TESIS
PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS METALOPROTEINASE 9 PADA KARSINOMA TIROID PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN FOLIKULER DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN EKSTRAKOMPARTEMEN
dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI NIM 1114098102
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS METALOPROTEINASE 9 PADA KARSINOMA TIROID PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN FOLIKULER DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN EKSTRAKOMPARTEMEN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI WAYAN ARMERINAYANTI NIM 1114098102
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 16 Maret 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K)
dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, SpPA (K)
NIP. 130 327 316
NIP. 197511042008012013
Mengetahui, Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-1 Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
Dr. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, SpPA (K) NIP. 196502011996012001
iii
Lembar Penetapan Panitia Penguji
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 26 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor: 727 Tanggal 12 Maret 2015
Ketua
: dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K)
Anggota
: 1. Dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, SpPA (K) 2. Prof. dr. I Gusti Alit Artha, MS., SpPA (K), MIAC 3. Dr. Herman Saputra, SpPA (K) 4. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: dr. Ni Wayan Armerinayanti
NIM
: 1114098102
Program Studi
: Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)
Judul
: Perbedaan Skor Ekspresi Matriks Metaloproteinase 9 pada Karsinoma Tiroid Papiler Varian Klasik dan Varian Folikuler
dengan
Infiltrasi
Intrakompartemen
dan
Ekstrakompartemen
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan peundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 26 Maret 2015 Yang membuat pernyataan,
(dr. Ni Wayan Armerinayanti)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu, Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa-Tuhan Yang Maha Esa, atas asung wara nugraha-Nya, sehingga tesis dengan judul Perbedaan Skor Ekspresi Matriks Metaloproteinase 9 pada Karsinoma Tiroid Papiler Varian Klasik dan Varian Folikuler dengan Infiltrasi
Intrakompartemen
dan
Ekstrakompartemen,
dapat
penulis
selesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan sepenuh hati menghaturkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat: dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K), selaku pembimbing I, yang telah membantu mengembangkan dan merealisasikan ide, memberikan pengarahan, koreksi dan bimbingan serta dukungan dari awal penyusunan usulan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada dr. Luh Putu Iin Indrayani M., SpPA(K), selaku pembimbing II dan Kepala Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, masukan, koreksi dan dukungan dari awal penyusunan usulan penelitian hingga selesainya tesis ini, serta memberikan ijin peminjaman blok dan preparat histopatologi selama proses penelitian. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
vi
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, FINASIM dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes yang memberikan kesempatan dan fasilitas
untuk
mengikuti
dan
menyelesaikan
Program
Magister
Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan Combined Degree. 4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian Ilmu Patologi Anatomi dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. 5. Dr. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, SpPA (K) sebagai Ketua Program Studi Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan selaku pembimbing, yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberikan petunjuk, nasehat serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
vii
6. dr. A.A.A.N. Susraini, SpPA (K), sebagai Kepala Bagian/ SMF Patologi Anatomi
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Udayana
yang
telah
memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 7. Prof. dr. I Gusti Alit Artha, MS.,SpPA (K), MIAC, dr. Herman Saputra, SpPA (K), Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH, selaku penguji, atas semua saran, koreksi, sanggahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan tesis ini. 8. Seluruh staf dosen/pengajar PPDS-1 Patologi
Anatomi
Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, dan semua dosen Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik Combined Degree, yang telah membimbing, memberikan masukan, dan bekal pendidikan kepada penulis, sehingga membantu menyelesaikan tesis ini. 9. Keluarga besar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa
yang
telah
memberikan
dukungan,
semangat,
dan
kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi. 10. Seluruh teman sejawat residen di bagian Patologi Anatomi dan pegawai di bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. Rasa syukur ini dan sujud penulis persembahkan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Ir. I Made Artha dan Ni Wayan Metri, BA, yang telah memberikan bekal pendidikan yang cukup, perhatian, pengertian, dukungan, semangat dan kasih sayang yang sangat tulus kepada penulis. Ayahanda dan viii
ibunda mertua, I Nyoman Arka Suteja, SE, Ak. dan Ni Made Sawitri, terima kasih atas pengertian, perhatian, dukungan, dan semangat yang begitu besar selama penulis menjalani masa pendidikan. Akhirnya kepada suami tercinta, dr. I Gede Bagus Gita Pranata Putra dan ananda terkasih, I Putu Bagus Ngurah Nararya Wibawa Pranata, kalian adalah keberuntungan dalam hidupku, terima kasih atas semangat, perhatian, pengorbanan, pengertian dan cinta kasih yang tulus dan tak terhingga selama penulis menjalani masa pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan di Laboratorium Patologi Anatomi dan bidang Ilmu patologi Anatomi. Terakhir, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa-Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Denpasar, Maret 2015
Penulis
ix
PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS METALOPROTEINASE 9 PADA KARSINOMA TIROID PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN FOLIKULER DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN EKSTRAKOMPARTEMEN
ABSTRAK Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan 80% dari seluruh karsinoma tiroid berdiferensiasi baik dengan 2 tipe tersering yaitu KTP varian klasik dan KTP varian folikuler.(KTPVF) Agresivitas antara kedua tipe karsinoma tiroid ini masih kontroversi, selain itu agresivitas juga sering dikaitkan dengan luas infiltrasi tumor. Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9) merupakan marka relevan dalam memprediksi agresivitas tumor karena mempengaruhi proses invasi dan metastasis tumor. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri mekanisme molekuler keterlibatan MMP-9 dalam menentukan agresivitas KTP dengan membuktikan perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik dan KTPVF baik yang menunjukkan infiltrasi intrakompartemen maupun ekstrakompartemen Penelitian analitik potong lintang ini menggunakan sampel sebesar 40 sampel yang dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 10 KTP klasik intrakompartemen, 10 KTP klasik ekstrakompartemen, 10 KTPVF intrakompartemen dan 10 KTPVF ekstrakompartemen. Sampel diambil dari arsip blok parafin Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar sepanjang tahun 2011 sampai Juni 2014. Kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia MMP-9 untuk melihat perbedaan skor ekspresi MMP-9 antar seluruh kelompok, yang dianalisis melalui uji One Way Anova sedangkan pengaruh seluruh variabel independen terhadap skor ekspresi MMP-9 dinilai dengan uji regresi berganda ANCOVA dengan tingkat kemaknaan (α) pada p<0,05. Terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 antar keempat kelompok, dimana ditemukan nilai perbedaan yang sangat bermakna antara KTP intrakompartemen dengan KTP ekstrakompartemen (p<0,001). Uji regresi berganda menunjukkan tidak terdapat pengaruh faktor usia, jenis kelamin dan ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9 (p>0,05). Agresivitas karsinoma tiroid papiler ditentukan oleh luas infiltrasi tumor, sedangkan perbedaan tipe histologis (klasik dan varian folikuler), maupun faktor usia, jenis kelamin dan ukuran tumor tidak mempengaruhi agresivitasnya. Kata kunci: Matriks metaloproteinase 9, Karsinoma tiroid papiler klasik, Karsinoma tiroid papiler varian folikuler, Intrakompartemen, Ekstrakompartemen
x
DIFFERENCE OF MATRIX METALLOPROTEINASE 9 EXPRESSION SCORE IN CLASSIC AND FOLLICULAR VARIANT OF PAPILLARY THYROID CARCINOMA WITH INTRA COMPARTMENT AND EXTRA COMPARTMENT INFILTRATION ABSTRACT Papillary Thyroid Carcinoma (PTC) was 80% of well differentiated thyroid tumors constitutes two frequently types included classic PTC and follicular variant of PTC (FVPTC). Aggressiveness between those distinct types was still controversies, although aggressiveness also associated with extent of tumor infiltration. Matrix Metalloproteinases 9 (MMP-9) was relevance marker predicting tumor aggressiveness because its role of invasive and metastatic process. The aim of this study was to explore molecular mechanism of MMP-9 in aggressiveness of PTC by proofed difference of MMP-9 expression score in classic PTC and follicular variant of PTC with intra compartment and extra compartment infiltration. This cross-sectional study was performed on 40 samples that divided into 4 groups which consists of 10 classic PTC intra compartment, 10 classic PTC extra compartment, 10 FVPTC intra compartment and 10 FVPTC extra compartment, taken from paraffin block archive from Pathology Anatomy Departement Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah General Hospital Denpasar during 2011 until June 2014. Immunostaining was performed to determined the difference of MMP-9 score expression between four group. Result was analyzed by One Way Anova, while impact of all independent variables on MMP-9 expression was analyzed by multiple regression test ANCOVA, with confidence level (α)<0,05. There was difference of MMP-9 expression score between four group, which showed very significant difference between intra compartment and extra compartment PTC (p<0,001). Multiple regression test showed no impact of age, sex and size of tumor on MMP-9 expression score. It was concluded that PTC aggressiveness was determined by extent of tumor infiltration, while histological type (classic and follicular variant), age, sex and tumor size were not impacting aggressiveness. Key word: Matrix Metalloproteinase 9, Classic Papillary Thyroid Carcinoma, Follicular Variant of Papillary Thyroid Carcinoma, Intra compartment, Extra Compartment.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ………………………………………………......................
i
PRASYARAT GELAR ....................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................. iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ vi ABSTRAK ........................................................................................................... x ABSTRACT ......................................................................................................... xi DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvii DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xx DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xxiii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 5 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 5 1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 5 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 6 1.4.1 Manfaat Akademik ..................................................................... 6
xii
xiii
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 7 2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler ........................................................ 7 2.2 Klasifikasi Karsinoma Tiroid Papiler ................................................... 7 2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 9 2.4 Faktor risiko ........................................................................................... 15 2.5 Patogenesis Karsinoma Tiroid Papiler Klasik dan Varian Folikuler ..... 20 2.6 Gejala Klinis dan Makroskopis ............................................................ 28 2.7 Mikroskopis Karsinoma Papiler Tiroid Klasik dan Varian Folikuler .... 30 2.8 Sistem Stadium dan Pola Perluasan Karsinoma Tiroid Papiler ........... 35 2.9 Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler ................................................. 40 2.10 Struktur, Jenis dan Fungsi Umum Matriks Metalloproteinase (MMP)…...................................................................................…….. 44 2.11 Fungsi Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9/Gelatinase………..…..50 2.12 Peranan Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9)/Gelatinase B pada Karsinoma Tiroid Papiler .................................................................... 55 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN.... ................................................................................................... 59 3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................. 59 3.2 Konsep Penelitian ................................................................................. 63 3.3 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 63 BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................................... 64 4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 64 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 64
xiv
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................ 64 4.3.1 Populasi Target ........................................................................... 64 4.3.2 Populasi Terjangkau .................................................................... 64 4.3.3 Sampel ......................................................................................... 65 4.3.4 Perhitungan dan Cara Pengambilan Sampel ............................... 65 4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................ 66 4.4.1 Kriteria Inklusi ........................................................................... 66 4.4.2 Kriteria Eksklusi ......................................................................... 66 4.5 Identifikasi Variabel Penelitian ........................................................... 68 4.6 Definisi Operasional Variabel .............................................................. 69 4.7 Prosedur Penelitian .............................................................................. 70 4.8 Skema Alur Penelitian ......................................................................... 75 4.9 Analisis Data ........................................................................................ 76 BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 77 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Data Klinis Pasien ......... 77 5.2 Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik Intrakompartemen,
KTP
Klasik
Ekstrakompartemen,
KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen ............................ 81 5.3 Hubungan Antar Variabel ...................................................................... 87 BAB VI PEMBAHASAN..................................................................................... 89 6.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Usia Pasien ......................... 89 6.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Jenis Kelamin Pasien.......... 92 6.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Ukuran Tumor .................... 95 6.4 Ekspresi MMP-9 pada KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen .......................................... 97
xv
6.5 Pengaruh Antar Seluruh Variabel dengan Skor Ekspresi MMP-9........ 109 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................112 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 114 DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... 122
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1 2.2
Klasifikasi histologik tumor tiroid berdasarkan WHO ............................... 8 Tipe
histopatologis
karsinoma
sel
folikel
tiroid
berdasarkan
AJCC…………………………………………………………………….. . 9 2.3
Tabel temuan beberapa studi di Malaysia dan Myanmar tentang hubungan antara karsinoma tiroid dan goiter ............................................................... 13
2.4 Prevalensi kasus karsinoma tiroid selama 3 tahun (2008-2010) di Indonesia berdasarkan kelompok usia ......................................................................... 14 2.5 Sistem TNM brdasarkan AJCC .................................................................... 36 2.6 Jenis matriks metaloproteinase ..................................................................... 48 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian .................................................................... 79 5.2
Distribusi
rerata
ukuran
Intrakompartemen,
KTP
tumor Klasik
pada
kelompok
KTP
Ekstrakompartemen,
Klasik KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen .................................. 80 5.3
Perbedaan
skor
Intrakompartemen,
ekspresi
MMP-9
KTP
Klasik
antara
kelompok
KTP
Ekstrakompartemen,
Klasik KTPVF
Intrakompartemen, dan KTPVF Ekstrakompartemen .............................. 82 5.4
Pengaruh Variabel Independen dan Variabel Kontrol terhadap Skor Ekspresi MMP-9 ......................................................................................................... 87
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1
Grafik prevalensi kasus karsinoma tiroid di Denpasar tahun 2008-2010 berdasarkan data registrasi kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Anatomi Indonesia………………………………………………............... 11
2.2
Mekanisme nodul goiter sebagai faktor risiko KTP…………… ................ 17
2.3 Mekanisme beberapa faktor risiko seperti radiasi dalam memicu karsinoma tiroid ............................................................................................................ 18 2.4
Kaskade karsinogenesis neoplasma tiroid.................................................... 21
2.5
Jalur sinyal sel pada neoplasma sel folikuler….. ......................................... 22
2.6
Tata ulang gen RET/PTC ............................................................................ 24
2.7
Interaksi antar sel dengan sel dan sel dengan ECM pada karsinoma tiroid.. 27
2.8
Makroskopis karsinoma tiroid papiler …………………………………….29
2.9
Karakteristik inti KTP .................................................................................. 32
2.10 Mikroskopis KTP Klasik ............................................................................ 32 2.11 KTPVF yang encapsulated .......................................................................... 34 2.12 Gambaran Skematik Interpretasi Invasi Kapsel ........................................... 38 2.13 Struktur matriks metalloproteinase (MMP) ................................................ 46 2.14 Fungsi seluler MMP dalam perkembangan dan fisiologi normal ............. .. 47 2.15 Struktur MMP (Gelatinase B) ..................................................................... 51 2.16 Peranan MMP-9 yang bebas TIMP yang berasal dari sel radang PMN, sel tumor maupun stroma dalam inisiasi dan promosi instabilitas genetik ....... 52 xvii
2.17 Transisi epithelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9. ....... 5 2.18 Peranan MMP-9 dalam mengaktifkan angiogenesis ............................... … 54 2.19 Kaitan MMP-9 dengan kemampuan metastasis tumor ................................ 55 2.20 Pulasan MMP-9 pada KTP ......................................................................... 58 3.1 Bagan Kerangka Berpikir ............................................................................. 62 3.2 Bagan Konsep Penelitian ............................................................................. 63 5.1 Grafik Distribusi Kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen berdasarkan Jenis Kelamin Pasien ........................................................................................................... 80 5.2
Grafik Beda Rerata Skor Ekspresi MMP-9 kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan
infiltrasi
intrakompartemen
dan
ekstrakompartemen……………………. ..................................................... 83 5.3 Kasus sampel 1 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik intrakompartemen ........................................................................................ 84 5.4 Kasus sampel 4 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik intrakompartemen ........................................................................................ 84 5.5 Kasus sampel 13 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik ekstrakompartemen ...................................................................................... 85 5.6 Kasus sampel 22 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF intrakompartemen ........................................................................................ 85 5.7 Kasus sampel 36 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF ekstrakompartemen ...................................................................................... 86
xviii
5.8 Kasus sampel 34 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF ekstrakompartemen .................................................................................... 86 6.1
Bagan jalur patogenesis keterlibatan MMP-9 dalam proses infiltrasi tumor pada penelitian…………………………………………………................. 99
6.2
Pola Distribusi Ekspresi MMP-9 ................................................................. 102
6.3
Pola Ekspresi MMP-9 pada Stroma sekitar Tumor dan pada Makrofag ..... 105
6.4
Bagan Jalur Transkripsi MMP-9 yang dilibatkan oleh beberapa Jalur Karsinogenesis KTP……………………………………………………..... 109
xix
DAFTAR SINGKATAN
AJCC
: American Joint Commission on Cancer
AKAP9
: A-kinase anchor protein 9
APC
: Adenomatous Polyposis Coli
ATA
: American Thyroid Association
BRAF
: V-raf murine sarcoma viral oncogene homolog B1
cAMP
: cyclic Adenosine Mono Phosphate
DNA
: Deoxyribonucleic Acid
ECM
: Extra Cellular Matrix
EMT
: Epithelial Mesenchymal Transition
ERK
: Extracellular-signal-Regulated Kinase
ERα
: Estrogen Receptor alpha
ERβ
: Estrogen Receptor beta
FGF
: Fibroblast growth factor
FGFR
: Fibroblast growth factor receptor
FNA
: fine needle aspiration
GNAS1
: Guanine Nucleotide-binding α Subunit 1
GTP
: Guanosine Tri Phosphate
HGF
: Hepatocyte Growth Factor
IUCC
: International Union Against Cancer
KTA/U
: Karsinoma Tiroid Anaplastik/ Undifferentated
KTF
: Karsinoma Tiroid Folikuler
xx
xxi
KTM
: Karsinoma Tiroid Meduler
KTP
: Karsinoma Tiroid Papiler
KTPVF
: Karsinoma Tiroid Varian Folikuler
LOH
: Loss of Heterozygosity
LT4
: Levotiroxin
MAPK
: Mitogen Activated Protein Kinase
MMP-9
: Matriks Metaloproteinase 9
NCCN
: National Comprehensive Cancer Network
NTCTCS
: National Thyroid Cancer Treatment Cooperative Study
NTRK
: Neurotropic thyrosine kinase receptor
PARP
: Poly-ADP-ribose-polymerase
PTEN
: Phosphatase with Tensin Homology Gene
RAI
: Radioactive Iodine
RAS
: Rat sarcoma oncogen
RET
: Rearranged during transfection
RLN
: Recurrent Laryngeal Nerve
RND
; Radical Neck Dissection
SEER
: Surveillance, Epidemiology, and End Results
TIMP
: Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinases
TNM
: Tumor, Nodes, Metastazes
TRK
: Tyrosine Receptor Kinase
TSH
: Thyroid Stimulating Hormone
TSHR
: Thyroid Stimulating Hormone Receptor
TTF-1
: Thyroid Transcription Factor-1
USG
: Ultrasonografi
xxii
VEGF
: Vascular endothelial growth factor
WHO
: World Health Organization
TAM
: Tumor Associated Macrophage
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Ethical Clearance……………………………………………… 122
Lampiran 2
Surat Ijin Penelitian…………………………..………………... 123
Lampiran 3
Data Subyek Penelitian…………………………..……………. 124
Lampiran 4a Uji Normalitas Data Usia…………………………..………….. 125 Lampiran 4b Data Deskriptif Usia pada Seluruh Kelompok KTP…………... 125 Lampiran 4c Statistik Deskriptif Usia secara Keseluruhan…………………. 126 Lampiran 4d Analisis Beda Rerata Usia antar Seluruh Kelompok KTP…… 126 Lampiran 4e Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Intrakompartemen vs KTP Ekstrakompartemen……………………………………… 126 Lampiran 4f
Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Klasik vs KTPVF.. 126
Lampiran 5a Data Deskriptif Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh Kelompok KTP ……………………………………………….. 127 Lampiran 5b Analisis Statistik Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh kelompok KTP………………………………………………… 127 Lampiran 6a Uji Normalitas data Ukuran Tumor…………………………… 128 Lampiran 6b Data Deskriptif Ukuran Tumor secara Keseluruhan………….. 128 Lampiran 6c Data Deskriptif Ukuran Tumor Pada Seluruh Kelompok KTP.. 129 Lampiran 6d Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor Pada Seluruh Kelompok KTP……………………………………………… 130 Lampiran 6e Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik dan KTPVF………………………………………………….. 130
Lampiran 6f
Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen………………… 130
Lampiran 6g Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik Intrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen…………. 130 Lampiran 6h Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik Intrakompartemen dan KTP Klasik Ekstrakompartemen…… 131 Lampiran 6i
Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik Ekstrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen………… 131
Lampiran 6j
Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTPVF Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen…………. 131
Lampiran 6k Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik Ekstrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen………. 131 Lampiran 7a Data Deskriptif Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 antar seluruh Kelompok KTP ………………………………………………. 132 Lampiran 7b Uji Homogenitas Skor Ekspresi MMP-9 antar Kelompok KTP…………………………………………………………… 132 Lampiran 7c Uji Analisis Perbedaan Skor MMP-9 Antar Seluruh Kelompok KTP…………………………………………………………… 132 Lampiran 7d Uji Komparasi Multipel antar Seluruh Kelompok KTP………. 133 Lampiran 8
Analisis Statistik (Uji ANCOVA) Pengaruh Antar Seluruh Variabel terhadap Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9………… 134
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Di Indonesia dan di Bali khususnya insiden karsinoma tiroid sangat tinggi sejalan dengan tingginya insiden goiter. Goiter merupakan faktor predisposisi karsinoma tiroid yang dapat mempengaruhi perangai biologis karsinoma tiroid. Hal ini sangat berbeda dengan insiden karsinoma tiroid di dunia barat yang lebih sering berkaitan dengan efek radiasi. Sedangkan penelitian yang menelusuri agresivitas karsinoma tiroid khususnya karsinoma tiroid papiler (KTP) di wilayah dengan insiden goiter yang tinggi masih terbatas. Insiden karsinoma tiroid meningkat lebih cepat dibandingkan keganasan lainnya yaitu 3,8% per tahun pada periode 1992-2001 berdasarkan lokasi dan jenis kelamin. Di Amerika Serikat pada tahun 2008, insiden karsinoma tiroid berdasarkan umur sekitar 6,47 per 100,000 laki-laki dan 19,39 per 100,000 perempuan (Nikiforov, 2009). Dari perhitungan data registrasi kanker di Indonesia pada tahun 2010 karsinoma tiroid menduduki peringkat ke 5 terbanyak setelah karsinoma payudara, serviks, kulit, dan rektum. Sedangkan di Denpasar, pada tahun yang sama karsinoma tiroid menduduki peringkat ke 3 terbanyak setelah karsinoma payudara dan serviks dengan insiden relatif 24/100.000 penduduk (Ditjen Yan Med, 2008-2010; Anonim, 2010).
1
2
Sekitar 90% karsinoma tiroid tergolong berdiferensiasi baik dan 80% diklasifikasikan sebagai KTP sedangkan 10% merupakan karsinoma tiroid folikuler (KTF). Diantara kedua tipe tersebut terdapat tipe campuran yang dahulu dikenal sebagai mixed papillary and follicular carcinoma karena karakteristik intinya sesuai KTP sedangkan polanya histologisnya menyerupai karsinoma folikuler dan saat ini istilah tersebut diganti dengan KTP varian folikuler (KTPVF) (Chang et al., 2006). KTPVF merupakan varian KTP kedua terbanyak setelah KTP varian klasik (Gupta et al., 2012). Di Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/ RSUP Sanglah selama periode 2011-2013 tercatat 96,86% kasus KTP dengan 63,32% kasus diantaranya merupakan KTPVF dan 36,68% kasus merupakan KTP klasik, namun setelah diagnosis ulang ditetapkan 57,67% kasus merupakan KTP klasik dan 42,33% kasus KTPVF. Temuan ini menjadi landasan yang kuat untuk pentingnya pemeriksaan marka tambahan yang dapat menentukan perangai biologis kedua varian KTP ini. Kejadian metastasis pada KTP umumnya melalui kelenjar getah bening (KGB), sedangkan metastasis jauh dapat terjadi pada 1,73-8,4% kasus KTP terutama pada KTPVF dan lokasi tersering adalah paru (Chrisoulidou et al., 2011). Penelitian lain menyatakan bahwa pola metastasis KTPVF bervariasi tergantung latar belakang molekuler maupun variannya. Metastasis ke KGB didapatkan pada 65% kasus KTPVF non encapsulated sehingga memiliki perangai menyerupai KTP klasik. Sedangkan pada KTPVF encapsulated dan diffuse diketahui memiliki pola molekuler yang serupa dengan KTF ditandai oleh tingginya frekuensi point mutasi Ras (36%)
3
sehingga cenderung bermetastasis jauh dengan ataupun tanpa disertai metastasis ke KGB (Gupta et al., 2012). Adanya variasi latar belakang molekuler pada KTPVF menyebabkan perangai biologis KTPVF masih sulit diprediksi, beberapa laporan morfologi dan studi longitudinal menyebutkan bahwa area berdiferensiasi buruk, lesi bilateral/multipel, invasi intravasa, invasi perineural maupun infiltrasi ekstrakompartemen meliputi invasi kapsel, perluasan ekstratiroid dan metastasis jauh lebih banyak dijumpai pada KTPVF dibandingkan dengan KTP klasik tetapi risiko metastasis ke limfonodi lebih rendah dibandingkan KTP klasik (Chang et al., 2006; Chrisoulidou et al., 2011; Chen et al., 2012; Gupta et al., 2012). Penelitian lainya justru melaporkan bahwa KTPVF memiliki perangai klinis maupun patologis yang sebanding dengan KTP klasik (Gonzalez et al., 2011; Der Lin et al., 2010; Salajegheh et al., 2008; De Lellis et al., 2004). Beberapa kasus KTPVF berkembang secara lambat selama bertahun-tahun sehingga dianggap memiliki perangai yang serupa dengan tumor jinak tiroid. Faktor kliniko-patologis lain juga dipercaya mempengaruhi agresivitas KTP, seperti usia dan jenis kelamin pasien, ukuran tumor primer, adanya invasi kapsel, multisentrisitas tumor, serta adanya lesi jinak tiroid sebelumnya (Rosai et al., 2011). Dengan demikian agresivitas KTPVF masih menimbulkan perdebatan tetapi penelitian yang membandingkan agresivitas KTPVF dengan KTP klasik masih sangat terbatas. Hingga saat ini diyakini bahwa belum ada terapi yang efektif dalam penanganan KTP. Seringkali timbul keraguan diantara ahli bedah dalam menentukan perlunya
4
terapi tambahan maupun monitoring lanjutan terutama pada kasus KTP yang belum menunjukkan perluasan ekstrakompartemen (Ito et al., 2007; Haigh et al., 2005). Pemahaman tentang mekanisme molekuler yang berkaitan dengan agresivitas KTP sangat penting untuk menemukan strategi terbaru dalam deteksi dini, pencegahan, diagnosis, penentuan terapi dan monitoring KTP. Mekanisme molekuler tersebut sifatnya sangat kompleks dan melibatkan komponen intraseluler dan ekstraseluler. Komponen molekuler yang telah ditemukan perubahannya pada karsinoma tiroid antara lain CK19, Tiroglobulin, Ki67, MMP, Kalsitonin, TTF-1, BRAF, RET, HBME-1, SERPINA1, TfR1/CD71, galectin-3, dan E-cadherin (Ito, 2012). Pada proses invasi tumor akan dilibatkan salah satu komponen ekstraseluler yang berperan utama dalam degradasi matriks ekstraseluler (Extracellular Matrix/ ECM) melalui efek proteolitik yang dimilikinya yaitu matriks metaloproteinase (MMP) (Farina et al., 2014; Kondo et al., 2006 ). Terdapat berbagai jenis MMP, salah satu yang mendapatkan perhatian khusus yaitu MMP-9 karena merupakan kelompok gelatinase yang berperan utama dalam degradasi kolagen IV yang merupakan komponen utama membran basalis epitel, interstisial dan vaskuler. MMP-9 memiliki level ekspresi basal yang rendah, berbeda dengan level ekspresi pada kondisi kanker. Selain itu MMP-9 mempengaruhi transformasi neoplastik dengan menjadi inisiator instabilitas genetik, mengaktifkan proses angiogenesis dan memicu ekspansi tumor. Hal ini menunjukkan peranan penting MMP-9 pada proses invasi dan metastasis sehingga dapat menjadi parameter agresivitas tumor. Telah dilaporkan bahwa
5
ekspresi MMP-9 tinggi pada KTP, peningkatan ekspresinya berkorelasi signifikan dengan stadium, ukuran tumor dan adanya metastasis ke limfonodi (Meng et al., 2012; Bouchet et al., 2014). Namun belum ada penelitian yang melaporkan perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik dan KTPVF untuk membedakan sifat agresifnya. Penelitian ini dibuat untuk memahami mekanisme molekular MMP-9 sebagai marka agresivitas dengan menilai perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik dan KTPVF baik yang menunjukkan infiltrasi intrakompartemen maupun ekstrakompartemen.
