IMPLEMENTASI PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 19 TAHUN 2011 DALAM PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Disusun Oleh: Nama : DIDIT AZHARI Nomor Induk Mahasiswa : 09.221.4250 Program Studi : Ilmu Hukum Konsentrasi : Hukum Kenegaraan
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA TAHUN 2012
HALAMAN PERSETUJUAN
IMPLEMENTASI PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 19 TAHUN 2011 DALAM PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
Penyusun:
Signed DIDIT AZHARI NIM: 09.221.4250
Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing,
Signed
Hj. TRI WAHYUNI HERUWATI, S. H., C. N. NIP: 1955121119870 3 2 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Signed and Stamped
BAKRI DENIN, B. E., S. H., M. H. NIP: 1949051019860 1 1 001
HALAMAN PENGESAHAN IMPLEMENTASI PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 19 TAHUN 2011 DALAM PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
Skripsi Ini Telah Dipertahankan Dihadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Pada Hari Senin, Tanggal 19 Maret 2012
Ketua,
Signed Hj. TRI WAHYUNI HERUWATI, S. H., C. N. NIP: 1955121119870 3 2 001 Anggota,
Anggota,
Signed
Signed
H. SUNARTA, S. H., M. Hum. NIP: 1963122819900 3 1 002
Hj. IPUK ISTIQOMAH, S. H., M. H. NPK: 510.810.228
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Signed and Stamped
BAKRI DENIN, B. E., S. H., M. H. NIP: 1949051019860 1 1 001
HALAMAN MOTTO
“EVERYDAY IS RACE, THE LAST BUT NOT LEAST” (Anonymous) “Setiap hari langkah kehidupan begitu cepat, bagaikan pembalap berebut dan melaju menjadi nomor satu, tetapi yang terakhir bukanlah yang terburuk.”
“SUCCESS IS THE ABILITY TO GO FROM ONE FAILURE TO ANOTHER WITH NO LOSS OF ENTHUSIASM” (Sir Winston Churchill, Great Britain Prime Minister on World War II) “Kesuksesan adalah kemampuan untuk beranjak dari suatu kegagalan ke kegagalan yang lain tanpa kehilangan keinginan untuk berhasil”
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur yang mendalam, dengan telah diselesaikannya Skripsi ini Penulis mempersembahkannya kepada: 1. Keluarga besar Penulis yang telah senantiasa membantu menyelesaikan Skripsi ini. 2. Segenap civitas akademika kampus Universitas Widya Mataram Yogyakarta, staf pengajar, karyawan, dan seluruh mahasiswa semoga tetap semangat dalam beraktivitas mengisi hari-harinya di kampus Universitas Widya Mataram Yogyakarta. 3. Teman-teman Penulis baik itu teman kuliah seangkatan, adik kelas, kakak kelas pada Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, maupun teman-teman dari fakultas dan universitas lain yang telah banyak memberi masukan, semangat, dan arahan hingga akhirnya dapat terselesaikan Skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan karya tulis
yang
berbentuk
Skripsi
ini
dengan
judul:
“IMPLEMENTASI
PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 19 TAHUN 2011 DALAM PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)”. Penyusunan Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta tempat dimana Penulis belajar ilmu hukum. Selain itu juga untuk menerapkan teori-teori yang pernah Penulis dapatkan selama mengikuti perkuliahan guna mengetahui pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Dalam penyusunan Skripsi ini, Penulis banyak memperoleh bimbingan, ide, bantuan, dorongan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini sudah selayaknya apabila Penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta beserta seluruh staf pengajar dan karyawan yang telah banyak memberikan berbagai pelayanan dan kemudahan selama Penulis mengikuti pendidikan.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta beserta staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan kemudahan serta bekal ilmu pengetahuan untuk mempelajari dan mendalami ilmu hukum selama Penulis mengikuti pendidikan. 3. Ibu Hajjah Tri Wahyuni Heruwati, S. H., C. N., selaku dosen pembimbing Skripsi yang telah banyak mamberikan bimbingan, nasehat, petunjuk, semangat, dan arahan kepada Penulis serta yang selalu terbuka menerima usulan dan ide dari Penulis dalam penyusunan Skripsi ini. 4. Bapak Santoso, S. E. selaku Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta beserta stafnya yang telah banyak membantu dan memberikan informasi dan data-data yang diperlukan Penulis dalam penyusunan Skripsi ini. 5. Keluarga besar dan teman-teman Penulis baik itu teman di Universitas Widya Mataram Yogyakarta maupun universitas lain yang telah memberikan doa restu dan dorongan baik secara moril maupun spirituil selama Penulis mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan. Yogyakarta, 19 Maret 2012 Penulis, Signed DIDIT AZHARI NIM: 09.221.4250
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................
v
KATA PENGANTAR.................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xiii
ABSTRAKSI/INTISARI ............................................................................
xiv
ABSTRACT/SUMMARY...........................................................................
xv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah....................................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................................
6
C. Tujuan Penelitian ..............................................................
7
D. Manfaat Penelitian ............................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................
9
A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik ..................................
9
B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Publik.............
13
1. Pengertian Implementasi Kebijakan .............................
13
2. Teori Implementasi Kebijakan .....................................
17
C. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta .............................................
20
1. Perubahan Pada Pasal 1 Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3) huruf j........................................
21
2. Kewenangan Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam
BAB III
Mengelola BPHTB.......................................................
23
D. Tinjauan Tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD).............
28
METODE PENELITIAN ...................................................
32
A. Jenis Penelitian .................................................................
32
B. Sumber Data .....................................................................
33
1. Subjek Penelitian ...........................................................
33
2. Objek Penelitian.............................................................
33
C. Lokasi Penelitian...............................................................
34
D. Responden ........................................................................
35
E. Metode Pengumpulan Data................................................
35
1. Observasi (Pengamatan).................................................
35
2. Document Research (Penelitian Kepustakaan)................
35
3. Indepth Interview (Wawancara Mendalam) ....................
36
F. Metode Analisis Data ........................................................
36
BAB IV
PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN......................
39
A. Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ...................................................................
39
1. Analisis Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010...................................................................
45
2. Analisis Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010...................................................................
48
3. Analisis Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011...................................................................
49
B. Evaluasi Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) .........................................
58
1. Faktor Pendukung .........................................................
59
2. Faktor Penghambat .......................................................
60
BAB V
PENUTUP............................................................................
62
A. Kesimpulan.......................................................................
62
B. Saran.................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
68
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel I
Proses Kebijakan Publik ........................................................
75
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Bagan Struktur Organisasi Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta ...............
75
ABSTRAKSI/INTISARI Berawal dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sejak Januari 2011 maka kini pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki pekerjaan baru sebagai pelimpahan dari pemerintah pusat. Kota Yogyakarta telah dinilai siap untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang BPHTB, dan petunjuk pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010, sehingga dinas yang melaksanakan pekerjaan tersebut yaitu Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota (DPDPK) Kota Yogyakarta sebagai ujung tombak dalam pengelolaan BPHTB di Kota Yogyakarta. Dalam melakukan tugas tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta yang didalamnya terdapat poin-poin perubahan pasal dalam rangka mengelola BPHTB. Penerimaan pajak daerah Kota Yogayakarta pada akhir tutup buku tahun 2010 tercapai melampaui target begitu pula tahun 2011 juga melampaui target yang ditetapkan. Penerimaan sampai bulan Desember 2011 mencapai Rp 158.724.247.821,- dari target yang ditetapkan yakni Rp 131.034.709.856 atau mencapai 121,13%, sehingga penelitian ini dilaksanakan untuk dalam rangka mengetahui implementasi atas diberlakukannya Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan uraian diatas maka Penulis memilih judul penelitian “Implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Dalam Pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)”. Bagaimana Implementasi Perwal tersebut dalam rangka meningkatkan PAD Kota Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, lokasi penelitian berada di Kantor Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta, teknik pengumpulan data dengan pengamatan, wawancara, dan studi pustaka. Jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Sedangkan analisisnya menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dari hasil evaluasi data dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan fungsi pengelolaan BPHTB oleh DPDPK Kota Yogyakarta tergolong sangat baik tercermin dengan pencapaian target yang melampaui target yang ditetapkan dan telah dikelolanya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) per Januari 2012, akan tetapi kuantitas dan kualitas pegawai DPDPK Kota Yogyakarta cenderung masih perlu untuk ditingkatkan, hal ini tercermin dari telah dilakukannya penyuluhan kepada masyarakat/wajib pajak pembayar BPHTB namun masyarakat/wajib pajak cenderung masih belum berkesadaran untuk membayar dan mengurus sendiri BPHTB yang dibayarnya. Kata Kunci: Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
