PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : Hilda Amalia Widyastuti E1A008061
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
HALAMAN PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: HILDA AMALIA WIDYASTUTI
NIM
: E1A008061
SKS
: 2008
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyatakan PEMBERIAN
bahwa
REMISI
skripsi
yang
KEPADA
berjudul
NARAPIDANA
“PELAKSANAAN DI
LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA” ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila seiring berjalannya waktu terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto,
November 2013
Yang membuat pernyataan.
HILDA AMALIA WIDYASTUTI NIM. E1A008061
iii
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan Alhamdulillah dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan hidayah – Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan juduL ”PELAKSANAAN PEMBERIAN
REMISI
KEPADA
NARAPIDANA
DI
LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA”. Sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Karya Ilmiah ini disusun berdasarkan penelitian, baik penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan sebagai perwujudan dan tolak ukur penguasaan Ilmu Hukum secara teori dan praktek. Dalam penyusunan skripsi ini, tidak lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan, namun berkat bantuan, dorongan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, segala hambatan dan kesulitan tersebut dapat teratasi sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Rektor Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
2.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
3.
Bapak Dr. Agus Rahardjo, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
iv
4.
Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H., M.S. selaku selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
5.
Ibu Rochati, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
6.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Skripsi/Penguji I Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan yang sangat berarti kepada penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.
7.
Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Skripsi/Penguji II Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah memberikan bimbingan, arahan , dan bantuan yang sangat berarti kepada penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.
8.
Bapak Haryanto Dwi Atmodjo, S.H., M.Hum selaku Dosen Penguji III Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis.
9.
Bapak Satrio Sapto Hadi, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
10. Kepada Bapak Mertua penulis Bapak Ali Haryanto dan Ibu Mertua penulis Ibu Emmi Runiati Budi Astuti (Alm) yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta doa yang tiada hentinya dalam setiap ibadahnya 11. Kepada Suami penulis Afit Puastra Nugraha, S.H. yang selalu memotivasi dan mendukung setiap langkah yang diambil penulis dan doa dalam setiap ibadahnya. v
12. Kepada kedua orang tua penulis Bapak Mardianto dan Ibu Tri Astuti Ismawati yang telah mendukung dn memotivasi penulis dalam penulisan skripsi ini. 13. Kepada kakak – kakak ipar dan penulis Andhi Oktavian, Dhian Wahyudi, Marina Hastin, Linda Devi Triana, Danang Zukron dan adik penulis Avila Gita Asiva yang selalu memotivasi penulis dalam penulisan skripsi ini. 14. Kepada keponakan – keponakan penulis Naya Ayunda Putri, Nadisyavero Azirly Kaymatari, Brilianadin Maulidina Azfar Husna, dan Alfathir Rizky Putra Aldanang yang telah membuat penulis semangat dalam penulisan skripsi. 15. Seluruh bapak dan ibu dosen pembimbing Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah memberikan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum bagi penulis. 16. Seluruh bapak dan ibu staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 17. Bapak Drs. Rudy CH. GILL, Bc.IP selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian sehingga terselesaikan skripsi ini. 18. Bapak Suwanjono, S.H. selaku Kepala Sub Bagian Bimaswat yang telah memberikan informasi dan data – data penelitian kepada penulis sehingga terselesaikan skripsi ini. 19. Ibu Desy Afneliza, Amd. IP selaku Kepala Sub Bagian Registrasi yang telah memberikan intormasi dan data – data penelitian kepada penulis sehingga terselesaikan skripsi ini. vi
20. Bapak Heriyanto, Bc.IP, S.H. selaku Kepala Seksi Pembinaan Narapidana yang telah memberikan informasi kepada penulis dalam penelitian sehingga terselesaikan skripsi ini. 21. Ibu Tri Ari Astuti, M.Hum selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha yang telah memberikan informasi kepada penulis dalam penelitian sehingga terselesaikan skripsi ini. 22. Bapak Agus Sumaryono (Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta) dan Sugeng Hermawan (Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta) yang bersedia memberikan informasi kepada penulis dalam penelitian yang dilakukan untuk menyelesaikan skripsi ini. 23. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya secara satu – persatu,yang telah memberikan bantuan langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga amal kebaikan dan bantuan bapak, ibu, dan saudara sekalian mendapat pahala dari ALLAH SWT. Skripsi ini hanyalah karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
vii
Purwokerto,
November 2013
Penulis
Hilda Amalia Widyastuti E1A008061
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
iii
KATA PENGANTAR.................................................................................
iv
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ix
ABSTRAK ..................................................................................................
xii
ABSTRACT ...............................................................................................
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...............................................................
8
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ...............................................................
9
TINJAUAN
PUSTAKA
MENGENAI
PIDANA
DAN
PEMIDANAAN, LEMBAGA PEMASYARAKATAN, dan REMISI A. Pidana dan Pemidanaan, Lembaga Pemasyarakatan.................
10
1. Definisi Pidana dan Pemidanaan........................................
10
2. Tujuan Pemidanaan ...........................................................
13
3. Pengertian Pemasyarakatan dan Prinsip Pemasyarakatan ...
14
4. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ................................
17
B. Teori Tentang Bekerjanya Hukum dan Teori Tentang Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ......................
18
1. Teori Tentang Bekerjanya Hukum .....................................
18
2. Teori Tentang Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.............................................................
22
C. Pengertian Remisi ...................................................................
29
1. Sejarah Remisi dan Dasar Hukum Remisi .........................
29
2. Jenis – Jenis Remisi ..........................................................
44
ix
3. Prosedur Pemberian Remisi ...............................................
46
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan .................................................................
49
B. Spesifikasi Penelitian ..............................................................
50
C. Lokasi Penelitian.....................................................................
50
D. Sumber Data ...........................................................................
51
1. Data Primer .......................................................................
51
2. Data Sekunder ...................................................................
52
3. Data Tersier.......................................................................
52
E. Metode Pengumpulan Data .....................................................
52
F. Metode Pengambilan Sampel ..................................................
53
G. Metode Penyajian Data ...........................................................
54
H. Metode Analisis Data ..............................................................
54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta .......................................................... 1. Lembaga
Pemasyarakatan
Klas
IIA
56
Wirogunan
Yogyakarta .......................................................................
56
2. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogtakarta .....................................................
58
3. Organisasi Pendukung Profesi ..........................................
65
4. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta ...................................... 5. Kegiatan
Pembinaan
Narapidana
di
65
Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta .............
68
B. Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta....
71
1. Hasil Penelitian dan Pembahasan Mengenai Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta ............
x
71
2. Prosedur
Pelaksanaan
Pemberian
Remisi
Kepada
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta......................................................
78
C. Kendala yang Dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
Yogyakarta
Dalam
Pelaksanaan
Pemberian
Remisi Kepada Narapidana .....................................................
96
D. Upaya Yang Dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan
Yogyakarta
untuk
Mengatasi
Kendala
Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana ............... BAB V
101
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.............................................................................
103
B. Saran.......................................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA
xi
PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA Hilda Amalia Widyastuti ABSTRAK Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana, pemberian remisi kepada narapidana merupakan perintah dari Undang-undang sebagai rangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk merubah perilaku sesuai dengan tujuan Sistem Pemasyarakatan. Namun masalah yang muncul adalah Bagaimana pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri, kendala – kendala yang dihadapi Lembaga pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana,serta upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam mengatasi kendala pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana., serta untuk mengetahui upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam mengatasi kendala pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana Penelitian mengambil lokasi di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakrta, Jalan Tamansiswa No. 6 Yogyakarta 55111. Penelitian dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara langsung dengan respoden. Metode yang digunakan yaitu purposive sampling agar sampel yang dipilih dapat relevan. Penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan metode wawancara, metode yang digunakan adalah yuridis sosiologis dan dalam hal ini analisis data penulis menggunakan deskriptif kualitatif. Kesimpulan dari Pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta sudah diberikan dan berjalan sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku mengenai hak – hak narapidana salah satunya adalah remisi. Adapun kendala yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta dalam pelaksanaan pemberian remisi antara lain: 1) Faktor hukumnya yaitu perundang – undangan. 2) Faktor penegak hukumnya yaitu kurang optimal dalam melaksanakan peranannya. 3) Faktor sarana dan fasilitas yaitu kurangnya sumber daya manusia yang potensial. 4) Faktor masyarakat yaitu kurangnya mematuhi aturan hukum. 5) Faktor kebudayaan yaitu kurang mengutamakan nilai keamanan dan ketertiban. Upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta dalam mengatasi kendala pelaksanaan pemberian Remisi antara lain: 1) Faktor hukumnya yaitu memperjelas setiap isi pasal dalam perundang – undangan. 2) Faktor penegak hukumnya yaitu harus melaksanakan peranan secara optimal. 3) Faktor sarana dan fasilitas yaitu penyeleksian kapasitas sumber daya manusia sesuai dengan bidangnya. 4) Faktor masyarakatnya yaitu penegak hukum memberikan sosialisasi mengenai hukum. 5) Faktor kebudayaan yaitu menyeimbangkan dan mengutamakan nilai keamanan dan ketertiban. Kata Kunci : Lembaga Pemasyarakatan, Remisi, Narapidana.
xii
POVIDING REMISSIONS FOR PRISONERS IN INSTITUSIONS SOCIALIZATION IN CLASS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA By : Hilda Amalia W ABSTRACT Remissions is the crime reduction granted to inmates, grating remissions to prisoners is an order of the Act as a stimulus for inmates willing to undergo training to change behavior in accordancewith the purpose of penal system. But the problem that arises is How the implementation of remissions for prisoners in the penitentiary itself, the constraints faced by correctional institutions in the implementation of remissions for prisoners, as well a efforts to evercome obstacles correctional institution in the implementation of remissions for prisoners. The study was conducted to determine the implementation of remmisions for prisoners in the penitentiary, to find out the constraints faced by corrections in the implementation of remmisions for prisoner, and learn about efforts to to evercome obstacles correctional institutions in the immplementtion of remmision for prisoners’ studies took place in prison Taman Siswa No. 6 Yogyakarta 55111 street, class IIA Wirogunan Yogyakarta. Research carried out by conducting interviews with respondents directly. The method used is purposive sampling in order to be relevant to the selected sample. The author uses the method of collecting data by interview method, the method used is the normative sociologis analysis of the data in this case the authors used qualitative descriptive.
Implementation of conclusions of the remmisions for inmates in correctional institutions have been granted in class IIA Wirogunan Yogyakarta and run in accordance with applicable law regarding the right of prisoners one of whom is remission. The constraints faced Penitentiary Class IIA Wirogunan in the implementation of remissions among others: 1) The law factors is yuridical law. 2) The law enforcer factor is less optimally in executing the role. 3) Factor supporting facilities and facility that is lack of potential human resource. 4) Public factor that is lack of obeying law order. 5) Culture factor that is unable to major security and safety value and orderliness. Effort done The Institute Socialization in class IIA Wirogunan Yogyakarta in overcoming execution constraint of giving of Remisi are: 1) The law factor is clarifying every contents of section in yuridical law. 2) the law enforcer factor is must execute role in an optimal fashion. 3) Factor supporting facilities and facility that is selection of human resource capacities as according to the area. 4) the public factor is law enforcer gives penal socialization. 5) Culture factor that is balancing and majors security and safety value and orderliness. keyword: Institutions Socialization, Remission, Prisoners
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan.1 Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi yang sering digunakan untuk sarana menanggulangi masalah kejahatan. Penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru di mulai pada akhir abad ke – 18 yang bersumber pada paham individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dianggap kejam.2 Atas dasar hal tersebut maka pidana penjara yang merupakan primadona dalam sistem sanksi pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalam memutuskan perkara, perlu pula dilakukan pembaharuan terhadap jenis sanksi pidana penjara. 1
P. A. F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Halaman 69. 2 Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996. Halaman 42.
