SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF KULIT KAYU Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
HIKMA YANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juni 2008
Hikma Yanti NIM E051060121
ABSTRACT HIKMA YANTI. The Antitermitic Properties of Extractives from Bark of Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Supervisors: WASRIN SYAFII and IGK TAPA DARMA.
This study was undertaken mainly to isolate and identify antitermitic substances that may be prospective as wood natural preservative from the bark of Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. The woodmeal of the samples were extracted with acetone. The acetone extract was then fractionated into n-hexane soluble fraction, ethyl ether soluble fraction, ethyl acetate soluble fraction, and insoluble fraction. The antifeedant bioassay test was carried out by treating paper discs with extracts at six level of concentration i.e. 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, and 10% (w/w). The bioassay test revealed that ethyl ether soluble fraction exhibited high toxicity to subterranean termite Coptotermes curvignathus Holmgren. Further investigation of the ethyl ether soluble fraction led to the isolation and identification of the possibly main compound addressed as pentahydroxyflavane (C15H14O6). Keywords: Acacia auriculiformis, antitermitic properties, bark extractives, Coptotermes curvignathus, pentahydroxyflavane
RINGKASAN HIKMA YANTI. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan IGK TAPA DARMA Sebagian besar kayu yang terdapat di Indonesia (sekitar 80 – 85 persen) mempunyai keawetan alami yang rendah sehingga mudah diserang oleh organisme perusak kayu. Untuk meningkatkan umur pakai dan mengefisienkan penggunaan kayu dilakukan proses pengawetan kayu. Namun demikian penggunaan bahan pengawet tersebut seringkali menimbulkan masalah terhadap lingkungan karena bersifat non biodegaradable. Oleh karena itu perlu upaya pengembangan bahan pengawet alami yang bersifat biodegradable dan renewable. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap tanah (C. curvignathus Holmgren) dengan cara isolasi dan mengidentifikasi komponen senyawa tunggal dalam zat ekstraktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang diduga bersifat anti rayap. Penelitian dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth yang diperoleh dari Darmaga Bogor yang dibuat serbuk dengan ukuran 40 – 60 mesh dan diekstraksi dengan pelarut aseton. Hasil ekstraksi berturut-turut difraksinasi bertingkat dengan pelarut n-heksan, etil eter, etil asetat. Untuk uji toksikologi digunakan rayap tanah C. curvignathus Holmgren dan bahan lain seperti kertas selulosa Whatmann. Untuk isolasi dilakukan dengan kolom kromatografi yang menggunakan silika gel 60 F254 (produk E. Merck 1.07734) dan kromatografi lapis tipis (KLT) yang menggunakan lempeng silika gel GF254 (produk E. Merck 05554). Tahapan dalam penelitian ini adalah ekstraksi dan fraksinasi bertingkat kulit kayu A. auriculiformis, pengujian anti rayap untuk menentukan fraksi teraktif, isolasi untuk memperoleh senyawa murni dari fraksi teraktif kemudian identifikasi senyawa aktif untuk mengetahui struktur molekulnya. Hasil ekstraksi dan fraksinasi bertingkat menunjukkan bahwa A. auriculiformis mengandung 19,660% ekstrak yang larut dalam aseton, yang terdiri dari 0,843% fraksi n-heksan, 7,911% fraksi etil eter, 4,176% fraksi etil asetat dan 6,730% residu. Pengujian anti rayap C. curvignathus menghasilkan fraksi teraktif adalah fraksi etil eter karena pada konsentrasi 4% sudah memiliki aktivitas anti rayap sangat kuat dan diikuti fraksi etil asetat, n-heksan, aseton dan residu. Hasil isolasi fraksi teraktif etil eter terhadap rayap diperoleh senyawa dominan PE-2 dan hasil identifikasi dengan menggunakan spektrometri Proton NMR dan Carbon NMR diduga bahwa komponen utama dari fraksi teraktif etil eter dari kulit A. auriculiformis adalah Pentahydroxyflavan (C15H14O6) yang termasuk golongan flavonoid.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF KULIT KAYU Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
HIKMA YANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS.
Judul Tesis Nama Mahasiswa NIM
: Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. : Hikma Yanti : E051060121
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. Ketua
Prof. Dr. Ir. IGK. Tapa Darma, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
.
Tanggal Ujian : 12 Juni 2008
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis berjudul “Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.” ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian selama 7 bulan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam berbagai kesempatan diskusi yang terkait dengan penelitian ini. 2. Rektor Universitas Tanjungpura, Dekan Fakultas Kehutanan, dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Hutan atas kesempatan untuk melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana dan biaya bantuan penyelesaian studi. 3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS). 4. Staf Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian, Pak Atin, Mas Wawan, Bu Rita, Bu Suminar, Pak Sabur, Pak Hanafi, Pak Ahmad, Mbak Sofa dan Pak Ari (Dosen FMIPA UNTAN). 5. Ayahanda H. Kamaruzzaman (alm), Ibunda Hj. Lawamah, mertuaku Darmadi dan Surati, Mbah, saudara-saudaraku (Nailul Qomariah, Rina Almiyah, Nanang Kazwini dan Safroni) , abang dan adik ipar, keponakan serta keluarga di Pontianak atas segala doa dan kasih sayangnya. 6. Suami dan putriku tercinta (Hendra Mart Priyanto, S. Hut dan Nafdariffa Azzahra Anandraputri) atas cinta, kasih sayang, pengorbanan dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan keluarga tercinta mustahil studi ini dapat terselesaikan dengan baik. 7. Teman-teman angkatan 2006 di pasca sarjana (eka, bu syahidah dll), dan teman-teman seprofesi di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, teman seperjuangan (teteh, kak ida, yusro) dan penghuni Regensi B-26 yang telah memberi semangat dan dorongan selama proses belajar. Selain itu tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2008
Hikma Yanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 24 Januari 1977. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ayah bernama H. Kamaruzzaman (alm) dan Ibu bernama Hj. Lawamah. Penulis menikah dengan Hendra Mart Priyanto, S. Hut pada tanggal 16 Pebruari 2003 dan telah dikaruniai seorang putri pada tanggal 24 Januari 2004 bernama Nafdariffa Azzahra Anandraputri. Pendidikan dasar penulis selesaikan di Sekolah Dasar Negeri 01 Pontianak tahun 1989 dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Pontianak hingga tahun 1992, kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Pontianak dan lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Jurusan Kehutanan Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat dan lulus pada tahun 2000. Pada bulan Desember tahun 2000 penulis diterima menjadi staf pengajar (dosen) di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak. Pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Program Studi Teknologi Hasil Hutan dengan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan penulis menyusun tesis dengan judul “Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. sebagai ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. sebagai anggota Komisi Pembimbing. Selama mengikuti program S2, penulis menyajikan karya ilmiah berjudul “Uji Aktivitas Senyawa Bioaktif Kulit Batang Resak Padi (Cotylelobium malayanum V.Sl)” dan “Pemanfaatan Mikrosilika Abu Sekam Padi Sebagai Pozzolan Sintetik pada Pembuatan Papan Semen” pada Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) X di Universitas Tanjungpura Pontianak pada tanggal 9-11 Agustus 2007. Menulis jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Tanjungpura, Vol.3 No.2, 2007, hal 313 – 318 dengan judul “Pembuatan Papan Partikel Semen dari Limbah Industri dan Pertanian”. Membuat buku “Analisis Perekatan Kayu” bersama tim (Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc., Desy Natalia K, Firda Auliya S, Nurhaida, Sahriyanti S, Tito Sucipto) yang telah diterbitkan tahun 2007.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL....... ........................................................................... DAFTAR GAMBAR .. ........................................................................... DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
xii xiii xiv
PENDAHULUAN ...... ...........................................................................
1
Latar Belakang ...... ........................................................................... Identifikasi Masalah .......................................................................... Tujuan Penelitian .. ........................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................... Hipotesis................ ...........................................................................
1 3 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
4
Keawetan Alami Kayu ...................................................................... Zat Ekstraktif......... ........................................................................... Batasan dan Ruang Lingkup .................................................... Penggolongan Zat Ekstraktif.................................................... Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif......................................................... Metode Pengujian Sifat Anti Rayap.................................................. Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif ..................................... Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) ...................... Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. ..............................
4 6 6 7 9 11 12 14 17
BAHAN DAN METODE .......................................................................
19
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... Bahan dan Alat...... ........................................................................... Bahan ........... ........................................................................... Alat............... ........................................................................... Metode Penelitian.. ........................................................................... Persiapan Sampel ..................................................................... Ekstrak Serbuk Kulit Kayu ...................................................... Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak ................................. Uji Bioassay Zat Ekstraktif terhadap Rayap Tanah ................. Isolasi Fraksi Teraktif Ekstrak Kulit A. auriculiformis dengan Kromatografi Kolom................................................................ Identifikasi Komponen Bioaktif...............................................
19 19 19 19 20 20 20 22 22
HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................
25
Kandungan Zat Ekstraktif ................................................................ Sifat Anti Rayap Ekstrak Kulit A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth .................... ........................................................................... Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren ................ Kehilangan Berat Contoh Uji Kertas ........................................
25
23 24
26 26 28
Isolasi Fraksi Teraktif Etil Eter dari Ekstrak Kulit A. auriculiformis ....................................................................... Identifikasi Senyawa dalam Fraksi PE-2 ..................................
30 31
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
33
Simpulan ............. ........................................................................... Saran..................... ...........................................................................
33 33
DAFTAR PUSTAKA . ...........................................................................
34
LAMPIRAN................ ...........................................................................
38
DAFTAR TABEL
Halaman 1
2
3
4
5
Klasifikasi tingkat keawetan alami kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu .........................................................
5
Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan sebagai insektisida pada serangga..........................................................
11
Titik didih, titik beku dan konstanta dielektrik beberapa jenis pelarut .. ...........................................................................
13
Klasifikasi tingkat aktivitas anti rayap ekstrak kulit A. auriculiformis ......................................................................
23
Kandungan zat ekstraktif hasil fraksinasi bertingkat dalam beberapa pelarut organik terhadap ekstrak aseton kulit A. auriculiformis .......................................................................
25
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Skema ekstraksi dan fraksinasi dari serbuk Kulit Kayu A. auriculiformis ...........................................................................
21
2
Pengujian sifat anti rayap ...............................................................
23
3
Hubungan antara konsentrasi ekstrak aseton kulit A. auriculiformis dan fraksi-fraksinya pada contoh uji dengan mortalitas rayap tanah C. curvignathus setelah pengumpanan selama 4 minggu ..............
26
Hubungan antara konsentrasi ekstrak aseton kulit A. auriculiformis dengan kehilangan berat kertas uji selulosa ...................................