ABSTRACT/SUMMARY Starting from the enactment of Act Number 28 Year 2009 on Regional Taxes and Levies, particularly in the management of Fees of Acquiring Land Rights and Buildings (BPHTB/Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) since January 2011 but now a local government district/municipality has a new job as a devolution of central government. Yogyakarta city has been judged ready to carry out such work with the issuance of Local Regulation of Yogyakarta Number 8 Year 2010 on BPHTB, and implementation instructions contained in the Mayor of Yogyakarta Regulation Number 102 Year 2010, so the agency is performing a task that the Regional Office of Tax and Financial Management of Yogyakarta as the spearhead in the management BPHTB in the city of Yogyakarta. In performing these duties the Mayor of Yogyakarta Regulation Number 19 Year 2011 regarding Amendment in the Mayor of Yogyakarta Regulation Number 84 Year 2008 regarding Function, Task Details, and Administration of Regional Office of Tax and Financial Management of Yogyakarta city in which there are points of article changes in order to manage BPHTB. Local tax receipts Yogayakarta City closing at the end of 2010 exceeded the target as well as achieved in 2011 also exceeded the target set. Acceptance until the month of December 2011 reached Rp. 158.724.247.821,- of the target set at Rp. 131.034.709.856,- or reach 121.13%, so that the research was conducted in order to know the implementation of the enactment of Mayor of Yogyakarta Regulation Number 19 Year 2011 in order to increase revenue. Based on the description above, the study authors chose the title “The Implementation of Mayor of Yogyakarta Regulation Number 19 Year 2011 in the Management of Acquisition Fees and Building Land Rights To Increase Revenue”. How this regulation implementation projects in order to increase the revenue of the city. This type of research is descriptive research, the study site is located in the Regional Office of Tax and Financial Management of Yogyakarta, data collection techniques by observation, interview and literature study. This type of data is primary data and secondary data. While the analysis using qualitative descriptive analysis. From the evaluation results can be concluded that the implementation of data management functions BPHTB by the city of Yogyakarta is in excellent as reflected by the achievement of targets over the target and has managed land and building tax (PBB/Pajak Bumi dan Bangunan) since January 2012, but the quantity and quality of employees Regional Office of Tax and Financial Management of Yogyakarta likely still need to be improved, it is reflected from has done outreach to the community/taxpayers paying BPHTB but the public/taxpayers are still not conscious tend to pay and manage their own BPHTB which he paid. Keyword: Fees of Acquiring Land Rights and Buildings (BPHTB/Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. Melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pemerintah pusat kembali mengeluarkan regulasi tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dengan UU ini maka telah dicabut UU Nomor 18 Tahun 1997, sebagaimana sudah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000. Berlakunya UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru di satu sisi akan memberikan keuntungan bagi daerah kabupaten/kota karena adanya sumbersumber pendapatan baru. Dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak yang dapat dipungut oleh kabupaten/kota ada 11 jenis pajak, dimana 8 pajak merupakan jenis yang lama dan 3 jenis pajak lainnya adalah jenis pajak baru, antara lain sebagai berikut: 1. Pajak Hotel; 2. Pajak Restoran; 3. Pajak Hiburan; 4. Pajak Reklame; 5. Pajak Penerangan Jalan; 6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 7. Pajak Parkir; 8. Pajak Air Tanah; 9. Pajak Sarang Burung Walet;
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan; 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Disebutkan juga secara eksplisit dalam Pasal 2 Ayat (3) bahwa daerah dilarang memungut pajak selain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Ini berarti bahwa jenis-jenis pajak yang bisa dipungut daerah bersifat terbatas dan tertutup. Daerah dilarang untuk menetapkan jenis pajak lain untuk memungutnya. Pajak-pajak jenis baru yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat dan yang kini diserahkan untuk dipungut dan dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, antara lain sebagai berikut: 1. Pajak Sarang Burung Walet; 2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan, dan; 3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan bertambahnya jenis pajak yang dikelola oleh daerah tersebut tentunya akan menambah sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) apabila potensi di daerah demikian besar, dan yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah mengenai BPHTB. Pengalihan kewenangan pengelolaan BPHTB dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dimulai pada tanggal 1 Januari 2011, ini berarti BPHTB akan menjadi pajak daerah sekaligus sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD). Sedangkan untuk pengelolan PBB masih akan dialihkan secara bertahap hingga 1 Januari 2014. Pengalihan kewenangan pengelolaan pajak ini dapat dikaitkan langsung dengan kebijakan otonomi daerah dimana penyelenggaraan
otonomi daerah memberikan indikasi bahwa daerah diharapkan dapat menggali potensi sumber-sumber keuangan sendiri dalam rangka membiayai urusan rumah tangganya. Hal ini dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dimana kewenangan kabupaten/kota tidak diatur, karena Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pemerintahan pada daerah kabupaten/kota, kecuali yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 95 Ayat (1), meskipun pemungutan BPHTB menjadi hak daerah, namun tanpa peraturan daerah (perda), pemerintah daerah tak boleh memungut BPHTB, dan yang menjadi salah satu problema yang dihadapi oleh pemerintah kabupaten/kota adalah tak semuanya siap menjadi pemungut pajak ini karena belum semua daerah kabupaten/kota memiliki perda BPHTB sebagai landasan untuk memungut dari masyarakat, salah satu kemungkinannya karena potensi BPHTB di suatu daerah itu terlalu kecil dalam menyumbang pemasukan PAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Mochamad Tjiptardjo, pemerintah daerah kabupaten/kota harus memiliki payung hukum pemungutan BPHTB berupa peraturan daerah atau perda. Selain itu, pemda juga harus menyiapkan sumber daya manusia dan prosedur pemungutan BPHTB. Pemerintah daerah yang belum memiliki perda hingga 1 Januari 2011 tidak berhak menagih BPHTB. Artinya, selama belum memiliki
perda yang mengatur BPHTB, maka Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di daerah tersebut sama saja gratis (Sumber: Surat Kabar Patroli Bangsa, 1 April 2011). Berdasarkan Pasal 95 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 andaikata suatu daerah baru memiliki perda pada bulan Februari 2011, maka transaksi atau perolehan tanah dan bangunan selama bulan Januari 2011 di daerah itu tidak bisa dikenai BPHTB. Disamping itu Perda BPHTB juga tidak boleh berlaku surut. Jadi, tak ada istilah BPHTB terutang, ini artinya bisa menjadi insentif bagi masyarakat di daerah tersebut. Pemerintah pusat juga menggariskan, Perda BPHTB tak boleh menetapkan tarif efektif melampaui tarif maksimum yang ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)/Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), dimana besaran NPOPTKP serendahrendahnya Rp. 60.000.000,- (Sumber: Pasal 87 dan 88 UU Nomor 28 Tahun 2009). Jika melihat ke belakang berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB, daerah tidak mendapat 100% penerimaan pajak ini. Pemerintah pusat membagikan 20% penerimaan BPHTB secara merata ke seluruh pemda, lalu 16% untuk provinsi dan kabupaten/kota tempat dipungutnya BPHTB. Kini, berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 BPHTB telah menjadi 100% hak pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjadi lokasi transaksi tanah dan/atau bangunan.
Kota Yogyakarta telah memiliki Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), ini artinya Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta telah siap untuk mengelola BPHTB dan potensi BPHTB di Kota Yogyakarta dianggap besar atau penting sebagai sumber penerimaan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Raperda BPHTB di Kota Yogyakarta telah masuk program legislasi daerah sebelum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 berlaku mulai 1 Januari 2011, yang berarti juga hubungan antara eksekutif dan legislatif di Kota Yogyakarta dapat dibilang harmonis dengan telah disahkannya perda tersebut. Menurut Kepala Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta Arbak Yhoga Widodo, S.E., M. M. pada tutup buku tahun 2010 realisasi pajak daerah Kota Yogyakarta tercapai 104,06% atau melebihi target dari yang ditentukan anggaran dimana mampu terealisasi Rp.78.254.579.242,- dari target sebesar Rp 75, 2 miliar. Sedangkan dari bagi hasil PBB dan BPHTB tahun 2010 tercapai 91,02% (Sumber: www. jogjakota.go.id, Rabu, 19 Januari 2011). Pajak daerah adalah penyumbang konstribusi paling besar dalam PAD Kota Yogyakarta, yaitu sekitar 42% (Sumber: Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2010). Sejak diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 per 1 Januari 2011, maka Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta mendapat tugas tambahan yaitu memungut dan mengelola
pendapatan pajak daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam melakukan pemungutan BPHTB di Kota Yogyakarta adalah menjadi wewenang Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta yang dalam menjalankan fungsi dan tugasnya berdasarkan pada Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 yang dimaksudkan khusus guna melaksanakan kewenangan pemungutan dan pengelolaan atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Yogyakarta. Hal merupakan sebuah tugas baru dan terinci dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3) huruf j, maka hal inilah yang akan Penulis teliti mengenai bagaimana implementasi Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengingat dalam menetapkan dan memungut BPHTB diperlukan sumber daya manusia dan prosedur pemungutan dan juga sejauh mana BPHTB memberikan kontribusi dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) sejak dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta sejak 1 Januari 2011.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan penjelasan yang diuraikan diatas, maka pertanyaan yang muncul berkenaan dengan substansi permasalahan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimanakah implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta? 2. Apakah ada kendala yang dihadapi dalam implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian. Adapun tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini dibagi menjadi tujuan objektif dan tujuan subjektif, antara lain sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif: a. Untuk mengetahui implementasi dari Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta.
b. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Subjektif: Guna melakukan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian. Kegunaan dari dilaksanakannya penelitian ini dikonsentrasikan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan yaitu antara lain sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan bacaan, referensi kajian dan rujukan akademis serta menambah wawasan bagi Penulis dalam perspektif analisis dan evaluasi sebuah peraturan khususnya peraturan walikota. 2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum kenegaraan dalam pembuatan peraturan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik. Ruang lingkup dari kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hierarkinya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota. Oleh karenanya dalam pembahasan kali ini Penulis akan menyajikan teori-teori kebijakan publik, teori implementasi kebijakan publik, pendekatan dalam studi kebijakan publik hingga proses kebijakan publik. Karena hakekatnya Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik. Menurut H. Hugh Heglo dalam Said Zainal Abidin (2004:21), buku yang berjudul Kebijakan Publik, menjelaskan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan James Anderson dalam Irfan Islamy (2000:4), buku yang berjudul Prinsip-Prinsip
Perumusan
Kebijaksanaan
Negara
mendefinisikan
kebijakan
sebagai
serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Dari kedua penjelasan diatas dapat ditarik konsep dasar bahwa kebijakan itu adalah prosedur memformulasikan sesuatu berdasarkan aturan tertentu yang kemudian digunakan sebagai alat untuk memecahkan permasalahan dan mencapai suatu tujuan. Dalam setiap kebijakan pasti membutuhkan orang-orang sebagai perencana atau pelaksana kebijakan maupun objek dari kebijakan itu sendiri, dimana pelaksana kebijakan memegang
peranan
penting
dalam
pelaksanaan
sebuah
kebijakan.
Sebagaimana penjelasan Irfan Islamy (2000:5) kebijakan adalah suatu program kegiatan yang dipilih oleh seorang atau sekelompok orang dan dapat dilaksanakan serta berpengaruh terhadap sejumlah besar orang dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Kebijakan dapat pula diartikan sebagai bentuk ketetapan yang mengatur yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan, jika ketetapan tersebut memiliki sasaran kehidupan orang banyak atau masyarakat luas maka kebijakan itu dikategorikan sebagai kebijakan publik. Hogwood dan Peters dalam Fadillah Putra (2001: 115-116), buku yang berjudul Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, menganggap ada sebuah proses linier pada sebuah kebijakan yaitu policy innovation – policy succession – policy maintenance – policy termination.