2
Seperti yang dikutip Dwidja Priyatno di dalam bukunya, bahwa Mulder mengungkapkan “Politik hukum pidana harus selalu memperhatikan masalah pembaharuan, juga dalam masalah perampasan kemerdekaan. Semakin sedikit orang yang dirampas kemerdekaannya semakin baik. Pandangan terhadap pidana perampasan kemerdekaan juga dapat berakibat boomerang”. 3 Proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai pembaharuan pelaksanaan pidana penjara diharapkan merupakan satu kegiatan yang mengandung dua hal. Hal yang pertama mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang bentuk pidana penjara yang akan mengalami evolusi berkenaan dengan upaya baru pelaksanaan pidana penjara baru. Hal yang kedua mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam rangka sistem pemasyarakatan. Kedua hal tersebut menjadi faktor utama dan tetap dalam pembaharuan pelaksanaan pidana penjara.4 Pembaharuan
pelaksanaan
pidana
penjara
dengan
sistem
pemasyarakatan di dalam segi operasionalnya memerlukan sikap yang positif dari para pihak yaitu pihak petugas yang berwenang terutama polisi, jaksa, hakim, pegawai lembaga pemasyarakatan, (instrumental input), dari pihak narapidana selaku orang yang menjalani pidana (raw input), dan dari pihak masyarakat yang menjadi wadah kehidupan manusia (environmental input). Keterpaduan
para
pihak
yang
berproses
dalam
pembinaan
sistem
pemasyarakatan tersebut akan menghasilkan (output) bekas narapidana yang
3
Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2006. Halaman 2. 4 Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986. Halaman 13
3
menjadi anggota masyarakat kembali dan dapat menyelaraskan diri serta taat kepada hukum. Sistem pemasyarakatan yang dianut di Indonesia diatur di dalam Undang – undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, hal ini merupakan pelaksanaan dari pidana penjara yang merupakan perubahan ide secara
yuridis
filosofis
dari
sistem
kepenjaraan
menjadi
sistem
pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannnya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.5 Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Terdapat perbedaan pelaksanaan antara sistem kepenjaraan dengan sistem pemasyarakatan. Dalam pemasyarakatan terdapat unsur – unsur yang berperan di dalamnya, unsur – unsur tersebut dikemukakan oleh Ahmad dan Atmasasmita yaitu petugas lembaga, narapidana (klien pemasyarakatan) dan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga unsur tersebut merupakan suatu hubungan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sistem Pemsyarakatan
5
Priyatno, Dwidja, Loc.cit, Halaman 3
4
merupakan sekumpulan dari beberapa subsistem dalam pembinaan individu pelanggar hukum dimana unsur – unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berpengaruh dan tidak dapat dipisahkan, unsur – unsur tersebut yaitu: 1. Narapidana haruslah diupayakan untuk secara ikhlas dan terbuka untuk menerima pengaruh dari proses pembinaan yang dilakukan, bahwa pembinaan adalah untuk kebaikan dan kepentingan mereka sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta demi masa depannya. 2. Petugas pemasyarakatan dituntut mempunyai kesadaran yang tugas pembinaan tinggi atas tanggung jawab dan juga kesadaran moral terhadap narapidana. 3. Masyarakat mempunyai peranan penting dalam mengadakan kerjasama pembinaan karena masyarakat bagian dari pada kehidupan individu berinteraksi setelah hidup bebas, sehingga dapat menerima terpidana sebagai anggota warga masyarakat dengan baik.6 Narapidana adalah seseorang manusia anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya dan selama waktu tertentu itu diproses dalam lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode, dan sistem pemasyarakatan. Pada suatu saat narapidana itu akan kembali menjadi manusia anggota masyarakat yang baik dan taat pada hukum.7 Narapidana sama halnya sepertinya warga binaan yang lain tetap harus dijamin hak – haknya terlebih narapidana berada di Lembaga Pemasyarakatan 6
Achmad S. Soemadi Pradja dan Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1979. Halaman 24 7 Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986. Halaman 180.
5
yang ruang geraknya sangat terbatas. Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat Universal, sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi dan dirampas oleh siapapun. Adapun hak – hak narapidana yang dijatuhi pidana penjara dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, memiliki hak – hak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, sebagai berikut:8 1.
Hak untuk melakukan ibadah
2.
Hak untuk mendapat perawatan rohani dan jasmani
3.
Hak pendidikan
4.
Hak Pelayanan Kesehatan dan makanan yang layak
5.
Hak menyampaikan keluhan
6.
Hak memperoleh informasi
7.
Hak mendapatkan upah atas pekerjaannya
8.
Hak menerima kunjungan
9.
Hak mendapatkan remisi
10. Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk mengunjungi keluarga 11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas,
8
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14.
6
13. serta hak – hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku Perlu diingat bahwa hak – hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis tetapi dengan syarat atau kriteria tertentu. Hak narapidana salah satunya adalah pemberian remisi kepada narapidana, baik itu merupakan remisi umum, remisi khusus, dan atau remisi tambahan. Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Maka pengertian remisi dapat diketahui sebagai pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tidak memberikan pengertian remisi, hanya dikatakan bahwa: “setiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana”. 9 Pemberian remisi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi tidak ditafsirkan sebagai kemudahan dalam kebijakan menjalani pidana, sehingga mengurangi arti pemidanaan. Namun pemberian remisi tersebut adalah dalam upaya mengurangi dampak negatif dari subkultur tempat pelaksanaan
pidana, dan akibat pidana
perampasan kemerdekaan. Secara psikologis pemberian remisi mempunyai pengaruh dan dalam menekan tingkat frustasi, sehingga dapat mereduksi atau meminimalisir gangguan keamanan dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah
9
Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Pasal 1
7
Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara, berupa pelarian, perkelahian, kerusuhan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dengan adanya remisi merupakan perwujudan dan berkaitan erat dengan sistem pemasyarakatan yang tidak lain sebagi pengontrol dan pengawas bagi rantai yang terikat didalamnya yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, narapidana
dan semua
pihak yang termasuk di dalamnya. Dari semua yang ada merupakan jaminan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang
Syarat
dan
Tata
Cara
Pelaksanaan
Hak
Warga
Binaan
Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999. Berdasarkan uraian di atas sangatlah menarik untuk dikaji dan diteliti lebih mendalam mengenai “PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A WIROGUNAN YOGYAKARTA”.
8
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta ? 2. Kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian remisi sesuai dengan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 mengenai hak – hak dari narapidana itu sendiri ? 3. Upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi kendala pemberian remisi?
C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran sistematis, metodologis dan konsisten. Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dilihat dari rumusan masalah tersebut di atas adalah : 1.
Untuk mengetahui Pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
2.
Untuk mengetahui kendala yang dihadapi lembaga pemasyarakatan dalam pemberian hak remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
3.
Untuk mengetahui upaya yang dilakukan lembaga pemasyarakatan dalam pemberian hak remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
9
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis a. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai hak – hak warga binaan sesuai dengan amanat Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – Undangan RI No. M. 09. HN 02. 10 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas dan dunia pendidikan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan penambahan pustaka yang bermanfaat bagi keilmuan, khususnya hak – hak narapidana yang terangkum dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 pasal 7 dan 14 mengenai hak – hak narapidana itu sendiri. 2. Kegunaan Praktis Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi, dan sosialisasi bagi civitas akademi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, masyarakat, serta pihak – pihak yang terkait dalam pelaksanaan pemberian hak – hak narapidana sesuai Undang – Undang.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PIDANA DAN PEMIDANAAN, LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN REMISI
A. Pidana dan Pemidanaan, Lembaga Pemasyarakatan 1. Definisi Pidana dan Pemidanaan Pidana berasal dari kata “straf” (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan/nestapa yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu sehingga dapat dikatakan melakukan tindak pidana.9 Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf merupakan suatu istilah yang konvensional.10 Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana. Menurut Menurut Van Hamel “een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.”11 Yang artinya suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi
9
Sudarto, Hukum Pidana I, F.H. Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.
Halaman 5
10
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005. Halaman 1 11 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Halaman 34
11
seorang pelanggar, yakni semata – mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. Menurut professor Simons, pidana atau straf itu adalah : “Het leed door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data an de schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opglegd”12 yang artinya adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap sesuatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi yang bersalah”. Sedangkan menurut Moeljatno: “Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar – dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang serta disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bari yang melanggar, menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan pidanan sebagaimana yang diancamkan, dan menentukan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang telah melanggar larangan tersebut”.13 Dari ketiga rumusan mengenai pidana dapat diketahui, bahwa pidana itu sebenarrnya hanyalah merupakan penderitaan atau suatu alat belaka. Hal ini dapat menimbulkan arti bahwa pidana itu bukan suatu tujuan, bahkan di Indonesia sering terjadi kesalahan dalam mengartikan kata doel der straf yang diartikan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud adalah tujuan dari pemidanaan.
12 13
Halaman 1
Ibid Lamintang. Halaman 35 Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
12
Saat ini Sudarto, perkataan pemidanaan itu sendiri adalah sinonim dengan penghukuman, sehingga Sudarto mengatakan : “penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang pidana saja, perdata pun bisa. Oleh karena itu tulisan berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus dipersempit artinya penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sama dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.” 14 Penjatuhan pidana merupakan konsekuensi logis dari perbuatan pidana atau tindak pidana. Pada umumnya istihah pidana dan pemidanaan hamper sama hamper sama yaitu hukuman dan penghukuman/dihukum. Yang berupa penderitaan. Penderitaan tersebut dibedakan antara penderitaan pada tindakan lebih kecil atau lebih ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Istilah hukuman berasal dari kata “straf” dan istilah dihukum berasal dari perkataan “wordt gestraf’. Hukuman didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebgai tindak pidana Namun penjatuhan pidana pada saat ini bukan semata – mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman yang mana penganyoman tersebut diberikan 14
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 1990. Halaman 71
13
kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsepsi baru fungsi pemidanaan bukan lagi sebagai alat penjeraan.15 Menurut “Wetboek van strafrecht voor indonesie”, yang kemudian berdasarkan pasal 6 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1964 namanya diubah menjadi “ Kitab Undang – Undang Hukum Pidana”, terdapat 2 (dua) jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis pidana pokok dan pidana tambahan menurut Pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana adalah:16 a. Pidana pokok 1) Pidana mati 2) Pidana penjara 3) Pidana kurungan 4) Pidana denda b. Pidana tambahan 1) Pencabutan hak – hak tertentu 2) Perampasan barang – barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim 2. Tujuan Pemidanaan Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang – orang saat ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran baru, melainkan sedikit banyak telah mendapatkan dari para pemikir berabad – 15
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Halaman 3.
16
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Pasal 10.
14
abad yang lalu. Dari pemikiran para pemikir yang telah ada, ternayata tidaklah memiliki kesamaan pendapat, namun pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pikiran tentang tujuan yang akan dicapai dengan adanya suatu pemidanaan, yaitu :17 a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri; b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan; c. Untuk membuat penjahat – penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakuakan kejahatan – kejahatan lain, yakni penjahat yang dengan cara – cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. 3. Pengertian Pemasyarakatan dan Prinsip Pemasyarakatan Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.18Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang – Undang Pemasyarakatan itu menguatkan usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan 17
Setiady, Tolib, Pokok – Pokok Hukum Penitensier Indonesia, ALFABETA, Jakarta, 2010. Halaman 31 18 www.media-indonesia.com. Diakses pada tanggal 17 Juli 2013
15
Pemasyarakatan. Hal tersebut sudah diatur di dalam pasal 1 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa : a. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. b. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan
masyarakat
untuk
meningkatkan
kualitas
Warga
Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tinda pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. c. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.19 Pemasyarakatan juga dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan
19
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1.
16
masyarakat. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam lembaga pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Prinsip – prinsip pokok yang menyangkut dasar perlakuan terhadap warga binaan dan anak
didik
yang
dikenal
dengan
nama
10
(sepuluh)
Prinsip
Pemasyarakatan:20 a. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. b. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara. c. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat. d. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana. e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat f.Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu – waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan
20
www.depkumhan.co.id/Kutipan: Media Elektronik Sekretariat Negara Tahun 1999. Diakses pada tanggal 4 Juli 2013.
17
pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi. g. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila. h. Narapidana dan anak didik sebagai orang – orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia. i. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya. j. Disediakan dan dipupuk sarana – sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dapat diumpamakan sebagai sebuah sanggar yaitu sebagai rumah atau ruangan yang diatur baik – baik untuk mengerjakan sesuatu. Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.21 4. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah suatu tempat yang dahulu dikenal dengan sebutan rumah penjara, yakni tempat di mana orang
21
www.google.com/Drs. THOLIB, Bc, IP, SH, MH, Kepala Lapas Terbuka Jakarta. Diakses pada tanggal 4 Juli 2013.
18
– orang yang telah di jatuhi dengan pidana tertentu oleh hakim itu harus menjalankan pidana mereka. Sebutan lembaga pemasyarakatan merupakan gagasan dari dokter Sahardjo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Gagasan tersebut merupakan alasan Doktor Sahardjo untuk merubah rumah penjara menjadikan tempat yang tadinya semata – mata hanya untuk memidana seseorang menjadi tempat untuk membina atau mendidik orang – orang terpidana agar setelah menjalankan pidana, mereka mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan nantinya dapat menjadi seorang warga Negara yang baik.22 Menurut Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga
Pemasyarakatan,
lembaga
pemasyarakatan
adalah
“Lembaga Pemasyarakatan untuk selanjutnya dalam Keputusan ini disebut LAPAS adalah unit pelaksana teknis dibidang Pemasyarakatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.”23
B. Teori Tentang Bekerjanya Hukum dan Teori Tentang Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum 1. Teori Tentang Bekerjanya Hukum 22
P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Halaman 169. 23 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (1).
19
Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institution), Lembaga Penerap Sanksi, Pemegang peran (Rule Occupant) serta Kekuatan Sosietal Personal(Societal Personal Force), Budaya Hukum serta Unsur – Unsur umpan balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.24 Bekerjanya hukum juga dapat diartikan sebagai kegiatan penegakan hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses mewujudkan tujuan – tujuan hukum menjadi kenyataan.25 Namun demikian penegakan hukum dinilai masih lemah. Lemahnya penegakan hukum ini terlihat dari masyarakat yang tidak menghormati hukum, demikian pula kewibawaan aparat penegak hukumyang semakin merosot sehingga tidak lagi dapat memberikan rasa aman dan tenteram. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide – ide dan konsep – konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan – keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran – pikiran pembuat undang – undang yang dirumuskan dalam peraturan – peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada 24
Muladi, Demokratisasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002. Halaman 27. 25 Warrasih, Esmi, Pranata Hukum Suatu Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005. Halaman 83.
20
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang – undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.26 Mengenai penegakan hukum atau bekerjanya hukum di dalam masyarakat, menurut Robert B. Seidman dalam teorinya tentang “the Law of the Non Transferability of Law” (hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya), terdapat 3 (tiga) komponen utama pendukung bekerjanya hukum.27 Bagan teori bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman 1972:28 Faktor – Faktor Sosial dan Personal Lainnya
Lembaga Pembuat Peraturan Umpan
Umpan
Balik
Norma Lembaga Penerap Peraturan
Balik Aktivitas Penerapan
Pemegang Peran
Faktor – Faktor Sosial dan
Faktor – Faktor Sosial dan
Personal lainnya
Personal Lainnya
26
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983. Halaman 24 27 www. teori-teori-sosiologi-hukum-menurut.html Diakses pada tanggal 06 Oktober 2013. 28 www.google.com/Teori-Hukum-Dan-Keadilan-Indonesia.htm Diakses pada tanggal 06 Okrober 2013.