29
Penampakan kertas uji pada beberapa taraf konsentrasi setelah Diumpankan pada rayap tanah C. curvignathus Holmgren ...........
30
Struktur senyawa Pentahydroxyflavan ..........................................
32
4
5
6
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Mortalitas rata-rata rayap tanah C. curvignathus Holmgren setelah diumpankan selama 4 minggu ...........................................
38
Kehilangan berat contoh uji kertas rata-rata setelah diumpankan pada rayap tanah C. curvignathus selama 4 minggu .....................
39
3
Gambar spektrum Proton NMR senyawa PE-2 .............................
40
4
Gambar spektrum Carbon NMR senyawa PE-2 ............................
41
2
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Seperti diketahui bahwa sebagian besar kayu yang terdapat di Indonesia (sekitar 80 – 85 persen) mempunyai keawetan alami yang rendah sehingga mudah diserang oleh organisme perusak kayu, misalnya jamur dan rayap. Organisme perusak kayu tersebut dapat menyerang pohon, log, papan, maupun barang-barang yang terbuat dari bahan kayu. Dari segi efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan, penyerangan kayu dan produk kayu oleh organisme tersebut sangat merugikan karena dapat memperpendek masa pakai kayu yang bersangkutan. Dalam rangka peningkatan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya kayu, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk memperpanjang masa pakai kayu, misalnya melalui proses pengawetan dengan bahan kimia (Syafii 2000a). Untuk meningkatkan umur pakai dan mengefisienkan penggunaan kayu, berbagai upaya telah dilakukan diantaranya dengan melakukan proses pengawetan menggunakan bahan pengawet sintetis. Namun demikian penggunaan bahan pengawet tersebut seringkali menimbulkan masalah terhadap lingkungan karena pada umumnya bersifat sukar terurai di alam (non biodegaradable). Seiring dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, bahan pengawet sintetis ini mulai dibatasi penggunaannya. Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mencari bahan pengawet alternatif yang lebih aman terhadap lingkungan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam hayati yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet yang bersifat bio degradable dan renewable misalnya zat ekstraktif. Syafii dan Yoshimoto (1993) melaporkan bahwa zat ekstraktif kayu teras lebih beracun dibandingkan dengan kayu gubal pada pohon yang sama dan keawetan teras tersebut akan berkurang secara drastis apabila kayu tersebut di ekstraksi dengan air panas atau pelarut organik. Harun dan Labosky (1985) dalam Sari dan Syafii (2001), menyatakan bahwa diduga zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu awet juga terdapat dalam kulitnya, mengingat pembentukan jaringan kayu teras dan kulit kayu dimulai dari meristem sekunder yang sama dan diharapkan terdapat jenis senyawa dan diharapkan terdapat jenis senyawa yang
2
hampir sama dari kedua jaringan tersebut. Doi dan Kurimoto (1998) dalam Sari dan Syafii (2001) membuktikan bahwa ekstrak aseton, n-heksan, dan metanol kayu teras sugi (Cryptomeria japonica) memiliki karakteristik resistensi terhadap rayap tanah Reticulitermes speratus yang lebih tinggi dari kulit dan kayu gubalnya. Penelitian mengenai sifat anti rayap komponen bioaktif kayu sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Menurut Syafii (2000)a, ekstrak aseton kayu damar laut (Hopea spp.) menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam menghambat perkembangan rayap Cryptotermes cynocephalus. Latifolin dan noeflavanoid yang diisolasi dari kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) juga dilaporkan mempunyai sifat bio-aktif terhadap perkembangan C. curvignathus (Syafii 2000)b. Penelitian sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu jati (Tectona grandis L.F.) juga telah dilakukan oleh Sari dan Syafii (2001). Dilaporkan bahwa zat ekstraktif yang terdapat pada kulit kayu jati terutama pada fraksi n-heksan mempunyai sifat anti rayap yang relatif tinggi terhadap rayap tanah C. curvignathus. Acacia auriculiformis merupakan tanaman perdu berukuran besar atau sedang yang berfungsi sebagai tanaman yang mampu memproduksi nitrogen, toleran terhadap tanah yang tidak subur, asam, basa ber-garam atau tergenang, musim kering, dan sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis. Hanum and Van Der Maesen (1997) menyatakan bahwa kayu akasia mengandung flavanoid dalam jumlah yang sangat besar yaitu sekitar 70% dari volume kayu terasnya. Harborne (1974) dalam Rinawati et al. (1996) menyatakan bahwa senyawa yang tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker, antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurunan tekanan darah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kayu akasia mengandung senyawa bioaktif. Oleh karena itu, kayu akasia diduga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap serangga perusak kayu khususnya rayap tanah. Komponen bioaktif kayu akasia diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami kayu.
3
Identifikasi Masalah Permasalahan yang ingin dijawab melalui pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif apa dari kulit kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). 2. Mengidentifikasi komponen senyawa tunggal dalam zat ekstraktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang diduga bersifat anti rayap.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap tanah (C. curvignathus Holmgren) dengan cara isolasi. 2. Mengidentifikasi komponen senyawa tunggal dalam zat ekstraktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang diduga bersifat anti rayap.
Manfaat Penelitian Dengan diketahuinya kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap maka diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengawet alami kayu.
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah kandungan ekstraktif yang terdapat di dalam kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. diduga bersifat racun terhadap rayap tanah (C. curvignathus Holmgren).
4
TINJAUAN PUSTAKA Keawetan Alami Kayu Keawetan alami kayu adalah kemampuan kayu untuk menahan serangan terhadap mikroorganisme (Eaton dan Hale 1993). Keawetan kayu secara alami ditentukan oleh jenis dan banyaknya ekstraktif di dalam kayu yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu seperti tanin, alkaloid, saponin, fenol, quinone dan damar (Tsoumis 1991). Keawetan alami ini akan bervariasi sesuai dengan banyaknya serta jenis ekstraktifnya. Hal ini menyebabkan keawetan alami kayu berbeda-beda dalam menghadapi resiko pelapukan menurut jenis kayu, baik dalam jenis yang sama maupun dalam pohon yang sama. Sejumlah metabolit sekunder berperan sebagai fungisida atau antibiotik, melindungi tanaman dari jamur dan bakteri seperti pterocarpan, pisatin, sesquiterpenoid dan phytoalexin. Sedangkan metabolit sekunder lain bersifat toksik terhadap serangga antara lain alkaloid dan cyanogenik glikogen yang mencegah kerusakan tanaman dengan membunuh predator tersebut (Vickery dan Vickery 1981). Keawetan alami kayu salah satunya ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat di dalam kayu. Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa zat ekstraktif diperkirakan berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme juga berperan dalam mencegah serangan serangga. Pada umumnya jenis kayu yang awet secara alami memiliki warna yang lebih gelap pada kayu terasnya dibandingkan dengan jenis kayu yang kurang awet. Warna yang secara alami terdapat pada kayu teras sebagai akibat adanya ekstraktif yang diendapkan pada saat pembentukan kayu teras tersebut. Namun daya tahannya terhadap organisme sangat ditentukan oleh adanya zat ekstraktif yang bersifat racun meskipun kandungannya sedikit. Faktor utama yang menyebabkan keawetan alami kayu adalah adanya zat ekstraktif yang bersifat racun yang terdapat di dalam kayu teras yang terbentuk selama proses pembentukan kayu teras tersebut (Syafii 2001). Pada umumnya kayu teras lebih awet daripada kayu gubalnya, terutama disebabkan oleh
5
pengendapan unsur-unsur kimia tertentu yang terdapat di dalam kayu selama peralihan kayu gubal menjadi kayu teras (Pandit dan Ramdan 2002). Senyawa polifenol pinosilvin bertanggung jawab terhadap ketahanan kayu teras pinus dibandingkan dengan kayu gubalnya (Walker 1993). Sejumlah senyawa aromatik seperti fenol, stilbena, flavonoid, tanin, kuinon, tropolon, lignan dan substansi lainnya terdapat pada kayu teras dan kulit. Tidak ada jenis kayu yang awet yang berasal dari kayu gubal. Pada akhirnya penggolongan kayu akan didasarkan pada keawetan alami dari kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu tersebut (Tabel 1). Tabel 1 Klasifikasi tingkat keawetan alami kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu Kelas Awet Kayu
Tingkat Keawetan
I
Sangat awet
II
Awet
III
Kurang awet
IV
Tidak awet
V
Sangat tidak awet
Sumber : [BSN] (1999) Selain faktor zat ekstraktif, ketahanan alami dipengaruhi pula oleh jumlah dan tipe lignin (Zabel dan Morrel 1992). Lignin kayu daun lebar disusun oleh tipe siringil dan guaiasil, sedangkan kayu daun jarum disusun oleh tipe guaiasil. Kayu yang ligninnya didominasi oleh tipe guaiasil cenderung lebih tahan terhadap pelapukan dibandingkan tipe siringil. Syafii et al. (1987) menyatakan bahwa kayu ulin, kayu bengkirai, kayu kohi, dan kayu malas memiliki laju pelapukan oleh Coriolus versicolor yang lebih rendah dibandingkan kayu yang lainnya. Kayu tersebut memiliki lignin dengan tipe guaiasil yang lebih dominan dibandingkan dengan tipe siringil. Keawetan alami pada pohon beragam, khususnya pada jenis yang keawetannya tinggi. Keragaman terjadi di antara jenis yang berbeda maupun di antara individu pohon jenis yang sama. Pada sebagian besar jenis, keawetan alami bagian terdalam kayu teras lebih rendah dibandingkan bagian terluar. Bagian terluar kayu teras semakin kurang awet dari bagian pangkal ke bagian ujung
6
pohon. Sedangkan pada kayu teras bagian terdalam akan semakin awet dari bagian pangkal ke bagian ujung pohon (Eaton dan Hale 1993).