Policy
innovation
adalah
saat
dimana
pemerintah
berusaha
memasukkan sebuah permasalahan baru yang diambil dari hiruk pikuk kepentingan yang ada di masyarakat untuk kemudian dikonstruksi menjadi sebuah kebijakan yang relevan dengan konteks tersebut. Policy succession, setelah aspirasi itu ditangkap maka pemerintah akan mengganti kebijakan yang ada dengan kebijakan baru yang lebih baik dan tepat. Policy maintenance adalah sebuah pengadaptasian atau penyesuaian kebijakan baru yang dibuat tersebut untuk keep the policy on track agar kebijakan tersebut dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Policy termination adalah saat dimana kebijakan yang ada tersebut dan dianggap sudah tidak sesuai lagi maka kebijakan tersebut dihentikan. Terdapat berbagai macam strategi untuk menghentikan
kebijakan,
apakah
itu
dengan
mencabut
kebijakan,
membatalkannya, atau menggantinya dengan sebuah kebijakan baru. Substansi utama dari proses linier yang digagas oleh Hogwood dan Peters secara lugas mendeskripsikan kepada kita bahwa kebijakan publik merupakan siklus yang mekanistik, dimana teori tersebut merupakan sebuah siklus yang terus berputar terhadap sebuah kebijakan. Dalam konsep lainnya seorang pakar bernama William N. Dunn (1998), buku yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua, mengatakan proses analisis kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis itu nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sementara serangkaian proses yang berkaitan dengan kebijakan yaitu aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan sebagai aktivitas yang lebih bersifat intelektual, dapat diamati melalui Tabel I. Jika isu kebijaksanaan adalah usaha sistematis untuk merumuskan masalah, evaluasi program kebijaksanaan adalah usaha sistematis untuk menentukan tingkat seberapa jauh masalah telah secara nyata dapat diatasi. Salah satu perbedaan pokok antara keduanya terletak pada waktu. Isu kebijaksanaan disiapkan sebelum tindakan dilakukan (bersifat prospektif), sedangkan program evaluasi kebijaksanaan dibuat setelah diambilnya suatu kebijakan (retrospektif). Pandangan yang dikemukakan oleh William N. Dunn (dalam M. Irfan Islamy, 2000:169) inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk menilai hakekat pentingnya suatu evaluasi kebijakan. Lebih lanjut William N. Dunn menjelaskan bahwa evaluasi program kebijaksanaan dimulai dengan menjelaskan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam perumusan masalah, peramalan mengenai akibat-akibat dari alternatif, dan pembuatan usulan. Evaluasi program kebijaksanaan yang dirancang dengan berhasil membutuhkan cara penyusunan masalah yang kreatif, sikap alternatif kebijaksanaan yang baru, dan kerangka arah tindakan yang baru atau diperbaharui, meskipun evaluasi program kebijaksanaan normalnya berhenti pada pembuatan usulan yang eksplisit.
Berbagai argumentasi William N. Dunn diatas merupakan bahan pertimbangan yang menyebabkan Penulis lebih memilih untuk menggunakan metode-metode evaluasi kebijakan daripada analisis kebijakan. Karena dengan melakukan evaluasi kebijakan yang telah dikeluarkan, outputnya akan menghasilkan rekomendasi tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah maupun para pemangku kepentingan, maka tentunya sumbangsih terhadap pemerintah daerah akan jauh lebih konkrit. Sementara analisis kebijakan lebih bersifat peramalan (forecasting) yang belum dapat dipastikan hasilnya.
B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Publik. Pada dasarnya Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta sebagai variabel yang diteliti merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kebijakan yang ada. Untuk itulah
Penulis
menggunakan
teori-teori
implementasi
kebijakan
sebagai kerangka pikir dalam memahami makna dari variabel tersebut. Dan agar dapat dimaknai dengan benar, maka Penulis berupaya menjabarkannya dengan melakukan pemilahan makna dari setiap variabel yang dimaksud, antara lain sebagai berikut: 1. Pengertian Implementasi Kebijakan.
Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang. Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier dalam Solichin Abdul Wahab (1990:51) buku yang berjudul Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap undangundang atau peraturan yang bersangkutan. Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini rangkaian yang terstruktur memiliki makna bahwa dalam prosesnya implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrumen.
Dalam
menganalisis
implementasi
kebijakan
publik
selain
dipengaruhi oleh banyaknya aktor yang terlibat didalamnya terutama para stakeholder yang ikut berperan juga
dipengaruhi oleh
variabel
organisasional dari pelaksana kebijakan publik tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh A. G. Subarsono (2006:89) bahwa kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain. Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi kebijakan Lineberry dalam Fadillah Putra (2001:81) buku yang berjudul Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen antara lain sebagai berikut: a. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana; b. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (Standard Operating Procedures/SOP); c. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran; d. Pembagian tugas di dalam dan diantara dinas-dinas/badan pelaksana; e. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan. Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan tidak lebih dari suatu perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu, abstrak, dan konseptual. Oleh karena itu, setelah dilahirkannya sebuah kebijakan maka kebijakan itu akan masuk pada tahap implementasi agar dapat diketahui sejauh mana keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidakberhasilan kebijakan akan diketahui. Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (1997:59) buku yang berjudul Evaluasi Kebijakan Publik dengan tegas mengatakan bahwa the execution of policies is as important if not more important that policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakankebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Oleh
karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan. Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang dimaksud. Irfan Islamy (2000:28) mengatakan bahwa setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain pencapaian
tujuan
harus
diupayakan
pua
untuk
meminimalisir
ketidakpuasan (dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa yang akan datang. 2. Teori Implementasi Kebijakan. Sebagaimana
telah
dibahas
didalam
konsep
implementasi
kebijakan, terdapat berbagai variabel yang saling terikat, berinteraksi dan mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Keseluruhan variabel tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dan dapat menjadi faktor pendorong (push factor) maupun faktor penekan (pull factor). Oleh sebab itu para pengambil kebijakan (policy maker) hendaknya menyadari akan substansi dari berbagai faktor tersebut sebelum kebijakan diformulasikan dan diimplementasikan.
Menurut A. G. Subarsono (2006:89), buku yang berjudul Analisis Kebijakan Publik ada berbagai macam teori implementasi, seperti dari George C. Edwards III (1980), Merilee S. Grindle (1980), Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van Meter dan Van Horn (1975), Cheema dan Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999). Guna pembatasan teori implementasi dalam penelitian ini maka Penulis memilih untuk memaparkan beberapa teori yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari objek atau kebijakan publik yang diteliti, namun bukan berarti Penulis menjustifikasi bahwa teori-teori lain tidak lagi relevan dalam perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih kepada mengarahkan Penulis agar lebih fokus terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui penelitian ini, beberapa teori implementasi tersebut antara lain sebagai berikut: a. Teori Merilee S. Grindle. Keberhasilan sebuah implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation), dimana dikatakan oleh Merilee S. Grindle bahwa isi kebijakan (content of policy) terdiri dari kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksanaan program, dan sumber daya yang dilibatkan.
Sementara
lingkungan
implementasi
(context
of
implementation) mengandung unsur keleluasaan kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap. Kemudian cara untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan yang telah diimplementasikan, Merilee menjelaskan bahwa melalui indikator keberhasilan dalam implementasi kebijakan adalah dengan melihat konsistensi dari pelaksanaan program dan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. b. Teori Paul A. Sabatier dan Daniel A. Mazmanian. Teori lainnya yang tidak jauh berbeda dengan teori Merilee diatas ialah teori yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian (1987). Karena dalam teorinya mereka menjabarkan dua variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yang hampir identik dengan teori Merilee. Variabel pertama yaitu variabel daya dukung peraturan yang mencakup instrumen yang memiliki keterlibatan langsung dalam mempengaruhi suatu kebijakan. Dan variabel kedua ialah variabel non peraturan yang mengandung unsur yang mirip dengan penjelasan mengenai lingkungan implementasi Merilee. Variabel
tambahan
yang
diuraikan
oleh
Sabatier
dan
Mazmanian adalah adanya karakteristik dari suatu masalah yang akan mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan. Untuk itulah maka dipandang perlu untuk melakukan identifikasi masalah (problem identification), sebelum kebijakan diformulasikan. Karena dalam permasalahan sosial tertentu khususnya di masyarakat Indonesia yang
heterogen, seni dalam mengolah kebijakan harus benar-benar diperhatikan. Tidak jarang suatu kebijakan yang ditujukan demi kemaslahatan justru menimbulkan konflik baru yang tidak diramalkan, diakibatkan
para
pengambil
kebijakan
gagal
dalam
mengkarakteristikkan suatu masalah. Pemikiran Sabatier dan Mazmanian dalam Fadillah Putra (2003:89) buku yang berjudul Partai Politik dan Kebijakan Publik menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksanaannya memenuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis). Karena itu model top down yang mereka kemukakan lebih dikenal dengan model top down yang paling maju. Hal ini memang sangat relevan dengan konsep penelitian, DPDPK Kota Yogyakarta selaku instansi pelaksana kebijakan akan menjadi efektif apabila pelaksanaannya memenuhi apa yang telah digariskan peraturan petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis, dalam hal ini adalah Peraturan Walikota Nomor 102 Tahun 2010.
C. Tinjauan
Tentang
Implementasi
Kebijakan
Peraturan
Walikota
Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, Dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah Dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta.