21
Dari bagan bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman dikatakan bahwa: 1. Setiap peraturan memberitahu bagaimana seorang pemegang peranan (rule occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan merupakan fungsi peraturan – peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi – sanksinya, aktifitas dari lembaga – lembaga pelaksana serta keseluruhan komplek sosial, politik, dan lain – lainnya mengenai dirinya. 2. Bagaimana lembaga – lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan – peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi – sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik, dan lain – lainnya yang mengenali diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan. 3. Bagaimana para pembuat itu akan bertidak merupakan fungsi peraturan – peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi – sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik, ideologis, dan lain – lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang pemegang peran secara birokratis. Dari teori Robert B. Seidman itu menyatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Turut memberi warna dalam upaya pembangunan hukum nadional Indonesia. Negara
22
Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda, dalam sistem hukum yang hendak dibangun tidak mengambil alih betitu saja hukum kolonial Belanda. Diakui bahwa pengaruh sistem hukum Belanda masih terasa dalam sistem hukum nasional Indonesia. Namun tidak berarti Negara kita menjiplak hukum kolonial Belanda karena dengan sistematis telah berupaya untuk membangun suatu sistem hukum nasional yang yang bercita Indonesia. 2. Teori Tentang Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Penegakan hukum terpenuhi apabila 5 pilar hukum terpenuhi yaitu instrument hukum yang baik, aparat penegak hukum yang tangguh, peralatan yang memadai, masyarakat yang sadar hukum, dan birokrasi yang mendukung.29 Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terjabarkan di dalam kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 30 Manusia di dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai pandangan – pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Dalam penegakan hukum perlu adanya keserasian nilai – nilai antara nilai ketertiban, nilai ketentraman, nilai keadilan, nilai kepentinagn pribadi, dan nilai inovatisme. Karena dalam nilai – nilai tersebut saling timbal balik
29
www,google,com://http/web.unair.ac.id Diakses pada tanggal 08 Oktober
2013. 30
Soekanto, Soerjono, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum, Makalah pada Seminar Hukum Nasional Ke IV, Jakarta, 1979), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. Halaman 3.
23
titik tolaknya yaitu titik tolak keterikatan dan titik tolak kebebasan. Pasangan nilai – nilai yanyang telah diserasikan memerlukan penjabaran yang lebih konkrit, oleh karena itu nilai – nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran secara lebih konkrit terjadi di dalam kaidah – kaidah yaitu kaidah hukum yang mungkin berisikan suruhan, larangan, atau kebolehan. Kaidah – kaidah tersebut menjadi patokan atau pedoman bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tintack tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Penegakan
hukum
sebagai
suatu
proses,
pada
hakikatnya
merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.31 Pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Maka dapat dikatakan bahwa gangguan terahdap penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidakserasian antara “trirunggal’ nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai – nilai yang berpasangan yang menjelma di dalam kaidah – kaidah yang bersimpang siur dan pola perilaku yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.32 Penegakan hukum bukan semata – mata berarti pelaksanaan perundang – undangan walaupun dalam kenyataan kecenderungannya adalah semata – mata pelaksanaan perundang – undangan. Selain itu ada kecenderunag 31
yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai
Ibid, (Wayne, Lavave, The Decision To Take a Suspect Into Custodyi, Little Brown and Company, Boston, 1964). Halaman 4. 32 Ibid, Halaman 4.
24
pelaksanaan keputusan – keputusan hakim. Pendapat – pendapat yang agak sempit tersebut mampunyai kelemahan – kelemahan yang apabila pelaksanaan daripada perundang – undangan atau keputusan – keputusan hakim tersebut mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup. Menurut Soerjono Soekanto masalah daripada penegakan hukum yang sebenarnya pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut, yaitu:33 a. Faktor hukumnya sendiri,yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang – undang saja. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esebsi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas pnegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima
33
Ibid, halaman 5.
25
faktor tersebut akan dibahas disini, dengan cara mengetengahkan contoh – contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat.34 Kelima faktor tersebut diuraiakan:35 a. Undang – undang Undang – undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang – undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang – undang tersebut. Mempunyai dampak yang positif. Asas – asas tersebut antara lain, undang – undang tiadk nerlaku surut; undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi; mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; undang – undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang – undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama; undang – undang yang berlaku belakangan membatalkan undang – undang yang terdahulu; undang – undang tidak dapat diganggu gugat; dan undang – undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi). b. Penegak hukum Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang hendaknya mempunyai kemampuan – kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat 34
Ibid, halaman 5 – 6. http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhipenegakan-hukum-di-indonesia-8562.html diakses pada tanggal 08 Oktober 2013. 35
26
pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau mambawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum, halangan – halangan tersebut adalah: 1) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, 2) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, 3) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi, 4) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material, 5) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnyamerupakan pasangan konservatif . Halangan – halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai berikut: 1) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman atau penemuan baru, 2) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu, 3) Peka terhadap masalah – masalah yang ada disekitarnya, 4) Senantiasa mempunyai informasiyang selengkap mungkin mengenai pendiriannya,
27
5) Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan, 6) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya, 7) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib, 8) Percaya pada kemempuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia, 9) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun kehormatan diri sendiri maupun pihhak lain, dan berpegang teguh pada keputusan – keputusanyang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap. c. Faktor sarana atau fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang actual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut: 1) Yang tidak ada – diadakan yang baru benar, 2) Yang rusak atau salah – diperbaiki atau dibenarkan,
28
3) Yang kurang ditambahkan, 4) Yang macet – dilancarkan, dan 5) Yang mundur atau merosot – dimajukan atau ditingkatkan, d. Faktor masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut pandang tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indoneia mempunyai kecenderungan untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut. e. Faktor kebudayaan Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai – nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai – nilai yang merupakan konsepsi mengenai abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum antara lain, nilai ketertiban dengan
nilai
ketentraman;
nilai
jasmani/kebendaan
dan
nilai
rohani/keakhlakan; dan nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/ inovatisme. Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang nerlaku dalam masyarakat.
29
C. Pengertian Remisi 1. Sejarah dan Dasar Hukum Remisi a. Sejarah Remisi Keberhasilan sistem pemasyarakatan diawali dengan tinggi atau rendahnya angka remisi yang dicapai dalam pembinaan di dalam masyarakat. Remisi atau pengurangan masa pidana adalah hal yang sangat didambakan oleh setiap narapidana untuk memperolehnya. Sebelum lahirnya Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, pemberian remisi kepada narapidana merupakan anugerah negara namun, sesuai perkembangan politik Hukum di Indonesia sejak diundangkannya Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, remisi adalah hak, hak yang akan diperoleh narapidana setelah memenuhi syarat – syarat subtantif dan administratif. Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Maka pengertian remisi dapat diketahui sebagai pengurangan pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat. Sedangkan menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tidak memberikan
pengertian
remisi,hanya
dikatakan
bahwa:
“setiap
narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara
30
dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana”. 36 Pemberian remisi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi tidak ditafsirkan sebagai kemudahan dalam kebijakan menjalani pidana, sehingga mengurangi arti pemidanaan. Namun pemberian remisi tersebut adalah dalam upaya mengurangi dampak negatif dari subkultur tempat pelaksanaan pidana dan akibat pidana perampasan kemerdekaan. Secara psikologis pemberian remisi mempunyai pengaruh dan dalam menekan tingkat frustasi, sehingga dapat mereduksi atau meminimalisir gangguan keamanan dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara, berupa pelarian, perkelahian, kerusuhan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dengan adanya remisi merupakan perwujudan dan berkaitan erat dengan sistem pemasyarakatan yang tidak lain sebagi pengontrol dan pengawas bagi rantai yang terikat didalamnya yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dan semua pihak yang termasuk didalamnya Dalam hal ini negara berhak memperbaiki setiap pelaku tindak pidana yang melakukan suatu tindak pidana melalui sesuatu pembinaan. Agar pembinaan dapat berjalan dengan baik maka salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat Pemasyarakatan 36
(1).
Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Pasal 1 ayat
31
dengan cara pemberian remisi kepada narapidana yang dinyatakan telah memenuhi syarat substantif dan administraif. Pemberian remisi di Negara Republik
Indonesia
sudah
sejak
Negara
Indonesia
mendapat
kemerdekaan dari tangan penjajah, sehingga Hak Asasi Manusia dapat tetap diberikan walaupun dia masih berstatus sebagai narapidana. Pemberian remisi menurut Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan hak bagi setiap Narapidana. Dalam sejarah Republik Indonesia pemerintah telah 5 (lima) kali mengeluarkan keputusan tentang pengurangan masa pidana dan menunjukkan adanya perkembangan politik dalam penyelenggaraan hukum yang menyangkut perlakuan kepada narapidana di Indonesia. Sejak akhir tahun 1999 Indonesia mengenal remisi khusus yakni remisi yang diberikan kepada narapidana pada hari raya yang paling diagungkan sesuai dengan agama yang dianut oleh pemeluknya. Berikut ini perkembangan ketentuan yang mengatur tentang remisi, yaitu: 1) Keputusan Presiden Nomor 156 Tahun 1950 Keputusan Presiden ini dikeluarkan pada masa presiden Soekarno, di dalam Keputusan Presiden tersebut diatur ketentuan – ketentuan sebagai berikut: a) Pengurangan Hukuman : (1)
Pasal 1 ayat 1
32
Orang hukuman penjara, hukuman tutupan atu kurungan, termasuk hukuman pengganti denda, berhak mendapat pengurangan hukuman: (a) Dibebaskan dari semua hukuman (b) Dibebaskan
dari
semua
hukuman,
jika
mereka
berkelakuan baik. (2)
Pasal 1 ayat 2, syarat – syarat ayat 1 diatas adalah : (a) Orang yang bersangkutan telah berjasa besar terhadap negara. (b) orang yang bersangkutan dihukum karena perbuatannya melanggar peraturan Hindia Belanda atau Peraturan Jepang, yang sekarang tidak diancam lagi dengan hukuman. (c) Orang yang bersangkuatan tersebut diatas dianggap patut dibebaskan dari hukumannya atau sebagaian dari hukuman itu disebabkan lain – lain hal yang penting sekali bagi negara.
(3)
Pengurangan hukuman tidak berlaku kepada : Pasal 2 Ketentuan pasal 1 tidak berlaku jika: (a) Terhadap orang hukuman kurang dari 3 (tiga) bulan (b) Untuk membebaskan dari segala hukuman, jika ia belum menjalankan sepertiga dari hukuman itu.
(4)
Pasal 3 ayat 1
33
Yang dimaksud dengan : (a) Orang yang berkelakuan baik sekali, yaitu palind sedikit tidak mendapat hukuman disilin (Register F), yaitu pelanggaran pasal 69 Reglemen Penjara. (b) Berjasa pada negara, antara lain dalam menjalani hukuman terbukti telah melakukan pekerjaan yang luar biasa bagi keselamatan negara. (c) Lain – lain hal yang penting bagi negara ialah perbuatan atau pikiran luar biasa bagi keselamatan negara. (d) Orang hukuman ialah orang yang menjalani hukuman penjara tutupan atau kurungan, termasuk juga kurungan pengganti denda yang lamanya tidak kurang dari 3 bulan. (e) Pembantu Pegawai dari orang – orang hukuman ialah orang hukuman yang pekerjaannya membantu pegawai dengan mendapat “surat pengangkatan dari Kepala Penjara”. (5)
Pasal 3 ayat 2 (a)
Pembebasan hukuman, yaitu : 1. Pembebasan hukuman sama sekali. 2. Pembebasan hukuman sebagian atau peringanan 3. Perubahan
hukuman
seumur
hukuman terbatas (b)
Negara yaitu Negara Indonesia Serikat
hidup
menjadi
34
(c)
Hari peringatan kemerdekaan yaitu tiap – tiap 17 Agustus
(6)
Pasal 3 ayat 3 : (a)
Menghitung lamanya hukuman dimaksudkan juga waktu tahanan bilamana waktu itu menurut putusan hakim terhitung sebagai hukuman dan langsung mendahului saat mejalankan hukuman.
(b)
Untuk
menjaankan
menjalankan (tertunda)
keputusan
hukuman walaupun
tidak oleh
ini,
maka
dianggap
yang
masa
terputus
berkepentingan
mengajukan permohonan pengampunan (grasi). (c)
Bilamana seseorang menjalankan lebih dari satu hukuman berturut – turut maka untuk menjalankan keputusan ini, semua hukumna dianggap sebagai satu hukuman.
b) Perhitungan lamanya menjalani hukuman : (1)
Pasal 4 Untuk menghitung lamanya hukuman yang telah dijalani, maka yang diambil sebagai pangkal perhitungan ialah Hari Peringantan Kemerdekaan (17 Agustus), kecuali jika berdasarkan alasan luar biasa patut menyimpang dari aturan dalam pasal ini.