Zat Ekstraktif Batasan dan Ruang Lingkup Dinding sel kayu tersusun oleh tiga unsur utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang semuanya merupakan polimer. Selain ketiga komponen utama tersebut terdapat pula sejumlah unsur atau bahan yang disebut ekstraktif. Hillis (1987) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu atau kulit dengan pelarut polar dan non polar. Zat ekstraktif ini bukan merupakan bagian struktural dinding sel kayu, tetapi sebagai zat pengisi rongga sel. Zat ekstraktif terdiri dari bermacam-macam bahan yang tidak termasuk bagian dari dinding sel. Komponen ini memiliki nilai yang penting karena menyebabkan kayu tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan warna pada kayu. Cara yang dapat digunakan untuk memisahkan zat ekstraktif ini antara lain dengan uap (dihasilkan kelompok dari hidrokarbon, asam-asam aldehid dan alkohol), dengan eter panas (dihasilkan asam-asam lemak, asam-asam damar, lemak, sterol dan bahan-bahan tak tersabunkan), dengan alkohol panas (dihasilkan tannin, zat-zat warna, fenol dan bahan-bahan larut air) dan dengan air (dihasilkan alkohol siklik, polisakarida, dengan berat molekul rendah, garam-garam). Sjostrom (1993) menyatakan bahwa kandungan dan komposisi zat ekstraktif sangat bervariasi antar jenis kayu, bahkan dalam batang yang sama pada satu jenis kayu pun dapat berbeda. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Eaton dan Hale (1993) bahwa substansi yang bersifat racun beragam di antara jenis dan marga dan beragam dalam sifat kimianya sehingga berbagai pelarut akan mengekstrak berbagai bahan toksik yang berbeda pada berbagai jenis. Kandungan ektraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia tidak hanya tergantung pada jenis tetapi juga pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian ekstraksi, yang hasilnya memberikan ciri awal komposisinya. Ekstrak alkali
7
maupun ekstrak etanol mengandung polimer flavonoid yang lebih tinggi meliputi asam-asam polifenolat (Fengel dan Wegener 1995). Menurut Sjostrom (1993), kulit adalah lapisan luar kambium yang mengelilingi batang, cabang, dan akar, yang jumlahnya sekitar 10 – 15% dari berat pohon. Setelah kayu, kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang paling penting kedua. Kulit kayu merupakan sekitar 10 – 20% dari batang tergantung pada spesies dan kondisi pertumbuhan (Fengel dan Wegener 1995). Susunan kimia kulit kayu menentukan sifat-sifat yang penting dari segi penggunaannya. Kulit mempunyai sifat pembengkakan yang berbeda, kurang anisotropik, memiliki koefisien perambatan panas sedikit lebih rendah, dan jauh lebih lunak dalam semua sifat mekanik kayu (Martin 1969; Cassens 1974 dalam Fengel dan Wegener 1995).
Penggolongan Zat Ekstraktif Menurut Fengel dan Wegener (1995) dalam ekstraktif terdapat beberapa senyawa-senyawa organik seperti terpena, lignan, stilbena, flavonoid, aromatik lain, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid dan hidrokarbon tinggi. Sjostrom (1993) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu : 1. Komponen-komponen alifatik Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana, alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), suberin (poliestolida). Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun daun lebar. Ester dan alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid alami, yang dikenal sebagai lilin. 2. Terpena dan terpenoid Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena (C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut jumlah unit isoprena (n), terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8).
8
Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil dan ester. Contoh dari terpenoid adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong sangat langka. Sedangkan di dalam kayu daun lebar mengandung terpena yang lebih tinggi, monoterpena ditemukan hanya pada beberapa kayu tropis saja (Fengel dan Wegener 1995). Terpena yang paling penting adalah α-pinena dan limonena yang terdapat pada semua kayu daun jarum. Beberapa monoterpena merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika. 3. Senyawaan fenolat Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima kelas, yaitu : 3.1 Tanin terhidrolisis : produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama. 3.2 Tanin terkondensasi (flavonoid) : polifenol yang mempunyai rantai karbon C6C3C6, contohnya krisin dan taksifolin. 3.3 Lignan : dimer dari dua unit fenilpropana (C6C3), contoh konidendrin, pinoresinol, dan asam plikatat. 3.4 Stilbena (1,2-difeniletilena) : mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya pinosilvin. 3.5 Tropolon : mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh yang tidak jenuh, contoh α,β, dan τ-tujaplisin yang diisolasi dari Thuja plicata. Meskipun fenolat terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam kayu teras, kulit dan xilem, namun fenolat ini mempunyai fungsi sebagai fungisida dan secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak kayu. Selain itu juga meningkatkan pewarnaan pada kayu. Harborne (1974) dalam Rinawati et al. (1996) mengemukakan bahwa flavanoid merupakan kelompok fenol yang tersebar di alam. Hampir semua bagian tumbuhan yaitu daun, akar, kayu, tepung sari, nektar, bunga, buah, dan biji dapat mengandung flavanoid. Senyawa yang
9
tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker, antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurun tekanan darah tinggi.
Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Findlay (1978) menjelaskan bahwa zat ekstraktif memberikan karakteristik warna tersendiri dalam memberikan ketahanan alami pada kayu. Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun, seperti alkaloid yang secara tetap menyebabkan iritasi atau menyebabkan gatal-gatal bagi orang yang menyentuhnya. Hillis (1987) menyatakan bahwa zat ekstraktif pada kayu teras dapat memberikan berbagai bentuk ketahanan pohon hidup terhadap agen perusak meskipun sangat bervariasi pada berbagai habitat. Rowell (1984) menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan senyawa-senyawa organik yang meliputi lemak, lilin, alkaloid, protein, senyawa fenolik sederhana dan kompleks, gula sederhana, pektin, gum, resin, tepena, pati, glikosida, saponin dan minyak esensial. Beberapa di antaranya berfungsi sebagai cadangan energi atau sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme. Zat ekstraktif juga berperan terhadap sifat kayu seperti warna, bau dan ketahanan terhadap pelapukan. Sjostrom (1993) menyatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada kayu teras, kulit dan juga yang terdapat pada xilem, bersifat racun atau anti jamur. Oleh karenanya dapat melindungi pohon dari gangguan organisme perusak kayu. Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai anti rayap dan anti jamur. Eusiderin, sejenis neolignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafii et al. 1985) dan Angolensin diekstrak dari kayu Pterocarpus indicus (Pilotti et al. 1995) bersifat racun terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces palustris. Sedangkan pada kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) diketahui terdapat senyawa latifolin dan neoflavonoid yang bersifat racun terhadap rayap Reticulitermes speratus (Syafii 2000b). Ohashi et al. (1994) melaporkan bahwa 3 jenis komponen bioaktif yaitu 8-acetoxyelemol, 8-hydroxyelemol dan hinociic acid yang diisolasi dari daun kayu Juniperus chinensis var pyramidalis terbukti dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur. Demikian juga ekstrak chloroform kayu Bruguiera gymnorrhiza yang mengandung senyawa bruguierol dan isobruguierol
10
bersifat anti rayap terutama rayap Coptotermes formosanus (Yaga et al. 1991). Sedangkan Hashimoto et al. (1997) melaporkan adanya sifat anti rayap kamper yang diisolasi dari kayu Cinnamomum camphora. Pada kayu Cunninghamii lanceolata berhasil diidentifikasi senyawa cedrol yang bersifat anti jamur (Shieh dan Sumimoto 1992). Zat ekstraktif kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) dan kayu damar laut (Hopea spp.) juga dilaporkan mempunyai sifat anti rayap (Syafii 2000a dan 2000b). Zat ekstraktif flavonoid dari kayu Japanese larch (Larix leptolepis) memperlihatkan sifat penolak yang tinggi terhadap aktifitas makan rayap tanah Coptotermes formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam bio-assay test. Hal ini karena ekstraktif kayu Japanese larch mengandung flavonoid dalam jumlah yang cukup besar yang berpotensi menghambat aktifitas makan rayap tanah (Chen et al. 2004). Aktifitas anti rayap minyak esensial dari daun yang berasal dari dua klon Cinnamomum osmophloeum (A dan B) dan kandungan kimianya terhadap Coptotermes formosanus Shiraki telah diteliti dengan aplikasi kontak langsung. Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa minyak esensial daun kayu manis lokal B memiliki aktifitas antirayap yang lebih efektif daripada minyak esensial daun kayu manis lokal A.
Selanjutnya ketika cinnamaldehid, eugenol, dan
α–terpineol diekstrak dari minyak esensial daun kayu manis lokal dan digunakan pada dosis kuat 1mg/g, efektifitas antirayapnya jauh lebih tinggi daripada ketika menggunakan minyak esensial daun kayu manis lokal.
Di antara ketiga
komponen yang diuji tersebut, cinnamaldehid memperlihatkan sifat antirayap yang paling kuat (Chang dan Cheng 2002). Tanaman memproduksi metabolit sekunder sebagai perlindungan terhadap serangan dari luar, misalnya dari serangan rayap. Menurut Mitsunaga (2007), beberapa aktifitas biologis dan fisiologis dari ekstraktif tanaman telah diteliti di laboratorium Department of Applied Life Science, Faculty of Applied Biological Science, Gifu Univesity, Japan, menunjukkan bahwa senyawa polyfenol dari kayu tropis mempunyai efek anti rayap, anti jamur dan anti bakteri.
Anti rayap
umumnya sebagai zat yang dapat menyebabkan kematian (mortality) rayap atau menolak (repellent) rayap, sedang sebagai anti jamur menghambat pertumbuhan
11
jamur perusak kayu. Sedang sebagai anti bakteri, zat ekstraktif bersifat sebagai bactericide terhadap bakteri yang menyerang kayu. Peranan zat ekstraktif sebagai insektisida selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan sebagai insektisida pada serangga No Jenis zat ekstraktif tumbuhan 1. a. Rotenon b. Tropan, quinon, quinodin, senyawa nitro, imidazol, aldehida c. Glukosinolat, nitril, N-nitrosamin, cyanogenic, thiosianat 2. Diterpen, flavonoid, polyacetylen, phenol, asam aromatik, coumarin, asam lemak 3. a. Asam aminnonouprotein b. Tanin, stilben, resin, quinon c. Protein toksis (ricin), basa purin d. Alkaloid indol 4. a. Basa analog (5-metil sitosin) b. Kinin, Colchicin, alkaloida Veratum, alkaloida diaminos-teroid, furanocoumarin, coumarinHydrazin 5. Asam fluoroacetat 6.
Target biokimiawi pada serangga Penghambat transport elektron a. Antara NAD+ dengan Co Q b. Oksidasi Suksinat c. Cytokrome oksidase Uncouler dari phosphorilasi oksidase Penghambat sintetis protein a. Pengaktifan asam amino b. Fungsi protein c. Komplek inisiasi ribosom Penghambat sintetis DNA a. Mutasi transsisional b. Replikasi
Penghambat transfer energi glycolisis dan oksidasi asam lemak Polyacetylen, sesquiterpen, triterpen, Perusak fungsi sel (integritas alkaloid, steroid membran sel)
Sumber : Sastrodihardjo (1999)
Metode Pengujian Sifat Anti Rayap Metode pengujian sifat anti rayap biasa dilakukan dengan menggunakan metode anti-feedant bio-assay test seperti yang digunakan oleh Ohmura et al. (1997) dalam Syafii (2000a) dengan beberapa modifikasi. Dari metode ini akan didapatkan mortalitas rayap yang beragam bergantung pada jenis kayu, jenis fraksi dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji. Sebagian besar jenis kayu dan jenis fraksi memberikan pola yang sama yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka mortalitas rayap semakin meningkat pula. Pola ini memberikan indikasi umum bahwa ekstrak yang ditambahkan tersebut mempunyai daya racun terhadap kehidupan rayap.