Dalam setiap pengambilan keputusan hendaknya mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu yang diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang dalam hal ini UU Nomor 28 Tahun 2009 kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan, dan dalam hal ini adalah Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011. Dengan mendasarkan pada sejumlah teori dan konsep para ahli yang telah diuraikan diatas, maka kita dapat mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, yang dibuat oleh Walikota Yogyakarta berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting dalam mengatur tata pemerintahan maupun tata masyarakat yang dapat diamati pada beberapa hal antara lain sebagai berikut: 1. Perubahan Dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3) huruf j. Pasal 1 Ayat (1) huruf f berbunyi melaksanakan pendaftaran dan pendataan pengajuan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Ayat (2) huruf m berbunyi melaksanakan penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Ayat (3) huruf j
berbunyi melaksanakan penagihan dan keberatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sementara Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 bahwa Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dengan adanya pajak daerah ini sekaligus bermanfaat bagi pemerintah sebagai sumber pemasukan baru bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Pemerintah Kota Yogyakarta juga mempunyai tugas baru untuk mengelola jenis pajak daerah ini. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 85 ayat (2) meliputi antara lain sebagai berikut: a. Pemindahan hak karena: 1) Jual beli; 2) Tukar-menukar; 3) Hibah; 4) Hibah wasiat; 5) Waris; 6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; 7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8) Penunjukan pembeli dalam lelang; 9) Pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap; 10) Penggabungan usaha;
11) Peleburan usaha; 12) Pemekaran usaha, atau; 13) Hadiah. b. Pemberian hak baru karena: 1) Kelanjutan pelepasan hak, atau; 2) Diluar pelepasan hak. 2. Kewenangan Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam Mengelola BPHTB. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara rinci telah disebutkan pada Pasal 14 Ayat (1) kewenangan untuk daerah kabupaten/kota meliputi 16 kewenangan dan pada Ayat (2) urusan pemerintahan ada juga bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan dibidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Menurut Syaukani H. R., pada Jurnal Otonomi Daerah Nomor 3 (2001:10) menyatakan bahwa kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi tuntutan reformasi dan
demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya pemberdayaan daerah. Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Otonomi daerah sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat dan daerah. Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat, sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mengatur, mengurus, dan mengelola kepentingan aspirasi masyarakatnya sendiri. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi
dan
penghormatan
terhadap
budaya
lokal,
dan
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar inilah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk mengatur dan
melaksanakan
kewenangannya
atas prakarsa
sendiri dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya. Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, karena
pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah provinsi hanya diberi kewenangan sebatas yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dasar pemikiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut menunjukkan bahwa prinsip pemberian otonomi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah meliputi beberapa hal antara lain sebagai berikut: a. Mengutamakan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah; b. Otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab; c. Otonomi
daerah
yang
luas,
utuh
diletakkan
pada
daerah
kabupaten/kota, sedangkan daerah provinsi menunjukkan otonomi yang terbatas; d. Otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah; e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom oleh sebab itu di daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administratif; f. Pelaksanaan otonomi daerah lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah; g. Asas dekonsentrasi masih diberikan dan dilaksanakan di daerah provinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah; h. Tugas perbantuan dimungkinkan dari pemerintah kepada daerah maupun dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan
dengan
melaporkan
pelaksanaan
dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip otonomi yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yaitu otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, maka tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk mengantar masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik melalui kegiatan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pemberian pelayananan kepada masyarakat yang semakin dekat. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang terkandung dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 juga telah diatur dalam Pasal 11, urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan, sehingga ada keterkaitan, ketergantungan dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan
oleh sebab itu urusan pemerintahan ada yang wajib dan ada pilihan yang nantinya dalam pelaksanaannya akan diatur dengan peraturan pemerintah. Dari uraian secara mendalam tersebut maka dapat digambarkan bahwa kewenangan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengelola BPHTB
merupakan
kewenangan
penyelenggaraan
urusan
yang
dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai pemberdayaan daerah dalam rangka mencapai tujuan otonomi daerah dan pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Yogyakarta.
D. Tinjauan Tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, dimana kewenangan kabupaten/kota tidak diatur, dan sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pemerintahan pada daerah kabupaten/kota, kecuali yang telah diatur menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 sehingga penyelenggaraan otonomi daerah memberikan indikasi bahwa daerah diharapakan dapat menggali potensi sumber-sumber keuangan sendiri dalam rangka membiayai urusan rumah tangganya. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri oleh karena merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah. Untuk penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah. Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan (1994:208) buku yang berjudul Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan UUD 1945 mengatakan bahwa desentralisasi khususnya otonomi dimanapun tidak dapat dipisahkan dari masalah keuangan. Hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri menyiratkan makna membelanjai diri sendiri. Membelanjai diri sendiri atau pendapatan sendiri menunjukkan bahwa daerah (harus) mempunyai sumber pendapatan sendiri. Hal senada dikemukakan juga oleh Andi Mallarangeng (2001:132) buku yang berjudul Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis bahwa tidak ada masalah yang lebih besar dalam pemerintahan lokal selain kelangkaan sumber daya keuangan. Keuangan inilah yang sering menjadi penghalang mengimplementasikan beberapa program pembangunan penting. Dengan demikian peningkatan aministrasi pemerintahan dalam pembangunan ditingkat lokal tidak akan ada artinya tanpa tanpa adanya peningkatan keuangan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa pemerintahan daerah tidak terlepas dari masalah keuangan daerah, sehingga pemerintah daerah harus memacu upaya menggali sumber-sumber pendapatan karena seluruh kegiatan pemerintah daerah harus dibiayai oleh pemerintah daerah sendiri sesuai dengan kewenangan yang telah diserahkan. Oleh karena itu untuk memungut pendapatan yang legal harus dibuat instrumen hukumnya
yaitu peraturan daerah yang pada penetapannya harus mendapat persetujuan secara konstitusional dari lembaga legislatif/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bersangkutan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas mengatur tentang sumber pendapatan daerah dalam Pasal 79, sedangkan pada UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 sumber pendapatan daerah tercantum pada Pasal 157, antara lain sebagai berikut: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi: a. Hasil pajak daerah; b. Hasil retribusi daerah; c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan; d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah; 2. Dana perimbangan; 3. Pinjaman daerah, dan; 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sumber-sumber pendapatan daerah sebagaimana tersebut di atas juga ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 antara lain disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah antara lain sebagai berikut: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
2. Dana perimbangan; 3. Pinjaman daerah; 4. Lain-lain penerimaan yang sah. Penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan serta pemberian pelayanan kepada masyarakat dimasa yang akan datang semakin meningkat dan kompleks, yang membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu pemerintah daerah senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menggali dan meningkatkan penerimaan secara terus-menerus dan berkelanjutan agar konstribusinya semakin dominan dalam pembiayaan pemerintah daerah. Kenyataan yang kita hadapi saat ini bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dibuat pada masa otonomi daerah seperti sekarang ini dalam rangka untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tentu memerlukan kesiapan dari pemerintah daerah itu sendiri agar efektif baik dari segi sumber daya manusia maupun teknis dalam mengelola pekerjaan yang dulu dilakukan oleh pemerintah pusat dan kini dilimpahkan kepada pemerintah daerah sehingga implementasi dari peraturan
pelaksana
dari
undang-undang
tersebut
tidak
masyarakat dan sesuai dengan tujuan dibuatnya sebuah kebijakan.
membebani
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2006:11). Metode deskriptif dipilih karena Penulis ingin memperoleh gambaran atau deskripsi fenomena yang terjadi dalam pengimplementasian Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. Dengan menggunakan metode ini, Penulis berharap dapat mengetahui dan memahami serta mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai pelaksanaan dari kebijakan yang diteliti. Metode deskriptif diharapkan dapat mengungkap kondisi riil yang terjadi di masyarakat dan menyingkap fenomena yang tersembunyi (hidden values) dari seluruh dinamika masyarakat. Karena pada dasarnya penelitian ini akan menggambarkan dan melakukan eksplorasi secara mendetail mengenai permasalahan yang diteliti. Selain itu metode penelitian deskriptif yang mengartikulasikan hasil penelitian dalam bentuk data deskriptif (kata-
kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orangorang yang diteliti) akan lebih bermakna serta meyakinkan para pembuat kebijakan daripada pembahasan melalui angka-angka.
B. Sumber Data. 1. Subjek Penelitian. Penentuan subjek dari penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling dan incidental sampling. Metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel bertujuan, maksudnya ialah sampel yang dipilih oleh Penulis ialah orang-orang yang berkompeten dalam memberikan informasi. Selain itu sampel memiliki keterkaitan dengan masalah yang dikaji melalui penelitian.
Untuk itu subjek
penelitian ini yang dapat ditemui oleh Penulis, yaitu Bapak Santosa, S. E., selaku Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan pada Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. Kemudian untuk menentukan informan dari masyarakat peneliti menggunakan teknik incidental sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan. Sebagaimana penjelasan Sugiyono (2003:96), bahwa
incidental
sampling
yaitu
siapa
saja
yang
secara
kebetulan/insidental bertemu dengan Penulis dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. 2. Objek Penelitian.
Objek penelitian Penulis adalah Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta.
C. Lokasi Penelitian. Berdasarkan topik yang dikaji, maka lokasi penelitian ini ditetapkan pada Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta. Dalam penentuan lokasi penelitian, ada beberapa faktor yang dipertimbangkan oleh Penulis, terutama berkaitan dengan substansi dari lokasi penelitian dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Secara lengkap pemilihan instansi tersebut sebagai lokasi penelitian disebabkan oleh beberapa sebab, antara lain sebagai berikut: 1. Pemungutan dan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) melibatkan Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. 2. Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta merupakan instansi pelaksana dari Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. 3. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat diperoleh dengan mudah pada instansi yang akan menjadi lokasi penelitian.
D. Responden. 1. Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan Kantor Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. 2. Kemudian untuk menentukan responden dari masyarakat, Penulis menggunakan teknik sampling incidental yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan baik yang merupakan wajib pajak maupun pembayar BPHTB.
E. Metode Pengumpulan Data. Dalam setiap penelitian baik itu bersifat kualitatif maupun kuantitatif dibutuhkan
data-data
untuk
diolah
dan
dijadikan
kesimpulan
dari
permasalahan yang diteliti. Untuk itulah pada penelitian yang menggunakan teknik kualitatif ini, Penulis menggunakan beberapa cara guna mengumpulkan data-data, yaitu: 1. Observasi (Pengamatan). Observasi yaitu deskripsi secara sistematis tentang kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang dipilih untuk diteliti. 2. Document Research (Penelitian Kepustakaan).
Menurut Sugiyono (2007:82) dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, dan kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. 3. Indepth Interview (Wawancara Mendalam). Wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan dengan pihak yang berkompeten..