1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik infiltrasi intrakompartemen, KTP klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Untuk memahami agresivitas KTP terkait varian (KTP klasik dan KTPVF) maupun luasnya infiltrasi tumor (intrakompartemen dan ekstrakompartemen) dengan menelusuri mekanisme molekuler yang didasari oleh ekspresi MMP-9.
6
1.3.2
Tujuan Khusus
Membuktikan adanya perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik infiltrasi intrakompartemen, KTP klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik 1. Penelitian ini diharapkan dapat menentukan hubungan antara varian KTP (KTP
klasik
dan
KTPVF)
pada
berbagai
luas
infiltrasi
tumor
(intrakompartemen dan ekstrakompartemen) dengan skor ekspresi MMP-9. 2. Mengetahui peranan MMP-9 sebagai marka biologi prediktif agresivitas KTP.
1.4.2
Manfaat Praktis
1. Penentuan perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara KTP Klasik dan KTPVF pada
berbagai
luas
infiltrasi
tumor
(intrakompartemen
dan
ekstrakompartemen) dapat dipakai sebagai rujukan penentuan terapi maupun tindakan monitoring lanjutan. 2. Parameter prognostik biologik (MMP-9) dan patologik (luasnya infiltrasi tumor) ini diharapkan dapat dipakai sebagai pegangan oleh klinisi untuk dapat memberikan penjelasan ke pasien KTP klasik maupun KTPVF tentang prognosis, kekambuhan dan kemungkinan metastasis.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan neoplasma ganas sel epitel folikel tiroid yang membentuk pola pertumbuhan papiler atau disertai dengan pola folikuler dan utamanya ditandai oleh karakteristik inti khas KTP. Gambaran inti yang khas KTP meliputi ukuran inti membesar, berbentuk oval, mengalami elongasi, saling tumpang tindih dengan gambaran clearing atau ground glass appearance atau dengan kontur inti yang ireguler mencakup adanya groove dan inklusi sitoplasma intranuklear. KTP tergolong tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (De Lellis et al., 2004).
2.2 Klasifikasi Karsinoma Tiroid Berdasarkan WHO, tumor primer tiroid diklasifikasikan menjadi epitelial dan nonepitelial, jinak atau ganas, dengan kategori yang terpisah untuk limfoma dan keganasan lainnya (tabel 2.1) (De Lellis et al., 2004). Klasifikasi karsinoma tiroid berdasarkan garis besar diferensiasinya dijabarkan menurut American Joint Commission on Cancer (AJCC) sesuai yang dijabarkan tabel 2.2 (Rubin et al., 2012). Penelitian ini mengacu pada sistem klasifikasi WHO dan AJCC.
7
8
Tabel 2.1 Klasifikasi histologik tumor tiroid berdasarkan WHO (Rubin et al., 2012) I. Tumor epitelial A. Jinak 1. Adenoma Folikuler 2. Lainnya B. Ganas 1. Karsinoma Folikuler 2. Karsinoma Papiler 3. Karsinoma Meduler* 4. Karsinoma Undifferentiated (anaplastik) 5. Lainnya II. Tumor Non-epitelial A. Jinak B. Ganas III. Limfoma maligna IV. Lainnya V. Tumor sekunder VI. Tumor yang tidak dapat diklasifikasikan VII. Lesi yang menyerupai tumor *Karsinoma sel non epitelial folikel
9
Tabel 2.2 Tipe Histopatologis Karsinoma Sel Folikel Tiroid (Rubin et al., 2012)
A. Karsinoma papiler (mencakup KTPVF) B. Karsinoma folikuler (mencakup karsinoma sel hurtle) C. Karsinoma poorly differentiated D. Karsinoma undifferentiated (anaplastic)
2.3 Epidemiologi Karsinoma tiroid merupakan keganasan tersering dari organ endokrin. Karsinoma ini merupakan 3% dari insiden terbaru seluruh kanker yang terdiagnosis di Amerika Serikat dan 1,7% dari insiden terbaru seluruh kasus kanker di dunia. Insiden dan prevalen karsinoma tiroid mengalami peningkatan yang tetap selama tiga dekade terakhir, terutama sejak pertengahan tahun 1990-an di berbagai negara di dunia. Saat ini insiden karsinoma tiroid diperkirakan antara 5 hingga 8 kasus per 105 penduduk per tahun di negara-negara berkembang (Frasca et al., 2008). Data lain menyebutkan telah ditemukan lebih dari 213.000 kasus baru karsinoma tiroid di seluruh dunia pada tahun 2008, dengan angka insiden kasar 3,1/100.000 (Cossu et al., 2013). Temuan kasus baru meningkat lagi pada tahun 2010 berdasarkan penelitian terbaru yang didukung oleh WHO yaitu ditemukan sekitar 44.670 kasus baru (De Matos et al., 2012). Berdasarkan data SEER (Surveillance, Epidemiology, and End Results) di Amerika Serikat, insiden karsinoma tiroid meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1973,
10
dengan kecepatan pertumbuhan 2,4% per tahun antara tahun 1980 hingga 1997 dan 6,5% per tahun sejak tahun 1997 serta saat ini menduduki lima besar karsinoma yang mengalami peningkatan insiden tercepat, baik pada pria maupun wanita. Insiden karsinoma tiroid di seluruh dunia bervariasi pada masing-masing daerah geografis dan secara keseluruhan lebih tinggi pada negara ekonomi berkembang (Nikiforov, 2009). Peningkatan insiden karsinoma tiroid terutama terjadi pada KTP, sedangkan tipe lain seperti folikuler, meduler, maupun anaplastik tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. KTP berjumlah sekitar 83% dari keseluruhan keganasan tiroid dan 80% dari keseluruhan tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (Nikiforov, 2009; Meng et al., 2012; Zidan et al., 2003). Peningkatan insiden KTP mencakup KTP klasik dan KTPVF, baik pada tumor yang berukuran <1 cm maupun >1 cm atau bahkan >4 cm hingga 5 cm. Peningkatan temuan insiden KTP kemungkinan terkait dengan semakin maraknya metode deteksi dini melalui pemeriksaan ultrasonografi maupun biopsi jarum halus (FNA/ fine needle aspiration). Alasan lainnya yaitu karena telah dikenalnya perubahan inti yang khas menjadi kriteria morfologi KTP (Nikiforov, 2009; Kondo et al,. 2006). Di Indonesia tidak ditemukan data khusus tentang insiden KTP, data yang dilaporkan adalah keseluruhan kasus kanker tiroid. Menurut Registrasi Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia, dari tahun 2008-2010 kanker tiroid menempati urutan ke 5 dari 10 kanker terbanyak dan urutan ke 4 dari 10 kanker terbanyak pada
11
perempuan. Di Denpasar pada rentang tahun yang sama kanker tiroid menduduki urutan ke 3 dari 10 kanker terbanyak dengan prevalensi secara berurutan yaitu 155/2000 kasus, 84/865 kasus, 118/1124 kasus. Diantara keseluruhan kasus tersebut, diperkirakan sekitar 80% merupakan kasus KTP, dengan varian klasik (KTP Klasik) sebagai subtipe KTP terbanyak (80%) dan diikuti oleh KTPVF sebagai subtipe kedua terbanyak (9-22,5% kasus KTP) (Ditjen Yan Med, 2008-2010; Gupta et al., 2012).
10
Prevalensi kasus
8 6 Denpasar
4 2 0 2008
2009
2010
Tahun Gambar 2.1 Grafik prevalensi kasus karsinoma tiroid di Denpasar tahun 2008-2010 berdasarkan data registrasi kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Anatomi Indonesia (Ditjen Yan Med, 2008-2010). Hingga saat ini epidemiologi KTP masih sangat menarik untuk ditelusuri. Penelitian berbagai negara di dunia telah membandingkan insiden tumor ini pada populasi yang tinggal di area dataran tinggi (pegunungan) dengan populasi yang tinggal di sekitar pantai membuktikan bahwa konsentrasi asupan iodium mempengaruhi insiden KTP bahkan pada beberapa kasus berkaitan dengan morfologi
12
KTP (LiVolsi., 2011). Dilaporkan bahwa insiden KTP lebih sering pada daerah dengan asupan iodium yang cukup, sedangkan insiden KTF berkaitan dengan defisiensi iodium (Knobel et al., 2007). Kasus goiter baik endemik maupun non endemik (sporadik) diyakini merupakan prekursor perkembangan kanker tiroid. Prevalensi goiter di seluruh dunia pada populasi umum sekitar 4-7%, dan insiden keganasan terjadi pada 10% kasus tiroid goiter. Dilaporkan bahwa insiden karsinoma tiroid tercatat meningkat pada daerah goiter endemik seperti Kolumbia dan Austria serta daerah non endemik seperti Jerman. Peningkatan insiden karsinoma tiroid terkait goiter juga menjadi permasalahan di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. WHO mencatat sekitar 655 juta jiwa di dunia mengalami goiter dan 27% diantaranya berada di Asia Tenggara (Htwe, 2012). Adapun perbandingan hasil studi epidemiologi karsinoma tiroid terkait goiter di beberapa Negara Asia Tenggara sesuai tabel 2.3. Di RSUP Sanglah Denpasar sekitar 70% kasus KTP berasal dari nodul goiter baik nodul soliter tunggal maupun multipel. Pada kasus tersebut umumnya secara mikroskopis akan ditemukan adanya latar belakang gambaran goiter di sekitar area neoplastik. Hal ini menunjukkan bahwa kasus KTP di RSUP Sanglah Denpasar juga berkaitan dengan kasus goiter.
13
Tabel 2.3 Tabel temuan beberapa studi di Malaysia dan Myanmar tentang hubungan antara karsinoma tiroid dan goiter (Htwe, 2012) Studi; tahun
Kesimpulan dan diskusi
Sarawak; 2000–2004
•Insiden secara signifikan lebih tinggi pada pria (p=0,01) •Prevalensi tertinggi pada rentang usia 21-40 tahun •Tipe histologis tersering: KTP
Kelantan; 1994–2004
Perak; 2004–2007
Myanmar; 1996–1998
•28,1% dari 1.480 lesi tiroid merupakan lesi neoplastik •Tersering adalah KTP (76,6%) •Mayoritas kasus (59.9%) terjadi dengan latar belakang hiperplasia noduler •Studi menunjukkan karsinoma tiroid yang berkembang dari MNT terbanyak pada area defisiensi iodium •Bukan merupakan area endemik , sampel sedikit tetapi Karsinoma tiroid lebih tinggi dari daerah lain (11%) dan KTP (57,5%) •Rentang usia 21-60 tahun, tertinggi pada ras malay, diikuti india kemudian china. •Kejadian karsinoma tiroid diantara keseluuhan kasus lebih tinggi secara signifikan; p< 0,0001 •Frekuensi secara signifikan lebih tinggi pada pasien usia 21-60 tahun; p < 0,008 •KTP dan adenoma folikuler secara signifikan lebih tinggi dari tipe lainnya; p = 0,003 •Peningkatan insiden tiap tahun;p > 0.034
14
Studi epidemiologis lain telah melaporkan kaitan KTP dengan radiasi. Pada pertengahan abad yang lalu, karsinoma tiroid seringkali terdiagnosis pada individu yang sebelumnya pernah menjalani terapi radiasi dosis rendah pada bagian kepala leher untuk penyakit jinak seperti hemangioma, limfangioma, pembesaran kelenjar tymus, pembesaran tonsil dan adenoid. Laporan selanjutnya menyebutkan KTP dijumpai pada korban serangan bom atom di Jepang pada akhir perang dunia II (LiVolsi., 2011). Terakhir diketahui terjadi peningkatan tajam KTP pada anak-anak usia di bawah 15 tahun akibat bencana Chernobyl di Belarusia pada bulan april 1986 yang dikenal sebagai epidemik KTP (LiVolsi., 2011; De Lellis et al., 2004). Tabel 2.4 Prevalensi kasus karsinoma tiroid selama 3 tahun (2008-2010) di Indonesia berdasarkan kelompok usia Kelompok Usia <15 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75
2008 1,34 10,96 20,96 22,11 20,86 12,40 7,59 1,53
Prevalensi (%) 2009 1,17 8,73 18,18 23,22 23,85 13,50 6,12 2,07
2010 1,45 7,79 18,55 23,61 24,73 12,69 8,51 1,12
Berdasarkan kelompok usia, KTP bermanifestasi pada usia dewasa antara 20-50 tahun (median usia 43 tahun) dengan rasio perbandinganan antara perempuan dan laki-laki yaitu 4:1. Jika terjadi diatas usia 50 tahun, dominasi perempuan berkurang. Sedangkan median usia untuk kasus KTPVF sama dengan KTP pada umumnya yaitu
15
44 tahun dengan rasio perbandingan perempuan terhadap laki-laki yaitu 6:1 (De Lellis et al., 2004; Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Sesuai tabel 2.4 di Indonesia, selama tahun 2008-2010 lebih dari 75% kasus karsinoma tiroid terjadi pada rentang usia 25-64 tahun, median usia yaitu 49 tahun, dengan rasio perbandingan antara kelompok perempuan terhadap laki-laki yaitu 4:1. Tingkat mortalitas akibat karsinoma tiroid masih rendah, namun kejadiannya telah mengalami peningkatan sejak tahun 1992 dengan kecepatan 0,6% per tahun. Pada tahun 2010, data terbaru WHO menyebutkan insiden mortalitas karsinoma tiroid sebanyak 3,78%. Sedangkan untuk karsinoma berdiferensiasi baik seperti KTP, angka harapan hidup tergolong tinggi yaitu sekitar 82-86% dan sebanding antara KTP klasik maupun KTPVF (De Matos et al., 2012)
2.4 Faktor risiko Terdapat beberapa faktor risiko terkait karsinoma tiroid terutama KTP, diantaranya goiter, paparan radiasi, tiroiditis limfositik, faktor hormonal dan faktor herediter (genetik). Goiter merupakan proliferasi kelenjar tiroid yang dapat terkait kondisi eutiroid, hipo- maupun hipertiroid akibat penyakit primer pada tiroid maupun rangsangan sekunder oleh faktor hormonal maupun faktor lain (Kondo et al., 2006). Di Indonesia, beberapa wilayah masih tercatat sebagai daerah endemis goiter akibat rendahnya asupan iodium. Adapula kasus goiter dengan etiologi yang belum jelas diketahui, dikenal sebagai goiter sporadik diyakini berkaitan dengan faktor biologis
16
intrinsik (prevalensi goiter lima hingga sepuluh kali lipat lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki), goitrogen alami, merokok, defisiensi zinc atau selenium dan stress emosional (Fuhrer et al., 2012). Goiter dapat menimbulkan hiperplasia yang bersifat difusa maupun noduler (nodul tunggal dan multipel) dan dipercaya mempengaruhi peningkatan insiden KTP. Analisis klonal telah dimanfaatkan dalam membedakan hiperplasia dengan neoplasia, dimana hiperplasia digolongkan sebagai proliferasi yang bersifat poliklonal sedangkan neoplasia merupakan proliferasi monoklonal dari sel yang mengalami transformasi genetik. Pada tiroid, ditemukan perubahan pola monoklonal pada kelompok nodul yang sebelumnya merupakan nodul hiperplastik (Kondo et al., 2006). Mekanisme bagaimana perubahan poliklonal menjadi monoklonal ini merupakan interaksi antara faktor risiko goiter dan adanya predisposisi genetik yang selanjutnya menciptakan lingkungan mutagenik yang ditandai oleh peningkatan proliferasi sel disertai pembentukan radikal bebas yang memicu adanya mutasi somatik tirosit. Klonal tumor terbentuk jika defek genetik tidak dapat diperbaiki. Pada kondisi ini, mutasi merupakan pencetus proliferasi sel (Fuhrer et al., 2012). Goiter meningkatkan risiko karsinoma tiroid sebanyak dua setengah kali lipat (Cossu et al., 2013) Ditemukan bahwa insiden KTF lebih tinggi terjadi pada area goiter endemik yang berkaitan dengan rendahnya asupan iodium. Sedangkan insiden KTP lebih sering berkaitan dengan goiter sporadik pada area dengan asupan iodium yang cukup.
17
Sebuah penelitian eksperimental pada hewan coba yang sebelumnya dengan asupan iodium rendah kemudian diberikan suplementasi iodium didapatkan terjadinya perubahan morfologi folikuler menjadi papiler. Hal ini menunjukkan peranan kadar iodium lebih penting dalam memodulasi morfologi tumor daripada inisiator pada karsinogenesis tiroid. Jika propilaksis iodium diberikan, maka terjadi penurunan ratarata TSH (Thyroid Stimulating Hormone) serum dan peningkatan perbandingan rasio struktur papiler : folikuler (Kondo et al., 2006). Selain itu peningkatan iodium juga berkaitan dengan frekuensi mutasi BRAFV600E dengan mekanisme yang belum diketahui dan baru dibuktikan melalui beberapa studi epidemiologi (Pellegriti et al., 2013)
Gambar 2.2 Mekanisme nodul goiter sebagai faktor risiko KTP (Fuhrer et al., 2012) Radiasi meningkatkan risiko karsinoma tiroid hingga enam kali lipat (DeLellis et al., 2004) Paparan radiasi menyebabkan terjadinya tata ulang kromosom yang menghidupkan aktivitas gen secara berlebih, memicu instabilitas genomik melalui mekanisme langsung maupun tak langsung, menyebabkan perubahan awal genetik
18
yang melibatkan jalur sinyal mitogen activated protein kinase (MAPK). Aktivasi onkogenik sinyal MAPK selanjutnya meningkatkan instabilitas genomik, memicu perubahan lanjut genetik yang melibatkan jalur sinyal lainnya, regulator siklus sel dan berbagai molekul adesi. Instabilitas genomik dan perubahan genetik secara bersamasama memicu progresi karsinoma tiroid (Kondo et al., 2006)
Gambar 2.3 Mekanisme beberapa faktor risiko seperti radiasi dalam memicu karsinoma tiroid (Kondo et al., 2006) Infiltrat limfosit seringkali dijumpai pada KTP, mengindikasikan faktor imunologis yang terlibat dalam progresi KTP. Limfositik tiroiditis seperti pada tiroiditis Hashimoto maupun autoimun memicu KTP tidak hanya melalui peningkatan level TSH tetapi juga dengan memproduksi berbagai sitokin proinflamasi dan tekanan oksidatif yang meningkatkan tumorigenesis tiroid (Kondo et al., 2006). Risiko
19
terjadinya KTP akibat pengaruh imunologis sekitar satu sepertiga kali lipat dibandingkan populasi normal (Baloch et al., 2010). Terjadinya kasus KTP yang dua hingga empat kali lebih sering pada wanita menunjukkan bahwa hormon pada wanita mengatur karsinogenesis tiroid. Beberapa penelitian melaporkan bahwa reseptor estrogen diekspresikan oleh sel-sel epitel folikel, sehingga pada pasien pemakai kontrasepsi oral maupun yang menjalani terapi estrogen rentan mengalami karsinoma tiroid karena estrogen dapat memicu proliferasi sel epitel folikel. Faktor lain seperti pada kehamilan terjadi peningkatan hormon tiroid serum dan estrogen yang mendukung peranan estrogen dalam karsinogenesis tiroid. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa estrogen dapat meningkatkan ekspresi reseptor estrogen α (ERα) pada sel KTP non anaplastik, meningkatkan proliferasi sel dan menghambat ekspresi protein pro-apoptosis. Sinyal estrogen berkaitan dengan KTP yang tidak agresif, dengan diferensiasi dan prognosis yang baik. Hal ini terjadi karena pada mayoritas KTP, efek proliferasi ERα akan dihambat oleh ekspresi dominan reseptor estrogen β (ERβ) (Kondo et al., 2006; Kavanagh et al., 2010) Risiko karsinoma tiroid meningkat hingga enam kali lipat jika orang tua atau saudara mengalami karsinoma tiroid, hal ini menunjukkan adanya peranan faktor herediter. Bentuk idiopatik familial non-medullary thyroid carcinoma ditemukan pada 3,5-6,2% kasus karsinoma tiroid. Karsinoma tiroid familial berkaitan dengan beberapa sindrom tumor seperti gen adenomatous polyposis coli (APC), Cowden
20
disease (terkait mutasi gen PTEN/ Phosphatase with tensin homology gene), sindrom Werner (terkait mutasi gen WRN) serta karsinoma sel renal papiler (terjadi kerentanan pada lokus 1q21) dan goiter multinoduler familial (kerentanan pada lokus 19p13.2) (Kondo et al., 2006)
2.5 Patogenesis Karsinoma Tiroid Papiler Klasik dan Varian Folikuler Karsinoma tiroid terjadi akibat akumulasi dari sejumlah perubahan di tingkat genomik (mutasi) yang dikenal sebagai instabilitas genomik. Berbeda dengan KTF, pada KTP kromosom masih diploid atau mendekati diploid dengan frekuensi Loss of Heterozygosity (LOH) yang lebih jarang. Perbedaan pola instabilitas kromosom ini menunjukkan bahwa kedua tipe karsinoma tiroid ini melalui jalur molekuler yang berbeda. Selanjutnya, instabilitas genomik memicu progresi neoplasma tiroid melalui peningkatan aktivasi onkogenik hingga terhindar dari apoptosis. Serupa dengan karsinoma di berbagai organ, proses karsinogenesis pada tiroid terjadi melalui berbagai tahapan (multi-step) sehingga menimbulkan berbagai perubahan yang dapat diamati secara histologik (Viglietto et al., 2012).
21
Gambar 2.4 Kaskade karsinogenesis neoplasma tiroid (Viglietto et al., 2012). Terdapat tiga jalur utama perubahan biologi molekuler pada tumor-tumor yang berasal dari sel epitel folikel tiroid yaitu TSH/cAMP, MAP kinase (MAPK) dan P13K/AKT.
Jalur
mitogenik
dan
diferensiasi
TSH/cAMP
terlibat
pada
hipertiroidisme sedangkan jalur mitogenik MAPK terlibat dalam perkembangan karsinoma tiroid dan jalur P13K/AKT mempengaruhi perkembangan karsinoma yang masih berdiferensiasi maupun yang berdiferensiasi buruk. Mutasi reseptor TSH (TSHR) maupun Guanine nucleotide-binding α subunit 1 (GNAS1) memicu proliferasi sel pada nodul hiperfungsi tiroid maupun adenoma melalui aktivasi GSαadnylyl cyclase-cAMP. Mutasi TSHR dan GNAS1 jarang ditemukan pada keganasan
22
tiroid, meskipun beberapa laporan kasus pernah menunjukkan adanya mutasi GNAS1 pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik (Kondo et al., 2006).
Gambar 2.5 Jalur sinyal sel pada neoplasia sel folikuler (Kondo et al., 2006). Secara umum, karsinogenesis KTP terjadi melalui jalur kaskade RAS-BRAFMAPK. Tata ulang RET dan TRK merupakan karakteristik KTP yang berkaitan dengan pecahnya rangkaian DNA. Sedangkan penelitian lain menemukan rendahnya tata ulang kedua gen ini pada KTP dengan mutasi BRAF. Sehingga diketahui adanya dua mekanisme utama pada KTP dalam aktivasi kaskade ini yaitu tata ulang RET atau NTRK1 (Neurotrophic tyrosine kinase receptor1) dan aktivasi point mutation pada BRAF, hanya diperlukan salah satu dari kedua mekanisme ini. Tata ulang RET
23
atau NTRK selanjutnya menyandi reseptor tirosin kinase (TRK) transmembran (Chien et al, 2012). Sedangkan aktivasi point mutation pada BRAF, akan menjadi komponen signaling intermediet dari jalur MAPK, hal ini terjadi terutama pada tumor yang bersifat sporadik (Chien et al, 2012; Fuhrer et al., 2006; Viglietto et al., 2012) Tata ulang gen RET/PTC diketahui sebagai alterasi genetik spesifik pertama pada karsinogenesis tiroid. Gen RET mengkode reseptor tirosin kinase dari glial cellderived nervous growth factor dan secara endogen terekspresi pada sel neuroendokrin. Terjadi ekspresi yang salah dari potongan gen RET pada melalui fusi promotor pada regio N-terminal dari gen terkait (disebut PTC-1,2 dan seterusnya) dan regio C-terminal fungsional dari gen RET (mengandung tirosin kinase). Hasilnya adalah aktivasi RAS-RAF-MAPK signaling. Saat ini teridentifikasi lebih dari 8 protein
chimera
RET/PTC
pada
karsinoma
tiroid,
dimana
RET/PTC-1
(inv(10)(q11.2;q21) dan RET/PTC-3 atau ELE1-RET (inv(10)(q11.2;q10) terhitung kira-kira 80% dan merupakan fusi gen yang tersering (Chien et al, 2012). Keduanya melibatkan inversi pada lengan panjang kromosom 10, menghasilkan perpaduan antara RET dengan gen Histone H4 (histone protein nucleosome) pada RET/PTC-1 atau RET dengan nuclear receptor coactivator 4 (NCOA4) pada RET/PTC-3 (Chien et al., 2012; Santoro et al., 2006). Tata ulang gen RET/PTC spesifik untuk tumor yang memiliki arsitektur klasik dan mikrokarsinoma dan prevalennya ditemukan lebih tinggi (30% sampai 65%) pada keganasan yang disebabkan oleh radiasi (Chernobyl-tumor) dan lebih jarang (5%
24
sampai 15%) pada kanker yang sporadis. KTP varian klasik berkaitan dengan RET/PTC1 (Chien et al., 2012).