12
Selain mortalitas rayap, indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat daya racun zat ekstraktif adalah penilaian laju konsumsi terhadap contoh uji oleh rayap. Laju konsumsi ditunjukkan dengan besarnya kehilangan berat contoh uji setelah diumpankan. Laju konsumsi rayap setelah pengumpanan selama 4 minggu pada kertas uji yang telah diberi ekstrak pada berbagai konsentrasi berkisar antara 1% sampai 23%. Kehilangan berat contoh uji sangat bervariasi bergantung pada jenis kayu, jenis fraksi, dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji. Dari hasil pengujian ini secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka kehilangan berat kertas uji tersebut semakin kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji tersebut mempunyai daya racun terhadap perkembangan rayap, yang ditunjukkan oleh hilangnya kemampuan rayap dalam mengonsumsi kertas uji tersebut (Syafii 2000b). Park dan Shin (2005) telah melakukan suatu percobaan mengenai aktifitas anti rayap dengan menggunakan bioassay fumigasi. Kertas saring (Whatman no. 2 dengan diameter 4,5 cm) diberi perlakuan dengan minyak esensial kemudian diletakkan di penutup bagian bawah silinder gelas (diameter 5 cm x 10 cm) dengan saringan kawat tepat 3,5 cm di atas dasar, kemudian penutup tersebut disegel. Sepuluh rayap pekerja dan seekor prajurit diletakkan di atas kawat. Ini mencegah kontak langsung rayap dengan minyak tanaman yang diuji dan senyawanya. Rayap diekspos selama 1- 3 hari. Kertas saring dibasahi dengan air untuk mensuplai makanan. Perlakuan rayap dilakukan pada suhu 25±1oC dan kelembaban relatif 80%. Akumulasi mortalitas rayap dicatat setelah 1, 2 dan 3 hari perlakuan. Semua perlakuan diulangi sebanyak 3 kali.
Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif Isolasi ekstraktif dilakukan melalui ekstraksi dengan campuran pelarut netral atau dengan campuran pelarut tunggal. Fraksi atsiri seperti terpena dalam kayu daun jarum, umumnya diisolasi dengan penyulingan uap. Ekstraksi pelarut dapat dikerjakan dengan berbagai pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting yang dapat diekstraksi
13
dengan pelarut organik. Komponen utama yang larut air terdiri atas karbohidrat, protein dan garam-garam organik. Dalam kasus manapun tidak ada perbedaan yang tegas antara komponen ekstraktif yang dipisahkan dengan pelarut berbeda. Misalnya tanin larut dalam air panas tetapi juga ditemukan dalam ekstrak alkohol (Adijuwana dan Nur 1989). Pengisolasian ekstraktif umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut. Urutan polaritas beberapa jenis pelarut tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Titik didih, titik beku, dan konstanta dielektrik beberapa jenis pelarut Jenis pelarut Air Etanol Aseton Etil asetat Dietil eter CCl4 Benzena n-Heksan
Titik didih (oC) Titik beku (oC) 100 0 78 -117 56 -95 -84 35 -116 61 -64 80 5,5 -
Konstanta dielektrik (D) 75,5 24,3 20,7 6,0 4,3 4,8 2,3 1,89
Sumber : Adijuwana dan Nur (1989)
Tidak ada satupun pelarut yang dapat mengeluarkan atau mengekstraksi semua ekstraktif yang ada dalam kayu. Umumnya dipakai dua atau lebih pelarut untuk mengeluarkan ekstraktif tersebut. Untuk mengekstraksi dengan baik dipakai pelarut organik dan air (TAPPI 1991). Ekstraksi juga dapat dilakukan pada suhu ruangan di dalam suatu alat penapis atau melalui pengadukan bahan. Waktu ekstraksi dengan menggunakan soxhlet atau dengan metode suhu ruangan biasanya minimum 6 jam. Metode ekstraksi tersebut diperlukan untuk mengeluarkan sebagian besar atau semua pelarut dari ekstrak melalui evaporasi, yang biasanya dilakukan di dalam alat extraction apparatus atau alat sejenisnya pada tekanan rendah untuk menghindari kemungkinan terjadinya oksidasi dan degradasi ekstrak, dan pada suhu tidak lebih dari 50oC (TAPPI 1991).
14
Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) Rayap merupakan serangga sosial dengan ukuran tubuh kecil sampai sedang. Rayap termasuk filum Arthropoda, kelas Insecta dan ordo Isoptera yang dalam perkembangan hidupnya mengalami metamorfosa bertahap. Kelompok binatang ini pertumbuhannya melalui tiga tahap yaitu tahap telur, tahap nimfa, dan tahap dewasa. Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa dengan melalui beberapa instar yaitu bentuk di antara dua masa perubahan. Perubahan ini berlangsung secara bertahap menyebabkan bentuk badan pada umumnya, cara hidup maupun makanan pokok di antara nimfa dan dewasa adalah serupa (Hasan 1983). Rayap hidup dalam koloni-koloni dan membagi kegiatan-kegiatan utamanya di dalam bentuk kasta yang sudah berkembang. Berdasarkan perbedaan morfologis dan fisiologisnya, rayap dibagi menjadi tiga kasta, yaitu kasta reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja. a. Kasta Reproduktif Kasta reproduktif terdiri atas reproduktif primer dan sekunder. Reproduktif primer merupakan sepasang imago (raja dan ratu) yang semasa hidupnya bertugas untuk menghasilkan telur. Apabila reproduktif primer tersebut mati, sepasang reproduktif sekunder menggantikannya. Pada masa bersilangan (swarming), reproduktif sekunder akan terbang keluar sarang dalam jumlah besar. Masa bersilangan ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu dan segera menanggalkan sayapnya serta mencari tempat baru yang sesuai untuk perluasan koloni. Kasta reproduksi memiliki panjang badan 7,5-8 mm, sedangkan yang bersayap memiliki rentang sayap 15-16 mm(Tambunan dan Nandika 1989). b. Kasta Prajurit Kasta prajurit mudah dikenali dari bentuk kepalanya yang besar dan mengalami penebalan yang nyata. Kasta ini sering dijumpai dengan ukuran yang berbeda (polimorfisme). Karakter seksual pada kasta prajurit dari beberapa spesies rayap hampir tidak tampak secara genetik. Kasta prajurit dapat berkelamin jantan atau betina. Dalam koloni, rayap bertugas untuk
15
melindungi koloninya dari gangguan yang mungkin timbul selama siklus hidup koloni. Kasta prajurit memiliki panjang badan 5-5,5 mm. c. Kasta Pekerja Kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni rayap merupakan individu-individu kasta pekerja. Kasta ini umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa. Karakter seksual kasta ini sulit untuk ditentukan dengan jelas. Walaupun kasta ini tidak terlibat dalam proses perkembangbiakan koloni dan pertahanan, namun hampir semua tugas lainnya dikerjakan oleh kasta ini, antara lain bertugas memberi makan kepada seluruh anggota koloni dan membangun atau memperbesar liang-liang untuk menampung koloni. Kasta pekerja memiliki panjang badan 4,5-5 mm. Beberapa sifat-sifat penting rayap menurut Nandika (1991) adalah sebagai berikut: a. Sifat trofalaksis, yaitu rayap berkumpul saling menjilat dan mengadakan pertukaran bahan makanan melalui mulut dan anus. b. Sifat kriptobiotik, yaitu sifat rayap menjauhi cahaya. c. Sifat kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk makan sesamanya yang lemah atau sakit. Sifat ini menonjol dalam keadaan kekurangan makanan d. Sifat polimorfisme atau polimorfik, yaitu bentuk-bentuk rayap yang berbeda antara pekerja, prajurit dan rayap reproduktif. e. Sifat nekrofagi, yaitu sifat rayap memakan bangkai sesamanya. Berdasarkan habitat atau perilaku bersarang, rayap digolongkan ke dalam tipe-tipe: a. Rayap pohon, yaitu jenis-jenis rayap yang menyerang pohon yang masih hidup, bersarang dalam pohon dan tak berhubungan dengan tanah. Contoh khas rayap ini adalah Neotermes tectonae (famili Kalotermitidae), hama pohon jati. b. Rayap kayu lembab, menyerang kayu mati dan lembab, bersarang dalam kayu dan tak berhubungan dengan tanah. Contohnya Glyoptermes spp. (famili Kalotermitidae).
16
c. Rayap kayu kering, seperti Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae), hidup dalam kayu yang telah kering. Hama ini umum terdapat di rumah-rumah dan perabot-perabot seperti kursi, meja dan sebagainya. Tanda serangannya adalah terdapatnya butir-butir eksremen kecil berwarna kecoklatan yang sering berjatuhan di lantai atau di sekitar kayu yang diserang. Rayap ini juga tidak berhubungan dengan tanah karena habitatnya kering. d. Rayap tanah atau subteran, umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, atau bahan organik lainnya yang mengandung selulosa seperti serasah dan humus. Di Indonesia, dua famili rayap perusak kayu masuk dalam kategori rayap subteran, yaitu Termitidae dan Rhinotermitidae. Contoh famili Termitidae yang paling umum menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus), Odontermes spp., dan Microtermes spp. Jenis-jenis rayap ini sangat ganas, dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 m dari sarangnya. Coptotermes spp. termasuk ke dalam famili Rhinotermitidae, rayap ini banyak menyerang bangunan. Perilaku rayap ini mirip Macrotermes, namun perbedaan utama adalah kemampuan Coptotermes untuk bersarang di dalam kayu yang diserangnya, walaupun tidak ada hubungan dengan tanah, asal saja sarang tersebut dalam keadaan lembab (Tarumingkeng 1993). Menurut Tambunan dan Nandika (1989), rayap tanah C. curvignathus Holmgren termasuk rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Nandika et al. (2003) menyatakan bahwa jenis rayap ini termasuk ke dalam famili Rhinotermitidae sub famili Coptotermitinae, yang banyak digunakan dalam penelitian karena rayap tersebut sangat ganas penyerangannya terhadap material kayu atau bahan lain yang mengandung selulosa. Ciri-ciri rayap C. curvignathus, menurut Nandika et al. (2003), mempunyai sebuah fontanel (ubun-ubun) yang merupakan tempat yang pucat, kecil dan cekung pada bagian depan kepala antara dua mata, pada bagian mesonotum dan matanotum terdapat sayap dengan tipe reticulate tanpa bulu-bulu. Pekerja C. curvignathus yang berwarna putih pucat mampu memperluas serangannya karena kelompok pekerja ini mampu membentuk saluran-saluran yang ditutupi oleh tanah yang melekat pada tembok atau kayu. Disamping sebagai
17
tempat perlindungan dari predator dan sinar matahari, tanah tersebut berfungsi untuk mempertahankan suhu dan kelembaban sehingga keadaan seperti habitat aslinya yang jauh di dalam tanah tetap terkendali. Rayap secara umum memakan kayu atau bahan berlignoselulosa. Selulosa dalam makanan dicerna oleh berbagai protozoa yang sangat banyak jumlahnya yang hidup dalam saluran pencernaannya. Hubungan ini adalah mutualisme. Beberapa rayap jenis lain mengandung bakteri dan protozoa pada pencernaannya.
Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Acacia auriculiformis yang bernama daerah akor atau ori akor penyebaran alaminya meliputi Australia, Maluku, dan Irian Jaya. Dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur dengan curah hujan tahunan 1.080-2.100 mm. Ketinggian tempat yang ideal untuk tanaman ini berkisar antara 0-400 m dpl. Akasia berasal dari Australia, Papua New Guinea dan Indonesia. Tanaman ini tumbuh pada dataran rendah yang lembab dan panas, curah hujan tahunan ratarata 800-2500 mm dan suhu rata-rata 20-30°C dan sering dijumpai di tepi-tepi sungai dan pantai. Akasia dibudidayakan luas di daerah tropis pada ketinggian 01000 mdpl, masih tahan terhadap salju ringan, walaupun salju tidak cocok dengan sebaran alamnya. Akasia dapat tumbuh di tempat asam dan bekas tambang dengan pH 3 hingga pantai ber-pasir basa dengan pH 8-9. Akasia tidak tahan di tempat teduh atau angin kencang. Analisa isoenzim memperlihatkan variasi marka genetik yang sangat mencolok diantara 3 lokasi penyebaran Papua New Guinea, Queensland dan Northern Territory. Uji coba lapang menunjukkan bahwa Papua New Guinea produksinya paling tinggi, dari Queensland proporsi batang tunggal besar. Dari Northern Territory jelek baik pertumbuhan maupun bentuknya. Hibrid A. Auriculiformis dan A. mangium menunjukkan sifat-sifat yang baik (Joker 2001). Pada umumnya jenis ini dapat mencapai tinggi 15 m dengan diameter batang ± 50 cm. Pada waktu muda pertumbuhannya sangat cepat. Sehingga umur 4 tahun saja dapat mencapai tinggi 10 m dengan diameter batang 6,6 cm. Bentuk batangnya kurang baik dengan percabangan yang rendah dan banyak. Tajuknya
18
lebar agak rapat dengan ukuran panjang daun 150-400 mm dan lebar 100-180 mm. Musim berbuahnya pada bulan Juli-November (New Forest Project 2007). Kingdom:
Plantae
Divisi
:
Magnoliophyta
Class
:
Magnoliopsida
Ordo
:
Fabales
Family
:
Fabaceae / Leguminosae
Genus
:
Acacia
Species :
A. auriculiformis
A. auriculiformis
memiliki
berat
jenis
rata-rata
0,6 – 0,75 dan
merupakan sumber kayu bakar utama, kayunya yang padat dan nilai energi tinggi yang mendukungnya. Kayunya menyediakan arang yang berpijar sangat baik dengan asap sedikit dan tidak mengeluarkan percikan. Nilai energi kayunya adalah 4.800-4.900kcal/kg (Hanum and Van Der Maesen 1997). Akasia dapat tumbuh bahkan pada kondisi yang sangat jelek di daerah tropis. Pertumbuhan awal tinggi, mampu memproduksi nitrogen, toleran terhadap tanah yang tidak subur, asam, basa bergaram atau tergenang, musim kering, dan sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis. Mampu bersaing dengan alang-alang (Imperata cylindrica) dan mengurangi rumput yang menutup seluruh permukaan lahan. Kayunya sangat baik untuk kayu bakar, arang, pulp dan konstuksi ringan. Karena penyebaran akarnya tidak terlalu melebar, banyak digunakan dalam agroforestry dan ditumpangsarikan dengan kacang tanah, padi dan kacangkacangan (Joker 2001).
19
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Waktu pelaksanaan September 2007-Maret 2008.
Bahan dan Alat Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth yang diperoleh dari Darmaga Bogor (diameter pohon 30 cm). Untuk uji toksikologi digunakan rayap tanah C. curvignathus Holmgren. Bahan pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah aseton, nheksan, etil eter, etil asetat, kloroform, metanol dan air destilata serta bahan lain seperti aluminum foil, kertas selulosa Whatmann. Untuk kolom kromatografi dipergunakan silika gel 60 F254 (produk E. Merck 1.07734) dan untuk kromatografi lapis tipis (KLT) dipergunakan lempeng silika gel GF254 (produk E. Merck 05554).
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gergaji mesin, hammer mill, saringan yang berukuran 40 – 60 mesh, botol reagent, spatula, erlenmeyer, alat-alat gelas, rotary evaporator, funnel separator, kondensor, timbangan analitik, oven, pasir, kain kasa hitam, kolom kromatografi, dan lempeng KLT silika gel. Untuk mengidentifikasi komponen bioaktifnya digunakan Spektrometri Proton Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dan Carbon NMR.
20
Metode Penelitian Persiapan sampel Kulit kayu A. auriculiformis bagian dalam (inner bark) digiling menjadi serbuk dengan menggunakan penggiling dan dilewatkan pada mesh screen berukuran 40-60 mesh, kemudian dikeringanginkan hingga kadar air serbuk sekitar 15%. Ekstrak Serbuk Kulit Kayu Sebanyak + 2000 gram serbuk kulit kayu A. auriculiformis dimasukkan ke dalam botol reagent dan direndam dengan pelarut aseton, sehingga seluruh serbuk terendam dengan perbandingan volume serbuk dan pelarut adalah 1 : 3. Campuran ini diaduk sesering mungkin menggunakan spatula, dan setelah 48 jam larutan ekstraksi tersebut disaring dengan kertas saring. Perlakuan tersebut dilakukan hingga diperoleh larutan ekstrak jernih, sehingga dianggap semua ekstraktif larut sudah dalam aseton. Selanjutnya larutan ekstrak disimpan dalam wadah yang tertutup rapat. Ekstrak aseton yang diperoleh selanjutnya dievaporasikan pada suhu maksimum 40oC hingga diperoleh volume sebanyak 1 liter. Dari jumlah tersebut diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang kering dan telah diketahui beratnya kemudian dievaporasikan hingga kering. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu + 105oC selama 3 jam, setelah dingin ditimbang sehingga diketahui berat kering tanur ekstrak aseton yang diperoleh. Kandungan ekstrak aseton dihitung berdasarkan persentase berat padatan ekstrak aseton dengan berat kering tanur serbuk. Dari 990 ml larutan ekstrak aseton yang tersisa, diambil sebanyak 500 ml dan dievaporasikan hingga diperoleh volume sebanyak 100 ml. Larutan ekstrak aseton yang kental tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam funnel separator, kemudian ditambahkan air destilata sebanyak 20 ml dan pelarut n-heksan sebanyak 75 ml. Campuran ini selanjutnya dikocok dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan antara pelarut aseton dengan n-heksan. Setelah terjadi pemisahan, selanjutnya fraksi terlarut n-heksan dipisahkan dari residu. Fraksi n-heksan yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat-rapat. Fraksinasi dengan menggunakan n-heksan dilakukan hingga larutan berwarna jernih.
21
Residu hasil fraksinasi dengan n-heksan yang tertinggal dalam funnel separator selanjutnya ditambahkan lagi dengan pelarut etil eter sebanyak 75 ml. Selanjutnya dikocok dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan seperti halnya fraksinasi dengan n-heksan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut etil eter dipisahkan dan disimpan pada botol yang tertutup rapat. Fraksinasi ini dilakukan hingga larutan berwarna jernih. Tahapan
terakhir
dari
fraksinasi
bertingkat
ini
adalah
dengan
menggunakan pelarut etil asetat. Residu hasil fraksinasi dengan pelarut etil eter selanjutnya difraksinasi dengan pelarut etil asetat sebanyak 75 ml. Fraksinasi ini dilakukan sama seperti fraksinasi dengan tiga pelarut sebelumnya. Untuk lebih jelasnya proses fraksinasi bertingkat tersebut disajikan pada Gambar 1. Larutan
hasil
fraksinasi
bertingkat
diuapkan
pelarutnya
dengan
o
menggunakan evaporator pada suhu 40 C. Fraksi-fraksi yang diperoleh dikeringkan pada suhu 40-60oC. Kandungan zat ekstraktif pada tiap-tiap fraksi dihitung terhadap bobot kering tanur kulit kayu A. auriculiformis. Serbuk kulit kayu A. auriculiformis 40-60 mesh Ekstraksi aseton
Ekstrak aseton* Fraksinasi n – heksan
Residu
Fraksi terlarut n – heksan *
Fraksinasi Dietil eter
Fraksi terlarut dietil eter *
Residu Fraksinasi Etil asetat
Fraksi terlarut etil asetat *
Gambar 1 Skema Ekstraksi dan Fraksinasi dari serbuk Kulit Kayu A. auriculiformis Keterangan : * dilakukan uji anti rayap
Residu*
22
Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak Masing-masing fraksi (ekstrak aseton, fraksi n-heksan, fraksi etil eter, fraksi etil asetat dan fraksi tak terlarut) dibuat 6 taraf konsentrasi larutan bahan pengawet ekstraktif yaitu 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dan 10%. Penentuan konsentrasi larutan ekstrak dibuat berdasarkan perbandingan berat padatan ekstrak dan berat kering tanur kertas selulosa untuk pengujian terhadap rayap.