(2)
Pasal 5 ayat 1
35
Orang – orang hukuman yang memenuhi syarat – syarat, seperti tersebut dalam pasal 1 ayat 1, dapat pembebasan dari sebagian dari hukumannya menurut aturan sebagai berikut : (a) Narapidana yang telah menjalani hukuman tiga bulan sampai sampai dengan enam bulan memperoleh remisi 1 (satu) bulan. (b) Narapidana yang telah menjalani satu enam bulan sampai dengan satu tahun memperoleh remisi 2 (dua) bulan. (c) Narapidana yang telah menjalani satu tahun dalam tahun pertama memperoleh 2 (dua) bulan remisi. (d) Pada tahun kedua dan ketiga memperoleh 3 (tiga) bulan. (e) Pada tahun keempat dan kelima memperoleh remisi 6 (enam) bulan. (f) Tahun keenam dan seterusnya memperoleh remisi 9 (sembilan) bulan. (3)
Pasal 5 ayat 2 Jika orang itu didalam suatu tahun tidak mendapat pembebasan,maka buat memberi pembebasan lagi, seterusnya didasarkan pada pembebasan paling akhir.
(4)
Pasal 5 ayat 3 Pembantu pegawai memperoleh tambahan 1/3 dari remisi yang diterimanya pada tahun yang berjalan.
(5)
Pasal 6
36
Hukuman
seumur
hidup
bagi
yang
telah
menjalani
hukumannya lima tahun dan memenuhi syarat – syarat pasal 1 dapat diubah menjadi hukuman sementara sehingga lamanya sisa hukumannya yang masih harus dijalaninya menjadi selama – lamanya lima belas tahun. 2) Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1987 : Keputusan Presiden ini dikeluarkan pada masa Presiden Soeharto yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1987 Tentang “pengurangan masa menjalani pidana(remisi)”, Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1987 dalam konsiderannya memberi pertimbangan: dalam rangka pelaksanaan Pemasyarakatan, pemerintah memberikan remisi kepada narapidana dengan rincian sebagai berikut : a) Kepada setiap Narapidana yang menjalani pidana penjara sementara diberikan pengurangan menjalani pidana apabila selama menjalani pidana ia berkelakuan baik. b) Pengurangan masa menjalani pidana sebagaimana dimaksud dapat ditambah apabila selama menjalani pidana narapidana yang bersangkutan: (1) Berbuat jasa kepada negara. (2) Melakukan Perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan. (3) Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan dinas Lembaga Pemasyarakatan.
37
c) Pengurangan masa menjalani pidana tidak diberikan kepada : (1) Narapidana yang dikenakanpidana kurungan dari 6 (enam) bulan. (2) Narapidana kambuhan d) Besarnya Remisi : (1) Narapidana yang telah menjalani 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan mendapat remisi sebesar 1 (satu) bulan. (2) Menjalani 12 (dua belas) bulan atau lebih mendapat 2 (dua bulan) (3) Remisi kedua 3 (tiga) bulan. (4) Remisi ketiga 4 (empat) bulan (5) Remisi keempat dan kelima 5 (lima) bulan. (6) Remisi yang keenam dan seterusnya 6 (enam) bulan. (7) Seumur hidup tidak diubah melalui remisi, tetapi melalui permintaan Grasi hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1987 bahwa remisi tidak diberikan kepada : (a) narapidana yang kurang dari 2 (dua) bulan (b) narapidana kambuhan (c) Remisi seumur hidup menjadi pidana sementara. Selebihnya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1987 adalah sama dengan Keputusan Presiden Nomor 156 Tahun 1950. Bila diteliti secara mendalam nampak dengan jelas bahwa Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1987 Menunjukkan ciri – ciri kurang manusiawi jika
38
dibandingkan dengan Keputusan Presiden Nomor 156 Tahun 1950, khususnya tentang penekanan terhadap narapidana residivis dan narapidana seumur hidup jelas hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 3) Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999 Pada tanggal 5 juli 1999 Presiden Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden baru tentang remisi yakni Keputusan Presiden Nomor 69 tahun 1999 atas dasar pertimbangan bahwa Keputusan Presiden Nomor 69 tahun 1987 kurang manusiawi dan menunjukkan cirri – ciri balas dendam. Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999 tentang pengurangan masa pidana (Remisi) mempunyai ketentuan – ketentuan sebagai berikut: Narapidana atau anak pidana, termasuk pidana kurungan berhak memperoleh remisi. Yang tidak boleh menerima remisi adalah : a) Narapidana yang dipidana kurang dari 6 (enam) bulan b) Narapidana yang tercatat di register F c) Narapidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas (CMB) Pidana kurungan pengganti denda (dalam Keputusan Presiden 156 Tahun 1950 narapidana seperti itu mendapat remisi). Keputusan Presiden Nomor 69 tahun 1999 menentukan remisi besarnya sebagai berikut : a) Narapidana 6 (enam) bulan sampai 12 (dua belas) bulan memperoleh remisi 1 (satu) bulan
39
b) Narapidana lebih dari 12 (dua belas) bulan memperoleh remisi 2 (dua) bulan c) Pada tahun kedua memperoleh remisi 3 (tiga) bulan d) Pada tahun ketiga memperoleh remisi 4 (empat) bulan e) Pada tahun keempat dan kelima memperoleh remisi 5 (lima) bulan f) Pada tahun ke enam memperoleh remisi 6 (enam) bulan Remisi tambahan (Keputusan Presiden Nomor 05 Tahun 1987) Perhitungan untuk mendapat remisi dimulai sejak masa penahanan. Narapidana seumur hidup yang selama 5 (lima) tahun berturut – turut berkelakuan baik dapat diubah menjadi pidana sementara paling lama 15 (lima belas) tahun (sama dengan Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 1950) Melalui Keputusan Menteri Kehakiman dan Hukum Asasi Manusia. 4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 Pada tanggal 23 Desember 1999 Presiden KH Abdul Rahman Wahid mengeluarkan ketentuan baru tentang remisi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi. Keputusan Presiden tersebut memberikan warna baru dalam pengurangan masa pidana bagi narapidana di Indonesia dimana penjelasan tentang remisi umum hampir sama dengan Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999. Keputusan Presiden tersebut memunculkan aturan baru yakni pemberian remisi khusus berupa
40
pengurangan masa pidana bagi setiap narapidana pada hari besar keagamaan yang paling diagungkan. Perbedaan ketentuan tentang Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999 dengan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 terletak pada ketentuan kewenangan mengenai perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana sementara yang keputusannya ada ditangan Presiden bukan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. b. Dasar Hukum Remisi Dalam rangka mewujudkan Sistem Pemasyarakatan salah satu sarana hukum yang sangat penting adalah dengan pemberian remisi kepada narapidana dan anak pidana:37 Dasar hukum pemberian remisi terhadap narapidana dan anak pidana antara lain sebagai berikut: 1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 4) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
37
Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
41
5) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. 6) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik Indonesia Nomor M.09.HN 02.10 tahun 1999 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. Di dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam Pasal 14 bahwa narapidana berhak mendapatkan: 1) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, 2) mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani, 3) mendapatkan pendidikan dan pengajaran, 4) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, 5) menyampaikan keluhan, 6) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, 7) mendapatkan upah atau pemi atas pekerjaan yang dilakukan, 8) menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya, 9) mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), 10) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, 11) mendapatkan pembebasan bersyarat, 12) mendapatkan cuti menjelang bebas, dan 13) mendapatkan hak – hak lain sesuai dengan peraturan perundang –
42
undangan yang berlaku. Kemudian di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1994 tentang Remisi pada Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa, “setiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan baik selama menjalani pidana”.38 Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) pada Pasal 34 ayat (1) menyebutkan: “setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi”.39 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang mendapatkan remisi adalah : 1) Narapidana; 2) Anak pidana. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaannya di Lembaga Pemasyarakatan.40 Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan Keputusan Pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun.41 Syarat – Syarat Mendapatkan Remisi
38
Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34 ayat 1. 40 Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 angka 7. 41 Ibid Pasal 1 angka 8. 39
43
1) Remisi umum, diberikan pada hari ulang tahun kemerdekaan RI tanggal 17 agustus. Syarat mendapatkan remisi umum adalah: a) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani cuti menjelang bebas (CMB). b) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani pidana pengganti denda c) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani hukuman mati atau seumur hidup. d) Sudah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan. e) Tidak dikenakan hukuman disiplin. 2) Remisi khusus, diberikan pada hari besar keagamaan. Syarat mendapat remisi khusus adalah sebagai berikut: a) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani cuti menjelang bebas (CMB). b) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani pidana pengganti denda. c) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani hukuman mati atau seumur hidup. d) Sudah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan. e) Tidak dikenakan hukuman disiplin. 3) Remisi tambahan, diberikan karena berjasa kepada Negara, perbuatan yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Syarat mendapatkan remisi tambahan adalah sebagai berikut:
44
a) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani cuti menjelang bebas (CMB). b) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani pidana pengganti denda. c) Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani hukuman mati atau seumur hidup. d) Sudah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan. e) Tidak dikenakan hukuman disiplin. 4) Remisi dasawarsa, diberikan satu kali setiap 10 (sepuluh) tahun pada HUT RI. Syarat mendapatkan remisi dasawarsa adalah sebagai berikut: a) Dipidana lebih dari 6 (enam) bulan. b) Warga Binaan Pemasyarakatan tidak dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup. c) Warga Binaan Pemasyarakatan tidak dalam pelarian. 2. Jenis – Jenis Remisi Berdasarkan ketentuan pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi, dikenal jenis – jenis atau bentuk remisi yaitu :42 a. Remisi umum adalah remisi yang diberikan pada Hari Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tanggal 17 Agustus. b. Remisi Khusus adalah remisi yang diberikan pada Hari Besar Keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak didik yang
42
Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Pasal 2.
45
bersangkutan dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari 1 hari besar keagamaan dalam setahun maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. Berdasarkan Keputusan Menteri
Hukum dan Perundang –
Undangan Republik Indonesia Nomor M.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999, pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa pemberian remisi khusus dilaksanakan pada :43 1) Setiap Hari Raya Idul Fitri bagi narapidana dan anak pidana yang beragama Islam. 2) Setiap Hari Raya Natal bagi Narapidana dan anak pidana yang beragama Kristen. 3) Setiap Hari Raya Nyepi
bagi narapidana dan anak pidana yang
beragama Hindu. 4) Setiap Hari Raya Waisak bagi narapidana dan anak pidana yang beragama Budha. a) Remisi Tambahan adalah remisi yang diberikan apabila narapidana atau anak pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana : (1)Berbuat jasa kepada Negara (2)Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan
43
Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik Indonesia Nomor M.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999, pasal 3 ayat (2).
46
(3)Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. b) Remis Dasawarsa, adalah remisi yang diberikan satu kali setiap 10 tahun Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. 3. Prosedur Pemberian Remisi Prosedur pengajuan remisi diajukan adalah usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan tembusan kepada Direktorat Jemderal
Pemasyarakatan.
Untuk
selanjutnya
Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan mengambil surat keputusan yang kemudian diumumkan kepada narapidana yang bersangutan dan mengadakan perubahan buku ekspresi narapidana. Prosedur pengajuan remisi yang diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – undangan adalah:44 a. Dalam
hal
pemberian
remisi
Menteri
dapat
mendelegasikan
pelaksanaannya kepada Kepala Kantor wilayah, b. Penetapan pemberian remisi yang dimaksud dilaksanakan dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri, c. Segera setelah mengeluarkan penetapan, Kepala Kantor Wilayah wajib menyampaikan laporan tentang penetapan pengurangan masa pidana kepada Menteri cq. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Prosedur untuk mengajukan remisi adalah sebagai berikut: 44
Keputusan menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik Indonesia Nomor : M.09.HN.02-01. Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Pasal 2.
47
a. Remisi Umum: 1) Usul remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Perundangundangan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui Kepala Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2) Keputusan Menteri Hukum dan Hukum Asasi Manusia tentang remisi diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus bagi mereka yang diberikan remisi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan. 3) Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana atau Anak Pidana, Menteri Hukum dan Perundang – Undangan mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama.45 b. Remisi Susulan: 1) Remisi Susulan hanya diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang belum pernah menerima remisi. 2) Pengusulan Remisi Susulan dilakukan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara. 3) Pengusulan Remisi Khusus dilakukan dengan mengisi formulir Remisi Umum Susulan sebagaimana terlampir dalam Peraturan 45
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH01.PK.02.02 Tahun 2010 Pasal 6 s.d. 9
48
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan. 4) Usulan Remisi Susulan tersebut kemudian dibuatkan keputusan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 5) Keputusan Kantor Wilayah tersebut kemudian dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan 6) Remisi Susulan ditetapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
49
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Pendekatan dalam penelitian ini yang digunakan adalah pendekatan yuridis yang sekaligus dilakukan juga secara sosiologis yaitu sebagai suatu penelitian terhadap penerapan hukum dimasyarakat yang pada hakekatnya merupakan bagian dari penelitian sosial, yang oleh Ronny Hanitijo Soemitro disebut sebagai social legal approach.26 Dengan demikian penelitian ini disebut juga dengan social legal research yaitu penelitian sosoilogi hukum yang dilakukan di dalam kehidupan masyarakat sehari – hari dan mengenai praktek atau penerapan hukum di masyarakat27 Pendekatan yuridis sosiologis yang dimaksud adalah bahwa dalam penelitian terhadap pembinaan narapidana, terutama dalam pemberian remisi kepada narapida akan dinilai dengan pandangan masyarakat dalam hal pemberian remisi oleh aparat pemerintah. Penelitian sosiologi ini tidak lepas dari unsur normatif karena aparat pemerintah tersebut dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan norma – norma yang berupa peraturan perundang – undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan menteri dan sebagainya, dan tidak dapat lepas dari fungsinya sebagai aparat organisasi pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 26
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta, 1995. Halaman 35 27 Ibid Halaman 35
50
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.28 Menurut Bambang Sunggono penelitian deskriptif yaitu: ”penelitian dimana analisis data tidak keluar dari lingkup sample, bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain”.29 Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan pemberian remisi di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) klas II A Wirogunan Yogyakarta. Dalam hal ini peneliti akan menggambarkan bagaimanakah pelaksanaan pemberian remisi di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) klas II A wirogunan Yogyakarta, faktor – faktor yang mempengaruhinya, hambatan – hambatan yang ada, serta bagaimana cara memecahkan hambatan – hambatan tersebut.