F. Metode Analisis Data. Penelitian ini menggunakan analisis Deskriptif Analitik, dimana rancangan
organisasional
dikembangkan
dari
kategori-kategori
yang
ditemukan dan hubungan-hubungan yang disarankan atau yang muncul dari data. Selanjutnya data yang diperoleh melalui sumber data primer dan sekunder tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut secara bertahap dan terus menerus, yaitu mulai sejak awal pengumpulan data hingga pengumpulan data berakhir. Proses analisis data tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain sebagai berikut:
1. Analisis pada tahap pertama dilakukan sejak awal pengumpulan data dengan maksud untuk mencari dan menentukan fokus serta untuk mempertajam pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara; 2. Analisis pada tahap kedua dilakukan setelah data yang telah banyak terkumpul. Penulis kemudian memilah-milah dan mengelompokkan data yang telah ada berdasarkan tema atau kategori-kategori yang telah ditentukan sebelumnya; 3. Analisis pada tahap ketiga dilakukan setelah semua data dianggap cukup, Penulis mulai melihat hubungan-hubungan antara tema atau fenomena secara menyeluruh dan sistematis, kemudian Penulis melakukan suatu kontekstualisasi antara tujuan dan target penelitian dengan berbagai macam temuan nyata atau riil yang ada di lapangan; 4. Setelah itu Penulis melakukan interpretasi dan melakukan evaluasi terhadap data yang ada untuk mendalami tentang implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. Dan hingga pada akhirnya Penulis memperoleh suatu kesimpulan atau penjelasan mengenai bagaimana implementasi dari kebijakan tersebut. Proses pengambilan kesimpulan dilakukan secara bertahap, dimulai dari kesimpulan yang bersifat longgar kemudian kesimpulan dianggap final ketika sudah ditemukan penjelasan mengenai hubungan kontekstual yang utuh dan memadai sesuai dengan
tujuan dan target studi yang didapat berdasarkan dari data yang telah disusun secara sistematis; 5. Hasil penelitian kemudian diungkapkan dalam bentuk Skripsi. Penulisan Skripsi tersebut dilakukan dengan cara sistematis dan mendetail agar mampu mengungkapkan evaluasi implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta.
BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
A. Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pusat perhatian yang pertama-tama dalam penelitian ini adalah mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang dalam masa otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti, idealnya
pelaksanaan
otonomi
daerah
harus
mampu
mengurangi
ketergantungan secara keuangan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah yang sebelumnya cenderung membebani Dana Alokasi Umum (DAU) dimana dana tersebut bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dialokasikan oleh pemerintah pusat. Dengan dikeluarkannya regulasi yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di daerah, pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara
maksimal khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan tentu saja dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dalam hal ini kewenangan memungut dan mengelola BPHTB yang menjadi unsur PAD yang utama di Kota Yogyakarta pada khususnya. Jika menilik sejarah BPHTB yang dimulai adanya Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291 yang berisikan bahwa pemungutan biaya balik nama yang diakibatkan atas pemindahan hak termasuk hibah wasiat dan harta tetap. Objek pajaknya adalah merupakan barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah yang pemindahan haknya dilakukan dengan Akta. Ordonansi tersebut tidak diberlakukan untuk Hak Agraris Eigendom menurut Pasal 51 Ayat Indische Staatsregeling, yaitu objek-objek yang terbatas pada titel hukum barat. Sementara itu, UU Nomor 50 tahun 1960 tidak mengenal hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291 tersebut karena dalam UUPA dikenal istilah unifikasi hukum. Oleh karena itu pada tahun 1961 bea tersebut tidak dapat dipungut. Namun dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu apabila melihat konsep tanah yaitu sebagai kebutuhan dasar (basic needs) untuk papan, lahan usaha, dan juga alat investasi yang menguntungkan, maka sewajarnya bagi yang memperoleh hak atas tanah baik
seseorang maupun badan hukum yang memperoleh hak atas tanah dapat memberikan kontribusi kepada negara dengan membayar pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, sedangkan pajak itu sendiri adalah pungutan yang merupakan hak preogratif pemerintah, dimana pungutan tersebut harus berdasarkan undangundang yang dapat dilakukan secara paksa kepada subjek pajak dengan tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan/dirasakan pengunaannya. Sementara itu yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Pengenaan atas pajak tersebut pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku hak atas tanah meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan. Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan hak pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 3 Ayat (2) jo. PP Nomor XX/2000 Kep. Men. Keu Nomor XX/KMK.04/2000. Hal ini diatur agar lebih memberikan rasa keadilan. Dimana saat pewaris meninggal dunia pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris termasuk objek pajak. Hibah wasiat
merupakan penetapan wasiat khusus yang berlaku pada saat pemberi wasiat meninggal dunia. Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga yang tidak mampu atau badan sebagai penghargaan. Jenis hak atas tanah yang dikenakan BPHTB adalah jenis hak yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dan UU Nomor 16 Tahun 1985. Jenis hak yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 adalah meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, sedangkan jenis hak yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 1985 adalah hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan. Sedangkan objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) jo Kep.Men.Keu No.XX/KMK.04/2000 yang meliputi antara lain sebagai berikut: 1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; 2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; 3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi; 4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; 5. Orang pribadi atau badan karena wakaf; 6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Terdapat 3 macam perbedaan antara ketentuan yang terkandung dalam UU Nomor 20 Tahun 2000 (UU BPHTB) dan UU Nomor 28 Tahun 2009 (UU PDRD) antara lain, dalam hal tarif dalam UU BPHTB dikenakan tarif tunggal 5%, sedangkan dalam UU PDRD paling tinggi 5%, kemudian untuk Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dalam UU BPHTB paling banyak Rp. 300.000.000,- untuk waris dan hibah wasiat, dan paling banyak Rp. 60.000.000,- untuk selain waris dan hibah wasiat, sedangkan dalam UU PDRD paling rendah Rp. 300.000.000,- untuk waris dan hibah wasiat, dan paling rendah Rp. 60.000.000,- untuk selain waris dan hibah wasiat, dan yang terakhir adalah cara menghitung BPHTB terutang dalam UU BPHTB 5% x (NPOP-NPOPTKP) sedangkan dalam UU PDRD 5% (maksimal) x (NPOP-NPOPTKP). Sedangkan untuk dasar pengenaan BPHTB ada 3 dasar antara lain sebagai berikut: 1. Harga Transaksi, yaitu untuk jual beli, penunjukan pembeli dalam lelang; 2. Nilai Pasar, yaitu untuk tukar menukar, hibah, pemberian hak baru, hibah wasiat, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan lain lain; 3. NJOP PBB, hal ini apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP PBB. (Untuk di Kota Yogyakarta NJOP PBB telah ditetapkan oleh DPDPK Kota Yogyakarta sejak 1 Januari 2012). Jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB, daerah tidak mendapat 100% penerimaan pajak ini. Pemerintah pusat
membagikan 20% penerimaan BPHTB secara merata ke seluruh pemda, lalu 16% untuk provinsi dan kabupaten/kota tempat dipungutnya BPHTB. Kini, berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 BPHTB telah menjadi 100% hak pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjadi lokasi transaksi tanah dan/atau bangunan. Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, UU Nomor 28 Tahun 2009 yang disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 15 September 2009 diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Kemudian untuk melaksanakan salah satu materi dari UU tersebut yaitu BPHTB di Kota Yogyakarta dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang BPHTB yang petunjuk pelaksanaan perda tersebut dituangkan dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010 dan DPDPK Kota Yogyakarta sebagai instansi yang berwenang untuk memungut dan mengelola BPHTB tertuang dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011. Untuk dapat mengetahui bagaimana implementasi dari Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 dalam pengelolaan BPHTB untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka harus meneliti secara runtut mulai dari UU Nomor 28 Tahun 2009 yang telah Penulis jelaskan secara umum, selanjutnya Perda Nomor 8 Tahun 2010, kemudian Peraturan Walikota Nomor 102 Tahun 2010, setelah itu Penulis kemudian
dapat masuk untuk meneliti secara mengerucut pada Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 mengenai pelaksanaan rincian tugas dari Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta sebagai instansi yang berwenang dan ujung tombak dari pengeloaan BPHTB. Sedangkan rumus untuk pengenaan Besaran BPHTB berdasarkan Pasal 2 Ayat (4) Perwal Nomor 102 Tahun 2010 yang wajib dibayar dihitung sendiri oleh wajib pajak (self assessment) adalah dengan cara sebagai berikut: ( (NPOP – NPOPTKP) x Tarif ) x prosentase pengenaan (Contoh terlampir pada Lampiran). 1. Analisis Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010. Penulis terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap waktu disahkannya beberapa peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan BPHTB, dalam Pasal 185 UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010 dan dalam Pasal 180 Ayat (6) menyatakan bahwa UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009, artinya sejak 1 Januari 2011 BPHTB telah menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk memungut dan mengelolanya dimana sebelumnya merupakan pekerjaan yang dilakukan pemerintah pusat. Berdasarkan hal tersebut Pemerintah Kota Yogyakarta dapat dikatakan telah siap untuk mengelola dan memungut BPHTB. Hal ini
tercermin dari dilahirkannya Perda Nomor 8 Tahun 2010, yang ditetapkan tanggal 28 Desember 2010 karena berdasarkan Pasal 2 Ayat (4) UU Nomor 28 Tahun 2009 pemerintah kabupaten/kota dapat saja untuk tidak memungut BPHTB apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah, dan dengan telah adanya perda yang mengatur BPHTB artinya Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki kewenangan penuh untuk mengelola BPHTB. Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk produk hukum peraturan perundang-undangan tertinggi di daerah, oleh karena itu dalam proses pembuatan peraturan daerah harus sesuai dengan asas-asas perundang-undangan yang baik, agar sempurna teknik penyusunannya, terjaga keabsahan penerbitannya, diakui secara formal dan dapat berlaku efektif serta diterima oleh masyarakat. Pasal 69 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa kepala daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 Ayat (1) menyatakan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan sampai disini Penulis telah mendapat kesimpulan pertama bahwa Pemerintah Kota
Yogyakarta telah siap untuk mengelola BPHTB per 1 Januari 2011 dengan payung hukum berupa perda, dan Kota Yogyakarta memiliki potensi BPHTB sesuai yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Peraturan daerah sebagai payung hukum yang diamanatkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dalam penyelenggaraanya bertujuan untuk mengatur substansi materi muatannya dan Perda Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 telah berdasarkan peraturan yang lebih tinggi (tingkat pusat), lain halnya dengan UU PDRD yang lama yaitu UU Nomor 34 Tahun 2000 dimana pemerintah kabupaten/kota dibebaskan untuk menentukan jenis pajak dan retribusi lain (open list) diluar yang sudah ditetapkan dalam UU dan pemerintah daerah (pemda) dapat menambahkan jenis pajak dan retribusi baru sesuai dengan potensi daerah. Menurut Penulis hal ini merupakan sebuah kemajuan karena apabila pemda diberi kelonggaran untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi yang lain selain yang telah ditetapkan dalam UU dapat saja jenis pajak dan retribusi itu justru membebankan dunia usaha, karena didalam peraturan daerah yang dibentuk untuk menyelenggarakan otonomi daerah objek pengaturannya tidak saja meliputi yang bersifat substantif tetapi juga bersifat teknis tata cara pelaksanaannya. Sesuai Pasal 88 Ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 daerah tidak boleh menetapkan tarif efektif melampaui tarif maksimum yang ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), namun berdasarkan Pasal 9 Ayat (2) Perda Nomor 8 Tahun 2010, dikecualikan untuk
perolehan secara waris dan hibah wasiat hanya ditetapkan sebesar 2,5%. Menurut Penulis hal ini merupakan sebuah dasar sosial kemanusiaan sesuai kearifan lokal, karena perbuatan hukum waris dan hibah wasiat merupakan perbuatan hukum yang lebih bersifat kekeluargaan dan kurang bernilai ekonomis, sehingga wajar apabila dikenakan tarif dibawah ketentuan maksimal berbeda ketika BPHTB masih dikelola pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak dimana tarif maksimum tetap 5% untuk waris dan hibah wasiat. Sedangkan untuk penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak tetap sesuai dengan Pasal 87 Ayat (4) dan (5) UU Nomor 28 Tahun 2009 dimana untuk setiap perolehan hak dikenakan paling rendah Rp. 60.000.000,- dan khusus untuk waris dan hibah wasiat paling rendah Rp. 300.000.000,-. 2. Analisis Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010. Setelah Penulis menganalisis terhadap Perda Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010, kemudian Penulis meneliti peraturan turunannya yaitu Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010 yang mengatur mengenai petunjuk pelaksanaan dari Perda Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010. Karena apabila melihat pembentukan peraturan daerah adalah dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah, maka peraturan daerah sebagai penjabaran atau pelaksanaan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi bertujuan untuk memberi pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaannya di daerah.