A
B
Gambar 2.6 Tata ulang gen RET/PTC. A.Skema tampilan mekanisme molekuler terbentuknya onkogen PTC. B.Perbandingan antara protoonkogen RET dan onkogen RET/PTC (Viglietto et al., 2012) Tata ulang gen lainnya pada KTP adalah inversi kromosom 7q menghasilkan fusi antara BRAF dan AKAP 9 (A-kinase anchor protein 9 gene). Fusi protein ini meningkatkan aktivitas kinase. Sepertiga sampai setengah dari kasus KTP ditemukan gain-of-function mutation pada gen BRAF (Chien et al, 2012; Constantine et al, 2007). BRAF berlokasi pada kromosom 7q32, dan terjadi transversi thymine ke adenine yang menyebabkan perubahan valine menjadi glutamate pada kodon 600 (BRAF V600E) (Constantine et al., 2007; Salajegheh et al., 2008). Mutasi pada BRAF V600E dapat menyebabkan aktivasi RAF kinase dan secara in vitro dapat menyebabkan transformasi sel dengan efikasi yang lebih tinggi daripada wild-type
25
BRAF. Mutasi BRAF V600E dilaporkan sebagai defek molekular yang sering terjadi pada KTP yang sporadis (berkisar antara 36% sampai 69%) dan pada KTP klasik (antara 29-69%). Sementara tata ulang gen AKAP9/BRAF (inv(7)(q21-22q34) terjadi pada radiation-induced karsinoma tiroid. Mutasi BRAF berkaitan dengan tumor yang lebih agresif, sehingga memiliki prognosis yang buruk (Chien et al., 2012). Seperti halnya yang sering dijumpai pada KTF, 13% KTPVF mengalami translokasi kromosom t(2;3)(q13;p25) yang menggabungkan faktor transkripsi khusus tiroid PAX8 ke PPARɤ , reseptor hormon inti yang secara normal terlibat dalam diferensiasi sel berbagai jaringan. Selanjutnya ditemukan bahwa terdapat hubungan antara adanya translokasi PAX8-PPARɤ dengan KTPVF yang multifokal dan dengan invasi vaskuler. Sehingga tata ulangnya ini kemungkinan berperan memicu proses metastasis (Chien et al., 2012; Salajegheh et al., 2008). Translokasi PAX8-PPARɤ juga disertai mutasi BRAF non konvensional (K601E) yang menimbulkan penggantian lisin oleh glutamat pada kodon 601 (BRAF K601E), akibatnya terjadi peningkatan aktivitas kinase seperti yang terjadi pada mutasi BRAF V600E pada KTP klasik. Namun aktivitas kinase BRAF V600E 2,5 kali lebih besar daripada aktivitas kinase oleh BRAF K601E. Penelitian Trovisco dkk meyakinkan bahwa mutasi BRAF K601E spesifik untuk KTPVF (Chien et al., 2012; Salajegheh et al., 2008). Berikutnya juga dilaporkan bahwa pola mutasi Ras pada KTF serupa dengan yang terjadi pada sekitar 21% KTP terutama KTPVF. Hal ini menunjukkan kemungkinan
26
korelasi yang sangat kuat antara mutasi Ras dengan diferensiasi folikuler pada karsinogenesis tiroid. Terdapat tiga protoonkogen Ras, diantaranya HRAS (pada kromosom 11p11), KRAS (pada kromosom 12p12), dan NRAS (pada kromosom 1p13) merupakan kelompok famili besar protein yang berikatan dengan guanosin triposfat (GTP) (Salajegheh et al., 2008). Mutasi pada karsinoma tiroid ini melibatkan kodon 61 dari HRAS dan NRAS. Diketahui bahwa insiden mutasi Ras lebih jarang dijumpai pada karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik dibandingkan dengan yang berdiferensiasi buruk maupun yang anaplastik. Hal ini membuktikan bahwa mutasi Ras berhubungan dengan progresi tumor (Kondo et al., 2006). Selain keseluruhan proses intraseluler tersebut, progresi KTP berkaitan dengan berbagai proses ekstraseluler seperti interaksi antar sel maupun interaksi sel dengan ECM yang pada akhirnya juga mempengaruhi kondisi intraseluler (gambar 2.7). Fibroblast growth factor (FGF) dan reseptornya (FGFR) merupakan regulator penting dalam proses tomorigenesis maupun angiogenesis pada KTP. Pada berbagai karsinoma tiroid akan terekspresi FGFR1, FGFR3 maupun FGFR4, sedangkan FGFR2 hanya terekspresi pada tiroid normal dewasa. FGFR4 akan terekspresi pada fenotip yang agresif mempengaruhi proliferasi, migrasi maupun diferensiasi sel. Selain itu reseptor tirosin kinase MET yang merupakan reseptor untuk hepatocyte growth factor (HGF) diketahui terekspresi kuat pada KTP (77-93%) dan berkaitan dengan motilitas, kemampuan invasif dan memicu angiogenesis (Kondo et al., 2006).
27
Gambar 2.7 Interaksi antar sel dengan sel dan sel dengan ECM pada karsinoma tiroid (Kondo et al., 2006). Ligan Vascular endothelial growth factor (VEGF) seperti VEGFA, VEGFB, VEGFC dan VEGFD berikatan dengan reseptornya dan memicu proliferasi sel endotel dan limfatik. Ditemukan bahwa overekspresi VEGFC dan VEGFD pada KTP berkaitan dengan densitas metastasis limfatik maupun KGB. Keseluruhan interaksi ini juga dapat meningkatkan regulasi fibronektin pada KTP yang tidak invasif. Fibronektin merupakan protein matriks ekstraseluler yang mengatur adesi, migrasi, invasi tumor dan metastasis. Molekul adesi ini secara umum menghubungkan sel ke kolagen atau substrat proteoglikan ECM lainnya. Pada kasus KTP yang invasif terjadi penurunan ekspresi fibronektin dan kemampuan adesinya didegradasi oleh MMP (Kondo et al., 2006).
28
2.6 Gejala klinis dan Makroskopis Secara umum, KTP tampak sebagai massa tiroid atau cold nodule pada scan radioaktif iodium atau seperti limfadenopati regio servikal. Pada area dengan defisiensi iodium, KTP dapat berkembang dan tampak sebagai nodul yang berbeda diantara goiter multinoduler. Sedangkan pada populasi dengan asupan iodium yang cukup, KTP tampak sebagai nodul soliter yang teraba diantara kelenjar tiroid normal. KTP seringkali ditemukan secara insidental pada nodul tiroid yang tidak teraba, misalnya pada kasus trauma atau penyakit lainnya saat pemeriksaan imaging seperti USG (Ultrasonografi). Nodul preklinis yang berupa fokus kecil atau fokus mikroskopik KTP juga kadang ditemukan pada saat otopsi. Pentingnya arti klinis karsinoma papiler yang tidak teraba tidak terlalu diperdebatkan sejak diketahui bahwa karsinoma papiler dengan ukuran yang besar dan teraba pada pasien usia muda memiliki harapan hidup 20 tahun sebanyak lebih dari 98% (De Lellis et al., 2004). KTP klasik dapat menunjukkan berbagai pola makroskopis, lesi umumnya berupa massa padat putih keabu-abuan dengan tepi yang ireguler atau kadang tampak infiltrasi secara makroskopis ke parenkim tiroid sekitarnya. Beberapa kasus dapat menunjukkan gambaran papil, perubahan kistik, kalsifikasi distrofik atau bahkan pembentukan tulang. Ukuran tumor bervariasi, dari terkecil (<1 mm) hingga beberapa sentimeter, ukuran rata-rata sekitar 2-3 cm. Tumor yang multisentrik juga sering terjadi. Pada kasus lainnya tumor primer tampak solid meskipun metastasis ke KGB menunjukkan gambaran kistik.
29
B
A
Gambar 2.8 Makroskopis karsinoma tiroid papiler. A. Irisan KTP klasik menunjukkan lesi dapat bersifat multifokal, lesi terbesar berupa area kistik dengan tonjolan papiler di dalamnya. (foto dari John Nicholls, MD, Hong Kong University) B. Lesi soliter dan berkapsel pada KTPVF menyerupai adenoma folikuler (Baloch et al., 2011). Karsinoma papiler juga dapat berkembang dari kista duktus tiroglosus dan dapat menunjukkan perluasan langsung ke lemak peritiroid, otot skeletal, esofagus, larynx dan trakea. Karsinoma papiler memiliki kemampuan menginvasi sistem limfatik dalam kelenjar tiroid sehingga metastasis ke kelenjar getah bening sering terjadi. Untuk KTPVF, secara makroskopis sering menyerupai adenoma folikuler encapsulated yaitu berupa tumor cenderung soliter berbentuk bulat hingga ovoid, dan berkapsel (De Lellis et al., 2004). Pada irisan akan tampak berwarna kuning kecoklatan, mengkilat (glassy) karena kandungan koloid yang dimilikinya (Baloch et al., 2010).
30
2.7 Mikroskopis Karsinoma Papiler Tiroid Klasik dan Varian Folikuler Terdapat berbagai varian/ subtipe KTP, diantaranya varian terbanyak yaitu varian klasik yang didominasi pola pertumbuhan papiler dan varian terbanyak berikutnya yaitu varian folikuler (KTPVF) yang didominasi dengan pola pertumbuhan folikuler. Selain itu terdapat pula varian lain yang lebih agresif dilihat dari pola pertumbuhan, tipe sel dan reaksi stroma seperti tall cell, columnar cell, diffuse sclerosing, clear cell dan varian onkositik (Salajegheh et al., 2008). Secara umum, kriteria diagnosis KTP awalnya didasarkan pada pola pertumbuhan papiler, namun saat ini sesuai ketetapan WHO, hallmark diagnosis KTP didasarkan pada karakteristik inti (LiVolsi, 2011). Gambaran histologi karakteristik inti KTP yaitu inti sel yang jernih, kosong, atau Orphan Annie eye. Inti jernih ini berukuran lebih besar dengan bentuk yang lebih ireguler dibandingkan inti sel folikel normal dan mengandung kromatin yang hipodens. Gambaran inti yang jernih berkaitan dengan area tengah inti yang eukromatin sedangkan area heterokromatin mayoritas terpusat di tepi inti. Anak inti juga membenam di bagian tepi inti sehingga anak inti menjadi tidak terlihat. Inti pada KTP ini tersusun saling tumpang tindih (overlapping) terkait dengan sitoplasma sel epitelial folikel ganas yang terpusat di bagian apikal maupun basal sehingga inti sel yang berdekatan tampak ramai dan saling tumpang tindih (LiVolsi, 2011). Sayangnya gambaran inti yang jernih tidak hanya dijumpai pada KTP, tetapi juga dapat timbul pada kasus tiroiditis autoimun khususnya tiroiditis hashimoto. Tetapi pada kasus non neoplastik seperti tiroiditis, gambaran inti jernih bersifat fokal. Karakteristik inti
31
lainnya yaitu adanya nuclear groove yaitu gambaran inti yang terbelah seperti biji kopi (LiVolsi, 2011; Gonzalez et al., 2011). Pada KTP klasik, susunan sel didominasi oleh struktur papiler namun dapat bervariasi dan bercampur dengan struktur folikuler (Gonzalez et al., 2011). Struktur papiler umumnya kompleks dan bercabang, pada beberapa kasus papil bisa sangat edematous. Struktur papiler ini dilapisi oleh epitel dengan polaritas yang terganggu dan sitoplasma yang eosinofilik. Pola arsitektur lain seperti folikuler maupun solid umumnya bersamaan dengan struktur papiler dan sangat jarang menemukan pola petumbuhan papiler murni (Livolsi, 2011). Papiler pada KTP harus dibedakan dengan struktur papiler yang terkadang ditemukan pada goiter noduler atau adenoma folikuler dengan papil, dan dari lipatan papiler pendek hiperplasia difus. Pada kondisi tersebut, inti sel epitelnya umumnya bulat, terletak di basal dan yang terpenting tidak menunjukkan gambaran inti karsinoma papiler atau kalaupun ada hanya dalam jumlah yang sangat sedikit (De Lellis et al., 2004).
32
A
B
Gambar 2.9 Karakteristik inti KTP A.Inti menggambarkan ground glass appearance (tanda panah). B.Karakeristik lain inti KTP yaitu nuclear groove (tanda panah) (Livolsi, 2011; DeLellis et al., 2004)
A
B
Gambar 2.10 Mikroskopis KTP klasik A. KTP dengan struktur papiler yang dominan. B. Fibrovascular core pada KTP klasik (Gonzales et al., 2011)
33
Varian KTP lainnya yang sering yaitu KTPVF. Deskripsi histologik KTPVF pertama kali diperkenalkan oleh Lindsay pada tahun 1960, diikuti oleh Chen dan Rosai tahun 1977 dan Rosai et al tahun 1983. Sesuai dengan namanya, KTPFV ditandai oleh gambaran inti KTP yang khas (inti jernih, groove dan pseudoinklusi) disertai pola pertumbuhan folikuler. Pola pertumbuhan folikuler dapat dijumpai pada KTP dengan beragam proporsi dan istilah KTPVF awalnya dipakai untuk karsinoma invasif yang menunjukkan arsitektur histologis folikuler yang dominan. Ini berarti bahwa KTPVF merupakan KTP dengan komponen folikuler yang dominan, dan adanya proporsi minor dari komponen papiler masih dapat diterima. Namun gambaran komponen papiler merupakan papiler abortif yaitu berupa tonjolan papiler yang pendek tanpa tangkai (stalk) yang jelas, menyerupai komponen papiler pada goiter hiperplastik (Koseoglu et al., 2006). Pada beberapa laporan, masih adanya komponen papiler pada sekitar 20% atau bahkan 30% masih diterima sebagai KTPVF (Kakudo et al., 2012).
34
Gambar 2.11 KTPVF yang encapsulated. KTP tersusun membentuk struktur folikuler pada seluruh area tumor dengan inti menunjukkan karakteristik KTP (Gonzalez et al., 2011). KTPVF
memiliki
beberapa
varian,
diantaranya
varian
encapsulated,
nonencapsulated, dan difus (Gupta et al., 2012). KTPVF varian encapsulated seringkali dikelirukan dengan adenoma folikular. Sehingga untuk menegaskan diagnosis KTPFV pada kasus lesi tiroid berkapsel, LiVolsi and Baloch menetapkan kriteria ditemukannya karakteristik sitologi KTP baik multifokal maupun difus pada KTPFV yang berkapsel (Chen et al., 2012). Chan mengajukan kriteria yang lebih ketat meliputi evaluasi gambaran mayor dan minor. Terdapat empat gambaran mayor, antara lain: (1) inti oval hingga bulat, (2) inti yang tumpang tindih dengan polaritas terganggu, (3) pola kromatin inti yang jernih atau pucat pada hampir seluruh lesi atau gambaran groove yang jelas, dan (4) adanya psammoma bodies. Jika hanya ada satu gambaran
yang
teridentifikasi,
seluruh
kriteria
minor
diperlukan
untuk
35
menyimpulkan diagnosis. Kriteria minor tersebut mencakup: (1) adanya papil abortif, (2) didominasi oleh folikel yang memanjang atau ireguler, (3) koloid berwarna gelap, (4) adanya pseudoinklusi inti, dan (5) histiosit berinti banyak pada lumen folikel (Chen et al., 2012). Selain itu, folikel neoplastik pada KTPVF umumnya dengan bentuk yang ireguler dan ukuran yang lebih bervariasi daripada karsinoma maupun adenoma folikuler (Baloch et al., 2011). Gambaran psammoma bodies, kalsifikasi dan respon desmoplastik dapat ditemukan pada KTPVF tapi cenderung lebih jarang jika dibandingkan dengan KTP klasik. Psammoma bodies tampak sebagai “bayangan” papil yang telah mati merupakan diferensiasi kalsifikasi distrofik terbentuk dari area infark fokal pada ujung papil yang menarik kalsium. Infark yang terus menerus disertai deposit kalsium menimbulkan lamelasi. Psammoma bodies biasanya tampak pada bagian sentral tangkai, pada stroma tumor, atau pembuluh limfatik, namun tidak pernah berada di dalam folikel neoplastik (koloid) (Livolsi 2011; De Lellis et al., 2004).
2.8 Sistem Stadium dan Pola Perluasan Karsinoma Tiroid Papiler Klasifikasi stadium tumor tiroid sesuai sistem TNM yang didasarkan pada ukuran tumor (T), penyebaran limfatik (N), dan metastasis jauh (M). Sistem TNM ini disahkan oleh International Union Against Cancer (IUCC) dan American Joint Commission on Cancer (AJCC). Berikut penjabaran klasifikasi sistem TNM berdasarkan AJCC dalam menentukan stadium karsinoma tiroid (Rubin et al., 2012).
36
Tabel 2.5 Sistem TNM berdasarkan AJCC (Rubin et al., 2012) Definisi TNM
Kelompok stadium
T1 Dimensi terbesar tumor ≤2 cm, terbatas pada tiroid N0 Tanpa metastasis KGB regional
Stadium I
T2 Dimensi terbesar tumor >2cm tetapi ≤ 4 cm N0 Tanpa metastasis KGB regional
Stadium II
T3 Dimensi terbesar tumor >4 cm atau tumor dengan berbagai ukuran dengan perluasan ekstratiroid minimal (contoh: ke otot sternotiroid) N1a Metastasis ke level VI (KGB Pretrakea, paratrakea dan Delphian/ Prelaringeal)
Stadium III T3N0M0 T1N1aM0 T2N1aM0 T3N1aM0
T4a Tumor berbagai ukuran melewati kapsel, kejaringan subkutan, laring, trakea, esophagus dan recurrent laryngeal nerve. N1b Metastasis ke KGB servikal unilateral, bilateral, kontralateral atau superior mediastinum. T4b Tumor menginvasi fascia prevertebra atau menyelubungi arteri karotis atau pembuluh darah mediastinal
Stadium IVa T4aN0M0 T4aN1aM0 T1N1bM0 T2N1bM0 T3N1bM0 T4N1bM0
M1 Metastasis jauh
T1 N0 M0
T2N0M0
Stadium IVb T4b berbagai N M0
Stadum IVc Berbagai T Berbagai N M1
37
Invasi kapsel maupun invasi intravasa merupakan faktor prediktif terjadinya metastasis pada KTP. Selanjutnya adanya metastasis baik ke KGB maupun metastasis jauh mempengaruhi tingginya angka kekambuhan dan mortalitas pada pasien KTP (Gupta et al., 2012). Secara morfologi, KTPVF cenderung lebih sering berkapsel dibandingkan KTP klasik sehingga gambaran invasi kapsel lebih sering dijumpai pada kasus KTPVF, seperti halnya pada KTF maupun adenoma folikuler. Frekuensi invasi kapsel pada KTPVF encapsulated lebih tinggi dibandingkan KTP klasik yaitu 65% berbanding 38% (Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Pada KTPVF encapsulated, kaskade perluasan tumor diawali dengan invasi tumor melewati kapselnya, baik tanpa atau disertai adanya invasi vasa intra kapsuler maupun ekstra kapsuler. Seiring dengan peningkatan ukuran tumor dan kemampuan invasifnya, akhirnya terjadi kaskade lanjutan berupa perluasan tumor ke jaringan ekstra tiroid. Namun proses lanjutan ini jarang terjadi pada KTPVF encapsulated, perluasan ekstra tiroid lebih sering dijumpai pada KTPVF nonencapsulated dalam frekuensi yang sebanding dengan KTP klasik (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009). Penentuan kriteria adanya invasi kapsel pada KTPVF sama seperti penentuan invasi kapsel pada KTF (Ghossein et al., 2009).
38
Gambar 2.12 Gambaran Skematik Interpretasi Invasi Kapsel (Ghossein et al., 2009) Gambar 2.12 menunjukkan bahwa follicular neoplasm (oranye) yang dikelilingi oleh kapsel fibrous (hijau). A dan B menggambarkan bagian tumor belum melewati kapsel, C. Tumor secara total melewati kapsel, D. Tumor diliputi oleh kapsel fibrous tipis, namun sudah meluas melampaui garis imajiner yang ditarik melalui kontur luar kapsel, E. Satellite tumor nodule dengan arsitektur dan sitomorfologi yang sama dengan tumor utama berada di luar kapsel, F. Folikel terletak tegak lurus pada kapsel memberi kesan adanya invasi, G. Folikel terletak sejajar pada kapsel, H. Tumor menyerupai gambaran mushroom, secara total melewati kapsel, I. Tumor menyerupai gambaran mushroom, namun belum melampaui kapsel, J. Folikel neoplastik pada kapsel fibrous disertai adanya sel limfosit dan siderofag, berkaitan dengan ruptur kapsel karena tusukan jarum saat pemeriksaan FNAB sebelumnya. Yang digolongkan
39
telah mengalami invasi kapsel adalah C, D, E dan H sedangkan A, B, F, G, I dan J belum dinyatakan mengalami invasi kapsel (Ghossein et al., 2009). KTPVF merupakan varian KTP yang unik karena pola invasinya beragam, selain menembus kapsel dan menimbulkan perluasan ke jaringan ekstratiroid, KTPVF dapat meluas melalui vaskuler sehingga menimbulkan metastasis ke organ jauh dan dapat pula serupa dengan KTP klasik yang melalui jalur limfonodi dan akhirnya bermatastasis di KGB. Hal ini berkaitan dengan latar belakang molekuler KTPVF yang dapat mengikuti pola molekuler KTP klasik maupun KTF (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009). Penentuan adanya invasi vaskuler pada KTPVF maupun KTP klasik berdasarkan kriteria 1) adanya sel tumor pada ruang vaskuler, 2) adanya sel tumor yang menempel di endotel vaskuler, 3) adanya sel tumor yang invasif melalui dinding pembuluh darah dan endotel dan 4) adanya trombus yang menempel pada tumor intravaskuler (Mete et al., 2011). Frekuensi invasi vaskuler pada KTPVF juga lebih tinggi daripada KTP klasik yaitu 25% berbanding 5%. Pada berbagai penelitian, frekuensi terjadinya metastasis jauh pada KTP berkisar antara 1,73-8,4% kasus yang umumnya terjadi pada KTPVF. Dari hasil review 13 penelitian dilaporkan bahwa frekuensi metastasis jauh tersering yaitu pada paru (49%), diikuti tulang (25%) dan pada tulang maupun paru (5%). Sedangkan metastasis ke KGB dijumpai pada sekitar 35% keseluruhan kasus KTP dan 70% diantaranya terjadi pada KTP klasik. Kecenderungan KTP klasik untuk menimbulkan metastasis melalui KGB berkaitan juga dengan dasar biologi
40
molekulernya yaitu adanya perubahan genetik akibat mutasi BRAF dan tata ulang RET/PTC (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009; NCNN, 2012).