Uji Bioassay Zat Ekstraktif terhadap Rayap Tanah Pengujian terhadap rayap dilakukan dengan menggunakan metode cellulose pads (Steller dan Labosky 1984 dalam Syafii 2000a) yang telah dimodifikasi. Kertas selulosa yang akan diawetkan dengan lima macam larutan ekstraktif kulit kayu A. auriculiformis pada berbagai taraf konsentrasi ditimbang untuk mengetahui banyaknya larutan ekstraktif yang harus ditambahkan berdasarkan konsentrasi masing-masing perlakuan. Kertas selulosa yang telah diberi larutan ekstraktif sesuai dengan konsentrasi di tempatkan pada gelas uji, lalu dibiarkan sampai tercapai kelembaban relatif yang sesuai dengan lingkungan. Untuk kontrol digunakan kertas selulosa yang diberi perlakuan tanpa penambahan zat ekstraktif. Untuk pengumpanan terhadap rayap, kertas selulosa yang telah diberi perlakuan dimasukkan ke dalam wadah plastik. Tiap-tiap contoh uji diberi 45 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit yang sehat dan telah dikondisikan. Untuk menjaga kelembaban, pasir yang terdapat di dalam gelas uji ditetesi air destilata. Gelas uji ditutup dengan kain kasa dan di simpan ditempat gelap selama empat minggu. Pengumpanan kertas uji terhadap rayap C. curvignathus di dalam gelas uji dapat dilihat pada Gambar 2. Ada dua parameter yang digunakan dalam pengujian ini, yaitu mortalitas rayap dan kehilangan berat contoh uji. Pengamatan mortalitas rayap dilakukan setiap minggu. Bagi rayap yang mati segera dibuang karena selain akan dimakan oleh rayap lainnya, rayap yang mati akan berjamur dan dapat mematikan rayap lainnya. Penentuan nilai mortalitas dilakukan pada minggu keempat dengan menggunakan rumus : Ki = Mi x 100% 50
23
dimana Ki = persentase kematian rayap pada contoh uji ke-i (%) Mi = jumlah mortalitas rayap pada contoh uji ke-i Perhitungan berat contoh uji dilakukan pada minggu keempat pengamatan. Perhitungan persentase kehilangan berat contoh uji menggunakan persamaan berikut : A = B0 - B1 x 100% B0 dimana A = persentase kehilangan berat (%) B0 = Berat sebelum pengumpanan (gram) B1 = Berat setelah pengumpanan (gram) Kain kasa hitam Gelas Uji Rayap
Contoh uji Wadah plastik Pasir
Gambar 2 Pengujian sifat anti rayap Aktivitas setiap ekstrak dinilai dengan melihat besaran nilai mortalitas dan diklasifikasikan ke dalam kategori seperti yang tercantum pada Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi tingkat aktivitas anti rayap ekstrak kulit A. auriculiformis Mortalitas (%)
Tingkat aktivitas
Simbol
m > 95%
Sangat kuat
A
75% < m < 95%
Kuat
B
60% < m < 75%
Cukup kuat
C
40% < m < 60%
Sedang
D
25% < m < 40%
Agak lemah
E
5% < m < 25%
Lemah
F
m < 5%
Tidak aktif
G
Sumber : Prijono (1998)
Isolasi Fraksi Teraktif Ekstrak Kulit A. auriculiformis dengan Kromatografi Kolom Fraksi yang memiliki aktivitas anti rayap untuk selanjutnya dilakukan pemisahan dengan menggunakan kromatografi kolom. Fase diam yang digunakan
24
adalah silika gel 60 F254 yang mempunyai ukuran partikel 0,063 sampai 0,200 mm. Sebelum pelaksanaan kromatografi kolom, dilakukan terlebih dahulu kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mendapatkan eluen yang akan digunakan pada kromatografi kolom. KLT dilakukan dengan menggunakan lempeng silika gel GF254. KLT dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut. Pelaksanaan kromatografi kolom adalah sebagai berikut: kolom yang sudah dibersihkan dipasang pada statif secara tegak lurus. Kolom diberi kapas pada bagian bawahnya dan diisi dengan sepertiga pelarut yang akan digunakan sebagai eluen. Kemudian dimasukkan silika gel yang telah disuspensikan dengan eluen. Campuran silika gel tersebut dimasukkan ke dalam kolom sedikit demi sedikit agar diperoleh lapisan yang seragam. Eluen dibiarkan mengalir sehingga silika gel di dalam kolom menjadi padat dan permukaannya rata. Untuk meningkatkan kepadatan dan penyebaran silika dalam kolom rata, kolom digetarkan. Sebelum ekstrak dimasukkan ke dalam kolom, ekstrak dilarutkan dalam pelarut metanol yang digunakan sebagai eluen. Campuran tersebut diaduk rata, kemudian campuran sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam kolom sehingga merata di dalam suspensi silika gel. Eluen dialirkan ke dalam kolom. Masing-masing fraksi ditampung sebanyak 10 ml di dalam tabung reaksi. Pada fraksi yang diperoleh dilakukan pengecekan bercak dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil pada lempeng KLT tidak kelihatan bercaknya, maka dilihat dengan menggunakan sinar UV (merk Heraeus). Fraksi yang mempunyai bercak kromatogram yang sama digabung menjadi satu. Apabila telah memperoleh bercak tunggal dan terbentuk kristal, berarti telah memperoleh senyawa tunggal.
Identifikasi Komponen Bioaktif Identifikasi dilakukan dengan menggunakan spektrometri Proton NMR dan Carbon NMR untuk menentukan kedudukan hidrogen dan karbon. Dari hasil interpretasi NMR, dilakukan identifikasi dan penentuan struktur molekulnya.
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraktif Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan ekstrak aseton yang diperoleh dari 2000 gram kulit A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. (kadar air 13,94%) adalah 172,543 gram (19,660%). Ekstrak aseton ini kemudian difraksinasi secara bertingkat menggunakan metode ektraksi pelarut-pelarut yang tidak bercampur (solvent-solvent extraction) secara berturut-turut dengan nheksan, etil eter dan etil asetat. Hasil fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kandungan zat ekstraktif hasil fraksinasi bertingkat dalam beberapa pelarut organik terhadap ekstrak aseton kulit A. auriculiformis. Jenis Fraksi Fraksi n-Heksan Fraksi Etil Eter Fraksi Etil Asetat Fraksi Residu Ekstrak Aseton
Berat Ekstrak Padatan (gram)*) 7,39 69,43 36,65 59,07 172,54
Kadar Ekstrak (%)*) 0,84 7,91 4,18 6,73 19,66
Keterangan: *) dihitung berdasarkan berat kering oven
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis senyawa yang terdapat dalam sampel dan kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut yang digunakan. Hasil fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kulit A. auriculiformis sebagian besar mengandung senyawa-senyawa yang bersifat semi polar.
Berdasarkan klasifikasi kelas komponen kimia kayu (Lestari dan Pari
1990) yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif kayu termasuk tinggi jika kadar zat ekstraktif lebih besar dari 4%, maka kandungan zat ekstraktif kulit A. auriculiformis yang diperoleh tergolong tinggi. Kayu yang berkadar ekstraktif tinggi diperkirakan lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu dibandingkan yang berkadar ekstraktif rendah. Tetapi faktor ketahanan kayu lebih tergantung kepada senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada zat ekstraktif tersebut (Lestari dan Pari 1990).
26
Sifat Anti Rayap Ekstrak Kulit A. auriculiformis A. Cunn. Ex. Benth. Parameter yang digunakan dalam pengujian sifat anti rayap zat ekstraktif adalah mortalitas rayap C. curvignathus dan kehilangan berat kertas uji. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren.
Indikator yang digunakan untuk melihat aktivitas anti rayap dari zat ekstraktif adalah mortalitas rayap C. curvignathus Holmgren. Nilai mortalitas yang tinggi menunjukkan ekstrak memiliki aktivitas anti rayap yang tinggi. Persentase nilai rataan mortalitas rayap disajikan pada Lampiran 1 yang menunjukkan adanya pengaruh yang beragam dari setiap jenis ekstrak (aseton, nheksan, etil eter, etil asetat, dan residu) dan tingkat konsentrasi yang digunakan terhadap nilai mortalitas rayap. Hal ini disebabkan oleh jenis dan taraf konsentrasi zat ekstraktif yang berbeda pada masing-masing ekstrak. Fraksi yang memiliki aktivitas anti rayap tertinggi adalah fraksi etil eter, diikuti fraksi etil asetat, nheksan, aseton dan residu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai mortalitas rayap dimana setelah 3 minggu pengumpanan, mortalitas fraksi etil eter 4%, 6%, 8% dan 10% umumnya sudah mencapai 100%.
Berdasarkan nilai mortalitas rayap setiap
minggunya mengindikasikan bahwa fraksi etil eter yang paling aktif dibandingkan dengan fraksi lainnya karena pada konsentrasi 4% sudah memiliki daya racun yang sangat kuat.
Kontrol
Gambar 3
Hubungan antara konsentrasi ekstrak aseton kulit A. auriculiformis dan fraksi-fraksinya pada contoh uji dengan mortalitas rayap tanah C. curvignathus setelah pengumpanan selama 4 minggu. Keterangan : Tingkat aktivitas anti rayap sangat kuat (A), kuat (B), dan lemah (F). (Prijono 1998)
27
Gambar 3 memperlihatkan bahwa semua jenis ekstrak yang diuji menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam contoh uji menghasilkan nilai mortalitas rayap yang semakin besar. Dari hasil penelitian ini dapat diduga bahwa ekstrak aseton kulit kayu A. auriculiformis sebagai fraksi awal dan fraksi-fraksi lain yang ditambahkan ke dalam contoh uji tersebut mempunyai aktivitas anti rayap, meskipun fraksi-fraksi yang diujikan memiliki aktivitas yang berbeda. Berdasarkan klasifikasi tingkat aktivitas anti rayap ekstrak (Prijono 1998) menunjukkan bahwa fraksi etil eter pada konsentrasi 4% sudah memiliki aktivitas anti rayap sangat kuat yang berarti konsentrasi 4% mempunyai daya racun yang tinggi. Ada beberapa kemungkinan mekanisme kematian rayap yang diakibatkan senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada ekstraktif tersebut. Kemungkinan pertama adalah senyawa toksikan tersebut mematikan protozoa yang merupakan simbion rayap melalui gangguan terhadap aktivitas enzim. Telah diketahui bahwa rayap tidak secara langsung mencerna kayu atau bahan berselulosa lain termasuk kertas uji karena tidak memiliki enzim yang dapat mendekomposisi selulosa. Untuk mengubah selulosa menjadi senyawa-senyawa sederhana
yang mudah
dicerna rayap, di dalam usus rayap terdapat protozoa yang mengeluarkan enzim selulase sehingga rayap tersebut dapat memanfaatkan senyawa-senyawa tersebut sebagai sumber energi. Apabila protozoa mati maka aktivitas enzim selulase yang dikeluarkan protozoa tersebut terganggu, hal ini dapat menyebabkan rayap tidak memperoleh makanan dan energi yang dibutuhkan sehingga rayap tersebut mati. Sajap dan Lardizabal (1998) menyatakan bahwa di dalam usus rayap tanah C. curvignathus terutama usus belakang ditemukan tiga genus protozoa yaitu Pseudotrichonympha, Holomastogoides, dan Spirotrichonympha, dimana populasi Spirotrichonympha merupakan protozoa yang terbesar pada usus rayap tersebut. Yamaguchi et al. (1999) dalam Syafii (2000a) melaporkan bahwa βthujaplicin, senyawa aktif dari kultur jaringan Cupressus lusitanica mampu menghambat aktivitas enzim ATP-ase yang selanjutnya dapat menyebabkan rayap tidak memperoleh energi yang dibutuhkan sehingga rayap tersebut mati. Selain itu senyawa-senyawa bioaktif tersebut dapat merusak sistem syaraf serangga (insect
28
nervous system). Gangguan tersebut mengakibatkan sistem syaraf tidak berfungsi yang akhirnya menyebabkan kematian rayap. Gangguan yang terjadi pada sistem syaraf tersebut mengakibatkan kejang-kejang pada otot sehingga pada akhirnya menyebabkan kematian rayap (Eaton dan Hale 1993). Kemungkinan lain pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian rayap dan serangga lainnya adalah sebagai penghambat sintetis protein (zat ekstraktif dari kelompok tanin, stilben, quinon, alkaloid dan resin), sedangkan kelompok terpenoid dapat merusak fungsi sel (integritas membran sel) rayap yang pada akhirnya menghambat proses ganti kulit rayap (Sastrodihardjo 1999). Berdasarkan nilai mortalitas rayap ternyata bahwa di antara semua fraksi yang diujikan, fraksi etil eter mengandung senyawa bioaktif yang bersifat toksik terhadap rayap sehingga mempunyai kemampuan untuk mematikan rayap. Tingkat kematian rayap yang terjadi diakibatkan efek termitisida dari ekstraktif tersebut yang mampu menghambat perkembangan rayap bahkan bersifat mematikan.