C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
28
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UII-Press, Jakarta, 1986.
Halaman 10. 29
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum Cetakan Keenam, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003. Halaman 38
51
D. Sumber Data 1. Data Primer Sumber Bahan Hukum Primer atau data dasar (primary data atau basic data) adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.30 Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat. Bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundang – undangan yang berlaku yaitu terdiri dari: a) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. e) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. f) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – undangan Republik Indonesia Nomor M. 09. HN 02. 10 tahun 1999 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. 30
Soekanto, Soerjono, Loc.cit. Halaman 12.
52
Dalam bahan hukum primer, bahan yang diperoleh selain dari peraturn perundang – undangan juga diperoleh dari pihak – pihak yang berhubungan langsung dengan masalah penulisan skripsi ini, baik melalui pengamatan atau wawancara dengan para responden. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dengan melakukan penelitian lapangan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIAWirogunan di Yogyakarta. 2. Data Sekunder Bahan hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari buku – buku, artikel ilmiah, berbagai kepustakaan umum mengenai pelaksanaan pemberian remisi, situs – situs internet dan hasil – hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan materi penelitian, serta dokumen – dokumen/arsip lain yang berkaitan dengan dengan permasalahan yang akan diteliti. 3. Data Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan yang sifatnya melengkapi kedua bahan hukum diatas, berupa Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain – lain.
E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini meupakan cara dalam mengumpulkan bahan – bahan yang dibutuhkan dalam suatu penelitian yang dapat dilakukan dengan cara:
53
1. Studi Kepustakaan Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai data yang terdapat dalam buku – buku literatur, makalah, artikel ilmiah, dan peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. 2. Studi Lapangan Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data langsung dari responden yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dengan cara wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dipergunakan untuk memperoleh data selengkap – sengkapnya melalui tanya jawab secara langsung dengan lebih dahulu mempersiapkan daftar pertanyaan.
F. Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan
menggunakan
Purposive
Sampling,
yaitu
salah
satu
pengambilan sampel secara representatif berdasarkan ciri atau sifat yang memiliki keterkaitan dengan populasi sebelumnya dan mewakili populasi tersebut. Purposive Sampling diterapkan apabila peneliti benar – benar ingin menjamin bahwa unsur – unsur yang hendak ditelitinya masuk ke dalam sampel yang ditariknya. Sesuai dengan metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti sebagaimana tersebut di atas maka sampel tersebut adalah Kasubsi Registrasi, Kasubsi Bimaswat, Kasubsi Pelaporan dan Tertib yang mempunyai
54
pengalaman – pengalaman dan berwawasan serta mempunyai kompetensi dalam bidang tugas serta kewenangannya dalam menangani pelaksanaan pemberian remisi.
G. Metode Penyajian Data Bahan – bahan penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks deskriptif naratif yang disusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang didahului dengan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa bahan, dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan kesimpulan.
H. Metode Analisis Data Metode analisis bahan dilakukan dengan menggunakan deskriptif kualitatif yaitu mengelompokkan data dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian dengan bertitik tolak pada permasalahan kemudian hasilnya disusun secara sistematis sehingga merupakan data yang konkrit dan data yang diperoleh penulisan disusun secara sistematis, logis dan yuridis kemudian dilakukan secara kualitatif. Sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan pemberian pengurangan masa pidana (remisi) terhadap narapidana itu telah terpenuhi dan apakah ada cara lain untuk menanggulangi pelaksanaan pemberian pengurangan masa pidana (remisi) bagi narapidana jika tidak didapatkan, serta untuk mengetahui kinerja petugas Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri. Semoga dengan adanya penelitian ini bisa memeberikan ruang yang lebih baik dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan bisa bermanfaat bagi
55
narapidana itu sendiri agar secara dasarnya hak mereka dapat terpenuhi baik secara jasmani maupun rohani sesuai dengan Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi.
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta 1. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta Sebelum penulis membahas tentang Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta, hal ini akan lebih lengkap apabila dari pembahasan ini akan kita
uraikan
secara
jelas
mengenai
gambaran
umum
Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta terletak di
Jalan
Tamansiswa
Nomor
6
Yogyakarta
55111,
Lembaga
pemasyarakatan ini berdiri sejak Zaman Kolonial Belanda Tahun Pendirian 1910 – 1915 yang lebih sering disebut sebagai Lapas Wirogunan. Sebelum diberi nama Lembaga Pemasyarakatan Wiroguna, pergantian nama Lembaga Pemasyarakatan sendiri terdiri dari : a. Gevangenis En Huis Van Bevaring b. Penjara Belanda c. Kepenjaraan DIY d. Kantor Direktorat Tuna Warga e. Lapas Klas I Yogyakarta f.Lapas Klas II A Yogyakarta
57
Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan ( WBP ) terhitung tanggal 9 juli 2013 sudah mencapai 307 narapidana, narapidana itu sendri terdiri dari 288 orang pria dan 19 orang wanita. Pada tanggal 17 Juli 2013, Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta memiliki 171 orang pegawai, yang terdiri dari 128 orang pria dan 43 orang wanita. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan terdiri dari Pos Penjagaan,
Pos Utama (tempat Komandan Jaga), Pos Penerima Tamu
(tempat Portir / P2U), Pos Atas penjagaan Pos Atas): Posisi disetiap sudut Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari Petugas 1 orang, Peralatan Lonceng, Senjata laras panjang, Alat penerang, Pergantian petugas dilakukan setiap 2 jam. Tahapan Keamanan Warga Binaan Pemasyarakatan (Penempatan kamar Warga Binaan Pemasyarakatan), Maximum Security: 0 – 1/3 MP, Medium Security 1/3 – 1/2 MP,Minimum Security: 1/2 MP, Personil Pengamanan: KPLP, Regu Pengamanan: 1 Komandan Regu Pengamanan, 1 Wakil Kepala Jaga Regu Pengamanan, 12 Anggota Regu Pengamanan (Termasuk P2U), Piket Bantuan, Satuan Petugas Keamanan dan Tata Tertib. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan adalah Unit Pelaksanaan Teknis di bidang pemasyarakatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai salah satu Unit Pelaksanaan Teknis maka Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan memiliki fungsi berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.05.PR.07.03. Tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata
58
Kerja Lembaga Pemasyarakatan dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan: “Mempersiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagi anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab.”31
Untuk
menyelengarakan
fungsi
tersebut
maka
Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan melaksanakan tugas sebagai berikut : a. Melaksanakan
Pembinaan
Narapidan/Anak
Didik
di
Lembaga
Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan. b. Memberikan bimbingan, perawatan, terapi terhadap Narapidan/Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan . c. Melakukan bimbingan kerohanian dan sosial. d. Melakukan Keamanan dan Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan. e. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga. 2. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta Dalam melaksanakan tugas tentu Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan memiliki struktur organisasi yang terdiri dari : a. Kepala Lembaga Pemasyarakatan. b. Kepala Sub bagian Tata Usaha. c. Kaur Kepegawaian dan Keungan.
31
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan
59
d. Kaur Umum. e. Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan. f. Kepala Seksi Administrasi Kamanan dan Ketertiban. g. Kepala Sub Bagian Seksi Keamanan. h. Kepala Sub Bagian Seksi Pelatihan dan Tata Tertib i. Kepala Seksi Kegiatan Kerja. j. Kepala Sub Bagian Seksi Bimker dan PHK. k. Kepala Sub Bagian Seksi Sarana Kerja. l. Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik. m. Kepala Sub Bagian Seksi BIMASWAT. n. Kepala Sub Bagian Seksi Registrasi. Struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan dan Uraian tugas masing – masing adalah sebagai berikut: a. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyelenggarakan kegiatan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan serta menyusun
rencana
kerja
Lembaga
berkewajiban
Pemasyarakatan
dengan
mengkoordinasikan tugas seksi pembinaan, seksi kegiatan keja, seksi administrasi
keamanan
dan
tata
tertib,
pengamanan
Lembaga
Pemasyarakatan serta pengelolaan tata usaha Lembaga Pemasyarakatan yang meliputi urusan kepegawaian dan keuangan serta rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan sesuai petunjuk dan aturan yang berlaku. Menilai dan mengesahkan penilaian pekerjaan pejabat dan pegawai dalam
60
lingkungan Lembaga Pemasyarakatan dan melakukan pembinaan pegawai di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. b. Sub Bagian Tata Usaha Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lembaga Pemasyakatan serta berkewajiban menyusun rencana kerja pada Sub Bagian Tata Usaha, mengkoordinasikan pelaksanaan tugas ketatausahaan pada
urusan
umum,
kepegawaian
dan
keuangan
Lembaga
Pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang – undangan yang berlaku dalam rangka pemberian pelayanan administrasi serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan. Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh : 1) Urusan Kepegawaian dan Keuangan, yang mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian dan keuangan seperti : pengusulan calon pegawai yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan pra jabatan, pengusulan kenaikan pangkat, pengusulan pengangkatan dalam
jabatan
struktural,
pengusulan
pemindahan
pegawai,
pengusulan pemberhentian pegawai, pengusulan pension pegawai, membuat daftar gaji/ lembur dan rapel pegawai, melakukan pembayaran gaji, mengkoordinasikan penyusunan Daftar Urutan Kepangkatan
(DUK)
dan
Daftar
Usulan
Proyek
(DUP),
melaksanakan pencairan dana, membayar atas tagihan beban anggaran
rutin,
melakukan
pemotongan
pajak
pada
setiap
61
pengeluaran, melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf. 2) Urusan Umum, mempunyai tugas antara lain ; melakukan hal – hal yang berkaitan dengan surat menyurat, melakukan pemeliharaan kendaraan dinas, perlengkapan kantor, gedung dan rumah dinas, mengkoordinasikan penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf. c. Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik Berkewajiban menetapkan rencana kerja seksi bimbingan narapidana/ anak didik, mengkoordinasikan pelaksanaan bimbingan terhadap
narapidana/anak
didik
dalam
lingkungan
Lembaga
Pemasyarakatan dengan melakukan registrasi dan membuat statistik serta dokumentasi
sidik
jari,
memberikan
bimbingan
kemasyarakatan,
mengurus kesehatan dan memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani, memberikan latihan olah raga, peningkatan pengetahuan dan asimilasi, cuti pelepasan dan kesejahteraan narapidana/anak didik serta mngesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan. Dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh: 1) Sub Seksi Registrasi, mempunyai tugas untuk melakukan pendaftaran terhadap narapidana baru dengan urutan sebagai berikut : a) Meneliti
sah
tidaknya
surat
keputusan
(vonis)/surat
penetapan/surat perintah dan mencocokkan narapidana/ tahanan yang bersangkutan.
62
b) Mencatat identitas narapidana/tahanan dalam buku register B bagi narapidana dan buku register A untuk tahanan. c) Meneliti barang-barang bawaan narapidana/tahanan, kemudian mencatatnya dalam buku penitipan barang (register D), setelah itu barang – barang diberi label yang diatasnya diberi nama pemilik. d) Mengambil teraan jari (tiga jari kiri) narapidana pada surat keputusan dan sepuluh jari kanan kiri pada kartu dektiloskopi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. e) Mengambil foto narapidana. f)
Memerintahkan untuk memeriksa narapidana kepada dokter atau paramedis.
g) Setelah pemeriksaan kesehatan, petugas pendaftaran membuat berita acara penerimaan narapidana yang ditandatangani bersama. h) Menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf bawahan. 2) Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Perawatan, yang mempunyai untuk melakukan tugas : a) Memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani. b) Memberikan latihan olah raga. c) Memberikan bimbingan kemasyarakatan. d) Peningkatan pengetahuan asimilasi, cuti penglepasan. e) Memberikan kesejahteraan bagi narapidana.
63
f)Memberikan perawatan kesehatan narapidana. g) Menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf bawahan. d. Seksi Kegiatan Kerja Bertugas untuk menyusun rencana kerja pada Seksi Kegiatan Kerja, mengkoordinasikan pemberian bimbingan kerja, mempersiapkan sarana kerja dan mengelola hasil kerja yang meliputi pemberian bimbingan latihan kerja bagai narapidana/anak didik, mempersiapkan fasilitas sarana kerja serta mengelola hasil kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka pembinaan narapidana/anak didik, serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan. Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh : 1) Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja, mempunyai tugas memberikan petunjuk dan bimbingan latihan kerja bagai narapidana/ anak didik, memanfaatkan keterampilan narapidana yang menonjol sebagai tutor sesama narapidana/anak didik, serta mengelola hasil kerja, menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf bawahan. 2) Sub Seksi Sarana Kerja, mempunyai tugas untuk mempersiapkan fasilitas kerja yang dibutuhkan sesuai dengan program kerja yang telah ditetapkan, menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/staf bawahan. e. Seksi Administrasi Keamanan dan Ketertiban Bertugas menyusun rencana kerja Seksi Administrasi Keamanan dan Ketertiban, mengkoordinasikan kegiatan administrasi keamanan,
64
pelaporan dan tata tertib sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam rangka terciptanya suasana aman dan tertib di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, serta mengesahkan menilai pelaksanaan tugasnya dibantu oleh : 1) Sub Seksi Keamanan, mempunyai tugas untuk mengatur jadwal tugas pengamanan, melakukan pengawasan dan pengontrolan penggunaan perlengkapan
keamanan,
pembagian
tugas
pengamanan,
dan
memberikan penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan. 2) Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib, bertugas untuk menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas, menyiapkan laporan berkala di Seksi Keamanan dan Tata Tertib, dan menilai pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan. f.Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Terdiri dari petugas – petugas pengamanan antara lain Rupam dan Ruport. Bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan dengan melakukan fungsinya dalam penjagaan dan pengawasan terhadap narpidana/anak didik, melakukan pemeliharaan keamanan penempatan
dan dan
ketertiban,
melakukan
pengeluaran
pengawalan,
narapidana/anak
didik,
penerimaan, melakukan
pemeriksaan terhadap pelanggar keamanan, membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan, serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan.
65
3. Organisasi Pendukung Profesi a. KORPRI b. KOPERASI c. Majelis Taklim d. Perkumpulan Kegiatan Olah Raga Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta e. Ikatan Kegiatan Sosial Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta 4. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan mempunyai visi , misi, tujuan dan sasaran sebagi berikut : a. Visi : Mengedepankan Lembaga Pemasyarakatan yang bersih, kondusif, tertib dan transparan dengan dukungan petugas yang berintegritas dan berkompeten dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan serta memulihkan hubungan kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan sebagi individu, anggota masyarakat serta mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dengan membangun manusia yang mandiri. b. Misi : 1. Mewujudkan tertib pelaksanaan tupoksi Pemasyarakatan secara konsisten dengan mengedepankan penghormatan terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia serta transparansi publik.
66
2. Membangun kerja sama dengan mengoptimalkan keterlibatan stake holder dan masyarakat dalam upaya pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. 3. Mendayagunakan potensi sumber daya manusia petugas dengan kemampuan penguasaan tugas yang tinggi dan inovatif serta berakhlak mulia. 4. Melaksanakan Perawatan tahanan , Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan Negara dalam rangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. c. Tujuan : 1.
Membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, mandiri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan
masyarakat,
dapat
berperan
aktif
dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 2.
Memberikan jaminan Hak Asasi tahanan ditahan di Rumah Tahan Negara dan Cabang Rumah Tahanan dalam rangka memperlancar proses penyidikan , penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan.
3.
Memberikan jaminan hak asasi tahanan asasi tahanan/ para pihak yang berpekara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang
67
disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda – benda yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan. d. Sasaran 1) Sasaran pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan yang pada awalnya sebagian atau seluruhnya dalam kondisi kurang, yaitu : a) Kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b) Kualitas intelektual; c) Kualitas sikap dan perilaku; d) Kualitas profesionalisme/keterampilan ; dan e) Kualitas kesehatan jasmani dan rohani. 2) Sasaran pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya juga merupakan situasi/kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya tujuan
Pemasyarakatan
yang
merupakan
bagian
dari
upaya
meningkatkan ketahanan sosial dan ketahanan nasional, serta merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur tentang sejauh mana hassil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, sebagai berikut : a) Isi Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitas; b) Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan gangguan keamanan ketertiban ;
68
c) Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis ; d) Meningkatnya secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum watunya melalui proses asimilai dan integrasi ; e) Semakin banyaknya jenis – jenis institusi sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis/golongan narapidana ; f) Secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja di bidang industri dan pemeliharaan g) Persentase kematian dan sakit sama dengan persentase di masyarakat ; h) Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia pada umumnya ; i) Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara; dan j) Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi
nilai
–
nilai
masyarakat
ke
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan dan semakin berkurangnya nilai-nilai sub kultur penjara dalam Lembaga Pemasyarakatan. 5. Kegiatan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta Sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA wirogunan berdasarkan pada Surat Edaran Nomor : KP.10.13/3/1 tanggal 08 Februari 1965 tentang Sistem Pembinaan. Selain itu tugas Lembaga Pemasyarakatan tercantum dalam Undang – Undang Nomor : 12 Tahun 1995 Bab I Ketentuan Umum Pasal 2 bahwa Sistem Pemasyarakatan
69
diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak melanggar tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. a. Pembinaan Mental Rohani. Pembinaan mental dan rohani bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembinaan ini berupa kegiatan kerohanian Islam yang berupa pengajian rutin, dzikir bersama, sholat berjamaah, ceramah umum, sholat Jumat dan kegiatan pendidikan intensif agama Islam yang bekerjasama dengan PIAI/Pendidikan Intensif Agama Islam termasuk juga kegiatan peringatan hari – hari besar keagamaan. b. Pembinaan Umum Pembinaan umum merupakan suatu pembinaan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan fungsi intelektual narapidana. Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan program dengan program keaksaraan fungsional, seminar, pemberdayaan perpustakaan dan berbagai kegiatan penyuluhan lain seperti Kegiatan kejar Paket A dan Kejar Paket B. c. Pembinaan Keterampilan Dan Kegiatan Kerja. Pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja dimaksudnya untuk meningkatkan kemampuan narapidana dan mengembangkan bakat.
70
Kegiatan yang dilakukan antara lain : Unit Pertukangan Kayu, Unit Las, Unit Pembuatan Keset , Unit Handycraft, Unit Sablon, Unit Persepatuan, Unit Jahit dan Laundry, Unit Potong Rambut / Salon, Unit Pembuatan Pagar Bambu. d. Pembinaan Lainnya 1) Penyuluhan Narkoba dan Obat Berbahaya. Merupakan suatu kegiatan pembinaan yang bertujuan untuk membimbing narapidana mengembangkan sikap kemasyarakatan dan menanamkan sikap prososial, sehingga mereka nantinya dapat kembali ke masyarakat dan tidak mengulangi tindakan penyalahgunaan narkoba setelah mereka bebas. Kegiatan ini dilakukan langsung oleh tim medis Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan, Bentuk kegiatan ini dilakukan dengan cara pemeriksaan rutin, pemeriksaan berkala, serta program seminar kesehatan. 2) Rehabilitasi Medis. Rehabilitasi medis dilaksanakan oleh dokter dan perawat. Bentuk kegiatannya : a) Pemeriksaan kondisi kesehatan dan status narapidana baru. b) Identifikasi penyakit yang diderita. c) Detoksifikasi. d) Pemeriksaan Urine bagi pegawai dan narapidana. e) Kontrol dokter ke blok – blok penghuni. f) Kegiatan rawat inap dan rawat jalan.
71
3) Pembinaan Olahraga dan Kesenian a) Olahraga Kegiatan olahraga dilaksanakan setiap hari, pagi dan sore sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain lari pagi, senam pagi, bola voli, tennis meja dan catur. b) Kesenian Kegiatan kesenian dimaksudkan untuk membina dan mengasah bakat – bakat seni narapidana, sehingga mereka dapat menyalurkan bakat
seni
yang mereka
miliki.
Kegiatan kesenian
yang
dilaksanakan antara lain bermain musik
B. Pelaksanaan
Pemberian
Remisi
kepada
Narpidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta 1. Hasil Penelitian dan Pembahasan Mengenai Pelaksanaan Pemberian Remisi kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP, mengatakan bahwa “hak – hak narapidana diberikan telah sesuai sebagaimana diatur dalam peraturan perundang – undangan dan peraturan pemerintah yang berlaku, terutama hak remisi bagi narapidana. Hak remisi telah diberikan sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
72
Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ini setiap narapidana berhak mendapatkan hak remisi apabila narapidana telah memenuhi syarat – syarat untuk mendapatkan remisi. Dalam pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
masih
memuat
ketentuan
sebagaimana
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu remisi diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. Namun Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 menambahkan ketentuan bahwa persyaratan berkelakuan baik
73
harus dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir terhitung tanggal pemberian remisi dan telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan dengan predikat baik. Sementara itu pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi ketentuan pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan HAk Warga Binaan Pemasyarakatan juga harus memenuhi persyaratan: 1. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; 2. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan; 3. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis, atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis untuk Narapidana Warga Negara Asing.32 Untuk Narapidana Narkoba pemberian remisi hanya berlaku untuk Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) 32
Hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP selaku Kepala Sub Bagian Register pada Tanggal 17 Juli 2013
74
tahun,” bunyi Pasal 34A Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.33 ”Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, Remisi diberikan oleh Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait (tadinya hanya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).” Pasal 34C Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 ini juga menegaskan, Menteri Kehakiman dapat memberikan Remisi kepada Anak Narapidana dan Narapidana selain Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terkait terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya dipidana dengan masa pidana paling lama 1 (satu) tahun, berusia di atas 70 (tujuh puluh) tahun atau menderita sakit berkepanjangan.”34 Sedangkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi sebagaimana telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, untuk pelaksanaan pemberian remisi tentunya ada sebuah prosedur yang harus dilakukan dan adanya kesinambungan antara Pembina dan yang dibina agar remisi berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sedangkan mengenai prosedurnya yaitu dimulai dari tim pengawas atau tim penilai dari Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara,yang kemudian diajukan ke 33
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34A ayat 2. 34 Hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP selaku Kepala Sub Bagian Register pada Tanggal 17 Juli 2013.
75
kepala lembaga pemasyarakatnya. Yang dinilai dari tim pengawas adalah “apakah narapidana sudah menjalani masa pidananya dengan berkelakuan baik, sehingga dari pihak pengawas atau tim penilai kemudian mengajukan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan” Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, bekerjanya hukum mengenai Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta dikaitkan dengan teori bekerjanya hukum dari Robert B. Seidman, maka faktor – faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum sebagai realisasi kebijakan Pelaksanaan Pemberian Remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut: Faktor – Faktor Sosial dan Personal Lainnya
DPR dan Presiden: UU, PP, Keppres, Kemenhum. Umpan Balik
Umpan Norma Direktorat Jenderal Pemasyarakatan , Kantor Wilayah Hukum dan HAM, dan Lembaga Pemasyarakatan
Balik Aktivitas Penerapan
Anak pidana dan Narapidana
Faktor – Faktor Sosial dan
Faktor – Faktor Sosial dan
Personal lainnya
Personal Lainnya
76
Dari konsep bekerjanya hukum tersebut, dapat diungkapkan: a. Beberapa peraturan perundang – undangan yang telah dihasilkan oleh lembaga pembuat peraturan terkait dengan pelaksanaan pemberian remisi, antara lain: 1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, 2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata
Cara
Pelaksanaan
Hak
Warga
Binaan
Pemasyarakatan. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 5) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. 6) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik Indonesia Nomor : M.09.HN.02-01. Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
77
7) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan. b. Setiap sistem hukum (baca undang – undang dan peraturan yang disebutkan pada point a) mempengaruhi, mendorong, atau memaksakan agar suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga pembuat peraturan perundang – undangan dan lembaga kekuasaan Negara. c. Oleh karena itu model yang diajukan menggambarkan tuntutan – tuntutan yang diajukan oleh kepala lembaga pemasyarakatan, kepala kantor wilayah hukum dan hak asasi manusia, dan direktorat jenderal pemasyarakatan kepada Lembaga Pembuat Hukum yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. d. Kemudian oleh kekuasaan Negara diselenggarakan dengan menggunakan
hukum
sebagai
sarana
untuk
mendorong
dilakukannya tingkah laku yang dilakukan oleh pemegang peran (role occupant) yaitu anak pidana dan narapidana. e. Bagaimana respon pemegang peran terhadap pemberian remisi yang ditujukan terhadap dirinya yang berupa penguranagn masa pidana. f. Tingkah laku seorang pemegang peran merupakan hasil dari seluruh tingkah laku yang telah dilakukan oleh pemegang peran secara personal atau individu.
78
g. Keadaan ini juga berlaku bagi lembaga pembuat peraturan dan penerap sanksi. Kedua lembaga ini juga mendapat pengaruh dari kekuatan personal dan sosial. Jadi pengaruh penegak hukum sebagai suatu lembaga yang tidak dapat dielakkan. Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan beberapa faktor tersebut yang dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat khususnya dalam Pelaksanaan Pemberian Remisi kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan adalah: a. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang – undangannya), b. Penegakkannya (para pihak dan pemerintah), c. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan perilaku anak pidana dan narapidana) 2. Prosedur Pelaksanaan Pemberian Remisi kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta Dalam pemberian remisi kepada narapidana harus mengikuti prosedur yang telah diatur dan ditentukan dalam peraturan perundang – undangan. Menurut hasil wawancara dari narasumber penelitian, dikatakan bahwa “jika narapidana sudah memenuhi syarat – syarat untuk mendapatkan remisi maka Lembaga Pemasyarakatan akan mengusulkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta”35 Persyaratan agar dapat mengajukan Remisi adalah sebagai berikut: 35
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Registrasi Ibu Desy Afneliza, Amd. IP pada tanggal 17 Juli 2013
79
1. Narapidana atau Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi apabila: a. Berkelakuan baik; dan b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. Remisi dapat pula diberikan apabila Narapidana atau Anak Pidana melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS 2. Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila: a. Berkelakuan baik; dan b. Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.36 Pada peraturan pemerintah yang baru terdapat beberapa peubahan syarat – syarat pemberian remisi kepada narapidana. Adapun perubahan syarat – syarat agar dapat mengajukan remisi pada pasal 34 adalah sebagai berikut: 1. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi; 2. Remisi sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat: a. Berkelakuan baik; dan b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. 3. Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a dibuktikan dengan:
36
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34
80
a. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian remisi; dan b. Telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik. Untuk pasal 34A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan: a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya; b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
pengadilan
untuk
narapidana
yang
dipidana
karena
melakukan tindak pidana korupsi; dan c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penaggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar: 1) Kesedian kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi narapidana warga Negara Indonesia, atau
81
2) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi narapidana Warga Negara Asing Yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme 2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; 3. Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.37 Prosedur untuk mengajukan remisi adalah sebagai berikut: a. Remisi Umum: 1. Usul remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Perundang – Undangan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui Kepala Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang remisi diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus bagi mereka yang diberikan remisi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari besar
37
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34 dan 34A
82
keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan. 3. Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana atau Anak Pidana, Menteri Hukum dan Perundang – undangan mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama.38 b. Remisi Susulan: 1. Remisi Susulan hanya diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang belum pernah menerima remisi. 2. Pengusulan Remisi Susulan dilakukan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara. 3. Pengusulan Remisi Khusus dilakukan dengan mengisi formulir Remisi Umum Susulan sebagaimana terlampir dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan. 4. Usulan Remisi Susulan tersebut kemudian dibuatkan keputusan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 5. Keputusan Kantor Wilayah tersebut kemudian dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan 6. Remisi Susulan ditetapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.39. Untuk lebih jelasnya diterangkan sebagai berikut: 38
Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi Pasal 13 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 1. Nomor M.HH01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan pasal 6 sampai dengan pasal 9 39
83
a. Pemberian Remisi Umum Remisi umum diberikan kepada warga binaan yang dinilai berkelakuan baik dan telah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun ketentuan lain yang diatur dalam pasal 34 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksnaan Hak Warga Binaan pemasyarakatan yang pada saat sekarang ini isi pasalnya terdapat perubahan yang terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 99
tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan dipergunakan dalam pemberian remisi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan yakni telah menjalani 1/3 (satu pertiga ) masa pidana bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor Psikotropika. Hak warga binaan ini diberikan setiap hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus dan besarnya remisi umum yang diberikan tergantung lamanya warga binaan dalam menjalani masa pidananya. Pemberian remisi umum di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan dilaksanakan sebagai berikut: 1) Pada tahun pertama diberikan remisi, yakni: a) 1 (satu) bulan bagi warga binaan yang telah menjalani pidananya selama 6 (enam) bulan sampai 12 (dua belas) bulan.
84
b) 2 (dua) bulan bagi warga binaan yang telah menjalani hukuman 12 (dua belas) bulan atau lebih. 2) Pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan. 3) Pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan. 4) Pada tahun keempat dan kelima masing – masing diberikan remisi 5 (lima) bulan. 5) Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan setiap tahun. Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarya remisi umum dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Untuk menghitung lamanya 1 (satu) bulan remisi adalah 30 hari. Dalam pemberian remisi umum kepada warga binaan Lembaga Pemasyarakatan dibagi lagi menjadi remisi umum sebagian dan remisi umum seluruhnya, dimana remisi umum sebagian adalah remisi yang diberikan kepada warga binaan Lembaga Pemasyarakatan namun ia tetap masih menjalankan sisa pidananya,sedangkan remisi umum seluruhnya adalah pemberian remisi dimana banyaknya remisi yang diterima warga binaan menyelesaikan masa pidananya sehingga ia langsung bebas. Pengusulan untuk mendapatkan remisi umum dilakukan oleh kepala Lembaga Pemasyarakatan kepada Kantor Wilayah Kementrian
85
Hukum dan Hak Asasi Manusia, selambat – lambatnya satu hari sebelum remisi diberikan. Pengusulan remisi umum dilakukan dengan menggunakan
formulir
R.U.I
untuk
remisi
umum
sebagian/
pengurangan masa pidana dan formulir R.U.II untuk remisi seluruhnya/pengurangan masa pidana sekaligus pembebasan. Setelah pengusulan remisi diterima di kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia lalu diajukan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Setelah mendapat pertimbangan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengabulkan pemberian remisi dengan mengeluarkan surat Keputusan Menteri dan dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan yang kemudian diumumkan pada hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
TABEL 1 Selama periode tahun 2012 jumlah daftar usulan narapidana yang mendapatkan remisi umum 17 agustus 2012 berjumlah : Jumlah Jumlah
Usulan
Penghuni
Remisi Jumlah
Lapas
RU
RU
I
II
Keterangan
86
296
231
13
244
RU I
: Remisi Umum Sebagian/ pengurangan masa pidana
RU II
: Remisi Umum Seluruhnya/ pengurangan masa pidana dan pembebasaan
Sumber : Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta Tabel 1 menunjukan mengenai Jumlah narapidana yang diberikan remisi pada periode Tahun 2012 baik remisi Umum maupun remisi Khusus yaitu mengenai pengusulan remisi Umum 17 agustus yang diusulkan 296 narapidana yang 231 RU I (Remisi Umum), 13 orang RU II Apabila dalam pelaksanaannya, narapidana yang telah diajukan untuk mendapat remisi umum ternyata tidak mendapatkan remisi, maka narapidana tersebut diusulkan kembali pada tahun berikutnya untuk mendapatkan remisi. Pengusulan remisi umum dilakukan dengan
menggunakan
formulir
R.B.I
untuk
remisi
umum
sebagian/pengurangan masa pidana dan formulir R.B.II untuk remisi seluruhnya/pengurangan masa pidana dan pembebasan.
87
Tabel 1 menunjukan Daftar Usulan mengenai Pengusulan Remisi Umum 17 Agustus 2012 telah mendapatkan putusan dari pengadilan maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia maka dapat dipaparkan ada : 1) 66 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 1 Bulan ( RU I ) 2) 63 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 2 Bulan ( RU I ) 3) 59 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 3 Bulan ( RU I ) 4) 15 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 4 Bulan ( RU I ) 5) 24 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 5 Bulan ( RU I ) 6) 4 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 6 Bulan ( RU I ) 7) 3 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 1 Bulan ( RU II ) 8) 4 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 2 Bulan ( RU II ) 9) 5 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 3 Bulan ( RU II ) 10) 1 Orang yang mendapatkan remisi sebanyak 5 Bulan ( RU II ) b. Pemberian Remisi Khusus Remisi Khusus diberikan kepada warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan bertepatan dengan hari besar keagamaan yang dianut oleh warga binaan yang bersangkutan. Dengan ketentuan bahwa bila dalam satu tahun ada lebih dari satu hari besar keagamaan, maka yang dipilih adalah hari besar keagamaan yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. Pemberian remisi khusus di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan dilaksanakan sebagai berikut :
88
1) Pada tahun pertama diberikan remisi, yakni: a) 15 (lima belas) hari bagi warga binaan Pemasyarakatan yang telah menjalani masa pidananya selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan. b) 1 (satu) bulan bagi warga binaan pemasyarakatan yang telah menjalani masa pidananya selama 12 (dua belas) bulan atau lebih. 2) Pada tahun kedua dan ketiga diberikan remisi 1 (satu) bulan atau lebih. 3) Pada tahun keempat dan kelima diberikan remisi 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari. 4) Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap tahun. Perhitungan lamanya masa menjalankan pidana sebagai dasar menetapkan besarnya remisi khusus dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari besar keagamaan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan. Apabila selama menjalani pidana, warga binaan pindah agama, maka remisi diberikan kepada warga binaan yang bersangkutan menurut agama yang dianut pada saat dilakukan pendataan pertama kali. Pengusulan remisi khusus menggunakan formulir R.K.I untuk remisi khusus sebagian dan formulir R.K.II untuk pengusulan remisi khusus seluruhnya. Untuk pengajuan usul mendapatkan remisi khusus
89
sama dengan remisi umum yakni dilakukan oleh kepala Lembaga Pemasyarakatan kepada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, selambat – lambatnya satu hari sebelum remisi diberikan. Pengusulan remisi khusus dilakukan dengan menggunakan formulir R.K. Setelah pengusulan remisi diterima di kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia lalu diajukan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan Hak
Asasi
Manusia mengabulkan
pemberian
remisi
dengan
mengeluarkan surat Keputusan Menteri dan dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan. Namun pemberian remisinya diberikan pada saat, sebagai berikut: 1) Setiap hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Islam. 2) Setiap Hari Natal bagi Narapidana dan Anak pidana yang beragama Kristen. 3) Setiap Hari Raya Nyepi bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Hindu. 4) Setiap Hari Raya Waisak bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Budha. TABEL 2 Selama periode tahun 2012 jumlah daftar usulan narapidana yang mendapatkan remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri berjumlah :
90
Jumlah Jumlah
Usulan
Penghuni
Remisi
Keterangan Jumlah
Lapas
RK RK I II
281
205
5
210
RK I : Remisi Khusus Sebagian/Pengurang an Masa Pidana
RK II : Remisi Khusus Seluruhnya/Pengura ngan masa pidana dan pembebasan Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta Apabila dalam pelaksanaannya, narapidana yang telah diajukan untuk mendapat remisi khusus ternyata tidak mendapatkan remisi, maka narapidana tersebut diusulkan kembali. Pengusulan remisi khusus dilakukan dengan menggunakan formulir R.K.T. (Remisi Khusus Tertunda). Tabel 2 mengenai Pengusulan Remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri Tahun 2012 terhadap Narapidana Pidana Umum di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta dapat dianalisis bahwa 281 Orang narapidana yang diusulkan untuk diberikan remisi
91
yang terbagi menjadi 205 orang yang dikenai pidana sebanyak 1 (satu) tahun ( R.K.I ), 5 orang yang merupakan terpidana yang telah menjalani pidana lebih dari 1 (satu) tahun ( R.K.II ). Tabel 2 menunjukan Hasil Putusan Pengadilan maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas Putusuan Remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri Tahun 2012 terhadap Narapidana Pidana Umum di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta yang terdiri dari: 1) 54 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 15 hari (RK I) 2) 125 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 Bulan (RK I) 3) 23 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 Bulan 15 hari (RK I) 4) 3 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 2 Bulan (RK I) 5) 4 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 Bulan (RK II) 6) 1 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 2 Bulan (RK II) TABEL 3 Selama periode tahun 2012 jumlah daftar usulan narapidana yang mendapatkan remisi umum Khusus Hari Raya Natal berjumlah :
92
Jumlah Jumlah
Usulan
Penghuni
Remisi
Keterangan Jumlah
Lapas
RK RK I II
23
18
0
18
RK I : Remisi Khusus Sebagian/penguranga n masa pidana
RK II : Remisi Khusus Seluruhnya/penguran gan masa pidana dan pembebasan Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta
Pelaksanaan remisi Hari Raya Natal sama halnya seperti pemberian saat Hari Raya Idul Fitri, apabila dalam pelaksanaannya narapidana yang telah diajukan untuk mendapat remisi khusus ternyata tidak mendapatkan remisi, maka narapidana tersebut diusulkan kembali. Pengusulan remisi khusus dilakukan dengan menggunakan formulir R.K.T. (Remisi Khusus Tertunda). Tabel 3 mengenai Pengusulan Remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri Tahun 2012 terhadap Narapidana Pidana Umum di Lembaga
93
Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta dapat dianalisis bahwa 23 Orang narapidana yang diusulkan untuk diberikan remisi yang terbagi menjadi 18 orang yang dikenai pidana sebanyak 1 Tahun ( RK I ). Tabel 3 menunjukan Hasil Putusan Pengadilan maupun Kemenkumham atas Putusuan Remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri Tahun 2012 terhadap Narapidana Pidana Umum di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan Yogyakarta yang terdiri dari: 1) 5 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 15 (lima belas) hari (RK I ) 2) 11 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 (satu) Bulan (RK I ) 3) 2 Orang narapidana yang mendapatkan remisi khusus 1 (satu) Bulan 15 hari (RK I ) Dari hasil penelitian tampak bahwa berdasarkan pelaksanaan sistem pemasyarakatan di atas adalah : a) Undang – undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. b) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. c) Peraturan Pemerintah Nomor 28 T ahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. d) Peraturan Pemerintahan Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan
94
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat
dan
Tata
Cara
Pelaksanaan
Hak
Warga
Binaan
Pemasyarakatan. e) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. f) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang – undangan Republik Indonesia Nomor M.09.HN 02.10 tahun 1999 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. Adanya peraturan itu, maka yang perlu dicatat adalah bahwa sistem pemasyarakatan semakin mendapat perhatian dari pemerintah dan peraturan tersebut cukup memadai sehingga dapat dijadikan landasan atau pedoman dalam pelaksanaan pemberian remisi. Dalam
pelaksanaan
pidana
penjara
melalui
sistem
pemasyarakatan, sebagai faktor ikut mendukung akan keberhasilannya adalah peran serta masyarakat dan para penegak hukum baik di dalam lembaga pemasyarakatan itu sendiri maupun di luar lembaga pemasyarakatan,sehingga
ikut
membina
terpidana
dan
tidak
diskriminatif dalam memberikan remisi. Remisi merupakan langkah awal bagi terpidana untuk kembali kemasyarakat untuk menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya dan dapat ikut serta dalam pembangunan Negara.
95
Dari hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan mengemukakan bahwa “ untuk mendapatkan hak – hak mereka seperti remisi maupun hak – hak lainya harus menjalankan proses pembinaan, dimana narapidana harus mematuhi peraturan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Untuk hak – hak narapidana
itu sendiri pada dasarnya telah
disampaikan baik secara tertulis maupun lisan contohnya melalui papan insformasi maupun tata tertib peraturan yang ada sebagai informasi bahwa hak – hak mereka tetap ada meskipun sebagai narapidana. Akan tetapi konsekuensi dasar untuk mendapatkan hak – hak mereka juga harus berjalan harmonis dan seimbang dengan norma yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan informasi tersebut mengenai hak – hak mereka juga sering kami sampaikan sebagai petugas maupun sebagi Pembina pemasyaraktan agar berkelakuan baik selama menjalani hukuman. Supaya Hak mereka bisa didapatkan sepenuhnya. Untuk hak remisi juga telah kami berikan sesuai dengan Undang – undang yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan adanya kendala internal maupun eksternal yang terjadi di lapangan baik dari prosedur, sarana dan prasarana, budaya cultural dan narapidan itu sendiri. Karena untuk mendapatakan remisi narapidana harus memenuhi peraturan baik subtantif maupun administratifnya. 40
40
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Registrasi Ibu Desy Afneliza, Amd. IP pada tanggal 17 Juli 2013
96
Oleh karena itu Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wirogunan telah memiliki Upaya internal dan eksternal dalam penanganan kendala tersebut bekerja sama dengan pihak - pihak yang terkait dalam pemeberian remisi, sehingga dalam pemberian remisi dalam setiap pengusulan dan pelaksanaannya meminimalisirkan kendala dari berbagai kemungkinan yang ada bahkan menghilangkan kendala. “41
C. Kendala Yang Dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Dalam Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan dalam pelaksanaan pemberian remisi terhadap narapidana masih terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala dalam pemberian remisi. Pelaksanaan Pemberian remisi tidaklah selamanya dapat berjalan dengan baik, akan tetapi terkadang akan mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Adapun beberapa faktor yang menjadi kendala pelaksanaan Pemberian remisi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan. Berdasarkan hasil wawancara dari Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan dan juga dari beberapa orang narapidana penulis mendapatkan hasil sebagai berikut :
41
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Registrasi Ibu Desy Afneliza, Amd. IP pada tanggal 17 Juli 2013.
97
a. Wawancara dengan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Bapak Heriyanto, Bc.IP,S.H. selaku Kepala Seksi Pembinaan Narapidana “ mengatakan bahwa kendala yang terjadi adalah : 1) Proses pengusulan untuk memperoleh remisi bagi narapidana, masih ada belum dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang diatur dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kebijakan pentahapan dalam proses pemberian remisi pada kenyataannya membutuhkan waktu yang cukup Iama; 2) Tidak konsistennya para penegak hukum dalam menerapkan kebijakan yang ada terutama masalah mekanisme teknis maupun substantif dalam pemberian remisi 3) Kurangnya kepedulian instansi terkait yang masih menekankan pada kebijakan masing – masing, sehingga sering terjadi keterlambatan putusan dan eksekusi pelaksanaan pemberian remisi terhadap narapidana.42 b. Ibu Desy selaku Kepala Sub Bagian Registrasi “ mengatakan bahwa kendala yang terjadi adalah : 1) Kendala pada narapidana itu sendiri 2) Remisi yang telah diajukan dibatalkan karena narapidana melakukan kesalahan atau perkelahian atau register F, sehingga remisi yang telah di ajukan dibatalkan.43 42
Hasil wawancara dengan Kepala seksi Pembinaan narapidana (Kasi Binapi) Bapak Heriyanto, Bc.IP,S.H. pada tanggal 17 Juli 2013 43 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Registrasi Ibu Desy Afneliza, Amd. IP pada tanggal 17 Juli 2013.
98
c. Bapak Suwanjono, S.H. selaku Kepala Sub Bagian Bimaswat “mengatakan bahwa kendala yang terjadi dalam pemberian remisi adalah :” 1) Narapidana atau anak pidana melanggar disiplin dalam Lembaga Pemasyarakatan; 2) Proses di Direktorat lama.44 d. Ibu Tri Ari Astuti, M.Hum selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha “mengatakan bahwa kendala dalam penberian remisi adalah Narapidana itu sendiri sering berbuat ulah dan tidak memenuhi syarat Substantif dan Administratif;45 e. Wawancara dengan narapidana 1) Sugeng Hermawan selaku narapidana tindak pidana pemerkosaan mengatakan bahwa “kendala yang terjadi selama menuggu mendapatkan remisi adalah jika melanggar disiplin atau tata tertib Lembaga Pemasyarakatan seperti berkelahi sesama narapidana maka hak mendapatkan remisi akan dibatalkan. Padahal perkelahian terkadang muncul bukan dari kita, melainkan dari narapidana lain. Itulah yang menjadi kendala untuk bisa menjalankan peraturan yang ada.“46
44
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian BIMASWAT Bapak Suwanjono, S.H. pada tanggal 17 Juli 2013. 45 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Ibu Tri ari Astuti, M. Hum pada tanggal 17 Juli 2013. 46 Hasil wawancara dengan narapidana tindak pidana pemerkosaan Bapak Sugeng Hermawan pada tanggal 17 Juli 2013.
99
2) Agus Sumaryono selaku narapidana tindak pidana pembunuhan mengatakan bahwa “kendala yang dialami dalam mendapatkan remisi adalah apabila melanggar disiplin atau tata tertib Lembaga Pemasyarakatan maka haknya mendapatkan remisi akan dibatalkan dan dalam lama prosesnya.”47 Dalam pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya. Faktor kendala tersebut dikaitkan dengan teori dari Soerjono Soekanto tentang faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, antara lain: a. Faktor hukum itu sendiri yaitu peraturan perundang – undangan dan peraturan pemerintah itu sendiri, karena dalam peraturan perunang – undangan dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang remisi masih adanya ketidakjelasan dalam kata – kata yang dipergunakan dalam setiap perumusan pasal – pasal tersebut, sehingga hal tersebut terjadi penafsiran yang sangat luas. b. Faktor penegak hukumnya. Penegak hukum merupakan pemegang peranan (role occupant). Pemegang peranan yang terlibat dalam pelaksanaan pemberian remisi adalah Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta, Kepala Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia
Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
Pemasyarakatan Republik Indonesia. 47
dan
Direktorat
Jenderal
Penegak hukum mempunyai
Hasil wawancara dengan narapidana tindak pidana pembunuhan Bapak Agus Sumaryono pada tanggal 17 Juli 2013.
100
kedudukan dan peranan, namun tidak dipungkiri bahwa berbagai kedudukan dan peranan timbul adanya suatu konflik (status conflict dan comflict of roles) sehingga dalam kenyataannya terjadi kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang dilakukannya. Dalam pelaksanaan pemberian remisi yaitu peranan penegak hukum yang belum dilaksanakannya secara optimal yaitu terjadi keterlambatan pemberian putusan/penyerahan eksekusi dari penegak hukum (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) dalam putusan remisi kepada narapidana sering terlambat dan ada beberapa narapidana tidak mendapatkan remisi karena keterlambatan putusan. c. Faktor sarana atau fasilitas. Dalam hal ini kendalanya adalah kurangnya Sumber Daya Manusia yang potensial dalam penerapan deskripsi pekerjaan. Dalam hal ini sebagai petugas lembaga pemasyarakatan sebagian besar tidak memahami bidang yang ditugaskan bagi pegawai tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan dasar hukum. d. Faktor masyarakat. Masyarakat kurang menyadari dan kurang memahani apa itu hukum. Karena kurangnya kesadaran hukum itu, banyak masyarakat yang tidak mengacuhkan hukum, pura – pura menaati hukum, dan secara terang – terangan melanggar peraturan hukum yang telah dibuat oleh pembuat peraturan dan yang telah diterapkan oleh penerap peraturan (penegak hukum). Sehingga masyarakat hanya mematuhi hukum pada saat ada penegak hukumnya saja karena penegak hukum dianggap senagai sesuatu yang menakutkan.
101
e. Faktor kebudayaan. Kurangnya mengutamakan nilai ketertiban dalam ruang lingkup masyarakat dan lingkungan lembaga pemasyarakatan khususnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta.
D. Upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan untuk Mengatasi Kendala Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana Perlu adanya upaya penyempurnaan dengan melakukan langkah – langkah untuk meminimalisir terjadinya hambatan dalam pemberian remisi, antara lain : a. Faktor hukumnya sendiri, para pembuat peraturan memperjelas setiap isi dari pasal – pasal yang mengatur tentang remisi yang dibuat. b. Faktor penegak hukumnya, para penegak hukum yang berperan sebagai penerap peraturan harus melaksanakan kewajiban – kewajibannya semaksimal mungkin sebagaimana yang telah diamanatkan dalam peraturan perundang – undangan dan melakukan kewajibannya tanpa menunda – nunda waktu yaitu memproses usulan remisi secara cepat dan tepat sehingga putusan mengenai pemberian remisi dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat waktu. Dan adanya komunikasi antara para penegak hukum. c. Faktor sarana dan fasilitas, adanya penyeleksian yang lebih ketat untuk penerimaan pegawai baru Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta. Pengetatan seleksi dilakukan sesuai dengan kapasitas manusia
102
itu sendiri yang mana pegawai yang akan diseleksi itu memiliki kemampuan dibidangnya. d. Faktor masyarakat, penegak hukum tidak hanya melakukan kegiatan atau usaha yang bertujuan agar warga taat dan patuh pada hukum. Karena cara itu hanya menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya bahkan masyarakat hanya patuh saat ada petugas saja. Cara ini harus dirubah yaitu para penegak hukum memberikan sosialisasi mengenai hukum. e. Faktor kebudayaan, menyatukan faktor kebudayaan dengan masyarakat. Penyatuan
dilakukan
untuk
menciptakan
keseimbangan antara ketertiban dengan.
adanya
keserasian
dan
103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab – bab terdahulu baik pada tinjauan pustaka maupun analisis data dan fakta yang ditemukan pada dalam penelitian, maka sampailah penulis pada bagian kesimpulan skripsi ini yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan Yogyakarta telah dilaksanakan secara optimal yaitu dari 296 narapidana,yang diusulkan 281 dan yang mendapatkan keputusan tetap 231. 2. Berkaitan dengan kendala dalam pemberian remisi yang menimbulkan akibat hukum bagi narapidana antara lain faktor hukumnya, penegak hukumnya, sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan. 3. Untuk
mengatasi
kendala
dalam
pemberian
remisi,
pihak
Lembaga
pemasyarakatan memiliki upaya yaitu menjalankan secara optimal peraturan perundang – undangan mengenai hak narapidana untuk mendapatkan remisi, dan memberdayakan komponen – komponen hukum untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berkompeten dan narapidana mendapatkan informasi mengenai hak – hak narapidana.
104
B. Saran Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah dikemukakan penulis ini, maka sebagai saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah: 1. Untuk pembuat peraturan perundang – undangan disarankan untuk mengefektifkan peraturan yang sudah ada atau membuat suatu peraturan perundang – undangan dan memperjelas setiap isi dari pasal dalam peraturan pelaksanaan pemberian remisi agar dapat sebagai landasan yuridis dan strukturil sebagai penunjang atau dasar bagi ketentuan – ketentuan operasionil suatu pelaksanaan pemberian remisi yang bersifat mengikat pada semua pihak yang terkait dalam pemberian atau pengawasan pemberian remisi kepada narapidana. Karena adanya keterlibatan beberapa penegak hukum dalam pelaksanaan pemberian remisi yang diperintahkan oleh undang – undang, namun diharapkan juga penegak hukum untuk lebih konsisten dan teliti dalam menerapkan batasan – batasan kondisi khusus yang secara juridis membedakan remisi yang diterima narapidana satu dengan narapidana yang lainnya. 2. Untuk menghindari terjadinya kendala terhadap penegak hukum, perlu adaya suatu lembaga pengawas pemberian remisi . Sehingga kurangnya koordinasi antar penegak hukum tidak terjadi lagi atau dapat diminimalisir dan memperluas menjalin hubungan baik dan koordinasi dengan instansi serta partisipasi masyarakat yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Achmad S. Soemadi Pradja dan Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1979. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996. Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005. Muladi, Demokratisasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002. P. A. F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986. Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2006. Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983. Setiady, Tolib, Pokok – Pokok Hukum Penitensier Indonesia, ALFABETA, Jakarta, 2010. Soekanto, Soerjono, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukumi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UII-Press, Jakarta, 1986. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta, 1995. Sudarto, Hukum Pidana I, F.H. Universitas Diponegoro, Semarang, 1990. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 1990.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum Cetakan Keenam, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Warrasih, Esmi, Pranata Hukum Suatu Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005.
Hasil Wawancara Hasil wawancara dengan Ibu Desy Afneliza, Amd. IP selaku Kepala Sub Bagian Register pada Tanggal 17 Juli 2013 Hasil wawancara dengan Kepala seksi Pembinaan narapidana (Kasi Binapi) Bapak Heriyanto, Bc.IP,S.H. pada tanggal 17 Juli 2013. Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian BIMASWAT Bapak Suwanjono, S.H. pada tanggal 17 Juli 2013. Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Ibu Tri ari Astuti, M. Hum pada tanggal 17 Juli 2013. Hasil wawancara dengan narapidana tindak pidana pembunuhan Bapak Agus Sumaryono pada tanggal 17 Juli 2013. Hasil wawancara dengan narapidana tindak pidana pemerkosaan Bapak Sugeng Hermawan pada tanggal 17 Juli 2013.
Peraturan Perundang – undangan Keputusan menteri Hukum dan Perundang – Undangan Republik Indonesia Nomor : M.09.HN.02-01. Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan. Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Website Internet http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhipenegakan-hukum-di-indonesia-8562.html diakses pada tanggal 08 Oktober 2013 www,google,com://http/web.unair.ac.id Diakses pada tanggal 08 Oktober 2013. www. teori-teori-sosiologi-hukum-menurut.html Diakses pada tanggal 06 Oktober 2013. www.depkumhan.co.id/Kutipan: Media Elektronik Sekretariat Negara Tahun 1999. Diakses pada tanggal 4 Juli 2013. www.google.com/Drs. THOLIB, Bc, IP, SH, MH, Kepala Lapas Terbuka Jakarta. Diakses pada tanggal 4 Juli 2013. www.google.com/Teori-Hukum-Dan-Keadilan-Indonesia.htm Diakses pada tanggal 06 Okrober 2013. www.media-indonesia.com. Diakses pada tanggal 17 Juli 2013