2.9 Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler Penanganan pasien dengan KTP secara umum terdiri dari empat komponen utama diantaranya ekstirpasi pembedahan yang adekuat, ablasi RAI (Radioactive Iodine) tambahan pada kasus tertentu, supresi TSH, dan surveillance. Keseluruhan strategi terapi tergantung pada temuan preoperatif dan intraoperatif sesuai klasifikasi TNM serta evaluasi postoperatif yang berkaitan dengan perangai biologis tumor (Cooper et al., 2006; NCCN, 2012). Penelitan sebelumnya menunjukkan perangai KTPVF varian encapsulated berbeda dengan KTP klasik, terkait tingkat mutasi BRAF V600E dan metastasis KGB yang lebih rendah. Berbeda dengan KTPVF non encapsulated yang perangai biologisnya menyerupai KTP klasik, dengan tingkat mutasi BRAF V600E dan metastasis KGB yang secara signifikan lebih tinggi. Namun penelitian terbaru menemukan bahwa perangai kedua varian KTPVF ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, sehingga penentuan agresivitas kasus KTPVF dari berbagai aspek sangat penting untuk ketegasan penentuan terapi karena kasus yang agresif memerlukan tiroidektomi total, radical neck dissection (RND) dan ablasi RAI (Constantine et al., 2007; Chang et al., 2006; Xing et al., 2005)
41
Pilihan terapi untuk reseksi tumor primer tiroid sering diperdebatkan, apakah harus memilih lobektomi atau tiroidektomi total atau near-total (mendekati total). Hingga saat ini masih diperdebatkan luas tiroidektomi yang harus dilakukan, terutama untuk KTP yang berukuran kecil, intratiroid, berisiko rendah dan berdiferensiasi baik. Beberapa memaparkan bahwa terapi lobektomi tidak memberikan keuntungan harapan hidup dibandingkan tiroidektomi yang lebih luas namun bisa mengurangi risiko terjadinya komplikasi cedera RLN (Recurrent Laryngeal Nerve) dan hipoparatiroidisme permanen (Cooper et al., 2006; Bilimoria et al., 2007) Pendapat yang mendukung tiroidektomi total meliputi laporan bahwa tiroidektomi yang lebih luas mengurangi risiko kekambuhan dan memberikan keuntungan untuk harapan hidup dibandingkan lobektomi. Demikian pula di tangan ahli bedah endokrin yang berpengalaman, tingkat komplikasi antara tiroidektomi total sebanding dengan lobektomi. KTP bersifat multifokal pada 80% kasus dan bilateral pada 60% kasus, dan pilihan untuk menghilangkan seluruh kelenjar tiroid memfasilitasi kegunaan RAI postoperatif untuk menangani sisa tumor yang tampak secara mikroskopik atau lesi metastatik, serta mendukung kegunaan tiroglobulin (Tg) postoperatif sebagai marker sensitif dalam mengetahui kekambuhan. Pedoman konsensus menganjurkan tiroidektomi total atau yang mendekati total sebagai pilihan terapi awal pada pasien KTP dengan indikasi absolut meliputi riwayat paparan radiasi, kanker tiroid familial, tumor ukuran lebih dari 4 cm, adanya perluasan ekstratiroid, adanya metastasis
42
limfonodi atau metastasis jauh, atau varian histologis KTP bersifat agresif (Toniato et al., 2008; Haigh et al., 2005) Metastasis KGB pada kasus KTP sering ditemukan, melalui tindakan diseksi leher propilaktik didapatkan prevalensi 33-63% untuk metastasis KGB leher sentral (pre-atau paratrakea/ level VI), dan prevalensi 57-64% untuk metastasis KGB leher lateral (level II, III, dan IV) yang sebelumnya tidak terdeteksi melalui pemeriksaan ultrasonografi preoperatif. Diseksi limfonodi yang berorientasi pada terapeutik kompartemen diindikasikan bagi metastasis limfonodi servikal yang sudah diketahui. Meskipun jumlah ini tinggi, namun arti pentingnya metastasis limfonodi masih belum jelas karena beberapa studi menunjukkan bahwa metastasis limfonodi tidak berpengaruh pada keseluruhan harapan hidup, terutama pada pasien yang berusia dibawah 45 tahun (Shindo et al., 2006; Ito et al., 2006; Pereira et al., 2005) Kegunaan limfadenektomi propilaktik dalam terapi kasus KTP masih kontroversi. Kelompok pendukung RND berpendapat bahwa metastasis limfonodi regional sering terjadi dan berkaitan dengan tingginya tingkat kekambuhan dan kematian. Sedangkan kelompok yang menetang berpendapat bahwa metastasis limfonodi tidak berpengaruh pada keseluruhan harapan hidup, dan prosedur ini justru meningkatkan risiko komplikasi dengan dilaporkannya 2-7% kasus paralisis vocal cord sementara, 1460% hipoparatiroidisme sementara dan 2-5% hipoparatiroidisme permanen. American Thyroid Association Guidelines (ATA) 2009 memberi rekomendasi untuk tindakan elektif (propilaksis) diseksi kompartemen sentral leher pada pasien dengan tumor
43
primer bersifat lanjut (T3 atau T4) meskipun secara klinis tidak ditemukan keterlibatan limfonodi sentral leher (Ito et al., 2012). Disisi lainnya, pedoman NCCN (National Comprehensive Cancer Network) tidak menganjurkan tindakan diseksi leher sentral rutin, kecuali jika pada pemeriksaan palpasi atau biopsi limfonodi positif menunjukkan lesi metastasis (Ito et al., 2012; Pereira et al., 2005). Komponen kedua pada strategi penanganan global pasien KTP adalah ablasi RAI yang diberikan pada 4-12 minggu setelah tindakan pembedahan, bertujuan untuk menghancurkan sisa jaringan tiroid setelah tiroidektomi dan menangani lesi metastasis yang masih tersembunyi ataupun telah diketahui. Kontroversi tindakan ablasi RAI timbul karena meskipun dapat mengurangi tingkat kekambuhan dan mortalitas, beberapa studi justru menunjukkan tidak ada keuntungan, terutama bagi pasien yang masuk dalam kelompok risiko rendah. Baik pedoman ATA maupun NCCN menganjurkan ablasi RAI untuk seluruh pasien KTP kecuali pasien stadium 1 yang memiliki risiko kekambuhan sangat rendah (pasien dengan diferensiasi baik, unifokal, tumor berukuran lebih kecil dari 1 cm, tanpa perluasan ekstratirod atau invasi vaskuler, dan tanpa metastasis limfonodi maupun jauh (Sawka et al., 2004). Komponen ketiga untuk strategi penanganan global kasus KTP adalah pemberian hormon tiroid dosis suprafisiologis dalam bentuk levotiroksin (LT4) dengan harapan dapat menekan TSH yang diketahui menjadi stimulator proliferasi sel tiroid. Penelitian retrospektif maupun prospektif menunjukkan bahwa pasien dengan terapi LT4 mengalami penurunan risiko efek samping klinis mayor terutama pada kelompok
44
pasien risiko tinggi. Pedoman ATA menganjurkan penekanan TSH dibawah 0.1 mIU/mL untuk kelompok risiko tinggi dan antara 0.1-0.5 mIU/mL untuk kelompok risiko rendah (McGriff et al., 2004). Komponen terakhir pada strategi penanganan global kasus KTP adalah surveilens. Lonjakan terjadinya tumor dipantau secara periodik oleh klinisi yang berpengalaman. Pengukuran TSH, Tg dan anti-TG serum, USG servikal dan scan RAI sensitif untuk adanya lesi sisa atau kekambuhan (Cooper et al., 2006). Terapi terbaru untuk pasien dengan KTP lanjut dan metastatik meliputi pemberian agen rediferensiasi, dimana agen tersebut memiliki target pada jalur RAS, BRAF, VEGF dan reseptornya, jalur reseptor EGF dan jalur angiogenik lain dengan agen seperti thalidomide dan proteasome (Xing et al., 2005; Ito et al., 2007).
2.10
Struktur, Jenis dan Fungsi Umum Matriks Metalloproteinase (MMP)
MMP merupakan famili endopeptida yang tergantung pada zinc. MMP sering disebut sebagai kelompok protease metzincin karena selalu menyediakan corak pengikat zinc yang tersimpan ada bagian katalitik aktifnya. MMP pertama kali ditemukan oleh Jerome Gross dan Charles Lapiere pada tahun 1962 ketika mengetahui adnya aktivitas enzimatik selama metamorfosis ekor kecebong. Mereka menemukan bahwa triple helix kolagen didegradasi jika ekor kecebong ditempatkan pada matriks kolagen kecebong yang bermetamorfosis (Ansari et al., 2013; Loffek et al., 2011).
45
MMP dilepaskan sebagai proenzim yang tidak aktif, tetapi selanjutnya diaktifkan oleh berbagai faktor yang dikendalikan oleh TIMP (tissue inhibitors of matrix metalloproteinases). Kelompok/ famili TIMP dibentuk oleh empat enzim. Kondisi patologis akan timbul jika terjadi ketidakseimbangan tingkat MMP dan TIMP. Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan ekspresi MMP memicu berbagai penyakit inflamasi, keganasan dan degeneratif. Disinilah pentingnya aktivitas penghambat MMP dalam terapi (Ansari et al., 2013). Seperti yang tampak pada gambar 2.13, MMP memiliki tiga domain utama, yaitu: 1) Pro-peptida yang berperan menjaga enzim dalam bentuk tidak aktif. Domain ini mengandung “Cystein switch” yakni residu cystein unik dan selalu terjaga, yang berinteraksi dengan zinc pada bagian aktif. Saat aktivasi enzim, bagian ini akan dipecah secara proteolitik oleh furin secara intraseluler atau MMP lainnya dan protease serin secara ekstraseluler. 2) Domain katalitik yang menjadi penanda struktural corak pengikat zinc. Ion Zn2+, diikat oleh tiga residu histidin membentuk area aktif. Area aktif ini berjalan secara horizontal melewati molekul sebagai celah dangkal dan berikatan dengan substrat. 3) Bagian penghubung (hinge region) merupakan sebuah jembatan lentur atau bagian penghubung yang terbuat dari 75 rantai asam amino berfungsi untuk menghubungkan domain katalitik dengan domain terminal-C. Bagian ini sangat penting untuk menjaga stabilitas enzim.
46
4) Domain terminal-C yang menyerupai hemopexin merupakan domain yang rangkaiannya menyerupai protein serum hemopexin. Rantai polipeptida domain ini tersusun dalam empat lembaran β yang simetris. Permukaan datar yang disediakan oleh struktur ini dipercaya terlibat dalam interaksi antar protein dan merupakan penentu spesifisitas substrat, contohnya: TIMP berinteraksi pada area ini.
Gambar 2.13 Struktur Matriks Metaloproteinase (MMP) (Ansari et al., 2013) Kemampuan MMP dalam menghancurkan berbagai komponen matriks ekstraseluler (ECM) menunjukkan bahwa berperan utama dalam remodeling ECM yang signifikan selama perkembangan embryogenik karena remodeling ECM merupakan bagian penting dalam pertumbuhan dan morfogenesis jaringan. Ini juga didukung oleh penelitian terbaru yang menunjukkan peranan penting MMP sebagai jaringan sinyal pengatur komponen ekstraseluler yang mempengaruhi kondisi seluler
47
(Loffek et al., 2011). Secara sistematis, beberapa fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal, yaitu (sesuai gambar 2.15) (Ansari et al., 2013): 1) Membantu migrasi sel melalui degradasi molekul ECM 2) Mengubah perangai seluler dengan mengubah lingkungan mikro ECM 3) Membantu aktivitas molekul aktif secara biologis dengan pemecahan langsung,
pelepasan
dari
simpanan,
atau
memodulasi
aktivitas
penghambatnya.
Gambar 2.14 Fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal. Berdasarkan spesifisitas MMP terhadap komponen ECM, MMP dibagi menjadi kelompok kolagenase, gelatinase, stromelysin dan matrilysin. Sedangkan diantara
48
delapan kelas struktural MMP, 5 disekresikan dan 3 lainnya merupakan MMP tipe membran (MT-MMP) (Ansari et al., 2013). Tabel 2.6 Jenis Matriks Metaloproteinase (Ansari et al., 2013) Jenis MMP
Kelas struktural
MMP-1
Simple hemopexin domain
MMP-2
Gelatin-binding
MMP-3
Simple hemopexin domain
MMP-7
Minimal domain
MMP-8
Simple hemopexin domain
MMP-9
Gelatin-binding
MMP-10
Simple hemopexin domain
MMP-12
Simple hemopexin domain
MMP-13 MMP-14 MMP-15 MMP-16 MMP-17 MMP-18 MMP-19 MMP-20 MMP-21 MMP-22 MMP-23
Simple hemopexin domain Transmembrane Transmembrane Transmembrane GPI-linked Simple hemopexin domain Simple hemopexin domain Simple hemopexin domain Vitronectin-like insert Simple hemopexin domain Type II transmembrane
MMP-24 MMP-25 MMP-26 MMP-27 MMP-28 Tanpa nama Tanpa nama Tanpa nama
Transmembrane GPI-linked Minimal domain Simple hemopexin domain Furin-activated and secreted Simple hemopexin domain Simple hemopexin domain Gelatin-binding
Nama umum Kolagenase-1, interstitial Kolagenase, fibroblast kolagenase, tissue kolagenase Gelatinase A, 72-kDa gelatinase, 72-kDa typeIV kolagenase, neutrophil gelatinase Stromelysin-1, transin-1, proteoglikanase, protein pengaktivasi prokolagenase Matrilysin, matrin, PUMP1, small uterine metalloproteinase Kolagenase-2, kolagenase neutrophil, kolagenase PMN, kolagenase granulosit Gelatinase B, gelatinase 92-kDa, kolagenase 92kDa tipe IV Stromelysin-2, transin-2 MMP-11 Furin-activated dan Stromelysin-3 Metalloelastase, elastase makrofag, metalloelastase makrofag Kolagenase-3 MT1-MMP, MT-MMP1 MT2-MMP, MT-MMP2 MT3-MMP, MT-MMP3 MT4-MMP, MT-MMP4 Kolagenase-4 (Xenopus) RASI-1, MMP-18 Enamelysin Homolog dari Xenopus XMMP CMMP (pada ayam) Cysteine array MMP (CA-MMP), femalysin, MIFR,MMP-21/MMP-22 MT5-MMP, MT-MMP5 MT6-MMP, MT-MMP6, leukolysin Endometase, matrilysin-2 Epilysin Mcol-A (pada tikus) Mcol-B (pada tikus) Gelatinase 75-kDa (pada ayam)
49
Dalam proses keganasan, peranan MMP juga menyerupai yang terjadi dalam proses fisiologis namun terjadi ketidakseimbangan dengan aktivitas penghambatnya. Terjadi degradasi komponen ECM pada membran basalis dan jaringan ikat interstisial yang tersusun atas kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Suatu karsinoma pertamatama harus menembus membran basalis dibawahnya, kemudian melintasi jaringan ikat, dan secara cepat mencapai sirkulasi dengan cara menembus membran basalis pembuluh darah. Proses ini berulang lagi jika emboli sel tumor mengalami ekstravasasi ke tempat jauh. Invasi melalui ECM mengawali kaskade metastasis dan merupakan proses aktif yang melibatkan beberapa tahap, diantaranya perubahan interaksi antara sel tumor dengan sel, degradasi ECM, perlekatan ke komponen terbaru ECM dan migrasi sel tumor (Kumar et al., 2010). MMP terlibat dalam tahap kedua proses invasi yaitu degradasi lokal membran basalis dan jaringan ikat interstisial. Sekresi MMP tersebut dapat berasal langsung dari sel tumor atau dari induksi terhadap sel stroma (seperti fibroblast dan sel inflamasi). Protease lain yang juga disekresikan yaitu cathepsin D dan urokinase plasminogen activator. MMP mengatur invasi tumor tidak hanya dengan cara mengubah komponen yang tidak larut pada membran basalis dan matriks interstisial, tetapi juga dengan pelepasan growth factor yang disimpan ECM (Kumar et al., 2010; Bouchet et al., 2014).
50
2.11
Fungsi Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9/Gelatinase)
Diantara seluruh MMP, salah satu kelompok gelatinase yaitu MMP-9 (gelatinase B) mendapat perhatian pada beberapa penelitian dalam memahami sifat invasif dan metastatik tumor terkait kemampuannya dalam mendegradasi kolagen IV, komponen utama dari membran basalis epitel dan vaskuler. Hubungan antara komponen radang, stroma dan tumor mempengaruhi aktivasi dan produksi MMP-9/ gelatinase B. Gen MMP-9/ gelatinase B berlokasi pada kromosom 20q11.2-q13.1, terdiri dari 7.654 basa dan ditranskripsikan sebagai 2.4 kb mRNA tunggal (Bouchet et al., 2014; Marecko et al., 2014). Protein MMP-9 merupakan enzim metallo-multidomain, dengan catalytic site tersusun atas domain pengikat logam yang dipisahkan dari active site oleh ulangan tiga fibronektin yang memfasilitasi degradasi substrat besar seperti elastin dan penghancuran kolagen. Dalam regio ini, asam amino Asp309, Asn319, Asp232, Tyr320 dan Arg3076 penting untuk pengikat gelatin. Catalytic site tetap dipertahankan dalam bentuk tidak aktif oleh amino-terminal pro-peptide PRCGXPD, dengan koordinasi cysteine bersama katalitik Zn2+. Ujung terminal COOH dari MMP-9 mengandung domain hemopexin yang mengatur ikatan dengan substrat, berinteraksi dengan inhibitor dan membantu ikatan ke permukaan sel. Domain Oglycosylated sentral memberikan fleksibilitas molekuler, mengatur spesifisitas substrat MMP-9 invasi yang bergantung MMP-9, interaksi dengan TIMP dan lokalisasi permukaan sel. Domain ini membantu pergerakan MMP-9 sepanjang
51
substrat makromolekuler dan melepaskan ikatan kolagen sebelum dipecahkan oleh enzim lainnya (Farina et al., 2014; Loffek et al., 2011).
Keterangan:
Gambar 2.15 Struktur MMP-9 (Gelatinase B) (Loffek et al., 2011) MMP-9 dihasilkan oleh sel tubuh manusia, seperti sel fibroblast stroma, sel endotelial, sel polimorfonuklear (PMN), keratinosit, makrofag dan beberapa sel epitel. Aktivitas enzimatik MMP-9 dihambat oleh inhibitor protease sistemik α2makrogloblin, anggota famili TIMP dan antagonis terhadap domain hemopexinnya sendiri. MMP-9 mendapat perhatian khusus karena ekspresi basalnya rendah secara normal, sedangkan pada kondisi kanker MMP-9 terekspresi kuat akibat respon terhadap berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin. Melalui penelitian eksperimental terhadap tikus dengan defisiensi MMP-9 menunjukkan kegagalan metastasis dan pertumbuhan tumor (Farina et al., 2014). Peranan proonkogenik MMP-9 telah dilaporkan, diantaranya berkaitan dengan transformasi neoplastik, inisiasi dan promosi tumor dan instabilitas genetik. MMP-9
52
dapat menempati inti sel, meskipun memiliki sinyal lokalisasi inti klasik yang rendah dan aktivitas gelatinase inti menyatu dengan peningkatan fragmentasi DNA. Gelatinase inti ini mendegradasi matriks protein inti yaitu PARP (poly-ADP-ribosepolymerase), menghindarkannya dari proses perbaikan DNA (Farina et al., 2014).
Gambar 2.16 Peranan MMP-9 yang bebas TIMP yang berasal dari sel radang PMN sel tumor maupun stroma dalam inisiasi tumor dan promosi instabilitas genetik. Melalui degradasi matriks ekstraseluler (ECM), dan aktivitas kemokin, sitokin dan growth factor (Farina et al., 2014). Peningkatan aktivitas MMP-9 yang ditunjang oleh PMN neutrofil selanjutnya juga meningkatkan penarikan neutrofil melalui degradasi yang dimediasi MMP-9 dan superaktivasi IL-8, meningkatkan istabilitas genetik. Selanjutnya MMP-9 terlibat dalam ekspansi klonal yang merupakan tahap penting pada progresi tumor dengan melibatkan keseimbangan antara proliferasi, apoptosis dan angiogenesis. Transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) merupakan kemampuan perubahan sel epitel yang awalnya tidak dapat bergerak menjadi sel progenitor mesenkimal yang dapat
53
bergerak. Mekanisme ini penting untuk perkembangan (tipe 1), proses penyembuhan normal atau fibrosis patologis (tipe 2) dan transformasi metastatik sel kanker (tipe 3). EMT tipe 3 sangat fundamental pada progresi tumor untuk bermetastasis, dan baik sel kanker yang mengalami reaktivasi ataupun dediferensiasi atau teraktivasi ini akan terinduksi menjadi fenotip yang invasif dan memiliki kemampuan motilitas. MMP-9 merupakan protein penting yang berkaitan dan bahkan penyebab EMT (Antonietta et al, 2014).
Gambar 2.17 Transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9 (Farina et al., 2014) Neovaskularisasi tumor merupakan proses penting untuk ekspansi tumor primer, progresi metastatik dan pertumbuhan metastatik, terjadi melalui beberapa proses meliputi permulaan angiogenesis, vaskulogenesis, gabungan intersusepsi dan/atau menyerupai vaskuler. Tidak seperti pembuluh darah normal, pembuluh darah pada tumor bersifat abnormal dan imatur. MMP-9/ gelatinase B merupakan molekul proangiogenik dan memicu aktivasi angiogenik pada pembuluh darah tua dengan cara
54
mengatur proliferasi perisit, apoptosis dan penarikan perisit selama angiogenesis serta memobilisasi perekrutan prekursor angiogenik sumsum tulang ke stroma tumor untuk meningkatkan proses angiogenik dan vaskulogenik tumor. MMP-9 juga memicu aktivasi angiogenik dengan memobilisasi mitogen angiogenik seperti FGF and VEGF.
Selain itu hipoksia karena tumor merupakan stimulus angiogenesis dan
berperan meningkatkan ekspresi MMP-9 vaskuler (Farina et al., 2014).
Gambar 2.18 Peranan MMP-9 bebas TIMP dari sel radang PMN, MMP-9 tumor/ stroma onkogen dan hipoksia dalam mengaktifkan angiogenesis (Farina et al., 2014) Sedangkan keterlibatan MMP-9 dengan proses metastasis merupakan kolaborasi proses ekspansi, EMT dan angiogenesis. Khusus mengenai invasi ke limfonodi dikaitkan dengan keterlibatan interaksi antara kemokin dengan reseptor kemokin
55
CCR7 yang sebelumnya berfungsi meningkatkan ekspresi MMP-9 (Farina et al., 2014).
Gambar 2.19 Kaitan MMP-9 dengan kemampuan metastasis tumor (Farina et al., 2014)
2.12
Peranan Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9)/Gelatinase B pada
Karsinoma Tiroid Papiler Berbagai landasan teoritis telah memaparkan bahwa MMP-9 mempengaruhi sifat invasif, kemampuan progresi dan kemampuan bermetastasis tumor sehingga dapat menjadi acuan bahwa MMP-9 layak menjadi salah satu marka atau penanda agresivitas tumor. Sebuah penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi MMP-9 dengan stadium IUCC dan metastasis ke limfonodi. Penelitian lainnya membuktikan perbedaan ekspresi MMP-9 yang sangat bermakna antara karsinoma tiroid, adenoma tiroid dan goiter multinoduler. Hal ini
56
menunjukkan bahwa MMP-9 memiliki peranan kunci dalam transformasi onkogenik tumor tiroid. Adapula penelitian yang menyebutkan bahwa ekspresi MMP-9 secara bermakna berkaitan dengan ukuran tumor selain stadium UICC dan adanya metastasis ke limfonodi maupun metastasis jauh. Namun ekspresi MMP-9 tidak berkorelasi dengan jenis kelamin dan usia pasien. Hasil penelitian ini mendukung teori mengenai kaitan MMP-9 dengan progresi, kemampuan invasi dan metastasis tumor. Temuan ini kemudian menjadi landasan bahwa tingginya ekspresi MMP-9 dapat menjadi marker diagnostik yang berguna dan mungkin juga merupakan target yang potensial pada terapi karsinoma tiroid (Marecko et al., 2008). Bahkan temuan terbaru membuktikan BRAFV600E yang merupakan marka spesifik penentu agresivitas KTP terlebih dahulu perlu menginduksi MMP untuk memunculan sifat invasif dan kemampuan metastasis tumor. Hal ini tampak setelah dilakukan pemeriksaan imunohistokimia pada enam puluh kasus KTP klasik baik antibodi anti MMP-2 maupun MMP-9, didapatkan MMP-2 terdeteksi pada 32 spesimen (53.3%), sedangkan MMP-9 pada 52 spesimen (86.7%). Pada analisis univariat, terdapat korelasi yang signifikan antara positivitas BRAFV600E dengan hasil IHK MMP-2 atau MMP-9 atau keduanya (PZ 0.028). Adanya ekspresi MMP-2 maupun MMP-9 secara signifikan juga berkaitan dengan perluasan ekstratiroid (PZ 0.030). Temuan ini menegaskan bahwa ekspresi MMP-9 merupakan marka atau penanda yang sinergis dengan ekspresi BRAFV600E Akhirnya disimpulkan bahwa MMP merupakan mediator efek BRAF pada sifat invasif tumor (Frasca et al., 2008).
57
Diketahui pula bahwa P53 yang merupakan guardian of genome dapat mengatur ekspresi MMP secara kompleks, dengan memicu peningkatan ekspresi MMP-2 dan DDR1 namun menghambat ekspresi MMP-1 dan MMP-9. Sehingga adanya mutasi P53 secara tidak langsung akan meningkatkan ekspresi MMP-9. Mutasi P53 berkaitan dengan sifat agresivitas tumor dan penanda prognosis yang buruk. Mengingat keterkaitan mutasi P53 dengan peningkatan ekspresi MMP-9 maka ekspresi MMP-9 merupakan marker yang relevan dalam menentukan agresivitas tumor, khususnya pada KTP (Powell et al., 2014). Penelitian terbaru lainnya membuktikan bahwa imunoekspresi MMP-9 aktif berkorelasi positif dengan usia pasien, adanya metastasis ke limfonodi, adanya invasi ekstratiroid dan derajat infiltrasi tumor. Penelitian ini agak berbeda dengan penelitian sebelumnya karena menemukan bahwa ukuran tumor tidak terkait dengan tingkat ekspresi MMP-9 aktif. Hasil yang masih serupa yaitu memaparkan bahwa jenis kelamin juga tidak berhubungan dengan ekspresi MMP-9. Temuan ini kembali memaparkan bahwa MMP-9 bersifat aktif pada sel tumor dan hal ini mempengaruhi perangai agresif pada KTP (Ansari et al., 2013). Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma sel epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat berdasarkan analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaannya (Meng et al., 2012; Marecko et al., 2014).