Peraturan
Walikota
Yogyakarta
Nomor 102
Tahun
2010
didalamnya mengatur tata cara pengenaan BPHTB, dimana berdasarkan peraturan walikota tersebut maka terdapat berbagai macam prosentase pengenaan sebagai contoh didalam Pasal 2 Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010 mengenai prosentase pengenaan BPHTB terdapat beberapa bagian antara lain sebagai berikut: a. 0% (nol persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas); b. 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud pada huruf a. Dan pengenaan BPHTB untuk wajib pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah juga sebesar 50% (lima puluh persen); c. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai bentuk penyertaan modal dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah kepada wajib pajak Badan Usaha Milik Daerah dikenakan BPHTB sebesar 0 % (nol persen). 3. Analisis Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011.
Setelah memahami kedua analisis diatas, maka Penulis dapat masuk ke tahap berikutnya untuk meneliti implementasi Perwal Nomor 19 Tahun 2011, yang merupakan bagian inti dari penelitian. Penulis telah melakukan pengumpulan data dengan metode pengamatan pada Kantor DPDPK di Komplek Balaikota Yogyakarta, wawancara dengan Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan DPDPK Kota Yogyakarta, studi pustaka pada berbagai peraturan yang berkaitan pengelolaan BPHTB di Kota Yogyakarta, dan wawancara dengan beberapa responden yang melakukan pembayaran
dan
pelaporan
BPHTB.
Fokus
penelitian
terhadap
implementasi Perwal Nomor 19 Tahun 2011 Penulis kerucutkan pada perubahan dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3) huruf j, yang antara lain sebagai berikut: a. Pasal 1 ayat (1) huruf f
berbunyi, melaksanakan pendaftaran dan
pendataan pengajuan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); b. Ayat (2) huruf m berbunyi, melaksanakan penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); c. Ayat (3) huruf j berbunyi, melaksanakan penagihan dan keberatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Untuk memperoleh data atas implementasi dari ketiga perubahan yang ada dalam Perwal Nomor 19 Tahun 2011 tersebut, Penulis menggunakan beberapa cara untuk memperoleh data, antara lain sebagai berikut:
a. Observasi (Pengamatan). Ketika Penulis mengunjungi Kantor DPDPK Kota Yogyakarta yang terletak didalam Komplek Balaikota Yogyakarta, kondisi sarana dan prasarana dalam pelayanan pembayaran dan pelaporan BPHTB tersedia sangat baik dimana masyarakat pembayar BPHTB dapat membayar pada loket BPD DIY yang tersedia didalam Gedung Dinas Perijinan Kota Yogyakarta. Sehingga masyarakat pembayar BPHTB setelah membayar dapat langsung melaporkan atau mengajukan permohonan validasi (penelitian) terhadap BPHTB yang dibayarnya. Disamping itu karena pelayanan pembayaran BPHTB tersedia dalam satu tempat dengan jenis pelayanan masyarakat yang lainnya, maka memudahkan masyarakat untuk dapat mengurus keperluan yang lain yang berhubungan dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam sekali kunjungan ke Komplek Balaikota, dan kondisi Gedung Dinas Perijinan terasa sangat nyaman yang dilengkapi dengan ruang tunggu ber-AC, pengambilan nomor antrian secara elektronik, dan tersedianya tempat untuk foto kopi berkas-berkas yang diperlukan. b. Document Research (Penelitian Kepustakaan). Penulis juga mendapatkan berbagai dokumen seperti bukubuku yang berisi mengenai kumpulan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta seperti Perda Nomor 8 Tahun Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dapat dipinjam di Perpustakaan Bagian Hukum Komplek Balaikota
Yogyakarta dan salinan berbagai macam Peraturan Walikota Yogyakarta seperti Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta, Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta, dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), maupun salinan contohcontoh formulir pelaporan BPHTB dan gambar bagan struktur organisasi DPDPK Kota Yogyakarta pada Sekretariat Kantor DPDPK Kota Yogyakarta dengan menunjukkan Surat Ijin Penelitian yang Penulis dapatkan dari Dinas Perijinan Kota Yogyakarta. Disamping itu untuk melengkapi bacaan dalam proses penelitian ini Penulis juga meminjam buku dengan mendaftar sebagai anggota pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Indepth Interview (Wawancara Mendalam). Wawancara secara mendalam yang Penulis lakukan pada hari Kamis, tanggal 5 Januari 2012 dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi atas perubahan atas fungsi, rincian tugas, dan
tata kerja (rintuk) DPDPK Kota Yogyakarta sebagaimana tertuang dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun dimana yang berhasil Penulis temui pada waktu itu adalah Bapak Santoso, S. E. selaku Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan DPDPK Kota Yogyakarta yang berkantor di lantai 2 pada Gedung Dinas Perijinan Kota Yogyakarta, adapun hasil wawancaranya setelah Penulis rangkum menjadi 4 sesi, adalah sebagai berikut: 1) Sumber Daya. DPDPK Kota Yogyakarta menyatakan telah siap dan memang harus siap dalam mengelola BPHTB, dengan personil 70 orang yang melaksanakan tugas pengelolaan pajak daerah dan 15 orang diantaranya yang secara intensif mengelola BPHTB disamping mengelola jenis pajak daerah yang lain. Hal ini secara umum memang tercermin dengan capaian tutup buku tahun 2010 realisasi pajak daerah tercapai 104,06% atau melebihi target yang ditentukan oleh anggaran dimana mampu tercapai target Rp. 78.254.579.242,- dari target sebesar 75,2 miliar.dan bagi hasil dari PBB dan BPHTB pada tutup buku tahun 2010 tercapai 91,02% sedangkan pada tutup buku tahun 2011 juga melampaui target yang ditetapkan, dimana penerimaan sampai bulan Desember 2011 mencapai Rp. 158.724.247.821,- dari target yang ditetapkan yakni Rp. 131.034.709.856 atau mencapai 121,13%.
Realisasi penerimaan pajak daerah yang mencapai 121,13% dari target yang ditetapkan ini berasal dari hasil pajak daerah sebesar Rp. 120.578,636,794,- dan bagi hasil pajak sebesar Rp 38, 145, 611,027,- dimana target yang ditetapkan untuk hasil pajak daerah adalah Rp. 101.349.000.000,- dan target bagi hasil pajak adalah Rp. 29.685.709.856,-. Secara
rinci
120.578,636,794,-
ini
hasil
pajak
berasal
dari
yang
mencapai
Pajak
Hotel
Rp. Rp.