Kehilangan Berat Contoh Uji Kertas Selain mortalitas rayap, indikator lain yang menunjukkan daya racun ekstraktif kayu adalah dengan menghitung laju konsumsi rayap tanah C. curvignathus yang ditunjukkan besarnya kehilangan berat kertas uji setelah diumpankan selama 4 minggu. Semakin tinggi persentase kehilangan berat kertas uji mengindikasikan semakin rendah sifat anti rayap dari ekstrak uji. Nilai ratarata kehilangan berat contoh uji kertas disajikan pada Lampiran 2 yang menunjukkan bahwa kehilangan berat kertas uji sangat bervariasi bergantung pada jenis fraksi dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji, yaitu 4,5681% sampai 65,0201%. Pada semua fraksi pelarut terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi konsentrasi esktraktif yang ditambahkan pada kertas uji, maka kehilangan berat kertas uji semakin kecil (Gambar 4). Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan larutan ekstraktif dari kulit kayu A. auriculiformis pada kertas uji mampu menghambat kemampuan rayap mengonsumsi kertas uji sebagai efek termisida dari larutan ekstraktif tersebut.
29
Gambar 4
Hubungan antara konsentrasi ekstrak aseton kulit dengan kehilangan berat kertas uji selulosa.
A. auriculiformis
Kematian rayap terjadi setelah mengonsumsi kertas uji yang diberi perlakuan. Pemberian ekstraktif kulit kayu A. auriculiformis tidak menyebabkan kertas uji bersifat menolak (repellent) terhadap rayap C. curvignathus. Hal ini terlihat dari jenis-jenis fraksi yang diuji, fraksi etil eter menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi etil asetat, n- heksan, aseton dan residu. Hal ini ditunjukkan oleh data kehilangan berat yang rendah dari fraksi etil eter yaitu 4,5681% sampai 35,4978% (untuk konsentrasi ekstrak 2% sampai 10%). Untuk fraksi etil asetat, kehilangan berat kertas ujinya berkisar antara 7,0175 % sampai 38,5630 %, kehilangan berat kertas uji fraksi aseton berkisar antara 8,7719% sampai 44, 8242%, sedangkan kehilangan berat kertas uji pada fraksi residu sekitar 9,8684% sampai 47,1025% dan pemberian ekstrak fraksi nheksan menunjukkan kehilangan berat kertas uji terbesar (10,4539% sampai 48,0673%). Tetapi kehilangan berat kertas uji yang ditambahkan ekstrak fraksifraksi tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kehilangan berat kertas uji kontrol (76,7235%). Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan mortalitas, dimana fraksi etil eter lebih tinggi daripada fraksi lainnya dan diduga karena adanya komponen bioaktif dalam fraksi tersebut yang mengandung racun terhadap rayap.
30
Tingkat konsumsi rayap C. Curvignathus beragam bergantung pada material yang diserang dan kondisi lingkungan yang mendukung.
KONTROL 0%
2%
4%
6%
8%
10%
ASETON n – HEKSAN ETIL ETER ETIL ASETAT RESIDU
Gambar 5
Penampakan kertas uji pada beberapa taraf konsentrasi setelah diumpankan pada rayap tanah C. curvignathus Holmgren.
Gambar 3, 4 dan 5 menunjukkan bahwa antara mortalitas rayap dengan kehilangan berat kertas uji memberikan pola hubungan yang berbanding terbalik, namun kedua parameter tersebut memiliki fenomena yang sama, dimana semakin besar konsentrasi zat ekstraktif yang ditambahkan ke dalam kertas uji, maka mortalitas semakin meningkat dan kehilangan berat kertas uji akan menurun. Kehilangan berat kertas uji ini dapat memberikan sumbangan pada terjadinya kematian rayap, namun bukan merupakan penyebab utama karena pada pengujian lain diketahui bahwa ekstrak biji A. hamsiana dapat mematikan serangga Crocidolomia binotalis secara kontak (apikal tropikal) (Prijono 1998). Jadi, kematian rayap dalam pengujian ini dapat merupakan gabungan pengaruh kehilangan berat kertas uji dan toksisitas senyawa aktif dalam ekstrak kulit A. auriculiformis.
Isolasi Fraksi Teraktif Etil Eter dari Ekstrak Kulit A. auriculiformis Isolasi fraksi teraktif etil eter dengan kromatografi kolom menggunakan perbandingan bobot antara sampel dengan silika gel adalah (1 : 40) gram. Silika gel bertindak sebagai fase diam, sedang fase gerak yang digunakan adalah elusi bergradien konsentrasi dari pelarut kloroform-metanol (Gritter et al. 1991). Fraksi etil eter yang dipisahkan sebanyak 2 gram. Fraksinasi menggunakan kromatografi
31
kolom dengan ukuran diameter kolom + 2 cm. Fase gerak dimulai dengan menggunakan pelarut kloroform 100%. Larutan yang keluar dari kromatografi kolom ditampung ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu diperiksa dengan menggunakan KLT. Fraksi dengan bercak kromatogram dan nilai Rf yang sama kemudian digabungkan. Pemisahan dengan kromatografi kolom ini menghasilkan 9 fraksi. Pemisahan menggunakan KLT dengan fase gerak pelarut kloroformmetanol (1:1), menghasilkan bercak kromatogram tunggal pada tabung reaksi nomor 273 sampai dengan nomor 320 yang diperoleh dari kromatografi kolom pada saat gradien eluen kloroform-metanol 2:8. Fraksi ini dinamakan senyawa PE-2. Senyawa PE-2 diperoleh sebanyak 100 mg yang mempunyai bercak tunggal pada Rf 0,8. Senyawa PE-2 ini menunjukkan kromatogram (spot) terbesar yang menandakan bahwa senyawa PE-2 dominan di dalam fraksi PE. Fraksi yang memiliki bercak kromatogram tunggal kemudian dilakukan penentuan struktur dengan cara mengidentifikasi senyawa kimia dengan Proton NMR dan Carbon NMR.
Identifikasi Senyawa dalam Fraksi PE-2 Identifikasi senyawa dalam fraksi PE-2 dilakukan dengan menggunakan Proton NMR dan Carbon NMR. Identifikasi senyawa PE-2 dengan Proton NMR menunjukkan bahwa senyawa tersebut termasuk golongan flavonoid. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya puncak-puncak pada pergeseran 5,9905 – 8,1136 ppm sebagai pergeseran proton dari gugus aromatik (Ar-H) sebanyak 3 puncak, yaitu pada pergeseran 1,000 ppm (doublet); 0,501 ppm (triplet) dan 1,060 ppm (triplet). Selain itu muncul juga puncak pada pergeseran proton fenol (Ar-CH) ditunjukkan pada pergeseran 4,5 – 7,7 ppm. Spektrum resonansi magnetik inti proton (HNMR) disajikan pada Lampiran 3. Spektrum resonansi magnet inti karbon pada Lampiran 4 menunjukkan kemungkinan jumlah atom C sebanyak 13 buah yang tampak pada pergeseran 80 – 120 ppm yang merupakan daerah pergeseran kimia untuk ikatan C - C aromatik. Total jumlah atom karbon yang diperkirakan sebanyak 15 buah termasuk dengan
32
karbon dari eter yang berikatan dengan satu atom oksigen pada pergeseran 60 – 80 ppm yang merupakan daerah pergeseran kimia untuk ikatan (C - O - C). Berdasarkan identifikasi dengan menggunakan spektrum resonansi magnet inti proton (HNMR) dan karbon (CNMR) tersebut, maka diduga komponen utama dari fraksi teraktif etil eter dari kulit kayu A. auriculiformis adalah Pentahydroxyflavan (C15H14O6). Struktur molekul Pentahydroxyflavan disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Struktur Senyawa Pentahydroxyflavan (Mihara et al. 2005 dan Barry et al. 2005)
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa di dalam ekstraktif kayu teras A. mangium dan A. auriculiformis mengandung senyawa aktif teracacidin (Mihara et al. 2005). Dalam Barry et al. (2005), kayu teras A. mangium dan A. auriculiformis
juga
mengandung
senyawa
aktif
tetrahydroxyflavanone,
teracacidin, trihydroxyflavanone dan isoteracacidin. Senyawa teracacidin dan isoteracacidin merupakan varian dari pentahydroxyflavan, dimana menurut Mihara et al. (2005) bahwa senyawa ini memiliki sifat penghambat yang kuat terhadap aktivitas enzim laccase (pelapuk) pada jamur.
33
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Kulit Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. mengandung 19,660% ekstrak yang larut dalam aseton. Ekstrak aseton mengandung 0,843% fraksi n-heksan, 7,911% fraksi etil eter, 4,176% fraksi etil asetat dan 6,730% fraksi residu. 2. Ekstrak aseton kulit Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. memiliki aktivitas yang sangat kuat dalam menghambat perkembangan rayap C. curvignathus. Semakin tinggi penambahan konsentrasi zat ekstraktif pada contoh uji kertas, maka mortalitas cenderung meningkat seiring dengan penurunan persentase kehilangan berat kertas uji. 3. Berdasarkan nilai mortalitas dan kehilangan berat contoh uji kertas, fraksi teraktif kulit Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat anti rayap adalah fraksi etil eter (konsentrasi 4% sudah menunjukkan aktivitas sangat kuat) diikuti kemudian secara berturut-turut fraksi etil asetat, residu, aseton dan n-heksan. Fraksi ini mempunyai potensi sebagai bahan baku pengawet kayu. 4. Hasil isolasi dan identifikasi fraksi teraktif terhadap rayap (fraksi PE), diperoleh senyawa murni PE-2 dan diduga komponen utama dari fraksi PE ini adalah pentahydoxyflavan (C15H14O6). Saran 1.
Senyawa tunggal yang diperoleh perlu diji lebih lanjut terhadap uji anti rayap
2. Perlu penelitian lebih lanjut dari fraksi lainnya karena diperkirakan masih banyak senyawa bioaktif lain yang belum teridentifikasi dalam kulit A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
34
DAFTAR PUSTAKA
Adijuwana H, Anwar Nur M. 1989. Teknik Pemisahan dan Analisis Biologi. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. [BSN]. 1999. SNI 03-5010.1-1999 / Revisi SNI 03-3528-1994 tentang Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Jakarta : BSN. Barry KM, Mihara R, Davies NW. 2005. Polyphenols in Acacia mangium and Acacia auriculiformis heartwood with reference to heart rot susceptibility. J Wood Sci 615-621. Chang ST, Cheng SS. 2002. Antitermitic activity of leaf essential oils and components from Cinnamomum osmophleum. J Agric Food Chem 50: 13891392. Chen K, Ohmura W, Doi S, Aoyama M. 2004. Termite feeding deterrent from Japanese larch wood. Bioresource Tech 95:129-134. Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood : Decay, Pests and Protection. London : Chapman and Hall. Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Hardjono S., Penerjemah, Soenardi P, Penyunting. Wood : Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Yogyakarta : Gadjah Mada Univ Pr. Findlay WPK. 1978. Timber Properties and Uses. London : Granada, Publishing. Gritter RJ, Bobbitt JM, Schwarting AE. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung : Penerbit ITB. Hanum IF, Van Der Maesen LJG (Editor). 1997. Plant Resources of South East Asia. No.11. Bogor : PROSEA. Hasan T. 1983. Rayap dan Pemberantasannya (Pencegahan dan Penanggulangannya). Jakarta : Yayasan Pembinaan Watak dan Bangsa. Hashimoto K, Ohtani Y, Sameshima K. 1997. The termicidal and its distribution in champor (Cinnamomum champora) Wood. Jurnal of the Japan Wood Research Society. Vol 43 No. 7. Hillis WE. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin : Springer-Verlag. Joker. 2001. Informasi Singkat Benih Acacia auriculiformis A. Cunn ex. Benth.http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/IFSP/Acacia_auriculifor mis_Cunn.pdf. [29 Juni 2007].
35
Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan VII (3) : 96-100. Mihara R, Barry KM, Mohammed CL, Mitsunaga T. 2005. Comparison of antifungal and antioxidant activities of Acacia mangium and A. auriculiformis heartwood extracts. J Chem Eco. Vol 31. No. 4. April 2005. Mitsunaga T. 2007. Phytochemistry of physiological and biological active compounds from plant resources. Bogor: Departemen Kimia FMIPA-IPB dan Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB. [Makalah]. Seminar Sehari Senyawa Aktif Biologis untuk Farmasetika dan Nutrasetika. 12 April 2007. Nandika D. 1991. Rayap dan ancamannya terhadap bangunan. Jakarta : Makalah Diskusi Pencegahan dan Penanggulangan Tata Bangunan. Kerjasama Direktorat Tata Bangunan dan Ikatan Arsitek Indonesia. Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta : Muhammadiyah Univ Pr. New Forests Project : Acacia auriculiformis. www.newforestsproject.org. [11 September 2007]. Ohashi H, Asai T, Kawai S. 1994. Screening of main Japanese conifers for fungal leaf component. Sesquiterpenes of Juniperus chinensis var pyramidalis. Holzforschung. Vol. 48 No. 3. Berlin : Walter de Gruyter. Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu : Pengantar Sifat Kayu Sebagai Bahan Baku. Bogor : Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Park IK, Shin SC. 2005. Fumigant activity of plant essential oils and components from garlic (Allium sativum) and clove bud (Eugenia caryophyllata) oils against the Japanese Termite (Reticulitermes speratus Kolbe). J Agric Food Chem 53: 4388-4392. Pilotti CA, Kondo R, Shimizu K, Sakai K. 1995. An Examination of the anti fungal components in the heartwood extract of Pterocarpus indicus. Journal of the Japan Wood Research Society. Vol. 4.(6) : 593 – 597. Prijono D. 1998. Insecticidal activity of meliaceous seed extracts againts Crocidolomia binotalis Zeller. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 10 (1) : 1-7 Rinawati, Darusman LK, Purnawantiningsih. 1996. Efisiensi Ekstraksi Senyawa Isoflavon dari Akar Kedelai (Glycine max (L.) Merr). Buletin Kimia Jurusan Kimia FMIPA-IPB (11): 35-48.
36
Rowell RM. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington : American Chemical Society. Sari RK, Syafii W. 2001. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Jati (Tectona grandis L.f.). Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Volume XIV, Nomor 1. Sajap AS, Lardizabal ML. 1998. Major protozoan fauna in the tropical subterranean termite Coptotermes curvignathus Holmgren. Sociobiology. Vol. 32 No. 1. Sastrodihardjo S. 1999. Arah pengembangan dan strategi penggunaan pestisida nabati. Makalah pada Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati; Bogor, 9 – 10 Nopember 1999. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Shieh JC, Sumimoto M. 1992. Antifungal wood components of Cunninghamia lanceolata. Journal of the Japan Wood Research Society. Vol. 38. (5) : 482 – 489. Sjostrom E. 1993. Kimia Kayu, Dasar-dasar Penggunaan. Edisi 2. Penerjemah H. Sastrohamidjojo. Penyunting S. Prawirohatmodjo. Yogyakarta : Gadjah Mada Univ Pr. Syafii W, Yoshimoto T, Samejima M. 1985. Neolignan from the heartwood of ulin wood (Eusideroxylon zwageri). Journal of The Japan Wood Research Society, Vol. 31. No. 11 Syafii W, Samejima M, Yoshimoto T. 1987. The role of extractives in resistance of ulin wood (Eusideroxylon zwageri). Bulletin of Tokyo University Forest No. 77. Syafii W, Yoshimoto T. 1993. Extractives from Some Tropical Hardwoods and Their Influences on The Growth of Wood-Decaying Fungi. Indonesian Journal of tropical Agricultural. Volume 4, Number 2. Syafii W. 2000a. Sifat anti rayap zat ekstraktif kayu lebar tropis. Buletin Kehutanan. Yogyakarta : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (42) : 2 – 13. Syafii W. 2000b. Antitermitic compound from the heartwood of sonokeling wood (Dalbergia latifolia Roxb). Indonesian Journal of Tropical Agriculture. Bogor : Lembaga Penelitian IPB. Volume 9. Nomor 3.
37
Syafii W. 2001. Eksplorasi dan Identifikasi Komponen Bio-Aktif Beberapa Jenis Kayu Tropis dan Kemungkinan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Pengawet Alami. Laporan Akhir Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi VIII Tahun Anggaran 1999/2000 – 2000/2001. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Tambunan B, Nandika D. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. TAPPI Test Methods. 1991. Solvent Extractives of Wood and Pulp T 204 om-88. Vol.1. Atlanta : TAPPI Pr. Tarumingkeng RC. 1993. Biologi dan Perilaku Rayap. (Tidak Dipublikasikan). Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood : Structure, Properties, Utilization. New York : Van Nostrand Reinhold. Vickery ML, Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. London : The Macmillan Pr. Walker JCF. 1993. Primary Wood Processing. Principles and Practice. London : Chapman and Hall. Yaga S, Kingo K, Fernandez E, Zerrudo JV, Castillo SA. 1991. The termite resistance of okinawa timbers X termicidal substances from Bruguiera gymnorrhiza. Journal of the Japan Wood Research Society, Vol. 37. No. 4. Zabel RA, Morrell JJ. 1992. Wood Microbiology, Decay and Its Prevention. California : Academic Pr.
38
Lampiran 1
Mortalitas rata-rata rayap tanah C. curvignathus Holmgren setelah diumpankan selama 4 minggu
Jenis Fraksi Aseton
n-heksan
Etil Eter
Etil Asetat
Residu
Kontrol
Konsentrasi Minggu 1 0% 0,00 2% 0,00 4% 0,00 6% 0,00 8% 0,00 10% 2,00 0% 1,33 2% 1,33 4% 1,33 6% 3,33 8% 3,33 10% 3,33 0% 0,67 2% 0,67 4% 2,67 6% 2,67 8% 4,67 10% 4,67 0% 1,33 2% 1,33 4% 3,33 6% 4,67 8% 9,33 10% 10,67 0% 2,00 2% 1,33 4% 2,00 6% 10,67 8% 4,67 10% 5,33 0,00
% Mortalitas Minggu 2 Minggu 3 2,00 11,33 3,33 29,33 0,67 48,00 2,00 49,33 4,00 74,00 43,33 100,00 4,00 12,67 6,00 40,67 8,67 44,00 9,33 41,33 10,67 78,00 14,00 100,00 2,00 11,33 2,00 84,00 68,00 100,00 84,67 100,00 86,67 100,00 87,33 100,00 6,00 14,00 4,00 28,67 8,00 72,00 13,33 90,00 26,67 99,33 30,00 98,67 7,33 14,67 4,00 26,00 10,00 32,00 32,67 58,67 32,67 65,33 12,67 66,67 0,00 1,33
Minggu 4 19,33 44,00 59,33 65,33 79,33 19,33 42,67 67,33 74,00 85,33 17,33 91,33 20,00 48,67 88,00 100,00 100,00 100,00 19,33 36,00 46,00 65,33 83,33 100,00 4,00
39
Lampiran 2
Kehilangan berat contoh uji kertas rata-rata setelah diumpankan pada rayap tanah C. curvignathus selama 4 minggu.
Jenis Fraksi Aseton
n-heksan
Etil Eter
Etil Asetat
Residu
Kontrol
Konsentrasi 0% 2% 4% 6% 8% 10% 0% 2% 4% 6% 8% 10% 0% 2% 4% 6% 8% 10% 0% 2% 4% 6% 8% 10% 0% 2% 4% 6% 8% 10%
Kehilangan Berat (%) 63,84 44,82 36,15 33,11 23,38 8,77 60,85 48,07 38,02 21,89 16,14 10,45 61,82 35,50 27,66 16,57 10,97 4,57 65,02 38,56 29,66 17,00 10,35 7,02 61,50 47,10 37,45 26,62 15,41 9,87 76,72
40
Lampiran 3. Gambar Spektrum Proton NMR Senyawa PE-2
41
Lampiran 4. Gambar Spektrum Carbon NMR Senyawa PE-2
42