2.3 0.1 14.3 4.3 11.0 5.8 10.7 10.5 4.0 6.6 6.5 2.5 6.2 2.2 7.7 1.3 7.1 3.9 8.4 5.8 3.3 0.6 7.9 11.6 7.7 10.6 8.7 2.7 14.3 1.5 8.1 7.0 12.0 11.2 8.5 6.4 6.7 4.5 3.3 7.3 12.9 3.2 1.5 1.4 8.5 5.9 12.1 8.3
Sosis K3 rasa aroma 8.5 11.4 2.8 4.2 2.4 3.9 6.5 8.8 4.4 6.5 5.2 8.3 1.1 1.6 4.2 5.4 3.6 11 3.6 9.4 0.1 6.9 0.2 0.1 4.7 10.8 5.3 5.5 6.9 9.5 0.3 2.0 2.5 2.5 1.2 3.1 1.4 1.4 4.3 3.3 9.0 7.6 0.1 1.7 0.3 14.1 7.3 7.9 2.9 4.3 0.2 3.8 1.0 3.0 1.6 2.5 1.6 3.3 4.5 4.5 0.2 0.2 0.3 3.1 0.1 3.4 2.0 2.0 3.3 4.4
134
warna 10.9 4.5 8.0 10.4 8.1 8.3 3.4 5.5 5.6 12.8 13.0 2.4 6.2 7.6 11.9 7.4 4.3 4.7 6.9 5.3 7.8 9.7 7.8 12.5 7.3 9.0 3.9 7.2 7.7 4.9 0.2 7.9 4.9 7.1 6.8
Lampiran 22. Hasil uji hedonik atribut overall sosis optimum, sosis K1, sosis K2, dan sosis K3 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nama opt K1 K2 K3 Adie M.R. 8.9 12.0 7.5 1.2 Idham 9.1 14.4 13.1 0.4 Paula 10.1 12.8 9.0 3.2 Angga 10.1 11.8 6.3 0.2 Mona 5.5 13.6 1.8 1.0 Hendy 8.2 9.7 1.9 0.0 Shinta 7.4 9.2 7.9 6.9 Eneng 9.8 11.1 9.0 0.3 Beti 9.6 12.4 12.5 10.5 Mardiati 13.7 13.9 3.3 0.2 Hanifah 6.7 5.7 4.1 1.1 Arie 13.5 14.2 10.2 1.2 Rina 8.5 11.8 6.4 0.0 Trifena 10.1 10.6 9.0 3.2 Rachmat 6.8 8.0 6.8 5.0 Yusmaneti 14.2 14.6 4.0 0.8 Shabrina 7.7 10.9 7.9 4.9 Dhieta 8.5 9.8 7.3 2.0 Erma 6.6 7.6 5.9 0.5 Andal 1.8 12.5 2.8 1.2 Denny 10.5 11 9.0 9.7 Edy 12.1 11.9 10.9 1.6 Aji 8.2 11.1 2.3 6.9 Lasty 12.8 11.3 9.1 1.2 Ade 9.9 13.5 12.4 1.9 Yoga 4.5 13.5 12.5 0.8 Iqbal 9.3 13.2 8.9 0.3 Arif 8.8 14.2 11.1 0.9 Yuke 6.5 13.5 5.4 3.4 Sucen 3.8 10.6 9.0 2.8 Asih 10.0 13.8 9.7 3.1 Kaninta 10.4 9.1 4.9 2.4 Jamal 7.8 11.6 5.2 3.7 Ame 12.5 11.1 5.1 1.7 Astuti 4.1 12.0 4.0 1.9 Tomi 12.0 12.7 10.0 1.7
135
Lampiran 23. Tabel ANOVA untuk atribut tekstur Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TEKSTUR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 10949.795a 596.470 429.513 616.575 11566.370
df
Mean Square 288.153 17.543 143.171 6.045
38 34 3 102 140
F 47.669 2.902 23.685
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .947 (Adjusted R Squared = .927)
Estimated Marginal Means SAMPEL Dependent Variable: TEKSTUR SAMPEL optimum K1 K2 K3
Mean 9.309 10.131 8.726 5.511
Std. Error .416 .416 .416 .416
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 8.484 10.133 9.307 10.956 7.901 9.550 4.687 6.336
Post Hoc Tests SAMPEL Multiple Comparisons Dependent Variable: TEKSTUR LSD
(I) SAMPEL optimum
K1
K2
K3
(J) SAMPEL K1 K2 K3 optimum K2 K3 optimum K1 K3 optimum K1 K2
Mean Difference (I-J) -.823 .583 3.797* .823 1.406* 4.620* -.583 -1.406* 3.214* -3.797* -4.620* -3.214*
Std. Error .5877 .5877 .5877 .5877 .5877 .5877 .5877 .5877 .5877 .5877 .5877 .5877
Sig. .165 .324 .000 .165 .019 .000 .324 .019 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.989 .343 -.583 1.749 2.631 4.963 -.343 1.989 .240 2.571 3.454 5.786 -1.749 .583 -2.571 -.240 2.049 4.380 -4.963 -2.631 -5.786 -3.454 -4.380 -2.049
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
136
Lampiran 24. Tabel ANOVA untuk atribut rasa Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: RASA Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 10356.992a 468.804 1442.197 613.008 10970.000
df
Mean Square 272.552 13.788 480.732 6.010
38 34 3 102 140
F 45.351 2.294 79.990
Sig. .000 .001 .000
a. R Squared = .944 (Adjusted R Squared = .923)
Estimated Marginal Means SAMPEL Dependent Variable: RASA SAMPEL optimum K1 K2 K3
Mean 9.783 11.414 6.911 2.960
Std. Error .414 .414 .414 .414
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 8.961 10.605 10.592 12.236 6.090 7.733 2.138 3.782
Post Hoc Tests SAMPEL Multiple Comparisons Dependent Variable: RASA LSD
(I) SAMPEL optimum
K1
K2
K3
(J) SAMPEL K1 K2 K3 optimum K2 K3 optimum K1 K3 optimum K1 K2
Mean Difference (I-J) -1.631* 2.871* 6.823* 1.631* 4.503* 8.454* -2.871* -4.503* 3.951* -6.823* -8.454* -3.951*
Std. Error .5860 .5860 .5860 .5860 .5860 .5860 .5860 .5860 .5860 .5860 .5860 .5860
Sig. .006 .000 .000 .006 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -2.794 -.469 1.709 4.034 5.660 7.985 .469 2.794 3.340 5.665 7.292 9.617 -4.034 -1.709 -5.665 -3.340 2.789 5.114 -7.985 -5.660 -9.617 -7.292 -5.114 -2.789
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
137
Lampiran 25. Tabel ANOVA untuk atribut aroma Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: AROMA Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 10108.831a 602.315 645.441 758.669 10867.500
df
Mean Square 266.022 17.715 215.147 7.438
38 34 3 102 140
F 35.766 2.382 28.926
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .930 (Adjusted R Squared = .904)
Estimated Marginal Means SAMPEL Dependent Variable: AROMA SAMPEL optimum K1 K2 K3
Mean 9.603 10.443 6.594 5.183
Std. Error .461 .461 .461 .461
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 8.688 10.517 9.528 11.357 5.680 7.509 4.268 6.097
Post Hoc Tests SAMPEL Multiple Comparisons Dependent Variable: AROMA LSD
(I) SAMPEL optimum
K1
K2
K3
(J) SAMPEL K1 K2 K3 optimum K2 K3 optimum K1 K3 optimum K1 K2
Mean Difference (I-J) -.840 3.009* 4.420* .840 3.849* 5.260* -3.009* -3.849* 1.411* -4.420* -5.260* -1.411*
Std. Error .6519 .6519 .6519 .6519 .6519 .6519 .6519 .6519 .6519 .6519 .6519 .6519
Sig. .200 .000 .000 .200 .000 .000 .000 .000 .033 .000 .000 .033
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -2.133 .453 1.715 4.302 3.127 5.713 -.453 2.133 2.555 5.142 3.967 6.553 -4.302 -1.715 -5.142 -2.555 .118 2.705 -5.713 -3.127 -6.553 -3.967 -2.705 -.118
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
138
Lampiran 26. Tabel ANOVA untuk atribut warna Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: WARNA Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 9835.569a 534.598 42.526 741.161 10576.730
df
Mean Square 258.831 15.723 14.175 7.266
38 34 3 102 140
F 35.621 2.164 1.951
Sig. .000 .002 .126
a. R Squared = .930 (Adjusted R Squared = .904)
Estimated Marginal Means SAMPEL Dependent Variable: WARNA SAMPEL optimum K1 K2 K3
Mean 8.623 8.329 8.380 7.197
Std. Error .456 .456 .456 .456
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 7.719 9.527 7.425 9.232 7.476 9.284 6.293 8.101
Post Hoc Tests SAMPEL Multiple Comparisons Dependent Variable: WARNA LSD
(I) SAMPEL optimum
K1
K2
K3
(J) SAMPEL K1 K2 K3 optimum K2 K3 optimum K1 K3 optimum K1 K2
Mean Difference (I-J) .294 .243 1.426* -.294 -.051 1.131 -.243 .051 1.183 -1.426* -1.131 -1.183
Std. Error .6444 .6444 .6444 .6444 .6444 .6444 .6444 .6444 .6444 .6444 .6444 .6444
Sig. .649 .707 .029 .649 .937 .082 .707 .937 .069 .029 .082 .069
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.984 1.572 -1.035 1.521 .148 2.704 -1.572 .984 -1.330 1.227 -.147 2.410 -1.521 1.035 -1.227 1.330 -.095 2.461 -2.704 -.148 -2.410 .147 -2.461 .095
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
139
Lampiran 27. Tabel ANOVA untuk atribut overall Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: OVERALL Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 10297.679a 354.352 1621.326 676.471 10974.150
df
Mean Square 264.043 10.124 540.442 6.443
39 35 3 105 144
F 40.984 1.571 83.886
Sig. .000 .041 .000
a. R Squared = .938 (Adjusted R Squared = .915)
Estimated Marginal Means SAMPEL Dependent Variable: OVERALL SAMPEL optimum K1 K2 K3
Mean 8.889 11.686 7.394 2.439
Std. Error .423 .423 .423 .423
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 8.050 9.728 10.847 12.525 6.556 8.233 1.600 3.278
Post Hoc Tests SAMPEL Multiple Comparisons Dependent Variable: OVERALL LSD
(I) SAMPEL optimum
K1
K2
K3
(J) SAMPEL K1 K2 K3 optimum K2 K3 optimum K1 K3 optimum K1 K2
Mean Difference (I-J) -2.797* 1.494* 6.450* 2.797* 4.292* 9.247* -1.494* -4.292* 4.956* -6.450* -9.247* -4.956*
Std. Error .5983 .5983 .5983 .5983 .5983 .5983 .5983 .5983 .5983 .5983 .5983 .5983
Sig. .000 .014 .000 .000 .000 .000 .014 .000 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -3.983 -1.611 .308 2.681 5.264 7.636 1.611 3.983 3.105 5.478 8.061 10.433 -2.681 -.308 -5.478 -3.105 3.769 6.142 -7.636 -5.264 -10.433 -8.061 -6.142 -3.769
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
140