37.861.435.936,-, Pajak Restoran Rp. 13.817.217.336,-, Pajak Hiburan Rp. 4.684.984.072,-, Pajak Reklame Rp. 5.439.731.728,Pajak Penerangan Jalan Rp. 23.857.657.765,-, Pajak Parkir Rp. 776.411.843,-, Pajak Air Tanah Rp. 318.039.903,- Pajak Sarang Burung Walet Rp. 3.050.000,- dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp. 33.820.108.301,-. Sementara itu dari bagi hasil pajak yang diperoleh melalui bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp. 38.145.611.027,-. Hal ini juga merupakan cerminan atas ketaatan warga masyarakat Kota Yogyakarta dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak dan tentunya perolehan pajak daerah ini akan sangat bermanfaat bagi pembangunan
Kota Yogyakarta,
dan
mulai Januari 2012
pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga telah dilakukan oleh DPDPK Kota Yogyakarta. Capaian dan tahapan maju mengelola PBB tersebut merupakan cerminan prestasi mengingat
pengelolaan PBB yang dilakukan secara bertahap dari pemerintah pusat kepada daerah, namun Pemerintah Kota Yogyakarta telah melakukan pengelolaan pada Januari 2012 disamping itu pajak daerah merupakan penyumbang kontribusi paling besar dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta yaitu sekitar 42%. Sumber daya anggaran yang ada pada DPDPK Kota Yogyakarta dalam melaksanakan implementasi Perwal Nomor 19 Tahun 2011 dimana sebelum perubahan sekitar senilai 19,4 miliar dan realisasi setelah perubahan pada tahun 2011 meningkat menjadi senilai 33 miliar untuk mengelola BPHTB dan jenis pajak daerah yang lain. Untuk sumber daya peralatan terjadi penambahan berbagai jenis antara lain aplikasi, meteran, blangko, dan lain-lain sebagai penunjang sarana dan prasarana pengelolaan dan validasi (penelitian) BPHTB yang dimohonkan oleh wajib pajak. Dalam pelaksanaan sumber daya manusia, anggaran, dan peralatan tersebut diatas memang menemui berbagai macam kendala antara lain dimana wajib pajak tidak mengajukan permohonan yang dilampiri persyaratan yang lengkap seperti sket lokasi dan mengisi formulir/blangko BPHTB sesuai dengan harga perolehan dan keadaan yang sebenarnya, sehingga apabila menimbulkan kecurigaan seperti luas bangunan yang jauh lebih
kecil daripada luas tanah perlu dilakukan cek lapangan, namun segala kendala dan persoalan yang terjadi tetap bisa terpecahkan. 2) Personil. Langkah aparatur DPDPK Kota
Yogyakarta
dalam
mengkomunikasikan mengenai pengelolaan BPHTB oleh DPDPK kepada masyarakat telah dilakukan penyuluhan disetiap kelurahan atau RT/RW diseluruh Kota Yogyakarta yang terakhir dilakukan pada bulan Mei 2011 dan berencana akan melakukan penyuluhan kepada masyarakat lagi pada bulan Maret 2012. Dengan dilakukan penyuluhan tersebut berarti aparatur DPDPK telah memahami dan mendalami dari aspek pengelolaan BPHTB dimana sebelumnya dikelola pemerintah pusat, dimana daerah tidak mengetahui bagaimana pemerintah pusat dalam mengelola jenis pajak tersebut. 3) Kinerja Kebijakan. Bentuk pelayanan yang diberikan oleh DPDPK Kota Yogyakarta seperti tertuang dalam poin perubahan pasal dalam perwal tersebut tentu saja melaksanakan pendaftaran dan pendataan pengajuan permohonan BPHTB oleh wajib pajak, menetapkan penetapan BPHTB yang harus dibayar, dan melaksanakan penagihan dan keberatan atas BPHTB meskipun di Negara Indonesia menganut sistem self assessment dimana wajib pajak berhak untuk menghitung sendiri pajak yang harus dibayar, namun
apabila tidak sesuai dengan kenyataan seperti nilai perolehan maupun luasan yang tidak sesuai maka DPDPK Kota Yogyakarta dapat melakukan penagihan dan apabila wajib pajak keberatan maka dapat mengajukan keberatan atas nilai BPHTB tersebut. Harapan di masa mendatang pengelolaan BPHTB tentu saja tetap akan dilakukan oleh DPDPK Kota Yogyakarta, namun apabila terjadi perubahan atas UU Nomor 28 Tahun 2009, hal itu menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat. 4) Kelompok Sasaran. Rekomendasi atau saran dari DPDPK Kota Yogyakarta kepada masyarakat wajib pajak pembayar BPHTB agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat meningkat adalah dalam mengisi nilai perolehan untuk tetap mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada PBB dimana dengan telah dilakukannya pengelolaan PBB oleh DPDPK Kota Yogyakarta sejak Januari 2012 maka NJOP juga ditetapkan oleh DPDPK Kota Yogyakarta. Pemantauan atas hal itu adalah dengan dilakukannya pengecekan lapangan. Sedangkan respon masyarakat atau wajib pajak pembayar BPHTB selama ini memang terdapat keluhan atau protes terutama dari segi ketepatan waktu selesainya validasi (penelitian) yang dilakukan oleh DPDPK Kota Yogyakarta. Hal ini sangat tergantung dari banyaknya permohonan yang masuk. Persoalan ketepatan waktu ini memang belum bisa diukur dari segi apapun,
apabila memang permohonan itu telah lengkap dan tidak menimbulkan kecurigaan maka akan selesai dalam waktu singkat, namun apabila sebaliknya akan dilakukan pengecekan lapangan dimana waktu penyelesaiaannya belum dapat diukur dan sangat tergantung dari jumlah permohonan. Disamping itu selama ini mayoritas yang mengurus validasi (penelitian) untuk datang ke Kantor DPDPK Kota Yogyakarta adalah pegawai kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengurus berbagai macam jenis perolehan kecuali perolehan karena turun waris, sedangkan untuk perolehan karena turun waris seringkali juga dilakukan oleh pegawai kelurahan atau kecamatan. Hal ini dapat dilihat apabila dalam permohonan tersebut menggunakan surat kuasa mengurus, bukan atas nama wajib pajak itu sendiri. DPDPK Kota Yogyakarta sendiri tidak begitu mempersoalkan mengenai siapa yang mengurus meskipun berbagai penyuluhan telah dilakukan kepada masyarakat, karena hal tersebut merupakan lahan tersendiri daripada stakeholder yang berkaitan dengan BPHTB, dan DPDPK Kota Yogyakarta tidak dapat untuk memerintahkan wajib pajak untuk mengurus sendiri pajak yang dibayarkannya.
B. Evaluasi Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Evaluasi terhadap kebijakan publik dimulai dengan menjelaskan usaha-usaha yang telah dilakukan guna mencapai tujuan dari dikeluarkanya kebijakan tersebut, seperti Penulis telah jelaskan bahwa DPDPK Kota Yogyakarta telah melakukan berbagai macam usaha yang diantaranya penyuluhan kepada masyarakat, dan hasil dari usaha tersebut memang membuahkan prestasi dimana penerimaan pajak daerah Kota Yogyakarta tercapai melampaui target yang diharapkan. Kemudian dari evaluasi terhadap pelaksanaan implementasi kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011, Penulis membagi menjadi dua bagian evaluasi yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat berdasarkan data yang Penulis peroleh di lapangan, antara lain sebagai berikut: 1. Faktor Pendukung. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap responden, ditemukan berbagai faktor pendukung dalam implementasi Perwal Nomor 19 Tahun 2011. Faktor-faktor ini dapat terjadi baik secara internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh DPDPK Kota Yogyakarta. Kemudian faktor eksternal aspek yang bersumber dari luar DPDPK Kota Yogyakarta seperti masyarakat atau wajib pajak yang mengurus datang ke Kantor DPDPK Kota Yogyakarta.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara ditemukan faktorfaktor tersebut yang meliputi antara lain sebagai berikut: a. Adanya kesadaran dari pegawai DPDPK Kota Yogyakarta dalam menjalankan peran dan fungsinya yang melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya; b. Penggunaan anggaran untuk kebutuhan sarana dan prasarana pengelolaan BPHTB, dukungan dan kerjasama dari pegawai yang cukup solid; c. Hubungan baik vertikal maupun horizontal berjalan dengan baik dalam tubuh organisasi sehingga tercipta suasana harmonis; d. Kesadaran dan partisipasi masyarakat cenderung dianggap sangat baik dalam membayar BPHTB. 2. Faktor Penghambat. Apabila dikonfirmasi antara data hasil wawancara dengan kenyataan di lapangan dapat diketahui bahwa dalam implementasi Perwal Nomor 19 Tahun 2011 terdapat beberapa hambatan utama yang juga terdiri dari faktor internal dan eksternal antara lain sebagai berikut: a. Kurangnya ketepatan waktu proses penyelesaian validasi (penelitian) BPHTB yang dilakukan DPDPK Kota Yogyakarta terlebih apabila dilakukan pengecekan lapangan; b. Jumlah pegawai DPDPK Kota Yogyakarta yang relatif sedikit bila dibanding kebutuhan kerja dalam mengelola BPHTB dan jenis pajak yang lain di wilayah Kota Yogyakarta terutama dalam ketepatan waktu
penyelesaian penelitian/validasi terlebih lagi apabila melakukan pengecekan
lapangan
dan
berbagai
penyuluhan
sehingga
mempengaruhi efesiensi kerja, utamanya dalam mengejar kualitas kerja; c. Kesadaran masyarakat atau wajib pajak pembayar BPHTB dalam mengurus pajak yang dibayarnya cenderung masih mengandalkan pegawai PPAT maupun pegawai kecamatan atau kelurahan meskipun telah dilakukan penyuluhan kepada masyarakat, hal ini dapat mendorong munculnya makelar yang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan kalangan bisnis yang berupaya mendapatkan keuntungan dengan memperkecil jumlah pajak yang seharusnya disetorkan kepada negara/daerah.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab I sampai dengan Bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai implementasi Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 antara lain sebagai berikut: 1. Implementasi Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 mengenai Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, Tata Kerja pada Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta terutama perubahan yang berkaitan dengan pengelolaan BPHTB yaitu pada ketentuan Pasal 10 Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3) huruf j, dapat dikategorikan tergolong sangat baik dan bisa dibilang dahsyat atau fantastis. Hal ini tercermin apabila melihat dari pencapaian target pajak daerah secara keseluruhan akhir tahun 2010 yang mencapai 104,06% dan akhir tahun 2011 mencapai 121,13% atau terus melebihi target dalam meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), karena tidak semua kabupaten/kota diseluruh Indonesia mampu untuk mencapai target penerimaan pajak daerah yang telah ditetapkan. Secara rinci penerimaan sampai bulan Desember 2011 mencapai Rp. 158.724.247.821,- dari target yang ditetapkan yakni Rp. 131.034.709.856 atau mencapai 121,13%. Realisasi penerimaan pajak daerah yang mencapai 121,13% dari target
yang ditetapkan ini berasal dari hasil pajak daerah sebesar Rp. 120.578,636,794,- yang salah satunya termasuk BPHTB dan bagi hasil pajak sebesar Rp. 38, 145, 611,027,- dimana target yang ditetapkan untuk hasil pajak daerah adalah Rp. 101.349.000.000,- dan target bagi hasil pajak adalah
Rp
29.685.709.856,-.
Hasil
pajak
yang
mencapai
Rp.