58
Gambar 2.20 Pulasan MMP-9 pada KTP. A.Hasil pulasan IHK MMP-9 total pada kasus KTP encapsulated yang menunjukkan gambaran difus sedang. B. Hasil IHK MMP-9 aktif dengan gambaran negatif pada sampel yang sama. C. Pulasan MMP-9 yang positif kuat dan difus pada kasus KTP dengan invasi ekstratiroid. D. Pulasan MMP-9 yang juga positif kuat pada KTP dengan invasi ekstratiroid (Marecko et al., 2014).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Agresivitas KTP sangat penting dipahami untuk penentuan terapi yang adekuat sehingga mengurangi risiko morbiditas maupun mortalitasnya. KTP klasik dan KTPVF merupakan dua varian KTP yang paling sering dengan pola arsitektur yang berbeda karena memiliki latar belakang molekuler maupun faktor risiko yang berbeda. Tidak seperti KTP klasik yang mekanisme karsinogenesisnya hanya melalui tata ulang RET atau mutasi BRAF, pada KTPVF juga melalui jalur mutasi Ras yang serupa dengan KTF. Faktor lain yang diketahui mempengaruhi pola arsitektur pada karsinoma tiroid yaitu asupan iodium. Asupan iodium yang cukup dikatakan mempengaruhi terbentuknya struktur papiler yang dominan pada KTP, berbeda dengan kasus karsinoma tiroid di daerah goiter endemik yang mayoritas merupakan KTF. Hal tersebut diyakini mempengaruhi sifat agresif kedua varian ini, meskipun beberapa literatur menyebutkan bahwa KTP klasik dan KTPVF memiliki perangai klinis maupun patologis yang sebanding. KTPVF dianggap menjadi tipe campuran antara KTP dan KTF dengan perangai yang dapat menyerupai KTP klasik maupun menyerupai KTF. Terbukti dengan 59
60
ditemukannya kasus KTPVF yang mekanisme perluasannya mengikuti jalur limfatik dan menimbulkan metastasis KGB regional, beberapa kasus lainnya invasif melewati kapsel tumor maupun kapsel organ dan menempel ke jaringan ekstratiroid sekitarnya, dan adapula KTPVF yang invasif melalui pembuluh darah dan akhirnya menimbulkan metastasis jauh. Sedangkan pada KTP klasik, mekanisme perluasan tumor umumnya melalui jalur limfonodi sehingga seringkali terjadi metastasis KGB pada kasus KTP klasik. Semakin luas infiltrasi tumor berkaitan dengan meningkatnya agresivitas tumor. Adanya perluasan ekstrakompartemen berhubungan dengan kekuatan motilitas sel tumor dan kemampuan invasif sel tumor dalam melewati matriks ekstraseluler (ECM) membran basalis epitel, jaringan intersisial dan vaskuler. Proses degradasi ECM melibatkan suatu protease utama yaitu matriks metaloproteinase (MMP), salah satunya adalah MMP-9 yang memiliki struktur unik dan berbeda dengan MMP lainnya. MMP-9 yang juga dikenal sebagai gelatinase B merupakan famili endopeptida metallo-multidomain, berfungsi utama dalam degradasi kolagen IV yang menjadi komponen utama membran basalis. Struktur unik fibronectin repeat pada MMP-9 juga memfasilitasi kemampuan enzim dalam mendegradasi substrat besar lainnya seperti elastin. Selain terlibat dalam fungsi degradasi ECM, MMP-9 juga dapat membangkitkan aktivitas protoonkogenik dengan menghambat perbaikan DNA di inti dan memicu sinyal GF yang selanjutnya dapat mengaktifkan jalur MAPK sehingga terjadi aktivasi faktor transkripsi inti. Proliferasi dan diferensiasi sel ganas secara terus menerus
61
tanpa disertai aktivitas perbaikan DNA akan memicu terjadinya ekspansi klonal tumor dan instabilitas genetik yang terus menerus. Proses ini bagaikan lingkaran setan karena klonal tumor tersebut kembali menghasilkan MMP-9 yang bersifat monoklonal dan tidak mampu dihambat oleh inhibitornya. Selanjutnya MMP-9 juga memicu transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang merupakan proses induksi dediferensiasi menjadi fenotip yang invasif dan memiliki motilitas lebih tinggi. MMP-9 juga meningkatkan kemampuan angiogenesis maupun vaskulogenesis tumor dengan memicu aktivasi angiogenik pada pembuluh darah tua dan mengatur penarikan perisit selama angiogenesis serta memobilisasi perekrutan prekursor angiogenik sumsum tulang dan mitogen angiogenik seperti FGF dan VEGF. Keseluruhan proses ini menggambarkan bahwa MMP-9 merupakan komponen ekstraseluler yang sangat terlibat dalam progresi tumor, kemampuan invasif maupun metastatik tumor, sehingga dapat menjadi marka penentu agresivitas KTP. Ekspresi MMP-9 kemungkinan berkaitan dengan luasnya infiltrasi tumor dan varian KTP yang akan ditelusuri pada penelitian ini. Berdasarkan pada kerangka pikir di atas, dibuatlah bagan kerangka pikir (Gambar 3.1)
62
Komponen Intraseluler JARINGAN
Komponen ekstraseluler
Matriks Ekstraseluler (ECM)
Adesi Sel
Matriks Metalloproteinase 9 (MMP-9)
Degradasi ECM
Meningkatkan sinyal Growth Factor (GF)
Degradasi matriks protein inti Poly-ADPribose-polymerase (PARP)
Memblok perbaikan DNA Peningkatan proliferasi sel
Epithelial to Mesenchimal Transition (EMT)
Meningkatkan motolitas tumor
Mobilisasi Fibroblast Growth Factor (FGF ) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
Angiogenesis
Peningkatan interaksi dengan reseptor integrin
Ekspansi instabilitas genomik
Akumulasi mutasi somatik Luas infiltrasi tumor Varian Karsinoma Tiroid Papiler
Columnar
Tall Cell
Onkositik
Clear cell
Klasik
Folikuler
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir
Intrakompartemen
Ekstrakompartemen
63
3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka konsep penelitian dijabarkan seperti bagan berikut:
Matriks Metaloproteinase 9
Karsinoma Tiroid Papiler Klasik
Intra Kompartemen `
Karsinoma Tiroid Papiler Varian Folikuler
Ekstra Kompartemen
Intra Kompartemen
Ekstra Kompartemen
Gambar 3.2 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara KTP klasik dengan infiltrasi intrakompartemen, KTP klasik dengan infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF dengan infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF dengan infiltrasi ekstrakompartemen.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode analitik observasional potong lintang, dengan bagan rancangan penelitian sesuai gambar 4.1. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dari 30 September 2014 -31 Desember 2014. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1
Populasi Target
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien karsinoma tiroid papiler di Bali. 4.3.2
Populasi Terjangkau
Populasi penelitian adalah semua sediaan dari blok parafin pasien dengan diagnosis karsinoma tiroid papiler dari operasi hemitiroidektomi, tiroidektomi total maupun Radical Neck Dissection (RND) yang diperiksa secara histopatologi pada Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar.
64
65
4.3.3
Sampel
Sampel penelitian adalah semua sediaan blok parafin pasien dengan diagnosis KTPVF dan KTP klasik yang diperiksa secara histopatologi pada Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar dari tahun 2011 sampai Juni tahun 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan peneliti. Sampel dipilih dengan cara consecutive sampling. 4.3.4
Perhitungan dan Cara Pengambilan Sampel
Besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus beda rerata dua kelompok independent (Rumus Pocock):
Z Z S n1 n2 2 X 1 X 2
2
Keterangan: n
= Besar sampel pada masing-masing kelompok.
Zα
= nilai Z untuk nilai α tertentu (α = 0,05, Zα = 1,96 )
Zβ
= nilai Z untuk power (1-ß ) ( ß = 0,10, Zß = 1,28)
S
= Standar deviasi ditentukan 0,2 (Marecko et al., 2014)
X1
= KTP dengan infiltrasi ekstratiroid dan metastasis KGB: 0,6
X2
= KTP intratiroid tanpa metastasis KGB: 0,2
X1-X2
= Perbedaan yang diinginkan (clinical judgement) 0.4
66
Berdasarkan perhitungan sampel di atas maka dalam penelitian ini digunakan sampel pada masing-masing kelompok sebanyak 6 sediaan dan untuk menghindari adanya drop out/data blank maka ditambahkan 20%, sehingga sampel untuk masingmasing kelompok adalah 7,2 sediaan yang dibulatkan menjadi 8 sediaan. Jadi total besar sampel minimal adalah 32 sediaan, tetapi pada penelitian ini dipergunakan sebanyak 40 sampel yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu kelompok KTP klasik
dengan
infiltrasi
intrakompartemen,
KTP
klasik
dengan
infiltrasi
ekstrakompartemen, KTPVF dengan infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF dengan infiltrasi ekstrakompartemen. 4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.4.1 Kriteria Inklusi Sampel yang didiagnosis sebagai KTP Klasik dan KTPVF 4.4.2
Kriteria Eksklusi 1. Kasus KTP yang setelah dilakukan pengamatan ulang bukan merupakan varian klasik dan KTPVF. 2. Kasus KTP yang multifokal karena dapat menimbulkan bias dalam penentuan ukuran tumor. 3. Blok parafin rusak atau berjamur.
67
Seleksi Populasi karsinoma tiroid papiler tahun 2011pertengahan 2014
Partial/Hemitiroidektomi 160 Kasus
Nonneoplastik 16 kasus
Neoplastik 144 kasus
KTA/U 2 kasus
Radical Neck Dissection (RND) 16 kasus
Total tiroidektomi 97 kasus
kasus Neoplastik 16 kasus
Neoplastik 82 kasus
KTF 2 kasus
Intrakompartemenkasus 123 kasus
-Fisiologis -Penyembuhan Luka -Kondisi patologis lain: aterosklerosis, gagal jantung
KTM 1 kasus
KTP 237 kasus
KTP Klasik 135 kasus
Nonneoplsastik 18 kasus
KTPVF 102 kasus
Ekstrakompartemen 12 kasus
Intrakompartemen 92 kasus
Faktor penanda agresivitas MMP-9
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
Ekstrakompartemen 10 kasus
68
4.5 Identifikasi Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu: I.
Varibel bebas
: KTP klasik dengan infiltrasi intra kompartemen, KTP
klasik dengan infiltrasi ekstra kompartemen, KTPVF dengan infiltrasi intra kompartemen dan KTPVF dengan infiltrasi ekstra kompartemen. II.
Varibel tergantung
: Matriks Metaloproteinase-9 (MMP-9).
4.6 Definisi Operasional Variabel
1. KTP Klasik merupakan neoplasma ganas sel folikel tiroid yang didominasi pola pertumbuhan papiler kompleks bercabang, namun dapat bercampur dengan struktur folikuler, secara histologi ditandai oleh adanya gambaran inti karsinoma papiler yang khas yaitu inti yang jernih (ground glass atau orphan annie eyes), berbentuk bulat dan membesar, saling tumpang tindih, membran inti ireguler dapat disertai inklusi sitoplasma intranuklear serta nuclear groove (Livolsi, 2012). 2. KTPVF merupakan neoplasma ganas epitel folikel tiroid yang hampir seluruhnya membentuk struktur folikuler, dilapisi oleh satu atau beberapa lapis sel epitel folikel tiroid berbentuk kuboid atau kolumnar, serta menunjukkan gambaran inti karsinoma papiler yang khas dan tampak tersebar merata di seluruh area tumor, meliputi inti yang jernih (ground glass atau
69
orphan annie eyes berbentuk bulat dan membesar, saling tumpang tindih, membran inti ireguler dapat disertai inklusi sitoplasma intranuklear serta nuclear groove. Komponen minor papiler masih dapat diterima namun berupa struktur papiler yang abortif yaitu tonjolan papiler pendek tanpa tangkai (stalk) yang jelas, menyerupai struktur papiler goiter hiperplastik (Rosai et al., 2011; Koseoglu et al., 2006). 3. Infiltrasi Intrakompartemen yaitu invasi intratiroid pada tumor yang tidak memiliki kapsel murni atau invasi intrakapsuler jika tumor berkapsel murni (Marecko et al., 2014). 4. Infiltrasi Ekstrakompartemen yaitu adanya invasi ke kapsel murni tumor, atau ke kapsel organ tiroid, invasi ke jaringan ekstratiroid sekitar, invasi vaskuler, metastasis ke KGB maupun metastasis jauh. Invasi vaskuler meliputi adanya sel tumor pada ruang vaskuler, adanya sel tumor yang menempel di endotel vaskuler, adanya sel tumor yang invasif melalui dinding endotel dan adanya thrombus yang menempel pada tumor intravaskuler (Mete et al., 2011) 5. Ekspresi MMP-9 Penilaian protein MMP-9 secara imunohistokimia menggunakan Monoclonal Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam. Secara semikuantitatif, diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21 mulai dari pembesaran lemah (40x) sampai
pembesaran kuat (400x). Penghitungan
dilakukan pada seluruh sel tumor dimulai dari bagian tumor dengan ekspresi
70
MMP-9 terkuat ke bagian pembesaran yang lebih lemah. Pemeriksaan imunohistokimia MMP-9 dikerjakan di laboratorium Bagian Patologi Anatomi FK Universitas Udayana. Interpretasi ekspresi MMP-9 dilakukan oleh peneliti dan 2 orang dosen pembimbing tanpa mengetahui data klinikopatologi pasien. Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma sel epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat berdasarkan analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaan (Meng et al, 2012). Berdasarkan persentase sel ganas yang menunjukkan overekspresi MMP-9 maka dibagi menjadi 3 skor (0-3) yaitu 0 (tidak terwarnai), 1+ (<25% sel dari seluruh sel tumor), 2+ (25-75% sel dari seluruh sel tumor) dan 3+ (>75% sel dari seluruh sel tumor). Berdasarkan intensitas warna coklat sel-sel ganas yang menunjukkan overekspresi MMP-9 maka dibagi menjadi 3 skala (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang) dan 3 (kuat). Skor persentase dari sel tumor yang immunoreaktif kemudian dikalikan dengan skor intensitasnya.
4.7 Prosedur Penelitian 1. Peneliti mencari sediaan pasien KTP klasik dan KTPVF dari bahan operasi hemotiroidektomi, tiroidektomi total, dan Radical Neck Dissection (RND)
71
yang melakukan pemeriksaan histopatologi dari tahun 2011 sampai pertengahan tahun 2014 di RSUP Sanglah Denpasar. 2. Preparat hasil pulasan HE sesuai nomor-nomor diatas dikumpulkan, dievaluasi ulang dan dilakukan diagnosis ulang, supaya memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapat dua kelompok data yaitu KTP klasik dan KTPVF. 3. Apabila dalam proses penilaian ternyata ada slide yang tidak dapat dinilai, misalnya karena warna mulai kabur (dilakukan proses pewarnaan kembali). Apabila slide berjamur atau rusak maka dilakukan pemotongan ulang blok parafin. 4. Peneliti menentukan slide mana yang akan dipakai untuk pemeriksaan imuno-histokimia (IHK) 5. Peneliti mencari blok parafin sesuai preparat yang dipilih dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 6. Blok parafin dipotong setebal 4 mikrometer dengan mikrotom untuk pulasan IHK MMP-9. 7. Prosedur pulasan Hematoksilin-Eosin yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar : a. Dipotong blok parafin mengunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan ketebalan 4 μm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek merk Sail Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.
72
b. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masingmasing celupan selama 5 menit. c. Dehidrasi dengan akohol bertingkat dengan konsentrasi menurun mengunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75%, dan alkohol 50% masing-masing celupan selama 2 menit. d. Dimasukkan ke air selama 10 menit. e. Dicelupkan ke cat utama yaitu Harris’s hematoksilin selama 10 menit. f. Dicuci dengan air selama 10 menit. g. Dilihat dibawah mikroskop, inti sel akan terlihat biru terang sedangkan sitoplasma tidak berwarna. h. Dicelupkan pada cat pembanding eosin 1% selama 0,5-1 menit. i. Didehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat mengunakan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95% dan alkohol absolute, masing-masing celupan selama 2 menit. j. Dijernihan dengan xilol sebanyak 4 kali celupan, lama masing-masing celupan selama 5 menit. k. Ditutup dengan cover glass. 8. Prosedur Pulasan IHK MMP-9 menggunakan antibodi monoklonal MMP-9 Abcam: a. Dipotong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan ketebalam 3 μm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang
73
telah dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm. b. Diinkubasi dalam incubator dengan suhu 37o C selama 1 malam. c. Dideparafinisasi dengan xylol, preparat dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 3 menit. d. Direhidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut 2 kali, alkohol 95%, alkohol 80%, dan alkohol 70%, masing-masing selama 3 menit. e. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit. f. Diteteskan H2O2 dalam metanol 3% sampai menutupi seluruh permukaan jaringan selama 15 menit. g. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit. h. Dicuci dengan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 2 kali, masingmasing selama 10 menit. i. Direndam dengan buffer sitrat 0,01 M, pH 6,0. Kemudian panaskan di dalam oven microwave selama 15 menit, mula-mula dengan pemanasan tinggi (80oC) sampai tepat mendidih kemudian dengan pemanasan sedang (50oC) selama 5 menit. j. Dinginkan pada suhu kamar. k. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
74
l. Teteskan 40 μl antibodi primer menggunakan antibody monoclonal MMP-9 dari Abcam yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama 30 menit pada suhu kamar atau semalam pada suhu 40C. m. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. n. Diteteskan Biotinylated Anti Polyvalent selama 10 menit. o. Dicuci dengan BS sebanyak 2 kali, masing-masing 10 menit. p. Diteteskan Streptavidin Peroxidase selama 10 menit. q. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. r. Diteteskan dengan reagen DAB selama 10 menit. s. Dicuci dengan air mengalir. t. Dipulas dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit. u. Dicuci dengan air mengalir. v. Didehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95%, dan alkohol absolut 2 kali, masing-masing selama 3 menit. w. Dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit. x. Ditutup dengan cover glass. 9. Dibuatkan pula pengecatan IHK untuk kontrol positif dan negatif. 10. Pemeriksaan immunohistokimia MMP-9 dikerjakan di laboratorium IHK bagian Patologi Anatomi FK Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar.
75
11. Pencatatan dan pengumpulan data. 12. Analisis data
4.8 Skema Alur Penelitian Mencari nomor sediaan KTP klasik dan KTPVF dari bahan operasi tiroidektomi dan RND dari tahun 2011 sampai pertengahan 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Pengumpulan sediaan pulasan HE
Seleksi, restaining bila warna pudar, rediagnosis sediaan mikroskopis: usia pasien, jenis kelamin, ukuran tumor, luasnya infiltrasi tumor (intra-atau ekstra kompartemen) Memilih preparat sebagai dasar memilih blok parafin untuk pulasan MMP-9 Mencari dan mengumpulkan blok parafin Blok parafin dipotong 4 μm Pengecatan imunohistokimia MMP-9 Pemeriksaan hasil pulasan MMP-9 Pencatatan dan pengumpulan data Analisis statistik Simpulan
Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian
76
4.9 Analisis Data Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik sampel. Data berskala kontinyu yang berdistribusi normal diekspresikan dengan nilai rerata (simpangan baku). Data kontinyu yang tidak berdistribusi normal diekspresikan dengan nilai median (kisaran inter kuartil). Data berskala katagorikal diekspresikan dengan nilai proporsi. Untuk melakukan komparasi antar kelompok dilakukan analisis One Way Anova untuk melihat beda rerata antar seluruh (empat) kelompok. Beda rerata antara 2 kelompok independen dilakukan uji komparasi multipel (multiple comparison test). Sedangkan untuk menilai pengaruh variabel kontrol (karakteristik penelitian meliputi usia, jenis kelamin dan ukuran tumor) terhadap hubungan skor MMP-9 antara masing-masing kelompok penelitian maka dilakukan analisis ANCOVA. Uji kemaknaan ditentukan pada p < 0,05. Presisi data ditentukan dengan nilai Confident Interval (CI) 95%.
77
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan dari periode bulan November sampai Desember 2014 di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah. Data dan sampel dikumpulkan sejumlah 40 kasus Karsinoma Tiroid Papiler Klasik (KTP Klasik) dan Karsinoma Tiroid Papiler Varian Folikuler (KTPVF) dari operasi hemitiroidektomi, tiroidektomi total maupun Radical Neck Dissection (RND) yang diperoleh dari Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah. Pencatatan data klinis pasien diambil dari data rekam medis pasien dan diagnosis ulang preparat dilakukan untuk menilai varian KTP, dan luasnya infiltrasi tumor apakah terbatas intrakompartemen atau sudah mencapai ekstrakompartemen, kemudian dilakukan pengecatan IHK MMP-9.
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Data Klinis Pasien Sampel penelitian KTP Klasik dan KTPVF menunjukkan rentang usia pasien yang cukup bervariasi yaitu berkisar dari usia 20–82 tahun, dengan rerata usia 46,17±14,98 tahun. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien dengan rentang usia 25-64 tahun. Rerata usia pada 20 kasus KTP Klasik yaitu 45,30±13,66 tahun, sedangkan rerata usia untuk 20 kasus KTPVF adalah 47,05±16,50 tahun, kedua tipe KTP ini menunjukkan perbedaan rerata usia yang tidak bermakna (p= 0,534; p>0,05). Rerata usia pada kasus KTP infiltrasi ekstrakompartemen yaitu 47,85±16,17 tahun dan pada KTP infiltrasi intrakompartemen yaitu 44,5±13,91
77
78
tahun, rerata usia pada kedua kelompok ini juga cenderung bermakna, namun secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,081; p>0,05). Secara khusus, rerata usia pada 10 pasien KTP klasik dengan infiltrasi ekstrakompartemen yaitu 46,30±14,81 tahun, rerata usia 10 pasien KTPVF dengan infiltrasi ekstrakompartemen adalah 49,30±18,09 tahun, sedangkan rerata 10 pasien KTP klasik yang hanya dengan infiltrasi intrakompartemen yaitu 44,30±13,14 tahun dan 10 pasien KTPVF dengan infiltrasi intrakompartemen yaitu 44,70±15,34 tahun. Melalui analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova, didapatkan beda rerata antar keempat kelompok tidak bermakna (p=0,430; p>0,05) Berdasarkan jenis kelamin subyek penelitian, 70% kasus KTP berjenis kelamin perempuan sehingga proporsi perbandingan kasus antara perempuan dibandingkan dengan laki-laki yaitu 7:3. Mayoritas kasus KTP dengan infiltrasi ekstrakompartemen juga didominasi oleh perempuan dengan proporsi perempuan berbanding laki-laki yaitu 4:1. Antar seluruh kelompok KTP menunjukkan distribusi jenis kelamin yang tidak berbeda (p=0,414; p>0,05). Berdasarkan deskripsi makroskopis pada 20 kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan infiltrasi intrakompartemen dan ekstrakompartemen didapatkan tumor yang berukuran ≤ 2 cm berjumlah 13 (32,5%), tumor yang berukuran >2 cm≤4cm berjumlah 14 (35%) dan tumor yang berukuran >4cm berjumlah 13 (32,5%). Rerata ukuran tumor secara keseluruhan adalah 3,48±2,10 cm. Perbedaan rerata ukuran tumor antara kelompok KTP klasik vs KTPVF tidak bermakna yaitu 2,92±1,75 cm vs 4,05±2,31 cm (p=0,292; p>0,05). Sedangkan
79
rerata ukuran tumor antara kelompok KTP infiltrasi ekstrakompartemen vs KTP intrakompartemen yaitu 3,81±2,42 cm vs 3,16±1,72 cm, keduanya juga menunjukkan beda rerata yang tidak bermakna (p=0,258; p>0,05). Secara khusus rerata ukuran tumor antar seluruh (empat) kelompok sesuai tabel 5.2. Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian (n= 40) Rerata ±Standar Deviasi Karakteristik Usia (tahun) 46,17±14,98 <25 25-64 >64 Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Ukuran Tumor (cm) 3,48±2,10 ≤2 >2-≤4 >4 Kelompok KTP 1) KTP Klasik Intrakompartemen 2) KTP Klasik Ekstrakompartemen 3) KTPVF Intrakompartemen 4) KTPVF Ekstrakompartemen
n(%) 2 (5%) 33 (82,5%) 5 (12,5%) 28 (70%) 12 (30%) 13 (32,5) 14 (35) 13 (32,5) 10 (25) 10 (25) 10 (25) 10 (25)
80
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Laki-laki Perempuan
Gambar 5.1 Grafik Distribusi Kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen berdasarkan Jenis Kelamin Pasien
Tabel 5.2 Distribusi rerata ukuran tumor pada kelompok KTP Klasik Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen Kelompok KTP Klasik Intrakompartemen
Rerata ±SD 2,18±1,45*
Nilai p 0,075
KTP Klasik Ekstrakompartemen
3,67±1,76** 0,669
KTPVF Intrakompartemen
4,15±1,41* 0,260
KTPVF Ekstrakompartemen
3,95±3,04**
Keterangan: Beda rerata ukuran tumor diantara seluruh kelompok KTP tidak bermakna (p=0,067) *KTP Klasik Intrakompartemen vs KTPVF Intrakompartemen tidak berbeda bermakna (p= 0,075) **KTP Klasik Ekstrakompartemen vs KTPVF Ekstrakompartemen tidak berbeda bermakna (p=0,246)
81
5.2 Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik Intrakompartemen,
KTP
Klasik
Ekstrakompartemen,
KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen Untuk mengetahui perbedaan ekspresi MMP-9 pada kelompok KTP Klasik intrakompartemen, KTP Klasik ekstrakompartemen, KTPVF intrakompartemen dan KTPVF ekstrakompartemen dilakukan analisis One Way Anova dengan hasil analisis kemaknaan sesuai tabel 5.3. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa rerata skor ekspresi MMP-9 pada kelompok
KTP
Klasik
ekstrakompartemen
berbeda
secara
bermakna
dibandingkan kelompok KTP Klasik intrakompartemen dengan skor 7,80±1,54 vs 2,60±1,77 (p<0,001). Antara KTP Klasik ekstrakompartemen dengan KTPVF intrakompartemen juga menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna dengan skor 7,80±1,54 vs 3,70±1,76 (p<0,001). Demikian pula halnya antar kelompok KTPVF dimana ekspresi KTPVF ekstrakompartemen lebih tinggi secara bermakna dibandingkan KTPVF intrakompartemen dengan skor 7,00±1,82 vs 3,70±1,76 (p<0,001). Sedangkan antar varian KTP yaitu antara KTP Klasik dengan KTPVF memiliki nilai rerata yang berbeda namun tidak bermakna, dimana antara KTP Klasik intrakompartemen dan KTPVF intrakompartemen memiliki nilai rerata 2,60±1,77
vs
3,70±1,76
(p=0,164;
p>0,05)
dan
antara
KTP
Klasik
ekstrakompartemen dengan KTPVF ekstrakompartemen memiliki beda rerata 7,80±1,54 vs 7,00±1,82, (p=0,309; p>0,05). Secara sederhana perbedaan rerata
82
skor pada keempat kelompok subyek penelitian digambarkan sesuai grafik pada Gambar 5.2
Tabel 5.3 Perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen, dan KTPVF Ekstrakompartemen Kelompok
Rerata ±SD
Min-Max
KTP Klasik IK
2,60±1,77*
1,0
KTP Klasik EK
KTPVF IK
KTPVF EK
7,80±1,54**
3,70±1,76*
7,00±1,82**
6,0
2,0
4,0
Beda rerata± SE
CI beda rerata
Nilai p
-5,2±0,7
-7,28 sd -3,11
<0,001
4,1±0,7
2,01 sd 6,18
<0,001
-3,3±0,7
-5,38 sd -1,21
<0,001
6,0
9,0
6,0
9,0
Keterangan: IK= Intrakompartemen, EK= Ekstrakompartemen * KTP Klasik IK vs KTPVF IK berbeda tidak bermakna (p=0,164) ** KTP Klasik EK vs KTPVF EK berbeda tidak bermakna (p=0,309)
Tabel 5.3 juga menunjukkan nilai skor minimum dan maksimum dari hasil pulasan MMP-9 pada keempat kelompok subyek penelitian. Kasus KTP Klasik intrakompartemen memiliki nilai skor ekspresi minimum 1 dan maksimum 6. Skor 1 didapatkan pada 4 dari 10 sampel kasus dengan mengalikan persentase pulasan 1 (<25% sel terpulas) dengan intensitasnya 1 (lemah), seperti pada sampel 1 (Gambar 5.3). Terdapat sebuah kasus (sampel 4) (Gambar 5.4) yang memiliki skor 6, didapatkan dengan mengalikan persentase pulasan yaitu 2 (25-75% sel yang terpulas) dengan intensitasnya 3 (kuat). Pada kasus KTP Klasik
83
ekstrakompartemen didapatkan skor minimum 6 dan maksimum 9. Skor 9 didapatkan pada 5 dari 10 sampel kasus, salah satunya pada sampel 13 (Gambar 5.5) dengan mengalikan persentase pulasan 3 (>75% sel terpulas) dengan intensitas pulasan 3 (kuat).
9 8
KTP Klasik Intrakompartemen
7 6
KTP Klasik Ekstrakompartemen
5 4
KTPVF Intrakompartemen
3 KTPVF Ekstrakompartemen
2 1 0
Gambar 5.2 Grafik Beda Rerata Skor Ekspresi MMP-9 kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen Sedangkan pada KTPVF intrakompartemen, skor minimum yang didapatkan yaitu 2 dan skor maksimumnya 6. Skor 6 ditemukan pada 3 kasus, salah satunya pada sampel 22 (Gambar 5.6) yang didapat dengan mengalikan persentase pulasan 3 (>75% sel terpulas) dengan intensitas pulasan 2 (sedang). Untuk KTPVF ekstrakompartemen diperoleh skor minimum 4 (sampel 36, gambar 5.7) dan skor maksimum 9. Skor 9 ditemukan pada 4 dari 10 sampel kasus, salah satunya pada sampel 34 (Gambar 5.8) yang didapat dengan mengalikan persentase pulasan 3 (>75% sel terpulas) dengan intensitas pulasan 3 (kuat).
84
Gambar 5.3 Kasus sampel 1 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik intrakompartemen MMP-9 terpulas pada <25% sel ganas dengan intensitas lemah (inset)
Gambar 5.4 Kasus sampel 4 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik intrakompartemen MMP-9 terpulas pada 25-75% sel ganas dengan intensitas kuat (inset)
85
Gambar 5.5 Kasus sampel 13 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik ekstrakompartemen Skor ekspresi 9, MMP-9 terpulas pada >75% sel ganas dengan intensitas kuat (inset)
Gambar 5.6 Sampel 24 pulasan MMP-9 pada KTPVF Intrakompartemen Skor ekspresi 6, MMP-9 terpulas pada >75% sel ganas dengan intensitas sedang (inset)
86
Gambar 5.7 Kasus sampel 36 pulasan MMP-9 pada KTPVF ekstrakompartemen Skor ekspresi 4, MMP-9 terpulas pada sekitar 25% area tumor dengan intensitas sedang (inset)
Gambar 5.8 Kasus sampel 34 pulasan MMP-9 pada KTPVF ekstrakompartemen Skor 9, MMP-9 terpulas pada >75% area tumor dengan intensitas kuat (inset)
87
5.3 Hubungan Antara Variabel Untuk menilai pengaruh variabel kontrol (karakteristik penelitian meliputi usia, jenis kelamin dan ukuran tumor) terhadap hubungan skor MMP-9 antara masingmasing kelompok penelitian maka dilakukan analisis ANCOVA.
Tabel 5.4 Pengaruh Variabel Independen dan Variabel Kontrol terhadap Skor Ekspresi MMP-9 Parameter
B
Kemaknaan
Usia -0,023 0,233 Jenis Kelamin 0,532 0,405 Ukuran 0,017 0,909 KTP Klasik IK -4,329 <0,001 KTP Klasik EK 0,839 0,299 KTPVF IK -3,252 <0,001 KTPVF EK (ref) R Squared= 0,661 (Adjusted R Squared=0,600)
Interval Kepercayaan (CI) 95% Batas Atas -0,062 -0,750 -0,278 -6,045 -0,778 -4,905 .
Batas Bawah 0,016 1,813 0,311 -2,612 2,457 -1,600 .
Melalui analisis ANCOVA diketahui pula nilai pengaruh variabel independen dan variabel kontrol secara simultan terhadap ekspresi MMP-9 adalah sebesar 66%, dengan faktor kelompok KTP sebagai variabel yang paling dominan mempengaruhi skor ekspresi MMP-9. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa variabel usia pasien tidak mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9 dengan nilai p yang tidak bermakna yaitu sebesar 0,233. Uji regresi berganda antara jenis kelamin dan ekspresi MMP-9 juga menunjukkan nilai yang tidak bermakna (p=0,405; p>0,05). Demikian pula dengan uji regresi berganda antara ukuran tumor dan ekspresi MMP-9 (p=0,909; p>0,05). Sedangkan uji regresi berganda
88
antara kelompok KTP dan ekspresi MMP-9 menunjukkan nilai yang bermakna (p<0,001). Sehingga melalui analisis ini diketahui bahwa variabel kontrol (karakteristik penelitian meliputi usia, jenis kelamin dan ukuran tumor) tidak mempengaruhi hubungan skor MMP-9 antara masing-masing kelompok penelitian.
89
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Usia Pasien Rerata usia pasien untuk keseluruhan kasus KTP pada penelitian ini adalah 46,17±14,98 tahun dengan median usia 43,50 tahun. Hal ini sesuai dengan data WHO yang menyebutkan bahwa rerata usia pasien saat terdiagnosis KTP adalah pertengahan 40 hingga awal 50-an, berbeda dengan tipe folikuler, meduler, berdiferensiasi buruk dan undifferentiated yang ditemukan pada usia lebih tua. Median usia kasus pada penelitan ini juga sesuai dengan temuan median usia pasien KTP pada beberapa penelitian sebelumnya yaitu 43 tahun (De Lellis et al., 2004; Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Namun rentang usia kasus KTP pada penelitian ini sangat bervariasi antara 20-82 tahun dan lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien dengan rentang usia 2564 tahun. Temuan ini agak berbeda dengan laporan WHO yang menyebutkan bahwa KTP umumnya bermanifestasi pada rentang usia 20-50 tahun (De Lellis et al., 2004; LiVolsi, 2011). Adanya cukup banyak kasus pada pasien diatas usia 50 tahun kemungkinan berkaitan dengan latar belakang faktor predisposisi KTP di Bali yang berbeda dengan faktor radiasi yang ditemukan di negara barat, peningkatan insiden KTP di Bali sejalan dengan peningkatan kasus goiter. Kemungkinan pada kasus-kasus tersebut diawali oleh lesi jinak goiter, yang memerlukan waktu lebih panjang untuk menimbulkan transformasi ganas. Akumulasi mutasi somatik selama proses penuaan juga memudahkan terjadinya
89
90
transformasi ganas setelah usia tua. Dikatakan bahwa sekitar 80% dari keseluruhan kanker dapat baru terdeteksi saat usia diatas 50 tahun dan dikaitkan dengan proses penuaan. Selama proses penuaan terjadi akumulasi perubahan genetik maupun epigenetik, akumulasi radikal bebas akibat tekanan oksidatif serta kerusakan progresif mekanisme perbaikan DNA, kontrol siklus sel dan perbaharuan stem cell. Mekanisme disfungsi seluler ini rupanya ditemukan terlibat dalam karsinogenesis (Bassi et al., 2009; Anisimov, 2009; Gunduz et al., 2014). Beberapa pasien usia tua juga terlambat melakukan deteksi nodul tiroid, pasien memeriksakan dirinya setelah nodul terlihat jelas dan menimbulkan gangguan. Sedangkan untuk perbandingan pada kedua varian didapatkan bahwa rerata usia pada 20 kasus KTP Klasik adalah 45,30±13,66 tahun, hampir serupa dengan rerata usia 20 kasus KTPVF yaitu 47,05±16,50 tahun. Berbagai literatur menyebutkan bahwa memang tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk rerata maupun median usia antara kasus KTP Klasik maupun KTPVF (Chen et al., 2012, Ito et al., 2012, Ito et al., 2014 ). Terkecuali KTP varian tall cell maupun diffuse sclerosing yang umumnya terjadi diatas usia 60 tahun, hampir seluruh tipe KTP memiliki distribusi usia yang sebanding. Baik KTP klasik maupun KTPVF tergolong karsinoma dengan diferensiasi baik sehingga cenderung ditemukan pada usia yang relatif lebih muda dibandingkan tipe diferensiasi buruk maupun undifferentiated (Chen et al, 2012; LiVolsi et al., 2011). Rerata dan median usia kasus KTP infiltrasi ekstrakompartemen relatif lebih tua dibandingkan KTP dengan infiltrasi terbatas intrakompartemen yaitu rerata usia 47,85±16,17 vs 44,5±13,91 tahun dan median 48 tahun vs 40 tahun. Dari
91
angka absolutnya, perbedaan rerata usia antara kedua KTP cenderung bermakna, namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p= 0,081; p> 0,05). Kecenderungan perbedaan rerata usia yang bermakna dikaitkan dengan pengaruh usia terhadap prognosis pasien. Pada karsinoma tiroid dikatakan bahwa usia yang lebih tua (diatas 45 tahun) cenderung memiliki prognosis yang lebih buruk dan sering menunjukkan infiltrasi ke jaringan sekitar maupun metastasis dibandingkan usia 45 tahun atau kurang (Gupta et al., 2012; De Lellis et al., 2004; LiVolsi et al., 2011; Leboulleux et al., 2006). Sebuah studi eksperimental juga pernah melaporkan pengaruh usia terhadap progresivitas KTP, studi tersebut mendeteksi adanya tiroglobulin (Tg) serum yang merupakan marka kekambuhan dan Tg-doubling time yang lebih tinggi pada kelompok usia tua (>60 tahun) dibandingkan kelompok usia muda antara 20-40 tahun setelah dilakukan tiroidektomi total dan supresi terhadap TSH (Ito et al., 2014). Temuan mengenai tingkat agresivitas tumor yang lebih tinggi pada usia tua seringkali dikaitkan dengan proses penuaan yang menyebabkan penurunan berbagai fungsi tubuh (Bassi et al., 2009; Anisimov, 2009; Gunduz et al., 2014). Seiring proses penuaan, sel-sel akan mengalami akumulasi mutasi DNA termasuk DNA mitokondria yang dapat meningkatkan produksi radikal bebas (ROS). Siklus kerusakan oksidatif yang dipengaruhi ROS ini akan berperan langsung dalam inisiasi karsinogenesis serta meningkatkan potensi metastatik tumor (Gunduz et al., 2014). Namun beberapa laporan membantah konsep ini dan melaporkan bahwa seiring peningkatan usia, tumor cenderung mengalami penurunan tingkat
92
agresivitas dan tumbuh lebih lambat. Pada usia tua terjadi perubahan mekanisme angiogenesis, perubahan fisiologis matriks ekstraseluler, sel-sel efektor imun, hormon, faktor pertumbuhan/ sitokin, maupun nutrisi. Faktor terlarut yang memicu angiogenesis berubah seiring peningkatan usia, terjadi pula penurunan sensitivitas terhadap faktor angiogenik yang berkontribusi untuk menurunnya kemampuan ekspansi maupun pertumbuhan tumor pada usia tua (Okada et al., 2012; Gunduz et al., 2014).
6.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Jenis Kelamin Pasien Berbagai penelitian melaporkan bahwa KTP cenderung lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio yang bervariasi. Demikian pula pada penelitian ini, didapatkan bahwa untuk keseluruhan kasus KTP rasio perbandingan antara perempuan dibandingkan laki-laki yaitu 7:3. Sebuah data epidemiologi menyebutkan bahwa untuk karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik termasuk KTP memang didominasi oleh kelompok perempuan pada usia postpubertas dan premenopause (DeLellis et al., 2004; Nikiforov, 2009; LiVolsi et al., 2011). Lebih tingginya kasus KTP yang dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki sering dikaitkan dengan peranan faktor hormon seks perempuan dalam karsinogenesis KTP, meskipun hingga saat ini melalui studi epidemiologi hal tersebut belum dapat dibuktikan. Peran hormon seks perempuan yang telah banyak diteliti yaitu peran estrogen terhadap karsinogenesis karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik. Estrogen memiliki efek proliferatif terhadap KTP secara in
93
vitro, namun dimana terjadi proliferasi sel yang diperantarai oleh reseptor estrogen α (ERα), maka disana akan timbul efek penghambatan oleh reseptor estrogen β (ERβ). Temuan ini juga membuktikan bahwa estrogen terlibat dalam proses diferensiasi karsinoma tiroid (Schonfeld et al., 2012). Peranan faktor hormonal dalam karsinogenesis tiroid semakin nyata setelah diketahui bahwa kehamilan meningkatkan risiko karsinoma tiroid sebanyak dua kali lipat karena berkaitan dengan peningkatan hormon tiroid maupun level estrogen serum (Kavanagh et al., 2010). Peran hormon seks seperti estrogen rupanya tidak mempengaruhi varian KTP. Hal ini dibuktikan melalui penelitian ini dimana baik pada KTP Klasik maupun KTPVF rasio perbandingan jenis kelamin perempuan tetap lebih banyak dibandingkan laki-laki. Diketahui bahwa terdapat perbedaan basis molekuler antara KTP klasik dan KTPVF namun tidak ditemukan adanya dominasi efek estrogen terhadap salah satu basis molekuler tersebut dalam mempengaruhi proliferasi tirosit. Serupa dengan faktor pertumbuhan lainnya, estrogen akan bekerja mengaktifkan jalur NTRK yang selanjutnya mengaktifkan kaskade RASBRAF-MAPK (Schonfeld et al., 2012). Sedangkan untuk rasio perempuan berbanding laki-laki pada KTP dengan infiltrasi ekstrakompartemen juga menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 4:1. Pendapat mengenai kaitan jenis kelamin dengan sifat agresif tumor maupun kemungkinan prognosis cukup beragam dan kontroversial. Beberapa studi mengenai faktor prognostik menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki berkaitan dengan prognosis tumor yang lebih buruk, adapula yang mengkaitkannya dengan
94
frekuensi kekambuhan yang lebih besar (Gonzalez et al., 2011; Cho et al., 2012). Namun studi lainnya berpendapat bahwa untuk menilai peranan jenis kelamin dalam menentukan tingkat agresivitas maupun prognosis, faktor jenis kelamin setidaknya harus dipadukan lagi dengan faktor lain seperti usia (Ito et al., 2012). Lebih tingginya rasio perempuan berbanding laki-laki pada kasus KTP dengan infiltrasi
ekstrakompartemen
dalam
penelitian ini
menunjukkan
kemungkinan jenis kelamin perempuan juga dapat berpengaruh terhadap agresivitas tumor. Hal ini juga dapat berkaitan dengan faktor estrogen, dimana untuk meningkatkan efek kerjanya dalam proliferasi sel, reseptor estrogen dapat melibatkan beberapa koaktivatornya yang mengandung aktivitas asetilasi histon sehingga memudahkan ekspresi gen reseptor tersebut, diantaranya p160 (160 kD) dan SRC-1. Diketahui bahwa ekspresi berlebih dari kedua koaktivator tersebut berkaitan dengan tingginya kemungkinan metastasis, kekambuhan maupun resistensi terhadap terapi endokrin (Kavanagh et al., 2010; Schonfeld et al., 2012). Alasan lainnya bahwa tingginya rasio ini juga kemungkinan berkaitan dengan tingginya rasio populasi perempuan berbanding laki-laki secara keseluruhan, sehingga
memberikan
kesan
bahwa
kasus
KTP
dengan
infiltrasi
ekstrakompartemen cenderung terjadi pada kelompok perempuan.
6.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Ukuran Tumor Ukuran merupakan salah satu parameter dalam sistem penentuan staging berbagai tumor termasuk tumor-tumor tiroid. Bahkan berbagai literatur menjadikan komponen ukuran sebagai determinan faktor prognostik karsinoma tiroid,
95
khususnya KTP dengan ketentuan cutoff point yang berbeda-beda karena ukuran tumor pada KTP sangat bervariasi dari tumor yang terbatas dalam hitungan mikroskopis hingga sangat besar (Chrisoulidou et al., 2011; Cho et al., 2012; Chen et al., 2012). Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata ukuran tumor untuk keseluruhan kasus KTP adalah 3,48±2,10 cm. Nilai rerata ini sebanding dengan yang ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya (Chen et al., 2012; Meng et al., 2012; Marecko et al., 2014). Berdasarkan tipenya, pada penelitian ini kelompok KTP klasik memiliki rerata ukuran 2,92±1,75 cm, sedangkan kelompok KTPVF memiliki ukuran rerata 4,05±2,31 cm. Pada laporan penelitian sebelumnya, dinyatakan bahwa KTPVF memiliki ukuran tumor yang lebih besar dibandingkan dengan KTP klasik (Salajegheh et al., 2008). Sedangkan penelitian lain menyatakan bahwa kedua tipe ini memiliki ukuran yang sebanding (Chrisoulidou et al., 2011). Pada penelitian ini, perbedaan rerata diantara kedua kelompok tersebut menunjukkan nilai yang tidak bermakna (p= 0,292; p>0,05), sehingga ukuran rerata keduanya dianggap sebanding. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan varian KTP tidak mempengaruhi ukuran tumor. Ukuran tumor sangat dipengaruhi oleh kemampuan proliferasi sel-sel tumor (Nowak et al., 2008; Pallegriti et al., 2013). Baik KTP klasik maupun KTPVF tergolong karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik dengan kemampuan proliferasi yang tidak sepesat karsinoma tiroid berdiferensiasi buruk maupun anaplastik, sehingga kedua varian ini memiliki ukuran yang relatif sama.
96
Sedangkan berdasarkan luas infiltrasinya, rerata ukuran tumor pada kelompok KTP infiltrasi ekstrakompartemen yaitu 3,81±2,42 cm dan pada KTP infiltrasi intrakompartemen yaitu 3,16±1,72 cm. Beberapa penelitian pernah melaporkan bahwa ukuran tumor yang besar (>4 cm) cenderung lebih mudah menimbulkan infiltrasi ke organ sekitar dan invasi vasa atau angiolimfatik (Mete et al., 2011; Shironen, 2005). Penelitian ini menepis pendapat beberapa penelitian sebelumnya karena ditemukan rerata ukuran tumor yang sebanding antara kelompok KTP ekstrakompartemen dan kelompok KTP intrakompartemen (p= 0,258; p>0,05). Namun hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa ukuran tidak mempengaruhi kemampuan invasif tumor (Koseoglu et al., 2006; Cho et al., 2012). Beberapa kasus KTP ekstrakompartemen yang berukuran kurang dari 2 cm pada penelitian ini berlokasi dekat kapsel organ, sehingga sangat memungkinkan jika lokasi yang berdekatan dengan kapsel maupun area limfovaskuler memudahkan proses invasi tumor ke jaringan sekitar maupun proses metastasis. Hal ini didukung oleh beberapa studi kohort maupun laporan kasus yang menemukan adanya metastasis KGB maupun metastasis jauh pada kasus-kasus KTP yang sebelumnya tergolong mikrokarsinoma (Boucek et al., 2009; Cho et al., 2012).
97
6.4 Ekspresi MMP-9 Pada KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen Penelitian ini menggunakan 40 sampel yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu 10 sampel dari kelompok KTP Klasik infiltrasi intrakompartemen, 10 sampel kelompok KTP Klasik ekstrakompartemen, 10 sampel kelompok KTPVF intrakompartemen dan 10 sampel kelompok KTPVF ekstrakompartemen. Setelah dilakukan pemeriksaan immunohistokimia dengan MMP-9 dan uji statistik didapatkan bahwa terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 yang sangat bermakna antara kelompok KTP intrakompartemen dengan ekstrakompartemen (p<0,001). Dari data diketahui bahwa terjadi peningkatan rerata skor ekspresi dari KTP Klasik intrakompartemen ke KTP Klasik ekstrakompartemen, dari KTP Klasik
intrakompartemen
ke
KTPVF
ekstrakompartemen,
dari
intrakompartemen ke KTP Klasik ekstrakompartemen, dan dari
KTPVF KTPVF
intrakompartemen ke KTPVF ekstrakompartemen, meskipun antar varian (antara KTP Klasik dengan KTPVF) tidak menunjukkan perbedaan secara bermakna. Rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP infiltrasi ekstrakompartemen yang lebih besar secara sangat bermakna dibandingkan KTP intrakompartemen pada penelitian ini membuktikan bahwa proses invasi yang lebih dalam dan metastasis akan menarik aktivitas MMP-9 secara lebih banyak. Namun hasil ini tidak sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa ekspresi MMP-9 pada kanker tiroid tidak dapat menggambarkan agresivitas KTP (Korem et al., 2004; Buergy et al., 2009; Delektorskaia et al., 2010). Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa ekspresi MMP-9 juga tinggi pada karsinoma tiroid yang
98
belum menunjukkan gambaran metastasis KGB maupun metastasis jauh, hal ini disebabkan karena sebelum terjadinya penetrasi sel ganas melewati membran basalis limfovaskuler, sel ganas harus berpenetrasi diantara sel stroma sehingga aktivitas MMP-9 menjadi cukup kuat pada area stroma sehingga memberikan skor ekspresi yang relatif tinggi dalam pulasan imunohistokimia MMP-9. Beberapa penelitian tersebut juga lebih membuktikan peranan MMP-9 dalam diagnostik, dimana terdapat perbedaan ekspresi MMP-9 yang sangat bermakna antara kelompok karsinoma tiroid dan adenoma tiroid. Sedangkan penilaian peranan MMP-9 dalam menentukan kemampuan invasi dan metastasis tumor hanya dilakukan dengan melihat hubungan antar variabel tanpa menyeimbangkan perbandingan besar sampel karsinoma tiroid yang dengan dan tanpa metastasis. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan, beberapa penelitian lanjutan lainnya sejalan dengan penelitian ini dan menemukan bahwa ekspresi MMP-9 berhubungan secara bermakna dengan perluasan ekstratiroid, adanya metastasis ke limfonodi dan metastasis jauh serta derajat infiltrasi tumor (Marecko et al., 2008; Frasca et al., 2008; Wang et al., 2009; Liang et al., 2010; Ansari et al., 2013). Persamaan hasil yang didapat pada penelitian ini berkaitan dengan fakta bahwa MMP-9 terlibat dalam berbagai tahap proses invasi yang lebih jauh maupun metastasis tumor seperti yang terangkum dalam bagan pada gambar 6.1.
99
Lingkungan sekitar sel tumor
Sel Tumor
Stroma
Usia Jenis Kelamin Ukuran Tumor
Sel radang (neutrofil makrofag)
Sitokin dan kemokin sekitar seperti TNFα, TGFß, EGF, HGF
MMP-9
EMT
Degradasi reseptor α IL-2 dan SP-D
Motilitas sel tumor
Penekanan aktivitas innate immunity dan limfosit
Mobilisasi FGF, VEGF dan faktor angiogenik lain Angiogenesis
Membran basalis epitel
Degradasi ECM
Stroma
Kemokin dalam proses intravasasi seperti; CCR7
Membran basalis vaskuler
Intravasasi
KTP Intrakompartemen KTP Ekstrakompartemen
Keterangan: = Faktor yang mempengaruhi ekspresi MMP-9 = Faktor yang tidak mempengaruhi ekspresi MMP-9
Gambar 6.1 Bagan jalur patogenesis keterlibatan MMP-9 dalam proses infiltrasi tumor pada penelitian
MMP-9 mendapat perhatian dalam berbagai studi karena protein ini diperlukan dalam memunculkan sifat invasif maupun metastasik melalui peran utamanya dalam mendegradasi kolagen IV yang merupakan komponen utama
100
membran basalis. Selain berperan dalam degradasi komponen ECM, MMP-9 juga mampu memicu transisi epitelial menjadi progenitor mesenkimal (EMT) sehingga memiliki kemampuan motilitas tinggi. Selama terbentuknya proses metastasis, sel-sel epitelial ganas akan terlepas dari tumor primer dan mengalami transisi mesenkimal, menginvasi jaringan stroma, memasuki sirkulasi, diam sementara pada area perifer vaskuler, ekstravasasi, menginvasi interstisium dan parenkim organ target, dan membentuk koloni metastatik (Stuelten et al., 2005; Deryugina et al., 2006; Marecko et al., 2008; Loffek et al., 2011; Ansari et al., 2013). MMP-9 selanjutnya berperan pula dalam proses angiogenesis, invasi menuju jalur angiolimfatik (intravasasi), ekstravasasi dan pertahanan koloni metastatik dari respon imun. Untuk proses angiogenesis, MMP-9 dapat berperan sebagai molekul proangogenik yang dapat memicu aktivasi angiogenik dengan cara mengatur proliferasi perisit, apoptosis dan penarikan perisit serta memobilisasi perekrutan prekursor angiogenik sumsum tulang ke stroma tumor dan beberapa mitogen angiogenik seperti FGF dan VEGF (Nowak et al., 2008; Yang et al., 2011; Ansari et al., 2013). Sedangkan peran dalam proses intravasasi, melibatkan neutrofil yang direkrut MMP-9, dimana neutrofil ini terlebih dahulu akan ditarik menuju permukaan sel endotel kemudian menjadi teraktivasi sehingga kembali mampu menghasilkan MMP-9 yang terbebas dari pengaruh TIMP. Aktivasi MMP-9 yang dihasilkan neutrofil ini selanjutnya kembali melepaskan faktor angiogenik yang tersimpan dalam matriks ekstraseluler dan sekaligus membantu intravasasi dan penyebaran sel tumor. Aktivitas beberapa kemokin seperti CCR7 yang sebelumnya ditargetkan untuk meningkatkan ekspresi MMP-9 juga berimbas
101
pada fasilitasi penyebaran sel tumor melalui jalur limfonodi (Stuelten et al., 2005; Marecko et al., 2008; Nowak et al., 2008; Ansari et al., 2013). Studi in vivo menunjukkan bahwa MMP-9 terlibat dalam proses intravasasi dengan cara mempengaruhi fenotip tumor sehingga memiliki potensi metastatik dengan membentuk sel tumor yang memiliki aktivitas protrusi terorientasi dan terpolarisasi menuju vaskuler sekitar tumor (Deryugina et al., 2006). Gambar 6.2 A merupakan gambaran adanya ekspresi MMP-9 yang kuat di sekitar vaskuler tumor, kemungkinan berkaitan dengan adanya proses intravasasi yang dipengaruhi oleh aktivitas MMP-9. Diketahui pula bahwa beberapa sel radang seperti neutrofil dapat menghasilkan MMP-9 bahkan MMP-9 yang terbebas dari aktivitas TIMP, dan sebaliknya MMP-9 juga kembali dapat menarik aktivitas sel radang. Peran neutrofil terkait tumor masih belum jelas, tetapi diduga neutrofil memiliki kemampuan pro- sekaligus anti tumor tergantung fenotifnya dan jumlah infiltrat neutrofil di lingkungan tumor. Ditemukan bahwa infiltrat masif neutrofil dapat menimbulkan efek sitotoksik terhadap tumor sehingga tumor akhirnya mengalami regresi sedangkan infiltrat ringan neutrofil justru menunjukkan sifat progresif tumor (Leifler et al., 2014). Pada penelitian ini, ditemukan fokus infiltrat ringan neutrofil pada beberapa kasus KTP ekstrakompartemen seperti pada sampel 13 (Gambar 6.1 B).
102
A
B
Gambar 6.2 Pola Distribusi Ekspresi MMP-9 dan Sel Radang Penyerta di sekitarnya (A Pola distribusi ekspresi MMP-9 tampak dengan intensitas yang lebih kuat di area perivaskuler {inset}. B. Di sekitar sel dan stroma yang terpulas MMP-9 tampak fokus sel radang PMN neutrofil) Proses metastasis selanjutnya yang diperankan MMP-9 yaitu dalam ekstravasasi sel-sel ganas ke jaringan target yang juga diperantarai sel-sel inflamasi yang ditarik oleh MMP-9. Kerja VEGF sirkulasi pada reseptornya dalam pembentukan kelompok sel endotel dalam jaringan target metastatik juga mampu menghasilkan lebih banyak MMP-9 yang nantinya berperan mendegradasi membran basalis vaskuler. Berikutnya pada jaringan target, sel-sel ganas akan membentuk koloni metastatik dan kembali lagi MMP-9 ikut mengambil peranan terutama dalam dalam mempengaruhi pertahanan tumor maupun koloni metastatik terhadap respon imun, MMP-9 dapat menekan penarikan berbagai jenis sel-sel radang (Stuelten et al., 2005; Marecko et al., 2008; Nowak et al., 2008; Loffek et al, 2011; Ansari et al., 2013). Penelitian yang dilakukan pada kasus karsinoma serviks menunjukkan kemampuan MMP-9 dalam mendegradasi reseptor α IL-2
103
sehingga menekan aktivasi dan proliferasi Tumor Infiltrating Lymphocyte (TIL). MMP-9 juga mendegradasi Surfactant protein D (SP-D), komponen penting dalam respon innate immune. Hilangnya fungsi innate immune ini juga menyebabkan pasien onkologi rentan terhadap berbagai infeksi (Ansari et al., 2013). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peningkatan aktivitas MMP-9 pada kasus karsinoma dengan metastasis juga mempengaruhi tingginya MMP-9 serum yang dapat diamati melalui tes zymografi (Quaranta et al., 2007; Daniele et al., 2010). Namun pada penelitian ini tidak dilakukan penelusuran lebih jauh terhadap aktivitas MMP-9 serum. Rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP ekstrakompartemen yang lebih besar secara sangat bermakna dibandingkan KTP intrakompartemen pada penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya proses invasi yang lebih jauh melewati kapsel organ dan metastasis merupakan proses yang lebih kompleks dan tentunya agak berbeda dengan proses invasif yang terbatas dalam organ itu sendiri. Sehingga diasumsikan bahwa luasnya invasi mempengaruhi agresivitas KTP karena sebanding dengan peningkatan skor ekspresi MMP-9 yang merupakan marka agresivitas tumor. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menelusuri perbandingan ekspresi MMP-9 antara KTP ekstrakompartemen dengan KTP intrakompartemen. Adanya skor ekspresi MMP-9 yang lebih rendah dibandingkan skor maksimal kasus-kasus KTP ekstrakompartemen seperti pada sampel 36 yaitu dengan skor 4 dapat berkaitan dengan berbagai faktor yang terlibat dalam proses ekspresi MMP9, diantaranya keseimbangan antara jumlah enzim dan penghambatnya (TIMP-1),
104
lokalisasi periseluler dan perubahan bentuk laten MMP-9 menjadi bentuk aktifnya. Sebuah studi telah membuktikan bahwa bentuk aktif MMP-9 tidak dapat menggambarkan keseluruhan aktivitas MMP-9, pada studi tersebut didapatkan bahwa ekspresi MMP-9 aktif tidak berkorelasi dengan beberapa faktor klinikopatologik seperti luasnya invasi dan metastasis, yang berkorelasi secara signifikan adalah ekspresi MMP-9 total (Daniele et al., 2010; Marecko et al., 2014). Sedangkan rasio aktivitas MMP-9/TIMP-1 dan proses lokalisasi periselulernya hingga saat ini sulit untuk diamati dan belum ada penelitian yang melaporkan. Penelitian ini hanya mengamati aktivitas MMP-9 aktif, sehingga skor rendah pada kasus KTP ekstrakompartemen ini belum tentu menunjukkan nilai total MMP-9 yang rendah. Mengingat dominan kasus KTP ekstrakompartemen menunjukkan skor ekspresi yang tinggi maka pada kasus seperti ini mungkin perlu penilaian ekspresi MMP-9 laten sehingga nantinya didapatkan nilai ekpresi MMP-9 total. Salah satu kasus KTPVF ekstrakompartemen dengan skor ekspresi yang lebih rendah
dibandingkan
kelompok
KTPVF
ekstrakompartemen
lainnya
menunjukkan diferensiasi solid yang cukup luas dengan sedikit sisa komponen folikuler. Tidak diketahui apakah peningkatan diferensiasi solid berpengaruh terhadap sekresi MMP-9 sel tumor karena beberapa studi justru melaporkan bahwa sepertiga kasus KTP dengan diferensiasi solid akan menunjukkan perluasan ekstratiroid dan invasi vasa, namun belum ada penelitian yang menelusuri apakah proses ini tidak secara dominan dilatarbelakangi oleh peran MMP-9 sehingga pada kasus ini didapatkan skor imunohistokimia yang relatif
105
lebih rendah. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu komponen stroma kasus ini lebih sedikit akibat adanya diferensiasi solid yang cukup luas, sedangkan beberapa studi melaporkan bahwa MMP-9 dominan dihasilkan oleh sel stroma fibroblas. Distribusi MMP-9 pada stroma juga menjadi kriteria penilaian ekspresi MMP-9 pada penelitian ini dimana ekspresinya diinduksi oleh berbagai mediator klasik seperti TNF-α, TGF-β, EGF atau HGF (Stuelten et al., 2005; Loffek et al., 2011; Ansari et al., 2013). Pada penelitian ini, beberapa kasus KTP menunjukkan distribusi ekspresi kuat MMP-9 diantara area stroma (Gambar 6.3 A).
A
B
Gambar 6.3 Pola Ekspresi MMP-9 pada Stroma sekitar Tumor dan pada Makrofag A. Ekspresi MMP-9 yang kuat pada area stroma. B Ekspresi MMP-9 pada sel makrofag yang bergranul (tanda panah) Beberapa kasus KTP Klasik maupun KTPVF Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen pada penelitian ini menunjukkan ekspresi MMP-9 pada sitoplasma sel makrofag sehingga mendukung beberapa penelitian sebelumnya yang membuktikan keterlibatan Tumor Associated Macrophage (TAM) dalam menghasilkan MMP-9, namun efeknya terhadap progresivitas tumor tergantung pada fenotifnya yang ditentukan oleh sitokin yang dihasilkannya. Makrofag
106
dipolarisasikan dalam dua fenotif yaitu M1 dan M2. Makrofag M1 mensekresikan arginase-1 dan IL-10 dalam jumlah sedikit serta IL-1b, IL-6, TNF-a, dan IL-12 dalam jumlah banyak, sedangkan makrofag M2 arginase-1, IL-10, dan IL-1Ra dalam jumlah yang lebih banyak serta IL-12, IL-1b, IL-6, and TNF-a dalam jumlah sedikit. Sitokin makrofag M1 cenderung memicu progresifitas tumor. Hal ini dibuktikan melalui efek IL-1b yang dapat meningkatkan kemampuan angiogenesis dan metastasis. Sedangkan sitokin makrofag M2 seperti IL-1Ra bersifat antagonis terhadap IL-1b sehingga cenderung berperan dalam regresi tumor. Penelitian ini tidak menelusuri lebih jauh fenotif makrofag yang terdapat pada beberapa sampel kasus karena diperlukan teknik microdyalisate dalam menilai aktivitas sitokin yang dihasilkan makrofag. Seperti halnya yang terjadi pada neutrofil, MMP-9 yang dihasilkan oleh makrofag dapat sebaliknya kembali mengaktivasi makrofag dengan bekerja pada reseptor PAR-1 dan PAR-2 (Ansari et al., 2013; Leifler et al., 2014). Berbagai penelitian telah berhasil membuktikan peran MMP-9 sebagai marka agresivitas tumor melalui keterlibatannya dalam proses invasi maupun metastasis. Agresivitas antara KTP Klasik dan KTPVF masih kontroversial, beberapa laporan morfologi dan studi longitudinal menyebutkan bahwa area berdiferensiasi buruk, lesi bilateral/multipel, invasi intravasa, invasi perineural maupun infiltrasi ekstrakompartemen meliputi invasi kapsel, perluasan ekstratiroid dan metastasis jauh lebih banyak dijumpai pada KTPVF dibandingkan dengan KTP klasik tetapi risiko metastasis ke limfonodi lebih rendah dibandingkan KTP klasik (Chang et al., 2006; Chrisoulidou et al., 2011; Chen et al., 2012; Gupta et al., 2012).
107
Penelitian lainya justru melaporkan bahwa KTPVF memiliki perangai klinis maupun patologis yang sebanding dengan KTP klasik (Gonzalez et al., 2011; Der Lin et al., 2010; Salajegheh et al., 2008; De Lellis et al., 2004). Penilaian agresivitas kedua tipe KTP melalui ekspresi MMP-9 pada penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 yang bermakna antara KTP Klasik dengan KTPVF, dimana perbedaan antara KTP Klasik Intrakompartemen dengan KTPVF Intrakompartemen memiliki nilai (p=0,496; p>0,005) dan antara KTP Klasik Ekstrakompartemen dengan KTPVF Ekstrakompartemen memiliki nilai (p= 0,309; p>0,005). Secara molekuler, jalur karsinogenesis KTP Klasik memang berbeda dengan KTPVF. KTP Klasik melibatkan tata ulang RET atau NTRK dan point mutasi BRAFV600E sedangkan KTPVF selain melibatkan tata ulang RET atau NTRK dan mutasi
BRAFK601E,
13%
melibatkan
translokasi
t(2;3)(q13p;p25)
yang
menggabungkan PAX8-PPARɤ dan 21% mutasi RAS (Kondo et al., 2006; Santoro et al., 2006; Salajegheh et al., 2008; Viglieto et al., 2012; Chien et al., 2012). Tidak pernah terdapat laporan bahwa MMP-9 dapat mempengaruhi proses karsinogenesis pada kedua tipe KTP ini sehingga secara teoritis MMP-9 memang tidak terlibat dalam penentuan karakteristik molekuler maupun morfologi pada KTP Klasik maupun KTPVF. Keterlibatan MMP-9 pada inti sel yang diawali oleh degradasi matriks protein inti yaitu PARP hanya mempengaruhi peningkatan fragmentasi DNA dan pencegahan proses perbaikan DNA (Ansari et al., 2013). Proses ini terjadi setelah terjadinya proses karsinogenesis, sehingga pulasan
108
MMP-9 di inti yang ditemukan pada beberapa kasus penelitian ini tidak menggambarkan bahwa MMP-9 terlibat dalam proses karsinogenesis KTP. Berdasarkan berbagai literatur mengenai MMP-9, aktivitas transkripsi dan translasi MMP-9 yang dipicu oleh berbagai faktor pertumbuhan, sitokin dan promotor tumor dapat melalui berbagai jalur (gambar 6.3), diantaranya jalur inhibitor-kappa binding (IκB) yang mengaktifkan faktor transkripsi nuclear factor- kappa binding (NFκB), JUN activated kinase (JAK) yang mengaktifkan signal transducer and activator of transcription (STAT) serta jalur yang terlibat dalam karsinogenesis KTP maupun KTPVF seperti RAS-MAPK, RAS-BRAFMAPK dan PAX8-PPARɤ yang menginduksi transkripsi MMP-9 dengan meningkatkan regulasi gen Snail yang juga merupakan penekan aktivitas Ecadherin (Palma et al., 2014; Di Maro et al., 2014). Namun belum terdapat penelitian yang membandingkan jalur mana yang dominan berkontribusi terhadap peningkatan aktivitas MMP-9 dan apakah MMP-9 yang dihasilkan pada kedua tipe KTP akan berbeda sehingga dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan perangai biologisnya. Tidak didapatkannya perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 yang bermakna antara KTP Klasik dengan KTPVF membuktikan bahwa jalur karsinogenesis kedua tipe KTP kemungkinan dilibatkan secara imbang dalam pembentukan aktivitas MMP-9. Alasan lainnya adalah kemungkinan ada faktor lain namun tidak dinilai dalam penelitian ini, yang kemungkinan dapat menjadi prediktor agresivitas kedua varian selain ekspresi MMP-9 seperti keterlibatan kemampuan proliferasi tumor yang dinilai melalui Ki-67 hingga aktivitas
109
microRNA yang mampu memodifikasi protein penting dalam progresi karsinoma tiroid.
Diaktivasi oleh Faktor Pertumbuhan seperti TGFß, EGF, HGF maupun FGF
Gambar 6.4 Bagan Jalur Transkripsi MMP-9 yang dilibatkan oleh beberapa Jalur Karsinogenesis KTP
6.5 Pengaruh Antar Seluruh Variabel dengan Skor Ekspresi MMP-9 Pada penelitian ini juga dinilai pengaruh antar seluruh variabel baik variabel bebas yang meliputi empat kelompok KTP maupun variabel kontrol meliputi usia, jenis kelamin dan ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9. Peneliti mendapatkan bahwa secara simultan keseluruhan variabel ini memiliki pengaruh yang besar terhadap skor ekspresi MMP-9 dengan nilai persentase sebesar 66%. Diantara keseluruhan variabel tersebut variabel kelompok KTP merupakan variabel yang paling berkontribusi terhadap skor ekspresi MMP-9 dengan nilai p<0,001. Sedangkan variabel kontrol yang meliputi usia pasien, jenis kelamin dan
110
ukuran tumor tidak mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9 karena memiliki nilai p>0,05, dimana variabel usia pasien memiliki nilai p=0,233, variabel jenis kelamin dengan p=0,405 dan ukuran tumor dengan nilai p=0,909. Temuan ini agak berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa selain berkorelasi positif dengan derajat infiltrasi dan metastasis, ekspresi MMP-9 juga berkorelasi positif dengan ukuran tumor dan usia pasien (Merecko et al., 2008; Ansari et al., 2013; Meng et al., 2012). Namun pada beberapa penelitian lain dikatakan bahwa faktor usia, jenis kelamin maupun ukuran tumor tidak memiliki pengaruh terhadap ekspresi MMP-9 (Yu et al., 2012; Gonzalez et al., 2008). Belum ada penelitian yang membahas secara mendalam mengenai kaitan ekspresi MMP-9 dengan ukuran tumor, usia pasien dan jenis kelamin. Meskipun insiden kanker meningkat seiring peningkatan usia, tetapi insiden metastasis akan berkurang karena perubahan usia cenderung mengurangi sifat agresif proliferasi tumor maupun metastasisnya. Pada pasien usia tua yang meninggal
karena
kanker,
gejala
antemortem
maupun
temuan
otopsi
menyimpulkan bahwa tumor tersebut bersifat tidak agresif, tumbuh sangat lambat dan jarang bergejala. Beberapa faktor kemungkinan berkaitan dengan hal ini diantaranya adanya perubahan mekanisme angiogenesis, perubahan fisiologis matriks ekstraseluler, sel-sel efektor imun, hormon, faktor pertumbuhan/ sitokin, maupun nutrisi. Faktor terlarut yang memicu angiogenesis berubah seiring peningkatan usia, terjadi pula penurunan sensitivitas terhadap faktor angiogenik yang
berkontribusi
untuk
menurunnya
kemampuan
ekspansi
maupun
111
pertumbuhan tumor pada usia tua. Usia juga mempengaruhi biosintesis dan fisiologi matriks ekstraseluler, dikatakan bahwa kolagen IV meningkat sekitar empat kali lipat pada usia tua, sehingga mempengaruhi kemampuan kerja MMP-9 dan menyebabkan aktivitas MMP-9 menjadi relatif tidak adekuat (Okada et al., 2012; Gunduz et al., 2014). Namun belum ada penelitian yang menelusuri seberapa kuat faktor ini mempengaruhi sintesis dan ekspresi MMP-9 pada pasien kanker usia tua. Penelitian ini juga tidak menelusuri faktor manakah yang lebih berperan terhadap skor ekspresi MMP-9 pada pasien KTP usia tua. Ekspresi MMP-9 dikatakan berkaitan dengan ukuran tumor karena jika ukuran tumor lebih besar maka sel-sel tumor yang akan menghasilkan MMP-9 cenderung akan lebih banyak (Meng et al., 2012). Tetapi pada penelitian ini adanya latar belakang goiter pada sebagian besar sampel mempengaruhi berkurangnya proporsi sel ganas penghasil MMP-9. Hal tersebut kemungkinan menyebabkan tidak berpengaruhnya ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9 pada penelitian ini. Sedangkan pada berbagai penelitian maupun pada penelitian ini, faktor jenis kelamin tidak mempengaruhi skor ekspresi MMP-9. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya hubungan faktor hormonal seks terhadap ekspresi MMP-9. Pada penelitian ini dibuktikan bahwa perbedaan skor ekspresi MMP-9 sangat dipengaruhi oleh variabel kelompok penelitian yaitu antara kelompok KTP intrakompartemen dengan KTP ekstrakompartemen dengan nilai kemaknaan <0,001. Akan tetapi faktor usia, jenis kelamin dan ukuran tumor tidak mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9.
112
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP Klasik infiltrasi intrakompartemen, KTP Klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen, dimana perbedaan yang bermakna dijumpai antar KTP infiltrasi intrakompartemen dengan KTP infiltrasi ekstrakompartemen. Tidak terdapat pengaruh faktor usia, jenis kelamin dan ukuran tumor terhadap perbedaan skor ekspresi MMP-9. Sehingga disimpulkan bahwa agresivitas KTP dipengaruhi oleh luas infiltrasi tumor sedangkan varian KTP (klasik dan folikuler), usia, jenis kelamin pasien maupun ukuran tumor tidak terbukti mempengaruhi agresivitas KTP.
7.2 Saran 1. Pada penelitian ini belum ditentukan cut off point tinggi rendahnya skor ekspresi MMP-9, sehingga sangat penting dibuat kesepakatan mengenai cut off point skor ekspresi MMP-9 pada penelitian berikutnya untuk keseragaman pelaporan tingkat ekspresinya. 2. Untuk mengatasi kemungkinan bias skor ekspresi MMP-9 akibat hanya menilai skor MMP-9 aktif, maka selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pula penilaian skor MMP-9 laten sehingga skor yang didapat nantinya merupakan skor MMP-9 total. 112
113
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kaitan ekspresi MMP-9 pada jaringan KTP ekstrakompartemen dengan kadar MMP-9 di serum, sehingga dapat dikembangkan kemungkinan MMP-9 sebagai marka penanda agresivitas tumor secara serologi. 4. Keterlibatan MMP-9 dalam proses invasi tumor dapat menjadi landasan penelitian lanjutan untuk membuktikan bahwa MMP-9 juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu panel pemeriksaan imunohistokimia dalam membedakan KTP dengan berbagai lesi tiroid jinak 5. Untuk kasus KTP yang dicurigai telah mengalami perluasan ekstratiroid maupun metastasis namun secara klinis maupun pencitraan masih meragukan dapat dipertimbangkan pemeriksaan MMP-9 sehingga klinisi dapat menentukan pilihan jenis operasi yang tepat pada pasien. 6. Keterlibatan MMP-9 terhadap luas infiltrasi tumor pada KTP dapat menjadi dasar pengembangan terapi target yang potensial khususnya sebagai target penghambat progresivitas tumor dalam penanganan karsinoma tiroid. Peneliti berharap agar terdapat studi lanjutan dalam menelusuri kegunaan dan efektivitas agen-agen penghambat ekspresi MMP-9 dalam penanganan karsinoma tiroid.
DAFTAR PUSTAKA
Anisimov, V.N. 2009. Carcinogenesis and aging 20 years after: escaping horizon. Mech Ageing Dev, 130: 105–121. Anonim. 2010. Bali dalam angka 2010. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Anonim. 2012. NCCN Guidelines Carcinoma Thyroid. USA: National Comprehensive Cancer Network. Ansari, M.A., Shaikh, S., Muteeb, G., Rizvi, D., Shakil, S., Alam, A.,et al. 2013. Role of Matrix Metalloproteinases in Cancer. In: Advances in Protein Chemistry. USA: OMICS group ebook. p. 4-8. Baloch, Z.W., Livolsi, V.A. 2010. Pathology of Thyroid and Parathyroid Disease. In: Stancey E. Mills, editors. Sternberg’s Diagnostic Surgical Pathology, 5th. Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams and Wilkins. p. 500-503. Bassi, P.F., Sacco, E. 2009. Cancer and aging: the molecular pathways. Urol Oncol; 27: 620–627. Bilimoria, K.Y., Bentrem D.J., Ko, C.Y. 2007. Extent of surgery affects survival for papillary thyroid cancer. Ann Surg; 246 (Suppl. 3): 375-381. Boucek, J., Kastner, J., Skrivan, J., Grosso, E., Gibelli, B., Gaugliano, G., Betka, J. 2009. Occult Thyroid Carcinoma. Acta Otorhinolaryngologica Italica; 29:296-304. Bouchet, S., Bauvois, B. 2014. Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL), Pro-Matrix Metalloproteinase-9 (pro-MMP-9) and Their Complex Pro-MMP-9/NGAL in Leukaemias. Cancers, 6: 796812. Bras, L.E.C., Toba, H., BAicu, C.F., Zile, M.R., Weintraub, S.T., Lindsey, M.L., Bradshaw, A.D. 2014. Age and SPARC Change the Extracellular Matrix Composition of the Left Ventricle. Biomed Research International; 2014: 1-7.
114
Brito, J.P., Hay, D.I., Morris J.C. 2014. Low risk papillary thyroid cancer. British Medical Journal, 348: 1-8.
115
116
Buergy,D., Weber, T., Maurer, G.D., Mudduluru, G., Medved, F., Leupold, J.H. 2009. Urokinase receptor, MMP-1 and MMP-9 are markers to differentiate prognosis, adenoma and carcinoma in thyroid malignancies. Int J Cancer, 125:894-901. Chang, H.Y., Lin, J.D., Chou, S.C. 2006. Clinical presentations and outcomes of surgical treatment of follicular variant of the papillary thyroid carcinomas. Jpn J Clin Oncol; 2006 (Suppl. 36): 688–93. Chen, H., Izevbaye, I., Chen, F., Weinstein, B. 2012. Recent Advances in Follicular Variant of Papillary Thyroid Carcinoma. North American Journal of Medicine and Science; 5 (Suppl. 4): 212-5. Chien, W., Koeffler P. 2012. Molecular Biology of Thyroid Cancer. Springer Endocrine Updates, 30: 35-43. Cho, J.K., Kim, J.Y., Jeong, C.Y., Jung, E.J., Park, S.T., Jeong, S.H., Ju, Y.T., Lee, Y.J., Hong, S.C., Ha, W.S., Choi, S.K. 2012. Clinical features and prognostic factors in papillary thyroid microcarcinoma depends on age. Journal of the Korean Surgical Society; 82 (Suppl. 5): 281-7. Chrisoulidou, H., Boudina, M., Tzemailas, A., Doumala, E., Iliadou, P.K., Patakiouta, F., Panayiotou, K.P.,2011. Histological subtype is the most important determinant of survival in metastatic papillary thyroid cancer. BioMed Central Thyroid Research; 4 (Suppl. 12): 1-5. Constantine, S., Mitsiades., Negri, J., McMullan C. 2007. Targeting BRAF V600E in thyroid carcinoma: therapeutic implications. American Association for Cancer Research, 6: 1070-1078. Cooper, D.S., Doherty, G.M., Haugen, B.R. 2006. Management guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer. Thyroid; 16 (2):109-142. Cossu, A., Budroni, M., Paliogiannis, P., Palmieri, G., Scognamillo, F., Cesaraccio, R., Attene, F., Trignano, M., Tanda, F. 2013. Epidemiology of Thyroid Cancer in an Area of Epidemic Thyroid Goiter. Hindawi, 2013: 1-4. Dedock, J., Paridaens, R.,Ye, S. 2008. Genetic Polymorphism of Matrix Metalloproteinase in Lung, Breast and Colorectal Cancer. Clin Genet,733: 197-221.
117
Delektorskaia, V.V., Smirnova, E.A., Ponomareva, M.V., Pavlova, T.V., Pavlov, I.A. 2010. Expression of matrix metalloproteinases 2 and 9 and their tissue inhibitors 1 and 2 in papillary thyroid cancer: an association with the clinical, morphological and ultrastructural characteristics of a tumor. Arkh Patol, 72: 3-6. DeLellis, R.A., Williams, E.D. 2004. Thyroid and Parathyroid Tumours: Introduction. In: DeLellis, R.A., Lioyd, R.V., Heitz, P.U., Eng, C., editors. World Health Organization Classification of Tumours, Pathology & Genetics Tumours of Endocrine Organs. Lyon: IARC Press. p. 51-6. Der Lin, J., Hsueh, C.,Hyu Huang, B. 2011. Papillary Thyroid Carcinoma with Different Histological Patterns. Chang Gung Med J; 34 (Suppl.1): 23-34. Deryugina, E.I., Quigley, J.P. 2006. Matrix Metalloproteinases and Tumor Metastases. Cancer Metastase Rev, 25: 9-34. Di Maro, G., Salemo, P., Unger, K., Orlandella, F.M., Manaco, M., Chiappetta, G., Thomas, G., Wojciechowska, M.O., Masullo, M., Jarzab, B., Santoro, M., Salvatore, G. 2014. Anterior Gradient Protein 2 Promotes Survival Migration and Invasion of Papillary Thyroid Carcinoma Cells. BioMed Central; 13 (Suppl.160): 1-11. Dirjen Yanmed. 2008-2010. Kanker di Indonesia. Dirjen Yanmed Departemen Kesehatan RI. Ershler, W.B., Longo, D.L. 2014. Aging and Cancer: Issues of Basic and Clinical Science. J Natl Cancer Inst, 89:1489–97 Farina, A.R., Mackay, A.R. 2014. Gelatinase B/MMP-9 in Tumour Pathogenesis and Progression. Cancers, 6: 240-296. Frasca, F., Nucera, C., Pellegriti, G., Gangemi, P., Attard, M., Stella, M., Loda, M., Vella, V., Giordano, V.C., Trimarchi, R., Mazzon, E., Belfiore, A., Vigneri, E. 2008. BRAF(V600E) mutation and the biology of papillary thyroid cancer. Endocrine-Related Cancer, 15: 191–205. Fuhrer, D. 2006. Genetics of Benign and Malignant Tumours. Thyroid International, 2: 1-10. Führer, D., Bockisch, A., Schmid, K.W. 2012. Euthyroid Goiter With and Without Nodules—Diagnosis and Treatment. Medicine; 109 (Suppl 29–30): 506–516.
118
Ghossein, R. 2009. Update to the College of American Pathologists Reporting on Thyroid Carcinomas. Head and Neck Pathol Humana Press; 2009 (Suppl. 3): 86-93. Gonzalez, R.G., Molina, R.B., Carreon-Burciaga, R.G., Gastelum, M.G., Frechero, N.M., Rodrıguez, S.S. 2011. Papillary Thyroid Carcinoma: Differential Diagnosis and Prognostic Values of Its Different Variants. International Scholarly Research Network ISRN Oncology, 2011: 1-9. Gunduz, G., Fiskin, K. 2014. Aging and cancer: molecular facts and awareness for Turkey. Turk J Biol; 38: 708-719. Gupta, S., Ajise, O., Dultz, L., Wang, B., Nonaka, D., Ogilvie, J., Heller, K.S., Patel, K.N. 2012. Follicular Variant of Papillary Thyroid Cancer. American Medical Association; 138 (Suppl. 3): 227-233. Haigh, P.I, Urbach, D.R., Rotstein, L.E. 2005. Extent of thyroidectomy is not a major determinant of survival in low- or high-risk papillary thyroid cancer. Ann Surg Oncol; 12 (Suppl. 1): 81-80. Htwe, T.T. 2012. Thyroid malignancy among goitrous thyroid lesions: a review of hospital-based studies in Malaysia and Myanmar. Singapore Medical Journal; 53 (Suppl. 3): 159–163. Ito, Y., Higashiyama, T., Takamura, Y. 2007. Risk factors for recurrence to the lymph node in papillary thyroid carcinoma patients without preoperatively detectable lateral node metastasis: validity of prophylactic modified radical neck dissection. World J Surg; 31(Suppl. 11): 2085-2091. Ito, Y., Jikuzono, T., Higashiyama, T. 2006. Clinical significance of lymph node metastasis of thyroid papillary carcinoma located in one lobe. World J Surg; 30 (Suppl. 10): 1821-28. Ito, Y., Miyauchi, A. 2012. Prognostic Factors of Papillary and Follicular Carcinomas in Japan Based on Data of Kuma Hospital. Journal of thyroid research, 2012: 1-18. Ito, Y., Miyauchi, A., Kihara, M., Higashiyama, M., Kobayashi, K., Miya, A. 2014. Patient Age Is Significantly Related to the Progression of Papillary Microcarcinoma of the Thyroid Under Observation. Thyroid; 24 (Suppl 1): 27-33.
119
Kakudo, K., Bai, Y., Liu, Z., Ozaki, T. 2012. Encapsulated papillary thyroid carcinoma, follicular variant: A misnomer. Pathology International, 62: 155–160 Kavanagh, D.O., Mcllroy, M., Myers, E., Bane, F., Crotty, T.B., McDermott, E., Hill, A.D., Young, L.S. 2010. The role of oestrogen receptor a in human thyroid cancer: contributions from coregulatory proteins and the tyrosine kinase receptor HER2. Endocrine-Related Cancer, 17: 255-264. Knobel, M., Neto, G.M. 2007. Relevance of Iodine Intake as a Reputed Predisposing Factor of Thyroid Cancer. Arq Bras Endocrinol Metab; 5 (Suppl. 5): 701-712. Kondo, T., Ezzat, S., Asa, S.L. 2006. Pathogenetic mechanisms in thyroid follicular-cell neoplasia. Nature Reviews; 6 (Suppl. 4): 292–306. Koseoglu, R.D., Filiz, N.O., Aladas, I., Eyibisen, A., Guven, M. 2006. Problems Encountered in the Diagnosis of Encapsulated Follicular Variant of Papillary Thyroid Carcinoma and the Morphological Diagnosis Criteria. Turk J Med Sci; 36 (Suppl. 2006): 17-22. Korem, S., Kraiem, Z., Shiloni, E., Yehezkel, O., Sadeh, O., Resnick, M.B. 2004. Increased expression of matrix metalloproteinase-2: a diagnostic marker but not prognostic marker of papillary thyroid carcinoma. Isr Med Assoc J, 4:247-51. Kumar., Abas., Fausto., Aster. 2010. Neoplasm. In: Robbins Cotran Pathologic Basis of Desease Eight Edition. Kumar Vinay. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 62-70. Leboulleux, S., Rubino, C., Baudin, E., Caillou, B., Hartl, D.M., Bidart, J.M., Travagli, J.P., Schlumberger, M. 2006. Prognostic Factors for Persistent or Recurrent Disease of Papillary Thyroid Carcinoma with Neck Lymph Node Metastases and/or Tumor Extension beyond the Thyroid Capsule at Initial Diagnosis. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism; 90 (Suppl. 10): 5723–5729. Leifler, K.S., Svensson, S., Abrahamsson, A., Bendrik, C., Robertson, J., Gauldie, J., Olsson, A.K., Dabrosin, C. 2013. Inflammation Induced by MMP-9 Enhances Tumor Regression of Experimental Breast Cancer. J Immunol, 190:4420-4430 Liang, H., Zhong, Y., Luo, Z., Huang, Y., Lin, H., Luo, M., et al. 2010. Assessment of biomarkers for clinical diagnosis of papillary
120
thyroid carcinoma with distant metastasis. Medline Int J Biol Markers,25:38-45. LiVolsi, V.A. 2011. Papillary thyroid carcinoma: an update.Modern Pathology. 24: 1-9. Loffek, S., Schilling, O., Franzke, C-W. 2011. Biological role of matrix metalloproteinases: a critical balance. Eur Respir J, 38: 191–208. Marečko, I., Cvejić, J., Šelemetjev, S., Paskaš, S., Tatić, S., Paunović, I., Savin, S. 2014. Enhanced activation of matrix metalloproteinase-9 correlates with the degree of papillary thyroid carcinoma infiltration. Croat Med J, 55: 128-37. Meng, X.,
Hua, T., Zhang, Q., Pang, R., Zheng, G., Song, D. 2012. Expression and clinical significance of matrix metalloproteinase 9 (MMP9) papillary thyroid carcinomas. African Journal of Pharmacy and Pharmacology; 6 (Suppl. 44): 3075-9.
Mete, O.,Asa, S.L. 2011. Pathological definition and clinical significance of vascular invasion in thyroid carcinomas of follicular epithelial derivation. Modern Pathology; 2011 (Suppl. 24): 1545–1552. Nikiforov, Y.E. 2009. Thyroid Tumors: Classification, Staging, and General Considerations. In: Hubbard J.G.H., Inabnet, W.B., Yau Lo, C., editors. Endocrine surgery. London: Springer. P. 108-112. Nowak, M., Madej, J.A., Okolow, M.P., Dziegiel, P. 2008. Expression of Extracellular Matrix Metalloproteinase (MMP-9), E-Cadherin and Proliferation-associated Antigen Ki-67 and their Reciprocal Correlation in Canine Mammary Adenocarcinomas. In vivo; 22: 463-470 Okada, F., Kobayashi, H. 2012. The influence of aging and cellular senescence on metastasis. In: Lyden D, Welch DR, Psaila B, editors. Cancer Metastasis: Biological Basis and Therapeutics. Cambridge, UK: Cambridge University Press. P. 105–116. Palma, T.D., Lucci, V., Cristofaro, T., Fillipone, M.G., Zannini, M. 2014. A Role for PAX8 in Tumorigenic Phenotype of Ovarian Cancer Cells. Biomed Central;14(Suppl.292): 1-8.
121
Pellegriti, G., Frasca, F., Regalbuto, C., Squatrito, S.,Vigneri, R. 2013. Worldwide Increasing Incidence of Thyroid Cancer: Update on Epidemiology and Risk Factors. Hindawi, 2013: 1-7. Pereira, J.A., Jimeno, J., Miquel, J. 2005. Nodal yield, morbidity, and recurrence after central neck dissection for papillary thyroid carcinoma. Surgery; 138 (Suppl. 6): 1095-1100. Powell, E., Piwnica-Worms, D., Piwnica-Worms, H. 2014. Contribution of P53 to Metastases. American Association of Cancer Research, 4: 405-414. Quaranta, M., Daniele, A., Coviello, M., Venner, M.T., Abbate, I., Caringella, M.E., Di Tardo, S., Divella, R., Trerotoli, P., Di Gennaro. M., Schitulli, F., Fransvea, E., Giannelli, G. 2007. MMP-2, MMP-9, VEGF and CA 15.3 in Breast Cancer. Anticancer Research, 27: 3593-3600. Rosai, J., Tallini, G. 2011. Thyroid Gland. In: Rosai, Ackerman, editors. Surgical Pathology. 10th. Ed. British: Elsevier. p. 487-513. Rubin, P., Hansen, J.T. 2012. TNM staging Atlas with Oncoanatomy. Second Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams and Wilkins. p. 114-121. Salajegheh, A., Petcu, E.B., Smith, R.A., Lam, A.K. 2008. Follicular variant of papillary thyroid carcinoma: a. diagnostic challenge for clinicians and pathologist. Postgrad. Med. J, 84: 78-82. Santoro, M., Melillo, R.M., Fusco, A. 2006. RET/PTC activation in papillary thyroid carcinoma: European Journal of Endocrinology Prize Lecture. European Journal of Endocrinology, 155: 645–653. Sawka, A.M., Thephamongkhol, K., Brouwers, M. 2004. Clinical review 170: a systematic review and metaanalysis of the effectiveness of radioactive iodine remnant ablation for well-differentiated thyroid cancer. J Clin Endocrinol Metab; 89 (Suppl. 8): 3668-3676. Schonfeld, S.J., Neta, G., Sturgis, E.M., Pfeiffer, R.M., Hutchinson,A.A., Xu, L., Wheeler, W., Gue´nel, P., Rajaraman, P., Vathaire, F., Ron, E., Tucker, M.A., Chanock, S.J., Sigurdson, A,J., Brenner, A.V. 2012. Common Genetic Variants in Sex Hormone Pathway Genes and Papillary Thyroid Cancer Risk. Thyroid; 22 (Suppl 2): 151-155. Shindo, M., Wu, J.C., Park, E.E., Tanzella, F. 2006. The importance of central compartment elective lymph node excision in the staging and
122
treatment of papillary thyroid cancer. Arch Otolaryngol Head Neck Surg; 132 (Suppl. 6): 650-654. Shironen, P. 2005. “Prognosis of Papillary Thyroid Cancer” (dissertation). Helsinki. Stuelten, C.H., Byfield, S.D., Arany, P.R., Karpova, T.S., Stevenson, W.G.S., Roberts, A.B. 2005. Breast cancer cells induce stromal fibroblasts toexpress MMP-9 via secretion of TNF-α and TGF-β. Journal of Cell Science; 118 (Suppl.10): 2143-2152 Toniato, A., Boschin, I., Casara, D. 2008. Papillary thyroid carcinoma: factors influencing recurrence and survival. Ann Surg Oncol; 15 (Suppl. 5): 1518-1522. Viglietto, G., Marco, C.D. 2012. Molecular Biology of Thyroid Cancer. Springer Endocrine Updates, 30: 35-43. Wang, T., Jiang, C.X., Li, Y., Liu, X. 2009. Pathologic study of expression and significance of matrix metalloproteinases-9, tissue inhibitor of metalloproteinase-1, vascular endothelial growth factor and transforming growth factor beta-1 in papillary carcinoma and follicular carcinoma of thyroid. Medline, 38:824-8. Xing, M., Westra, W.H., Tufano, R.P. 2005. BRAF mutation predicts a poorer clinical prognosis for papillary thyroid cancer. J Clin Endocrinol Metab; 90 (Suppl. 12): 6373-6379. Yang. S., Zhao, Z., Wu, R., Lu, H., Zhang, X., Huan, C. 2011. Expression and biological relationship of vascular endothelial growth factor-A and matrix metalloproteinase-9 in gastric carcinoma. J Int Med Res, 39: 2076-85. Yu, F., Jiang, Q., Zhou, Y., Yang, Z., Yu, X., Wang, H., Liu, Z., Wang, L., Fang, W., Guo, S. 2012. Abnormal Expression of Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) correlates with clinical course in Chinese patiens with endometrial cancer. Dis markers; 32 (Suppl.5): 321-3
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ethical Clearance
122
124
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian
125
Lampiran 3 Data Subyek Penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Umur 52 35 42 32 33 65 56 58 45 25 61 50 41 57
JK P P L P P L P L L P L P P P
Blok II UM I II II VI I IV V II III I IV II IV
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36 37. 38. 39. 40.
57 31 20 35 44 67 40 36 58 50 37 40 82 40 32 32 63 52 43 78 31 68 22 60 31 46
P P L P P L L P P P P P P L L L P P P P P P P L P P
III II IV III UM III VI II I II IV II I II I II II I I IV IV IV II I III I UL II
Persentase 1+ 1+ 2+ 2+ 2+ 1+ 2+ 2+ 1+ 2+ 3+ 3+ 3+ 3+
Intensitas 1 1 2 3 1 1 2 1 1 2 2 3 3 3
Skor 1 1 4 6 2 1 4 2 1 4 6 9 9 9
3+ 2+ 3+ 3+ 2+ 2+ 2+ 3+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 3+ 3+ 3+ 2+ 3+ 2+ 2+ 3+ 3+ 3+ 2+
3 3 3 3 3 3 1 2 1 3 2 2 1 3 1 1 2 3 3 3 3 2 3 3 2 3
9 6 9 9 6 6 2 6 2 6 4 4 2 6 2 3 6 9 6 9 6 4 9 9 6 6
126
Lampiran 4 Statistik Perbandingan Usia Pada Kelompok KTP Klasik Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen Lampiran 4a. Uji Normalitas Data Usia a
Kolmogorov-Smirnov Statistic Usia
.085
df
Shapiro-Wilk
Sig. 40
.200
Statistic *
.969
df
Sig. 40
.335
Lampiran 4b. Data Deskriptif Usia pada Seluruh Kelompok KTP KTP
Usia
KTP Klasik Intrakompartemen
Statistic Mean 95% Confidence Interval for Mean
44.300 Lower Bound
34.894
Upper Bound
53.706
Median
13.1491
Minimum
25.0
Maximum
65.0
KTP Klasik Ekstrakompartemen Mean
46.300 Lower Bound
35.705
Upper Bound
56.895
Median
14.8103
Minimum
20.0
Maximum
67.0
Mean 95% Confidence Interval for Mean
44.700 Lower Bound
33.721
Upper Bound
55.679
Median
15.3482
Minimum
32.0
Maximum
82.0
Mean 95% Confidence Interval for Mean Median Std. Deviation
4.8535
40.000
Std. Deviation
KTPVF Ekstrakompartemen
4.6834
47.000
Std. Deviation
KTPVF Intrakompartemen
4.1581
43.500
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean
Std. Error
49.400 Lower Bound
36.452
Upper Bound
62.348 49.000 18.0997
Minimum
22.0
Maximum
78.0
5.7236
127
Lampiran 4c. Statistik Deskriptif Usia secara Keseluruhan N
Minimum
Usia
40
Valid N (listwise)
40
Maximum
20.0
82.0
Mean
Std. Deviation
46.175
14.9870
Lampiran 4d. Analisis Beda Rerata Usia antar Seluruh Kelompok KTP ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
37.167
28
1.327
Within Groups
12.833
11
1.167
Total
50.000
39
F
Sig.
1.138
.430
Lampiran 4e. Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Intrakompartemen vs KTP Ekstrakompartemen ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
8.500
28
.304
Within Groups
1.500
11
.136
10.000
39
Total
F
Sig.
2.226
.081
Lampiran 4f. Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Klasik vs KTPVF ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
7.167
28
.256
Within Groups
2.833
11
.258
10.000
39
Total
F
Sig. .994
.534
128
Lampiran 5. Statistik Perbandingan Jenis Kelamin Pada Kelompok KTP Klasik Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen Lampiran 5a. Data Deskriptif Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh Kelompok KTP Sex Laki-laki KTP
KTP Klasik
Perempuan
Total
4
6
10
3
7
10
KTPVF Intrakompartemen
4
6
10
KTPVF Ekstrakompartemen
1
9
10
12
28
40
Intrakompartemen KTP Klasik Ekstrakompartemen
Total
Lampiran 5b. Analisis Statistik Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh kelompok KTP Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
3
.414
Likelihood Ratio
3.230
3
.358
Linear-by-Linear Association
1.486
1
.223
.
.
Pearson Chi-Square
McNemar-Bowker Test N of Valid Cases
2.857
40
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00. b. Computed only for a PxP table, where P must be greater than 1.
.
b
129
Lampiran 6 Statistik Perbandingan Ukuran Tumor Pada Kelompok KTP Klasik Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen Lampiran 6a. Uji Normalitas data Ukuran Tumor a
Kolmogorov-Smirnov KTP Ukuran
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.213
10
.200
*
.905
10
.247
.248
10
.082
.924
10
.395
KTPVF Intrakompartemen
.177
10
.200
*
.960
10
.788
KTPVF Ekstrakompartemen
.190
10
.200
*
.873
10
.107
KTP Klasik Intrakompartemen KTP Klasik Ekstrakompartemen
Lampiran 6b. Data Deskriptif Ukuran Tumor secara Keseluruhan Statistic Ukuran
Mean 95% Confidence Interval for Mean Median Std. Deviation
3.4875 Lower Bound
2.8152
Upper Bound
4.1598 3.0000 2.10204
Minimum
.50
Maximum
8.00
Std. Error .33236
130
Lampiran 6c. Data Deskriptif Ukuran Tumor Pada Seluruh Kelompok KTP KTP Ukuran
KTP Klasik Intrakompartemen
Statistic Mean 95% Confidence Interval for Mean
2.1800 Lower Bound
1.1374
Upper Bound
3.2226
Median
1.45739
Minimum
.50
Maximum
5.00
Mean 95% Confidence Interval for Mean
3.6700 Lower Bound
2.4082
Upper Bound
4.9318
Median
1.76387
Minimum
1.20
Maximum
7.00
Mean 95% Confidence Interval for Mean
4.1500 Lower Bound
3.1376
Upper Bound
5.1624
Median
1.41520
Minimum
2.00
Maximum
6.50
KTPVF Ekstrakompartemen Mean
Median Std. Deviation
.44752
4.0000
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean
.55778
3.0000
Std. Deviation
KTPVF Intrakompartemen
.46087
2.0000
Std. Deviation
KTP Klasik Ekstrakompartemen
Std. Error
3.9500 Lower Bound
1.7747
Upper Bound
6.1253 3.2500 3.04092
Minimum
.50
Maximum
8.00
.96162
131
Lampiran 6d. Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor Pada Seluruh Kelompok KTP ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
26.252
14
1.875
Within Groups
23.748
25
.950
Total
50.000
39
F 1.974
Sig. .067
Lampiran 6e. Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik dan KTPVF ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
4.152
14
.297
Within Groups
5.848
25
.234
10.000
39
Total
F 1.268
Sig. .292
Lampiran 6f. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
4.271
14
.305
Within Groups
5.729
25
.229
10.000
39
Total
F 1.331
Sig. .258
Lampiran 6g. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik Intrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
3.750
10
.375
Within Groups
1.250
9
.139
Total
5.000
19
F 2.700
Sig. .075
132
Lampiran 6h. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik Intrakompartemen dan KTP Klasik Ekstrakompartemen ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
3.750
10
.375
Within Groups
1.250
9
.139
Total
5.000
19
F
Sig.
2.700
.075
Lampiran 6i. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik Ekstrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
2.000
9
.222
Within Groups
3.000
10
.300
Total
5.000
19
F
Sig. .741
.669
Lampiran 6j. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP VF Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
3.167
10
.317
Within Groups
1.833
9
.204
Total
5.000
19
F 1.555
Sig. .260
Lampiran 6k. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik Ekstrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
3.200
10
.320
Within Groups
1.800
9
.200
Total
5.000
19
F 1.600
Sig. .246
133
Lampiran 7 Statistik Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 Pada Kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen,
KTP
Klasik
Ekstrakompartemen,
KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen Deskriptif Skor MMP-9 pada Seluruh Kelompok KTP Lampiran 7a. Data Deskriptif Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 antar seluruh Kelompok KTP 95% Confidence Interval for Mean Std. N KTP Klasik
Mean
Deviation
Std. Error
Lower
Upper
Bound
Bound
Minimum Maximum
10
2.6000
1.77639
.56174
1.3292
3.8708
1.00
6.00
10
7.8000
1.54919
.48990
6.6918
8.9082
6.00
9.00
KTPVF Intrakompartemen
10
3.7000
1.76698
.55877
2.4360
4.9640
2.00
6.00
KTPVF Ekstrakompartemen
10
7.0000
1.82574
.57735
5.6939
8.3061
4.00
9.00
Total
40
5.2750
2.76412
.43705
4.3910
6.1590
1.00
9.00
Intrakompartemen KTP Klasik Ekstrakompartemen
Lampiran 7b. Uji Homogenitas Skor Ekspresi MMP-9 antar Kelompok KTP
Levene Statistic .097
df1
df2 3
Sig. 36
.961
Lampiran 7c. Uji Analisis Perbedaan Skor MMP-9 Antar Seluruh Kelompok KTP ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
189.875
3
63.292
Within Groups
108.100
36
3.003
Total
297.975
39
F 21.078
Sig. .000
134
Lampiran 7d. Uji Komparasi Multipel antar Seluruh Kelompok KTP Dependent Variable:SkorMMP9
(I) KTP
(J) KTP
Tukey KTP Klasik KTP Klasik Ekstrakompartemen HSD Intrakompartemen KTPVF Intrakompartemen KTPVF Ekstrakompartemen KTP Klasik KTP Klasik Intrakompartemen Ekstrakompartem KTPVF Intrakompartemen en KTPVF Ekstrakompartemen KTPVF KTP Klasik Intrakompartemen Intrakompartemen KTP Klasik Ekstrakompartemen
Std. Error
Sig.
*
.77496
.000
-7.2871
-3.1129
-1.10000
.77496
.496
-3.1871
.9871
-4.40000
*
.77496
.000
-6.4871
-2.3129
5.20000
*
.77496
.000
3.1129
7.2871
4.10000
*
.77496
.000
2.0129
6.1871
.80000
.77496
.732
-1.2871
2.8871
-5.20000
Lower Bound
Upper Bound
1.10000
.77496
.496
-.9871
3.1871
-4.10000
*
.77496
.000
-6.1871
-2.0129
-3.30000
*
.77496
.001
-5.3871
-1.2129
KTPVF KTP Klasik Intrakompartemen Ekstrakompartem KTP Klasik Ekstrakompartemen en KTPVF Intrakompartemen
4.40000
*
.77496
.000
2.3129
6.4871
-.80000
.77496
.732
-2.8871
1.2871
3.30000
*
.77496
.001
1.2129
5.3871
KTP Klasik KTP Klasik Ekstrakompartemen Intrakompartemen KTPVF Intrakompartemen
-5.20000
*
.77496
.000
-6.7717
-3.6283
KTPVF Ekstrakompartemen
LSD
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J)
KTPVF Ekstrakompartemen KTP Klasik KTP Klasik Intrakompartemen Ekstrakompartem KTPVF Intrakompartemen en KTPVF Ekstrakompartemen KTPVF KTP Klasik Intrakompartemen Intrakompartemen KTP Klasik Ekstrakompartemen
-1.10000
.77496
.164
-2.6717
.4717
-4.40000
*
.77496
.000
-5.9717
-2.8283
5.20000
*
.77496
.000
3.6283
6.7717
4.10000
*
.77496
.000
2.5283
5.6717
.80000
.77496
.309
-.7717
2.3717
1.10000
.77496
.164
-.4717
2.6717
-4.10000
*
.77496
.000
-5.6717
-2.5283
-3.30000
*
.77496
.000
-4.8717
-1.7283
KTPVF KTP Klasik Intrakompartemen Ekstrakompartem KTP Klasik Ekstrakompartemen en KTPVF Intrakompartemen
4.40000
*
.77496
.000
2.8283
5.9717
-.80000
.77496
.309
-2.3717
.7717
3.30000
*
.77496
.000
1.7283
4.8717
Tamha KTP Klasik KTP Klasik Ekstrakompartemen ne Intrakompartemen KTPVF Intrakompartemen
-5.20000
*
.74536
.000
-7.4059
-2.9941
KTPVF Ekstrakompartemen
KTPVF Ekstrakompartemen KTP Klasik KTP Klasik Intrakompartemen Ekstrakompartem KTPVF Intrakompartemen en KTPVF Ekstrakompartemen KTPVF KTP Klasik Intrakompartemen Intrakompartemen KTP Klasik Ekstrakompartemen KTPVF Ekstrakompartemen KTPVF KTP Klasik Intrakompartemen Ekstrakompartem KTP Klasik Ekstrakompartemen en KTPVF Intrakompartemen *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
-1.10000
.79232
.700
-3.4397
1.2397
-4.40000
*
.80554
.000
-6.7789
-2.0211
5.20000
*
.74536
.000
2.9941
7.4059
4.10000
*
.74312
.000
1.9011
6.2989
.80000
.75719
.887
-1.4431
3.0431
1.10000
.79232
.700
-1.2397
3.4397
-4.10000
*
.74312
.000
-6.2989
-1.9011
-3.30000
*
.80346
.004
-5.6729
-.9271
4.40000
*
.80554
.000
2.0211
6.7789
-.80000
.75719
.887
-3.0431
1.4431
*
.80346
.004
.9271
5.6729
3.30000
135
Lampiran 8 Analisis Statistik (Uji ANCOVA) Pengaruh Antar Seluruh Variabel terhadap Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:SkorMMP9 Type III Sum of Source
Partial Eta
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Squared
a
6
32.850
10.747
.000
.661
39.932
1
39.932
13.063
.001
.284
Usia
4.513
1
4.513
1.476
.233
.043
Sex
2.176
1
2.176
.712
.405
.021
.040
1
.040
.013
.909
.000
KTP
171.988
3
57.329
18.755
.000
.630
Error
100.874
33
3.057
Total
1411.000
40
297.975
39
Corrected Model
197.101
Intercept
Ukuran
Corrected Total
a. R Squared = .661 (Adjusted R Squared = .600)
Parameter Estimates Dependent Variable:SkorMMP9 95% Confidence Interval
Std. Parameter
B
Intercept
7.063
1.702
4.149
.000
3.600
10.527
.343
Usia
-.023
.019
-1.215
.233
-.062
.016
.043
Sex
.532
.630
.844
.405
-.750
1.813
.021
Ukuran
.017
.145
.115
.909
-.278
.311
.000
[KTP=1]
-4.329
.844
-5.131
.000
-6.045
-2.612
.444
[KTP=2]
.839
.795
1.056
.299
-.778
2.457
.033
[KTP=3]
-3.252
.812
-4.004
.000
-4.905
-1.600
.327
a
.
.
.
.
.
.
[KTP=4]
Error
0
t
Sig.
Lower Bound
Partial Eta
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
Upper Bound
Squared