120.578,636,794,- tersebut terdiri dari Pajak Hotel Rp. 37.861.435.936,-, Pajak Restoran Rp. 13.817.217.336,-, Pajak Hiburan Rp. 4.684.984.072,-, Pajak Reklame Rp. 5.439.731.728,- Pajak Penerangan Jalan Rp. 23.857.657.765,-, Pajak Parkir Rp. 776.411.843,-, Pajak Air Tanah Rp. 318.039.903,-, Pajak Sarang Burung Walet Rp. 3.050.000,-, dan yang terakhir dan menjadi fokus penelitian ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan mencapai Rp. 33.820.108.301,-. Sementara itu dari bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp. 38.145.611.027,-. Dari uraian diatas maka dapat dilihat bahwa BPHTB menempati urutan kedua terbesar dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setelah Pajak Hotel. Peningkatan jumlah penerimaan pajak daerah tersebut tentu akan sangat bermanfaat bagi pembangunan di Kota Yogyakarta. Apabila mengingat definisi pajak itu sendiri yang merupakan pungutan yang menjadi hak preogratif pemerintah, dimana pungutan tersebut harus berdasarkan undang-undang dalam hal ini UU Nomor 28 Tahun 2009 yang dapat dilakukan secara paksa kepada subyek pajak dengan tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan/dirasakan pengunaannya, maka peningkatan pendapatan melalui sektor pajak daerah ini tidak serta merta
hanya karena prestasi dari DPDPK Kota Yogyakarta semata sebagai ujung tombak dalam pengelolaan Pajak Daerah akan tetapi peran serta dari warga masyarakat Kota Yogyakarta yang memiliki kesadaran yang sangat tinggi dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak daerah dan tentu saja peran serta dari stakeholder yang lain seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maupun kelurahan/kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta karena sampai sejauh ini cenderung masih sangat sedikit wajib pajak yang berkesadaran mengurus sendiri proses pengajuan permohonan pendaftaran dan pendataan BPHTB. 2. Mengenai kendala dalam implementasi Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011, secara umum hampir tidak ada kendala yang berarti. Meskipun menurut Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan DPDPK Kota Yogyakarta mengakui adanya kendala namun hal itu segera dapat diatasi sehingga tidak sampai menimbulkan hambatan yang berarti daripada kinerja DPDPK Kota Yogyakarta itu sendiri, seperti dari segi jumlah pegawai DPDPK Kota Yogyakarta yang bekerja untuk melaksanaan pengelolaan pajak daerah tidak terbagi spesialisasinya hanya menangani salah satu jenis pajak saja seperti BPHTB namun juga untuk menangani jenis pajak yang lain, dan kendala yang paling signifikan adalah dimana wajib pajak tidak mengisi nilai perolehan sesuai ketentuan dalam hal ini sesuai dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dimana kadang hanya sesuai dengan NJOP meski nilai perolehan sebenarnya jauh diatas NJOP, kendala lainnya yaitu bilamana nilai luas tanah atau bangunan yang tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya. Hal ini tentu saja apabila menimbulkan kecurigaan akan dilakukan pengecekan lapangan. Hal inilah yang menjadi kendala proses ketepatan waktu penyelesaian pendataan atau validasi menjadi memakan waktu lebih lama. Kendala ini juga berkaitan dengan peran dari stakeholder yang lain seperti PPAT/Notaris maupun Camat apabila sebagai PPAT Sementara dimana dalam blangko formulir juga tertera
nama
dan
tanda
tangan
PPAT/Notaris/Kepala
Kantor
Lelang/Pejabat Lelang yang semestinya dapat menghimbau agar wajib pajak mengisi sesuai ketentuan. Oleh karena itu koordinasi antara DPDPK Kota Yogyakarta dengan PPAT/Notaris/Kepala Kantor Lelang/Pejabat Lelang perlu untuk ditingkatkan agar proses penyelesaiaan validasi menjadi lebih singkat. Disamping itu kualitas serta kuantitas pegawai DPDPK Kota Yogyakarta yang tidak hanya menangani satu jenis pajak juga dapat dikatakan kendala tersendiri, belum lagi tenaga untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Dari berbagai kendala diatas sejauh ini masih segera dapat diatasi sehingga tidak menghambat kinerja dari DPDPK Kota Yogyakarta itu sendiri.
B. Saran. Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka Penulis merekomendasikan berupa saran-saran antara lain sebagai berikut: 1. Agar implementasi Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 dapat membuahkan hasil yang lebih maksimal, maka perlu ditingkatkan
kesadaran wajib pajak agar dapat membayar pajak dengan nilai sesuai ketentuan. Meskipun berbagai penyuluhan telah dilakukan oleh DPDPK Kota Yogyakarta kepada masyarakat namun apabila masyarakat masih banyak yang enggan untuk mengurus sendiri permohonan pendataan BPHTB maka akan sangat rentan munculnya makelar pajak karena makelar pajak tidak dapat dipisahkan dari kepentingan kalangan bisnis yang berupaya mendapatkan keuntungan dengan memperkecil jumlah pajak yang seharusnya disetorkan kepada negara/daerah. Hal ini bisa saja terjadi dengan adanya kongkalikong atau persekongkolan dengan para stakeholder yang terlibat. Meski adanya prestasi peningkatan penerimaan dari sektor pajak di Kota Yogyakarta, agar implementasi kebijakan dapat tetap keep the policy on track sesuai dengan teori kebijakan publik Hogwood and Peters, namun jika melihat proses pengelolaan BPHTB yang dimulai dengan permohonan pendataan BPHTB atau validasi yang dilakukan bukan oleh wajib pajak itu sendiri yang benar-benar memiliki kesadaran untuk membayar pajak serta pengisian blangko formulir yang tidak sesuai dengan ketentuan maka peluang untuk munculnya makelar pajak sangat rentan. Dan apabila melihat dari kemampuan sumber daya manusia pegawai DPDPK Kota Yogyakarta tentu akan sangat berat apabila harus melakukan pengecekan lapangan satu per satu dari setiap permohonan
yang
masuk.
Oleh
karena
itu
disamping
perlu
ditingkatkannya kualitas dan kuantitas pegawai DPDPK Kota Yogyakarta, kesadaran masyarakat wajib pajak untuk mengisi sesuai nilai dan keadaan
yang sebenarnya dan bersedia untuk mengurus sendiri BPHTB agar memiliki kesadaran yang tinggi juga perlu ditingkatkan agar peluang munculnya makelar pajak dapat dihindari. 2. Apabila melihat berbagai kendala yang ada maka dapat dikatakan bahwa kendala peningkatan penerimaan sektor pajak daerah khususnya BPHTB di Kota Yogyakarta tidak begitu berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaaan daerah, dengan terus meningkatnya prosentase penerimaan sektor pajak daerah yang sangat berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun peningkatan tersebut dapat ditingkatkan lebih baik lagi apabila kendala-kendala yang ada dapat diminimalisir. Untuk dapat mengurangi kendala yang ada maka dapat dilakukan berbagai cara yang diantaranya
koordinasi diantara
para
stakeholder
seperti
dengan
PPAT/Notaris maupun Camat apabila sebagai PPAT Sementara agar lebih menghimbau kepada wajib pajak untuk mengisi nilai perolehan sesuai dengan ketentuan atau keadaan yang sebenarnya, dengan begitu proses penyelesaian pendataan BPHTB yang dilakukan oleh DPDPK Kota Yogyakarta menjadi dapat lebih singkat karena tidak perlu melakukan pengecekan lapangan, dan penerimaan BPHTB pun juga akan meningkat jika wajib pajak membayar sesuai dengan nilai atau keadaan yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku.
Abdul Wahab, Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Rineka Cipta. Abdul Wahab, Solichin. 1997. Evaluasi Kebijakan Publik. Malang: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Abidin, Said Zaenal. 2004. Kebijakan Publik, Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Alexander, Harry. 2004. Panduan Perancangan Peraturan Daerah Di Indonesia. Jakarta: PT XSYS Solusindo. Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Gunung Agung. Anonim. 2001. Himpunan Peraturan Otonomi Daerah serta Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta Pusat: Pustaka Antara Utama. ---------. 1985. Tugas, Fungsi dan Perannya Dalam Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Departemen Dalam Negeri. Asshiddigie, Jimly. 2002. Konsulidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Kedua. Jakarta: Pustaka Negara, Fakultas Hukum UI. Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hari Adi, Priyo. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Salatiga: Jurnal Kritis Universitas Kristen Satya Wacana. Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Mallarangeng, Andi Dkk. 2001. Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mangkoesoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Muslim, Amrah. 1978. Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung: Alumni. Purbopranoto, Kuntjoro. 1981. Beberapa Catatan Hukum Pemerintahan dan Peradilan Administrasi. Bandung: Alumni. Putra, Fadillah. 2001. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riwu, Kaho Josef. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Sarundajang. 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Sinar Harapan. Soejito, Irawan. 1983. Teknik Membuat Peraturan Daerah. Jakarta: Bina Aksara. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang-Undangan, DasarDasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. Subarsono, A. G. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta. Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Penelitian, Cetakan Ketujuh. Bandung: CV. Alfabeta. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta. Sunggono, Bambang. 2001. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Srafindo Persada. Suparmoko. 1992. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE. Syafrudin, Ateng. 1999. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Syarif, Amiroeddin. 1987. Perundang-Undangan Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya. Jakarta: Bina Aksara.
B. Undang-Undang. Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 No. 291. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
C. Peraturan. Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Peraturan Pemerintah Pasal 3 ayat (2) jo. PP Nomor XX/2000 Kep. Men. Keu Nomor XX/KMK.04/2000. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
C. Jurnal. Akhmad, Hatta. 2000. Otonomi Daerah Berkenaan Dengan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Palu: Jurnal Toposantoro. Djohan, Djohermansyah. 2001. Masalah Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jakarta: Jurnal Ilmu Pemerintahan MIPI Edisi 14 Tahun 2001. Syaukani, H. R. 2001. Seminar Otonomi Daerah Strategi Pemberdayaan Daya Saing Daerah. Jurnal Otonomi Daerah. Suwandi, I Made. 2003. Jurnal Otonomi Daerah. Tahun 2003. Tabrani, Rab. 1999. Jurnal Depdagri. Jakarta: Depkeu.
D. Media Massa Cetak dan Elektronik. Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2010. Surat Kabar Patroli Bangsa, 1 April 2011. www.jogjakota.go.id, Rabu, 19 Januari 2011.
Tabel I Proses Kebijakan Publik Tahap
Karakteristik
Perumusan Masalah
:
Forecasting (Peramalan)
:
Rekomendasi Kebijakan
:
Monitoring Kebijakan
:
Evaluasi Kebijakan
:
Sumber : A. G. Subarsono (2005:9)
Memberikan informasi mengenai kondisikondisi yang menimbulkan masalah. Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari diterapkannya alternatif kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan. Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif, dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat bersih paling tinggi. Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan termasuk kendala-kendalanya. Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan.